Ismiyatun Peran Pemerintah dalam Pembangunan Kluster Industri

advertisement
Ismiyatun
Peran Pemerintah dalam
Pembangunan Kluster Industri Militer
PERAN PEMERINTAH DALAM
PEMBANGUNAN KLUSTER INDUSTRI MILITER :
Studi Kasus Lembah Silikon di Bangalore India dan Sekitarnya
Oleh:
Ismiyatun
Kandidat Dotor Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada
Abstract
The research was held to investigate India goverment policy in military industry
development toward Bangalore silicon valley area as information technology
military industry cluster for anticipate revolution on military affairs. India
silicon valley development had different type, partnership system with local firm
and MNC had roled as pathway to technology transfer and human capital. The
novelty is lied on its description about military industry, technology cluster and
developmentalist state theory. The cluster is used as development vehicle that
could answer sectoral issues especially on military, and information technology
because of its technology venture gave power to attain economic diplomacy. The
recent researches explored that issue but in fragmented ways, while as general
silicon valley was identical with capitalist and neoliberal, but with economic
diplomacy, developmentalist state could utilize behind policy to its military
industry
Keywords : military industry, technology cluster, developmentalist state theory
A.
Latar Belakang Masalah
Perkembangan
Industri
militer
India
mengalami
kemajuan
yang
cukup pesat sejak dekade
terakhir
ini,
dibandingkan
dengan beberapa negara dunia
ketiga
lainnya.
Berbagai
penelitian
berusaha
untuk
mengungkapkan keberhasilan
pengembangan industri militer
India ini dari berbagai segi :
keamanan
internasional,
ekonomi politik sampai dengan
kaitan antara industri militer
dengan pengembangan kluster
teknologi di wilayah Bangalore
dan
sekitarnya.
Kluster
teknologi
disana,
mampu
berakselerasi dan memberikan
nilai lebih dalam pembangunan.
SPEKTRUM
Usaha suatu negara untuk
mengkaitkan
antara
pengembangan industri militer
domestiknya dengan kluster
teknologi sehingga mampu
memfasilitasi
terbentuknya
jaringan antara pemerintah,
MNC, firma domestik di satu
sisi dengan pemerintah negara
lainnya inilah yang menjadi titik
awal penelitian.
Sejak
awal
kemerdekaannya di tahun 1947,
industri
militer
India
mendapatkan perhatian utama
dari segenap pembuat kebijakan
negara. Dorongan politis bagi
industri ini adalah konflik yang
berkepanjangan
dengan
Pakistan, Srilangka dan Cina
sebagai negara tetangga. Konflik
Vol. 14, No. 2, Juli 2013
Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional
Ismiyatun
ini semakin melebar sampai ke
persoalan demokratisasi Burma
(Myanmar). Tujuan utama India
dalam pengembangan industri
ini adalah untuk memenuhi
kebutuhan persenjataan modern
bagi angkatan bersenjatanya.
Target
utamanya
adalah
terciptanya
suatu
tingkat
kemandirian
militer
yang
mampu memberikan dampak
penangkalan
atas
ancaman
maupun tekanan dari negara
lain.
Di awal tahun 1960an
– masa Perang Dingin, India
berusaha
mengembangkan
industri militernya dengan lebih
mengandalkan import maupun
bantuan persenjataan dari Uni
Sovyet dan beberapa negara
Barat, tingkat import militer
India tetap tinggi dari tahun ke
tahun.
India
kemudian,
mengembangkan sistem offset,
khususnya
dengan
Rusia,
Perancis dan Inggris. Tujuannya
adalah
untuk
memenuhi
kebutuhan militer domestik,
mengurangi
ketergantungan
terhadap import / bantuan
militer dari negara lain, dan
mencapai tingkat kemandirian
militer yang lebih baik melalui
transfer teknologi.
Selain offset, India juga
mengembangkan senjata lapis
baja, roket pembawa bom
tandan, satelit, radar dan rudal
balistik dengan tenaga nuklir.
Khusus program yang terakhir
tersebut, dicanangkan IGMDP
(Indigeous
Guided
Missile
Development Programe), suatu
program
nasional
pengembangan rudal bertenaga
nuklir, yang melibatkan firma
SPEKTRUM
Peran Pemerintah dalam
Pembangunan Kluster Industri Militer
swasta, Universitas riset bahkan
MNC India seperti Tata Group.
Beberapa pusat riset militer
didirikan
dalam
kluster
teknologi yang terletak di
Bangalore,
Hyderabad
dan
sekitarnya untuk kepentingan
produksi dan inovasi berbagai
senjata
berteknologi
tinggi
tersebut. Dari program tersebut,
berhasil dikembangkan
lima
jenis jenis rudal, antara lain
Agni ( rudal balistik regional
jarak menengah), Pritvi ( rudal
balistik jarak pendek), Akash
dan Trishul (rudal SAM jarak
menengah), dan Nag (ATGM /
rudal anti tank).
Selain itu, beberapa
pusat penelitian militer yang
dialokasikan di dalam kluster
ini
juga
berhasil
mengembangkan
rudal
bertenaga nuklir yang bisa
ditembakkan dari dasar lautan
(nuclear sub marines) dengan
teknologi
ATV
(Advanced
Technology Vehicle).
Para
ilmuwan
India
mampu
melakukan alih teknologi ini
dari Rusia (ketika itu USSR). Di
tahun 1988, terjadi leasing
Charlie 1 selama tiga tahun
untuk keperluan pelatihan, sejak
tahun 2007 teknologi ini mulai
dikembangkan dengan nama
Chakra
namun
kelanjutan
inovasinya mengalami kendala
pembiayaan.
Kendala
tersebut
merupakan masalah utama bagi
India, karena semua produksi
senjata modern
berasal dari
perusahaan milik negara. Setiap
tahun
pemerintah
harus
mengeluarkan anggaran yang
selalu meningkat sementara
Vol. 14, No. 2, Juli 2013
Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional
Ismiyatun
ekspornya
belum
mampu
menutupi
seluruh
biaya
produksi. Permasalahan kedua
dan
ketiga
yang
muncul
kemudian adalah segmen pasar
dan
kontribusinya
dalam
penciptaan lapangan kerja.
Letak geografis India
yang berdekatan dengan Timur
Tengah dan Afrika sebagai
daerah yang rawan konflik,
memberikan peluang untuk
mengatasi persoalan kedua,
namun sifat monopsoni industri
militer
berakibat
tingginya
tingkat persaingan antar negara.
Di sisi lainnya firma domestik
India
belum
mampu
memberikan
andil
yang
seimbang sebagai rekanan bagi
perusahaan
negara.
Iklim
kewirausahaan dalam industri
militer
belum
berkembang
secara maksimal sebagai suatu
sarana penyediaan lapangan
kerja.
Industri militer India
terancam
stagnasi
bahkan
kebangkrutan di akhir tahun
1990 an, karena pangsa pasar
dan pesanan produk militer
semakin menurun, sementara
tuntutan inovasi, khususnya
pengembangan nuclear sub
marine
membutuhkan
pembiayaan cukup besar. Sejak
tahun 2000, India mulai intensif
memberdayakan
kluster
teknologinya
untuk
meningkatkan andil swasta
domestik maupun internasional
dalam internalisasi industri
militer
melalui
diplomasi
ekonomi
maupun
militer.
Diplomasi ekonomi dilakukan
untuk kepentingan inovasi,
serta
pengembangan kluster
SPEKTRUM
Peran Pemerintah dalam
Pembangunan Kluster Industri Militer
teknologi
secara
umum.
Targetnya adalah peningkatan
jumlah
kerjasama
ventura
maupun
produksi
dengan
negara industri maju, terutama
AS dan Eropa, di bidang
teknologi
informasi
serta
persenjataan.
Peningkatan
kemampuan kluster teknologi
berdampak pada peningkatan
iklim kewirausahaan termasuk
di sektor industri militer karena
teknologi sifatnya multi guna
baik untuk kepentingan sipil
maupun
militer.
Firma
domestik, terutama di bidang
otomotif
serta
teknologi
informasi diharapkan semakin
meningkat
andilnya
dalam
industri
militer.
