ARTIKEL KARAKTERISTIK, PROBLEMATIKA DAN SOLUSI DALAM PEMBELAJARAN PAI /ASPEK FIQIH Oleh: AHMAD MAKIN (Pengawas Madrasah Kemenag Kabupaten Tebo) ABSTRAK Kurikulum PAI baik di Sekolah Umum maupun di Madrasah yang disampaikan guru melalui proses pembelajaran merupakan sebuah muatan kolektif (kognitif,Afektif dan Psykomotor) yang urgen untuk dikuasai siswa, diharapkan setelah pembelajaran siswa/siswi mempunayi kompetensi-kompetensi tertentu yang bermanfaat baginya dalam kehidupan sehari-hari. Mata Pelajaran Fiqih di Madrasah dan Aspek Fiqih di Sekolah umum mempunyai kekhas-an (karakter dan problem) yang berbeda dengan Mata Pelajaran/aspek lain. Oleh karenanya guru harus mengenali betul ke-khas-an tersebut dengan baik, dan mampu mencari solusinya bila muncul problem secara arif dan bijaksana. Artikel ini mendorong guru mengenali ke-khas-an Mata Pelajaran Fiqih di Madrasah dan Aspek fiqih untuk di Sekolah Umum sehingga guru dapat menyajikan secara maksimal, tujuannya adalah agar proses pembelajaran berjalan dengan baik,maksimal dan porposional sehingga akan menghasilkan kompetensi lulusan yang berkualitas yakni memiliki kemauan dan tekat kuat untuk mengamalkan nilai-nilai ajaran agama (konotifvolitif) dalam kehidupan sehari-hari. Kata Kunci: Karakteristik,Probematika dan Solusi, Dalam Pembelajaran PAI/aspek fiqih. 0 BAB I PENDAHULUAN Di dalam Undang-undang Sistem Pendidkan Nasional N0: 2/1989, pasal 39 ayat 2 di tegaskan bahwa : ”Isi kurikulum disetiap jenis, jalur dan jenjang pendidikan diwajibkan memuat, antara lain pendidikan agama. Dan dalam penjelasannya dinyatakan bahwa pendidikan agama merupakan usaha untuk memperkuat iman dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama yang dianutnya”.(Muhaimin,2004:75) Kutipan di atas memberi arahan bahwa disetiap jenis, jalur dan jenjang pendidikan formal baik negeri ataupun suasta wajib memuat pendidikan agama, karena pendidikan agama mampu memperkuat keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT. Apapun jenis dan jenjangnya mulai dari TK sampai Perguruan tinggi. Aspek fiqih merupakan salah satu aspek dari empat aspek yang tergabung dalam Pendidikan Agama Islam (PAI) yang diajarkan di sekolah mulai dari tinghkat SD s/d SMA , untuk di Madrasah Alqur.an hadist, Fiqih, Aqidah Ahlaq dan Sejarah Kebudayaan Islam, Masing-masing menjadi mata pelajaran yang berdiri sendiri, dan masing-masing saling terkait, isi mengisi dan melengkapi satu dengan yang lainnya karena bersumbernya dari kitab yang sama yaitu Al-Qur.an dan Al-Hadist. Dasar Yuridis Pendidikan Agama Islam (termamsuk Aspek fiqih) adalah ayat qur.an terdapat pada QS.Al-Nahl : “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah[845] dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”.(Dep. Agama, 1998:536) 1 “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung”. (Dep. Agama, 1998:116) Ayat Qur.an di atas merupakan dasar yuridis Pendidikan Agama Islam yang diajarkan di sekolah/Madrasah dari berbagai jenjang pendidikan,”Al-Qur,an dan Hadist adalah landasan utama dalam pendidikan Islam, yang dapat dikembangkan menjadi beberapa aspek termasuk aspek Fiqih. Materinya mencakup ibadah dan muamalah, walaupun masing-masing tingkatan ada berbedaannya sesuai dengan standar kelulusan yang ditetapkan Pemerintah. yang diliputi dengan berbagai perselisihan pendapat para ulama. Oleh karena itu dibutuhkan seorang guru yang handal dan profesional dalam menyikapi berbagai pendapat tersebut. Handal dalam arti bahwa seorang guru fiqih harus betul-betul mempunyai kemapuan dan latar belakang keilmuan kependidikan yang matang. Profesinal dalam arti bahwa seorang guru fiqih harus betul-betul mempunyai kepandaian khusus sesuia dengan profesi yang ditekuni. Arah dari pelajaran aspek Fiqih mencakup dua materi ; ibadah dan muamalah, yang bersumber sari Al-Quran dan Hadist. Dimana keduanya merupakan sumber akidah-ahlak, syariah/fikih (ibadah,muamalah), sehingga kajiannya berbeda disetiap unsur tersebut. Akidah atau keimanan merupakan pokok agama, ibadah dan muamalah merupakan konskuensi dari akidah (keimanan dan keyakinan hidup, syariah/fikih merupakan sistem norma (aturan) yang mengatur hubungan manusia dengan Allah, sesama manusia dan dengan makhluk lainnya. Akhlak merupakan aspek sikap hidup atau kepribadian hidup manusia, dalam arti bagaimana sistem norma yang mengatur hubungan manusia dengan Allah (ibadah dalam arti khas) dan hubungan manusia dengan manusia dan lainnya. Dalam pembahasan ini penulis hanya membahas aspek fiqih, yaitu ibdah dan muamalah. Jadi jelas bahwa materi fiqih yang meliputi ibadah dan muamalah, mengandung maksud bahwa, bagaimana melakukan ibadah yang benar, seperti shalat, zakat haji dan sebagainyua. Sedangkan muamalah menuntun bagaiaman melakukan hubungan baik 2 antar manusia dengan Allah, manusia dengan manusia dan manusia dengan mahluk linnya. BAB. II PEMBAHASAN A. Pengertian Fiqih Fiqih menurut bahasa artinya mengerti atau faham”.