BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Istilah pengobatan sendiri, meskipun belum terlalu populer, namun praktiknya telah berkembang secara luas dan menjadi tren di masyarakat. Pengobatan sendiri menurut WHO adalah pemilihan dan penggunaan obat modern, herbal, maupun obat tradisional oleh seorang individu untuk mengatasi penyakit atau gejala penyakit (WHO, 1998). The International Pharmaceutical Federation (FIP) mendefinisikan swamedikasi atau self-medication sebagai penggunaan obat-obatan tanpa resep oleh seorang individu atas inisiatifnya sendiri (FIP, 1999). Swamedikasi menjadi alternatif yang diambil masyarakat untuk meningkatkan keterjangkauan pengobatan, dan biasanya dilakukan untuk mengatasi keluhan-keluhan dan penyakit ringan yang banyak dialami masyarakat seperti demam, nyeri, pusing, batuk, influenza, sakit maag, cacingan, diare, penyakit kulit, dan lain-lain (Anonim, 2006). Pengobatan sendiri menjadi populer sejak ditetapkannya perubahan status beberapa obat dari golongan obat resep menjadi golongan OTC (Over the Counter) atau obat tanpa resep. Di Amerika, perubahan status dari obat resep menjadi obat non-resep/OTC dimulai sejak September 1976. Pada tahun 1976, perubahan obat resep menjadi obat non-resep diperkenalkan oleh US Food and Drug Administration (FDA) (Baker, 2013). 1 Pengobatan sendiri adalah salah satu cara pengobatan yang paling banyak dilakukan di dunia. Suatu survei pada tahun 2002 memperkirakan ada lebih dari 92% orang di dunia pernah menggunakan paling tidak satu jenis obat bebas di tahun sebelumnya dan 55% orang pernah menggunakan lebih dari satu jenis obat bebas (World Self-Medication Industry, 2009). Berbagai data menunjukkan bahwa pengobatan sendiri menjadi alternatif yang paling banyak dipilih oleh masyarakat untuk meredakan/menyembuhkan keluhan kesehatan ringan. Berdasarkan hasil Susenas 2009, BPS mencatat bahwa terdapat 66% orang sakit di Indonesia yang melakukan pengobatan sendiri (Kartajaya dkk., 2011). Keterampilan memilih obat sangat dipengaruhi oleh pengetahuan masyarakat itu sendiri dan sikapnya tentang pengobatan sendiri (Supardi dkk., 2005). Masyarakat dengan berbagai tingkat pendidikan, pengetahuan, dan faktorfaktor lain sering kali mengkonsumsi obat tertentu tanpa indikasi yang jelas, tanpa dosis yang yang tepat, dan tidak mengetahui kontraindikasi dan efek samping obat tersebut. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan masyarakat tentang swamedikasi masih terbatas (Supardi dan Notosiswoyo, 2005). Keterbatasan pengetahuan masyarakat tentang obat dan penggunaannya merupakan penyebab terjadinya kesalahan pengobatan dalam swamedikasi (Anonim, 2006b). Keterbatasan tersebut dapat menyebabkan rentannya masyarakat terhadap informasi komersial obat, sehingga memungkinkan terjadinya pengobatan yang tidak rasional jika tidak diimbangi dengan pemberian informasi yang benar. Terdapat 52,9% penduduk di masyarakat yang pengetahuannya rendah mengenai pengobatan sendiri. Pengetahuan dan perilaku 2 swamedikasi dipengaruhi oleh jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan, pendapatan seseorang. Dalam hal ini pendidikan memiliki hubungan yang paling signifikan dibandingkan faktor-faktor lain. (Kristina dkk, 2007). Pada penelitian yang dilakukan oleh da Silva dkk di Rio Grande, Brazil, didapatkan hasil bahwa terdapat perbedaan yang nyata antara mahasiswa kesehatan dan mahasiswa nonkesehatan terkait pengetahuannya tentang pengobatan sendiri (Da Silva dkk., 2012). Melalui latar belakang inilah penelitian tentang gambaran perilaku dan tingkat pengetahuan pengobatan sendiri pada mahasiswa kluster kesehatan dan kluster sosio-huaniora Universitas Gadjah Mada dilakukan, dengan tujuan untuk memperoleh gambaran dan membandingkan perilaku pengobatan sendiri maupun tingkat pengetahuan pengobatan sendiri pada kedua kluster yang berbeda tersebut. B. Rumusan Masalah Bila dilihat dari latar belakang, maka dapat dirumuskan masalah yang meliputi: 1. Bagaimana gambaran perilaku pengobatan sendiri pada mahasiswa kluster kesehatan dan kluster sosio-humaniora? 