Bakumutu Tanah pada Lahan Terdegradasi di Daerah Aliran Sungai Citanduy, Provinsi Jawa Barat Soil Quality Standard of Degraded Land in Citanduy Watershed, West Java Province S. SUTONO1 DAN UNDANG KURNIA2 Naskah Diterima 8 Juni 2012; Hasil Evaluasi 21 Juli 2012; Hasil Perbaikan 19 November 2012 ABSTRAK Bakumutu sifat-sifat tanah perlu ditetapkan untuk menentukan kriteria kerusakan lahan pertanian terdegradasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengkuantifikasi pengaruh bahan organik terhadap sifat fisika dan kimia tanah serta menetapkan baku mutu sifat fisika dan kimia tanah. Percobaan menggunakan tanaman indikator jagung (Zea mays) dilaksanakan pada lahan kering di Desa Mekarmukti, Kecamatan Cisaga, Kabupaten Ciamis, sub Daerah Aliran Sungai (SubDAS) Cimuntur (percobaan I) yang telah diidentifikasi sebagai lahan terdegradasi sedang dan di Desa Binangun, Kecamatan Petaruman, Kotamadya Banjar subDAS Ciseel (percobaan II) yang tergolong ke dalam lahan pertanian terdegradasi berat, semuanya berada dalam kawasan DAS Citanduy. Percobaan menggunakan rancangan acak kelompok (RAK), tiga ulangan. Percobaan I menggunakan perlakuan tanpa penambahan bahan organik atau existing Corganik tanah 1,18% (C0), dan penambahan bahan organik pupuk kandang untuk mencapai 1,5% (C1); 2,0% (C2); 2,5% (C3); 3,0% (C4); dan 3,5% (C5). Percobaan II menggunakan perlakuan tanpa penambahan bahan organik (existing C-organik tanah 0,68%, C0), penambahan bahan organik mencapai 1,0% (C1); 1,5% (C2); 2,0% (C3); 2,5% (C4); dan 3,0% (C5). Ukuran petak percobaan 6 x 4 m, ditempatkan pada lahan dengan bidang olah datar. Jagung sebagai tanaman indikator ditanam pada MH 2008/2009 (Musim Tanam, MT1) dan MK 2009 (MT II). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pupuk kandang mampu memulihkan sifat-sifat fisik dan kimia tanah serta hasil jagung pipilan kering secara nyata. Sifatsifat fisik tanah Oxisols Mekarmukti pada musim kemarau 2009 masih sama baik dibandingkan dengan enam bulan sebelum pemberian perlakuan. Pada Alfisols Binangun, pupuk kandang memberikan pengaruh pada sifat-sifat tanah, yaitu pada perlakuan kandungan C-organik di atas 1,5% C (MT I), dan pada C-organik mencapai 2% (MT II), kecuali P (HCl 25%) pada kandungan Corganik tanah 3%. Hasil jagung pipilan kering maksimum sebesar 11 t ha-1 (MT II) dicapai pada pemberian pupuk kandang untuk mencapai kandungan C-organik tanah 3,4% di desa Mekarmukti, dan 10,7 t ha-1 (MT II) jagung pipilan kering pada pemberian pupuk kandang untuk mencapai 2,8% kandungan C-organik tanah di desa Binangun. Kandungan C-organik tanah berkisar antara 2-3% mempengaruhi sifat fisika tanah lainnya menjadi lebih baik. Kata kunci : Daerah aliran sungai, Lahan kering, Degradasi tanah, Kualitas tanah, Bahan organik ABSTRACT The quality standard of soil properties should be set to determine the criteria of degraded agricultural land. This study ISSN 1410 – 7244 aims to quantify the effect of organic matter on soil physical and chemical properties, and set up the quality standard of soil physical and chemical properties. The experiments using an indicator crops maize (Zea mays) were conducted in dry land of Mekarmukti Village, Cisaga Subdistrict, Ciamis District, Subwatershed (SubDAS) Cimuntur (experiment I) which has been identified as the medium degraded land and Binangun Village, District Petaruman, Municipal Banjar subDAS Ciseel (experiment II) which was categorized as heavily degraded land, both of the areas were located within the watershed of Citanduy, West Java. Experiment was conducted using a randomized block design (RBD) with three replications. Experiment I used the treatment without applying organic material as C0 (the existing of soil organic C was 1.18%), and applying organic matter from animal manure to reach 1.5% (C1), 2.0% (C2), 2.5% (C3), 3.0% (C4), and 3.5% (C5) of soil organic C. Experiment II used the treatments without applying organic material as C0 (the existing of soil organic C was 0.68%), and applying organic matter to reach 1.0% (C1), 1.5% (C2), 2.0% (C3); 2.5% (C4) and 3.0% (C5) of soil organic C. The size of the experimental plots was 6 x 4 m, which were placed on the flat field. Corn was used as plant indicator grown in rainy season 2008/2009 (MT1) and dry season 2009 (MT II). The results showed that the manure was able to improve soil physical and chemical properties as well as corn yield significantly. The physical properties of the Oxisols Mekarmukti 2009 ware also as good as the six months prior to the treatment. In the Alfisols Binangun, the manure influenced the soil properties and increased soil organic C content above 1.5% C (MT I), and C-organic content up to 2% (MT II), except P (HCl 25%) and in the C-organic content up to 3%. The maximum dried corn yield up to 11 t ha-1 (MT II) was obtained at the soil organic C content 3.4% in the village of Mekarmukti, and 10.7 t ha-1 (MT II) at the soil organic C 2.8% in the village of Binangun. The soil organic C content ranged from 2 to 3% improved other soil physical properties. Keywords : Watershed, upland, Soil degradation, Soil quality, Organic matter PENDAHULUAN Degradasi lahan (land degradation) adalah suatu proses penurunan produktivitas tanah menjadi lebih rendah, baik sementara maupun tetap, sehingga pada suatu saat lahan tersebut menuju ke 1. Peneliti pada Balai Penelitian Tanah, Bogor. 2. Praktisi konservasi, Bogor. 