BAB II TINJAUAN PUSTAKA Bab ini akan menguraikan konsep-konsep penting yang berhubungan dengan fenomena yang hendak diteliti. Terdiri dari konsep mengenai pengambilan keputusan, yang berisi penjelasan mengenai pengertian pengambilan keputusan, tahapan dalam pengambilan keputusan. Pada bab ini, akan dibahas juga topik-topik mengenai biarawati Katolik dan Buddha, proses menjadi biarawati, yang sebelumnya didahului dengan pengertian biara, cara hidup membiara. A. Pengambilan Keputusan 1. Pengertian Setiap harinya individu menghadapi proses-proses pengambilan keputusan. Menurut Sarwono (1976) pengambilan keputusan merupakan salah satu proses berpikir terarah, yaitu proses berpikir yang sudah ditentukan sebelumnya dan diarahkan kepada sesuatu, biasanya diarahkan kepada pemecahan persoalan. Pengertian pengambilan keputusan menurut Suharnan (2005) adalah suatu proses ketika seseorang sedang memilih di antara dua alternatif atau lebih, menaksir frekuensi suatu kejadian, atau memprediksi situasi di depan berdasarkan informasi yang terbatas. Definisi tersebut sejalan dengan yang dikemukakan oleh Terry 1960 (dalam Syamsi, 1989) yang menyatakan bahwa pengambilan keputusan adalah pemilihan alternatif 11 12 perilaku dari dua alternatif atau lebih, tindakan untuk memecahkan masalah yang dihadapi melalui pemilihan satu diantara alternatifalternatif yang memungkinkan. Janis dan Mann (1977) mengartikan pengambilan keputusan merupakan pemecahan dari masalah agar terhindar dari faktor-faktor situasional. Pengambilan keputusan juga merupakan suatu proses dan berlangsung dalam suatu sistem, walaupun merupakan suatu keputusan atau desisi pribadi sekalipun yang menyangkut suatu masalah pribadi. Hal tersebut perlu untuk disadari agar supaya kita dapat berhasil di dalam upaya mengembangkan kemampuan kita untuk mengambil desisi mengenai problema-problema yang menghendaki suatu keputusan dari kita. Makin mampu kita mengenali masalah-masalah yang selalu akan kita jumpai di dalam perjalanan menuju ke kemajuan dalam hidup, dan makin mampu kita mengatasi atau memecahkan masalah-masalah tersebut, maka akan besar serta cepatlah sukses yang akan dicapai (Atmosudirdjo, 1982). Sistem dalam proses pengambilan keputusan itu berlangsung terdiri atas berbagai unsur (elemen), dan masing-masing merupakan suatu faktor yang ikut menentukan segala apa yang akan terjadi. Unsur yang terpenting dalam proses pengambilan keputusan adalah “masalah” yang harus dihadapi dan menghendaki adanya keputusan dari kita. Jadi, bagi seseorang yang ingin maju dalam kehidupannya, mutlak diperlukan kemampuan untuk melihat, atau mengenali, atau mengindentifikasi masalah. Sesuatu merupakan masalah atau problema, dilihat dari segi pengambilan keputusan bilamana kita mempunyai tujuan yang jelas dan tegas yang sedang kita 13 kejar. Untuk mencapai tujuan tersebut kita melakukan planning, secara sederhana maupun kompleks, sehingga ada daya upaya dengan memakai rencana-rencana tertentu sebagai pegangan atau sarana. Setiap penyimpangan atau ketidaksesuaian dengan yang kita rencanakan, merupakan masalah bagi kita, yang memerlukan suatu keputusan dari kita. Mengambil keputusan secara aktif akan memberikan individu suatu tingkat pengendalian atas kehidupan individu, pilihan-pilihan yang individu buat sebenarnya membantu individu menentukan hari depan (Manullang, 1986). Suatu pengambilan keputusan yang menentukan hari hari depan tentunya akan disertai dengan konsekuensi- konsekuensi yang mungkin akan dihadapi sebelum mengambil sebuah keputusan. Suparno (2009) mengatakan, bahwa pada pengambilan keputusan persoalan yang sederhana, bila salah memutuskan maka akan mengakibatkan kerugian kecil, dan tidak begitu merugikan, namun pengambilan keputusan persoalan yang besar yang meyangkut hidup individu yang penting, jika salah dapat sangat merugikan bahkan membuat hidup individu tidak bahagia. Karena itu, individu pembuat keputusan harus mempertimbangkan konsekuensi yang mungkin terjadi sebagai akibat keputusan yang diambilnya. Lebih lengkap mengenai konsekuensi Anderson dalam 1980 pengambilan (dalam Suharnan, keputusan 2005), diungkapkan mengatakan oleh bahwa konsekuensi dari setiap keputusan meliputi konsekuensi yang dapat terlihat langsung dan tidak langsung, jangka pendek dan jangka 14 panjang, bagi diri sendiri dan orang lain, dan keuntungan dan kerugian yang mungkin akan didapatkan. 