BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Imunisasi 2.1.1 Definisi Imunisasi

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Imunisasi
2.1.1 Definisi Imunisasi
Imunisasi adalah suatu cara untuk menimbulkan/meningkatkan kekebalan seseorang
secara aktif terhadap suatu penyakit, sehingga bila kelak ia terpapar dengan penyakit
tersebut tidak akan sakit atau sakit ringan (Depkes R. I., 2005).
Imunisasi adalah upaya yang disengaja untuk melindungi individu dari risiko
terjadinya penyakit. Imunisasi mungkin aktif atau pasif dan alami atau buatan.
imunisasi aktif juga disebut sebagai vaksinasi. Imunisasi yang tidak disengaja dapat
terjadi ketika seorang individu secara tidak sengaja terkena agen infeksi. Vaksin akan
berinteraksi dengan sistem kekebalan untuk menghasilkan respon imun. Vaksin akan
menghasilkan memori kekebalan yang sama apabila menderita penyakit (Depkes R.
I., 2006)
Imunisasi merupakan suatu program yang dengan sengaja memasukkan antigen
lemah agar merangsang antibodi keluar sehingga tubuh dapat resisten terhadap
penyakit tertentu. Sistem imun tubuh mempunyai suatu sistem memori (daya ingat),
ketika vaksin masuk ke dalam tubuh, maka akan dibentuk antibodi untuk melawan
vaksin tersebut dan sistem memori akan menyimpannya sebagai suatu pengalaman.
Jika nantinya tubuh terpapar dua atau tiga kali oleh antigen yang sama dengan vaksin
maka antibodi akan tercipta lebih cepat dan banyak walaupun antigen bersifat lebih
1
2
kuat dan vaksin yang pernah dihadapi sebelumnya. Oleh karena itu imunisasi efektif
mencegah penyakit infeksius (Proverawati dan Andhini, 2010).
Jenis imunisasi yang diberikan akan tergantung pada jenis proteksi yang diperlukan
untuk patogen tertentu. Misalnya, untuk kekebalan antibakteri (bakteri ekstraseluler),
IgG dan IgM antibodi yang diperlukan untuk mengaktifkan jalur klasik compement,
IgG dapat berfungsi sebagai opsion. Untuk bakteri intraseluler, imunitas seluler dan
sitokin yang diperlukan. Untuk kekebalan anti-virus yang optimal, sel T sitotoksik
yang diperlukan, meskipun untuk beberapa virus titer antibodi tinggi dapat menjadi
pelindung (Gorczynski, 2006).
2.1.2
Imunisasi DPT
Vaksin jerap DT (Difteri Pertussis Tetanus) adalah vaksin yang terdiri dari toxoid
difteri dan tetanus yang dimurnikan serta bakteri pertussis yang telah diinaktivasi
(Depkes R. I., 2005).
a. Indikasi
Untuk pemberian kekebalan secara simultan terhadap difteri, pertussis dan tetanus.
Difteri merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri corynebacterium
diphtheria. Difteri bersifat ganas, mudah menular dan menyerang terutama saluran
napas bagian atas. Pertusis merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh kuman
bordetella pertussis. Kuman ini mengeluarkan toksin yang menyebabkan ambang
rangsang batuk menjadi rendah sehingga bila terjadi sedikit saja rangsangan akan
terjadi batuk yang hebat dan lama. Tetanus merupakan penyakit yang disebabkan
3
oleh infeksi kuman clostridium tetani. Kuman ini bersifat anaerob, sehingga dapat
hidup pada lingkungan yang tidak terdapat zat asam (oksigen). Tetanus dapat
menyerang bayi, anak-anak bahkan orang dewasa (Proverawati dan Andhini, 2010).
b. Kemasan
Dipasaran terdapat tiga macam kemasan sekaligus dalam bentuk kemasan tunggal
bagi tetanus, dalam bentuk kombinasi DT (difteri dan tetanus) dan kombinasi
ketiganya atau dikenal dengan vaksin tripel (Proverawati dan Andhini, 2010).
Kemasan dalam vial, dimana satu box vaksin terdiri dari 10 vial dan vaksin berbentuk
cairan (Depkes R. I., 2005).
c. Cara Pemberian dan Dosis
Cara pemberian imunisasi DPT adalah melalui injeksi intramuskular. Suntikan
diberikan pada paha tengah luar atau subkutan dalam dengan dosis 0,5 cc. pemberian
vaksin DPT dilakukan tiga kali mulai bayi umur dua bulan sampai 11 bulan dengan
interval empat minggu. Imunisasi ini diberikan tiga kali karena pemberian pertama
antibodi dalam tubuh masih sangat rendah, pemberian kedua mulai meningkat dan
pemberian ketiga diperoleh cukupan antibodi (Proverawati dan Andhini, 2010).
d. Efek Samping
Gejala-gejala yang bersifat sementara seperti: lemas, demam, kemerahan pada tempat
suntikan. Kadang-kadang terjadi gejala berat seperti demam tinggi, iritabilitas dan
meracau yang biasanya terjadi 24 jam setelah imunisasi (Depkes R. I., 2005).
4
e. Kontraindikasi
Gejala-gejala keabnormalan otak pada periode bayi baru lahir atau gejala serius
keabnormalan pada saraf merupakan kontraindikasi pertussis. Anak yang mengalami
gejala-gejala parah pada dosis pertama, komponen pertussis harus dihindarkan pada
dosis kedua, dan untuk meneruskan imunisasinya dapat diberikan DT (Depkes R. I.,
2005).