2. Bagaimana gambaran tingkat pengetahuan mahasiswa kluster kesehatan dan kluster sosio-humaniora mengenai pengobatan sendiri? 3. Apakah faktor sosiodemografi mahasiswa berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan mahasiswa mengenai pengobatan sendiri? 3 C. Tujuan Penelitian Dari rumusan masalah yang telah dibuat, tujuan penelitian ini secara umum adalah: 1. Mengetahui gambaran perilaku mahasiswa kluster kesehatan dan kluster sosio-humaniora dalam hal pengobatan sendiri. 2. Mengetahui gambaran pengetahuan mahasiswa kluster kesehatan dan kluster sosio-humaniora dalam hal pengobatan sendiri. 3. Mengetahui apakah terdapat pengaruh faktor sosiodemografi mahasiswa yang meliputi kluster, jenis kelamin, dan tahun angkatan berpengaruh terhadap pengetahuan mengenai pengobatan sendiri. D. Manfaat Penelitian Penelitian yang dilakukan pada mahasiswa kluster kesehatan dan kluster sosio-humaniora Universitas Gadjah Mada ini dimaksudkan untuk: 1. Tingkat pengetahuan dapat mempengaruhi ketepatan dan kerasionalan pengobatan sendiri yang dilakukan oleh seseorang, sehingga dengan mengukur tingkat pengetahuannya dapat diketahui pula gambaran ketepatan pengobatan sendiri yang dilakukan oleh mahasiswa. 2. Sebagai saran bagi pemerintah untuk membuat suatu kebijakan dan program yang mendukung terlaksananya pengobatan sendiri yang rasional dan bertanggungjawab. 3. Dengan gambaran perilaku dan pengetahuan yang didapatkan, diharapkan apoteker menyadari tanggung jawabnya dalam pengobatan sendiri sehingga 4 terjadi peningkatan peran apoteker dalam pelaksanaan pengobatan sendiri untuk menjamin keberhasilan pelaksanaannya. E. Tinjauan Pustaka 1. Pengetahuan a. Definisi Pengetahuan Pengetahuan adalah suatu fakta atau kondisi mengetahui sesuatu dengan baik yang didapat lewat pengalaman dan pelatihan. Adapun definisi lain dari pengetahuan, yaitu pengetahuan adalah segala maklumat yang akan berguna bagi tugas yang akan dilakukan. Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah seseorang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan ini terjadi melalui panca indra manusia, yaitu indra penglihatan, pendengaran penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya perilaku seseorang. Jadi dapat disimpulkan pengetahuan adalah persepsi yang jelas mengenai sesuatu pemahaman, pembelajaran, pengalaman praktikal, kemahiran, pengecaman, serta kumpulan maklumat tersusun yang dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah, kebiasaan terhadap bahasa, konsep, ide, fakta-fakta, perhubungan antara fakta maklumat, dan kesanggupan menggunakan semua 5 ini. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (Notoadmodjo, 2003). b. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan Pengetahuan sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: sosial ekonomi, kultur atau budaya, pendidikan, dan pengalaman (Notoadmodjo, 2003). c. Cara Mengukur Pengetahuan Pengukuran pengetahuan dapat diukur dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian ke dalam pengetahuan yang diukur dapat disesuaikan dengan tingkatantingkatan domain kognitif (Notoadmodjo, 2003). 