77 JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 36/2012 tingkat kekritisan tertentu (Dent, 1993). Proses degradasi lahan meliputi berbagai bentuk kerusakan tanah akibat pengaruh manusia. Di Indonesia, penyebab utama degradasi lahan adalah erosi yang disebabkan oleh air hujan. Erosi terbesar terjadi pada lahan pertanian tanaman pangan berlereng rata-rata kurang dari 15%, berkisar antara 220 dan 280 t ha-1 tahun-1 atau rata-rata 2,5 cm lapisan tanah hilang setiap tahunnya (Suwardjo,1981). Kesuburan tanah-tanah di Indonesia umumnya rendah atau marginal, seperti Ultisol dan Oxisol yang tersebar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Irian Jaya, dan Jawa, mencapai luas sekitar 47,5-51,0 juta ha (Mulyadi dan Soepraptohardjo, 1975; Soerianegara, 1977; dan Sudjadi, 1984). Selain itu, tanah-tanah tersebut telah mengalami degradasi, terbukti dengan dijumpai lahan yang ditumbuhi alang-alang dan semak belukar. Menurut Departemen Kehutanan terdapat 21,1 juta ha lahan kritis di luar kawasan hutan, dan 17,5 juta ha di dalam kawasan hutan (Suwardjo dan Neneng, 1994). Hasil penelitian Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat di 11 propinsi di Indonesia menunjukkan terdapat sekitar 10,94 juta ha dari lahannya tergolong kritis, setiap tahun lahan kritis dan terdegradasi makin bertambah luas. Indonesia dengan curah hujan yang tinggi, kegiatan pertanian tanaman pangan yang dilakukan secara intensif, terutama pada lahan kering berlereng dapat menyebabkan erosi yang mengikis permukaan tanah, dan aliran permukaan mengangkut sedimen tanah tererosi yang mengandung cukup banyak unsur-unsur hara dari daerah perakaran tanaman (Kurnia, 1996). Salah satu contoh berkurang atau hilangnya sebagian atau seluruh tanah lapisan atas (topsoil) dapat menurunkan kadar C-organik dan unsur-unsur hara tanah, serta berubahnya beberapa parameter sifat fisik tanah seperti struktur tanah, pori aerasi atau pori drainase cepat menjadi lebih buruk, dan kepadatan tanah meningkat. Bila hal ini dibiarkan terus, maka proses degradasi lahan akan tetap berlanjut menyebabkan produktivitas tanah terus 78 berkurang atau semakin rendah, dan lama kelamaan lahan pertanian menjadi kritis. Namun, parameterparameter sifat tanah apa dan berapa nilai parameter-parameter sifat tanah tersebut dapat mencapai produktivitas yang optimal belum dikuantifikasi. Konsep klasifikasi kemampuan lahan dengan parameter-parameter sifat tanah sebagai faktor penentu/pembatas kemampuan lahan yang dikemukakan oleh Klingebiel dan Montgomery (1973) pun belum mengkuantifikasi faktor-faktor pembatas karakteristik tanah dan iklim. Hasil percobaan di rumah kaca yang dilakukan oleh Anda et al. (2004) mendapatkan bahwa tipe mineral liat, tekstur tanah, kadar C-organik, dan kandungan P tanah, merupakan sifat-sifat tanah yang menentukan potensi hasil jagung. Tanah dengan kandungan C-organik sekitar 2,5% dapat mencapai separuh hasil atau produksi maksimum jagung. Artinya, bahwa tanah dengan kandungan Corganik kurang dari 2,5% menyebabkan hasil jagung mulai menurun. Oleh sebab itu, jenis atau macam sifat-sifat tanah, dan nilai sifat-sifat tanah untuk mempertahankan produktivitas tanah tetap tinggi dan berkelanjutan perlu dikuantifikasi. Penetapan nilai-nilai parameter-parameter karakteristik tanah inilah yang kemudian dikenal dengan istilah baku mutu tanah (soil quality standard). Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan baku mutu sifat-sifat fisik dan kimia tanah, diantaranya berat isi, indeks kestabilan agregat tanah, dan kandungan C-organik tanah, yang dapat digunakan sebagai dasar penentuan tingkat degradasi tanah pada lahan pertanian tanaman pangan. BAHAN DAN METODE Bahan dan peralatan penelitian Bahan-bahan yang akan digunakan dalam penelitian terdiri dari (1) karung karuna, kantong plastik, pupuk (urea, TSP/SP-36, KCl, pupuk kandang), benih jagung, tali plastik, (2) bahan S. SUTONO DAN UNDANG KURNIA : BAKUMUTU TANAH PADA LAHAN TERDEGRADASI chemikali untuk analisis tanah. Peralatan yang digunakan dalam penelitian, termasuk pengambilan contoh tanah adalah penetrometer, bor Belgia, tabung tembaga untuk pengambilan contoh tanah, peralatan baku laboratorium (fisika dan kimia). Lokasi dan waktu penelitian Berdasarkan hasil identifikasi dan evaluasi tingkat degradasi lahan di beberapa lokasi yang telah direncanakan, yaitu di DAS Citanduy dengan menggunakan kriteria degradasi lahan Sodeg versi-1 (Kurnia et al., 2007) diperoleh dua lokasi percobaan, yaitu (a) pada tanah dengan tingkat degradasi lahan sedang di Sub DAS Cimuntur, terletak di Lemahluhur, Desa Mekarmukti, Kecamatan Cisaga, Kabupaten Ciamis kemudian dijadikan lokasi percobaan I, terletak pada garis lintang BT 108o 31’ 53651” dan LS 07o 21’ 19128” , dan (b) pada tanah dengan tingkat degradasi lahan berat di Sub DAS Ciseel terletak di Dower, Desa Binangun, Kecamatan Pataruman, Kotamadya Banjar yang kemudian dijadikan lokasi percobaan II, terletak pada garis lintang BT 108o 31’ 74723” dan LS 07o 24’ 04422”. Penelitian dilaksanakan selama dua musim tanam (MT), yaitu pada MH 2008/2009 dan pada MK 2009. Tabel 1. Tekstur dan sifat-sifat kimia tanah di dua lokasi penelitian di Jawa Barat Table 1. Texture and chemical properties of the soil at two study sites in West Java Satuan Lokasi percobaan I Lokasi percobaan II % % % 2 28 70 9 41 50 - 4,8 5,2 Bahan organik C-organik N total % % 1,18 0,09 0,68 0,07 Ekstraksi HCl 25% P2O5 K2O mg 100g-1 mg 100g-1 29 8 22 20 Ekstraksi Bray 1 P2O5 ppm 3,0 4,6 Ekstraksi Morgan K2O ppm 81 132 cmol(+) kg-1 cmol(+) kg-1 cmol(+) kg-1 cmol((+) kg-1 4,61 0,56 0,16 0,33 22,41 1,10 0,26 0,19 Kapasitas tukar kation cmol(+) kg-1 13,52 32,41 Kejenuhan basa % 42 74 Sifat tanah Tekstur Pasir Debu Liat pH H2O Susunan kation tukar Ca Mg K Na Tanah di lokasi Percobaan I termasuk ordo Oxisols, terbentuk dari bahan induk volkan, penampang tanah dalam, tekstur liat (clay), pH masam, kandungan bahan organik (C dan N) rendah, P dan K total rendah-sangat rendah, P tersedia sangat rendah, dan kation Ca, Mg, K, Na termasuk rendah. Tanah di Percobaan II termasuk ordo Alfisols terbentuk dari bahan kapur/mergel, penampang tanah sedang, tekstur tanah liat berdebu (silty clay), pH masam, kandungan bahan organik (C dan N) sangat rendah, P dan K total sedang, P tersedia sangat rendah, dan kation tukar rendah, kecuali Ca tinggi (Tabel 1). Perlakuan percobaan Penambahan bahan organik diberikan dalam bentuk pupuk kandang. Percobaan menggunakan rancangan acak kelompok (RAK), tiga ulangan. Perlakuan pada Percobaan I adalah : MC0 = Tidak dilakukan penambahan bahan organik (existing) C-organik tanah 1,18%. MC1 = Penambahan bahan organik mencapai 1,5% C-organik MC2 = Penambahan bahan organik mencapai 2,0% C-organik 79 JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 36/2012 MC3 = Penambahan bahan organik mencapai 2,5% C-organik Tabel 2. Takaran pupuk kandang untuk percobaan Percobaan I dan II di Jawa Barat MC4 = Penambahan bahan organik mencapai 3,0% C-organik Table 2. Manure dosage for experiments I and II trials in West Java C-organik tanah setelah perlakuan MC5 = Penambahan bahan organik mencapai 3,5%. C-organik. C-organik