6Peningkatan Keunggulan Daya Saing Agribisnis Memasuki Era

advertisement
6
Peningkatan Keunggulan Daya
Saing Agribisnis Memasuki Era Persaingan
Pendahuluan
Regim protektif perdagangan internasional akan berakhir dengan
diratifikasinya WTO pada tanggal 1 januari 1995 yang lalu. Kebijaksanaan
proteksi, seperti tarif, subsidi, kuota dan bentuk bentuk hambatan lain,
yang di masa lalu membatasi perdagangan internasional, akan dihapuskan
(dikurangi) secara bertahap menuju perdagangan bebas (free trade). Memang
banyak pihak yang pesimis dengan terwujudnya perdagangan bebas, namun
kita optimis bahwa di masa yang akan datang setiap negara mempunyai akses
yang lebih besar dalam perdagangan internasional dari masa sebelumnya.
Penghapusan kebijaksanaan proteksi secara internasional akan membuka
peluang pasar yang lebih besar bagi produk-produk agribisnis, Penurunan tarif
impor dan subsidi domestik di negara-negara pengimpor produk agribisnis,
akan membuka peluang pasar yang semakin besar bagi negara-negara
pengekspor. Demikian juga penurunan subsidi ekspor (politik dumping) pada
negara-negara pengekspor produk agribisnis, juga akan membuka peluang
pasar bagi negara pengekspor lainnya dan akan memberikan kesempatan
munculnya pemain batu (new entran) di pasar produk-produk agribisnis
internasional. Indonesia, sebagai negara agribisnis, memiliki kesempatan
untuk memanfaatkan peluang-peluang pasar produk agribisnis internasional.
Dari sisi penawaran (supply side), secara relatif Indonesia memiliki peluang
yang besar untuk menjadi negara agribisnis terbesar di masa yang akan datang.
Terdapat paling tidak tiga argumen pokok yang melandasi pernyataan ini.
Pertama, dewasa ini agribisnis nasional masih berada pada fase yang
sedang bertumbuh dan masih akan bertumbuh di masa yang akan datang.
Kedua, Indonesia memiliki sumber daya alam (lahan yang luas dan subur,
sinar matahari, plasma nutfah yang beragam) yang merupakan sumber daya
dasar pengembangan agribisnis. Ketiga, beberapa negara pesaing Indonesia
seperti Amerika Serikat, Kanada, Malaysia dan Thailand yang secara tradisional
menguasai agribisnis internasional, di masa yang akan datang akan kesulitan
untuk mengembangkan agribisnis, terutama karena kesulitan lahan. Dengan
demikian, secara relatif Indonesia dapat menjadi produsen terbesar beberapa
komoditas agribisnis terpenting.
R3_bab_6_Edited2.indd 95
02/04/2010 17:18:00
Peningkatan Keunggulan Daya Saing Agribisnis Memasuki Era Persaingan
Namun demikian, keunggulan Indonesia dari sisi penawaran belum
menjamin keberhasilan dalam bisnis internasional. Dengan liberalisasi
perdagangan internasional, persaingan yang sangat ketat akan terjadi pada pasar
produk agribisnis internasional. Dalam persaingan yang ketat, keunggulan
daya saing (competitive advantage) menjadi faktor yang menentukan dalam
memenangkan persaingan. Oleh sebab itu, membangun dan meningkatkan
keunggulan daya saing agribisnis nasional sangat krusial mulai saat ini menuju
masa depan.
Perkembangan Konsep Keunggulan Daya Saing
Fenomena mengapa suatu negara dapat memenangkan persaingan
sedangkan negara lain tidak merupakan pertanyaan yang terus mengemuka
sepanjang sejarah perdagangan internasional. Banyak pendapat yang diajukan
oleh pakar ekonomi dan bisnis internasional tetapi tidak satupun yang mampu
menjelaskan kemampuan daya saing suatu negara secara komprehensif.
Ada pendapat yang menyatakan bahwa daya saing suatu negara
tergantung pada pemilikan sumber daya alam yang berlimpah (factor
endowment). Namun pada kenyataannya, negara yang memiliki sumber daya
yang melimpah seperti Indonesia, paling tidak sampai saat ini, ternyata tidak
mampu bersaing dalam perdagangan internasional. Sebaliknya, negara-negara
yang miskin sumber daya alam seperti Jepang, Korea, Jerman, Swiss, dan Italia
justru menunjukkan keberhasilan bersaing di pasar internasional. Bahkan
secara keseluruhan, negara-negara yang miskin sumber daya alam mampu
menikmati pendapatan yang jauh lebih tinggi daripada negara-negara yang
kaya sumber daya alamnya.
Pendapat berikutnya adalah daya saing suatu negara ditentukan oleh
melimpahnya tenaga kerja dan upah yang murah. Pendapat inipun tampaknya
belum dapat menjelaskan daya saing suatu negara karena fakta menunjukkan
bahwa, negara-negara yang memiliki tenaga kerja yang melimpah dan upah
tenaga kerja yang relatif murah seperti Indonesia justru tidak menunjukkan
kemampuannya bersaing di pasar internasional. Sebaliknya, negara yang upah
tenaga kerjanya mahal dan cenderung kekurangan tenaga kerja (dalam jangka
panjang), seperti negara-negara MEE, justru menunjukkan kemampuannya
bersaing di pasar internasional, Selain itu, sejarah perekonomian Jepang yang
pada awal pembangunannya memang dibangun dengan upah tenaga kerja
murah dan tenaga kerja melimpah, justru mampu bersaing setelah melakukan
otomatisasi. Demikian juga Malaysia, yang pada dekade terakhir mengalami
kekurangan tenaga kerja dan upah kerja yang relatif mahal dibandingkan
96
Agribisnis: Paradigma Baru Pembangunan Ekonomi Berbasis Pertanian
R3_bab_6_Edited2.indd 96
02/04/2010 17:18:00
Peningkatan Keunggulan Daya Saing Agribisnis Memasuki Era Persaingan
dengan Indonesia, justru lebih mampu bersaing pada industri minyak sawit
daripada Indonesia yang notabene melimpah tenaga kerja dan sumber daya
alam.
Pendapat lain menyatakan bahwa daya saing suatu negara merupakan suatu
fenomena makro ekonomi yang dipengaruhi oleh kebijaksanaan moneter (nilai
tukar dan suku bunga) dan kebijakan fiskal (anggaran belanja). Beberapa fakta
memang menunjukkan bahwa negara yang mengalami depresiasi mata uang
dan kebijaksanaan anggaran surplus, memang berhasil meningkatkan ekspor.
