12 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini, akan dibahas mengenai tinjauan pustaka yang digunakan peneliti terkait dengan penelitian yang dilakukan, yang nantinya dapat menjadi landasan teoritis dalam mendukung penelitian ini. Teori-teori yang terdapat dalam bab ini diantaranya teori sikap serta beberapa tinjauan pustaka terkait penelitian. 2.1 Sikap Sikap berasal dari kata Latin “aptus” yang berarti dalam keadaan sehat dan siap melakukan aksi atau tindakan, atau juga dapat dianalogikan dengan keadaan seorang gladiator dalam arena laga yang siap menghadapi singa sebagai lawannya dalam pertarungan (Sarwono & Meinarno, 2009). Dalam Sarwono & Meinarno, G.W. Allport (1935) membuat batasan terkait definisi sikap (attitude) yang merujuk pada kesiapan mental. Menurut Allport, sikap merupakan suatu proses yang berlangsung di dalam diri individu, bersama dengan pengalaman individu, dengan mengarahkan dan menentukan respons terhadap berbagai objek dan situasi. Albarracin, Johnson, dan Zanna (2005) memperjelas definisi sikap sebagai kecenderungan individu untuk berpikir, merasa atau bertindak secara positif atau negatif terhadap objek di lingkungan kita. Tidak hanya berkaitan dengan positif dan negatif, sikap juga dapat diposisikan sebagai hasil evaluasi terhadap objek sikap yang diekspresikan ke dalam proses kognitif, afektif, dan perilaku (Richards, 2011). 13 Dalam Bernstein, dkk, Banaji & Heiphetz (2010) mengelompokkan sikap kedalam tiga komponen penting yaitu: 1. Kognisi (Cognitive) Komponen yang mencakup penerimaan informasi dari lingkungan melalui panca indra, memprosesnya, mengenali yang dipersepsikan, membandingkannya dengan data yang telah dimiliki, mengklasifikasikan, menyimpan dalam ingatan, serta menggunakannya dalam merespons rangsangan. 2. Afeksi (Affective) Komponen yang menjelaskan perasaan atau emosi individu terhadap objek sikap. 1. Perilaku (Behavioral) Komponen yang menjelaskan mengenai kecenderungan tindakan individu terhadap objek sikap yang berasal dari masa lalu. Ketiga komponen sikap Banaji & Heiphetz menjelaskan keterikatan antara komponen satu dengan yang lainnya atas fenomena sosial dengan respon perilaku tertentu. Pertama, komponen kognisi (cognitive) menggambarkan proses berpikir indiividu dalam menerima informasi dari lingkungan melalui alat indra, memprosesnya, mengenali yang dipersepsikan, membandingkannya dengan data yang telah dimiliki, mengklasifikasikannya, dan menyimpannya dalam ingatan serta menggunakannya dalam merespons rangsangan. merespons rangsangan. Kedua, yaitu komponen afeksi (affective), yang menjelaskan mengenai gambaran perasaan dan emosional individu terkait fenomena 14 praktik khitan yang dikenakan terhadap perempuan (Banaji & Heiphetz, 2010). Ketiga, komponen perilaku (behavioral) yang menjelaskan mengenai kecenderungan pola perilaku individu dalam menanggapi fenomena khitan terhadap perempuan (Banaji & Heiphetz, 2010). 2.2 Pandangan Laki-laki dan Perempuan tentang Perempuan Menurut Nasaruddin (2010) terdapat dua perbedaan pemahaman mengenai penggunaan istilah kata antara relasi seksual dan jender. Relasi seksual adalah hubungan antara kaum laki-laki dan perempuan yang didasarkan pada tuntutan dan kategori biologis. Sedangkan, relasi jender merupakan sebuah konsep dan realitas sosial yang berbeda dimana pembagian kerja seksual antara laki-laki dan perempuan tidak didasarkan pada pemahaman yang bersifat normatif serta kategori biologis, melainkan pada kualitas, keahlian, dan peran berdasarkan konvensi-konvensi sosial. Sebagai contoh, seorang suami yang karena satu dan lain hal memilih untuk bekerja dirumah mengasuh anak-anaknya, maka dari segi jender suami tersebut telah mengambil peran sebagai perempuan, meskipun dari segi seksual adalah seorang laki-laki. Berdasarkan pemahaman ini, maka bisa saja seorang yang secara biologis dikategorikan sebagai laki-laki, tetapi secara jender berperan sebagai perempuan ataupun sebaliknya. Dalam pembahasan mengenai jender, kesetaraan dan keadilan jender dikenal adanya dua aliran atau teori yaitu teori nurture dan teori nature (Sadli & Bachtiar, 2010). 