Sandi tanah sebelum perlakuan perlakuan Perlakuan pada Percobaan II, yaitu: ................. % ................. kg petak-1 Percobaan I MC0 1,18 1,18 0 MC1 1,18 1,50 11,4 MC2 1,18 2,00 29,2 MC3 1,18 2,50 47,0 MC4 1,18 3,00 64,9 MC5 1,18 3,50 82,7 BC0 = Tanpa penambahan bahan organik (existing) C-organik tanah 0,68%, BC1 = Penambahan bahan organik mencapai 1,0% C-organik; BC2 = Penambahan bahan organik mencapai 1,5% C-organik; BC3 = Penambahan bahan organik mencapai 2,0% C-organik; BC4 = Penambahan bahan organik mencapai 2,5% C-organik, dan BC5 = Penambahan bahan organik mencapai 3,0% C-organik. Ukuran petak percobaan 6 x 4 m, ditempatkan pada lahan dengan bidang olah datar untuk menghindarkan terjadinya erosi. Hasil analisis tanah menunjukkan kandungan C-organik tanah pada percobaan I sebesar 1,18% dan percobaan II sebesar 0,68% dan dalam pupuk kandang sebesar 32%, maka jumlah pupuk kandang yang diberikan agar mencapai C-organik yang diinginkan dapat dihitung. Jumlah pupuk kandang yang diberikan untuk setiap perlakuan pada percobaan I dan II adalah sama, tetapi setelah diberi pupuk mempunyai kandungan C-organik tanah yang berbeda antara percobaan I dan II (Tabel 2). Kandungan alami C-organik tanah pada percobaan I dua kali lebih banyak dibandingkan dengan percobaan II, sehingga beberapa perlakuan pada percobaan I mempunyai C-organik lebih banyak. Perbedaan tersebut mampu saling melengkapi, sehingga dari dua percobaan terdapat satu rangkaian kandungan C-organik dari 0,68% sampai dengan 3,5%. 80 Percobaan II BC0 BC1 BC2 BC3 BC4 BC5 0,68 0,68 0,68 0,68 0,68 0,68 Pupuk kandang yang diberikan 0,68 1,00 1,50 2,00 2,50 3,00 0 11,4 29,2 47,0 64,9 82,7 t ha-1 0 4,8 12,2 19,6 27,0 34,5 0 4,8 12,2 19,6 27,0 34,5 Petak percobaan ditanami jagung dua biji setiap lubang dengan jarak tanam 85 x 30 cm untuk kemudian dipelihara satu tanaman setiap lubang tanam. Diberikan pupuk anorganik dengan takaran untuk lahan pertanian berstatus hara rendah, yaitu 400 kg urea ha-1, 200 kg SP-36 ha-1, dan 150 kg KCl ha-1, dilakuan penanaman jagung dua kali musim tanam. Pada MT II tidak dilakukan pemberian bahan organik, jadi memanfaatkan residu bahan organik yang diberikan pada MT I. Parameter yang diamati Parameter-parameter yang diamati pada percobaan I dan II meliputi: (1) sifat-sifat fisika tanah, yaitu berat isi, ruang pori total, pori aerasi dan pori air tersedia, permeabilitas, dan indeks kestabilan agregat (IKA), serta laju infiltrasi, (2) sifat-sifat kimia tanah, meliputi kandungan bahan organik tanah (C dan N), P2O5 dan K2O total dengan pengekstrak HCl 25%, KTK dan susunan nilai tukar kation, pH dan kejenuhan basa (3) tinggi tanaman jagung, dan (4) hasil jagung pada saat panen. S. SUTONO DAN UNDANG KURNIA : BAKUMUTU TANAH PADA LAHAN TERDEGRADASI HASIL DAN PEMBAHASAN sebagai akibat terjadinya kemunduran kualitas lahan. Data hasil panen jagung dan padi gogo tidak Produktivitas tanah sebelum penelitian Produktivitas tanah di lokasi penelitian diketahui berdasarkan hasil panen beberapa orang petani di sekitar lokasi penelitian, berupa hasil kacang tanah dan ubikayu (Tabel 3). Pengambilan diperoleh pada merupakan salah saat survei, satu karena tanaman jagung utama yang diusahakan petani pada awal musim hujan, maka tanaman jagung dipilih untuk dijadikan tanaman indikator dalam percobaan ini. data dilakukan langsung di lapangan pada saat Laju infiltrasi sebelum percobaan dilaksanakan panen, tanaman yang ada di pada musim kemarau adalah kacang tanah dan ubikayu, sedangkan masa Sebelum dilakukan penanaman jagung, terlebih panen jagung dan padi gogo terjadi pada musim dahulu dilakukan pengukuran laju infiltrasi tanah di penghujan. Data hasil panen jagung dan padi gogo setiap blok percobaan, baik di lokasi Percobaan I dan tidak dapat kami peroleh langsung di lapangan, II. sehingga tidak disajikan dalam makalah ini. Tanaman infiltrasi tanah di kedua lokasi tersebut tergolong jagung biasanya ditanam pada awal musim hujan lambat sampai sangat lambat (Gambar 1). Hasil pengukuran menunjukkan bahwa laju ditumpangsarikan dengan tanaman padi gogo dan ubi kayu, setelah jagung dan padi gogo dipanen, Pertumbuhan tanaman jagung tanaman kacang tanah ditanam disela-sela tanaman Hasil ubikayu. Karena itu, tanaman jagung merupakan pengamatan pertumbuhan tanaman salah satu tanaman utama pada lahan kering yang menunjukkan, semakin tinggi pupuk kandang yang diusahakan petani. diberikan, pertumbuhan tanaman jagung semakin baik (Tabel 4). Pada awal pertumbuhan tanaman, Tabel 3. Rata-rata hasil kacang tanah dan ubi kayu di sekitar lokasi percobaan I (Sub DAS Cimuntur), dan percobaan II (Sub DAS Ciseel), DAS Citanduy pemberian pupuk kandang untuk mencapai 3% C- Table 3. The average yield of peanut and cassava around the location of the experiment I (Cimuntur subwatershed), and experiment II ( Ciseel subwatershed), Citanduywatershed berikutnya, Sub DAS Cimuntur Tanaman -1 Kacang tanah (kg petak ) Ubikayu (kg per 24 pohon) 36,30 Sub DAS Ciseel organik tanah memperlihatkan pertumbuhan tanaman terbaik. Selanjutnya pada periode-periode pemberian pupuk kandang untuk mencapai kandungan C-organik tanah 2%, sudah berpengaruh baik. Pemberian pupuk kandang umumnya mampu meningkatkan tinggi tanaman jagung secara nyata pada dosis mencapai 2% kandungan C-organik -* tanah (Tabel 4). Hal ini juga sejalan dengan hasil 25,0 jagung pipilan kering yang juga meningkat secara *tidak ada pertanaman kacang tanah di sekitar lokasi percobaan nyata pada dosis mencapai kandungan C-organik tanah 2%, walaupun pada pemberian pupuk kandang mencapai C-organik tanah 1,5% sudah Berdasarkan data pada Tabel 3 yang didukung menunjukkan perbaikan tinggi tanaman. Hal ini oleh sifat-sifat kimia tanah yang kurang mendukung mengisyaratkan, bahwa bahan organik tanah sangat (Tabel 1) menunjukkan bahwa produktivitas tanah dibutuhkan sebelum percobaan dilaksanakan tergolong rendah pertumbuhan tanaman. oleh tanaman untuk menunjang 81 JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 36/2012 Ulangan I Ulangan I 100 Infiltrasi (cm/jam) Infiltrasi (cm/jam) 20,0 15,0 10,0 5,0 80 60 40 20 0,0 0 0 30 60 90 120 150 0 30 60 Waktu (menit) 120 150 120 150 Ulangan II Ulangan II 20,0 18,0 250 16,0 14,0 12,0 Infiltrasi (cm/jam) Infiltrasi (cm/jam) 90 Waktu (menit) 10,0 8,0 6,0 4,0 200 150 100 50 0 2,0 0,0 0 0 30 60 90 Waktu (menit) 120 30 60 150 90 Waktu (menit) Ulangan III Ulangan III 16,0 140 14,0 120 Infiltrasi (cm/jam) Infiltrasi (cm/jam) 18,0 12,0 10,0 8,0 6,0 4,0 2,0 100 80 60 40 20 0 0,0 0 30 60 90 Waktu (menit) a. Lokasi percobaan I 120 150 0 30 60 90 120 Waktu (menit) b. lokasi percobaan II Gambar 1. Laju infiltrasi pada ketiga blok percobaan di lokasi percobaan I dan II Figure 1. 