1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perilaku

advertisement
1 BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Perilaku kekerasan terhadap perempuan marak ditemui di berbagai
pelosok dunia. World Health Organization (2000), mendefinisikan kekerasan
sebagai penggunaan kekuatan fisik dan kekuasaan, ancaman, atau tindakan
terhadap diri sendiri, perorangan maupun sekelompok individu atau
masyarakat yang mengakibatkan memar, trauma, kematian, kerugian
psikologis, kelainan perkembangan, dan perampasan hak. The United
Nations Population Fund (UNFPA, 2011) memperkirakan setiap tahunnya
sekitar lima ribu perempuan dan anak perempuan dikenakan kekerasan
yang berkaitan dalam upaya menjaga kehormatan. Dalam perspektif barat,
sebagian besar bentuk kekerasan yang dilakukan terhadap perempuan telah
dikemas dan dikaburkan sehingga menjadi suatu bentuk tradisi atau
keharusan untuk dilakukan sebagai anggota kelompok.
Menurut data yang dimiliki Women Reclaiming and Redefining
Cultures (WRRC, 2008), jika seorang perempuan di Afghanistan melanggar
tradisi, secara tidak langsung kehormatan keluarga akan ternodai di mata
masyarakat. Untuk mengembalikan kehormatan keluarga, perempuan
tersebut harus mendapatkan sanksi kekerasan bahkan dibunuh untuk
dijadikan sebagai lambang pengorbanan. Kasus serupa juga ditemukan di
negara Iran, kekerasan terhadap perempuan dikaburkan menjadi bentuk
paksaan untuk melakukan pengorbanan diri (self-immolation). Meski
kematian beberapa perempuan dibuat menyerupai bunuh diri, seringkali hal
2 tersebut merupakan tindakan yang telah diatur ketika perempuan dipaksa
oleh anggota keluarga untuk membakar dirinya sendiri (Ert¨urk, 2006).
Bentuk kasus serupa yang diterima kaum perempuan tidak hanya
berhenti sampai disitu. Di Taliban, banyak ditemukan kasus pemerkosaaan
terhadap perempuan dengan dalih atas perintah para panglima perang yang
kenyataannya mayoritas pelaku berhasil lolos dari jeratan hukum. Akibat
tidak adanya keadilan terhadap pelaku pemerkosaan dari pemerintah
setempat, perempuan selaku korban pemerkosaan harus menanggung
resiko untuk dihukum atas tuduhan pelanggaran seksual atau zina (Amnesty
International, 2011).
Berbagai bentuk kekerasan dan ketidaksetaraan kedudukan dimata
sosial sering tidak disadari, perlakuan berbeda dari masyarakat terhadap
laki-laki dan perempuan secara perlahan menjadi suatu kebiasaan yang
dimulai dari lingkungan keluarga (Ert¨urk, 2006). Berbagai alasan klasik
diberikan
sebagai
penguat
perlakuan
orangtua
terhadap
anak
perempuannya, agar anak tersebut kelak dianggap sebagai anak yang baik
dan menarik perhatian laki-laki (Tomavski, 1993).
Dalam perspektif timur, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan
dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor 01 Tahun 2010
mendefinisikan kekerasan,
“Setiap perbuatan secara melawan hukum dengan atau tanpa
menggunakan sarana terhadap fisik dan psikis yang
menimbulkan bahaya bagi nyawa, badan atau menimbulkan
terampasnya kemerdekaan seseorang” (hal. 4).
Salah satu fenomena terhadap perempuan yang dapat menimbulkan
bahaya
bagi
nyawa
dan
menimbulkan
terampasnya
kemerdekaan
seseorang, yaitu adanya praktik female genital mutilation dan khitan
3 perempuan yang mengandung unsur kekerasan. Bentuk khitan perempuan
yang mengandung unsur kekerasan inilah yang akan menjadi topik
pembahasan penelitian ini. Dengan kata lain, dalam penelitian tentang khitan
terhadap perempuan ini, peneliti berangkat dari asumsi bahwa fenomena
khitan perempuan yang mengandung unsur kekerasan merupakan sebuah
produk ketidaksetaraan kedudukan khitan antara laki-laki dan perempuan
yang melahirkan tindakan kekerasan yang dikenakan kepada perempuan.