2. Pengobatan Sendiri a. Definisi Pengobatan Sendiri Pengobatan sendiri adalah penggunaan setiap zat yang dikemas dan dijual di masyarakat untuk tujuan pengobatan saat sakit, tanpa resep atau nasihat dokter (Supardi dkk., 2002), Pengobatan sendiri merupakan bagian dari upaya masyarakat menjaga kesehatan sendiri. Upaya menjaga kesehatan sendiri tersebut diangkat dari istilah lay self care yang merupakan bagian dari sistem penyelenggaraan kesehatan. Dalam sistem penyelenggaraan kesehatan, pengobatan sendiri menjadi suatu upaya pertama yang dilakukan masyarakat, sebelum ke tingkat selanjutnya yaitu konsultasi medik profesional, konsultasi spesialistik, dan konsultasi 6 superspesialistik (Sukasediati, 1996). The International Pharmaceutical Federation (FIP) mendefinisikan pengobatan sendiri atau self-medication sebagai penggunaan obat-obatan tanpa resep oleh seorang individu atas inisiatifnya sendiri (FIP, 1999). Sedangkan definisi pengobatan sendiri menurut WHO adalah pemilihan dan penggunaan obat modern, herbal, maupun obat tradisional oleh seorang individu untuk mengatasi penyakit atau gejala penyakit (WHO, 1998). Pengobatan sendiri menjadi alternatif yang banyak dipilih masyarakat untuk meredakan/menyembuhkan keluhan kesehatan ringan atau untuk meningkatkan keterjangkauan akses terhadap pengobatan. Berdasarkan hasil Susenas tahun 2009, BPS mencatat bahwa terdapat 66% orang sakit di Indonesia yang melakukan pengobatan sendiri. Angka ini relatif lebih tinggi dibandingkan persentase penduduk yang berobat jalan ke dokter (44%). Walaupun demikian, persentase pengobatan sendiri di Indonesia masih lebih rendah dibandingkan dengan tingkat pengobatan sendiri di Amerika Serikat yang mencapai 73%. Angka ini bahkan cenderung akan meningkat karena terdapat enam dari sepuluh orang di Amerika yang mengatakan bahwa mereka mungkin akan melakukan pengobatan sendiri lagi di masa yang akan datang terhadap penyakit yang dideritanya (Kartajaya dkk., 2011). Pada umumnya pengobatan sendiri dilakukan oleh masyarakat untuk mengatasi keluhan yang dapat dikenali sendiri antara lain sakit kepala/pusing, demam, batuk, pilek, nyeri sendi, nyeri otot, sakit gigi, mual/muntah, dan luka ringan. Keluhan-keluhan tersebut umumnya 7 merupakan gejala-gejala penyakit sederhana yang dapat sembuh sendiri dalam waktu singkat, karena itu biasanya pengobatan sendiri hanya dilakukan dalam waktu terbatas, lebih kurang 3-4 hari (Sukasediati, 1996). Pengobatan sendiri mempunyai ciri pokok yang umum, diantaranya adalah (Sukasediati, 1996): 1) Sangat dipengaruhi oleh kebiasaan, adat, tradisi dan kepercayaan yang mempengaruhi perilaku seseorang 2) Dipengaruhi faktor sosial politik dan tingkat pendidikan 3) Dilakukan sewaktu-waktu manakala dibutuhkan 4) Berada di luar kerangka kerja medik profesional 5) Modelnya bervariasi dan dilakukan oleh semua kelompok masyarakat. b. Keuntungan dan Kekurangan Pengobatan Sendiri Keuntungan pengobatan sendiri antara lain aman bila digunakan sesuai dengan aturan, efisien waktu dan biaya, ikut berperan dalam mengambil keputusan terapi dan meringankan beban pemerintah dalam keterbatasan jumlah tenaga dan sarana kesehatan masyarakat (Supardi dkk., 2002). Keuntungan pengobatan sendiri misalnya aman bila digunakan sesuai aturan dengan aturan, efektif untuk menghilangkan keluhan, efisiensi biaya, efisiensi waktu dibandingkan harus berkunjung ke dokter. Ada pula kekurangan pengobatan sendiri adalah obat dapat membahayakan kesehatan apabila tidak