82 The rate of infiltration in all three experimental blocks at locations I and II trials 150 S. SUTONO DAN UNDANG KURNIA : BAKUMUTU TANAH PADA LAHAN TERDEGRADASI Tabel 4. Rataan tinggi tanaman jagung pada percobaan I dan II Table 4. Average height of corn plants in experiments I and II Sandi perlakuan Tinggi tanaman jagung MT I 2 MST 6 MST 10 MST Tinggi tanaman jagung MT II 2 MST 6 MST 10 MST ………….…………………………… cm ………….….……………………… Percobaan I MC0 24,9a* 128,9a 211,0a 50,0 a 183,2 a 238,8 a MC1 23,0a 139,8b 258,3b MC2 26,0a 154,5b 275,3b 61,2 b 199,3 a 243,0 b 67,5 b 228,6 b 257,7 b MC3 26,5a 171,3b MC4 25,7a 174,2b 286,3b 69,8 b 233,3 b 257,4 b 279,7b 67,4 b 234,4 b 261,1 b MC5 28,5b 189,8b 283,7b 73,3 b 243,5 b 265,9 b BC0 25,1a 129,3a 263,0a 43,4 a 179,6 a 246,8 a BC1 BC2 23,6a 164,2a 292,7b 51,5 b 218,1 b 264,3 b 25,2a 166,2b 289,7b 55,1 b 230,3 b 275,0 b BC3 23,2a 172,9b 295,3b 52,5 b 231,3 b 280,8 b BC4 28,9b 189,9b 311,0b 54,8 b 240,2 b 292,2 b BC5 31,2b 196,3b 311,0b 57,2 b 239,2 b 295,7 b Percobaan II *Angka dalam kolom yang sama yang diikuti huruf sama tidak berbeda nyata pada taraf 1% menurut uji DMRT Residu bahan organik MT I masih terlihat pada MT II di musim kemarau dan nyata berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman jagung. Semakin tinggi residu pupuk kandang yang diberikan, maka tinggi tanaman jagung meningkat. Tinggi tanaman jagung pada kondisi existing C-organik tanah pada percobaan I (1,18% C-organik) dan II (0,68% Corganik) paling rendah. Tinggi tanaman tersebut berbeda nyata bila dibandingkan dengan tanah yang diberi tambahan pupuk kandang (Tabel 4). Akan tetapi, tinggi tanaman jagung pada perlakuan pemberian pupuk kandang mencapai 1,0-3,0% Corganik (percobaan I) dan untuk mencapai 1,53,5% kandungan C-organik tanah (percobaan II) tidak berbeda nyata. Hasil jagung Pemberian pupuk kandang meningkatkan hasil jagung pipilan kering. Semakin tinggi pupuk kandang yang diberikan, semakin meningkat hasil jagung yang diperoleh, baik pada percobaan I, maupun percobaan II (Tabel 5). Sejak pemberian pupuk kandang untuk mencapai 1,5% kandungan Corganik tanah pada percobaan I, dan 1,0% Corganik tanah pada percobaan II, hasil jagung meningkat sangat nyata. Hasil jagung optimum pada percobaan I dicapai pada perlakuan penambahan Corganik untuk mencapai 1,5% (MC 1) pada MT I dan perlakuan 2,0% (MC2) pada MT II, sedangkan pada percobaan II dicapai pada perlakuan BC1 (1,0% Corganik tanah) pada MT I dan BC 3 (2,0% C-organik) pada MT II. Sifat-sifat fisika tanah Pemberian pupuk kandang untuk mempertahankan kandungan C-organik tanah pada kisaran 2% sudah mulai menampakan pengaruhnya terhadap sifat-sifat fisika untuk tanah Oxisols Mekarmukti (Percobaan I). Berat isi tanah cenderung menurun dengan meningkatnya kandungan bahan organik tanah, sedangkan pori aerasi dan pori air 83 JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 36/2012 Tabel 5. Rataan biji jagung pipilan kering pada percobaan penyusunan bakumutu tanah di Percobaan I dan II Table 5. Mean dry corn seeds on trial experiments I and II Sandi perlakuan Hasil tanaman jagung MH 2008/2009 kg (24m2)-1 Hasil tanaman jagung MK 2009 t ha-1 kg (24m2)-1 t ha-1 Percobaan I MC0 12,84 a 5,35 a 9,77 a 4,07 a MC1 18,51 b 7,71 b 10,40 a 4,33 a MC2 23,67 c 9,86 c 14,43 b 6,01 b MC3 24,17 c 10,07 c 16,23 c 6,76 c MC4 24,09 c 10,04 c 16,77 cd 6,99 cd MC5 28,32 d 11,80 d 18,47 d 7,69 d Percobaan II BC0 13,38 a 5,57 a 12,00 a 5,00 a BC1 19,94 b 8,31 b 12,73 ab 5,31 ab BC2 21,17 bc 8,82 bc 14,87 b 6,19 b BC3 23,60 cd 9,84 cd 17,17c 7,15 c BC4 22,24 c 9,27 c 18,50 d 7,71 d 18,83 d 7,85 d BC5 25,44 d 10,60 d *Angka dalam kolom yang sama yang diikuti huruf sama tidak berbeda nyata pada taraf 1% menurut uji DMRT tersedia menunjukkan peningkatan (Gambar 2). Peranan bahan organik dalam memperbaiki sifat fisika tanah sudah banyak diketahui dan dibuktikan (Jaks et al., 1955, Constaninensco, 1976; Lal, 1976; Suwardjo, 1981). namun nilai baku mutunya bagi produktivitas tanah belum ditetapkan, kecuali oleh Kementerian Negera Kependudukan dan Lingkungan Hidup (1992) yang menetapkan standar kualitas tanah untuk pertanian walaupun masih bersifat sementara (sebesar 2% bahan organik) karena belum didukung oleh hasil penelitian yang memadai. Respon tanah terhadap pemberian bahan I tergolong lahan terdegradasi sedang.. Pada Percobaan II nilai berat isi mengalami peningkatan, sedangkan jumlah pori aerasi dan pori air tersedia menurun (Gambar 2). Berat isi tanah sebelum perlakuan pada setiap petak di percobaan I bila dibandingkan dengan berat isi tanah setelah 4 bulan perlakuan (setelah panen MT I) relatif sama tetapi setelah panen MT II cenderung lebih rendah (Gambar 2). Hal tersebut disebabkan oleh tanah pada percobaan I tergolong Oxisols (Latosol) dari bahan volkan, dengan struktur tanah remah, dan perlakuan pemberian pupuk organik berbeda, tanah Oxisols pada Percobaan I kandang dapat mempertahankan tingkat kegemburan lebih cepat dibandingkan dengan tanah Alfisols tanah, sehingga nilai berat isi tanahnya mengalami (Percobaan Alfisols penurunan. Pola pada berat isi, juga berlaku pada mempunyai sifat-sifat fisik yang kurang baik dan pori aerasi tanah atau pori drainase cepat tanah dan lebih rendah dibandingkan dengan Oxisols, akibat pori air tersedia. Setelah tujuh bulan perlakuan, perbedaan bahan induk pembentuk tanah. Selain itu, berat isi tanah mengalami penurunan (Tabel 6). tanah Alfisols di Binangun (percobaan II) tergolong Penamabahan bahan organik ke dalam tanah mampu pada lahan terdegradasi berat sedangkan Percobaan mempertahankan struktur tanah. 