Female genital mutilation dikenal atau sudah ada sejak 2100
sebelum masehi (World Health Organization, 2004). Argumen ini diperkuat
melalui penemuan dari beberapa ilmuwan anthropologi yang berhasil
menemukan sosok mumi perempuan di Mesir. Mumi perempuan tersebut
diduga merupakan rakyat golongan kaya dan berkuasa di Mesir yang
menjadi salah satu obyek praktik khitan pada zaman itu, yaitu sekitar abad
ke-16. Ahli anthropologi menduga bahwa pada zaman kuno praktik khitan
perempuan dilakukan untuk mencegah masuknya roh jahat melalui vagina
perempuan. Selain ditemukan pada bangsa Mesir, praktik khitan perempuan
juga sudah menjadi tradisi bangsa-bangsa di sekitar lembah Nil, yakni
Sudan, Mesir dan Eithopia (Subakti dan Anggarani, 2007).
World Health Organization (WHO, 2010) mendefinisikan praktik
khitan perempuan atau Female Genital Mutilation (FGM),
“Segala bentuk prosedur yang menyertakan pembuangan
sebagian maupun seluruh bagian luar alat kelamin
perempuan dan/atau pencederaan atas organ genital
perempuan untuk alasan budaya maupun alasan-alasan
non-therapeutic lainnya”
Menurut perolehan data statistik yang dimiliki oleh Organisasi Kesehatan
Dunia (WHO, 2010), diketahui dua puluh delapan negara masih melakukan
praktik khitan perempuan beberapa diantaranya, Afrika, Timur Tengah,
4 Malaysia, Amerika Latin, Amerika Utara, Eropa, dan Indonesia. Sejak 2007,
berbagai kampanye yang dilakukan World Health Organization (WHO),
Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), United United Nations Emergency
Children’s Fund (UNICEF), serta Convention on the Elimination of All Forms
of Discrimination Againts Women (CEDAW), untuk memerangi kekerasan
terhadap perempuan dan bekerjasama dengan berbagai gerakan yang telah
ada dengan cara memfasilitasi kampanye-kampanye serupa, yaitu dengan
menyampaikan presentasi mengenai penelitian yang ditemukan, dan
mendokumentasikan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan di
sebagian besar negara yang mengatasnamakan budaya, agama dan tradisi.
Sebagian besar masyarakat Indonesia mengenal praktik khitan
sebagai bagian dari pengajaran dan penyiaran agama Islam, yaitu ketika
praktik ini dianggap sebagai ritual proses seseorang menjadi Islam.
Sedangkan pada lapisan sosial tertentu, masyarakat melihat khitan sebagai
bentuk pelestarian terhadap tradisi pada masa lampau yang terkait dengan
ritual hidup yang menandai kedewasaan seseorang (Mesraini, 2002). Dalam
Islam, khitan merupakan salah satu ajaran Islam yang diambil dari ajaran
Nabi Ibrahim as. Pada zaman Nabi Ibrahim as, khitan merupakan ibadah
fisik pada laki-laki berupa penghilangan atau pemotongan sebagian tubuh
(Mesraini, 2002). Sedangkan dalam agama Katolik, Protestan, Hindu,
maupun Budha, belum ditemukan adanya ajaran yang menyinggung
pemberlakuan khitan pada perempuan.