2.1.3 Imunisasi Hepatitis B
Vaksin hepatitis B adalah vaksin virus rekombinan yang telah diinaktivasikan dan
bersifat non-infectious, berasal dari HBsAg yang dihasilkan dalam sel ragi
(Hansenula polymorpha) menggunakan teknologi DNA rekombinan (Depkes R. I.,
2005).
a. Indikasi
Imunisasi hepatitis B, ditujukan untuk pemberian kekebalan aktif terhadap infeksi
yang disebabkan oleh virus hepatitis B. Penyakit hepatitis B disebabkan oleh virus
yang akan mempengaruhi organ liver (hati). Virus ini akan selamanya tinggal di
dalam tubuh. Bayi-bayi yang terjangkit virus hepatitis berisiko terkena kanker hati
atau kerusakan pada hati (Proverawati dan Andhini, 2010).
b. Kemasan
Vaksin hepatitis B adalah vaksin yang berbentuk cairan. Vaksin hepatitis B terdiri
dari 2 kemasan: Kemasan dalam Prefill Injection Device (PID) dan kemasan dalam
5
vial. Satu box vaksin hepatitis B PID terdiri dari 100 HB PID dan satu box hepatitis
B Vial terdiri dari 10 Vial, masing-masing 5 dosis (Depkes R. I., 2005).
c. Cara Pemberian dan Dosis
Imunisasi ini diberikan tiga kali pada umur 0-11 bulan melalui injeksi intramuskular.
Kandungan vaksinnya adalah HbsAg dalam bentuk cair. Terdapat vaksin B-PID
(Prefill Injection Device) yang diberikan sesaat setelah lahir, dapat diberikan pada
usia 0-7 hari. Vaksin ini tidak hanya diberikan pada anak usia 12 tahun yang dimasa
kecilnya belum diberi vaksin hepatitis B. selain itu orang-orang yang berada dalam
rentan risiko hepatitis B sebaiknya juga diberi vaksin ini (Proverawati dan Andhini,
2010).
d. Efek Samping
Reaksi lokal seperti rasa sakit, kemerahan dan pembengkakan disekitar tempat
penyuntikan. Reaksi yang bersifat ringan dan biasanya hilang setelah 2 hari (Depkes
R. I., 2005).
e. Kontraindikasi
Hipersensitif terhadap komponen vaksin. Sama halnya seperti vaksin-vaksin lain,
vaksin ini tidak boleh diberikan kepada penderita infeksi berat yang disertai kejang
(Depkes R. I., 2005).
6
2.1.4 Imunisasi DPT-Hep B
Vaksin mengandung DPT berupa toxoid difteri dan toxoid tetanus yang dimurnikan
dan pertussis yang inaktifasi serta vaksin Hepatitis B yang merupakan sub unit vaksin
virus yang mengandung HbsAg murni dan bersifat non infectious. Vaksin COMBO
(DPT-Hep B) tergolong dalam vaksin inactivated yang selalu memerlukan dosis
ulang. Pada umumnya dosis pertama tidak menghasilkan kekebalan hanya
rangsangan pada sistem kekebalan. Perlindungan akan timbul setelah suntikan kedua
dan ketiga (Depkes R. I., 2005).
Imunisasi difteria, pertussis dan tetanus (DPT) telah lama masuk ke dalam program
imunisasi nasional di Indonesia dan telah terbukti menurunkan angka kejadian
maupun kematian yang disebabkan penyakit difteria, pertussis dan tetanus. Upaya
imunisasi difteria, pertussis, dan tetanus (DPT) secara masal dianggap merupakan
cara yang paling tepat untuk meningkatkan status kekebalan seseorang terhadap
penyakit yang berbahaya ini (Fadlyana, dkk, 2002).
Bordetella pertussis adalah patogen manusia-spesifik yang menyebabkan batuk rejan.
Penggunaan vaksin pertussis whole-cell pada bayi dan balita menyebabkan sirkulasi
menurun dari bakteri dalam populasi anak dan penurunan narked dalam kejadian
penyakit. Namun, vaksin tidak mengakibatkan kekebalan seumur hidup, memang,
peredaran bakteri tidak terkendali pada populasi orang dewasa.
Bordetella pertussis menyebabkan batuk rejan. Meskipun studi molekuler yang luas,
sekuensing seluruh genom, karakterisasi protein rinci, dan studi ekspresi gen, masih
7
banyak yang belum diketahui tentang mikroba ini. Efektivitas vaksin whole-cell (pw)
pertussis yang telah digunakan untuk vaksinasi bayi dan balita, namun bakteri masih
beredar dan membunuh bayi yang baru lahir (Guiso, 2009).
Vaksin diphteria, pertussis, dan tetanus telah dikembangkan sejak tahun 1943, dan
bersama-sama dengan vaksin hepatitis B, telah dimasukkan dalam WHO untuk
memperluas program tentang imunisasi. Menggabungkan HB dengan DPT adalah
layak karena kedua vaksin absobed dan diberikan dalam dosis ganda. Selain itu,
vaksin gabungan juga dapat mengurangi jumlah suntikkan yang diberikan kepada
bayi/anak dan memudahkan dalam pembawaan logistik (Jong, 2004).
Reaksi yang ditimbulkan dari pemberian vaksin COMBO (DPT-Hep B) adalah
gejala-gejala yang bersifat sementara seperti: lemas, demam, kemerahan dan atau
bengkak pada tempat penyuntikan. Kadang-kadang terjadi gejala berat seperti demam
tinggi, iritabilitas dan meracau yang biasanya terjadi setelah 24 jam setelah imunisasi.
Reaksi yang bersifat ringan dan biasanya hilang setelah dua hari (Depkes R. I., 2006).
16
2.1.5 Jadwal Pemberian Imunisasi
Sumber: Buku Pedoman Pemberian Imunisasi Indonesia, 2011.