2. Tahapan – tahapan dalam pengambilan keputusan Janis dan Mann (1977) memperkenalkan lima tahapan dalam pengambilan keputusan, kelima tahapan tersebut meliputi : a. Mengenali masalah (Appraising the Challenge). Pada tahap ini, individu diterpa dengan berbagai informasi. individu dihadapkan kepada suatu tantangan terhadap jalur tindakannya yang berlaku. Tantangan dapat dipandang sebagai indikasi dari suatu ancaman atau bayangan suatu peluang atau kesempatang. Individu akan mengalami konflik sementara (personal temporary crisis), yang mempengaruhi perilaku individu untuk bertahan dengan keyakinan lamanya atau berubah. Informasi benar-benar efektif untuk mendorong langkah yang menuju pada pengambilan keputusan yang baru, haruslah cukup kuat untuk mempengaruhi individu. b. Mencari alternatif (Surveying alternatives). Setelah kepercayaan individu terhadap kebijakan atau pemikiran lamanya diguncang oleh informasi baru, individu merasa ada konsekuensi negatif jika tidak mengambil tindakan. Individu mulai memfokuskan perhatian pada satu atau lebih alternatif. Individu mulai mencari di dalam memorinya berbagai alternatif tindakan dan meminta saran atau informasi dari orang lain. Di akhir tahap ini, pembuat keputusan telah mempersempit daftar alternatif- 15 alternatifnya yang muncul untuk tantangan yang baik yang dapat mencegah kerugian. c. Menimbang alternatif (Weighing alternatives). Individu sekarang menuju pada analisis dan evaluasi yang lebih dalam dengan berfokus pada sisi positif dan negatif pada tiap alternatif yang lolos sampai ia merasa yakin untuk memilih satu yang sesuai dengan tujuannya. Kadang-kadang, setelah berhati-hati menimbang mengenai masing-masing alternatif, pembuat keputusan menjadi tidak puas dengan semua alternatif-alternatif tersebut (termasuk tindakannya sekarang). Pada waktu tersebut, ketegangannya menjadi lebih gawat, dan, jika dia dapat terhindar dari patah semangat, dia akan mencari pemecahan yang terbaik, dia akan kembali ke tahap dua, berusaha untuk menemukan bagian yang baru yang mungkin lebih baik daripada sebelumnya. d. Menimbang komitmen (Deliberating about commitment). Setelah secara tertutup memutuskan akan mengambil tindakan baru, individu akan memakai rencana tindakan yang baru, dan mulai berhati-hati menerapkan tindakan tersebut dan mengarahkan perhatiannya pada hal-hal yang lain. Sebagai pembuat keputusan yang waspada, dia menjadi lebih peduli tentang celaan yang mungkin ada, yang tidak dia pikirkan sebelumnya. Individu juga mulai membicarakan dengan hati-hati mengenai penerapan keputusan tersebut dan menyampaikan niatnya pada orang lain. e. Menghadapi umpan balik (Adhering despite negative feedback). 16 Individu yang merasa senang dan nyaman dengan keputusan baru yang diambil tanpa ada keragu-raguan. Namun seringkali keadaan tersebut terganggu oleh munculnya ancaman atau kesempatan baru. Tahap kelima kemudian menjadi sepadan atau ekuivalen dengan tahap pertama dalam hal bahwa informasi atau peristiwa baru yang menghasilkan umpan balik (feedback) negatif mempunyai kemungkinan yang mengarahkan pada pengambilan keputusan baru. Bedanya adalah walaupun informasi tersebut cukup kuat untuk mendorong individu agar berubah, individu hanya mengalami guncangan sementara dan ia memilih untuk tetap bertahan dengan keputusan yang telah diambil. Pada tahap ini individu mencari dukungan dengan melakukan rasionalisasi agar merasa “aman” dengan keputusannya. 3. Lima pola coping dalam pengambilan keputusan Dalam pengambilan suatu keputusan setiap individu memiliki pola coping, lima pola coping yang individu lakukan dalam proses pengambilan keputusan (Janis & Mann, 1977). Coping tersebut di antaranya: a. Unconflicted adherence yaitu, melanjutkan saja kepercayaan atau tindakan yang sebelumnya dilakukan. b. Defensive avoidance yaitu, menunda dan menghindari pengambilan keputusan c. Unconflicted change yaitu, individu langsung mengambil tindakan atau kepercayaan baru tanpa konflik. 17 d. Hypervigilance yaitu, pengambilan keputusan yang disertai rasa panik akibat terdesak oleh batas waktu. Vigilance yaitu, individu mencari berbagai informasi secara menyeluruh dan mendalam kemudian menganalisis informasi tersebut secara hati-hati untuk mendapatkan kualitas keputusan yang tinggi. 