6 Peningkatan Keunggulan Daya Saing Agribisnis Memasuki Era Persaingan Pendahuluan Regim protektif perdagangan internasional akan berakhir dengan diratifikasinya WTO pada tanggal 1 januari 1995 yang lalu. Kebijaksanaan proteksi, seperti tarif, subsidi, kuota dan bentuk bentuk hambatan lain, yang di masa lalu membatasi perdagangan internasional, akan dihapuskan (dikurangi) secara bertahap menuju perdagangan bebas (free trade). Memang banyak pihak yang pesimis dengan terwujudnya perdagangan bebas, namun kita optimis bahwa di masa yang akan datang setiap negara mempunyai akses yang lebih besar dalam perdagangan internasional dari masa sebelumnya. Penghapusan kebijaksanaan proteksi secara internasional akan membuka peluang pasar yang lebih besar bagi produk-produk agribisnis, Penurunan tarif impor dan subsidi domestik di negara-negara pengimpor produk agribisnis, akan membuka peluang pasar yang semakin besar bagi negara-negara pengekspor. Demikian juga penurunan subsidi ekspor (politik dumping) pada negara-negara pengekspor produk agribisnis, juga akan membuka peluang pasar bagi negara pengekspor lainnya dan akan memberikan kesempatan munculnya pemain batu (new entran) di pasar produk-produk agribisnis internasional. Indonesia, sebagai negara agribisnis, memiliki kesempatan untuk memanfaatkan peluang-peluang pasar produk agribisnis internasional. Dari sisi penawaran (supply side), secara relatif Indonesia memiliki peluang yang besar untuk menjadi negara agribisnis terbesar di masa yang akan datang. Terdapat paling tidak tiga argumen pokok yang melandasi pernyataan ini. Pertama, dewasa ini agribisnis nasional masih berada pada fase yang sedang bertumbuh dan masih akan bertumbuh di masa yang akan datang. Kedua, Indonesia memiliki sumber daya alam (lahan yang luas dan subur, sinar matahari, plasma nutfah yang beragam) yang merupakan sumber daya dasar pengembangan agribisnis. Ketiga, beberapa negara pesaing Indonesia seperti Amerika Serikat, Kanada, Malaysia dan Thailand yang secara tradisional menguasai agribisnis internasional, di masa yang akan datang akan kesulitan untuk mengembangkan agribisnis, terutama karena kesulitan lahan. Dengan demikian, secara relatif Indonesia dapat menjadi produsen terbesar beberapa komoditas agribisnis terpenting. R3_bab_6_Edited2.indd 95 02/04/2010 17:18:00 Peningkatan Keunggulan Daya Saing Agribisnis Memasuki Era Persaingan Namun demikian, keunggulan Indonesia dari sisi penawaran belum menjamin keberhasilan dalam bisnis internasional. Dengan liberalisasi perdagangan internasional, persaingan yang sangat ketat akan terjadi pada pasar produk agribisnis internasional. Dalam persaingan yang ketat, keunggulan daya saing (competitive advantage) menjadi faktor yang menentukan dalam memenangkan persaingan. Oleh sebab itu, membangun dan meningkatkan keunggulan daya saing agribisnis nasional sangat krusial mulai saat ini menuju masa depan. Perkembangan Konsep Keunggulan Daya Saing Fenomena mengapa suatu negara dapat memenangkan persaingan sedangkan negara lain tidak merupakan pertanyaan yang terus mengemuka sepanjang sejarah perdagangan internasional. Banyak pendapat yang diajukan oleh pakar ekonomi dan bisnis internasional tetapi tidak satupun yang mampu menjelaskan kemampuan daya saing suatu negara secara komprehensif. Ada pendapat yang menyatakan bahwa daya saing suatu negara tergantung pada pemilikan sumber daya alam yang berlimpah (factor endowment). Namun pada kenyataannya, negara yang memiliki sumber daya yang melimpah seperti Indonesia, paling tidak sampai saat ini, ternyata tidak mampu bersaing dalam perdagangan internasional. Sebaliknya, negara-negara yang miskin sumber daya alam seperti Jepang, Korea, Jerman, Swiss, dan Italia justru menunjukkan keberhasilan bersaing di pasar internasional. Bahkan secara keseluruhan, negara-negara yang miskin sumber daya alam mampu menikmati pendapatan yang jauh lebih tinggi daripada negara-negara yang kaya sumber daya alamnya. Pendapat berikutnya adalah daya saing suatu negara ditentukan oleh melimpahnya tenaga kerja dan upah yang murah. Pendapat inipun tampaknya belum dapat menjelaskan daya saing suatu negara karena fakta menunjukkan bahwa, negara-negara yang memiliki tenaga kerja yang melimpah dan upah tenaga kerja yang relatif murah seperti Indonesia justru tidak menunjukkan kemampuannya bersaing di pasar internasional. Sebaliknya, negara yang upah tenaga kerjanya mahal dan cenderung kekurangan tenaga kerja (dalam jangka panjang), seperti negara-negara MEE, justru menunjukkan kemampuannya bersaing di pasar internasional, Selain itu, sejarah perekonomian Jepang yang pada awal pembangunannya memang dibangun dengan upah tenaga kerja murah dan tenaga kerja melimpah, justru mampu bersaing setelah melakukan otomatisasi. Demikian juga Malaysia, yang pada dekade terakhir mengalami kekurangan tenaga kerja dan upah kerja yang relatif mahal dibandingkan 96 Agribisnis: Paradigma Baru Pembangunan Ekonomi Berbasis Pertanian R3_bab_6_Edited2.indd 96 02/04/2010 17:18:00 Peningkatan Keunggulan Daya Saing Agribisnis Memasuki Era Persaingan dengan Indonesia, justru lebih mampu bersaing pada industri minyak sawit daripada Indonesia yang notabene melimpah tenaga kerja dan sumber daya alam. Pendapat lain menyatakan bahwa daya saing suatu negara merupakan suatu fenomena makro ekonomi yang dipengaruhi oleh kebijaksanaan moneter (nilai tukar dan suku bunga) dan kebijakan fiskal (anggaran belanja). Beberapa fakta memang menunjukkan bahwa negara yang mengalami depresiasi mata uang