17
2.2 Air Susu Ibu (ASI)
2.2.1
Definisi ASI
Air Susu Ibu (ASI) adalah cairan putih yang merupakan suatu emulsi lemak dan
larutan protein, laktosa dan garam-garam organik yang dikeluarkan oleh kelenjar
mammae pada manusia. ASI merupakan salah satu-satunya makanan alami berasal
dari tubuh yang hidup, disediakan bagi bayi sejak lahir hingga berusia 2 tahun atau
lebih (Hanson, 2007).
ASI adalah satu jenis makanan yang mencukupi seluruh unsur kebutuhan bayi baik
fisik, psikologi, sosial maupun spiritual. ASI mengandung nutrisi, hormon, unsur
kekebalan pertumbuhan, anti alergi, serta anti inflamasi. Nutrisi dalam ASI mencakup
hampir 200 unsur zat makanan (Hanson, 2007).
ASI eksklusif adalah pemberian hanya ASI saja tanpa cairan atau makanan padat
apapun kecuali vitamin, mineral atau obat dalam bentuk tetes atau sirup sampai usia 6
bulan (WHO, 2006). Anjuran pemberian ASI eksklusif enam bulan ini dikeluarkan
juga oleh The American Dietetic Assosiation bersamaan dengan diterbitkannya
panduan berjudul “Exclusive Breastfeeding for 6 Month and Breastfeeding with
complementary Foods for at least 12 month is the ideal feeding pattern for infants”
(Marimbi, 2010). Hal ini disebabkan risiko infeksi pada bayi usia lebih dari enam
bulan meningkat, karena mereka mulai makan makanan lainnya, merangkak dari
kedua tanggannya, mengambil barang dan memakannya (Proverawati dan
Rahmawati, 2010).
18
Pemberian ASI eksklusif tidak hanya penting untuk kesehatan bayi enam bulan
pertama namun juga berpengaruh pada enam bulan berikutnya karena kandungan ASI
yang dapat mempertahankan kekebalan tubuh bayi sehingga tidak mudah terkena
infeksi. ASI juga memberikan seluruh kebutuhan nutrisi pada enam bulan pertama,
separuh atau lebih nutrisi selama enam bulan kedua, dan sepertiga nutrisi selama
tahun kedua. Lebih lanjut dijelaskan, ASI dapat saja memenuhi kebutuhan gizi bayi
sejak baru lahir sampai umur enam bulan karena kapasitas lambung bayi masih
terbatas (Depkes R. I., 2009).
2.2.2
Kandungan ASI
Air Susu Ibu (ASI) memiliki banyak keuntungan baik bagi bayi maupun ibu yang
menyusui. Salah satu keuntungan ASI yang berkaitan dengan sistem imun adalah
melindungi bayi dari infeksi karena mengandung antibodi. ASI memiliki faktorfaktor pertumbuhan dan hormon sehingga dapat menstimulasi pertumbuhan dan
maturasi sistem pencernaan bayi (Mataram, 2011).
Komponen ASI sangat rumit dan berisi lebih dari 100.000 biologik komponen unik,
yang memainkan peran utama dalam perlawanan penyakit pada bayi. Meskipun tidak
semua keuntungan dari semua komponen yang sepenuhnya diteliti atau belum
ditemukan, beberapa elemen penting dari ASI yaitu kolostrom, ASI peralihan, dan
ASI matur (Proverawati dan Rahmawati, 2010).
Volume ASI pada tahun pertama adalah 400-700 ml/24 jam, tahun kedua 200-400
ml/jam, dan sesudahnya 200ml/24 jam. Di negara industri rata-rata volume ASI pada
19
bayi dibawah usia enam bulan adalah 750 gr/hari dengan kisaran 450-1200 gr/hari.
Penelitian menunjukkan bahwa volume ASI bayi usia empat bulan adalah 500-800
gr/hari, bayi usia lima bulan adalah 400-600 gr/hari, dan bayi usia enam bulan adalah
350-500 gr/hari (Proverawati dan Rahmawati, 2010).
Kolostrum adalah cairan susu kental berwarna kekuning-kuningan yang dihasilkan
pada sel alveoli payudara ibu. Cairan kolostrum keluar pada hari kesatu sampai hari
keempat atau ketujuh dengan komposisi yang selalu berubah dari hari kehari
(Proverawati dan Rahmawati, 2010). Ada juga yang menyatakan bahwa kolostrum
dihasilkan dari hari pertama sampai hari ketiga (Kristiyansari, 2009). Kolostrum
mengandung zat anti infeksi 10-17 kali lebih banyak dibandingkan ASI matur. Selain
itu, kolostrum dapat berfungsi sebagai pencahar yang ideal untuk membersihkan zat
yang tidak terpakai dari usus bayi yang baru lahir dan mempersiapkan saluran
pencernaan makanan bayi bagi makanan yang akan datang. Selanjutnya dijelaskan
bahwa kolostrum juga mengandung protein yang tinggi terutama gama globulin
sehingga dapat memberikan perlindungan infeksi, serta mengandung antibodi
sehingga mampu melindungi tubuh bayi dari berbagai penyakit infeksi. Tetapi
sayang, karena kurangnya pengetahuan atau karena kepercayaan yang salah, banyak
ibu yang baru melahirkan tidak memberikan kolostrumnya kepada bayi.
ASI peralihan adalah ASI yang dihasilkan setelah kolostrum dimana kadar lemak dan
laktosa lebih tinggi serta kadar protein dan mineral lebih rendah. ASI peralihan
berakhir sekitar dua minggu kemudian. Kandungannya termasuk tinggi lemak,
20
vitamin terlarut dalam air dan mengandung lebih banyak kalori daripada kolstrum.