15 1. Teori Nurture Menurut teori nurture, perbedaan perempuan dan laki-laki adalah hasil konstruksi sosial budaya sehingga menghasilkan peran dan tugas yang berbeda. Perbedaan itu membuat perempuan selalu tertinggal dan terabaikan peran dan kontribusinya dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Konstruksi sosial menempatkan perempuan dan laki-laki dalam perbedaan kelas. Sadli & Bachtiar, juga menjelaskan bahwa laki-laki selalu diidentikkan dengan kelas borjuis, dan perempuan sebagai kelas proletar. 2. Teori Nature Kontras terhadap teori nurture, teori nature mendefinisikan adanya pembedaan laki-laki dan perempuan adalah kodrat, sehingga harus diterima. Perbedaan biologis ini memberikan indikasi dan implikasi bahwa diantara kedua jenis kelamin tersebut memiliki peran dan tugas yang berbeda. Ada peran dan tugas yang dapat dipertukarkan, tetapi ada yang tidak bisa karena memang bebeda secara kodrat alamiahnya. Dalam proses perkembangannya, disadari bahwa ada beberapa kelemahan konsep nurture yang dirasa tidak menciptakan kedamaian dan keharmonisan dalam kehidupan berkeluarga maupun bermasyarakat, yaitu terjadi ketidakadilan jender, maka beralih ke teori nature. Kelemahan konsep tersebut yang melahirkan pembedaan dan diskriminasi jender yang kemudian menjadi suatu kebiasaan yang mengakar dan mendunia. Dalam Atmowiloto (2006), Budiyanta menjelaskan 16 kedudukan dan posisi kaum perempuan dan laki-laki secara teoritis dapat dilihat dari dua sisi. Pertama, secara biologis perbedaan dan kedudukan sosial antara laki-laki dan perempuan selalu dikaitkan dengan jenis kelamin (sex) yang masing-masing dimiliki laki-laki dan perempuan tersebut. Akibat dari perbedaan secara biologis ini, maka tidak jarang berimplikasi jauh terhadap kedudukan sosial (social role) yang diperankan oleh kedua pihak. Perempuan di negara dan suku manapun mempunyai alat reproduksi yaitu seperti rahim, mempunyai vagina, mengalami menstruasi, dapat hamil, melahirkan serta menyusui. Sedangkan laki-laki kodrat biologisnya adalah memiliki penis, dan memproduksi sperma yang dapat membuahi sel telur perempuan. Hal ini tidak jarang membawa dampak perempuan diperlakukan kurang adil atau diskriminasi dalam menentukan peran dan posisinya dibandingkan kaum laki-laki. Kedua, secara budaya (culture), yaitu perbedaan antara laki-laki dan perempuan dikonstruksikan mempunyai kedudukan bukan disebabkan karena perbedaan jenis kelamin, melainkan merupakan suatu bangunan sosial (social construct) yang mengatur hubungan antara laki-laki dan perempuan yang terbentuk melalui proses sosialisasi yang selanjutnya dapat melahirkan peranan, kedudukan, hak dan tanggung jawab, serta kewajiban antara laki-laki dan perempuan dilihat dari realita sosial dimana mereka berada. Untuk mengakhiri pembedaan tersebut, Badan Deklarasi PBB melakukan segala penghapusan kekerasan terhadap perempuan (1993), dengan mendefinisikan kekerasan terhadap perempuan sebagai: “Semua tindak kekerasan berbasis gender yang mengakibatkan, atau 17 mungkin mengakibatkan, bahaya fisik, seksual atau psikologis atau penderitaan pada perempuan, termasuk ancaman serupa tindakan tindakan tersebut, pemaksaan atau perampasan kebebasan, baik yang terjadi di ruang publik atau privat” (hal.3). 