BAB V KESIMPULAN Relasi ekonomi politik dalam dinamika liberalisasi perdagangan yaitu bagaimana hubungan negara dengan ekonomi pasar, negara dan masyarakat, serta domestikinternasional telah diuraikan pada bagian-bagian sebelumnya. Untuk menjawab pertanyaan utama yang diajukan dalam penelitian, tesis ini berupaya menguji pembuatan kebijakan perdagangan bebas bilateral yang dipengaruhi oleh dinamika faktor domestik dan global. Sebagaimana telah diuraikan pada bab dua sampai dengan empat, cukup memberikan gambaran detil. Penelitian yang dimulai dengan mempertanyakan argumen bahwa kerja sama perdagangan bilateral dilakukan dengan tujuan utama mendapatkan manfaat ekonomi kemudian diajukan kerangka konseptual New Trade Strategi yang telah dimodifikasi untuk memahami pengaruh peran faktor-faktor domestik dan global (interplay). Melalui pendekatan ini sebagai alat untuk menjelaskan motif-motif Indonesia melakukan inisiasi kerja sama perdagangan bilateral selama satu era pemerintahan dalam perspektif struktural ekonomi politik internasional. Argumen-argumen tersebut dirangkum sebagai berikut: Mengapa Indonesia tetap menginisiasi kerja sama perdagangan bilateral (bilateral free trade agreements) sebagai alternatif diplomasi ekonomi? Peran politik domestik sangat menentukan dan menjadi pendekatan dalam analisis politik perdagangan internasional untuk memahami motivasi suatu negara menginisiasi perjanjian perdagangan bebas. Namun pendekatan ini tidak tunggal dalam memahami secara komprehensif motivasi, isu, ruang lingkup dan aktor yang berperan. Sebagaimana dalam penelitian ini telah menjelaskan bahwa motivasi Indonesia melakukan inisiasi perdagangan bilateral dibangun berdasarkan pengaruh faktor dalam negeri dan global dengan menggunakan konsep new trade strategy oleh Aggarwal dan Lee. Peran faktor eksternal turut memberikan kontribusi dalam mendorong Indonesia memilih kebijakan perdagangan yang menentukan arah perubahan ekonomi politik domestik dan global. Disamping tiga faktor interal lain yaitu ide dan persepsi, konfigurasi kepentingan, serta institusi domestik. Dalam uraian Bab I, penelitian ini mengajukan pandangan bahwa bilateral free trade agreement tidak memberikan keuntungan yang maksimal bagi Indonesia tetapi lebih sebagai agenda politik jangka panjang dalam upaya memainkan bargaining power secara regional Asia dan sekaligus menjadi pemain global (global player) untuk membangun keseimbangan ekonomi politik global. 105 Deskripsi pada Bab II, menjelaskan topik utama yang menjadi dasar perdebatan inisiasi kerja sama perdagangan bilateral yaitu pertama, posisi Indonesia dalam perkembangan liberalisasi perdagangan selama satu dekade menjangkau hampir disemua kawasan. Kebijakan ini mengindikasikan bahwa Indonesia lebih serius mempromosikan untuk mempercepat liberalisasi perdagangan yang penuh melalui skema bilateral free trade agreement, dimana bentuk perjanjian perdagangan ini telah dilakukan oleh negara-negara lain di Asia Timur sebelumnya. Selain itu, strategi perdagangan dengan tiga pendekatan yaitu bilateral regionalisme, bilateral cross/trans regionalisme, cross/trans bilateral strategis telah memperluas peran dan image Indonesia yang sedang dalam tahap menuju kebangkitan ekonomi. Kedua, disisi lain, manfaat ekonomi sebagai implikasi dari dua kebijakan kerja sama perdagangan bilateral yang telah diimplementasikan yakni IndonesiaJapan Economi Partnership Agreement (IJ-EPA), dan ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA) belum maksimal diperoleh oleh Indonesia. Hal lain ditemukan bahwa kerja sama perdagangan bilateral akan menguntungkan apabila ekonomi domestik lebih didorong oleh sisi produksi (supply) dengan kuatnya industrialisasi, sehingga produktifitas industri akan membutuhkan pasar ekspor yang lebih besar. Sementara, Indonesia masih melakukan reformasi industri dalam negeri khususnya industri yang baru tumbuh (infant industry) akibatnya tidak terjadi perubahan pola ekspor dan justru semakin deras masuknya produk impor. Selain itu, dampak lainnya adalah pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih didorong oleh sisi konsumsi (demand) utamanya minyak dan gas serta bahan pangan yang membuat neraca perdagangan menjadi defisit. Kelemahan lainnya adalah sisi supply industri domestik mengandalkan produk manufaktur berbasis komoditas sumber daya alam dan ketika harga komoditas dunia jatuh, Indonesia mengalami defisit neraca perdagangan non-migas. Peran faktor-faktor domestik yang diuraikan dalam Bab III adalah dinamika konfigurasi ide, kepentingan, dan institusi domestik menjadi pendorong utama menuju liberalisasi perdagangan. Pertama, dari aspek ide dan persepsi bahwa pilihan jalan liberalisasi perdagangan oleh pemerintah dengan intensitas integrasi kedalam ekonomi global pada era pemerintahan ini menjadi kebijakan yang dibutuhkan terutama untuk meningkatkan pertumbuhan pembangunan ekonomi melalui industrialisasi berorientasi ekspor dan investasi. Strategi lain adalah; pertama, menjadikan Indonesia sebagai salah satu ‘pusat produksi regional’ yang sedang dalam proses menuju kebangkitan ekonomi di kawasan selain Cina dan India. Hal ini cukup beralasan karena sumber daya alam sebagai 106 bahan baku yang tersedia dan ”tenaga kerja produktif” dengan memanfaatkan bonus demografi. Dengan demikian, Indonesia akan tumbuh dengan ketersedian dan kekuatan produksi serta jaringan pasar yang potensial. Kedua, dalam perspektif reformasi domestik, Bilateral FTA juga bertujuan untuk meng-upgrade kondisi ekonomi dalam negeri terutama menarik investasi sektor industri manufaktur dan infrastruktur yang belum kompetitif menghadapi persaingan di pasar global. Pergeseran sistem ‘produksi dan pasar global’ ke Asia adalah momentum yang harus dimanfaatkan untuk mengambil keuntungan jangka panjang yang tentunya dengan menyiapkan strategi pilihan kebijakan yang tepat saat ini melalui bilateral FTA. Hal ini sebagaimana telah dilakukan oleh negara-negara emerging market seperti Cina dan India di kawasan dengan lebih terbuka terhadap investasi asing (FDI) untuk memperkuat struktur industri sebagai basis meningkatkan pertumbuhan ekonominya. Kedua, dari aspek hubungan negara dan kelas atau masyarakat dalam konfigurasi kepentingan liberalisasi perdagangan. Pilihan terhadap bilateral FTA adalah bukan sematamata kebijakan yang diterima dengan senang hati tetapi struktur politik dan ekonomi yang mengharuskan pemerintah mengambil langkah penyesuaian domestik (adjustment) terhadap perubahan ekonomi global. Jika pemerintah tidak mengambil kebijakan bilateral FTA maka konsekuensinya adalah kehilangan peluang investasi, terjadinya trade diversion yang lebih besar karena setiap negara akan melakukan perdagangan dengan negara yang tarifnya lebih rendah dan tidak ada restriksi perdagangan. Disisi lain, kebijakan liberalisasi perdagangan Indonesia merupakan representasi kepentingan pengusaha yang tergabung dalam KADIN dan APINDO. Ketiga, dari aspek institusi domestik, kebijakan liberalisasi perdagangan merupakan manifestasi dari visi besar kepemimpinan yang didukung oleh struktur birokrasi pembuat kebijakan yaitu kementerian Luar Negeri dan Kementerian Perdagangan. Selain itu kolaborasi birokrat, politisi dan pengusaha turut memberikan kontribusi bagi percepatan inisiasi bilateral FTA. Selanjutnya, tentang peran faktor global yang dijelaskan dalam Bab IV, ditemukan beberapa hal penting yaitu, pertama, krisis ekonomi global yang terjadi sepanjang tahun 2004-2014 membuat pemerintah harus mengambil langkah-langkah reformasi ekonomi domestik. Dan kerja sama perdagangan bilateral merupakan salah satu strategi diplomasi ekonomi untuk menyelamatkan defisit necara pembayaran dan perdagangan. Serta mengambil peluang dengan penurunan nilai tukar rupiah akibat krisis melalui peningkatan ekspor. Respon-respon kebijakan dalam gejolak dinamika ekonomi global ditempuh dengan kerja sama dalam semua aspek baik finansial, fiskal, investasi, dan perdagangan. 107 Kedua, perkembangan ekonomi negara-negara emerging market yang menarik Indonesia untuk lebih pro-aktif dalam dinamika perubahan ekonomi global. Selain karena faktor ekonomi yang menguntungkan bagi persaingan investasi dan perdagangan juga karena faktor politik di kawasan Asia dimana Indonesia juga sangat diperhitungkan karena populasi yang besar dan wilayah geografis yang luas. Ketiga, lemahnya institusi multilateral menjadi faktor struktural yang ikut memberikan kontribusi terhadap masifnya liberalisasi perdagangan. Kegagalan mencapai kesepakatan dalam putaran perundingan yang berlarut-larut memberi ruang bagi negara-negara anggota untuk mencari alternatif menciptakan rejim baru melalui bilateral FTA. Dalam konteks ini, kalkulasi kepentingan ekonomi bukan selalu menjadi penentu alasan suatu negara menjejaki perjanjian perdagangan bebas bilateral. Peran faktor global juga memiliki pengaruh signifikan bagi Indonesia, dimana perkembangan ekonomi politik negara-negara emerging market di Asia khususnya China dan India menjadi pertimbangan pemerintah menginisiasi kerja sama perdagangan bilateral. Namun demikian, bukan berarti salah satu dari peran faktor global atau domestik yang lebih dominan, tetapi kedua faktor memiliki kontribusi memberikan pengaruh secara kontinyu (interplay) membentuk arah kebijakan perdagangan Indonesia. Pertumbuhan ekonomi yang tetap positif didukung dengan kebijakan perbaikan industrialisasi dalam negeri menjadikan perdagangan bebas bilateral menjadi prioritas dalam kebijakan ekonomi luar negeri. konsekuensi dari kebijakan ini mengindikasikan bahwa perjanjian perdagangan bebas bilateral yang diinisiasi bukan sebuah misi kerja sama ekonomi semata tetapi sebagai respon atas dinamika ekonomi kawasan Asia dan alat diplomasi membangun ‘kesimbangan ekonomi politik global’. Dari hasil analisis dalam studi ini telah membuktikan pertanyaan penelitian dan argumen utama yang dibagi kedalam tiga hal sebagai berikut: Pertama, keseimbangan ekonomi politik domestik dari upaya mereformasi struktur industri dan perdagangan untuk meningkatkan daya saing komoditas dalam negeri dipasar global. Kedua, keseimbangan ekonomi global dari turbulensi siklus krisis yang selalu terus berulang karena penurunan ekonomi negara-negara di kawasan lain ikut memberikan pengaruh langsung dan tidak langsung. Ketiga, keseimbangan politik internasional dengan upaya membangun diplomasi dan keamanan berjalan searah dengan kebijakan ekonomi luar negeri. 108