1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Kenaikan konsentrasi gas karbon monoksida (CO) disebabkan oleh
kenaikan berbagai jenis pembakaran di permukaan bumi seperti pembakaran
bahan bakar minyak (BBM), batu bara, dan bahan bakar fosil lainnya yang
melampaui kemampuan permukaan bumi untuk mengadsorpsinya. Gas CO paling
besar disumbangkan dari hasil sisa pembakaran yang tidak sempurna pada mesin.
Daerah dengan tingkat populasi yang tinggi dengan jalur lalu lintas yang padat
akan memiliki kadar CO yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah pedesaan.
Selain itu, gas CO juga berasal dari proses industri. Gas CO secara alami
terbentuk dari proses meletusnya gunung berapi, proses biologi, dan oksidasi HC
seperti metana yang berasal dari tanah basah dan kotoran makhluk hidup.
Gas CO yang masuk dalam sistem peredaran darah akan menggantikan
posisi oksigen (O2) dalam berikatan dengan hemoglobin (Hb) dalam darah. Gas
CO mempunyai daya ikat yang tinggi terhadap Hb dalam aliran darah sehingga
dapat menghalangi masuknya gas O2 dalam darah (Basuki, 2007). Ikatan CO dan
Hb dalam darah akan membentuk karboksi hemoglobin. Ikatan CO dengan darah
(karboksihemoglobin)
lebih
stabil
daripada
ikatan
O2
dengan
darah
(oksihemoglobin). Keadaan ini menyebabkan darah menjadi lebih mudah
menangkap gas CO. Gas CO akhirnya mudah masuk ke dalam jantung, otak dan
organ vital penunjang kehidupan manusia lainnya. Gas ini sifatnya sangat beracun
bagi tubuh manusia, sehingga bisa berakibat fatal. Gas O2 akan kalah bersaing
dengan CO sehingga kadar O2 dalam darah manusia akan menurun drastis. Gas O2
diperlukan dalam proses metabolisme tubuh sel, jaringan dan organ dalam tubuh
manusia, sehingga keberadaan CO di dalam darah akan menghambat metabolisme
tubuh manusia.
Gas CO akan menghambat terjadinya proses respirasi atau oksidasi
sitokrom. Hal ini akan mengakibatkan pembentukan energi tidak maksimal. Gas
1
2
CO akan berikatan langsung dengan sel otot jantung dan sel tulang, akibatnya
terjadi keracunan CO pada sel tersebut dan merembet pada sistem saraf manusia.
Seseorang yang mengalami paparan CO 1.000 ppm selama beberapa menit akan
menimbulkan kejenuhan karboksi hemoglobin. Orang tersebut akan bekurang
kesadarannya atau pingsan, jika ditambah beberapa menit lagi maka dapat
mengakibatkan kematian.
Logam transisi banyak dipelajari dalam bentuk kluster karena memiliki
sifat katalisis yang unik diantaranya; rasio luas permukaan yang tinggi,
ketersediaan situs aktif, energi terendah pada saat restrukturisasi dan memiliki
bilangan koordinasi tinggi (Goel dan Masunov, 2012). Logam transisi sebagai
pengadsorp gas CO dapat digunakan sebagai salah satu solusi untuk mengurangi
kenaikan konsentrasi gas CO di atmosfer. Nanokatalis digunakan untuk mengatasi
masalah ini yaitu, kombinasi beberapa logam transisi sebagai katalis yaitu,
Platinum (Pt), Paladium (Pd) dan Rhodium (Rh) yang dikenal dengan sebutan
TWC (Three Way Catalyic Converter). TWC banyak digunakan dalam industri
otomotif untuk mengendalikan emisi kendaraan bermotor.
Adsorpsi CO pada permukaan kluster logam transisi dipelajari karena
berhubungan dengan fenomena permukaan dan aktivitas katalis. Adsorpsi kuat
yang terjadi pada kluster logam transisi terjadi karena adanya orbital kosong atau
setengah penuh pada orbital d. Kekosongan orbital tersebut menjadi faktor utama
terhadap laju reaksi pemutusan dan pembentukan ikatan kimia (Hegedus, 1987).
Adsorpsi CO pada kluster logam transisi umunya terjadi secara kemisorpsi dengan
posisi interaksi on-top, bridge dan hollow.
Interaksi antara CO dengan kluster logam transisi pertama kali dijelaskan
dalam sebuah model oleh Blyholder berdasarkan Hückel Molecular Orbitals
(MOs). Sifat interaksi CO dengan permukaan logam transisi ditentukan oleh dua
komponen utama. Pertama, ikatan σ yang terbentuk antara atom karbon (CO)
dengan permukaan logam transisi karena transfer muatan dari adsorbat ke orbital
d kosong dari logam yang disebut dengan forward donation. Kedua, tingginya
kerapatan orbital d pada logam transisi menyebabkan pendestabilan struktur
sehingga terjadi donasi balik orbital dπ logam transisi mengisi setengah orbital π*
3
CO (back donation) dikenal dengan ikatan π (Blyholder dkk., 1976; Kalitaa dan
Deka, 2009).
Kalitaa dan Deka (2009) melaporkan bahwa muatan dan ukuran kluster
logam transisi Pdnq(n=1-7; q=+1,0,-1) mempunyai pengaruh yang kuat terhadap
adsorpsi CO dimana energi interaksi yang diperoleh mengikuti tren Pd nCO+ <
Pdn0CO < PdnCO-. Zeinalipor-Yazdi dan van Santen (2012) melaporkan bahwa
interaksi adsorpsi CO dengan posisi on-top yang menutupi (coverage-dependent)
pada permukaan kluster Rh4 bermuatan netral menimbulkan pengaruh muatan dan
ukuran kluster logam transisi yang besar serta keberadaan CO yang menutupi
kluster logam transisi terhadap proses adsorpsi CO dimana CO akan teradsorp
secara maksimal pada keadaan low coverage antara kluster Rh4 dan CO. Studi
teoritis interaksi molekul CO dengan posisi on-top yang menutupi (coveragedependent) pada kluster Pd bermuatan netral perlu dilakukan dengan
menggunakan metode Density Function Theory (DFT).
1.2 Tujuan Penelitian
1.
Mempelajari struktur kluster Pd dengan membandingkan hasil optimasi
komputasi dengan data eksperimen.
2.
Mempelajari model interaksi molekul CO dengan kluster Pd dengan posisi
on-top, bridge dan hollow menggunakan metode DFT.
3.
Mempelajari interaksi penutupan (coverage) molekul CO pada kluster Pd.
4.
Mempelajari interaksi penutupan molekul CO secara low coverage.
5.
Mempelajari hal yang mempengaruhi kestabilan kompleks PdCO.
1.3 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat membantu dalam pemecahan masalah
polusi di atmosfer yang dihasilkan oleh kendaraan bermotor. Hasilnya berupa
struktur kluster atom paladium yang paling stabil mengikat gas CO dapat
digunakan sebagai acuan untuk membuat kluster paladium secara eksperimen
sehingga produk kluster paladium tersebut dapat diaplikasikan dalan kehidupan
sehari-hari.
Download