BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu prioritas Kementrian Kesehatan saat ini adalah meningkatkan status kesehatan anak khususnya bayi dan balita. Masih tingginya kesakitan dan kematian yang terjadi pada usia ini memerlukan perhatian dan dukungan dari semua pihak. Salah satu kendala adalah masih rendahnya pengetahuan masyarakat tentang kesehatan, deteksi dini penyakit serta perawatan anak di rumah. Bayi dan balita, terutama bayi baru lahir sangat rentan dan mudah terkena penyakit karena daya tahan tubuhnya masih lemah. Untuk itu masyarakat dan keluarga juga perlu mengetahui apa saja yang harus dilakukan jika bayi dan balita sakit (Kemenkes RI, 2011). Jumlah penduduk Indonesia + 237.641.326 dari jumlah tersebut diketahui bahwa jumlah penduduk usia balita berjumlah + 22.960.000 jiwa. Jumlah usia balita di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sebanyak + 256.800 jiwa (BPS, 2010). Jumlah balita yang banyak perlu adanya perhatian khususnya dalam hal perkembangannya, karena pada masa balita terjadi perkembangan otak yang pesat. Masa balita berlangsung secara singkat dan pendek sehingga masa balita disebut sebagai masa golden period, jendela kesempatan dan masa kritis maka perlu adanya pemantauan perkembangan pada masa balita (Depkes, 2006). Berdasarkan Human Development Index 2010, Indonesia menjadi Negara dengan kualitas Sumber Daya Manusia yang memprihatinkan dengan peringkat 108 dari 177 negara (Badan Pusat Statistik 2010). Kondisi ini semakin buruk 2 apalagi dengan rendahnya status kesehatan penduduk. Penyiapan dini SDM perlu dilakukan secara dini bahkan agar masalah kualitasnya dapat meningkat. Perkembangan balita mempunyai kaitan erat dengan peningkatan fungsi – fungsi individu khususnya kemampuan sensoriknya terutama daya lihat dan daya dengar. Jika pada balita ditemukan terdapat kelainan atau penyimpangan apapun, apabila tidak ditangani secara baik dan sedini mungkin pada waktunya, dan apabila tidak terdeteksi secara dini akan mengurangi kualitas SDM kelak karena sering berakhir dengan tidak tercapai potensialnya secara optimal bahkan dapat berakhir dengan kecacatan dan kematian. (Sularyo,1996) Saat ini jumlah penderita gangguan pendengaran dan penglihatan belum ada angka yang pasti di Indonesia. Berdasarkan Kepmenkes RI no 879/Menkes/SK/XI/2006 tentang Rencana Strategi Nasional Penanggulangan Gangguan Pendengaran dan Ketulian untuk Mencapai Sound Hearing 2030 dijelaskan bahwa secara global prevalensi gangguan pendengaran di dunia terdapat 0,1 – 0,13 % bayi yang menderita tuli sejak lahir atau dari 1000 kelahiran terdapat 1-3 bayi yang menderita tuli. Jika di Indonesia angka kelahiran terdapat 2,6 % maka terdapat 5000-10.000 bayi lahir tuli di Indonesia setiap tahunnya. Hal ini perlu mendapat perhatian khusus mengingat pada usia ini merupakan masa kritis perkembangan berbicara dan berbahasa. Angka kejadian ini dapat diturunkan melalui deteksi dini gangguan pendengaran pada balita. 3 Gangguan pendengaran pada anak perlu dideteksi seawal mungkin mengingat pentingnya peranan fungsi pendengaran dalam proses perkembangan bicara. Fungsi pendengaran dan perkembangan bicara & bahasa sudah termasuk dalam program evaluasi perkembangan anak secara umum yang dilakukan oleh profesi di bidang kesehatan mulai dari tingkatan Posyandu. Identifikasi gangguan pendengaran pada anak secara awal dengan cara pengamatan reaksi anak terhadap suara atau tes fungsi pendengaran dengan metode dan peralatan yang sederhana, perlu difahami oleh semua profesi di bidang kesehatan yang banyak menghadapi bayi dan anak. Dokter