Proses Pengambilan Keputusan Hidup Membiara: Studi Kasus

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Bab
ini
akan
menguraikan
konsep-konsep
penting
yang
berhubungan dengan fenomena yang hendak diteliti. Terdiri dari
konsep mengenai pengambilan keputusan, yang berisi penjelasan
mengenai
pengertian
pengambilan
keputusan,
tahapan
dalam
pengambilan keputusan. Pada bab ini, akan dibahas juga topik-topik
mengenai biarawati Katolik dan Buddha, proses menjadi biarawati,
yang sebelumnya didahului dengan pengertian biara, cara hidup
membiara.
A. Pengambilan Keputusan
1. Pengertian
Setiap harinya individu menghadapi proses-proses pengambilan
keputusan.
Menurut
Sarwono
(1976)
pengambilan
keputusan
merupakan salah satu proses berpikir terarah, yaitu proses berpikir yang
sudah ditentukan sebelumnya dan diarahkan kepada sesuatu, biasanya
diarahkan kepada pemecahan persoalan. Pengertian pengambilan
keputusan menurut Suharnan (2005) adalah suatu proses ketika
seseorang sedang memilih di antara dua alternatif atau lebih, menaksir
frekuensi suatu kejadian, atau memprediksi situasi di depan
berdasarkan informasi yang terbatas. Definisi tersebut sejalan dengan
yang dikemukakan oleh Terry 1960 (dalam Syamsi, 1989) yang
menyatakan bahwa pengambilan keputusan adalah pemilihan alternatif
11
12
perilaku dari dua alternatif atau lebih, tindakan untuk memecahkan
masalah yang dihadapi melalui pemilihan satu diantara alternatifalternatif yang memungkinkan. Janis dan Mann (1977) mengartikan
pengambilan keputusan merupakan pemecahan dari masalah agar
terhindar dari faktor-faktor situasional.
Pengambilan keputusan juga merupakan suatu proses dan
berlangsung dalam suatu sistem, walaupun merupakan suatu keputusan
atau desisi pribadi sekalipun yang menyangkut suatu masalah pribadi.
Hal tersebut perlu untuk disadari agar supaya kita dapat berhasil di
dalam upaya mengembangkan kemampuan kita untuk mengambil desisi
mengenai problema-problema yang menghendaki suatu keputusan dari
kita. Makin mampu kita mengenali masalah-masalah yang selalu akan
kita jumpai di dalam perjalanan menuju ke kemajuan dalam hidup, dan
makin mampu kita mengatasi atau memecahkan masalah-masalah
tersebut, maka akan besar serta cepatlah sukses yang akan dicapai
(Atmosudirdjo, 1982). Sistem dalam proses pengambilan keputusan itu
berlangsung terdiri atas berbagai unsur (elemen), dan masing-masing
merupakan suatu faktor yang ikut menentukan segala apa yang akan
terjadi. Unsur yang terpenting dalam proses pengambilan keputusan
adalah “masalah” yang harus dihadapi dan menghendaki adanya
keputusan dari kita. Jadi, bagi seseorang yang ingin maju dalam
kehidupannya, mutlak diperlukan kemampuan untuk melihat, atau
mengenali, atau mengindentifikasi
masalah. Sesuatu merupakan
masalah atau problema, dilihat dari segi pengambilan keputusan
bilamana kita mempunyai tujuan yang jelas dan tegas yang sedang kita
13
kejar. Untuk mencapai tujuan tersebut kita melakukan planning, secara
sederhana maupun kompleks, sehingga ada daya upaya dengan
memakai rencana-rencana tertentu sebagai pegangan atau sarana. Setiap
penyimpangan atau ketidaksesuaian dengan yang kita rencanakan,
merupakan masalah bagi kita, yang memerlukan suatu keputusan dari
kita.
Mengambil keputusan secara aktif akan memberikan individu suatu
tingkat pengendalian atas kehidupan individu, pilihan-pilihan yang
individu buat sebenarnya membantu individu menentukan hari depan
(Manullang, 1986). Suatu pengambilan keputusan yang menentukan
hari hari depan
tentunya akan disertai dengan konsekuensi-
konsekuensi yang mungkin akan dihadapi sebelum mengambil sebuah
keputusan. Suparno (2009) mengatakan, bahwa pada pengambilan
keputusan persoalan yang sederhana, bila salah memutuskan maka akan
mengakibatkan kerugian kecil, dan tidak begitu merugikan, namun
pengambilan keputusan persoalan yang besar yang meyangkut hidup
individu yang penting, jika salah dapat sangat merugikan bahkan
membuat hidup individu tidak bahagia. Karena itu, individu pembuat
keputusan harus mempertimbangkan konsekuensi yang mungkin terjadi
sebagai akibat keputusan yang diambilnya. Lebih lengkap mengenai
konsekuensi
Anderson
dalam
1980
pengambilan
(dalam
Suharnan,
keputusan
2005),
diungkapkan
mengatakan
oleh
bahwa
konsekuensi dari setiap keputusan meliputi konsekuensi yang dapat
terlihat langsung dan tidak langsung, jangka pendek dan jangka
14
panjang, bagi diri sendiri dan orang lain, dan keuntungan dan kerugian
yang mungkin akan didapatkan.