4. Faktor-faktor pengambilan keputusan Beberapa faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan menurut Gunarsa dan Sukardi, 1933 (dalam Nugroho, 2011) adalah : a. Faktor dari dalam 1) Bakat Yaitu suatu kondisi, kualitas yang dimiliki seseorang yang memungkinkan individu berkembang pada masa mendatang. 2) Minat Yaitu suatu perangkat mental yang terdiri dari kombinasi, perpaduan dan campuran perasaan, harapan dan kecenderungankecenderungan lain yang mengarah pada suatu pilihan tertentu. 3) Sikap Yaitu suatu kesiapan pada seseorang untuk bertindak secara tertentu terhadap hal-hal tertentu. Suatu kecenderungan yang relatif stabil yang dimiliki seseorang di dalam bereaksi terhadap diri sendiri, orang lain dan situasi-situasi tertentu. 4) Kepribadian 18 Yaitu suatu organisasi yang dinamis di dalam diri seseorang yang berisikan sistem-sistem psikofisik dan penyesuaian yang baik terhadap lingkungan. 5) Aspirasi Yaitu suatu ketertarikan yang berkaitan langsung dengan perwujudan cita-cita seseorang. 6) Inteligensi Yaitu kemampuan seseorang untuk bertingkah laku sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. 7) Urutan Lahir Urutan lahir yang mempengaruhi kualitas hubungan, baik dengan orang tua maupun orang lain atau pun lingkungan luar. b. Faktor dari sosial 1) Kelompok primer Keluarga merupakan kelompok primer dan bagian dari masyarakat (social cells) yang membentuk ide-ide, sikap, melatih kebiasaan-kebiasaan, dasar-dasar pendidikan, membangun kreativitas dan kedisplinan. 2) Kelompok sekunder Keadaan masyarakat, mengenai sifat, sikap, dan pandangan dari masyarakat. Selain faktor-faktor yang telah dikemukakan di atas, sebuah penelitian yang dilakukan oleh Anna dan kawan-kawan (2010) mengenai pengambilan keputusan mengungkapkan bahwa pengambilan keputusan merupakan suatu keterampilan yang kompleks, dan Anna 19 dkk juga mengungkapkan, ada dua aspek yang mempengaruhi pengambilan keputusan. Hal ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Mario dan Peter (2010). Aspek-aspek tersebut antara lain : a. Pengambilan Keputusan pada Situasi Afektif Dalam situasi afektif, pengambilan keputusan yang diambil oleh individu akan mengakibatkan konsekuensi emosional yang signifikan (keuntungan atau kerugian), karena individu dihadapkan langsung dengan hasil keputusan yang mereka ambil (Anna dkk, 2010). Sejalan dengan itu Mario dan Peter pun mengungkapkan hal yang serupa bahwa evaluasi afektif mengacu pada emosi dan dorongan yang diasosiasikan dengan objek sikap. b. Pengambilan Keputusan pada Situasi Kognitif Dalam situasi kognitif, keputusan individu tidak mengakibatkan konsekuensi emosional yang signifikan, karena individu tidak langsung dihadapkan dengan hasil dari keputusan mereka (Anna dkk, 2010). Evaluasi kognitif juga mengacu pada pikiran dan penyesuaian mengenai objek sikap itu (Mario & Peter, 2010). B. Hidup Membiara 1. Pengertian Biara menurut “Kamus Besar Bahasa Indonesia” (KBBI Daring oleh Sugono, 2008), adalah rumah atau asrama tempat para petapa dan bisa juga diartikan sebagai bangunan tempat tinggal orang-orang lakilaki atau perempuan yg mengkhususkan diri terhadap pelaksanaan 20 ajaran agama di bawah pimpinan seorang ketua menurut aturan tarikatnya. Hidup membiara, adalah gaya hidup yang dipahami sebagai bentuk mencintai penderitaaan dan menjauhi semua kenikmatan dunia. Gaya hidup seperti ini disebut juga monastisime (monasticism) yang mulai muncul sekitar akhir abad ke-3. Menurut Plato (dalam Niko Dister, 1989: 19), setiap orang mempunyai keinginan dasariah untuk mengatasi keterbatasannya dan mencapai keutuhan serta kepenuhan dalam persatuan. Plato menyebut keinginan ini dengan “eros” yang berarti “cinta” dan “hasrat”. Manusia itu makhluk antara, ia terdiri dari yang terbatas dan yang tak terbatas. Hatinya didiami oleh “eros” yang menghubungkan manusia dengan dewata. Karena jiwanya berasal dari dunia baka, sakit rindulah manusia akan Nan Ilahi. Kerinduan itulah yang oleh plato disebut “eros”. Vergote menyebut keinginan manusia akan keabadian serta hasratnya akan persatuan dengan Yang Ilahi itu “eros religius”. Istilah ini dengan tepat mengungkapkan hasrat manusia yang mendalam untuk dibebaskan dari yang fana untuk memperolah keutuhan serta kepenuhan yang menghentikan segala kegelisahan hati. Pada zaman Patristik 150-750 tarikh Masehi, tujuan hidup rahib dan rubiah tak lain dari mencari Tuhan. Itulah yang mereka anggap sebagai satu-satunya keaktifan yang dapat memuaskan dahaga manusia yang terdalam. 