Puskesmas, petugas Posyandu atau bidan di klinik Ibu dan Anak perlu mengetahui cara identifikasi gangguan fungsi pendengaran secara awal dan kondisi klinis yang perlu dicurigai akan mengakibatkan gangguan pendengaran. Untuk membantu program penanganan awal , identifikasi awal gangguan pendengaran dan bagaimana proses perkembangan bicara pada anak perlu ditingkatkan dengan penyuluhan atau seminar kepada para orang tua (Faisa, 2010) . Sejalan dengan masalah pendengaran pada anak, masalah penglihatan anak mendapat perhatian serius dari pemerintah. Berdasarkan Kepmenkes RI no 1473/Menkes/SK/X/2005 tentang Rencana Strategi Nasional Indonesia Penanggulangan Gangguan Penglihatan dan Kebutaan untuk Mencapai Vision 2020 bahwa saat ini tingginya masalah kebutaan di Indonesia telah menjadi masalah sosial yang patut ditanggulangi secara terkoordinasi dengan melibatkan berbagai sektor. 4 Saat ini Indonesia termasuk salah satu negara dengan tingkat degeneratif penglihatan tercepat di dunia. Hal ini disebabkan oleh banyak faktor, salah satunya adalah faktor gizi. Kebutaan pada anak selain dapat mengganggu produktivitas dan mobilitas nya juga dapat menimbulkan masalah sosial bagi lingkungan, keluarga, dan masyarakat. Upaya pencegahan kebutaan pada anak telah dilakukan oleh pemerintah, misalnya dengan pemberian vitamin A dan upaya deteksi dini penglihatan pada anak. Apabila keadaan ini tidak ditangani dengan sungguh – sungguh, akan berdampak negatif pada perkembangan kecerdasan, kreativitas, dan produktivitas anak. (Depkes RI, 2005) Puskesmas Gamping I Sleman Yogyakarta dipilih sebagai tempat penelitian karena cakupan jumlah anak balita di wilayah Puskesmas tersebut cukup tinggi, sebesar 1051 jiwa yang tersebar di dua Desa yaitu Ambarketawang dan Balecatur per Desember 2013. Selain itu para kader yang berada di wilayah Puskesmas Gamping I belum pernah mendapat pelatihan mengenai deteksi dini perkembangan pendengaran dan penglihatan anak balita. Media audiovisual digunakan sebagai pilihan media pelatihan pada penelitian ini karena berdasarkan (Dale’s Cone of Learning, 1946) tingkat kemampuan seseorang dalam mempelajari dan mengingat hal – hal yang dipelajarinya dapat mencapai 50 % dengan melihat dan mendengar dan melihat media audiovisual dibandingkan hanya melihat dan mendengar saja. Selain itu, pelatihan kader dengan media audiovisual mempunyai tingkat keefektivitasan yang tinggi terhadap peningkatan pengetahuan, sikap dan perilaku kader Posyandu tentang tugas dan fungsinya. 5 Berdasarkan hasil wawancara dengan 3 petugas Puskesmas bulan Desember 2013 dan Januari 2014, yaitu kepala bagian gizi dan kepala bagian Penyuluhan Kesehatan Masyarakat (PKM), dan bagian Tata Usaha kegiatan pelatihan yang bertema deteksi dini pendengaran dan penglihatan memang belum pernah dilakukan. Dan dari laporan cakupan kegiatan SDIDTK bayi laki – laki/perempuan Puskesmas Gamping I Bulan Januari – Desember 2013, dari 198 bayi yang diperiksa belum ditemukan adanya penyimpangan daya dengar dan daya lihat. Selain itu mereka mengatakan selama ini kader posyandu tetap diberikan penyuluhan dengan topik yang berbeda – beda tiap tahunnya, namun sebagian besar topik penyuluhan seputar gizi anak dan pertumbuhan anak. Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti tertarik untuk melakukan studi lebih dalam pada pengaruh pelatihan ketrampilan terhadap pengetahuan dan keterampilan kader posyandu dalam melakukan deteksi dini pendengaran dan penglihatan karena pentingnya deteksi dini untuk mengurangi insidensi gangguan pendengaran dan penglihatan. Kader mempunyai potensi yang sangat besar karena kader sangat dekat (dari sisi geografis dan sosial) dengan masyarakat di wilayah mereka sendiri. Salah satu kegiatan yang dapat dilakukan kader adalah menyebarkan informasi, melakukan deteksi dini dan mengajarkan stimulasi tumbuh kembang kepada ibu dan keluarga. 