2. Tahapan – tahapan dalam pengambilan keputusan
Janis dan Mann (1977) memperkenalkan lima tahapan dalam
pengambilan keputusan, kelima tahapan tersebut meliputi :
a. Mengenali masalah (Appraising the Challenge).
Pada tahap ini, individu diterpa dengan berbagai informasi. individu
dihadapkan kepada suatu tantangan terhadap jalur tindakannya yang
berlaku. Tantangan dapat dipandang sebagai indikasi dari suatu
ancaman atau bayangan suatu peluang atau kesempatang. Individu
akan mengalami konflik sementara (personal temporary crisis),
yang mempengaruhi perilaku individu untuk bertahan dengan
keyakinan lamanya atau berubah. Informasi benar-benar efektif
untuk mendorong langkah yang menuju pada pengambilan
keputusan yang baru, haruslah cukup kuat untuk mempengaruhi
individu.
b. Mencari alternatif (Surveying alternatives).
Setelah kepercayaan individu terhadap kebijakan atau pemikiran
lamanya diguncang oleh informasi baru, individu merasa ada
konsekuensi negatif jika tidak mengambil tindakan. Individu mulai
memfokuskan perhatian pada satu atau lebih alternatif. Individu
mulai mencari di dalam memorinya berbagai alternatif tindakan dan
meminta saran atau informasi dari orang lain. Di akhir tahap ini,
pembuat
keputusan
telah
mempersempit
daftar
alternatif-
15
alternatifnya yang muncul untuk tantangan yang baik yang dapat
mencegah kerugian.
c. Menimbang alternatif (Weighing alternatives).
Individu sekarang menuju pada analisis dan evaluasi yang lebih
dalam dengan berfokus pada sisi positif dan negatif pada tiap
alternatif yang lolos sampai ia merasa yakin untuk memilih satu
yang sesuai dengan tujuannya. Kadang-kadang, setelah berhati-hati
menimbang mengenai masing-masing alternatif, pembuat keputusan
menjadi tidak puas dengan semua alternatif-alternatif tersebut
(termasuk
tindakannya
sekarang).
Pada
waktu
tersebut,
ketegangannya menjadi lebih gawat, dan, jika dia dapat terhindar
dari patah semangat, dia akan mencari pemecahan yang terbaik, dia
akan kembali ke tahap dua, berusaha untuk menemukan bagian
yang baru yang mungkin lebih baik daripada sebelumnya.
d. Menimbang komitmen (Deliberating about commitment).
Setelah secara tertutup memutuskan akan mengambil tindakan baru,
individu akan memakai rencana tindakan yang baru, dan mulai
berhati-hati menerapkan tindakan tersebut dan mengarahkan
perhatiannya pada hal-hal yang lain. Sebagai pembuat keputusan
yang waspada, dia menjadi lebih peduli tentang celaan yang
mungkin ada, yang tidak dia pikirkan sebelumnya. Individu juga
mulai
membicarakan
dengan hati-hati
mengenai
penerapan
keputusan tersebut dan menyampaikan niatnya pada orang lain.
e. Menghadapi umpan balik (Adhering despite negative feedback).
16
Individu yang merasa senang dan nyaman dengan keputusan baru
yang diambil tanpa ada keragu-raguan. Namun seringkali keadaan
tersebut terganggu oleh munculnya ancaman atau kesempatan baru.
Tahap kelima kemudian menjadi sepadan atau ekuivalen dengan
tahap pertama dalam hal bahwa informasi atau peristiwa baru yang
menghasilkan
umpan
balik
(feedback)
negatif
mempunyai
kemungkinan yang mengarahkan pada pengambilan keputusan
baru. Bedanya adalah walaupun informasi tersebut cukup kuat
untuk mendorong individu agar berubah, individu hanya mengalami
guncangan sementara dan ia memilih untuk tetap bertahan dengan
keputusan yang telah diambil. Pada tahap ini individu mencari
dukungan dengan melakukan rasionalisasi agar merasa “aman”
dengan keputusannya.
3. Lima pola coping dalam pengambilan keputusan
Dalam pengambilan suatu keputusan setiap individu memiliki pola
coping, lima pola coping yang individu lakukan dalam proses
pengambilan keputusan (Janis & Mann, 1977). Coping tersebut di
antaranya:
a. Unconflicted adherence yaitu, melanjutkan saja kepercayaan atau
tindakan yang sebelumnya dilakukan.
b. Defensive avoidance yaitu, menunda dan menghindari pengambilan
keputusan
c. Unconflicted change yaitu, individu langsung mengambil tindakan
atau kepercayaan baru tanpa konflik.
17
d.
Hypervigilance yaitu, pengambilan keputusan yang disertai rasa
panik akibat terdesak oleh batas waktu.
Vigilance yaitu, individu mencari berbagai informasi secara
menyeluruh dan mendalam kemudian menganalisis informasi
tersebut secara hati-hati untuk mendapatkan kualitas keputusan
yang tinggi.
4. Faktor-faktor pengambilan keputusan
Beberapa faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan
menurut Gunarsa dan Sukardi, 1933 (dalam Nugroho, 2011) adalah :
a. Faktor dari dalam
1) Bakat
Yaitu suatu kondisi, kualitas yang dimiliki seseorang yang
memungkinkan individu berkembang pada masa mendatang.