dan kebijaksanaan anggaran surplus, memang berhasil meningkatkan ekspor. Akan tetapi, beberapa negara yang mengalami defisit anggaran seperti Jepang, Korea, Italia, bahkan Amerika Serikat, justru menunjukkan kemampuannya bersaing di pasar internasional. Negara yang mengalami apresiasi mata uang seperti Jerman dan Swiss tetap mampu bersaing di pasar internasional. Bahkan Italia dan Korea yang justru menghadapi suku bunga tinggi juga berhasil bersaing di pasar internasional. Uraian di atas menunjukkan bahwa keunggulan dari sisi penawaran saja belum cukup untuk menjamin daya saing suatu negara di pasar internasional. Apalagi dewasa ini dan masa yang akan datang, dimana dengan semakin kuatnya globalisasi perdagangan, globalisasi produksi dan globalisasi keuangan, suatu negara dapat memanfaatkan keunggulan dari sisi penawaran negara lain sehingga keunggulan sisi penawaran suatu negara semakin kabur. Konsep mutakhir keunggulan daya saing adaiah kemampuan suatu negara/perusahaan untuk mempertahankan dan meningkatkan pangsa pasar secara menguntungkan dan berkelanjutan melalui pemanfaatan keunggulan komparatifnya (Porter 1985; Martin et al. 1991; Tweeten 1992). Pengertian yang lebih operasional dari keunggulan daya saing adalah kemampuan untuk memasok barang dan jasa pada waktu, tempat dan bentuk yang di inginkan konsumen, baik di pasar domestik maupun di pasar internasional, pada harga yang sama atau lebih baik dari yang dipasarkan pesaing, dengan memperoleh keuntungan paling tidak sebesar biaya oportunitas (opportunity cost) sumber daya yang digunakan (Cook and Bredahl 1991). Dari pengertian keunggulan daya saing tersebut, terdapat tiga hal mendasar yang perlu diperhatikan dalam meningkatkan daya saing. Pertama, kemampuan menghasilkan suatu komoditas yang lebih murah dari pesaing (comparative advantage) tidak cukup untuk menjamin keunggulan daya saing di pasar internasional. Dengan kata lain, sistem produksi yang berorientasi pada biaya produksi serendah mungkin, belum menjamin keunggulan bersaing. Dengan demikian, ukuran-ukuran seperti domestic resources cost Agribisnis: Paradigma Baru Pembangunan Ekonomi Berbasis Pertanian R3_bab_6_Edited2.indd 97 97 02/04/2010 17:18:00 Peningkatan Keunggulan Daya Saing Agribisnis Memasuki Era Persaingan (DRC), net social profitability (NSP) dan social marginal productivity of capital (SMPC), yang digunakan untuk mengukur keunggulan suatu komoditas, belum menjamin keunggulan daya saing komoditas yang bersangkutan di pasar internasional. Kedua, kemampuan untuk menyediakan produk yang sesuai dengan preferensi konsumen yang berkembang, sangat menentukan keunggulan bersaing di pasar internasional. Negara-negara agribisnis, seperti Australia dan Selandia Baru, mampu bersaing di pasar internasional disebabkan oleh kemampuan negara tersebut dalam menjual apa yang diinginkan konsumen bukan menjual apa yang dihasilkan (Ward, 1994). Ketiga, keunggulan daya saing di tentukan oleh kemampuan mendayagunakan keunggulan komparatif yang dimiliki mulai dari hulu (upstream industry) hingga ke hilir (down-stream industry), dalam menghasilkan suatu produk yang sesuai dengan preferensi konsumen. Artinya, pendayagunaan keunggulan sisi penawaran ditujukan untuk memenuhi preferensi konsumen. Konsep mutakhir tentang keunggulan daya saing tersebut menunjukkan betapa pentingnya pengetahuan yang komprehensif tentang perubahan preferensi konsumen. Oleh karena itu, perlu ditelusuri terlebih dahulu bagaimana perubahan preferensi konsumen internasional, sehingga kita dapat mengarahkan segala upaya untuk meningkatkan daya saing agribisnis nasional. Perubahan Global Preferensi Konsumen Produk Agribisnis Berbeda dengan masa sebelumnya, dewasa ini dan masa yang akan datang, preferensi konsumen produk agribisnis yang kita hadapi sangat berbeda dan sedang mengalami perubahan secara fundamental. Gencarnya aksi kepedulian terhadap lingkungan hidup dan hak asasi manusia yang dimotori oleh LSM di berbagai negara, dan meningkatnya pendidikan dan kesadaran masyarakat internasional, telah mengubah pemahaman tentang hakekat kesejahteraan manusia yang sebenarnya. Menguatnya keyakinan masyarakat internasional terhadap ancaman kemerosotan mutu lingkungan hidup global seperti: pemanasan global, rusaknya lapisan ozon, perubahan iklim dunia dan terancamnya keanekaan hayati, telah menyadarkan masyarakat internasional bahwa masalah 98 Agribisnis: Paradigma Baru Pembangunan Ekonomi Berbasis Pertanian R3_bab_6_Edited2.indd 98 02/04/2010 17:18:00 Peningkatan Keunggulan Daya Saing Agribisnis Memasuki Era Persaingan Box. 2. PASAR GLOBAL DAN KEMAMPUAN PENETRASI PRODUK PERTANIAN Banyak hal yang berhasil dicapai, tetapi banyak pula yang masih harus digapai. Yang menggembirakan, dalam tahun 1994 terjadi kenaikan produksi dan membaiknya harga komoditas perkebunan seperti sawit karet dan kopi. Keadaan ini, menurut Bungaran Saragih, paling tidak masih dialami pada tahun 1995 ini, saat mana perdagangan bebas menurut kesepakatan GATT mulai diterapkan terhitung 1 Januari 1995. Di bidang produksi pangan, khususnya beras, masih diperlukan upaya yang lebih gencar lagi untuk meningkatkan daya tahan swasembada yang telah berhasil diraih sejak tahun 1984. Musim kering yang panjang, yang terjadi dalam tahun 1994, telah mengakibatkan menurunnya produksi beras dan mengharuskan kita menarik kembali beras yang dulu sempat dipinjamkan ke luar negeri. Namun Bungaran Saragih mengingatkan agar kita tidak terpengaruh dengan kenyataan pahit tersebut, apalagi sampai mengabaikan