BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah kesehatan jiwa

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah kesehatan jiwa di Indonesia dewasa ini perlu mendapatkan perhatian dari
berbagai pihak, tidak hanya dari tenaga kesehatan. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)
tahun 2007 yang dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Kemenkes RI memperlihatkan bahwa rata-rata nasional gangguan jiwa berat di
Indonesia adalah 0,46% atau sekitar 1 juta jiwa, dan untuk gangguan mental emosional
(cemas dan depresi) di atas usia 15 tahun sebesar 11,6% atau sekitar 19 juta penduduk.
Prevalensi tersebut bervariasi untuk setiap provinsi dan kabupaten/kota. Prevalensi
tertinggi untuk gangguan jiwa berat di Provinsi DKI Jakarta (2,03%), terendah di
Provinsi Maluku (0,09%); sedangkan prevalensi tertinggi untuk gangguan mental
emosional di Provinsi Jawa Barat (20,0%), terendah di Provinsi Kep.Riau (5,1%).
Prevalensi gangguan mental emosional berdasarkan Riskesdas 2007 tersebut meningkat
sejalan dengan pertambahan usia. Kelompok yang rentan mengalami gangguan mental
emosional adalah jenis kelamin perempuan, berpendidikan rendah, tingkat ekonomi
rendah, tidak bekerja serta tinggal di pedesaan.
Data di atas menunjukkan suatu jumlah yang besar, menimbulkan beban terhadap
pasien sendiri, keluarga, teman, masyarakat maupun negara. Beban akibat masalah
kesehatan jiwa dan psikososial sangat besar, termasuk mempengaruhi hari-hari
produktif yang hilang. Berdasarkan Dissability Adjusted Life Years (DALYs) dari
World Bank tahun 2005, beban penyakit secara umum (Global Burden of Disease) yang
dikontribusi akibat masalah kesehatan jiwa dan neurologis adalah sebesar 13%. Di
antara penyakit tidak menular (non-communicable disease), beban akibat masalah
kesehatan jiwa sebesar 22%, angka ini lebih besar daripada beban yang disebabkan oleh
penyakit jantung dan pembuluh darah (21%), kanker (11%) ataupun
1
paru (8%).
2
Masalah kesehatan jiwa di masyarakat tersebut menimbulkan dampak sosial. Dampak
sosial akibat masalah kesehatan jiwa tersebut antara lain adalah tingginya angka
kekerasan baik di rumah tangga maupun di masyarakat, meningkatnya kejadian bunuh
diri, penyalahgunaan napza pada remaja, kenakalan remaja, masalah pendidikan,
perceraian, pengangguran, kemiskinan, pemasungan, dan lain sebagainya.
Kejadian yang seringkali di masyarakat hingga saat ini adalah adanya keterlambatan
dalam pengenalan masalah kesehatan jiwa dan keterlambatan dalam membawa pasien
gangguan jiwa berobat ke fasilitas kesehatan. Penelitian yang dilakukan oleh Large M
dkk (2008) menemukan bahwa rata-rata keterlambatan pengobatan gangguan jiwa di
negara-negara berpendapatan rendah-menengah termasuk Indonesia adalah 2,6 tahun.
Keterlambatan tersebut ternyata sangat dipengaruhi oleh kurangnya keterlibatan dan
dukungan keluarga pasien gangguan jiwa (Thomas SP dkk 2008, Compton MT dkk
2009). Untuk meningkatkan keterlibatan dan dukungan keluarga maka keluarga pasien
gangguan jiwa perlu diberdayakan. Dalam rangka hal tersebut maka keluarga
membutuhkan informasi dan edukasi yang benar mengenai masalah kesehatan jiwa.
Hal lain yang mempengaruhi keterlambatan penanganan adalah adanya stigma dan
diskriminasi terhadap gangguan jiwa. Tidak jarang pasien gangguan jiwa mengalami
pemasungan. Estimasi jumlah pemasungan pasien gangguan jiwa di Indonesia adalah
sekitar 18.800 kasus.