Sedangkan ASI mature adalah ASI yang dihasilkan 21 hari setelah melahirkan
dengan volume bervariasi yaitu 300-850 ml/hari tergantung pada besarnya stimulasi
saat laktasi (Proverawati dan Asfuah, 2009).
2.2.3
Aspek Imunologik ASI
Bayi-bayi yang terkena sejumlah besar mikroorganisme, protein asing, dan bahan
kimia dan ketahanan terhadap infeksi sangat bergantung kepada faktor perlindungan
yang terdapat didalam susu dan bayi yang akan mengembangkan sendiri sistem
adaptive imunitasnya (Field, 2005).
Pada waktu lahir sampai beberapa bulan sesudahnya, bayi belum dapat membentuk
kekebalan sendiri secara sempurna. ASI merupakan substansi bahan yang hidup
dengan kompleksitas biologis yang luas yang mampu memberikan daya
perlindungan, baik secara aktif maupun melalui pengaturan imunologis. ASI tidak
hanya menyediakan perlindungan yang unik terhadap infeksi dan alergi, tetapi juga
menstimuli perkembangan yang memadai dari sistem imunologi bayi sendiri. ASI
memberikan zat-zat kekebalan yang belum dibuat oleh bayi tersebut. Selain itu ASI
juga mengandung beberapa komponen antiinflamasi, yang fungsinya belum banyak
diketahui. Sehingga bayi yang minum ASI lebih jarang sakit, terutama pada awal dari
kehidupannya (Soetjiningsih, 2012).
Di dalam ASI (air susu ibu), sebagian besar komponen sistem imun tersebut sudah
lengkap tersedia. Komposisi komponen ASI yang berfungsi sebagai sistem imunitas
21
yaitu zat terlarut (antibodi spesifik sIgA, 7S IgA, IgG, IgE, IgD, komponen
sekretorik);
produk
sel
T;
antigen
histokompatibilitas;
faktor
nonspesifik
(komplemen, kemotaktik, properidin, interferon, à-fetoprotein, faktor bifidus,
antistafilokokus, substansi antiadherens, epidermal growth factor, folate uptake
enhancer, antiviral, penghambat migrasi); protein karier (laktoferin, transferin,
protein yang berikatan dengan B12, protein yang berikatan dengan kortikoid); enzim
(lisosim, lipoprotein lipase, enzim leukosit),
sellular (sel imun spesifik (limfosit T
dan B)); dan sel asesori (neutrofil, makrofag, sel efitel) (Mataram, 2011).
Ada beberapa data epidemiologi yang mendukung mengenai manfaat ASI dalam
melindungi sistem pencernaan dari bayi, dan mengurangi infeksi dari sistem
pernafasan pada Negara-negara yang sedang berkembang. Selain itu, adanya
kontroversi mengenai manfaat ASI terhadap respon vaksin kepada bayi yang
dipengaruhi oleh penetralan antigen oleh susu (Field, 2005).
a. Sifat Antimikrobial dari ASI
ASI mengandung berbagai zat antimikroba (relatif tahan terhadap proteolisis usus)
yang berfungsi untuk memberikan kedua perlindungan yang menyusui kelenjar susu
dan memberikan perlindungan kepada bayi menyusu pada saat sistem kekebalan
tubuh masih belum matang (Field, 2005).
b. Imunomodulator / Komponen Anti Inflamasi dalam ASI
Meskipun peradangan merupakan pertahanan bermanfaat bagi bayi, respon inflamasi
berlebihan akan mengakibatkan berkurangnya asupan, penyakit, dan kerusakan usus.
22
Itu tidak sepenuhnya jelas apakah berlebihan atau respon inflamasi yang tidak
dicegah terhadap tantangan infeksi yang hanya terjadi di usus atau apakah ini meluas
ke sistem kekebalan sistemik bayi. Keseluruhan keseimbangan faktor dalam ASI
muncul untuk meredam respon inflamasi (Field, 2005).
c. Anti Inflammatory Sitokin
IL-10 merupakan sebuah imunosupresif kuat sitokin, yang ditemukan dalam ASI,
diproduksi oleh kelenjar susu, tetapi juga terdapat dalam limfosit dan makrofag dalam
susu. IL-10 meredam respon Th1, sehingga menghambat pro-inflamasi sitokin rilis.
IL-10 merupakan sitokin antipiretik yang dapat membatasi keparahan dan lamanya
terjadi demam. TGFβ (baik TGFβ1 dan TGFβ2), yang telah dilaporkan pada susu
manusia dan pada hewan, bertahan perjalanan melalui usus bayi. TGFβ dengan cepat
diambil oleh usus bayi, menunjukkan bahwa protein ini dapat mempengaruhi
kekebalan luar usus. TGFβ yang terlibat dalam regulasi kekebalan dan dapat
menurunkan proses peradangan dan mempercepat penyembuhan sel usus rusak oleh
sitokin atau infeksi (Field, 2005).
d. Proinflamatory Sitokin
Sitokin pro-inflamasi IL-1β, IL-6, IL-8, dan TNFα dilaporkan hadir dalam jumlah
bervariasi pada susu. Namun, IL-1 antagonis reseptor TNFα terlarut. Dan IL-6
reseptor juga hadir, yang bisa mengikat sitokin dalam lumen dan mengurangi
aktivitas mereka. Yang jauh lebih tinggi konsentrasi IL-10 dalam susu akan
diprediksi untuk menurunkan produksi setiap potensi efek IL-8. Sitokin pada ASI
23
tampaknya bukan menunjukkan adanya inflamasi, infeksi atau trauma, tetapi
menjembatani fungsi yang terhambat produksinya pada neonates. Jadi keberadaan
sitokin proinflamasi seperti TNF-α, IL-6 (interlukin-6) dan IL-8 adalah untuk
memproteksi melawan antigen dan mengaktivasi sistem imun neonates tanpa
inflamasi yang tidak dapat dicapai tanpa sitokin anti inflamasi seperti IL-10 (Field,
2005).
