DOI: http://dx.doi.org/10.17969/jtipi.v7i2.3278 http://Jurnal.Unsyiah.ac.id/TIPI Jurnal Teknologi dan Industri Pertanian Indonesia Open Access Journal PEMBUATAN BUBUK ASAM SUNTI MELALUI OPTIMASI SUHU DAN LAMA PENGERINGAN PRODUCTION OF ASAM SUNTI POWDER BY OPTIMIZATION OF DRYING TEMPERATURE AND TIME Faidha Rahmi* INFO ARTIKEL Submit: 3 Agustus 2015 Perbaikan: 7 September 2015 Diterima: 11 September 2015 Keywords: Aceh, asam sunti powder, bilimbi, drying temperature and time ABSTRACT Asam sunti is a fermented bilimbi of Acehnese used with sour taste and specific aroma. The aim of this research was to study the production of asam sunti powder by optimization of drying temperature and time. The study was conducted using completely randomized design with two factors (drying temperature and time) and three repetition. Parameter analyzed were chemical and sensory characteristics including water content, Vitamin C, pH, color and taste. The best treatment was obtained by drying temperature of 50⁰C and drying time of 8 h with water content of 4, 43%, pH of 1, Vitamin C of 49,28 mg, taste of 0,41 and color of 1,5. 1. PENDAHULUAN Belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L.) merupakan salah satu tanaman yang termasuk kedalam famili Oxalidaceae. Belimbing wuluh diduga berasal dari Malaysia, penyebarannya sangat luas termasuk di Indonesia mungkin karena kemudahan tanaman ini untuk tumbuh. Jenis tanaman ini dapat ditemui di tempat yang banyak terkena sinar matahari langsung tetapi cukup lembab. Hampir di semua daerah di Indonesia terdapat belimbing wuluh dan setiap daerah mempunyai nama tertentu. Tanaman ini ditanam sebagai pohon buah dipekarangan, tidak memerlukan perawatan khusus dan kadangJurusan Agroteknologi, Universitas Gajah Putih, Blang Bebangka Aceh Tengah 24561 *Email: [email protected] kadang tumbuh liar (Steenis, 1997; Manan, 2002). Pemanfaatan belimbing wuluh di Indonesia umumnya dalam bentuk segar namun khususnya di Provinsi Aceh, belimbing wuluh banyak digunakan dalam bentuk olahan yang dikenal dengan sebutan asam sunti (Yulinawati, 2002; Muzaifa, 2008). Proses pembuatan asam sunti relatif sederhana dan dicirikan sebagai pengolahan tradisional yang mengawetkan bahan pangan mudah rusak, biaya produksi keseluruhan yang cukup murah, menggunakan peralatan yang masih sangat sederhana, serta cara pengolahannya yang diperoleh secara turun temurun dari masyarakat zaman dulu. Asam sunti diperoleh melalui penggaraman dan penjemuran berulang sehingga diperoleh produk semi basah, berwarna cokelat, berasa asam dan asin serta mempunyai tekstur agak kenyal (Muzaifa, 2008). Dalam penggunaannya, asam sunti biasanya digiling halus kemudian ditambahkan ke dalam masakan. Namun tekstur asam sunti sering JURNAL TEKNOLOGI DAN INDUSTRI PERTANIAN INDONESIA – Vol. 07 , No. 02 , 2015 ©Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Universitas Syiah Kuala ditemui dalam kondisi cukup kenyal sehingga butuh waktu yang agak lama untuk menghaluskannya. Pembuatan asam sunti dalam bentuk yang lebih praktis (bentuk bubuk) telah dikaji oleh Noviyanti (2004). Berdasarkan penelitian tersebut diperoleh informasi bahwa terjadi penurunan kandungan asam organik pada bubuk asam sunti. Penurunan asam-asam organik ini diduga disebabkan oleh proses oksidasi sebagian asam-asam organik selama penjemuran. Winarno (1997) menyebutkan bahwa selama proses penjemuran dapat terjadi oksidasi pada sayur dan buah yang dipercepat oleh panas, katalisator, oksidator dan enzim. Diduga suhu dan lamanya waktu penjemuran sangat berperan dalam menurunkan tingkat keasaman bubuk asam sunti. Oleh karena itu perlu dilakukan optimasi pembuatan bubuk asam sunti melalui pengaturan suhu dan waktu pengeringan. 