Akan tetapi, beberapa negara yang mengalami defisit anggaran seperti Jepang,
Korea, Italia, bahkan Amerika Serikat, justru menunjukkan kemampuannya
bersaing di pasar internasional. Negara yang mengalami apresiasi mata uang
seperti Jerman dan Swiss tetap mampu bersaing di pasar internasional. Bahkan
Italia dan Korea yang justru menghadapi suku bunga tinggi juga berhasil
bersaing di pasar internasional.
Uraian di atas menunjukkan bahwa keunggulan dari sisi penawaran saja
belum cukup untuk menjamin daya saing suatu negara di pasar internasional.
Apalagi dewasa ini dan masa yang akan datang, dimana dengan semakin
kuatnya globalisasi perdagangan, globalisasi produksi dan globalisasi keuangan,
suatu negara dapat memanfaatkan keunggulan dari sisi penawaran negara lain
sehingga keunggulan sisi penawaran suatu negara semakin kabur.
Konsep mutakhir keunggulan daya saing adaiah kemampuan suatu
negara/perusahaan untuk mempertahankan dan meningkatkan pangsa pasar
secara menguntungkan dan berkelanjutan melalui pemanfaatan keunggulan
komparatifnya (Porter 1985; Martin et al. 1991; Tweeten 1992). Pengertian
yang lebih operasional dari keunggulan daya saing adalah kemampuan untuk
memasok barang dan jasa pada waktu, tempat dan bentuk yang di inginkan
konsumen, baik di pasar domestik maupun di pasar internasional, pada harga
yang sama atau lebih baik dari yang dipasarkan pesaing, dengan memperoleh
keuntungan paling tidak sebesar biaya oportunitas (opportunity cost) sumber
daya yang digunakan (Cook and Bredahl 1991).
Dari pengertian keunggulan daya saing tersebut, terdapat tiga hal
mendasar yang perlu diperhatikan dalam meningkatkan daya saing. Pertama,
kemampuan menghasilkan suatu komoditas yang lebih murah dari pesaing
(comparative advantage) tidak cukup untuk menjamin keunggulan daya saing
di pasar internasional. Dengan kata lain, sistem produksi yang berorientasi
pada biaya produksi serendah mungkin, belum menjamin keunggulan
bersaing. Dengan demikian, ukuran-ukuran seperti domestic resources cost
Agribisnis: Paradigma Baru Pembangunan Ekonomi Berbasis Pertanian
R3_bab_6_Edited2.indd 97
97
02/04/2010 17:18:00
Peningkatan Keunggulan Daya Saing Agribisnis Memasuki Era Persaingan
(DRC), net social profitability (NSP) dan social marginal productivity of capital
(SMPC), yang digunakan untuk mengukur keunggulan suatu komoditas,
belum menjamin keunggulan daya saing komoditas yang bersangkutan di
pasar internasional.
Kedua, kemampuan untuk menyediakan produk yang sesuai dengan
preferensi konsumen yang berkembang, sangat menentukan keunggulan
bersaing di pasar internasional. Negara-negara agribisnis, seperti Australia
dan Selandia Baru, mampu bersaing di pasar internasional disebabkan oleh
kemampuan negara tersebut dalam menjual apa yang diinginkan konsumen
bukan menjual apa yang dihasilkan (Ward, 1994).
Ketiga, keunggulan daya saing di tentukan oleh kemampuan
mendayagunakan keunggulan komparatif yang dimiliki mulai dari hulu (upstream industry) hingga ke hilir (down-stream industry), dalam menghasilkan
suatu produk yang sesuai dengan preferensi konsumen. Artinya, pendayagunaan
keunggulan sisi penawaran ditujukan untuk memenuhi preferensi konsumen.
Konsep mutakhir tentang keunggulan daya saing tersebut menunjukkan
betapa pentingnya pengetahuan yang komprehensif tentang perubahan
preferensi konsumen. Oleh karena itu, perlu ditelusuri terlebih dahulu
bagaimana perubahan preferensi konsumen internasional, sehingga kita
dapat mengarahkan segala upaya untuk meningkatkan daya saing agribisnis
nasional.
Perubahan Global Preferensi Konsumen Produk Agribisnis
Berbeda dengan masa sebelumnya, dewasa ini dan masa yang akan datang,
preferensi konsumen produk agribisnis yang kita hadapi sangat berbeda dan
sedang mengalami perubahan secara fundamental.
Gencarnya aksi kepedulian terhadap lingkungan hidup dan hak asasi
manusia yang dimotori oleh LSM di berbagai negara, dan meningkatnya
pendidikan dan kesadaran masyarakat internasional, telah mengubah
pemahaman tentang hakekat kesejahteraan manusia yang sebenarnya.
Menguatnya keyakinan masyarakat internasional terhadap ancaman
kemerosotan mutu lingkungan hidup global seperti: pemanasan global,
rusaknya lapisan ozon, perubahan iklim dunia dan terancamnya keanekaan
hayati, telah menyadarkan masyarakat internasional bahwa masalah
98
Agribisnis: Paradigma Baru Pembangunan Ekonomi Berbasis Pertanian
R3_bab_6_Edited2.indd 98
02/04/2010 17:18:00
Peningkatan Keunggulan Daya Saing Agribisnis Memasuki Era Persaingan
Box. 2.
PASAR GLOBAL DAN KEMAMPUAN PENETRASI PRODUK PERTANIAN
Banyak hal yang berhasil dicapai, tetapi banyak pula yang masih harus digapai. Yang
menggembirakan, dalam tahun 1994 terjadi kenaikan produksi dan membaiknya
harga komoditas perkebunan seperti sawit karet dan kopi. Keadaan ini,
menurut Bungaran Saragih, paling tidak masih dialami pada tahun 1995 ini, saat
mana perdagangan bebas menurut kesepakatan GATT mulai diterapkan terhitung 1
Januari 1995.
Di bidang produksi pangan, khususnya beras, masih diperlukan upaya yang lebih
gencar lagi untuk meningkatkan daya tahan swasembada yang telah berhasil diraih
sejak tahun 1984. Musim kering yang panjang, yang terjadi dalam tahun 1994,
telah mengakibatkan menurunnya produksi beras dan mengharuskan kita menarik
kembali beras yang dulu sempat dipinjamkan ke luar negeri. Namun Bungaran
Saragih mengingatkan agar kita tidak terpengaruh dengan kenyataan pahit tersebut,
apalagi sampai mengabaikan upaya lain, misalnya penggalakan diversifikasi menu.