digunakan sesuai aturan, pemborosan biaya dan waktu apabila 8 salah menggunakan obat, kemungkinan besar timbul efek samping dan resistensi, dan sulit bertindak objektif karena pemilihan obat dipengaruhi oleh pengalaman menggunakan obat di masa lalu dan lingkungan sosialnya (Supardi dan Notosiswoyo, 2005). Peranan pengobatan sendiri menurut WHO adalah sebagai berikut (WHO, 1998) : 1) Untuk menghasilkan kesembuhan yang cepat dan efektif dari gejala-gejala yang tidak memerlukan konsultasi tenaga medis 2) Mengurangi tekanan yang meningkat pada pelayanan kesehatan terhadap penyembuhan gejala-gejala ringan, terutama bila sumber daya dan tenaga terbatas 3) Meningkatkan ketersediaan perawatan kesehatan baik populasi yang berada di pedesaan atau daerah terpencil yang untuk mendapatkan nasihat media sulit. Kekurangan pengobatan sendiri menurut Holt antara lain (Holt, 1986) : 1) Obat dapat membahayakan apabila tidak digunakan sesuai dengan aturan 2) Pemborosan biaya dan waktu apabila salah menggunakan obat 3) Kemungkinan kecil dapat timbul reaksi obat yang tidak diinginkan, misalnya sensitifitas, efek samping, atau resistensi 4) Penggunaan obat yang salah akibat informasi yang kurang lengkap dari iklan obat 5) Tidak efektif akibat salah diagnosis dan salah dalam pemilihan obat 9 6) Sulit bertindak objektif karena pemilihan obat dipengaruhi oleh pengalaman menggunakan obat di masa lalu dan lingkungan sosialnya. c. Faktor yang mempengaruhi pengobatan sendiri Ada beberapa faktor yang berperan pada tindakan pengobatan sendiri pada masyarakat. Menurut Sukasediati (1996), faktor tersebut antara lain adalah: 1) Persepsi sakit Persepsi sakit menentukan kapan seseorang mengambil keputusan untuk melakukan tindakan pengobatan. Seseorang bisa merasakan sakit ketika orang tersebut tidak dapat bangun dari tempat tidur, tetapi orang lain dapat merasakan sakit meskipun masih bisa bekerja. 2) Ketersediaan informasi tentang obat Ketersediaan informasi tentang obat dapat menentukan keputusan pemilihan obat. Sumber informasi yang sampai ke masyarakat sebagian besar berasal dari media elektronik, sebagian lagi sesama masyarakat, dan sebagian lagi dari sumber-sumber lain semisal petugas kesehatan. 3) Ketersediaan obat di masyarakat Ketersediaan obat di masyarakat merupakan faktor penentu yang memungkinkan masyarakat mendapatkan dan menggunakan obat. 10 Obat yang digunakan oleh masyarakat biasanya diperoleh dengan membeli di warung, kios, toko, apotek, dan tempat lain. 4) Sumber informasi cara pemakaian obat. Sumber informasi cara pemakaian obat dapat diperoleh dari kemasan atau brosur/insert yang menyertai obat, ada juga perilaku pengobatan sendiri yang menanyakan kepada petugas apotek atau penjaga toko. d. Penggunaan Obat Rasional Definisi penggunaan obat rasional menurut hasil konferensi WHO dalam “Conference of Experts on the Rational Use of Drugs” di Nairobi 1985 adalah penggunaan obat yang pasien dapatkan sesuai dengan kebutuhan secara individu, mendapatkan obat dalam jangka terapi yang cukup dan biaya pengobatan yang terjangkau bagi masyarakat (Anonim, 2006). Pola pengobatan yang tidak rasional adalah pola pengobatan yang tidak mengikuti kaidah pengobatan rasional. Contoh penggunaan obat yang tidak rasional adalah (Anonim, 2002): 1) Pemakaian obat yang diindikasikan secara medis tidak ada atau tidak jelas 2) Pemilihan obat yang keliru untuk indikasi penyakit tertentu 3) Cara pemberian obat, dosis, frekuensi, dan lama pemberian yang tidak sesuai 11 4) Pemberian jenis obat dengan potensi toksisitas atau efek samping yang