Untuk
kepentingan inilah pemerintah
India menginisiasikan konsep
diplomasi militer multi guna,
selain menawarkan konsep
latihan
bersama
(military
exercises), dan dialog tahunan
juga menawarkan
berbagai
konsep kerjasama militer di
bidang riset dan produksi.
A. Rumusan Masalah dan Tujuan
Penelitian
Dengan
berpijak
kepada pemikiran tersebut,
maka peneliti merumuskan
masalah yang akan dibahas di
dalam disertasi ini adalah :
1. Bagaimanakah
kebijakan
India
dalam
mengembangkan
industri
militer melalui
kluster
teknologi di Bangalore dan
sekitarnya ?
2. Mengapa
India
mampu
menjalankan
kebijakan
tersebut, sehingga menjadi
salah satu negara dunia
Vol. 14, No. 2, Juli 2013
Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional
Ismiyatun
ketiga dengan kekuatan
militer
yang
cukup
diperhitungkan ?
Penelitian
ini
bertujuan
untuk
menginvestigasi
kebijakan
pemerintah
India
dalam
pengembangan industri militer
melalui
pendirian
berbagai
pusat riset militer di lembah
silikon yang terletak di wilayah
Bangalore
dan
sekitarnya
sebagai suatu kluster industri
yang
bercirikan
teknologi
informasi.
Berbeda dengan
Cina, Brazil maupun Korea
Selatan
yang
mampu
mengembangkan
kluster
industri militer berteknologi
tinggi secara terpisah dari sektor
industri lainnya, India hanya
mendirikan berbagai pusat riset
militer di dalam suatu kluster
teknologi.
Selain
itu
juga
menjelaskan keberhasilan arah
kebijakan baru tersebut, faktor
pendukung
internal
dan
eksternal
sehingga
India
mampu menjadi negara dunia
ketiga dengan kekuatan militer
yang cukup diperhitungkan.
Industri ini bisa meningkatkan
kontribusinya
dalam
pembangunan karena terjadi
keseimbangan antara anggaran
belanja
militer
dengan
kemampuan
ekspor,
serta
penciptaan lapangan kerja.
Hasil dari penelitian
ini
menjadi
salah
satu
penegasan yang memperkaya
berbagai konsep maupun teori
dominasi negara di dalam
proses pembuatan kebijakan
pembangunan
sektoral.
Pemerintah
sebagai
regim
SPEKTRUM
Peran Pemerintah dalam
Pembangunan Kluster Industri Militer
B.
administratif, atas nama negara,
dengan kewenangan politiknya
menggunakan kekuasaan dalam
pembuatan kebijakan untuk
mengatasi
pasar,
bahkan
mampu melakukan pengawasan
terhadap
entitas
ekonomi
domestik, regional maupun
global
sehingga
mereka
berkontribusi
sebagai
agen
pembangunan.
Melalui penelitian ini,
bisa
dibuktikan
bahwa
developmentalist state theory
bisa
dipergunakan
untuk
menjelaskan berbagai alternatif
kebijakan
suatu
negara
berkembang ketika menghadapi
persoalan industrialisasi militer
modern
yang
melibatkan
hubungannya dengan
pasar
internasional maupun swasta
domestik. Cina, Korea Selatan
dan India dengan berbagai
pilihan kebijakan yang berbeda
beda namun masih di dalam
kerangka
perspektif
developmentalist state theory.
Mereka
terbukti
mampu
memberdayakan modal asing
dan kontraktor militer untuk
kepentingan
internalisasi
industri militer.
Tinjauan Pustaka
Penelitian sebelumnya
mengenai
pemberdayaan
kluster
teknologi
untuk
kepentingan industri militer di
negara berkembang
telah
banyak dilakukan oleh para ahli
ekonomi
politik.
Leslie1
mengungkapkan jika beberapa
negara berkembang di Asia
1Leslie, Suart W and Robert H Kargon.
1996. Selling Silicon Valley : Frederick Terman’
model for Regional Advantage. The Bussines
History Review, Vol 70 No 4 (Winter)
Vol. 14, No. 2, Juli 2013
Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional
Ismiyatun
menggunakan kluster teknologi
ini untuk mencapai keunggulan
regional.
Hanya
coraknya
berbeda,
disana
dominasi
pemerintah terlihat menonjol.
Leslie menyebutkan dua contoh
negara
dengan
konsep
pengembangan lembah silikon
yang berbeda. AS di satu sisi
mengembangkannya
dengan
liberalisasi
dan
privatisasi,
sedangkan
Korea
Selatan
mengintegrasikannya
dengan
kebijakan
pemerintah,
khususnya
di
bidang
pendidikan, riset dan strategi
pembangunan.
Neuman2, Andrew L
Ross3
dan
Bitzinger4
menghubungkan
tingkat
keberhasilan
usaha
negara
berkembang
dalam
pengembangan
kluster
teknologi ini dengan konsep
RMA (Revolution in Military
Affairs), semua menyepakati arti
pentingnya kluster teknologi
guna mengantisipasi tantangan
industri militer di abad 21.
Neumann berpendapat bahwa
RMA
mampu
memberikan
peluang komersialisasi industri
militernya melalui ekspor jasa
militer sebagai suatu produk
pelengkap.
2Neuman, Stephanie G. 1994. “Arm
Transfers, Military Assistance, and Defense
Industries : Socio economic Burden or Opportunity
?”. Annal of the American Academy of Political
and Social Science Vol 535 : The Arm Trade :
Problem and Prospect in the Post Cold War
World (Sept)
3Ross, Andrew L. Peter Dombrowski.
2008.”The Revolution in Military Affairs,
Transformation and the Defence Industry”.
Security Challenges, Vol. 4, No. 4 (Summer )
4Bitzinger, Richard A. 2009. The
Modern Defense Industry : Political, Economy,
Technological Issues. California : ABC-CLIO
SPEKTRUM
Peran Pemerintah dalam
Pembangunan Kluster Industri Militer
Kedua peneliti lainnya
mendukung
pendapat
ini
dengan dalih RMA menuntut
keberadaan
NCW
(Network
Centric Warfare) atau jaringan
tunggal yang menghubungkan
orang, platform, senjata, sensor,
dan berbagai keputusan tentang
bantuan militer dari negara lain.
Kemampuan
akses
yang
dimiliki kluster akan mampu
memfasilitasinya.
Kelompok penerus ini
semakin dilengkapi oleh hasil
penelitian Adam Segal5, tentang
pengembangan kluster industri
di Cina. Sementara beberapa
peneliti lainnya melanjutkan
dengan mengupas sisi lain dari
kluster ini, antara lain keterlibat
dari sudut fungsinya sebagai
wahana dalam pembangunan
modal manusia (human capital).
Bagi
negara
berkembang,
kluster ini menjadi wahana alih
teknologi serta memperoleh
dukungan
finansial
internasional bagi industrinya.
Beberapa
penelitian
tentang pemberdayaan kluster
teknologi untuk kepentingan
industri militer di negara dunia
Ketiga, seperti Cina, India,
Brazil,
Korea
Selatan
menunjukkan berbagai langkah
intervensi yang dilakukan oleh
pemerintah
untuk
menarik
investasi internasional, melalui
sistem
kerjasama
ventura
maupun produksi antara swasta
asing dengan perusahaan milik
negara (SoE) maupun firma
swasta dengan komposisi modal
cukup beragam. Kebijakan ISI
5Segal,
Adam. 2003. Digital Dragon :
High Technology Enterprises in China. New York
:Cornel University Press
Vol. 14, No. 2, Juli 2013
Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional
Ismiyatun
(Import Substituted Industry)
melalui sistem offset umumnya
menjadi
titik
awalnya
keterlibatan
pemerintah
di
dalam kluster ini. meskipun
secara umum, sistem offset
sendiri menurut Brauer6 sedikit
sekali keuntungan ekonomisnya
bagi LDC. Sehingga jika suatu
LDC menggunakan sistem ini
maka
disarankan
untuk
menerapkan sistem pasar yang
terlindungi (protected market)
dan harus mampu menangkap
keuntungan non ekonomis,
salah satunya adalah alih
teknologi.
Tiga konsep yang
menonjol di negara berkembang
ketika
memutuskan
untuk
mengembangkan
kluster
industri
militer
adalah
keberadaan teknokrat,
state
owned enterprises serta andil
modal asing, baik dalam bentuk
investasi
langsung
(FDI)
maupun investasi fortopolio.