e. Laktoferin
Laktoferin merupakan salah satu contoh reseptor larut, merupakan protein yang
mengikat besi berkompetisi dengan pathogen yang memerlukan besi dalam
metabolism esensialnya. Laktoferin yang diproduksi makrofag, neutrofil dan epitel
kelenjar payudara bersifat bakteriostatik, dapat menghambat pertumbuhan bakteri,
karena merupakan glikoprotein yang dapat mengikat besi yang dibutuhkan untuk
pertumbuhan sebagian besar bakteri aerobic. Kadar laktoferin dalam ASI adalah 1-6
mg/dl dan tertinggi pada kolostrum (Mataram, 2011).
2.3 Susu Formula
2.3.1 Definisi Susu Formula
Formula Bayi adalah formula sebagai pengganti air susu ibu (ASI) untuk bayi
(sampai umur 6 bulan) yang secara khusus diformulasikan untuk menjadi satusatunya sumber gizi dalam bulan-bulan pertama kehidupannya sampai bayi
diperkenalkan dengan makanan pendamping air susu ibu (MP-ASI) (BPOM R. I.,
2009).
24
Susu Formula Bayi adalah susu yang secara khusus diformulasikan sebagai pengganti
ASI untuk bayi sampai berusia 6 (enam) bulan. Asupan per hari atau per kg berat
badan untuk bayi usia nol sampai enam bulan adalah: rata-rata asupan formula 750 ml
per hari, dan berat badan bayi yang dijadikan acuan lima kg, dan nilai asupan energi
yang dijadikan acuan 500 kkal per hari (atau 100 kkal/kg berat badan /hari (MENKES
R. I., 2013).
Formula bayi untuk keperluan medis khusus adalah makanan bagi bayi yang diolah
atau diformulasi secara khusus dan disajikan sebagai tatalaksana diet pasien bayi
sehingga secara tunggal dapat memenuhi kebutuhan gizi bayi dengan gangguan,
penyakit atau kondisi medis khusus selama beberapa bulan pertama kehidupannya
sampai saat pengenalan MP-ASI dan hanya boleh digunakan dibawah pengawasan
tenaga medis (BPOM R.I., 2009).
2.3.2 Kandungan Susu Formula
Air susu Ibu (ASI) mempunyai beberapa keunggulan bila dibandingkan dengan susu
formula. ASI murah, sehat dan mudah memberikannya. ASI mengandung zat imun
yang dapat meninggikan daya tahan anak terhadap penyakit dan sesuai dengan
kemampuan absorpsi usus bayi. ASI juga mengandung cukup banyak komponen
yang diperlukan oleh bayi. Penelitian menunjukkan bahwa kandungan nutrient pada
ASI ternyata lebih bagus bila dibandingkan dengan kandungan pada formula susu
sapi, yaitu sebagai berikut:
25
Tabel 2.1 Perbandingan Antara ASI Dan Formula Susu Sapi
Zat Gizi
Protein
Kalsium
Besi (Fe)
Seng
ASI
Pada umumnya α-laktalbumin, suatu
protein dengan mutu sangat tinggi
Bayi menyerap kira-kira dua pertiganya
Bayi menyerap kira-kira 49%; defisiensi
Fe jarang terjadi pada bayi yang hanya
diberi ASI untuk umur kurang dari
enam bulan
Kira-kira 60% yang diserap
Vitamin D
Kandungannya sedikit atau tidak ada
sama sekali
Faktor Imunitas
Ada (immunoglobulin, lisozim)
Formula Susu Sapi
Kandungannya lebih tinggi
Kandungannya kira-kira 1,5 kali
ASI; bayi menyerap seperempat
sampai sepertiganya
Formula yang diperkaya dengan
zat besi (Fe) mengandung kirakira 24 kali ASI; hanya kira-kira
4% yang diserap
Kandungannya kira-kira 3-4
kali ASI; kira-kira 30% diserap
Kandungannya
400
IU/qt,
cukup untuk mempertahankan
terjadinya riketsia
Tidak ada
Sumber: Proverawati dan Rahmawati, 2010.
2.4 Demam
2.4.1 Definisi Demam
Demam diartikan sebagai respon fisiologis tubuh terhadap penyakit yang di
perantarai oleh sitokin dan ditandai dengan peningkatan suhu pusat tubuh dan
aktivitas kompleks imun. Demam merupakan gejala yang menyertai beberapa
penyakit infeksi maupun penyakit radang non infeksi. Pada penyakit infeksi, demam
dapat diakibatkan oleh infeksi virus yang bersifat self limited maupun infeksi bakteri,
parasit, dan jamur. Demam dapat juga disebabkan oleh paparan panas yang
berlebihan (overheating), dehidrasi atau kekurangan cairan, alergi maupun karena
gangguan sistem imun (Potter dan Perry, 2005).
26
2.4.2 Etiologi Demam
Demam dapat disebabkan oleh faktor infeksi ataupun faktor non infeksi. Demam
akibat infeksi bisa disebabkan oleh infeksi bakteri, virus, jamur, ataupun parasit.
