Ismiyatun Peran Pemerintah dalam Pembangunan Kluster Industri Militer PERAN PEMERINTAH DALAM PEMBANGUNAN KLUSTER INDUSTRI MILITER : Studi Kasus Lembah Silikon di Bangalore India dan Sekitarnya Oleh: Ismiyatun Kandidat Dotor Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada Abstract The research was held to investigate India goverment policy in military industry development toward Bangalore silicon valley area as information technology military industry cluster for anticipate revolution on military affairs. India silicon valley development had different type, partnership system with local firm and MNC had roled as pathway to technology transfer and human capital. The novelty is lied on its description about military industry, technology cluster and developmentalist state theory. The cluster is used as development vehicle that could answer sectoral issues especially on military, and information technology because of its technology venture gave power to attain economic diplomacy. The recent researches explored that issue but in fragmented ways, while as general silicon valley was identical with capitalist and neoliberal, but with economic diplomacy, developmentalist state could utilize behind policy to its military industry Keywords : military industry, technology cluster, developmentalist state theory A. Latar Belakang Masalah Perkembangan Industri militer India mengalami kemajuan yang cukup pesat sejak dekade terakhir ini, dibandingkan dengan beberapa negara dunia ketiga lainnya. Berbagai penelitian berusaha untuk mengungkapkan keberhasilan pengembangan industri militer India ini dari berbagai segi : keamanan internasional, ekonomi politik sampai dengan kaitan antara industri militer dengan pengembangan kluster teknologi di wilayah Bangalore dan sekitarnya. Kluster teknologi disana, mampu berakselerasi dan memberikan nilai lebih dalam pembangunan. SPEKTRUM Usaha suatu negara untuk mengkaitkan antara pengembangan industri militer domestiknya dengan kluster teknologi sehingga mampu memfasilitasi terbentuknya jaringan antara pemerintah, MNC, firma domestik di satu sisi dengan pemerintah negara lainnya inilah yang menjadi titik awal penelitian. Sejak awal kemerdekaannya di tahun 1947, industri militer India mendapatkan perhatian utama dari segenap pembuat kebijakan negara. Dorongan politis bagi industri ini adalah konflik yang berkepanjangan dengan Pakistan, Srilangka dan Cina sebagai negara tetangga. Konflik Vol. 14, No. 2, Juli 2013 Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional Ismiyatun ini semakin melebar sampai ke persoalan demokratisasi Burma (Myanmar). Tujuan utama India dalam pengembangan industri ini adalah untuk memenuhi kebutuhan persenjataan modern bagi angkatan bersenjatanya. Target utamanya adalah terciptanya suatu tingkat kemandirian militer yang mampu memberikan dampak penangkalan atas ancaman maupun tekanan dari negara lain. Di awal tahun 1960an – masa Perang Dingin, India berusaha mengembangkan industri militernya dengan lebih mengandalkan import maupun bantuan persenjataan dari Uni Sovyet dan beberapa negara Barat, tingkat import militer India tetap tinggi dari tahun ke tahun. India kemudian, mengembangkan sistem offset, khususnya dengan Rusia, Perancis dan Inggris. Tujuannya adalah untuk memenuhi kebutuhan militer domestik, mengurangi ketergantungan terhadap import / bantuan militer dari negara lain, dan mencapai tingkat kemandirian militer yang lebih baik melalui transfer teknologi. Selain offset, India juga mengembangkan senjata lapis baja, roket pembawa bom tandan, satelit, radar dan rudal balistik dengan tenaga nuklir. Khusus program yang terakhir tersebut, dicanangkan IGMDP (Indigeous Guided Missile Development Programe), suatu program nasional pengembangan rudal bertenaga nuklir, yang melibatkan firma SPEKTRUM Peran Pemerintah dalam Pembangunan Kluster Industri Militer swasta, Universitas riset bahkan MNC India seperti Tata Group. Beberapa pusat riset militer didirikan dalam kluster teknologi yang terletak di Bangalore, Hyderabad dan sekitarnya untuk kepentingan produksi dan inovasi berbagai senjata berteknologi tinggi tersebut. Dari program tersebut, berhasil dikembangkan lima jenis jenis rudal, antara lain Agni ( rudal balistik regional jarak menengah), Pritvi ( rudal balistik jarak pendek), Akash dan Trishul (rudal SAM jarak menengah), dan Nag (ATGM / rudal anti tank). Selain itu, beberapa pusat penelitian militer yang dialokasikan di dalam kluster ini juga berhasil mengembangkan rudal bertenaga nuklir yang bisa ditembakkan dari dasar lautan (nuclear sub marines) dengan teknologi ATV (Advanced Technology Vehicle). Para ilmuwan India mampu melakukan alih teknologi ini dari Rusia (ketika itu USSR). Di tahun 1988, terjadi leasing Charlie 1 selama tiga tahun untuk keperluan pelatihan, sejak tahun 2007 teknologi ini mulai dikembangkan dengan nama Chakra namun kelanjutan inovasinya mengalami kendala pembiayaan. Kendala tersebut merupakan masalah utama bagi India, karena semua produksi senjata modern berasal dari perusahaan milik negara. Setiap tahun pemerintah harus mengeluarkan anggaran yang selalu meningkat sementara Vol. 14, No. 2, Juli 2013 Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional Ismiyatun ekspornya belum mampu menutupi seluruh biaya produksi. Permasalahan kedua dan ketiga yang muncul kemudian adalah segmen pasar dan kontribusinya dalam penciptaan lapangan kerja. Letak geografis India yang berdekatan dengan Timur Tengah dan Afrika sebagai daerah yang rawan konflik, memberikan peluang untuk mengatasi persoalan kedua, namun sifat monopsoni industri militer berakibat tingginya tingkat persaingan antar negara. Di sisi lainnya firma domestik India belum mampu memberikan andil yang seimbang sebagai rekanan bagi perusahaan negara. Iklim kewirausahaan dalam industri militer belum berkembang secara maksimal sebagai suatu sarana penyediaan lapangan kerja. Industri militer India terancam stagnasi bahkan kebangkrutan di akhir tahun 1990 an, karena pangsa pasar dan pesanan produk militer semakin menurun, sementara tuntutan inovasi, khususnya pengembangan nuclear sub marine membutuhkan pembiayaan cukup besar. Sejak tahun 2000, India mulai intensif memberdayakan kluster teknologinya untuk meningkatkan andil swasta domestik maupun internasional dalam internalisasi industri militer melalui diplomasi ekonomi maupun militer. Diplomasi ekonomi dilakukan untuk kepentingan inovasi, serta pengembangan kluster SPEKTRUM Peran Pemerintah dalam Pembangunan Kluster Industri Militer teknologi secara umum. Targetnya adalah peningkatan jumlah kerjasama ventura maupun produksi dengan negara industri maju, terutama AS dan Eropa, di bidang teknologi informasi serta persenjataan. Peningkatan kemampuan kluster teknologi berdampak pada peningkatan iklim kewirausahaan termasuk di sektor industri militer karena teknologi sifatnya multi guna baik untuk kepentingan sipil maupun militer. Firma domestik, terutama di bidang otomotif serta teknologi informasi diharapkan semakin meningkat andilnya dalam industri militer. Untuk kepentingan inilah pemerintah India menginisiasikan konsep diplomasi militer multi guna, selain menawarkan konsep latihan bersama (military exercises), dan dialog tahunan juga menawarkan berbagai konsep kerjasama militer di bidang riset dan produksi. A. Rumusan Masalah dan Tujuan Penelitian Dengan berpijak kepada pemikiran tersebut, maka peneliti merumuskan masalah yang akan dibahas di dalam disertasi ini adalah : 1. Bagaimanakah kebijakan India dalam mengembangkan industri militer melalui kluster teknologi di Bangalore dan sekitarnya ? 