Menurutnya, program diversifikasi pangan harus tetap dilakukan secara
konsisten. Berbagai kiat untuk membuat image yang baik dan mengubah gengsi
masyarakat masih bisa ditembus. Dari sisi produksi, ia setuju dengan pengembangan
rice-estate yang diharapkan dapat menyumbang produksi beras nasionai secara cepat.
Hanya saja, ia mengingatkan agar dalam pelaksanaanya melibatkan petani kecil,
sehingga tidak mengulang kegagalan Pertamina yang pernah merintis pengembangan
rice-estate di Palembang, Sumatera Selatan, yang tidak melibatkan petani.
Dalam era perdagangan bebas, menurut Bungaran Saragih, pemasaran produk pertanian
dan agroindustri diperkirakan tetap mampu melakukan penetrasi pasar, baik luar
negeri maupun domestik, bahkan akan semakin membaik, Optimisme itu dilandasi
kenyataan berhasilnya sejumlah produk pertanian dan agroindustri kita menembus
pasar, sekalipun tidak sedikit hantaman tarif maupun non tarif yang dihadapi. Ekspor
komoditas ini terus beranjak naik, katanya.
(Bersambung)
lingkungan hidup telah merupakan bagian dari konsep kesejahteraan manusia,
sehingga diperlukan aksi global untuk mengatasinya. Sementara itu, semakin
menguatnya kesadaran masyarakat internasional untuk menempatkan
manusia sebagai manusia (bukan sekedar sumber daya produksi), telah
meningkatkan kepedulian internasional terhadap perlindungan hak asasi
manusia (penghargaan sesama manusia).
Dengan demikian, aspek lingkungan hidup dan hak asasi manusia telah
menjadi bagian dari nilai-nilai kesejahteraan universal, dan bukan hanya lagi
Agribisnis: Paradigma Baru Pembangunan Ekonomi Berbasis Pertanian
R3_bab_6_Edited2.indd 99
99
02/04/2010 17:18:00
Peningkatan Keunggulan Daya Saing Agribisnis Memasuki Era Persaingan
urusan dalam negeri suatu negara tetapi juga telah menjadi urusan setiap
negara. Perubahan nilai-nilai kesejahteraan universal tersebut mempunyai
konsekuensi pada perubahan perilaku manusia sebagai konsumen dan
produsen dalam mengevaluasi suatu barang yang dikonsumsi maupun
diproduksi. Dengan kata lain, aspek lingkungan hidup dan hak asasi manusia
telah ikut mempengaruhi perilaku pasar.
Dari sudut permintaan, perubahan perilaku konsumen ditandai dengan
semakin banyak atribut suatu barang yang dievaluasi. Bila di masa lalu
konsumen hanya mengevaluasi suatu komoditas berdasarkan atribut utama
seperti jenis, kenyamanan dan harga, maka dewasa ini dan masa yang akan
datang, konsumen akan menuntut (demanding demand) atribut yang lebih
Box. 2. LANJUTAN
Berikut petikan wawancara WARTA PERTANIAN dengan beliau.
Menurut anda, kejadian penting apa saja dalam tahun 1994 yang patut kita
kedepankan dalam rangka mengawali langkah di tahun baru, dan agenda apa yang
diperkirakan akan meminta perhatian kita pada tahun 1995 ini?
Banyak perkembangan yang terjadi dalam tahun 1994 yang patut menjadi catatan kita.
Di antaranya adalah menurunnya produksi beras akibat kemarau panjang, membaiknya
produksi dan harga sejumlah komoditi perkebunan, ramainya perbincangan dalam
rangka menyongsong pernberlakuan GATT, dan bangkitnya kesadaran tentang
pentingnya agroindustri ditempatkan sebagai ujung tombak sistem agribisnis kita.
Musibah kekeringan mengakibatkan produksi beras menurun hingga sekitar 3,69
persen, dan kita terpaksa harus menarik kembali beras-beras yang dulu pernah
kita pinjamkan ke luar negeri, Ini menunjukkan bahwa daya tahan pertanian kita,
khususnya swasembada beras, masih memerlukan perhatian. Ini suatu realita yang
masih kita hadapi dan tidak seharusnya ditutup-tutupi.
Beberapa cara untuk menyiasati pengaruh musim itu, sebetulnya sudah banyak
dilakukan. Dulu, Pertamina melalui anak perusahaannya, PT. Patra Tani, pernah
merintis pengembangan rice-estate di daerah Palembang, Sumatra Selatan. Langkah
tersebut sebetulnya cukup realistis, karena bila program ini berhasil, dalam waktu yang
singkat saja dapat diharapkan tambahan sejumlah besar produksi beras nasional.
Hanya saja, program rice-estate itu ternyata menemui kegagalan, Menurut pengamatan
saya, hat itu terjadi karena pihak pengguna belum sepenuhnya menguasai teknologi
yang serba mekanis itu. Juga, alat-alat yang dipakai mungkin tidak sesuai dengan iklim
Indonesia. Disamping itu, rice-estate yang pernah dibangun itu sepenuhnya dikelola
oleh perusahaan besar, padahal dalam usaha padi, usaha skala kecil lebih unggul
daripada yang besar.
100
Agribisnis: Paradigma Baru Pembangunan Ekonomi Berbasis Pertanian
R3_bab_6_Edited2.indd 100
02/04/2010 17:18:00
Peningkatan Keunggulan Daya Saing Agribisnis Memasuki Era Persaingan
Sekarang, peluang untuk membangun kembali rice-estate masih dimungkinkan,
apalagi pasar beras luar negeri juga semakin terbuka dengan banyaknya negara yang
ikut meratifikasi GATT. Untuk tidak mengulangi kagagalan yang sudah pernah terjadi,
sebaiknya unit-unit usaha rice-estate dikuasai petani, sedangkan pengusaha besar
mengelola hamparannya.
(Bersambung)
lengkap dan rinci, seperti: aspek kualitas, aspek komposisi nutrisi, aspek
keselamatan mengonsumsi, aspek lingkungan hidup dan aspek kemanusiaan.
Preferensi konsumen produk agribisnis yang demikian tampaknya telah
dan sedang mengalami pelembagaan secara internasional. Berbagai fakta
menunjukkan bahwa komoditas agribisnis yang tidak memenuhi atribut
tersebut akan sulit menembus pasar internasional, bahkan mengalami
penolakan dari konsumen. Masih segar dalam ingatan kita bagaimana negaranegara Barat menuduh minyak goreng sawit mengandung kolesterol tinggi;
menuduh produk kayu tropis merusak lingkungan; dan bagaimana Jepang,
BOX. 2. LANJUTAN
Disamping itu, hendaknya kita tidak mengabaikan langkah-langkah untuk lebih
memasyarakatkan diversifikasi pangan. Komoditas pangan seperti kentang,
singkong, ubi jalar, sukun dan talas juga sangat potensial dikembangkan.