84 II). Secara umum tanah S. SUTONO DAN UNDANG KURNIA : BAKUMUTU TANAH PADA LAHAN TERDEGRADASI 1,20 1,00 30 Berat isi (g/cc) 0,80 Sebelum Perlakuan Setelah Panen MH 2008 Pori aerasi (% volume) 25 0,60 Sebelum Perlakuan 0,40 Setelah Panen MH 2008 Setelah panen MK 2009 0,20 Setelah panen MK 2009 20 15 10 5 0 0,00 MC0 MC1 MC2 MC3 MC4 MC5 BC0 BC1 BC2 BC3 BC4 MC0 MC1 MC2 MC3 MC4 MC5 BC0 BC1 BC2 BC3 BC4 BC5 Perlakuan BC5 Perlakuan 14 12 Pori air tersedia (% volume) 160 Indeks kestabilan agregat (IKA) 10 8 6 Sebelum Perlakuan 4 Setelah Panen MH 2008 Setelah panen MK 2009 2 Sebelum Perlakuan 140 Setelah Panen MH 2008 120 100 80 60 40 20 0 0 MC0 MC1 MC2 MC3 MC4 MC5 BC0 Perlakuan BC1 BC2 BC3 BC4 BC5 MC0 MC1 MC2 MC3 MC4 MC5 BC0 BC1 BC2 BC3 BC4 BC5 Perlakuan Gambar 2. Berat isi, jumlah pori aerasi, pori air tersedia dan IKA pada Percobaan I dan II sebelum dan sesudah diberi perlakuan penambahan bahan organik Figure 2. Physical properties of the soil in the experiments I and II before and after the addition of organic material treated Peningkatan berat isi tanah pada Percobaan II setelah MT I dan II dibandingkan sebelum pemberian perlakuan bahan organik, lebih disebabkan oleh terjadinya pemadatan selama periode pertanaman jagung. Pada awal penelitian, setiap petak percobaan diolah, menjadikan tanah seharusnya tetap gembur, sehingga nilai berat isi tanahnya seharusnya relatif rendah. Namun, setelah 4 bulan dan 7 bulan pemberian perlakuan bahan organik berat isi tanah meningkat lebih tinggi. Pada percobaan I ruang pori total dan indeks kestabilan agregat (IKA) cenderung meningkat menjadi lebih baik setelah 4 dan 7 bulan, walaupun pada MT II tidak diberi tambahan bahan organik, sebaliknya pada percobaan II ruang poti total, permeabilitas, dan IKA menurun menjadi lebih rendah dibandingkan sebelum pemberian perlakuan. Karakteristik tanah pada percobaan I memang berbeda dengan percobaan II (Tabel 6). Pada percobaan II tanah tidak lebih baik dalam melalukan air ketika musim hujan. Tanah menjadi sangat basah, bahkan memperlihatkan drainase yang sangat buruk. Ketika musim kemarau kondisi sifat fisika tanah mengalami perbaikan lagi. Pola perubahan sifat fisika tanah antara musim kemarau dan musim penghujan menunjukkan bahwa sifat-sifat fisika tanah sangat dinamis pada kedua jenis tanah di dua lokasi tersebut. 85 JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 36/2012 Tabel 6. Ruang pori total dan permeabilitas sebelum perlakuan dan setelah panen jagung MT I dan MT II pada percobaan I dan II Table 6. Total pore space and permeability before treatment and after corn harvest MT I and MT II in experiment I and II Ruang pori total Sandi perlakuan SP MT I Permeabilitas MT II …………. % vol. …………. SP MT I MT II ……………. cm jam-1 ……………. Percobaan I MC0 MC1 MC2 59,69 58,00 59,48 59,89 58,51 57,84 61,11 60,59 58,07 7,93 9,07 6,96 6,87 5,04 6,19 12,72 10,93 9,44 MC3 59,14 62,40 57,69 10,73 6,27 14,35 MC4 59,27 59,94 63,53 7,83 8,83 16,34 MC5 59,13 59,22 59,48 7,46 5,34 14,64 61,73 60,97 53,14 55,95 58,77 57,97 5,86 2,57 7,88 9,58 6,23 4,28 BC2 BC3 61,98 65,61 54,30 56,27 54,81 59,15 4,42 4,49 6,51 9,62 4,41 8,71 BC4 61,04 53,20 56,33 2,51 12,04 2,83 BC5 61,36 51,99 57,14 5,89 7,59 2,74 Percobaan II BC0 BC1 Keterangan: SP = sebelum pemberian perlakuan dan MT I , II = sampel diambil setelah panen jagung MT I , II Berdasarkan uraian di atas, pemberian pupuk kandang untuk mencapai kandungan C-organik 2,5% sampai 3,5% pada percobaan I dan 2-3% pada percobaan II mempengaruhi sifat fisika tanah tetap dalam kondisi baik dan optimum mendukung pertumbuhan tanaman jagung. Residu C-organik tanah yang mampu mempertahankan sifat-sifat fisika tanah tetap baik adalah 2% di dalam tanah atau setara dengan 3,5% bahan organik tanah. Jadi agar residu C-organik tanah dapat dipertahankan dibutuhkan penambahan bahan organik tanah, jumlahnya adalah selisih dari 3,5% dikurangi kadar bahan organik tanah setiap musim tanam. Sifat-sifat kimia tanah Untuk melihat atau mengetahui bahwa sebidang tanah telah mengalami degradasi atau sedang dalam proses degradasi dapat dilakukan dengan membandingkan nilai/kualitas tanahnya, 86 yaitu sifat fisika, kimia dan biologi pada dua periode waktu yang berbeda untuk tanah yang sama. Menurut Soil Horizons (2000), pH, P-tersedia, Corganik, nitrogen (N), kapasitas tukar kation (KTK), ketebalan topsoil, berat isi dan pori aerasi merupakan parameter-parameter degradasi tanah. Sudirman dan Vadari (2000) melakukan penelitian tentang parameter-parameter degradasi tanah pada empat tingkat degradasi lahan, sekaligus menelaah potensi hasil tanaman dari masing-masing tingkat degradasi lahan. Hasil penelitiannya menunjukkan, kandungan bahan organik, fosfor, ketebalan tanah lapisan atas dalam penampang tanah merupakan parameter-parameter degradasi tanah. Selain itu, dari hasil penelitian tersebut diperoleh hasil tanaman semakin rendah pada lahan dengan tingkat degradasi yang bertambah berat. Namun, belum ditetapkan nilai baku mutu kandungan bahan organik dan sifat-sifat fisik tanah lainnya. S. SUTONO DAN UNDANG KURNIA : BAKUMUTU TANAH PADA LAHAN TERDEGRADASI Sebelum perlakuan, reaksi tanah di lokasi ini umumnya masam, dengan kandungan bahan organik (C dan N) rendah, P dan K total rendah, P tersedia sangat rendah, kation tukar (Ca, Mg, K, Na) dan KTK tanah rendah. Meskipun secara statistik, pupuk kandang tidak berpengaruh nyata terhadap sifat-sifat kimia tanah, namun bila dibandingkan dengan data sebelum perlakuan, sifat-sifat kimia tanah setelah MT I dan MT II mengalami peningkatan (Gambar 3 dan Tabel 7). Peningkatan P2O5 (HCl 25% dan NH4OAc) diperkirakan akibat meningkatnya residu pupuk SP-36 yang diberikan pada awal pertanaman MT I dan II. Demikian juga, kandungan C-organik tanah pada setiap petak percobaan mengalami peningkatan menjadi di atas 1,5% C-organik. Untuk mempertahankan keseimbangan kandungan bahan organik tanah diperlukan penambahan bahan organik yang dapat berasal dari sisa tanaman yang diberikan dengan cara dimulsakan atau dibenamkan ke dalam tanah. Penggunaan 4-5 ton mulsa jerami padi per hektar pada Ultisol Pekalongan, Lampung, mampu meningkatkan hasil jagung 5-20% dan kedelai 60% (Suwardjo dan Sofijah Abujamin, 1985; Bariot Hafif et al., 1993). C-organik dalam tanah pada lahan pertanian yang dikelola secara intensif tidak mampu bertahan lama. Selama periode pertanaman jagung MT I pada perlakuan C2 sampai C5 C-organik tanah mengalami penurunan sebesar 0,2-1,85% pada percobaan I dan sebesar 0,39-1,51% pada percobaan II. Kehilangan C-organik dapat