2) Minat
Yaitu suatu perangkat mental yang terdiri dari kombinasi,
perpaduan dan campuran perasaan, harapan dan kecenderungankecenderungan lain yang mengarah pada suatu pilihan tertentu.
3) Sikap
Yaitu suatu kesiapan pada seseorang untuk bertindak secara
tertentu terhadap hal-hal tertentu. Suatu kecenderungan yang
relatif stabil yang dimiliki seseorang di dalam bereaksi terhadap
diri sendiri, orang lain dan situasi-situasi tertentu.
4) Kepribadian
18
Yaitu suatu organisasi yang dinamis di dalam diri seseorang
yang berisikan sistem-sistem psikofisik dan penyesuaian yang
baik terhadap lingkungan.
5) Aspirasi
Yaitu suatu ketertarikan yang berkaitan langsung dengan
perwujudan cita-cita seseorang.
6) Inteligensi
Yaitu kemampuan seseorang untuk bertingkah laku sesuai
dengan tujuan yang telah ditetapkan.
7) Urutan Lahir
Urutan lahir yang mempengaruhi kualitas hubungan, baik
dengan orang tua maupun orang lain atau pun lingkungan luar.
b. Faktor dari sosial
1) Kelompok primer
Keluarga merupakan kelompok primer dan bagian dari
masyarakat (social cells) yang membentuk ide-ide, sikap,
melatih
kebiasaan-kebiasaan,
dasar-dasar
pendidikan,
membangun kreativitas dan kedisplinan.
2) Kelompok sekunder
Keadaan masyarakat, mengenai sifat, sikap, dan pandangan dari
masyarakat.
Selain faktor-faktor yang telah dikemukakan di atas, sebuah
penelitian yang dilakukan oleh Anna dan kawan-kawan (2010)
mengenai pengambilan keputusan mengungkapkan bahwa pengambilan
keputusan merupakan suatu keterampilan yang kompleks, dan Anna
19
dkk juga mengungkapkan, ada dua aspek yang mempengaruhi
pengambilan keputusan. Hal ini juga didukung oleh penelitian yang
dilakukan oleh Mario dan Peter (2010). Aspek-aspek tersebut antara
lain :
a. Pengambilan Keputusan pada Situasi Afektif
Dalam situasi afektif, pengambilan keputusan yang diambil oleh
individu
akan
mengakibatkan
konsekuensi
emosional
yang
signifikan (keuntungan atau kerugian), karena individu dihadapkan
langsung dengan hasil keputusan yang mereka ambil (Anna dkk,
2010). Sejalan dengan itu Mario dan Peter pun mengungkapkan hal
yang serupa bahwa evaluasi afektif mengacu pada emosi dan
dorongan yang diasosiasikan dengan objek sikap.
b. Pengambilan Keputusan pada Situasi Kognitif
Dalam situasi kognitif, keputusan individu tidak mengakibatkan
konsekuensi emosional yang signifikan, karena individu tidak
langsung dihadapkan dengan hasil dari keputusan mereka (Anna
dkk, 2010). Evaluasi kognitif juga mengacu pada pikiran dan
penyesuaian mengenai objek sikap itu (Mario & Peter, 2010).
B. Hidup Membiara
1. Pengertian
Biara menurut “Kamus Besar Bahasa Indonesia” (KBBI Daring
oleh Sugono, 2008), adalah rumah atau asrama tempat para petapa dan
bisa juga diartikan sebagai bangunan tempat tinggal orang-orang lakilaki atau perempuan yg mengkhususkan diri terhadap pelaksanaan
20
ajaran agama di bawah pimpinan seorang ketua menurut aturan
tarikatnya. Hidup membiara, adalah gaya hidup yang dipahami sebagai
bentuk mencintai penderitaaan dan menjauhi semua kenikmatan dunia.
Gaya hidup seperti ini disebut juga monastisime (monasticism) yang
mulai muncul sekitar akhir abad ke-3.
Menurut Plato
(dalam Niko Dister, 1989: 19), setiap orang
mempunyai keinginan dasariah untuk mengatasi keterbatasannya dan
mencapai keutuhan serta kepenuhan dalam persatuan. Plato menyebut
keinginan ini dengan “eros” yang berarti “cinta” dan “hasrat”. Manusia
itu makhluk antara, ia terdiri dari yang terbatas dan yang tak terbatas.
Hatinya didiami oleh “eros” yang menghubungkan manusia dengan
dewata. Karena jiwanya berasal dari dunia baka, sakit rindulah manusia
akan Nan Ilahi. Kerinduan itulah yang oleh plato disebut “eros”.
Vergote menyebut keinginan manusia akan keabadian serta hasratnya
akan persatuan dengan Yang Ilahi itu “eros religius”. Istilah ini dengan
tepat
mengungkapkan
hasrat
manusia
yang
mendalam
untuk
dibebaskan dari yang fana untuk memperolah keutuhan serta
kepenuhan yang menghentikan segala kegelisahan hati. Pada zaman
Patristik 150-750 tarikh Masehi, tujuan hidup rahib dan rubiah tak lain
dari mencari Tuhan. Itulah yang mereka anggap sebagai satu-satunya
keaktifan yang dapat memuaskan dahaga manusia yang terdalam.