Kontras terhadap praktik khitan laki-laki yang merupakan ajaran
Islam yang wajib dilakukan oleh seluruh umat laki-laki. Fenomena khitan
perempuan juga berusaha untuk dikaitkan dengan penyebaran ajaran
agama Islam di seluruh dunia. Komisi Nasional Perempuan (2010)
5 menjelaskan bahwa beberapa terminology ahli fiqh Islam mendefinisikan
khitan sebagai tindakan memotong kulit yang menutup kepala penis
(hasyafah) untuk laki-laki, dan memotong daging bagian ujung klitoris
perempuan. Kontras dari penjelasan Komisi Nasional Perempuan, ilmu fiqh
memiliki istilah tersendiri dalam menyebut khitan perempuan, yakni “khafdh”
atau “khifadh”. “Khifadh” yang berasal dari bahasa Arab merupakan kata asli
untuk khitan perempuan dalam agama Islam. Ibnu Abidin, seorang ahli fiqh
mazhab Hanafi mengatakan, “La Yuqalu fi haqq al Mar’ah Khitan, wa Innama
Yuqalu Khifadh”, yaitu untuk perempuan tidak boleh disebut ‘khitan’
melainkan ‘khifadh’ (K.H. Husein, 2007).
Secara literal, khifadh yaitu mengurangi (to reduce), menyederhanakan
(minimize), mengambil sedikit (akhdz al yasir/take easy) dan pelan (lower),
(Husein Muhammad, 2010). Definisi khitan pada perempuan sangat kontras
dengan apa yang telah menjadi pemahaman sebagian masyarakat selama
ini,
yaitu
berupa
memotong
atau
menggunting
klitoris
perempuan.
Praktiknya, banyak masyarakat Islam yang masih memiliki pemahaman yang
berbeda terkait defenisi sesungguhnya dari kihtan dan khifad.
Apabila ditinjau dari empat sumber hukum yang disepakati oleh
mayoritas ulama, yaitu Al Qur’an, Hadist Nabi, ijma’ ulama atau fiqh, dan
qiyas (analogi). Merujuk pada dari pemahaman empat mazhab yang
masyhur di Indonesia tersebut, ditemukan ada perbedaan pendapat
mengenai khitan pada perempuan. Menurut mazhab Hanafi dan Maliki,
khitan perempuan itu makrumah atau kemuliaan. Sedangkan menurut ulama
mazhab Syafi’i dan Hambali, khitan pada perempuan itu hukumnya wajib
(Muhammad, 2007).
6 Setelah melihat dalil-dalil khitan perempuan, Muhammad (2007)
berpendapat bahwa khitan wajib hukumnya bagi laki-laki dan merupakan
sebuah kemuliaan (makrumah) bagi perempuan. Disamping itu, dalil yang
makrumah itu dapat bergeser menjadi haram atau wajib tergantung dari
manfaat dan kerugiannya (mudharat). Mengacu dari hadits Nabi SAW,
ummu athiyah r.a. menjelaskan peringatan kepada juru khitan perempuan
untuk menghindari kerugian (mudharat). Kerugian (mudharat) yaitu jaminan
untuk tidak berlebihan dengan tidak merusak organ vital, dan membiarkan
sesuatu yang menjadi kenikmatan seksual perempuan ketika berhubungan
intim dengan suaminya. Bila khitan perempuan ternyata bermanfaat bagi
perempuan, maka dalilnya dapat menjadi wajib. Namun, jika justru
menimbulkan kerugian, maka dalil khitan perempuan menjadi haram untuk
dilaksanakan (Muhammad, 2007). Dengan kata lain, relatif ataupun
situasional dimensi aksiologis praktik khitan itu sendiri.
Namun, praktik khitan terhadap perempuan di Indonesia tidak hanya
dilatarbelakangi oleh ajaran agama, namun juga manifestasi dari tradisi
suatu budaya setempat. Di sebagian wilayah Indonesia, khitan dianggap
sebagai ritual yang sakral, setara seperti aqiqah (upacara ritual dalam
pemberian nama anak) pada masyarakat muslim. Bahkan, beberapa daerah
di Indonesia sengaja menyelenggarakan upacara ritual untuk mendukung
khidmatnya proses khitan. Uniknya, dibandingkan khitan pada perempuan,
topik fenomena khitan pada laki-laki cenderung lebih umum untuk
diperbincangkan dan dikenal masyarakat. Sementara fenomena khitan yang
dilakukan pada perempuan cenderung untuk dikaburkan dari sorotan
masyarakat setempat.