Infeksi bakteri yang pada umumnya menimbulkan demam pada anak-anak antara lain
pneumonia, bronkitis, osteomyelitis, appendisitis, tuberculosis, bakteremia, sepsis,
bakterial gastroenteritis, meningitis, ensefalitis, selulitis, otitis media, infeksi saluran
kemih, dan lain-lain (Graneto, 2010 dalam Nurul 2010). Infeksi virus yang pada
umumnya menimbulkan demam antara lain viral pneumonia, influenza, demam
berdarah dengue, demam chikungunya, dan virus-virus umum seperti H1N1 (Davis,
2011 dalam Nurul 2010). Infeksi jamur yang pada umumnya menimbulkan demam
antara lain coccidioides imitis, criptococcosis, dan lain-lain (Davis, 2011 dalam Nurul
2010). Infeksi parasit yang pada umumnya menimbulkan demam antara lain malaria,
toksoplasmosis, dan helmintiasis (Jenson & Baltimore, 2007 dalam Nurul 2010).
Demam akibat faktor non infeksi dapat disebabkan oleh beberapa hal antara lain
faktor lingkungan (suhu lingkungan yang eksternal yang terlalu tinggi, keadaan
tumbuh gigi, dll), penyakit autoimun (arthritis, sistemic lupus erythematosus,
vaskulitis, dll), keganasan (Penyakit Hodgkin, Limfoma non-hodgkin, leukemia, dll),
dan pemakaian obat-obatan (antibiotik, difenilhidantoin, dan antihistamin) (Kaneshiro
& Zieve, 2010 dalam Nurul 2010). Selain itu anak-anak juga dapat mengalami
demam sebagai akibat efek samping dari pemberian imunisasi selama ±1-10 hari
(Graneto, 2010 dalam Nurul 2010). Hal lain yang juga berperan sebagai faktor non
27
infeksi penyebab demam adalah gangguan sistem saraf pusat seperti perdarahan otak,
status epileptikus, koma, cedera hipotalamus, atau gangguan lainnya (Nelwan, 2009
dalam Nurul 2010).
2.4.3 Patofisiologi Demam
Demam terjadi karena mekanisme pengeluaran panas tidak mampu untuk
mempertahankan
kecepatan
pengeluaran
kelebihan
produksi
panas,
yang
mengakibatkan peningkatan suhu tubuh abnormal. Demam sebenarnya merupakan
akibat dari perubahan set point hipotalamus. Pirogen seperti bakteri dan virus
menyebabkan peningkatan suhu tubuh. Saat bakteri dan virus tersebut masuk ke
dalam tubuh, pirogen bekerja sebagai antigen, mempengaruhi sistem imun. Sel darah
putih diproduksi lebih banyak lagi untuk meningkatkan pertahanan tubuh melawan
infeksi. Selain itu, substansi sejenis hormon dilepaskan untuk selanjutnya
mempertahankan melawan infeksi. Substansi ini juga mencetuskan hipotalamus
untuk mencapai set point. Untuk mencapai set point baru yang lebih tinggi, tubuh
memproduksi dan menghemat panas. Dibutuhkan beberapa jam untuk mencapai set
point baru dari suhu tubuh. Selama periode ini, orang tersebut menggigil, gemetar
dan merasa kedinginan, meskipun suhu tubuh meningkat. Fase menggigil berakhir
ketika set point baru, suhu yang lebih tinggi, tercapai. Selama fase berikutnya, masa
stabil, menggigil hilang dan pasien merasa hangat dan kering. Jika set point baru
telah “melampaui batas” atau pirogen telah dihilangkan, terjadi fase ketiga episode
febris. Set point hipotalamus turun, menimbulkan respons pengeluaran panas. Kulit
28
menjadi hangat dan kemerahan karena vasodilatasi. Diaphoresis membantu evaporasi
pengeluaran panas (Potter dan Perry, 2005).
Pathogenesis demam diawali oleh adanya toksin dari bakteri misalnya endotoksin
bekerja pada monosit, makrofag, dan sel-sel Kupffer untuk menghasilkan berbagai
macam sitokin yang bekerja sebagai pirogen endogen (EPs). Terdapat bukti nyata
bahwa IL-1B, IL-6, β-IFN, ϒ-IFN, dan TNF-α dapat bekerja secara independen untuk
membangkitkan demam. Sitokin-sitokin ini merupakan polipeptida, dan kecil
kemungkinannya bahwa sitokin dalam darah dapat menembus otak. Terdapat bukti
bahwa sitokin-sitokin tersebut bekerja pada Organum Vasculosom Lamine Terminalis
(OVLT), salah satu dari organ-organ sirkumventrikuler. Hal ini kemudian
mengaktifkan daerah daerah preoptik hipotalamus. Sitokin juga dihasilkan oleh selsel di SSP apabila terjadi rangsangan oleh infeksi, dan sitokin tersebut mungkin
bekerja secara langsung pada pusat-pusat pengatur suhu. Demam yang ditimbulkan
oleh sitokin mungkin disebabkan oleh pelepasan prospaglandin lokal di hipotalamus.
Penyuntikkan prostaglandin ke dalam hipotalamus menyebabkan demam. Selain itu,
efek antipiretik aspirin bekerja langsung pada hipotalamus, dan aspirin menghambat
sintesis prostaglandin. PGE2 adalah salah satu prostaglandin yang menyebabkan
demam. PGE2 bekerja pada empat subtype reseptor prostaglandin EP1, EP2, EP3, dan
EP4 dan penguraian reseptor EP3 akan mengganggu respons demam terhadap PGE2,
IL-1β, dan lipopolisakarida (LPS) bakterial (Ganong, 2003).
29
2.4.4 Batasan Demam
Gejala demam dapat dipastikan dari pemeriksaan suhu tubuh yang lebih tinggi dari
rentang normal. Suhu normal 360C-37,20C. Dikatakan demam, apabila pada
pengukuran suhu rektal >38oC (100,4oF) atau suhu oral >37,6oC atau suhu aksila
>37,4oC (99oF) (El-Radhi dan Barry, 2006).