Masalahnya, dalam aspek konsumsi, bagaimana membuat image dan gengsi
masyarakat bisa berubah. Gaya promosi “indomie” yang mampu menyentuh rasa
budaya Indonesia agaknya patut ditiru. Demikian pula, gaya masyarakat Jepang
kini getol dengan “tempura” yang bahannya tidak lain adalah ubi jalar.
Hal yang menggembirakan pada tahun lalu, kemarau panjang itu dikompensasi
dengan membaiknya produksi dan harga sejumlah komoditas perkebunan
seperti sawit, karet dan kopi. Sehingga, akibat kemarau yang berkepanjangan itu
sebenarnya tidak terlalu memberikan efek atas pembangunan pertanian pada
tahun itu. Pada tahun 1995 ini, harga-harga hasil pertanian akan relatif bagus.
Dalam tahun 1994, kita juga banyak disibukkan dengan diskusi-diskusi
menghadapi pasca GATT, Semula masih menjadi tanda tanya apakah GATT benarbenar akan diberiakukan. Seperti kita ketahui, negara-negara besar, termasuk
Indonesia, akhirnya meratifikasi GATT, dan mulai diberlakukan bulan Januari
1995 ini. Nah, pembenahan segala hal yang berkaitan dengan GATT inilah yang
akan menyibukkan kita pada tahun ini.
Masih ada hubungannya dengan GATT, tahun 1994 juga diwarnai oleh banyaknya
diskusi dan bangkitnya kesadaran tentang pentingnya agromdustrr ditempatkan
sebagai ujung tombak dari sistem agribisnis kita. Dan, memang setahun yang lalu
Agribisnis: Paradigma Baru Pembangunan Ekonomi Berbasis Pertanian
R3_bab_6_Edited2.indd 101
101
02/04/2010 17:18:00
Peningkatan Keunggulan Daya Saing Agribisnis Memasuki Era Persaingan
kita melihat indikasi semakin menguat dan berkembangnya agroindustri kita. Ini
ditunjukkan dengan semakin meningkatnya ekspor hasil agroindustri, seperti
produk jadi karet, CPO dan lain-lain.
(Bersambung)
Australia dan Selandia Baru mengklaim udang ekspor Indonesia pada waktu
yang lalu, karena dinilai mengandung residu antibiotika yang melampaui
ambang batas toleransi standar pangan di negara tersebut. Di Amerika Serikat
(Nayaga, 1994), restoran siap saji (fast food) yang menyajikan menu berkadar
Iemak dan kolesterol tinggi, konsumennya menurun sampai 40 persen.
Pelembagaan preferensi konsumen yang menuntut atribut lengkap dan rinci
juga tampak dari upaya setiap negara untuk menyusun dan melegalisasi
standarisasi dan sertifikasi mutu pangan. Bahkan, secara internasional,
preferensi konsumen yang demikian telah memperoleh legalisasi dalam aturan
WTO yaitu pada aspek sanitary dan phytosanitary. Perubahan preferensi
konsumen produk agribisnis yang menuntut atribut lengkap dan rinci
BOX. 2. LANJUTAN
Apa implikasi permberlakuan GATT pada tahun ini dan upaya-upaya apa yang
mendesak untuk lebih meningkatkan daya saing produk pertanian?
Ada yang bilang dengan adanya perdagangan bebas maka agribisnis kita akan banyak
mengalami tantangan. Bahkan ada yang mengatakan, kita akan mengalami kesulitan
dalam bersaing. Kesadaran yang demikian itu adalah posftif, karena hal itu
mencerminkan keinginan kuat kita untuk mampu bersaing, baik di pasar luar
negeri maupun di dalam negeri.
Kalau melihat perekonomian kita secara keseluruhan, memang pertanian dan
agroindustri akan mengalami tantangan yang besar. Tetapi tantangan yang paling sulit,
menurut saya, bukan dalam sektor pertanian dan agroindustri, melainkan sektor di
luar pertanian dan agroindustri. Pertanian dan agroindustri adalah sektor perekonomian
yang selama ini sudah berpengalaman dalam perdagangan bebas. Bukan hanya
berpengalaman, tetapi bahkan terbukti berhasil survive dan tumbuh berkembang.
Sebagai bukti, selama ini produk ekspor kita, selain minyak, kebanyakan memang
dari produk pertanian dan agroindustri seperti karet, kelapa sawit, kayu, plywood,
rempah-rempah, ikan dan macam-macam produk pertanian serta agroindustri
lainnya. Produk-produk tersebut, sekalipun banyak mengalami kesulitan, baik
berupa hambatan tarif maupun non tarif, tetapi ekspornya tidak menurun
bahkan malah meningkat. Ini menunjukkan bahwa produk pertanian dan
agroindustri dapat melakukan penetrasi pasar bebas, Jadi, saya melihat, kalau semua
hambatan itu tidak ada, maka ekspor pertanian dan agroindustri akan lebih baik lagi.
102
Agribisnis: Paradigma Baru Pembangunan Ekonomi Berbasis Pertanian
R3_bab_6_Edited2.indd 102
02/04/2010 17:18:00
Peningkatan Keunggulan Daya Saing Agribisnis Memasuki Era Persaingan
Memang harus diakui, bukan berarti di sektor ini tanpa persoalan. Hanya saja persoalannya
tidak segawat dengan yang di luar sektor pertanian dan agroindustri. Ada tiga
hal yang perlu kita perbuat agar ekspor pertanian dan agroindustri lebih bagus lagi
dalam iklim perdagangan bebas sekarang ini. Pertama, berupaya secara lebih cepat
mengikuti ecolabelling. Kedua, terus berupaya meningkatkan mutu produk sesuai
dengan permintaan pasar, Ketiga, menjamin keteraturan suplai.
(Bersambung)
memiliki beberapa implikasi penting dalam membangun dan meningkatkan
daya saing agribisnis nasional. Pertama, atribut lengkap dan rinci suatu produk
yang dituntut konsumen harus tetap dieksplorasi dan dijadikan sebagai sistem
nilai dalam menghasilkan komoditas unggulan. Kedua, karena keragaan akhir
produk agribisnis merupakan hasil tahapan-tahapan proses produksi, maka
BOX. 2. LANJUTAN
Agar aplikasi teknologi, ecalabelling, perbaikan kualitas dan jaminan keteraturan
suplai ini terwujud, memang diperlukan kualitas dan kuantitas sumberdaya manusia
(SDM) yang memadai. Pengerahan SDM dan teknologi itu diarahkan pada pengelolaan
agroindustri kita secara lebih serius, sebab ujung tombak pertanian adalah pada
agroindustri. Apapun yang diperbuat di pertanian, kalau agroindustrinya tidak
diperbaiki, kita akan seperti jalan di tempat. Disamping itu, untuk jangka pendek,
deregulasi dan debirokratisasi harus terus dilakukan.