2. Sejarah Hidup Membiara Agama Katolik Monasticism (Yun. monos, “satu, sendiri) adalah bentuk kebiasaan kehidupan religius asketis, di mana individu mengambil kaul kemiskinan, kemurnian, ketaatan, dan keseimbangan, memisahkan diri 21 dari masyarakat baik sendiri-sendiri atau dalam masyarakat. Tujuan dari monastisisme adalah untuk mengejar, di bawah bimbingan aturan formal, kehidupan doa dan bekerja untuk kemuliaan Allah, bagi pengudusan pribadi, dan demi kebaikan Gereja dan dunia (McBrien, 1989: 883). Sejak pada abad keempat, beberapa orang Kristen ingin membaktikan dirinya semata-mata untuk hidup dalam kesederhanaan dan doa. Tidak lama setelah kelahiran gereja Kristen, banyak umat ingin membaktikan dirinya secara total kepada Allah dan dengan demikian lahirlah gerakan hidup membiara. Sama seperti Yesus, mereka pun mengasingkan diri ke padang gurun untuk berdoa (Keene, 2006). Seperti yang terdapat dalam kitab Markus pasalnya yang ke 10 ayat 21 mengatakan “Pergilah, jualah apa yang kaumiliki dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di surga, kemudian datanglah kemari dan ikutlah Aku”. Santo Antonius dari Mesir yang lahir pada tahun 251-356, adalah salah satu dari antara mereka yang hidup menyendiri. Antonius memberikan semua miliknya dan hidup menyendiri di padang gurun, tetapi tidak lama kemudian dia mempunyai banyak pengikut. Untuk memulai hidup bertapa bersama, Antonius sendiri menghabiskan waktu selama 20 tahun dalam keheningan penuh, mereka kemudian membentuk komunitas hidup membiara (Keene, 2006). Hal yang sama juga disampaikan oleh Jacobs (1987), pada abad ke-3 dan ke-4 di Palestina dan Mesir dalam padang gurun, di situ orang bertapa dan 22 biasanya mengikuti seorang guru dan lama kelamaan terjadilah kelompok pertapa disekitar seorang tokoh kesucian. Banyak orang yang merasa tertarik akan cara hidup menyepi beliau, lalu menetap di dekatnya. Banyak pula orang datang berkunjung minta didoakan atau kesembuhan maupun meminta nasihat beliau. Selain itu sejak pada zaman para rasul dan segera sesudahnya semangat kristiani redup karena masyarakat hidupnya seringkali kurang kristiani, dan sejak saat itu kaum biara pun timbul untuk menghidupkan kembali semangat kristiani yang sejati, memperlihatkan cita-cita kristiani di dalam gereja, kaum biara menjadi kelompok kecil di dalam gereja dan menghidupkan semangat kristiani pada umat. Dalam kehidupan membiara para biarawan dan biarawati mengikrarkan tiga kaul yang terdiri dari kaul kemurnian, ketaatan, dan kemiskinan yang nanti akan dijelaskan secara lengkap. Pada awalnya ketiga kaul ini tidak diucapkan bagi para biarawati maupun biarawan, mereka hanya mengikatkan diri pada peraturan biara dan berusaha sebaik mungkin “pengingkaran diri”, yang dipandang sebagai pokok hidup membiara. Dalam bentuk kehidupan itu tercantum pula keperawanan atau kemurnian akan tetapi tidak dinyatakan secara khusus. Pada tahun 1400 ketiga kaul dengan terang disebutkan (Jacobs, 1987). Para biarawan dan biarawati harus dan mau menjadi orang kristiani yang sejati, dan pokok bagi hidup membiara adalah tetap iman Kristiani. Iman selalu berupa panggilan dan tuntutan, dapat dilihat bagaimana Yesus memanggil Petrus, Paulus, atau Maria Magdalena, 23 atau semua orang yang mau mengikutiNya, “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku” (Markus 8 : 34). Jika pokok hidup membiara adalah iman, maka pusat intinya adalah kesatuan dengan Kristus. Kesatuan yang menentukan dan mewarnai hidup. Percaya akan kristus berarti bahwa tidak ada jalan lain kepada Bapa selain melalui Putra. Jadi iman berdasarkan panggilan, dan tanpa panggilan tidak ada iman. Panggilan ini berarti bahwa kita diperbolehkan mengenal Kristus, dari dalam. Sungguh mengenal Kristus dari pusat hati kita. Panggilan bukan hanya dasar iman, melainkan sekaligus juga intinya sebab panggilan berarti hubungan pribadi dengan Allah. Iman yang berpangkal pada panggilan berarti iman yang sungguh memberi