2. Mengapa India mampu menjalankan kebijakan tersebut, sehingga menjadi salah satu negara dunia Vol. 14, No. 2, Juli 2013 Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional Ismiyatun ketiga dengan kekuatan militer yang cukup diperhitungkan ? Penelitian ini bertujuan untuk menginvestigasi kebijakan pemerintah India dalam pengembangan industri militer melalui pendirian berbagai pusat riset militer di lembah silikon yang terletak di wilayah Bangalore dan sekitarnya sebagai suatu kluster industri yang bercirikan teknologi informasi. Berbeda dengan Cina, Brazil maupun Korea Selatan yang mampu mengembangkan kluster industri militer berteknologi tinggi secara terpisah dari sektor industri lainnya, India hanya mendirikan berbagai pusat riset militer di dalam suatu kluster teknologi. Selain itu juga menjelaskan keberhasilan arah kebijakan baru tersebut, faktor pendukung internal dan eksternal sehingga India mampu menjadi negara dunia ketiga dengan kekuatan militer yang cukup diperhitungkan. Industri ini bisa meningkatkan kontribusinya dalam pembangunan karena terjadi keseimbangan antara anggaran belanja militer dengan kemampuan ekspor, serta penciptaan lapangan kerja. Hasil dari penelitian ini menjadi salah satu penegasan yang memperkaya berbagai konsep maupun teori dominasi negara di dalam proses pembuatan kebijakan pembangunan sektoral. Pemerintah sebagai regim SPEKTRUM Peran Pemerintah dalam Pembangunan Kluster Industri Militer B. administratif, atas nama negara, dengan kewenangan politiknya menggunakan kekuasaan dalam pembuatan kebijakan untuk mengatasi pasar, bahkan mampu melakukan pengawasan terhadap entitas ekonomi domestik, regional maupun global sehingga mereka berkontribusi sebagai agen pembangunan. Melalui penelitian ini, bisa dibuktikan bahwa developmentalist state theory bisa dipergunakan untuk menjelaskan berbagai alternatif kebijakan suatu negara berkembang ketika menghadapi persoalan industrialisasi militer modern yang melibatkan hubungannya dengan pasar internasional maupun swasta domestik. Cina, Korea Selatan dan India dengan berbagai pilihan kebijakan yang berbeda beda namun masih di dalam kerangka perspektif developmentalist state theory. Mereka terbukti mampu memberdayakan modal asing dan kontraktor militer untuk kepentingan internalisasi industri militer. Tinjauan Pustaka Penelitian sebelumnya mengenai pemberdayaan kluster teknologi untuk kepentingan industri militer di negara berkembang telah banyak dilakukan oleh para ahli ekonomi politik. Leslie1 mengungkapkan jika beberapa negara berkembang di Asia 1Leslie, Suart W and Robert H Kargon. 1996. Selling Silicon Valley : Frederick Terman’ model for Regional Advantage. The Bussines History Review, Vol 70 No 4 (Winter) Vol. 14, No. 2, Juli 2013 Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional Ismiyatun menggunakan kluster teknologi ini untuk mencapai keunggulan regional. Hanya coraknya berbeda, disana dominasi pemerintah terlihat menonjol. Leslie menyebutkan dua contoh negara dengan konsep pengembangan lembah silikon yang berbeda. AS di satu sisi mengembangkannya dengan liberalisasi dan privatisasi, sedangkan Korea Selatan mengintegrasikannya dengan kebijakan pemerintah, khususnya di bidang pendidikan, riset dan strategi pembangunan. Neuman2, Andrew L Ross3 dan Bitzinger4 menghubungkan tingkat keberhasilan usaha negara berkembang dalam pengembangan kluster teknologi ini dengan konsep RMA (Revolution in Military Affairs), semua menyepakati arti pentingnya kluster teknologi guna mengantisipasi tantangan industri militer di abad 21. Neumann berpendapat bahwa RMA mampu memberikan peluang komersialisasi industri militernya melalui ekspor jasa militer sebagai suatu produk pelengkap. 2Neuman, Stephanie G. 1994. “Arm Transfers, Military Assistance, and Defense Industries : Socio economic Burden or Opportunity ?”. Annal of the American Academy of Political and Social Science Vol 535 : The Arm Trade : Problem and Prospect in the Post Cold War World (Sept) 3Ross, Andrew L. Peter Dombrowski. 2008.”The Revolution in Military Affairs, Transformation and the Defence Industry”. Security Challenges, Vol. 4, No. 4 (Summer ) 4Bitzinger, Richard A. 2009. The Modern Defense Industry : Political, Economy, Technological Issues. California : ABC-CLIO SPEKTRUM Peran Pemerintah dalam Pembangunan Kluster Industri Militer Kedua peneliti lainnya mendukung pendapat ini dengan dalih RMA menuntut keberadaan NCW (Network Centric Warfare) atau jaringan tunggal yang menghubungkan orang, platform, senjata, sensor, dan berbagai keputusan tentang bantuan militer dari negara lain. Kemampuan akses yang dimiliki kluster akan mampu memfasilitasinya. Kelompok penerus ini semakin dilengkapi oleh hasil penelitian Adam Segal5, tentang pengembangan kluster industri di Cina. Sementara beberapa peneliti lainnya melanjutkan dengan mengupas sisi lain dari kluster ini, antara lain keterlibat dari sudut fungsinya sebagai wahana dalam pembangunan modal manusia (human capital). Bagi negara berkembang, kluster ini menjadi wahana alih teknologi serta memperoleh dukungan finansial internasional bagi industrinya. Beberapa penelitian tentang pemberdayaan kluster teknologi untuk kepentingan industri militer di negara dunia Ketiga, seperti Cina, India, Brazil, Korea Selatan menunjukkan berbagai langkah intervensi yang dilakukan oleh pemerintah untuk menarik investasi internasional, melalui sistem kerjasama ventura maupun produksi antara swasta asing dengan perusahaan milik negara (SoE) maupun firma swasta dengan komposisi modal cukup beragam. Kebijakan ISI 5Segal, Adam. 2003. Digital Dragon : High Technology Enterprises in China. New York :Cornel University Press Vol. 14, No. 2, Juli 2013 Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional Ismiyatun (Import Substituted Industry) melalui sistem offset umumnya menjadi titik awalnya keterlibatan pemerintah di dalam kluster ini. meskipun secara umum, sistem offset sendiri menurut Brauer6 sedikit sekali keuntungan ekonomisnya bagi LDC. Sehingga jika suatu LDC menggunakan sistem ini maka disarankan untuk menerapkan sistem pasar yang terlindungi (protected market) dan harus mampu menangkap keuntungan non ekonomis, salah satunya adalah alih teknologi. Tiga konsep yang menonjol di negara berkembang ketika memutuskan untuk mengembangkan kluster industri militer adalah keberadaan teknokrat, state owned enterprises serta andil modal asing, baik dalam bentuk investasi langsung (FDI) maupun investasi fortopolio. Kaum teknokrat berpengaruh di dalam kelangsungan serta pengembangan modal sosial sehingga bersama sama dengan pembuat kebijakan lainnya memutuskan strategi industri yang digunakan apakah ISI, EOI atau gabungan diantara keduanya. Selain itu juga sebagai segmen eksekutif, kaum teknokrat aktif mengembangkan diplomasi ekonomi dengan negara industri maju maupun negara berkembang, untuk mendukung terbentuknya jaringan kluster industri militer 6Brauer, Jurgen dan J Paul Dunne. 