1.3 Khitan Perempuan Khitan berasal dari bahasa arab “Al-khitan” atau Khatana yang berarti memotong. Praktik khitan perempuan merujuk pada istilah female genital mutilation (FGM) yang diperkenalkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 1991. Sedangkan, istilah yang dipakai untuk FGM di indonesia adalah sunat perempuan atau khitan perempuan. Female Genital Mutilation (FGM) didefinisikan sebagai pemotongan alat kelamin perempuan, termasuk semua prosedur menghilangkan sebagian atau seluruh selaput organ kelamin eksternal perempuan atau segala bentuk tindakan melukai organ kelamin perempuan baik dengan alasan adat-istiadat, kepercayaan, atau agama atau alasan non-medis lainya. Walaupun praktik khitan perempuan banyak dilakukan di negara Islam, kemunculan praktik khitan perempuan diketahui tidak secara khusus memiliki kaitan dengan agama karena dilakukan berabad-abad sebelum datangnya masa Islam. Pada akhirnya ketika praktik khitan perempuan seringkali disandingkan dengan agama terutama agama Samawi yaitu Yahudi, Kristen, dan Islam, lebih dikarenakan agama berperan sebagai media penyebaran pelaksanaan praktik khitan perempuan (FGM) pada masa itu (Musyarofah, dkk; 2003) Secara implisit, penggunaan kata mutilasi (mutilation) mengandung penekanan bahwa praktik khitan perempuan yang merupakan bentuk kekerasan terhadap perempuan. Publikasi WHO pada tahun 1997 18 menyebutkan FGM mencakup segala bentuk prosedur yang menyertakan pembuangan sebagian maupun seluruh bagian luar alat kelamin perempuan dan atau pencederaan atas organ genital perempuan untuk alasan budaya maupun alasan-alasan non-therapeutic lainnya. Kendati demikian, terdapat pemaknaan yang berbeda pada kata female genital mutilation dan khitan perempuan dalam keyakinan agama Islam. 2.3.1 Klasifikasi Pengklasifikasian terakhir yang dilakukan oleh WHO (2010) terkait pelaksanaan female genital mutilation yang dinilai sebagai lambang kekerasan pada perempuan memiliki keragaman pada setiap negara. Terdapat empat tipe klasifikasi praktik khitan perempuan: Tipe I – Clitoridectomy 1. Tipe pertama dengan menghilangkan sebagian atau keseluruhan klitoris. Gambar 2.2.1.1. Tipe I – Clitoridectomy Sumber: Situs Amnesty International. 19 2. Tipe II – Excision Tipe kedua pembuangan sebagian maupun keseluruhan klitoris dan labia minora, baik dengan maupun tanpa pengirisan labia majora. Sumber: Situs Amnesty International. Gambar 2.2.1.2. Tipe II – Excision 3. Tipe III – Infibulation Tipe ketiga dengan melakukan penyempitan lubang vagina dengan memotong labia minora dan/atau labia majora, baik dengan maupun tanpa pengirisan klitoris. Gambar 2.2.1.3. Tipe III – Infibulation Sumber: Situs Amnesty International. 20 4. Tipe IV – Unclassified Termasuk semua prosedur selain Tipe I, II, dan III, yang mencakup penusukan, penggoresan, pengirisan, dan pembakaran jaringan kelamin yang membahayakan alat kelamin perempuan dengan tujuan non-medis. 2.3.2 Etiologi WHO (2010) menjelaskan lima alasan terkait dilakukannya pelaksanaan khitan perempuan (female genital mutilation), yaitu : 1. Psikoseksual Diharapkan pemotongan klitoris akan mengurangi libido pada perempuan, mengurangi atau menghentikan masturbasi, menjaga kesucian dan keperawanan sebelum menikah, kesetiaan sebagai istri, dan meningkatkan kepuasan seksual bagi laki-laki. Terdapat juga pendapat sebaliknya yang yakin bahwa sunat perempuan akan meningkatkan libido sehingga akan lebih menyenangkan suami. 