upaya lain, misalnya penggalakan diversifikasi menu. Menurutnya, program diversifikasi pangan harus tetap dilakukan secara konsisten. Berbagai kiat untuk membuat image yang baik dan mengubah gengsi masyarakat masih bisa ditembus. Dari sisi produksi, ia setuju dengan pengembangan rice-estate yang diharapkan dapat menyumbang produksi beras nasionai secara cepat. Hanya saja, ia mengingatkan agar dalam pelaksanaanya melibatkan petani kecil, sehingga tidak mengulang kegagalan Pertamina yang pernah merintis pengembangan rice-estate di Palembang, Sumatera Selatan, yang tidak melibatkan petani. Dalam era perdagangan bebas, menurut Bungaran Saragih, pemasaran produk pertanian dan agroindustri diperkirakan tetap mampu melakukan penetrasi pasar, baik luar negeri maupun domestik, bahkan akan semakin membaik, Optimisme itu dilandasi kenyataan berhasilnya sejumlah produk pertanian dan agroindustri kita menembus pasar, sekalipun tidak sedikit hantaman tarif maupun non tarif yang dihadapi. Ekspor komoditas ini terus beranjak naik, katanya. (Bersambung) lingkungan hidup telah merupakan bagian dari konsep kesejahteraan manusia, sehingga diperlukan aksi global untuk mengatasinya. Sementara itu, semakin menguatnya kesadaran masyarakat internasional untuk menempatkan manusia sebagai manusia (bukan sekedar sumber daya produksi), telah meningkatkan kepedulian internasional terhadap perlindungan hak asasi manusia (penghargaan sesama manusia). Dengan demikian, aspek lingkungan hidup dan hak asasi manusia telah menjadi bagian dari nilai-nilai kesejahteraan universal, dan bukan hanya lagi Agribisnis: Paradigma Baru Pembangunan Ekonomi Berbasis Pertanian R3_bab_6_Edited2.indd 99 99 02/04/2010 17:18:00 Peningkatan Keunggulan Daya Saing Agribisnis Memasuki Era Persaingan urusan dalam negeri suatu negara tetapi juga telah menjadi urusan setiap negara. Perubahan nilai-nilai kesejahteraan universal tersebut mempunyai konsekuensi pada perubahan perilaku manusia sebagai konsumen dan produsen dalam mengevaluasi suatu barang yang dikonsumsi maupun diproduksi. Dengan kata lain, aspek lingkungan hidup dan hak asasi manusia telah ikut mempengaruhi perilaku pasar. Dari sudut permintaan, perubahan perilaku konsumen ditandai dengan semakin banyak atribut suatu barang yang dievaluasi. Bila di masa lalu konsumen hanya mengevaluasi suatu komoditas berdasarkan atribut utama seperti jenis, kenyamanan dan harga, maka dewasa ini dan masa yang akan datang, konsumen akan menuntut (demanding demand) atribut yang lebih Box. 2. LANJUTAN Berikut petikan wawancara WARTA PERTANIAN dengan beliau. Menurut anda, kejadian penting apa saja dalam tahun 1994 yang patut kita kedepankan dalam rangka mengawali langkah di tahun baru, dan agenda apa yang diperkirakan akan meminta perhatian kita pada tahun 1995 ini? Banyak perkembangan yang terjadi dalam tahun 1994 yang patut menjadi catatan kita. Di antaranya adalah menurunnya produksi beras akibat kemarau panjang, membaiknya produksi dan harga sejumlah komoditi perkebunan, ramainya perbincangan dalam rangka menyongsong pernberlakuan GATT, dan bangkitnya kesadaran tentang pentingnya agroindustri ditempatkan sebagai ujung tombak sistem agribisnis kita. Musibah kekeringan mengakibatkan produksi beras menurun hingga sekitar 3,69 persen, dan kita terpaksa harus menarik kembali beras-beras yang dulu pernah kita pinjamkan ke luar negeri, Ini menunjukkan bahwa daya tahan pertanian kita, khususnya swasembada beras, masih memerlukan perhatian. Ini suatu realita yang masih kita hadapi dan tidak seharusnya ditutup-tutupi. Beberapa cara untuk menyiasati pengaruh musim itu, sebetulnya sudah banyak dilakukan. Dulu, Pertamina melalui anak perusahaannya, PT. Patra Tani, pernah merintis pengembangan rice-estate di daerah Palembang, Sumatra Selatan. Langkah tersebut sebetulnya cukup realistis, karena bila program ini berhasil, dalam waktu yang singkat saja dapat diharapkan tambahan sejumlah besar produksi beras nasional. Hanya saja, program rice-estate itu ternyata menemui kegagalan, Menurut pengamatan saya, hat itu terjadi karena pihak pengguna belum sepenuhnya menguasai teknologi yang serba mekanis itu. Juga, alat-alat yang dipakai mungkin tidak sesuai dengan iklim Indonesia. Disamping itu, rice-estate yang pernah dibangun itu sepenuhnya dikelola oleh perusahaan besar, padahal dalam usaha padi, usaha skala kecil lebih unggul daripada yang besar. 100 Agribisnis: Paradigma Baru Pembangunan Ekonomi Berbasis Pertanian R3_bab_6_Edited2.indd 100 02/04/2010 17:18:00 Peningkatan Keunggulan Daya Saing Agribisnis Memasuki Era Persaingan Sekarang, peluang untuk membangun kembali rice-estate masih dimungkinkan, apalagi pasar beras luar negeri juga semakin terbuka dengan banyaknya negara yang ikut meratifikasi GATT. Untuk tidak mengulangi kagagalan yang sudah pernah terjadi, sebaiknya unit-unit usaha rice-estate dikuasai petani, sedangkan pengusaha besar mengelola hamparannya. (Bersambung) lengkap dan rinci, seperti: aspek kualitas, aspek komposisi nutrisi, aspek keselamatan mengonsumsi, aspek lingkungan hidup dan aspek kemanusiaan. Preferensi konsumen produk agribisnis yang demikian tampaknya telah dan sedang mengalami pelembagaan secara internasional. Berbagai fakta menunjukkan bahwa komoditas agribisnis yang tidak memenuhi atribut tersebut akan sulit menembus pasar internasional, bahkan mengalami penolakan dari konsumen. Masih segar dalam ingatan kita bagaimana negaranegara Barat menuduh minyak goreng sawit mengandung kolesterol tinggi; menuduh produk kayu tropis