Kesenjangan pengobatan antara pasien yang membutuhkan dan yang mendapatkan
layanan kesehatan jiwa di negara-negara berpendapatan rendah-menengah termasuk
Indonesia sangat besar, yaitu lebih dari 90%. Survei yang dilakukan di daerah
Leuwiliang, Bogor menemukan bahwa kesenjangan pengobatan untuk gangguan jiwa
berat mencapai 96,5%, hal ini berarti bahwa baru 3,5% pasien yang mendapatkan
pengobatan di layanan kesehatan.
3
Beberapa diagnosis gangguan jiwa bersifat kronis dan membutuhkan pengobatan dalam
jangka waktu lama (lebih dari 1 tahun). Namun demikian pasien gangguan jiwa dapat
pulih apabila patuh terhadap pengobatan serta terapi lain (konseling, latihan perilaku,
asuhan keperawatan, dll) yang disarankan, utamanya apabila mendapatkan dukungan
keluarga yang baik. Akibat kurang patuh maka angka kekambuhan pasien gangguan
jiwa tinggi. Angka kekambuhan tersebut dapat diturunkan secara signifikan dengan
pemberdayaan keluarga (Pitschel-Wals G dkk, 2001). Penelitian yang dilakukan oleh
Keliat, B (2009) menemukan bahwa dengan adanya pelatihan pada keluarga tentang
cara mengontrol perilaku kekerasan (violence) pasien gangguan jiwa menghasilkan lama
rawat yang lebih pendek di rumah sakit dan durasi kekambuhan yang lebih panjang.
Dalam Undang-Undang No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 144 ayat (5)
menyebutkan bahwa Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah berkewajiban untuk
mengembangkan upaya kesehatan jiwa berbasis masyarakat sebagai bagian dari upaya
kesehatan jiwa keseluruhan, termasuk mempermudah akses masyarakat terhadap
pelayanan kesehatan jiwa. Hal ini menunjukkan perhatian akan pentingnya upaya
kesehatan jiwa berbasis masyarakat termasuk kesehatan jiwa keluarga.
Keluarga sebagai unit terkecil masyarakat memiliki peran yang sangat penting dalam
pencegahan, pengenalan dini, serta perawatan pasien gangguan jiwa, termasuk
memberikan dukungan emosional dan motivasi untuk kesetiaan terhadap terapi. Oleh
sebab itu pemberdayaan keluarga dalam upaya-upaya kesehatan jiwa di atas sangat
diperlukan. Melalui buku Pedoman Pemberdayaan Keluarga Pasien Gangguan Jiwa ini
diharapkan dapat memberikan pengetahuan mengenai cara pemberdayaan keluarga
melalui kegiatan pemberian informasi dan psikoedukasi tentang masalah kesehatan
jiwa, perawatan pasien gangguan jiwa, dukungan psikologis kepada keluarga, serta
jejaring untuk meningkatkan kemandirian Keluarga Pasien Gangguan Jiwa.
4
B. Tujuan dan Sasaran
1. Tujuan
a. Tujuan Umum
Memberikan panduan bagi petugas kesehatan, penyedia program kesehatan,
lintas program, lintas sektor, kader kesehatan, masyarakat dan pihak swasta
yang peduli kesehatan jiwa serta keluarga agar mampu menjalankan proses
peningkatan kemandirian keluarga dari pasien gangguan jiwa.
b. Tujuan Khusus
1. Meningkatkan pengetahuan petugas kesehatan, penyedia program kesehatan,
lintas program, lintas sektor, kader kesehatan, masyarakat dan pihak swasta
yang peduli kesehatan jiwa serta keluarga dalam pemberian informasi dan
psikoedukasi masalah kesehatan jiwa.
2. Meningkatkan pengetahuan petugas kesehatan, penyedia program kesehatan,
lintas program, lintas sektor kader kesehatan, masyarakat dan pihak swasta
yang peduli kesehatan jiwa serta keluarga dalam merawat pasien gangguan
jiwa.
3. Meningkatkan pengetahuan petugas kesehatan, penyedia program kesehatan,
lintas program, lintas sektor kader kesehatan, masyarakat dan pihak swasta
yang peduli kesehatan jiwa serta keluarga dalam pemberian dukungan
psikologis pada Keluarga Pasien Gangguan Jiwa.
