MENANAMKAN KESADARAN FEMINISME

advertisement
MENANAMKAN KESADARAN FEMINISME
MULTIKULTURAL DALAM
PEMBELAJARAN SISWA
Irpan Abd. Gafar DM*
Abstract
Multicultural feminism is different from traditional feminism.
In multicultural feminism, gender equality is not understood as
simple as the traditional feminism. In this latter stream, women
were considered equal to men, so that the sides tend to ignore
their feminine nature. Multicultural feminism fight for equality
while maintaining feminine sides naturally attached. In
addition, multicultural feminism not only to defend the rights of
women when confronted with men, but also the sides of the
difference between a woman with other women. This difference
is understood as a natural talent, natural heritage and should be
respected and treated humanely. Therefore, there is no single
definition of the ideal woman and how women should behave.
Everything is treated according to their cultural roots. This kind
of awareness is necessary owned by the younger generation
early. Therefore, education plays an important role. The whole
learning activities geared to deliver critical awareness of the
importance of the practice of gender equality. Various
dimensions and components of integrated education with values
gender equity. As a result, learning can take place as well as
bringing the vision-mission of the struggle of feminism
mulitikultural.
Kata Kunci: kesadaran, feminisme, multikultural, pembelajaran
Pendahuluan
Kenyataan Indonesia adalah negara yang memiliki kekayaan
budaya, beragam etnis hidup di dalamnya, karakter dan mentalitas
bangsanya yang tak seragam, tidak dapat dipungkiri. Keragaman ini
dapat dikatakan sebagai anugerah kehidupan yang patut dijaga,
dilestarikan, dikembangkan. Upaya yang bisa ditempuh tak lain adalah
dengan menumbuhkan kesadaran yang mengakar dalam jiwa dan
138 Musawa, Vol. 4, No. 2, Desember 2012: 137-160
keyakinan. Kesadaran menempati posisi paling terdepan yang harus
diprioritaskan. Tanpa kesadaran akan pentingnya keragaman,
kekayaan yang dimiliki bangsa ini bisa musnah.
Kesadaran multikultur dapat diwariskan dari generasi ke
generasi, dan dengan begitu peranan dunia pendidikan menjadi lebih
nyata. Dunia pendidikan mengemban amanah dan tanggungjawab
besar agar generasi penerus kuat memegang kesadaran multikultural
ini. Konsekuensinya, sejak dini, generasi muda sudah harus dididik
dan diajar untuk menghayati pentingnya menjaga keragamaan budaya
Nusantara. Kesadaran generasi muda dapat direproduksi terusmenerus melalui media pembelajaran di dunia pendidikan.
Diskursus keragaman, sejatinya, tidak berhenti di ranah
kebudayaan. Lebih jauh dapat menembus wilayah mentalitas dan
karakteristik manusia yang berbudaya. Kebudayaan mustahil eksis
tanpa manusia, sebab kebudayaan lahir dari manusia yang berkreasi.
Karenanya, wacana keragaman budaya meniscayakan keragaman
mentalitas dan karakter manusianya. Ini menjadi ‘beban kedua’ bagi
dunia pendidikan pada umumnya dan proses pembelajaran pada
khususnya, dimana fokus keragaman mentalitas tak bisa diabaikan
begitu saja.
Perbedaan mentalitas dan karakter harus mendapat porsi besar
dari perhatikan penyelenggaraan pendidikan dan pembelajaran. Siswasiswi yang duduk di ‘ruang’ pembelajaran yang sama, pada
hakikatnya, adalah manusia-manusia yang lahir di tengah-tengah
masyarakat yang berkebudayaan berbeda. Eksistensi mereka dalam
dunia pendidikan dan ruang pembelajaran adalah representasi dan/atau
manifestasi dari eksistensi multikulturalisme. Ruang pembelajaran,
dengan demikian, ruang yang multikultur itu sendiri. Di ‘ruang’ inilah,
keragaman mentalitas dan karakteristik siswa harus diberi porsi dan
perlakuan yang sama.
Siswa, baik laki-laki maupun perempuan, diberi kesempatan
yang sama. Perbedaan gender dihapuskan dalam ruang pembelajaran.
Seperti ungkapan aliran feminisme tradisional yang dikutip oleh
Spelman, berbunyi, “jika semua manusia adalah sama, maka semua
manusia adalah setara. Tidak ada yang lebih superior atau lebih
Irpan Abd. Gafar DM, Menanamkan Kesadaran Feminisme
Multikultural dalam Pembelajaran Siswa
139
inferior dibanding yang lainnya.” 1 Kesadaran akan kesetaraan gender
semacam ini perlu turut ditanamkan sejak dini di dunia pendidikan
dan sepanjang proses pembelajaran.
Satu masalah muncul, di kemudian hari, dengan adanya
kenyataan di lapangan bahwa booming-nya diskursus kesetaraan
gender di tingkat global maupun nasional, tidak berbanding lurus
dengan kenyataan realitas yang partikular. Jumlah kuantitas laki-laki
dan perempuan yang mengenyam pendidikan tidak sama. Bahkan,
setelah berada di dunia pendidikan itu sendiri, peserta didik
(siswa/siswi) terkendala dalam memanfaatkan kesempatan dan hak
yang sama yang telah disediakan. Di ruang-ruang seminar, perkulihan,
bahkan sampai ke tingkatan yang lebih rendah, yakni di ruang-ruang
sekolah, kompetisi dan persaingan antara laki-laki dan perempuan
tidak selalu setara. Dalam arti, kualitas dan kuantitas mereka berbeda.
Hanya segelintir perempuan yang berani ‘bersuara’ di tengah
kerumunan laki-laki. Atau juga, hanya segelintir perempuan yang
tampak ‘lebih unggul’ dibanding perempuan kebanyakan. 2
1
Elizabeth V. Spelman, Inessential Woman: Problems of Exclusion in
Feminism Thought (Boston: Beacon Press, 1988), 11
2
Kenyataan ini masih bisa dilihat sampai detik ditulisnya artikel ini.
Sekalipun dalam rentang waktu yang cukup lama, sudah ada hasil penelitian yang
melaporkan tentang kenyataan yang sama. Yaitu bahwa perempuan dan laki-laki
masih berbeda. Atau, antara satu perempuan dengan perempuan lainnya juga tak
sama. Dalam sebuah laporan pernah dikatakan, penduduk perempuan yang
berpendidikan tinggi adalah sekitar 2.7%, lebih sedikit ketimbang laki-laki yang
mencapai 3,34%, Selain itu, jumlah penduduk perempuan yang buta huruf mencapai
14,46%, sementara laki-laki hanya 6,6%. Selanjumya, jumlah penduduk perempuan
yang berhasil menyelesaikan pendidikan hingga tingkat SLTPbaru mencapai 31.4%,
lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki yang mencapai 36%. Lihat laporan Tim
PSG IAIN Antasari, Laporan Penelitian Pendidikan Berwawasan Gender
(Banjarmasin, IAIN Antasari, 2005), 31
Lebih dari itu, terkadang guru atau tenaga pengajar sengaja melakukan
ketidak-adilan gender. Perlakukan guru terhadap kaum laki-laki (siswa) lebih baik
daripada terhadap kaum perempuan (siswi). Perempuan nyatanya memang lebih
banyak diam, tapi guru membiarkannya dan lebih responsif terhadap siswa-siswa
yang tampak lebih progresif. Hal ini senada dengan laporan riset yang dilakukan
oleh lihat: M. Guttentag dan Helen Bray, "Teacher as Mediators of Sex Role
Standards”, dalam Alice G. Sargent (ed.), Beyond Sex Role (St.Paul: West
Publishing Company, 1977), h. 395-411.
140 Musawa, Vol. 4, No. 2, Desember 2012: 137-160
Tulisan ini tidak untuk menganalisis ‘ketimpangan’ realitas di
atas,
melainkan
untuk
melacak
akar
ketimpangan,
memformulasikannya, dan menawarkan konsepsi baru dalam
menyikapi perbedaan dan ketidak-samaan dalam ruang pembelajaran.