merusak lingkungan; dan bagaimana Jepang, BOX. 2. LANJUTAN Disamping itu, hendaknya kita tidak mengabaikan langkah-langkah untuk lebih memasyarakatkan diversifikasi pangan. Komoditas pangan seperti kentang, singkong, ubi jalar, sukun dan talas juga sangat potensial dikembangkan. Masalahnya, dalam aspek konsumsi, bagaimana membuat image dan gengsi masyarakat bisa berubah. Gaya promosi “indomie” yang mampu menyentuh rasa budaya Indonesia agaknya patut ditiru. Demikian pula, gaya masyarakat Jepang kini getol dengan “tempura” yang bahannya tidak lain adalah ubi jalar. Hal yang menggembirakan pada tahun lalu, kemarau panjang itu dikompensasi dengan membaiknya produksi dan harga sejumlah komoditas perkebunan seperti sawit, karet dan kopi. Sehingga, akibat kemarau yang berkepanjangan itu sebenarnya tidak terlalu memberikan efek atas pembangunan pertanian pada tahun itu. Pada tahun 1995 ini, harga-harga hasil pertanian akan relatif bagus. Dalam tahun 1994, kita juga banyak disibukkan dengan diskusi-diskusi menghadapi pasca GATT, Semula masih menjadi tanda tanya apakah GATT benarbenar akan diberiakukan. Seperti kita ketahui, negara-negara besar, termasuk Indonesia, akhirnya meratifikasi GATT, dan mulai diberlakukan bulan Januari 1995 ini. Nah, pembenahan segala hal yang berkaitan dengan GATT inilah yang akan menyibukkan kita pada tahun ini. Masih ada hubungannya dengan GATT, tahun 1994 juga diwarnai oleh banyaknya diskusi dan bangkitnya kesadaran tentang pentingnya agromdustrr ditempatkan sebagai ujung tombak dari sistem agribisnis kita. Dan, memang setahun yang lalu Agribisnis: Paradigma Baru Pembangunan Ekonomi Berbasis Pertanian R3_bab_6_Edited2.indd 101 101 02/04/2010 17:18:00 Peningkatan Keunggulan Daya Saing Agribisnis Memasuki Era Persaingan kita melihat indikasi semakin menguat dan berkembangnya agroindustri kita. Ini ditunjukkan dengan semakin meningkatnya ekspor hasil agroindustri, seperti produk jadi karet, CPO dan lain-lain. (Bersambung) Australia dan Selandia Baru mengklaim udang ekspor Indonesia pada waktu yang lalu, karena dinilai mengandung residu antibiotika yang melampaui ambang batas toleransi standar pangan di negara tersebut. Di Amerika Serikat (Nayaga, 1994), restoran siap saji (fast food) yang menyajikan menu berkadar Iemak dan kolesterol tinggi, konsumennya menurun sampai 40 persen. Pelembagaan preferensi konsumen yang menuntut atribut lengkap dan rinci juga tampak dari upaya setiap negara untuk menyusun dan melegalisasi standarisasi dan sertifikasi mutu pangan. Bahkan, secara internasional, preferensi konsumen yang demikian telah memperoleh legalisasi dalam aturan WTO yaitu pada aspek sanitary dan phytosanitary. Perubahan preferensi konsumen produk agribisnis yang menuntut atribut lengkap dan rinci BOX. 2. LANJUTAN Apa implikasi permberlakuan GATT pada tahun ini dan upaya-upaya apa yang mendesak untuk lebih meningkatkan daya saing produk pertanian? Ada yang bilang dengan adanya perdagangan bebas maka agribisnis kita akan banyak mengalami tantangan. Bahkan ada yang mengatakan, kita akan mengalami kesulitan dalam bersaing. Kesadaran yang demikian itu adalah posftif, karena hal itu mencerminkan keinginan kuat kita untuk mampu bersaing, baik di pasar luar negeri maupun di dalam negeri. Kalau melihat perekonomian kita secara keseluruhan, memang pertanian dan agroindustri akan mengalami tantangan yang besar. Tetapi tantangan yang paling sulit, menurut saya, bukan dalam sektor pertanian dan agroindustri, melainkan sektor di luar pertanian dan agroindustri. Pertanian dan agroindustri adalah sektor perekonomian yang selama ini sudah berpengalaman dalam perdagangan bebas. Bukan hanya berpengalaman, tetapi bahkan terbukti berhasil survive dan tumbuh berkembang. Sebagai bukti, selama ini produk ekspor kita, selain minyak, kebanyakan memang dari produk pertanian dan agroindustri seperti karet, kelapa sawit, kayu, plywood, rempah-rempah, ikan dan macam-macam produk pertanian serta agroindustri lainnya. Produk-produk tersebut, sekalipun banyak mengalami kesulitan, baik berupa hambatan tarif maupun non tarif, tetapi ekspornya tidak menurun bahkan malah meningkat. Ini menunjukkan bahwa produk pertanian dan agroindustri dapat melakukan penetrasi pasar bebas, Jadi, saya melihat, kalau semua hambatan itu tidak ada, maka ekspor pertanian dan agroindustri akan lebih baik lagi. 102 Agribisnis: Paradigma Baru Pembangunan Ekonomi Berbasis Pertanian R3_bab_6_Edited2.indd 102 02/04/2010 17:18:00 Peningkatan Keunggulan Daya Saing Agribisnis Memasuki Era Persaingan Memang harus diakui, bukan berarti di sektor ini tanpa persoalan. Hanya saja persoalannya tidak segawat dengan yang di luar sektor pertanian dan agroindustri. Ada tiga hal yang perlu kita perbuat agar ekspor pertanian dan agroindustri lebih bagus lagi dalam iklim perdagangan bebas sekarang ini. Pertama, berupaya secara lebih cepat mengikuti ecolabelling. Kedua, terus berupaya meningkatkan mutu produk sesuai dengan permintaan pasar, Ketiga, menjamin keteraturan suplai. (Bersambung) memiliki beberapa implikasi penting dalam membangun dan meningkatkan daya saing agribisnis nasional. Pertama, atribut lengkap dan rinci suatu produk yang dituntut konsumen harus tetap dieksplorasi dan dijadikan sebagai sistem nilai dalam menghasilkan komoditas unggulan. Kedua, karena keragaan akhir produk agribisnis merupakan hasil tahapan-tahapan proses produksi, maka BOX. 2. LANJUTAN Agar aplikasi teknologi, ecalabelling, perbaikan kualitas dan jaminan keteraturan suplai ini terwujud, memang