lebih besar padahal terdapat obat lain yang sama kemanfaatannya dengan potensi efek samping yang lebih kecil 5) Pemakaian obat-obat mahal padahal tersedia alternatif yang lebih murah dengan kemanfaatan dan keamanan yang sama 6) Tidak memberikan pengobatan yang sudah diketahui dan diterima kemanfaatannya dan keamanannya 7) Memberikan pengobatan dengan obat-obatan yang kemanfaatannya dan keamanannya masih diragukan 8) Pemakaian obat semata-mata didasarkan pada pengalaman individual tanpa mengacu pada sumber-sumber informasi yang tidak dapat dipastikan kebenarannya 9) Pemakaian obat yang didasarkan pada insting dan intuisi tanpa melihat fakta dan kebenaran ilmiah yang lazim. Pengobatan sendiri harus dilakukan sesuai dengan penyakit yang dialami. Pelaksanaannya sedapat mungkin harus memenuhi kriteria pengobatan yang rasional, antara lain ketepatan pemilihan obat, ketepatan dosis obat, tidak adanya efek samping, tidak adanya kontraindikasi, tidak adanya interaksi obat, dan tidak adanya polifarmasi. Dalam praktiknya, kesalahan penggunaan obat dalam pengobatan sendiri ternyata masih terjadi terutama karena ketidaktepatan obat dan dosis obat. Apabila kesalahan terjadi terus-menerus dalam jangka waktu yang lama, dikhawatirkan dapat menimbulkan risiko pada kesehatan (Supardi & Notosiswoyo, 2005). 12 Penggunaan obat bebas dan obat bebas terbatas yang sesuai dengan aturan dan kondisi penderita akan mendukung upaya pengobatan obat yang rasional. Kerasionalan penggunaan obat terdiri dari beberapa aspek, di antaranya: ketepatan indikasi, kesesuaian dosis, ada tidaknya kontraindikasi, ada tidaknya efek samping dan interaksi dengan obat dan makanan, serta ada tidaknya polifarmasi (penggunaan lebih dari 2 obat untuk indikasi penyakit yang sama). Dalam mendukung penggunaan obat yang rasional, WHO telah mengatur upaya pengobatan sendiri di masyarakat dengan mengeluarkan kriteria etik promosi obat sejak tahun 1988. WHO Ethical Criteria for Medical Drug Promotion mencakup etika promosi yang ditujukan bagi kalangan industri farmasi, profesi kesehatan maupun masyarakat. Berdasarkan informasi obat yang objektif, diharapkan masyarakat mendapatkan pengetahuan yang benar dan penggunaan obat yang rasional (Suryawati, 1997). Pengobatan sendiri yang sesuai aturan mencangkup 4 kriteria yaitu (Supardi dkk, 2002): 1) Tepat golongan Menggunakan obat yang termasuk golongan obat bebas atau obat bebas terbatas. 2) Tepat indikasi Menggunakan obat yang termasuk obat bebas atau obat bebas terbatas sesuai dengan keluhan yang dirasakan. 3) Tepat dosis 13 Menggunakan obat dengan dosis sekali dan sehari pakai sesuai dengan umur. 4) Lama pengobatan terbatas Apabila sakit berlanjut segera hubungi dokter. e. Penggolongan dan Informasi Umum Obat Obat dapat dibagi menjadi 4 golongan yaitu (Anonim, 2006) 1) Obat Bebas Obat bebas adalah obat yang dijual bebas di pasaran dan dapat dibeli tanpa resep dokter. Tanda khusus pada kemasan dan etiket obat bebas adalah lingkaran hijau dengan garis tepi warna hitam. Contoh : Parasetamol Gambar 1. Logo Obat Bebas 2) Obat Bebas Terbatas Obat bebas terbatas adalah obat yang sebenarnya termasuk obat keras tetapi masih dapat dijual atau dibeli bebas tanpa resep dokter, disertai dengan tanda peringatan dan leaflet. Tanda khusus pada kemasan dan etiket obat bebas terbatas adalah lingkaran biru dengan garis tepi berwarna hitam. Contoh : CTM Gambar 2. Logo Obat Bebas Terbatas 14 3) Obat Keras dan Psikotropika Obat keras adalah obat yang hanya dapat dibeli di apotek dengan resep dokter. Tanda khusus pada kemasan