Pernyataan Umum tentang Hak-Hak Asasi

advertisement
HAM DAN PENEGAKKAN HUKUM
HENDRA PRIJATNA, M.Pd
1. HAK ASASI MANUSIA
A. Hakekat HAM
Manusia adalah mahkluk ciptaan Tuhan yang paling mulia, dan mempunyai derajat
yang luhur sebagai manusia, mempunyai budi dan karsa yang merdeka sendiri. Semua
manusia sebagai manusia memiliki martabat dan derajat yang sama, dan memiliki hak-hak
yang sama pula. Derajat manusia yang luhur berasal dari Tuhan yang menciptakannya.
Dengan demikian semua manusia bebas mengembangkan dirinya sesuai dengan budinya
yang sehat.
Sebagai mahkluk ciptaan Tuhan, semua manusia memiliki hak-hak yang sama sebagai
manusia. Hak-hak yang sama sebagai manusia inilah yang sering disebut hak asasi manusia.
Hak asasi manusia berarti hak-hak yang melekat pada manusia berdasarkan kodratnya,
maksudnya hak-hak yang dimiliki manusia sebagai manusia. Hak asasi manusia (HAM)
adalah hakhak dasar yang dimiliki manusia sebagai manusia yang berasal dari Tuhan, dan
tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun.
Dengan mendasarkan pada pengertian HAM di atas, maka HAM memiliki landasan
utama, yaitu:
1. Landasan langsung yang pertama, yaitu kodrat manusia;
2. Landasan kedua yang lebih dalam, yaitu Tuhan yang menciptakan manusia.
Jadi HAM pada hakekatnya merupakan hak-hak fundamental yang melekat pada
kodrat manusia sendiri , yaitu hak-hak yang paling dasar dari aspek-aspek kodrat manusia
sebagai manusia. Setiap manusia adalah ciptaan yang luhur dari Tuhan Yang Maha Esa.
Setiap manusia harus dapat mengembangkan dirinya sedemikian rupa sehingga ia harus
berkembang secara leluasa. Pengembangan diri sebagai manusia dipertanggungjawabkan
kepada Tuhan sebagai asal dan tujuan hidup manusia. Semua hak yang berakar dalam
kodratnya sebagai manusia adalah hak-hak yang lahir bersama dengan keberadaan manusia
itu sendiri. Dengan demikian hak-hak ini adalah universal atau berlaku di manapun di dunia
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
1
ini. Di mana ada manusia di situ ada HAM dan harus dijunjung tinggi oleh siapapun tanpa
kecuali. HAM tidak tergantung dari pengakuan orang lain, tidak tergantung dari pengakuan
mesyarakat atau negara.
Manusia memperoleh hak-hak asasi itu langsung dari Tuhan sendiri karena
kodratnya.(secundum suam naturam) Penindasan terhadap HAM bertentangan dengan
keadilan dan kemanusiaan, sebab prinsip dasar keadilan dan kemanusiaan adalah bahwa
semua manusia memiliki martabat yang sama dengan hak-hak dan kewajibankewajiban yang
sama. Oleh karenanya, setiap manusia dan setiap negara di dunia wajib mengakui dan
menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM) tanpa kecuali. Penindasan terhadap HAM
berarti pelanggaran terhadap HAM.
Pengakuan oleh orang-orang lain maupun oleh Negara ataupun agama tidaklah
membuat adanya HAM itu. Demikian pula orang-orang lain, negara dan agama tidaklah dapat
menghilangkan atau menghapuskan adanya HAM. Setiap manusia, setiap negara di manapun,
kapanpun wajib mengakui dan menjunjung tinggi HAM sebagai hak-hak fundamental atau
hak-hak dasar. Penindasan terhadap HAM adalah bertentangan dengan keadilan dan
kemanusiaan.
Untuk mempertegas hakekat dan pengertian HAM di atas dikuatkanlah dengan
landasan hukum HAM sebagaimana dikemukakan dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 UndangUndang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia bahwa hak asasi manusia adalah
seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan
Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan
dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta
perlindungan harkat dan martabat manusia.
B. Filsafat Sosial dalam Lahirnya HAM
Hak asasi bisa dimengerti sebagai hak paling mendasar dan dimiliki oleh setiap
manusia. Hak ini tidak diperoleh dari kelompok sosial maupun dari institusi yang lebih
tinggi, tetapi built in dalam kehadirannya sebagai manusia. Asumsi mendasar hak asasi
adalah bahwa manusia dilahirkan dengan hak sama, bebas, dan merdeka. Kendati
rumusannya begitu sederhana, Saafroedin Bahar menunjukkan dalam Konteks Kenegaraan
Hak Asasi Manusia (2002), betapa kompleks permasalahan HAM di setiap negara.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
2
Kompleksitas itu karena adanya kenyataan bahwa masyarakat Indonesia bersifat majemuk.
Kendati begitu, sekurang-kurangnya, dia berhasil menggolongkan permasalahan HAM dalam
enam bidang, yakni (1) permasalahan filsafat dan ideologi, (2) agama dan keimanan, (3)
politik dan hukum, (4) sosial-budya , (5) Sosial-ekonomi, dan (4) keamanan.
Berdasarkan konteks filsafat dan ideologi, problematika HAM di Indonesia telah
dirumuskan dalam bentuk kesepakatan nasional yang tertuang dalam Undang-Undang No 39
tahun 1999 yang pada intinya masing-masing komponen bangsa sepakat menjunjung hak
dasar manusia. Dengan asumsi adanya hak dasar itu, Untuk melindungi, mempertahankan,
dan meningkatkan martabat manusia, diperlukan pengakuan dan perlindungan hak sasasi
manusia, karena tanpa hak tersebut manusia akan kehilangan sifat dan martabatnya, sehingga
dapat mendorong menjadi serigala bagi manusia lainnya (homo homini lupus) (Bahar, 2002:
127).
Hak mendasar adalah penghormatan harkat dan martabat manusia sedangkan
pelanggaran
terhadap
hak
itu
cenderung
mengarah
pada
kesewenang-wenangan.
Penghormatan itu secara normatif, selain telah didefinisikan dalam UU sebelumnya, juga
ditandaskan sekali lagi dengan adanya Undang-Undang No 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan HAM. Implementasi HAM dalam praktik kehidupan sehari-hari di Indonesia bisa
dilihat dari uraian Kaelan MS dalam bukunya, Filsafat Pancasila: Pandangan Hidup Bangsa
Indonesia (2002). Menurutnya, rumusan praksis HAM bisa ditemukan dalam Pancasila
karena Pancasila adalah dasar negara dan negara pada hakikatnya adalah lembaga
persekutuan hidup bersama yang unsur-unsurnya adalah manusia dan demi tujuan harkat dan
martabat manusia (2002: 141) . Konsepsi HAM ini merupakan dasar etis dalam kehidupan
berbangsa.
Ciri HAM yang paling utama adalah hak untuk bebas, demikian diungkapkan oleh
Erich Fromm dalam Escape from Freedom (1968: 47). Semua manusia ditakdirkan untuk
bebas. Kendati semua manusia lahir dalam kondisi bebas, praktis kebebasan manusia
bukannya tidak terbatas. Mereka terbatas oleh kebebasan manusia lain. Dengan begitu,
Fromm menyimpulkan, kebebasan itu sebetulnya bukan kebebasan murni yang bebas dari
tekanan
apa
pun,
termasuk
otorianisme,
kediktatoran,
tekanan
kejiwaan,
serta
kekuasaankekuasaan yang siap mengancam kebebasan tiap individu.
Karena itu, kebebasan dalam arti sebebas-bebasnya tidaklah mungkin karena orang
lain boleh dikatakan membatasi kebebasan yang dimiliki manusia di sisinya. Kendati begitu,
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
3
pernyataan kebebasan itu pertama-tama telah diumumkan sebagai kesepakatan dalam
Pernyataan Umum tentang Hak Asasi Manusia yang dikeluarkan oleh PBB pada 10
Desember 1948. Pada pasal pertama, diumumkan dengan sangat jelas:
Semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang sama.
Mereka dikaruniai akal dan hati nurani dan hendaknya bergaul satu sama lain dalam
semangat persaudaraan . Kalimat pertama adalah kesepakatan kondisi manusia yang
ditakdirkan merdeka dan bermartabat . Rasionalitas yang digunakan, bahwa di dalam diri
manusia terkandung nalar dan hati. Dua hal itu tidak dimiliki oleh makhluk lain kecuali
manusia.
Kondisi yang mendasar ini langsung diteruskan tuntutan dalam kalimat selanjutnya.
Karena sama-sama memiliki kebebasan, maka setiap orang dituntut untuk menjalin
persaudaraan. Jalinan itu bukan untuk menghilangkan kebebasan, tetapi sebaliknya,
meneguhkan kebebasan yang melekat di dalam dirinya (1948: 85).
Kondisi dasar manusia dan tuntutan yang melekat dalam kondisi dasar itu menjadi
konvensi yang bisa dijadikan pegangan untuk semua manusia. Pegangan itu kemudian ditutup
dengan kalimat dalam pasal 30: Tak satu pun hal dari pernyataan ini yang boleh ditafsirkan
sebagai pemberian hak kepada negara, kelompok ataupun seseorang, untuk terlibat dalam
kegiaan apa pun atau melakukan perbuatan yang bertujuan untuk merusak hak-hak dan
kebebasan-kebebasan yang termaktub di dalam Pernyataan ini .
Kalimat penutup atas sebuah konvensi ini sebetulnya berisi rambu-rambu larangan
yang diumumkan bagi kelangsungan hak asasi selanjutnya. Rambu ini dilakukan untuk
menegaskan adanya kemerdekaan itu. Kata lain yang bisa ditulis, kemerdekaan Anda adalah
kondisi mendasar Anda, tetapi dengan berbekal kondisi itu Anda diharapkan untuk menjalin
persaudaraan dengan orang lain. Jalinan persaudaraan itu dilandasi penghargaan atas
kebebasan orang lain, dan bukan sebaliknya. Karena itu, dengan alas an apa pun Anda
dilarang untuk merampas kebebasan orang lain.
C. Hukum dan Kelembagaan HAM
1. Beberapa Ketentuan Hukum atau Instrumen HAM
John Locke, pemikir politik dari Inggris, menyatakan bahwa semua orang diciptakan
sama dan memiliki hak–hak alamiah yang tidak dapat dilepaskan. Hak alamiah itu meliputi
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
4
hak atas hidup, hak kemerdekaan, hak milik dan hak kebahagiaan. Pemikiran John Locke ini
dikenal sebagai konsep HAM yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan HAM di
berbagai belahan dunia.
Pengakuan hak asasi manusia (HAM) secara konstitusional ditetapkan pertama kali di
Amerika Serikat pada tahun 1776 dengan “Unanimous Declaration of Independence”, dan hal
ini dijadikan contoh bagi majelis nasional Perancis ketika menerima deklarasi hak-hak
manusia dan warga negara (Declaration des Droits de l’homme et de Citoyen) 26 Agustus
1789. Badan dunia yaitu PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa) juga memperkenalkan
pengertian hak asasi manusia yang bisa kita dapatkan dalam Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia (Universal Declaration of Human Right / UDHR). Deklarasi Universal merupakan
pernyataan umum mengenai martabat yang melekat dan kebebasan serta persamaan manusia
yang harus ada pada pengertian hak asasi manusia
Dalam UDHR pengertian HAM dapat ditemukan dalam Mukaddimah yang pada
prinsipnya dinyatakan bahwa hak asasi manusia merupakan pengakuan akan martabat yang
terpadu dalam diri setiap orang akan hak–hak yang sama dan tak teralihkan dari semua
anggota keluarga manusia ialah dasar dari kebebasan, keadilan dan perdamaian dunia.
Sejak munculnya Deklarasi Universal HAM itulah secara internasional HAM telah
diatur dalam ketentuan hukum sebagai instrumen internasional. Ketentuan hukum HAM atau
disebut juga Instrumen HAM merupakan alat yang berupa peraturan perundang- undangan
yang digunakan dalam menjamin perlindungan dan penegakan HAM. Instrumen HAM terdiri
atas instrumen nasional HAM dan instrumen internasional HAM. Instrumen nasional HAM
berlaku terbatas pada suatu negara sedangkan instrumen internasional HAM menjadi acuan
negara–negara di dunia dan mengikat secara hukum bagi negara yang telah mengesahkannya
(meratifikasi).
Di negara kita dalam era reformasi sekarang ini, upaya untuk menjabarkan ketentuan
hak asasi manusia telah dilakukan melalui amandemen UUD 1945 dan diundangkannya
Undang-Undang Republik Indonesia (UURI) Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM serta
meratifikasi beberapa konvensi internasional tentang HAM.
a. Undang Undang RI Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM.
Dalam amandemen UUD 1945 ke dua, ada Bab yang secara eksplisit menggunakan
istilah hak asasi manusia yaitu Bab XA yang bersikan pasal 28A s/d 28J. Dalam UURI
Nomor 39 Tahun 1999 jaminan HAM lebih terinci lagi. Hal itu terlihat dari jumlah bab dan
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
5
Pasal-pasal yang dikandungnya relatif banyak yaitu terdiri atas XI bab dan 106 pasal. Apabila
dicermati jaminan HAM dalam UUD 1945 dan penjabarannya dalam UURI Nomor 39 Tahun
1999, secara garis besar meliputi :
1) Hak untuk hidup (misalnya hak: mempertahankan hidup, memperoleh kesejahteraan
lahir batin, memperoleh lingkungan hidup yang baik dan sehat);
2) Hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan.
3) Hak mengembangkan diri (misalnya hak : pemenuhan kebutuhan dasar,meningkatkan
kualitas hidup, memperoleh manfaat dari iptek, memperoleh informasi, melakukan
pekerjaan sosial);
4) Hak memperoleh keadilan (misalnya hak : kepastian hukum, persamaan di depan
hukum);
5) Hak atas kebebasan pribadi (misalnya hak : memeluk agama, keyakinan politik,
memilih status kewarganegaraan, berpendapat dan menyebarluaskannya, mendirikan
parpol, LSM dan organisasi lain, bebas bergerak dan bertempat tinggal);
6) Hak atas rasa aman (misalnya hak : memperoleh suaka politik, perlindungan terhadap
ancaman ketakutan, melakukan hubungan komunikasi, perlindungan terhadap
penyiksaan, penghilangan dengan paksa dan penghilangan nyawa);
7) Hak atas kesejahteraan (misalnya hak : milik pribadi dan kolektif, memperoleh
pekerjaan yang layak, mendirikan serikat kerja, bertempat tinggal yang layak,
kehidupan yang layak, dan jaminan sosial);
8) Hak turut serta dalam pemerintahan (misalnya hak: memilih dan dipilih dalam pemilu,
partisipasi langsung dan tidak langsung, diangkat dalam jabatan pemerintah,
mengajukan usulan kepada pemerintah);
9) Hak wanita (hak yang sama/tidak ada diskriminasi antara wanita dan pria dalam bidang
politik, pekerjaan, status kewarganegaraan, keluarga perkawinan);
10) Hak anak (misalnya hak : perlindungan oleh orang tua, keluarga, masyarakat dan
negara, beribadah menurut agamanya, berekspresi, perlakuan khusus bagi anak cacat,
perlindungan dari eksploitasi ekonomi, pekerjaan, pelecehan sexual, perdagangan anak,
penyalahgunaan narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya).
b. Undang Undang RI Nomor 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi PBB tentang
Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (disingkat sebagai
Konvensi Wanita).
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
6
Dengan ratifikasi Konvensi Wanita tersebut, maka segala bentuk diskriminasi yang
didasarkan pada perbedaan jenis kelamin (laki–laki – perempuan) harus dihapus. Misalnya,
perlakuan pemberian upah buruh wanita dibawah upah buruh pria harus dihapus, begitu pula
dunia politik bukanlah milik pria maka perempuan harus diberi kesempatan yang sama
menduduki posisi dalam partai politik maupun pemerintahan. Dengan demikian terjadi
perbedaan penghargaan terhadap pria dan wanita, bukan karena jenis kelaminnya tetapi
karena perbedaan pada prestasi.
Kita harus menyadari bahwa pembangunan suatu negara, kesejahteraan dunia, dan
usaha perdamaian menghendaki partisipasi maksimal kaum wanita atas dasar persamaan
dengan kaum pria. Kita tidak dapat menyangkal besarnya sumbangan wanita terhadap
kesejahteraan keluarga dan membesarkan anak . Hal ini menunjukan keharusan adanya
pembagian tanggung jawab antara pria dan wanita dan masyarakat sebagai keseluruhan,
bukan dijadikan dasar diskriminasi.
c. Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Latar belakang dikeluarkannya undang-undang ini, sebagaimana dikemukakan dalam
Penjelasan Umum undang-undang ini antara lain:
1) Bahwa anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa
harus kita jaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan hakhak sebagai
manusia yang harus dijunjung tinggi. Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi
manusia yang termuat dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Konvensi Perserikatan
Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Anak. Dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara,
anak adalah masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap
anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang, berpartisipasi serta
berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil dan
kebebasan.
2) Meskipun Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia telah
mencantumkan tentang hak anak, pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab orang
tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara untuk memberikan perlindungan
pada anak masih memerlukan suatu undang-undang mengenai perlindungan anak
sebagai landasan yuridis bagi pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab tersebut.
Dengan demikian, pembentukan undang-undang ini didasarkan pada pertimbangan
bahwa perlindungan anak dalam segala aspeknya merupakan bagian dari kegiatan
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
7
pembangunan nasional, khususnya dalam memajukan kehidupan berbangsa dan
bernegara.
3) Orang tua, keluarga, dan masyarakat bertanggung jawab untuk menjaga dan memelihara
hakasasi tersebut sesuai dengan kewajiban yang dibebankan oleh hukum. Demikian
pula dalam rangka penyelenggaraan perlindungan anak, Negara dan pemerintah
bertanggung jawab menyediakan fasilitas dan aksesibilitas bagi anak, terutama dalam
menjamin pertumbuhan dan perkembangannya secara optimal dan terarah.
4) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 ini menegaskan bahwa pertanggungjawaban
orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan Negara merupakan rangkaian kegiatan
yang dilaksanakan secara terus-menerus demi terlindunginya hakhak anak. Rangkaian
kegiatan tersebut harus berkelanjutan dan terarah guna menjamin pertumbuhan dan
perkembangan anak, baik fisik, mental, spiritual maupun sosial. Tindakan ini
dimaksudkan untuk mewujudkan kehidupan terbaik bagi anak yang diharapkan sebagai
penerus bangsa yang potensial, tangguh, memiliki nasionalisme yang dijiwai oleh
akhlak mulia dan nilai Pancasila, serta berkemauan keras menjaga kesatuan dan
persatuan bangsa dan negara.
5) Upaya perlindungan anak perlu dilaksanakan sedini mungkin, yakni sejak dari janin
dalam kandungan sampai anak berumur 18 (delapan belas) tahun. Bertitik tolak dari
konsepsi perlindungan anak yang utuh, menyeluruh, dan komprehensif, undangundang
ini meletakkan kewajiban memberikan perlindungan kepada anak berdasarkan asas-asas
sebagai berikut :
a. nondiskriminasi;
b. kepentingan yang terbaik bagi anak;
c. hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan
d. penghargaan terhadap pendapat anak.
6) Dalam melakukan pembinaan, pengembangan dan perlindungan anak, perlu peran
masyarakat, baik melalui lembaga perlindungan anak, lembaga keagamaan, lembaga
swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan, organisasi sosial, dunia usaha, media
massa, atau lembaga pendidikan.
d. Undang Undang RI Nomor 8 Tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi Menentang
Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi,
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
8
atau Merendahkan Martabat Manusia (Convention Against Torture and Other Cruel,
Inhuman or Degrading Treatment or Punishment).
Konvensi ini mengatur pelarangan penyiksaan baik fisik maupun mental, dan
perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat
manusia yang dilakukan oleh atau atas hasutan dari atau dengan persetujuan/sepengetahuan
pejabat publik dan orang lain yang bertindak dalam jabatannya. Ini berarti negara RI yang
telah meratifikasi wajib mengambil langkah-langkah legislatif, administratif, hukum dan
langkah-langkah efektif lain guna mencegah tindakan penyiksaan (tindak pidana) di dalam
wilayah yuridiksinya. Misalnya langkah yang dilakukan dengan memperbaiki cara interograsi
dan pelatihan bagi setiap aparatur penegak hukum dan pejabat publik lain yang
bertanggungjawab terhadap orang-orang yang dirampas kemerdekaannya.
e. Undang Undang RI Nomor 1 Tahun 2000 Tentang Pengesahan Konvensi ILO nomor
182 Mengenai Pelanggaran dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk–Bentuk
Pekerjaan Terburuk untuk Anak.
Menurut Konvensi ILO (International Labour Organization/Organisasi Buruh
Internasional) tersebut, istilah “bentuk-bentuk terburuk kerja anak” mengandung pengertian
sebagai berikut:
1). Segala bentuk perbudakan atau praktik-praktik sejenis perbudakan, misalnya:
a) penjualan anak;
b) perdagangan anak-anak;
c) kerja ijon;
d) perhambaan (perbudakan);
e) kerja paksa atau wajib kerja;
f) pengerahan anak-anak secara paksa atau wajib untuk dimanfaatkan dalam konflik
bersenjata;
2). Pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk pelacuran, untuk produksi
pornografi, atau untuk pertunjukan-pertunjukan porno;
3). Pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk kegiatan haram, khususnya untuk
produksi dan perdagangan obat-obatan.
4). Pekerjaan yang sifatnya atau lingkungan tempat pekerjaan itu dilakukan dapat
membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
9
Dengan UURI Nomor 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan Konvensi ILO nomor 182,
maka Negara Republik Indonesia wajib mengambil langkah-langkah legislatif, administratif,
hukum, dan langkah-langkah efektif lain guna mencegah tindakan praktek memperkerjakan
anak dalam bentuk-bentuk terburuk kerja anak dalam industri maupun masyarakat.
f. Undang Undang RI Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan
Internasional Tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (International Covenant
on Economic, Social and Cultural Rights)
Kovenan ini mengukuhkan dan menjabarkan pokok-pokok HAM di bidang ekonomi,
sosial dan budaya dari UDHR atau DUHAM (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia) dalam
ketentuan-ketentuan yang mengikat secara hukum. Kovenan terdiri dari pembukaan dan
pasal-pasal yang mencakup 31 pasal. Intinya kovenan ini mengakui hak asasi setiap orang di
bidang ekonomi, sosial, dan budaya, yang meliputi :
1) hak atas pekerjaan,
2) hak untuk menikmati kondisi kerja yang adil dan menyenangkan,
3) hak untuk membentuk dan ikut serikat buruh,
4) hak atas jaminan sosial, termasuk asuransi sosial ,
5) hak atas perlindungan dan bantuan yang seluas mungkin bagi keluarga, ibu, anak, dan
orang muda,
6) hak atas standar kehidupan yang memadai,
7) hak untuk menikmati standar kesehatan fi sik dan mental yang tertinggi yang dapat
dicapai,
8) hak atas pendidikan , dan
9) hak untuk ikut serta dalam kehidupan budaya.
g. Undang Undang RI Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan
Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and
Political Rights)
Kovenan ini mengukuhkan pokok-pokok HAM di bidang sipil dan politik yang
tercantum dalam UDHR sehingga menjadi ketentuan-ketentuan yang mengikat secara hukum.
Kovenan tersebut terdiri dari pembukaan dan Pasal-Pasal yang mencakup 6 bab dan 53 Pasal.
Hak – hak sipil (kebebasan – kebebasan fundamental) dan hak – hak politik meliputi haK –
hak berikut (lihat Tabel 1).
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
10
Tabel 1.
Macam – macam Hak – hak Sipil dan Hak – hak Politik
Hak – hak Sipil / Kebebasan – kebebasan Fundamental
Hak – hak Politik
1) hak hidup;
1) hak untuk
2) hak bebas dari siksaan, perlakuan atau penghukuman yang
berkumpul
kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat;
yangbersifat
3) hak bebas dari perbudakan;
damai;
4) hak bebas dari penangkapan atau penahanan secara sewenang- 2) hak kebebasan
wenang;
berserikat;
5) hak memilih tempat tinggalnya, untuk meninggalkan negara 3) hak ikut serta
manapun termasuk negara sendiri;
dalam urusan
6) hak persamaan di depan peradilan dan badan peradilan;
publik;
7) hak atas praduga tak bersalah.
4) hak memilih dan
8) hak kebebasan berpikir;
dipilih;
9) hak berkeyakinan dan beragama;
5) hak untuk
10) hak untuk mempunyai pendapat tanpa campur tangan pihak
mempunyai
lain;
akses pada
11) hak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat;
jabatan publik di
12) hak atas perkawinan/membentuk keluarga;
negaranya
13) hak anak atas perlindungan yang dibutuhkan oleh statusnya
sebagai anak dibawah umur, keharusan segera didaftarkannya
setiap anak setelah lahir dan keharusan mempunyai nama, dan
hak anak atas kewarganegaraan;
14) hak persamaan kedudukan semua orang di depan hukum dan
15) hak atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi.
h. Undang-undang RI Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Undang-undang
ini mengatur pengadilan terhadap pelanggaran HAM berat.
2. Latar Belakang Lahirnya Instrumen Nasional HAM
Bagaimana latar belakang lahirnya instrument nasional HAM atau perundang
undangan nasional HAM ? Jaminan hak asasi manusia dalam UUD 1945 (sebelum
perubahan/amandemen) menurut Kuntjara Purbopranoto belum disusun secara sistematis dan
hanya empat pasal yang memuat ketentuan – ketentuan tentang hak asasi, yakni pasal 27, 28,
29 dan 31. Meskipun demikian bukan berarti HAM kurang mendapat perhatian, karena
susunan pertama UUD 1945 adalah merupakan inti-inti dasar kenegaraan.
Dari keempat pasal tersebut, terdapat 5 (lima) pokok mengenai hak – hak asasi
manusia yang terdapat dalam batang tubuh UUD 1945, yaitu :
a. Kesamaan kedudukan dan kewajiban warga negara di dalam hukum dan di muka
pemerintahan (Pasal 27 ayat 1);
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
11
b. Hak setiap warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak (Pasal 27 ayat 2);
c. Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan
dan sebagainya ditetapkan dengan undang – undang (Pasal 28);
d. Kebebasan asasi untuk memeluk agama bagi penduduk di jamin oleh Negara (Pasal 29
ayat 2);
e. Hak atas pengajaran (Pasal 31 ayat 1).
Masuknya pasal–pasal HAM dalam UUD 1945 di atas, tidak lepas dari perdebatan
yang mendahuluinya antara kelompok yang keberatan (terutama Soekarno dan Soepomo) dan
kelompok yang menghendaki dimasukan (terutama Moh. Hatta). Alasan kedua pendapat yang
berbeda tersebut sebagaimana dituturkan Mr. Muhammad Yamin dalam bukunya Naskah
Persiapan UUD 1945, Jilid I, antara lain sebagai berikut.
Bung Karno menjelaskan bahwa telah ditentukan sidang pertama bahwa ”kita
menyetujui keadilan sosial. Keadilan sosial inilah protes kita yang maha hebat terhadap dasar
individualisme. Kita menghendaki keadilan sosial. Buat apa grondwet (undang – undang
dasar) menuliskan bahwa manusia bukan saja mempunyai hak kemerdekaan member suara,
mengadakan persidangan dan berapat, jikalau misalnya tidak ada sociale rechvaardigheid
(keadilan sosial) yang demikian itu ? Buat apa kita membikin grondwet, apa guna grondwet
itu kalau ia tidak dapat mengisi perut orang yang hendak mati kelaparan. Maka oleh karena
itu, jikalau kita betul–betul hendak mendasarkan negara kita kepada paham kekeluargaan,
faham tolong–menolong, faham gotong–royong dan keadilan sosial, enyahkanlah tipe-tipe
pikiran, tiap-tiap faham individualisme dan liberalism daripadanya. Kita rancangkan UUD
dengan kedaulatan rakyat, dan bukan kedaulatan individu. Inilah menurut paham Panitia
Perancang UUD satu-satunya jaminan, bahwa bangsa Indonesia seluruhnya akan selamat di
kemudian hari.” Demikianlah pendapat Bung Karno, yang kemudian didukung oleh
Soepomo.
Sedangkan pendapat Bung Hatta, antara lain menyatakan : “…Mendirikan negara
yang baru, hendaknya kita memperhatikan syarat-syarat supaya negara yang kita bikin jangan
sampai menjadi negara kekuasaan. Kita menghendaki Negara Pengurus, kita membangun
masyarakat baru yang berdasarkan gotong-royong, usaha bersama, tujuan kita adalah
membaharui masyarakat. Tetapi disebelah itu janganlah kita memberikan kekuasaan yang
tidak terbatas kepada negara untuk menjadikan di atas negara baru itu suatu Negara
Kekuasaan. Sebab itu ada baiknya dalam salah satu fasal yang mengenai warga negara
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
12
disebutkan juga sebelah hak yang sudah diberikan kepada misalnya tiap–tiap warga negara
rakyat Indonesia, supaya tiap–tiap warga negara jangan takut mengeluarkan suara”.
Demikianlah pendapat Bung Hatta, yang pendapatnya kemudian didukung oleh Muhammad
Yamin.
Dengan demikian memahami pokok-pokok hak asasi manusia dalam UUD 1945
rujukannya (referensinya) yang akurat adalah pendapat Bung Hatta, yang esensinya
mencegah berkembangnya Negara Kekuasaan. Bung Hatta melihat dalam kenyataan
pelanggaran hak asasi manusia terutama dilakukan oleh penguasa.
Sedangkan pemikiran Bung Karno yang memandang hak asasi manusia bersifat
individualisme dan dipertentangkan dengan kedaulatan rakyat dan keadilan sosial sampai saat
ini masih dianut terutama oleh penguasa.
Apa yang dikhawatirkan oleh Bung Hatta terbukti sudah. Hal itu dapat dicermati
bahwa pada abad ke-20 masih tampak perjuangan hak asasi manusia terutama dilakukan
masyarakat terhadap pemerintahan sendiri yang otoriter. Sampai memasuki abad ke – 21
persoalan pada abad ke-20 masih belum berakhir. Hanya saja persoalan HAM, demokrasi dan
lingkungan telah menjadi isue global, sehingga negara-negara yang otoriter semakin terdesak
untuk merealisasikan hak asasi manusia tidak hanya dari tuntutan masyarakatnya tetapi juga
dari dunia internasional. Oleh karena itu, bangsa Indonesia sebagai warga dunia dan anggota
PBB memiliki tanggungjawab moral untuk melaksanakan Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia. Begitu pula atas desakan masyarakat bagi pengembangan kehidupan yang
demokratis dan pelaksanaan HAM serta adanya Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998
tentang Hak Asasi Manusia, maka dipandang perlu membentuk Undang–Undang HAM.
UURI Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM lahir dalam suasana di atas.
3. Kelembagaan HAM
Dalam upaya perlindungan dan penegakan HAM telah dibentuk lembaga–lembaga
resmi oleh pemerintah seperti Komnas HAM, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap
Perempuan, Peradilan HAM dan lembaga–lembaga yang dibentuk oleh masyarakat terutama
dalam bentuk LSM pro-demokrasi dan HAM. Uraian masing–masing sebagai berikut.
a. Komnas HAM
Komisi Nasional (Komnas) HAM pada awalnya dibentuk dengan Keppres Nomor 50
Tahun 1993. Pembentukan komisi ini merupakan jawaban terhadap tuntutan masyarakat
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
13
maupun tekanan dunia internasional tentang perlunya penegakan hak asasi manusia di
Indonesia. Kemudian dengan lahirnya UURI Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia, yang didalamnya mengatur tentang Komnas HAM ( Bab VIII, pasal 75 s/d. 99)
maka Komnas HAM yang terbentuk dengan Kepres tersebut harus menyesuaikan dengan
UURI Nomor 39 Tahun 1999. Komnas HAM bertujuan:
1) membantu pengembangan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia.
2) meningkatkan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia guna berkembangnya
pribadi manusia Indonesia seutuhnya dan kemampuan berpartisipasi dalam berbagai
bidang kehidupan.
Untuk melaksanakan tujuan tersebut, Komnas HAM melaksanakan fungsi sebagai
berikut :
1) Fungsi pengkajian dan penelitian. Untuk melaksanakan fungsi ini, Komnas HAM
berwenang antara lain:
a) melakukan pengkajian dan penelitian berbagai instrumen internasional dengan
tujuan memberikan saran - saran mengenai kemungkinan aksesi dan atau ratifikasi.
b) melakukan pengkajian dan penelitian berbagai peraturan perundang-undangan
untuk
memberikan
rekomendasi
mengenai
pembentukan
perubahan
dan
pencabutan peraturan perundang- undangan yang berkaitan dengan hak asasi
manusia.
2) Fungsi penyuluhan. Dalam rangka pelaksanaan fungsi ini, Komnas HAM berwenang:
a) menyebarluaskan wawasan mengenai hak asasi manusia kepada masyarakat
Indonesia.
b) meningkatkan kesadaran masyarakat tentang hak asasi manusia melalui lembaga
pendidikan formal dan non formal serta berbagai kalangan lainnya.
c) kerjasama dengan organisasi, lembaga atau pihak lain baik tingkat nasional,
regional, maupun internasional dalam bidang hak asasi manusia.
3) Fungsi pemantauan. Fungsi ini mencakup kewenangan antara lain:
a) pengamatan pelaksanaan hak asasi manusia dan penyusunan laporan hasil
pengamatan tersebut.
b) penyelidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa yang timbul dalam masyarakat
yang patut diduga terdapat pelanggaran hak asasi manusia.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
14
c) pemanggilan kepada pihak pengadu atau korban maupun pihak yang diadukan
untuk dimintai atau didengar keterangannya.
d) pemanggilan saksi untuk dimintai dan didengar kesaksiannya, dan kepada saksi
pengadu diminta menyerahkan bukti yang diperlukan.
e) peninjauan di tempat kejadian dan tempat lainnya yang dianggap perlu.
f) pemanggilan terhadap pihak terkait untuk memberikan keterangan secara tertulis
atau menyerahkan dokumen yang diperlukan sesuai dengan aslinya dengan
persetujuan Ketua Pengadilan.
g) pemeriksaan setempat terhadap rumah, pekarangan, bangunan dan tempat lainnya
yang diduduki atau dimiliki pihak tertentu dengan persetujuan Ketua Pengadilan.
h) pemberian pendapat berdasarkan persetujuan Ketua Pengadilan terhadap perkara
tertentu yang sedang dalam proses peradilan, bilamana dalam perkara tersebut
terdapat pelanggaran hak asasi manusia dalam masalah public dan acara
pemeriksaan oleh pengadilan yang kemudian pendapat Komnas HAM tersebut
wajib diberitahukan oleh hakim kepada para pihak.