diperlukan kualitas dan kuantitas sumberdaya manusia (SDM) yang memadai. Pengerahan SDM dan teknologi itu diarahkan pada pengelolaan agroindustri kita secara lebih serius, sebab ujung tombak pertanian adalah pada agroindustri. Apapun yang diperbuat di pertanian, kalau agroindustrinya tidak diperbaiki, kita akan seperti jalan di tempat. Disamping itu, untuk jangka pendek, deregulasi dan debirokratisasi harus terus dilakukan. Dalam jangka panjang, kita juga perlu membentuk organisasi ekonomi petani, sebab nanti dalam perdagangan bebas tidak ada larangan buat petani-petani kecil untuk mengorganisir dirinya. Hanya dengan usaha yang kooperatif semacam itu, petani akan bisa menangkap nilai tambah yang lebih besar, yakni dengan bergerak dalam bidang agroindustri dan perdagangan. Sebab, dalam perdagangan bebas, nilai tambah yang besar akan diambil oleh mereka yang bergerak dalam agroindustri dan perdagangan. Supaya petani tidak selalu tercecer, ya, mau tidak mau harus berorganisasi atau membentuk koperasi, tetapi bukan di-koperasi-kan atau diharuskan berkoperasi. Kesepakatan GATT/WTO (World Trade Organizations) yang mulai berlaku bulan Januari 1995 ini mengharuskan diturunkannya hambatan tarif. Upaya apa yang perlu dilakukan agar hal itu tidak berakibat buruk terhadap produk-produk lokal yang dihasilkan oleh petani? Memang tahun ini sudah masuk dalam era perdagangan bebas. Namun demikian, masih dimungkinkan mengadakan hambatan tarif, tetapi harus yang reasonable (layak), sedangkan hambatan non tarif dalam era ini sama sekali tak dibolehkan. Kalau tarif yang kita kenakan tidak reasonable, maka negara lain akan mengenakan Agribisnis: Paradigma Baru Pembangunan Ekonomi Berbasis Pertanian R3_bab_6_Edited2.indd 103 103 02/04/2010 17:18:00 Peningkatan Keunggulan Daya Saing Agribisnis Memasuki Era Persaingan hambatan tarif yang sama. Dan hambatan itu sedikit demi sedikit memang harus sudah dikurangi hingga menjadi nol pada tahun 2020 nanti, yakni batas tahun berlakunya perdagangan bebas bagi negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Agar pengurangan tarif itu tak merugikan petani, harus dibuat skema reduksi tarif mulai sekarang hingga tahun 2020 nanti. Untuk itu, kita harus mengetahui gambaran tarif kita sekarang, nominal dan effective rate-nya. Strategi pengurangannya adalah mengurangi terlebih dahulu tarif-tarif produk kita yang sudah kuat dan tidak mengurangi tarif-tarif yang dapat berefek jelek pada petani dan pada perekonomian kita pada umumnya. Untuk komoditi seperti beras, kedelai, dan gula, misalnya, pengurangan tarif harus belakangan. Kemudian, karena dalam perdagangan bebas biasanya kita harus take and give, maka untuk barang-barang yang sudah kita turunkan tarifnya, secara gentleman kita umumkan dan yang masih harus dipertahankan tetap ditahan. (Bersambung) sistem nilai tersebut harus menjadi suatu rantai nilai mengikuti tahapan produksi dari hulu ke hilir. Setiap tahapan proses produksi merupakan suatu mata rantai nilai (sesuai peranannya dalam sistem agribisnis) yang diturunkan (derived) dari sistem nilai tersebut. Implikasi yang demikian jelas membutuhkan suatu sistem agribisnis yang terintegrasi (pemilikan, pengelolaan), koordinasi secara vertikal, mulai dari hulu ke hilir. Dengan demikian, pola agribisnis yang terpisah-pisah jelas tidak kondusif untuk membangun dan meningkatkan daya saing agribisnis. Ironisnya, justru inilah kelemahan agribisnis nasional saat ini. BOX. 2. LANJUTAN Dalam kondisi yang demikian itu, produk-produk pertanian apa saja yang memiliki prospek yang bagus pada tahun mendatang? Hortikultura, sampai saat ini, masih merupakan komoditi yang memiliki prospek yang cerah, khususnya untuk pasar dalam negeri. Apalagi, dalam hal mutu di pasar dalam negeri belum terlalu ketat tuntutannya. Di pasar ekspor, nilai ekspor hortikultura sampai saat ini masih kurang dari 10 juta dolar, Ini berarti peluang untuk menaikkan nilai ekspornya masih sangat besar. Kita bahkan berharap, komoditi hortikultura tropis di masa mendatang akan menjadi andalan ekspor nasional, seperti mangga, manggis, salak, sawo, jeruk bali, sukun, talas, juga sayur-sayuran tropis. 104 Agribisnis: Paradigma Baru Pembangunan Ekonomi Berbasis Pertanian R3_bab_6_Edited2.indd 104 02/04/2010 17:18:00 Peningkatan Keunggulan Daya Saing Agribisnis Memasuki Era Persaingan Di samping itu, semakin ke depan nanti pendapatan masyarakat kita akan semakin meningkat. Kalau pendapatan meningkat maka konsumsi daging, telur, ikan dan susu juga akan lebih banyak. Percepatan peningkatan konsumsi bahanbahan itu akan lebih cepat dibanding konsumsi kalori dari beras, misalnya. Produk peternakan dan perikanan juga memiliki prospek pasar yang baik. Oleh karena itu, peningkatan subsektor peternakan dan perikanan harus terus dipacu, agar tidak dibanjiri produk impor. Untuk melindungi petani kecil dan menghindari terjadinya pengusaha besar menekan yang kecil, upaya apa yang harus dilakukan? Hendaknya diusahakan agar petani kecil memiliki saham di industri hulu maupun hilir Untuk subsektor peternakan, misalnya, peternak seharusnya memiliki saham pada industri DOC, juga pada industri pakan. Pola kemitraan ini disebut juga overlapping ownership dan sudah banyak diterapkan di negara maju. Di Indonesia, pola kemitraan ini dimungkinkan bila industri hulu dan hilir tersebut go public. Tentu saja biar lebih efektif, pemilikan saham oleh petani sebaiknya melalui KUD. Ini sesuai dengan himbauan Presiden Soeharto agar perusahaan memberikan sahamnya kepada koperasi. Disamping