2. Sejarah Hidup Membiara Agama Katolik
Monasticism (Yun. monos, “satu, sendiri) adalah bentuk kebiasaan
kehidupan religius asketis, di mana individu mengambil kaul
kemiskinan, kemurnian, ketaatan, dan keseimbangan, memisahkan diri
21
dari masyarakat baik sendiri-sendiri atau dalam masyarakat. Tujuan
dari monastisisme adalah untuk mengejar, di bawah bimbingan aturan
formal, kehidupan doa dan bekerja untuk kemuliaan Allah, bagi
pengudusan pribadi, dan demi kebaikan Gereja dan dunia (McBrien,
1989: 883).
Sejak pada abad keempat, beberapa orang Kristen ingin
membaktikan dirinya semata-mata untuk hidup dalam kesederhanaan
dan doa. Tidak lama setelah kelahiran gereja Kristen, banyak umat
ingin membaktikan dirinya secara total kepada Allah dan dengan
demikian lahirlah gerakan hidup membiara. Sama seperti Yesus,
mereka pun mengasingkan diri ke padang gurun untuk berdoa (Keene,
2006). Seperti yang terdapat dalam kitab Markus pasalnya yang ke 10
ayat 21 mengatakan “Pergilah, jualah apa yang kaumiliki dan
berikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh
harta di surga, kemudian datanglah kemari dan ikutlah Aku”.
Santo Antonius dari Mesir yang lahir pada tahun 251-356, adalah
salah satu dari antara mereka yang hidup menyendiri. Antonius
memberikan semua miliknya dan hidup menyendiri di padang gurun,
tetapi tidak lama kemudian dia mempunyai banyak pengikut. Untuk
memulai hidup bertapa bersama, Antonius sendiri menghabiskan waktu
selama 20 tahun dalam keheningan penuh, mereka kemudian
membentuk komunitas hidup membiara (Keene, 2006). Hal yang sama
juga disampaikan oleh Jacobs (1987), pada abad ke-3 dan ke-4 di
Palestina dan Mesir dalam padang gurun, di situ orang bertapa dan
22
biasanya mengikuti seorang guru dan lama kelamaan terjadilah
kelompok pertapa disekitar seorang tokoh kesucian.
Banyak orang yang merasa tertarik akan cara hidup menyepi beliau,
lalu menetap di dekatnya. Banyak pula orang datang berkunjung minta
didoakan atau kesembuhan maupun meminta nasihat beliau. Selain itu
sejak pada zaman para rasul dan segera sesudahnya semangat kristiani
redup karena masyarakat hidupnya seringkali kurang kristiani, dan
sejak saat itu kaum biara pun timbul untuk menghidupkan kembali
semangat kristiani yang sejati, memperlihatkan cita-cita kristiani di
dalam gereja, kaum biara menjadi kelompok kecil di dalam gereja dan
menghidupkan semangat kristiani pada umat.
Dalam kehidupan membiara para biarawan
dan biarawati
mengikrarkan tiga kaul yang terdiri dari kaul kemurnian, ketaatan, dan
kemiskinan yang nanti akan dijelaskan secara lengkap. Pada awalnya
ketiga kaul ini tidak diucapkan bagi para biarawati maupun biarawan,
mereka hanya mengikatkan diri pada peraturan biara dan berusaha
sebaik mungkin “pengingkaran diri”, yang dipandang sebagai pokok
hidup membiara. Dalam bentuk kehidupan itu tercantum pula
keperawanan atau kemurnian akan tetapi tidak dinyatakan secara
khusus. Pada tahun 1400 ketiga kaul dengan terang disebutkan (Jacobs,
1987).
Para biarawan dan biarawati harus dan mau menjadi orang kristiani
yang sejati, dan pokok bagi hidup membiara adalah tetap iman
Kristiani. Iman selalu berupa panggilan dan tuntutan, dapat dilihat
bagaimana Yesus memanggil Petrus, Paulus, atau Maria Magdalena,
23
atau semua orang yang mau mengikutiNya, “Setiap orang yang mau
mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan
mengikut Aku” (Markus 8 : 34). Jika pokok hidup membiara adalah
iman, maka pusat intinya adalah kesatuan dengan Kristus. Kesatuan
yang menentukan dan mewarnai hidup.
Percaya akan kristus berarti bahwa tidak ada jalan lain kepada Bapa
selain melalui Putra.
Jadi iman berdasarkan panggilan, dan tanpa
panggilan tidak ada iman. Panggilan ini berarti bahwa kita
diperbolehkan mengenal Kristus, dari dalam. Sungguh mengenal
Kristus dari pusat hati kita. Panggilan bukan hanya dasar iman,
melainkan sekaligus juga intinya sebab panggilan berarti hubungan
pribadi dengan Allah. Iman yang berpangkal pada panggilan berarti
iman yang sungguh memberi nilai hidup (Jacobs, 1987).
Maka menjadi jelaslah bahwa panggilan bukan sesuatu yang
ditambahkan. Panggilan adalah dasar. Juga panggilan khusus untuk
menjadi biarawati. Kekhasan hidup membiara ialah mau menyatakan
sejelas-jelasnya bahwa hidup kristiani secara hakiki bersifat panggilan.