Dalam jangka panjang, kita juga perlu membentuk organisasi ekonomi petani,
sebab nanti dalam perdagangan bebas tidak ada larangan buat petani-petani kecil
untuk mengorganisir dirinya. Hanya dengan usaha yang kooperatif semacam itu,
petani akan bisa menangkap nilai tambah yang lebih besar, yakni dengan bergerak
dalam bidang agroindustri dan perdagangan. Sebab, dalam perdagangan bebas,
nilai tambah yang besar akan diambil oleh mereka yang bergerak dalam agroindustri
dan perdagangan. Supaya petani tidak selalu tercecer, ya, mau tidak mau harus
berorganisasi atau membentuk koperasi, tetapi bukan di-koperasi-kan atau diharuskan
berkoperasi.
Kesepakatan GATT/WTO (World Trade Organizations) yang mulai berlaku bulan
Januari 1995 ini mengharuskan diturunkannya hambatan tarif. Upaya apa yang
perlu dilakukan agar hal itu tidak berakibat buruk terhadap produk-produk lokal
yang dihasilkan oleh petani?
Memang tahun ini sudah masuk dalam era perdagangan bebas. Namun demikian, masih
dimungkinkan mengadakan hambatan tarif, tetapi harus yang reasonable
(layak), sedangkan hambatan non tarif dalam era ini sama sekali tak dibolehkan.
Kalau tarif yang kita kenakan tidak reasonable, maka negara lain akan mengenakan
Agribisnis: Paradigma Baru Pembangunan Ekonomi Berbasis Pertanian
R3_bab_6_Edited2.indd 103
103
02/04/2010 17:18:00
Peningkatan Keunggulan Daya Saing Agribisnis Memasuki Era Persaingan
hambatan tarif yang sama. Dan hambatan itu sedikit demi sedikit memang harus sudah
dikurangi hingga menjadi nol pada tahun 2020 nanti, yakni batas tahun berlakunya
perdagangan bebas bagi negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
Agar pengurangan tarif itu tak merugikan petani, harus dibuat skema reduksi tarif
mulai sekarang hingga tahun 2020 nanti. Untuk itu, kita harus mengetahui gambaran
tarif kita sekarang, nominal dan effective rate-nya. Strategi pengurangannya
adalah mengurangi terlebih dahulu tarif-tarif produk kita yang sudah kuat dan
tidak mengurangi tarif-tarif yang dapat berefek jelek pada petani dan pada
perekonomian kita pada umumnya. Untuk komoditi seperti beras, kedelai,
dan gula, misalnya, pengurangan tarif harus belakangan. Kemudian, karena dalam
perdagangan bebas biasanya kita harus take and give, maka untuk barang-barang
yang sudah kita turunkan tarifnya, secara gentleman kita umumkan dan yang
masih harus dipertahankan tetap ditahan.
(Bersambung)
sistem nilai tersebut harus menjadi suatu rantai nilai mengikuti tahapan
produksi dari hulu ke hilir. Setiap tahapan proses produksi merupakan suatu
mata rantai nilai (sesuai peranannya dalam sistem agribisnis) yang diturunkan
(derived) dari sistem nilai tersebut.
Implikasi yang demikian jelas membutuhkan suatu sistem agribisnis
yang terintegrasi (pemilikan, pengelolaan), koordinasi secara vertikal, mulai
dari hulu ke hilir. Dengan demikian, pola agribisnis yang terpisah-pisah jelas
tidak kondusif untuk membangun dan meningkatkan daya saing agribisnis.
Ironisnya, justru inilah kelemahan agribisnis nasional saat ini.
BOX. 2. LANJUTAN
Dalam kondisi yang demikian itu, produk-produk pertanian apa saja yang
memiliki prospek yang bagus pada tahun mendatang?
Hortikultura, sampai saat ini, masih merupakan komoditi yang memiliki prospek
yang cerah, khususnya untuk pasar dalam negeri. Apalagi, dalam hal mutu di
pasar dalam negeri belum terlalu ketat tuntutannya. Di pasar ekspor, nilai ekspor
hortikultura sampai saat ini masih kurang dari 10 juta dolar, Ini berarti peluang
untuk menaikkan nilai ekspornya masih sangat besar. Kita bahkan berharap,
komoditi hortikultura tropis di masa mendatang akan menjadi andalan ekspor
nasional, seperti mangga, manggis, salak, sawo, jeruk bali, sukun, talas, juga
sayur-sayuran tropis.
104
Agribisnis: Paradigma Baru Pembangunan Ekonomi Berbasis Pertanian
R3_bab_6_Edited2.indd 104
02/04/2010 17:18:00
Peningkatan Keunggulan Daya Saing Agribisnis Memasuki Era Persaingan
Di samping itu, semakin ke depan nanti pendapatan masyarakat kita akan
semakin meningkat. Kalau pendapatan meningkat maka konsumsi daging, telur,
ikan dan susu juga akan lebih banyak. Percepatan peningkatan konsumsi bahanbahan itu akan lebih cepat dibanding konsumsi kalori dari beras, misalnya.
Produk peternakan dan perikanan juga memiliki prospek pasar yang baik. Oleh
karena itu, peningkatan subsektor peternakan dan perikanan harus terus dipacu,
agar tidak dibanjiri produk impor.
Untuk melindungi petani kecil dan menghindari terjadinya pengusaha
besar menekan yang kecil, upaya apa yang harus dilakukan?
Hendaknya diusahakan agar petani kecil memiliki saham di industri hulu maupun
hilir Untuk subsektor peternakan, misalnya, peternak seharusnya memiliki
saham pada industri DOC, juga pada industri pakan. Pola kemitraan ini disebut
juga overlapping ownership dan sudah banyak diterapkan di negara maju. Di
Indonesia, pola kemitraan ini dimungkinkan bila industri hulu dan hilir tersebut
go public. Tentu saja biar lebih efektif, pemilikan saham oleh petani sebaiknya
melalui KUD. Ini sesuai dengan himbauan Presiden Soeharto agar perusahaan
memberikan sahamnya kepada koperasi. Disamping itu, industri hulu, juga hilir,
perlu terjun sendiri menjadi peternak, misalnya. Dengan demikian, tidak akan
ada kebijakan harga yang merugikan peternak, karena pihak industri juga terjun
sendiri beternak.