itu, industri hulu, juga hilir, perlu terjun sendiri menjadi peternak, misalnya. Dengan demikian, tidak akan ada kebijakan harga yang merugikan peternak, karena pihak industri juga terjun sendiri beternak. Sumber : Wawancara dengan Majalah WARTA PERTANIAN No. 140/ Tahun XI/ 1995, halaman 14-15 Kelemahan Agribisnis Nasional Paling tidak sampai saat ini, sistem agribisnis kita pada umumnya masih menampilkan ciri struktur dispersal, integrasi horizontal, dan asimetris (Simatupang, 1995). Struktur agribisnis yang dispersal dicirikan oleh tidak adanya hubungan organisasi fungsional antarsubsistem agribisnis hulu dan usahatani, antara usahatani dan agribisnis hilir dan dengan subsistem jasa layanan pendukung. Struktur agribisnis yang dispersal tersebut diperparah pula oleh asosiasi pengusaha yang berintegrasi secara horizontal pada setiap tingkatan subsistem agribisnis. Pada subsistem agribisnis hulu terdapat asosiasi horizontal seperti GPPUI, GPMT, ASOHI dan lain-lain. Pada subsistem agribisnis usahatani terdapat asosiasi petani seperti HKTI, HNSI, PPUI, PPKSI dan lain-lain. Pada subsistem agribisnis hilir terdapat asosiasi horizontal seperti AEKI, GAPKINDO, GAPKI, Asosisasi Eksportir Minyak Nabati Indonesia, GINSI dan lain-lain. Sementara itu, pada subsistem jasa penunjang terdapat misalnya Agribisnis: Paradigma Baru Pembangunan Ekonomi Berbasis Pertanian R3_bab_6_Edited2.indd 105 105 02/04/2010 17:18:00 Peningkatan Keunggulan Daya Saing Agribisnis Memasuki Era Persaingan asosiasi profesi seperti PERHEPI, PERAGI, ISPI, PDHI dan lain-lain. Pada umumnya, asosiasi-asosiasi tersebut berdiri sendiri, bersifat egosentris, antar asosiasi tidak memiliki visi bersama yang jelas dan relatif sangat jarang duduk bersama, misalnya membicarakan langkah bersama untuk membangun daya saing agribisnis. Struktur agribisnis berikutnya yang juga merupakan kelemahan sistem agribisnis secara keseluruhan adalah struktur yang asimetris. Ciri-ciri struktur yang asimetris ini adalah adanya ketimpangan kekuatan antar subsistem agribisnis. Pada subsistem agribisnis hilir umumnya sangat kuat, sementara pada subsistem usahatani dan agribisnis hulu (pembibitan, perbenihan) yang menentukan cetak biru atau genetic make-up dari atribut produk agribisnis justru merupakan salah satu titik lemah dari sistem agribisnis kita. Sistem agribisnis yang dibangun oleh struktur dispersal, integrasi horizontal dan asimetris merupakan penyebab paling mendasar mengapa agribisnis nasional lambat perkembangannya, pertumbuhan dan pembagian pendapatan yang tidak merata dan rendahnya daya saing agribisnis nasional. Struktur agribisnis dispersal dan asosiasi horizontal serta asimetris menciptakan masalah transmisi (pass through problems) dimana informasi pasar (preferensi pasar dan harga), IPTEK, modal investasi yang diperoleh agribisnis hilir tidak sempurna (lambat) ditransmisikan/disalurkan ke agribisnis usahatani maupun pada agribisnis hulu. Masalah transmisi ini menyebabkan preferensi konsumen tidak sampai dengan cepat ke seluruh tingkatan agribisnis, tidak ada konsistensi atribut produk yang dihasilkan dan cenderung mendistorsi pasar. Kemudian, petani yang umumnya berada pada agribisnis usahatani menderita tekanan eksploitasi monopsonistis dan monopolistis. Selain tidak ada insentif untuk melakukan inovasi akibat distorsi pasar, struktur agribisnis yang demikian juga tidak kondusif mendorong terjadinya inovasi karena ada masalah penikmat bebas. Pelaku agribisnis yang berada pada agribisnis hulu (industri benih/bibit) tidak terangsang melakukan inovasi, misalnya untuk menemukan varietas/strain unggul, karena menyadari bahwa manfaat inovasi yang dilakukan akan juga dinikmati oleh pelaku agribisnis hilir tanpa ikut menanggung biaya inovasi tersebut. Akibatnya, industri bibit/benih menjadi kurang berkembang. Di lain pihak, pelaku agribisnis hilir (pedagang) juga tidak bersedia mengeluarkan biaya untuk penelitian preferensi konsumen (market inteligent), karena menyadari manfaatnya juga dinikmati oleh pelaku agribisnis yang lebih hulu, tanpa ikut menanggung biaya penelitian tersebut. 106 Agribisnis: Paradigma Baru Pembangunan Ekonomi Berbasis Pertanian R3_bab_6_Edited2.indd 106 02/04/2010 17:18:01 Peningkatan Keunggulan Daya Saing Agribisnis Memasuki Era Persaingan Hal di atas, secara bersama telah memperlemah daya saing agribisnis nasional. Dengan demikian, keunggulan komparatif yang kita miliki dalam agribisnis menjadi sia-sia, karena struktur agribisnis tidak mampu memanfaatkannya menjadi keunggulan bersaing. Oleh karena itu, masalah utama yang harus dipecahkan adalah bagaimana mengubah struktur agribisnis tersebut sehingga dapat dijadikan landasan agribisnis yang berdaya saing. Setelah itu, perlu dilanjutkan dengan meningkatkan keunggulan daya saing agribisnis. Membangun Struktur Agribisnis yang Berdaya Saing Untuk memungkinkan agribisnis nasional memiliki keung-gulan bersaing maka struktur agribisnis dispersal, integrasi horizontal dan asimetris perlu diubah menjadi struktur agribisnis yang terintegrasi secara vertikal mulai dari hulu ke hilir. Pada struktur agribisnis integrasi vertikal ini masing-masing perusa-haan pada tingkatan aktivitas yang berbeda tidak berdiri sendiri, tetapi memadukan diri menjadi suatu rantai vertikal pada satu aliran produk (product line) tertentu, mulai dari hulu ke hilir, yang disebut sebagai Rantai Produk Agribisnis Vertikal. Pada Rantai Produk Agribisnis Vertikal ini, strukturnya disusun oleh aktivitas primer yang berfungsi sebagai mata