Dan dasar hidup membiara kristiani adalah hidup terpanggil (Jacobs,
1987). Misalnya saja dengan memilih pekerjaan tertentu atau dengan
menjadi mempelai atau menetap disana atau disini. Tidak untuk kaum
biarawan, seluruh hidup mereka ditentukan oleh panggilan.
Sekali lagi dikatakan bahwa pokok hidup membiara adalah
mengikuti Kristus. Selain iman yang menjadi pokok hidup membiara,
ada juga yang menjadi sangat penting yaitu kebersamaan hidup dalam
iman akan Kristus itu sendiri. Hidup bersama dengan saling
24
meneguhkan dan menguatkan dalam iman, dan hidup bersama berarti
harus ada pengaturan hidup bersama. Kalau mau saling meneguhkan
iman harus ada komunikasi iman. Jika membentuk suatu komunitas
dalam Kristus, maka harus ada bentuk dan gaya hidup. Semula umat
Kristiani membedakan diri dari gaya hidup masyarakat kafir, tetapi
abad ke-4 ketika masyarakat lama-kelamaan menjadi Kristen, maka
kekhas Kristiani mulai luntur. Pada saat itu ada orang-orang yang
mengundurkan diri dari mayarakat ramai untuk mencari bentuk
kehidupan yang lebih khas Kristiani. Ini adalah titik pangkal dalam
selibat. Bukan selibat sebagai janji saja, tetapi selibat sebagai gaya
hidup mereka.
Hidup membiara berhubungan dengan kemampuan intuisi rohani
manusia, dimana intuisi rohani ini lebih merupakan suatu rahmat yang
dianugerahkan, meski dapat dilatih secara akademik atau secara
pengalaman (Emmanuel, 2009). Menurut Darminta, 2006 (dalam
Emmanuel, 2009) mengatakan bahwa hidup membiara terlepas dari
kemampuan inderawi, tetapi lebih nampak dalam hidup secara terarah
ketujuan, secara merdeka dalam keterfokusan dan membuahkan
kemauan atau komitmen yang kuat.
Dasar hidup bersama dalam membiara jelas bukan karena kesamaan
hobi atau sifat atau suku, tetapi karena panggilan Tuhan sendiri
(Markus 3:13-19). Seperti para murid Tuhan Yesus yang dipanggil dan
diutusNya sendiri (Emmanuel, 2009). Masing-masing biarawan tetap
pribadi yang lain yang berbeda dengan segala kekhasan, sifat, watak,
kelebihan dan kekurangan masing-masing. Karena dasarnya adalah
25
panggilan Tuhan, hubungan pribadi masing-masing dengan Tuhan
menjadi dasar yang kuat untuk hidup berkomunitas dalam membiara
(Emmanuel, 2009).
3. Sejarah Hidup Membiara Agama Buddha
Orang-orang sudah mengikuti pengajaran-pengajaran Buddha lebih
dari 2.500 tahun, berasal dari India tempat tinggalnya, lalu menyebar ke
Eropa dan Amerika. Sekarang ada hampir 400 juta orang Buddha di
seluruh dunia. Umat Buddha percaya bahwa manusia terikat di dalam
lingkaran lahir, hidup, dan mati dan bahwa mereka dapat lahir kembali
berulang kali sampai tak terhitung jumlahnya dengan tingkatan hidup
yang berbeda. Dan mereka juga percaya bahwa mereka dapat
menghindarkan diri dari kelahiran kembali dan dapat masuk 1nirwana.
Pengajaran-pengajaran Buddha merupakan bimbingan bagi seluruh
umat Buddha yang mempunyai keinginan besar meningkatkan
kebijaksanaan, belas kasihan, dan menghindari kekerasan, hingga pada
akhirnya mereka seperti Buddha dan dapat menerima pencerahan.
Dalam agama Buddha, hidup membiara dimulai oleh Sidharta
Gautama. Menurut para ahli barat, Buddha Gautama pendiri agama
Buddha dilahirkan pada tahun 563 S.M (Hadiwijono, 2003). Ia adalah
anak Raja Suddhodana, yang memerintah atas suku Sakya dan nama
ibunya permasuri Maya. Ia dibesarkan di ibukota Kapilawastu. Pada
waktu perayaan di Kapilawastu, permasuri Maya memimpikan seekor
gajah putih masuk ke dalam rahimnya kemudian 10 bulan kemudian ia
1
Surga (KBBI) atau secara harafiah berarti pendinginan (Hadiwijono, 2003)
26
melahirkan dan seketika itu bumi bergetar selama bulan purnama pada
bulan Mei. Maya meninggal 7 hari kemudian, dan pangeran dibesarkan
dalam kehidupan yang serba mewah oleh bibinya yang sekaligus juga
ibu tirinya yang bernama Ratu Mahaprajapatt.
Pada waktu hidupnya sebagai putra raja, Siddharta dilimpahi oleh
kesenangan dan kemewahan yang tiada taranya. Sang raja, ayah dari
Siddharta ingin menjauhkan Siddharta dari pemikiran menjadi
pemimpin agama. Akan tetapi Siddharta tidak merasa senang dengan
kehidupan seperti itu. Hatinya tertarik pada kehidupan petapaan.