Dengan mengambil latar/setting ruang kelas, dimana transformasi
pengetahuan diselenggarakan, ‘ketimpangan’ gender tersebut
dijadikan objek kajian. Tulisan ini bersifat analitis-teoritis, sehingga
dapat dilakukan penelitian lanjutan di lapangan untuk membuktikan
kebenaran teoritisasinya. Dengan menggunakan pendekatan teori
feminisme-multikultural terhadap objek kajian, tulisan ini mengajukan
proposisi awal bahwa perbedaan kualitas dan realitas di ruang
pembelajaran, sehingga memunculkan kesan terjadinya ketimpangan
gender, disebabkan oleh perbedaan mentalitas dan akar kebudayaan
siswa. Untuk menyikapinya, labelisasi ‘ketimpangan gender’ harus
diganti dengan label ‘keunikan siswa’, dan pada akhirnya, perlakuan
dan kebijakan pendidikan harus mempertimbangkan keunikan masingmasing individu.
FITRAH YANG TAK PERLU DILENYAPKAN
Manusia diciptakan dengan amat ‘unik’. Tidak satu pun manusia
yang memiliki kemiripan sempurna. Watak, kepribadian, pola pikir,
akar kebudayaan dan sejarah hidupnya, berbeda satu sama lain.
Perbedaan ini adalah fitrah yang dimiliki manusia secara alami,
semenjak keluar dari rahim sampai kelak memasuki liang lahat.
Karena itulah, segala upaya untuk meniadakan perbedaan menjadi
mustahil dan sia-sia.
Antara perempuan dan laki-laki tetaplah berbeda, dan di beberap
aspek lain keduanya memiliki sisi persamaan dan/atau kesetaraan.
Antara perempuan satu dengan perempuan lainnya juga tidak sama,
sekalipun pada sisi-sisi tertentu memiliki kesamaan dan/atau
keseteraan. Dengan logika sederhana ini, gerakan Feminisme
Tradisional mendapat serangan telak dari aliran Feminisme
Multikultural.
Dalam sebuah pernyataan panjang, Spelman mengatakan,
“pendapat mengenai perbedaan di antara perempuan dapat beroperasi
secara opresif, jika seseorang menandai perbedaannya, dan kemudian
beranggapan bahwa satu dari kelompok itu yang sangat berbeda
Irpan Abd. Gafar DM, Menanamkan Kesadaran Feminisme
Multikultural dalam Pembelajaran Siswa
141
adalah lebih penting, atau lebih manusiawi dari yang lain, atau dalam
beberapa hal lebih baik daripada yang lain. Tetapi di sisi lain,
menekankan kesatuan perempuan juga bukanlah suatu jaminan
terhadap tidak adanya pengurutan hirarkis, jika apa yang dikatakan
seseorang itu benar, atau karakteristik dari beberapa penemuan
dianggap benar. Itu artinya, perempuan yang tidak dapat
dikarakterisasikan dianggap bukan perempuan. Ketika Stanton
mengatakan bahwa perempuan harus mempunyai hak pilih lebih
dahulu dibandingkan orang-orang Afrika, Cina, Jerman, dan Irlandia,
ia secara jelas telah melandaskan pendapatnya pada konsep tentang
perempuan yang membutakannya dari keperempuanan dari banyak
perempuan.”3
Elizabeth V. Spelman ingin mengatakan bahwa jika perempuan
harus ditandai dengan label-label tertentu, sehingga dengan label ini
mereka bisa setara dengan laki-laki, maka penandaan semacam itu, di
sisi lain, dapat merugikan perempuan itu sendiri, terutama mereka
yang berada di luar kategori atau label. Semisal, apabila perempuan
hanya dipahami sebagai makhluk yang memiliki hak sama dengan
laki-laki, tetapi ada perempuan lain yang berasal dari akar budaya
berbeda lalu mengakui bahwa perempuan tidak sama dengan laki-laki,
maka otomatis perempuan jenis ini dianggap bukan perempuan, hanya
lantaran perbedaan asumsi dan keyakinan.
Spelman mendorong resistensi terhadap upaya-upaya dan
keinginan untuk menghilangkan perbedaan-perbedaan yang melekat
secara alamiah dalam diri perempuan. Perbedaan-perbedaan
merupakan fitrah manusiawi yang harus dipertahankan, sehinga imaji
tentang “perempuan ideal” tidak perlu ada. Imaji tentang perempuan
ideal ini adalah hasil konstruksi pemikiran, yang ke dalam jenis inilah
perbedaan autobiografis perempuan lain kemudian dapat melebur
menjadi satu.4 Karenanya, jika ada perempuan yang berbeda dengan
“perempuan ideal” ini, maka ia dianggap bukan perempuan. Inilah
yang ditolak, menurut Spelman.
Perempuan adalah manusia yang lahir dari beragam kebudayaan,
yang memiliki karakteristik dan pembawaan yang beragam pula.
3
Elizabeth V. Spelman, Inessential Woman: Problems of Exclusion in
Feminism Thought, 11-12
4
Ibid., 12
142 Musawa, Vol. 4, No. 2, Desember 2012: 137-160
Untuk itulah, definisi tunggal untuk perempuan tidak mudah
dikonsepsikan. Bahkan, konsepsi tunggal akan berdampak pada
peminggiran jenis-jenis perempuan yang berada di luar konsepdefinitif tersebut. Karena itulah, menurut Lorde, cara untuk mengatasi
peminggiran seperti ini adalah tidak dengan mencomot sembarang
aspek dari (diri sendiri) dan menyajikannya sebagai keseluruhan yang
bermakna, seolah-olah seseorang dapat menyelesaikan semua masalah
dengan sederhana.5
Dengan kata lain, Audre Lorde ingin mengatakan bahwa tak ada
pembela kaum perempuan sekalipun yang lebih berhak menyajikan
definisi akhir tentang perempuan ideal, apalagi definisi itu dibangun di
atas fakta-fakta sosial-historis dari kebudayaannya sendiri, tanpa
melibatkan fakta-fakta kebudayaan lain di tempat lain, sehingga
memungkinkan lahirnya definisi, konsep, dan teori lain yang lebih
akomodatif terhadap keragaman (multikulturalisme).
Kita bisa mengambil contoh. Di dunia pendidikan, misalnya, di
dalam sebuah ruangan yang sedang menyelenggarakan proses belajarmengajar, boleh jadi seorang siswi berasal dari keluarga orang miskin
yang inferior, sehingga pembawaannya yang terkesan inferior,
pendiam, dan semacamnya terbawa ke dalam ruang kelas. Boleh jadi,
siswi yang lain berasal dari keluarga yang berpendidikan, kedua orang
tuanya menyandang gelar sarjana, sehingga di dalam kelas, siswi
tersebut lebih kritis di banding rekan-rekan perempuannya yang lain.
Sedangkan, siswi yang ketiga semisal berasal dari keluarga tokoh
agama yang kritis, berpengetahuan luas, tapi lebih mengedepankan
sikap tawadhu’ (rendah hati, diam, tapi paham), sehingga di dalam
ruang kelas, siswi tersebut lebih banyak diam, mengerti, tidak banyak
berceloteh, dan terkesan tidak menonjolkan diri.
Contoh di atas hanya untuk menyebutkan beberapa
kemungkinan karakter yang berbeda secara mencolok dan memiliki
substansi yang berbeda pula. Anak pertama yang inferior sama
pendiamnya dengan anak yang berasal dari keluarga tokoh agama.
Tetapi keduanya memiliki tingkat pemahaman yang berbeda. Anak
dari keluarga yang berpendidikan sama kritisnya dan sama tanggapnya
5
Audre Lorde, “Age, Race, Class, and Sex: Women Redefining Difference,”
dalam Margaret L. Andersen and Patricia Hill Collins (ed.), Race, Class, and
Gender, (Cet. ke-2; Belmont: Wadsworth, 1995), 539
Irpan Abd. Gafar DM, Menanamkan Kesadaran Feminisme
Multikultural dalam Pembelajaran Siswa
143
dalam menyerap pengetahuan dengan anak tokoh agama. Tapi
keduanya berbeda dalam ekspresi aktualnya.