Kaum teknokrat berpengaruh di
dalam
kelangsungan
serta
pengembangan modal sosial
sehingga bersama sama dengan
pembuat
kebijakan
lainnya
memutuskan strategi industri
yang digunakan apakah ISI,
EOI atau gabungan diantara
keduanya. Selain itu juga
sebagai segmen eksekutif, kaum
teknokrat aktif mengembangkan
diplomasi ekonomi dengan
negara industri maju maupun
negara
berkembang,
untuk
mendukung
terbentuknya
jaringan kluster industri militer
6Brauer, Jurgen dan J Paul Dunne.
2005. Arm Trade and Economic Development :
Theory, Policy and Cases in Arms Trade Offsets.
New York : Routlegde
SPEKTRUM
Peran Pemerintah dalam
Pembangunan Kluster Industri Militer
C.
internasional. Melalui jaringan
ini negara berkembang mampu
mempengaruhi pasar tenaga
kerja skill internasional.
Bersama sama dengan
SoE, golongan ini merupakan
wujud dari keberadaan suatu
embedded
autonomy,
sebagai
salah satu ciri khas yang
menonjol
di
dalam
developmentalist
state
theory.
Secara teoritis
pengendalian
modal asing di dalam suatu
perusahaan
hanya mampu
dilakukan apabila jumlahnya
maksimal
50
%.
Melalui
penelitian ini akan ditelaah lebih
lanjut kemampuan dari teori
tersebut dalam menjelaskan
tingkat keterlibatan pemerintah
India
dalam
internalisasi
industri militer melalui kluster
teknologi.
Kerangka Teori
Aliran developmentalist,
yang berkembang di akhir
tahun
1980an
sebagai
kebangkitan dari state centris
dan tantangan terhadap kaum
neoliberalist.
Inti
dari
pandangan ini, merujuk pada
pendapat Gilpin7, bahwa sistem
ekonomi internasional yang
liberal akan berujung kepada
anarkhi dan kegagalan pasar.
Pemerintah harus mengambil
peran yang cukup strategis
dalam
menciptakan
kelas
pengusaha,
mengidentifikasi
dan meletakkan skala prioritas
industri dalam pembangunan.
Segala kebijakan pemerintah
seharusnya
mampu
menciptakan insentif secara
7Gilpin,
Robert. 1981. War and Change
in World Politics. New York : Cambrigde University
Press
Vol. 14, No. 2, Juli 2013
Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional
Ismiyatun
struktural sehingga tercipta
iklim
wirausaha
guna
mengantisipasi
keunggulan
komparatif di masa depan.
Sebagai salah satu
peletak dasar developmentalist
state theory, Robert Gilpin8 sejak
awal sudah mengemukakan
bahwa teknologi menjadi salah
satu wacana yang harus diubah,
disamping sistem ekonomi,
sosial
dan
politik
guna
terciptanya keseimbangan yang
menguntungkan baik negara
kaya maupun miskin. Tingkat
perbandingan ekspor import,
Aliran sumber daya baik baik
modal,
teknologi
maupun
komoditi dan sistem moneter
internasional merupakan tiga
instrumen
pokok
dalam
kebijakan negara.
FDI dan MNC harus
berada di bawah koordinasi
suatu regim internasional – home
state dan host state, sehingga
pemerintah bisa secara langsung
mengintegrasikannya
dengan
bank dan firma nasional sebagai
suatu aliansi kapitalisme. Fungsi
negara dalam aliansi ini adalah
sebagai
fasilitator
sehingga
industrialisasi berakselerasi dan
berkesinambungan. Pandangan
Gilpin tentang teknologi dan
negara tersebut menjadi titik
tolak
kebijakan
developmentalist state dalam
pemberdayaan kluster teknologi
untuk kepentingan berbagai
sektor industri utama yang
tergolong ke dalam urusan
publik, salah satunya adalah
8Gilpin, Robert and Jean M Gilpin.
2001. Global Political Economy : Understanding
the International Economic Order . New Jersey :
Princeton University Press
SPEKTRUM
Peran Pemerintah dalam
Pembangunan Kluster Industri Militer
militer. Dua contoh negara
berkembang
yang
disebut
Gilpin mampu merealisasikan
dominasi
negara
dalam
pembangunan
ekonomi
sehingga
muncul
sebagai
kekuatan ekonomi tandingan
bagi kapitalisme Barat adalah
Jepang dan China.9
Menurut Linda Weiss,
akar
pemikiran
dari
developmentalist
state
theory,
sama
seperti
aliran
neoliberalisme, berasal dari
Eropa
Barat.
Apabila
neoliberalisme tumbuh subur di
Inggris
dan
kemudian
dikembangkan
oleh
kaum
emigran ke AS, maka Jerman
dan Swedia dengan slogan
nasionalisme ekonomi, sejak
paska
Perang Dunia II,
mengembangkan
konsep
dominasi
negara
sebagai
antisipasi globalisasi ekonomi
dan
politik
internasional.
sehingga menyebar sampai ke
Jepang dan Korea Selatan.10
Perkembangan aliran
ini, dijelaskan oleh Berch
Berberoglu11 terbagi ke dalam
dua kelompok yakni :
a) Structuralist
developmental State,
lebih
bertumpu
kepada peran negara
dalam
kebijakan
industrialisasi, dua
opsinya adalah EOI
9Gilpin,
Robert. 2000. The Challenge of
Global Capitalism : the World Economy in the 21st
Century. New Jersey : Princeton University Press
10Weiss, Linda. 1998. The Myth of the
Powerless State. New York : Cornell University
Press
11Berberoglu, Berch. 1992. The Political
Economy of Development : Development Theory
and The Prospect for Change.. New York : State
University of New York Press
Vol. 14, No. 2, Juli 2013
Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional
Ismiyatun
(Export
Oriented
Industry) atau ISI
(Import Substitution
Industry).
India,
Afrika Selatan serta
beberapa negara Asia
Tenggara
seperti
Singapura
adalah
contoh negara yang
mengmplikasikan
berbagai konsep dari
type ini ke dalam
kebijakannya
b) Capitalist
developmental State,
membahas peran dan
urgensi
dominasi
negara atas pasar
sehingga
menciptakan suatu
akumulasi
modal
dalam
negara
sebagai
suatu
lembaga
yang
memiliki kekuasaan
sekaligus kedaulatan.
Akumulasi
modal
oleh
negara
ini
menimbulkan suatu
regim
baru
dari
kelompok
NIC
(Newly
Industrial
Country).
Contoh
negara
yang
tergolong kelompok
ini adalah Jepang,
Cina, Korea Selatan
dan Taiwan.
Kelompok
pertama
mengupas berbagai kebijakan
dan strategi negara, termasuk
melakukan subsidi terhadap
infat industry (industri kecil
menengah) sehingga mampu
meningkatkan eksport barang /
jasa sebagai langkah awal
menuju
negara
industri.
SPEKTRUM
Peran Pemerintah dalam
Pembangunan Kluster Industri Militer
Hubungan jangka panjang yang
stabil antara state dan industri
merupakan
kunci
bagi
penciptaan pola pola khusus
pembangunan dan kemampuan
negara dalam melaksanakan
pembangunan industri.
Kebijakan ISI adalah
suatu opsi yang mendukung
penggantian
barang
impor
dengan
produksi
nasional.
Intinya berfokus pada usaha
untuk
menumbuhkan
kemandirian
dengan
pemberdayaan
perusahaan
negara maupun swasta nasional
sehingga
kompetitif
atau
kapable
sebagai
suatu
perusahaan sub kontrak dari
berbagai
MNC
terkemuka.
Sedangkan kebijakan EOI, lebih
memprioritaskan peningkatan
kapasitas industri masional
yang mampu menghasilkan
keunggulan kompetitif bagi
negara
tersebut
dengan
mendayagunakan
kekayaan
alam negara tersebut. Di tahun
1990an
beberapa
negara
berkembang mengadopsi dua
kebijakan secara bersamaan
dengan
pilihan
penekanan
variabel yang berbeda dalam
masing masing sektor industri
sehingga saling mendukung
satu dengan yang lainnya.