mencapai 0,3-3,3% bahan organik tanah, suatu kehilangan yang sangat tinggi terutama bagi tanah-tanah dengan kandungan C-organik rendah. Sebaliknya, pada perlakuan C0 dan C1 mengalami peningkatan walaupun tidak nyata. Hal ini menunjukkan bahwa C-organik pada perlakuan C0 dan C1 sedang berproses untuk mencapai keseimbangan baru. Jika keseimbangan C-organik dalam tanah telah tercapai, berarti banyaknya penambahan C-organik yang harus diberikan untuk mencapai keseimbangan tersebut dapat diketahui. Penambahan untuk mencapai keseimbangan menjadi sangat penting karena akan menentukan baku mutu C-organik tanah. Sebaliknya, setelah panen jagung pada MT II seluruh petak percobaan mengalami peningkatan Corganik tanah berkisar antara 0,2-0,9% (percobaan I) dan 0,1-0,8% (percobaan II), padahal seluruh petak percobaan tidak diberi tambahan pupuk kandang. Peningkatan tersebut dapat berasal dari sisa akar tanaman jagung, dan sisa-sisa akar gulma yang melapuk selama kurun waktu pertanaman jagung dan unsur C dari Urea. Namun demikian, pada petak C0 mengalami peningkatan paling sedikit dibandingkan perlakuan lainnya, kecuali pada perlakuan Co percobaan II mengalami penurunan (Gambar 3). Hubungan antara hasil jagung dan kandungan C-organik tanah Hasil analisis regresi (hubungan) antara kandungan C-organik tanah akibat perlakuan pemberian pupuk kandang untuk mencapai kandungan C-organik tanah tertentu, dan hasil jagung pipilan kering untuk MT I dan II pada percobaan I dan percobaan II disajikan pada Gambar 4. Dari kurva dan persamaan regresi tersebut diperoleh hasil jagung pipilan kering untuk MT I maksimum untuk percobaan I sebesar 11 t ha-1, yang dicapai pada pemberian pupuk kandang untuk mencapai kandungan C-organik tanah sekitar 3,4%, dan hasil jagung pipilan kering di percobaan II pada musim yang sama adalah 10,7 t ha-1 pada pemberian pupuk kandang untuk mencapai kandungan C-organik tanah 2,8%. Pada percobaan I MT II untuk menghasilkan jagung pipilan kering sebanyak 7,6 t ha-1 dibutuhkan C-organik tanah tanah sebanyak 3,5% atau setara dengan 6,1% bahan organik tanah, sedangkan untuk mendapatkan hasil sebanyak 7,9 t ha-1 pada percobaan II MT II dibutuhkan C-organik sebanyak 4,2% yang setara dengan 7,3% bahan organik. Pada MT II dibutuhkan lebih banyak bahan organik, terutama untuk menurunkan cekaman air akibat hujan yang jarang terjadi. Hasil jagung pada MT II lebih rendah dibandingkan MT I sebagai akibat adanya cekaman air, dan tanaman jagung tidak boleh mengalami cekaman air terutama pada saat pembungaan. 87 JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 36/2012 3 0,2 2,5 0,15 N-organik (%) C-organik (%) 2 1,5 0,1 1 P-I-MT1 0,05 P-I-MT1 P-I-MT2 P-I-MT2 0,5 P-II-MT1 P-II-MT1 P-II-MT2 P-II-MT2 0 0 SP C0 C1 C2 C3 C4 SP C5 C0 C1 C2 C3 C4 C5 C3 C4 C5 C3 C4 C5 Perlakuan Perlakuan 90 120 K2O (mg/100 g tanah) P2O5 (mg/100g tanah) 75 60 45 30 P-I-MT1 90 P-I-MT1 P-I-MT2 P-II-MT1 60 P-II-MT2 30 P-I-MT2 15 P-II-MT1 P-II-MT2 0 0 SP C0 C1 C2 C3 C4 SP C5 C0 C1 C2 Perlakuan Perlakuan 45 120 40 Kejenuhan Basa (%) KTK (cmol(+)/kg) 35 30 P-I-MT1 25 P-I-MT2 P-II-MT1 20 P-II-MT2 15 90 60 P-I-MT1 P-I-MT2 30 P-II-MT1 10 P-II-MT2 5 0 0 SP C0 C1 C2 Perlakuan C3 C4 C5 SP C0 C1 C2 Perlakuan Gambar 3. C-organik, N-organik, P2O5, K2O, kapasitas tukar kation, dan kejenuhan basa percobaan I dan II pada MT I dan MT II Figure 3. 88 C-organic, N-organic, P2O5, K2O, cation exchange capacity and base saturation experiments I and II to the MT I and MT II S. SUTONO DAN UNDANG KURNIA : BAKUMUTU TANAH PADA LAHAN TERDEGRADASI Tabel 7. pH dan nilai tukar kation tanah lapisan atas pada akhir pertanaman jagung MH 2008 pada percobaan I dan II Table 7. pH and cation exchange topsoil planting corn at the end of the rainy season 2008 in experiments I and II pH H2O MT I MT II Sandi perlakuan Percobaan I SP MC0 MC1 MC2 MC3 MC4 MC5 Percobaan II SP BC0 BC1 BC2 BC3 BC4 BC5 Ca Mg MT I MT II MT I MT II …………………………………. cmol(+) 4,8 5,19a 5,24a 5,55a 5,23a 5,18a 5,10a 4,7a 4,9a 5,1a 5,2b 5,2b 5,3b 4,61 4,90a 4,85a 5,57a 4,93a 5,11a 4,33a 4,03a 5,64a 6,00b 6,82b 7,04b 7,22b 0,56 2,05a 2,40a 2,93a 2,42a 2,33a 2,24a 5,2 5,15a 5,03a 5,17a 5,37a 5,39a 5,74a 4,9a 4,8a 5,0a 5,2b 5,3b 5,3b 22,41 23,43a 27,94a 25,47a 27,01a 28,98a 27,68a 25,68a 27,97a 27,35a 28,33a 28,40a 28,55a 1,10 11,17a 11,80a 11,26a 12,86a 11,401 12,36a 2,19a 2,35a 2,60a 2,84a 2,61a 2,91a Percobaan I MT I 12,0 0,16 0,13a 0,20a 0,21a 0,28a 0,31a 0,38a 0,26 0,16a 0,32a 0,35a 0,53b 0,51b 1,33b Biji kering (t/ha) 8,0 y = -0,833x 2 + 6,1537x R² = 0,9005 4,0 0,33 0,04a 0,46a 0,47a 0,52a 0,50a 0,44a 0,07a 0,13a 0,12a 0,20b 0,09a 0,11a 0,13a 0,26a 0,25a 0,31a 0,36a 0,53b 0,19 0,37a 0,34a 0,81a 0,58a 0,54a 0,36a 0,17a 0,20a 0,37a 0,27a 0,23a 0,24b Percobaan II MT I 10,0 8,0 y = -1,9163x 2 + 8,9704x R² = 0,7193 6,0 4,0 2,0 2,0 0,0 0,0 0,0 0,5 1,0 1,5 2,0 2,5 3,0 3,5 0,0 4,0 0,5 1,0 14,0 1,5 2,0 2,5 3,0 3,5 Perlakuan (% C-organik) Perlakuan (% C-organik) 14,0 Perobaan I MT II 12,0 Percobaan II MT I 12,0 y = -0,4825x2 + 3,8597x R² = 0,9717 10,0 Biji kering (t/ha) Biji kering (t/ha) 0,15a 0,12a 0,22a 0,24a 0,32a 0,30b 12,0 10,0 6,0 Na MT I MT II MT I MT II kg-1 …………………………………. 11,65a 8,39a 11,71a 13,04a 11,31a 12,44a 14,0 14,0 Biji kering (t/ha) K 8,0 6,0 4,0 2,0 10,0 8,0 y = -1,9163x 2 + 8,9704x R² = 0,7193 6,0 4,0 2,0 0,0 0,0 0,0 0,5 1,0 1,5 2,0 2,5 Perlakuan (% C-organik) 3,0 3,5 4,0 0,0 0,5 1,0 1,5 2,0 2,5 3,0 3,5 Perlakuan (% C-organik) Gambar 4. Kurva hubungan antara perlakuan pupuk kandang untuk mencapai kandungan Corganik tanah (perlakuan) dan hasil jagung pada percobaan I dan II Figure 4. Curve relationship between manure treatments to achieve the C-organic content of the soil (treatment) and maize yields in experiments I and II 89 JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 36/2012 Data hasil panen jagung pada Tabel 5 dan kurva hubungan antara perlakuan pemberian pupuk kandang dan hasil jagung tersebut pada Gambar 4, menunjukkan bahwa hasil jagung pipilan kering terus meningkat secara kuadratik. Namun pada dosis pemberian pupuk kandang untuk mencapai kandungan C-organik tanah 3,0% di percobaan I MT I dan 2,5% di percobaan II MT I, kenaikan hasil jagung mulai berkurang. Pada MT II penurunan kenaikan hasil dimulai ketika kandungan C-organik tanah mencapai 2,5% di kedua