dan etiket adalah huruf K dalam lingkaran merah dengan garis tepi warna hitam. Contoh : Kaptopril Gambar 3. Logo Obat Keras Obat psikotropika adalah obat keras baik alamiah maupun sintesis bukan narkotik, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan syaraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku. Contoh : Diazepam, Phenobarbital 4) Obat Narkotika Obat narkotika adalah obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintesis ataupun semi sintesis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan menimbulkan ketergantungan Contoh : Morfin dan Petidin Gambar 4. Logo Obat Bebas Terbatas Selain obat bebas, obat bebas terbatas, obat keras, dan psikotropika serta obat narkotika, terdapat pula Obat Wajib Apotek (OWA). Obat Wajib Apotek (OWA) merupakan daftar obat-obat keras yang dapat diserahkan 15 oleh apoteker kepada pasien di apotek tanpa resep dokter. Sampai saat ini sudah ada 3 (tiga) daftar obat yang diperbolehkan diserahkan tanpa resep dokter, yang tercantum dalam (Asti dan Widiya, 2004): 1) Keputusan Menteri Kesehatan nomor 347/MenKes/SK/VII/1990 tentang Obat Wajib Apotek, berisi Daftar Obat Wajib Apotek No.1 2) Keputusan Menteri Kesehatan nomor 924/MenKes/Per/X/1993 tentang Daftar Obat Wajib Apotek No.2 3) Keputusan Menteri Kesehatan nomor 1176/MenKes/SK/X/1999 tentang Daftar Obat Wajib Apotek No.3. Sesuai Permenkes No. 919/MENKES/PER/X/1993, kriteria obat yang dapat diserahkan tanpa resep dokter antara lain (Anonim, 1996): 1) Tidak dikontraindikasikan untuk penggunaan pada wanita hamil, anak di bawah usia 2 tahun dan orang tua di atas 65 tahun 2) Pengobatan sendiri dengan obat dimaksud tidak memberikan risiko pada kelanjutan penyakit 3) Penggunaannya tidak memerlukan cara atau alat khusus yang harus dilakukan oleh tenaga kesehatan 4) Penggunaannya diperlukan untuk penyakit yang prevalensinya tinggi di Indonesia 5) Obat dimaksud memiliki rasio khasiat keamanan yang dapat dipertanggungjawabkan untuk pengobatan sendiri 6) Sebelum menggunakan obat, termasuk obat bebas dan bebas terbatas harus diketahui sifat dan cara pemakainnya agar 16 penggunaannya tepat dan aman. Informasi tersebut dapat diperoleh dari etiket atau brosur pada kemasan obat bebas dan bebas terbatas. f. Leaflet obat Leaflet obat merupakan informasi singkat berkaitan dengan obat. Biasanya merupakan tulisan pada kertas kecil yang ditempelkan pada strip obat atau lembaran lepas pada tiap dos, atau bisa juga tertera pada kemasan obat. Informasi yang diberikan umumnya meliputi (Widodo, 2004): 1) Komposisi, yakni obat atau zat aktif yang ada di dalam obat beserta jumlah masing-masing 2) Cara kerja obat, yakni mekanisme obat bekerja di dalam tubuh 3) Indikasi, yaitu penggunaan obat dalam pengobatan penyakit 4) Dosis atau cara pemakaian, besarnya obat yang boleh digunakan dalam sekali pakai dan dalam sehari sesuai dengan berat badan atau umur pengguna 5) Kontraindikasi, yaitu pasien yang tidak boleh menggunakan obat berkaitan dengan kondisi tubuh pengguna obat 6) Efek samping, efek-efek yang tidak diinginkan yang dapat muncul akibat penggunaan obat 7) Interaksi obat, yaitu pengaruh yang disebabkan obat ataupun makanan bila digunakan bersamaan dengan obat tersebut 17 8) Waktu kadaluarsa, yaitu waktu yang menunjukkan batas akhir obat masih memenuhi persyaratan seperti semula, sehingga sebaiknya obat digunakan sebelum batas waktu tersebut. 