Kelompok
kedua,
menurut Chalmers Johnson12
berciri khas pembentukan suatu
12Öniş,
Ziya. 1991. “The Logic of the
Developmental State Asia's Next Giant: South
Korea and Late Industrialization by Alice H.
Amsden; The PoliticalEconomy of the New Asian
Industrialism by Frederic C. Deyo; MITI and the
Japanese Miracle by Chalmers Johnson;
Governing the Market: Economic Theory and the
Role ofGovernment in East Asian Industrialization
by Robert Wade”(Article Review). Comparative
Politics, Vol. 24, No. 1 (Oct)
Vol. 14, No. 2, Juli 2013
Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional
Ismiyatun
international governed market bagi
industri domestiknya melalui
pola
kelembagaan
regional
berdasarkan
pertumbuhan
ekonomi, produktivitas, dan
kompetisi dengan dominasi
kepemimpinan tunggal negara
tersebut. Baik Jepang, Cina,
Korea Selatan bahkan Taiwan
masing
masing
saling
berkompetisi
guna
meraih
kedudukan sebagai pemimpin
negara berkembang.
Mereka
menjadi
model
state
led
development di Asia Timur,
dengan
karakteristik
yang
berbeda beda.
Model
Jepang,
menurut Johnson merupakan
kelanjutan dari kerangka flying
geese,
yang
sudah
dikembangkan oleh Akamatsu
pada tahun 1935 ketika menjadi
penasehat Kaisar Meiji. Tiga
landasannya yang berfungsi
sebagai agen pembangunan
adalah adalah birokrat maupun
teknokrat
dari
unsur
pemerintah, keiretzu (jaringan
antar MNC), dan diplomasi
ekonomi untuk menciptakan
suatu jaringan work station di
berbagai
negara
Asia.13
Embedded autonomy state hanya
ditunjukkan melalui dominasi
kaum birokrat / teknokrat secara
kelembagaan melalui MITI (
Ministry of International Trade
and
Industry)
yang
menginisiasikan
diplomasi
ekonomi melalui ODA ( Official
Development Assitance) untuk
merintis terbentuknya jaringan
dengan negara tetangga yang
13Johnson,Chalmers.
1995. Japan :
Who Governs ? : The Rise of the developmental
State. New York : W.W. Norton Company Inc
SPEKTRUM
Peran Pemerintah dalam
Pembangunan Kluster Industri Militer
terletak
dalam
jangkauan
kekuasaan regionalnya.
Meskipun
Cina
/
Taiwan dan Korea Selatan
menunjukkan dua model yang
berbeda, namun merujuk pada
penelitian Robert Wade14 dan
Seung15 mereka berada dalam
jalur capitalist developmentalist
state. Cina berada di tahap
paling bawah karena kontribusi
perusahaan milik negara masih
cukup besar16, sementara Korea
Selatan dengan tiga penyangga
ekonomi domestiknya : negara,
bank dan chaebol, sudah
semakin mendekati tahap akhir
dari model ini17, sampai tahun
2012 hanya menyisakan satu
perusahaan milik negara, yakni
KEPCO.
Sebagai salah satu
sektor industri yang mengacu
pada kepentingan publik, maka
industri militer mutlak harus
berada di bawah pengawasan
pemerintah.
Ketika
tingkat
pembiayaan dan pembelanjaan
semakin meningkat dari tahun
ke tahun, juga krisis ekonomi
global serta kondisi pasar dari
industri ekonomi yang bersifat
oligopoli
dan
fluktuasi
permintaan labil, maka tuntutan
14Wade, Robert. 1990. Governing the
Market : Economic Theory and the role of
Government in East Asia Industrialization. New
Jersey : Princeton University Press
15Seung, Wook Baek. 2005. “Does
China Follow the East Asian Development Model”.
Journal of Contemporary Asia Vol 35 no 4
16Beeson, Mark. 2009.”Developmental
State in East Asia : A Comparison of the Japanese
and Chinese Experiences”. Asia Perspectives Vol
33 No 2
17Chin, Lim Hyun and Jan Jin- Ho.
“Between Neoliberalism and Democracy : the
Transformation of the Developmental state in
South Korea”. Development and Society Volume
35 No 1 (June)
Vol. 14, No. 2, Juli 2013
Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional
Ismiyatun
privatisasi atas industri militer
meningkat di setiap negara
berkembang.
Untuk
mengantisipasinya
serta
menjaga
keseimbangan
hubungan antara negara dengan
pasar, maka developmentalist
state perlu mengembangkannya
di
dalam
suatu
kluster
teknologi. Jaringan venture
capital yang dimiliki kluster
tersebut
akan
mampu
memberikan sosial capital bagi
sektor ini apabila ditangani
dengan kebijakan pemerintah
yang tepat.
Menurut Sawhney18,
dengan keterlibatan pemerintah
akan mampu mempercepat
perubahan jaringan sosial dalam
suatu industri menjadi modal
sosial sehingga segenap elemen
maupun struktur dalam suatu
industri
berubah
menjadi
technology
venture
(ventura
teknologi) – mencakup SoE
(BUMN), firma nasional dan
MNC, yang mampu berfungsi
sebagai asset pembangunan.
Kinerja ventura ini tercipta
berkat semangat entrepreneurship
(kewirausahaan). Semangat ini
membentuk
berbagai
angel
investor / investor informal yang
bersedia mendanai universitas
riset, firma nasional bahkan
perseorangan untuk melakukan
start up dan inovasi.
Jaringan
sosial
di
dalam kluster teknologi, secara
umum menurut Cohen19 lebih
18Sawhney, Mohan et al. 2001. Tech
Venture : New Rules on Value and Profit from
Silicon Valley. New York : John Wliey & Son Inc
19Cohen,Stephen S and Gary Fields.
1999. “Social Capital and Capital Gains or Virtual
Bowling in Silicon Valley : an Examination of
Social Capital in Silicon Valley”. Paper that had
SPEKTRUM
Peran Pemerintah dalam
Pembangunan Kluster Industri Militer
bersifat ekonomi politik. Jika
beberapa sosiolog seperti Robert
Putnam maupun Fukuyama
menguraikan
secara
detail
konsep modal sosial dari sudut
pandang sosiologi maka Cohen
mengemukakan konsep baru
dalam modal sosial yang bukan
berdasarkan
trust
atau
kepercayaan, melainkan sengaja
dikondisikan oleh berbagai
aktor di dalam kluster teknologi
itu
sehingga
mampu
menghasilkan suatu interaksi
yang produktif guna menjaga
kelangsungan inovasi teknologi.
Tiga aktor utama yang berperan
dalam
hal
ini
adalah :
universitas riset, negara, dan
MNC sebagai ventura kapital.
Perbedaannya dengan negara
industri
maju
adalah
pemerintah
di
negara
berkembang
tidak
hanya
sebagai user dari produk yang
dihasilkan
melainkan
ikut
berperan secara aktif melalui
pasar tenaga kerja atau pasar
modal.
Jaringan
yang
dibentuk oleh ketiga aktor
utama tersebut menurut Cohen
bukan
berdasarkan
suatu
kepercayaan melainkan karena
ikatan
historis
yang
terkondisikan, ketika kluster
terbentuk
lengkap
dengan
fasilitas teknologi informasi,
maka secara tidak langsung juga
muncul jaringan sosial antara
home company dengan host
company dari berbagai MNC
been prepared for Local Economic and
Employment Development (LEED) Programe for
the Conference “Local Economic Development :
Social Capital and Productive Networks, in Mexico
City , January 18-19th .
Vol. 14, No. 2, Juli 2013
Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional
Ismiyatun
yang beroperasi di dalamnya.
yang mendorong
partisipasi
aktif berbagai universitas riset
serta
investor
informal.
Komunitas ilmiah internasional
- para peneliti menyebutnya
dengan istilah digital diaspora,
menjadi motor pembangunan di
negara asalnya masing masing
dengan membentuk jaringan
sosial yang melintasi batas
negara. Pemerintah di negara
industri maju mengambil peran
sebagai lead user dari produk
yang dihasilkan kluster ini.
Sementara pemerintah negara
berkembang, berperan aktif di
dalamnya melalui dua pasar
seperti tersebut di atas.