Tabel 2.2 Suhu Normal Pada Tempat Yang Berbeda
Tempat pengukuran
Aksila
Sublingual
Rektal
Jenis thermometer
Air raksa, elektronik
Air raksa, elektronik
Air raksa, elektronik
Rentang normal (0C)
34,7-37,3
35,5-37,5
36,6-37,9
Demam (0C)
37,4
37,6
38
Sumber: El-Radhi dan Barry,2006
2.4.5 Faktor yang Mempengaruhi Demam
Banyak faktor yang mempengaruhi demam. Peningkatan demam terjadi ketika
hubungan antara produksi panas dan kehilangan panas diganggu oleh variabel
fisiologis atau perilaku.
a. Usia
Pada saat lahir, bayi meninggalkan lingkungan yang hangat, yang realif konstan,
masuk dalam lingkungan yang suhunya berfluktuasi dengan cepat. Mekanisme
kontrol suhu masih imatur. Suhu tubuh bayi dapat berespons secara drastis terhadap
perubahan suhu lingkungan. Pakaian harus cukup dan paparan pada suhu yang
ekstrem harus dihindari. Bayi baru lahir pengeluaran lebih dari 30% panas tubuhnya
melalui kepala dan oleh karena itu perlu menggunakan penutup kepala untuk
mencegah pengeluaran panas. Bila terlindung dari lingkungan yang ekstrem, suhu
30
tubuh bayi dipertahankan pada 35,50 sampai 39,50C. produksi panas akan meningkat
seiring dengan pertumbuhan bayi memasuki masa anak-anak. Perbedaan secara
individu 0,250 sampai 0,550C adalah normal.
Faktor usia merupakan salah satu faktor risiko utama yang berhubungan dengan
demam karena hal ini erat kaitannya denga kematangan otak, tingkat kematangan
otak dalam bidang anatomi, fisiologi dan biokimiawi otak (Lumbantobing,2007).
Usia dapat menentukan kemungkinan terjadinya penyakit tertentu sepanjang jangka
hidup. Kerentanan terhadap infeksi, lahir dengan hanya memiliki antibodi dari ibu,
sistem imunimatur bayi yang belum mampu menghasilkan immunoglobin yang
diperlukan (Ngastiyah, 2007).
b. Kadar Hormon
Secara umum, wanita mengalami fluktuasi suhu tubuh yang lebih besar dibandingkan
pria. Variasi hormonal selama siklus menstruasi menyebabkan fluktuasi suhu tubuh.
Kadar progesteron meningkat dan menurun secara bertahap selama siklus menstruasi.
Bila kadar progesteron rendah, suhu tubuh beberapa derajat di bawah kadar batas.
c. Irama Sirkadian
Suhu tubuh berubah secara normal 0,50C sampai 10C selama periode 24 jam. Suhu
merupakan irama paling stabil pada manusia. Secara umum, irama suhu sirkadian
tidak berubah sesuai usia. Penelitian menunjukkan puncak suhu tubuh adalah dini
hari pada lansia.
31
d. Stres
Stres fisik dan emosi meningkatkan suhu tubuh melalui stimulasi hormonal dan
persarafan. Perubahan fisiologi tersebut meningkatkan panas.
e. Lingkungan
Lingkungan mempengaruhi suhu tubuh. Bayi dan lansia paling sering dipengaruhi
oleh suhu lingkungan karena mekanisme suhu mereka kurang efisien (Potter dan
Perry, 2005).
2.5 Kejadian Demam Pasca Pemberian Imunisasi COMBO (DPT-Hep B)
Demam didefinisikan sebagai peningkatan suhu tubuh di atas normal. Demam
digambarkan peningkatan regulasi suhu tubuh setelah terjadi peningkatan dalam pusat
hipothalamik. Dibawah pengaruh dari hipotalamus, psikologi dan perilaku
lingkungan yang mendukung produksi dari panas sehingga merangsang terjadi pusat
panas yang baru. Suhu tubuh normal adalah bervariasi mulai dari perkiraan terendah
yaitu 36,40C (97,60F) pada pagi hari sampai tertinggi 36,90C (98,50F) pada malam.
Suhu inti tubuh manusia mengalami fluktuasi sirkadian teratur sebesar 0,5-0,70C.
Pada orang-orang yang tidur pada malam hari dan terjaga pada siang hari (walaupun
bertirah baring di rumah sakit), suhu paling rendah pada pkl 06.00 pagi dan tertinggi
pada malam hari. Suhu paling rendah saat tidur, sedikit lebih tinggi pada keadaan
terjaga tetapi santai, dan meningkat seiring dengan aktivitas (Ganong, 2003).