Kehidupan istana yang memberikan hak-hak istimewa pada pangeran
Siddharta Gautama diubahnya untuk selama-lamanya ketika ia pertama
kalinya melihat orang yang sudah tua, orang sakit, sekelompok orang
sedang berduka, dan orang suci. Ketika perlahan-lahan berhasil keluar
istana, ia mendapat empat pengalaman yang memperkuat kehendaknya
:
Pengalaman 1: Ia melihat seorang laki-laki tua yang lemah dan
menyaksikan betapa usia tua itu menghancurkan ingatan, keindahan,
dan keperkasaan. Ia tidak pernah bertemu dengan orang tua
sebelumnya.
Pengalaman 2: Ia melihat orang cacat yang tersiksa kesakitan, dan
ia merasa terkejut melihat penderitaan demikian dan “bergetar seperti
pantulan cahaya bulan dalam riak air”. Ia tidak pernah mengalami
penderitaan seperti ini.
Pengalaman 3: Ia melihat orang yang sedang menangis dalam duka
pada prosesi pemakaman dan perasaannya terganggu oleh suasana
27
penderitaan karena kematian. Ia tidak pernah melihat peristiwa
kematian sebelumnya.
Pengalaman 4: Ia melihat seorang suci sedang mengembara, dengan
rasa puas dan gembira, berjalan berkeliling dengan mangkok derma di
tangannya. Ia tiba-tiba mengerti bahwa semua kesenangan hidup tidak
berarti.
Dari pengalaman tersebut pada akhirnya memperkuat tekadnya dan
ia berhasil keluar istana. Siddharta pergi meninggalkan anak dan
istrinya serta segala kenikmatan hidup dalam istana.
Dimulailah kehidupan pengembaraan untuk mencapai kelepasan.
Pada suatu sore (waktu itu ia berumur 30 tahun) ia duduk di bawah
pohon bodhi di Bodh Gaya dengan maksud tidak akan meninggalkan
pohon itu sebelum mendapat pencerahan. Dan kemenangannya dicapai
ketika matahari terbit. Kemudian Siddharta Gautama mengajarkan apa
yang sudah didapatnya itu kepada umat manusia, awalnya pengikutnya
hanya 5 orang, tetapi kemudian bertambah banyak hingga saat ini.
Di negara Indonesia yang paling jelas sifat kebiaraannya ialah
agama Buddha. Boleh dikatakan bahwa pokok agama Buddha sendiri
adalah hidup membiara. Ciri khas para pertapa Buddha ialah matiraga
dan konsentrasi. Dan inti hidup membiara Buddhis adalah latihan
2
askese dengan syaratnya yang utama ialah meninggalkan segala harta
miliknya dan janji hidup wadat (Jacob, 1987)
Semula seorang rahib atau bhikkhu diharuskan hidup tanpa rumah
atau tanpa tempat berlindung tetap. Oleh karena itu barangsiapa hendak
2
Ulah tapa mati raga (KBBI).
28
menjadi rahib ia harus meninggalkan rumahnya, hidup dari iman saja.
Biasanya mereka hidup mengembara dan mencari tempat berlindung di
hutan-hutan atau di bawah pohon yang rindang. Hanya pada musim
hujan mereka diperkenankan berlindung di rumah yang dibuatnya
sendiri. Akan tetapi kemudian mereka diperkenankan berkumpul dalam
biara (Hadiwijono, 2003).
Biara atau wihara, menjadi pusat devosi umat Buddha, walaupun
ibadat dapat juga dilaksanakan di kuil dan di tempat pemujaan di
rumah-rumah umat Buddha. Selain itu biara juga merupakan tempat
untuk kegiatan spiritual disamping sebagai tempat belajar. Dalam biara
para raihb Buddha menjalani hidup berdevosi dan bermeditasi. Mereka
mengajarkan Dharma “hukum universal”, yaitu ajaran-ajaran Buddha
kepada manusia dan berusaha untuk mendapatkan kebutuhan spiritual
mereka. Mereka juga dibutuhkan oleh umat untuk berbagai upacara
yang menyangkut kehidupan khususnya upacara kelahiran, perkawinan,
dan kematian.
Hal diatas serupa dengan yang dikatakan oleh Zhao (2007), mereka
pengikut yang telah meninggalkan keduniawian masuk dalam
komunitas yang disebut 3sangha, di dalam sangha para bhikkhu dan
bhikkhuni membantu dalam pelatihan dan penghidupan orang-orang
yang telah meninggalkan keduniawian, mereka harus menjalankan
kehidupan dalam komunitas kebiaraan.
3
Pelembagaan agama Buddha (Becher, 2001; 209).
29
Hidup kerahiban diatur di dalam Kitab Vinaya Pitaka. Dari kitab ini
kita dapat mengetahui bahwa hidup para bhikkhu maupun bhikkhuni
ditandai oleh 3 hal yaitu (Hadiwijono, 2003),:
a. Kemiskinan, seorang rahib harus hidup di dalam kemiskinan.
Ia tidak diperkenankan memiliki sesuatu, kecuali jubahnya. Semula
seorang rahib diharuskan hidup tanpa rumah atau tempat yang tetap
(tetapi sekarang mereka diperkenankan berkumpul dalam biara),
karena itu barangsiapa hendak menjadi rahib ia harus meninggalkan
rumahnya dan hidup dari iman saja. Makanan pun mereka harus
mendapatkan dari mengemis, hidup mengemis memberikan sumber
inspirasi bagi banyak kebajikan.
b. Hidup membujang, seorang rahib harus membujang, mereka tidak
diperkenankan berhubungan sebab hubungan seks dipandang
sebagai sumber dosa. Dosa yang terbesar yang menjadikan seorang
rahib dikeluarkan dari sangha (persekutuan) ialah hidup mesum.
c. Ahimsa
(tanpa
perkosaan),
hal
ini
berarti
mereka
tidak
diperkenankan membunuh atau melukai makhluk lainnya.