7 Pada tahun 2003, Population Council mencantumkan enam provinsi
di Indonesia yang masih memberlakukan praktik khitan pada perempuan
(FGM). Beberapa provinsi tersebut diantaranya Sumatera Barat, Lampung,
Jawa Timur, Banten, Sulawesi Selatan, dan Gorontalo. Di wilayah tersebut,
khitan
perempuan
dianggap
sebagai
suatu
keharusan
yang
mesti
dilaksanakan oleh seluruh perempuan yang menjadi anggota komunitas
tersebut.
Gulardi (1999) menjelaskan bahwa perempuan distereotipkan
sebagai
penggoda
dan
membahayakan
laki-laki,
sehingga
perilaku
seksualnya harus dikontrol dan dikendalikan oleh norma-norma sosial,
dibatasi, bahkan jika perlu dikenakan perbuatan-perbuatan prilaku dengan
cara kekerasan. Ini dapat terlihat pada beberapa etnis di Indonesia yang
masih menjalankan praktik khitan sampai sekarang. Dalam tradisi Jawa,
khitan perempuan disebut dengan tetesan. Tetesan merupakan salah satu
upacara adat dari rangkaian acara ritual yang harus dilakoni oleh perempuan
mulai sejak lahir hingga dewasa (Musyarofah, dkk, 2003).
Bagi sebagian besar masyarakat etnis Banten, kewajiban khitan
perempuan telah ditanamkan sejak dini, minimal saat anak berusia dua
hingga tiga tahun. Jika kewajiban tersebut tidak dijalankan, maka hukumnya
dianggap haram (najis dan kafir), sehingga ibadah shalat tidak sah. Seperti
tradisi khitan perempuan pada masyarakat etnis Banten, masyarakat etnis
Lampung menyebut khitan perempuan dengan “sunat sebai”. Praktik khitan
perempuan dilakukan saat anak perempuan berusia dua hingga tiga tahun.
Masyarakat etnis Lampung meyakini bahwa perempuan yang tidak dikhitan
akan tampak kurang cantik dan kurang bercahaya (Musyarofah, dkk; 2003).
Dari pandangan beberapa etnis yang ada di Indonesia tersebut, dapat
8 disimpulkan bahwa khitan perempuan dilakukan semata-mata sebagai
penjaga perilaku untuk mengurangi dorongan seks perempuan yang
bersangkutan.
Berdasarkan hasil penelitian dan statistik yang dikeluarkan oleh
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO, 2003), khitan perempuan banyak
dilakukan pada perempuan antara anak usia dini hingga usia lima belas
tahun, hanya beberapa terjadi pada perempuan dewasa. Tahun 2006,
Direktur Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan
Republik Indonesia mengeluarkan kebijakan berupa surat edaran bagi
organisasi profesi (IDI, IDAI, IBI, POGI, PPNI, dan PERINASIA) dan instansi
terkait di bawah Departemen Kesehatan, yang berisi larangan medikalisasi
sunat perempuan bagi petugas kesehatan serta memperingatkan dampak
negatif kesehatan dari mutilasi kelamin perempuan (MKP). Larangan ini
dapat dilihat sebagai salah satu bentuk dukungan Indonesia dalam
melindungi hak perempuan terhadap dampak yang akan dihadapi, sebagai
bentuk diskriminasi dan kekerasan.
Kontras terhadap kebijakan Menteri Kesehatan tahun 2006 yang
berisi tentang larangan sunat terhadap perempuan. Tahun 2010 terjadi
kemunduran mengenai kebijakan khitan pada perempuan yang disahkan
dalam
Peraturan
Menteri
Kesehatan
No.1636/Menkes/Per/XI/2010.