3. Kuesioner Kuesioner adalah usaha mengumpulkan informasi dengan menyampaikan sejumlah pertanyaan tertulis untuk dijawab secara tertulis pula oleh responden (Nawawi, 1995). Kuesioner sebagai alat pengumpul informasi memiliki kelebihan dan kekurangan. Keuntungan metode pengumpulan data dengan kuesioner antara lain karena metode ini paling murah dan nyaman untuk diaplikasikan, serta ideal untuk mendapatkan gambaran singkat pandangan kuesioner. Adapun kekurangan dari metode ini adalah adanya kemungkinan beberapa orang tidak mengerti pertanyaan yang diajukan sehingga memberikan respon yang tidak sempurna. (Anonim, 1999) Kuesioner tersebut dipergunakan dalam penelitian ilmiah pada dasarnya bertolak dari anggapan sebagai berikut (Nawawi, 1995): a. Reponden adalah orang yang paling mengetahui dirinya sendiri sehingga data atau informasi yang tidak dapat diamati atau tidak dapat diperoleh dengan alat lain, akan dapat diketahui dengan alat tersebut. Misalnya informasi tentang tanggapan, keyakinan, perasaan, pendapat, cita-cita, dan lain-lain 18 b. Bahwa responden terdiri dari orang-orang yang mampu dan bersedia memberikan informasi secara jujur, sehingga data yang diperoleh akan dapat dipercaya sebagai data yang objektif (benar) c. Bahwa responden adalah orang-orang yang mampu menafsirkan pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan, sebagaimana dimaksudkan oleh peneliti. Dengan kata lain sekurang-kurangnya bagi responden yang akan mengisi angket adalah orang-orang yang mampu membaca dan menulis. Berdasarkan bentuk pertanyaan kuesioner dapat dibedakan menjadi (Nawawi, 1995): a. Kuesioner dengan pertanyaan bebas (kuesioner tak terstruktur) b. Jawaban responden terhadap tiap pertanyaan kuesioner berbentuk dapat diberikan secara bebas atau menurut pendapat sendiri, berupa uraian tentang informasi yang diminta setiap pertanyaan c. Kuesioner dengan pertanyaan terikat (kuesioner tak berstruktur) Jawaban responden dalam kuesioner tersebut terikat pada sejumlah alternatif yang disediakan sebagai kemungkinan jawaban yang dapat dipilih. Kuesioner bentuk tersebut terdiri dari: a. Kuesioner dengan pertanyaan tertutup Setiap kuesioner dalam bentuk telah tersedia alternatif jawaban yang harus dipilih salah satu diantaranya sebagai jawaban yang paling tepat. Berdasarkan jumlah pilihan yang tersedia maka dikenal bentuk force choice item, berupa pertanyaan yang hanya memberikan dua alternatif jawaban untuk dipilih. Kemudian dikenal bentuk lain yang disebut multiple choice 19 item, berupa pertanyaan yang memberikan lebih dari dua alternatif jawaban yang dapat dipilih. b. Kuesioner dengan pertanyaan terbuka Dalam bentuk multiple choice item ada kemungkinan responden memberikan jawaban yang tersedia sehingga peneliti menyediakaan ruangan terbatas berupa titik-titik sebanyak dua atau tiga baris. c. Kuesioner dengan jawaban singkat Bentuk tersebut mirip dengan kuesioner dengan pertanyaan bebas. Tetapi karena sifat jawaban singkat dan tertentu maka bentuknya tidak banyak berbeda dengan kuesioner dengan pertanyaan terikat. F. Keterangan Empiris yang Diharapkan Penelitian yang dilakukan di Kluster Kesehatan dan Kluster SosioHumaniora Universitas Gadjah Mada ini adalah untuk memperoleh gambaran tingkat pengetahuan mahasiwa pada kedua kluster mengenai pengobatan sendiri (pengobatan sendiri), yang diharapkan mendapat informasi seperti: 1. Mengetahui gambaran perilaku pengobatan sendiri mahasiswa Kluster Kesehatan dan Kluster Sosio-Humaniora. 2. Mengetahui gambaran pengetahuan mahasiswa Kluster Kesehatan dan Kluster Sosio-Humaniora dalam pengobatan sendiri 3. Mengetahui adanya pengaruh faktor sosiodemografi mahasiswa terhadap tingkat pengetahuan mahasiswa mengenai pengobatan sendiri. 20