32
Hiperpireksia atau demam terjadi karena mekanisme pengeluaran panas tidak mampu
untuk mempertahankan kecepatan pengeluaran kelebihan produksi panas, yang
mengakibatkan peningkatan suhu tubuh abnormal. Demam sebenarnya merupakan
akibat dari perubahan set point hipotalamus. Pirogen seperti bakteri dan virus
menyebabkan peningkatan suhu tubuh. Saat bakteri dan virus tersebut masuk ke
dalam tubuh, pirogen bekerja sebagai antigen, mempengaruhi sistem imun. Sel darah
putih diproduksi lebih banyak lagi untuk meningkatkan pertahanan tubuh melawan
infeksi. Selain itu, substansi sejenis hormon dilepaskan untuk selanjutnya
mempertahankan melawan infeksi. Substansi ini juga mencetuskan hipotalamus
untuk mencapai set point. untuk mencapai set point baru yang lebih tinggi, tubuh
memproduksi dan menghemat panas. Dibutuhkan beberapa jam untuk mencapai set
point baru dari suhu tubuh. Selama periode ini, orang tersebut menggigil, gemetar
dan merasa kedinginan, meskipun suhu tubuh meningkat. Fase menggigil berakhir
ketika set point baru, suhu yang lebih tinggi, tercapai. Selama fase berikutnya, masa
stabil, menggigil hilang dan pasien merasa hangat dan kering. Jika set point baru
telah “melampaui batas” atau pirogen telah dihilangkan, terjadi fase ketiga episode
febris. Set point hipotalamus turun, menimbulkan respons pengeluaran panas. Kulit
menjadi hangat dan kemerahan karena vasodilatasi. Diaphoresis membantu evaporasi
pengeluaran panas (Potter dan Perry, 2005).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap tikus yang disuntikkan imunisasi
DPT, demam yang terjadi setelah imunisasi COMBO (DPT-Hep B) disebabkan oleh
33
peningkatan produksi IL-1β diotak. Peningkatan panas yang terjadi dilaporkan 2-4
jam setelah imunisasi. Khususnya berfokus pada produksi sitokin didalam
hipotalamus dan hipokampus, dimana merupakan bagian dari otak yang berperan
dalam kontrol panas dan aktifitas kejang. Pada kedua area tersebut, konsentrasi dari
protein IL-1β yang secara signifikan meningkat setelah 2 jam pemberian imunisasi
DPT. IL-1β akan kembali kekonsentrasi basal setelah 4 jam di hipokampus tapi akan
meningkat di hipotalamus, sesuai dengan suhu tubuh yang dibangkitkan. Yang
mengikuti dari peningkatan protein IL-1β dikedua region adalah peningkatan dari IL1β m RNA, merupakan indikasi dari pusat sintetis dari sitokin oleh cell otak bagian
dalam yang merupakan respon dari vaksinasi DPT (Donnelly, et al, 2001).
Peningkatan dari IL-1β diotak, menginduksi pembentukan salah satu prostaglandin
terutama prostaglandin E2 dan selanjutnya bekerja di hypothalamus untuk
membangkitkan reaksi demam (Guyton dan Hall, 2007). Demam akibat imunisasi
bersifat remiten..
Nukleus pre-optik pada hipotalamus anterior berfungsi sebagai pusat pengatur suhu
dan bekerja mempertahankan suhu tubuh pada suatu nilai yang sudah ditentukan,
yang disebut hypothalamus thermal set point. Pada demam hypothalamus thermal set
point meningkat dan mekanisme pengaturan suhu tubuh yang utuh bekerja
meningkatkan suhu tubuh ke suhu tertentu yang baru. Terjadinya demam disebabkan
oleh pelepasan zat pirogen dari dalam lekosit yang sebelumnya telah terangsang baik
oleh zat pirogen eksogen yang dapat berasal dari mikroorganisme atau merupakan
34
suatu hasil reaksi imunologik yag tidak berdasarkan suatu infeksi. Pirogen eksogen
bekerja pada fagosit untuk menghasilkan IL-1, suatu polipeptida yang juga dikenal
sebagai pirogen endogen. IL-1 mempunyai efek luas dalam tubuh. Zat ini memasuki
otak dan bekerja langsung pada area preoptika hipotalamus. Didalam hipotalamus zat
ini merangsang pelepasan asam arakhidonat serta mengakibatkan peningkatan sintesis
PGE2 yang langsung dapat menyebabkan demam (Kohl. et al, 2004).
2.6 Pengaruh ASI terhadap Kejadian Demam Pasca Pemberian Imunisasi
COMBO (DPT-Hep B)
Seperti yang kita ketahui bahwa, efek samping yang paling banyak terjadi setelah
pemberian imunisasi COMBO (DPT-Hep B) adalah demam dan nyeri. Dimana
demam yang terjadi setelah pemberian imunisasi adalah peningkatan suhu tubuh
melebihi normal, biasanya karena reaksi fisiologis kompleks karena adanya aktivitas
sitokin endogen yang mempengaruhi aktivitas saraf hipotalamus, meningkatkan set
point di hipotalamus. Dimana hal ini terjadi setelah pemberian imunisasi (Kohl. et al,
2004).
Salah satu keuntungan ASI yang berkaitan dengan sistem imun adalah melindungi
bayi dari infeksi karena mengandung antibodi. Didalam ASI, sebagian besar
komponen sistem imun sudah lengkap tersedia. Dipandang dari sudut pertahanan,
ASI mengandung berbagai zat yang berfungsi sebagai pertahanan nonspesifik
maupun spesifik. Pertahanan nonspesifik diperankan oleh sel seperti makrofag dan
35
neutrofil produknya dan faktor protektif larut, sedangkan sel spesifik oleh limfosit
dan produknya (Mataram, 2011).
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Pisacane et al (2010) dengan
jumlah subyek penelitian sebanyak 460 bayi, membuktikan bahwa kejadian demam
setelah imunisasi hexavalent (diphtheria, tetanus, acelular pertussis, hepatitis B,
inactivated polio virus, Haemophilus influenza type b), pada bayi yang mendapat ASI
eksklusif sebesar 25%, sedangkan yang mendapat ASI parsial kejadian demamnya
31% dan pada bayi yang tidak mendapatkan ASI 53%. Hal ini disebabkan oleh
sitokin proinflamatory dalam ASI berperan sebagai endogenous pyrogens, beberapa
antimikrobial atau komponen anti-inflamatory yang dapat mengurangi efek panas
dengan cara mengurangi produksi dari interlukin atau reseptor Toll-like dan efek dari
jaringan vaskular yang menyediakan pusat panas di hipotalamus anterior. Selain itu,
produksi dari proinflamatory sitokin juga dapat berkurang tidak hanya dari komponen
dari ASI tapi juga bisa dari ASI itu sendiri.
Download