nilai hidup (Jacobs, 1987). Maka menjadi jelaslah bahwa panggilan bukan sesuatu yang ditambahkan. Panggilan adalah dasar. Juga panggilan khusus untuk menjadi biarawati. Kekhasan hidup membiara ialah mau menyatakan sejelas-jelasnya bahwa hidup kristiani secara hakiki bersifat panggilan. Dan dasar hidup membiara kristiani adalah hidup terpanggil (Jacobs, 1987). Misalnya saja dengan memilih pekerjaan tertentu atau dengan menjadi mempelai atau menetap disana atau disini. Tidak untuk kaum biarawan, seluruh hidup mereka ditentukan oleh panggilan. Sekali lagi dikatakan bahwa pokok hidup membiara adalah mengikuti Kristus. Selain iman yang menjadi pokok hidup membiara, ada juga yang menjadi sangat penting yaitu kebersamaan hidup dalam iman akan Kristus itu sendiri. Hidup bersama dengan saling 24 meneguhkan dan menguatkan dalam iman, dan hidup bersama berarti harus ada pengaturan hidup bersama. Kalau mau saling meneguhkan iman harus ada komunikasi iman. Jika membentuk suatu komunitas dalam Kristus, maka harus ada bentuk dan gaya hidup. Semula umat Kristiani membedakan diri dari gaya hidup masyarakat kafir, tetapi abad ke-4 ketika masyarakat lama-kelamaan menjadi Kristen, maka kekhas Kristiani mulai luntur. Pada saat itu ada orang-orang yang mengundurkan diri dari mayarakat ramai untuk mencari bentuk kehidupan yang lebih khas Kristiani. Ini adalah titik pangkal dalam selibat. Bukan selibat sebagai janji saja, tetapi selibat sebagai gaya hidup mereka. Hidup membiara berhubungan dengan kemampuan intuisi rohani manusia, dimana intuisi rohani ini lebih merupakan suatu rahmat yang dianugerahkan, meski dapat dilatih secara akademik atau secara pengalaman (Emmanuel, 2009). Menurut Darminta, 2006 (dalam Emmanuel, 2009) mengatakan bahwa hidup membiara terlepas dari kemampuan inderawi, tetapi lebih nampak dalam hidup secara terarah ketujuan, secara merdeka dalam keterfokusan dan membuahkan kemauan atau komitmen yang kuat. Dasar hidup bersama dalam membiara jelas bukan karena kesamaan hobi atau sifat atau suku, tetapi karena panggilan Tuhan sendiri (Markus 3:13-19). Seperti para murid Tuhan Yesus yang dipanggil dan diutusNya sendiri (Emmanuel, 2009). Masing-masing biarawan tetap pribadi yang lain yang berbeda dengan segala kekhasan, sifat, watak, kelebihan dan kekurangan masing-masing. Karena dasarnya adalah 25 panggilan Tuhan, hubungan pribadi masing-masing dengan Tuhan menjadi dasar yang kuat untuk hidup berkomunitas dalam membiara (Emmanuel, 2009). 3. Sejarah Hidup Membiara Agama Buddha Orang-orang sudah mengikuti pengajaran-pengajaran Buddha lebih dari 2.500 tahun, berasal dari India tempat tinggalnya, lalu menyebar ke Eropa dan Amerika. Sekarang ada hampir 400 juta orang Buddha di seluruh dunia. Umat Buddha percaya bahwa manusia terikat di dalam lingkaran lahir, hidup, dan mati dan bahwa mereka dapat lahir kembali berulang kali sampai tak terhitung jumlahnya dengan tingkatan hidup yang berbeda. Dan mereka juga percaya bahwa mereka dapat menghindarkan diri dari kelahiran kembali dan dapat masuk 1nirwana. Pengajaran-pengajaran Buddha merupakan bimbingan bagi seluruh umat Buddha yang mempunyai keinginan besar meningkatkan kebijaksanaan, belas kasihan, dan menghindari kekerasan, hingga pada akhirnya mereka seperti Buddha dan dapat menerima pencerahan. Dalam agama Buddha, hidup membiara dimulai oleh Sidharta Gautama. Menurut para ahli barat, Buddha Gautama pendiri agama Buddha dilahirkan pada tahun 563 S.M (Hadiwijono, 2003). Ia adalah anak Raja Suddhodana, yang memerintah atas suku Sakya dan nama ibunya permasuri Maya. Ia dibesarkan di ibukota Kapilawastu. Pada waktu perayaan di Kapilawastu, permasuri Maya memimpikan seekor gajah putih masuk ke dalam rahimnya kemudian 10 bulan kemudian ia 1 Surga (KBBI) atau secara harafiah berarti pendinginan (Hadiwijono, 2003) 26 melahirkan dan seketika itu bumi bergetar selama bulan purnama pada bulan Mei. Maya meninggal 7 hari kemudian, dan pangeran dibesarkan dalam kehidupan yang serba mewah oleh bibinya yang sekaligus juga ibu tirinya yang bernama Ratu Mahaprajapatt. Pada waktu hidupnya sebagai putra raja, Siddharta dilimpahi oleh kesenangan dan kemewahan yang tiada taranya. Sang raja, ayah dari Siddharta ingin menjauhkan Siddharta dari pemikiran menjadi pemimpin agama. Akan tetapi