Developmentalist state
kelompok
pertama,
lebih
memilih berperan melalui pasar
tenaga
kerja.
Dengan
kemampuan akses informasi
yang dimilikinya, kluster ini
mampu menjadi suatu sarana
untuk
mengatasi
persoalan
brain drain dalam negara
berkembang.
Konsep
yang
ditawarkan oleh developmentalist
state bagi pasar buruh skill
internasional adalah outsourcing
(sistem kontak), diiringi dengan
kebijakan
untuk
melarang
impor produk jadi untuk
industri tertentu. Dengan sistem
ini, maka secara tidak langsung
mendorong
perkembangan
industri
domestik di dalam
kluster sekaligus mempercepat
SDM dalam melakukan proses
alih teknologi.
Kelompok
kedua,
memilih berperan melalui pasar
modal.
Pemerintah
memanfaatkan jaringan antar
MNC di dalam kluster untuk
SPEKTRUM
Peran Pemerintah dalam
Pembangunan Kluster Industri Militer
membentuk
suatu
holding
company dengan pemerintah
/firma dari negara industri
maupun berkembang lainnya.
Konsep kepemilikan saham dari
berbagai perusahaan asing baik
milik
pemerintah
maupun
swasta dari negara lain ini akan
mampu
mendukung
kelangsungan berbagai program
maupun kebijakan domestik
lainya.
Targetnya
adalah
pembentukan berbagai work
station di negara lain dalam
suatu kerangka kerja sama
internasional yang terstruktur
antara
pemerintah,
firma
maupun
MNC.
Peran
pemerintah
hanya
sebagai
fasilitator sekaligus mediator
antara host company dengan home
company.
Berpijak
pada
pendapat Cohen, modal sosial
di dalam suatu kluster teknologi
tidak muncul secara tidak
langsung, melainkan sengaja
dikondisikan oleh suatu regim
administratif
/
pemerintah.
Beberapa
ahli
mencoba
mengeksplorasi modal sosial
dari
sudut
pandang
developmentalist state theory
guna menjelaskan dampaknya
terhadap pengembangan modal
manusia. menurut Woolcock20
mengubah suatu jaringan sosial
menjadi modal pembangunan
harus
dilakukan
dengan
terencana oleh pemerintah yang
memiliki
kekuasaan
sosial
politik dibantu oleh aktor
pembuat
kebijakan
lainnya
20Woolcock,
Michael and Deepa
Narayan. 2000.”Social Capital : Implication for
Development Theory, Research and Policy”. World
Bank Research Observer. Vol 15 (2) December
Vol. 14, No. 2, Juli 2013
Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional
Ismiyatun
sehingga tercipta suatu sinergi.
Maka untuk mempengaruhi
pembentukan modal manusia,
para pembuat kebijakan harus
menciptakan pusat riset sebagai
suatu institusi yang mampu
bersinergi
dengan
modal
ventura sehingga terjadi inovasi
teknologi.
Kebijakan
industri
militer yang dijalankan oleh
negara
dunia
ketiga
dilatarbelakangi berbagai motif
politis,
ekonomis
maupun
prestise.
Ditinjau
dari
developmentalist
state
theory,
interaksi dari ketiga aktor
menghasilkan
posisi
tawar
menawar antara pemerintah
sebagai aktor yang memiliki
kekuasaan politik, legislatif
selaku pemegang hak ratifikasi
dengan
MNC
pertahanan
sebagai
aktor
swasta
internasional
pemegang
kekuasaan ekonomi, dalam
urusan
pengelolaan
asset
publik.
Posisi
legislatif
tergantung
dari
type
developmentalist state itu sendiri.
Di dalam type developmentalist
state
murni,
dalam
arti
perkembangan
proses
demokratisasi dalam negara
tersebut mengalami stagnasi
seperti di Cina dan Taiwan
maka
perannya
hampir
dikatakan tidak ada.
Berbeda
dengan
Developmental democratic state,
seperti
India,
dua
aktor
domestik menghadapi MNC
pertahanan dalam posisi yang
saling bertentangan
satu
dengan lainnya. Perbedaan
pendapat di antara pemerintah
selaku pemegang kekuasaan
SPEKTRUM
Peran Pemerintah dalam
Pembangunan Kluster Industri Militer
D.
eksekutif dengan partai oposisi
berkisar
pada
persoalan
indigeous production melawan
lisensi atau kerjasama produksi
yang ditawarkan oleh MNC
pertahanan atau negara lain.
Karena sifatnya yang masih
transisional, mana aktor negara
lain
maupun
swasta
internasional sulit melakukan
intervensi ke dalam lembaga
legislatif.
Yang
mampu
melakukan proses mediasi guna
meyakinkan pihak legislatif
ataupun
eksekutif
dalam
melibatkan aktor internasional
justru segmen mass media,
maupun
digital
diaspora
sebagai bagian dari aktor
kelompok kepentingan.
Karena sudah mampu
menyeimbangkan
konsep
demokrasi
dengan
pembangunan, maka
ketika
muncul konflik diantara aktor
domestik
dalam
democratic
developmental
states,
seperti
Korea Selatan, jaringan MNC
pertahanan bisa secara langsung
melakukan lobby –pendekatan
persuasif,
bahkan
kontak
langsung
dengan
pihak
legislatif.
Keterkaitan
tidak
langsung antara beberapa partai
politik besar dengan para
konglomerat, pemilik saham
terbesar atas MNC yang berada
di wilayah kedaulatan di dalam
negara tersebut, mendukung
proses internalisasi jaringan
MNC pertahanan.
Hipotesa
Sebagai salah satu
strukturalist developmental state,
India lebih menekankan proses
industrialisasi yang melibatkan
firma domestik sebagai salah
Vol. 14, No. 2, Juli 2013
Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional
Ismiyatun
satu
sendi
perekonomian
nasional. Dalam sejarah industri
militernya, India tidak pernah
menjalankan kerjasama ventura,
namun hanya menjalankan
program kerjasama produksi
dengan MNC Internasional,
maupun
pemerintah
asing.
Maka untuk mengatasi ancaman
kebangkrutan
industri
militernya, India mengambil
langkah
lebih
menekankan
pembangunan modal manusia
sebagai sumber inovasi. Fungsi
pusat riset militer dalam kluster
teknologi yang telah ada
ditingkatkan karena menjadi
penghasil sumber daya manusia
(HRD) yang siap menawarkan
berbagai hasil penelitian untuk
ditindak lanjuti oleh investor
informal, firma domestik, MNC
pertahanan
atau
oleh
pemerintah
sendiri
melalui
DPSU sebagai SoE di sektor
militer.
India, Berbeda dengan
Cina
yang
mengimplementasikan konsep
integrasi militer-sipil dalam
posisi
asymetris.
Pemerintahannya
mendudukkan posisi firma
domestik dalam posisi yang
seimbang
dengan
MNC
pertahanan. DRDO sebagai
lembaga riset pemerintah yang
didirikan pada tahun 1958
mengkordinir jaringan pusat
penelitian dan laboratorium
militer.
Karena
perkembangannya cukup pesat
maka
beberapa
tahun
kemudian,
1962
didirikan
Department
of
Defense
Production sebagai lembaga
produksi yang membawahi
SPEKTRUM
Peran Pemerintah dalam
Pembangunan Kluster Industri Militer
delapan
DPSU
dan
39
Ordonance Factories (OF). Pada
tahun yang sama juga telah
ditetapkan bahwa landasan
industri militer domestik India
selain DPSU dan OF juga firma
domestik.
Keterlibatan industri
militer domestik
di India
memiliki fungsi ganda bagi
pemerintah
maupun
MNC
pertahanan. Bagi pemerintah,
partisipasi aktif firma domestik
sebagai sub kontraktor dari SoE
militer
selain
memberikan
peluang
efisiensi
anggaran
belanja militer, juga menjadi
wahana
transfer
teknologi.
Sementara
bagi
MNC
pertahanan,
pemberian
kewenangan
bagi
firma
domestik India untuk menjalin
kerjasama
dengan
mereka
berarti juga menjadi celah untuk
merintis privatisasi industri
militer di negara berkembang
melalui kerjasama ventura P to
P.