2005. Arm Trade and Economic Development : Theory, Policy and Cases in Arms Trade Offsets. New York : Routlegde SPEKTRUM Peran Pemerintah dalam Pembangunan Kluster Industri Militer C. internasional. Melalui jaringan ini negara berkembang mampu mempengaruhi pasar tenaga kerja skill internasional. Bersama sama dengan SoE, golongan ini merupakan wujud dari keberadaan suatu embedded autonomy, sebagai salah satu ciri khas yang menonjol di dalam developmentalist state theory. Secara teoritis pengendalian modal asing di dalam suatu perusahaan hanya mampu dilakukan apabila jumlahnya maksimal 50 %. Melalui penelitian ini akan ditelaah lebih lanjut kemampuan dari teori tersebut dalam menjelaskan tingkat keterlibatan pemerintah India dalam internalisasi industri militer melalui kluster teknologi. Kerangka Teori Aliran developmentalist, yang berkembang di akhir tahun 1980an sebagai kebangkitan dari state centris dan tantangan terhadap kaum neoliberalist. Inti dari pandangan ini, merujuk pada pendapat Gilpin7, bahwa sistem ekonomi internasional yang liberal akan berujung kepada anarkhi dan kegagalan pasar. Pemerintah harus mengambil peran yang cukup strategis dalam menciptakan kelas pengusaha, mengidentifikasi dan meletakkan skala prioritas industri dalam pembangunan. Segala kebijakan pemerintah seharusnya mampu menciptakan insentif secara 7Gilpin, Robert. 1981. War and Change in World Politics. New York : Cambrigde University Press Vol. 14, No. 2, Juli 2013 Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional Ismiyatun struktural sehingga tercipta iklim wirausaha guna mengantisipasi keunggulan komparatif di masa depan. Sebagai salah satu peletak dasar developmentalist state theory, Robert Gilpin8 sejak awal sudah mengemukakan bahwa teknologi menjadi salah satu wacana yang harus diubah, disamping sistem ekonomi, sosial dan politik guna terciptanya keseimbangan yang menguntungkan baik negara kaya maupun miskin. Tingkat perbandingan ekspor import, Aliran sumber daya baik baik modal, teknologi maupun komoditi dan sistem moneter internasional merupakan tiga instrumen pokok dalam kebijakan negara. FDI dan MNC harus berada di bawah koordinasi suatu regim internasional – home state dan host state, sehingga pemerintah bisa secara langsung mengintegrasikannya dengan bank dan firma nasional sebagai suatu aliansi kapitalisme. Fungsi negara dalam aliansi ini adalah sebagai fasilitator sehingga industrialisasi berakselerasi dan berkesinambungan. Pandangan Gilpin tentang teknologi dan negara tersebut menjadi titik tolak kebijakan developmentalist state dalam pemberdayaan kluster teknologi untuk kepentingan berbagai sektor industri utama yang tergolong ke dalam urusan publik, salah satunya adalah 8Gilpin, Robert and Jean M Gilpin. 2001. Global Political Economy : Understanding the International Economic Order . New Jersey : Princeton University Press SPEKTRUM Peran Pemerintah dalam Pembangunan Kluster Industri Militer militer. Dua contoh negara berkembang yang disebut Gilpin mampu merealisasikan dominasi negara dalam pembangunan ekonomi sehingga muncul sebagai kekuatan ekonomi tandingan bagi kapitalisme Barat adalah Jepang dan China.9 Menurut Linda Weiss, akar pemikiran dari developmentalist state theory, sama seperti aliran neoliberalisme, berasal dari Eropa Barat. Apabila neoliberalisme tumbuh subur di Inggris dan kemudian dikembangkan oleh kaum emigran ke AS, maka Jerman dan Swedia dengan slogan nasionalisme ekonomi, sejak paska Perang Dunia II, mengembangkan konsep dominasi negara sebagai antisipasi globalisasi ekonomi dan politik internasional. sehingga menyebar sampai ke Jepang dan Korea Selatan.10 Perkembangan aliran ini, dijelaskan oleh Berch Berberoglu11 terbagi ke dalam dua kelompok yakni : a) Structuralist developmental State, lebih bertumpu kepada peran negara dalam kebijakan industrialisasi, dua opsinya adalah EOI 9Gilpin, Robert. 2000. The Challenge of Global Capitalism : the World Economy in the 21st Century. New Jersey : Princeton University Press 10Weiss, Linda. 1998. The Myth of the Powerless State. New York : Cornell University Press 11Berberoglu, Berch. 1992. The Political Economy of Development : Development Theory and The Prospect for Change.. New York : State University of New York Press Vol. 14, No. 2, Juli 2013 Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional Ismiyatun (Export Oriented Industry) atau ISI (Import Substitution Industry). India, Afrika Selatan serta beberapa negara Asia Tenggara seperti Singapura adalah contoh negara yang mengmplikasikan berbagai konsep dari type ini ke dalam kebijakannya b) Capitalist developmental State, membahas peran dan urgensi dominasi negara atas pasar sehingga menciptakan suatu akumulasi modal dalam negara sebagai suatu lembaga yang memiliki kekuasaan sekaligus kedaulatan. Akumulasi modal oleh negara ini menimbulkan suatu regim baru dari kelompok NIC (Newly Industrial Country). Contoh negara yang tergolong kelompok ini adalah Jepang, Cina, Korea Selatan dan Taiwan. Kelompok pertama mengupas berbagai kebijakan dan strategi negara, termasuk melakukan subsidi terhadap infat industry (industri kecil menengah) sehingga mampu meningkatkan eksport barang / jasa sebagai langkah awal menuju negara industri. SPEKTRUM Peran Pemerintah dalam Pembangunan Kluster Industri Militer Hubungan jangka panjang yang stabil antara state dan industri merupakan kunci bagi penciptaan pola pola khusus pembangunan dan kemampuan negara dalam melaksanakan pembangunan industri. Kebijakan ISI adalah suatu opsi yang mendukung penggantian barang impor dengan produksi nasional. Intinya berfokus pada usaha untuk menumbuhkan kemandirian dengan pemberdayaan perusahaan negara maupun swasta nasional sehingga kompetitif atau kapable sebagai suatu perusahaan sub kontrak dari berbagai MNC terkemuka. Sedangkan kebijakan EOI, lebih memprioritaskan peningkatan kapasitas industri masional yang mampu menghasilkan keunggulan kompetitif bagi negara tersebut dengan mendayagunakan kekayaan alam negara tersebut. Di tahun 1990an beberapa negara berkembang mengadopsi dua kebijakan secara bersamaan dengan pilihan penekanan variabel yang berbeda dalam masing masing sektor industri sehingga saling mendukung satu