4) Fungsi mediasi. Dalam melaksanakan fungsi mediasi Komnas HAM berwenang untuk
melakukan :
a) perdamaian kedua belah pihak.
b) penyelesaian perkara melalui cara konsultasi, negosiasi, konsiliasi, dan penilaian
ahli.
c) pemberian saran kepada para pihak untuk menyelesaikan sengketa melalui
pengadilan.
d) penyampaian rekomendasi atas sesuatu kasus pelanggaran hak asasi manusia
kepada Pemerintah untuk ditindaklanjuti penyelesaiannya.
e) penyampaian rekomendasi atas suatu kasus pelanggaran hak asasi manusia kepada
DPR RI untuk ditindaklanjuti.
Bagi setiap orang dan atau kelompok yang memiliki alasan kuat bahwa hak asasinya
telah dilanggar dapat mengajukan laporan dan pengaduan lisan atau tertulis pada Komnas
HAM. Pengaduan hanya akan dilayani apabila disertai dengan identitas pengadu yang benar
dan keterangan atau bukti awal yang jelas tentang materi yang diadukan.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
15
b. Pengadilan HAM
Pengadilan HAM merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan peradilan
umum dan berkedudukan di daerah kabupaten atau kota. Pengadilan HAM merupakan
pengadilan khusus terhadap pelanggaran HAM berat yang meliputi kejahatan genosida dan
kejahatan terhadap kemanusiaan (UURI Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM)
Kejahatan genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk
menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompk bangsa, ras, kelompok,
etnis, dan agama. Cara yang dilakukan dalam kejahatan genosida, misalnya ; membunuh,
tindakan yang mengakibatkan penderitaan fisik atau mental, menciptakan kondisi yang
berakibat kemusnahan fisik, memaksa tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran,
memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain. Sedangkan
yang dimaksud kejahatan terhadap kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan
sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan
tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil. Kejahatan terhadap kemanusiaan
misalnya:
1) pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, penyiksaan;
2) pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;
3) perampasan kemerdekaan atau perampasan kemerdekaan fisik lain secara sewenangwenang yang melanggar ketentuan pokok hukum internasional;
4) perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan,
pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain
yang setara;
5) penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari
persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin, atau
alasan lain yang diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum
internasional;
6) penghilangan orang secara paksa (penangkapan, penahanan, atau penculikan disertai
penolakan pengakuan melakukan tindakan tersebut dan pemberian informasi tentang
nasib dan keberadaan korban dengan maksud melepaskan dari perlindungan hukum
dalam waktu yang panjang);
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
16
7) kejahatan apartheid (penindasan dan dominasi oleh suatu kelompok ras atas kelompok
ras atau kelompok lain dan dilakukan dengan maskud untuk mempertahan peraturan
pemerintah yang sedang berkuasa atau rezim).
Pengadilan HAM bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus perkara
pelanggaran HAM yang berat. Pengadilan HAM juga berwenang memeriksa dan memutus
perkara pelanggaran HAM yang berat yang dilakukan di luar batas territorial wilayah negara
RI oleh Warga Negara Indonesia (WNI). Disamping itu juga dikenal Pengadilan HAM Ad
Hoc, yang diberi kewenangan untuk mengadili pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum
di undangkannya UURI Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Oleh karena itu
pelanggaran HAM berat tidak mengenal kadaluwarsa. Dengan kata lain adanya Pengadilan
HAM Ad Hoc merupakan pemberlakuan asas retroactive (berlaku surut) terhadap
pelanggaran HAM berat.
c. Komisi Nasional Perlindungan Anak dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia
Komisi National Perlindungan Anak (KNPA) ini lahir berawal dari gerakan nasional
perlindungan anak yang sebenarnya telah dimulai sejak tahun 1997. Kemudian pada era
reformasi, tanggung jawab untuk memberikan perlindungan anak diserahkan kepada
masyarakat.
Tugas KNPA melakukan perlindungan anak dari perlakuan, misalnya: diskriminasi,
eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual, penelantaraan, kekejaman, kekerasan,
penganiayaan, ketidakadilan dan perlakuan salah yang lain. KNPA juga yang mendorong
lahirnya UURI Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Disamping KNPA juga
dikenal KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia). KPAI dibentuk berdasarkan amanat
pasal 76 UU RI Nomor 23 Tahun 2002. Komisi Perlindungan Anak Indonesia bertugas :
a. melakukan sosialisasi seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan perlindungan anak
b. mengumpulkan data dan informasi, menerima pengaduan masyarakat, melakukan
penelaahan, pemantauan, evaluasi, dan pengawasan terhadap penyelenggaraan
perlindungan anak.
c. memberikan laporan, saran, masukan, dan pertimbangan kepada Presiden dalam
rangka perlindungan anak. Misalnya untuk tugas memberikan masukan kepada
Presiden/pemerintah KPAI meminta pemerintah segera membuat undang – undang
larangan merokok bagi anak atau setidak-tidaknya memasukan pasal larangan
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
17
merokok bagi anak dalam UU Kesehatan (yang sedang dalam proses amandemen)
dan atau UU Kesejahteraan Sosial (yang sedang dalam proses pembuatan). KPAI
sangat prihatin karena jumlah anak yang merokok cenderung semakin meningkat.
KPAI menunjukan data perkembangan anak yang merokok dari tahun 2001–2004
sebagai berikut:
1) Jumlah perokok pemula usia 5-9 tahun meningkat 400% (dari 0,89% menjadi
1,8 %);
2) Perokok usia 10-14 tahun naik 21 % (dari 9,5 % menjadi 11,5 %);
3) Perokok usia 15-19 tahun naik menjadi 63,9% ; KPAI juga mencatat
konsumsi rokok tahun 2006 mencapai 230 milyar batang padahal tahun 1970
baru 33 milyar, akibatnya 43 juta anak terancam penyakit mematikan
(Wawancara Ketua KPAI dengan RCTI tanggal 15 Februari 2008)
d. Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan dibentuk berdasarkan Keppres
Nomor 181 Tahun 1998. Dasar pertimbangan pembentukan Komisi Nasional ini
adalah sebagai upaya mencegah terjadinya dan menghapus segala bentuk kekerasan terhadap
perempuan. Komisi Nasional ini bersifat independen dan bertujuan:
a. menyebarluaskan pemahaman tentang bentuk kekerasan terhadap perempuan.
b. mengembangkan kondisi yang kondusif bagi penghapusan bentuk kekerasan terhadap
perempuan.
c. Meningkatkan upaya pencegahan dan penanggulangan segala bentuk kekerasan
terhadap perempuan dan hak asasi perempuan.
Dalam rangka mewujudkan tujuan di atas, Komisi Nasional ini memiliki kegiatan
sebagai berikut:
1) penyebarluasan pemahaman, pencegahan, penanggulangan, penghapusan segala
bentuk kekerasan terhadap perempuan.
2) pengkajian dan penelitian terhadap berbagai instrument PBB mengenai perlindungan
hak asasi manusia terhadap perempuan.
3) pemantauan dan penelitian segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan
memberikan pendapat, saran dan pertimbangan kepada pemerintah.
4) penyebarluasan hasil pemantauan dan penelitian atas terjadinya kekerasan terhadap
perempuan kepada masyarakat.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
18
5) pelaksanaan kerjasama regional dan internasional dalam upaya pencegahan dan
penanggulangan kekerasan terhadap perempuan.
e. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dibentuk berdasarkan UURI Nomor 27 Tahun
2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Keberadan Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi (KKR) untuk :
1) Memberikan alternatif penyelesaian pelanggaran HAM berat di luar Pengadilan
HAM ketika penyelesaian pelanggaran HAM berat lewat pengadilan HAM dan
pengadilan HAM Ad Hoc mengalami kebuntuan;
2) Sarana mediasi antara pelaku dengan korban pelanggaran HAM berat untuk
menyelesaikan di luar pengadilan HAM.
Dengan demikian diharapkan masalah pelanggaran HAM berat dapat diselesaikan,
sebab kalau tidak dapat diselesaikan maka akan menjadi ganjalan bagi upaya menciptakan
rasa keadilan dan kebenaran dalam masyarakat. Apabila rasa keadilan dan keinginan
masyarakat untuk mengungkap kebenaran dapat diwujudkan, maka akan dapat diwujudkan
rekonsiliasi (perdamaian/perukunan kembali). Rekonsiliasi ini penting agar kehidupan
berbangsa dan bernegara dapat dihindarkan dari konflik dan dendam sejarah yang
berkepanjangan antar sesama anak bangsa. Perdamaian sesama anak bangsa merupakan
modal utama untuk membangun bangsa dan negara ini ke arah kemajuan dalam segala
bidang.
f. LSM Pro-demokrasi dan HAM
Disamping lembaga penegakan hak asasi manusia yang dibentuk oleh pemerintah,
masyarakat juga mendirikan berbagai lembaga HAM. Lembaga HAM bentukan masyarakat
terutama dalam bentuk LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) atau NGO (Non Governmental
Organization) yang programnya berfokus pada upaya pengembangan kehidupan yang
demokratis (demokratisasi) dan pengembangan HAM. LSM ini sering disebut sebagai LSM
Prodemokrasi dan HAM. Yang termasuk LSM ini antara lain YLBHI (Yayasan Lembaga
Bantuan Hukum Indonesia), Kontras (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak
Kekerasan), Elsam (Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat), PBHI (Perhimpunan Bantuan
Hukum dan Hak Asasi Indonesia). LSM yang menangani berbagai aspek HAM, sesuai
dengan minat dan kemampuannya sendiri pada umumnya terbentuk sebelum didirikannya
Komnas HAM.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
19
Dalam pelaksanaan perlindungan dan penegakkan HAM, LSM tampak merupakan
mitra kerja Komnas HAM. Misalnya, LSM mendampingi para korban pelanggaran HAM ke
Komnas HAM. Di berbagai daerah-pun kini telah berkembang pesat LSM dengan minat pada
aspek HAM dan demokrasi maupun aspek kehidupan yang lain. Misalnya di Yogyakarta
terdapat kurang lebih 22 LSM. LSM di daerah Yogyakarta ada yang merupakan cabang dari
LSM Pusat (Nasional) juga ada yang berdiri sendiri.
2. GAMBARAN UMUM KONSEP HUKUM
Pembangunan yang berkesinambungan menghendaki adanya konsepsi hukum yang
selalu mampu mendorong dan mengarahkan pembangunan sebagai cerminan dari tujuan
hukum modern. Hal ini karena hukum merupakan sarana pembangunan. Konsep tersebut di
adopsi dari pendapat Roscoe Pound, yaitu “law as a tool of social engineering”, yang artinya
hukum merupakan suatu alat yang ampuh untuk mencapai pembaharuan masyarakat.
Hukum tidak hanya meliputi asas dan kaidah yang mengatur kehidupan manusia
dalam masyarakat, melainkan juga termasuk lembaga dan proses dalam mewujudkan
berlakunya kaidah itu dalam kenyataan di masyarakat. Asas dan kaidah menggambarkan
hukum sebagai gejala normatif, sedangkan lembaga dan proses menggambarkan hukum
sebagai gejala sosial. Hukum sebagai gejala normatif, diartikan bahwa bentuk hukumnya
yang dikehendaki adalah perundang-undangan, sedangkan hukum sebagai gejala sosial
berarti faktor-faktor non yuridis, sepeti dikatakan Kelsen dalam teori murni tentang hukum,
yaitu: “Filosofis, Etis, Sosiologis, Ekonomis, dan Politis” perlu diperhatikan. Sebagai
cerminan suasana pembangunan (das sein) harus di-sollen-kan, yaitu pasal-pasal perundangundangan mana yang harus diperbaiki, disesuaikan dengan kebutuhan pembangunan.
Dalam menggagas dan membahas konsep-konsep hukum dalam pembangunan,
penulis buku juga memperhatikan pandangan aliran hukum alam tentang nilai-nilai moral
tertinggi yaitu keadilan. Kemudian pandangan Mazhab Sejarah tentang lembaga hukum adat,
juga pandangan Sosiological Jurisprudence, karena lembaga dan proses merupakan cerminan
dari living law, yaitu sumber hukum tertulis dan tidak tertulis yang hidup (fromal).
Hukum adalah keseluruhan kaidah dan asas yang mengatur kehidupan manusia dalam
masyarakat termasuk lembaga dan proses di dalam mewujudkan hukum itu dalam kenyataan.
Kaidah dan asas merupakan kaidah (hukum) yang kemudian ditarik menjadi asas. Hal ini erat
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
20
kaitannya dengan yurisprudensi, karena setelah putusan tersebut dibuat/ditarik asas sebagai
sumber hukum/patokan untuk hakim yang akan datang. Mewujudkan berlakunya hukum
dalam kenyataan, menggambarkan pengertian yang lebih luas, yaitu sumber hukum (formal)
tertulis dan tidak tertulis.
Dalam pembinaan hukum perlu diperhatikan perbedaan antara hukum yang bersifat
sensitif dan hukum yang bersifat netral. Diusahakan untuk mendahulukan hukum yang
bersifat netral, sedangkan yang bersifat sensitif dibiarkan lebih dahulu untuk diatur
kemudian. Hukum yang bersifat sensitif adalah hukum yang menyangkut bidang-bidang
budaya dan keyakinan masyarakat, seperti: Hukum Keluarga, Hukum Perkawinan, Hukum
Harta Perkawinan, dan Hukum Waris. Sedangkan yang dimaksud sebagai hukum yang
bersifat netral, yaitu semua hukum (yang bukan bersifat sensitif) termasuk yang berkaitan
dengan misalnya ketentuan-ketentuan hukum tentang AFTA, APEC, dan WTO. Juga
termasuk di dalamnya sistem hukum negara-negara komunis, asal tidak bertentangan dengan
idiologi negara, yaitu Pancasila.
A. Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional
Ketertiban adalah tujuan pokok dan pertama dari segala hukum. Kebutuhan terhadap
ketertiban ini, syarat pokok (fundamental) bagi adanya suatu masyarakat manusia yang
teratur. Di samping ketertiban, tujuan lain dari hukum adalah tercapainya rasa keadilan yang
berbada-beda isi dan ukurannya,
menurut masyarakat dan zamannya. Untuk mencapai
ketertiban dalam masyarakat ini diperlukan adanya kepastian dalam pergaulan antarmanusia
dalam masyarakat.
Adanya hukum sebagai kaidah sosial, tidak berarti bahwa pergaulan antaramanusia
dalam masyarakat hanya diatur oleh hukum. Selain oleh hukum, kehidupan manusia dalam
masyarakat dipedomani moral manusia itu sendiri, diatur pula oleh agama, oleh kaidahkaidah susila, kesopanan, adat kebiasaan, dan kaidah-kaidah sosial lainnya. Antara hukum
dan kaidah-kaidah sosial lainnya ini, terdapat jalinan hubungan yang erat, yang satu
memperkuat yang lainnya. Adakalanya hukum tidak sesuai atau serasi dengan kaidah-kaidah
sosial lainnya itu.
Hukum memerlukan kekuasaan bagi pelaksanaannya, sebaliknya kekuasaan itu
sendiri ditentukan batas-batasnya oleh hukum. Hal ini sesuai dengan slogan bahwa: Hukum
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
21
tanpa kekuasaan adalah angan-angan, kekuasaan tanpa hukum adalah kedzaliman. Kekuasaan
merupakan suatu unsur yang mutlak dalam suatu masyarakat hukum dalam arti masyarakat
yang di atur oleh dan berdasarkan hukum.
Hukum sebagai kaidah sosial, tidak lepas dari nilai (values) yang berlaku di suatu
masyarakat. Bahkan, dapat dikatakan bahwa hukum itu merupakan pencerminan dari nilainilai yang berlaku dalam masyarakat. Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan
hukum yang hidup (the living law) dalam masyarakat, yang tentunya sesuai pula atau
merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat itu.
Hukum merupakan alat untuk memelihara ketertiban dalam masyaakat. Mengingat
fungsinya, sifat hukum pada dasarnya adalah konservatif. Artinya, hukum bersifat
memelihara dan mempertahankan yang telah tercapai. Fungsi demikian diperlukan dalam
setiap masyarakat, termasuk masyarakat yang sedang membangun, karena di sini pun ada
hasil-hasil yang harus dipelihara, dilindungi dan diamankan. Akan tetapi, masyarakat yang
sedang membangun, yang dalam definisi kita berarti masyarakat yang sedang berubah cepat,
hukum tidak cukup memiliki fungsi demikian saja. Ia juga harus dapat membantu proses
perubahan masyarakat itu.
B. Pembinaan Hukum dalam Rangka Pembangunan Nasional
Pembangunan dalam arti seluas-luasnya meliputi segala segi dari kehidupan. Semua
masyarakat yang membangun dicirikan oleh perubahan. Peranan hukum dalam pembangunan
adalah untuk menjamin bahwa perubahan itu terjadi dengan cara yang teratur. Perubahan
yang teratur dapat dibantu oleh perundang-undangan atau keputusan pengadilan atau
kombinasi dari kedua-duanya. Perubahan yang teratur melalui prosedur hukum, baik ia
berwujud perundang-undangan atau keputusan badan-badan peradilan lebih baik daripada
perubahan yang tidak teratur dengan menggunakan kekerasan semata-mata.
Menurut Tasrif, terutama dalam negara yang sedang berkembang yang kebanyakan
atau hampir semua adalah negara-negara bekas jajahan yang mewarisi perundang-undangan
kolonial, pembinaan hukum melalui perundang-undangan baru memegang peranan yang
sangat penting. Lebih lanjut Tasrif mengemukakan untuk mewujudkan cita-cita tegaknya
Rule of Law di negara kita itu hendaknya – terutama para pejabat – tidak dilupakan, bahwa
konsep itu menurut R. Ramani setidak-tidaknya harus mencakup tiga pengertian:
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
22
1. Setiap orang tanpa membedakan kedudukannya harus tunduk kepada undang-undang
yang berlaku dan harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di muka pengadilan
biasa;
2. Hukum harus berdasarkan moral dan adalah keadilan bukannya kekuasaan yang harus
menjadi dasar sejati dari suatu masyarakat, baik nasional maupun internasional;
3. Kekuasaan pemerintah janganlah hendaknya digunakan tanpa pembenaran (justification)
yang dapat diterima untuk mengurangi atau menyingkirkan hak-hak individu, kecuali
apabila tindakan-tindakan pemerintah itu terpaksa dilakukan demi kepentingan umum,
sedangkan intervensi pemerintah sedemikian harus didasarkan kepada kaidah-kaidah dan
norma-norma objektif yang di dalam setiap keadaan dapat diselidiki dan diuji ada atau
tidak ada keharusannya oleh kekuasaan kehakiman yang bebas dari segala pengaruh.
Kesukaran-kesukaran yang dihadapi dalam mengembangkan hukum sebagai suatu
alat pembaharuan masyarakat yang dijalankan secara berencana dan dapat diperhitungkan,
digolongkan dalam tiga sebab kesulitan sebagai berikut:
1. sukarnya menentukan tujuan dari perkembangan hukum (pembaharuan);
2. sedikitnya data empiris yang dapat digunakan untuk mengadakan suatu analisis deskriptif
dan prediktif;
3. sukarnya mengadakan ukuran yang objektif untuk mengukur berhasil/tidaknya usaha
pembaharuan hukum.
Apabila kita mendekati pembinaan hukum nasional secara menyeluruh sebagai bagian
dari pembangunan nasional, kiranya kita menetapkan tiga kelompok masalah (problem
areas), yang intinya yakni:
1. Inventarisasi dan dokumentasi hukum yang berlaku.
2. Media dan personal (unsur manusia).
3. Perkembangan hukum nasional.
C. Pembaharuan Pendidikan Hukum dan Pembinaan Profesi
Pembaharuan pendidikan hukum nasional dalam arti luas adalah re-orientasi yang
dihubungkan dengan kebutuhan Indonesia sebagai masyarakat dalam pembangunan.
Pembaharuan pendidikan hukum di Indonesia sebagai negara merdeka yang sedang
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
23
berkembang tidak hanya berarti perbaikan mutu pendidikan saja melainkan terutama
persoalan penentuan arah atau orientasi baru dari pendidikan.
Pembaharuan kurikulum merupakan salah satu hal yang urgen untuk dilakukan dalam
rangka pembaharuan pendidikan hukum. Kurikulum Minimum Fakultas Hukum apabila
ditelaah memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. menetapkan syarat-syarat minimum yang harus dipenuhi kurikulum suatu Fakultas
Hukum;
2. menetapkan uniformasi antara kurikulum-kurikulum Fakultas Hukum dalam batas
Minimum Kurikulum, tanpa menutup kemungkinan variasi dari tempat ke tempat sesuai
dengan keadaan dan kemampuan;
3. mengadakan suatu permulaan spesialisasi tanpa meninggalkan adanya suatu pendidikan
dasar yang bersifat umum sampai di tahun keempat;
4. membuka kemungkinan bagi cara pendekatan multi dan interdisipliner dengan adanya
mata-mata pelajaran pilihan yang tidak usah diikuti pada Fakultas Hukum saja.
Upaya lain dalam pembaharuan pendidikan hukum adalah pendidikan klinis hukum,
yang bermaksud mengajarkan beberapa keterampilan teknik hukum yang akan dibutuhkan
oleh calon penuntut umum, hakim dan pengacara bila terjun ke masyarakat setelah lulus dari
Fakultas Hukum, merupakan suatu segi yang harus diperhatikan apabila tujuan pendidikan
hukum untuk kebutuhan negara merdeka yang sedang berkembang hendak mempunyai arti.
Hal ini karena tanpa keterampilan-keterampilan teknis (legal skill), tujuan yang hendak
dicapai dengan pendidikan yang hendak diperbaharui itu tidak akan dapat dirasakan
manfaatnya dalam kenyataan.
Pendidikan klinis yang direncanakan dengan baik tidak hanya mengajarkan
keterampilan teknis, melainkan juga harus menghadapkan mahasiswa pada kondisi yang akan
dijumpainya dalam masyarakat kelak dan juga harus menambahkan suatu kebiasaan atau
sikap terhadap suatu masalah yang dapat disebut suatu problem solving attitude.
Pendidikan keterampilan teknis di bidang hukum yang mengabaikan segi yang
menyangkut tanggung jawab seseorang terhadap orang yang dipercayakan kepadanya dan
profesinya pada umumnya serta nilai-nilai dan ukuran etika yang harus menjadi pedoman
dalam menjalankan profesinya hanya akan menghasilkan tukang-tukang yang terampil belaka
di bidang hukum dan profesinya.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
24
Keadaan demikian tidak saja menjadikan pendidikan klinis itu tidak lengkap karena
calon anggota profesi itu tidak tahu bagaimana ia harus menggunakan keterampilan teknis
yang diperolehnya itu. Bahkan, tidak berlebihan kiranya apabila dikatakan bahwa pendidikan
keterampilan teknis tanpa disertai pendidikan tanggung jawab profesional dan etika adalah
berbahaya.
Etika hukum baik yang umum, maupun yang bersifat khusus berupa professional
ethic merupakan bentuk penuangan konkret dari aturan-aturan etika, noral, dan agama.
Pendidikan etika hukum pada hakikatnya merupakan suatu proses pembentukan watak atau
pribadi yang baik yang diperlukan bagi penerapan hukum yang baik dalam segala bentuknya.
D. Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional
Pemikiran tentang hukum dan peranannya dalam masyarakat tergantung kepada
konservatif atau tidaknya golongan yang berkuasa. Negara-negara otokratis yang dikuasai
oleh golongan yang eksklusif cenderung untuk menolak perubahan. Karena itu, akan
cenderung pada pemikiran tentang hukum yang konservatif. Negara-negara maju yang telah
mencapai keseimbangan dalam kehidupan politik, ekonomi dan kemasyarakatan juga akan
cenderung untuk konservatif dalam pemikirannya tentang hukum.
Di negara-negara yang baru merdeka yang sedang berkembang paling tidak ada dua
faktor yang akan mendesak diambilnya sikap yang progresif tentang hukum dan peranannya
dalam masyarakat yakni: keinginan untuk menghapuskan peninggalan kolonial secepatcepatnya, dan harapan yang ditimbulkan pada masyarakat dengan tercapainya kemerdekaan.
Oleh karena itu, kiranya wajar kita menggantikan pemikiran hukum yang konservatif yang
diwariskan pemerintah dan sistem pendidikan kolonial dengan suatu pemikiran hukum yang
lebih memperhatikan kebutuhan masyarakat yang sedang membangun.
Dalam masyarakat yang sedang membangun hukum merupakan sarana pembaharuan
masyarakat didasarkan atas anggapan bahwa adanya keteraturan atau ketertiban dalam usaha
pembangunan atau pembaharuan itu merupakan sesuatu yang diinginkan atau bahkan
dipandang (mutlak) perlu.
Anggapan lain yang terkandung dalam konsepsi hukum sebagai sarana pembangunan
adalah bahwa hukum dalam arti kaidah atau peraturan hukum memang bisa berfungsi sebagai
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
25
alat (pengatur) atau sarana pembangunan dalam arti penyalur arah kegiatan manusia ke arah
yang dikehendaki oleh pembangunan atau pembaharuan.
Perkembangan di negara-negara berkembang yang memiliki rezim otokrasi yang tidak
terlalu memperhatikan atau mempergunakan hukum sebagai sarana pengatur masyarakat,
selalu dihadapkan pada dilema ini, yaitu di satu pihak bagaimana memelihara ‘elan
(semangat) revolusi, di satu pihak, tanpa mengorbankan pemeliharaan hasil-hasil
pembangunan yang telah dicapai, atau sebaliknya.
Karena baik perubahan maupun ketertiban atau keteraturan merupakan tujuan kembar
dari masyarakat yang sedang membangun, hukum menjadi suatu alat (sarana) yang tidak
dapat diabaikan dalam proses pembangunan. Untuk itu mekanisme pelaksanaan konsep
hukum sebagai sarana pembangunan perlu memperhatikan alur proses penyusunan
perundang-undangan, yang meliputi tahap-tahap sebagai berikut:
1. Tahap persiapan dan perancangan yang diawali atau dimulai dari lahirnya prakarsa atau
inisiatif.
2. Tahap pembahasan atau pembicaraan guna mendapat persetujuan dari lembaga yang
berwenang.
3. Tahap penetapan atau pengesahan.
4. Tahap pengundangan atau pengumuman agar peraturan tersebut diketahui dan ditaati oleh
seluruh warga negara.
E. Pengambilan Kekayaan Alam di Dasar Laut dan Tanah di Bawahnya (Seabed and
Subsoil) dan Hukum Internasional
Mengingat pentingnya minyak bumi sebagai penghasil devisa, kita harus berusaha
mempertahankan kalau tidak memperbesar bagian kita dalam pasaran minyak dunia di
samping memenuhi kebutuhan dalam negara yang terus meningkat. Di samping minyak, gas
bumi dewasa ini merupakan suatu sumber kekayaan yang penting berkat kemajuan teknologi
perminyakan.
Berkurangnya cadangan minyak bumi dari sumber-sumber yang sedang digali di
darat, mendorong orang terutama sejak berakhirnya Perang Dunia II untuk mencari minyak
bumi di bawah dasar laut, walaupun ongkos eksplorasi dan eksploitasinya jauh lebih mahal
yaitu antara dua sampai sepuluh kali lipat ongkos produksi minyak dari sumber di darat.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
26
Eksplorasi dan eksploitasi sepanjang terletak dalam batas-batas wilayah perairan
Indonesia sebagaimana ditetapkan dalam UU No. 4 tahun 1960, pemberi izin itu didasarkan
atas hak negara yang meliputi segala kekayaan alam yang terdapat di bumi, termasuk perairan
wilayah dan dasar laut serta tanah di bawahnya. Di luar batas-batas wilayahnya, hak atas
kekayaan alam yang terdapat pada dasar laut dan tanah di bawahnya (seabed and subsoil)
didasarkan atas konsep continental shelf.
Pengertian continental shelf yang mula-mula digunakan dalam Proklamasi Truman di
tahun 1945, telah berkembang menjadi suatu pengertian hukum yang sama namanya, tetapi
berlainan isinya, walaupun dasar hak suatu negara atas daerah bawah permukaan laut yang
berbatasan dengan pantainya tetap sama, yakni asas kedekatan atau contiguity. Untuk
membedakan dua pengertian yang berlainan isinya itu, dalam bahasa Indonesia kita gunakan
dataran kontinen untuk pengertian continental shelf dalam arti geologis, sedangkan
pengertian hukum yang kemudian berkembang dinamakan landas kontinen.
Pasal 2 ayat (1) Konvensi Jenewa tahun 1958 mengenai Landas Kontinen menyatakan
bahwa negara pantai memiliki “hak-hak kedaulatan untuk melakukan eksplorasi di landas
kontinen dan menggali kekayaan alam yang terdapat di dalamnya”. Perumusan ini merupakan
kompromi antara pendirian pihak yang menghendaki pengakuan kedaulatan penuh negara
pantai atas landas kontinen, dengan pihak yang hanya mengakui hak-hak yang lebih terbatas.
Selanjutnya bahwa “hak-hak kedaulatan untuk ekplorasi dan eksploitasi” tidak sama dengan
hak kedaulatan penuh negara pantai.
Indonesia mempunyai hak eksklusif untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi
kekayaan alam di landas kontinen yang berbatasan dengan pantainya. Hal ini didasarkan atas
hukum kebiasaan internasional yang telah tumbuh dan berkembang berdasarkan praktik
negara bertalian dengan continental shelf tahun 1958 yang dapat diangap sebagai kodifikasi
dari hukum yang berlaku di bidang ini.
F. IMCO dan Pembinaan Hukum Pelayaran Nasional
IMCO (Intergovernmental Maritime Cosultative Organization) merupakan badan
khusus PBB yang mengurus bidang maritim didirikan di Jenewa pada tahun 1948 dengan
diterimanya suatu konvensi tentang didirikannya IMCO oleh United Nation Maritime
Conference di Jenewa.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
27
Tujuan utama dari IMCO adalah memajukan kerja sama antara negara-negara anggota
dalam masalah-masalah teknis di bidang pelayaran, dengan perhatian khusus tentang
keselamatan di laut dan untuk menjamin tercapainya taraf keselamatan serta efisiensi
pelayaran setinggi-tingginya. Adapun kegiatan IMCO secara garis besarnya meliputi antara
lain:
1. Kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan pemeliharaan keselamatan maritim dan
efisiensi pelayaran;
2. Kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan pencegahan dan pengawasan pencemaran
lingkungan laut yang disebabkan oleh kapal-kapal, serta masalah-masalah yang
berhubungan dengan hal itu;
3. Kegiatan-kegiatan lain yang berhubungan dengan perkapalan serta kegiatan-kegiatan laut
yang berhubungan dengan itu khususnya mengenai bantuan di bidang teknis kepada
negara-negara berkembang.
Kewajiban suatu negara pantai untuk memelihara perambuan dan sistem navigational
aids lainya dalam keadaan baik sebagai syarat untuk tidak hilangnya hak negara pantai
mendapat ganti kerugian, hendaknya menjadi pendorong hambatan bagi kita uantuk segera
memberikan perhatian dan prioritas sebesar-besarnya kepada masalah ini. Perairan Indonesia
sudah terkenal di kalangan pelayaran internasional sebagai suatu red zone, daerah bahaya,
karena perambuan, mercusuar, pemetaan laut dan pemberian tanda-tanda bahaya, bagi
navigasi berada pada taraf dekat tingkat minimal. Keadaan ini tidak membantu kelancaran
hubungan internasional di perairan kita dan sudah barang tentu mempunyai pengaruh buruk
terhadap kedudukan bersaing (competitive position) barang-barang ekspor kita.
G. Pemantapan Citra Hukum dan Asas-asas Hukum Nasional di Masa Kini dan Masa
yang Akan Datang
Dalam negara hukum, kekuasaan itu tidak tanpa batas, artinya kekuasaan itu tunduk
pada hukum. Secara populer dikatakan bahwa negara hukum adalah negara berdasarkan
hukum, dan kekuasaan harus tunduk pada hukum. Di negara hukum semua orang
berkedudukan sama di hadapan hukum. Ini berarti bahwa hukum memperlakukan semua
orang sama tanpa perbedaan yang didasarkan atas ras (keturunan), agama, kedudukan sosial
dan kekayaan.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
28
Sebagai negara hukum, dalam membangun hukum nasional perlu diutamakan asasasas yang umum diterima bangsa-bangsa tanpa meninggalkan asas-asas hukum asli atau
hukum adat yang masih berlaku dan relevan dengan kehidupan dunia modern. Sangat penting
pula secara politis bahwa perlu dipertahankan asas-asas yang merupakan pencerminan dari
tekad dan aspirasi sebagai bangsa yang mencapai kemerdekaannya dengan perjuangan. Di
antara asas-asas hukum tersebut adalah sebagai berikut:
1. Asas Kesatuan dan Persatuan atau Kebangsaan mengamanatkan bahwa hukum Indonesia
harus merupakan hukum nasional yang berlaku bagi seluruh bangsa Indonesia. Hukum
nasional berfungsi mempersatukan bangsa Indonesia.
2. Asas Ketuhanan mengamanatkan bahwa tidak boleh ada produk hukum nasional yang
bertentangan dengan agama atau bersifat menolak atau bermusuhan dengan agama.
3. Asas Demokrasi mengamanatkan bahwa dalam hubungan antara hukum dan kekuasaan,
kekuasaan harus tunduk pada hukum, bukan sebaliknya.
4. Asas Keadilan Sosial mengamanatkan bahwa semua warga negara mempunyai hak yang
sama dan bahwa semua orang sama di hadapan hukum.