2. Sosiologi Melanjutkan tradisi secara turun-temurun, yaitu meyakini dengan dilakukan khitan dapat menghilangkan hambatan atau kesialan yang dibawa oleh perempuan sejak lahir, serta jelasnya masa peralihan pubertas atau wanita dewasa, perekat sosial, dan agar perempuan dipandang lebih terhormat. 3. Kesehatan (hygiene) dan estetik Adanya anggapan bahwa organ genital eksternal perempuan dianggap kotor dan memiliki bentuk yang tidak indah, sehingga khitan 21 dilakukan untuk meningkatkan kebersihan dan keindahan organ genital perempuan. 4. Mitos Adanya anggapan bahwa perempuan yang dikhitan dapat meningkatkan kesuburan dan daya tahan perempuan. 5. Agama Adanya kepercayaan masyarakat perempuan merupakan salah satu terdahulu bahwa khitan perintah agama, agar ibadah yang dilakukan oleh perempuan lebih diterima oleh Tuhan. 2.3.3 Dampak Tahun 2011 United Nation Population Fund (UNFPA) menguraikan dua dampak praktik khitan perempuan yang mengandung unsur kekerasan, yaitu dampak terhadap fisik dan psikis baik jangka pendek maupun jangka panjang. 1. Dampak Fisik Dampak jangka pendek ditandai dengan: • Rasa nyeri berat • Syok Ditandai dengan rasa sakit akibat tidak diberikan anestesi (obat bius). • Pendarahan dan Tetanus • Sepsis Ditandai dengan terjadinya peradangan diseluruh tubuh akibat dari infeksi atau keracunan dalam darah. • Retensi Urine 22 • Ulserasi pada genital, dan luka pada jaringan‐jaringan sekitar organ kelamin perempuan. • Pendarahan massive dan infeksi yang dapat menyebabkan kematian. • HIV dan Hepatitis Akibat penggunaan alat bersama untuk beberapa orang tanpa sterilisasi sesuai prosedur, dapat menjadi sumber infeksi dan media transmisi penularan penyakit. Dampak jangka panjang ditandai dengan: • Kista dan Abses Berupa tumor jinak dan kumpulan nanah. • Keloid Berupa daging tumbuh disekitar genital atau kelamin perempuan. • Kerusakan uretra Ditandai dengan penurunan sensitivitas permanen akibat klitoridektomi. • Dispareunia (rasa nyeri saat berhubungan seks). • Chronic Morbidty Ditandai dengan gejala kronis lainnya yang dapat menyebabkan kematian. 2. Dampak Psikis Dampak jangka pendek ditandai dengan: 23 • Disfungsi seksual • Kauterisasi elektrik klitoris dapat berpengaruh pada psikis yang menghilangka keinginan untuk masturbasi. • Trauma Ditandai dengan kilas balik pemikiran perempuan yang dikhitan yang sangat mengganggu. • Hilangnya rasa percaya diri dilaporkan sebagai efek serius yang dapat terjadi. Dampak jangka panjang ditandai dengan: • Timbul perasaan tidak sempurna atau ansietas (rasa khawatir berlebihan mengenai potensi diri). • Depresi • Iritabillitas Chronic Rasa iritasi berkepanjangan pada daerah vital perempuan. • Frigiditas Keadaan perempuan yang sulit terangsang bahkan tidak dapat menikmati hubungan seksual. Hal‐hal tersebut dapat mengakibatkan konflik dalam pernikahannya. Banyak perempuan yang mengalami trauma dengan pengalaman FGM tersebut, tetapi tidak bisa mengungkapkan ketakutan dan penderitaannya secara terbuka (UNFPA, 2011). 24 2.4 Pandangan Laki-Laki dan Perempuan tentang Khitan Perempuan Maraknya berbagai isu terkait ketidaksetaraan kedudukan antara lakilaki dan perempuan telah melahirkan berbagai perspektif pada ilmu psikologi. Psikologi feminis merupakan salah satu kubu yang meneliti sekaligus mengkaji mengenai kedudukan antara laki-laki dan perempuan di mata sosial. Saparinah Sadli (2002) menjelaskan bahwa feminist perspective atau pendekatan feminis yaitu perspektif yang didasarkan pada suatu kerangka yang mengusulkan bahwa dalam kegiatan penelitian, perempuan perlu diterima dan dihargai sebagai sesama manusia yang memiliki potensi atau kemampuan untuk berkembang. Karakteristik perempuan yang dianggap tidak kompeten, lemah, dan tidak mandiri lebih merupakan produk budaya yang