dengan yang lainnya. Kelompok kedua, menurut Chalmers Johnson12 berciri khas pembentukan suatu 12Öniş, Ziya. 1991. “The Logic of the Developmental State Asia's Next Giant: South Korea and Late Industrialization by Alice H. Amsden; The PoliticalEconomy of the New Asian Industrialism by Frederic C. Deyo; MITI and the Japanese Miracle by Chalmers Johnson; Governing the Market: Economic Theory and the Role ofGovernment in East Asian Industrialization by Robert Wade”(Article Review). Comparative Politics, Vol. 24, No. 1 (Oct) Vol. 14, No. 2, Juli 2013 Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional Ismiyatun international governed market bagi industri domestiknya melalui pola kelembagaan regional berdasarkan pertumbuhan ekonomi, produktivitas, dan kompetisi dengan dominasi kepemimpinan tunggal negara tersebut. Baik Jepang, Cina, Korea Selatan bahkan Taiwan masing masing saling berkompetisi guna meraih kedudukan sebagai pemimpin negara berkembang. Mereka menjadi model state led development di Asia Timur, dengan karakteristik yang berbeda beda. Model Jepang, menurut Johnson merupakan kelanjutan dari kerangka flying geese, yang sudah dikembangkan oleh Akamatsu pada tahun 1935 ketika menjadi penasehat Kaisar Meiji. Tiga landasannya yang berfungsi sebagai agen pembangunan adalah adalah birokrat maupun teknokrat dari unsur pemerintah, keiretzu (jaringan antar MNC), dan diplomasi ekonomi untuk menciptakan suatu jaringan work station di berbagai negara Asia.13 Embedded autonomy state hanya ditunjukkan melalui dominasi kaum birokrat / teknokrat secara kelembagaan melalui MITI ( Ministry of International Trade and Industry) yang menginisiasikan diplomasi ekonomi melalui ODA ( Official Development Assitance) untuk merintis terbentuknya jaringan dengan negara tetangga yang 13Johnson,Chalmers. 1995. Japan : Who Governs ? : The Rise of the developmental State. New York : W.W. Norton Company Inc SPEKTRUM Peran Pemerintah dalam Pembangunan Kluster Industri Militer terletak dalam jangkauan kekuasaan regionalnya. Meskipun Cina / Taiwan dan Korea Selatan menunjukkan dua model yang berbeda, namun merujuk pada penelitian Robert Wade14 dan Seung15 mereka berada dalam jalur capitalist developmentalist state. Cina berada di tahap paling bawah karena kontribusi perusahaan milik negara masih cukup besar16, sementara Korea Selatan dengan tiga penyangga ekonomi domestiknya : negara, bank dan chaebol, sudah semakin mendekati tahap akhir dari model ini17, sampai tahun 2012 hanya menyisakan satu perusahaan milik negara, yakni KEPCO. Sebagai salah satu sektor industri yang mengacu pada kepentingan publik, maka industri militer mutlak harus berada di bawah pengawasan pemerintah. Ketika tingkat pembiayaan dan pembelanjaan semakin meningkat dari tahun ke tahun, juga krisis ekonomi global serta kondisi pasar dari industri ekonomi yang bersifat oligopoli dan fluktuasi permintaan labil, maka tuntutan 14Wade, Robert. 1990. Governing the Market : Economic Theory and the role of Government in East Asia Industrialization. New Jersey : Princeton University Press 15Seung, Wook Baek. 2005. “Does China Follow the East Asian Development Model”. Journal of Contemporary Asia Vol 35 no 4 16Beeson, Mark. 2009.”Developmental State in East Asia : A Comparison of the Japanese and Chinese Experiences”. Asia Perspectives Vol 33 No 2 17Chin, Lim Hyun and Jan Jin- Ho. “Between Neoliberalism and Democracy : the Transformation of the Developmental state in South Korea”. Development and Society Volume 35 No 1 (June) Vol. 14, No. 2, Juli 2013 Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional Ismiyatun privatisasi atas industri militer meningkat di setiap negara berkembang. Untuk mengantisipasinya serta menjaga keseimbangan hubungan antara negara dengan pasar, maka developmentalist state perlu mengembangkannya di dalam suatu kluster teknologi. Jaringan venture capital yang dimiliki kluster tersebut akan mampu memberikan sosial capital bagi sektor ini apabila ditangani dengan kebijakan pemerintah yang tepat. Menurut Sawhney18, dengan keterlibatan pemerintah akan mampu mempercepat perubahan jaringan sosial dalam suatu industri menjadi modal sosial sehingga segenap elemen maupun struktur dalam suatu industri berubah menjadi technology venture (ventura teknologi) – mencakup SoE (BUMN), firma nasional dan MNC, yang mampu berfungsi sebagai asset pembangunan. Kinerja ventura ini tercipta berkat semangat entrepreneurship (kewirausahaan). Semangat ini membentuk berbagai angel investor / investor informal yang bersedia mendanai universitas riset, firma nasional bahkan perseorangan untuk melakukan start up dan inovasi. Jaringan sosial di dalam kluster teknologi, secara umum menurut Cohen19 lebih 18Sawhney, Mohan et al. 2001. Tech Venture : New Rules on Value and Profit from Silicon Valley. New York : John Wliey & Son Inc 19Cohen,Stephen S and Gary Fields. 1999. “Social Capital and Capital Gains or Virtual Bowling in Silicon Valley : an Examination of Social Capital in Silicon Valley”. Paper that had SPEKTRUM Peran Pemerintah dalam Pembangunan Kluster Industri Militer bersifat ekonomi politik. Jika beberapa sosiolog seperti Robert Putnam maupun Fukuyama menguraikan secara detail konsep modal sosial dari sudut pandang sosiologi maka Cohen mengemukakan konsep baru dalam modal sosial yang bukan berdasarkan trust atau kepercayaan, melainkan sengaja dikondisikan oleh berbagai aktor di dalam kluster teknologi itu sehingga mampu menghasilkan suatu interaksi yang produktif guna menjaga kelangsungan inovasi teknologi. Tiga aktor utama yang berperan dalam hal ini adalah : universitas riset, negara, dan MNC sebagai ventura kapital. Perbedaannya dengan negara industri maju adalah pemerintah di negara berkembang tidak hanya sebagai user dari produk yang dihasilkan melainkan ikut berperan secara aktif melalui pasar tenaga kerja atau pasar modal. Jaringan yang dibentuk oleh ketiga aktor utama tersebut menurut Cohen bukan berdasarkan suatu kepercayaan melainkan karena ikatan historis yang terkondisikan, ketika kluster terbentuk lengkap dengan fasilitas teknologi informasi, maka secara tidak langsung juga muncul jaringan sosial antara home company dengan host company dari berbagai MNC been prepared for Local Economic and Employment Development (LEED) Programe for the Conference “Local Economic Development : Social Capital and Productive Networks, in Mexico City , January 18-19th . Vol. 14, No. 2, Juli 2013 Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional Ismiyatun yang beroperasi di dalamnya. yang mendorong partisipasi aktif berbagai universitas riset serta investor informal. Komunitas ilmiah internasional - para peneliti menyebutnya dengan istilah digital diaspora, menjadi motor pembangunan di negara asalnya masing masing dengan membentuk jaringan sosial yang melintasi batas negara. Pemerintah di negara industri maju mengambil peran sebagai lead user dari produk yang