3. POLITIK HUKUM DI INDONESIA
A. Hakikat Politik Hukum
Politik hukum merupakan kebijakan hukum (legal policy) yang akan atau telah
dilaksanakan secara nasional; mencakup pula pengertian tentang bagaimana politik
mempengaruhi hukum dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yang ada di belakang
pembuatan dan penegakan hukum itu. Dari pengertian tersebut terlihat politik hukum
mencakup proses pembuatan dan pelaksanaan hukum yang dapat menunjukkan sifat dan ke
arah mana hukum akan dibangun dan ditegakkan. Di sini hukum tidak dapat hanya dipandang
sebagai pasal-pasal yang bersifat imperatif atau keharusan-keharusan yang bersifat das
sollen, melainkan harus dipandang sebagai subsistem yang dalam kenyataan (das sein) bukan
tidak mungkin sangat ditentukan oleh politik, baik dalam perumusan materi dan pasalpasalnya maupun dalam implementasi dan penegakannya.
Jika ada pertanyaan tentang hubungan kausalitas antara hukum dan politik atau
pertanyaan tentang apakah hukum yang mempengaruhi politik ataukah politik yang
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
29
mempengaruhi hukum, maka paling tidak ada tiga macam jawaban dapat menjelaskannya.
Pertama, hukum determinan atas politik dalam arti bahwa kegiatan-kegiatan politik diatur
oleh dan harus tunduk pada aturan-aturan hukum. Kedua, politik determinan atas hukum,
karena hukum merupakan kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling
berinteraksi dan (bahkan) saling bersaingan. Ketiga, politik dan hukum sebagai subsistem
kemasyarakatan berada pada posisi yang tingkat determinasinya seimbang antara yang satu
dengan lain, karena meskipun hukum merupakan produk keputusan politik tetapi begitu
hukum ada maka semua kegiatan politik harus tunduk pada aturan-aturan hukum.
Adanya perbedaan jawaban atas pertanyaan tentang mana yang lebih determinan di
antara keduanya, terutama perbedaan antara alternatif jawaban pertama dan kedua,
disebabkan oleh perbedaan cara para ahli memandang kedua subsistem kemasyarakatan
tersebut. Mereka yang hanya memandang hukum dari sudut das sollen (keharusan) atau para
idealis berpegang teguh pada pandangan, bahwa hukum harus merupakan pedoman dalam
segala tingkat hubungan antaranggota masyarakat termasuk dalam segala kegiatan politik.
Sedangkan mereka yang memandang hukum dari sudut das sein (kenyataan) atau para
penganut paham empiris melihat secara realistis, bahwa produk hukum sangat dipengaruhi
oleh politik, bukan saja dalam pembuatannya tetapi juga dalam kenyataan-kenyataan
empirisnya. Kegiatan legislatif (pembuatan UU) dalam kenyataannya memang lebih banyak
membuat keputusan-keputusan politik dibandingkan dengan menjalankan pekerjaan hukum
yang sesungguhnya, lebih-lebih jika pekerjaan hukum itu dikaitkan dengan masalah prosedur.
Tampak jelas bahwa lembaga legislatif (yang menetapkan produk hukum) sebenarnya lebih
dekat dengan politik daripada dengan hukum itu sendiri. Dengan demikian jawaban tentang
hubungan kausalitas antara hukum dan politik dapat berbeda, tergantung dari perspektif yang
dipakai untuk memberikan jawaban tersebut.
B. Konfigurasi Politik dan Pekembangannya
Konfigurasi politik diartikan sebagai susunan atau konstelasi kekuatan politik yang
secara dikotomis dibagi atas dua konsep yang bertentangan secara diametral, yaitu
konfigurasi politik demokratis dan konfigurasi politik otoriter. Pengertian konseptual dan
indikator-indikator variabel bebas ini adalah:
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
30
a. Konfigurasi politik demokratis adalah susunan sistem politik yang membuka kesempatan
(peluang) bagi partisipasi rakyat secara penuh untuk ikut aktif menentukan kebijaksanaan
umum. Partisipasi ini ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil rakyat dalam
pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan
dalam suasana terjadinya kebebasan politik. Di negara yang menganut sistem demokratis
atau konfigurasinya demokratis terdapat pluralitas organisasi di mana organisasiorganisasi penting relatif otonom. Dilihat dari hubungan antara pemerintah dan wakil
rakyat, di dalam konfigurasi politik demokratis ini terdapat kebebasan bagi rakyat
melalui wakil-wakilnya untuk melancarkan kritik terhadap pemerintah.
b. Konfigurasi politik otoriter adalah susunan sistem politik yang lebih memungkinkan
negara berperan sangat aktif serta mengambil hampir seluruh inisiatif dalam pembuatan
kebijaksanaan negara. Konfigurasi ini ditandai oleh dorongan elit kekuasaan untuk
memaksakan persatuan, penghapusan oposisi terbuka, dominasi pimpinan negara untuk
menentukan kebijaksanaan negara dan dominasi kekuasaan politik oleh elit politik yang
kekal, serta di balik semua itu ada satu doktrin yang membenarkan konsentrasi
kekuasaan.
Secara spesifik, untuk mengkualifikasikan apakah konfigurasi politik itu demokratis
atau otoriter, indikator yang dipakai adalah bekerjanya tiga pilar demokrasi, yaitu peranan
partai politik dan badan perwakilan, kebebasan pers, dan peranan eksekutif. Pada konfigurasi
politik demokratis, partai politik dan lembaga perwakilan rakyat aktif berperan menentukan
hukum negara atau politik nasional. Kehidupan pers relatif bebas, sedangkan peranan
lembaga eksekutif (pemerintah) tidak dominan dan tunduk pada kemauan-kemauan rakyat
yang digambarkan lewat kehendak lembaga perwakilan rakyat. Pada konfigurasi politik
otoriter yang terjadi adalah sebaliknya.
Penelusuran sejarah tentang realita kepolitikan di Indonesia sampai sekarang
menunjukkan bahwa senantiasa terjadi pergantian, pergeseran, atau tolak-tarik antara
konfigurasi demokratis dan konfigurasi otoriter.
Semua konstitusi yang pernah dan sedang berlaku di negara Republik Indonesia
secara resmi mencantumkan “demokrasi” sebagai salah satu asas kenegaraannya. Tetapi tidak
semua rezim yang tampil di pentas politik menjalankan roda pemerintahannya. Tetapi tidak
semua rezim yang tampil di pentas politik menjalankan roda pemerintahannya secara
demokatis. Bahkan sebuah konstitusi yang secara resmi menyebut demokrasi yang sama
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
31
sebagai salah satu asas kenegaraannya, ternyata menampilkan konfigurasi politik yang tidak
sama dalam periode yang berbeda-beda. UUD 1945 yang berlaku antara tahun 1945 sampai
1949 menampilkan konfigurasi politik yang sangat berbeda dengan ketika UUD tersebut
berlaku pada periode 1959 sampai 1966, untuk kemudian berbeda juga dengan realita yang
ada pada periode berikutnya (yang juga berdasarkan UUD 1945) yaitu Orde Baru. Hal itu
berarti bahwa demokrasi dapat diihat dari sudut normatif dan empirik. Apa yang secara
normatif digariskan dalam konstitusi tentang asas demokrasi itu tidaklah selalu sama dengan
apa yang terjadi secara empirik.
Secara lebih spesifik perkembangan konfigurasi politik di Indonesia dapat
digambarkan sebagai berikut:
a. Setelah proklamasi kmerdekaan 17 Agustus 1945 terjadi pembalikan arah dalam
penampilan konfigurasi politik. Pada periode ini konfigurasi politik menjadi cenderung
demokratis dan dapat diidentifikasi sebagai demokrasi liberal. Keadaan ini berlangsung
sampai tahun 1959, saat di mana Presiden Soekarno menghentikannya melalui Dekrit
Presiden 5 Juli 1959. Pada periode ini pernah berlaku tiga macam konstitusi, yaitu UUD
1945, Konstitusi RIS, dan UUDS 1950. Tetapi konfigurasi politik yang ditampilkannya
dapat diberi satu kualifikasi yang sama, yaitu konfigurasi politik yang demokratis.
Indikatornya adalah begitu dominannya partai-partai. Pada saat yang sama kedudukan
pemerintah sangat lemah dan dengan mudah dijatuhkan melalui “mosi” di lembaga
perwakilan (parlemen). Begitu juga kehidupan pers cukup mendapatkan kebebasan untuk
mengekspresikan temuan, opini, dan kritik-kritiknya.
b. Konfigurasi politik yang demokratis pada periode 1945-1959 mulai ditarik lagi ke arah
yang berlawanan menjadi otoriter sejak tahun 1957, ketika Presiden Soekarno
melemparkan konsepsinya tentang demokrasi terpimpin. Konsepsi ini menempuh jalan
konstitusionalnya ketika tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan dekritnya.
Menurut konsepsi demokrasi terpimpin, kehidupan politik periode sebelumnya merupkan
sistem yang sangat bertentangan dengan budaya bangsa, karenanya harus ditinggalkan.
Yang terjadi dalam demokrasi terpimpin adalah tidak adanya demokrasi karena yang
ditonjolkan adalah terpimpinnya sehingga konfigurasi politik yang tampak adalah
konfigurasi ottoriter. Kekuasaan pemerintah yang berpusat di istana Presiden sangat kuat,
sedangkan lembaga perwakilan rakyat sangat lemah. Kewenangan DPR sering
diintervensi dengan dikeluarkannya berbagai Penpres dan Peperpu untuk akhirnya
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
32
parlemen hasil Pemilu ini dibubarkan dengan sebuah Penpres. Kehidupan pers ditekan
sedemikian rupa melalui pembreidelan, sensor, dan pemenjaraan. Pada era demokrasi
terpimpin ada tiga kekuatan politik yang saling tolak-tarik dan saling memanfaatkan yaitu
Pesiden Soekarno, Angkatan Darat, dan PKI, tetapi kekuasaan terbesar ada pada
Soekarno.
c. Konfigurasi politik otoriter pada era demokraasi terpimpin berakhir pada tahun 1966
ketika Orde Baru yang berintikan Angkatan Darat tampil sebagai pemeran utama dan
membentuk rezim baru. Tampilnya ABRI diberi jalan oleh peristiwa G 30 S/PKI yang
menyebabkan PKI dibubarkan setelah keluarnya Supersemar dari Presiden Soekarno dan
Soekarno sendiri tak dapat mempertahankan jabatannya. Pada awalnya Orde Baru
memulai langkah politiknya dengan langgam “agak” demokratis-liberal, tetapi langlah
tersebut hanya tampil sementara, yakni selama pemerintah berusaha membentuk format
baru politik Indonesia. Setelah format baru tersebut terbentuk melalui UU No. 15 dan UU
No. 16 Tahun 1969 serta hasil Pemilu 1971, maka langgam sistem politik mulai bergeser
lagi ke arah otoritarian. Logika pembangunan ekonomi harus didukung oleh “stabilitas
nasional” (sebagai prasyaratnya) telah membawa Orde Baru untuk menjadikan dirinya
sebagai negara kuat yang mampu melaksanakan program pembangunannya. Dipandang
dari sudut demokrasi politik maka berdasarkan standar konvensional yang manapun
konfigurasi politik Orde Baru bukanlah konfigurasi politik yang demokratis karena lebih
menonjolkan langgam otoritariannya.Tetapi dipandang dari sudut upayanya untuk
membangun kehidupan ekonomi masyarakat, dapat dikatakan berhasil. Ciri otoritarian
pada konfigurasi politik Orde Baru terlihat pada: Pertama, sistem kepartaiannya yang
hegemonik, suatu sistem, yang menurut Giovanni Sartori dan Afan Gafar, tidak
kompetitif karena yang sangat dominan dan menentukan agenda politik nasional adalah
partai yang mendukung dan didukung dengan kuat oleh pemerintah, yaitu Golkar. Pada
saat yang sama terjadi emaskulasi terhadap Parpol selain Golkar. Kedua, peranan
eksekutif sangat dominan, yang ditandai tindakan-tindakan intervensionis dan
pembentukan
jaringan-jaringan
korporatis
serta
dominannya
eksekutif
dalam
pembentukan berbagai produk hukum. Ketiga, kebebasan pers yang relatif terbatas.
Dengan demikian konfigurasi politik era Orde Baru yang lebih menonjolkan ciri
otoriternya dikualifikasi sebagai konfigurasi politik otoriter. Orde Baru diidentifikasi
dengan berbagai perspektif yang pada dasarnya berpijak dari pandangan yang sama
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
33
bahwa rezim ini bukan rezim yang demokratis. Pemerintah orde baru adalah pemerintah
yang sangat otonom dan panetratif, mengatasi semua kekuatan yang ada dalam
masyarakat dan birokrasinya sangat menentukan. Partai politik pada era ini tidak mandiri.
Keputusan-keputusan legislasi lebih banyak diwarnai oleh visi politik pemerintah.
Lembaga Surat Izin Terbit (SIT) yang dulunya dikecam sebagai alat untuk membreidel
pers eksistensinya dipertahankan melalui lembaga Surat Izin Usaha Penerbitan Pers
(SIUPP).
C. Karakter Produk Hukum dan Perkembangannya
Untuk mengkualifikasi apakah suatu poduk hukum responsif atau konservatif,
indikator yang dipakai adalah proses pembuatan, sifat-fungsi hukum, dan kemungkinan
penafsiran atas sebuah produk hukum. Di bawah ini akan dijelaskan secara singkat kedua
kualifikasi produk hukum tersebut.
a. Produk hukum responsif/populistik adalah produk hukum yang mencerminkan rasa
keadilan dan memenuhi harapan masyarakat. Dalam proses pembuatannya memberikan
peranan besar dan partisipasi kempok-kelompok sosial atau individu di dalam
masyarakat. Hasilnya bersifat responsif terhadap tuntutan-tuntutan kelompok sosial atau
individu di dalam masyarakat.
b. Produk hukum konservatif/ortodoks/elitis adalah produk hukum yang isinya lebih
mencerminkan visi sosial elit politik, lebih mencerminkan keinginan pemerintah, bersifat
positivis-instrumentalis, yakni menjadi alat pelaksanaan idiologi dan program negara.
Berlawanan dengan hukum responsif, hukum ortodoks lebih tertutup terhadap tuntutantuntutan kelompok maupun individu-individu dalam masyarakat. Dalam pembuatannya
peranan dan partisipasi masyarakat relatif kecil.
Produk hukum yang berkarakter responsif, proses pembuatannya bersifat partisipatif,
yakni mengundang sebanyak-banyaknya partisipasi masyarakat melalui kelompok-kelompok
sosial dan individu di dalam masyarakat. Sedangkan proses pembuatan hukum yang
berkarakter ortodoks bersifat sentralistik dalam arti lebih didominasi oleh lembaga negara
terutama pemegang kekuasaan eksekutif.
Dilihat dari fungsinya maka hukum yang berkarakter responsif bersifat aspiratif.
Artinya memuat materi-materi yang secara umum sesuai dengan aspirasi atau kehendak
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
34
masyarakat yang dilayaninya. Sehingga produk hukum itu dapat dipandang sebagai
kristalisasi dari produk masyarakat. Sedangkan hukum yang berkarakter ortodoks bersifat
positivis-instrumentalis. Artinya memuat materi yang lebih merefleksikan visi sosial dan
politik pemegang kekuasaan atau memuat materi yang lebih merupakan alat untuk
mewujudkan kehendak dan kepentingan program pemerintah.
Jika dilihat dari segi penafsiran maka produk hukum
yang berkarakter
responsif/populistik biasanya memberi sedikit peluang bagi pemerintah untuk membuat
penafsiran sendiri melalui berbagai peraturan pelaksanaan dan peluang yang sempit itu pun
hanya berlaku untuk hal-hal yang betul-betul bersifat teknis. Sedangkan produk hukum yang
berkarakter ortodoks/konservatif/elitis memberi peluang luas kepada pemerintah untuk
membuat berbagai interpretasi dengan berbagai peraturan lanjutan yang berdasarkan visi
sepihak dari pemerintah dan tidak sekedar masalah teknis. Oleh sebab itu, produk hukum
yang berkarakter responsif biasanya memuat hal-hal penting yang cukup rinci, sehingga sulit
bagi pemerintah untuk membuat penafsiran sendiri. Sedangkan produk hukum yang
berkarakter ortodoks biasanya cenderung memuat materi singkat dan pokok-pokoknya saja
untuk kemudian memberi peluang yang luas bagi pemerintah untuk mengatur berdasarkan
visi dan kekuatan politiknya.
Hasil telaah atas kasus-kasus dalam studi ini menunjukkan bahwa perkembangan
karakter produk hukum senantiasa dipengaruhi atau ditentukan oleh perkembangan
konfigurasi polotik. Artinya konfigurasi politik tertentu ternyata selalu melahirkan karakter
produk hukum tertentu pula. Pada saat konfigurasi politik tampil secara demokratis, maka
karaker produk hukum yang dilahirkannya cenderung renponsif/populistik. Sedangkan ketika
konfigurasi politik bergeser ke sisi yang otoriter maka produk hukum yang lahir lebih
berkarakter konservatif/ortodoks/elitis.
Secara lebih spesifik perkembangan karakter produk hukum tentang Pemilu, Pemda,
dan Agraria menurut penggalan waktu (periodisasi) konfigurasi poitik tersebut adalah sebagai
berikut:
a. Hukum Pemilu
Setelah proklamasi kemerdekaan (selama periode 1945-1959) berbagai eksperimen
perundang-undangan tentang Pemilu dikeluarkan, tetapi pada era ini terjadi Pemilu yang
benar-benar fair, yaitu Pemilu untuk anggota DPR dan konstituante pada tahun 1955
dilaksanakan berdasarkan UU No. 7 Tahun 1953. UU ini memuat materi sangat rinci (139
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
35
pasal) sehingga tidak memberikan spase yang terlalu besar kepada eksekutif untuk
menafsirkannya dengan peraturan pelaksanaan menurut visi politiknya sendiri. Organisasi
penyelenggara Pemilu adalah independen dan tidak diintervensi oleh kekuatan poitik
pemerintah. Pengangkatan anggota DPR maupun konstituante yang tidak berdasar hasil
Pemilu hanya dimungkinkan bila terjadi situasi memaksa tertentu, yaitu adanya daerah yang
berhalangan menyelenggarakan pemungutan suara (sehingga dimungkinkan pengangkatan
untuk sementara), atau karena kursi-kursi DPR dan konstituante tidak terbagi habis setelah
dibagi-bagi menurut perimbangan perolehan suara, atau karena tidak terpenuhinya jumlah
minimal tertentu untuk golongan minoritas Cina, Arab, dan Eropa. Dengan demikian produk
hukum Pemilu pada era ini dikualifikasi sebagai produk hukum yang lebih berwatak
responsif/populistik.
Pada era demokrasi terpimpin (1959-1966) tidak pernah ada Pemilu maupun UU
Pemilu, sesuai dengan konfigurasi politik yang sangat otoriter. Tetapi lembaga perwakilan
rakyat yang ada mengalami emaskulasi untuk akhirnya dibubarkan oleh Presiden.
Logika pembangunan ekonomi pada era Orde Baru (1966-1998) telah menyebabkan
pemerintah mengambil sikap tertentu tentang pemilu, yakni pemilu harus diadakan sesuai
dengan tuntutan konstitusi, tetapi kekuatan pemerintah (dengan sebutan kekuatan Orde Baru)
harus menang. Oleh sebab itu, yaitu UU No.15 tahun 1969, yang kemudian hampir selalu
diperbaharui setiap menjelang pemilu, lebih cenderung berwatak konservatif/ortodoks/elitis.
Artinya lebih banyak memberi keuntungan kepada kekuatan politik pemerintah. Di dalam UU
tersebut dianut sistem pengangkatan secara tetap (untuk jumlah tertentu) yang ditentukan
oleh dan untuk visi politik pemerintah. Organisasi penyelenggaraan pemilu dinilai tidak
netral dan peraturan-peraturan pelaksanaanya yang merupakan interprestasi resmi atas UU
Pemilu (elektoral laws) dinilai tidak fair. UU No. 15 Tahun 1969 yang hanya memuat 37
pasal memang memberi space sangat luas kepada pemerintah untuk memberikan
interprestasi, yang dalam banyak hal dinilai tidak sekedar “interprestasi teknis”.
b. Hukum Pemda
Proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 membawa semangat demokrasi yang
cenderung liberal sehingga masalah desentralisasi menjadi salah satu perhatian utama. Pada
periode 1945-1959, masalah desentralisasi berjalan secara eksperimental dalam wujud
lahirnya UU Pemerintahan Daerah (Pemda) sampai tiga kali, yaitu UU No.1 Tahun 1945, UU
No. 22 Tahun 1948, dan UU No. 1 Tahun 1957. Secara umum hukum Pemda pada era 1945PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
36
1959 ini dapat dikualifikasikan sebagai hukum yang berkarakter sangat responsif/populistik
karena luasnya otonomi yang diberikan kepada daerah. Pada era ini pemerintah daerah sangat
leluasa dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri di bawah asas otonomi nyata
seluas-luasnya. DPRD merupakan penanggung jawab utama dalam penyelenggaraan
desentralisasi, sedangkan tugas pembantuan (medebewind) lebih banyak ditangani oleh
Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Pemilihan kepala daerah otonom juga sangat fair, yakni
dilakukan melalui pemilihan langsung oleh rakyat yang untuk tahap awal (sebelum ada UU
tentang Pemilihan Kepala Daerah) dipilih oleh DPRD. Begitu juga kontrol pusat terhadap
produk Peraturan Daerah (Perda) hanya dibatasi pada hal-hal tertentu yakni pada masalahmasalah yang menyangkut kepentingan umum.
Pemerintah pada era demokrasi terpimpin memandang sistem otonomi atau
desentralisasi yang berlaku sejak zaman demokrasi liberal membahayakan keutuhan nasional
karena tendensi pada timbulnya gerakan-gerakan daerah yang disintegratif. Presiden
Soekarno segera mengeluarkan Penpres No. 6 Tahun 1959 yang merombak secara total
dasar-dasar yang dipakai oleh UU No. 1 Tahun 1957. Penpres No. 6 Tahun 1959 menggeser
dominasi asas desentralisasi ke arah sentralisasi atau pengendalian daerah secara ketat oleh
pusat. Meskipun Penpres tersebut secara “formal” masih menyebut asas otonomi nyata yang
“seluas-luasnya”, namun asas tersebut tidak dielaborasi sama sekali, malahan Penpres itu
memuat ketentuan-ketentuan yang sangat tidak sesuai dengan prinsip desentralisasi. Kepala
daerah diangkat dan ditentukan sepenuhnya oleh pusat dengan kedudukan sekaligus sebagai
pengawas (atas nama pusat) atas jalannya pemerintahan di daerah yang diberi wewenang
untuk menangguhkan keputusan-keputusan DPRD. Penpres ini kemudian digantikan oleh UU
No. 18 Tahun 1965 yang lebih merupakan penggantian “baju hukum” karena isinya tidak
mengandung perubahan yang berarti, bahkan dapat dikatakan bahwa UU No. 18 Tahun 1965
mengambil hampir seluruh isi Penpres No. 6 Tahun 1959 sebagai materinya. Dengan
demikian, produk hukum tentang Pemda pada periode ini memiliki karakter yang sangat
konservatif/ortodoks/elitis.
Era Orde Baru (1966-1998) yang berusaha menggalang “persatuan dan kesatuan”
melakukan perubahan tehadap UU No. 18 Tahun 1965. Meskipun pada awal Orde baru,
MPRS menetapkan asas otonomi nyata yang seluas-luasnya, tetapi ketetapan MPRS ini harus
diganti sebelum berlaku. Orde Baru memandang penetapan otonomi yang seluas-luasnya
bertentangan dengan prinsip persatuan dan kesatuan sehingga harus diganti dengan asas
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
37
otonomi nyata dan bertanggung jawab yang lebih merupakan kewajiban bagi daerah. Asas
otonomi nyata dan bertanggung jawab ini dituangkan dalam ketetapan MPR No.
IV/MPR/1973 yang kemudian dijabarkan dalam UU No. 5 Tahun 1974. Meskipun tidak
seekstrem UU No.18 Tahun 1965, UU No. 5 Tahun 1974 ini dapat dikualifikasikan sebagai
produk hukum yang cenderung berkarakter konservatif karena memberikan porsi kekuasaan
kepada pusat secara lebih dominan. Kepala Daerah diangkat oleh pusat dari calon-calon yang
diajukan daerah berdasarkan hasil pemilihan DPRD itu harus mendapat persetujuan lebih
dulu dari pusat. Hal ini merupakan konsekuensi dari kedudukan kepala daerah sebagai organ
daerah otonom sekaligus alat pusat di daerah. Kepala daerah diletakkan pada posisi penguasa
tunggal dalam bidang pemerintahan di wilayahnya masing-masing yang menempel di atas
daerah otonom. Kontrol pusat atas daerah masih melalui pengawasan preventif, pengawasan
represif, dan pengawasan umum. Dengan demikian desentralisasi menurut UU No.5 Tahun
1974 sebenarnya lebih diwarnai oleh sentralisasi sehingga produk hukum ini bukan produk
yang berwatak responsif.
c. Hukum Agraria
Setelah proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, hukum-hukum agraria
yang ditinggalkan kolonialisme Belanda mendapat gugatan secara gencar agar diganti dengan
hukum agraria yang lebih responsif. Pemerintah sendiri menempuh dua jalur untuk
memenuhi gugatan-gugatan itu, yaitu mengeluarkan peraturan perundang-undangan secara
parsial dalam bidang keagrariaan dan membentuk berbagai Panitia Perancang Hukum Agraria
Nasional. Peraturan perundang-undangan yang sifatnya parsial itu dibuat untuk sementara
sambil menunggu lahirnya hukum agraria nasional yang materi-materinya berisi pencabutan
terhadap bidang-bidang tertentu dalam hukum agraria yang dirasa sangat tidak adil. Seperti
pencabutan hak konversi bagi pengusaha Eropa dengan UU No. 13 Tahun 1948, penghapusan
tanah partikelir dengan UU No. 1 Tahun 1958, perubahan Peraturan Persewaan Tanah dengan
UU Darurat No. 6 Tahun 1951 (yang kemudian diperbaharui dengan UU No. 6 Tahun 1952)
dan sebagainya. Semua produk hukum dalam bidang agraria yang masih bersifat parsial
mempunyai kerakter yang lebih responsif/populistik.
Sejak awal kemerdekaan pemerintah juga telah mengambil langkah-langkah untuk
membuat hukum agraria nasional yang komprehensif melalui pembentukan berbagai Panitia
Agraria. Mula-mula dibentuk Panitia Agraria Yogya (1948), kemudian disusul dengan Panitia
Agraria Jakarta (1951), dan Panitia Soewahjo (1956). Rangkuman hasil-hasil kerja berbagai
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
38
panitia itu diajukan oleh Menteri Agraria Soenarjo kepada DPR sebagai RUU. Namun RUU
yang diajukan pada era demokrasi liberal ini kemudian ditarik oleh pemerintah karena terjadi
perubahan kontitusi berkenaan dengan Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959. RUU tersebut
setelah diperbaharui atau disesuaikan dengan terma-terma yang ada dalam UUD 1945 dan
konsepsi demokrasi terpimpin diajukan lagi kepada DPR sebagai RUU pada tahun 1960 oleh
Menteri Agraria Sadjarwo untuk kemudian disahkan menjadi UU No.5 Tahun 1960 yang
dikenal dengan sebutan UUPA (Undang-undang Pokok Agraria). UUPA menghapus semua
watak yang melekat pada AW 1870 dan semua produk hukum yang menyertainya, yaitu
watak dualistik, feodalistik, dan eksploitatif. UUPA juga memuat asas “fungsi sosial” bagi
hak atas tanah serta prinsip pembatassan luas maksimum dan minimum tanah yang dapat
dimiliki secara adil. Domeinverkelaring dinyatakan dicabut dan diganti dengan asas “hak
menguasai dari negara “ yang berorientasi pada upaya mengusahakan kemakmuran rakyat
yang sebesar-besarnya sesuai dengan amanat pasal 33 UUD 1945. Dengan demikian UUPA
berkarakter sangat responsif/populistik.
Kasus UUPA menjadi satu-satunya produk hukum yang berkarakter responsif pada
era demokrasi tepimpin yang otoriter. Hal ini bisa dijelaskan dari empat hal, yaitu: Pertama,
UUPA berasal dari warisan (rancangan-rancangan) zaman demokrasi liberal yang
pengundangannya tertunda karena ada Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Kedua, UUPA memuat
materi yang membalik dasar-dasar kolonialisme yang sudah pasti sangat ditentang oleh
semua pemimpin Indonesia, baik pemimpin yang demokratis maupun otoriter. Ketiga, materi
UUPA tidak menyangkut distribusi kekuasaan sehingga pemberlakuannya tidak akan
mengganggu sebuah rezim otoriter sekalipun. Keempat, UUPA tidak hanya memuat aspek
publik (hukum administrasi negara), tetapi juga memuat masalah-masalah privat (hukum
perdata).
Pada era Orde Baru tidak diperlukan lagi sebuah produk hukum agraria nasional
karena Indonesia sudah memiliki UUPA. Oleh sebab itu, hanya dikeluarkan beberapa
peraturan perundang-undangan dalam bidang keagrariaan yang sifatnya parsial. Ada tuntutan
bagi Orde Baru untuk melakukan pembaruan terhadap beberapa masalah (parsial) dalam
bidang agraria ini, seperti yang menyangkut UU Landreform (UU No. 56/PRP/1960).
Dapat juga dicatat bahwa proses pembangunan pada era Orde Baru telah
menyebabkan meningkatnya tuntutan atas penggunaan lembaga onteigening (pencabutan hak
atas tanah), seperti yang diatur dalam UU No. 20 Tahun 1961. Tetapi sikap pragmatis Orde
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
39
Baru telah melahirkan peraturan perundang-undangan parsial dalam bidang agraria ini yang
dapat dikualifikasi cenderung berkarakter konservatif/ortodoks. Peraturan Menteri Dalam
Negeri (PMDN) No. 15 Tahun 1975 tentang Prosedur Pembebasan Tanah untuk Keperluan
Pembangunan, di samping materinya secara hirarkis tidak proporsional karena memuat
materi UU atau mengatur cara lain daripada yang diatur UU No. 20 Tahun 1961, tidak
memberikan alternatif jika “musyawarah” untuk pembebasan tanah itu gagal, sehingga di
dalam praktik banyak menimbulkan masalah yang cenderung selalu memenangkan pihak
yang ingin membebaskan tanah.
Dalam pada itu, Inpres No. 9 Tahun 1973 dapat juga dipandang sebagai poduk
peraturan perundang-undangan yang lebih mmenuhi keperluan praktis pemerintah untuk
melakukan pengadaan tanah untuk keperluan pembangunan. Seharusnya materi kedua
peraturan perundang-undangan ini dapat dibuat lebih rinci dan diberi bentuk hukum setingkat
UU. Sedikit kemajuan terjadi pada tahun 1993, pemerintah mengeluarkan Kepres No. 55
Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan
Umum. Kemajuan tersebut, misalnya terlihat pada prosedur musyawarah yang lebih terbuka
untuk menentukan ganti rugi. Terlihat juga adanya jalan keluar jika penetapan ganti rugi
ditolak pemilik hak atas tanah, yakni dengan mengajukan keberatan dan minta penyelesaian
gubernur. Jika penetapan gubernur itu masih ditolak dapat ditempuh penyelesaian dengan
menggunakan UU No. 20 Tahun 1961, yaitu prosedur pencabutan hak (onteigening). Namun
karena substansinya sangat penting, materi Kepres No. 55 Tahun 1993 seharusnya diberi baju
hukum dalam bentuk UU yang sekaligus diintegrasikan dengan UU No. 20 Tahun 1961.
4. KASUS PELANGGARAN DAN UPAYA PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA
A. Penggolongan Pelanggaran Hak Asasi Manusia
Pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan yang secara melawan hukum
mengurangi,menghalangi, membatasi dan atau mencabut hak asasi manusia (UU RI Nomor
39 Tahun 1999). Kapan dinyatakan adanya pelanggaran HAM ? Hampir dapat dipastikan
dalam kehidupan seharai–hari dapat ditemukan pelanggaran hak asasi manusia baik di
Indonesia maupun di belahan dunia lain. Pelanggaran itu baik dilakukan oleh negara/
pemerintah maupun oleh masyarakat. Richard Falk, salah seorang pemerhati HAM
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
40
mengembangkan suatu standar guna mengukur derajat keseriusan pelanggaran hak–hak asasi
manusia. Hasilnya adalah disusunnya kategori–kategori pelanggaran hak–hak asasi manusia
yang dianggap kejam, yaitu :
a. Pembunuhan besar–besaran (genocide).
b. Rasialisme resmi.
c. Terorisme resmi berskala besar.
d. Pemerintahan totaliter.
e. Penolakan secara sadar untuk memenuhi kebutuhan– kebutuhan dasar manusia.
f. Perusakan kualitas lingkungan.
g. Kejahatan–kejahatan perang.
Akhir–akhir ini di dunia Internasional maupun di Indonesia, dihadapkan banyak
pelanggaran hak asasi manusia dalam wujud teror. Leiden & Schmit, mengartikan terror
sebagai tindakan berasal dari suatu kekecewaan atau keputusasaan, biasanya disertai dengan
ancaman–ancaman tak berkemanusiaan dan tak mengenal belas kasihan terhadap kehidupan
dan barang–barang dilakukan dengan cara-cara melanggar hukum. Teror dapat dalam bentuk
pembunuhan, penculikan, sabotase, subversiv, penyebaran desas–desus, pelanggaran
peraturan hukum, main hakim sendiri, pembajakan dan penyanderaan. Teror dapat dilakukan
oleh pemerintah mapun oleh masyarakat (oposan).
Teror sebagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang kejam (berat), karena
menimbulkan ketakutan sehingga rasa aman sebagai hak setiap orang tidak lagi dapat
dirasakan. Dalam kondisi ketakutan maka seseorang/masyarakat sulit untuk melakukan hak
atau kebebasan yang lain, sehingga akan menimbulkan kesulitan dalam upaya
mengembangkan kehidupan yang lebih maju dan bermartabat. Penggolongan pelanggaran
HAM di atas merupakan contoh pelanggaran HAM yang berat dikemukakan Ricahard Falk.