rantai pada satu aliran produk tertentu. Sebagai contoh, Rantai Produk Agribisnis Vertikal berbasis minyak sawit misalnya, strukturnya disusun oleh perusahaan pembibitan kelapa sawit (sebagai mata rantai hulu), perusahaan budidaya kelapa sawit perusahaan CPO, perusahaan produk sawit setengah jadi (oleo pangan, oleo kimia) dan produk jadi (sabun, kosmetika dan lain-lain) yakni sebagai mata rantai antara, dan pemasaran produk akhir (sebagai mata rantai hilir). Dengan demikian, kita memiliki Rantai Produk Agribisnis Vertikal berdasarkan aliran produk seperti Rantai Produk Agribisnis Vertikal berbasis kelapa sawit karet, ayam broiler, udang, kayu dan lain-lain. Setiap Rantai Produk Agribisnis Vertikal mempunyai sistem nilai tertentu yang menjadi respons terhadap lingkungan ekonomi dan bisnis yang dihadapi. Sistem nilai ini ditransmisikan ke dalam setiap mata Rantai Produk Agribisnis Vertikal yang ada dan merupakan satu kesatuan rantai nilai yang utuh. Dengan demikian, setiap mata rantai memiliki rantai nilai tertentu yang secara konvergen mengarah pada fokus daya saing yang diobsesikan secara dinamis. Agribisnis: Paradigma Baru Pembangunan Ekonomi Berbasis Pertanian R3_bab_6_Edited2.indd 107 107 02/04/2010 17:18:01 Peningkatan Keunggulan Daya Saing Agribisnis Memasuki Era Persaingan Secara operasional Rantai Produk Agribisnis Vertikal dapat berbentuk perusahaan tunggal, holding company, bentuk koalisi (aliansi) atau bentuk koordinasi vertikal. Bentuk perusahaan tunggal, seluruh mata rantai dari Rantai Produk Agribisnis Vertikal dimiliki dan dilaksanakan oleh satu perusahaan yang bersaing dengan Rantai Produk Agribisnis Vertikal perusahaan lain pada aliran produk yang sama. Bentuk holding company, mata rantai yang ada dilaksanakan oleh beberapa perusahaan yang tergolong dalam satu induk usaha dan bersaing dengan holding company lainnya pada aliran produk yang sama. Kemudian, bentuk koalisi, suatu mata rantai dapat merupakan bentuk joint venture dari beberapa perusahaan yang ada pada satu Rantai Produk Agribisnis Vertikal. Sedangkan bentuk koordinasi vertikal, setiap mata rantai dilakukan oleh perusahaan-perusahaan yang pemilik dan manajemennya terpisah. Pola koalisi dan kondisi tersebut harus terkoordinasi dari hulu hingga ke hilir secara harmonis (satu sistem dalam total quality management, bench marking, just in time system, business process reengineering), yang bersaing dengan bentuk koalisi dan koordinasi vertikal yang lain. Untuk mengakomodasikan kepentingan ekonomi petani, yang selama ini praktis hanya pada agribisnis usahatani, dapat memilih bentuk koalisi atau bentuk koordinasi vertikal, Bentuk koalisi vertikal petani melalui koperasi dapat bekerjasama dalam bentuk penyertaan modal (usaha patungan) dengan perusahaan swasta atau BUMN yang bergerak pada agribisnis hulu dan hilir. Sedangkan, pada bentuk koordinasi vertikal, petani melalui koperasi dapat membangun perusahaan tunggal pada beberapa mata rantai pada agribisnis hulu atau hilir, sementara mata rantai lainnya diisi oleh perusahaan swasta atau BUMN. Dengan Rantai Produk Agribisnis Vertikal yang demikian, maka asosiasi pengusaha dan profesi yang selama ini bersifat horizontal dan dispersal hendaknya memetakan diri ke dalam suatu asosiasi baru yang disebut sebagai Asosiasi Komoditas Agribisnis Vertikal. Dalam Asosiasi Komoditas Agribisnis Vertikal ini, pengusaha dan profesi bergabung untuk mengembangkan daya saing suatu komoditas tertentu. Sebagai contoh, ahli genetika dan pemuliaan tanaman kelapa sawit yang selama ini berada pada asosiasi profesi PERAGI, ahli ekonomi kelapa sawit yang selama ini bergabung pada PERHEPI, dan pengusaha kelapa sawit yang selama ini bergabung pada GAPKI, secara sadar perlu memadukan diri menjadi Asosiasi Komoditas Agribisnis Vertikal berbasis kelapa sawit Dengan demikian, pada suatu Asosiasi Komoditas Agribisnis Vertikal kelapa 108 Agribisnis: Paradigma Baru Pembangunan Ekonomi Berbasis Pertanian R3_bab_6_Edited2.indd 108 02/04/2010 17:18:01 Peningkatan Keunggulan Daya Saing Agribisnis Memasuki Era Persaingan sawit ada ahli genetika dan pemuliaan kelapa sawit yang mendukung mata rantai pembibitan kelapa sawit ada ahli manajemen budi daya kelapa sawit yang mendukung mata rantai budidaya kelapa sawit, ada ahli teknologi pengolahan CPO dan produk olahan lanjutan yang mendukung mata rantai ini dan ada ahli ekonomi dan pemasaran kelapa sawit yang mendukung mata rantai pemasaran, yang secara keseluruhan merupakan satu kesatuan visi dan tindakan. Demikian juga pada komoditas lainnya, sehingga ada banyak Asosiasi Komoditas Agribisnis Vertikal berdasarkan aliran produk masingmasing. Struktur agribisnis baru tersebut dimana suatu Rantai Produk Agribisnis Vertikal didukung oleh Asosiasi Komoditas Agribisnis Vertikal, akan memampukan agribisnis nasional mencapai keunggulan daya saing di pasar internasional. Meningkatkan Daya Saing Agribisnis Nasional Terdapat alasan yang kuat mengapa daya saing agribisnis harus tetap ditingkatkan secara terus menerus. Diantaranya adalah : pertama, konsumen produk agribisnis yang kita hadapi adalah manusia yang selalu ingin melampaui status masa kini (status present) sehingga selalu menuntut lebih (demanding demand) dan tidak pernah puas (monotonic). Agribisnis yang tidak mampu memenuhi preserensi konsumen yang berkembang akan kehilangan daya saingnya. Kedua, keunggulan komparatif yang menjadi landasan keunggulan daya saing, baik teknologi maupun factor endowment dapat saja hilang. Keunggulan teknologi dapat