( Mahmud Yunus, 1973:321). Atau juga dapat diartikan pemahaman, karena itu banyak difahami berbeda-beda oleh para ulama. Di Indonesia kita mengenal empat madzhab yakni Hanafiyah, Syafi’iyah, Malikiyah dan Hambaliah, juga berkembanga madzhab lain seperti Madzhab Wahabi dan lain sebagainya. Meskipun demikian, perbedaan antara para ulama itu pada seputar masalah-masalah furu’iyah (cabang) agama, bukan pada masalah-masalah ushuliyah (pokok). Sehingga perbedaan tersebut dapat dibenarkan tergantung logika pemikiran para ulama, juga dilatarbelakangi oleh masyarakat tempat mereka berpendapat. contohnya adalah imam Syafi’i memiliki pendapat qaul qadim dan qaul jadid. Sedangkan menurut istilah,fiqih berarti pengetahuan tentang hukum-hukum syariat melalui jalan ijtihad”. (Abdul Hamid Hakim, 1928). Dalam kamus Besar bahasa Indonesia , ijtihad diartikan sebagai pengerahan segala tenaga dan pemikiran untuk menyelidiki dan menggali hukum-hukum yang terkandung dalam Al-Qur,an/Hadist dengan syarat-syatar tertentu”. (Dep.Pendidkan Dan Kebuidayaan, 1998:321). AlQur,an dan Hadist adalah landasan utama dalam pendidikan Islam, dapat dikembangkan pola pengembangan hukum dengan cara ijtihad”.( Burhanuddin dan Moh Makin,2007:149). Berdasarkan pengertian diatas jelas kiranaya bahwa, ijtihad yang dipersoalakan oleh para ulama fikih adalah ijtihad dalam wilayah furuiyah (cabang) yang sifatnya masih memerlukan pengkajian dan pendalaman tentang hukum sesuatu, sehingga dapat ditentukan statutus hukumnya. Aspek fiqih memberikan bekal dan pemahama kepada siswa bagaimana melakukan ibadah yang baik dan benar (sesuai dengan tingkatan kelas), yang pada akhirnya dapat dipraktekan oleh siswa dalam kehidupannya sehari-hari, demikian pula dengan muamalah siswa diajarkan tentang tata cara makan, minum dan baik dan halal 3 dan hal-hal yang berkaitan dengan menjalin hubungan dengan manusia, serta lingkungannya. B. Karakteristik Pendidikan Agama Islam Pada Aspek Fiqih. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, karakteristik diarartikan sebagai sifat khas sesuai dengan perwatakan tertentu”.(Dep.Pendidikan dan Kebudayaan,1989:389). Jadi karakteristik aspek fiqih adalah sifat khusus,ciri-ciri khusus pada materi pelajaran fiqih. Di muka telah disinggung bahwa wilayah pembahasan dalam aspek fikih yang di ajarkan di sekolah/Madrasah disemua strata mencakup pada masalah Ibadah dan muamalah untuk tingkat dasar, dan untuk tingakt menengah dan atas ada penambahan. Masalah ibadah bertujuan adalah mengenal dan melaksanakan hukum Islam yang berkaitan dengan rukun islam mulai dari ketentuan dan tata cara pelaksanaan taharah, salat, puasa, zakat, sampai dengan pelaksanaan ibadah hají. Sedangkan muamalah bertujuan pengenalan dan pemahaman mengenai ketentuan tentang makanan dan minuman yang halal dan haram, khitan, kurban, serta tata cara pelaksanaan jual beli dan pinjam meminjam jual beli dan lainnya Dari uraian di atas membawa kita pada pemahaman bahwa pelajaran fiqih mempunyai karakteristik “ menekankan pada kemampuan cara melakukan ibadah dan muamalah yang benar dan baik”. (Muhaimin,2009: 33). Artinya adalah bahwa pembelajaran aspek fiqih menekankan pada kemampuan cara melakukan ibadah atau muamalah.Contoh materi bahasannya shalat, guru tidak hanya mengajar bagaimana kaifiyah menjalankan shalat ( aspek kognitif) yang baik dan benar saja, akan tetapi berupaya bagaimana siswa-siswinya mampu melakukan shalat, dengan demikian diperlukan sarana tempat praktek shalat (musholla/masjid). Dalam praktek shalat itu guru betuk-betul dapat memberikan contoh mulai dari bacaan dan gerakan, mulai dari niat sampai pada salam. C. Problematika Pendidikan Agama Islam Aspek Fiqih. Berbicara problem berarti berbicara tentang masalah-masalah, dan perlu dipecahkan dan dicari solusinya, sepanjang masalah itu belum terpecahkan maka tetap menjadi persoalan yang akan mengganggu jalannya sesuatu dalam mencapai tujuan. Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, problematik berarti; permasalahan; hal yang 4 menimbulkan masalah; hal yang belum dapat dipecahkan”. (Dep.Pendidikan dan Kebudayaan,1989:701). Dari pengertian itu dapat di analisis bahwa problematika adalah masalah, artinya sesuatu dingggap masalah jikalau sesuatu itu dapat menggangu,merusak atau menghambat pencapaian tujuan , atau tujuan tercapai secara kognitif akan tetapi tidak membekas atau tidak memberikan pemahaman sehingga anak tidak dapat melakukan atau mempratekkan dalam kehidupan sehari hari.Ini adalah kelemahan, indikasi-indikasi yang mengarah pada lemahnya Pendidikan Agama Islam (termasuk aspek fiqih) dilontarkan oleh Buchori (1992), sebagaimana dikutip oleh Muhaimin, menilai bahwa pendidikan agama masih gagal. Kegagalan itu disebabkan karaena praktek pendidikannya hanya memperhatikan aspek kognitif semata... dan mengabaikan pembinaan aspek afektif dan konotif-volitif, yakni kemauan dan tekat untuk mengamalkan nilai-nilai ajaran agama. Akibatnya terjadi kesenjangan antara pengetahuan dan pengaamalan... atau dalam praktek pendidikan agama berubah menjadi pengajaran agama, sehingga tidak mampu membentuk pribadi-pribadi bermoral”. ( Muhaimin,2009:23). Dari pernyataan Buchori di atas ada yang menarik yang dapat kita garis bawai bahwa ternyata gagalnya pendidikan Agama Islam (termasuk aspek fiqih) yang diajarkan di Sekolah/ Madrasah baru pada tataran kognitif saja, yang hanya menitik beratkan pada tiori-tiori keilmuan belaka belum menyentuh pada aspek afektif dan konatif-volitif. Pada hal bila kita kembali kepada pembahasan di awal bahwa karakteristik Pendidikan Agama Islam (aspek fiqih) menitik beratkan pada penekanan kemampuan cara melakukan ibadah dan muamalah yang benar dan baik. Artinya pembelajara PAI saat ini belum pada tatanan yang dikehendaki oleh karakteristik atau ciri khas aspek fiqih itu sendiri. Pada hal bila dicermati karakteristik aspek fiqih sebagai mana yang dijelaskan di atas, lebih mengarah pada dunia praktek atau mengarah pada tingkah laku (psikomotor) . Hal ini sejalan dengan pernyataan Buchori, yang dikutip Muhaimin bahwa pembelajaran Pendidikan Agama Islam (aspek fiqih) disamping memperhatikan masalah keilmuan (kognitif), juga harus mengarah pada pembinaan afektif dan konotif-volitif, yaitu harus ada kemauan dan tekat yang kuat untuk mengamalkan nilai-nilai ajaran agama siswa kedalam kehidupan sehari-hari. 5 Pembelajaran Pendidikan Agama Islam (aspek fiqih) yang dianggap masih gagal yang diajarkan di sekolah/Madrasah, karena lebih memperhatikan aspek kognitif tersebut diperkuat oleh pernyataan Menteri Agama RI,Muhammad Maftuh Basyuni (Tempo,24 Nopember 2004), bahwa “pendidkan Agama yang berlangsung saat ini cenderung lebih mengedepankan kognitif (pemikiran) dari pada afeksi (rasa) dan psikomotorik (tingkah laku)”. ( Muhaimin,2009:23). Hal ini juga diperkuat oleh Qomaruddin Hidayat (Cendikiawan Muslim), bahwa “Pendidikan Agama lebih berorientasi pada belajar tentang agama , sehingga hasilnya banyak orang yang mengetahui nilai-nilai ajaran agama, tetapi prilakunya tidak relevan dengan nilai-nilai ajaran agama yang diketahuinya”. ( Muhaimin,2009:23). Dikatakan Rosdianah (1995), ada beberapa kelemahan Pendidikan Agama Islam di sekolah, baik dalam pemahaman materi maupun dalam pelaksanaannya yaitu: 1. Dalam bidang teologi, ada kecenderungan mengarah pada faham fatalistik. 2. Bidang ahlak berorientasi pada urusan sopan santun dan belum difahami sebagai keseluruhan pribadi manusia yang beragama 3. Bidang ibadah diajarkan sebagai kegiatan rutin agama dan kurang ditekankan proses pembentukan kepribadian. 4. Dalam bidang hukum (fiqih) cenderung dipelajari sebagai tata cata aturan yang tidak akan berubah dan kurang memahami dinamika dan jiwa hukum islam. Agama Islam cenderung diajarkan sebagai dogma dan kurang mengembangkan rasionalitas serta kecintaan pada kemajuan ilmu pengetahuan” ( Muhaimin,2009:2425). Untuk memecahkan permasalahan klasik di atas, maka harus diambil langkahlangkah penting sebagai solusi. E. Solusi Atas Problematika yang dihadapi Pendidikan Agama Islam aspek Fiqih. Kritik pedas yang dilontarkan oleh para praktisi pendidikan di atas seyogyanya disikapi oleh beberapa pihak yang terkait secara arif dan bijaksana, guna untuk memperbaiki dan mencari solusinya agar Pendidikan Agama Islam dimasa mendatang tidak sekedar belajar tentang agama, akan tetapi mampu mengamalkan nilai-nilai agama Penulispun tidak sependapat kalau dikatakan bahwa pelaksanaan pendidikan agama dinilai gagal total , kata-kata gagal dapat penulis fahami sebagai suatu motifasi kepada guru PAI agar senantiasa melakukan inovasi-inovasi untuk