Dalam UURI Nomor 39 Tahun 1999 yang dikategorikan pelanggaran HAM yang berat
adalah :
a. pembunuhan masal (genocide);
b. pembunuhan sewenang–wenang atau diluar putusan pengadilan;
c. penyiksaan;
d. penghilangan orang secara paksa;
e. perbudakan atau diskriminasi yang dilakukan secara sistematis.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
41
Disamping pelanggaran HAM yang berat juga dikenal pelanggaran HAM biasa.
Pelanggaran HAM biasa antara lain: pemukulan, penganiayaan, pencemaran nama baik,
menghalangi orang untuk mengekspresikan pendapatnya, penyiksaan, menghilangkan nyawa
orang lain.
B. Berbagai Contoh Pelanggaran HAM
Banyak terjadi pelanggaran HAM di Indonesia, baik yang dilakukan pemerintah,
aparat keamanan maupun oleh masyarakat. Hal ini dapat ditunjukan adanya korban akibat
bergai kerusuhan yang terjadi di tanah air. Misalnya, korban hilang dalam berbagai kerusuhan
di Jakarta, Aceh, Ambon dan Papua diperkirakan ada 1148 orang hilang dalam kurun waktu
1965 – Januari 2002 (Kompas 1 Juni 2002).
Kita juga dapat dengan mudah menemukan pelanggaran HAM di sekitar kita yang
menimpa anak-anak. Misalnya, dalam kehidupan sehari–hari kita menyaksikan banyak anak
(dibawah umur 18 tahun) dipaksa harus bekerja mencari uang, untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya maupun untuk membantu keluarganya atau pihak lain. Ada yang menjadi
pengamen di jalanan, menjadi buruh, bahkan dieksploitasi untuk pekerjaan-pekerjaan yang
tidak patut. Mereka telah kehilangan hak anak berupa perlindungan oleh orang tua, keluarga,
masyarakat dan negara, perlindungan dari eksploitasi ekonomi, dan pekerjaan.
Begitu pula kita juga dapat menemukan kasus sejumlah anak yang melanggar hukum
(berkonflik dengan hukum). Misalnya data Lembaga Advokasi Anak (LAdA) Lampung
menyatakan jumlah anak yang berkonflik dengan hukum selama Januari – Maret 2008
mencapai 83 orang. Pelanggaran hukum yang dialkukan anak–anak adalah pencurian,
penganiayaan, penggunaan narkoba, pemerkosaan, perampasan, penodongan, pembunuhan,
perjudian, perampokan, penjambretan, curanmor, dan perkelahaian (“Anak–anak Berkonflik
dengan Hukum”, Kompas, 7 April 2008).
Dalam kehidupan sehari–hari kasus pelanggaran HAM oleh seseorang/masyarakat
terutama pada perbuatan main hakim sendiri, seperti pertikaian antar kelompok (konflik
sosial), pengeroyokan, pembakaran sampai tewas terhadap orang yang dituduh atau
ketangkap basah melakukan pencurian. Kebiasaan pengeroyokan sebagai bentuk main hakim
sendiri dalam menyelesaikan pertikaian atau konflik juga tampak sangat kuat di kalangan
para pelajar.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
42
Hal ini tentunya sangat memprihatinkan, karena mencerminkan suatu kehidupan yang
tidak beradab yang semestinya dalam menyelesaikan persoalan (konflik) dilakukan dengan
cara–cara yang bermartabat seperti melakukan perdamaian , mengacu pada aturan atau norma
yang berlaku, melalui perantara tokoh–tokoh masyarakat/adat, dan lembaga–lembaga
masyarakat yang ada. Berikut ini dipaparkan beberapa contoh pelanggaran HAM yang
menjadi sorotan nasional bahkan internasional. Namun contoh-contoh berikut harus di
cermati mana yang tergolong pelanggaran HAM berat dan mana yang tergolong pelanggaran
HAM biasa.
a. Kasus Marsinah
Kasus ini berawal dari unjuk rasa dan pemogokan yang dilakukan buruh PT.CPS pada
tanggal 3-4 Mei 1993. Aksi ini berbuntut dengan di PHK-nya 13 buruh. Marsinah menuntut
dicabutnya PHK yang menimpa kawan-kawannya Pada 5 Mei 1993 Marsinah ‘menghilang’,
dan akhirnya pada 9 Mei 1993, Marsinah ditemukan tewas dengan kondisi
yang mengenaskan di hutan Wilangan Nganjuk.
b. Kasus Trisakti dan Semanggi
Kasus Trisakti dan Semanggi, terkait dengan gerakan reformasi. Arah gerakan
reformasi adalah untuk melakukan perubahan yang lebih baik dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara. Gerakan reformasi dipicu oleh krisis ekonomi tahun 1997. Krisis ekonomi
terjadi berkepanjangan karena fondasi ekonomi yang lemah dan pengelolaan pemerintahan
yang tidak bersih dari KKN (Korupsi Kolusi dan Nepotisme). Gerakan reformasi yang
dipelopori mahasiswa menuntut perubahan dari pemerintahan yang otoriter menjadi
pemerintahan yang demokratis, mensejahterakan rakyat dan bebas dari KKN.
Demonstrasi merupakan senjata mahasiswa untuk menekan tuntutan perubahan ketika
dialog mengalami jalan buntuk atau tidak efektif. Ketika demonstrasi inilah berbagai hal yang
tidak dinginkan dapat terjadi. Karena sebagai gerakan massa tidak mudah melakukan kontrol.
Bentrok fisik dengan aparat kemanan, pengrusakan, penembakan dengan peluru karet
maupun tajam inilah yang mewarai kasus Trisakti dan Semanggi. Kasus Trisakti terjadi pada
12 Mei 1998 yang menewaskan 4 (empat) mahasiswa Universitas Trisakti yang terkena
peluru tajam. Kasus Trisakti sudah ada pengadilan militer. Tragedi Semanggi I terjadi 13
November 1998 yang menewaskan setidaknya 5 (lima) mahasiswa, sedangkan tragedi
Semanggi II pada 24 September 1999, menewaskan 5 (lima) orang. Dengan jatuhnya korban
pada kasus Trisakti, emosi masyarakat meledak. Selama dua hari berikutnya 13 – 14 Mei
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
43
terjadilah kerusuhan dengan membumi hanguskan sebagaian Ibu Kota Jakarta. Kemudian
berkembang meluas menjadi penjarahan dan aksi SARA (suku, agama, ras, dan antar
golongan). Akibat kerusuhan tersebut, Komnas HAM mencatat :
1) 40 pusat perbelanjaan terbakar;
2) 2.479 toko hancur;
3) 1.604 toko dijarah;
4) 1.119 mobil hangus dan ringsek;
5) 1.026 rumah penduduk luluh lantak;
6) 383 kantor rusak berat; dan
7) yang lebih mengenaskan 1.188 orang meninggal dunia. Mereka kebanyakan mati di
pusat–pusat perbelanjaan ketika sedang membalas dendam atas kemiskinan yang
selama ini menindih (GATRA, 9 Januari 1999).
Dengan korban yang sangat besar dan mengenaskan di atas, itulah harga yang harus
dibayar bangsa kita ketika menginginkan perubahan kehidupan berbangsa dan bernegara
yang lebih baik. Seharusnya hal itu masih dapat dihindari apabila semua anak bangsa ini
berpegang teguh pada nilai–nilai luhur Pancasila sebagai acuan dalam memecahkan berbagai
persoalan dan mengelola negara tercinta ini. Peristiwa Mei tahun 1998 dicatat disatu sisi
sebagai Tahun Reformasi dan pada sisi lain sebagai Tragedi Nasional.
c. Kasus Bom Bali
Peristiwa peledakan bom oleh kelompok teroris di Legian Kuta Bali 12 November
2002, yang memakan korban meninggal dunia 202 orang dan ratusan yang luka-luka,
semakin menambah kepedihan kita. Apa lagi yang menjadi korban tidak hanya dari
Indonesia, bahkan kebanyakan dari turis manca negara yang datang sebagai tamu di negara
kita yang mestinya harus dihormati dan dijamin keamanannya.
C. Faktor Penyebab Terjadinya Pelanggaran HAM
Mengapa pelanggaran hak asasi manusia sering terjadi di Indonesia, meskipun seperti
telah dikemukakan di atas telah dijamin secara konstitusional dan telah dibentuknya lembaga
penegakan hak asasi manusia. Apa bila dicermati secara seksama ternyata faktor
penyebabnya kompleks. Faktor–faktor penyebabnya antara lain:
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
44
a. masih belum adanya kesepahaman pada tataran konsep hak asasi manusia antara paham
yang memandang HAM bersifat universal (universalisme) dan paham yang memandang
setiap bangsa memiliki paham HAM tersendiri berbeda dengan bangsa yang lain terutama
dalam pelaksanaannya (partikularisme);
b. adanya pandangan HAM bersifat individulistik yang akan mengancam kepentingan umum
(dikhotomi antara individualisme dan kolektivisme);
c. kurang berfungsinya lembaga – lembaga penegak hukum (polisi, jaksa dan pengadilan);
d. pemahaman belum merata tentang HAM baik dikalangan sipil maupun militer.
Disamping faktor-faktor penyebab pelanggaran hak asasi manusia tersebut di atas,
menurut Effendy salah seorang pakar hukum, ada faktor lain yang esensial yaitu “kurang dan
tipisnya rasa tanggungjawab”. Kurang dan tipisnya rasa tanggungjawab ini melanda dalam
berbagai lapisan masyarakat, nasional maupun internasional untuk mengikuti “hati sendiri”,
enak sendiri, malah juga kaya sendiri, dan lain-lain. Akibatnya orang dengan begitu mudah
menyalahgunakan kekuasaannya, meremehkan tugas, dan tidak mau memperhatikan hak
orang lain.
5. PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA (HAM) DI INDONESIA
Teori-Teori dalam Kerangka Analisis Berkaitan dengan Nilai-Nilai HAM (Peter
Davies, 1994) terdapat 3 teori yaitu :
 Teori Realitas (Realistic Theory)
 Teori Relativisme Kultur (Cultural Relativisme Theory);
 Teori Radikal Universalisme (Radical Universalisme Theory)
Teori Realitas (Realistic Theory) Mendasari pandangannya pada asumsi adanya
sifat manusia yang menekankan self interest dan egoisme dlm dunia, seperti
bertindak anarkis. Dlm situasi anarkis, setiap manusia saling mementingkan diri sendiri,
sehingga menimbulkan chaos dan tindakan tidak manusiawi di antara individu dalam
memperjuangkan egosime dan self-intrest-nya.
Untuk menghadapi situasi demikian negara harus mengambil tindakan
berdasarkan power dan security yang dimiliki dalam menjaga kepentingan nasional dan
keharmonisan social dibenarkan. Tindakan Yang dilakukankan negara seperti di atas tidak
termasuk dalam kategori tindakan pelanggaran HAM oleh negara.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
45
Teori Relativisme Kultur (Cultural Relativisme Theory). Bahwa nilai-nilai moral
dan budaya bersifat partikular (Khusus), ini berarti nilai-nilai moral bersifat lokal dan
spesifik,
sehingga
berlaku
khusus
pada
suatu
negara.
Dalam
kaitan
dengan
penegakan/penerapan HAM menurut teori ini ada 3 model, yaitu :
1. Penerapan HAM lebih ditekankan pada hak sipil, hak politik, dan hak pemilikan
pribadi:
2. Penerapan HAM lebih menekankan pada hak ekonomi dan sosial;
3. Penerapan HAM lebih menekankan pada penentuan nasib sendiri dalam pembangunan
ekonomi;
Model Pertama banyak dilakukan oleh negara-negara yg tergolong maju, model kedua
banyak diterapkan di negara-negara berkembang, dan model ketiga banyak diterapkan
dinegara-negara terbelakang.
Teori Relativisme Kultur (Cultural Relativisme Theory) Bahwa semua nilai-nilai
HAM adalah bersifat universal dan tidak bisa dimodifikasi untuk menyesuaikan adanya
perbedaan budaya dan sejarah suatu negara. Kelompok radikal universalitas menganggap
hanya ada satu paket pemahaman mengenai HAM, bahwa nilai-nilai HAM berlaku sama di
semua tempat dan disembarang waktu serta dapat diterapkan pada masyarakat yg mempunyai
latar belakang budaya dan sejarah berbeda. Dgn demikian pemahaman dan pengakuan
terhadap nilai-nilai HAM berlaku sama dan universal bagi semua negara dan bangsa.
Saat ini Indonesia telah memiliki perangkat hukum dan UU yang cukup memadai
tentang Hak Asasi Manusia. Hal ini ditunjukkan dengan adanya TAP No. XVII/MPR/1998
tentang HAM, Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No.
26/2000 tentang peradilan HAM, ini merupakan tonggak sejarah baru bagi bangsa Indonesia
dalam upaya penegakkan HAM. Namun sangat disayangkan deretan panjang perangkat
hukum mengenai HAM ini sekan-akan hanya dijadikan sebuah pajangan buku yang disimpan
begitu saja, realisasi dan penerapan dari aturan hukum tersebut masih bagaikan jauh
panggang dari api. Dengan kata lain, perangkat hukum tersebut belum mampu menjerat
berbagai peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM, dalam bentuk kekerasan fisik maupun
kekerasan mental, baik itu yang dilakukan aparat militer maupun kelompok sipil. Pendek
kata, peristiwa pelanggaran HAM dalam bentuk dan manifestasinya masih mewarnai
kehidupan sosial politik Indonesia.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
46
Di Indonesia, perjuangan penegakan HAM telah lama sekali dilakukan oleh para
pegiat HAM. Ada banyak kasus-kasus pelanggaran HAM yang kemudian "memaksa"
pemerintah menunjukkan kemauan dan kesungguhannya dalam menghormati HAM. Tahun
1999, sebuah UU khusus tentang HAM dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia, sebagai salah
satu wujud kesungguhan ini. Tetapi kesadaran akan HAM belum sepenuhnya dibangun
sebagai bagian dari sistim pembangunan kita.
Sejak dikeluarkannya Undang-Undang No. 39 Tahun 1999, mengenai HAM, dan
Undang-Undang Peradilan HAM No. 26 Tahun 2000, terdapat perubahan yang cukup
mengembirakan bagi Penegakan HAM di Indonesia, indikator ini terlihat dengan diadilinya
beberapa kasus pelanggaran HAM, diantaranya kasus Tanjunng Priuk dan Timor-timur, yang
merupakan langkah maju terbukanya rantai impunity, dengan menjadikan beberapa perwira
menengah militer sebagai tersangka di dalam beberapa kasus pelanggaran HAM yang terjadi.
Namun sampai saat ini pelanggaran HAM masih saja terjadi dangan berbagai
permasalahannya.
Masalah pelanggaran HAM yang masih saja terjadi, antara lain berakar pada rapuhnya
sistem sosial politik kemasyarakatan kita dalam melindungi serta memajukan hak individu
masyarakat. Karena hak asasi juga hidup dan berkembang dalam masyarakat, tidak saja
karena sifatnya yang terkait satu sama lain dengan sistem sosial dan nilai-nilai masyarakat,
tetapi juga karena hak asasi dalam rangka mencapai tujuan pokoknya yaitu untuk kepentingan
individu, harus dibangun secara sosial. Sebab menghargai hak asasi seseorang dengan
melanggar hak asasi orang lain, bukanlah penegakan HAM.
Sangat sulit memperjuangkan kepentingan individual sebagai penegakan HAM, tanpa
memperjuangkannya secara bersama-sama dalam sistem sosial politik kemasyarakatan,
secara bersama-sama dalam sebuah wadah kolektif : organisasi. Karena upaya penegakan
HAM adalah proses pembangunan kebudayaan hak asasi yang mengarah pada terwujudnya
suatu masyarakat atau dunia berdasarkan pemahaman dan penghargaan yang sama terhadap
nilai-nilai hakikiki kemanusiaan. Dalam konteks ini, melibatkan masyarakat dalam
membicarakan, dan memperjuangkan HAM menjadi sangat berarti.
Identifikasi persoalan-persoalan fundamental dan strategis yang terkait dengan
penegakan demokrasi dan HAM, serta rumusan yang dikategorikan menghambat pelaksanaan
HAM. Berdasarkan satu asumsi bahwa rumusan HAM manifestasinya pada setiap daerah
berbeda-beda seiring dengan faktor dominan dan konstruk budayanya yang beragam, maka
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
47
signifikasi penegakan HAM dengan segala problematika dan pemecahannya yang bermuatan
lokal menjadi sangat penting untuk dirumuskan secara spesifik
A. Sistem Penegakan Hak Asasi Manusia di Indonesia
Berdasarkan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa
yang dimaksud dengan Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada
hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan
anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum dan
Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat
manusia.
Sedangkan yang dimaksud pelanggaran Hak Asasi Manusia adalah setiap perbuatan
seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak
disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi,
dan atau mencabut Hak Asasi Manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh
undang-ungdang. (UU No. 39 Tahun 1999)
Secara garis besar pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia dibagi kedalam dua
bagian, yaitu pelanggaran HAM Biasa dan Pelanggaran HAM Berat. Pelanggaran HAM biasa
dapat diadili di Pengadilan Umum, sedangkan pelanggaran HAM Berat dapat diadili di
Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Pengadilan Hak Asasi Manusia bertugas dan berwenang memeriksa dan memutuskan
perkara pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat (Pasal 4) UU No. 26 Tahun 2000. Yang
dimaksud dengan memeriksa dan memutus dalam ketentuan ini adalah menyelesaikan
perkara yang menyangkut kompensasi, restitusi dan rehabilitasi sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) berwenang juga memeriksa dan memutus
perkara pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat yang dilakukan di luar batas teritorial
wilayah negara Republik Indonesia oleh warga negara Indonesia. (Pasal 5). Ketentuan ini
dimaksud untuk melindungi warga negara Indonesia yang melakukan pelanggaran Hak Asasi
Manusia yang berat yang dilakukan di luar batas teritorial, dalam arti dihukum sesuai dengan
undang-undang ini.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
48
Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang berat meliputi kejahatan genosida dan
kejahatan terhadap kemanusiaan (Pasal 7). Kejahatan genosida adalah setiap perbuatan yang
dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian
sekelompok bangsa, ras, kelompok etnis kelompok agama dengan cara:
1) Membunuh anggota kelompok ;
2) Mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota kelompok;
3) Menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan
secara fisik, baik seluruh atau sebagiannya.
4) Memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam
kelompok;
5) Memindahkan secara paksa anak-anak ke kelompok lain. (Pasal 8)
Sedangkan yang dimaksud dengan kejahatan terhadap kemanusiaan adalah salah satu
perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistemik yang
diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil
berupa:
1) Pembunuhan;
2) Pemusnahan
3) Perbudakan
4) Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;
5) Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenangwenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional.
6) Penyiksaan;
7) Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan,
pemandulan atau sterilisasi secara paksa;
8) Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari
persamaan pemahaman politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin
atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut
hukum internasional.
9) Penghilangan orang secara paksa;
10) Kejahatan apartheid.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
49
Kasus-kasus atau perkara-perkara genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan
merupakan perkara yang dapat diperiksa dan diadili oleh Pengadilan Hak Asasi Manusia
(HAM)
Dengan adanya pelanggaran HAM sudah barang tentu harus ada undang-undang yang
mengatur tentang pelanggaran HAM tersebut. Maka pemerintah mengeluarkan UU No. 26
Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia yang diharapkan dijadikan dasar utama
untuk menindak secara tegas pelaku pelanggaran Hak Asasi Manusia baik pelanggaran HAM
berat maupun pelanggaran HAM ringan.
Pelanggaran HAM Berat yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-Undang No.
26 tahun 2000 tentang Hak Asasi Manusia, perlu dibentuk pengadilan HAM Ad Hoc.
Pengadilan HAM Ad Hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk atas usul Dewan
Perwakilan rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) berdasarkan peristiwa tertentu, dengan
keputusan presiden. Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) Ad Hoc sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) berada di lingkungan Peradilan Umum.
Karakteristik yang menarik dari Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) Ad Hoc
adalah untuk pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang berat tidak berlaku ketentuan
mengenai kedaluwarsa. (Pasal 46).
Perbedaan dan Persamaan tentang Pengadilan HAM Ad Hoc, Pengadilan HAM dan
Pengadilan Negeri, yang memiliki kewenangan mengadili kasus pelanggaran HAM di
Indonesia adalah :
Persamaan antara Pengadilan HAM Ad Hoc, Pengadilan Hak Asasi Manusia dan
Pengadilan Negeri adalah ketiga lembaga tersebut adalah sama-sama memiliki kewenangan
untuk mengadili kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia yang terjadi di Indonesia baik yang
tejadi sebelum diundangkannya undang-undang HAM maupun sesudah diberlakukannya
undang-undang HAM.
Perbedaan antara Pengadilan HAM Ad Hoc, Pengadilan HAM dan Pengadilan Negeri
adalah : Pengadilan HAM Ad Hoc adalah suatu lembaga yang dibentuk atas usulan DPR RI
berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden untuk mengadili pelanggaran
HAM berat yang terjadi sebelum diundangkannya undang-undang HAM. Pengadilan HAM
adalah pengadilan khusus terhadap pelanggaran HAM berat. Pengadilan HAM merupakan
pengadilan yang berada di lingkungan peadilan umum yang mempunyai kewenangan untuk
mengadili pelanggaran HAM berat yang dilakukan setelah undang-undang HAM
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
50
diberlakukan. Sedangkan Pengadilan Negeri adalah pengadilan yang mempunyai
kewenangan untuk mengadili kasus-kasus pelanggaran HAM biasa.
B. Masalah Penegakan HAM dan Prospek Jaminannya
Terwujudnya kehidupan masyarakat yang beradab dan demokratis berdasarkan nilainilai asasi kemanusiaan yang universal, dengan memperlihatkan prinsip keseimbangan hak
dan kewajiban individual dan kolektif, serta menghargai keragaman nilai yang hidup dan
berkembang di tengah-tengah masyarakat dalam kerangka Negara Kebangsaan Indonesia
merupakan harapan kita bersama..
Untuk itu diperlukan usaha-usaha untuk mewujudkan masyarakat yang beradab dan
demokratis sebagaimana tersebut dalam uraian di atas. Masyarakat diharapkan dapat
memberdayakan diri dengan cara: a). Penyadaran hak, kewajiban dan tanggung jawab, b)
Aktualisasi diri, dan c). Partisipasi dalam pembuatan, implementasi dan kontrol terhadap
kebijakan publik secara individual maupun kolektif.
Rendahnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang HAM serta kurangnya
kemampuan untuk memperjuangkan hak-hak tersebut merupakan salah satu problematika
penegakan HAM pada masyarakat. Rendahnya pengetahuan akan menyebabkan terjadinya
pelanggaran atas hak-hak orang lain, seta tidak adanya upaya untuk menghentikan
pelanggaran oleh pelaku tersebut. Ini pada gilirannya aka sampai pada sebuah pertanyaan
yaitu bagaimana mengembangkan kesadaran masyarakat akan hak-hak asasinya, kemampuan
untuk melaksanakan, dan memperjuangkan hak-haknya.
1. Problem Ideologi
Ideologi memainkan peran yang sangat sentral dalam kehidupan sosial, ekonomi dan
politik masyarakat. Ideologi dapat menentukan warna dan dinamika kehidupan berbangsa dan
bernegara. Ideologi menjadi penuntun dan arah dari pandangan, sikap dan tindakan seseorang
atau sekelompok orang dalam masyarakat, baik secara horisontal maupun secara vertikal.
Termasuk di dalamnya adalah menentukan sifat hubungan dan interaksi sosial dan
kekuasaan yang mewujudkan pada perilaku sosial dan politik individu maupun kelompok
dalam masyarakat. Oleh karena itu, karakter substansial, penerjemahan serta implementasi
dari suatu ideologi akan sangat menentukan karakter hubungan kekuasaan dan interaksi sosial
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
51
masyarakat bersangkutan. Ideologi yang mengandung elemen-elemen baik dari sisi
konseptual, substansi maupun dari sisi penerjemahan dan implementasi yang negatif terhadap
terwujudnya masyarakat yang beradab dan demokratis akan cenderung berdampak negatif
pula terhadap perwujudan masyarakat yang beradab dan demokratis tersebut.
Jika melihat konsep, substansi, karakter dan implementasi ideologi nasional Indonesia
dari konsepsi di atas, maka ada tiga masalah mendasar yang dipandang telah menjadi sumber
utama persoalan HAM di Indonesia.
Militerisme. Walaupun tidak semua sifat militerisme tersebut buruk, tetapi sulit
dibantah bahwa militerisme telah menjadi salah satu sumber masalah utama pelanggaran
HAM di Indonesia. Militerisme ini telah merasuk ke hampir seluruh aspek kehidupan
masyarakat, baik itu di sekolah, birokrasi, partai politik, organisasi massa dan lain-lain.
Manifestasi dari berbagai bentuk militerisme di berbagai tempat tersebut dapat dilihat dari
tumbuh dan berkembangnya praktek-praktek seragamisasi, upacara, indoktrinisasi nilai-nilai
tertentu, penerapan sistem yang sangat hirarkis serta yang paling penting kecenderungan
untuk dengan mudah menggunakan tindakan kekerasan (use of violence).
Otoriterisme. Sifat otoriterisme merupakan salah satu sifat yang sangat dominan yang
tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Indonesia. Sifat ini tumbuh dan berkembang
secara menonjol dalam keluarga, sekolah, partai politik, ormas dan birokrasi. Dalam
keluarga, misalnya, sikap otoriterisme ini terlihat dari kebiasaan oran tua (terutama ayah)
sebagai orang yang paling tahu segala sesuatunya dalam keluarga tersebut ("father knows
best"). Dalam masyarakat sikap otoriterisme tersebut tampak dari berkembangnya sikapsikap "authoritarian personality", "self-rightness", "personalisme" yaitu sikap yang tidak
mau dikomandani oleh orang lain serta sikap-sikap ketergantungan. Di samping itu, sikap
otoriterisme tersebut juga dapat dilihat dari kecenderungan munculnya sikap stigmatisasi
antara satu individu dengan individu dan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya
dalam masyarakat.
Patriarkisme. Sikap yang mengutamakan laki-laki berkembang dalam masyarakat
dewasa ini merupakan salah satu sifat yang diyakini telah menjadi sumber lemahnya
penegakkan HAM di Indonesia. sikap mengutamakan laki-laki tersebut terlihat jelas dari
kecenderungan meluasnya iklan yang mengeksploitasi citra seksual perempuan dan laki-laki,
adanya division of labor, peluang yang tidak fair dalam rekruetmen dan ketimpangan upah
antara pekerja wanita dan pekerja laki-laki, bias sosialisasi gender, meluasnya domestic
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
52
violence dan sexual harrasment. Sebagaimana halnya dengan sikap militerisme dan
otoriterisme, sikap patriaki ini juga dirasakan telah tumbuh dan berkembang dalam hampir
seluruh aspek kehidupan masyarakat. Sikap semacam itu, misalnya, tumbuh subur dan
berkembang di lembaga-lembaga formal maupun nor-formal, dalam kebanyakan individual
dan kelompok seperti di sekolah, birokrasi, korporasi, partai politik, ormas dan bahkan di
lembaga-lembaga keagamaan.
2. Problem Kultural
Ada tiga aspek kultural mendasar yang dipandang telah menjadi sumber utama
lemahnya penegakkan HAM di Indonesia.
Pertama, budaya patron-client. Diyakini bahwa budaya patron-client telah mendorong
tumbuh dan berkembangnya sikap-sikap yang kurang kondusif terhadap penegakkan HAM.
Misalnya tindakan kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN). Sikap semacam itu terbukti telah
menyusup ke hampir semua lapisan masyarakat seperti di birokrasi, sekolah, parpol, ormas
dan lain-lain.
Kedua, ketidakmandirian. Budaya ketidak-mandirian merupakan sikap lain yang juga
dapat berimplikasi terhadap penegakkan HAM. Budaya semacam ini misalnya telah menjadi
penyebab dari munculnya sikap-sikap negatif seperti sikap submissive, risk avoidance, not
assertive serta tidak decissive. Munculnya sikap-sikap semacam itu dengan mudah dapat
ditemukan di beberapa tempat seperti di sekolah, birokrasi, parpol, ormas dll.
Ketiga, apatisme. Sebagaimana sikap ketidakmandirian, sikap apatis juga dapat
menjadi sumber utama munculnya permasalahan pelanggaran HAM. Sikap apatis, misalnya,
telah memungkinkan dan memberi peluang bagi munculnya sikap-sikap turunan lainnya yang
berimplikasi negatif terhadap penegakkan HAM. Misalnya sikap permissive, ignorance serta
tidak memiliki atau lemahnya public commitment seseorang atau sekelompok orang.
3. Problem Struktural
Sulit dibantah bahwa salah satu penyebab pelanggaran HAM adalah bersifat
struktural, yaitu :
Pertama, dari negara atau pemerintah itu sendiri. Ini sangat ironis, negara yang
sebenarnya dibentuk untuk melindungi warganya dari setiap pelanggaran HAM, justru
menjadi penyebab atau aktor yang melakukan pelanggaran itu sendiri. Sifat negara yang
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
53
cenderung untuk berperan secara decisive dan bersifat intervensif, kecenderungan monopoli
kebenaran, homogenisasi sentralisasi serta abuse of power telah menjadi penyebab
munculnya pelanggaran HAM dalam masyarakat. Hal ini terbukti di mana pelanggaran HAM
yang banyak terjadi umumnya selalu ditandai oleh keterlibatan yang terlalu besar dan
intervensif dari negara terhadap kehidupan masyarakatnya.
Kedua, kapital. Persoalan-persoalan struktural yang berkembang dalam dekade
terakhir ini tidak dapat dilepaskan dari perkembangan kapitalisme modern di dunia
internasional. Bahkan, dapat dikatakan kapitalisme telah menjadi agen perubahan secara
mendasar dan revolusioner, apapun maknanya. Demikian besarnya peran kapitalisme ini
dalam kehidupan masyarakat, sehingga bahkan dalam banyak hal jauh lebih kuat dan
berpengaruh dibandingkan negara itu sendiri. Posisi yang kuat tersebut mempunyai potensi
dan bahkan terbukti telah memberikan peluang bagi terjadinya pelanggaran hak-hak
fundamental masyarakat. Sifat eksploitatif seperti eksploitasi terhadap pekerja seperti
tercermin dari penekanan upah buruh, pengabaian jam dan kondisi kerja adalah sebagian dari
contoh dampak negatif dari kapitalisme tersebut. Di samping itu, kapitalisme juga memiliki
watak abuse of resources yang berakibat pada perusakan lingkungan, penghancuran hak-hak
lokal dan sebagainya yang kesemuanya berdampak negatif terhadap HAM.
C. Menanggapi Kasus-kasus Pelanggaran HAM di Indonesia
Kasus–kasus pelanggaran HAM di Indonesia sebagaimana telah dikemukakan di
depan membawa berbagai akibat. Akibat itu, misalnya menjadikan masyarakat dan bangsa
Indonesia sangat menderita dan mengancam integrasi nasional.
Bagaimana kita menanggapi kasus kasus pelanggaran HAM di Indonesia? Sebagai
warga negara yang baik harus ikut serta secara aktif (berpartisipasi) dalam memecahkan
berbagai masalah yang dihadapi bangsa dan negaranya, termasuk masalah pelanggaran HAM.
Untuk itu tanggapan yang dapat dikembangkan misalnya : bersikap tegas tidak membenarkan
setiap pelanggaran HAM. Alasannya:
a. dilihat dari segi moral merupakan perbuatan tidak baik yakni bertentangan dengan
nilai–nilai kemanusiaan;
b. di lihat dari segi hukum, bertentangan dengan prinsip hukum yang mewajibkan bagi
siapapun untuk menghormati dan mematuhi instrumen HAM;
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
54
c. dilihat dari segi politik membelenggu kemerdekaan bagi setiap orang untuk melakukan
kritik dan control terhadap pemerintahannya. Akibat dari kendala ini, maka
pemerintahan yang demokratis sulit untuk di wujudkan.
Disamping tanggapan kita terhadap pelanggaran HAM berupa sikap tersebut di atas,
juga bisa berupa perilaku aktif. Perilaku aktif yakni berupa ikut menyelesaikan masalah
pelanggaran HAM di Indonesia, sesuai dengan kemampuan dan prosedur yang dibenarkan.
Hal ini sesuai dengan amanat konstitusi kita (dalam Pembukaan UUD 1945) bahwa
kemerdekaan yang diproklamasikan adalah dalam rangka mengembangkan kehidupan yang
bebas. Juga sesuai dengan “Deklarasi Pembela HAM” yang dideklarasikan oleh Majelis
Umum PBB pada tangal 9 Desember 1998. Isi deklarasi itu antara lain menyatakan “setiap
orang mempunyai hak secara sendiri–sendiri maupun bersama–sama untuk ikut serta dalam
kegiatan menentang pelanggaran HAM”. Dengan kata lain tanggapan terhadap pelanggaran
HAM di Indonesia dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk, yakni :
a. Mengutuk, misalnya dalam bentuk tulisan yang dipublikasikan melalui majalah sekolah,
surat kabar, dikirim ke lembaga pemerintah atau pihak– pihak yang terkait dengan
pelanggaran HAM. Bisa juga kecaman/kutukan itu dalam bentuk poster, dan
demonstrasi secara tertib.
b. Mendukung upaya lembaga yang berwenang untuk menindak secara tegas pelaku
pelanggaran HAM. Misalnya mendukung digelarnya peradilan HAM, mendukung
upaya penyelesaian melalui lembaga peradilan HAM internasional, apabila peradilan
HAM nasional mengalami jalan buntu.
c. Mendukung dan berpartisipasi dalam setiap upaya yang dilakukan pemerintah dan
masyarakat untuk memberikan bantuan kemanusiaan. Bantuan kemanusiaan itu bisa
berwujud makanan, pakaian, obat-obatan atau tenaga medis. Partisipasi juga bisa
berwujud usaha menggalang pengumpulan dan penyaluran berbagai bantuan
kemanusiaan.
d. Mendukung upaya terwujudnya jaminan restitusi, kompensasi, dan rehabilitasi bagi para
korban pelanggaran HAM. Restitusi merupakan ganti rugi yang dibebankan pada para
pelaku baik untuk korban atau keluarganya. Jika restitusi dianggap tidak mencukupi,
maka harus diberikan kompensasi, yaitu kewajiban negara untuk memberikan ganti rugi
pada korban atau keluarganya. Di samping restitusi dan kompensasi, korban juga
berhak mendapat rehabilitasi yang bias bersifat psikologis, medis, dan fisik. Rehabilitasi
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
55
psikologis misalnya pembinaan kesehatan mental untuk terbebas dari trauma, stres dan
gangguan mental yang lain. Rehabilitasi medis, yaitu berupa jaminan pelayanan
kesehatan. Sedangkan rehabilitasi fisik bias berupa pembangunan kembali sarana dan
prasarana, seperti perumahan, air minum, perbaikan jalan, dan lain–lain.