Sumber : Wawancara dengan Majalah WARTA PERTANIAN
No. 140/ Tahun XI/ 1995, halaman 14-15
Kelemahan Agribisnis Nasional
Paling tidak sampai saat ini, sistem agribisnis kita pada umumnya masih
menampilkan ciri struktur dispersal, integrasi horizontal, dan asimetris
(Simatupang, 1995). Struktur agribisnis yang dispersal dicirikan oleh tidak
adanya hubungan organisasi fungsional antarsubsistem agribisnis hulu dan
usahatani, antara usahatani dan agribisnis hilir dan dengan subsistem jasa
layanan pendukung.
Struktur agribisnis yang dispersal tersebut diperparah pula oleh asosiasi
pengusaha yang berintegrasi secara horizontal pada setiap tingkatan subsistem
agribisnis. Pada subsistem agribisnis hulu terdapat asosiasi horizontal seperti
GPPUI, GPMT, ASOHI dan lain-lain. Pada subsistem agribisnis usahatani
terdapat asosiasi petani seperti HKTI, HNSI, PPUI, PPKSI dan lain-lain.
Pada subsistem agribisnis hilir terdapat asosiasi horizontal seperti AEKI,
GAPKINDO, GAPKI, Asosisasi Eksportir Minyak Nabati Indonesia, GINSI
dan lain-lain. Sementara itu, pada subsistem jasa penunjang terdapat misalnya
Agribisnis: Paradigma Baru Pembangunan Ekonomi Berbasis Pertanian
R3_bab_6_Edited2.indd 105
105
02/04/2010 17:18:00
Peningkatan Keunggulan Daya Saing Agribisnis Memasuki Era Persaingan
asosiasi profesi seperti PERHEPI, PERAGI, ISPI, PDHI dan lain-lain. Pada
umumnya, asosiasi-asosiasi tersebut berdiri sendiri, bersifat egosentris, antar
asosiasi tidak memiliki visi bersama yang jelas dan relatif sangat jarang duduk
bersama, misalnya membicarakan langkah bersama untuk membangun daya
saing agribisnis.
Struktur agribisnis berikutnya yang juga merupakan kelemahan sistem
agribisnis secara keseluruhan adalah struktur yang asimetris. Ciri-ciri struktur
yang asimetris ini adalah adanya ketimpangan kekuatan antar subsistem
agribisnis. Pada subsistem agribisnis hilir umumnya sangat kuat, sementara
pada subsistem usahatani dan agribisnis hulu (pembibitan, perbenihan) yang
menentukan cetak biru atau genetic make-up dari atribut produk agribisnis
justru merupakan salah satu titik lemah dari sistem agribisnis kita.
Sistem agribisnis yang dibangun oleh struktur dispersal, integrasi
horizontal dan asimetris merupakan penyebab paling mendasar mengapa
agribisnis nasional lambat perkembangannya, pertumbuhan dan pembagian
pendapatan yang tidak merata dan rendahnya daya saing agribisnis nasional.
Struktur agribisnis dispersal dan asosiasi horizontal serta asimetris
menciptakan masalah transmisi (pass through problems) dimana informasi
pasar (preferensi pasar dan harga), IPTEK, modal investasi yang diperoleh
agribisnis hilir tidak sempurna (lambat) ditransmisikan/disalurkan ke
agribisnis usahatani maupun pada agribisnis hulu. Masalah transmisi ini
menyebabkan preferensi konsumen tidak sampai dengan cepat ke seluruh
tingkatan agribisnis, tidak ada konsistensi atribut produk yang dihasilkan
dan cenderung mendistorsi pasar. Kemudian, petani yang umumnya berada
pada agribisnis usahatani menderita tekanan eksploitasi monopsonistis dan
monopolistis.
Selain tidak ada insentif untuk melakukan inovasi akibat distorsi pasar,
struktur agribisnis yang demikian juga tidak kondusif mendorong terjadinya
inovasi karena ada masalah penikmat bebas. Pelaku agribisnis yang berada pada
agribisnis hulu (industri benih/bibit) tidak terangsang melakukan inovasi,
misalnya untuk menemukan varietas/strain unggul, karena menyadari bahwa
manfaat inovasi yang dilakukan akan juga dinikmati oleh pelaku agribisnis
hilir tanpa ikut menanggung biaya inovasi tersebut. Akibatnya, industri
bibit/benih menjadi kurang berkembang. Di lain pihak, pelaku agribisnis
hilir (pedagang) juga tidak bersedia mengeluarkan biaya untuk penelitian
preferensi konsumen (market inteligent), karena menyadari manfaatnya juga
dinikmati oleh pelaku agribisnis yang lebih hulu, tanpa ikut menanggung
biaya penelitian tersebut.
106
Agribisnis: Paradigma Baru Pembangunan Ekonomi Berbasis Pertanian
R3_bab_6_Edited2.indd 106
02/04/2010 17:18:01
Peningkatan Keunggulan Daya Saing Agribisnis Memasuki Era Persaingan
Hal di atas, secara bersama telah memperlemah daya saing agribisnis
nasional. Dengan demikian, keunggulan komparatif yang kita miliki
dalam agribisnis menjadi sia-sia, karena struktur agribisnis tidak mampu
memanfaatkannya menjadi keunggulan bersaing. Oleh karena itu, masalah
utama yang harus dipecahkan adalah bagaimana mengubah struktur agribisnis
tersebut sehingga dapat dijadikan landasan agribisnis yang berdaya saing.
Setelah itu, perlu dilanjutkan dengan meningkatkan keunggulan daya saing
agribisnis.
Membangun Struktur Agribisnis yang Berdaya Saing
Untuk memungkinkan agribisnis nasional memiliki keung-gulan bersaing
maka struktur agribisnis dispersal, integrasi horizontal dan asimetris perlu
diubah menjadi struktur agribisnis yang terintegrasi secara vertikal mulai dari
hulu ke hilir. Pada struktur agribisnis integrasi vertikal ini masing-masing
perusa-haan pada tingkatan aktivitas yang berbeda tidak berdiri sendiri,
tetapi memadukan diri menjadi suatu rantai vertikal pada satu aliran produk
(product line) tertentu, mulai dari hulu ke hilir, yang disebut sebagai Rantai
Produk Agribisnis Vertikal.