dihasilkan kluster ini. Sementara pemerintah negara berkembang, berperan aktif di dalamnya melalui dua pasar seperti tersebut di atas. Developmentalist state kelompok pertama, lebih memilih berperan melalui pasar tenaga kerja. Dengan kemampuan akses informasi yang dimilikinya, kluster ini mampu menjadi suatu sarana untuk mengatasi persoalan brain drain dalam negara berkembang. Konsep yang ditawarkan oleh developmentalist state bagi pasar buruh skill internasional adalah outsourcing (sistem kontak), diiringi dengan kebijakan untuk melarang impor produk jadi untuk industri tertentu. Dengan sistem ini, maka secara tidak langsung mendorong perkembangan industri domestik di dalam kluster sekaligus mempercepat SDM dalam melakukan proses alih teknologi. Kelompok kedua, memilih berperan melalui pasar modal. Pemerintah memanfaatkan jaringan antar MNC di dalam kluster untuk SPEKTRUM Peran Pemerintah dalam Pembangunan Kluster Industri Militer membentuk suatu holding company dengan pemerintah /firma dari negara industri maupun berkembang lainnya. Konsep kepemilikan saham dari berbagai perusahaan asing baik milik pemerintah maupun swasta dari negara lain ini akan mampu mendukung kelangsungan berbagai program maupun kebijakan domestik lainya. Targetnya adalah pembentukan berbagai work station di negara lain dalam suatu kerangka kerja sama internasional yang terstruktur antara pemerintah, firma maupun MNC. Peran pemerintah hanya sebagai fasilitator sekaligus mediator antara host company dengan home company. Berpijak pada pendapat Cohen, modal sosial di dalam suatu kluster teknologi tidak muncul secara tidak langsung, melainkan sengaja dikondisikan oleh suatu regim administratif / pemerintah. Beberapa ahli mencoba mengeksplorasi modal sosial dari sudut pandang developmentalist state theory guna menjelaskan dampaknya terhadap pengembangan modal manusia. menurut Woolcock20 mengubah suatu jaringan sosial menjadi modal pembangunan harus dilakukan dengan terencana oleh pemerintah yang memiliki kekuasaan sosial politik dibantu oleh aktor pembuat kebijakan lainnya 20Woolcock, Michael and Deepa Narayan. 2000.”Social Capital : Implication for Development Theory, Research and Policy”. World Bank Research Observer. Vol 15 (2) December Vol. 14, No. 2, Juli 2013 Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional Ismiyatun sehingga tercipta suatu sinergi. Maka untuk mempengaruhi pembentukan modal manusia, para pembuat kebijakan harus menciptakan pusat riset sebagai suatu institusi yang mampu bersinergi dengan modal ventura sehingga terjadi inovasi teknologi. Kebijakan industri militer yang dijalankan oleh negara dunia ketiga dilatarbelakangi berbagai motif politis, ekonomis maupun prestise. Ditinjau dari developmentalist state theory, interaksi dari ketiga aktor menghasilkan posisi tawar menawar antara pemerintah sebagai aktor yang memiliki kekuasaan politik, legislatif selaku pemegang hak ratifikasi dengan MNC pertahanan sebagai aktor swasta internasional pemegang kekuasaan ekonomi, dalam urusan pengelolaan asset publik. Posisi legislatif tergantung dari type developmentalist state itu sendiri. Di dalam type developmentalist state murni, dalam arti perkembangan proses demokratisasi dalam negara tersebut mengalami stagnasi seperti di Cina dan Taiwan maka perannya hampir dikatakan tidak ada. Berbeda dengan Developmental democratic state, seperti India, dua aktor domestik menghadapi MNC pertahanan dalam posisi yang saling bertentangan satu dengan lainnya. Perbedaan pendapat di antara pemerintah selaku pemegang kekuasaan SPEKTRUM Peran Pemerintah dalam Pembangunan Kluster Industri Militer D. eksekutif dengan partai oposisi berkisar pada persoalan indigeous production melawan lisensi atau kerjasama produksi yang ditawarkan oleh MNC pertahanan atau negara lain. Karena sifatnya yang masih transisional, mana aktor negara lain maupun swasta internasional sulit melakukan intervensi ke dalam lembaga legislatif. Yang mampu melakukan proses mediasi guna meyakinkan pihak legislatif ataupun eksekutif dalam melibatkan aktor internasional justru segmen mass media, maupun digital diaspora sebagai bagian dari aktor kelompok kepentingan. Karena sudah mampu menyeimbangkan konsep demokrasi dengan pembangunan, maka ketika muncul konflik diantara aktor domestik dalam democratic developmental states, seperti Korea Selatan, jaringan MNC pertahanan bisa secara langsung melakukan lobby –pendekatan persuasif, bahkan kontak langsung dengan pihak legislatif. Keterkaitan tidak langsung antara beberapa partai politik besar dengan para konglomerat, pemilik saham terbesar atas MNC yang berada di wilayah kedaulatan di dalam negara tersebut, mendukung proses internalisasi jaringan MNC pertahanan. Hipotesa Sebagai salah satu strukturalist developmental state, India lebih menekankan proses industrialisasi yang melibatkan firma domestik sebagai salah Vol. 14, No. 2, Juli 2013 Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional Ismiyatun satu sendi perekonomian nasional. Dalam sejarah industri militernya, India tidak pernah menjalankan kerjasama ventura, namun hanya menjalankan program kerjasama produksi dengan MNC Internasional, maupun pemerintah asing. Maka untuk mengatasi ancaman kebangkrutan industri militernya, India mengambil langkah lebih menekankan pembangunan modal manusia sebagai sumber inovasi. Fungsi pusat riset militer dalam kluster teknologi yang telah ada ditingkatkan karena menjadi penghasil sumber daya manusia (HRD) yang siap menawarkan berbagai hasil penelitian untuk ditindak lanjuti oleh investor informal, firma domestik, MNC pertahanan atau oleh pemerintah sendiri melalui DPSU sebagai SoE di sektor militer. India, Berbeda dengan Cina yang mengimplementasikan konsep integrasi militer-sipil dalam posisi asymetris. Pemerintahannya mendudukkan posisi firma domestik dalam posisi yang seimbang dengan MNC pertahanan. DRDO sebagai lembaga riset pemerintah yang didirikan pada tahun 1958 mengkordinir jaringan pusat penelitian dan laboratorium militer. Karena perkembangannya cukup pesat maka beberapa tahun kemudian, 1962 didirikan Department of Defense Production sebagai lembaga produksi yang membawahi SPEKTRUM Peran Pemerintah dalam Pembangunan Kluster Industri Militer delapan DPSU dan 39 Ordonance Factories (OF). Pada tahun yang sama juga telah ditetapkan bahwa landasan industri militer domestik India selain DPSU dan OF juga firma domestik. Keterlibatan industri militer domestik di India memiliki fungsi ganda bagi pemerintah maupun MNC pertahanan. Bagi pemerintah, partisipasi aktif firma domestik sebagai sub kontraktor dari SoE militer selain memberikan peluang efisiensi anggaran belanja militer, juga menjadi wahana transfer teknologi. Sementara bagi MNC pertahanan, pemberian kewenangan bagi firma domestik India untuk menjalin kerjasama dengan mereka berarti juga menjadi celah untuk merintis privatisasi industri militer di negara berkembang melalui kerjasama