D. Contoh Kasus Pelanggaran HAM dan Upaya Penegakannya
Kasus pelanggaran HAM dapat terjadi di lingkungan apa saja, termasuk di lingkungan
sekolah. Sebagai tindakan pencegahan maka di lingkungan sekolah antara lain perlu
dikembangkan
sikap
dan
perilaku
jujur,
saling
menghormati,
persaudaraan
dan
menghindarkan dari berbagai kebiasaan melakukan tindakan kekerasan atau perbuatan tercela
yang lain. Misalnya, dengan mengembangkan nilai-nilai budaya lokal yang sangat mulia.
Sebagai contoh masyarakat Sulawesi Selatan menganut budaya “Siriq”. Budaya ini
mengedepankan sikap sipakatau atau saling menghormati serta malu berbuat tidak wajar di
depan umum.
Contoh lain tentang pelanggaran HAM dan bagaimana upaya penegakannya, kalian
dapat melihat pada Tabel 2.
Tabel 2.
Kasus Pelanggaran dan Penyelesaiannya
N
o
1
Nama
Kasus
Peristiwa
Tanjung
Priok
Tahun Jumlah
Korban
1984
74
2
Penculikan
Aktivis
1998
1998
23
3
Darurat
Militer I
dan II
20032004
1326
Konteks
Penyelesaian
Penekanan (represi)
terhadap massa yang
berdemonstrasi menolak
asas tunggal Pancasila di
Jakarta
Penculikan dan
penghilangan paksa bagi
aktivis prodemokrasi oleh
TNI
Pengadilan HAM ad hoc
di Jakarta, tahun 2003
– 2004.
Kegagalan perundingan
damai antara RI dan GAM
direspon dengan kebijakan
darurat militer
Pengadilan militer bagi
pelaku (Tim Mawar)
dan Dewan Kehormatan
Perwira bagi beberapa
jenderal.
Sejumlah anggota TNI
dihukum, dan statusnya
diturunkan menjadi
darurat sipil.
Upaya penegakan terhadap kasus pelanggaran HAM tergantung pada apakah
pelanggaran HAM itu masuk kategori berat atau bukan. Apabila berat, maka penyelesaiannya
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
56
melalui Peradilan HAM, namun apabila pelanggaran HAM bukan berat melalui Peradilan
Umum.
Kita sebagai manusia dan sekaligus sebagai warga negara yang baik, bila melihat atau
mendengar terjadinya pelanggaran HAM sudah seharusnya memiliki kepedulian. Meskipun
pelanggaran itu tidak mengenai diri kalian atau keluarga kalian. Kita sebagai sesama anak
bangsa harus peduli terhadap korban pelanggaran HAM atas sesamanya. Baik korban itu
anak, wanita, laki – laki, berbeda agama, suku dan daerah semua itu saudara kita. Saudara
kita di Merauke – Papua menyatakan “IZAKOD BEKAI IZAKOD KAI” (satu hati satu
tujuan) .
Kepedulian kita terhadap penegakan HAM merupakan amanah dari nilai Pancasila
yakni kemanusiaan yang adil dan beradab yang sama – sama kita junjung tinggi, karena akan
dapat menghantarkan sebagai bangsa yang beradab. Oleh karena itu sikap tidak peduli harus
dihindari.
6. MENGHARGAI UPAYA PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA
Upaya perlindungan HAM penekanannya pada berbagai tindakan pencegahan
terhadap terjadinya pelanggaran HAM. Perlindungan HAM terutama melalui pembentukan
instrumen hukum dan kelembagaan HAM. Juga dapat melalui berbagai faktor yang berkaitan
dengan upaya pencegahan HAM yang dilakukan individu maupun masyarakat dan negara.
Negara-lah yang memiliki tugas utama untuk melindungi warga negaranya termasuk hak- hak
asasinya.
Sebagaimana hal ini dinyatakan dalam Pembukaan UUD 1945, yang pada intinya
tujuan NKRI adalah : (1) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia; (2) memajukan kesejahteraan umum; (3) mencerdaskan kehidupan bangsa; (4) ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan sosial. Kapan jaminan perlindungan HAM dinyatakan telah di laksanakan?
Meskipun di Indonesia telah ada jaminan secara konstitusional maupun telah dibentuk
lembaga untuk penegakanya, tetapi belum menjamin bahwa hak asasi manusia dilaksanakan
dalam kenyataan kehidupan sehari–hari atau dalam pelaksanaan pembangunan. Lukman
Soetrisno seorang sosiolog, mengajukan indikator bahwa suatu pembangunan telah
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
57
melaksanakan hak–hak asasi manusia apabila telah menunjukkan adanya indikator-indikator,
sebagai berikut :
1. dalam bidang politik berupa kemauan pemerintah dan masyarakat untuk mengakui
pluralisme pendapat dan kepentingan dalam masyarakat;
2. dalam bidang sosial berupa perlakuan yang sama oleh hukum antara wong cilik dan
priyayi dan toleransi dalam masyarakat terhadap perbedaan atau latar belakang agama
dan ras warga negara Indonesia, dan
3. dalam bidang ekonomi dalam bentuk tidak adanya monopoli dalam sistem ekonomi
yang berlaku.
Ketiga indikator tersebut jika dipakai untuk melihat pelaksanaan pembangunan di
Indonesia dewasa ini di bidang politik, sosial dan ekonomi masih jauh dari yang diharapkan.
Kehidupan politik masih cenderung didominasi konflik antar elit politik sering berimbas pada
konflik dalam masyarakat (konflik horizontal) dan elit politik lebih memperhatikan
kepentingan diri/kelompoknya, sementara kepentingan masyarakat sebagai konstiuennya
diabaikan. Ingat berkecamuknya konflik di Ambon, Poso, konflik prokontra pemekaran
provinsi di Papua, dan konflik antar simpatisan partai politik (akhir Oktober 2003) di Bali.
Di bidang hukum masih terlihat lemahnya penegakan hukum, banyak pejabat yang
melakukan pelanggaran hukum sulit dijamah oleh hukum, sementara ketika pelanggaran itu
dilakukan oleh wong cilik hokum tampak begitu kuat cengkeramannya. Dalam masyarakat
juga masih tampak kurang adanya toleransi terhadap perbedaan agama, ras konflik. Berbagai
konflik dalam masyarakat paling tidak dipermukaan masih sering terdapat nuansa SARA.
Sedangkan di bidang ekonomi masih tampak dikuasai oleh segelintir orang (konglomerat)
yang menunjukkan belum adanya kesempatan yang sama untuk berusaha.
Kondisi tersebut merupakan salah satu factor mengapa Indonesia begitu sulit untuk
keluar dari krisis politik, ekonomi dan sosial. Ini berarti harus diakui bahwa dalam
pelaksanaan hak asasi manusia masih banyak terjadi pelanggaran dalam berbagai bidang
kehidupan.
Pelanggaran baik dilakukan oleh penguasa maupun masyarakat, namun ada
kecenderungan pihak penguasa lebih dominan, karena sebagai pemegang kekuasaan dapat
secara leluasa untuk memenuhi kepentingan yang seringkali dilakukan dengan cara–cara
manipulasi sehingga mengorbankan hak – hak pihak lain. Seperti kebijakan pemerintah
mengenai impor beras, dirasakan sangat merugikan para petani.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
58
Dalam bentuk kegiatan seperti apa menghargai upaya perlindungan HAM?
Menghargai upaya perlindungan HAM dapat diwujudkan dalam berbagai kegiatan untuk
mencegah terjadinya pelanggaran HAM. Berbagai kegiatan yang dapat dimasukan dalam
upaya perlindungan HAM antara lain:
1. Kegiatan belajar bersama, berdiskusi untuk memahami pengertian HAM;
2. Mempelajari peraturan perundang–undangan mengenai HAM maupun peraturan
hukum pada umumnya, karena peraturan hukum yang umum pada dasarnya juga telah
memuat jaminan perlindungan HAM;
3. Mempelajari tentang peran lembaga–lembaga perlindungan HAM, seperti Komnas
HAM, Komisi Nasional Perlindungan Anak (KNPA), LSM, dan seterusnya;
4. Memasyarakatkan tentang pentingnya memahami dan melaksanakan HAM, agar
kehidupan bersama menjadi tertib, damai dan sejahtera kepada lingkungan masing–
masing;
5. Menghormati hak orang lain, baik dalam keluarga, kelas, sekolah, pergaulan, maupun
masyrakat;
6. Bertindak dengan mematuhi peraturan yang berlaku di keluarga, kelas, sekolah, OSIS,
masyarakat, dan kehidupan bernegara;
7. Berbagai kegiatan untuk mendorong agar Negara mencegah berbagai tindakan anti
pluralism (kemajemukan etnis, budaya, daerah, dan agama);
8. Berbagai kegiatan untuk mendorong aparat penegak hukum bertindak adil;
9. Berbagai kegiatan yang mendorong agar negara mencegah kegiatan yang dapat
menimbulkan kesengsaraan rakyat untuk memenuhi kebutuhan dasarnya seperti,
sandang, pangan, papan, kesehatan dan pendidikan.
7. MENGHARGAI UPAYA PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA
Bagaimana upaya penegakan HAM ? Upaya penegakan HAM dapat dilakukan
melalui jalur hukum dan politik. Maksudnya terhadap berbagai pelanggaran HAM maka
upaya menindak para pelaku pelanggaran diselesaikan melalui Pengadilan HAM bagi
pelanggaran HAM berat dan melalui KKR (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi).
Upaya penegakan HAM melalui jalur Pengadilan HAM, mengikuti ketentuanketentuan antara lain, sebagai berikut:
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
59
1. Kewenangan memeriksan dan memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia yang
berat tersebut di atas oleh Pengadilan HAM tidak berlaku bagi pelaku yang berumur di
bawah 18 tahun pada saat kejahatan dilakukan.
2. Terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum diundangkan
UURI No.26 Tahun 2000, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM ad hoc.
Pembentukan Pengadilan HAM ad hoc diusulkan oleh DPR berdasarkan pada dugaan
telah terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dibatasi pada tempat
dan waktu perbuatan tertentu (locus dan tempos delicti ) yang terjadi sebelum
diundangkannya UURI No. 26 Tahun 2000.
3. Agar pelaksanaan Pengadilan HAM bersifat jujur, maka pemeriksaan perkaranya
dilakukan majelis hakim Pengadilan HAM yang berjumlah 5 orang. Lima orang
tersebut, terdiri atas 2 orang hakim dari Pengadilan HAM yang bersangkutan dan 3
orang hakim ad hoc (diangkat di luar hakim karir). Sedang penegakan HAM melalui
KKR penyelesaian pelanggaran HAM dengan cara para pelaku mengungkapkan
pengakuan atas kebenaran bahwa ia telah melakukan pelanggaran HAM terhadap
korban atau keluarganya, kemudian dilakukan perdamaian. Jadi KKR berfungsi
sebagai mediator antara pelaku pelanggaran dan korban atau keluarganya untuk
melakukan penyelesaian lewat perdamaian bukan lewat jalur Pengadilan HAM.
Dalam upaya penegakan HAM peran korban dan saksi sangat menentukan, oleh karena
itu mereka perlu memperoleh jaminan keamanan. Bagaimanakah jaminan terhadap para
korban dan saksi yang berupaya menegakkan HAM ? Dalam rangka memperoleh kebenaran
faktual, maka para korban dan saksi dijamin perlindungan fisik dan mental dari ancaman,
gangguan, teror dan kekerasan dari pihak manapun. Kemudian untuk memenuhi rasa keadilan
maka bagi setiap korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat berhak memperoleh ganti
rugi oleh negara (kompensasi), ganti rugi oleh pelaku atau pihak ketiga (restitusi), pemulihan
pada kedudukan semula, seperti nama baik, jabatan, kehormatan atau hak-hak lain
(rehabilitasi).
Kegiatan seperti apa yang dapat digolongkan sebagai menghargai upaya penegakan
HAM? Secara sederhana ukuran yang dapat dipakai untuk menentukan kegiatan yang dapat
digolongkan (dikategorikan) menghargai upaya penegakan HAM adalah setiap sikap dan
perilaku yang positif untuk mendukung upaya–upaya menindak secara tegas pelaku
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
60
pelanggaran HAM baik melalui jalur hokum maupun melalui jalur politik, seperti KKR,
pemberian rehabilitasi, restitusi, dan kompensasi.
Beberapa contoh kegiatan yang dapat dimasukan menghargai upaya penegakan HAM,
antara lain :
1. Membantu dengan menjadi saksi dalam proses penegakan HAM;
2. Mendukung para korban untuk memperoleh restitusi maupun kompensasi serta
rehabilitasi;
3. Tidak mengganggu jalannya persidangan HAM di Pengadilan HAM;
4. Memberikan informasi kepada aparat penegak hokum dan lembaga–lembaga HAM
bila terjadi pelanggaran HAM;
5. Mendorong untuk dapat menerima cara rekonsiliasi melalui KKR kalau lewat jalan
Peradilan
HAM
mengalami
jalan
buntu,
demi
menghapus
dendam
yang
berkepanjangan yang dapat menghambat kehidupan yang damai dan harmonis dalam
bermasyarakat.
8. DEMOKRASI, HAM, DAN NEGARA
HAM dan demokrasi merupakan konsepsi kemanusiaan dan relasi sosial yang
dilahirkan dari sejarah peradaban manusia di seluruh penjuru dunia. HAM dan demokrasi
juga dapat dimaknai sebagai hasil perjuangan manusia untuk mempertahankan dan mencapai
harkat kemanusiaannya, sebab hingga saat ini hanya konsepsi HAM dan demokrasilah yang
terbukti paling mengakui dan menjamin harkat kemanusiaan.
Konsepsi HAM dan demokrasi dapat dilacak secara teologis berupa relativitas
manusia dan kemutlakan Tuhan. Konsekuensinya, tidak ada manusia yang dianggap
menempati posisi lebih tinggi, karena hanya satu yang mutlak dan merupakan prima facie,
yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Semua manusia memiliki potensi untuk mencapai kebenaran,
tetapi tidak mungkin kebenaran mutlak dimiliki oleh manusia, karena yang benar secara
mutlak hanya Tuhan. Maka semua pemikiran manusia juga harus dinilai kebenarannya secara
relatif. Pemikiran yang mungkin dapat dilakukan secara individual. Akibatnya, muncul
struktur sosial. Dibutuhkan kekuasaan untuk menjalankan organisasi sosial tersebut.
Kekuasaan dalam suatu organisasi dapat diperoleh berdasarkan legitimasi religius,
legitimasi ideologis eliter atau pun legitimasi pragmatis.i Namun kekuasaan berdasarkan
legitimasi-legitimasi tersebut dengan sendirinya mengingkari kesamaan dan kesederajatan
manusia, karena mengklaim kedudukan lebih tinggi sekelompok manusia dari manusia
lainnya. Selain itu, kekuasaan yang berdasarkan ketiga legitimasi diatas akan menjadi
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
61
kekuasaan yang absolut, karena asumsi dasarnya menempatkan kelompok yang memerintah
sebagai pihak yang berwenang secara istimewa dan lebih tahu dalam menjalankan urusan
kekuasaan negara. Kekuasaan yang didirikan berdasarkan ketiga legitimasi tersebut bisa
dipastikan akan menjadi kekuasaan yang otoriter.
Konsepsi demokrasilah yang memberikan landasan dan mekanisme kekuasaan
berdasarkan prinsip persamaan dan kesederajatan manusia. Demokrasi menempatkan
manusia sebagai pemilik kedaulatan yang kemudian dikenal dengan prinsip kedaulatan
rakyat. Berdasarkan pada teori kontrak sosial,ii untuk memenuhi hak-hak tiap manusia tidak
mungkin dicapai oleh masing-masing orang secara individual, tetapi harus bersama-sama.
Maka dibuatlah perjanjian sosial yang berisi tentang apa yang menjadi tujuan bersama, batasbatas hak individual, dan siapa yang bertanggungjawab untuk pencapaian tujuan tersebut dan
menjalankan perjanjian yang telah dibuat dengan batas-batasnya. Perjanjian tersebut
diwujudkan dalam bentuk konstitusi sebagai hukum tertinggi di suatu negara (the supreme
law of the land), yang kemudian dielaborasi secara konsisten dalam hukum dan kebijakan
negara. Proses demokrasi juga terwujud melalui prosedur pemilihan umum untuk memilih
wakil rakyat dan pejabat publik lainnya.
Konsepsi HAM dan demokrasi dalam perkembangannya sangat terkait dengan
konsepsi negara hukum. Dalam sebuah negara hukum, sesungguhnya yang memerintah
adalah hukum, bukan manusia. Hukum dimaknai sebagai kesatuan hirarkis tatanan norma
hukum yang berpuncak pada konstitusi. Hal ini berarti bahwa dalam sebuah negara hukum
menghendaki adanya supremasi konstitusi. Supremasi konstitusi disamping merupakan
konsekuensi dari konsep negara hukum, sekaligus merupakan pelaksanaan demokrasi karena
konstitusi adalah wujud perjanjian sosial tertinggi.
Selain itu, prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat dapat menjamin peran serta
masyarakat dalam proses pengambilan keputusan, sehingga setiap peraturan perundangundangan yang diterapkan dan ditegakkan benar-benar mencerminkan perasaan keadilan
masyarakat. Hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak boleh ditetapkan
dan diterapkan secara sepihak oleh dan atau hanya untuk kepentingan penguasa. Hal ini
bertentangan dengan prinsip demokrasi. Hukum tidak dimaksudkan untuk hanya menjamin
kepentingan beberapa orang yang berkuasa, melainkan menjamin kepentingan keadilan bagi
semua orang. Dengan demikian negara hukum yang dikembangkan bukan absolute
rechtsstaat, melainkan democratische rechtsstaat.
Sebagaimana telah berhasil dirumuskan dalam naskah Perubahan Kedua UUD 1945,
ketentuan mengenai hak-hak asasi manusia telah mendapatkan jaminan konstitusional yang
sangat kuat dalam Undang-Undang Dasar. Sebagian besar materi Undang-Undang Dasar ini
sebenarnya berasal dari rumusan Undang-Undang yang telah disahkan sebelumnya, yaitu UU
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
62
tentang Hak Asasi Manusia. Jika dirumuskan kembali, maka materi yang sudah diadopsikan
ke dalam rumusan Undang-Undang Dasar 1945 mencakup 27 materi berikut:
1. Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.
2. Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan
yang sah.
3. Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi iii.
4. Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan
berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.
5. Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan
dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di
wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.
6. Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap,
sesuai dengan hati nuraninya.
7. Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
8. Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan
pribadi dan lingkungan sosialnya serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran
yang tersedia.
9. Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan
harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan
dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak
asasi.
10. Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat
martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain.
11. Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan
lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
12. Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh
kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.
13. Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara
utuh sebagai manusia yang bermartabat.
14. Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil
alih secara sewenang-wenang oleh siapapun.
15. Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak
mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni
dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.
16. Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
63
untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya.
17. Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil
serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
18. Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan
layak dalam hubungan kerja.
19. Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan.
20. Negara, dalam keadaan apapun, tidak dapat mengurangi hak setiap orang untuk hidup, hak
untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak
diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut
atas dasar hukum yang berlaku surut.
21.
Negara menjamin penghormatan atas identitas budaya dan hak masyarakat tradisional
selaras dengan perkembangan zaman dan tingkat peradaban bangsa.
22. Negara menjunjung tinggi nilai-nilai etika dan moral kemanusiaan yang diajarkan oleh setiap
agama, dan menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk dan menjalankan
ajaran agamanya.
23. Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung
jawab negara, terutama pemerintah.
24. Untuk memajukan, menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip
negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur dan
dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.
25. Untuk menjamin pelaksanaan Pasal 4 ayat (5) tersebut di atas, dibentuk Komisi Nasional Hak
Asasi Manusia yang bersifat independen menurut ketentuan yang diatur dengan undang-undang.
26. Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
27.
Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada
pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk
menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk
memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama,
keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Jika ke-27 ketentuan yang sudah diadopsikan ke dalam Undang-Undang Dasar
diperluas dengan memasukkan elemen baru yang bersifat menyempurnakan rumusan yang
ada, lalu dikelompokkan kembali sehingga mencakup ketentuan-ketentuan baru yang belum
dimuat di dalamnya, maka rumusan hak asasi manusia dalam Undang-Undang Dasar dapat
mencakup lima kelompok materi sebagai berikut:
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
64
1. Kelompok Hak-Hak Sipil yang dapat dirumuskan menjadi:
a. Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan kehidupannya.
b. Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, perlakuan atau penghukuman lain
yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat kemanusiaan.
c. Setiap orang berhak untuk bebas dari segala bentuk perbudakan.
d. Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya.
e. Setiap orang berhak untuk bebas memiliki keyakinan, pikiran dan hati nurani.
f.
Setiap orang berhak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum.
g. Setiap orang berhak atas perlakuan yang sama di hadapan hukum dan pemerintahan.
h. Setiap orang berhak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut.
i.
Setiap orang berhak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui
perkawinan yang sah.
j.
Setiap orang berhak akan status kewarganegaraan.
k. Setiap orang berhak untuk bebas bertempat tinggal di wilayah negaranya, meninggalkan
dan kembali ke negaranya.
l.
Setiap orang berhak memperoleh suaka politik.
m. Setiap orang berhak bebas dari segala bentuk perlakuan diskriminatif dan berhak
mendapatkan perlindungan hukum dari perlakuan yang bersifat diskriminatif tersebut.
Terhadap hak-hak sipil tersebut, dalam keadaan apapun atau bagaimanapun, negara
tidak dapat mengurangi arti hak-hak yang ditentukan dalam Kelompok 1 “a” sampai dengan “h”.
Namun, ketentuan tersebut tentu tidak dimaksud dan tidak dapat diartikan atau digunakan sebagai dasar untuk membebaskan seseorang dari penuntutan atas pelanggaran hak asasi manusia
yang berat yang diakui menurut ketentuan hukum Internasional. Pembatasan dan penegasan ini
penting untuk memastikan bahwa ketentuan tersebut tidak dimanfaatkan secara semena-mena
oleh pihak-pihak yang berusaha membebaskan diri dari ancaman tuntutan. Justru di sinilah letak
kontroversi yang timbul setelah ketentuan Pasal 28I Perubahan Kedua UUD 1945 disahkan
beberapa waktu yang lalu.
2. Kelompok Hak-Hak Politik, Ekonomi, Sosial dan Budaya
a. Setiap warga negara berhak untuk berserikat, berkumpul dan menyatakan pendapatnya
secara damai.
b. Setiap warga negara berhak untuk memilih dan dipilih dalam rangka lembaga perwakilan
rakyat.
c. Setiap warga negara dapat diangkat untuk menduduki jabatan-jabatan publik.
d. Setiap orang berhak untuk memperoleh dan memilih pekerjaan yang sah dan layak bagi
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
65
kemanusiaan.
e. Setiap orang berhak untuk bekerja, mendapat imbalan, dan mendapat perlakuan yang
layak dalam hubungan kerja yang berkeadilan.
f.
Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi.
g. Setiap warga negara berhak atas jaminan sosial yang dibutuhkan untuk hidup layak dan
memungkinkan pengembangan dirinya sebagai manusia yang bermartabat.
h. Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi.
i.
Setiap orang berhak untuk memperoleh dan memilih pendidikan dan pengajaran.
j.
Setiap orang berhak mengembangkan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan
dan teknologi, seni dan budaya untuk peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan umat
manusia.
k. Negara menjamin penghormatan atas identitas budaya dan hak-hak masyarakat lokal
selaras dengan perkembangan zaman dan tingkat peradaban bangsa iv.
l.
Negara mengakui setiap budaya sebagai bagian dari kebudayaan nasional.
m. Negara menjunjung tinggi nilai-nilai etika dan moral kemanusiaan yang diajarkan oleh
setiap agama, dan menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk dan
menjalankan ajaran agamanya v.
3. Kelompok Hak-Hak Khusus dan Hak Atas Pembangunan
a. Setiap warga negara yang menyandang masalah sosial, termasuk kelompok masyarakat
yang terasing dan yang hidup di lingkungan terpencil, berhak mendapat kemudahan dan
perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan yang sama.
b. Hak perempuan dijamin dan dilindungi untuk mencapai kesetaraan gender dalam
kehidupan nasional.
c. Hak khusus yang melekat pada diri perempuan yang dikarenakan oleh fungsi
reproduksinya dijamin dan dilindungi oleh hukum.
d. Setiap anak berhak atas kasih sayang, perhatian dan perlindungan orangtua, keluarga,
masyarakat dan negara bagi pertumbuhan fisik dan mental serta perkembangan
pribadinya.
e. Setiap warga negara berhak untuk berperan serta dalam pengelolaan dan turut menikmati
manfaat yang diperoleh dari pengelolaan kekayaan alam.
f.
Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat.
g. Kebijakan, perlakuan atau tindakan khusus yang bersifat sementara dan dituangkan
dalam
peraturan
perundangan-undangan
yang
sah
yang
dimaksudkan
untuk
menyetarakan tingkat perkembangan kelompok tertentu yang pernah mengalami
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
66
perlakuan diskriminasi dengan kelompok-kelompok lain dalam masyarakat, dan perlakuan
khusus sebagaimana ditentukan dalam ayat (1) pasal ini, tidak termasuk dalam pengertian diskriminasi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 ayat (13).
4. Tanggungjawab Negara dan Kewajiban Asasi Manusia
a. Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
b. Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk pada pembatasan
yang ditetapkan oleh undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin
pengakuan dan penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain serta untuk memenuhi
tuntutan keadilan sesuai dengan nilai-nilai agama, moralitas dan kesusilaan, keamanan
dan ketertiban umum dalam masyarakat yang demokratis.
c. Negara bertanggungjawab atas perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan
hak-hak asasi manusia.
d. Untuk menjamin pelaksanaan hak asasi manusia, dibentuk Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia yang bersifat independen dan tidak memihak yang pembentukan, susunan dan
kedudukannya diatur dengan undang-undang.
Ketentuan-ketentuan yang memberikan jaminan konstitusional terhadap hak-hak asasi
manusia itu sangat penting dan bahkan dianggap merupakan salah satu ciri pokok dianutnya
prinsip negara hukum di suatu negara. Namun di samping hak-hak asasi manusia, harus pula
dipahami bahwa setiap orang memiliki kewajiban dan tanggungjawab yang juga bersifat
asasi. Setiap orang, selama hidupnya sejak sebelum kelahiran, memiliki hak dan kewajiban
yang hakiki sebagai manusia. Pembentukan negara dan pemerintahan, untuk alasan apapun,
tidak boleh menghilangkan prinsip hak dan kewajiban yang disandang oleh setiap manusia.
Karena itu, jaminan hak dan kewajiban itu tidak ditentukan oleh kedudukan orang sebagai
warga suatu negara. Setiap orang di manapun ia berada harus dijamin hak-hak dasarnya. Pada
saat yang bersamaan, setiap orang di manapun ia berada, juga wajib menjunjung tinggi hakhak asasi orang lain sebagaimana mestinya. Keseimbangan kesadaran akan adanya hak dan
kewajiban asasi ini merupakan ciri penting pandangan dasar bangsa Indonesia mengenai
manusia dan kemanusiaan yang adil dan beradab.
Bangsa Indonesia memahami bahwa The Universal Declaration of Human Rights
yang dicetuskan pada tahun 1948 merupakan pernyataan umat manusia yang mengandung
nilai-nilai universal yang wajib dihormati. Bersamaan dengan itu, bangsa Indonesia juga
memandang bahwa The Universal Declaration of Human Responsibility yang dicetuskan oleh
Inter-Action Council pada tahun 1997 juga mengandung nilai universal yang wajib dijunjung
tinggi untuk melengkapi The Universal Declaration of Human Rights tersebut. Kesadaran
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
67
umum mengenai hak-hak dan kewajiban asasi manusia itu menjiwai keseluruhan sistem
hukum dan konstitusi Indonesia, dan karena itu, perlu diadopsikan ke dalam rumusan
Undang-Undang Dasar atas dasar pengertian-pengertian dasar yang dikembangkan sendiri
oleh bangsa Indonesia. Karena itu, perumusannya dalam Undang-Undang Dasar ini
mencakup warisan-warisan pemikiran mengenai hak asasi manusia di masa lalu dan mencakup pula pemikiran-pemikiran yang masih terus akan berkembang di masa-masa yang akan
datang.
A. Perkembangan Demokrasi dan HAM
Sejak awal abad ke-20, gelombang aspirasi ke arah kebebasan dan kemerdekaan umat
manusia dari penindasan penjajahan meningkat tajam dan terbuka dengan menggunakan
pisau demokrasi dan hak asasi manusia sebagai instrumen perjuangan yang efektif dan
membebaskan. Puncak perjuangan kemanusiaan itu telah menghasilkan perubahan yang
sangat luas dan mendasar pada pertengahan abad ke-20 dengan munculnya gelombang
dekolonisasi di seluruh dunia dan menghasilkan berdiri dan terbentuknya negara-negara baru
yang merdeka dan berdaulat di berbagai belahan dunia. Perkembangan demokratisasi kembali
terjadi dan menguat pasca perang dingin yang ditandai runtuhnya kekuasaan komunis Uni
Soviet dan Yugoslavia. Hal ini kemudian diikuti proses demokratisasi di negara-negara dunia
ketiga pada tahun 1990-an.
Semua peristiwa yang mendorong munculnya gerakan kebebasan dan kemerdekaan
selalu mempunyai ciri-ciri hubungan kekuasaan yang menindas dan tidak adil, baik dalam
struktur hubungan antara satu bangsa dengan bangsa yang lain maupun dalam hubungan
antara satu pemerintahan dengan rakyatnya. Dalam wacana perjuangan untuk kemerdekaan
dan hak asasi manusia pada awal sampai pertengahan abad ke-20 yang menonjol adalah
perjuangan mondial bangsa-bangsa terjajah menghadapi bangsa-bangsa penjajah. Karena itu,
rakyat di semua negara yang terjajah secara mudah terbangkitkan semangatnya untuk secara
bersama-sama menyatu dalam gerakan solidaritas perjuangan anti penjajahan.
Sedangkan yang lebih menonjol selama paruh kedua abad ke-20 adalah perjuangan
rakyat melawan pemerintahan yang otoriter. Wacana demokrasi dan kerakyatan di suatu
negara, tidak mesti identik dengan gagasan rakyat di negara lain yang lebih maju dan
menikmati kehidupan yang jauh lebih demokratis. Karena itu, wacana demokrasi dan hak
asasi manusia di zaman sekarang juga digunakan, baik oleh kalangan rakyat yang merasa
tertindas maupun oleh pemerintahan negara-negara lain yang merasa berkepentingan untuk
mempromosikan demokrasi dan hak asasi manusia di negara-negara lain yang dianggap tidak
demokratis.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
68
Karena itu, pola hubungan kekuasaan antar negara dan aliansi perjuangan di zaman
dulu dan sekarang mengalami perubahan struktural yang mendasar. Dulu, hubungan
internasional diperankan oleh pemerintah dan rakyat dalam hubungan yang terbagi antara
hubungan Government to Government (G to G) dan hubungan People to People (P to P).
Sekarang, pola hubungan itu berubah menjadi bervariasi, baik G to G, P to P maupun G to P
atau P to G. Semua kemungkinan bisa terjadi, baik atas prakarsa institusi pemerintahan
ataupun atas prakarsa perseorangan rakyat biasa. Bahkan suatu pemerintahan negara lain
dapat bertindak untuk melindungi warga-negara dari negara lain atas nama perlindungan hak
asasi manusia.
Dengan perkataan lain, masalah pertama yang kita hadapi dewasa ini adalah bahwa
pemahaman terhadap konsep hak asasi manusia itu haruslah dilihat dalam konteks relationalistic perspectives of power yang tepat. Bahkan, konsep hubungan kekuasaan itu
sendiripun juga mengalami perubahan berhubung dengan kenyataan bahwa elemen-elemen
kekuasaan itu dewasa ini tidak saja terkait dengan kedudukan politik melainkan juga terkait
dengan kekuasaan-kekuasaan atas sumber-sumber ekonomi, dan bahkan teknologi dan
industri yang justru memperlihatkan peran yang makin penting dewasa ini. Oleh karena itu,
konsep dan prosedur-prosedur hak asasi manusia dewasa ini selain harus dilihat dalam
konteks hubungan kekuasaan politik, juga harus dikaitkan dengan konteks hubungan
kekuasaan ekonomi dan industri.
Dalam kaitan dengan itu, pola hubungan kekuasaan dalam arti yang baru itu dapat
dilihat sebagai hubungan produksi yang menghubungkan antara kepentingan produsen dan
kepentingan konsumen. Dalam era industrialisasi yang terus meningkat dengan bantuan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang terus meningkat dewasa ini, dinamika proses produksi dan
konsumsi ini terus berkembang di semua sektor kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan
umat manusia dewasa ini. Kebijakan politik, misalnya, selain dapat dilihat dengan kacamata
biasa, juga dapat dilihat dalam konteks produksi. Negara, dalam hal ini merupakan produsen,
sedangkan rakyat adalah konsumennya. Karena itu, hak asasi manusia di zaman sekarang
dapt dipahami secara konseptual sebagai hak konsumen yang harus dilindungi dari eksploitasi demi keuntungan dan kepentingan sepihak kalangan produsen.
Dalam hubungan ini, konsep dan prosedur hak asasi manusia mau tidak mau harus
dikaitkan dengan persoalan-persoalan:
1. Struktur kekuasaan dalam hubungan antar negara yang dewasa ini dapat dikatakan sangat
timpang, tidak adil, dan cenderung hanya menguntungkan negara-negara maju ataupun
negara-negara yang menguasai dan mendominasi proses-proses pengambilan keputusan
dalam berbagai forum dan badan-badan internasional, baik yang menyangkut kepentingan-kepentingan politik maupun kepentingan-kepentingan ekonomi dan kebudayaan.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
69
2. Struktur kekuasaan yang tidak demokratis di lingkungan internal negara-negara yang
menerapkan sistem otoritarianisme yang hanya menguntungkan segelintir kelas penduduk
yang berkuasa ataupun kelas penduduk yang menguasai sumber-sumber ekonomi.
3. Struktur hubungan kekuasaan yang tidak seimbang antara pemodal dengan pekerja dan
antara pemodal beserta manajemen produsen dengan konsumen di setiap lingkungan
dunia usaha industri, baik industri primer, industri manufaktur maupun industri jasa.
Beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya pola hubungan “atas-bawah”,
baik pada peringkat lokal, nasional, regional maupun global antara lain adalah faktor
kekayaan dan sumber-sumber ekonomi, kewenangan politik, tingkat pendidikan atau
kecerdasan rata-rata, penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, citra atau nama baik, dan
kekuatan fisik termasuk kekuatan militer. Makin banyak faktor-faktor tersebut di atas
dikuasai oleh seseorang, atau sekelompok orang ataupun oleh suatu bangsa, makin tinggi pula
kedudukannya dalam stratifikasi atau peringkat pergaulan bersama. Di pihak lain, makin
tinggi peringkat seseorang, kelompok orang ataupun suatu bangsa di atas orang lain atau
kelompok lain atau bangsa lain, makin besar pula kekuasaan yang dimilikinya serta makin
besar pula potensinya untuk memperlakukan orang lain itu secara sewenang-wenang demi
keuntungannya sendiri. Dalam hubungan-hubungan yang timpang antara negara maju dengan
negara berkembang, antara suatu pemerintahan dengan rakyatnya, dan bahkan antara
pemodal atau pengusaha dengan konsumennya inilah dapat terjadi ketidakadilan yang pada
gilirannya mendorongnya munculnya gerakan perjuangan hak asasi manusia dimana-mana.
Karena itu, salah satu aspek penting yang tak dapat dipungkiri berkenaan dengan persoalan
hak asasi manusia adalah bahwa persoalan ini berkaitan erat dengan dinamika perjuangan
kelas (meminjam istilah Karl Marx) yang menuntut keadilan.
Sering dikemukakan bahwa pengertian konseptual hak asasi manusia itu dalam
sejarah instrumen hukum internasional setidak-tidaknya telah melampaui tiga generasi
perkembangan. Ketiga generasi perkembangan konsepsi hak asasi manusia itu adalah:vi
Generasi Pertama, pemikiran mengenai konsepsi hak asasi manusia yang sejak lama
berkembang dalam wacana para ilmuwan sejak era enlightenment di Eropa, meningkat
menjadi dokumen-dokumen hukum internasional yang resmi. Puncak perkembangan generasi
pertama hak asasi manusia ini adalah pada persitiwa penandatanganan naskah Universal
Declaration of Human Rightsvii Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1948 setelah
sebelumnya ide-ide perlindungan hak asasi manusia itu tercantum dalam naskah-naskah
bersejarah di beberapa negara, seperti di Inggris dengan Magna Charta dan Bill of Rights, di
Amerika Serikat dengan Declaration of Independence, dan di Perancis dengan Declaration of
Rights of Man and of the Citizens. Dalam konsepsi generasi pertama ini elemen dasar
konsepsi hak asasi manusia itu mencakup soal prinsip integritas manusia, kebutuhan dasar
manusia, dan prinsip kebebasan sipil dan politik.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
70
Pada perkembangan selanjutnya yang dapat disebut sebagai hak asasi manusia
Generasi Kedua, di samping adanya International Couvenant on Civil and Political
Rights,viii konsepsi hak asasi manusia mencakup pula upaya menjamin pemenuhan kebutuhan
untuk mengejar kemajuan ekonomi, sosial dan kebudayaan, termasuk hak atas pendidikan,
hak untuk menentukan status politik, hak untuk menikmati ragam penemuan penemuan-penemuan ilmiah, dan lain-lain sebagainya. Puncak perkembangan kedua ini tercapai dengan
ditandatanganinya International Couvenant on Economic, Social and Cultural Rightsix pada
tahun 1966.
Kemudian pada tahun 1986, muncul pula konsepsi baru hak asasi manusia yaitu
mencakup pengertian mengenai hak untuk pembangunan atau rights to development. Hak atas
atau untuk pembangunan ini mencakup persamaan hak atau kesempatan untuk maju yang
berlaku bagi segala bangsa, dan termasuk hak setiap orang yang hidup sebagai bagian dari
kehidupan bangsa tersebut. Hak untuk atau atas pembangunan ini antara lain meliputi hak
untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan, dan hak untuk menikmati hasil-hasil pembangunan tersebut, menikmati hasil-hasil dari perkembangan ekonomi, sosial dan kebudayaan,
pendidikan, kesehatan, distribusi pendapatan, kesempatan kerja, dan lain-lain sebagainya.
Konsepsi baru inilah yang oleh para ahli disebut sebagai konsepsi hak asasi manusia
Generasi Ketiga.
Namun demikian, ketiga generasi konsepsi hak asasi manusia tersebut pada pokoknya
mempunyai karakteristik yang sama, yaitu dipahami dalam konteks hubungan kekuasaan
yang bersifat vertikal, antara rakyat dan pemerintahan dalam suatu negara. Setiap
pelanggaran terhadap hak asasi manusia mulai dari generasi pertama sampai ketiga selalu
melibatkan peran pemerintah yang biasa dikategorikan sebagai crime by government yang
termasuk ke dalam pengertian political crime (kejahatan politik) sebagai lawan dari
pengertian crime against government (kejahatan terhadap kekuasaan resmi). Karena itu, yang
selalu dijadikan sasaran perjuangan hak asasi manusia adalah kekuasaan represif negara
terhadap rakyatnya. Akan tetapi, dalam perkembangan zaman sekarang dan di masa-masa
mendatang, sebagaimana diuraikan di atas dimensi-dimensi hak asasi manusia itu akan
berubah makin kompleks sifatnya.
Persoalan hak asasi manusia tidak cukup hanya dipahami dalam konteks hubungan
kekuasaan yang bersifat vertikal, tetapi mencakup pula hubungan-hubungan kekuasaan yang
bersifat horizontal, antar kelompok masyarakat, antara golongan rakyat atau masyarakat, dan
bahkan antar satu kelompok masyarakat di suatu negara dengan kelompok masyarakat di
negara lain.
Konsepsi baru inilah yang saya sebut sebagai konsepsi hak asasi manusia Generasi
Keempat seperti telah saya uraikan sebagian pada bagian terdahulu. Bahkan sebagai
alternatif, menurut pendapat saya, konsepsi hak asasi manusia yang terakhir inilah yang justru
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
71
tepat disebut sebagai Konsepsi HAM Generasi Kedua, karena sifat hubungan kekuasaan yang
diaturnya memang berbeda dari konsepsi-konsep HAM sebelumnya. Sifat hubungan
kekuasaan dalam konsepsi Generasi Pertama bersifat vertikal, sedangkan sifat hubungan
kekuasaan dalam konsepsi Generasi Kedua bersifat horizontal. Dengan demikian, pengertian
konsepsi HAM generasi kedua dan generasi ketiga sebelumnya cukup dipahami sebagai
perkembangan varian yang sama dalam tahap pertumbuhan konsepsi generasi pertama.
Menjelang berakhirnya abad ke-20, kita menyaksikan munculnya beberapa fenomena
baru yang tidak pernah ada ataupun kurang mendapat perhatian di masa-masa sebelumnya.
Pertama, kita menyaksikan munculnya fenomena konglomerasi berbagai perusahaan
berskala besar dalam suatu negara yang kemudian berkembang menjadi Multi National
Corporations (MNC’s) atau disebut juga Trans-National Corporations (TNC’s) dimana-mana
di dunia. Fenomena jaringan kekuasaan MNC atau TNC ini merambah wilayah yang sangat
luas, bahkan jauh lebih luas dari jangkauan kekuasaan negara, apalagi suatu negara yang
kecil yang jumlahnya sangat banyak di dunia. Dalam kaitannya dengan kekuasaan perusahaan-perusahaan besar ini, yang lebih merupakan persoalan kita adalah implikasi-implikasi
yang ditimbulkan oleh kekuasaan modal yang ada di balik perusahaan besar itu terhadap
kepentingan konsumen produk yang dihasilkannya. Dengan perkataan lain, hubungan
kekuasaan yang dipersoalkan dalam hal ini adalah hubungan kekuasaan antara produsen dan
konsumen. Masalahnya adalah bagaimana hak-hak atau kepentingan-kepentingan konsumen
tersebut dapat dijamin, sehingga proses produksi dapat terus dikembangkan dengan tetap
menjamin hak-hak konsumen yang juga harus dipandang sebagai bagian yang penting dari
pengertian kita tentang hak asasi manusia.
Kedua, abad ke-20 juga telah memunculkan fenomena Nations without State, seperti
bangsa Kurdi yang tersebar di berbagai negara Turki dan Irak; bangsa Cina Nasionalis yang
tersebar dalam jumlah yang sangat besar di hampir semua negara di dunia; bangsa Persia
(Iran), Irak, dan Bosnia yang terpaksa berkelana kemana-mana karena masalah-masalah
politik yang mereka hadapi di negeri asal mereka. Persoalan status hukum kewarganegaraan
bangsa-bangsa yang terpaksa berada di mana-mana tersebut, secara formal memang dapat
diatasi menurut ketentuan hukum yang lazim. Misalnya, bangsa Kurdi yang tinggal di Irak
Utara sudah tentu berkewar ganegaraan Irak, mereka yang hidup dan menetap di Turki tentu
berkewarganegaraan Turki, dan demikian pula mereka yang hidup di negara-negara lain
dapat menikmati status keawarganegaraan di negara mana mereka hidup. Akan tetapi,
persoalan kebangsaan mereka tidak serta merta terpecahkan karena pengaturan hukum secara
formal tersebut.
Ketiga, dalam kaitannya dengan fenomena pertama dan kedua di atas, mulai
penghujung abad ke-20 telah pula berkembang suatu lapisan sosial tertentu dalam setiap
masyarakat di negara-negara yang terlibat aktif dalam pergaulan internasional, yaitu
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
72
kelompok orang yang dapat disebut sebagai global citizens. Mereka ini mula-mula berjumlah
sedikit dan hanya terdiri dari kalangan korps diplomatik yang membangun kelompok
pergaulan tersendiri. Di kalangan mereka ini berikut keluarganya, terutama para diplomat
karir yang tumbuh dalam karir diplomat yang berpindah-pindah dari satu negara ke negara
lain, terbentuk suatu jaringan pergaulan tersendiri yang lama kelamaan menjadi suatu kelas
sosial tersendiri yang terpisah dari lingkungan masyarakat yang lebih luas. Sebagai contoh, di
setiap negara, terdapat apa yang disebut dengan diplomatic shop yang bebas pajak, yang
secara khusus melayani kebutuhan para diplomat untuk berbelanja. Semua ini memperkuat
kecenderungan munculnya kelas sosial tersendiri yang mendorong munculnya kehidupan
baru di kalangan sesama diplomat.
Bersamaan dengan itu, di kalangan para pengusaha asing yang menanamkan modal
sebagai investor usaha di berbagai negara, juga terbentuk pula suatu kelas sosial tersendiri
seperti halnya kalangan korps diplomatik tersebut. Bahkan, banyak di antara para pekerja
ataupun pengusaha asing tugasnya terus menerus di luar negeri, berpindah-pindah dari satu
negara ke negara lain, yang jangkauan pergaulan mereka lebih cocok untuk menyatu dengan
dunia kalangan diplomat seperti tersebut di atas, daripada bergaul dengan penduduk asli dari
negara-negara tempat mereka bekerja ataupun berusaha. Dari kedua kelompok bisnis dan
diplomatik inilah muncul fenomena baru di kalangan banyak warga dunia, meskipun secara
resmi memiliki status kewarganegaraan tertentu, tetapi mobilitas mereka sangat dinamis,
seakan-akan menjadi semacam global citizens yang bebas bergerak ke mana-mana di seluruh
dunia.
Keempat, dalam berbagai literatur mengenai corporatisme negara, terutama di
beberapa negara yang menerapkan prosedur federal arrangement, dikenal adanya konsep
corporate federalism sebagai sistem yang mengatur prinsip representasi politik atas dasar
pertimbangan-pertimbangan ras tertentu ataupun pengelompokan kultural penduduk. Pembagian kelompok English speaking community dan French speaking community di Kanada,
kelompok Dutch speaking community dan German speaking community di Belgia, dan
prinsip representasi politik suku-suku tertentu dalam kamar parlemen di Austria, dapat
disebut sebagai corporate federalism dalam arti luas. Kelompok-kelompok etnis dan kultural
tersebut diperlakukan sebagai suatu entitas hukum tersendiri yang mempunyai hak politik
yang bersifat otonom dan karena itu berhak atas representasi yang demokratis dalam institusi
parlemen. Pengaturan entitas yang bersifat otonom ini, diperlukan seakan-akan sebagai suatu
daerah otonom ataupun sebagai suatu negara bagian yang bersifat tersendiri, meskipun
komunitas-komunitas tersebut tidak hidup dalam suatu teritorial tertentu. Karena itu,
pengaturan demikian ini biasa disebut dengan corporate federalism.
Keempat fenomena yang bersifat sosio-kultural tersebut di atas dapat dikatakan
bersifat sangat khusus dan membangkitkan kesadaran kita mengenai keragaman kultural yang
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
73
kita warisi dari masa lalu, tetapi sekaligus menimbulkan persoalan mengenai kesadaran
kebangsaan umat manusia yang selama ini secara resmi dibatasi oleh batas-batas teoritorial
satu negara. Sekarang, zaman sudah berubah. Kita memasuki era globalisasi, di mana ikatan
batas-batas negara yang bersifat formal itu berkembang makin longgar. Di samping ikatanikatan hukum kewarganegaraan yang bersifat formal tersebut, kesadaran akan identitas yang
dipengaruhi oleh faktor-faktor historis kultural juga harus turut dipertimbangkan dalam
memahami fenomena hubungan-hubungan kemanusiaan di masa mendatang. Oleh karena itu,
dimensi-dimensi hak asasi manusia di zaman sekarang dan apalagi nanti juga tidak dapat
dilepaskan begitu saja dari perubahan corak-corak pengertian dalam pola-pola hubungan
yang baru itu.
Dengan perkataan lain, hubungan-hubungan kekuasaan di zaman sekarang dan nanti,
selain dapat dilihat dalam konteks yang bersifat vertikal dalam suatu negara, yaitu antara
pemerintah dan rakyatnya, juga dapat dilihat dalam konteks hubungan yang bersifat
horizontal sebagaimana telah diuraikan pada bagian pertama tulisan ini. Konteks hubungan
yang bersifat horizontal itu dapat terjadi antar kelompok masyarakat dalam satu negara dan
antara kelompok masyarakat antar negara. Di zaman industri sekarang ini, corak hubungan
yang bersifat horizontal tersebut untuk mudahnya dapat dilihat sebagai proses produksi dalam
arti yang seluas-luasnya, yaitu mencakup pula pengertian produksi dalam konteks hubungan
kekuasaan yang bersifat vertikal, dimana setiap kebijakan pemerintahan dapat disebut sebagai
produk yang dikeluarkan oleh pemerintah yang merupakan produsen, sedangkan rakyat
banyak merupakan pihak yang mengkonsumsinya atau konsumennya. Demikian pula setiap
perusahaan adalah produsen, sedangkan produk dibeli dan dikonsumsi oleh masyarakat
konsumennya. Dengan perkataan lain, hak konsumen dalam arti yang luas ini dapat disebut
sebagai dimensi baru hak asasi manusia yang tumbuh dan harus dilindungi dari kemungkinan
penyalahgunaan atau tindakan-tindakan sewenang-wenang dalam hubungan kekuasaan yang
bersifat horizontal antara pihak produsen dengan konsumennya.
Perkembangan konsepsi yang terakhir ini dapat disebut sebagai perkembangan
konsepsi hak asasi manusia generasi kelima dengan ciri pokok yang terletak dalam
pemahaman mengenai struktur hubungan kekuasaan yang bersifat horizontal antara produsen
yang memiliki segala potensi dan peluang untuk melakukan tindakan-tindakan sewenangwenang terhadap pihak konsumen yang mungkin diperlakukan sewenang-wenang dan tidak
adil. Kita semua harus menyadari perubahan struktur hubungan kekuasaan ini, sehingga tidak
hanya terpaku pada kemungkinan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia dalam pengertian
konvensional saja. Hanya dengan menyadari perubahan ini kita dapat menawarkan
pemecahan dalam perjuangan kolektif untuk menegakkan dan memajukan hak asasi manusia
di masa yang akan datang.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
74
B. Kewajiban Perlindungan dan Pemajuan HAM
Konsepsi HAM yang pada awalnya menekankan pada hubungan vertikal, terutama
dipengaruhi oleh sejarah pelanggaran HAM yang terutama dilakukan oleh negara, baik
terhadap hak sipil-politik maupun hak ekonomi, sosial, dan budaya. Sebagai konsekuensinya,
disamping karena sudah merupakan tugas pemerintahan, kewajiban utama perlindungan dan
pemajuan HAM ada pada pemerintah. Hal ini dapat kita lihat dari rumusan-rumusan dalam
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan
Politik, serta Konvenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, yang
merupakan pengakuan negara terhadap hak asasi manusia sebagaimana menjadi substansi
dari ketiga instrumen tersebut. Konsekuensinya, negara-lah yang terbebani kewajiban
perlindungan dan pemajuan HAM. Kewajiban negara tersebut ditegaskan dalam konsideran
“Menimbang” baik dalam Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik maupun
Konvenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Dalam hukum nasional,
Pasal 28I ayat (4) UUD 1945 menyatakan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan, dan
pemenuhan HAM adalah tanggungjawab negara, terutama Pemerintah.
Dengan berkembangnya konsepsi HAM yang juga meliputi hubungan-hubungan
horisontal mengakibatkan perluasan kategori pelanggaran HAM dan aktor pelanggarnya. Hak
atas informasi dan hak partisipasi dalam pembangunan misalnya tidak hanya menjadi
kewajiban negara, tetapi juga menjadi tanggungjawab korporasi-korporasi yang dalam
aktivitasnya bersinggungan dengan kehidupan masyarakat. Keberadaan perusahaanperusahaan mau tidak mau membawa dampak dalam kehidupan masyarakat yang sering kali
mengakibatkan berkurangnya hak asasi manusia.
Persinggungan antara Korporasi dengan Hak Asasi Manusia paling tidak terkait
dengan hak atas lingkungan yang bersih dan sehat, hak atas ketersediaan dan aksesibilitas
terhadap sumber daya alam dan hak-hak pekerja. Secara lebih luas struktur hubungan
kekuasaan yang bersifat horizontal antara produsen juga memiliki potensi dan peluang
terjadinya tindakan-tindakan sewenang-wenang terhadap pihak konsumen yang mungkin
diperlakukan sewenang-wenang dan tidak adil.
Maka pelanggaran HAM tidak hanya dapat dilakukan oleh negara. Dalam pola relasi
kekuasaan horisontal peluang terjadinya pelanggaran HAM lebih luas dan aktor pelakunya
juga meliputi aktor-aktor non negara, baik individu maupun korporasi. Karena itulah memang
sudah saatnya kewajiban dan tanggungjawab perlindungan dan pemajuan HAM juga ada
pada setiap individu dan korporasi. Hal ini juga telah dinyatakan dalam “Declaration on the
Right and Responsibility of Individuals, Groups, and Organs of Society to Promote and
Protect Universally Recognized Human Rights and Fundamental Freedom” pada tahun 1998.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
75
Kewajiban dan tanggungjawab tersebut menjadi semakin penting mengingat masalah
utama yang dihadapi umat manusia bukan lagi sekedar kejahatan kemanusiaan, genosida,
ataupun kejahatan perang. Permasalahan yang dihadapi umat manusia saat ini lebih bersifat
mengakar, yaitu kemiskinan dan keterbelakangan, yang mau tidak mau harus diakui sebagai
akibat eksploitasi atau paling tidak ketidakpedulian sisi dunia lain yang mengenyam
kekayaan dan kemajuan. Kewajiban dan tanggungjawab korporasi dalam bentuk Corporate
Social Responsibility terutama dalam Community Development, tidak seharusnya sekedar
dimaknai sebagai upaya membangun citra. Kewajiban dan tanggungjawab tersebut lahir
karena komitmen kemanusiaan. Kewajiban tersebut juga lahir karena kesadaran bahwa
aktivitas korporasi, secara langsung maupun tidak, telah ikut menciptakan ketimpangan,
kemiskinan, dan keterbelakangan. Tanpa peran serta korporasi, upaya menciptakan dunia
yang lebih baik, dunia yang bebas dari kelaparan dan keterbelakangan akan sulit dilakukan
mengingat kekuasaan korporasi yang sering kali melebihi kemampuan suatu negara.
C. Alternatif Pemecahan Masalah Penegakan HAM di Indonesia
Alternatif pemecahan masalah HAM di Indonesia dibuat berdasarkan pada sejumlah
tempat yang di identifikasi memiliki potensi kuat menghambat upaya penegakan demokrasi
dan HAM sebagaimana yang dikemukakan diatas. Oleh karena itu upaya yang harus
dilakukan untuk mendukung penegakan ham di Indonesia diantaranya ialah:
a. Sosialisasi HAM di lingkungan pendidikan sekolah
b. Sosialisasi HAM di lingkungan partai politik
c. Sosialisasi HAM di lingkungan organisasi kemasyarakatan
d. Sosialisasi HAM di lingkungan media massa
e. Sosialisasi HAM di lingkungan masyarakat
f. Sosialisasi HAM di lingkungan keluarga
Dengan diarahkannya sosialisasi HAM pada tujuh tempat strategis tersebut,
diharapkan nantinya Sosialisasi HAM yang dijalankan akan lebih efektif, sehingga dapat
membuahkan hasil yang signifikan bagi peningkatan martabat dan kesejahteraan umat
manusia, khususnya bangsa Indonesia.
Dampak dari terealisasinya Sosialisasi Hak Asasi Manusia yang dilakukan tahap
pertama ini adalah :
Format pendidikan politik untuk bangsa Indonesia akan memungkinkan terjadinya
pembentukan dan pemeliharaan sinergi antar Penyelenggara Pemerintahan dan masyarakat
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
76
Jawa Barat. Kehidupan masyarakat yang beradab dan demokratis dengan landasan nilai-nilai
asasi yang universal akan terwujud. Masyarakat Indonesia akan mampu memberdayakan diri
melalui penyadaran hak dan tanggung jawab. Aktualisasi diri dan partisipasi masyarakat akan
tumbuh dan berkembang. Peran Pemerintah akan lebih mengarah pada proses memfasilitasi
masyarakat melalui kebijakan dan tindakan yang responsif dan akomodatif.
Dampak eksternal dari sosialisasi HAM secara tidak langsung membawa beberapa
pengaruh baik di tingkat lokal, regional maupun global. Pengaruh sosialisasi HAM di tingkat
lokal dalam hal ini pada kehidupan masyarakat yakni tumbuhnya kesadaran diri akan hak dan
kewajibannya secara proporsional dalam berinteraksi dengan individu lainnya yang secara
tidak langsung mengurangi adanya pelanggaran HAM di masyarakat.
Dalam komunitas regional, sosialisi HAM akan membawa dampak yang signifikan
pada masyarakat Indonesia dalam menegakan nilai-nilai HAM secara stabil dan demokratis.
Hal ini akan mendorong terwujudnya stabilitas dan keamanan. Kondisi yang demikian itu
akan kondusif bagi tumbuhnya kerja sama dalam semua aspek kehidupan.
Dengan letak geografis Indonesia yang strategis serta berpenduduk besar di kawasan
Asia Tenggara, maka negara Indonesia dalam tataran global sangat berpengaruh. Oleh karena
itu, kondisi stabilitas, penegakan HAM, serta demokratisasi merupakan merupakan barometer
di Tingkat Internasional tentang kondisi Asia pada umumunya. Hal ini membawa dampak
positif bagi bangsa Indonesia, karena negara lain akan mudah menjalin kerjasama
internasional yang intens dalam berbagai bidang untuk kemajuan bersama.
Dalam upaya penegakan HAM di Indonesia, Pemerintah telah berupaya untuk
mengeluarkan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Peradilan HAM. UU tersebut berupakan
pijakan utama yang selama ini dipakai untuk mengadili berbagai pelanggaran HAM yang
terjadi di Indonesia. Namun dalam pelaksanaannya UU no 26 tahun 2000 ini masih belum
dapat dilaksanakan sepenuhnya, karena berbagai faktor yang mempengaruhinya seperti faktor
idiologi, faktor budaya dan faktor struktural (bidokrasi), sehingga penegakan HAM
memerlukan pengkajian yang lebih luas dan mendalam dengan melihat ketiga paktor itu.
Selain masalah tersebut, penegakan HAM juga berkaitan dengan masih adanya
kelemahan dari UU No. 26 tahun 2000. seperti diungkapkan oleh Muladi, Sistem peradilan
Hak Asasi Manusia (HAM) atas dasar UU Nomor 26 tahun 2000 mengandung banyak
kelemahan. Ada kekhawatiran hasil peradilan atas pelanggaran HAM dengan menggunakan
undang-undang ini tidak sesuai harapan. Kelemahan undang-undang tersebut, diantaranya
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
77
ialah meskipun UU tersebut banyak mengadopsi norma-norma hukum internasional, seperti
International Crime Court (ICC), hanya mengambil sebagian. Pengambilannya juga tidak
sistematis dan banyak menghilangkan hal-hal yang penting. Hal-hal penting yang tidak
terambil seperti tidak masuknya kejahatan perang, perlindungan saksi yang tidak maksimal,
dan hukum acaranya yang masih menggunakan hukum acara KUHP. Selain itu, UU No. 26
tahun 2000 tidak secara tuntas memperhitungkan konsekuensi penyesuaian jenis-jenis tindak
pidana yang diatur dalam UU Nomor 26 tahun 2000 dengan Statuta Roma.
Berdasarkan uraian tersebut nampak jelas bahwa penegakan HAM di Indonesia
bertitik tolak kepada UU No. 26 tahun 2000. oleh karena itu harus ada upaya untuk merevisi
undang-undang tersebut dalam rangka memperkecil kelemahan-kelemahan yang ada dalam
UU No. 26 tahun 2000 sehingga penegakan HAM di Indonesia sejalan dengan yang kita
harapkan.
9. PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA (HAM) DALAM TRANSISI DEMOKRASI
INDONESIA
Dewasa ini bangsa kita di era transisi demokrasi (reformasi) paling tidak paradigma
politik hukum negara terutama dalam proses penegakan HAM telah mengalami
perkembangan yang cukup signifikan dalam kaitannya dengan pembaharuan hukum. Jika
sebelum era reformasi, pembaharuan hukum diartikan sebagai usaha sistematik untuk
menggantikan (merubah) berbagai produk hukum kolonial dengan produk hukum nasional,
maka sekarang, selain upaya tersebut juga telah dilakukan pula upaya-upaya sistematik
dengan melakukan demokratisasi sistem hukum.
Demokratisasi sistem hukum ini berupa langkah-langkah mendasar dalam sistem
ketatanegaraan kita antara lain: amandemen konstitusi (UUD 1945), mengatur sistem politik,
menciptakan good governance, melakukan promosi dan perlindungan HAM, meningkatkan
partisipasi masyarakat dan sebagainya.
Dalam konteks nasional (Indonesia) yang menjadi peroblema teoretis dalam transisi
demokrasi Indonesia adalah apresiasi kita terhadap kemungkinan penerapan teori HAM
universal dan teori HAM partikularistik (relativisme) apalagi ketika dikaitkan dengan proses
penegakan HAM.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
78
Menurut Satya Arinanto (2003:91) dalam perspektif umum menurut teori universal
bahwa HAM dapat diperlakukan secara universal kepada setiap orang tanpa memadang
lokasi geografisnya sementara kalangan relatifisme budaya berpendapat tidak ada suatu HAM
yang bersifat universal dan teori hukum alam mengabaikan dasar masyarakat dari identitas
individu sebagai manusia, karena seorang manusia selalu menjadi produk dari beberapa
lingkungan sosial budaya.
Pemberlakuan kedua teori HAM tersebut tanpaknya masing-masing mengalami
kendala. Karena realitasnya negara-negara dengan latar belakang yang berbeda-beda
memiliki pandangan yang berbeda pula dalam penegakan HAMnya. Menurut Rhoda E,
Howard (2000:3) pada dasawarsa 1990-an ada lima tantangan teoretis terhadap prinsip
(teori) HAM universal yaitu 1) kapitalisme radikal; 2) tradisionalisme; 3) konservatisme
reaksioner; 4) kolektivisme kiri; 5) status radicalism.
Kapitalisme radikal itu menolak prinsip hak ekonomi karena tidak relevan dan
idealistis. Hanya hak sipil dan politik yang dianggap sebagai HAM sejati. Sementara kaum
tradisionalisme berpandangan bahwa masyarakat tradisional harus diperbolehkan melanggar
HAM manakala hak itu bertentangan dengan aturan-aturan tradisional tentang perilaku sosial
yang tertata.
Kaum konservatisme reaksioner menganggap bahwa individualisme yang berlebihan
berlawanan dengan tatanan sosial meskipun mereka setuju dengan kaum minimalis sosial
bahwa keamanan ekonomi adalah masalah perjuangan pribadi bukan hak asasi manusia yang
harus dilindungi oleh negara. Untuk kaum kolektivisme kiri, HAM yang paling penting
adalah penentuan diri sendiri dan pembebasan dari kontrol negara-negara barat serta
perusahaan-perusahaan multinasional. Bagi mereka konsepsi HAM ideal adalah suatu bentuk
imperialisme budaya. Tantangan kaum ini adalah menemukan jalan ke pembahasan mutakhir
tentang hak rakyat atau hak kelompok yang dipertentangkan dengan hak individu. Sedangkan
kaum status radicalism berpendapat bahwa dalam praktek, kelompok-kelompok manusia
tertentu diingkari hak asasinya secara menyeluruh karena identitas atau status sosialnya.
Tantangan tersebut semakin kuat pada saat negara (terutama negara yang sedang
berkembang) memahami bahwa pelaksanaan HAM dalam pembagunan itu bersifat relatif
dengan memperhatikan perbedaan-perbedaan kultural antarbangsa. Perbedaan kultur ini bisa
terjadi karena adanya keragaman pengalaman historis, budaya politik, persoalan etnik-agamaras, struktur kelas, tingkat kemajuan ekonomi, ideologi dan lain-lain.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
79
Namun universalisme HAM tetap mendapat respon dari negara-negara maju karena
menurut Scott Davidson (1994:56) argumen paling kuat untuk mendukung diperlakukannya
beberapa hak sebagai hak asasi terletak pada fakta bahwa dalam ICCPR dan Konvensi HAM
Regional Eropa, Amerika dan Afrika, hak-hak tertentu digambarkan sebagai hak yang tidak
boleh dilanggar dalam artian hak-hak ini tidak boleh dikurangi sekalipun pada masa perang
atau darurat di negaranya. Hak-hak yang masuk dalam daftar ini adalah hak untuk hidup,
kebebasan dari tindakan penyiksaan, dari perlakuan yang tidak manusiawi dan merendahkan
martabat, kebebasan dari perbudakan atau perhambaan, kebebasan berpikir, berhati nurani
dan beragama.
Berlakunya teori universalisme ini sesungguhnya banyak mempengaruhi konsep
HAM yang dipahami para ahli, seperti yang telah dikemukakan oleh Carold C Gould
(1993:211) bahwa HAM didasarkan pada sifat kemanusiaan dan bahwa karakteristik
fundamental manusia adalah perilaku yang bebas dan individualitas yang sosial. Dalam
konteks ini nampak jika Carold lebih berorientasi mengembangkan konsep kebebasan positif
yang sama sebagai nilai dasar yang darinya pembahasan yang memadai tentang HAM dapat
diturunkan.
Berdasarkan kenyataan itu menarik dicermati pandangan Eep Saefulloh Fatah
(2000:95) bahwa sikap yang paling arif yang dapat kita ambil dalam perdebatan teori HAM
universal dengan relatifisme kultural adalah dengan tetap memperhatikan rumusan HAM
yang dianut secara internasional, mengakomodasi opini masyarakat internasional, menyadari
secara lapang dan terbuka segenap kekurangan-kekurangan kita dalam menegakakkan HAM
di tengah pembangunan, berupaya memperbaikinya sebagai perwujudan komitmen negara
terhadap desakan obyektif masyarakat domestik, sambil tetap menjaga integritas dan
kehormatan bangsa dalam menghadapi potensi kejahatan internasional yang mengancam
yurisdiksi domestik kita.
Implementasi teori HAM itu di Indonesia dapat dilihat dari beberapa produk hukum yang
dihasilkan dalam era transisi demokrasi seperti yang dikemukakan Moh. Mahfud MD
(1998:9) bahwa politik hukum nasional tidak hanya dilihat dari perspektif formal yang
memandang kebijaksanaan hukum dari rumusan-rumusan resmi sebagai produk saja,
melainkan dapat dari latar belakang dan proses keluarnya rumusan-rumusan resmi tersebut
antara lain :
1. Hasil Amandemen UUD 1945, pada Pasal 28 huruf a sampai dengan huruf j.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
80
Sesungguhnya sebelum momentum amandemen UUD 45 itu, apresiasi bangsa
Indonesia tentang HAM telah dimulai oleh para the founding fathers ketika proses
penyusunan UUD. Pada saat itu terjadi perdebatan tentang perlu tidaknya dimasukkan
pasal-pasal HAM dalam konstitusi. Soekarno dan Hatta sebagai tokoh sentral bangsa pada
saat itu berbeda pendapat. Soekarno secara implisit menolak paham individualisme dan
menerima paham kekeluargaan, sementara Hatta meskipun juga menolak individualisme
tetapi menyarankan dimasukkan pasal-pasal HAM dalam konstitusi untuk menghindari
tindakan represif penguasa. Dan hasilnya hanya beberapa pasal saja yang disetujui yang
kemudian pasal-pasal dalam UUD 1945.