2. MATERIAL DAN METODE Bahan dan Alat Bahan utama yang digunakan adalah asam sunti yang diperoleh dari pengrajin asam sunti yang berada di desa Limpok, Darussalam, aquadest, NaOH 0,1 N, fenolftalein, potasium kromat 5% dan perak nitrat. Alat yang digunakan adalah oven merk Philip Harris Ltd, blender, timbangan analitik, desikator, ayakan ukuran 40 mesh, pipet tetes, tanur, tabung reaksi, pH meter merk TOA, sejumlah peralatan gelas dan baskom. Rancangan Percobaan Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap Faktorial (RAL) dengan pola faktorial yang terdiri atas 2 faktor. Faktor pertama adalah suhu pengeringan asam sunti yang terdiri atas 3 taraf (menggunakan oven dengan suhu T1=40oC, T2= 50oC, serta penjemuran dengan sinar matahari (T3)). Faktor kedua adalah lama pengeringan yang terdiri atas 3 taraf yaitu 6 jam (t1), 7 jam (t2), dan 8 jam (t3). Setiap perlakuan dilakukan dengan 3 kali ulangan sehingga diperoleh 27 satuan percobaan. Prosedur Penelitian Pembuatan asam sunti dimulai dengan proses penjemuran belimbing wuluh di bawah sinar matahari selama satu hari penuh, yaitu penjemuran selama 8 jam di atas lembaran plastik hitam dan ditutup dengan lembaran plastik hitam lainnya lalu diangkat, dan dimasukkan ke dalam baskom sambil ditaburi garam sebanyak 10%. Keesokan harinya dijemur kembali dan diangkat 54 serta ditaburi lagi dengan garam 10%, penambahan garam dilakukan 3 kali masingmasing 10%, begitu seterusnya diulang selama ± 5 hari sehingga diperoleh belimbing yang semi basah berwarna coklat dan memiliki tekstur yang kenyal. Prosedur pembuatan bubuk asam sunti dilakukan dengan modifikasi cara pembuatan asam sunti oleh Noviyanti (2004). Asam sunti diiris tipis membujur dengan ketebalan ± 0,1 cm. Irisan asam sunti diletakkan di atas loyang dan dikeringkan dengan menggunakan oven pada suhu 40oC, dan 50oC dengan waktu 6, 7 dan 8 jam, serta penjemuran di bawah sinar matahari selama 2 hari dengan waktu 3, 3,5dan 4 jam/hari. Asam sunti yang telah dikeringkan lalu digiling menggunakan blender kering selama 10 menit. Setelah itu dilakukan pengayakan dengan ukuran ayakan 40 mesh, hasilnya disimpan dalam wadah kedap udara. Dengan cara yang sama, dibuat bubuk asam sunti yang dikeringkan dengan oven pada suhu 70oC sebagai pembanding. Analisis yang dilakukan terhadap produk bubuk asam sunti yang dihasilkan terdiri atas analisis kimia dan sensori. Analisis kimia meliputi pengukuran kadar air, total asam, kadar vitamin C, pH. Analsis sensori meliputi uji pembanding berpasangan terhadap rasa dan warna. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Kadar Air Hasil analisis kadar air bubuk asam sunti berkisar antara 4.3-5.5% dengan rata-rata 4.85%. Hasil analisis menunjukkan bahwa suhu pengeringan (T) berpengaruh sangat nyata (P≤0,01) terhadap kadar air bubuk asam sunti. Sedangkan waktu pengeringan (t) dan interaksi suhu dan waktu berpengaruh tidak nyata terhadap kadar air. Pengaruh kadar air terhadap suhu pengeringan dapat dilihat pada Gambar 1. Gambar 1. Pengaruh suhu pengeringan terhadap kadar air bubuk asam sunti (Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan perbedaan yang tidak nyata pada BNT0.05= 0.789) JURNAL TEKNOLOGI DAN INDUSTRI PERTANIAN INDONESIA – Vol. 07, No. 02 , 2015 ©Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Universitas Syiah Kuala Gambar 1 menunjukkan bahwa kadar air bubuk asam sunti yang dikeringkan pada suhu 50oC (T2) lebih rendah dari kadar air bubuk asam sunti pada pengeringan dengan suhu 40oC (T1). Kadar air yang tinggi dihasilkan pada suhu 40oC karena air yang ada pada bubuk asam sunti tidak teruapkan secara sempurna, tingginya kadar air