6 B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti merumuskan masalah penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimana pengaruh pelatihan di desa Ambarketawang wilayah puskesmas Gamping 1 Sleman Yogyakarta terhadap pengetahuan deteksi dini perkembangan pendengaran dan penglihatan pada balita ? 2. Bagaimanakah gambaran keterampilan kader setelah diberikan pelatihan deteksi dini pendengaran dan penglihatan ? C. Tujuan Tujuan umum penelitian adalah untuk mengetahui perbedaan pengetahuan kader sebelum dan sesudah diberikan pelatihan deteksi dini perkembangan pendengaran dan penglihatan anak serta mengetahui tingkat keterampilan kader setelah diberikan pelatihan. Tujuan khusus penelitian ini adalah untuk mengetahui : 1. Pengetahuan kader posyandu sebelum dan sesudah dilakukan pelatihan tentang deteksi dini pendengaran anak 2. Pengetahuan kader posyandu sebelum dan sesudah dilakukan pelatihan tentang deteksi dini penglihatan anak 3. Keterampilan kader posyandu sesudah dilakukan pelatihan tentang deteksi dini pendengaran anak 4. Keterampilan kader posyandu sesudah dilakukan pelatihan tentang deteksi dini penglihatan anak 7 D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoritis Dapat memperluas kajian metode promosi kesehatan sebagai upaya deteksi dini pertumbuhan anak balita melalui pemberdayaan masyarakat. 2. Manfaat Praktis a. Bagi responden Penelitian ini diharapkan mampu meningkatkan pengetahuan responden mengenai pemantauan perkembangan sebagai upaya deteksi dini gangguan perkembangan balita. b. Bagi petugas kesehatan / Instansi terkait Hasil penelitian ini dapat dijadikan masukan bagi instansi terkait mengenai kaitan upaya promosi kesehatan melalui pelatihan deteksi dini pendengaran dan penglihatan terhadap pengetahuan dan keterampilan kader. d. Bagi peneliti lain Dengan adanya penelitian ini diharapkan mampu digunakan sebagai bahan kajian penelitian lebih lanjut dengan topik serupa, sebagai hasil inovasi dan memberi kemudahan terutama dalam monitoring pertumbuhan secara baik dan benar sebagai upaya deteksi dini pertumbuhan pada balita. 8 E. Keaslian Penelitian Penelitian dengan judul “Pengaruh Pelatihan Terhadap Pengetahuan dan Keterampilan Kader Tentang Deteksi Dini Pendengaran dan Penglihatan Anak Balita di Desa Ambarketawang Wilayah Puskesmas Gamping 1 Sleman Yogyakarta” belum pernah dilakukan sebelumnya. Namun penulis menemukan ada beberapa tema penelitian yang hampir mirip dengan penelitian ini. Adapun penelitian yang berkaitan dengan penelitian ini adalah: 1. Sulistyanto, tahun 2005 melakukan penelitian tentang “Pengaruh Pelatihan Kader dengan Media Audio-Visual terhadap Pengetahuan, Sikap Serta Perilaku Kader Posyandu di Kecamatan Sintang, Provinsi Kalimantan Barat”. Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan menggunakan rancangan quasi experimental dengan rancangan pre-post with control group. Hasil yang didapatkan yaitu setelah pelatihan menunjukkan perbedaan kualitas yang signifikan pada pelatihan kader dengan media audio-visual dibandingkan media konvensional terhadap pengetahuan, sikap dan perilaku kader. Perbedaan pada penelitian ini terletak pada metode dan lokasi penelitian. 2. Dewanti, tahun 2009 melakukan penelitian tentang “Pengaruh Pelatihan terhadap pengetahuan, keterampilan, kepatuhan kader posyandu dalam menerapkan standar pemantauan pertumbuhan balita di Kota Bitung, Sulawesi Utara”. Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan menggunakan rancangan quasi experimental dengan rancangan nonquivalent control group design. Hasil yang didapatkan yaitu adanya 9 peningkatan pengetahuan, keterampilan, dan pengetahuan kader dalam menerapkan standar pemantauan pertumbuhan balita. Perbedaan pada penelitian ini terletak pada metode dan lokasi penelitian 3. Adi, tahun 2010 melakukan penelitian tentang “Pengaruh Pelatihan Kader Pos Malaria Desa Terhadap Pengetahuan dan Sikap Kader Dalam Penemuan dan Pengobatan Penderita Malaria Di Puskesmas Uitao Kecamatan Semau Kabupaten Kupang Provinsi Nusa Tenggara Timur”. Jenis Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan menggunakan rancangan quasi experimental dengan one group pretest postest design. Hasil yang didapatkan yaitu adanya peningkatan pengetahuan sebelum (pretest) dan sesudah perlakuan (postest) mayoritas responden dan hampir semua pada kategori tinggi. Perbedaan pada penelitian ini terletak pada metode dan lokasi penelitian. 4. Dewi, tahun 2010 melakukan penelitian tentang “Hubungan Pengetahuan, Sikap, dan Ketrampilan Kader dalam Menimbang Balita di Posyandu Puskesmas Koto Baru Kecaman X Koto Kabupaten Tanah Datar”. Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan pengumpulan data secara observasional dengan rancangan cross sectional. Hasil yang didapatkan yaitu sebagian besar responden mempunyai pengetahuan yang baik tentang penimbangan balita. Perbedaan dengan penelitian ini terletak di lokasi dan metode penelitian. 5. Margareta, tahun 2011 melakukan penelitian tentang “Pengaruh Pelatihan Manajemen Pemberian Asi terhadap Pengetahuan dan Keterampilan Kader 10 dalam Memberikan Pendidikan Kesehatan di Posyandu Puskesmas Gondokusuman I Yogyakarta. Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan menggunakan pre experimental dengan one group pretest postest design. Hasil yang didapatkan yaitu terdapat peningkatan pengetahuan sebelum dan sesudah pelatihan dan bisa disimpulkan terdapat perbedaan yang bermakna. Perbedaan pada penelitian ini terletak pada metode penelitian. 6. Putrawangsa, tahun 2011 melakukan penelitian tentang “Manajemen Pemberdayaan Kader Dalam Pengelolaan Posyandu Di Kabupaten Lombok Tengah Provinsi Nusa Tenggara Barat”. Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif yang menggunakan metode kuantitatif dengan teknik purposive sampling, kemudian data dikumpulkan dengan wawancara mendalam, observasi, studi dokumen dan analisis data sekunder. Hasil yang didapatkan yaitu pemberdayaan yang dilakukan apabila tanpa melihat kondisi dan kebutuhan masyarakat tidak akan dapat menyelesaikan masalah pemberdayaan kader posyandu. Perbedaan dengan penelitian ini terletak di lokasi dan metode penelitian. 7. Chandralia, tahun 2013 melakukan penelitian tentang “Pengaruh Pelatihan Deteksi Dini Perkembangan Mental Emosional Anak Terhadap Pengetahuan, Motivasi dan Keterampilan Kader Posyandu di Wilayah Puskesmas Sewon II, Bantul”. Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitaif dengan menggunakan rancangan pre experimental dengan one group pretest postest design. Hasil yang didapatkan yaitu terdapat 11 peningkatan pengetahuan sebelum dan sesudah pelatihan dan bisa disimpulkan terdapat perbedaan yang bermakna. Kader memiliki motivasi sedang setelah pelatihan dan memiliki keterampilan cukup setelah pelatihan deteksi dini perkembangan mental emosional anak. Perbedaan pada penelitian ini terletak pada hasil dan topik penelitian.