lokasi percobaan. Kandungan C-organik tanah pada saat panen MT I berkisar antara 1,55-1,80% C di percobaan I, dan 1,11-1,49% C di percobaan II sedangkan pada saat panen MT II berkisar 1,78-2,56% (percobaan I) dan 1,13-1,96% percobaan II (Gambar 4). Ini artinya, bahwa dalam kondisi kandungan C-organik tanah > 2,2% di percobaan I dan > 1,6% di percobaan II mampu mempertahankan hasil jagung tetap optimum. Oleh sebab itu, residu kandungan Corganik untuk mempertahankan produksi jagung dalam kondisi optimum berada pada kisaran 1,72,3% atau setara dengan kandungan bahan organik tanah sebesar 2,9-4,0% merupakan ambang batas untuk melakukan penambahan. Untuk mencapai residu tersebut diperlukan penambahan C-organik tanah 2-3% atau setara 3,5-5% bahan organik tanah selama 1 musim tanam. kandungan bahan organiknya makin tinggi. Hal tersebut tergambarkan dalam kurva hubungan berat isi tanah dengan kandungan bahan organik yang bersifat kuadratik hanya untuk tanah Oxisols percobaan I, sedangkan pada percobaan II menunjukkan adanya hubungan kuadratik terbalik (Gambar 5). Berdasarkan persamaan regresi dapat dihitung bahwa untuk mempertahankan berat isi tanah dalam kondisi gembur serta menunjang pertumbuhan dan hasil jagung, maka C-organik tanah dapat dipertahankan sampai 2,5% setara dengan 4,3% bahan organik tanah (Tabel 8). Pada tanah Alfisols (percobaan II) C-organik tanah tidak selalu menurunkan bobot isi tanah, ketika Berat isi tanah dipengaruhi oleh kandungan bahan organik tanah, makin rendah berat isi tanah ditingkatkan pada musim kemarau karena kehilangan kadar air tanah. Hilangnya air tanah menyebabkan volume tanah menurun dan bobot isi meningkat. Hubungan indeks kestabilan agregat tanah dengan C-organik tanah disajikan pada Tabel 9 dan Gambar 6. C-organik tanah berkorelasi positif dengan indeks kestabilan agregat. Makin tinggi kandungan C-organik tanah, maka agregat tanah mantap, sedangkan menunjukkan hubungan Memperhatikan kedua pada percobaan yang gambar sebaliknya. tersebut, maka masih perlu dikaji lebih jauh. Percobaan II 1,10 y = -0,0173x 2 + 0,0681x + 0,9357 R² = 0,1256 1,08 1,06 1,04 1,02 1,00 y = 0,0152x 2 - 0,0556x + 1,0716 R² = 0,0441 0,98 0,96 0,94 0,0 1,0 2,0 Perlakuan (% C-oraqnik) 3,0 4,0 0,0 0,5 1,0 1,5 2,0 2,5 3,0 Perlakuan (% C-organik) Gambar 5. Hubungan antara C-organik tanah dengan bobot isi tanah pada percobaan I dan II Figure 5. 90 II penetapan ambang batas indeks kestabilan agregat Bobot isi (g/cm3) Bobot isi (g/cm3) tanah terutama disebabkan terjadi peningkatan bobot isi Percobaan I 1,10 1,08 1,06 1,04 1,02 1,00 0,98 0,96 0,94 0,92 0,90 C-organik terjadi peningkatan bobot isi (Gambar 5). Hal ini makin Hubungan antara berat isi tanah dan IKA dengan C-organik tanah kandungan The relationship between C-organic soil with soil bulk density in the experiments I and II 3,5 S. SUTONO DAN UNDANG KURNIA : BAKUMUTU TANAH PADA LAHAN TERDEGRADASI Tabel 8. Hubungan antara kandungan C-organik tanah dan hasil jagung pipilan kering pada percobaan I dan II Table 8. The relationship between C-organic content of the soil and dried corn yield in experiments I and II Perlakuan Sandi C-organik tanah Musim tanam I C-organik tanah*) Musim tanam II Hasil jagung **) C-organik tanah*) Hasil jagung **) % t ha-1 -1 ...................... % ...................... Percobaan I MC0 1,18 1,55 MC1 1,50 1,77 MC2 2,00 1,80 MC3 2,50 1,76 MC4 3,00 1,67 MC5 3,50 1,65 5,35 7,71 9,86 10,07 10,04 11,80 1,78 2,26 2,22 2,30 2,26 2,56 4,07 4,33 6,01 6,76 6,99 7,69 Percobaan II BC0 BC1 BC2 BC3 BC4 BC5 5,57 8,31 8,82 9,84 9,27 10,60 1,13 1,26 1,42 1,66 1,96 1,63 5,00 5,31 6,19 7,15 7,71 7,85 0,68 1,00 1,50 2,00 2,50 3,00 1,14 1,12 1,11 1,39 1,16 1,49 t ha Keterangan: *) sampel tanah diambil setelah panen jagung, **) hasil jagung pipilan kering Tabel 9. Hubungan antara kandungan C-organik tanah dan indeks kestabilan agregat pada percobaan I dan II Table 9. The relationship between C-organic content of the soil and aggregate stability index in experiments I and II Perlakuan Sandi Musim tanam I C-organik tanah *) C-organik tanah *) Berat isi *) ........................ % ........................ Percobaan I MC0 1,18 1,55 MC1 1,50 1,77 MC2 2,00 1,80 MC3 2,50 1,76 MC4 3,00 1,67 MC5 3,50 1,65 Percobaan II BC0 BC1 BC2 BC3 BC4 BC5 0,68 1,00 1,50 2,00 2,50 3,00 1,14 1,12 1,11 1,39 1,16 1,49 Musim tanam II IKA *) -1 g cc C-organik tanah *) Berat isi *) % g cc-1 0,99 1,05 1,00 0,94 0,99 0,96 86 92 96 84 118 136 1,78 2,26 2,22 2,30 2,26 2,56 0,97 0,98 1,03 1,05 0,92 0,99 1,08 1,04 1,06 1,01 1,05 1,09 32 32 33 38 36 32 1,13 1,26 1,42 1,66 1,96 1,63 0,99 1,02 1,06 0,95 1,02 1,00 Keterangan: *) sampel tanah diambil setelah panen jagung MT I dan MT II 91 JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 36/2012 Percobaan I 160 Percobaan II 160 140 140 y = 14,771x 2 - 49,488x + 128,32 R² = 0,8621 120 120 100 IKA IKA 100 80 60 60 40 40 20 20 0 y = 3,5304x 2 - 16,641x + 52,776 R² = 0,3612 80 0 0,0 0,5 1,0 1,5 2,0 2,5 3,0 3,5 4,0 Perlakuan (% C-organik) 0,0 0,5 1,0 1,5 2,0 2,5 3,0 3,5 Perlakuan (% C-organik) Gambar 6. Hubungan antara indeks kestabilan agregat (IKA) dengan C-organik tanah pada percobaan I dan II Figure 6. The relationship between aggregate stability index (ASI) with C-organic soil I and II trials Indeks kestabilan agregat tanah pada percobaan I tergolong sangat mantap sedangkan untuk lokasi perobaan II tergolong tidak mantap. Perbedaan inilah yang menyulitkan menentukan ambang batas atau baku mutu indeks kestabilan agregat bagi lahan pertanian. Pemberian bahan organik tanah yang mencapai lebih dari 30 t ha-1 untuk dua musim tanam belum mampu meningkatkan indeks kemanatapan agregat. Pembentukan agregat sulit tercapai jika setiap musim tanam dilakukan pengolahan tanah. Menurut Rachman dan Abdurachman (2006) faktor pengolahan tanah, mikroba, dan penutupan tajuk mempengaruhi pembentukan agregat tanah. Sebaliknya, pengolahan tanah cenderung dapat memecah agregat tanah yang telah terbentuk. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Pupuk kandang mampu memperbaiki sifat-sifat fisik dan kimia tanah serta hasil jagung pipilan kering secara nyata. Semakin tinggi jumlah pupuk kandang yang diberikan, semakin baik sifat-sifat fisik dan kimia tanah, tetapi hasil jagung meningkat secara kuadratik. 