Siddharta tidak merasa senang dengan kehidupan seperti itu. Hatinya tertarik pada kehidupan petapaan. Kehidupan istana yang memberikan hak-hak istimewa pada pangeran Siddharta Gautama diubahnya untuk selama-lamanya ketika ia pertama kalinya melihat orang yang sudah tua, orang sakit, sekelompok orang sedang berduka, dan orang suci. Ketika perlahan-lahan berhasil keluar istana, ia mendapat empat pengalaman yang memperkuat kehendaknya : Pengalaman 1: Ia melihat seorang laki-laki tua yang lemah dan menyaksikan betapa usia tua itu menghancurkan ingatan, keindahan, dan keperkasaan. Ia tidak pernah bertemu dengan orang tua sebelumnya. Pengalaman 2: Ia melihat orang cacat yang tersiksa kesakitan, dan ia merasa terkejut melihat penderitaan demikian dan “bergetar seperti pantulan cahaya bulan dalam riak air”. Ia tidak pernah mengalami penderitaan seperti ini. Pengalaman 3: Ia melihat orang yang sedang menangis dalam duka pada prosesi pemakaman dan perasaannya terganggu oleh suasana 27 penderitaan karena kematian. Ia tidak pernah melihat peristiwa kematian sebelumnya. Pengalaman 4: Ia melihat seorang suci sedang mengembara, dengan rasa puas dan gembira, berjalan berkeliling dengan mangkok derma di tangannya. Ia tiba-tiba mengerti bahwa semua kesenangan hidup tidak berarti. Dari pengalaman tersebut pada akhirnya memperkuat tekadnya dan ia berhasil keluar istana. Siddharta pergi meninggalkan anak dan istrinya serta segala kenikmatan hidup dalam istana. Dimulailah kehidupan pengembaraan untuk mencapai kelepasan. Pada suatu sore (waktu itu ia berumur 30 tahun) ia duduk di bawah pohon bodhi di Bodh Gaya dengan maksud tidak akan meninggalkan pohon itu sebelum mendapat pencerahan. Dan kemenangannya dicapai ketika matahari terbit. Kemudian Siddharta Gautama mengajarkan apa yang sudah didapatnya itu kepada umat manusia, awalnya pengikutnya hanya 5 orang, tetapi kemudian bertambah banyak hingga saat ini. Di negara Indonesia yang paling jelas sifat kebiaraannya ialah agama Buddha. Boleh dikatakan bahwa pokok agama Buddha sendiri adalah hidup membiara. Ciri khas para pertapa Buddha ialah matiraga dan konsentrasi. Dan inti hidup membiara Buddhis adalah latihan 2 askese dengan syaratnya yang utama ialah meninggalkan segala harta miliknya dan janji hidup wadat (Jacob, 1987) Semula seorang rahib atau bhikkhu diharuskan hidup tanpa rumah atau tanpa tempat berlindung tetap. Oleh karena itu barangsiapa hendak 2 Ulah tapa mati raga (KBBI). 28 menjadi rahib ia harus meninggalkan rumahnya, hidup dari iman saja. Biasanya mereka hidup mengembara dan mencari tempat berlindung di hutan-hutan atau di bawah pohon yang rindang. Hanya pada musim hujan mereka diperkenankan berlindung di rumah yang dibuatnya sendiri. Akan tetapi kemudian mereka diperkenankan berkumpul dalam biara (Hadiwijono, 2003). Biara atau wihara, menjadi pusat devosi umat Buddha, walaupun ibadat dapat juga dilaksanakan di kuil dan di tempat pemujaan di rumah-rumah umat Buddha. Selain itu biara juga merupakan tempat untuk kegiatan spiritual disamping sebagai tempat belajar. Dalam biara para raihb Buddha menjalani hidup berdevosi dan bermeditasi. Mereka mengajarkan Dharma “hukum universal”, yaitu ajaran-ajaran Buddha kepada manusia dan berusaha untuk mendapatkan kebutuhan spiritual mereka. Mereka juga dibutuhkan oleh umat untuk berbagai upacara yang menyangkut kehidupan khususnya upacara kelahiran, perkawinan, dan kematian. Hal diatas serupa dengan yang dikatakan oleh Zhao (2007), mereka pengikut yang telah meninggalkan keduniawian masuk dalam komunitas yang disebut 3sangha, di dalam sangha para bhikkhu dan bhikkhuni membantu dalam pelatihan dan penghidupan orang-orang yang telah meninggalkan keduniawian, mereka harus menjalankan kehidupan dalam komunitas kebiaraan. 3 Pelembagaan agama Buddha (Becher, 2001; 209). 29 Hidup kerahiban diatur di dalam Kitab Vinaya Pitaka. Dari kitab ini kita dapat mengetahui bahwa hidup para bhikkhu maupun bhikkhuni ditandai oleh 3 hal yaitu (Hadiwijono, 2003),: a. Kemiskinan, seorang rahib harus hidup di dalam kemiskinan. Ia tidak diperkenankan memiliki sesuatu, kecuali jubahnya. Semula seorang rahib diharuskan hidup tanpa rumah atau tempat yang tetap (tetapi sekarang mereka diperkenankan berkumpul dalam biara), karena itu barangsiapa hendak menjadi rahib ia harus meninggalkan rumahnya dan hidup dari iman saja. Makanan pun mereka harus mendapatkan dari mengemis, hidup mengemis memberikan sumber inspirasi bagi banyak kebajikan. b. Hidup membujang, seorang rahib harus membujang, mereka tidak diperkenankan berhubungan sebab hubungan seks dipandang sebagai sumber dosa. Dosa yang terbesar yang menjadikan seorang rahib dikeluarkan dari sangha (persekutuan) ialah hidup mesum. c. Ahimsa (tanpa perkosaan), hal ini berarti mereka tidak diperkenankan membunuh atau melukai makhluk lainnya. Seorang rahib, disebut bhikkhu atau bhikkhuni bagi wanita dalam bahasa 4Pāli. Pertama-tama bhikkhu maupun bhikkhuni ditahbiskan sebagai samanera atau samaneri (calon bhikkhu dan bhikkhuni) untuk jangka waktu setahun atau lebih. Mereka kerap ditahbiskan pada usia yang sangat belia, akan tetapi umumnya tidak di bawah usia 8 tahun. Mereka hidup sesuai dasasila, namun tidak diwajibkan menaati seluruh peraturan monastik. Tahbisan yang lebih tinggi, yakni status penuh 4 Bahasa yang digunakan penganut agama Buddha di India (Theravada). 30 sebagai seorang bhikkhu maupun bhikkhuni, biasanya hanya diberikan kepada yang sudah berusia 20 tahun atau lebih. Seorang samaneri menjalankan tiga tahapan untuk bisa ditabhiskan menjadi seorang bhikkhuni : (1) pabbajja, merupakan penahbisan pemula, seorang wanita harus meninggalkan kehidupan duniawinya seperti meninggalkan rumahnya; (2) sikkhamana, merupakan pelatihan untuk persiapan ditahbiskan secara penuh, pelatihan ini untuk jangka waktu dua tahun; (3) upasampada, samaneri ditahbiskan menjadi bhikkhuni oleh sangha bhikkhuni dan sangha bhikkhu (Ven. Bhikkhu Bodhi, 2009). Selain peraturan-peraturan tersebut, ada beberapa peraturan yang khusus diberikan oleh para bhikkhuni-bhikkhuni dalam menjalani kehidupan membiaranya. Dan peraturan-peraturan tersebut akan dibahas dalam judul bhikkhuni Buddha dan aturan-aturannya. C. Biarawati 1. Pengertian Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI Daring oleh Sugono, 2008), biarawati adalah seorang perempuan yg hidup di dalam biara. Biarawati juga dapat diartikan sebagai seorang perempuan yang secara sukarela meninggalkan kehidupan duniawi dan memfokuskan hidupnya untuk kehidupan agama di suatu biara atau tempat ibadah. Istilah ini juga dipakai di berbagai agama seperti Katolik Roma, Jain, Lutheran, dan Buddhisme. 31 Dalam agama Kristen Katolik biarawati dikenal dengan sebutan suster dan saudari, sedangkan dalam agama Buddha biarawati disebut dengan panggilan bhikkhuni maupun rubiah yang kesemuanya itu berarti adalah orang-orang yang menjadi anggota perkumpulan kerohanian yg hidup di dalam biara dan menjalani kehidupan monastik. Mereka yang memilih profesi sebagai biarawati memiliki konsekuensi-konsekuensi yang terdapat dalam tradisi agama mereka dan tarikat mereka. Karena setiap agama memiliki konsekuensi yang berbeda, tetapi tetap memiliki cita-cita yang sama yaitu mencapai kesempurnaan bersama Ilahi. Dengan berbagai konsekuensi yang mereka lakukan mereka mejauhkan diri dari yang fana dan duniawi untuk melayani Tuhan. Pada umumnya, biarawan maupun biarawati mengusahakan cara hidup yang sesuai dengan cita-cita injil. Mereka suka membantu orang yang membutuhkan bantuan. Ada biarawan yang membentuk kelompok usaha pertanian selaras dengan kehidupan di pedusunan. 2. Biarawati Katolik dan Peraturan-peraturannya Biarawan Katolik pada abad ke-5 jumlahnya bertambah banyak. Di kota Konstantinopel sudah ada sekitar enam puluh lima biara untuk pria dan enam puluh lima biara untuk wanita (Schie, 1994). Santo Benedictus (480-550) dianggap sebagai bapak hidup membiara di Barat karena beliau yang menciptakan peraturan hidup membiara yang masih digunakan oleh banyak biarawan dan biarawati untuk mengatur 32 kehidupan komunitas mereka (Keene, 2006). Peraturan itu berisi tiga kaul yang harus ditaati oleh para biarawan dan biarawati, tiga kaul tersebut antara lain: a. Kaul kemurnian, seorang biarawan atau biarawati hidup selibat, tidak menikah demi kerajaan sorga. Anggota komunitas religius dilarang melakukan segala macam bentuk hubungan seksual atau nafsu birahi yang kuat (Kenee, 2006). Hidup selibat tidak berarti memiliki sikap acuh terhadap sesama, baik secara jenis maupun lawan jenis, seseorang