Dalam kaitan itu, menarik dicermati pernyataan Moh. Mahfud MD (1999:48) yang
menganggap bahwa formulasi atau politik hukum yang digariskan oleh UUD 1945
tentang HAM cenderung partikularistik dan membuka peluang bagi terjadinya dominasi
(dan reduksi oleh) negara dalam pelaksanaannya dapat dipahami dari sejarah rumusan
UUD 1945 oleh pendiri negara.
Bahkan lebih jauh Moh. Mahfud MD mengemukakan bahwa pewadahan konstitusi
Indonesia UUD 1945, ternyata pelanggaran HAM itu dilakukan melalui politik hukum
yang digariskan oleh UUD 1945 tentang HAM yang merupakan hasil kompromi antara
yang menerima dan yang menolak masuknya konsepsi HAM. Hal ini berakibat pada
terbukanya peluang berbagai masalah HAM dengan undang-undang (UU), terutama yang
berkaitan dengan Pasal 28 UUD 1945 (Sebelum diamandemen). Karena dalam
kenyataannya pemerintah justru membuat UU yang berisi pembenaran bagi pemerintah
untuk melakukan pelanggaran-pelanggaran atas HAM itu sendiri, seperti UU yang
berkaitan dengan pers, keormasan, kepartaian, pemilu dan lembaga perwakilan.
Pemerintah selalu beralasan bahwa semua UU itu telah dibuat secara benar dan
konstitusional sebab pembuatannya didasarkan pada atribusi kewenangan yang diberikan
oleh UUD 1945. Dan dari sudut formalitas prosedural yang juga ditentukan oleh
konstitusi pembuatan berbagai UU itu sah, tetapi esensinya yang ternyata bertentangan
dengan ajaran konstitusionalisme.
Namun sejak Sidang Tahunan MPR (7-18 Agustus 2000) penghormatan dan
perlindungan HAM dalam UUD 1945 semakin jelas ketika amandemen kedua UUD 1945
menetapkan bab khusus tentang HAM dalam Pasal 28 yaitu Pasal 28A sampai Pasal 28J.
Penambahan sejumlah pasal (10 pasal) dalam UUD 1945 merupakan langkah maju dalam
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
81
perlindungan HAM baik dari segi kuantitas (jumlah) pasal yang mengatur HAM maupun
dari segi kualitas materi HAM, karena hampir seluruh substansi HAM dalam segala
dimensi di atur dalam amandemen ini.
2. TAP MPR Nomor XVII Tahun 1998 tentang HAM.
Lahirnya Tap MPR ini didasari oleh realitas bahwa negara Indonesia merupakan
bagian masyarakat dunia patut menghormati hak asasi manusia yang termaktub dalam
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa serta berbagai
instrumen internasional lainnya mengenai HAM.
Formulasi politik hukum HAM dalam TAP MPR ini dapat dilihat dalam Pasal 2 yang
berbunyi “Menugaskan kepada Presiden-RI dan DPR-RI untuk meratifikasi berbagai
instrumen Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang HAM, sepanjang tidak bertentangan
dengan Pancasila dan UUD 1945”.
3. UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Pada prinsipnya lahirnya UU ini merupakan respon terhadap TAP MPR NO.XVII
tahun 1998. Selain itu, dengan UU ini jelas sekali komitmen negara dalam menghormati
dan menjunjung tinggi HAM. Dalam UU ini juga terdapat pengakuan negara atas
keberadaan hukum adat (Pasal 6). Pada sisi ini sesungguhnya kelihatan substansi politik
hukum pemerintah dalam mengawal penegakan HAM seperti yang dinyatakan dalam
Penjelasan Umum bahwa “… materi undang-undang ini disesuaikan juga dengan
kebutuhan hukum masyarakat dan pembangunan hukum nasional yang berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945”.
4. UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Secara hukum, UU ini lahir berdasarkan ketentuan Pasal 104 ayat (1) UU Nomor 39
tahun 1999 yang menyatakan bahwa yang berhak mengadili pelanggaran HAM yang
berat sesuai dengan ketentuan tersebut adalah Pengadilan HAM. Selain itu lahirnya UU
ini sebagai jawaban atas desakan dan keraguan dunia internasional dalam proses
penegakan HAM di Indonesia pasca jajak pendapat Timor-Timur, yang oleh masyarakat
internasional dianggap telah terjadi pelanggaran HAM berat. Terlepas dari motivasi
lahirnya UU ini, negara kita telah menunjukkan politik hukumnya untuk menghormati
dan menjunjung tinggi HAM.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
82
5. Ratifikasi konvensi internasional tentang HAM.
Ratifikasi ini menunjukkan bahwa bangsa Indonesia sebagai bagian masyarakat
internasional memberi perhatian pada upaya penegakan HAM. Ratifikasi itu antara lain :
1) Convention against Torture and Other Cruek, Inhuman or Degrading or Punisment,
melalui UU Nomor 5 Tahun 1998 2) International on the Eleimenation of All From of
Racial Discrimination, melalui UU Nomor 29 tahun 1999; 3) International Convention
Against Apartheid in Sport dengan Keppres Nomor 48 Tahun 1993’; 4) Convention on
the Rights of the Child dengan Keppres Nomor 36 Tahun 1990; 5) Convention No.87 on
Freedom of Association and Protection of The Rights to Organize,melalui Keppres
Nomor 83 tahun 1998.6) ILO Convention No.105 on the Abolition of Forced Labour,
melalui UU Nomor 19 Tahun 1999.7) ILO Convention No.111 on Discrimination in
Respect of Employment and Occuption, melalui UU Nomor 21 Tahun 1999. 8) ILO
Convention No.138 on Minimum Age of Admission to Employment, melalui UU Nomor
20 Tahun 1999.
6. Keppres Nomor 129 Tahun 1998 tentang Rencana Aksi Nasional HAM.
Salah satu formulasi politik hukum HAM pemerintah terlihat dari substansi RANHAM ini adalah maksud dan tujuannya yaitu untuk memberikan jaminan bagi
peningkatan, pemajuan dan perlindungan HAM di Indonesia dengan mempertimbangkan
nilai-nilai adat istiadat, budaya dan agama bangsa Indonesia. Pelaksanaan RAN HAM ini
selama lima tahun dari 1998-2003.
Pada tataran lain, lahirnya UU Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM
merupakan langkah yang sangat maju bagi proses penegakan HAM dalam transisi
demokrasi di Indonesia. Lahirnya UU ini juga berarti kasus-kasus pelanggaran HAM
masa lalu dapat diadili di Pengadilan HAM (Pasal 43) meskipun UU ini hanya mengatur
pelanggaran HAM berat yaitu Kejahatan Genosida dan Kejahatan Kemanusiaan.
Untuk mengadili kasus-kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia dengan payung
hukum hukum UU ini tentu saja tidak mudah. Menurut Eddy Djunaedi K (2003:91)
setidaknya ada tujuh permasalahan yang dihadapi Pengadilan HAM yaitu :
1. Tidak lengkapnya peraturan perundang-undangan mengenai Pengadilan HAM di
Indonesia.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
83
2. Kurang terjaminnya saksi dalam penyampaian kesaksian di persidangan, terlebih
dengan belum terlaksananya tata cara persidangan yang tertutup dalam hal-hal
khusus.
3. Pembatasan waktu penahanan dan penyelesaian perkara di Pengadilan HAM, padahal
yang diperiksa adalah kejahatan yang termasuk kategori kejahatan internasional yang
serius yang memerlukan waktu pemeriksaan yang relatif lama.
4. Tidak meratanya pemahaman HAM Hakim dan pejabat lainnya.
5. Sulitnya memanggil terdakwa dan saksi-saksi yang berada di luar negeri
6. Kurang terjaminnya ketertiban dan keamanan dalam melaksanakan persidanganpersidangan
7. Belum lengkapnya sarana penunjang pengadilan
Sementara menurut Romli Atmasasmita (2001:139) mewujudkan suatu pengadilan
HAM tidaklah semudah menuliskannya atau mengucapkannya karena lima hal yaitu:
pertama, masalah pelanggaran HAM merupakan peristiwa baru bagi bangsa Indonesia;
kedua, suatu pelanggaran HAM tidak identik dengan kejahatan biasa; ketiga, lembaga yang
sudah ada belum terbiasa menangani pelanggaran HAM dan yurisprudensi hukum
internasional dalam kasus pelanggaran HAM belum banyak dari Mahkamah Ad Hoc,
keempat, larangan pemakaian penafsiran analogi dalam sistem hukum pidana, kelima,
tuntutan masyarakat internasional melalui PBB agar serius menangani kasus pelanggaran
HAM
Alasan ini ada benarnya, karena sampai saat ini hanya ada beberapa kasus yang secara
limitatif diperintahkan diajukan ke Pengadilan diantaranya melalui Keppres Nomor 96 Tahun
2001 yaitu kasus pelanggaran yang terjadi di Timor-Timur dalam wilayah Liquica, Dili dan
Soae pada bulan April 1999 dan September 1999 dan yang terjadi di Tanjung Priok pada
bulan September 1984. Padahal dari hasil penelitian Eko Pasetyo (2003:170) dalam kurun
waktu dua dasawarsa begitu banyak pelanggaran HAM yang terjadi seperti peristiwa
Penembakan Misterius (Petrus) dengan korban sipil tewas 10.000, peristiwa Tanjung Priok
dengan korban 50 tewas, 16 hilang, 63 luka-luka, peristiwa Nipah Sampang Madura dengan
korban tewas 4 orang, peristiwa penculikan aktivis 12 orang dinyatakan hilang dan lain-lain.
Bahkan menurut Landry Haryo Subianto (2000:146) bahwa ada ribuan kasus
pelanggaran HAM yang terjadi selama kurun waktu 1960-an sampai tahun 1990-an. Kasuskasus itu terangkum dalam tiga tema utama, yaitu pertama, tindakan kekerasan yang
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
84
dilakukan oleh aparat negara, kedua, bentuk pelanggaran HAM yang terjadi sebagai ekses
kolusi antara aparat pemerintah dengan kalangan bisnis pada umumnya menimpa sektor
pertambangan, kehuatanan dan industri, penggusuran tanah secara paksa dan ketiga,
pelanggaran HAM yang dilakukan oleh individu atau kelompok massa terhadap individu dan
kelompok massa lainnya dalam bentuk kerusuhan dan konflik horizontal.
Sementara menurut Aswab Mahasin (1990:103) setidaknya terdapat tiga bentuk
umum praktek pelanggaran HAM yang dapat dapat kita temui, yaitu pertama, masih cukup
populernya praktek represi politik oleh aparat negara, sekalipun intensitasnya belakangan ini
mengalami kecenderungan menyurut; kedua, praktek pembatasan partisipasi politik, ketiga,
praktek eksploitasi ekonomi beserta implikasi sosialnya baik yang dilakukan secara
terorganisir maupun yang tidak terorganisir.
Dengan demikian penegakan HAM masih dalam tahapan proses konseptual karena
implementasinya masih jauh dari harapan. Dilihat dalam penyelesaian pelanggaran HAM di
Timor-Timur, masih menyimpan pertanyaan seputar daftar tersangka dan vonis hakim
Pengadilan HAM Ad Hoc yang cenderung lebih banyak menghukum sipil daripada militer.
Namun yang pasti bahwa banyak yang berharap bahwa pengadilan pertama kasus-kasus
pelangaran HAM berat ini mejadi tonggak sejarah penegakan HAM di Indonesia. Dalam
hubungan ini Asmara Nababan dalam Budairi (2003:132) mengemukakan bahwa inilah
kesempatan paling baik bagi kita untuk memikirkan kembali gerak demokrasi bangsa ini.
Transisi menuju demokrasi seharusnya berarti transisi menuju perdamaian dan penghormatan
atas esensi kemanusiaan.
Pada tataran lain, proses penyelesaian kasus-kasus HAM di Indonesia dalam transisi
demokrasi mensyaratkan adanya konsolidasi demokrasi, yaitu pertama, adanya masyarakat
sipil yang otonom dan diberikan jaminan-jaminan hukum untuk berorganisasi dan
menyatakan pendapat. Kedua, adanya masyarakat politik dimana tokoh-tokohnya diberi
kesempatan terbuka untuk bersaing secara sehat guna menjalankan kontrol atas kekuasaan.
Ketiga, dianutnya ideologi supremasi hukum. Dalam konteks ini akan sangat terkait dengan
kemampuan negara dalam menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM masa lalu yang
memang menjadi tanggung jawab negara. Keempat, adanya sebuah birokrasi yang
mendukung dan melayani masyarakat sipil dalam menjalankan tugas pemerintahan. Tuntutan
dari berbagai kelompok korban kepada Polri dan Kejaksaan juga merupakan tuntutan
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
85
terhadap birokrasi. Kelima, terciptanya sebuah masyarakat ekonomi yang menjadi perantara
antara negara dan masyarakat untuk menjalankan perekonomian.
Dengan kelima parameter itu, menurut Tanuredjo dalam Satya Arinanto (2003:373)
di Indonesia dapat dikatakan masih jauh dari harapan. Ideologi negara hukum yang
seharusnya dipegang dan dijadikan acuan justru menjadi tameng untuk mempertahankan
kekuasaan. Teknis-teknis hukum justru dijadikan dalih untuk menghambat penyelesaian
kasus-kasus pelanggaran HAM berat seperti terlihat dari bagaimana Kejaksaan Agung
menggunakan masalah teknis hukum untuk menghambat proses penyelidikan kasus
Semanggi I dan II yang telah dilakukan oleh Komnas HAM. Kejaksaan Agung sebagai
sebuah birokrasi aparat penegak hukum seharusnya mendukung kerja-kerja masyarakat sipil,
seperti KPP HAM Trisaksti dan Semanggi.
A. Sisi-Sisi Problematik Hukum Uundang-Undang HAM di Iindonesia.
Kelahiran Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pada
masa reformasi merupakan komitmen dan politik hukum pemerintah dalam proses penegakan
HAM di Indonesia, namun keberadaan undang-undang ini sebagai payung hukum penegakan
HAM di Indonesia ternyata masih menyisakan sisi-sisi problematik hukum terutama dari
sudut substansi, antara lain :
1. Pasal 1 UU Nomor 39 Tahun 1999, tentang pengertian Pelanggaran HAM
dinyatakan bahwa: setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat
negara baik disengaja atau tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum
mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut hak asasi manusia
seseorang atau sekelompok orang yang dijamin oleh undang-undang ini, dan tidak
mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang
adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.
Pengertian pelanggaran HAM dalam pasal ini cakupannya terlalu luas dan cenderung
melebar, sehingga dalam proses hukum di lapangan akan mengalami kesulitan,
apalagi tidak disertai dengan penjelasan yang cukup. Biasanya pasal yang memiliki
cakupan luas harus disertai dengan penjelasan, sehingga interpretasi hukumnya tidak
jamak.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
86
2. Pasal 73 UU Nomor 39 Tahun 1999. Pasal ini merupakan eksepsi pembatasan hak
yang diatur dalam UU ini. Dalam penjelasannya, dinyatakan bahwa “kepentingan
bangsa” adalah untuk keutuhan bangsa dan bukan merupakan kepentingan penguasa.
Persoalannya, fakta yuridisnya sulit membedakan antara kepentingan penguasa
dengan keutuhan bangsa. Kasus terhadap tindakan represif aparat di Aceh dan Ambon
yang melakukan pembunuhan dan penganiayaan terhadap warga sipil merupakan
contoh ekstrim yang sulit untuk menempatkan antara “kepentingan penguasa” dan
“keutuhan bangsa”.
3. Substansi UU ini memerlukan sinkronisasi horisontal dengan beberapa undangundang yang lain, agar kandungan pasal-pasalnya tidak saling berbenturan.
Dalam undang-undang ini setidaknya ada 25 pasal yang proses penegakannya harus
sinkron dengan peraturan perundang-undangan yang lain. Dalam posisi seperti ini,
maka lahir pertanyaan yaitu apakah undang-undang ini telah melewati proses “uji
sinkronisasi” terutama sinkronisasi horisontal dengan undang-undang yang lain,
karena banyak pasal yang mewajibkan hal itu
4. Berbagai problematik hukum yang dapat muncul dari keberadaan Komnas
HAM yang diatur dalam Pasal 75 sampai dengan Pasal 99, antara lain: pertama,
proses rekruitmen anggota Komnas HAM oleh DPR sebagai lembaga politik dapat
menimbulkan bias politik, karena anggota legislatif yang merupakan anggota partai
politik dipastikan memiliki “kepentingan” dalam memilih anggota Komnas HAM.
Dengan kondisi seperti ini, “tawar menawar politik” sulit dihindari. Kedua, dalam hal
jumlah anggota Komnas HAM relatif terlalu banyak (35 orang) bahkan merupakan
satu-satunya lembaga HAM yang punya anggota paling banyak di dunia. Di negara
seperti India, jumlah anggotanya sebanyak 6 (enam) orang saja, di Philipina sebayak 5
(lima) orang. Jumlah anggota sebanyak itu akan mempersulit Komnas HAM dalam
mengambil sikap politiknya apalagi untuk menyamakan persepsi dan visi tentang
HAM. Ketiga, setting kewenangan dan tugas Komnas HAM di negara kita lebih
banyak berfungsi pada persoalan lapangan, sehingga praktis persoalan pada level
kebijakan sama sekali tidak tersentuh. Keempat, persoalan independensi anggota
Komnas HAM terkait dengan mekanisme pemilihan melalui pintu legislatif (DPR)
dan diresmikan oleh Eksekutif (Presiden). Dalam posisi seperti ini, banyak kalangan
yang pesimis terhadap sifat independensi anggota Komnas HAM, jika sebuah kasus
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
87
pelanggaran HAM yang ditangani bersinggungan langsung dengan kepentingan
penguasa.
5. Dalam UU ini setidaknya terdapat 57 pasal yaitu Pasal 9 hingga Pasal 66 yang
memuat berbagai jenis HAM yang wajib dihormati dan dilindungi oleh
pemerintah. Menurut ketentuan Pasal 1 bahwa pelanggaran HAM adalah setiap
perbuatan yang melawan hukum dengan mengurangi, menghalangi, membatasi,
mencabut hak asasi manusia yang diatur dalam UU ini dan tidak mendapatkan atau
dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, maka
termasuk kategori sebagai pelanggaran HAM, tetapi menurut ketentuan UU Nomor
26 Tahun 2000 dalam Pasal 7 dan Pasal 8 dinyatakan bahwa Pengadilan HAM hanya
mengadili pelanggaran HAM berat saja, sementara pelanggaran HAM yang lain
diserahkan kepada peradilan umum.
Jika kita melihat rumusan pasal di atas, maka nampak bahwa dari sisi ini
sesungguhnya kelihatan inkonsistensi negara kita dalam mengapresiasi materi yang
terdapat dalam undang-undang HAM yang ada. Mestinya kewenangan Pengadilan
HAM di perluas sesuai dengan tuntutan materi UU HAM itu sendiri.
B. Defisiensi Demokrasi.
Defisiensi demokrasi sebagai bagian yang tidak dapat dipisahkan dengan transisi
demokrasi Indonesia. Jika Robert A. Dahl (2001:63) mengajukan satu pertanyaan untuk
melihat urgensi demokrasi “mengapa mesti demokrasi?’ karena menurutnya demokrasi akan
menghasilkan akibat-akibat yang diinginkan, yaitu; 1) menghindari tirani, 2) menjamin
HAM, 3) kebebasan umum, 4) menentukan nasib sendiri, 5) otonomi moral, 6)
perkembangan manusia, 7) menjaga kepentingan pribadi, 8) persamaan politik, 9) mencari
perdamaian, 10) mendatangkan kemakmuran.
Namun Samuel P. Huntington (2000:5) mengemukakan bahwa sebenarnya terdapat
satu kritik tajam terhadap demokrasi yaitu sifat defisiensinya. Dengan sifat tersebut
demokrasi tidak selalu merupakan pilihan terbaik karena ia dapat menimbulkan inefisiensi
dan ketidakpastian. Karena defisiensi demokrasi secara umum memberikan kesempatan
kepada masyarakat untuk dapat mengembalikan kekuasaan ke arah otoritarian baru. Rakyat di
daerah-daerah, setelah melihat realitas yang cenderung negatif secara samar-samar akan
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
88
kembali menengok masa lalu dimana penguasa menyediakan kebutuhan dasar dan membuat
segala sesuatu bekerja. Bahkan pernah populer akronim “SARS” (Sindrom Amat Rindu
Soeharto) Apakah hal ini salah?. Alfan Alfian (2001:181) mengemukakan bahwa defisiensi
demokrasi adalah konsukuensi dari pilihan memilih sistem demokrasi dan merupakan sebuah
kewajaran semata-mata, asalkan tidak terlampau ekstrim sehingga dapat melumpuhkan sendisendi demokrasi itu sendiri.
Sisi lain dari probabilitas munculnya defisiensi demokrasi terutama di negara yang
mengalami transisi demokrasi seperti Indonesia adalah demokrasi itu membutuhkan social
and political cost yang relatif besar. Karena diyakini bahwa apabila proses demokrasi salah
langkah maka potensi ekonomi akan tersedot yang seharusnya bisa dimanfaatkan untuk
kepentingan yang lebih luas justru sebaliknya dipakai untuk membiayai proses politik.
Mahalnya sebuah proses demokrasi sebenarnya tidak bisa diukur hanya dari segi
ekonomi saja, karena kerap sekali korban nyawa tertelan sebagai akibat eskalasi konflik
horisontal cenderung meluas. Era demokrasi pada satu sisi memang menghadirkan banyak
manfaat seperti penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM, pers yang bebas dan
independen, militer dalam kendali sipil, pilihan politik (partai) yang beragama, namun di sisi
lain jika salah langkah akibatnya akan memunculkan potensi konflik horisontal secara
terbuka. Di negara kita biaya non material begitu besar dan memprihatinkan baik sebagai
korban rutinitas politik maupun kasus-kasus politik yang lebih kompleks seperti di Aceh,
Papua, Ambon, Poso dan sebagainya.
Di Indonesia, di era transisi politik ini, defisiensi demokrasi mulai kelihatan
menggejala. Kalangan yang bersikap apriori terhadap demokrasi pun bisa makin bertambah
panjang, jika demokrasi tidak segera menghasilkan hal-hal yang konkrit. Orang kerap
merindukan masa lampau yang “aman, tertib, terkendali”, sekalipun menyisakan catatan
pelanggaran HAM dan penumpukan kroni kekuasaan yang memprihatinkan. Yang penting
ekonomi nasional membaik, problem ekonomi masyarakat dapat teratasi dengan baik.
Bagi kalangan pro demokrasi, sikap fatalis akibat defisiensi demokrasi
sesungguhnya tidak perlu dikaitkan dengan keinginan untuk kembali ke tatanan dan budaya
lama. Memang zaman demokrasi memberikan ruang bagi publik untuk melakukan perbaikanperbaikan. Namun di sisi lain, justru musuh demokrasi mendapatkan kesempatan yang sama.
Pada zaman ini pula sesungguhnya terdapat peluang yang sama bagi “kekuatan baik” dan
“kekuatan tidak baik” untuk berlomba dalam mengejar kekuasaan.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
89
Proses politik sendiri sudah dapat dipastikan akan mengalami fase konflik politik,
yang dalam negara transisi demokrasi juga merupakan hal yang lumrah. Sebab tanpa ada
konflik politik, dinamika politik yang terjadi menjadi hambar dan kaku. Bahkan tanpa konflik
politik, perjalanan menuju demokrasi yang sesungguhnya akan diwarnai oleh hilangnya
kreatifitas dan inovasi dari pelbagai kalangan. Dan sesungguhnya memang tak mungkin
sebuah dinamika politik, se-statis apapun tidak menyisakan konflik atau zero conflict.
Dengan demikian, defisiensi demokrasi adalah konsukuensi logis dari transisi
demokrasi. Ongkos sosial politik yang dikeluarkan akan menghasilkan sesuatu yang amat
bermakna bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga defisiensi demokrasi mestinya
tidak lagi signifikan dengan muara kembali ke tatanan budaya lama. Yang dibutuhkan
sekarang justru munculnya semacam kesadaran kolektif dan kesabaran revolusioner untuk
meretas jalan menunju kondisi yang lebih baik.
10. PENDIDIKAN HAM: APA, DI MANA, DAN BAGAIMANA SEHARUSNYA
Pesatnya kemajuan zaman seperti yang kita rasakan sekarang ini, selain sebagai akibat
dari kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), juga disebabkan
oleh kencangnya proses demokratisasi yang merambah dunia. Hal ini sebagaimana
dikemukakan oleh Samuel P. Huntington seperti dikutip oleh Tilaar, H.A.R. (1999:161-162)
bahwa: “Ada dua kekuatan utama yang mengubah dunia yaitu proses demokratisasi serta
kemajuan teknologi komunikasi dan dunia yang terbuka”.
Demokrasi sudah menjadi elemen penting dalam kehidupan dunia. Segala persoalan
di dunia ini terutama yang menyangkut kehidupan berkelompok atau orang banyak harus
diselesaikan secara demokrastis, tanpa itu berarti kita anti demokrasi dan menentang
kehendak perkembangan zaman.
Antara demokrasi dan hak asasi manusia (HAM) memiliki hubungan yang sangat erat.
Hal ini karena salah satu ciri negara demokrasi adalah (Mahfud, 2003:30): “Perlindungan
konstitusional, artinya, selain menjamin hak-hak individu, konstitusi harus pula menentukan
cara prosedural untuk memeproleh perlindungan atas hak-hak yang dijamin”. Jadi, jelas
bahwa, adanya jaminan dan perlindungan HAM merupakan indikator penting bagi suatu
negara yang menyatakan sebagai negara demokrasi. Dengan kata lain, bukan negara
demokrasi apabila mengabaikan HAM.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
90
Tumbuhnya sikap dan perbuatan yang mencerminkan penghargaan terhadap HAM
tidak langsung begitu saja, tetapi harus melalui pembelajaran yang sistematis dan
berkesinambungan serta manusiawi. Dalam rangka menanamkan sikap dan perbuatan yang
mencerminkan penghargaan terhadap HAM, maka pendidikan dan pembelajaran memegang
peranan penting. Melalui pendidikan ini nilai-nilai HAM dibelajarkan atau ditanamkan sejak
dini.
A. Hakikat Pendidikan HAM
Menurut Ki Hajar Dewantara (Made Pidarta, 1997:10), “pendidikan adalah menuntun
segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka sebagai manusia dan sebagai
anggota masyarakat mendapat keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya”.
Sementara menurut UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
(Sisdiknas) pasal 1 ayat (1), bahwa:
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan
proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan
negara (2003:6).
Dari dua definisi pendidikan tersebut di atas, menunjukkan bahwa mendidik adalah
membantu peserta didik dan warga belajar dengan penuh kesadaran, baik dengan alat atau
tidak, dengan kewajiban mereka mengembangkan dan menumbuhkan diri untuk
meningkatkan kemampuan serta peran dirinya sebagai individu, anggota masyarakat, dan
makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Mendidik adalah semua upaya membuat peserta didik mau
dan dapat belajar atas dorongan diri sendiri untuk mengembangkan bakat, dan potensi-potensi
lainnya secara optimal ke arah yang positif.
Hakikat pendidikan menurut Sumaatmadja (2002:85) adalah “proses kegiatan
mengubah perilaku individu ke arah kedewasaan dan kematangan dalam arti yang seluasluasnya, baik melalui pemberdayaan dan rekayasa, maupun pembebasan dari belenggu
kebodohan, kemiskinan, rendah diri, serta “perbudakan”.
Secara umum hak asasi manusia adalah hak-hak dasar atau pokok yang dimiliki oleh
setiap manusia sejak lahir sebagai anugrah Tuhan Yang Maha Esa. Sedangkan menurut UU
No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) pasal 1 ayat (1):
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
91
Hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan
manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugrah-Nya yang
wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan
setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia
(2001:3).
Berdasarkan definisi di atas jelas, bahwa hak asasi manusia merupakan anugrah
Tuhan Yang Maha Esa yang diberikan kepada semua umat manusia. Dengan demikian
menjadi kewajiban bagi kita semua untuk menghormati hak asasi orang lain, karena apabila
kita mengabaikan kewajiban tersebut berarti kita melanggar ketentuan Tuhan Yang Maha
Esa.
Dalam rangka menanamkan sikap dan perilaku untuk menghargai dan menghormati
hak asasi orang lain, maka pendidikan memegang peranan penting. Untuk itu pendidikan
HAM merupakan suatu kebutuhan apalagi bagi negara yang menyatakan diri sebagai negara
demokrasi, karena jaminan dan perlindungan HAM merupakan indikator penting negara yang
menganut sistem demokrasi.
Dari uraian di atas jelas, bahwa hakikat pendidikan HAM adalah usaha sadar,
terencana, sistematis, dan berkesinambungan untuk menanamkan/mengembangkan sikap dan
perilaku menghargai nilai-nilai hak asasi manusia demi kehormatan dan kemuliaan harkat
dan martabat manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa.
Bagi Indonesia sebagai negara yang pernah diinjak-injak hak asasinya oleh penjajah,
pentingnya pendidikan HAM ini telah lama dirasakan dan dipikirkan oleh para tokoh
pendidikan kita. Satu di antaranya adalah Ki Hajar Dewantara (Tilaar, 1999:69-70), yang
menyatakan bahwa:
1. Arah tujuan pendidikan ialah untuk mengangkat derajat negara dan rakyat. Di sini
kita lihat betapa idealnya pendidikan nasional yang bukan bersifat individualistis
tetapi mempunyai warna dan kesatuan nasional. Pendidikan nasional harus dapat
mengangkat derajat atau harkat rakyat banyak dan harkat negara.
2. Pendidikan yang visioner. Di sini sungguh sangat mengagumkan betapa rumusan
Ki Hajar Dewantara telah jauh mencakup ke depan. Beliau telah melihat bahwa
hak-hak asasi manusia dan kehidupan global abad 21 merupakan suatu yang tidak
dapat dielakkan. Pendidikan nasional tidak terlepas dari upaya untuk kerjasama
dengan bangsa-bangsa lain di dunia ini untuk meningkatkan derajat kemanusiaan.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
92
Dengan kata lain hak-hak asasi manusia dan tanggung jawab bersama merupakan
tugas dari pendidikan nasional.
Senada dengan pendapat di atas Wignyosoebroto (Marlian dan Marzuki, 2003:3),
mengemukakan bahwa: “Civics and human rights education harus bervisi futuristik (namun
juga realistik) serta bermisi membekali anak-anak muda untuk menghadapi perubahan masa
depan dengan kehidupan baru yang beridiom beda dengan yang dulu”.
Dari dua pendapat di atas tersirat makna, bahwa dengan pendidikan harkat dan martabat
manusia akan meningkat begitu juga penghargaan dan penghormatan terhadap hak asasi
manusia. Dengan kata lain pendidikan merupakan ujung tombak untuk pengembangan
sumber daya manusia. Melalui sumber daya manusia yang baik dan berkualitas sebagai hasil
dari proses pendidikan, maka manusia dapat menggali dan mengembangkan sumber daya
alam dan sumber daya kebudayaan untuk kesejahteraan dan kebahagiaan umat manusia.
Hal tersebut sejarah telah membuktikan dan memberi pelajaran berharga kepada kita,
bahwa: “Sumber kebangkitan kembali perekonomian Jerman dan Jepang begitu cepat setelah
Perang Dunia kedua adalah pendidikan” (Pidarta, 1997:242). Karena itu apabila kita ingin
maju, maka pendidikan harus mendapat perhatian semua pihak, termasuk pendidikan HAM.
B. Jalur Pendidikan HAM
Setiap manusia memiliki hak asasi yang melekat pada dirinya, karena itu pendidikan
HAM merupakan program pendidikan yang menyangkut semua manusia tanpa kecuali.
Keadaan tersebut menyebabkan pendidikan HAM sangat kompleks karena berhubungan
dengan segala aspek kehidupan manusia. Untuk itu pendidikan HAM perlu ditempuh melalui
berbagai jalur, baik formal, informal, maupun nonformal termasuk media massa; dari mulai
jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah, sampai pada jenjang pendidikan tinggi.
Menurut UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas)
pasal 1 ayat (11), bahwa: “Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan
berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi”
(2003:8). Pada tingkat universitas dan lembaga pendidikan tinggi lainnya, pendidikan HAM
berdasarkan program kegiatan rencana aksi nasional HAM Indonesia 1998-2003, meliputi:
1. Pembentukan Pusat Studi HAM.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
93
2. Pembentukan atau menambah perpustakaan HAM di universitas serta KOMNAS
HAM.
3. Membentuk program studi bergelar di Indonesia atau mengikuti program studi
HAM di luar negeri (beasiswa).
4. Pendidikan dan pelatihan HAM bagi para aparat penegak hukum (2001:321).
Sementara untuk pendidikan jalur sekolah, pendidikan HAM berdasarkan program
kegiatan rencana aksi nasional HAM Indonesia 1998-2003, meliputi:
1. Menyiapkan kurikulum HAM bagi pendidikan dasar, menengah, dan perguruan
tinggi, termasuk pendidikan di lingkungan perguruan agama.
2. Menerjemahkan bahan-bahan pengajaran mengenai HAM.
3. Pelatihan para guru di bidang HAM (2001:321).
Pada pendidikan jalur luar sekolah, pendidikan HAM berdasarkan program kegiatan
rencana aksi nasional HAM Indonesia 1998-2003, meliputi:
1. Penyusunan bahan mengenai HAM yang mudah diserap oleh masyarakat awam.
2. Memasukkan kesadaran HAM pada tingkat desa melalui program-program yang
ada seperti Kadarkum, Kelompencapir, dan PKK.
3. Meningkatkan program penataran-penataran khususnya dari perspektif sila kedua
Pancasila yang meliputi masalah HAM.