ventura P to P. Merujuk pada Press Note No 4 2001, Tiga konsep lama dalam prosedur Persenjataan Militer (DPP/ Defense Procrurement Procedure) tetap dijalankan namun dengan ketentuan komposisi yang berbeda, yakni : Buy atau impor persenjataan hanya diperbolehkan jika 30 % dari proses akhir produksi persenjataan dilakukan oleh swasta ‘domestik India. Buy and Make – offset, harus memenuhi ketentuan maksimal komposisi andil antara swasta domestik / DPSU sebesar 74% dengan muatan asing hanya terbatas 26%. Sedangkan konsep make Vol. 14, No. 2, Juli 2013 Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional Ismiyatun adalah produk asli India baik design, pengembangan maupun produksinya dilakukan di India, pemerintah mengurangi anggaran belanja untuk kepentingan produksi, menyerahkan sepenuhnya kepada pihak swasta domestik. Anggaran belanja bagi industri militer sesuai dengan kebijakan baru, lebih diprioritaskan bagi kepentingan riset dan pengembangan. Keberadaan berbagai pusat riset militer yang didirikan pemerintah menyatu dengan beberapa industri lain, khususnya industri IT di dalam suatu kluster teknologi tinggi secara tidak langsung menciptakan suatu akselerasi dalam industri sekaligus mendorong tingkat partisipasi swasta domestik dalam industri militer. Karakter civiliant secara tidak langsung semakin menonjol dalam industri militer India yang semula cenderung sebagai penghasil rudal balistik. Beberapa firma domestik, khususnya di bidang IT selain menjadi sub kontraktor dari MNC Pertahanan melalui offset juga menawarkan jasa militer lintas negara. Hal ini menandakan bahwa proses alih teknologi sudah berlangsung. Untuk mendukung kebijakan ini, India mengintensifkan diplomasi ekonomi maupun militer. Diplomasi ekonomi dilakukan untuk kepentingan inovasi, serta pengembangan kluster teknologi secara umum. Targetnya adalah peningkatan jumlah kerjasama ventura SPEKTRUM Peran Pemerintah dalam Pembangunan Kluster Industri Militer maupun produksi dengan negara industri maju, terutama AS dan Eropa, di bidang teknologi informasi serta persenjataan. Di sisi lain, diplomasi militer yang dijalankannya melalui kluster ini selain memasarkan suatu jasa militer seperti tersebut di atas juga bisa dilakukan melalui kerjasama riset militer dengan negara berkembang lainnya maupun industri maju. Diplomasi militer ini integral dengan kebijakan nasional dalam persenjataan sehingga mampu memberikan peluang bagi mereka untuk memperoleh pengakuan dari negara lain atas kekuatan militer mereka sekaligus kesempatan untuk alih teknologi dan pengembangan modal manusia. Keberhasilan Kebijakan ini dipengaruhi oleh faktor endogen maupun eksogen. Faktor endogen mencakup : letak geografis India, dukungan human capital yang trampil dan terlatih sebagai hasil sistem pendidikan yang integral dengan negara industri militer modern, kekuatan PMSC India. Sedangkan faktor eksogen mencakup tersedianya pasar potensial, dukungan komunitas India di AS maupun Eropa, Dukungan Pemerintah serta MNC dari Negara Asing. F. Metode Penelitian Di dalam Penelitian ini penulis menggunakan case study sebagai metodenya. Secara ontologis, yang membedakan metode case Vol. 14, No. 2, Juli 2013 Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional Ismiyatun Peran Pemerintah dalam Pembangunan Kluster Industri Militer study dengan metode lainnya menurut John Gerring21 adalah sifat hard dan fast yang dimilikinya. Secara metodologis, dia memiliki enam karakteristik, yakni : a) terbentuk dari beragam variabel yang saling berhubungan, b) mengasumsikan perbedaan yang nyata antara formal dan informal atas unit yang dipelajari c) terdapat dua pilihan single case study atau multi case studies, hasilnya bisa dijadikan suatu bahan rujukan dalam cross case analysis d) berfungsi ganda yakni suatu fenomena selain sebagai obyek penelitian juga berfungsi sebagai alat analisa dari case study yang lebih luas e) kesimpulannya bersifat ilustratif dan masih perlu diuji validitasnya f) proposal penelitiannya bersifat inherent. Case study sebagai sebuah metode riset menurut Robert K Yin22 di dalam aliran positivist, juga berfungsi sebagai suatu strategi penelitian, dengan karakteristik investigasi, generalisasi, teorisasi dan observasi. Teorisasi, di dalam case study, lebih bertumpu kepada implikasi atas berbagai teori yang sudah tersedia. Lebih lengkap lagi Yin mengemukakan tahapan teorisasi yakni : a) construct validity, menetapkan ukuran operasional yang benar atas konsep yang diteliti, b) internal validity, menetapkan hubungan (causality) dimana berbagai kondisi tertentu ditunjukan telah menuntun ke arah kondisi lainnya di dalam satu konteks, c)eksternal validity, menetapkan suatu domain dimana penemuan atas studi ini dapat digeneralisasikan d) Reliability, menunjukkan bahwa operasional suatu studi yang telah dilakukan dapat berulang terjadinya di dalam kasus lainnya sebagai sebuah variabel ataupun suplemen. Dari beragam jenis case study, peneliti memilih cara kualitatif guna mendapatkan pemahaman yang lebih menyeluruh. Menurut Robert Stake23, pilihan ini dalam prakteknya didominasi oleh kepentingan yang bersifat naturalistik, holistik, kultural, dan fenomenologis. Keunikan dari metode ini menurut Stouffer 24 terletak pada : a) kondisi dari kasus tersebut b) latar belakang sejarah c) lokasi kasus d)konteks lainnya mencakup ekonomi, politik, hukum dan estetika. e) informant. Lebih lanjut lagi dikemukakan Stake, cara peneliti di dalam mentransfer pengetahuan atau menulis laporan penelitian terstruktur 21Gerring, John. 2004. “ What Is a Case Study and What Is It Good for ? “ The American Political Science Review, Vol. 98, No. 2 (May) 22Yin, Robert K. 2003. Case Study Research Design and Method. California : Sage Publications. p. 10 23In Denzin, Norman K. Yvonna S Lincoln (ed), 1994. Handbook of Qualitative Research. California : SAGE Publication 24Stouffer, SA. 1941. “Notes on the case study and the unique case”, Journal Sociometry 4 1941 p 349-357 in ibid SPEKTRUM Vol. 14, No. 2, Juli 2013 Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional Ismiyatun dan terorganisir melalui dua cara yakni triangulation dan perbandingan. Triangulasi, menurut Huberman25 meliputi prosedur analisa data yang cukup interaktif yakni : a) pengumpulan data b)seleksi data c)tampilan data d)analisa data melalui merangkum/ meringkas, mencari tema /pola hubungan, menemukan korelasi, mengembangkan eksplanasi e)kesimpulan. Sedikit berbeda dengan Yin, yang cenderung kuantitatif, menurut Huberman, para peneliti yang memilih prosedur kualitatif harus memahami bagaimana mengkonstruksi teori sebagai suatu prosedur analisa, karena konstruksi baik secara langsung maupun tidak akan mempengaruhi dan membatasi berbagai langkah yang sudah disebutkan diatas. Beberapa alternatif konstruksi mencakup : a) artikulasi grand theory b) pemetaan dan generalisasi c) memilih pola atas berbagai yang diprediksikan untuk dibandingkan