2. Residu C-organik tanah sebanyak 1,6% atau setara dengan 2,8% bahan organik tanah merupakan ambang batas untuk mempertahankan 92 sifat fisika dan kimia tanah yang mendukung perolehan hasil optimum tanaman jagung. Jika residu C-organik tanah < 1,6% kondisi beberapa sifat fisik dan kimia tanah menjadi lebih jelek. 3. Kehilangan C-organik sejalan dengan peningkatan hasil jagung. Makin besar kehilangan C-organik makin tinggi peningkatan hasil, walaupun peningkatan hasil jagung pipilan keringnya secara kuadratik. Kehilangan tertinggi dicapai pada perlakuan pemberian C-organik 3% sebesar 0,6-1,9% C-organik hilang selama MT I yang setara dengan 1-3,3% bahan organik tanah. 4. Standar kualitas tanah bagi kandungan C-organik untuk mempertahankan sifat fisika dan kimia tanah, serta produksi jagung dalam kondisi optimum berada pada kisaran 1,7-2,3% atau setara dengan kandungan bahan organik tanah sebesar 2,9-4,0%. 5. Pertumbuhan dan hasil jagung akan mencapai optimum jika berat isi tanah berada pada kisaran 0,98-1,00 g cc-1. Makin rendah berat isi tanah diharapkan tanaman menjadi lebih mampu memberikan hasil yang tinggi. 6. Pada tanah Oxisols Mekarmukti pemberian Corganik sangat nyata mampu mempertahan indeks kemantapan agregat dalam kelas sangat mantap, tetapi pada tanah Alfisols pemberian C- S. SUTONO DAN UNDANG KURNIA : BAKUMUTU TANAH PADA LAHAN TERDEGRADASI organik hanya mampu mempertahankan indeks kemantapan agregat tanah dalam kelas tidak mantap yang sama dengan sebelum diberi perlakuan. Saran Bahan organik tanah selalu berkurang keberadaannya, oleh karena itu untuk mempertahankan residu bahan organik dalam tanah tetap berada di atas bakumutunya, maka setiap musim tanam perlu ditambahkan bahan organik tanah yang berasal dari pupuk kandang, sisa-sisa tanaman, serta menerapkan tindakan konservasi tanah yang mampu menekan laju erosi dan aliran permukaan. DAFTAR PUSTAKA Abujamin, S., A. Abdurachman, dan U. Kurnia. 1983. Strip rumput permanen sebagai salah satu cara konservasi tanah. Pemberitaan Penelitian Tanah dan Pupuk 1:16-20. Constantinensco, I. 1976. Soil Conservation for Developing Countries. FAO Soil Bulletin No. 30. Dent, F.J. 1993. Towards a Standard Methodology for the Collection and Analyses of Land Degradation Data. Proposal for Discussion Expert Consultation of the Asian Network on Problem Soils. 25-29 October 1993. FAO Regional Office for Asia and Pacific (RAPA). FAO-UN Bangkok, Thailand. Direktorat Bina Rehabilitasi dan Pengembangan Lahan, Ditjen Tanaman Pangan 1991. Laporan Inventarisasi/Identifikasi Lahan Marginal/Lahan Kritis pada Kawasan Lahan Usahatani di seluruh Indonesia. Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, Jakarta. Hafif, B., M. Suhardjo, dan D. Erfandi. 1993. Pengaruh mulsa jerami dan beberapa teknik konservasi tanah terhadap produksi kedelai di lahan kering Lampung. Pertemuan Pembahasan Penelitian Tanah dan Agroklimat. Cipayung 19-22 Februari 1993. Jacks, G.V., W.D. Brind, and R. Smith. 1955. Mulching. Tech. Comm. No. 49 of The Commonwealth Bureau of Soil Science. Commonwealth Agric. Royal, Bucks England. Bureaux. Faruhan Kementerian Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup. 1992. Report on Soil Quality Standards for Indonesia. Environmental Management Development in Indonesia. KLH dan Dalhousie University, Canada (unpublished). Klingebiel, A.A. and P.H. Montgomery. 1973. Land Capability Classification. Agric. Handbook No. 210. Soil Conservation Service. USDA. Kurnia, U., A. Dariah, dan S.H. Tala’ouhu. 2007. Penyusunan Baku Mutu dan Teknologi Rehabilitasi Lahan Terdegradasi. Laporan Tengah Tahun Balai Penelitian Tanah, Bogor. Kurnia, U., N. Sinukaban, F.G. Suratmo, H. Pawitan, dan H. Suwardjo. 1997. Pengaruh teknik rehabilitasi lahan terhadap produktivitas tanah dan kehilangan hara. Jurnal Tanah dan Iklim 15:10-18. Kurnia, U. 1996. Kajian Metode Rehabilitasi Lahan untuk Meningkatkan dan Melestarikan Produktivitas Tanah. Disertasi Doktor. Program Pasca Sarjana IPB, Bogor. Kurnia, U. dan Suwardjo. 1985. Pengaruh beberapa cara konservasi mekanik terhadap erosi pada tanah Tropudalfs dan Troprothents di Yogyakarta. Pemberitaan Penelitian Tanah dan Pupuk 4:46-50. Lal, R. 1976. Soil Erosion Problems on an Alfisol in Western Nigeria and Their Control. IITA Monograph No. 1. Ibadan. Muljadi, D. dan M. Soepraptohardjo. 1975. Masalah Data Luas dan Penyebaran Tanah-Tanah Kritis. Simposium Pencegahan dan Pemulihan Tanah Kritis dalam Rangka Pengembangan Wilayah. Jakarta. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. 1997. Statistik Sumberdaya Lahan/Tanah Indonesia. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Badan Litbang Pertanian, Jakarta. Rachman, A. dan A. Abdurachman. 2006. Penetapan kemantapan agregat tanah. Hlm 63-73. Dalam Kurnia, U. et al. (Eds.). Sifat Fisik Tanah dan Metode Analisisnya. BB Litbang SDLP. Bogor. Sekretariat Tim Pengendali Bantuan Penghijauan dan Reboisasi Pusat. 1985. DAS, Sub DAS 93 JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 36/2012 Prioritas serta Lokasi dan Luas Lahan Kritis sebagai Sasaran Penghijauan dan Reboisasi Pusat dalam Pelita III. Dept. Kehutanan No. 25-8/PU/Sek/TPP/1985. Soerianegara, I. 1977. Pengelolaan Sumberdaya Alam. Bahan Kuliah Sekolah Pasca Sarjana IPB. Buku I. Soil Horizons. 2000. Sindi (soil indicators) is alive. Soil Horizons. 4:1-2 Sudirman dan T. Vadari. 2000. Pengaruh kekritisan lahan terhadap produksi padi dan kacang tanah di Garut Selatan. Hlm 411-418. Dalam Prosiding Kongres Nasional HITI VII. Bandung, 2-4 November 1999. Sudjadi, M. 1984. Masalah kesuburan tanah Ultisols dan kemungkinan pemecahannya. Hlm 3-10. Dalam Prosiding Pertemuan Teknis Penelitian 94 Pola Usahatani Menunjang Transmigrasi. Cisarua, 27-29 Pebruari 1984. Departemen Pertanian, Badan Litbang Pertanian, Jakarta. Suwardjo, and N.L. Nurida. 1994. Land Degradation in Indonesia. Data Collection and Analysis. Center for Soil and Agroclimate Research, Bogor. Suwardjo, S. Abujamin. 1985. Crop residue mulch for conserving soil in uplands of Indonesia. Pp. 607-614. In El-Swaify, S.A., W.C. Moldenhauer, and Andrew Lo (Eds.). Soil Erosion and Conservation. Suwardjo. 1981. Peranan Sisa-sisa Tanaman dalam Konservasi Tanah dan Air pada Usahatani Tanaman Semusim. Disertasi Fakultas Pasca Sarjana, IPB Bogor.