Pada Rantai Produk Agribisnis Vertikal ini, strukturnya disusun oleh
aktivitas primer yang berfungsi sebagai mata rantai pada satu aliran produk
tertentu. Sebagai contoh, Rantai Produk Agribisnis Vertikal berbasis minyak
sawit misalnya, strukturnya disusun oleh perusahaan pembibitan kelapa sawit
(sebagai mata rantai hulu), perusahaan budidaya kelapa sawit perusahaan
CPO, perusahaan produk sawit setengah jadi (oleo pangan, oleo kimia) dan
produk jadi (sabun, kosmetika dan lain-lain) yakni sebagai mata rantai antara,
dan pemasaran produk akhir (sebagai mata rantai hilir).
Dengan demikian, kita memiliki Rantai Produk Agribisnis Vertikal
berdasarkan aliran produk seperti Rantai Produk Agribisnis Vertikal berbasis
kelapa sawit karet, ayam broiler, udang, kayu dan lain-lain.
Setiap Rantai Produk Agribisnis Vertikal mempunyai sistem nilai
tertentu yang menjadi respons terhadap lingkungan ekonomi dan bisnis yang
dihadapi. Sistem nilai ini ditransmisikan ke dalam setiap mata Rantai Produk
Agribisnis Vertikal yang ada dan merupakan satu kesatuan rantai nilai yang
utuh. Dengan demikian, setiap mata rantai memiliki rantai nilai tertentu yang
secara konvergen mengarah pada fokus daya saing yang diobsesikan secara
dinamis.
Agribisnis: Paradigma Baru Pembangunan Ekonomi Berbasis Pertanian
R3_bab_6_Edited2.indd 107
107
02/04/2010 17:18:01
Peningkatan Keunggulan Daya Saing Agribisnis Memasuki Era Persaingan
Secara operasional Rantai Produk Agribisnis Vertikal dapat berbentuk
perusahaan tunggal, holding company, bentuk koalisi (aliansi) atau bentuk
koordinasi vertikal. Bentuk perusahaan tunggal, seluruh mata rantai dari Rantai
Produk Agribisnis Vertikal dimiliki dan dilaksanakan oleh satu perusahaan
yang bersaing dengan Rantai Produk Agribisnis Vertikal perusahaan lain
pada aliran produk yang sama. Bentuk holding company, mata rantai yang
ada dilaksanakan oleh beberapa perusahaan yang tergolong dalam satu induk
usaha dan bersaing dengan holding company lainnya pada aliran produk yang
sama. Kemudian, bentuk koalisi, suatu mata rantai dapat merupakan bentuk
joint venture dari beberapa perusahaan yang ada pada satu Rantai Produk
Agribisnis Vertikal. Sedangkan bentuk koordinasi vertikal, setiap mata rantai
dilakukan oleh perusahaan-perusahaan yang pemilik dan manajemennya
terpisah. Pola koalisi dan kondisi tersebut harus terkoordinasi dari hulu
hingga ke hilir secara harmonis (satu sistem dalam total quality management,
bench marking, just in time system, business process reengineering), yang bersaing
dengan bentuk koalisi dan koordinasi vertikal yang lain.
Untuk mengakomodasikan kepentingan ekonomi petani, yang selama ini
praktis hanya pada agribisnis usahatani, dapat memilih bentuk koalisi atau
bentuk koordinasi vertikal, Bentuk koalisi vertikal petani melalui koperasi
dapat bekerjasama dalam bentuk penyertaan modal (usaha patungan) dengan
perusahaan swasta atau BUMN yang bergerak pada agribisnis hulu dan hilir.
Sedangkan, pada bentuk koordinasi vertikal, petani melalui koperasi dapat
membangun perusahaan tunggal pada beberapa mata rantai pada agribisnis
hulu atau hilir, sementara mata rantai lainnya diisi oleh perusahaan swasta
atau BUMN.
Dengan Rantai Produk Agribisnis Vertikal yang demikian, maka asosiasi
pengusaha dan profesi yang selama ini bersifat horizontal dan dispersal
hendaknya memetakan diri ke dalam suatu asosiasi baru yang disebut sebagai
Asosiasi Komoditas Agribisnis Vertikal. Dalam Asosiasi Komoditas Agribisnis
Vertikal ini, pengusaha dan profesi bergabung untuk mengembangkan daya
saing suatu komoditas tertentu.
Sebagai contoh, ahli genetika dan pemuliaan tanaman kelapa sawit yang
selama ini berada pada asosiasi profesi PERAGI, ahli ekonomi kelapa sawit
yang selama ini bergabung pada PERHEPI, dan pengusaha kelapa sawit
yang selama ini bergabung pada GAPKI, secara sadar perlu memadukan
diri menjadi Asosiasi Komoditas Agribisnis Vertikal berbasis kelapa sawit
Dengan demikian, pada suatu Asosiasi Komoditas Agribisnis Vertikal kelapa
108
Agribisnis: Paradigma Baru Pembangunan Ekonomi Berbasis Pertanian
R3_bab_6_Edited2.indd 108
02/04/2010 17:18:01
Peningkatan Keunggulan Daya Saing Agribisnis Memasuki Era Persaingan
sawit ada ahli genetika dan pemuliaan kelapa sawit yang mendukung mata
rantai pembibitan kelapa sawit ada ahli manajemen budi daya kelapa sawit
yang mendukung mata rantai budidaya kelapa sawit, ada ahli teknologi
pengolahan CPO dan produk olahan lanjutan yang mendukung mata rantai
ini dan ada ahli ekonomi dan pemasaran kelapa sawit yang mendukung mata
rantai pemasaran, yang secara keseluruhan merupakan satu kesatuan visi
dan tindakan. Demikian juga pada komoditas lainnya, sehingga ada banyak
Asosiasi Komoditas Agribisnis Vertikal berdasarkan aliran produk masingmasing.
Struktur agribisnis baru tersebut dimana suatu Rantai Produk Agribisnis
Vertikal didukung oleh Asosiasi Komoditas Agribisnis Vertikal, akan
memampukan agribisnis nasional mencapai keunggulan daya saing di pasar
internasional.
Meningkatkan Daya Saing Agribisnis Nasional
Terdapat alasan yang kuat mengapa daya saing agribisnis harus tetap
ditingkatkan secara terus menerus. Diantaranya adalah : pertama, konsumen
produk agribisnis yang kita hadapi adalah manusia yang selalu ingin melampaui
status masa kini (status present) sehingga selalu menuntut lebih (demanding
demand) dan tidak pernah puas (monotonic). Agribisnis yang tidak mampu
memenuhi preserensi konsumen yang berkembang akan kehilangan daya
saingnya.