mencari solusi-solusi demi memperbaikai proses pembelajar PAI khususnya aspek Fiqih, dan kegagalan itu buka berarti tidak membuahkan hasil sama sekali, akan tetapi hasil yang dicapai guru 6 PAI belum maksimal, untuk itu diperlukan sebuah solusi. Lalu apa yang musti diperhatikan dalam menyikapi kelemahan-kelemaham pembelajaran PAI aspek fikiq tersebut?. Ada beberapa hal yang perlu dibenahi dan sekaligus diperbaiki adalah sebagai berikut: 1. Peningkatan Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru. Di dalam Undang-undang RI N0; 14/2005, Bab IV tentang guru, pasal 8,9,10 ayat 1 disebutkan bahwa: Pasal 8 : Guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani serta memiliki kemmapuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Pasal 9 : Kualifikasi akademik sebagaimana dimakud dalam pasal 8 diperoleh melalui pendidikan tinggi program sarjana atau program diploma empat. Pasal 10, ayat 1; Kompetensi guru sebag aimana dimaksud pada ayat 8 meliputi kompetensi pedagogik,kompetensi kepribadian, kompetensi sosial dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi”.( Direktorat Jendral Pendidikan Islam, 2006:88). Bila kita cermati lahirnya undang-undang RI No:14/2005, bab IV tentang guru dilatar belakangi oleh kondisi guru-guru yang tidak memenuhi standar kulifikasi sehingga lahir undang-undang tersebut, terutama guru-guru PAI di SD/MI di pelosok-pelosak/dipedesaan yang jauh dari hiruk pikuknya perkotaan, sehingga memberi ruang dan kesempatan seluas-luasnya kepada guru untuk meningkatkan keahlian (kualifikasi) baik melalui program-program khusus maupun mandiri kejenjang lebih tinggi (SI), sehingga tingkat kompetensi, baik pedagogik, kepribadian, sosial dan profesional meningkat, seiring meningkatnya kompetensikompetensi itu maka akan berdampak pada proses pembelajaran, sehingga hasilnya pun diharapkan akan lebih baik. 2. Pendidikan Karanter. Kata karakter sudah sangat akrab kita dengar, sehingga tidak asing bagi kita, kadang karakter sering diasosiasikan dengan temperamen yang memberinya definisi yang menekankan pada unsur psikososial yang dikaitkan dengan pendidikan dan konteks lingkungan”.(Doni Koesoema.2010:79). Tapi pada dasarnya “istilah karakter dianggap sama dengan kepribadian, kepribadian dianggap sebagai ciri atau karakteristik atau gaya atau sifat khas dari diri seseorang yang bersumber dari 7 bentukan-bentukan yang diterima dari lingkungan”. (Doni Koesoema.2010:80). Pendidikan karakter yang dimaksud disini lebih berkait dengan bagaimana menanamkan nila-nilai tertentu dalam diri anak didik, seperti nialai-nilai yang berguna bagi pengembangan pribadinya sebagai mahluk indifidu sekaligus sosial dalam lingkungan sekolah”. (Doni Koesoema.2010:192). Pendidikan karakter di sekolah secara sederhana dapat diartikan sebagi pemahaman, perawatan dan pelaksanaan keutamaan oleh karena itu pendidikan karakter di sekolah mengacu pada proses penanaman nilai, berupa pemahaman-pemahaman, tata cara merawat dan mengidupi nilai-nilai itu, srta bagaimana seorang siswa memiliki kesempatan untuk dapat melatihkan nilai-nilai tersebut secara nyata. Satu hal yang tidak bisa di pungkiri bahwa manusia itu ada yang jahat dan ada yang baik atau sebaliknya, yang menjadi pertanyaan apakah orang-orang itu memang memiliki sifat dari sononya?. Untuk menjawa pertanyaan itu, bahwa dari sononya ada orang yang memilki bakat menjadi orang baik dan sebagai lain berbakat jadi orang jahat. “Proses perubahan, entah dari baik menjadi jahat atau sebaliknya mengindikasikan kepada kita bahwa manusia itu memiliki daya-daya dinamis yang bisa berubah, baik kearah kebaikan maupun kearah kejahatan”.(Doni Koesoema.2010:81). Jika manusia mempunyai daya-daya dinamis yang bisa berubah, maka pendidikan karakter merupakan sebuah kesempatan, peluang bagi penyempurnaan diri manusia, kalau demikian dapat difahami bahwa pendidikan karakter adalah sebuah usaha manusia untuk menjadi dirinya sebagai manusia yang berkeutamaan dan berkepibadian” (Doni Koesoema.2010:81).Untuk mencapai manusia-manusia atau siswa-siwa yang berkeutamaan dan berkepribadian perlu beberapa trik, antara lain: 1). Pembiasaan Suasana Religius di Sekolah. Untuk membentuk dan membangun siswa-siswi yang berkeutamaan dan berkepribadian baik dan mulia perlu diciptakan suasana religius di sekolah/Madrasah, suasana religius dimakduskan, mengarahkan siswa-siswi kepada kegiatan-kegiatan yang bernilai religi melalui pembiasaan-pembiasaan. Contoh pembiasanaan melakukan shalat dhuhur berjamaah dilingkungan