disebabkan karena pada saat pengeringan dilakukan menggunakan suhu rendah sehingga air yang teruapkan hanya sedikit. Dari masing-masing perlakuan dapat dilihat bahwa kadar air yang rendah dihasilkan pada suhu 50oC yaitu 4.42% dan merupakan hasil yang terbaik. yang terlalu tinggi sekitar ± 80oC (Sudarmadji et al., 1996), sinar, alkali natrium (Na) dan kalium (K) serta enzim askorbat oksidase. Nilai pH Nilai pH pada bubuk asam sunti berkisar antara 0.3-1.0, sedangkan rerata untuk nilai pH 0,69. Berdasarkan sidik ragam diketahui bahwa hanya interaksi suhu dan waktu yang berpengaruh nyata (P≤0.05) terhadap pH bubuk asam sunti. Pengaruh interaksi suhu dan waktu pengeringan terhadap nilai pH bubuk asam sunti dapat dilihat pada Gambar 3. Vitamin C Hasil analisis vitamin C bubuk asam sunti berkisar antara 27.17-50.25 mg/100 g bahan dengan rata-rata 38.22 mg/100 g bahan. Hasil analisis menunjukkan bahwa hanya interaksi suhu dan waktu (Tt) yang berpengaruh nyata (P≤0.05) terhadap kadar vitamin C bubuk asam sunti, sedangkan suhu dan waktu berpengaruh tidak nyata (P>0.05). Gambar 3. Pengaruh interaksi suhu dan waktu pengeringan terhadap nilai pH bubuk asam sunti (Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan perbedaan yang tidak nyata pada BNT0.05=0.40) Gambar 2. Pengaruh interaksi suhu dan waktu pengeringan terhadap vitamin C bubuk asam sunti (Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan perbedaan yang tidak nyata pada BNT0.05= 12.73). Dari hasil uji BNT0.05 (Gambar 2) menunjukkan bahwa interaksi antara suhu dan waktu berbedabeda terhadap kadar vitamin C pada bubuk asam sunti. Kadar vitamin C pada suhu pengeringan 40oC (T1) dan menggunakan sinar matahari (T3) menunjukkan perbedaan yang tidak nyata dengan waktu pengeringan yang berbeda (6 (t1), 7 (t2), dan 8 (t3) jam), sedangkan pengeringan menggunakan suhu 50oC (T2), kadar vitamin C nya menurun dengan semakin lamanya waktu pengeringan. Kadar vitamin C tersebut turun sekitar 40% bila pengeringan dilakukan selama 8 jam. Vitamin C merupakan vitamin yang larut dalam air dan mudah rusak, penyebab kerusakannya antara lain karena panas atau suhu Berdasarkan Gambar 3 terlihat bahwa pH yang dihasilkan bervariasi dari masing-masing perlakuan. Walaupun pH terendah diperoleh pada perlakuan suhu 50oC dan lama pengeringan 6 jam namun terlihat pH tidak terlalu berbeda diantara semua perlakuan yaitu masih termasuk kategori sangat asam (pH masih < 1). Keasaman asam sunti berasal dari kandungan asam organik yang terdapat pada belimbing wuluh dan asam-asam organik yang terbentuk selama fermentasi (Muzaifa, 2008). Uji Organoleptik Uji organoleptik penting dilakukan untuk melihat tingkat kualitas suatu produk. Uji organoleptik yang dilakukan pada penelitian ini meliputi uji terhadap rasa dan warna. Uji organoleptik untuk bubuk asam sunti dilakukan dengan uji pembanding pasangan antara bubuk asam sunti hasil penelitian dengan bubuk asam sunti yang dibuat pada suhu 70oC (Noviyanti, 2004). Panelis diminta memberikan penilaian berdasarkan kelebihan dengan nilai yang berkisar dari -2, -1, 0, +1, +2, dimana -2 merupakan parameter sangat lebih buruk, sedangkan +2 merupakan parameter sangat lebih baik bila dibandingkan dengan JURNAL TEKNOLOGI DAN INDUSTRI PERTANIAN INDONESIA – Vol. 07, No. 02 , 2015 ©Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Universitas Syiah Kuala 55 sampel pembanding pada suhu 70oC. Cara pengujian yang dilakukan yaitu dengan mencoba bubuk asam sunti secara langsung, tanpa dicampur sebagai bumbu masakan. 1. Rasa Untuk organoleptik rasa berkisar antara 0.1-0.5 dengan rata-rata 0.41, dengan penilaian +2= sangat lebih baik dibandingkan dengan rasa produk pembanding, 0= netral yaitu sama dengan produk pembanding dan -2 sangat lebih buruk dibandingkan rasa produk pembanding. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa suhu, waktu dan interaksi keduanya berpengaruh tidak nyata (P>0.05) terhadap rasa bubuk asam sunti. 2. warna Warna merupakan fenomena yang melibatkan komponen fisik dan psikologis untuk menerima persepsi cahaya. Dari hasil analisis, nilai untuk warna berkisar antara 1.14-1.91 dengan rata-rata 1.5. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa hanya waktu pengeringan berpengaruh nyata (P≤0.05) terhadap warna bubuk asam sunti. Hasil analisis BNT dapat dilihat pada Gambar 4. Gambar 4. Pengaruh waktu pengeringan terhadap organoleptik warna bubuk asam sunti (Nilai yang diikuti huruf yang sama menunjukkan perbedaan yang tidak nyata pada BNT0.05= 0.713), dengan penilaian +2= sangat lebih baik dibandingkan warna produk pembanding, 0= netral, yaitu sama dengan produk pembanding dan -2= sangat lebih buruk dibandingkan warna produk pembanding. Gambar 4 menunjukkan bahwa perlakuan pengeringan selama 7 jam (1,46) tidak berbeda nyata dengan waktu pengeringan selama 6 jam namun berbeda dengan pengeringan selama 8 jam (1,68). Warna yang diperoleh pada perlakuan pengeringan selama 8 jam menunjukkan warna yang lebih baik yaitu lebih besar dari nilai 0 (netral) dan menuju ke arah yang lebih baik. Warna yang diinginkan pada asam sunti yaitu warna cokelat kemerahan. Warna asam sunti yang kecokelatan diduga berkaitan dengan adanya degradasi klorofil dan juga akibat teroksidasinya komponen kimia dari belimbing wuluh selama 56 penjemuran dan penggaraman berulang. Kandungan gula dan asam-asam organik dalam asam sunti diduga teroksidasi selama pengeringan. Semakin lama waktu pengeringan semakin besar komponen kimia yang teroksidasi (Labuza and Baisier, 1992; Jones et al., 1962). 4. KESIMPULAN Suhu pengeringan berpengaruh sangat nyata terhadap kadar air bubuk asam sunti, semakin tinggi suhu pengeringan maka kadar air bubuk asam sunti menurun dan bubuk asam sunti yang dihasilkan semakin kering. Waktu pengeringan berpengaruh nyata terhadap organoleptik warna bubuk asam sunti. Warna yang diharapkan adalah coklat kemerahan. Sedangkan interaksi antara suhu dan waktu berpengaruh nyata terhadap kandungan vitamin C dan nilai pH. Produk terbaik diperoleh pada suhu 50oC dengan waktu pengeringan selama 8 jam. DAFTAR PUSTAKA Jones I.D.,R.C. White and E. Gibbs. 1962. Some Pigment Changes In Cucumbers During Brining And Brine Storage. Journal Of Food Microbiology, 16 ; 96-102 Labuza T.P and M. Baisier. 1992. Di dalam Phisical Chemistry of Foods. H.G. Schwartzberg and R.W. Hartel. Marcel Dekker, Inc. New York. Manan, H.A. 2002. Belimbing Wuluh. Harian Suara Merdeka, 20 April 2002. Muzaifa, M. 2008. Perubahan Karakteristik Mikrobiologis dan Fisikokimia Belimbing Wuluh dan Identifikasi bakteri Asam Laktat Yang Terlibat Selama Proses Pembuatan Asam Sunti. Thesis. Universitas Brawijaya, Malang. Noviyanti, 2004. Kajian Pembuatan Bubuk Asam Sunti dari Belimbing Wuluh(Averrhoa bilimbi). Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh... Steenis, G.G. J.V.1997.Flora. PT. Pradnya, Jakarta Sudarmadji,S., B. Haryono dan Suhardi.1997. Prosedur Analisa Untuk Bahan Makanan Dan Pertanian. Liberty, Yogyakarta Winarno, F.G. 1997. Kimia Pangan Dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Yulinawati.2002. Studi Pembuatan Pasta Asam Sunti Dari Belimbing Wuluh (Averrhoa Billimbi) sebagai Bumbu. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. JURNAL TEKNOLOGI DAN INDUSTRI PERTANIAN INDONESIA – Vol. 07, No. 02 , 2015 ©Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Universitas Syiah Kuala