Merujuk pada Press
Note No 4 2001, Tiga konsep
lama
dalam
prosedur
Persenjataan
Militer
(DPP/
Defense Procrurement Procedure)
tetap dijalankan namun dengan
ketentuan
komposisi
yang
berbeda, yakni : Buy atau impor
persenjataan
hanya
diperbolehkan jika 30 % dari
proses
akhir
produksi
persenjataan dilakukan oleh
swasta ‘domestik India. Buy and
Make – offset, harus memenuhi
ketentuan maksimal komposisi
andil antara swasta domestik /
DPSU sebesar 74% dengan
muatan asing hanya terbatas
26%. Sedangkan konsep make
Vol. 14, No. 2, Juli 2013
Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional
Ismiyatun
adalah produk asli India baik
design, pengembangan maupun
produksinya dilakukan di India,
pemerintah
mengurangi
anggaran
belanja
untuk
kepentingan
produksi,
menyerahkan
sepenuhnya
kepada pihak swasta domestik.
Anggaran belanja bagi industri
militer sesuai dengan kebijakan
baru, lebih diprioritaskan bagi
kepentingan
riset
dan
pengembangan.
Keberadaan berbagai
pusat
riset
militer
yang
didirikan pemerintah menyatu
dengan beberapa industri lain,
khususnya industri IT di dalam
suatu kluster teknologi tinggi
secara
tidak
langsung
menciptakan suatu akselerasi
dalam
industri
sekaligus
mendorong tingkat partisipasi
swasta domestik dalam industri
militer. Karakter civiliant secara
tidak
langsung
semakin
menonjol dalam industri militer
India yang semula cenderung
sebagai penghasil rudal balistik.
Beberapa
firma
domestik,
khususnya di bidang IT selain
menjadi sub kontraktor dari
MNC Pertahanan melalui offset
juga menawarkan jasa militer
lintas
negara.
Hal
ini
menandakan bahwa proses alih
teknologi sudah berlangsung.
Untuk
mendukung
kebijakan
ini,
India
mengintensifkan
diplomasi
ekonomi
maupun
militer.
Diplomasi ekonomi dilakukan
untuk kepentingan inovasi,
serta
pengembangan kluster
teknologi
secara
umum.
Targetnya adalah peningkatan
jumlah
kerjasama
ventura
SPEKTRUM
Peran Pemerintah dalam
Pembangunan Kluster Industri Militer
maupun
produksi
dengan
negara industri maju, terutama
AS dan Eropa, di bidang
teknologi
informasi
serta
persenjataan. Di sisi lain,
diplomasi
militer
yang
dijalankannya melalui kluster
ini selain memasarkan suatu
jasa militer seperti tersebut di
atas juga bisa dilakukan melalui
kerjasama riset militer dengan
negara berkembang lainnya
maupun
industri
maju.
Diplomasi militer ini integral
dengan
kebijakan
nasional
dalam persenjataan sehingga
mampu memberikan peluang
bagi mereka untuk memperoleh
pengakuan dari negara lain atas
kekuatan
militer
mereka
sekaligus kesempatan untuk
alih
teknologi
dan
pengembangan modal manusia.
Keberhasilan
Kebijakan ini dipengaruhi oleh
faktor
endogen
maupun
eksogen.
Faktor
endogen
mencakup : letak geografis
India, dukungan human capital
yang trampil dan terlatih
sebagai hasil sistem pendidikan
yang integral dengan negara
industri
militer
modern,
kekuatan
PMSC
India.
Sedangkan
faktor
eksogen
mencakup tersedianya pasar
potensial, dukungan komunitas
India di AS maupun Eropa,
Dukungan Pemerintah serta
MNC dari Negara Asing.
F. Metode Penelitian
Di dalam Penelitian ini
penulis menggunakan case
study
sebagai
metodenya.
Secara
ontologis,
yang
membedakan metode case
Vol. 14, No. 2, Juli 2013
Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional
Ismiyatun
Peran Pemerintah dalam
Pembangunan Kluster Industri Militer
study dengan metode lainnya
menurut John Gerring21 adalah
sifat hard dan fast yang
dimilikinya.
Secara
metodologis, dia memiliki
enam karakteristik, yakni : a)
terbentuk
dari
beragam
variabel
yang
saling
berhubungan,
b)
mengasumsikan
perbedaan
yang nyata antara formal dan
informal atas unit yang
dipelajari c) terdapat dua
pilihan single case study atau
multi case studies, hasilnya bisa
dijadikan
suatu
bahan
rujukan dalam cross case
analysis d) berfungsi ganda
yakni suatu fenomena selain
sebagai obyek penelitian juga
berfungsi sebagai alat analisa
dari case study yang lebih luas
e) kesimpulannya bersifat
ilustratif dan masih perlu diuji
validitasnya
f)
proposal
penelitiannya
bersifat
inherent.
Case study sebagai
sebuah metode riset menurut
Robert K Yin22 di dalam aliran
positivist,
juga
berfungsi
sebagai
suatu
strategi
penelitian,
dengan
karakteristik
investigasi,
generalisasi,
teorisasi dan
observasi. Teorisasi, di dalam
case study, lebih bertumpu
kepada implikasi atas berbagai
teori yang sudah tersedia.
Lebih
lengkap
lagi
Yin
mengemukakan
tahapan
teorisasi yakni : a) construct
validity, menetapkan ukuran
operasional yang benar atas
konsep yang diteliti, b) internal
validity,
menetapkan
hubungan (causality) dimana
berbagai
kondisi
tertentu
ditunjukan telah menuntun ke
arah kondisi lainnya di dalam
satu
konteks,
c)eksternal
validity, menetapkan suatu
domain dimana penemuan
atas
studi
ini
dapat
digeneralisasikan d) Reliability,
menunjukkan
bahwa
operasional suatu studi yang
telah
dilakukan
dapat
berulang terjadinya di dalam
kasus lainnya sebagai sebuah
variabel ataupun suplemen.
Dari beragam jenis
case study, peneliti memilih cara
kualitatif guna mendapatkan
pemahaman
yang
lebih
menyeluruh. Menurut Robert
Stake23, pilihan ini dalam
prakteknya didominasi oleh
kepentingan
yang
bersifat
naturalistik, holistik, kultural,
dan fenomenologis. Keunikan
dari metode ini menurut
Stouffer 24 terletak pada : a)
kondisi dari kasus tersebut b)
latar belakang sejarah c) lokasi
kasus
d)konteks
lainnya
mencakup ekonomi, politik,
hukum
dan
estetika.
e)
informant.
Lebih
lanjut
lagi
dikemukakan
Stake,
cara
peneliti di dalam mentransfer
pengetahuan
atau
menulis
laporan penelitian terstruktur
21Gerring, John. 2004. “ What Is a Case
Study and What Is It Good for ? “ The American
Political Science Review, Vol. 98, No. 2 (May)
22Yin, Robert K. 2003. Case Study
Research Design and Method. California : Sage
Publications. p. 10
23In Denzin, Norman K. Yvonna S
Lincoln (ed), 1994. Handbook of Qualitative
Research. California : SAGE Publication
24Stouffer, SA. 1941. “Notes on the
case study and the unique case”, Journal
Sociometry 4 1941 p 349-357 in ibid
SPEKTRUM
Vol. 14, No. 2, Juli 2013
Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional
Ismiyatun
dan terorganisir melalui dua
cara yakni triangulation dan
perbandingan.
Triangulasi,
menurut Huberman25 meliputi
prosedur analisa data yang
cukup interaktif yakni : a)
pengumpulan data b)seleksi
data c)tampilan data d)analisa
data
melalui
merangkum/
meringkas, mencari tema /pola
hubungan,
menemukan
korelasi,
mengembangkan
eksplanasi e)kesimpulan.
Sedikit
berbeda
dengan Yin, yang cenderung
kuantitatif, menurut Huberman,
para peneliti yang memilih
prosedur
kualitatif
harus
memahami
bagaimana
mengkonstruksi teori sebagai
suatu prosedur analisa, karena
konstruksi baik secara langsung
maupun
tidak
akan
mempengaruhi dan membatasi
berbagai langkah yang sudah
disebutkan diatas. Beberapa
alternatif konstruksi mencakup :
a) artikulasi grand theory
b)
pemetaan dan generalisasi c)
memilih pola atas berbagai yang
diprediksikan
untuk
dibandingkan dengan fenomena
yang secara aktual diamati d)
penetapan
model
dengan
serangkaian proposisi yang
merangkai korelasi hierarkhis
secara
spesifik,
diantara
komponen,
e)
penetapan
jaringan korelasi non hierarkhis
melalui
pernyataan
yang
mendefinisikan mata rantai
antar konsep.
