Empat Kebenaran Mulia Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammāsambuddhassa Empat kebenaran mulia merupakan inti ajaran Sang Buddha, sama seperti sebuah pusat roda di mana jari-jari dari semua ajaran-Nya yang lain memancar. Buddha pertama kali menjelaskan secara terperinci Empat Kebenaran Mulia ini kepada lima orang pertapa di sebuah taman rusa di Isipatana dekat kota Benares, tidak lama setelah mencapai pencerahan sempurna di bawah pohon Bodhi. Melalui kotbah pertama tersebut yang dikenal dengan “Dhammacakkappavattana Sutta“, Sang Bhagava yang telah mencapai pencerahan sempurna memutar Roda Dhamma yang tidak tertandingi dan memulai ajaran-Nya. Empat Kebenaran Mulia tersebut adalah : 1. Dukkha Sacca, kebenaran mulia tentang penderitaan. 2. Samudaya Sacca, kebenaran mulia tentang asal mula penderitaan. 3. Nirodha Sacca, kebenaran mulia tentang lenyapnya penderitaan. 4. Magga Sacca, kebenaran mulia tentang jalan menuju lenyapnya penderitaan. Dukkha Sacca – Kebenaran mulia tentang penderitaan Apakah kebenaran mulia tentang penderitaan itu ? Kelahiran adalah penderitaan; menjadi tua adalah penderitaan; sakit adalah penderitaan; kematian adalah penderitaan; kesedihan, ratap tangis, sakit fisik, duka cita dan keputusasaan adalah penderitaan; berkumpul dengan yang tidak disenangi adalah penderitaan; berpisah dengan yang dicintai adalah penderitaan; tidak mendapat apa yang diinginkan adalah penderitaan; secara ringkas, kelima kelompok kehidupan/agregat yang merupakan subyek dari kemelekatan adalah penderitaan. Apakah kelima kelompok kehidupan/agregat yang menjadi subyek dari kemelekatan tersebut ? Kemelekatan kepada materialitas ( rūpupādānakkhandha ) Kemelekatan kepada perasaan ( vedanupādānakkhandha ) Kemelekatan kepada persepsi ( saññupādānakkhandha ) Kemelekatan kepada bentukan-bentukan mental/kehendak ( saṅkhārupādānakkhandha ) Kemelekatan kepada kesadaran ( viññaṇupādānakkhandha ) Apa itu kemelekatan kepada materialitas ? Di dalam Khandhā Sutta, Khandhā Vagga Saṁyutta ( S22,48 ), Buddha mengajarkan : “Materialitas apapun yang ada, baik di masa lalu, masa depan, atau masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, rendahan atau unggulan, jauh atau dekat, semua bentuk materialitas yang merupakan objek dari kemelekatan disebut sebagai kemelekatan kepada materialitas.” Dengan cara yang sama Buddha menjelaskan tentang kemelekatan kepada perasaan, persepsi, bentukan mental, dan kesadaran. Sehingga kita seharusnya mengerti bahwa dukkha-sacca-dhammas ( dhamma yang berkaitan dengan kebenaran mulia tentang penderitaan ) tidak hanya meliputi kemelekatan pada kelima agregat saat ini, tetapi juga kemelekatan pada kelima agregat pada masa mendatang dan masa lalu, internal dan eksternal, kasar dan halus, rendahan dan unggulan, jauh dan dekat. Mengapa kelima agregat tersebut menjadi subyek dari kemelekatan ? Dikarenakan ‘ketidaktahuan’, kita secara salah mengidentifikasi materialitas dan mentalitas sebagai “Aku”, “Diriku”, dan “Milikku”. Karena pandangan salah terhadap diri yang begitu halus inilah yang membelokkan persepsi kita dan menimbulkan kemelekatan dan pada akhirnya penderitaan yang tak terhitung jumlahnya mengikuti kita. Samudaya Sacca – Kebenaran mulia tentang asal mula penderitaan Apakah kebenaran mulia tentang asal mula penderitaan ? Adalah keinginan rendah ( taṇhā ) terhadap kesenangan-kesenangan indria, yang menyebabkan kelahiran kembali. Seperti keinginan terhadap kesenangan-kesenangan indria, keinginan terhadap kehidupan, dan keinginan terhadap bukan kehidupan. Keinginan rendah terhadap kesenangan indria, kita merindukan penglihatan yang menyenangkan, suara yang merdu, bau-bauan yang wangi, rasa yang enak, sentuhan yang halus dan pemikiran yang menyenangkan. Kapanpun dan di manapun pemikiran atau sensasi fisik yang menyenangkan timbul, maka kita berusaha mencarinya dan melekatkan diri kita kepadanya, seperti melekat pada makanan yang kita makan, kesenangan nafsu, kenyamanan, kekayaan, teman-teman dekat dan orang yang dicintai dan juga berbagai macam bentuk hiburan. Ketika kita mendapatkan apa yang kita inginkan, perasaan fisik dan mental yang menyenangkan pada saat itu menjadi sebab dari penderitaan ketika mereka tenggelam. Ketika kita tidak mendapatkan apa yang kita inginkan, itu juga penderitaan. Ketika kita menderita, rasa keengganan muncul; jika kita menyalahkan orang lain, maka rasa keengganan itu tumbuh berkembang menjadi dendam dan benci. Oleh karena itulah dari keinginan rendah terhadap kesenangan indria, kebencian dan konflik pun muncul. Dengan kemunculan kebencian dan konflik, maka penderitaan kita pun menjadi berlipat ganda. Keinginan terhadap kehidupan, kita merindukan kehidupan ini, kita merindukan kehidupan mendatang ( kelahiran kembali di alam surga ) dan akhirnya kita merindukan keabadian. Keinginan terhadap bukan kehidupan, kita merindukan pemusnahan diri dan tanpa kesadaran. Seperti seekor ngengat yang terpikat pada nyala lilin, demikianlah semua makhluk hidup secara tidak tertahankan tertarik kepada ketiga jenis keinginan rendah di atas sesuai dengan objek keinginan mereka. Hal ini menyebabkan timbulnya kemelekatan dan kelahiran kembali yang berulang-ulang, yang disebut sebagai “saṃsāra“. “Tidak dapat digambarkan, oh para Bhikkhu, permulaan dari saṃsāra ini. Titik awal dari penjelajahan dan pengembaraan makhluk hidup di lingkaran kelahiran kembali adalah tidak diketahui, terhalangi oleh ketidaktahuan dan terbelenggu oleh keinginan. Yang mana menurut kamu lebih banyak, oh para Bhikkhu : air mata yang telah kamu tumpahkan selama pengembaraan dalam perjalanan yang panjang ini, tangisan dan ratapan karena berkumpul dengan yang tidak disenangi dan berpisah dari yang dicintai; apakah air mata ini atau air yang berada di empat samudera ? Air mata yang telah kamu tumpahkan selama pengembaraan dalam perjalanan yang panjang ini… sudah lebih banyak daripada air yang berada di empat samudera… Untuk waktu yang lama sekali, oh para Bhikkhu, kamu sudah mengalami penderitaan, kesedihan yang mendalam dan kemalangan, serta membengkak di pemakaman.” Selanjutnya : “Akan datang suatu masa ketika laut samudera mengering dan lenyap, dan tidak ada lagi… Akan datang suatu masa ketika bumi yang perkasa ini dilahap oleh api, hancur dan tidak ada lagi. Akan tetapi penderitaan dari makhluk hidup yang menjelajah dan mengembara di dalam lingkaran kelahiran kembali ini belum berakhir, terhalangi oleh ketidaktahuan dan terbelenggu oleh keinginan.” Inilah sifat alami dari saṃsāra, siklus dunia yang tak terhitung jumlahnya sudah muncul dan lenyap, tanpa adanya akhir dari penderitaan makhluk hidup. Terhalangi oleh ketidaktahuan dan terbelenggu oleh keinginan, mereka menjelajah dan mengembara dalam lingkaran kelahiran kembali yang terus berlangsung, lahir dari telur, rahim, kelembaban atau secara spontan di ke-31 alam kehidupan. Dari alam yang paling rendah neraka, alam manusia, sampai alam dewa yang paling tinggi, ke-31 alam kehidupan ini meliputi keseluruhan makhluk hidup. Jika keinginan muncul pada saat menjelang kematian, orang tersebut ( atau makhluk tertentu ) akan dilahirkan kembali di satu dari 31 alam kehidupan. Dengan setiap kelahiran kembali yang baru, maka muncullah kelompok kehidupan/agregat yang baru dan penderitaan baru yang berlangsung sepanjang hidupnya. Seseorang yang mengerti dengan benar proses kelahiran kembali ini tidak memiliki keinginan apapun lagi selain membuat sebuah akhir darinya. Di dalam Nidāna Vagga Saṁyutta, Buddha mengajarkan bahwa asal muasal yang saling kebergantungan adalah samudaya sacca. Ketidaktahuan ( avijjā ), keinginan rendah ( taṇhā ), kemelekatan ( upādāna ), bentukan-bentukan kehendak ( saṇkhāra ), dan dorongan kamma ( kamma ), semuanya merupakan samudaya sacca. Secara singkat, semua dorongan kamma yang bajik yang bisa mengarahkan munculnya eksistensi ( kehidupan ) yang baru dan semua dorongan kamma yang tidak bajik, adalah samudaya sacca. Di dalam Sacca Vibhaṅga, Buddha mengajarkan samudaya sacca melalui lima cara : 1. Keinginan rendah ( taṇhā ) adalah samudaya sacca. 2. Sepuluh kekotoran batin ( kilesa ) yakni ketamakan, kebencian, kegelapan batin, kesombongan, pandangan salah, keragu-raguan, kemalasan, kegelisahan, tidak malu berbuat jahat, dan tidak takut berbuat jahat, semuanya adalah samudaya sacca. 3. Semua kondisi yang tidak bajik ( akusala dhamma ) adalah samudaya sacca. 4. Semua kondisi yang tidak bajik dan juga ketiga akar kebajikan ( alobha, adosa, amoha ) yang bisa mengarahkan munculnya eksistensi ( kehidupan ) yang baru adalah samudaya sacca. 5. Semua kondisi yang bajik yang bisa mengarahkan munculnya eksistensi yang baru dan semua kondisi yang tidak bajik, atau semua dorongan kamma yang bajik yang bisa mengarahkan munculnya eksistensi yang baru dan semua dorongan kamma yang tidak bajik adalah samudaya sacca. Nirodha Sacca – Kebenaran mulia tentang lenyapnya penderitaan Apakah kebenaran mulia tentang lenyapnya penderitaan ? Adalah penghentian total dari keinginan rendah; menyerah, meninggalkan, melepaskan dan penolakan atas semua keinginan rendah tersebut. Di dalam syair Dhammapada, Buddha bersabda, “Hanya sedikit orang yang mencapai pantai seberang ( Nibbāna ); sisanya semua hanya berlari di sekitar pantai ini ( saṃsāra )”. “Pantai ini” tidak lain adalah kelima kelompok kehidupan/agregat yang kita sebut sebagai “diri/aku”. Diterpa oleh angin keinginan, makhluk hidup berlari ke sana kemari di pantai ini. Tidak mampu memahami asal mula dari penderitaan mereka, makhluk hidup tersandung dari satu kehidupan ke kehidupan lainnya. Sebaliknya, “pantai seberang” ( Nibbāna ) adalah “tidak terbentuk” ( tidak hadir kelompok kehidupan ), “tidak dilahirkan”, “tidak menua”, “tidak sakit”, dan “penuh damai”. Oleh karena itu, di sebut sebagai “unsur yang tidak terbentuk” ( asaṅkhata dhātu ). “Di sini unsur air, tanah, api, dan angin tidak memiliki tempat berpijak; di sini panjang dan pendek, kasar dan halus, baik dan buruk, mentalitas dan materialitas — semuanya berakhir.” Seseorang yang telah menyeberangi pantai seberang sudah terbebas dari saṃsāra. Dia disebut sebagai seorang “Arahat“, seorang mulia yang patut dihormati — yang telah menghancurkan secara total keinginan dan ketidaktahuan. Sang Buddha sering menunjukkan bahwa pencapaian kesucian Arahat merupakan tujuan tertinggi dari kehidupan suci. Sang Buddha juga menyebutnya sebagai kebahagiaan yang tertinggi. Meskipun demikian, selama seorang Arahat masih memiliki tubuh fisik, dia belum terbebas sepenuhnya dari penderitaan. Adalah hal yang tidak terelakkan, tubuh menjadi tua, menderita sakit dan mati — bahkan seorang Arahat pun tidak mampu menghentikan proses ini. Hanya pada saat pencapaian Parinibbāna ketika seorang Arahat meninggal dunia, maka pada saat itu pula penderitaan tubuh fisik berakhir. Dengan belas kasih yang murni, seorang Arahat memberi petunjuk dan membantu yang lain berjalan pada Jalan Kebenaran tersebut. Seseorang bisa berpikir tidak ada contoh yang lebih baik dari Sang Buddha dan kedua siswa utama-Nya, Yang Mulia Bhante Sāriputta dan Yang Mulia Bhante Mahā Moggallāna, yang merupakan “Teman baik” bagi banyak orang dan tempat berlindung bagi mereka yang sedang mencari pembebasan dari lingkaran kelahiran kembali yang menakutkan dan budak penderitaan. Dengan semangat yang tidak mementingkan diri sendiri dan tanpa kemelekatan, Yang Mulia Bhante Sāriputta suatu kali pernah berkata, “Saya tidak mencintai kehidupan, Saya tidak mencintai kematian; Saya menunggu waktu datangnya Parinibbāna Saya, seperti halnya pegawai pemerintahan menunggu datangnya hari pembayaran gaji.” Nibbāna adalah nirodha sacca. Dua jenis penghentian muncul ( penghentian keinginan tanpa sisa dan penghentian dukkha sacca tanpa sisa ) karena adanya Pengetahuan Jalan Mulia ( magga ), yang mengambil Nibbāna sebagai objek. Empat jenis Pengetahuan Jalan Mulia, mengambil Nibbāna sebagai objek, menghancurkan kekotoran batin tanpa sisa secara bertahap. Oleh karena penghentian tanpa sisa dari kekotoran batin, kamma tidak bisa menghasilkan kelompok kehidupan/agregat apapun lagi setelah Parinibbāna ( penghentian total ). Jadi kelima kelompok kehidupan/agregat juga akan berhenti tanpa sisa. Tetapi untuk memahami Nibbāna adalah sangat sulit bagi beberapa siswa. Oleh karena itu Sang Buddha mengajarkan dua jenis penghentian sebagai nirodha sacca. Kadang-kadang Nibbāna disebut juga asaṅkhata dhātu, unsur yang tidak terkondisi. Oleh karena itu, asaṅkhata, Nibbāna, adalah sebab, dan dua jenis penghentian adalah akibat. Sehingga Nibbāna bisa disebut sebagai “sebab” ataupun “akibat”. Nirodha sacca bisa sebagai “sebab” ataupun “akibat”. Penghentian total kekotoran batin tanpa sisa disebut Kilesa–Parinibbāna. Penghentian total kelima kelompok kehidupan tanpa sisa disebut Khandha-Parinibbāna. Selanjutnya, penghentian kekotoran batin tanpa sisa disebut juga Saupadisesa-Nibbāna = memiliki landasan dari sisa kehidupan, yang berarti meskipun kekotoran batin sudah berhenti total tanpa sisa, tetapi kelima kelompok kehidupan masih ada. Penghentian kelima kelompok kehidupan tanpa sisa disebut juga Anupadisesa-Nibbāna = penghentian terakhir tanpa landasan, yang berarti penghentian total kelima kelompok kehidupan tanpa sisa. Nibbāna adalah unsur yang tidak terkondisi, yang merupakan objek dari Empat Jalan Mulia adiduniawi dan juga Buah nya ( Magga dan Phala ). Namun sebelum merealisasi Nibbāna, selama latihan Vipassana, ada dua jenis penghentian yang dijadikan sebagai objek, yakni : penghentian kekotoran batin tanpa sisa dan penghentian kelima kelompok kehidupan tanpa sisa. Pengetahuan pandangan terang yang merealisasi objek-objek ini disebut sebagai Udaya-vaya-ñāṇa ( pengetahuan muncul dan lenyapnya formasi/bentukan ). Magga Sacca – Kebenaran mulia tentang jalan menuju lenyapnya penderitaan Apakah kebenaran mulia tentang jalan menuju lenyapnya penderitaan ? Adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan yakni : Pandangan Benar, Pikiran Benar, Ucapan Benar, Perbuatan Benar, Mata Pencaharian Benar, Usaha Benar, Perhatian Benar, dan Konsentrasi Benar. Jalan Mulia Berunsur Delapan ini dikenal juga dengan sebutan “Jalan Tengah”. Pada saat membabarkan Dhamma untuk pertama kalinya di taman rusa Isipatana, Sang Buddha menjelaskan kepada lima orang pertapa “Jalan Tengah yang di temukan oleh Tathāgata untuk menghindari dua kutub ekstrim“. Dua kutub ekstrim yang dimaksud oleh Sang Buddha adalah pandangan ekstrim tentang penyenangan diri dan penyiksaan diri. Salah satu kutub ekstrim adalah pencarian kebahagiaan melalui kesenangan indriawi, yang bersifat “rendah, kasar, jalan duniawi, tercela dan tidak bermanfaat”. Dan kutub ekstrim lainnya adalah pencarian kebahagiaan melalui penyiksaan tubuh fisik, yang bersifat “menyakitkan, tercela dan tidak bermanfaat”. Sering kali, Buddha mengajarkan bahwa pengejaran kesenangan-kesenangan indriawi tidak akan pernah menuntun pada berakhirnya penderitaan, demikian juga penyiksaan diri. Melalui kedua cara ekstrim tersebut, hanyalah menghasilkan semakin banyak penderitaan yang muncul. Dengan menghindari kedua jenis kutub ekstrim ini, Jalan Mulia Berunsur Delapan “menuntun ke kedamaian, pengetahuan langsung, menuju pencerahan, merealisasi Nibbāna“. Seperti seorang dokter yang bijaksana terlebih dahulu mendiagnosa suatu penyakit, kemudian menjelaskan sebabnya, lalu menawarkan penyembuhan dan akhirnya memberikan resep obat; dengan cara yang sama, Sang Buddha mendiagnosa penyakit kita ( Kebenaran Mulia Pertama ), menjelaskan sebabnya ( Kebenaran Mulia Kedua ), menawarkan penyembuhan ( Kebenaran Mulia Ketiga ), dan memberikan resep obat ( Kebenaran Mulia Keempat ). Dipuji oleh para bijaksanawan sebagai obat yang terbaik, “hanya Jalan Mulia Berunsur Delapan” inilah sebagai balsem yang meredakan demam akan keinginan rendah dan pelepasan semua penderitaan. “Setelah meminum obat Dhamma ini, anda akan terbebas dari usia tua dan kematian.” Ada dua jenis Jalan Mulia Berunsur Delapan yakni : duniawi dan adiduniawi. Untuk mencapai Jalan Mulia Berunsur Delapan adiduniawi, maka kita harus terlebih dahulu mengembangkan Jalan Mulia Berunsur Delapan duniawi. Jalan Mulia Berunsur Delapan adiduniawi, hanya muncul sekali di dalam arus kesadaran seseorang, dan tidak dikembangkan sendiri. Namun Jalan Mulia duniawi dikembangkan secara bertahap sesuai kemajuan latihan seseorang. Di dalam Jalan Mulia Berunsur Delapan duniawi tersebut, ketika anda sedang berlatih Vipassanā, ada lima faktor dari Jalan Mulia Berunsur Delapan tersebut muncul pada saat bersamaan. Sebagai contoh, jika anda bisa melihat kelima kelompok kehidupan dan juga sebabnya, maka anda harus memperhatikan tiga karakteristik ( anicca, dukkha, anattā ) dari saṅkhāra dhammas ini ( dhamma yang terkondisi ). Baik dukkha sacca dhammas maupun samudaya sacca dhammas disebut saṅkhāra dhammas, formasi/bentukan-bentukan. Dengan melihat sifat alami mereka yang tidak kekal, anda harus memahaminya sebagai anicca. Dengan melihat sifat alami mereka yang tertekan oleh kemunculan dan kelenyapan, anda harus memahaminya sebagai dukkha. Dengan melihat sifat alami mereka yang tidak memiliki diri/inti yang kekal, anda harus memahaminya sebagai anattā. Ketika anda sedang merenungkan dengan cara demikian, anda mengetahui sifat alami ketidak-kekalan, tidak menyenangkan, dan tanpa diri dari saṅkhāra dhammas. Pengetahuan seperti ini disebut sebagai Pandangan Benar. Penerapan pikiran pada saṅkhāra dhammas dan sifat alami ketidakkekalan, tidak menyenangkan, dan tanpa diri dari saṅkhāra dhammas ini disebut sebagai Pikiran Benar. Pikiran Benar selalu muncul bersamaan dengan Pandangan Benar. Usaha yang anda kerahkan untuk melihat sifat alami ketidak-kekalan, tidak menyenangkan dan tanpa diri dari saṅkhāra dhammas disebut sebagai Usaha Benar. Perhatian penuh pada sifat alami ketidak-kekalan, tidak menyenangkan dan tanpa diri dari saṅkhāra dhammas disebut Perhatian Benar. Konsentrasi pada sifat alami ketidak-kekalan, tidak menyenangkan dan tanpa diri dari saṅkhāra dhammas disebut Konsentrasi Benar. Jadi, ketika seorang meditator sedang berlatih Vipassanā, kelima faktor dari Jalan Mulia Berunsur Delapan muncul bersamaan. Ketiga faktor lainnya yakni Ucapan Benar, Perbuatan Benar, dan Mata Pencaharian Benar adalah latihan moralitas. Sebelum anda berlatih samatha dan vipassanā, anda harus mengambil latihan moralitas terlebih dahulu. Sehingga semuanya ada 8 faktor dari Jalan Mulia Berunsur Delapan. Tapi ketiga faktor dari latihan moralitas muncul secara terpisah dari lima faktor lainnya. Ketiga faktor ini tidak muncul bersama dengan pengetahuan Vipassanā. Yang berarti ketiga faktor ini tidak bisa muncul dalam momen kesadaran yang sama, atau di dalam proses kognitif yang sama, dalam Jalan Mulia duniawi. Pada akhir dari latihan Vipassanā, ketika meditator merealisasi Nibbāna, maka kedelapan faktor dari Jalan Mulia Berunsur Delapan muncul. Kedelapan faktor ini disebut Jalan Mulia Berunsur Delapan adiduniawi. Merealisasi Nibbāna disebut Pandangan Benar. Penerapan pikiran pada Nibbāna disebut Pikiran Benar. Usaha untuk merealisasi Nibbāna disebut Usaha Benar. Perhatian penuh pada Nibbāna disebut Perhatian Benar. Konsentrasi pada Nibbāna disebut Konsentrasi Benar. Kekotoran batin yang bisa menyebabkan pelanggaran terhadap Ucapan Benar, Perbuatan Benar, dan Mata Pencaharian Benar telah dihancurkan dengan Pengetahuan Jalan. Jadi ketiga faktor ini muncul bersamaan dengan Pengetahuan Jalan. Dengan demikian ketika seorang meditator merealisasi Nibbāna, maka semua kedelapan faktor dari Jalan Mulia Berunsur Delapan muncul secara bersamaan. Tanpa merealisasi dan menembus Empat Kebenaran Mulia, seseorang tidak akan bisa merealisasi Nibbāna . Jika kita ingin merealisasi Nibbāna, maka kita harus mencoba berlatih untuk menembus ke Empat Kebenaran Mulia tersebut. Semoga kita bisa berlatih dengan sungguh-sungguh, menembus Empat Kebenaran Mulia dan mencapai Nibbāna. Semoga dengan jasa kebajikan selama ini, mengkondisikan pencapaian Nibbāna. Sādhu! Sādhu! Sādhu! Sumber : E-Book “Teaching and Training Pa-Auk Forest Monastery“, compiled by Bhikkhu Moneyya, published online by Buddha Dharma Education Association Inc., www.buddhanet.net E-Book “How to Make An End to Suffering“ Cara berdana kebutuhan Bhikkhu Kebutuhan Bhikkhu yang diizinkan Bhikkhu Saṅgha Theravāda hanya bisa menerima persembahan dana kebutuhan yang diizinkan ( seperti jubah, makanan dan minuman, obat-obatan, dan keperluan sehari-hari ). Para Bhikkhu tidak diizinkan menerima dan memiliki uang dalam bentuk apapun juga ( seperti dalam bentuk uang kertas, “ang pao”, cek, kartu kredit, dan lain-lain ). Jika seorang Bhikkhu menerima persembahan dana dalam bentuk uang, maka Bhikkhu tersebut telah melanggar aturan vinaya kebhikkhuan. Umat juga tidak seharusnya mempersembahkan dana yang kurang pantas seperti rokok, minuman keras, daging yang tidak diizinkan, kosmetika, senjata, emas, perak, dan batu mulia lainnya. Bagaimana cara berdana kebutuhan Bhikkhu yang diizinkan ? Para Bhikkhu tidak bisa meminta kebutuhan apapun dari seorang umat perumah tangga ( kecuali saudara kandung/sedarah ) yang belum mengajukan undangan untuk persembahan dana kebutuhan kepada Bhikkhu ( kecuali seorang Bhikkhu yang sedang menderita sakit, maka Bhikkhu tersebut bisa meminta persembahan dana obat-obatan ). Jika seorang umat berkeinginan kuat untuk melakukan persembahan dana tetapi tidak bisa memastikan apa yang dibutuhkan oleh Bhikkhu, maka dia bisa mengundang Bhikkhu dan menanyakan apakah Bhikkhu tersebut membutuhkan sesuatu yang diizinkan. Atau dengan cara lain, umat tersebut bisa meminta bantuan dari seorang kappiya Bhikkhu ( pembantu Bhikkhu ). Dikarenakan seorang kappiya mengetahui lebih jelas apa saja yang dibutuhkan oleh seorang Bhikkhu, maka dari itu si pendana bisa meminta bantuan kappiya untuk mengatur ( = membeli ) kebutuhan yang diizinkan untuk didanakan kepada Bhikkhu. Setelah si pendana memberikan sejumlah uang kepada kappiya, maka dia bisa menyampaikan undangan secara lisan maupun tulisan kepada Bhikkhu sebagai berikut ini : ( Versi English ) “Sayadaw/Bhante, I/We wish to offer bhante allowable requisites to the value of Rp.xxx. If you need any allowable requisites, please request them from your kappiya ….. ( kappiya’s name ). “ ( Versi Indonesia ) “Sayadaw/Bhante, Saya/kami ingin berdana kebutuhan Bhante yang diizinkan yang setara dengan nilai Rp. xxx. Jika Bhante memerlukan kebutuhan yang diizinkan tersebut, mohon bisa meminta dari kappiya Bhante …… ( nama kappiya Bhante ).” Catatan : Jika anda mengetahui nama kappiya Bhikkhu ( kappiyakāraka ), maka mohon menyebutkan nama kappiya tersebut. Jika anda tidak mengetahui siapa kappiya Bhikkhu tersebut, maka mohon bertanya terlebih dahulu kepada Bhikkhu : “Siapa nama kappiya Bhante ? ” dan kemudian menyebutkan nama kappiya tersebut saat menyampaikan undangan kepada Bhikkhu. ( Bhikkhu harus menjawab nama dari kappiya nya saja, dan tidak boleh menyebutkan ” diberikan kepada siapa ” ). Apabila si pendana dan kappiya gagal dalam menyampaikan undangan kepada Bhikkhu, maka Bhikkhu tidak dibenarkan meminta kebutuhan apapun meskipun dia membutuhkannya. Dengan kondisi seperti ini, baik Bhikkhu maupun si pendana tidak mendapatkan manfaat apa-apa dari pengaturan tersebut. Sumber : PAMC Singapore Berdana makanan kepada Bhikkhu Bagaimana cara berdana makanan dengan benar kepada Bhikkhu Saṅgha ? Umat seharusnya tidak berdana makanan kepada bhikkhu setelah jam 12.00 siang. Hal ini dikarenakan para bhikkhu harus mematuhi peraturan kebhikkhuan untuk tidak mengambil makanan pada waktu yang tidak tepat ( yaitu setelah jam 12.00 siang sampai subuh keesokan paginya ). Bhikkhu juga tidak diperbolehkan menyimpan makanan mereka sendiri. Oleh karena itu, umat seharusnya berdana kepada bhikkhu pada rentang waktu yang tepat yaitu dari fajar ( pagi hari ) sampai pertengahan hari sebelum jam 12.00. Namun, tidak ada batasan waktu bagi umat untuk berdana keperluan obat-obatan kepada bhikkhu. Buddha juga menetapkan peraturan bagi para bhikkhu untuk tidak mengambil makanan yang didanakan dengan cara yang tidak tepat. Untuk itu bagi umat yang berdana makanan seyogyanya berdiri atau berlutut dalam jarak yang cukup yang bisa di jangkau oleh lengan bhikkhu, artinya umat harus menghindari berdiri atau berlutut terlalu jauh. Sesuai peraturan kebhikkhuan, setelah seorang bhikkhu makan dan menolak persembahan dana makanan selanjutnya, maka bhikkhu tidak diperbolehkan mengambil sisa makanan yang ada. Sehingga ketika umat mendanakan makanan, mohon untuk tidak bertanya kepada bhikkhu : “mau atau tidak mau”, atau apakah bhikkhu sudah “mengambil makanan yang cukup”. Ketika mendanakan makanan, jika umat mengetahui bahwa bhikkhu tidak merespons atau bhikkhu menutup patta-nya, maka umat seharusnya tidak bersikeras untuk mendanakan makanannya. Ketika mendanakan buah-buahan atau sayuran yang memiliki biji, maka dana makanan tersebut harus dibuat “layak makan” terlebih dahulu. Bhikkhu akan memegang buah atau sayuran tersebut dan berkata kepada umat : “Kappiyam karohi“, yang artinya : “Buatlah buah/sayuran ini layak makan.” Umat yang berdana harus menjawab : “Kappiyam, Bhante“, yang artinya : “Bhante, ini layak makan”. Ada 5 cara untuk membuat dana makanan ( buah/sayur berbiji ) menjadi “layak makan”, yaitu : 1. Makanan tersebut sudah melalui proses pengapian ( atau sudah di masak ) 2. Makanan tersebut di buat layak makan dengan pisau atau garpu, misalnya ditusuk atau membuat kulit buah tersebut terkelupas. 3. Makanan tersebut di dibuat layak makan dengan menggunakan kuku. 4. Tanaman/buah yang tidak memiliki biji, misalnya pisang, sudah termasuk layak makan. 5. Membuang biji buah / sayuran, misalnya membuang biji apel. Makanan yang mungkin belum/tidak layak makan akappiya, adalah makanan mentah yang bila ditanam akan tumbuh, karena berbiji atau bisa tumbuh akar. Makanan tersebut seperti: jenis buahbuahan: semangka, jeruk, jambu, rambutan, anggur dll. Jenis sayur-sayuran: kangkung mentah, taoge mentah dan sayuran lain yang bisa tumbuh akar. Bila terdapat banyak makanan yang harus di kappiya, pada saat mengerjakannya, makanan yang di kappiya itu harus berhubungan langsung ( saling melekat ) satu sama lain, agar tidak perlu melakukan kappiya satu persatu terhadap makanan-makanan tersebut. Dengan perlakuan demikian, berarti makanan tersebut telah layak makan kappiya, sehingga bhikkhu bisa memakannya dengan bebas, walaupun dengan sengaja atau tidak, telah menggigit pecah biji buah-buahan atau memakan sayur mentah ( lalapan ). Bila makanan belum di kappiya, bila seorang bhikkhu menggigit pecah, makan lalapan atau umbi obat-abatan, ia telah melanggar vinaya pacittiya, karena dianggap telah merusak tumbuhtumbuhan. Bila bhikkhu tidak meminta untuk membuat makanan menjadi kappiya, ia telah melanggar vinaya dukkata, karena kelengahannya. Dan, bila ia menggigit pecah biji buah-buahan yang ia makan, maka ia telah melanggar vinaya dukkata dan pacittiya. Tahu mana yang benar dan tahu mana yang tidak benar. Tahu mana yang patut dan tahu mana yang tidak patut. Saddha yang dikendalikan oleh kebijaksanaan akan muncul dan berkembang, karena melihat dan mengerti bahwa para bhikkhu melaksanakan vinaya dengan benar dan indah. Saddha berkembang terus, karena yakin bahwa bhikkhu Sangha tempat menanam kebajikan yang kita hormati benar-benar sebagai: Supatipanno puggala, orang yang berlaku dan bertindak baik. Ujupatipanno puggala, orang yang berlaku dan bertindak lurus/jujur. Nayapatipanno puggala, orang yang berlaku dan bertindak benar. Samicipatipanno puggala, orang yang berlaku dan bertindak patut/layak. Ahuneyyo pahuneyyo dakkhineyyo anjalikaraniyo puggala, orang yang patut menerima pemberian, tempat bernaung, berdana dan penghormatan. Sādhu! Sādhu! Sādhu! Sumber : PAMC Singapore Galeri April 2015 – Umum