Seorang rahib, disebut bhikkhu atau bhikkhuni bagi wanita dalam
bahasa 4Pāli. Pertama-tama bhikkhu maupun bhikkhuni ditahbiskan
sebagai samanera atau samaneri (calon bhikkhu dan bhikkhuni) untuk
jangka waktu setahun atau lebih. Mereka kerap ditahbiskan pada usia
yang sangat belia, akan tetapi umumnya tidak di bawah usia 8 tahun.
Mereka hidup sesuai dasasila, namun tidak diwajibkan menaati seluruh
peraturan monastik. Tahbisan yang lebih tinggi, yakni status penuh
4
Bahasa yang digunakan penganut agama Buddha di India (Theravada).
30
sebagai seorang bhikkhu maupun bhikkhuni, biasanya hanya diberikan
kepada yang sudah berusia 20 tahun atau lebih.
Seorang samaneri menjalankan tiga tahapan untuk bisa ditabhiskan
menjadi seorang bhikkhuni : (1) pabbajja, merupakan penahbisan
pemula, seorang wanita harus meninggalkan kehidupan duniawinya
seperti meninggalkan rumahnya; (2) sikkhamana, merupakan pelatihan
untuk persiapan ditahbiskan secara penuh, pelatihan ini untuk jangka
waktu dua tahun; (3) upasampada, samaneri ditahbiskan menjadi
bhikkhuni oleh sangha bhikkhuni dan sangha bhikkhu (Ven. Bhikkhu
Bodhi, 2009).
Selain peraturan-peraturan tersebut, ada beberapa peraturan yang
khusus diberikan oleh para bhikkhuni-bhikkhuni dalam menjalani
kehidupan membiaranya. Dan peraturan-peraturan tersebut akan
dibahas dalam judul bhikkhuni Buddha dan aturan-aturannya.
C. Biarawati
1. Pengertian
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI Daring oleh
Sugono, 2008), biarawati adalah seorang perempuan yg hidup di dalam
biara. Biarawati juga dapat diartikan sebagai seorang perempuan yang
secara sukarela meninggalkan kehidupan duniawi dan memfokuskan
hidupnya untuk kehidupan agama di suatu biara atau tempat ibadah.
Istilah ini juga dipakai di berbagai agama seperti Katolik Roma, Jain,
Lutheran, dan Buddhisme.
31
Dalam agama Kristen Katolik biarawati dikenal dengan sebutan
suster dan saudari, sedangkan dalam agama Buddha biarawati disebut
dengan panggilan bhikkhuni maupun rubiah yang kesemuanya itu
berarti adalah orang-orang yang menjadi anggota perkumpulan
kerohanian yg hidup di dalam biara dan menjalani kehidupan monastik.
Mereka
yang memilih profesi sebagai biarawati memiliki
konsekuensi-konsekuensi yang terdapat dalam tradisi agama mereka
dan tarikat mereka. Karena setiap agama memiliki konsekuensi yang
berbeda, tetapi tetap memiliki cita-cita yang sama yaitu mencapai
kesempurnaan bersama Ilahi. Dengan berbagai konsekuensi yang
mereka lakukan mereka mejauhkan diri dari yang fana dan duniawi
untuk melayani Tuhan.
Pada umumnya, biarawan maupun biarawati mengusahakan cara
hidup yang sesuai dengan cita-cita injil. Mereka suka membantu orang
yang membutuhkan bantuan. Ada biarawan yang membentuk kelompok
usaha pertanian selaras dengan kehidupan di pedusunan.
2. Biarawati Katolik dan Peraturan-peraturannya
Biarawan Katolik pada abad ke-5 jumlahnya bertambah banyak. Di
kota Konstantinopel sudah ada sekitar enam puluh lima biara untuk pria
dan enam puluh lima biara untuk wanita (Schie, 1994). Santo
Benedictus (480-550) dianggap sebagai bapak hidup membiara di Barat
karena beliau yang menciptakan peraturan hidup membiara yang masih
digunakan oleh banyak biarawan dan biarawati untuk mengatur
32
kehidupan komunitas mereka (Keene, 2006). Peraturan itu berisi tiga
kaul yang harus ditaati oleh para biarawan dan biarawati, tiga kaul
tersebut antara lain:
a. Kaul kemurnian, seorang biarawan atau biarawati hidup selibat,
tidak menikah demi kerajaan sorga. Anggota komunitas religius
dilarang melakukan segala macam bentuk hubungan seksual atau
nafsu birahi yang kuat (Kenee, 2006). Hidup selibat tidak berarti
memiliki sikap acuh terhadap sesama, baik secara jenis maupun
lawan jenis, seseorang biarawati tetap menjalin hubungan dengan
semua orang, tidak terbatas bagi orang tertentu saja (Emmanuel,
2009).
b. Kaul ketaatan, seorang biarawan atau biarawati harus tunduk pada
otoritas yang ada di dalam Gereja. Barang siapa memasuki ordo
religius diwajibkan hidup taat secara total kepada kaul komunitas
dan akhirnya taat total kepada kehendak Allah (Kenee, 2006).