dengan fenomena yang secara aktual diamati d) penetapan model dengan serangkaian proposisi yang merangkai korelasi hierarkhis secara spesifik, diantara komponen, e) penetapan jaringan korelasi non hierarkhis melalui pernyataan yang mendefinisikan mata rantai antar konsep. Umumnya triangulasi digunakan untuk multi case Huberman, A Michael. Mattew B Miles.1994. “Data Management and Analysis Methods, in Ibid 25 SPEKTRUM Peran Pemerintah dalam Pembangunan Kluster Industri Militer study, analisa yang digunakan cross case analysis dengan mixed strategy, merujuk pada pendapat Fischer dan Wertz26 yang menggunakan pendekatan fenomenologis. Strategi ini dimulai dengan menyusun informasi dasar dari beberapa kasus kemudian dimasukkan ke dalam sebuah bagan besar. Langkah berikutnya adalah mendeskripsikan dan yang terakhir adalah menganalisa fluktuasi dari berbagai kasus yang berbeda dalam suatu kerangka aliran besar dari berbagai kejadian dan kondisi. Pemaparan dengan komparasi, menurut Stake merupakan fungsi epistemologi dari case study karena laporan penelitiannya mengandung unsur perbandingan serta bisa dijadikan obyek komparasi bagi penelitian lainnya. Sehingga typenya adalah intrinsik, instrumentalis, dan kolektif. Deskripsi yang digunakannya bukanlah pemaparan secara terperinci / thick description, melainkan dengan jalan membandingkannya dengan obyek penelitian lainnya / comparative description yang lebih bersifat umum. Generalisasi dari berbagai kasus yang berbeda lebih dipercaya daripada hanya satu fenomena. Di dalam menguraikan kemunculan suatu fenomena, lebih dianjurkan dengan cara ini, yakni melibatkan konteks baik secara internal maupun eksternal. Penulis memilih cara ini dalam 26Fischer, C. F Wertz.1994. “Empirical Phenomonological analyses of being criminally victimized, in Ibid Vol. 14, No. 2, Juli 2013 Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional Ismiyatun mendeskripsikan hasil penelitian tentang pengembangan kluster industri militer India. Kembali ke persoalan pilihan kualitatif, menurut Bill Gillham27 dengan kualitatif maka peneliti akan memperoleh beberapa keuntungan yakni : 1. Menjalankan investigasi dimana metode lainnya tidak mampu memfasilitasinya 2. Menginvestigasi berbagai situasi dimana sang peneliti hanya memiliki sedikit bekal pengetahuan atas obyek penelitian 3. Mengeksplorasi kompleksitas yang berada diluar skope berbagai pendekatan yang lebih terkontrol 4. Mengungkapkan fakta di balik suatu peristiwa 5. Memandang suatu kasus dari perspektif berbagai responden yang terkait 6. Menjalankan suatu riset yang lebih mengutamakan proses yang sedang berlangsung bukan pada signifikansi hasil atas suatu penelitian. Merujuk pada pendapat Gillham, serta didukung Yin teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui dokumentasi dan observasi. Teknik wawancara dalam penelitian ini tidak dijalankan karena sesuai dengan pendapat Gillham28, teknik ini hanya bisa 27 Gillham, Bill . 2000. Case Study Research Method Real World Research. London : Continuum 28Gillham, Bill. op cit p 62 SPEKTRUM Peran Pemerintah dalam Pembangunan Kluster Industri Militer dilakukan kalau memenuhi beberapa kondisi sebagai berikut : a) N berskala kecil b) responden mampu diakses dengan mudah c) responden memiliki potensi sebagai key informant sehingga tanpa data yang mereka berikan penelitian gagal memberikan jawaban atas pertanyaan yang dirumuskan d) jenis angket yang digunakan bersifat terbuka / open end questionare e) apabila bahan atau data yang dibutuhkan bersifat sensitif karena terkait dengan human affairs sehingga untuk mendapatkan fakta nyata harus menemui responden terkait. Di dalam penelitian ini observasi hanya dilakukan sebagai pendukung, sehingga dipilih alternatif non partisipant observation. Dua jenis yang digunakan : a. Detached/structured observation – merujuk istilah dari Gillham, mengamati dari luar obyek yang diteliti secara teliti dan mengklasifikasikannya. Sifatnya obyektif dan terstruktur . Dilakukan atas data sekunder terkait seperti : data statistik tentang GNP dan GDP India, Pertumbuhan Ekonomi India. b. Descriptive narative observation – merujuk istilah dari Helen Simons29, berusaha mengungkapkan ‘clues’ Simons, Helen. 2009. Case Study Research in Practise , California : Sage Publication p 61 29 Vol. 14, No. 2, Juli 2013 Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional Ismiyatun atau pendapat yang sarat dengan makna (value laden comment) sehingga fakta dapat terungkap. Data yang terkumpul dianalisa dengan proses tracking dan historical eksplanation30, suatu cara analisa di dalam case study yang mencoba menemukan suatu keteraturan, mekanisme sebab akibat melalui penelusuran atas peristiwa di masa lalu. Di dalam buku yang sama juga dikemukakan penjelasan tentang dua hal ini dari Jack Goldstone, proses tracking lebih menekankan usaha untuk menjelaskan fenomena secara macrohistorical sehingga untuk mengidentifikasi suatu proses, maka harus dielaborasikan beberapa theori menyangkut : a) di dalam aspek apa saja kondisi tersebut diamati b) kaitannya dengan beberapa prinsip umum yang terjadi di beberapa kasus serupa c)generalisasi yang bisa dilakukan atas beberapa kasus. G. Sistematika Penulisan Penulisan disertasi sebagai suatu karya ilmiah menuntut penulisan laporan penelitan yang terstruktur ke dalam beberapa bab, sehingga pembaca lebih mudah memahami interpretasi berbagai konsep maupun teori di dalam femonema, dan data yang ditampilkan. Bab I merupakan bagian pendahuluan, meliputi : a) latar belakang, b)rumusan masalah dan tujuan penelitian, 30George, Alexander L. Andrew Bennett. 2004. Case Studies and Theory Development, Massachussets : Belfer Center for Science and International Affairs. p 205 - 207 SPEKTRUM Peran Pemerintah dalam Pembangunan Kluster Industri Militer c) ringkasan penelitian terdahulu yang terangkum ke dalam tinjauan pustaka, d) kerangka teori yang merangkum berbagai teori terpilih, disusun secara sistematis sebagai rujukan teoritis, e) hipotesa, sebagai jawaban ringkas pertanyaan yang tertuang dalam perumusan masalah, f) metode penelitian dan g)sistematika penulisan. Bab II – Industri Militer di Negara Berkembang, menguraikan pengembangan industri militer di negara berkembang dari sudut pandang developmentalist state theory. Pembahasan di dalam bab ini disusun berdasarkan konsep yang terurai dalam kerangka teori serta hipotesa. Uraiannya mencakup a) Industri Militer dan Developmentalist State Theory b) Aktor Pembuat Kebijakan dalam Industri Militer d) Peluang Negara Berkembang dalam Industri Militer e) Hambatan dan Tantangan Pengembangan Industri Militer Bab III – “Pembangunan Industri Militer India”, disini dibahas pengembangan industri militer India secara umum dimulai dari sejarahnya, faktor yang mempengaruhinya yakni karakteristik keamanan regional Asia Selatan dan RMA atau revolusi di bidang militer, perubahan konsep pengembangannya sebagai akibat dari