Umumnya triangulasi
digunakan untuk multi case
Huberman, A Michael. Mattew B
Miles.1994. “Data Management and Analysis
Methods, in Ibid
25
SPEKTRUM
Peran Pemerintah dalam
Pembangunan Kluster Industri Militer
study, analisa yang digunakan
cross case analysis dengan mixed
strategy, merujuk pada pendapat
Fischer dan Wertz26 yang
menggunakan
pendekatan
fenomenologis.
Strategi
ini
dimulai
dengan
menyusun
informasi dasar dari beberapa
kasus kemudian dimasukkan ke
dalam sebuah bagan besar.
Langkah berikutnya adalah
mendeskripsikan dan
yang
terakhir adalah menganalisa
fluktuasi dari berbagai kasus
yang berbeda dalam suatu
kerangka aliran besar dari
berbagai kejadian dan kondisi.
Pemaparan
dengan
komparasi,
menurut
Stake
merupakan fungsi epistemologi
dari case study karena laporan
penelitiannya
mengandung
unsur perbandingan serta bisa
dijadikan obyek komparasi bagi
penelitian lainnya. Sehingga
typenya
adalah
intrinsik,
instrumentalis, dan kolektif.
Deskripsi yang digunakannya
bukanlah pemaparan secara
terperinci / thick description,
melainkan
dengan
jalan
membandingkannya
dengan
obyek penelitian lainnya /
comparative description yang lebih
bersifat umum. Generalisasi dari
berbagai kasus yang berbeda
lebih dipercaya daripada hanya
satu fenomena. Di dalam
menguraikan kemunculan suatu
fenomena, lebih dianjurkan
dengan
cara
ini,
yakni
melibatkan konteks baik secara
internal
maupun
eksternal.
Penulis memilih cara ini dalam
26Fischer,
C. F Wertz.1994. “Empirical
Phenomonological analyses of being criminally
victimized, in Ibid
Vol. 14, No. 2, Juli 2013
Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional
Ismiyatun
mendeskripsikan
hasil
penelitian
tentang
pengembangan kluster industri
militer India.
Kembali ke persoalan
pilihan kualitatif, menurut Bill
Gillham27
dengan
kualitatif
maka peneliti akan memperoleh
beberapa keuntungan yakni :
1. Menjalankan
investigasi
dimana metode lainnya tidak
mampu memfasilitasinya
2. Menginvestigasi
berbagai
situasi dimana sang peneliti
hanya memiliki sedikit bekal
pengetahuan atas obyek
penelitian
3. Mengeksplorasi
kompleksitas yang berada
diluar
skope
berbagai
pendekatan
yang
lebih
terkontrol
4. Mengungkapkan fakta di
balik suatu peristiwa
5. Memandang suatu kasus
dari perspektif berbagai
responden yang terkait
6. Menjalankan suatu riset
yang lebih mengutamakan
proses
yang
sedang
berlangsung bukan pada
signifikansi hasil atas suatu
penelitian.
Merujuk
pada
pendapat
Gillham,
serta
didukung
Yin
teknik
pengumpulan
data
dalam
penelitian ini dilakukan melalui
dokumentasi
dan
observasi.
Teknik wawancara
dalam
penelitian ini tidak dijalankan
karena sesuai dengan pendapat
Gillham28, teknik ini hanya bisa
27 Gillham, Bill . 2000. Case Study
Research Method Real World Research. London :
Continuum
28Gillham, Bill. op cit p 62
SPEKTRUM
Peran Pemerintah dalam
Pembangunan Kluster Industri Militer
dilakukan
kalau
memenuhi
beberapa kondisi sebagai berikut :
a) N berskala kecil b) responden
mampu diakses dengan mudah c)
responden
memiliki
potensi
sebagai key informant sehingga
tanpa data yang mereka berikan
penelitian gagal memberikan
jawaban atas pertanyaan yang
dirumuskan d) jenis angket yang
digunakan bersifat terbuka / open
end questionare e) apabila bahan
atau data yang dibutuhkan
bersifat sensitif karena terkait
dengan human affairs sehingga
untuk mendapatkan fakta nyata
harus
menemui
responden
terkait.
Di dalam penelitian
ini observasi hanya dilakukan
sebagai pendukung, sehingga
dipilih alternatif non partisipant
observation. Dua jenis yang
digunakan :
a. Detached/structured
observation – merujuk
istilah dari Gillham,
mengamati dari luar
obyek
yang
diteliti
secara
teliti
dan
mengklasifikasikannya.
Sifatnya obyektif dan
terstruktur . Dilakukan
atas
data
sekunder
terkait seperti : data
statistik tentang GNP
dan
GDP
India,
Pertumbuhan Ekonomi
India.
b. Descriptive
narative
observation – merujuk
istilah
dari
Helen
Simons29,
berusaha
mengungkapkan ‘clues’
Simons, Helen. 2009. Case Study
Research in Practise , California : Sage
Publication p 61
29
Vol. 14, No. 2, Juli 2013
Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional
Ismiyatun
atau pendapat yang sarat
dengan makna (value
laden comment) sehingga
fakta dapat terungkap.
Data yang terkumpul
dianalisa dengan proses tracking
dan
historical
eksplanation30,
suatu cara analisa di dalam case
study
yang
mencoba
menemukan suatu keteraturan,
mekanisme sebab akibat melalui
penelusuran atas peristiwa di
masa lalu. Di dalam buku yang
sama
juga
dikemukakan
penjelasan tentang dua hal ini
dari Jack Goldstone, proses
tracking
lebih
menekankan
usaha
untuk
menjelaskan
fenomena secara macrohistorical
sehingga
untuk
mengidentifikasi suatu proses,
maka
harus
dielaborasikan
beberapa theori menyangkut : a)
di dalam aspek apa saja kondisi
tersebut diamati b) kaitannya
dengan beberapa prinsip umum
yang terjadi di beberapa kasus
serupa c)generalisasi yang bisa
dilakukan atas beberapa kasus.
G. Sistematika Penulisan
Penulisan
disertasi
sebagai suatu karya ilmiah
menuntut penulisan laporan
penelitan yang terstruktur ke
dalam beberapa bab, sehingga
pembaca
lebih
mudah
memahami interpretasi berbagai
konsep maupun teori di dalam
femonema, dan data yang
ditampilkan. Bab I merupakan
bagian pendahuluan, meliputi :
a) latar belakang, b)rumusan
masalah dan tujuan penelitian,
30George,
Alexander L. Andrew
Bennett. 2004. Case Studies and Theory
Development, Massachussets : Belfer Center for
Science and International Affairs. p 205 - 207
SPEKTRUM
Peran Pemerintah dalam
Pembangunan Kluster Industri Militer
c)
ringkasan
penelitian
terdahulu yang terangkum ke
dalam tinjauan pustaka, d)
kerangka
teori
yang
merangkum
berbagai
teori
terpilih,
disusun
secara
sistematis
sebagai
rujukan
teoritis, e) hipotesa, sebagai
jawaban ringkas pertanyaan
yang
tertuang
dalam
perumusan masalah, f) metode
penelitian dan g)sistematika
penulisan.
Bab II – Industri
Militer di Negara Berkembang,
menguraikan
pengembangan
industri militer di negara
berkembang
dari
sudut
pandang developmentalist state
theory. Pembahasan di dalam
bab ini disusun berdasarkan
konsep yang terurai dalam
kerangka teori serta hipotesa.
Uraiannya
mencakup a)
Industri
Militer
dan
Developmentalist State Theory b)
Aktor Pembuat Kebijakan dalam
Industri Militer
d) Peluang
Negara Berkembang dalam
Industri Militer e) Hambatan
dan Tantangan Pengembangan
Industri Militer
Bab
III
–
“Pembangunan Industri Militer
India”,
disini
dibahas
pengembangan industri militer
India secara umum dimulai dari
sejarahnya,
faktor
yang
mempengaruhinya
yakni
karakteristik keamanan regional
Asia Selatan dan RMA atau
revolusi di bidang militer,
perubahan
konsep
pengembangannya
sebagai
akibat dari dua hal yang
tersebut. Private military service
company dan pasar industri
Vol. 14, No. 2, Juli 2013
Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional
Ismiyatun
militer India menutup uraian
sebagai hasilnya, yang pertama
adalah unsur swasta yang
mendampingi
pemerintah
dalam menjalankan ekspor jasa
militer, sedangkan yang terakhir
menguraikan
konsumen
targetnya.
Bab IV –“Lembah
Silikon India dan Pembangunan
Kluster
Industri
Militer”.
menampilkan data utama yang
menjadi
fokus
penelitian.
Mencakup sejarah pengembangan
industri militer di lembah silikon
India, kemudian secara berurutan
dibahas kluster industri militer,
keunggulan kompetitifnya, angel
investor dan universitas riset
sebagai dua komponen utama
dan terakhir
dibahas
MNC
pertahanan utama di dalamnya
Bab
V-“Kebijakan
Industri Militer India”, menjawab
pertanyaan pertama di dalam
perumusan masalah. Pemerintah
India memilih fungsi sebagai
manager, mengkoodinir firma
swasta, angel investor dan
universitas
riset.
Kepemimpinannya
lebih
didominasi
oleh
semangat
kewirausahaan dan kemandirian.
Pembahasan di dalam bab ini
meliputi : Kebijakan Kluster
berteknologi
informasi
(ITC
Policy), Pengembangan Human
Capital, Manajemen atas firma
domestik,
angel
investor,
universitas riset dan MNC.
Uraian
tentang
diplomasi
ekonomi India dengan tujuan
peningkatan kerja sama militer
dengan Negara Barat maupun
Berkembang,
sebagai
media
pemasaran menutup bab ini.
SPEKTRUM
Peran Pemerintah dalam
Pembangunan Kluster Industri Militer
Bab VI– “Keberhasilan
Lembah Silikon sebagai Kluster
Industri
Militer”,
menjawab
pertanyaan
kedua.
Penulis
menguraikan faktor endogen dan
eksogen sehingga kebijakan yang
terurai di dalam bab V bisa
berjalan.
Faktor
endogen
mencakup letak geografis India,
dukungan human capital yang
trampil dan terlatih sebagai hasil
sistem pendidikan yang integral
dengan negara industri militer
modern, kekuatan PMSC India.
Sedangkan
faktor
eksogen
mencakup
tersedianya
pasar
potensial, dukungan kumonitas
India di AS maupun Eropa,
Dukungan
Pemerintah
serta
MNC dari Negara Asing.
Bab VII – Penutup, di
dalam
kesimpulan
penulis
kembali
menegaskan
secara
singkat
jawaban
perumusan
masalah serta mengemukakan
pernyataan ilmiah terkait dengan
kasus yang diteliti sebagai bukti
kebaharuan dari penelitian. Di
akhir bab, dikemukakan scientific
suggestion dan kontribusinya bagi
ilmu pengetahuan.
Daftar Pustaka
Text Book
Berberoglu, Berch. 1992. The Political
Economy of Development :
Development Theory and The
Prospect for Change.. New
York : State University of
New York Press
Bitzinger, Richard A. 2009. The
Modern Defense Industry :
Political,
Economy,
Vol. 14, No. 2, Juli 2013
Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional
Ismiyatun
Technological
Issues.
California : ABC-CLIO
Brauer, Jurgen dan J Paul Dunne.
2005. Arm Trade and
Economic Development :
Theory, Policy and Cases in
Arms Trade Offsets. New
York : Routlegde
Denzin,
Norman K. Yvonna S
Lincoln
(ed),
1994.
Handbook
of
Qualitative
Research. California : SAGE
Publication
George,
Alexander L. Andrew
Bennett. 2004. Case Studies
and Theory Development.
Massachussets
: Belfer
Center for Science and
International Affairs.
Gillham, Bill . 2000. Case Study
Research Method Real World
Research.
London
:
Continuum
Gilpin, Robert. 1981. War and Change
in World Politics. New York
: Cambrigde University
Press
_____________ 2000. The Challenge
of Global Capitalism : the World
Economy in the 21st Century. New
Jersey : Princeton University Press
_____________and Jean M Gilpin.
2001.
Global
Political
Economy : Understanding the
International Economic Order
. New Jersey : Princeton
University Press
Johnson,Chalmers. 1995. Japan : Who
Governs ? : The Rise of the
SPEKTRUM
Peran Pemerintah dalam
Pembangunan Kluster Industri Militer
developmental State. New
York : W.W. Norton
Company Inc
Sawhney, Mohan et al. 2001. Tech
Venture : New Rules on Value
and Profit from Silicon Valley.
New York : John Wliey &
Son Inc
Segal, Adam. 2003. Digital Dragon :
High Technology Enterprises
in China. New York : Cornel
University Press
Simons, Helen. 2009. Case Study
Research in Practise , California : Sage
Publication
Wade, Robert. 1990. Governing the
Market : Economic Theory
and the role of Government in
East Asia Industrialization.
New Jersey : Princeton
University Press
Weiss, Linda. 1998. The Myth of the
Powerless State. New York : Cornell
University Press
Yin, Robert K. 2003. Case Study
Research Design and Method.
California
:
Sage
Publications
International Journal
Beeson, Mark. 2009.”Developmental
State in East Asia : A
Comparison of the Japanese
and Chinese Experiences”.
Asia Perspectives Vol 33 No
2
Chin, Lim Hyun and Jan Jin- Ho.
Between Neoliberalism and
Democracy
:
the
Vol. 14, No. 2, Juli 2013
Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional
Ismiyatun
Transformation
of
the
Developmental state in
South Korea. Development
and Society Volume 35 No
1 (June)
Gerring, John. 2004. “ What Is a Case
Study and What Is It Good
for ? “
The American
Political Science Review, Vol.
98, No. 2 (May)
Leslie,
Suart W and Robert H
Kargon.
1996.
Selling
Silicon Valley : Frederick
Terman’
model
for
Regional Advantage. The
Bussines History
Review,
Vol 70 No 4 (Winter)
Neuman, Stephanie G. 1994. “Arm
Transfers,
Military
Assistance, and Defense
Industries : Socio economic
Burden or Opportunity ?”.
Annal of the American
Academy of
Political and
Social Science Vol 535 : The
Arm Trade : Problem and
Prospect in the Post Cold
War World (Sept)
Öniş, Ziya. 1991. “The Logic of the
Developmental State Asia's
Next Giant: South Korea
and Late Industrialization
by Alice H. Amsden; The
PoliticalEconomy of the
New Asian Industrialism
by Frederic C. Deyo; MITI
and the Japanese Miracle
by
Chalmers
Johnson;
Governing the Market:
Economic Theory and the
Role ofGovernment in East
Asian Industrialization by
Robert
Wade”(Article
SPEKTRUM
Peran Pemerintah dalam
Pembangunan Kluster Industri Militer
Review).
Comparative
Politics, Vol. 24, No. 1 (Oct)
Ross, Andrew L. Peter Dombrowski.
2008.”The Revolution in
Military
Affairs,
Transformation and the
Defence Industry”. Security
Challenges, Vol. 4, No. 4
(Summer )
Seung, Wook Baek. 2005. “Does
China Follow the East
Asian
Development
Model”.
Journal
of
Contemporary Asia Vol 35 no
4
Woolcock, Michael and Deepa
Narayan.
2000.”Social
Capital : Implication for
Development
Theory,
Research
and
Policy”.
World
Bank
Research
Observer. Vol 15 (2)
December
International Paper
Cohen,Stephen S and Gary
Fields. 1999. “Social Capital and
Capital Gains or Virtual Bowling in
Silicon Valley : an Examination of
Social Capital in Silicon Valley”.
Paper that had been prepared for
Local Economic and Employment
Development (LEED) Programe for
the Conference “Local Economic
Development : Social Capital and
Productive Networks, in Mexico City
, January 18-19th .
Vol. 14, No. 2, Juli 2013
Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional
Download