Ketaatan biarawati dalam penyerahan kehidupannya merupakan
wujud penyerahan diri secara total untuk gereja dan juga sesama
(Emmanuel, 2009).
c. Kaul kemiskinan, seorang biarawan atau biarawati harus hidup
miskin. Harta milik harus dibawa ke komunitas jika mereka
menjadi biarawan atau biarawati dan digunakan untuk kepentingan
bersama (Charly&Kurniati, 2006). Hidup miskin bukan berarti
hidup melepaskan secara total terhadap barang-barang duniawi,
dengan kaul kemiskinan biarawan tetap membutuhkan barang-
33
barang duniawi tersebut, namun tidak mengikat diri pada barangbarang tersebut (Emmanuel, 2009).
3. Biarawati Buddha dan Peraturan-peraturannya
Ordo monastik Buddhis terdiri atas dewan para bhikkhu (laki-laki)
dan dewan para bhikkhuni (perempuan). Pada awalnya dewan ini hanya
beranggotakan kaum pria namun berkembang hingga mencangkup
kaum wanita setelah ibu tiri dari Sang Buddha, yaitu Maha prajapati,
ingin menjadi pendeta perempuan. Pada awalnya meskipun ia
melakukan upaya-upaya dahsyat untuk mencapai kerinduannya menjadi
pendeta, ia tidak diterima oleh Buddha. Akhirnya atas nasihat Ananda,
seorang murid Buddha, ia diperbolehkan menjadi pendeta (Becher,
2001).
Sang Buddha memperkenankan mereka menjadi bhikkhuni apabila
mereka bersedia menerima delapan persyaratan yang keras atau
garukamma (Tim Penyusun, 2003), yaitu :
a. Seorang bhikkhuni, meskipun telah ditahbiskan selama 100 tahun,
harus menyambut dengan sopan, berdiri dari tempatnya, memberi
hormat dengan kedua tanggannya dirangkap di dada kepada seorang
bhikkhu yang baru saja ditahbiskan. Aturan ini harus dipatuhi dan
tidak boleh dilanggar selama hidupnya.
b. Seorang bhikkhuni tidak boleh menjalani vassa di tempat yang
tidak terdapat bhikkhu. Aturan ini harus dipatuhi dan tidak boleh
dilanggar selama hidupnya.
c. Setiap setengah bulan, seorang bhikkhuni harus memohon dua hal
dari bhikkhu sangha, yaitu; hari untuk melakukan latihan dan hari
34
untuk mendapatkan nasehat-nasehat dan teguran-teguran. Aturan ini
harus dipatuhi dan tidak boleh dilanggar selama hidupnya.
d. Setelah menjalani vassa, seorang bhikkhuni harus memohon kepada
bhikkhu sangha dan bhikkhuni sangha untuk mendapatkan teguran
dan peringatan apa yang dilihat, didengar dan dicurigai (mengenai
dirinya). Aturan ini harus dipatuhi dan tidak boleh dilanggar selama
hidupnya.
e. Seorang bhikkhuni yang melakukan pelanggaran harus menjalani
hukuman (manatta) selama setengah bulan lamanya dari bhikkhu
sangha dan bhikkhuni sangha. Aturan ini harus dipatuhi dan tidak
boleh dilanggar selama hidupnya.
f. Selesai menjalankan masa percobaan selama dua tahun, seorang
calon bhikkhuni harus memohon ditahbiskan menjadi bhikkhuni.
g. Seorang bhikkhu tidak boleh dimarahi dan dihina dengan cara
apapun oleh seorang bhikkhuni. Aturan ini harus dipatuhi dan tidak
boleh dilanggar selama hidupnya.
h. Mulai hari ini, seorang bhikkhuni dilarang memberikan peringatan
kepada seorang bhikkhu, sebaliknya seorang bhikkhu tidak dilarang
memberikan peringatan kepada seorang bhikkhuni. Aturan ini harus
dipatuhi dan tidak boleh dilanggar selama hidupnya.
Peraturan-peraturan yang lengkap berjumlah 348 yang umumnya
disebut 500 Aturan-aturan bhikkhuni. Aturan-aturan bhikkhuni terdiri
dari 348 pasal yang dibagi atas 7 judul; 1) Parajika, 2) Snghavasesa, 3)
Naihsargika-prayascittika, 4) Prayaascitta, 5) Pratidesaniya, 6)
35
Siksakaraniya, 7) Adhykarana-Samadha. Dalam parajika sendiri
terdapat delapan aturan.
Menghindari seksualitas merupakan hal yang terpenting dalam
kehidupan bhikkhu dan bhikkhuni, hubungan heteroseksual maupun
homoseksual adalah pelanggaran parajika. Jika bhikkhu maupun
bhikkhuni yang melakukan hubungan seksual itu berarti mengeluarkan
dirinya sendiri dari sangha, segala tindakan yang mengarah pada
hubungan seksual dapat menimbulkan sanksi skorsing sampai pada
pengusiran dari sangha dan tidak lagi menjadi bagian dari bhikkhu
maupun bhikkhuni lagi.
Download