hilang melalui fenomena product life cycle dan keunggulan factor endowment dapat juga hilang melalui fenomena globalisasi produksi dan globalisasi perdagangan. Oleh karena itu, upaya meningkatkan daya saing agribisnis harus menjadi visi agribisnis yang tidak boleh berhenti. Ide dasar dari peningkatan daya saing adalah visi yang selalu berusaha tampil beda baik di mata pesaing maupun di mata konsumen. “Tampil beda” di mata konsumen berarti mampu menjual atribut produk yang merupakan nilai tambah (added value) dari atribut produk sebelumnya dan dari atribut produk yang ditawarkan pesaing secara kompetitif. Nilai tambah tersebut merupakan nilai-nilai yang lebih preferable di mata konsumen, baik nilai yang secara aktual dituntut konsumen maupun nilai-nilai yang belum terbayangkan sebelumnya oleh konsumen. Agribisnis: Paradigma Baru Pembangunan Ekonomi Berbasis Pertanian R3_bab_6_Edited2.indd 109 109 02/04/2010 17:18:01 Peningkatan Keunggulan Daya Saing Agribisnis Memasuki Era Persaingan Memampukan suatu agribisnis yang “tampil beda” terletak pada sikap pelaku agribisnis yang “anti kemapanan”, dalam arti tidak melihat sesuatu yang terjadi sebagai sesuatu yang sifatnya tetap; lebih puas pada apa yang belum diperoleh bukan pada apa yang telah diperoleh; lebih puas pada caracara (metode) yang belum dilakukan bukan pada cara (metode) yang telah dilakukan. Dengan demikian, suatu agribisnis akan selalu tampil dengan terobosan-terobosan (breakthrough) baru. Agar mampu tampil dengan suatu terobosan, pelaku agribisnis harus mampu mendefinsikan pada situasi mana keseluruhan sistem berada (known where you are), marnpu mengenali apa kelemahan, kelebihan dan kesempatan perusahaan dalam lingkungan ekonomi dan bisnis yang ada (lighting the way), mampu mendefinisikan kinerja yang bagaimana yang harus dicapai (known where you are going) dan kemudian menggerakkan seluruh sistem untuk mencapai kinerja yang diinginkan secepat mungkin. Suatu terobosan merupakan resultan dari seluruh mata rantai agribisnis yang ada. Oleh karena. itu, mendefinisikan ide terobosan pada setiap mata rantai agribisnis akan menentukan keberhasilan suatu terobosan, Sebagai contoh, bila preferensi konsumen minyak sawit menuntut minyak sawit berkolestrol rendah, kandungan vitamin E tinggi dan bebas residu pestisida, dijadikan ide terobosan (sistem nilai) agribisnis minyak sawit maka apa yang menjadi nilai pada setiap mata rantai agribisnis tersebut perlu didefinisikan. Pada mata rantai pembibitan tanaman kelapa sawit misalnya, nilai yang mendukung ide terobosan itu adalah menciptakan tanaman kelapa sawit yang memiliki genetic make-up kandungan kolestrol rendah, kadar vitamin E tinggi dan tanaman berdaya tahan tinggi terhadap penyakit (misalnya melalui aplikasi teknologi transgenik). Kemudian, nilai pada mata rantai budi daya adalah seminimum mungkin menggunakan pestisida. Selanjutnya, nilai pada mata rantai pengolahan CPO dan industri oleo pangan lanjutan adalah bagaimana memperbaiki teknologi pengolahan sehingga dapat mengeliminasi kolesterol serendah mungkin dan menahan vitamin E semaksimum mungkin. Akhirnya, nilai pada mata rantai pemasaran adalah bagaimana mengkomunikasikan atribut yang demikian pada konsumen, bagaimana strategi pemasaran, apakah kompetisi langsung yang secara frontal berhadapan dengan minyak goreng sawit pesaing, atau strategi kompetisi inti yang mencari segmen pasar yang konsumennya memang menuntut atribut yang dihasilkan atau strategi aliansi (koalisi) pemasaran. Kesimpulan 110 Agribisnis: Paradigma Baru Pembangunan Ekonomi Berbasis Pertanian R3_bab_6_Edited2.indd 110 02/04/2010 17:18:01 Peningkatan Keunggulan Daya Saing Agribisnis Memasuki Era Persaingan Peluang produk agribisnis cukup terbuka pada era perdagangan bebas. Oleh karena itu, persaingan ketat antar produsen produk agribisnis akan terjadi pada pasar internasional yang semakin terbuka tersebut. Menghadapi persaingan yang ketat, keberhasilan akan ditentukan oleh keunggulan daya saing produk agribisnis yang dihasilkan. Keunggulan daya saing tidak hanya ditentukan oleh keunggulan sisi penawaran, akan tetapi lebih banyak ditentukan oleh sisi permintaan, dalam arti kemampuan memasok produk yang sesuai dengan preferensi konsumen yang berkembang sangat menentukan daya saing produk agribisnis di pasar internasional. Mencermati kinerja agribisnis nasional saat ini, yang ternyata masih memiliki struktur dispersal, integrasi horizontal dan asimetris, tidak kondusif bagi perkembangan daya saing. Oleh karena itu, upaya mendasar yang harus dilakukan adalah mengubah struktur agribisnis yang ada menjadi suatu Rantai Produk Agribisnis Vertikal, yang didukung Asosiasi Komoditas Agribisnis Vertikal. Struktur agribinis yang baru ini dapat menjadi landasan agribisnis nasional yang berdaya saing. Mengubah struktur tersebut harus berjalan paralel dengan upaya meningkatkan daya saingnya. Ide pokok dalam mempertahankan dan meningkatkan keunggulan daya saing adalah: pertama, mengeksplorasi preferensi konsumen dan menjadikannya sebagai sistem nilai (ide terobosan) sistem agribisnis. Dan kedua, keberanian “tampil beda”, baik di mata konsumen maupun di mata pesaing. Sikap “anti kemapanan”, dalam arti puas terhadap apa yang belum dicapai, bukan pada apa yang telah dicapai, merupakan “roh “ sistem agribisnis untuk selalu tampil dengan terobosan-terobosan baru. Agribisnis: Paradigma Baru Pembangunan Ekonomi Berbasis Pertanian R3_bab_6_Edited2.indd 111 111 02/04/2010 17:18:01 R3_bab_6_Edited2.indd 112 02/04/2010 17:18:01