4. Meningkatkan pengetahuan petugas kesehatan, penyedia program kesehatan,
lintas program, lintas sektor kader kesehatan, masyarakat dan pihak swasta
yang peduli kesehatan jiwa serta keluarga dalam peningkatan kemandirian
melalui jejaring dukungan keluarga.
2. Sasaran
Sasaran dalam rangka menumbuhkan pemberdayaan keluarga adalah:
5
a. Pasien gangguan jiwa.
b. Keluarga pasien gangguan jiwa.
c. Tenaga kesehatan dan pemegang program kesehatan.
d.
Lintas program dan lintas sektor
e. LSM dan swasta
f. Kader, tokoh masyarakat dan tokoh agama
g. Masyarakat yang peduli kesehatan jiwa
h. Pihak swasta yang peduli kesehatan jiwa
C. Ruang Lingkup
Pemberdayaan keluarga ini dibatasi pada pemberdayaan keluarga pasien gangguan
jiwa. Dengan demikian kegiatan yang terkait adalah :
1. Peningkatan pengetahuan, keterampilan dan sikap petugas kesehatan, penyedia
program kesehatan, lintas program, lintas sektor, kader kesehatan, dan organisasi
masyarakat
serta pihak swasta yang peduli terhadap kesehatan jiwa dalam
pemberian informasi dan psikoedukasi masalah kesehatan jiwa.
2. Peningkatan pengetahuan, keterampilan dan sikap petugas kesehatan, penyedia
program kesehatan, lintas program, lintas sektor, kader kesehatan, dan organisasi
masyarakat serta pihak swasta yang peduli terhadap kesehatan jiwa dalam merawat
pasien gangguan jiwa.
3. Peningkatan pengetahuan, keterampilan dan sikap petugas kesehatan, penyedia
program kesehatan, lintas program, lintas sektor, kader kesehatan, dan organisasi
masyarakat serta pihak swasta yang peduli terhadap kesehatan jiwa dalam
pemberian dukungan psikologis pada keluarga pasien gangguan jiwa.
4. Peningkatan pengetahuan, keterampilan dan sikap petugas kesehatan, penyedia
program kesehatan, lintas program, lintas sektor, kader kesehatan, dan organisasi
masyarakat serta pihak swasta yang peduli terhadap kesehatan jiwa dalam
peningkatan kemandirian melalui jejaring dukungan keluarga.
6
5. Peningkatan pengetahuan, keterampilan dan sikap petugas kesehatan, penyedia
program kesehatan, lintas program, lintas sektor, kader kesehatan, dan organisasi
masyarakat serta pihak swasta yang peduli terhadap kesehatan jiwa melalui
kerjasama lintas sektor.
6. Peningkatan pengetahuan, keterampilan dan sikap petugas kesehatan, penyedia
program kesehatan, lintas program, lintas sektor, kader kesehatan, dan organisasi
masyarakat serta pihak swasta yang peduli terhadap kesehatan jiwa dalam
pencatatan dan pelaporan.
7. Peningkatan pengetahuan, keterampilan dan sikap petugas kesehatan, penyedia
program kesehatan, lintas program, lintas sektor, kader kesehatan, dan organisasi
masyarakat serta pihak swasta yang peduli terhadap kesehatan jiwa dalam
monitoring dan evaluasi.
D. Pengertian
1. Kesehatan Jiwa
adalah “suatu kondisi mental yang sejahtera yang memungkinkan hidup harmonis
dan produktif sebagai bagian yang utuh dari kualitas hidup seseorang, dengan
memperhatikan semua segi kehidupan manusia”.
Seseorang yang “sehat jiwa” mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
a. Menyadari sepenuhnya kemampuan dirinya.
b. Mampu menghadapi stres kehidupan yang wajar
c. Mampu bekerja secara produktif dan memenuhi kebutuhan hidupnya.
d. Dapat berperan serta dalam lingkungan hidup
e. Menerima dengan baik apa yang ada pada dirinya.
f. Merasa nyaman bersama dengan orang lain
2. Masalah psikososial, yaitu masalah psikis atau kejiwaan yang timbul sebagai akibat
terjadinya perubahan sosial. Misalnya :
7
a.
Psikotik gelandangan (orang yang berkeliaran di tempat umum dan
diperkirakan menderita gangguan jiwa psikotik dan dianggap mengganggu
ketertiban/keamananlingkungan).
b.
Pemasungan pasien dengan gangguan jiwa.
c.
Masalah anak remaja (tawuran, kenakalan remaja).
d.
Penyalahgunaan narkotika dan psikotropika.
e.
Masalah seksual (penyimpangan, pelecehan dan lain-lain).
f.
Tindak kekerasan sosial (kemiskinan, penelantaran, tidak diberi nafkah, korban
kekerasan dalam rumah tangga, korban kekerasan pada anak, dan lain-lain).
g.
Stres pasca musibah/trauma (gangguan cemas, gangguan emosional, bencana
alam, penyerangan/penganiayaan, perkosaan, terorisme, persalinan, dll).
h.
Pengungsi/migrasi (masalah kejiwaan yang timbul akibat terjadinya perubahan
sosial seperti cemas, depresi, gejala panik, dll).
i.
Masalah usia lanjut yang terisolir (penelantaran oleh keluarga, gangguan
psikologis,gangguan penyesuaian diri terhadap perubahan peran, perubahan
minat, kecemasan, gangguan pada daya ingat, kepikunan, dll).
j.
Masalah ketenagakerjaan (penurunan produktivitas, stres di tempat kerja, dll)
3. Gangguan jiwa, yaitu suatu perubahan pada fungsi jiwa yang menyebabkan adanya
gangguan
pada
fungsi
jiwa,
menimbulkan
penderitaan
pada
individu
(distress/merasa tertekan) dan atau hambatan dalam melaksanakan peran sosialnya
(disability/ketidak mampuan). Gangguan jiwa memenuhi kriteria dalam klasifikasi
diagnostik. Dalam ICD X (International Classification of Diseases–X), gangguan
jiwa tersebut antara lain :
a. Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan narkotika dan zat- zat adiktif
lainnya.
b. Skizofrenia dan gangguan psikotik lain.
c. Gangguan afektif (depresi, mania).
8
d. Ansietas
(kecemasan
yang
tidak
beralasan),
gangguan
somatoform
(psikosomatis).
e. Gangguan mental organik (demensia, delirium, epilepsi, pasca stroke, dll).
Gangguan kesehatan jiwa anak dan remaja (gangguan perkembangan
belajar,gangguan tingkah laku, hiperaktifitas, autisme, gangguan cemas dan
depresi).
F. Dasar Hukum
1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 tahun 1997 tentang Penyandang
Cacat;
2. Undang-Undang
Republik
Indonesia
Nomor
32
Tahun
2004
tentang
Indonesia
Nomor
34
Tahun
2004
tentang
Nomor
11
Tahun
2009
tentang
Pemerintahan Daerah;
3. Undang-Undang
Republik
Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah;
4. Undang-Undang
Republik
Indonesia
Kesejahteraan Sosial;
5. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan;
6. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 tahun 2000 tentang
Kewenangan Provinsi sebagai daerah Otonom;
7. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Kewenangan
antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota;
8. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat
Daerah;
9. Keputusan
Menteri
Kesehatan
Republik
Indonesia
Nomor
230/MENKES/SK/III/2002 tentang Pedoman Umum Tim Pembina, Tim
Pengarah, Tim Pelaksana Kesehatan Jiwa Masyarakat (TP-KJM);
9
10. Keputusan
Menteri
1457/MENKES/SK/X/2003
Kesehatan
tentang
Republik
Standar
Indonesia
Pelayanan
Nomor
Minimal
dan
Kewenangan Wajib yang berlaku untuk Kabupaten/Kota;
11. Keputusan
Menteri
Kesehatan
Republik
Indonesia
Nomor
128/MENKES/SK/II/2004 tentang Kebijakan Dasar Puskesmas;
12. Keputusan Menteri Kesehatan
Nomor
908/Menkes/SK/VII/2010
tentang
Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Keperawatan Keluarga;
13. Surat
Edaran
Menteri
Kesehatan
Republik
Indonesia
Nomor
868/MENKES/E/VII/2002 tentang Pedoman Umum Tim Pembina, Tim
Pengarah, Tim Pelaksana Kesehatan Jiwa Masyarakat.
Download