Kedua, keunggulan komparatif yang menjadi landasan keunggulan daya
saing, baik teknologi maupun factor endowment dapat saja hilang. Keunggulan
teknologi dapat hilang melalui fenomena product life cycle dan keunggulan
factor endowment dapat juga hilang melalui fenomena globalisasi produksi
dan globalisasi perdagangan. Oleh karena itu, upaya meningkatkan daya saing
agribisnis harus menjadi visi agribisnis yang tidak boleh berhenti.
Ide dasar dari peningkatan daya saing adalah visi yang selalu berusaha
tampil beda baik di mata pesaing maupun di mata konsumen. “Tampil beda”
di mata konsumen berarti mampu menjual atribut produk yang merupakan
nilai tambah (added value) dari atribut produk sebelumnya dan dari atribut
produk yang ditawarkan pesaing secara kompetitif. Nilai tambah tersebut
merupakan nilai-nilai yang lebih preferable di mata konsumen, baik nilai yang
secara aktual dituntut konsumen maupun nilai-nilai yang belum terbayangkan
sebelumnya oleh konsumen.
Agribisnis: Paradigma Baru Pembangunan Ekonomi Berbasis Pertanian
R3_bab_6_Edited2.indd 109
109
02/04/2010 17:18:01
Peningkatan Keunggulan Daya Saing Agribisnis Memasuki Era Persaingan
Memampukan suatu agribisnis yang “tampil beda” terletak pada sikap
pelaku agribisnis yang “anti kemapanan”, dalam arti tidak melihat sesuatu
yang terjadi sebagai sesuatu yang sifatnya tetap; lebih puas pada apa yang
belum diperoleh bukan pada apa yang telah diperoleh; lebih puas pada caracara (metode) yang belum dilakukan bukan pada cara (metode) yang telah
dilakukan. Dengan demikian, suatu agribisnis akan selalu tampil dengan
terobosan-terobosan (breakthrough) baru.
Agar mampu tampil dengan suatu terobosan, pelaku agribisnis harus
mampu mendefinsikan pada situasi mana keseluruhan sistem berada (known
where you are), marnpu mengenali apa kelemahan, kelebihan dan kesempatan
perusahaan dalam lingkungan ekonomi dan bisnis yang ada (lighting the way),
mampu mendefinisikan kinerja yang bagaimana yang harus dicapai (known
where you are going) dan kemudian menggerakkan seluruh sistem untuk
mencapai kinerja yang diinginkan secepat mungkin.
Suatu terobosan merupakan resultan dari seluruh mata rantai agribisnis
yang ada. Oleh karena. itu, mendefinisikan ide terobosan pada setiap mata
rantai agribisnis akan menentukan keberhasilan suatu terobosan, Sebagai
contoh, bila preferensi konsumen minyak sawit menuntut minyak sawit
berkolestrol rendah, kandungan vitamin E tinggi dan bebas residu pestisida,
dijadikan ide terobosan (sistem nilai) agribisnis minyak sawit maka apa yang
menjadi nilai pada setiap mata rantai agribisnis tersebut perlu didefinisikan.
Pada mata rantai pembibitan tanaman kelapa sawit misalnya, nilai yang
mendukung ide terobosan itu adalah menciptakan tanaman kelapa sawit yang
memiliki genetic make-up kandungan kolestrol rendah, kadar vitamin E tinggi
dan tanaman berdaya tahan tinggi terhadap penyakit (misalnya melalui aplikasi
teknologi transgenik). Kemudian, nilai pada mata rantai budi daya adalah
seminimum mungkin menggunakan pestisida. Selanjutnya, nilai pada mata
rantai pengolahan CPO dan industri oleo pangan lanjutan adalah bagaimana
memperbaiki teknologi pengolahan sehingga dapat mengeliminasi kolesterol
serendah mungkin dan menahan vitamin E semaksimum mungkin. Akhirnya,
nilai pada mata rantai pemasaran adalah bagaimana mengkomunikasikan
atribut yang demikian pada konsumen, bagaimana strategi pemasaran, apakah
kompetisi langsung yang secara frontal berhadapan dengan minyak goreng
sawit pesaing, atau strategi kompetisi inti yang mencari segmen pasar yang
konsumennya memang menuntut atribut yang dihasilkan atau strategi aliansi
(koalisi) pemasaran.
Kesimpulan
110
Agribisnis: Paradigma Baru Pembangunan Ekonomi Berbasis Pertanian
R3_bab_6_Edited2.indd 110
02/04/2010 17:18:01
Peningkatan Keunggulan Daya Saing Agribisnis Memasuki Era Persaingan
Peluang produk agribisnis cukup terbuka pada era perdagangan bebas.
Oleh karena itu, persaingan ketat antar produsen produk agribisnis akan
terjadi pada pasar internasional yang semakin terbuka tersebut.
Menghadapi persaingan yang ketat, keberhasilan akan ditentukan oleh
keunggulan daya saing produk agribisnis yang dihasilkan. Keunggulan daya
saing tidak hanya ditentukan oleh keunggulan sisi penawaran, akan tetapi
lebih banyak ditentukan oleh sisi permintaan, dalam arti kemampuan
memasok produk yang sesuai dengan preferensi konsumen yang berkembang
sangat menentukan daya saing produk agribisnis di pasar internasional.
Mencermati kinerja agribisnis nasional saat ini, yang ternyata masih
memiliki struktur dispersal, integrasi horizontal dan asimetris, tidak kondusif
bagi perkembangan daya saing. Oleh karena itu, upaya mendasar yang harus
dilakukan adalah mengubah struktur agribisnis yang ada menjadi suatu Rantai
Produk Agribisnis Vertikal, yang didukung Asosiasi Komoditas Agribisnis
Vertikal. Struktur agribinis yang baru ini dapat menjadi landasan agribisnis
nasional yang berdaya saing. Mengubah struktur tersebut harus berjalan
paralel dengan upaya meningkatkan daya saingnya.
Ide pokok dalam mempertahankan dan meningkatkan keunggulan
daya saing adalah: pertama, mengeksplorasi preferensi konsumen dan
menjadikannya sebagai sistem nilai (ide terobosan) sistem agribisnis. Dan
kedua, keberanian “tampil beda”, baik di mata konsumen maupun di mata
pesaing. Sikap “anti kemapanan”, dalam arti puas terhadap apa yang belum
dicapai, bukan pada apa yang telah dicapai, merupakan “roh “ sistem agribisnis
untuk selalu tampil dengan terobosan-terobosan baru.
Agribisnis: Paradigma Baru Pembangunan Ekonomi Berbasis Pertanian
R3_bab_6_Edited2.indd 111
111
02/04/2010 17:18:01
R3_bab_6_Edited2.indd 112
02/04/2010 17:18:01
Download