Tiga tipe dan kepribadian yang berbeda dari masing-masing
perempuan di atas wajib diterima sebagai karakter alamiah nan unik
dari manusia bernama perempuan. Perempuan ideal tidak bisa
dikategorikan dengan konsepsi tunggal. Apabila di satu ruangan kelas
terdapat banyak laki-laki yang menonjol, kritis, produktif, dan kreatif
dalam berkarya, kemudian hanya ada segelintir siswi perempuan yang
memiliki kualitas sama dengan laki-laki, sementara mayoritas siswi
yang lain tampak secara kasatmata lebih pendiam dan biasa-biasa saja
dalam karya dan kreatifitas, maka mereka yang tampak biasa saja
tetap dianggap sama dan/atau setara dengan laki-laki dan segelintir
perempuan itu. Mereka yang pendiam dan tampak tidak produktifkreatif bukan berarti the others (liyan). Untuk itulah, dengan
mengibaratkan dirinya sendiri, Lorde menyatakan, “cara untuk
mengatasi ke-liyan-an seseorang adalah dengan mengintegrasikan
semua bagian dari diri saya, secara terbuka, membiarkan kekuatan dari
sumber tertentu dalam kehidupan saya untuk mengalir ke segala arah
dengan bebas melalui diri-diri yang berbeda, tanpa pembatasan
berdasarkan definisi yang dibebankan dari luar.”6 Dengan begitu,
ketiga tipe perempuan (siswi) di atas bukanlah “berbeda”, melainkan
lebih tepat disebut “unik”.
Kini, sudah saatnya menolak keyakinan feminisme tradisional,
bahwa antara kaum laki-laki dan kaum perempuan adalah setara,
antara satu perempuan dengan perempuan lainnya adalah setara.
Sebab, kesetaraan yang dimaksud dalam feminisme tradisional
meniscayakan adanya kategorisasi dan karakterisasi perempuan,
sehingga perempuan di luar kategori dan karakteristik yang dibangun
tersebut dianggap bukan perempuan. Dalam konteks karier dan
pekerjaan, sekedar untuk mengambil sampel kecil, perempuan
dianggap setara dengan laki-laki dalam memperoleh hak bekerja.
Kemerdekaan seorang perempuan hanya dipahami dari kebebasannya
untuk terlibat dalam dunia karier, bahkan politik. Konsepsi tunggal
semacam ini akan mengeliminir perempuan dari kebudayaan lain,
yang merasa lebih nyaman diperlakukan layaknya ‘ratu’, dimana
nafkah sepenuhnya ditanggung pihak laki-laki, atau perempuan lain
6
Ibid., 539
144 Musawa, Vol. 4, No. 2, Desember 2012: 137-160
dari akar historis berbeda yang merasa lebih maksimal dalam
menjalankan ‘visi dan misi’ keperempuanannya dengan sekedar
berkutat di ranah domestik, tanpa harus terlibat dalam wilayah publik.
Kebudayaan yang berbeda akan melahirkan kesadaran dan formulasi
teoritis yang berbeda pula. Akan tetapi, mereka tetap sama dalam satu
nama: perempuan.7
Ide tentang femenisme multikultural ini memang cocok untuk
dijadikan kacamata analisis dalam melihat upaya-upaya pembelaan
dan pemberdayaan kaum perempuan di Indonesia, mengingat bangsa
ini beragam dalam kebudayaan, tradisi, keyakinan, watak dan
kepribadian. Perbedaan dan keragaman tersebut adalah fitrah alam,
dan fitrah ini tidak boleh dihilangkan hanya atas nama persamaan.
Sebaliknya, berbeda tetap bisa bersama dan setara. Kesadaran
feminisme multikultural juga sangat tepat untuk diproyeksikan
sebagai langkah awal menanamkan kesadaran kesetaraan gender
melalui dunia pendidikan, dan dalam proses pembelajaran. Kini,
sudah saatnya memikirkan bagaimana kesadaraan ini mengejawantah
atau manifes secara lebih konkrit dalam proses belajar-mengajar;
yakni dalam praktek pendidikan.8
7
Feminisme Multikultural ini lahir di Amerika sebagai respon feminis kulit
hitam terhadap feminis kulit putih. Penyeragaman yang dikehendaki feminis
tradisional, yang dalam hal ini dominan direpresentasikan feminis kulit putih, tidak
memuaskan bagi feminis kulit hitam. Dengan kata lain, feminis kulihat hitam
memandang dunia perempuan dengan cara yang berbeda dari apa yang dipahami
feminis kulit putih. Karena mereka berasal dari ras yang berbeda, latar belakar
budaya dan sejarah yang berbeda. Perbedaan layat belakang budaya dan sejarah
inilah, kemudian, memunculkan pemahaman yang berbeda pula dalam kerangka
perjuangan membela kaum perempuan. Perdebatan ini dapat dilihat dalam Deborah
King, “Multiple Jeopardy: The Context of a Black Feminist Ideology”, dalam Alison
M. Jaggar and Paula S. Rothenberg, Feminist Frameworks, Cet. III (New York:
McGraw-Hill, 1993), h. 220
8
Sejarah orang Amerika memiliki sedikit kemiripan dengan bangsa ini,
dimana Benua Amerika itu adalah rumah bersama bagi berbagai manusia yang
datang dari belahan dunia. Karena itulah, di sana dikenal istilah African American
(orang Amerika dari Afrika), Asian American(orang Amerika dari Asia), Hispanic
American (orang Amerika Latin), dan Native American (orang Amerika dari Asli).
Dari keragaman semacam itulah, mereka ingin tetap mempertahankan keragaman,
tetapi tetap dalam satu komando, yakni sebagai orang Amerika. Mereka melepaskan
identitas lama menjadi identitas barunya, yakni sebagai orang Amerika. Istilah yang
akrab didengar adalah e pluribus unum (Bhineka Tunggal Ika/Berbeda-beda tapi
Irpan Abd. Gafar DM, Menanamkan Kesadaran Feminisme
Multikultural dalam Pembelajaran Siswa
145
EMPAT DIMENSI YANG POTENSIAL
Pertanyaan pertama muncul, bagaimana mengimplementasikan
kesadaran feminisme multikultural ini dalam dunia pendidikan? Tentu
banyak hambatan dan rintangan yang dapat mencegah merebaknya
gagasan feminisme multikultural ini dalam wilayah pendidikan pada
umumnya, dan dalam proses belajar-mengajar pada khususnya.
Kebijakan untuk menanamkan kesadaran feminisme multikultural
akan mendapat rintangan dan halangan dari berbagai penjuru.
Hambatan-hambatan tersebut dapat diklasifikasi sebagai berikut:
hambatan politik, ekonomi, dan lingkungan; hambatan yang berupa
lemahnya institusi; hambatan yang berupa lemahnya tenaga SDM di
bidang teknis dan administratif; kekurangan dalam bantuan teknis;
kurangnya desentralisasi dan partisipasi; pengaturan waktu yang
kurang maksimal; sistem informasi yang kurang mendukung;
perbedaan agenda tujuan antar aktor; dan kurangnya dukungan yang
berkesinambungan.9
Akan tetapi, hambatan-hambatan tersebut bukan harga mati,
dimana kemungkinan implementasi kebijakan untuk menciptakan
dunia pendidikan dan proses pembelajaran yang responsif gender,
tertutup sepenuhnya. Pemecahannya digambarkan oleh Derick W.
Brinkerhoff, yang menawarkan pendekatan manajemen strategis.
Tawaran dari Brinkerhoff tersebut bertujuan untuk: membantu para
implementor agar dapat lebih fokus pada stakeholders dan partisipasi;
menghubungkan tugas-tugas manajemen strategis dengan manajemen
operasional; memberikan suatu framework, proses, dan tool-kit kepada
implementor; dan memperhatikan faktor-faktor kritis dalam
lingkungan eksternal. 10
tetap satu jua). Lihat: arthur M. Schlesinger Jr., The Sisuniting of America
(Knoxville, Tenn: Whittle Books, 1991), . 2
9
Beberapa macam hambatan di atas dapat menyebabkan implementasi
kebijakan dalam sebuah institusi terhambat, termasuk pula kebijakan
mengintegrasikan kesadaran feminisme multikultural ini ke dalam wilayah
pendidikan dan pembelajaran. Macam-macam hambatan kebijakan ini dapat
ditelusuri dalam Yeremias T. Keban, Enam Dimensi Strategi Publik: Konsep, Teori
dan Isu (Yogyakarta: Gava Media, 2004), 73
10
Derick W. Brinkerhoff, “Implementing Policy Change: a Summary of
Lessons Learned”, dalam A Publication of USAID’s Implementing Policy Change
Project, (No. 4, March, 1996), 3-4
146 Musawa, Vol. 4, No. 2, Desember 2012: 137-160
Dengan melihat beberapa hambatan dan cara-cara penyelesaian
di atas, dapat ditarik benang merahnya bahwa setidaknya ada empat
(4) dimensi dalam tubuh pendidikan yang harus dimasuki. Pertama,
kemampuan Sumber Daya Manusia (SDM). Semua yang terlibat
dalam pengelolaan pendidikan dan pembelajaran harus memiliki
kapasitas yang mempunyi dan menguasai serta menghayati esensi dan
substansi feminisme multikulrutal. Kedua, strategi lembaga yang
tepat. Ini artinya, lembaga pendidikan yang memiliki kebijakan
menerapkan dan menanamkan kesadaran feminisme multikultural
harus memiliki strategi-strategi yang tepat sasaran. Ketiga, budaya
organisasi. Yang dimaksud di sini adalah bagaimana sebuah institusi
atau lembaga pendidikan memiliki budaya yang mendukung
implementasi kesadaran feminisme multikultural ke ranah praktis.
Keempat, jaringan dan kemitraan. Suatu institusi pendidikan yang
bercita-cita kuat untuk menanamkan kesadaran kritiks, yakni
kesadaran feminisme multikultural, ke dalam jiwa peserta didik, tidak
boleh mengabaikan upaya menjalin kemitraan dengan stakeholders
yang menguntungkan, sehingga visi-misi institusinya berjalan dengan
mendapat dukungan.
Dimensi Pertama: Kemampuan SDM
Dalam proses belajar-mengajar, guru berperan penting sebagai
fasilitator, mitra belajar siswa-siswinya, pemantik wacana, pengarah,
sumber awal informasi. Peran ini menjadi optimal apabila tenaga
pengajar (guru) memiliki cakrawala pengetahuan yang luas, mampu
memeras intisasi ilmu pengetahuan dan menyajikannya dengan
gamblang kepada siswa, menumbuhkan minat yang kuat dalam jiwa
peserta didik. Sebaliknya, peranan guru menjadi tak berarti apabila
skill, abilities, attitudes, dan behaviors yang dimilikinya tidak atau
kurang bermutu. Dengan begitu, kemampuan SDM menjadi faktor
strategis bagi upaya maksimalisasi tujuan pembelajaran, dalam
konteks tulisan ini terintegrasikannya nilai-nilai feminisme
multikultural dalam kebijakan pendidikan dan pembelajaran.
Dalam istilah Hornby, kemampuan SDM ini disebut
kompetensi. Ada tiga (3) pengertian yang berkaitan dengan
kompetensi ini. Pertama, kompetensi pada dasarnya menunjukkan
kecakapan atau kemampuan untuk mengerjakan suatu pekerjaan.
Irpan Abd. Gafar DM, Menanamkan Kesadaran Feminisme
Multikultural dalam Pembelajaran Siswa
147
Kedua, kompetensi pada dasarnya merupakan suatu sifat
(karakteristik) dari orang-orang (kompeten) yang memiliki kecakapan,
daya (kemampuan), otoritas (wewenang), kemahiran (keterampilan),
pengetahuan, dan sebagainya untuk mengerjakan apa yang perlu
dikerjakan. Ketiga, kompetensi menunjukkan pada tindakan (kinerja)
rasional yang dapat mencapai tujuan-tujuannya secara memuaskan
berdasarkan kondisi. 11
Kompetensi sebagai sebuah kemampuan bukan barang ajaib
yang datang dari langit, melainkan sebuah hasil dari kepribadian yang
matang, pekerja keras, pantang mundur, berkomitmen kuat, berusaha.
Seseorang yang memiliki motifasi kuat untuk menyelesaikan sebuah
tugas secara maksimal, maka pencapaiannyapun akan maksimal, atau
paling tidak nyaris maksimal. Dengan sendirinya, orang tersebut akan
membekali diri dengan pengetahuan yang dibutuhkan, dan
dipadukannya dengan kreatifitas dan keterampilan dirinya yang
orisinil. Kompetensi akan lahir dari watak, motif, konsep diri,
pengetahuan, dan keterampilan. Demikianlah yang disampaikan oleh
Spencer (1993).12
Dalam upaya menanamkan kesadaran kritis akan feminisme
multikultural ini, seorang guru (tenaga pengajar) pada khususnya, dan
seluruh elemen yang terlibat dalam pengelolaan pendidikan dan
pelajaran, harus memiliki komitmen diri yang kuat, usaha yang
maksimal, pengetahuan yang luas, dan kreatifitas yang khas, sehingga
siswa-siswi (peserta didik) dapat termotifasi, tertarik, mudah
menyerap, dan mencoba menerapkan pengetahuan yang diperolehnya
dalam keseharian hidup. Dalam hal ini, guru menjadi jembatan utama
bagi siswa-siswinya untuk menyeberangi sungai pengetahuan,
meninggalkan kebodohan, menuju kehidupan yang lebih harmonis,
berkesadaran gender.
Dimulai dari perbaikan SDM (guru, tenaga pendidik, pengelola
pendidikan), maka dengan sendirinya akan berbuah pada perbaikan
mutu organisasi (institusi pendidikan). Guru yang berkompeten dalam
menyampaikan intisari gagasan feminisme multikultural, akan
11
Penjelasan tentang kompetensi ala Horby ini dapat ditelusuri dalam Aan
Komariah dan Cepi Triatna, Visionary Leadership: Menuju Sekolah Efektif (Jakarta:
Bumi Aksara, 2005), 66
12
Ibid., 67
148 Musawa, Vol. 4, No. 2, Desember 2012: 137-160
melahirkan suatu lembaga pendidikan yang berkompeten pula dalam
mencetak output pendidikan yang berkesadaran feminisme
multikultural. Seperti yang disampaikan oleh Klingner dan Nalbandan,
effort (motivation) dan ability (training) dapat menentukan performa
SDM, yang pada akhirnya akan menentukan performa organisasi. 13
Dengan begitu, tersedianya SMD yang mumpuni adalah dimensi
pertama yang harus diciptakan. Kurangnya SDM yang berkompeten
merupakan hambatan terberat bagi suksesi dan terealisasinya misi
menanamkan kesadaran feminisme multikultural dalam proses
pembelajaran siswa.
Dimensi Kedua: Strategi Lembaga
Dimensi kedua ini mencakup strategi-strategi yang dipilih oleh
lembaga pendidikan guna meningkatkan efektifitas dan efisiensi
kinerja lembaga dalam melaksanakan fungsi-sunginya. Keinginan
lembaga yang kuat, kompetensi SDM yang mencukupi, namun tidak
disertai dengan strategi-strategi jitu, dapat menyebabkan goals
pendidikan tidak tercapai. Pemilihan dan penentuan strategi ini, dalam
terminologi para ahli, dikenal dengan sebutan capacity building.
Mengingat capacity building ini merupakan pilihan strategi, maka
tidak heran apabila banyak para ahli berbeda antara satu dengan
lainnya dalam merumuskan strategi yang tepat untuk menggoalkan
visi-misi. Kita bisa melihat Grindle (1997) yang memusatkan teorinya
pada: pengembangan sumber daya manusia, penguatan organisasi, dan
reformasi kelembagaan.
Berbeda dengan D. Eade (1998) yang lebih memfokuskan
teorinya pada peningkatan kemampuan yang dimiliki oleh individu,
organisasi, dan jaringan atau kemitraan (networks). Sementara World
Bank memfokuskan peningkatan kemampuan dalam dimensi-dimensi:
SDM, organisasi, jaringan kerja organisasi, lingkungan organisasi, dan
lingkungan kegiatan yang luas. Sementara UNDP memfokuskan pada
tiga dimensi, yaitu tenaga kerja manusia, modal, dan teknologi.
Terakhir, United Nation memfokuskan perhatiannya pada: mandat
13
Donald E. Klingner and John Nalbandan, Public Personnel Management:
Contexts and Strategies (New Jersey: Prentice Hall, Inc. Englwood Cliffs, 1985),
191
Irpan Abd. Gafar DM, Menanamkan Kesadaran Feminisme
Multikultural dalam Pembelajaran Siswa
149
atau struktur legal, struktur kelembagaan, pendekatan manajerial,
kemampuan fiskal lokal, dan kegiatan-kegiatan program.14
Dalam konteks ini, kesadaran feminisme multikultural masih
berupa idealisme abstrak, gagasan teoritis, spirit kehidupan.
Sementara kehadiran peserta didik dan tenaga pengajar dalam ruang
pembelajaran dan di dunia pendidikan, merupakan objek dan realitas
yang konkrit. Upaya-upaya menanamkan gagasan yang abstrak ke
dalam ‘tubuh’ objek dan realitas nyata ini membutuhkan strategistrategi yang tepat, sehingga tujuan dapat terealisir dengan optimal.
Karenanya, pada hakekatnya, strategi lembaga (capacity building) ini
merupakan strategi menata input dan proses menuju pencapaian
output atau outcome, serta strategi menata feedback untuk melakukan
perbaikan-perbaikan pada tahapan berikutnya.15
Dimensi Ketiga: Budaya Organisasi
Seperti kelopak bunga yang mekar di taman, pengaruh cuaca
berperan dalam pertumbuhan batang dan pohonnya. Demikian dengan
spirit feminisme multikultural, yang ingin menghargai manusia
(perempuan) apa adanya, sesuai pembawaan karakter dan
kebudayaannya, lalu mensejajarkannya dengan manusia lain, baik
dengan laki-laki maupun sesama perempuan. Untuk menumbuhkembangkan spirit ini butuh cuaca, suasana, kondisi yang mendukung.
Jika lembaga pendidikan ingin mengintegrasikan nilai-nilai feminisme
multikultural ke dalam proses pembelajarannya guna melahirkan
output yang berkesadaran kritis dalam bidang feminisme
multikultural, maka lembaga tersebut harus menciptakan suasana dan
kondisi yang mendukung. Kondisi inilah yang disebut dengan istilah
“budaya organisasi”.
14
Terminologi Capacity Building ini pada dasarnya merupakan sebuah desain
ideal bagi suatu lembaga, termasuk lembaga pendidikan, dalam rangka
meningkatkan efisiensi dan efektifitas pelaksanaan fungsi-fungsi yang dimilikinya.
Lembaga yang hendak meningkatkan efektifitas dan efisiensi berbagai fungsinya
dapat menentukan fokus-fokus tertentu. Berbagai fokus tersebut diklasifikasi dan
dipetakan dengan gamblang oleh para ahli. Penjabaran tentang berbagai fokus
dalam teori Capacity Building ini dapat ditelusuri lebih jauh dalam Yeremias T.
Keban, Enam Dimensi Strategi Publik: Konsep, Teori dan Isu, 182
15
Ibid., 183
150 Musawa, Vol. 4, No. 2, Desember 2012: 137-160
“Budaya organisasi” adalah terminologi bagi satu paket
keyakinan dan nilai-nilai organisasional yang dipahami, dihayati, dan
dipraktekkan oleh organisasi, sehingga sekumpulan nilai ni
memberikan arti tersendiri, menjadi aturan berperilaku dalam
berorganisasi. 16 Seperangkat nilai ini menjadi pedoman dan panduan
bagi anggota-anggotanya, sehingga secara alamiah para anggota yang
bergabung dalam organisasi yang berkaitan berperilaku dan bertindak
sesuai aturan yang berlaku. Seperangkat nilai tersebut berperan
sebagai suprastruktur yang menggerakkan struktur-struktur nyata.
Dalam artian, kehadiran seperangkat nilai ini sangat dibutuhkan demi
terciptanya lingkungan organisasi yang jelas.
Manusia-manusia yang berada dalam lingkaran perangkat nilai
tersebut akan bertindak sesuai dengannya, karena secara otomatis
nilai-nilai tersebut terinternalisasikan dalam jiwanya. Tak heran
apabila Dwiyanto mendefinisikan “budaya organisasi” sebagai nilai
yang terinternalisasikan ke dalam pikiran. Dalam sebuah pernyataan
panjang, Dwiyanto mengatakan, “budaya organisasi adalah sebuah
sistem atau seperangkat nilai yang memiliki symbol, orientasi nilai,
keyakinan, pengetahuan dan pengalaman kehidupan yang
terinternalisasikan ke dalam pikiran. Seperangkat nilai tersebut
diaktualisasikan dalam sikap, tingkah laku, dan perbuatan yang
dilakukan oleh setiap anggota dari sebuah organisasi yang dinamakan
birokrasi.”17
Di dalam dimensi “budaya organisasi” ini, lembaga pendidikan
dan/atau proses pembelajaran harus memperkenalkan seperangkat
nilai yang menjurus pada pengenalan dan pengamalan spirit dan
substansi feminisme multikultural. Adanya seperangkat nilai yang
diperkenalkan dapat membantu siswa-siswi menginternalisasikan
nilai-nilai tersebut, dan mengaktualisasikannya dalam keseharian
hidup. Di sinilah letak fungsi adanya “budaya organisasi”. Seperti
yang dikutip Tjahjono, Smircich (1983) mengatakan, budaya
organisasi memiliki empat (4) fungsi penting. Pertama, memberikan
16
Heru Kurnianto Tjahjono, Budaya Organisasional dan Balaced Scorecard:
Dimensi Teori dan Praktek (Yogyakarta: Unit Penerbiatan Fakultas Ekonomi
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 2003), 10
17
Agus Dwiyanto, dkk., Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia
(Yogyakarta: Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada,
2002), 88
Irpan Abd. Gafar DM, Menanamkan Kesadaran Feminisme
Multikultural dalam Pembelajaran Siswa
151
suatu identitas organisasional kepada para anggota organisasi. Kedua,
memfasilitasi atau memudahkan komitmen kolektif. Ketiga,
meningkatkan stabilitas sistem sosial. Keempat, memiliki sense
(kepekaan) terhadap lingkungan sekitarnya.18
Dimensi Keempat: Kemitraan (Network)
Sebagaimana manusia yang tidak mungkin hidup sendiri dalam
mengejar cita-citanya, sebuah organisasi juga membutuhkan
stakeholders dan relasi kemitraan lainnya dalam rangkat mewujudkan
visi-misi kependidikannya. Visi dan misi mengintegrasikan nilai-nilai
feminisme multikultural pun akan lebih mudah dicapai dengan
mengadakan kontak relasional dengan pihak-pihak lain yang dapat
membantu. Di sinilah letak urgensitas kemitraan atau jaringan
(networks). Networks harus dibangun untuk mendapat keuntungan.
Tulloch mengatakan bahwa jaringan digunakan untuk dua hal.
Pertama, sebagai kata kerja (verb), menyusun jaringan untuk
mendapat keuntungan. Kedua, berasal dari bahasa teknologi
komputer, yakni komputer yang saling terhubung.19
Dalam pengertian pertama, jaringan ditujukan untuk mendapat
keuntungan, dukungan, support dari pihak-pihak luar yang memiliki
kepentingan bersama, khususnya demi menegakkan nilai-nilai
feminisme multikultural ini dalam dunia pendidikan, dan dalam proses
pembelajaran. Memang dalam tataran ini, jaringan lebih mengesankan
kepentingan politis, dimana transaksi dengan stakeholders merupakan
perangkat ini dari dimensi kemitraan (networks) ini. Betul apa yang
dikatakan Parsons bahkan dimensi kemitraan ini didasarkan pada ide
dasar bahwa sebuah kebijakan—termasuk kebijakan menanamkan
nilai-nilai feminisme multikultural—diputuskan berdasarkan konteks
relasi dan dependensi.20
Akan tetapi, unsur politis ini menjadi tidak terlalu berpengaruh,
sebab goals utamanya adalah terciptanya lingkungan atau budaya
organisasi yang responsif gender dan lahirnya SDM yang mumpuni
18
12
19
Heru Kurnianto Tjahjono, Budaya Organisasional dan Balaced Scorecard,
Lihat Wayne Parsons, Public Policy: Pengantar Teori dan Praktek Analisis
Kebijakan (Jakarta: Kencana, 2005), 186-187
20
Ibid., 187
152 Musawa, Vol. 4, No. 2, Desember 2012: 137-160
dalam menerjemahkan dan mentransformasikan nilai-nilai kesetaraan
gender ini ke dalam kepribadian peserta didik. Bahkan, unsur politis
menjadi semakin positif apabila gaya kebijakan yang dilakukan juga
positif, yakni berangkat dari konsensus. Dalam artian, kerjamasama
dengan para stakeholders itu menghasilkan kesepakatan yang
demokratis dan memuluskan jalan bagi terealisasinya cita-cita
pemberdayaan perempuan dalam bingkai kesetaraan gender, seperti
yang disuarakan aliran feminisme multikultural. 21
Tujuh Komponen Utama
Empat dimensi yang telah dibahas di atas bagaikan ruanganruangan yang bisa dimasuki oleh spirit feminisme multikultural. Di
dalam ruangan-ruangan tersebut terdapat beberapa komponen yang
sifatnya lebih detail dan lebih menyangkut aspek-aspek pembelajaran
itu sendiri. Komponen-komponen ini adalah unsur utama yang
membentuk keseluruhan aktifitas belajar-mengajar. Tanpa adanya
komponen pembelajaran ini, maka mustahil proses belajar-mengajar
dapat berlangsung. Sementara itu, spirit dan nilai-nilai feminisme
multikultural dapat diinternalisasikan ke dalam komponen-komponen
ini, dengan begitu, goals pembelajaran dalam rangka melahirkan
output atau outcome yang berkesadaran kritis, berkenaan dengan
kesetaraan gender, ini dapat terealisir.
Tujuan
Tujuan adalah komponen terpenting dalam sebuah kegiatan
pembelajaran. Tanpa tujuan yang jelas maka arah pendidikan juga
tidak akan jelas. Tujuan yang umumnya hendak dicapai memiliki tiga
dimensi, yaitu kognitif, afektif, dan psikomotorik. Aktifitas
pembelajaran yang dijalankan bersama antara tenaga pendidik dan
peserta didik memiliki orientasi yang sama, yaitu mencapai sebuah
tujuan tertentu.
21
Wayne Parsosn mengutip pendapat Richardson (1982) yang membedakan
dimensi gaya kebijakan. Pertama, gaya kebijakan yang bersifat antisipatif dan
kebijakan yang bersifat reaksioner. Kedua, gaya kebijakan yang bersifat pencarian
konsensus dan gaya kebijakan yang cenderung memaksakan keputusan. Lihat
penjabarannya dalam Wayne Parsons, Public Policy: Pengantar Teori dan Praktek
Analisis Kebijakan, 188
Irpan Abd. Gafar DM, Menanamkan Kesadaran Feminisme
Multikultural dalam Pembelajaran Siswa
153
Mengingat tujuan pembelajaran merupakan orientasi bersama
yang hendak dicapai, maka spirit dan nilai-nilai feminisme
multikultural ini harus dijadikan salah satu tujuan utama
pembelajaran. Guru dan siswa, dengan begitu, akan bergerak pada
satu tujuan dan satu arah yang sama, yaitu terwujudnya pengamalan
hidup dan tindakan keseharian yang responsif gender.
Sebagai filosof yang turut memikir masalah pendidikan,
Aristoteles menganggap betapa pentingnya tujuan ‘praktis’ dalam
pendidikan. Tujuan praktis ini merupakan kebijaksanaan harian yang
berurusan erat dengan dimensi etis dan politis.22 Tujuan praktis dalam
konteks pembicaraan kita adalah menanamkan kesadaran feminisme
multikultural dalam pembelajaran siswa. Karena itulah, “tujuan”
merupakan salah satu komponen yang sangat penting dalam
serangkaian komponen-komponen lain yang membentuk aktifitas
pembelajaran.
Materi Pelajaran
Materi pelajaran adalah komponen penting lainnya yang penting
diperhatikan. Tidak cukup proses pembelajaran memiliki orientasi
yang jelas, tanpa diiringi oleh materi-materi pelajaran yang
mendukung. Dalam bahan atau materi pelajaran inilah terdapat segala
pesan yang hendak disampaikan dalam proses pembelajaran. Dengan
demikian, dalam konteks menanamkan kesadaran akan keseteraan
gender, maka buku-buku dan bahan ajar apapun hendaknya
mengandung materi-materi yang membicarakan tentang gender ini.
Bahkan, tenaga pengajar maupun pihak lembaga harus selektif dalam
menyuguhkan materi pelajaran kepada siswa, supaya segala pesanpesan moral maupun informasi lainnya bersih dari kekerasan gender,
diskriminasi terhadap perempuan, dan semacamnya.
Apabila kewaspadaan terhadap bahan-bahan ajar ini terabaikan,
maka kesalahan yang pernah terjadi akan terulang kembali. Satu
laporan penelitian sangat mencengangkan. Di negara Indonesia ini,
buku ajar atau materi pelajaran mengandung bias gender, yang
diyakini melestarikan ketimpangan gender selama ini. Pesan-pesan
yang disampaikan dalam buku ini tidak menghargani perempuan
22
Lihat Doni Koesoema A., Pendidikan Karakter (Jakarta: PT Grasindo,
2007), 320
154 Musawa, Vol. 4, No. 2, Desember 2012: 137-160
sebagai makhluk yang setara. Astuti, Indati, dan Sastriyani dalam
penelitian terhadap buku bahan ajar Bahasa Indonesia di SD, SLTP,
dan SMU mengungkapkan berbagai bentuk ketimpangan dan bias
gender. Mereka antara lain menemukan bahwa perempuan umumnya
diposisikan pada peran domestik, sementara laki-laki pada peran
publik; peran publik perempuan cenderung lebih rendah daripada lakilaki; dan penggambaran tentang akses dan kontrol perempuan
terhadap kepemilikan barang dan pengambilan keputusan lebih rendah
daripada laki-laki. 23 Ini adalah realitas nyata bahwa dalam materi
pelajaran terjadi diskriminasi terhadap kaum perempuan, dan oleh
karena itulah, materi pelajaran merupakan salah satu komponen
penting yang harus disterilisasi dari bias gender semacam itu.
Metode
Metode adalah seperangkat teknik yang digunakan untuk
mencapai tujuan tertentu.24 Metode pembelaran berarti teknik-teknik
tertentu yang digunakan oleh tenaga pengajar atau guru untuk
mencapai tujuan pembelajaran, dalam konteks ini tertanamnya
kesadaran feminisme kultural dalam pembelajaran siswa, sehingga
dapat dihasilkan output pendidikan yang sesuai target. Tenaga
pengajar dituntut memiliki kapabilitas menemukan dan menggunakan
metode paling efektif dan efisien, agar proses pembelajaran yang
diselenggarakan tidak monoton, menjemukan, namun sebaliknya
meningkatkan minat siswa.
Dalam hal ini, seorang guru bisa menggunakan metode
classroom meeting,25misalnya, bertatap muka dengan siswa-siswinya,
menyampaikan secara langsung nilai-nilai dan prinsip seputar
kesetaraan gender. Dalam ruang ‘perjumpaan’ ini, tenaga pengajar
dapat mentransformasikan pengetahuan maupun pengalamannya
kepada peserta didik, sehingga sikap dan pola pikir yang respon
23
Lihat M. Astuti, A. Indati, dan Sastriyani, “Bias Gender dalam Buku
Pelajaran Bahasa Indonesia”, dalam Jender, (Vol. 1, 1999), 1-14
24
Nurul Zuriah dan Hari Sunaryo, Inovasi Pembelajaran Demokratis
Berperspektif Gender: Teori dan Aplikasinya, (Cet. ke-1; Malang: UMM Press,
2009), 16
25
Moejiono, Straiegi Belajar Mengajar (Jakarta: Depdikbud Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi Proyek Pembinaan Tenaga Kependidikan. 1991/1992),
155
Irpan Abd. Gafar DM, Menanamkan Kesadaran Feminisme
Multikultural dalam Pembelajaran Siswa
155
terhadap keadilan dan kesetaraan gender tumbuh dalam pribadi
peserta didik. Atau, bisa juga menggunakan metode cooperative
learning (belajar kelompok),26 dimana siswa-siswi akan terlibat
langsung dalam proses belajar-mengajar, lebih aktif dan berperan
serta. Belajar kelompok dapat dijadikan peluang memperaktekkan
secara langsung bagaimana nilai-nilai keadilan gender ini
diaplikasikan dalam relasi sosial.
Atau juga, metode integrated learning (pembelajaran terpadu).27
Metode ini mensyaratkan kesungguhan tenaga pengajar maupun
peserta didik untuk terjun langsung, menggali konsep pengetahuan
secara holistik. Pembelajaran terpadu memungkinkan siswa baik
individual maupun kelompok, aktif mencari, menggali dan
menemukan konsep serta prinsip keilmuan secara holistik, dan otentik.
Dengan kata lain, model pembelajaran ini dapat melampaui sekatsekat pelajaran yang parsial, yang terkotak-kotak ke dalam bab-bab
maupun sub-subnya. Siswa tidak lagi terpatok dengan teoritisasi nilainilai keadilan dan kesetaraan gender, melainkan lebih jauh menyelami
hakikat dari kehidupan yang penuh keadilan gender, dan terbebas dari
bias gender.
Ketika model di atas hanyalah bentuk-bentuk metode
pembelajaran yang bisa dipilih sesuai kebutuhan dan kondisi, namun
tujuan utamanya tetaplah sama, yakni menanamkan kesadaran akan
keadilan dan kesetaraan gender dalam pribadi anak didik.
Lingkungan
Lingkungan adalah suasana dimana aktifitas diselenggarakan.
Nurul Zuriah mendefinisikan, “Lingkungan belajar dimaknai sebagai
“situasi buatan” atau “kealaman”, baik yang menyangkut lingkungan
fisik maupun sosial yang mampu memberikan kontribusi bagi
terselenggaranya proses pembelajaran. Secara fisik dan sosial,
26
Teori belajar kelompok ini dikembangkan pertama kali oleh pakar
pendidikan Robben E. Slavin. Penjelasan tentang belajar kelompok ini dapat
ditelusuri lebih lanjut dalam karya David. W, Johnson and Frank P. Johnson, Joining
Together Group Theory and Group Sfeilts, (New York, Englewood Cilft: Prentice
Hall, 1992), 4th- Edition.
27
Tim Pengembang PGSD, Pembelajaran Terpadu DM PGSD dan S-2
Pendidikan Dasar (Jakarta: DIKTI, 1996), 3
156 Musawa, Vol. 4, No. 2, Desember 2012: 137-160
lingkungan belajar harus menarik dan mampu membangkitkan gairah
belajar serta menghadirkan suasana yang nyaman untuk belajar.” 28
Lingkungan yang kondusif untuk belajar harus diperhatikan
betul. Dangan kata lain, kepedulian terhadap terciptanya suasana
belajar juga memiliki arti positif bagi terselenggaranya proses belajarmengajar yang lancar. Para pakar pendidikan mengamini bahwa
lingkungan yang kondusif dan positif dapat membantu kelancaran dan
tercapainya cita-cita pendidikan yang responsif gender.29 Jadi,
lingkungan pembelajaran harus direkayasa sedemikian rupa hingga
lebih kondusif dan sesuai dengan kondisinya, dan pembelajaran yang
berorientasi keadilan gender berlangsung lancar.
Guru
Sekalipun guru bukanlah satu-satunya sumber informasi atau
satu-satunya subjek pembelajaran, namun peran penting guru tidak
dapat diabaikan begitu saja. Profesionalitas guru dibutuhkan, sehingga
proses pembelajaran mencapai tujuan idealnya. Guru yang tidak
kompeten dan tidak profesional akan berdampak negatif terhadap
proses pembelajaran, dan siswa tidak akan mendapat banyak manfaat
dari guru semacam itu.
Nurul Zuhriah menyebutkan beberapa kompetensi yang harus
dimiliki oleh guru dan tenaga pendidik. Pertama, berkaitan dengan
wawasan pribadi, yaitu: berkepribadian Pancasila, mengagungkan
budaya bangsa, rela berkorban demi kelestarian bangsa dan
negaranya. Kedua, wawasan profesional, yaitu menguasai bahan,
strategi dan metode pembelajaran yang mampu mendorong siswa
untuk belajar aktif, kreatif, dan produktif. Ketiga, wawasan
kemasyarakatan (sosial), yaitu dalam melaksanakan tugas, guru
mampu berparisipasi dalam kehidupan sosialnya.30
Nurul Zuriah melanjutkan bahwa seorang guru atau tenaga
pengajar semestinya memiliki kapasitas lain seperti berperan sebagai
28
Nurul Zuriah dan Hari Sunaryo, Inovasi Pembelajaran Demokratis
Berperspektif Gender, 17
29
Tim Pengembang Kurikulum PLH, Pendidikan Lingkungan Hidup Untuk
SD/MI Kelas 1 (Jakarta: Grasindo, 2009), vi
30
Nurul Zuriah dan Hari Sunaryo, Inovasi Pembelajaran Demokratis
Berperspektif Gender, 18
Irpan Abd. Gafar DM, Menanamkan Kesadaran Feminisme
Multikultural dalam Pembelajaran Siswa
157
inovator, motivator, dan developer (pengembang).31 Dengan begitu,
maka profesionalitas guru tetap terjaga dan kepercayaan masyarakat
yang menggantungkan pendidikan anak mereka tidak dikecewakan.
Menjaga profesionalitas adalah tanggungjawab besar guru dan/atau
tenaga pengajar. Sebab kelak, dari tangan-tangan merekalah akan lahir
generasi bangsa. Otomatis, orang-orang yang mendedikasikan
hidupnya untuk mencerdaskan anak bangsa adalah guru bangsa yang
sejati.32 Dalam konteks tulisan ini, profesionalitas guru ditandai
dengan keberhasilannya mencetak output pendidikan yang
berkesadaran gender.
Siswa
Dalam dunia pendidikan, siswa adalah komponen penentu.
Disebut penentu karena segala tujuan pendidikan dan strategi
pembelajaran ditempuh dengan mempertimbangkan siswa terlebih
dahulu. Rasionalisasi teori dan aplikasi teori juga mempertimbangkan
eksistensi siswa ini. Dalam konteks tulisan ini, siswa disamping
berperan sebagai patner guru dalam menjalani proses belajarmengajar, siswa juga berperang sebagai subjek sekaligus objek
pendidikan secara bergantian. Dengan begitu, proses pendidikan dan
pembelajaran tak lain adalah dialog antara dua kubu (guru-siswa).
Pendidikan atau transformasi ilmu dan pengetahuan hanyalah
hubungan relasional, yang sejatinya melibatkan dua komponen ini:
guru-siswa. Nurul Zuriah mengatakan bahwa hubungan antara siswa
dan guru tidak dipandang secara gradasional (bertingkat) melainkan
lebih ditempatkan pada hubungan yang egaliter (kesejajaran), terbuka,
dan toleran terhadap perbedaan.33
Evaluasi
Akhir dari aktifitas apapun adalah evaluasi. Dari tindakan
evaluatif inilah akan lahir pengetahuan baru akan sisi-sisi kekurangan
dan kelebihan dari apa yang telah dilakukan. Karenanya, evaluasi
menjadi penting lantaran dapat dijadikan pijakan awal untuk
31
Ibid.
Ahmad Rizali, dkk., Dari Guru Konvensional Menuju Guru Profesional
(Jakarta: Grasindo, 2009), 1
33
Nurul Zuriah dan Hari Sunaryo, Inovasi Pembelajaran Demokratis
Berperspektif Gender, 18
32
158 Musawa, Vol. 4, No. 2, Desember 2012: 137-160
memperbaiki sisi-sisi kekurangan di masa yang akan datang, sekaligus
menjadi pertimbangan awal untuk mengembangkan sisi-sisi positif ke
arah yang jauh lebih baik lagi. Nurul Zuhriah menyebutkan beberapa
prinsip evaluasi yang harus diperhatikan oleh guru atau lembaga
penyelenggara pendidikan: objektifitas, representatif, keseksamaan,
keterbukaan, dan kejelasan.34 Prinsip-prinsip ini harus dijaga selama
melakukan tindakan evaluatif guna menghasilkan rumusan yang betulbetul objektif dan akurat sesuai keadaan yang sudah dicapai
sebelumnya.
Berbagai upaya yang dilakukan dalam rangka menanamkan
kesadaran feminisme multikultural dalam pembelajaran siswa,
misalnya, harus dievaluasi dengan objektif dan akurat. Informasiinformasi yang didapat dari evaluasi tersebut dapat berfungsi sebagai
bahan atau input bagi pengambilan keputusan mengenai program yang
bersangkutan (baca: penanaman kesadaran gender). Paling tidak
terdapat dua kegunaan. Pertama, penyempurnaan program selama
program itu masih dalam tahap pengembangan. Kedua, penyimpulan
mengenai kebaikan (merit, worth) dari program pendidikan yang
bersangkutan dibanding program yang lain. 35 Dari evaluasi semacam
inilah, maka sisi-sisi kekurangan atau aspek-aspek yang belum
tersentuh sebelumnya dapat diketahui, dan dapat diperbaiki pada tahap
selanjutnya.
PENUTUP
Spirit dan visi feminisme multikultural dapat terintegrasikan
dalam berbagai dimensi pendidikan dan dimanifestasikan secara lebih
konkrit oleh komponen-komponen yang membentuk satu-kesatuan
aktifitas pembelajaran. Mengintegrasikan nilai-nilai dan prinsipprinsip fundamental dari perjuangan feminisme multikultural ke dalam
proses pembelajaran siswa, merupakan langkah paling strategis untuk
mencetak kader-kader bangsa yang berkesadaran gender, peka
terhadap keadilan dan kesetaraan gender, membela emansipasi,
menolak diskriminasi, serta kontra terhadap bias-bias gender. Dengan
34
Ibid., 19
Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP UPI, Ilmu dan Aplikasi Pendidikan
Bagian I: Ilmu Pendidikan Teoritis, (Cet. ke-2; Jakarta: Grasindo dan PT Imperial
Bhakti Utama, 2007), 115
35
Irpan Abd. Gafar DM, Menanamkan Kesadaran Feminisme
Multikultural dalam Pembelajaran Siswa
159
begitu, dunia pendidikan merupakan menjadi salah satu cara yang
paling efektif dalam rangka mencetak generasi bangsa yang lebih
beradab, berbudaya, humanis, demokratis, terlebih sebagai pejuang
keadilan gender.
Daftar Pustaka
Spelman, Elizabeth V., Inessential Woman: Problems of Exclusion in
Feminism Thought, Boston: Beacon Press, 1988.
Tim PSG IAIN Antasari, Laporan Penelitian Pendidikan Berwawasan
Gender, Banjarmasin, IAIN Antasari, 2005
Guttentag, M. dan Helen Bray, "Teacher as Mediators of Sex Role
Standards”, dalam Alice G. Sargent (ed.), Beyond Sex Role,
St.Paul: West Publishing Company, 1977, h. 395-411.
Lorde, Audre, “Age, Race, Class, and Sex: Women Redefining
Difference,” dalam Margaret L. Andersen and Patricia Hill
Collins (ed.), Race, Class, and Gender, cet. II; Belmont:
Wadsworth, 1995.
King, Deborah, “Multiple Jeopardy: The Context of a Black Feminist
Ideology”, dalam Alison M. Jaggar and Paula S. Rothenberg,
Feminist Frameworks, Cet. III; New York: McGraw-Hill, 1993.
M. Schlesinger Jr., Arthur, The Sisuniting of America, Knoxville,
Tenn: Whittle Books, 1991.
Keban, Yeremias T., Enam Dimensi Strategi Publik: Konsep, Teori
dan Isu, Yogyakarta: Gava Media, 2004.
Brinkerhoff, Derick W. , “Implementing Policy Change: a Summary
of Lessons Learned”, dalam A Publication of USAID’s
Implementing Policy Change Project, No. 4, March, 1996.
Komariah, Aan dan Cepi Triatna, Visionary Leadership: Menuju
Sekolah Efektif, Jakarta: Bumi Aksara, 2005.
Klingner, Donald E. and John Nalbandan, Public Personnel
Management: Contexts and Strategies, New Jersey: Prentice
Hall, Inc. Englwood Cliffs, 1985.
Tjahjono, Heru Kurnianto, Budaya Organisasional dan Balaced
Scorecard: Dimensi Teori dan Praktek , Yogyakarta: Unit
160 Musawa, Vol. 4, No. 2, Desember 2012: 137-160
Penerbiatan Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta, 2003.
Dwiyanto, Agus, dkk., Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia,
Yogyakarta: Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan
Universitas Gadjah Mada, 2002
Parsons, Wayne, Public Policy: Pengantar Teori dan Praktek Analisis
Kebijakan, Jakarta: Kencana, 2005.
Koesoema A., Doni, Pendidikan Karakter, Jakarta: PT Grasindo,
2007.
Indati, M. Astuti, A., dan Sastriyani, “Bias Gender dalam Buku
Pelajaran Bahasa Indonesia”, dalam Jender, Vol. 1, 1999, h. 114
Zuriah, Nurul, dan Hari Sunaryo, Inovasi Pembelajaran Demokratis
Berperspektif Gender: Teori dan Aplikasinya, Cat. I; Malang:
UMM Press, 2009.
Moejiono, Straiegi Belajar Mengajar, Jakarta: Depdikbud Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi Proyek Pembinaan Tenaga
Kependidikan. 1991/1992.
W, Johnson, David and Frank P. Johnson, Joining Together Group
Theory and Group Sfeilts, 4th- Edition, New York, Englewood
Cilft: Prentice Hall, 1992.
Tim Pengembang PGSD, Pembelajaran Terpadu DM PGSD dan S-2
Pendidikan Dasar, Jakarta: DIKTI, 1996.
Tim Pengembang Kurikulum PLH, Pendidikan Lingkungan Hidup
untuk SD/MI Kelas 1, Jakarta: Grasindo, 2009.
Rizali, Ahmad, dkk., Dari Guru Konvensional Menuju Guru
Profesional, Jakarta: Grasindo, 2009.
Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP UPI, Ilmu dan Aplikasi
Pendidikan Bagian I: Ilmu Pendidikan Teoritis, Cet. II; Jakarta:
Grasindo dan PT Imperial Bhakti Utama, 2007.
* Dosen tetap Jurusan Tarbiyah STAIN Datokarama Palu
Download