Peraturan tersebut disahkan untuk melindungi perempuan dari praktik khitan
ilegal yang membahayakan jiwa maupun sistem reproduksinya. Salah satu
ketentuan dalam peraturan tersebut mengatakan, khitan perempuan hanya
dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan baik dokter, bidan atau perawat yang
memiliki izin kerja dan tenaga kesehatan yang dimaksud berjenis kelamin
perempuan. Selaras dengan aturan tersebut, sunat yang diizinkan hanya
9 berupa goresan kecil pada kulit bagian depan yang menutupi klitoris
(frenulum clitoris).
Selaras dengan kebijakan Direktur Jenderal Bina Kesehatan
Masyarakat Departemen Kesehatan Republik Indonesia, tahun 2011
Amnesty International, Convention on the Elimination of All Forms of
Discrimination Againts Women (CEDAW) dan Convention against Torture
(CAT) sebagai gerakan kampanye dunia yang mempromosikan seluruh hak
asasi manusia mengeluarkan pernyataan yang mengejutkan bahwa
Indonesia harus mencabut peraturan khitan perempuan. Pernyataan
tersebut antara lain yang berisi bahwa pihak berwenang Indonesia harus
selekasnya mencabut peraturan menteri tentang khitan perempuan yang
dikeluarkan oleh Menteri Kesehatan tahun 2010, dan sebaiknya menerapkan
peraturan khusus dengan hukuman yang pantas untuk melarang segala
jenis mutilasi kelamin perempuan (female genital mutilation). Peraturan baru
oleh Menteri Kesehatan (No. 1636/MENKES/PER/XI/2010) tahun 2010
mengenai khitan perempuan, dinilai berlawanan dengan langkah pemerintah
memperkuat kesetaraan jender dan melawan segala bentuk diskriminasi
terhadap perempuan.
Kontroversi inilah yang memicu penulis untuk melakukan penelitian
dengan mengeskplorasi
sikap laki-laki dan
perempuan menyangkut
fenomena praktik khitan perempuan yang dianggap sebagai tindak
diskriminasi dan kekerasan bagi kaum perempuan.
10 1.2 Identifikasi Masalah
Kontroversi terkait praktik khitan perempuan yang terjadi di berbagai
berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia, membuat penulis tertarik untuk
melakukan penelitian dengan merumuskan identifikasi masalah penelitian
sebagai berikut.
1. Apa gambaran sikap laki-laki dan perempuan secara umum perihal
praktik khitan pada perempuan?
2. Bagaimana pandangan laki-laki secara etic dan perempuan emic
mengenai praktik khitan perempuan?
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan sebagai berikut
1.
Mengkaji sikap laki-laki dan perempuan yang ada di jakarta dalam
memandang praktik khitan perempuan yang mengandung unsur
kekerasan, dengan didukung oleh konsekuensi dari sudut pandang
agama, budaya, medis, dan hukum.
2.
Mengangkat kesetaraan khitan laki-laki dan perempuan sebagai dasar
penelitian ini.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat, diantara lain:
1. Manfaat Teoritis
Dapat memberikan masukan kepada khususnya psikologi untuk dapat
melanjutkan penelitian lebih mendalam mengenai fenomena praktik
khitan pada perempuan di masa yang akan datang. Mencermati bahwa
FGM melintasi berbagai disiplin ilmu, maka temuan ini akan dapat
mengarahkan kajian-kajian serupa dengan memasukkan berbagai
perspektif, antara lain agama, hukum, dan budaya.
11 2. Manfaat Praktis
Dapat
memberikan
masukan
kepada
Lembaga
Pemberdayaan
Perempuan dan pemerintah setempat untuk dapat bertindak tegas
mengenai praktik khitan di Indonesia
yang mengandung unsur
kekerasan karena dianggap melanggar hak asasi manusia.
Download