sekolah/Madrasah, bertadarus menjelang pelajaran awal dimulai, mengadakan 8 jum,at bersih, sadar infaq, mengunjungi teman yang sakit, kantin kejujuran dan lain sebagainya. Memang pembiasaan-pembiasaan sebagaimana disebutkan di atas bukan tanpa masalah dan bisa langsung merubah siswa menjadi siswa-siswi baik sesuai dengan nilai-nilai ajaran agama Islam, tapi memerlukan proses dan sarana-sarana pendukung terkait dengan pembiasaan di atas. Pembiasaan masalah shalat dhuhur berjamaah misalnya akan menemui suatu kendala kalau sekolah/madarah tidak memiliki fasilitas musholah./masjid, tempat wudhu yang memadai, dan yang paling penting adalah aturan-aturan yang mengatur tentang pelaksanaan shalat tersebut termasuk didalamnya adalah sangsi. Demikian juga dengan menghafat/tadarus ayat-ayat pendek sebelum pelajaran awal dimulai akan terganjal masalah kalau tidak ada komitmen dari semua guru yang ada karena kalau diserahkan kepada guru agama bukan tidak mungkin kegiatan tersebut macet, terkecuali dikumpulkan di satu tempat atau aula yang dapat menampung seluruh siswa itupun kalau sekolah/Madrasah mempunyai aula. Demikian halnya dengan jum,at bersih, membersihkan lingkunagan sekolah dari sampah-sampah yang berasal dari jajan siswa, akan menemui kendala bila tidak ada pengawas langsung dari semua guru serta tempat sampah sebagai penampungnya. Contoh-contoh tentang pendidikan kafrakter yang disampaikan di atas adalah mengarah pada karakteristik pembelajaran PAI aspek fiqih : menekankan pada kemampuan cara melakukan ibadah dan muamalah yang benar dan baik kedalam dunia nyata/ praktek. Ada beberapa model yang dapat dipakai untuk menciptakan suasana religius di Sekolah/Madrasah: 1). Model Struktural. “Penciptaan suasana regius dengan model struktural, yaitu menciptakan suasan religius yang disemangati oleh adanya peraturan-peraturan, pembangunan kelas, baik dari dunia luar atas kepemimpinan atau kebijakan suatu lemabaga pendidikan... Model ini biasanya bersifat “top down” yakni kegiatan keagamaan yang dibuat atas prakarsa atau in truksi dari pejabat/pimpinan atas. 2). Model Formal. Penciptaan suasana relegius model formal, yaitu penciptaan suasana religius yang didasari atas pemahaman bahwa pendidikan agama adalah upaya manusia untuk mengajarkan masalah-masalah kehidupan akhirat saja atau kehidupan rohani saja.... sehingga berimplikasi pada pengembangan agama 9 yang berorientasi keakhiratan, sedangkan masalah dunia dianggap tidak penting, serta menekankan pada ilmu-ilmu keagamaan. 3). Model Mekanik. Yaitu penciptaan suasana religius yang didasari oleh pemahaman bahwa kehidupan terdiri atas berbagai aspek; dan pendidikan dipandang sebagai penanaman dan pengembangan seperangkat nilai kehidupan, yang masingmasing bergerak dan berjalan menurut fungsinya. Masing-masing gerak bagaikan sebuah mesin yang terdiri atas beberapa komponen atau elemenelemen yang masing masing menjalankan fungsinya sendiri-sendiri. 4). Model Organik. Penciptaan suasana religius dengan model organik, yaitu penciptaan suasana religius yang disemangati oleh masing-masing adanya pandangan bahwa, pendidikan agama adalah kesatuan atau sebagai sistem (yang terdiri atas komponen-komponen yang rumit) yang berusaha mengembangan pandangan/semangant hidup agamais, yang dimanifestasikan dalam sikap hidup dan ketrampilan hidup yang religius”.( Muhaimin,2004:306). Model-model ini sebagai alternatif guru untuk menciptakan suasana leligi di Sekolah/Madrasah, mau mengadopsi satu model, dua model dan seterusnya secara bersamaan atau mengadopsi satu model saja itu tergantung kompetensi guru dalam mengimplementasikan model-model tersebut ke dalam dunia nyata (praktek), yang penting harus dilakukan secara ajeg/intiqomah sambil dievalusi dan dicari solusi bila muncul problem. 2). Melalui Keteladanan. Bila kita kembali kepada sejarah bahwa Rosulullah saw dalam hidupnya selalu memberi contoh yang baik kepada para shohabat-shohabatnya melalui keteladan, baik ucapan dan perbauatan beliau, sehingga saking terpujinya ahlah belau, beliau mendapat julukan al-amin, dan itu diakui baik kawan maupu lawan beliau. Keteladanan yang dicontohkan Rosulullah merupakan cikal bakal lahirnya pendekatan/metode keteladanan dalam pendidikan Islam yang sampai saat ini masih aktual. Dan metode ini bisa masuk wilayah pendidikan formal, informal (keluarga) maupun nonformal. Pada wilayah formal sebagaimana yang kita bicarakan kali ini keteladan memang diperlukan dan harus ada keterpaduan dengan keteladanan di lingkungan informal (dalam rumah tanggal), guru yang dalam paradigma jawa adalah gu dan ru yang artinya gu; digugu dan ru; ditiru, dikatakan digugu 10 (dipercaya) karena guru memiliki seperangkat ilmu yang memadai, yang karenanya ia memiliki wawasan dan pandang yang luas. Dikatakan di tiru (diikuti) karena guru memiliki kepribadian yang utuh, yang karenanya segala tindak tanduknya patut dijadikan panutan, contoh, teladan oleh peserta didiknya. Oleh karenanya guru menjadi tumpuan siswa, segala tindak tanduknya direkam siswa diteladani oleh siswa, demikian juga di lingkungan masyarakat . “Salah satu metode pendidikan yang dianggap besar pengaruhnya terhadap keberhasilan proses belajar mengajar adalah metode pendidikan dengan keteladanan. Dimaksud metode keteladanan disini yaitu suatu metode pendidikan dengan cara memberikan contoh yang baik kepada peserta didik, baik dalam ucapan maupun perbuatan” .(Heri Jauhari Muchtar,2005:224). Ada contoh bentuk metode keteladanan; (a).Keteladan disengaja.Yaitu keteladanan yang di upayakan dengan cara disengaja , yaitu pendidik sengaja memberikan contoh yang baik kepada para peserta didiknya supaya dapat menirunya.(b).Keteladan yang tidak disengaja.Dalam hal ini pendidik sebagai figur yang dapat memberikan contohcontoh yang baik dalam kehidupan sehari-hari.Bentuk pendidikan semacam ini keberhasilannya banyak bergantung kepada kualitas, kesungguhan, realitas karakteristik pendidik yang diteladani, seperti kualitas keilmuaanya, kepemimpinannya, keikhalsannya dan lain sebagainya. Dalam kondisi ini pengaruh teladan berjalan secara langsung tanpa disengaja, olehkarena itu setiap orang yang diharapkan (termasuk guru) hendaknya memelihara tingkah lakunya, disertai kesadaran bahwa ia bertanggung jawab di hadapan Allah dalam segala hal yang diikuti oleh orang lain termasuk murid sebagai pengagumnya”. (Heri Jauhari Muchtar,2005:224-225). Sementara Abdul Majid mendefinisikan keteladana yaitu menjadikan figur guru agama dan non agama serta petugas sekolah lainnya maupun orang tua pesrta didik, sebagai cermin manusia berkepribadian agama”.(Abdul Majid,2007:135) Dari beberap kutipan di atas dapat difahami bahwa figur seorang guru adalah sosok teladan, contoh hidup yang dapat ditiru langsung oleh sisasiswinya, dengan demikian guru harus mampu menampilkan yang terbaik kepada siswa siswinya, baik itu perkataanya, prilakunya, cara ia berpakain, cara ia melakuakn ibadah dan semua tindak lakunya dimanapun ia berada, terlebih di sekolah/Madrasah. Prilaku memberi contoh dan teladan sebenarnya harus dilakukan oleh semua stekholders yang ada di sekolah, artinya tidak hanya 11 dilakukan oleh guru agama saja, mungkin pribahasa “guru kencing berdiri murid kencing berlari” masih relefan bila kita jadikan sebagai ungkapan yang mengarah kepada keteladan, artinya apa yang dilakukan guru maka akan diikuti oleh siswa-siswinya, terlepas baik atau tidak prilaku itu. Untuk itu bila mengharapakan siswa-siswa menjadi anak yang baik ,maka guru harus mampu memperlihatkan ke teladan yang baik kepada anak didiknya. 3). Melalui Penugasan. Untuk menumbuhkan kepribadian keagamaan kepada anak didik dalam melaksanakan nilai-nilai ajaran agama dapat dilakukan dengan memberi tugas, terutama materi-materi yang berkaitan dengan ibadah mahdhoh. Metode penugasan ini bisa efektif bila ada kerjasama antara guru, orang tua masyarakat serta adanya instumen pendukungnya sebagai alat dan untuk evaluasinya. Peran orang tua dalam metode penugasan ini sangat vital, karena kegiatan ini dilakukan dilingkungan keluarga, bila orang tua tidak menjalankan perannya dengan baik maka tugas yang diberikan guru kepada anak tidak efektif ,disamping itu dibutuhkan suri tauladan dari orang tua itu sendiri. Peran orang tua dan masyarakat adalah sebagai pengawas dan memberi stimulus agar tugas yang di berikan guru dapat dilakukan siswa. Tugas orang tua sebagai pengawas dimaksudkan adalah selalu mengawasi, mengingatkan, menasehati, membimbing dan mengajari bila terjadi kekeliruan atau ketidak fahaman anak dalam menjalankan tugas guru itu, untuk itu dalam metode ini akan lebih efektif bila orang tua memberi contoh/teladang langsung pada anak, karena tugas yang diberikan guru lebih banyak dihabiskan waktunya berkumpul dengan orang tua. Teladan orang tua dalam metode penugasan ini juga dimaksudkan kemampuan orang tua dalam menciptakan lingkungan keluarga yang baik, sekurangkurangnya ada tiga ciri yang dapat dijadikan ukuran bahwa lingkungan sebuah keluarga itu baik: “Pertama, keluarga memberikan suasana emosional yang baik bagi anakanaknya, seperti perasaan senang, aman, disayang dan dilingdungi. Kedua, mengetahui dasar-dasar kependidikan, terutama berkenaan dengan kewajiban dan tanggung jawab orang tua terhadap pendidikan anak serta tujuan dan isi 12 pendidikan yang diberikan kepadanya, Ketiga, berkejasama dengan pusat pendidikan tempat orang tua mengamanatkan pendidikan anak.”.(Andang Ismail, 2006:261). Materi yang dapat dijadikan contoh dengan menggunakan metode penugasan adalah materi tentang shalat fardhu, karena tujuan penugasan adalah untuk menumbuhkan kemampuan afektif, konotif volitif dan psikomotorik anak. Adapun instumen dimaksud adalah alat untuk memantau bahwa tugas yang diberikan guru itu terlaksana atau tidak, tugas dikumpulkan satu minggu sekali bersamaan dengan jam pelajaran agama lalu dinilai dan dikembalikan lagi kepada siswa, bila ada catatan-catatan bisa langsung disampaikan kepada siswa sebagai bentuk pembinaan demi perbaikan pelaksanaan tugas berikutnya. Metode penugasan ini berhasil tidaknya sangat ditentukan oleh pembinaan orang tua siswa dan masyarakat, mengapa demikian? Sebab kalau orang tua tidak mampu memberikan keteladan, mengawasi, mengingatkan, menasehati dan memberikan stimulus kepada anak maka tugas guru itu bisa siasia, dikarenakan pelaksanaan sholat lima waktu lebih banyak dikerjakan siswa di rumah masing-masing. Dengan demikian harus ada kerjasama antara guru dengan orang tua, artinya bila dalam pelaksanaan ternyata ada beberapa anak yang kurang atau bahkan tidak melaksanakan tugas guru, maka guru bisa panggil orang tua ke sekolah/Madrasah untuk dialog, mencari apa permasalahannya selanjutanya mencari solusinya. Dalam metode penugasan akan lebih efektif bila ada keteladanan dari orang tua, artinya bisa berjalan sekaligus antara metode penugasan dengan metode keteladan yang ditunjukkan orang tua kepada anaknya. 3. Melalui Pendekatan Kontektual (Contextual Teaching and Learning). Lahirnya pembelajaran dengan menggunaka pendekatan kontektual (CTL) berasal dari filosofi belajar yang menekankan bahwa “belajar adalah suatu upaya untuk menciptakan sebuah iklim atau kondisi yang memungkinkan bagi peserta didik untuk dapat melakukan aktifitas pendidikan dengan nyaman”.( Baharuddin dan Moh. Makin,2007:210). Belajar tidak hanya menghafal, tetapi merekontruksikan atau membangun pengetahuan dan ketrampilan baru lewat 13 fakta-fakta atau proposisi yang mereka alami dalam kehidupannya” (Masnun Muslich,2007:41). Belajar akan lebih bermakna bagi anak jika mereka mengalami apa yang dipelajari buka sekedar mengetahuinya, artinya pembelajaran dengan melalui pendekatan kontektual berorientasi pada penguasaan. Lalu apa pendidikan kontektual itu ?. Untuk menjawab pertanyaan ini Masnun Muslich mendefinisikan, sebagai mana yang dikatakan Nurhadi, “Pembelajaran kontektual atau contextual teaching and learning (CTL) adalah consep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi pembelajaran dengan situasi dunia nyata siswa, dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimiliki dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari”. (Masnun Muslich,2007:41). Dari pengertian di atas dapat difahami bahwa pembelajaran dengan pendekatan kontektual adalah sebuah pendekatan pembelajaran dengan cara mengkaitan antara materi pembelajaran dengan dunia nyata, antara kognitif siswa dengan kehidupan siswa sehari-hari, dengan berprinsip pada konotifvolitif , artinya guru harus mampu membangkitkan semangat dan kemauan kuat dengan cara mengkaitan materi dengan dunia nyata siswa dalam mengamalkan nilai-nilai ajaran agama di dalam kehidupan sehari-hari,. Pembelajaran melalui pendekatan kontektual untuk aspek fikih dapat dilakukan pada materi ibadah dan muamalat, seperti shalat, zakat, puasa jual beli, pinjam meminjam, pelaksanaan makan dan minum untuk tingkat dasar dan menengah, untuk tingkat atas materinya disamping masalah mu’amalat bisa berupa masalah munkhahat, jinayat dan ibadah dan lain sebagainya. Konsep pendidikan dengan menggunakan pendekataan kontektual berorientasi pada penguasaan. Siswa tidak sekedar diajar/digiring pada ranah kognitif semata akan tetapi juga diajar bagaimana merekontruksi/membangun pengetahuan melalui fakta-fakta yang dialami dalam kehidupan nyata. Dalam materi Zakat, anak dapat kita bahwa kedunia kontek/nyata, dimana anak dikelompokkan atau dibuat panitia zakat yang masing-msing mendapatakan tugas tertentu dalam pengelolan zakat tersebut, misal pelaksanaan pembagian zakat fitrah, anak dibagi dalam beberapa kelompok; ada kelompok mencari asnab zakat, ada kelompok penerimaan zakat, ada kelompok pembagian zakat, setelah terkumpul didistribusikan kepada asnab yang berhak 14 secara bersama-sama, artinya semua siswa terlibat ikut serta mendistribusikannya, sehingga anak akan tahu bahwa yang berhak menerima zakat adalah orang-orang dalam kondisi tertentu dan guru disini bertindak sebagai fasilitator dan mengawasi kegiatan anak-anak menjalankan tugasnya tersebut . Dengan anak dilibatkan langsung dalam pembagian dan pendistribusian zakat, anak akan mengetahui bahwa ,kondisi rieel fakir/ miskin yang sesungguhnya, mampu menyebutkan ciri-ciri orang yang tergolong fakir/miskin, tahu keadaan kehidupan orang fakir/miskin sehaari-hari dan dari kondisi yang anak telah ketahui dan saksikan itu secara psikologis akan terbentuk rasa kasihan, ingin menolong dan menghargai dan lain sebagainya. Setelah selesai melakukan kegiatan itu guru di kelas menjelaskan tentang apa-apa yang terkait dengan zakat fitrah, tentang asnab yang ditemui oleh anak saat pendistribusian, menjelaskan kondisi riel para asnab sehari-hari dan hal lain yang menyangkut tentang itu. Sehingga anak akan lebih tahu dan tersentuh hatinya bila dibandingkan hanya sekedar menerima penjelasan dikelas. 15 BAB III KESIMPULAN Dari apa yang penulis paparkan di muka tentang” Karakteristik, Problematika Dan Solusi Dalam Pembelajaran PAI Aspek Fiqih, kiranya dapat ditarik benang merah sebagai bahwa: 1. Pembelajaran PAI aspek fiqih mempunyai karakteristik bahwa dalam proses pembelajarannya menekankan pada kemampuan cara melakukan ibadah dan muamalah yang benar dan baik. Artinya bahwa seorang guru dalam proses pembelajaran harus senatiasa mampu menekankan pada kemampuan anak dalam melakukan ibadah dengan baik dan benar.Bila penekannya adalah pada aspek kemampuan melakukan ibadah, maka yang harus digaris bawahi oleh guru dalam proses pembelajaran adalah lebih banyak mengacu pada dunia praktek bukan sekedar teori-teori belaka. 2. Problem yang muncul dalam pembelajaran aspek fiqih adalah bahwa guru dalam proses pembelajaran masih belum menyentuh pada tataran konotif-volitif dan psikomotorik , artinya bagaimana seorang guru mampu membangkitkan kemauan kuat kepada anak, tekat kuat anak untuk mengamalkan nili-nilai ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari, melalui bebera pendekatam pembelajaran. Bukan sekedar teori-teori yang mengacu pada penguasaan keilmuan belaka (kognitif), akan tetapi yang tidak kalah pentingnya adalah membangun dan menanamkan sikap untuk mampu melakukan prkatek ibdah dengan baik dan benar dalam kehidupan sehari-hari. 3. Sebagai solusi problem yang muncul dalam pembelajaran PAI aspek fiqih dapat ditempuh bebera hal sebagai berikut: a. Peningkatan Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru. b. Pendidikan Karanter. 1). Pembiasaan Suasana Religius di Sekolah. 2). Melalui Keteladanan. 3). Melalui Penugasan. 16 c. Melalui Pendekatan Kontektual (Contextual Teaching and Learning). *Penulis adalah Pengawas Madrasah Kantor Kementerian Agama Kab. Tebo,Alumni Pascasarjana UIN Malang Program Studi Manajemen Pendidikan Islam Th 2012 17 DAFTAR PUSTAKA Dep. Agama RI,(1998),Al-Qur.an dan Terjamahannya,Thoha Putra Semarang. Baharuddin dan Moh. Makin, (2007),Pendidikan Humanistik, Ar-Ruzz Media Jogjakarta Dep.Pendidikan dan Kebudayaan,(1989),Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka ,Jakarta. Direttoral Jendral Pendidikan Islam,(2006), Undang-undang dan Peraturan Pemerintah RI tentang Pendidikan, Depag RI ,Jakarta. Hakim, Abdul Hamid ,(1928) Mabadi Awwaliyah, Sa’diyah Putra,Jakarta. Ismail,Andang ,(2006),Education Gemis,Menjadi cerdas dan ceria dengn Permainan edukatif, Pilar Media ,Jogjakarta. Koesoema.A ,Doni ,(2010),Pendidikan Karakter, strategi mendidikan anak di zaman global, Gramedia Jakarta. Majid,Abdul,(2007),Perencanaan Pembelajaran Mengembangkan Standar Kompetensi Guru, ,Rosda Karya Bandung. Muslich, Masnun (2007). KTSP Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Kontektual, Bumi Aksara,Jakarta. Muchtar,Heri Jauhari (2005),Fikih Pendidikan,Rosda Karya ,Bandung. Muhaimin,(2004) Paradigma Pendidikan Islam,Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah,( Rosda Karya ,Bandung. Muhaimin,(2009),Rekontruksi Pendidikan Islam, Raja Grafindo,Jakarta . Muhaimin, (2009),Pengem,bangan kurikuylum Pendidikan Agama Islan, di Sekolah dan Perguruan Tinggi,(Rajawali,Jakarta. Yunus,Mahmud ,(1973). Kamus Arab-Indonesia,TP,Jakarta. 18 19