4. Lokakarya dan diskusi panel mengenai organisasi sosial dan LSM.
5. Penyuluhan mengenai konsepsi HAM di kelompok-kelompok minat seperti
Majelis Taklim, Pramuka, Karang Taruna, dan lain-lain (2001:322).
Menurut Kartika dan Yunus (2000:54), bahwa: “Bila dikaitkan dengan pemajuan HAM , kita
dapat memastikan bahwa LSM-lah yang telah menjalankan peran sebagai penerjemah
DUHAM menjadi aksi-aksi di aras akar rumput”.
Sementara pada pendidikan jalur keluarga, pendidikan HAM berdasarkan program
kegiatan rencana aksi nasional HAM Indonesia 1998-2003, meliputi: “Pola asuhan anak, dan
family re-enforcement (2001:322).
Sedangkan melalui media massa, pendidikan HAM berdasarkan program kegiatan
rencana aksi nasional HAM Indonesia 1998-2003, meliputi:
1. Penyelenggaraan lokakarya secara teratur dan pelatihan mengenai HAM bagi para
wartawan media cetak, media elektronik, dan petugas-petugas penerangan.
2. Mengadakan wawancara dan diskusi di media elektronik (TV dan Radio).
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
94
3. Menyebarkan bahan-bahan informasi mengenai HAM termasuk buku pegangan
mengenai HAM.
4. Tayangan mengenai HAM di media cetak dan media elektronik.
5. Pemanfaatan media tradisional (2001:322).
Apabila program kegiatan rencana aksi nasional HAM Indonesia 1998-2003 yang
dipayungi Kepres No. 129 Tahun 1998 ini mendapat dukungan semua pihak, maka
pendidikan HAM akan berjalan lancar sesuai dengan yang diharapkan, sehingga tumbuh
peserta didik (warga negara) yang menghormati dan menjunjung tinggi HAM.
C. Pelaksanaan Pendidikan HAM
Sekolah merupakan sarana efektif bagi pendidikan HAM, karena selain jaringannya
luas juga imprastrukturnya cukup memadai. Pelaksanaan pendidikan HAM di sekolah
diintegrasikan ke dalam mata pelajaran. Artinya tidak perlu ada mata pelajaran khusus
tentang HAM, karena akan menambah beban kurikulum. Hal ini sebagaimana dikemukakan
oleh Wahid (2003:19), bahwa:
Kurikulum kita sudah terlalu padat dan gemuk, apabila ditambah dengan dengan mata
pelajaran khusus tentang HAM, maka anak-anak akan kelabakan. Kalau dipaksakan,
khawatir tujuan pemberian mata pelajaran khusus HAM tidak sampai. Nilai-nilai
HAM sebaiknya diselipkan di mata pelajaran.
Pendapat senada dikemukakan Amirwulan (2003), bahwa:
Pendidikan HAM di sekolah formal bukan berarti memasukkan materi HAM ke
dalam kurikulum. Jika itu dilakukan, maka pelajar hanya akan mendapat ilmu
mengenai HAM, tetapi tidak dapat mengimplementasikan nilai-nilai yang terkandung
di dalamnya.
Lebih lanjut menurut Amirwulan (2003):
“pendidikan HAM di sekolah dapat
diwujudkan dalam relasi antara guru dengan murid yang sesuai dengan nilai HAM, misalnya
relasi yang sifatnya demokratis”.
Dari dua pendapat di atas, menunjukkan bahwa pendidikan HAM itu tidak perlu
wadah baru mengingat beban kurikulum dalam sistem pendidikan Indonesia sudah
terlalu padat dan gemuk. Tetapi walapun demikian pendidikan HAM tetap penting
bagi bangsa Indonesia sebagai negara demokrasi yang menghormati dan menjunjung
tinggi HAM. Solusinya dengan cara memasukan nilai-nilai HAM ke dalam mata
pelajaran yang relevan.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
95
Sementara tentang perlunya pengintegrasian HAM ke dalam mata pelajaran yang
relevan Saad (2003:23-24), berpendapat bahwa:
Tidak perlu ada mata pelajaran khusus tentang HAM, karena akan sangat membebani
anak didik kita. Bagi pendidikan HAM, yang perlu adalah mengintegrasikan nilainilai HAM ke dalam mata pelajaran terkait. Dan yang terpenting adalah di jenjang
pendidikan dasar sampai penguruan tinggi, ini merupakan sebuah segi empat yang di
dalamnya terdapat satu garis diagonal. Semakin rendah tingkat pendidikan, maka
semakin banyak pengajaran HAM yang harus diintegrasikan ke dalam mata pelajaran
tertentu. Sebaliknya, makin tinggi jenjang pendidikannya, maka makin kurang
pengajaran HAM yang diintegrasikan, karena dia makin menuju ke konsep dan teori
yang lebih standar. Untuk pendidikan tinggi perlu ada studi khusus tentang HAM atau
ada mata kuliah HAM yang didalami secara akademik.
Dari pendapat di atas jelas, bahwa pendidikan HAM di sekolah harus terintegrasi
dengan seluruh mata pelajaran terkait. Artinya tidak perlu ada mata pelajaran yang khusus
membahas HAM, kecuali untuk perguruan tinggi perlu ada studi khuhus tentang HAM atau
mata kuliah HAM yang didalami secara akademik. Contoh pengintegrasian HAM ke dalam
mata pelajaran terkait: Hak-hak sipil dan politik bisa dimasukkan ke dalam mata pelajaran
Pendidikan Kewarganegaraan (PKn); hak hidup bisa dimasukkan ke dalam pelajaran IPA
(Biologi) yang membahas dan mengkaji tentang makhluk hidup; hak ekonomi dan sosial
dimasukkan ke dalam pelajaran ekonomi, geografi, dan sejarah (IPS); hak beragama bisa
dimasukkan ke dalam mata pelajaran Pendidikan Agama; dan hak budaya dapat dimasukkan
ke dalam mata pelajaran kesenian.
Pendidikan HAM ini harus dilaksanakan secara berkesinambungan dari mulai
pendidikan dasar, menengah, sampai perguruan tinggi. Semakin rendah tingkat pendidikan,
maka semakin banyak pembelajaran HAM yang harus diintegrasikan ke dalam mata
pelajaran terkait. Sebaliknya, semakin tinggi jenjang pendidikannya, maka makin kurang
pembelajaran HAM yang diintegrasikan, karena dia makin menuju ke konsep dan teori yang
lebih standar. Hal ini karena di perguruan tinggi yang lebih banyak dipelajari adalah teori.
Sementara pada tingkat pendidikan dasar dan menengah lebih banyak contoh, praktik, dan
integrasi pada mata pelajaran tertentu yang memberikan contoh bagaimana perilaku orang
yang respek terhadap HAM, baik dalam hubungan dengan orang lain, dalam berinteraksi
dengan sesama siswa, dengan guru, dengan karyawan, atau dengan orang tua.
Secara operasional contoh pengintegrasian pendidikan HAM ke dalam mata pelajaran
terlihat dalam mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) untuk tingkat SMP/MTs
sebagaimana tercantum dalam Standar Kompetensi (2003:7), yaitu sebagai berikut:
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
96
Kemampuan memahami instrumen nasional HAM (mendeskripsikan instrumen
nasional HAM, menghargai upaya penegakkan HAM dan lembaga perlindungan
HAM); Kemampuan menganalisis instrumen HAM (mengkaji instrumen internasional
HAM, menunjukkan sikap terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM di berbagai
negara).
Tercantumnya materi HAM secara eksplisit dalam mata pelajaran PKn sebagaimana terlihat
di atas, karena di antara misi PKn adalah sebagai pendidikan HAM. Hal ini sebagaimana
dikemukakan oleh Winataputra et al (2004:2), bahwa:
Sifat multidimensionalitas inilah yang membuat bidang studi PKn dapat disikapi
sebagai: pendidikan kewarganegaraan, pendidikan politik, pendidikan nilai dan moral,
pendidikan kebangsaan, pendidikan kemasyarakatan, pendidikan hukum dan hak asasi
manusia, dan pendidikan demokrasi.
Agar pelaksanaan pendidikan HAM berhasil sesuai dengan yang diharapkan yaitu
tumbuhnya peserta didik (warga negara) yang menghormati dan menjunjung tinggi HAM,
maka pembelajarannya harus demokratis dan manusiawi, bukan sebaliknya otoriter dan
merendahkan harkat dan martabat manusia. Untuk itu pelatihan guru tentang HAM sangat
diperlukan. Sebab (Wahid, 2003:19) “guru-guru itu menjadi ujung tombak yang memberikan
pemahaman HAM kepada para anak didiknya, sehingga training atau pembekalan
pengetahuan HAM kepada guru-guru menjadi sangat penting”. Hal senada dikemukakan
Amirwulan (2003) bahwa: “Para guru yang merupakan ujung tombak dunia pendidikan perlu
mendapatkan pelatihan tentang nilai-nilai hak asasi manusia (HAM) agar pendidikan HAM
bagi pelajar di sekolah formal dapat terlaksana”. Sementara menurut Wahab (1998:7), bahwa:
Perubahan apapun yang dilakukan tanpa komitmen dan kerja keras guru semuanya
akan menjadi sia-sia atau gagal sama sekali. Bukti-bukti menunjukkan bahwa banyak
inovasi pendidikan yang telah telah dilakukan namun gagal atau bahkan ditinggalkan
sama sekali pada tingkat diseminasi dan implementasi hanya karena para guru kurang
memperoleh informasi dan kurangnya komitmen profesional guru.
Dari pendapat di atas jelas, bahwa betapa pentingnya peran guru dalam pendidikan
HAM khususnya, dan pendidikan pada umumnya. Melalui pembelajaran para
guru
membimbing dan mengarahkan peserta didik untuk bersikap dan bertindak sesuai dengan
nilai-nilai hak asasi manusia.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
97
Lampiran
Universal Declaration of Human Right
Pernyataan Umum tentang Hak-Hak Asasi Manusia
10 Desember 1945
Mukadimah
Menimbang bahwa pengakuan atas martabat alamiah dan hak-hak yang sama dan
mutlak dari semua anggota keluarga manusia adalah dasar kemerdekaan, keadilan dan
perdamaian di dunia.
Menimbang bahwa mengabaikan dan memandang rendah hak-hak asasi manusia telah
mengakibatkan perbuatan-perbuatan bengis yang menimbulkan rasa kemarahan hati nurani
umat manusia, dan terbentuknya suatu dunia tempat manusia akan mengecap kenikmatan
kebebasan berbicara dan beragama serta kebebasan dari ketakutan dan kekurangan telah
dinyatakan sebagai cita-cita tertinggi dari rakyat biasa.
Menimbang bahwa hak-hak asasi manusia perlu dilindungi oleh peraturan hukum
supaya orang tidak akan terpaksa memilih pemberontakan sebagai usaha terakhir guna
menentang kelaliman dan penindasan.
Menimbang bahwa pembangunan hubungan persahabatan antara negara-negara perlu
digalakkan.
Menimbang bahwa bangsa-bangsa dari Perserikatan Bangsa-Bangsa sekali lagi telah
menyatakan di dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa kepercayaan mereka akan hak-hak
dasar dari manusia, akan martabat dan nilai seseorang manusia dan akan hak-hak yang sama
dari pria maupun wanita, dan telah bertekad untuk menggalakkan kemajuan sosial dan taraf
hidup yang lebih baik di dalam kemerdekaan yang lebih luas.
Menimbang bahwa Negara-Negara Anggota telah berjanji untuk mencapai kemajuan
dalam penghargaan dan penghormatan umum terhadap hak-hak asasi manusia dan
kebebasan-kebebasan asasi, dengan bekerjasama dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa,
Menimbang bahwa pengertian umum tentang hak-hak dan kebebasan-kebebasan
tersebut sangat penting untuk pelaksanaan yang sungguh-sungguh dari janji ini, maka,
Majelis Umum dengan ini memproklamasikan
Pernyataan Umum tentang Hak-Hak Asasi Manusia
Sebagai satu standar umum keberhasilan untuk semua bangsa dan semua negara, dengan
tujuan agar setiap orang dan setiap badan dalam masyarakat dengan senantiasa mengingat
Pernyataan ini, akan berusaha dengan jalan mengajar dan mendidik untuk menggalakkan
penghargaan terhadap hak-hak dan kebebasan-kebebasan tersebut, dan dengan jalan tindakantindakan progresif yang bersifat nasional maupun internasional, menjamin pengakuan dan
penghormatannya secara universal dan efektif, baik oleh bangsa-bangsa dari Negara-Negara
Anggota sendiri maupun oleh bangsa-bangsa dari daerah-daerah yang berada di bawah
kekuasaan hukum mereka.
Pasal 1 Semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang sama.
Mereka dikaruniai akal dan hati nurani dan hendaknya bergaul satu sama lain dalam
semangat persaudaraan.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
98
Pasal 2 Setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan-kebebasan yang tercantum di
dalam Pernyataan ini tanpa perkecualian apapun, seperti ras, warna kulit, jenis
kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat yang berlainan, asal mula kebangsaan
atau kemasyarakatan, hak milik, kelahiran ataupun kedudukan lain. Di samping itu,
tidak diperbolehkan melakukan perbedaan atas dasar kedudukan politik, hukum atau
kedudukan internasional dari negara atau daerah dari mana seseorang berasal, baik
dari negara yang merdeka, yang berbentuk wilayah-wilayah perwalian, jajahan atau
yang berada di bawah batasan kedaulatan yang lain.
Pasal 3 Setiap orang berhak atas penghidupan, kebebasan dan keselamatan individu.
Pasal 4 Tidak seorang pun boleh diperbudak atau diperhambakan, perbudakan dan
perdagangan budak dalam bentuk apapun mesti dilarang.
Pasal 5 Tidak seorang pun boleh disiksa atau diperlakukan secara kejam, memperoleh
perlakuan atau dihukum secara tidak manusiawi atau direndahkan martabatnya.
Pasal 6 Setiap orang berhak atas pengakuan di depan hukum sebagai pribadi di mana saja ia
berada.
Pasal 7 Semua orang sama di depan hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama
tanpa diskriminasi. Semua berhak atas perlindungan yang sama terhadap setiap
bentuk diskriminasi yang bertentangan dengan Pernyataan ini dan terhadap segala
hasutan yang mengarah pada diskriminasi semacam itu.
Pasal 8 Setiap orang berhak atas bantuan yang efektif dari pengadilan nasional yang
kompeten untuk tindakan pelanggaran hak-hak dasar yang diberikan kepadanya oleh
undang-undang dasar atau hukum.
Pasal 9 Tak seorang pun boleh ditangkap, ditahan atau dibuang dengan sewenang-wenang.
Pasal 10 Setiap orang, dalam persamaan yang penuh, berhak atas pengadilan yang adil dan
terbuka oleh pengadilan yang bebas dan tidak memihak, dalam menetapkan hak dan
kewajiban-kewajibannya serta dalam setiap tuntutan pidana yang dijatuhkan
kepadanya.
Pasal 11 1. Setiap orang yang dituntut karena disangka melakukan suatu pelanggaran hukum
dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya menurut hukum dalam
suatu pengadilan yang terbuka, di mana dia memperoleh semua jaminan yang
diperlukan untuk pembelaannya.
2. Tidak seorang pun boleh dipersalahkan melakukan pelanggaran hukum karena
perbuatan atau kelalaian yang tidak merupakan suatu pelanggaran hukum
menurut undang-undang nasional atau internasional, ketika perbuatan tersebut
dilakukan. Juga tidak diperkenankan menjatuhkan hukuman lebih berat daripada
hukuman yang seharusnya dikenakan ketika pelanggaran hukum itu dilakukan.
Pasal 12 Tidak seorang pun dapat diganggu dengan sewenang-wenang urusan pribadinya,
keluarganya, rumah-tangganya atau hubungan surat-menyuratnya, juga tak
diperkenankan pelanggaran atas kehormatannya dan nama baiknya. Setiap orang
berhak mendapat perlindungan hukum terhadap gangguan atau pelanggaran seperti
itu.
Pasal 13 1. Setiap orang berhak atas kebebasan bergerak dan berdiam di dalam batas-batas
setiap negara.
2. Setiap orang berhak meninggalkan sesuatu negeri, termasuk negerinya sendiri,
dan berhak kembali ke negerinya.
Pasal 14 1. Setiap orang berhak mencari dan menikmati suaka di negeri lain untuk
melindungi diri dari pengejaran.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
99
2. Hak ini tidak berlaku untuk kasus pengejaran yang benar-benar timbul karena
kejahatan-kejahatan yang tak berhubungan dengan politik, atau karena
perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan tujuan dan dasar Perserikatan
Bangsa-Bangsa.
Pasal 15 1. Setiap orang berhak atas sesuatu kewarga-negaraan.
2. Tidak seorang pun dengan semena-mena dapat dicabut kewarga-negaraannya
atau ditolak haknya untuk mengganti kewarga-negaraan.
Pasal 16 1. Pria dan wanita yang sudah dewasa, dengan tidak dibatasi kebangsaan, kewarganegaraan atau agama, berhak untuk nikah dan untuk membentuk keluarga.
Mereka mempunyai hak yang sama dalam soal perkawinan, di dalam masa
perkawinan dan pada saat perceraian.
2. Perkawinan hanya dapat dilaksanakan berdasarkan pilihan bebas dan persetujuan
penuh oleh kedua mempelai.
3. Keluarga adalah kesatuan alamiah dan fundamental dari masyarakat dan berhak
mendapat perlindungan dari masyarakat dan Negara.
Pasal 17 1. Setiap orang berhak memiliki harta, baik sendiri maupun bersama-sama dengan
orang lain.
2. Tak seorang pun boleh dirampas hartanya dengan semena-mena.
Pasal 18 Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, hati nurani dan agama; dalam hal ini
termasuk kebebasan berganti agama atau kepercayaan, dan kebebasan untuk
menyatakan agama atau kepercayaan dengan cara mengajarkannya,
mempraktekkannya, melaksanakan ibadahnya dan mentaatinya, baik sendiri
maupun bersama-sama dengan orang lain, di muka umum maupun sendiri.
Pasal 19 Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam
hak ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan, dan untuk
mencari, menerima dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media
apa saja dan dengan tidak memandang batas-batas (wilayah).
Pasal 20 1. Setiap orang mempunyai hak atas kebebasan berkumpul dan berserikat secara
damai.
2. Tidak seorang pun boleh dipaksa untuk memasuki sesuatu perkumpulan.
Pasal 21 1. Setiap orang berhak turut serta dalam pemerintahan negerinya, secara langsung
atau melalui wakil-wakil yang dipilih dengan bebas.
2. Setiap orang berhak atas kesempatan yang sama untuk diangkat dalam jabatan
pemerintahan negerinya.
3. Kehendak rakyat harus menjadi dasar kekuasaan pemerintah; kehendak ini harus
dinyatakan dalam pemilihan umum yang dilaksanakan secara berkala dan jujur
dan yang dilakukan menurut hak pilih yang bersifat umum dan yang tidak
membeda-bedakan, dan dengan pemungutan suara yang rahasia ataupun
menurut cara-cara lain yang menjamin kebebasan memberikan suara.
Pasal 22 Setiap orang, sebagai anggota masyarakat, berhak atas jaminan sosial dan berhak
melaksanakan dengan perantaraan usaha-usaha nasional dan kerjasama
internasional, dan sesuai dengan organisasi serta sumber-sumber kekayaan dari
setiap Negara, hak-hak ekonomi, sosial dan kebudayaan yang sangat diperlukan
untuk martabat dan pertumbuhan bebas pribadinya.
Pasal 23 1. Setiap orang berhak atas pekerjaan, berhak dengan bebas memilih pekerjaan,
berhak atas syarat-syarat perburuhan yang adil serta baik, dan berhak atas
perlindungan dari pengangguran.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
100
2. Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak atas pengupahan yang sama untuk
pekerjaan yang sama.
3. Setiap orang yang melakukan pekerjaan berhak atas pengupahan yang adil dan
baik yang menjamin kehidupannya dan keluarganya, suatu kehidupan yang
pantas untuk manusia yang bermartabat, dan jika perlu ditambah dengan
perlindungan sosial lainnya.
4. Setiap orang berhak mendirikan dan memasuki serikat-serikat pekerja untuk
melindungi kepentingannya.
Pasal 24 Setiap orang berhak atas istirahat dan liburan, termasuk pembatasan-pembatasan jam
kerja yang layak dan hari libur berkala, dengan menerima upah.
Pasal 25 1. Setiap orang berhak atas taraf hidup yang menjamin kesehatan dan kesejahteraan
untuk dirinya dan keluarganya, termasuk pangan, pakaian, perumahan dan
perawatan kesehatannya serta pelayanan sosial yang diperlukan, dan berhak atas
jaminan pada saat menganggur, menderita sakit, cacat, menjadi janda, mencapai
usia lanjut atau mengalami kekurangan mata pencarian yang lain karena keadaan
yang berada di luar kekuasaannya.
2. Para ibu dan anak-anak berhak mendapat perawatan dan bantuan istimewa.
Semua anak, baik yang dilahirkan di dalam maupun di luar perkawinan, harus
mendapat perlindungan sosial yang sama.
Pasal 26 1.Setiap orang berhak mendapat pendidikan. Pendidikan harus gratis, setidaktidaknya untuk tingkat sekolah rendah dan pendidikan dasar. Pendidikan rendah
harus diwajibkan. Pendidikan teknik dan jurusan secara umum harus terbuka bagi
semua orang, dan pengajaran tinggi harus secara adil dapat diakses oleh semua
orang, berdasarkan kepantasan.
2. Pendidikan harus ditujukan ke arah perkembangan pribadi yang seluas-luasnya
serta memperkokoh rasa penghargaan terhadap hak-hak manusia dan kebebasan
asasi. Pendidikan harus menggalakkan saling pengertian, toleransi dan
persahabatan di antara semua bangsa, kelompok ras maupun agama, serta harus
memajukan kegiatan Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam memelihara
perdamaian.
3. Orang-tua mempunyai hak utama untuk memilih jenis pendidikan yang akan
diberikan kepada anak-anak mereka.
Pasal 27 1. Setiap orang berhak untuk turut serta dengan bebas dalam kehidupan kebudayaan
masyarakat, untuk mengecap kenikmatan kesenian dan berbagi dalam kemajuan
ilmu pengetahuan dan manfaatnya.
2. Setiap orang berhak untuk memperoleh perlindungan atas kepentingankepentingan moril dan material yang diperoleh sebagai hasil dari sesuatu
produksi ilmiah, kesusasteraan atau kesenian yang diciptakannya.
Pasal 28 Setiap orang berhak atas suatu tatanan sosial dan internasional di mana hak-hak dan
kebebasan-kebebasan yang termaktub di dalam Pernyataan ini dapat dilaksanakan
sepenuhnya.
Pasal 29 1. Setiap orang mempunyai kewajiban terhadap masyarakat tempat satu-satunya di
mana ia memperoleh kesempatan untuk mengembangkan pribadinya dengan
penuh dan leluasa.
2. Dalam menjalankan hak-hak dan kebebasan-kebebasannya, setiap orang harus
tunduk hanya pada pembatasan-pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang
dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan
yang layak terhadap hak-hak dan kebebasan-kebebasan orang lain, dan untuk
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
101
memenuhi syarat-syarat yang adil dalam hal kesusilaan, ketertiban dan
kesejahteraan umum dalam suatu masyarakat yang demokratis.
3. Hak-hak dan kebebasan-kebebasan ini dengan jalan bagaimana pun sekali-kali
tidak boleh dilaksanakan bertentangan dengan tujuan dan dasar Perserikatan
Bangsa-Bangsa.
Pasal 30 Tidak satu pun di dalam Pernyataan ini boleh ditafsirkan memberikan sesuatu
Negara, kelompok ataupun seseorang, hak untuk terlibat di dalam kegiatan apa pun
atau melakukan perbuatan yang bertujuan untuk merusak hak-hak dan kebebasankebebasan yang mana pun yang termaktub di dalam Pernyataan ini.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
102
DAFTAR PUSTAKA
Afan Gaffar, 2000, Politik Indonesia:Transisi Menuju Demokrasi, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta.
Ahmad Zaini Abar, 1990, Beberapa Aspek Pembangunan Orde Baru, Ramadhani, Solo.
A.S. Tambunan, 2002, Politik Hukum Berdasarkan UUD 1945. Puporis Publisher, Jakarta.
Aswab Mahasin, 1990. Hak Asasi Manusia, Prisma . Jakarta
Bagir Manan, (2001) Perekembangan Pemikiran dan Pengaturan Hak Asasi Manusia di
Indonesia.Bandung: Alumni.
Benedanto, P. dan Mahendra, M. (2000). Konvensi Anti Penyiksaan; Panduan Bagi Jurnalis.
Jakarta: Lembaga Studi Pers dan Pembangunan.
Candra Gautama. (2000). Konvensi hak anak, panduan bagi jurnalis. Jakarta : Lembaga Studi
Pers dan Pembangunan.
Carold C Gould, 1993, Demokrasi Ditinjau kembali, PT Tiara Wacana, Yogyakarta.
Eddy Djunaedi K, 2003, dari Pengadilan Militer Internasional Nuremberg ke Pengadilan
Hak Asasi Manusia, PT Tata Nusa, Jakarta.
Eep Saefulloh Fatah, 2000, Penghianatan Demokrasi Ala Orde Baru. Rosdakarya, Bandung.
Eko Prasetyo, 2003, Menegakkan Keadilan dan Kemanusiaan, Insist,Yogyakarta.
Frans Magnis Suseno, 1995. Mencari Sosok Demokrasi, Sebuah Telaah Filosofis, Jakarta,
Gramedia Pustama Utama.
Haryanto, I. (2000). Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik: Panduan bagi Jurnalis.
Jakarta: LSPP.
Ignatius Haryanto, dkk. (2000). Konvenan Internasional hak sipil dan politik. Jakarta:
Lembaga Studi pers dan Pembangunan.
Kartika, S. dan Yunus S., (2000). Kovenan Internasional Hak Ekonnomi, Sosial dan Budaya:
Panduan bagi Jurnalis. Jakarta: LSPP.
Koentjoro Poerbopranoto, 1975, Sistem Pemerintahan Demokrasi, PT. Eresco BandungJakarta.
Landry H Subianto, 2000, Perspektif HAM dalam Diplomasi RI, Jurnal Analisis No.4
M. Alfan Alfian, 2002, Mahalnya Harga Demokrasi, Instrans, Jakarta
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR-RI), 1999, Ketetapan-Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 1999, Sekretariat
Jenderal MPR-RI, Jakarta.
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR-RI), 1998, Ketetapan-Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 1998, Sekretariat
Jenderal MPR-RI, Jakarta.
Mansoer Fakih, A.M. Indriarto, Eko Prasetyo, 2003, Menegakkan Keadilan dan
Kemanusiaan, Insist Press, Yogyakarta.
Mahfud, M. (2003). Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
Marlian, S. dan Marzuki, S. (2003). Pendidikan Kewarganegaraan dan Hak Asasi Manusia.
Yogyakarta: UII Press.
Miriam Budiardjo, 1988, Hak Asasi Manusia dalam Dimensi Global, Jurnal Ilmu
Politik.Jakarta.
Moh. Mahfud, 1996, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, Gama Media, Yogyakarta.
_____, 1998, Politik Hukum di Indonesia, Pustaka LP3ES Indonesia, Jakarta.
_____, 1999, Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, Gama Media, Yogyakarta
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
103
Mohtar Mas’oed, 1998, Negara, Kapital dan Demokrasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Muh. Budairi, 2003, HAM versus Kapitalisme, Insist Press, Yogyakarta.
Muladi, 2002, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia dan Reformasi Hukum di Indonesia, The
Habibie Centre, Jakarta.
Muladi SH.,(2004), Peradilan HAM Punya Banyak Kelemahan, Tempo News Room,
Tanggal 20 Januari 2004.
Nugroho Notosusanto dkk (1985). Sejarah Nasional Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka.
Peter R Baehr, 1999, Human Rights Universality in Practice, Macmillan Press LTD, London.
Pidarta, M. (1997). Landasan Kependidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Prasetyantoko, A. (1999). Kaum Profesional menentang Rezim Otoriter. Jakarta: PT
Gramedia Widiasarana Indonesia.
Rhoda E. Howard, 2000, HAM Penjelajahan Dalih Relatifisme Budaya, Pustaka Utama
Grafiti, Jakarta.
Riswanda Imawan, 2000, Membongkar Mitos Masyarakat Madani, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta.
Robert A Dahl, 1995, Dilema Demokrasi Pluralis : Antara Otonomi dan Kontrol, Rajawali
Pers, Jakarta.
_____, 2001, Perihal Demokrasi, Menjelajahi Teori dan Praktek Demokrasi Secara Singkat,
Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Romli Atmasasmita, 2001, Reformasi Hukum, HAM dan Penegakan Hukum, Mandar Maju,
Bandung
Ricklefs, MC, (1993), Sejarah Indonesia Modern, Yogyakarta, Gajah Mada University Press.
Rusli Karim, (1983), Perjalanan Partai Politik Di Indonesia. Jakarta : Rajawali Pers.
Saad, H.M. (2003). Pendidikan HAM Harus Terintegrasi dengan Mata Pelajaran Terkait.
Gerbang (Majalah Pendidikan). Edisi 6 Tahun III. Yogyakarta: LP3 UMY.
Samuel P. Huntington, 2001. Gelombang Demokratisasi Ketiga, Grafiti, Jakarta.
______, 2000, Mereformasi Hubungan Sipil-Militer, Radjawali Press, Jakarta.
Sandra Kartika. (2000). Konvenan Intenasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Jakarta:
Lembaga Studi Pers dan Pembangunan.
Satya Arinanto, 2003, Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia, Pusat Studi
Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta.
Scott Davidson, 1994, Hak Asasi Manusia, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta.
Soedjono Dirdjosisworo, (2002), Pengadilan Hak Asasi Manusia di Indonesia, Bandung:
Citra Aditiya Bakti.
Soejati Djiwandono, J (2003), Demoskratos=Demokrasi : Panduan Bagi Pemula. Jakarta :
The Ridep Intitute & Frierich Ebert Stiftung.
Soewoto Mulyosudarmo, 2004, Pembaharuan Ketatanegaraan Melalui Konstitusi, Asosiasi
Pengajar HTN dan HAN Jawa Timur dan InTrans, Malang.
Sumaatmadja, N. (2002). Pendidikan Pemanusiaan Manusia Manusiawi. Bandung: Alfabeta.
Sumodiningrat, G. dan Purna, I. (2003). Landasan Hukum dan Rencana Aksi Nasional HAM
di Indonesia. Jakarta: Deputi Sekretaris Wakil Presiden Republik Indonesia Bidang
Kewilayahan, Kebangsaan, dan Kemanusiaan.
Suriasumantri, Jujun S, (et,all), (2000), Hak asasi Manusia Dalam Pembangunan
Masyarakat Indonesia di Era Global, Program Pascasarjana, Universitas Negeri
Jakarta.
Suroso, P.C. (1995). Perekonomian Indonesia, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Sumodiningrat, G dan Purna I. (2003) Landasan Hukum dan Rencana Aksi Nasional HAM di
Indonesia. Jakarta: Deputi Sekretaris Wakil Presiden RI Bidang Kewilayahan,
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
104
Kebangsaan dan Kemanusiaan
Syahda Guruh, 2000, Menimbang Otonomi vs Federal : Mengembangkan Wacana
Federalisme dan Otonomi Luas Menuju Masyarakat Madani Indonesia, Remaja
Rosdakarya, Bandung.
Team Penerbit. (2001). Kumpulan Undang-Undang tentang Pengadilan HAM 2000 &
Undang-Undang HAM 1999. Bandung: Citra Umbara.
Tobing, K.M.L. (1986). Perjuangan Politik Bangsa Indonesia K.M.B Jakarta. PT. gunung
Agung.
Tilaar, H.A.R. (1999). Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia.
Bandung: Remaja Rosdakarya.
Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM)
___________, (2002) Kejahatan terhadap Kemanusiaan, dari Lokakarya Internasional
“Kejahatan terhadap Kemanusiaan” Jakarta, 20-21 Juni 2001. Komisi Nasional
Hak Asasi Manusia.
UU RI No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Jakarta : Sinar Grafika
UUD 1945 dan Perubahannya (Amandemen I-IV), Jakarta : Penabur Ilmu.
Wahab, A.A. (1998). Reorientasi dan Revitalitasi Pendidikan Ilmu-ilmu Sosial di Sekolah.
Bandung: PPS IKIP Bandung. Tidak diterbitkan.
Wahid, S. (2003). Tidak Perlu Mata Pelajaran Khusus HAM. Gerbang (Majalah Pendidikan).
Edisi 6 Tahun III. Yogyakarta: LP3 UMY.
Winataputra et al. (2004). Kedudukan, Fungsi, dan Peran Pendidikan Ilmu Pengetahuan
Sosial dan pendidikan Kewarganegaraan dalam Sistem Pendidikan Nasional.
Yogyakarta: HISPISI. Tidak diterbitkan.
Wantjik Saleh, K (1999).Tiga Undang Undang Dasar (UUD RI 1945, Konstitusi RIS, UUD
Sementara RI. Jakarta : Ghalia Indonesia.
_____. (2001). Undang-undang HAM 1999. Jakarta: Sinar Grafika.
_____. (2003). UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta:
Depdiknas.
_____. (2003). Standar Kompetensi Pendidikan Kewarganegaraan SMP/MTs. Jakarta:
Depdiknas.
_____, 2000, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Sekretariat
Jenderal MPR-RI, Jakarta.
_____, Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia. UU Nomor 39 Tahun 1999, LN Nomor
165 Tahun 1999, TLN Nomor 3886.
_____, Undang-Undang tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. UU Nomor 26 Tahun 2000,
LN Nomor 208 Tahun 2000, TLN Nomor 4026.
_____, Keputusan Presiden tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia. Keppres
Nomor 129 Tahun 1998.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
105
.
iii.
.
.
vi.
vii
(III) tertanggal 10 Desember 1948.
viii
Ditetapkan melalui Resolusi Majelis Umum 2200 A (III) tertanggal 16 Desember 1966.
ix
Ditetapkan melalui Resolusi A () tertanggal 16 Desember 1966.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
106
Download