biarawati tetap menjalin hubungan dengan semua orang, tidak terbatas bagi orang tertentu saja (Emmanuel, 2009). b. Kaul ketaatan, seorang biarawan atau biarawati harus tunduk pada otoritas yang ada di dalam Gereja. Barang siapa memasuki ordo religius diwajibkan hidup taat secara total kepada kaul komunitas dan akhirnya taat total kepada kehendak Allah (Kenee, 2006). Ketaatan biarawati dalam penyerahan kehidupannya merupakan wujud penyerahan diri secara total untuk gereja dan juga sesama (Emmanuel, 2009). c. Kaul kemiskinan, seorang biarawan atau biarawati harus hidup miskin. Harta milik harus dibawa ke komunitas jika mereka menjadi biarawan atau biarawati dan digunakan untuk kepentingan bersama (Charly&Kurniati, 2006). Hidup miskin bukan berarti hidup melepaskan secara total terhadap barang-barang duniawi, dengan kaul kemiskinan biarawan tetap membutuhkan barang- 33 barang duniawi tersebut, namun tidak mengikat diri pada barangbarang tersebut (Emmanuel, 2009). 3. Biarawati Buddha dan Peraturan-peraturannya Ordo monastik Buddhis terdiri atas dewan para bhikkhu (laki-laki) dan dewan para bhikkhuni (perempuan). Pada awalnya dewan ini hanya beranggotakan kaum pria namun berkembang hingga mencangkup kaum wanita setelah ibu tiri dari Sang Buddha, yaitu Maha prajapati, ingin menjadi pendeta perempuan. Pada awalnya meskipun ia melakukan upaya-upaya dahsyat untuk mencapai kerinduannya menjadi pendeta, ia tidak diterima oleh Buddha. Akhirnya atas nasihat Ananda, seorang murid Buddha, ia diperbolehkan menjadi pendeta (Becher, 2001). Sang Buddha memperkenankan mereka menjadi bhikkhuni apabila mereka bersedia menerima delapan persyaratan yang keras atau garukamma (Tim Penyusun, 2003), yaitu : a. Seorang bhikkhuni, meskipun telah ditahbiskan selama 100 tahun, harus menyambut dengan sopan, berdiri dari tempatnya, memberi hormat dengan kedua tanggannya dirangkap di dada kepada seorang bhikkhu yang baru saja ditahbiskan. Aturan ini harus dipatuhi dan tidak boleh dilanggar selama hidupnya. b. Seorang bhikkhuni tidak boleh menjalani vassa di tempat yang tidak terdapat bhikkhu. Aturan ini harus dipatuhi dan tidak boleh dilanggar selama hidupnya. c. Setiap setengah bulan, seorang bhikkhuni harus memohon dua hal dari bhikkhu sangha, yaitu; hari untuk melakukan latihan dan hari 34 untuk mendapatkan nasehat-nasehat dan teguran-teguran. Aturan ini harus dipatuhi dan tidak boleh dilanggar selama hidupnya. d. Setelah menjalani vassa, seorang bhikkhuni harus memohon kepada bhikkhu sangha dan bhikkhuni sangha untuk mendapatkan teguran dan peringatan apa yang dilihat, didengar dan dicurigai (mengenai dirinya). Aturan ini harus dipatuhi dan tidak boleh dilanggar selama hidupnya. e. Seorang bhikkhuni yang melakukan pelanggaran harus menjalani hukuman (manatta) selama setengah bulan lamanya dari bhikkhu sangha dan bhikkhuni sangha. Aturan ini harus dipatuhi dan tidak boleh dilanggar selama hidupnya. f. Selesai menjalankan masa percobaan selama dua tahun, seorang calon bhikkhuni harus memohon ditahbiskan menjadi bhikkhuni. g. Seorang bhikkhu tidak boleh dimarahi dan dihina dengan cara apapun oleh seorang bhikkhuni. Aturan ini harus dipatuhi dan tidak boleh dilanggar selama hidupnya. h. Mulai hari ini, seorang bhikkhuni dilarang memberikan peringatan kepada seorang bhikkhu, sebaliknya seorang bhikkhu tidak dilarang memberikan peringatan kepada seorang bhikkhuni. Aturan ini harus dipatuhi dan tidak boleh dilanggar selama hidupnya. Peraturan-peraturan yang lengkap berjumlah 348 yang umumnya disebut 500 Aturan-aturan bhikkhuni. Aturan-aturan bhikkhuni terdiri dari 348 pasal yang dibagi atas 7 judul; 1) Parajika, 2) Snghavasesa, 3) Naihsargika-prayascittika, 4) Prayaascitta, 5) Pratidesaniya, 6) 35 Siksakaraniya, 7) Adhykarana-Samadha. Dalam parajika sendiri terdapat delapan aturan. Menghindari seksualitas merupakan hal yang terpenting dalam kehidupan bhikkhu dan bhikkhuni, hubungan heteroseksual maupun homoseksual adalah pelanggaran parajika. Jika bhikkhu maupun bhikkhuni yang melakukan hubungan seksual itu berarti mengeluarkan dirinya sendiri dari sangha, segala tindakan yang mengarah pada hubungan seksual dapat menimbulkan sanksi skorsing sampai pada pengusiran dari sangha dan tidak lagi menjadi bagian dari bhikkhu maupun bhikkhuni lagi.