dua hal yang tersebut. Private military service company dan pasar industri Vol. 14, No. 2, Juli 2013 Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional Ismiyatun militer India menutup uraian sebagai hasilnya, yang pertama adalah unsur swasta yang mendampingi pemerintah dalam menjalankan ekspor jasa militer, sedangkan yang terakhir menguraikan konsumen targetnya. Bab IV –“Lembah Silikon India dan Pembangunan Kluster Industri Militer”. menampilkan data utama yang menjadi fokus penelitian. Mencakup sejarah pengembangan industri militer di lembah silikon India, kemudian secara berurutan dibahas kluster industri militer, keunggulan kompetitifnya, angel investor dan universitas riset sebagai dua komponen utama dan terakhir dibahas MNC pertahanan utama di dalamnya Bab V-“Kebijakan Industri Militer India”, menjawab pertanyaan pertama di dalam perumusan masalah. Pemerintah India memilih fungsi sebagai manager, mengkoodinir firma swasta, angel investor dan universitas riset. Kepemimpinannya lebih didominasi oleh semangat kewirausahaan dan kemandirian. Pembahasan di dalam bab ini meliputi : Kebijakan Kluster berteknologi informasi (ITC Policy), Pengembangan Human Capital, Manajemen atas firma domestik, angel investor, universitas riset dan MNC. Uraian tentang diplomasi ekonomi India dengan tujuan peningkatan kerja sama militer dengan Negara Barat maupun Berkembang, sebagai media pemasaran menutup bab ini. SPEKTRUM Peran Pemerintah dalam Pembangunan Kluster Industri Militer Bab VI– “Keberhasilan Lembah Silikon sebagai Kluster Industri Militer”, menjawab pertanyaan kedua. Penulis menguraikan faktor endogen dan eksogen sehingga kebijakan yang terurai di dalam bab V bisa berjalan. Faktor endogen mencakup letak geografis India, dukungan human capital yang trampil dan terlatih sebagai hasil sistem pendidikan yang integral dengan negara industri militer modern, kekuatan PMSC India. Sedangkan faktor eksogen mencakup tersedianya pasar potensial, dukungan kumonitas India di AS maupun Eropa, Dukungan Pemerintah serta MNC dari Negara Asing. Bab VII – Penutup, di dalam kesimpulan penulis kembali menegaskan secara singkat jawaban perumusan masalah serta mengemukakan pernyataan ilmiah terkait dengan kasus yang diteliti sebagai bukti kebaharuan dari penelitian. Di akhir bab, dikemukakan scientific suggestion dan kontribusinya bagi ilmu pengetahuan. Daftar Pustaka Text Book Berberoglu, Berch. 1992. The Political Economy of Development : Development Theory and The Prospect for Change.. New York : State University of New York Press Bitzinger, Richard A. 2009. The Modern Defense Industry : Political, Economy, Vol. 14, No. 2, Juli 2013 Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional Ismiyatun Technological Issues. California : ABC-CLIO Brauer, Jurgen dan J Paul Dunne. 2005. Arm Trade and Economic Development : Theory, Policy and Cases in Arms Trade Offsets. New York : Routlegde Denzin, Norman K. Yvonna S Lincoln (ed), 1994. Handbook of Qualitative Research. California : SAGE Publication George, Alexander L. Andrew Bennett. 2004. Case Studies and Theory Development. Massachussets : Belfer Center for Science and International Affairs. Gillham, Bill . 2000. Case Study Research Method Real World Research. London : Continuum Gilpin, Robert. 1981. War and Change in World Politics. New York : Cambrigde University Press _____________ 2000. The Challenge of Global Capitalism : the World Economy in the 21st Century. New Jersey : Princeton University Press _____________and Jean M Gilpin. 2001. Global Political Economy : Understanding the International Economic Order . New Jersey : Princeton University Press Johnson,Chalmers. 1995. Japan : Who Governs ? : The Rise of the SPEKTRUM Peran Pemerintah dalam Pembangunan Kluster Industri Militer developmental State. New York : W.W. Norton Company Inc Sawhney, Mohan et al. 2001. Tech Venture : New Rules on Value and Profit from Silicon Valley. New York : John Wliey & Son Inc Segal, Adam. 2003. Digital Dragon : High Technology Enterprises in China. New York : Cornel University Press Simons, Helen. 2009. Case Study Research in Practise , California : Sage Publication Wade, Robert. 1990. Governing the Market : Economic Theory and the role of Government in East Asia Industrialization. New Jersey : Princeton University Press Weiss, Linda. 1998. The Myth of the Powerless State. New York : Cornell University Press Yin, Robert K. 2003. Case Study Research Design and Method. California : Sage Publications International Journal Beeson, Mark. 2009.”Developmental State in East Asia : A Comparison of the Japanese and Chinese Experiences”. Asia Perspectives Vol 33 No 2 Chin, Lim Hyun and Jan Jin- Ho. Between Neoliberalism and Democracy : the Vol. 14, No. 2, Juli 2013 Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional Ismiyatun Transformation of the Developmental state in South Korea. Development and Society Volume 35 No 1 (June) Gerring, John. 2004. “ What Is a Case Study and What Is It Good for ? “ The American Political Science Review, Vol. 98, No. 2 (May) Leslie, Suart W and Robert H Kargon. 1996. Selling Silicon Valley : Frederick Terman’ model for Regional Advantage. The Bussines History Review, Vol 70 No 4 (Winter) Neuman, Stephanie G. 1994. “Arm Transfers, Military Assistance, and Defense Industries : Socio economic Burden or Opportunity ?”. Annal of the American Academy of Political and Social Science Vol 535 : The Arm Trade : Problem and Prospect in the Post Cold War World (Sept) Öniş, Ziya. 1991. “The Logic of the Developmental State Asia's Next Giant: South Korea and Late Industrialization by Alice H. Amsden; The PoliticalEconomy of the New Asian Industrialism by Frederic C. Deyo; MITI and the Japanese Miracle by Chalmers Johnson; Governing the Market: Economic Theory and the Role ofGovernment in East Asian Industrialization by Robert Wade”(Article SPEKTRUM Peran Pemerintah dalam Pembangunan Kluster Industri Militer Review). Comparative Politics, Vol. 24, No. 1 (Oct) Ross, Andrew L. Peter Dombrowski. 2008.”The Revolution in Military Affairs, Transformation and the Defence Industry”. Security Challenges, Vol. 4, No. 4 (Summer ) Seung, Wook Baek. 2005. “Does China Follow the East Asian Development Model”. Journal of Contemporary Asia Vol 35 no 4 Woolcock, Michael and Deepa Narayan. 2000.”Social Capital : Implication for Development Theory, Research and Policy”. World Bank Research Observer. Vol 15 (2) December International Paper Cohen,Stephen S and Gary Fields. 1999. “Social Capital and Capital Gains or Virtual Bowling in Silicon Valley : an Examination of Social Capital in Silicon Valley”. Paper that had been prepared for Local Economic and Employment Development (LEED) Programe for the Conference “Local Economic Development : Social Capital and Productive Networks, in Mexico City , January 18-19th . Vol. 14, No. 2, Juli 2013 Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional