7 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI dan MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Pustaka yang dimaksud adalah makalah, laporan penelitian maupun jurnal yang bersangkutan dengan penelitian ini, baik dilihat dari pendekatan yang digunakan maupun objek yang diambil yang sekiranya dapat menjadi tambahan referensi penelitian. 2.1.1 Upaya Pelestarian (Konservasi) Roesmanto, Totok (2004) dalam tesisnya yang berjudul “Rekonstruksi Arsitektur Istana Kota Piring” bertujuan membangun kembali Istana Kota Piring melalui salah satu strategi konservasi, yaitu rekonstruksi. Upaya-upaya yang dilakukan dalam membangun kembali istana tersebut adalah melalui kegiatan ekskavasi maupun relokasi, melalui pendekatan kesejarahan. Sedangkan untuk menelusuri jenis dan bentuk bangunannya didasarkan pada pendekatan arsitektural terhadap bangunan tradisional Melayu yang ada di Kesultanan Johor dan Pahang. Diungkapkan juga mengenai upaya konservasi dengan menggunakan skala prioritas yang berdasarkan rencana zonasi konservasi, yang terbagi menjadi tiga zona, seperti: (1) zona inti, (2) zona penyangga, dan (3) zona pengembangan. Proses konservasi tersebut dapat dilakukan sesuai tahapan dan prioritas, serta nantinya tetap berkelanjutan dengan didukung oleh adanya zona pengembangan. 7 8 Purnama, Agus (2009) dalam tesisnya yang berjudul “Pelestarian Kawasan Istana Kesultanan Bima di Kota Bima” mengungkapkan mengenai kondisi bangunan di Istana Kesultanan Bima yang digolongkan berdasarkan usia tiap bangunan. Upaya pelestarian yang dilakukan disesuaikan dengan tingkat perubahan yang terjadi. Upaya pengembangan sebagai salah satu bentuk usaha pelestarian juga diterapkan guna mempertahankan Istana Kesultanan Bima tetap berkelanjutan. Dari kedua penelitian tersebut, memiliki persamaan dari segi prinsip konservasi yaitu berkelanjutan. Strategi konservasi diterapkan melalui upayaupaya konservasi yang selalu berdasarkan nilai sejarah dan arsitektural, serta kondisi dari masing-masing bangunan, sehingga tidak menghilangkan identitas dari bangunan tersebut. Sedangkan dalam mempertahankan keberlangsungannya dilakukan upaya pengembangan, agar dapat dinikmati hingga generasi berikutnya. 2.1.2 Objek Pelestarian (Puri) Putra, I Gusti Made (1998), dalam tesisnya yang berjudul “Kekuasaan dan Transformasi Arsitektur” memaparkan mengenai tata letak rumah tradisional Bali seperti Puri, selalu dilihat dari aspek zoning, dimensi, orientasi, sirkulasi, dan komposisi yang mengacu pada keharmonisan alam, serta memakai patokan ukuran Sanga Mandala. Sanga Mandala senantiasa mengalami perkembangan sesuai dinamika waktu yang ditinjau dari segi filosofis, tata ruang, seni hias, sosial dan ekonomi, termasuk peralihan fungsi yang secara tidak langsung mempengaruhi perubahan dari berbagai aspek tersebut. Seni hias yang terkandung dalam suatu Puri lahir dari suatu budaya, sedangkan keragaman bentuk tergantung 8 9 dari budaya-budaya yang mempengaruhinya. Puri yang merupakan bagian dari Arsitektur Tradisional Bali (ATB) selalu mengalami perkembangan seiring dengan dinamika waktu. Namun perkembangan tersebut hanya terbatas pada fungsi karena tata letak tetap dipertahankan sesuai konsep Sanga Mandala serta nilai filosofis yang ada, yang secara langsung memelihara keberlanjutan bangunan itu sendiri. Persamaan dengan kedua penelitian (upaya pelestarian) diatas dengan penelitian yang akan diangkat terletak pada (1) kesamaan fungsi objek pelestarian yaitu istana sebagai tempat tinggal raja dan pusat pemerintahan pada jamannya serta sesuai dengan kriteria objek konservasi yaitu bangunan bersejarah dan berusia minimal 50 tahun, (2) mengenai penerapan upaya-upaya pelestarian terhadap objek pelestarian yang berdasarkan atas pendekatan sejarah, terkait dengan perubahan kondisi fisik yang terjadi. Sedangkan persamaan dengan penelitian ketiga terletak pada objek pelestarian, yakni Puri sebagai bagian dari ATB yang selalu menerapkan konsep Sanga Mandala, walaupun terjadi perubahan pada fungsi. Perubahan juga terjadi pada seni hias seiring waktu, yang dari awal terlahir dari budaya manusia. Hal yang membedakan penelitian yang diangkat dengan penelitianpenelitian sebelumnya yaitu mengenai arahan strategi pelestarian yang sesuai dengan kharakteristik bangunan pelestarian, sehingga mampu meminimalisir perubahan yang terjadi, dengan tetap mengacu ada nilai sejarah, arsitektural, dan filosofi. Arahan strategi pelestarian (konservasi) yang sesuai tentunya tidak 9 10 mengurangi nilai yang terkandung di dalamnya, sehingga tetap sejalan dengan prinsip konservasi yakni berkelanjutan hingga generasi-generasi mendatang. 2.2 Konsep Pada bab ini diuraikan mengenai definisi operasional dari judul penelitian yaitu ”Konservasi Puri Gde Karangasem ditinjau dari Keberlanjutan Langgam Arsitektur”, sebagai berikut: 2.2.1 Konservasi Dalam Heritage Management Course Unit Handbook, dijelaskan bahwa kawasan konservasi merupakan sebuah kawasan yang memiliki nilai arsitektur yang khas atau nilai sejarah yang tinggi pada kharakter maupun pada wujud fisiknya (tampilan bangunan) sehingga layak untuk dipelihara dan ditingkatkan. Pemerintah berkewajiban untuk meninjau suatu kawasan dari waktu ke waktu, jika sesuai, maka suatu kawasan tersebut dapat ditetapkan sebagai suatu kawasan konservasi. Dalam Piagam Burra, konservasi merupakan seluruh proses menjaga sebuah tempat utnuk mempertahankan signifikansi budayanya. Kegiatan di dalamnya mencakup pelestarian, restorasi, rekontruksi, adaptasi, serta kombinasi dari berbagai kegiatan tersebut, termasuk di dalamnya kegiatan pemeliharaan. Perubahan yang dilakukan tidak akan mengurangi nilai signifikansi budaya tempat tersebut. Sedangkan dalam Venice Charter menyebutkan bahwa konservasi suatu monumen mencakup juga pemugaran dimana lingkungan asli tetap dipertahankan. 10 11 Tidak dibenarkan adanya pembangunan bangunan baru, penghancuran maupun perubahan yang secara langsung akan mempengaruhi bentuk dan wajah bangunan. Selain itu pelestarian monumen-monumen selalu menekankan pada penggunaan sosial yang dibutuhkan. Penggunaan tersebut amat dianjurkan selama tidak mengubah lay out ataupun dekorasi bangunan tersebut. Dalam batasan-batasan inilah, perubahan fungsi bangunan dapat dibenarkan (The Venice Charter, 1964). Penggunaan sosial yang dimaksud adalah perubahan penggunaan fungsi bangunan yang menyesuaikan dengan kehidupan waktu sekarang. Pengertian lain mengenai konservasi seperti yang dipaparkan dalam ICOMOS New Zealand bahwa konservasi merupakan proses merawat suatu tempat untuk menjaga nilai warisan budaya, yang memiliki nilai sejarah, arkeologi, arsitektur, teknologi, estetika, ilmiah, spiritual, sosial, tradisional atau signifikansi budaya khusus lainnya, terkait dengan kegiatan/aktivitas manusia. Tempat yang dimaksud yakni setiap tanah yang tertutupi oleh air, udara, termasuk lansekap, situs tradisional atau tempat suci, situs arkeologi, taman, bangunan, air baik air segar maupun air laut, yang merupakan bagian dan warisan budaya dari New Zealand. Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa konservasi merupakan pelestarian yang dilakukan pada suatu objek yang memiliki nilai warisan budaya melalui upaya-upaya pelestarian seperti restorasi, rekontruksi, adaptasi, serta kombinasi dari berbagai kegiatan tersebut termasuk di dalamnya kegiatan pemeliharaan, guna menjamin keberlangsungan situs. Dalam menerapkan strategi dan upaya-upaya pelestarian, termasuk di dalamnya 11 12 perubahan fungsi tetap dibenarkan selama tidak merubah wajah bangunan dan mempertahankan signifikansi budaya suatu situs. 2.2.2 Puri Dalam KBBI Edisi kedua (1993, 800), Puri merupakan sebuah benteng (kota) yang dikelilingi parit; istana atau keraton; serta juga sebagai rumah pemujaan (Agama Hindu). Namun menurut tradisi kerajaan di Bali, puri adalah pusat pemerintahan kerajaan, dimana istilah Puri disamakan dengan istilah Kuta Negara. Sedangkan menurut Jelantik dalam Sekelumit Sejarah Puri Karangasem (2003: 6), Kuta Negara terdiri dari dua buah kata yang berasal dari Bahasa Sansekerta yakni Kuta (tembok; istana; benteng) dan Negara (kerajaan). Dalam Wikipedia, disebutkan bahwa Puri adalah sebutan untuk tempat tinggal bangsawan Bali, khususnya mereka yang masih merupakan keluarga dekat dari raja-raja di Bali. Berdasarkan sistem pembagian Triwangsa atau kasta, maka Puri ditempati oleh bangsawan berwangsa ksatria. Kata Puri dapat dipadankan dengan kata Keraton atau kata Puro dalam Bahasa Jawa. Dalam wikipedia (2009), Puri juga dijelaskan sebagai bangunan perumahan bagi Bangsawan di Bali yang dahulu pernah memegang tampuk pemerintahan, yang telah ada baik pada masa kerajaan Bali maupun pada masa kerajaan di bawah Belanda. Kaler dalam Putra (1998) menyebutkan puri merupakan pengejawantahan suatu pusat kosmos atau jagad (bhuana agung), maka puri sebagai miniaturnya memiliki unsur-unsur atma (jiwa), prana (tenaga), angga (fisik) yang diwujudkan dengan adanya unsur-unsur parahyangan, pawongan, dan palemahan. 12 13 Sedangkan Covarrubias dalam Aris Munandar (2005:4) menyebutkan bahwa puri dibedakan menjadi tiga macam. Pertama, Puri Dewa Agung yang hanya ada satu, sebagai tempat persemayaman Dewa Agung ’Penguasa seluruh Bali dan Lombok’ di Klungkung, yang dinamakan juga Puri Semarapura. Kedua, Puri Agung atau Puri Gde yaitu tempat tinggal penguasa yang memegang pemerintahan (raja) di suatu kerajaan. Misalnya Puri Agung Gianyar, Puri Gde Karangasem, Puri Agung Mengwi, dsb. Ketiga, puri tempat tinggal di tengah masyarakat, yang dimiliki oleh kaum bangsawan yang telah terpisah dari kompleks puri Agung milik raja, namun bukan tempat tinggal pemegang pemerintahan. Bangunan seperti ini disebut Puri atau Jero. Putra, IGM (1998), menyebutkan bahwa Puri sebagai wadah kegiatan raja yang berfungsi untuk tempat tinggal dan tempat penyelenggaraan pemerintahan, sekaligus sebagai pusat pemerintahan dan pusat kerajaan. Kaler dalam Putra (1998:80) mendeskripsikan Puri sebagai pengejawantahan suatu pusat kosmos atau jagad. Sebab Puri merupakan miniatur dari bhuana agung yang memiliki unsur-unsur atma (jiwa), prana (tenaga), dan angga (fisik) yang diwujudkan dengan adanya unsur-unsur parahyangan, pawongan, dan palemahan puri. Konsep caturlokapala diterapkan pada pusat kerajaan, yang merupakan pertemuan antara dua sumbu mata angin, yaitu kaja-kelod (gunung-laut), dan kangin-kauh (timur-barat), yang kemudian terwujud dalam catuspata atau pempatan agung. Pusat atau pralingga dari pempatan agung tersebut merupakan titik untuk menentukan letak-letak fasilitas umum kerajaan. 13 14 Ket.: A B C D : catuspata : Puri (timur laut) : lapangan terbuka : pasar Gambar 2.1, Lokasi Puri dalam Catuspata Sumber: Risna, 2010 Menurut Patra, Made Susila dalam Hubungan Seni Bangunan dengan Hiasan dalam Rumah Tinggal Adati Bali (1992: 43), menyebutkan bahwa dari pusat ini ditemukan suatu pertemuan yang disebut raksa. Raksa yang kemudian disebut padu raksa sesuai fungsinya menjaga keamanan pekarangan perumahan (puri) beserta isinya memiliki nama sesuai penempatannya, yakni: di sudut Timur Laut disebut sari raksa, di sudut Tenggara disebut aji raksa, di sudut Barat Daya disebut rudra raksa, dan di sudut Barat Laut disebut kala raksa. Arah utama ditentukan berdasarkan letak gunung dan berdasarkan arah utama ini dibuat sumbu utara-selatan, timur-barat. Dari pusat atau pralingga catuspata (pempatan agung) ditentukan nilai-nilai kawasan sudut-sudut yang mengitarinya. Timur laut (ersanya) baik untuk tempat puri karena merupakan pertemuan (raksa) utama. Tenggara (gnyan) merupakan raksa gni (api) sebagai unsur pelebur, tidak baik untuk puri karena bisa menemui kehancuran. Barat daya (neriti) merupakan kala raksa, baik untuk puri karena pahalanya werdhi, merupakan pertemuan yang mewujudkan suatu kebersamaan (yasa), bakti kepada Negara sehingga menemukan kejayaan, kemakmuran, kesejahteraan, dan 14 15 kesempurnaan. Barat laut (wayabaya) berpahala baik-buruk bahkan kepanasan. Unsur-unsur lain yang ada di pempatan agung adalah pasar, bencingah, dan lapangan terbuka. Dapat disimpulkan bahwa Puri Gde Karangasem merupakan tempat tinggal bagi pemegang kekuasaan di Bali, yang dahulunya merupakan sebuah kerajaan sebagai pemegang tampuk pemerintahan, dengan konsep peletakannya berdasarkan pada titik pusat kota atau catuspata atau pempatan agung. 2.2.3 Keberlanjutan Langgam Arsitektur 1. Keberlanjutan Dalam Wikipedia (diakses 2010), keberlanjutan memiliki arti keberlangsungan, berlangsung secara terus menerus, berumur panjang, langgeng, tetap bertahan dan lestari sampai generasi mendatang. Keberlanjutan juga berhubungan dengan kualitas hidup dalam masyarakat, seperti ekonomi, sosial dan sistem lingkungan yang membentuk masyarakat, bermakna dan bermanfaat kehidupan bagi semua warga masyarakat, sekarang dan masa depan. Keberlanjutan yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu dapat berlangsung secara terus-menerus, tetap bertahan hingga generasi mendatang, serta bermanfaat bagi masyarakat dan generasi selanjutnya. 2. Langgam Arsitektur Menurut Gomudha dalam tesisnya yang berjudul Reformasi Nilai-nilai Arsitektur Tradisional Bali pada Arsitektur Kontemporer di Bali (1999: 40), langgam adalah rupa/wujud, aturan, dan perlengkapan yang khas dari sesuatu masa/jaman dan tempat tertentu. Langgam Bali merupakan segenap rupa/wujud, 15 16 aturan, dan perlengkapan detail dari masa tradisional dan hanya berlaku di daerah Bali. Sedangkan dalam Ensiklonesia (akses 2010), langgam bisa berarti suatu ciri khas, style, yang mencerminkan suatu identitas/jati diri pada suatu masa. Langgam juga merupakan ciri-ciri, sifat-sifat khas yang melekat pada suatu hal sehingga menunjukkan suatu keunikannya serta membedakannya dengan hal-hal lain. Jadi langgam arsitektur berarti suatu suatu ciri khas, style, dan warna dari suatu masa, yang mencerminkan suatu identitas/jati diri suatu bangunan/karya arsitektur, dalam hal ini Puri Gde Karangasem. Langgam arsitektur pada Puri Gde Karangasem merupakan akulturasi dari beragam budaya, seperti Tiongkok, Kolonial, dan budaya setempat. Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan pengertian dari ”Konservasi Puri Gde Karangasem ditinjau dari Keberlanjutan Langgam Arsitektur” merupakan suatu penelitian mengenai upaya konservasi/pelestarian Puri Gde Karangasem yang mengacu pada keberlanjutan langgam arsitektur sebagai identitas dari Puri Gde Karangasem, guna memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya secara berkelanjutan bagi generasi mendatang, serta memelihara potensinya guna menjamin aspirasi dan kebutuhan generasi-generasi selanjutnya. 2.3 Landasan Teori Teori yang digunakan sebagai acuan ataupun metode dalam pemecahan masalah penelitian ini mencakup teori-teori yang berkaitan dengan pelestarian (konservasi) dan langgam arsitektur, seperti: bentuk dan ragam hias. 16 17 2.3.1 Teori Konservasi Konservasi merupakan seluruh proses menjaga sebuah tempat untuk mempertahankan signifikansi budayanya. Dalam menentukan objek konservasi, harus memenuhi beberapa kriteria konservasi, sebagai berikut: 1. Kriteria dan Lingkup Konservasi Dalam UU RI No.5 Tahun 1992 Tentang Benda Budaya menjelaskan mengenai cagar budaya. UU tersebut mengalami penyempurnaan dengan dikeluarkannya UU RI No. 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya. Dalam Bab III menjelaskan tentang Kriteria Cagar Budaya, yaitu pasal: a. Pasal 5: benda cagar budaya harus berusia 50 (lima puluh) tahun atau lebih; mewakili masa gaya paling singkat berusia 50 (lima puluh) tahun; memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan; dan memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa. b. Pasal 6, benda cagar budaya dapat: berupa benda alam dan/atau benda buatan manusia yang dimanfaatkan oleh manusia, serta sisa-sisa biota yang dapat dihubungkan dengan kegiatan manusia dan/atau dapat dihubungkan dengan sejarah manusia; bersifat bergerak atau tidak bergerak; dan merupakan kesatuan atau kelompok. c. Pasal 7, benda cagar budaya dapat: berunsur tunggal atau banyak; dan/atau berdiri bebas atau menyatu dengan formasi alam d. Pasal 9 dan 10, situs cagar budaya harus menyimpan informasi kegiatan manusia pada masa lalu dan merupakan hasil bentukan manusia, berusia paling sedikit 50 (lima puluh) tahun. 17 18 Menurut Sidharta (1989) kriteria pemilihan objek pelestarian, yaitu: (1) Keindahan (Estetika), berkaitan dengan keindahan arsitektural dari berbagai massa; (2) Kejamakan, merupakan wakil dari kelas atau tipe bangunan tertentu; (3) Kelangkaan (searcity): bangunan terakhir yang tinggal atau merupakan peninggalan terakhir dari gaya yang mewakili jamannya; (4) Peran sejarah (historical role), mempunyai peran dalam peristiwa bersejarah sebagai ikatan simbolis antar peristiwa yang lalu dan kini; (5) Memperkuat kawasan di dekatnya; dan (6) Keistimewaan. Dalam Heritage Management Course Unit Handbook, beberapa faktorfaktor yang menjadi kriteria dari konservasi, sebagai berikut: (1) Nilai intrinsik; (2) Nilai artistik; (3) Nilai sejarah yang tinggi; (4) Nilai keserasian dengan lingkungan sekitarnya; (5) Nilai ekonomi. 2. Prinsip Konservasi Berdasarkan Piagam Burra, prinsip-prinsip pelestarian yang perlu diperhatikan dan dijadikan acuan dalam upaya konservasi pada sebuah situs,yaitu: a. Konservasi bertujuan untuk mempertahankan atau mengembalikan signifikansi budaya dari sebuah tempat dan termasuk merencanakan keamanan, pemeliharaan hingga masa depan. b. Konservasi didasarkan pada penghormatan terhadap material bangunan dengan minimal intervensi sentuhan fisik, serta tidak boleh merusak material bangunan. c. Konservasi harus menggunakan ahli-ahli multidisiplin ilmu yang memberikan kontribusi positif terkait dengan pelestarian. Teknik konservasi 18 19 yang digunakan harus bersifat tradisional. Teknik modern diijinkan dalam beberapa keadaan, tetapi harus berdasarkan pertimbangan ilmiah dan badan yang berpengalaman. d. Konservasi tempat harus mempertimbangkan semua aspek makna (signifikansi) budaya tanpa adanya tekanan pada salah satu aspek yang dapat merugikan yang lainnya. e. Kebijakan konservasi ditentukan oleh pemahaman signifikansi budaya dan kondisi fisik bangunan. f. Konservasi memerlukan pemeliharaan terhadap tampilan seperti bentuk, skala, warna, tekstur dan bahan. Sehingga konstruksi baru, pembongkaran, maupun perubahan yang dilakukan tidak memberikan pengaruh negatif terhadap tampilan bangunan. g. Sebuah bangunan harus tetap berada pada tempatnya. Perpindahan keseluruhan maupun sebagian dari sebuah bangunan tidak dibenarkan, kecuali hal tersebut satu-satunya cara untuk menjamin keberlanjutan situs. 3. Manfaat Konservasi Pada dasarnya usaha konservasi dilakukan untuk memberikan manfaat yang dibedakan menjadi dua jenis yaitu menjaga fungsinya yang asli dan pemanfaatan dengan fungsi yang berbeda. Dalam menjaga fungsi aslinya, ada baiknya mempertimbangkan cara-cara dalam mempertahankan ekonomi lokal dan menyediakan kebijakn-kebijakan lokal untuk melanjutkan keberlanjutannya. Dalam Heritage Management Course Unit Handbook, hal-hal yang harus diperhatikan dalam yang pemanfaatan fungsi yang berbeda, yaitu: 19 20 a. Mempertimbangkan karakter dari situs dan lingkungan sekitarnya. b. Mempertimbangkan strategi ekonomi daerah. c. Mempertimbangkan kesesuaian perubahan dengan kebijakan perencanaan daerah. d. Mempertimbangkan kerentanan dari pemanfaatan fungsi baru, sehingga tidak menyebabkan kerusakan pada bangunan. 4. Strategi Konservasi Adapun kegiatan yang tergolong ke dalam strategi pelestarian dalam penelitian ini diambil dari Burra Charter dan ICOMOS (1999), adalah: a. Konservasi, adalah upaya untuk melestarikan bangunan, mengefisienkan penggunaannya dan mengatur arah perkembangannya di masa mendatang. b. Rehabilitasi, merupakan upaya mengembalikan kondisi suatu bangunan yang telah mengalami kerusakan, kemunduran atau degradasi, kepada kondisi aslinya sehingga dapat berfungsi kembali sebagaimana mestinya. c. Renovasi, merupakan tindakan untuk mengubah interior bangunan baik sebagian maupun keseluruhan sehubungan dengan adaptasi bangunan tersebut terhadap penggunaan baru d. Adaptasi, adalah segala upaya untuk merubah tempat agar dapat dipergunakan untuk fungsi yang sesuai, kegunaan tidak menuntut perubahan drastis atau hanya memberikan dampak yang minimal. e. Rekonstruksi, adalah upaya membangun kembali semirip mungkin dengan penampilan orisinal yang diketahui. 20 21 f. Revitalisasi, adalah suatu kegiatan untuk mengembalikan atau menghidupkan kembali suatu kawasan yang menurun fungsinya agar menjadi hidup dan berfungsi kembali. g. Preservasi, adalah upaya dalam pemeliharaan material-material bangunan dari suatu kawasan pelestarian agar dapat bertahan seperti keadaan sediakala, serta memperlambat pembusukan. h. Addisi, merupakan pembangunan baru pada kawasan yang dilestarikan dengan mengabstraksikan bentuk-bentuk bangunan yang sudah ada. Pembangunan ini bukan merupakan suatu tiruan yang persis, tetapi hanya menunjang karakter kawasan tersebut. i. Demolisi, adalah penghancuran suatu bangunan yang rusak atau membahayakan. 2.3.2 Teori Langgam Prijotomo, Josef dalam Gomudha (1999), langgam adalah rupa/wujud, aturan, dan perlengkapan yang khas dari sesuatu masa/jaman dan tempat tertentu, yang memiliki suatu ciri khas/style, yang mencerminkan suatu identitas/jati diri pada suatu masa. Pada setiap periode/masa, manusia dengan kegiatan dan budayanya dalam lingkungan binaan akan melahirkan sebuah style/gaya dalam dunia arsitektur. Kegiatan dan budaya di masa lalu tersimpan dalam sejarah, yang memiliki peranan sangat penting dalam membentuk sebuah langgam dalam arsitektur. Style/gaya tersebutlah yang mencerminkan sebuah langgam pada suatu masa. Seperti style Kolonial yang mencerminkan periodenya dari kebudayaan Belanda 21 22 dalam lingkungan binaan ketika menjajah Indonesia, maupun style Tiongkok yang merupakan peninggalan dari para pedagang dan saudagar Cina pada masa lalu. Dengan demikian selalu ada keterkaitan antara sebuah langgam dengan sejarah dan budaya, yang berarti langgam merupakan objek sejarah. Dengan memperhatikan beberapa pengertian dan keterkaitannya dengan budaya serta sejarah, maka langgam-langgam dalam arsitektur memiliki potensi dan fungsi, yaitu: 1) langgam berpotensi untuk menunjukkan identitas suatu karya arsitektur; 2) langgam berpotensi untuk menunjukkan periodisasi dari kesejarahan arsitektur; 3) langgam berpotensi untuk menjadi faktor dari upaya penggubahan tampilan arsitektur; dan 4). langgam berpotensi sebagai sumber gagasan atau tema dalam melakukan penghadiran dan pengaturan arsitektur (Gomudha, 1999). Dari pengertian dan fungsi langgam seperti yang telah diuraikan di atas, keberadaan sebuah langgam menjelaskan suatu perkembangan style/gaya arsitektur yang berkembang di suatu daerah. Termasuk di Bali, 22 23 langgam asing yang paling kuat berpengaruh adalah langgam arsitektur Tiongkok dan Kolonial. Menurut W.P. Groeneveldt dalam Sulistyawati pada Integrasi Budaya Tionghoa ke Dalam Budaya Bali (2008), akulturasi budaya di puri-puri di Bali terjadi karena hubungan Bali dengan Tiongkok yang sudah terjalin sejak Dinasti Tang (618-908M). Sedangkan arsitektur Kolonial mulai membawa pengaruhnya pada tahun 1894, ketika Kerajaan Karangasem dan Buleleng jatuh ke tangan Belanda, serta Lombok ditaklukkan oleh Belanda. Pengaruh besarnya terjadi saat Belanda menguasai Bali sepenuhnya pada tahun tahun 1906. Kedua langgam arsitektur asing tersebut berakulturasi dengan langgam arsitektur lokal yang terlihat pada bangunan-bangunan di Bali. Hal ini bertujuan untuk memenuhi tuntutan peradaban masyarakat Bali dan masyarakat asing yang dulunya tinggal di Bali. 2.3.3 Teori Arsitektur Dalam Wikipedia (diakses 2010), arsitektur merupakan suatu disiplin ilmu rancang bangun yang berdasar pada dinamika antara kebutuhan perilaku, fungsi, lingkungan, sejarah dan budaya sehingga melahirkan bentuk. Sedangkan dalam 23 24 Ensiklopedia Umum (1997: 83), arsitektur merupakan seni dan ilmu dalam merancang bangunan. Dalam artian yang lebih luas, arsitektur mencakup merancang dan membangun keseluruhan lingkungan binaan, mulai dari level makro yaitu perencanaan kota, perancangan perkotaan, arsitektur lansekap, hingga ke level mikro yaitu desain bangunan, desain perabot dan desain produk. Arsitektur juga merujuk kepada hasil-hasil proses perancangan tersebut. Vitruvius dalam wikipedia menyatakan hasil dari proses perancangan berupa bangunan yang baik haruslah memilik keindahan/estetika (Venustas), Kekuatan (Firmitas), dan Kegunaan/Fungsi (Utilitas); arsitektur dapat dikatakan sebagai keseimbangan dan koordinasi antara ketiga unsur tersebut, dan tidak ada satu unsur yang melebihi unsur lainnya. Pengertian lainnya mengenai arsitektur dalam Wikipedia (diakses 2010), merupakan suatu bidang multi-dispilin, termasuk di dalamnya adalah matematika, sains, seni, teknologi, humaniora, politik, sejarah, filsafat, dan sebagainya, dilengkapi dengan proses belajar, serta dibantu dengan penilaian terhadap karya tersebut sebagai karya seni. Kharakteristik Puri Gde Karangasem merupakan akulturasi dari berbagai macam budaya, yang mempunyai langgam mengikuti masanya. Disini dikelompokkan menjadi tiga sesuai dengan budaya yang mempengaruhinya, yaitu: 1. Arsitektur Lokal Arsitektur lokal yang dimaksud disini adalah Arsitektur Tradisional Bali (ATB), yang merupakan langgam lokal. Menurut Tim Perencana Tentang Batasan-Batasan Pengembangan Bangunan Tradisional Bali (1981: 2), ekspresi yang ditampilkan oleh bangunan Tradisional Bali didasari atas konsep pendekatan 24 25 terhadap alam semesta yang tercermin dalam pembagian fisik atas tiga bagian (Tri Angga), pendekatan terhadap alam lingkungan, baik terhadap pengaruh iklim maupun pemanfaatan lahan dan yang terakhir didasari oleh kesederhanaan dan kewajaran dalam mewujudkan kekokohan bagunan, serta kesederhanaan dan kewajaran dalam penampilan bahan. a. Bentuk Bharuna, AA Gde D. dalam Pengaruh Teknologi Modern terhadap Perkembangan Arsitektur Tradisional Bali di Desa Adat Manuaba-Gianyar (1993: 11), mengungkapkan bahwa bentuk dalam Arsitektur Tradisional Bali sangat erat kaitannya dengan konsep Tri Angga, yang merupakan tiga bagian fisik dari alam sebagai wadah dan manusia sebagai isi. Tiga bagian ini masing-masing, yaitu tata nilai Utama (Swah Loka/Atmosfer), Madya (Bwah Loka/Lithosfer), dan Nista (Bhur Loka/Hydrosfer). Gambar 2.2, Perwujudan Tri Angga Sumber : Djaja Baruna (1993:12) Kaler dalam Putra (1998) menyebutkan bahwa falsafah Arsitektur Tradisional Bali merupakan penyeimbangan, penyelarasan dan integritas tiga unsur yang merupakan sumber kesejahteraan (Tri Hita Karana), yaitu (1) 25 26 ketuhanan (Parahyangan), (2) manusia selaku pemakai (pawongan), dan (3) lingkungan fisik (palemahan). Gambar 2.3, Konsep Tri Angga dan Tri Loka. Sumber: Putra, 1998 Lingkungan fisik inilah yang nantinya dibagai menjadi tiga kawasan (tri mandala) kemudian dikembangkan menjadi sembilan kawasan (sanga mandala), dengan sosok fisik bangunan yang pada dasarnya dibagi menjadi tiga yang disebut Tri Angga. Dalam orientasi, ATB lebih dominan menggunakan sumbu gunung-laut (kaja-kelod) daripada timur-barat. Dari penyatuan dua faktor pengaruh orientasi tersebut, dapat dimunculkan suatu pola tata ruang dengan sembilan kawasan yang disebut pola Sanga Mandala. a) Tri Angga → jika dikaitkan dengan Bangunan Tradisional Bali adalah sebagai berikut Utama Angga (Kepala) yaitu atap bangunan, Madya Angga (Badan) yaitu saka dan dinding, Nista Angga (Kaki) yaitu bebaturan/bataran. b) Tri Mandala dan Sanga Mandala → Konsep yang dibedakan berdasarkan arah orientasinya, antara lain: arah kaja-kelod (gunung dan 26 27 laut), arah tinggi-rendah (tegeh dan lebah), dan berdasarkan sumbu matahari yaitu Timur dan Barat (kangin dan kauh). utama madya nista madya utama nista Gambar 2.41 (kiri) Orientasi Kaja-Kelod, (tengah) Orientasi Kangin-Kauh, (kanan) Orientasi Tegeh-Lebah Sumber:Meganada (1990) dan Anindya (1991) dalam Jurnal Permukiman Natah Vol. 1 NISTA MADYA UTAMA NU MU UU NM MM UM MADYA NN MN UN NISTA UTAMA Kaja Kauh Kaja Kaja Kangin Kauh Madya Kangin Kelod Kelod Kangin Kelod Kauh Gambar 2.4, Konsep Sanga Mandala Sumber: Agus Wyadnyana (2008: 31) b. Ragam Hias Ragam hias merupakan unsur-unsur penunjang keindahan. Disamping sebagai hiasan, ragam hias juga mengandung nilai pendidikan, sering pula sebagai pernyataan logika teknik penampilannya, seperti misalnya pada kepala, dinding dan kaki. Menurut Sika, I Wayan dalam Ragam Hias Bali (1983), menjelaskan mengenai fungsi ragam hias di Bali yang dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu: 27 28 a) Ragam Hias Murni, ialah bentuk-bentuk ragam hias yang ditempatkan untuk menghias saja demi keindahan suatu bentuk atau bangunan ditempatkan. Yang termasuk ragam hias murni, yaitu: i. Pepatraan Pepatraan adalah hiasan yang dipahat, diukir, atau dilukis dengan menggunakan motif daun-daunan, baik yang mendekati bentuk aslinya ataupun yang sudah disetilir. Dalam perkembangannya, disamping dikenal bentuk-bentuk adati Bali, juga dikenal bentukbentuk patra dari pengaruh luar yang sudah diadaptasi sedemikian rupa, sehingga membentuk karakter sejenis ragam hias khas Bali, seperti patra Cina; patra Olanda; patra Kuta Mesir; dsb. Pepatraan juga merupakan hasil gubahan dari tumbuh-tumbuhan rambat yang mengandung unsur tangkai, daun, bunga, dan sulur. Pepatraan juga berarti ragam hias yang mewujudkan gubahangubahan keindahan hiasan yang berasal dari flora dalam pola-pola yang disebut patra atau pepatraan (Gelebet, 1984: 333). Motif pepatraan banyak ditempatkan pada bidang-bidang dinding bangunan, motif hiasan pada pakaian penari, patung, wayang, dan lain-lain. Jenis pepatraan yang umum terdapat pada bagian kepala bangunan adalah murdha, bentala dan ikut celedu. ii. Kekarangan (kekarangan berarti juga Setiliran) Kekarangan merupakan semacam bentuk relief cembung yan bentuknya diambil dari bagian muka (topeng) wajah-wajah binatang 28 29 yang mengandung unsur-unsur mitologi dan disetilir sehingga menampakkan bentuk-bentuk hiasan yang memberi kesan magis. Kekarangan juga memiliki arti jenis ragam hias yang selalu berbentuk muka/wajah suatu makhluk yang ditempatkan pada sudutsudut luar bangunan, pinggir sebuah dinding, dan bagian tengah suatu bidang bangunan. Kekarangan memiliki penampilan ekspresionis serta meninggalkan bentuk sebenarnya (abstrak). Mengambil bentuk-bentuk hewan seperti: gajah, burung gagak dan hewan khayal primitif lainnya. b) Ragam Hias Simbolis, yaitu ragam hias yang selain berfungsi memperindah juga memberikan arti khusus (sebagai lambang). Penempatannya terikat oleh norma-norma, agama, atau kepercayaan. Yang termasuk dalam ragam hias simbolis, yaitu: i. Pepalihan, merupakan permainan garis-garis yang umumnya tanpa menggunakan ukiran. Keindahan pepalihan sebagai ragam hias, pada komposisi garis-garis batang-batang hiasan yang disusun beraneka ragam dalam suatu aturan sesuai fungsi bangunan (Gelebet, 1984: 420). ii. Lelengisan, bentuk hiasan tanpa ukiran, keindahan dari bentukbentuk hiasan dengan permainan timbul tenggelamnya bidangbidang hiasan dan penonjolan bagian-bagian tertentu. Bentuk-bentuk hiasan lelengisan umumnya disatukan dengan hiasan pepalihan (Gelebet, 1984: 337). 29 30 iii. Relief, merupakan suatu ragam hias pada bidang-bidang tembok yang memiliki tema yang diambil dari cerita mitologi, epos dan legenda (Gelebet, 1984: 366). iv. Patung-patung, pada umumnya mengambil bentuk-bentuk dewa, manusia, raksasa maupun hewan (Gelebet, 1984: 361). 2. Arsitektur Tiongkok Hubungan langsung Bali dengan Tiongkok telah terjadi sejak jaman lampau, yang berawal dari hubungan dagang menjadi hubungan persahabatan memungkinkan terjadinya saling mempengaruhi antara budaya yang satu dengan yang lainnya. Pengaruh ini bisa terlihat dalam bidang arsitektur, yang mendapat kontribusi budaya dari Tiongkok ke dalam ATB. Seorang arsitek dari Cina yang berperan dalam kontribusi budaya tersebut, yaitu Lo To Ang. Kharakteristik dari style Tiongkok ini memiliki bentuk relief dengan teknik pahatan krawangan. Obyek yang dipahatkan biasanya berupa motif binatang, motif tumbuh-tumbuhan, motif manusia, serta motif awan-awanan. Motifnya memiliki garis pahatan yang lembut dan rumit serta tumpang tindih, susunan komposisi bidang dan garis-garisnya serba simetris, bidangnya penuh dengan motif-motif hias, secara keseluruhan obyek yang dipahatkan mendekati naturalis. Ciri khas dalam Arsitektur Tiongkok, yaitu secara umum penggunaan kayu pada tiang-tiang dan dinding; sedangkan atapnya menggunakan tanah liat yang dibakar atau dari tegel-tegel yang diglasir diberi warna hitam, merah, hijau, putih, dan kuning, tergantung apa yang dilambangkannya. Bahan atap mula-mula dari jerami atau rumput, akhirnya berkembang menjadi atap keramik yang diglasur. 30 31 Tiang-tiang rumah harus diberi warna tertentu sesuai dengan kedudukan sosial pemilik rumah tersebut. Tiang-tiang istana warnanya merah; ningrat: hitam; pejabat tinggi: hijau laut; pejabat rendah: kuning; dan rakyat: tidak boleh diberi warna. Pintu dan jendela merupakan unsur bangunan untuk menambahkan keindahan, sehingga bentuknya bebas (lingkaran, bujur telur, dan sebagainya). Menurut Sumintradja dalam Compendium Sejarah Arsitektur jilid: I (1978: 174), patung-patung justru bagian dari seni kebun dan tidak dipandang setaraf kedudukannya sebagai seni lukis. Secara keseluruhan latar belakang keadaan politik tersebut mempengaruhi penjelmaan arsitektur Tiongkok. Hal-hal yang mencolok ialah perkembangan gaya hiasan-hiasan pada jendela maupun pintupintu, dan detail-detail konstruksi kayu (yang digunakan sebagai tiang, atau rangka atap) dengan kombinasi warna-warna. Hal lainnya yang menjadi pedoman dalam Arsitektur Tradisional Tiongkok adalah Feng Shui. Feng Shui adalah seni hidup dalam keharmonisan dengan alam sehingga seseorang mendapatkan paling banyak keuntungan, ketenaran, kemakmuran dan keseimbangan yang sempurna dengan alam. Hal-hal yang termasuk dalam Feng shui, yakni bentuk, warna, dan unsur alam. a. Bentuk Pada dasarnya, Feng Shui hampir selalui menyukai bentuk yang teratur dan struktur yang simetris. Oleh karena itu, bujur sangkar, segi empat, bundar dan segi delapan dianggap baik dan bisa diterima. Dalam Feng shui menekankan jenis keharmonisan yang dicapai dengan memiliki keseimbangan dimensi 31 32 atau penggunaan ruang, warna, cahaya, suhu, dari garis Yin lembut dan Yang keras. Gambar 2.5, Contoh kemiripan penggunaan bentuk-bentuk yang simetris dan seimbang pada entrance di Cina dan di Bali Sumber: Sulistyawati, 2008 b. Warna Dalam bagan alam Cina, ada lima unsur utama yaitu kayu, api, logam, tanah dan air. Kelima unsur ini juga diasosiasikan dengan warna, musim, arah angin dan planet. Sebagai contoh api berwarna merah, suatu warna yang menguntungkan, api juga musim panas dan arah selatan, penerapannya adalah sebagai berikut: Tabel 2.1 Warna beserta Maknanya Jenis Warna Merah Kuning Hijau Ungu Biru Merah Muda Biru Muda Emas Hitam Makna Kemashuran, asmara, sukses, kemenangan, keberanian, kebahagiaan Kerajaan, kebencian, irihati Kesuburan, keremajaan, penghargaan,kesegaran Kesedihan, kesendirian, kebangsawanan Kesetiaan, renungan, ketenangan, kebenaran,idealisme tinggi Cinta yang lembut, kasih anak (perempuan),Kasih sayang Kasih anak (laki-laki) Keagungan Kesucian, kejujuran, damai, kematian,Ketidakbahagiaan (Sumber: Too, Lilian, 1993). 32 33 Putih c. Suci, jujur, kebahagiaan Ragam Hias Ragam hias Tiongkok mempunyai ciri-ciri spesifik, seperti: (1) bentuknya berupa relief dengan teknik pahatan kerawangan; (2) obyek yang dipahatkan berupa motif binatang, tumbuhan, manusia, dan awan-awanan; (3) susunan komposisi bidang dan garis-garisnya serba simetris; (4) bidangnya penuh dengan motif hias; (5) bentuk karakter hiasan yang dipahatkan mencerminkan keadaan negeri Tiongkok (Sulistyawati, 2008). Gambar 2.6, Contoh patra Cina Sumber: Sulistyawati, 2008 Ragam hias yang terdiri dari tanaman, disebut pepatraan, sedangkan patra yang kena pengaruh dari Tiongkok disebut patra Cina. Menurut kalam, Rai dalam Ragam Hias di Puri Karangasem (1988), Patra Cina merupakan stiliran dari bunga kembang sepatu yang penyajian batang, daun dan bunga dibuat dengan garis tegas sehinga mencerminkan pola yang konstruktif. Patra ini dipahatkan pada dinding dan daun-daun pintu. Warna-warna yang dominan adalah merah, emas, dan hijau. Warna terang digunakan pada bagian permukaan kayu, sedangkan warna yang lebih gelap digunakan pada bagian yang lebih gelap. Selain stiliran tanaman, juga menampilkan stiliran binatang yang disebut kekarangan. Karang sae merupakan stiliran yang mendapat sentuhan budaya 33 34 Tiongkok. Karang Sae merupakan stiliran kepala kelelawar, memiliki wujud montok dan kesan garis yang tegas, yang diartikan memiliki kekuatan gaib untuk menjaga rumah di malam hari agar mendapatkan keselamatan, sehingga dipahat pada bagian atas pintu masuk bangunan (Kalam, 1988). Gambar 2.7, Contoh kemiripan karang Sae Tiongkok dan di Bali Sumber: Sulistyawati (2008), Risna (2010) 3. Arsitektur Kolonial a. Asal-usul Arsitektur Kolonial Asal-usul arsitektur kolonial di Indonesia menurut Handinoto dalam bukunya Arsitektur dan Kota-kota di Jawa pada masa Kolonial (2010), terbentuk dari usaha untuk memadukan arsitektur Eropa dengan arsitektur setempat, yang disebut Indische Empire Style. Indische Empire Style adalah suatu gaya arsitektur kolonial yang berkembang pada abad ke-18 dan 19. Tahun 1890-1930 merupakan puncaknya arsitektur Indische Empire Style sebelum digantikan oleh arsitektur Indo-Eropa yang disebut juga arsitektur modern atau sebelum terjadinya westernisasi pada kota-kota di Indonesia pada awal abad ke-20. Pada mulanya gaya arsitektur tersebut muncul di daerah pinggiran kota Batavia sekitar abad ke-17, kemudian berkembang di daerah-daerah lain di Indonesia yang pernah diduduki Belanda. Golongan orang Eropa yang 34 35 terdiri dari masyarakat Indo-Eropa dan orang Belanda totok ini sering disebut Eurasia. Masyarakat Eurasia inilah yang awalnya melahirkan kebudayaan Indische Culture yang berkembang di Hindia Belanda sampai akhir abad ke-19. Indische secara harfiah berarti seperti Indies atau Hindia. Indischgast atau Indischman, dalam bahasa Belanda berarti orang Belanda yang dulu tinggal lama di Indonesia. Indisch adalah percampuran antara kebudayaan Eropa, Indonesia, dan sedikit kebudayaan tertentu dari orang Cina peranakan. Kebudayaan ini kemudian diikuti oleh orang Cina peranakan dan Pribumi dari golongan tertentu. Namun di abad ke-20, arsitektur Indische yang berbau campuran budaya Belanda dan Nusantara ini perlahan digantikan istilahnya menjadi arsitektur Indo-Eropa. Hal ini dikarenakan kaum Belanda totok mulai menganggap kaum mereka lebih berpendidikan, dengan budaya yang lebih modern, dan lebih mengidentifisier dirinya dengan “Eropa”. Sejak saat itu perpaduan antara arsitektur setempat dengan arsitektur modern yang dibawa Belanda dari Eropa ini disebut dengan arsitektur Indo-Eropa. Dalam akuluturasi antara ATB dengan budaya luar seperti arsitektur kolonial, terdapat peranseorang professor dari Belanda, yaitu Van der Heutz. b. Kharakteristik Arsitektur Kolonial Yang khas dari arsitektur kolonial adalah (Handinoto, 2010): bentuk dan denah yang simetri penuh, memiliki tembok yang tebal, langit-langitnya tinggi, memiliki teras terbuka pada bagian depan (voor galerij) dan belakang (achter galerij) tanpa tembok, memiliki galeri di sepanjang 35 36 bangunan untuk menghindari tampiasan air hujan dan paparan sinar matahari langsung, serta terdapat barisan kolom/pilar Yunani Kuno atau Romawi sebagai pendukung atap yang menjulang ke atas, memiliki pavilion (bangunan samping) di samping bangunan utama, bahan bangunan utama menggunakan pasangan bata, dengan atap perisai maupun pelana yang berbahan genteng, adanya ventilasi, menggunakan kosen dan jendela dengan model dua pintu, dengan penambahan terali, serta bentuk melengkung dengan susunan batu-batu pada bagian atas pintu, maupun sebagai dekorasi. Selain itu, bangunan arsitektur kolonial memiliki bentuk pintu masuk di muka rumah yang terbagi dari dua bagian yang terpotong di tengah. Rumah tersebut dikenal dengan “Landhuizen”. Bambang Setiabudi dalam Harian Kompas (diakses 2010), menyatakan bahwa langgam Arsitektur Kolonial/ Indische Belanda dapat diamati terutama pada bukaan-bukaan seperti pintu, jendela dan lubang angin. Pintupintu di sini dicirikan dengan ukuran yang tinggi dan besar dan berdaun pintu ganda. Sedangkan jendelanya juga besar dan lebar-lebar. Banyak detail elemen arsitektur yang dikerjakan secara rinci, seperti reling, tangga, kaca hias, teralis pada jendela, dsb. Para arsitek Belanda secara tidak sadar membawa elemen–elemen vernakular Belanda ke dalam Arsitektur di Indonesia. Elemen–elemen tesebut antara lain: a) Penggunaan Domer → jendela atau bukaan yang terletak pada atap seperti Louver. Bingkai atau pinggiran dari domer biasanya terletak pada bagian atap utama. 36 37 b) Penggunaan Gable c) Konsol → biasanya yang terbuat dari logam umumnya menempel pada kolom yang menyangga atap bangunan. d) Sudut atap → pada bangunan kolonial sangat runcing yaitu berkisar antara 35-45°. Bentuk atap ini juga merupakan hasil adaptasi dengan bentuk atap pada bangunan vernakular di Belanda. e) Kolom pada bangunan kolonial Belanda pada umumnya berbentuk bulat yang dipengaruhi oleh kolom Yunani Kuno atau Romawi. Disamping bentuk asli dari Eropa, arsitektur Kolonial juga menyesuaikan diri dengan iklim tropis basah di Indonesia sehingga timbul penyesuaianpenyesuaian sebagai berikut: a) Ventilasi → diwujudkan dengan banyaknya bukaan dengan ukuran yang besar-besar. Bukaan–bukaan berupa pintu dan jendela mempunyai standar yang lebih besar dibanding bangunan biasa. Bentuk ini selain untuk penghawaan, juga sebagai adaptasi dengan proporsi bangunan yang lebih besar dibanding bangunan biasa. Sistem penghawaan silang diterapkan pada bangunan kolonial. b) Terdapat perulangan perulangan pada elemen arsitektural, seperti jendela, pintu, teritisan, dan kolom baik horizontal maupun vertikal. Menurut Siwalatri (1993: 37-39), bahwa arsitektur Kolonial yang berkembang di Bali, dari tahun pembangunannya dapat digolongkan menjadi lima periode yaitu: 37 38 I. Periode sebelum tahun 1900-1900 Pada periode ini bangunan yang merupakan milik orang Belanda nampak menggunakan corak art nouveou, sedangkan bangunan milik pribumi masih menggunakan kombinasi konsep arsitektur tradisional Bali dengan konsep Arsitektur Barat. Sedangkan sistem struktur menggunakan sistem yang sederhana yaitu sistem dinding pemikul yang pelaksanaannya sangat sederhana sehingga dapat dikerjakan oleh tenaga terampil setempat. Ketebalan dinding satu batu juga dapat berfungsi sebagai unsur isolator panas, sehingga penghawaan didalam ruangan lebih nyaman. Penggunaan plafon yang tinggi bertujuan untuk memperbesar volume ruangan sehingga udara terasa nyaman. Bahan bangunan kelas utama sehingga dapat bertahan sampai sekarang. Pemakaian ornamen, elemen dekoratif lainnya masih dijumpai pada periode ini walaupun sudah banyak disederhanakan. II. Periode 1900-1910 Pada periode ini corak neoklasik masih nampak, walaupun tidak lengkap dan tidak terlalu dominan, dan bentuk denah masih ditata dengan bentuk setangkup. Sistem struktur yang digunakan adalah struktur dinding pemikul. Sistem utilitasnya masih alami. Bahan bangunan berkualitas utama dan bahan impor. Ornamen yang 38 39 digunakan sudah lebih sederhana dan sedikit penyelesaian tampak bangunan dengan corak art deco. III. Periode 1910-1920 Bentuk denah masih setangkup dan dibeberapa tempat masih nampak sisa corak Neoklasik. Pemakaian ornamen sudah mulai menghilang dan lebih banyak menggunakan permainan abstrak geometrik saja. Sistem struktur yang digunakan adalah struktur dinding pemikul. Sistem utilitasnya masih alami. Bahan bangunan dengan kualitas utama dan beberapa menggunakan bahan yang diimpor dari Belanda. IV. Periode 1920-1930 Pada periode ini konsep arsitektur modern telah diterapkan dengan tegas. Bentuk-bentuk diciptakan dengan bebas sesuai dengan keinginan pemilik dan fungsi yang akan diwadahinya. Ornamen dan elemen dekoratif lainnya sudah ditinggalkan diganti dengan permainan bidang, garis dan warna. Penampilan bangunan masih diselesaikan dengan corak art deco. Sistem struktur yang digunakan adalah struktur dinding pemikul. Sistem utilitasnya masih alami. V. Periode 1930-1940 Pada periode inipun konsep arsitektur modern diterapkan dengan sangat jelas, dan bentuk pun berkembang dengan bebas. Pemakaian kombinasi warnapun semakin bervariasi sesuai dengan kebutuhan. Pada beberapa bangunan telah nampak penggunaan beton sebagai bahan struktur maupun bahan penyelesaian lainnya. Sistem struktur 39 40 menggunakan dinding pemikul dan sistem struktur rangka dengan beton bertulang. Sistem utilitasnya masih alami. Beberapa konstruksi ditampilkan dengan jujur yang berfungsi juga sebagai elemen dekoratif. c. Ragam Hias Motif yang lebih banyak digunakan dalam style Kolonial yaitu berupa pepatraan, dengan bentuk pahatan garis global, simetris, yang merupakan stilirisasi dari bentuk dedaunan. Bahan atau material yang digunakan adalah besi dan beton cetak bertulang, karakternya kokoh dan tegas. Jenis Patra pada style Wulanda/Olanda ini merupakan stiliran dari tumbuhtumbuhan menjalar, yaitu disebut tanaman samblung yang mempunyai akar sekaligus berfungsi sebagai batangnya yang panjang dengan daun yang lebat, dibuat melingkar sambung-menyambung secara berulang-ulang, sampai memenuhi bidang dengan komposisi simetris. Gambar 2.8, Contoh relief style Kolonial dan Patra Olanda Sumber: Risna (2010), Turun (1985) Selain patra, ragam hias Kolonial juga menampilkan cerita, seperti epos Mahabratha dan Ramayana yang ditampilkan dengan proporsi tubuh yang panjang-panjang, garis yang diungkapkan sangat ornamentik dan tokohtokoh mempunyai gerak yang ekspresif. 40 41 Dalam penempatannya lebih bersifat dekorasi karena semata-mata memenuhi bidang-bidang kosong yang lebar, dengan penambahan pinggiran seperti bingkai relief, serta pada sendi-sendi. Penerapan material berupa semen dan metode cetak menjadi ciri khas dari ragam hias kolonial. Bentukbentuk lengkung pada pintu masuk juga merupakan penerapan arsitektur kolonial. 41 42 2.4 Model Penelitian Eksternal: Akulturasi budaya, perkembangan fungsi dan kebutuhan ruang, kemajuan teknologi, tidak ada arahan pelestarian. Internal: dampak upaya pelestarian sebelumnya terhadap perubahan langgam arsitektur Puri Gde Karangasem, pengelolaan konservasi yang telah dilakukan Puri Gde Karangasem, pendanaan untuk pengelolaan pelestarian. Keberlanjutan Langgam Arsitektur Bagaimanakah kondisi langgam arsitektur bangunan Puri Gde Karangasem, sebelum dan sesudah konservasi? Teori - - Langgam Arsitektur (DK Ching) Arsitektur (Arsitektur Tradisional Bali, Arsitektur Tiongkok, Arsitektur Kolonial) Strategi Konservasi (Burra Charter) Heritage Management Course Unit Handbook Hal-hal apa sajakah yang mempengaruhi perubahan-perubahan tersebut dalam upaya Konservasi yang telah dilakukan? Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif Arahan pelestarian (konservasi) yang seperti apakah yang sesuai dengan kondisi bangunan Puri Gde Karangasem saat ini, mengacu pada upaya konservasi yang telah dilakukan sebelumnya? Peraturan Terkait UU RI No. 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya Hasil Studi Simpulan dan Saran 42 Gambar. 2.9, Diagram Model Penelitian Sumber: Analisa Penulis, 2011