meremehkan. Pandangan semacam ini perlu diimbangi dengan adanya gambaran tentang perempuan yang pintar, mandiri, cerdas, berani, mampu mengambil keputusan, sukses, serta etis. Selaras dengan itu, perspektif feminis berharap dapat menghasilkan tindakan untuk mencapai kebenaran dan mengungkap bahwa perempuan menderita bukan atas kesadarannya, melainkan karena kesadaran yang telah dibentuk masyarakat terhadap perempuan (Hayati, 2006). Berbagai perlakuan yang diterima perempuan menempatkan perempuan sebagai kaum yang tertindas atau subordinasi. Selaras dengan pandangan tersebut, berbagai dukungan diberikan dari berbagai kalangan feminis yang menganggap khitan perempuan sebagai salah satu bentuk kekerasan yang mengindikasikan penerimaan masyarakat akan kehadiran seorang perempuan di mata sosial. Amiruddin (2006) mendefinisikan kekerasan simbolik sebagai kekerasan tak kasat mata yang tidak dirasakan 25 sebagai kekerasan, melainkan sebagai sesuatu yang dianggap alamiah dan wajar. Aliran feminisme menyebut sebagai falosentrisme yaitu ketika laki-laki mendominasi pengetahuan, bahasa, wacana, tindakan, dan menjadi pusat kriteria segala sesuatu. Pada penelitian ini, peneliti membagi pembahasan menjadi dua sudut pandang yaitu, secara etic dan emic dalam menanggapi isu khitan perempuan sebagai produk ketidaksetaraan jender. Dalam Young (2005), menjelaskan istilah etic dan emic pertama kali diintroduksi oleh seorang ahli bahasa Kenneth L. Pike tahun 1957, yang berpendapat bahwa alat yang dikembangkan untuk menggambarkan perilaku linguistik dapat disesuaikan dengan uraian tentang perilaku sosial manusia. Emik dan etik berasal dari istilah linguistik yaitu fonemik dan fonetik, yang berasal dari bahasa Yunani. Pike mengusulkan dikotomi emik-etik dalam penelitian sebagai cara untuk mengurai seputar isu-isu filosofis tentang objektivitas. Etic merupakan gagasan atau perspektif individu yang tidak memiliki pengalaman dari suatu masyarakat atau budaya tertentu. Peneliti etic dapat pula disebut sebagai outsider. Dengan kata lain, menggunakan sudut pandang etic berarti peneliti dapat memposisikan diri sebagai bagian luar dari suatu masyarakat atau budaya tertentu. Sedangkan emic merupakan perspektif individu berupa pengalaman pribadi dan juga dialami masyarakat atau budaya tertentu. Peneliti emic dapat disebut sebagai insider (Young, 2005). Melalui sudut pandang emic berarti peneliti memposisikan diri sebagai pengamat dari suatu masyarakat atau budaya tertentu. Dengan kata lain, emik mengacu pada pandangan partisipan yang dikaji, sedangkan etik mengacu pada pandangan si peneliti. Konsep emik adalah deskripsi dan 26 analisis yang dilakukan dalam konteks skema dan kategori konseptual yang dianggap bermakna bagi partisipan dalam suatu kejadian atau situasi yang dideskripsikan dan dianalisis. Sedangkan, konsep etik merupakan deskripsi dan analisa yang dilakukan berupa konteks skema dan kategori konseptual yang dianggap bermakna oleh pihak luar sebagai komunitas ilmiah yang kritis. Kedua sudut pandang tersebut digunakan dalam penelitian ini agar peneliti dapat memposisikan diri secara fleksibel guna mendapatkan pengalaman dari masing-masing partisipan dan juga mengetahui sikap jender satu sama lain terkait khitan pada perempuan. Beberapa tokoh Islam seperti Muhammad & Kodir (2001) mengatakan bahwa khitan perempuan merupakan suatu perlakuan yang menyakitkan yang harus diterima oleh kaum perempuan dan lingkungan justru memberikan banyak kesempatan serta kepuasan seksual mereka secara optimal. Sebagai etic, pandangan tersebut diberikan oleh kaum laki-laki dalam menanggapi spekulasi khitan yang dikenakan terhadap perempuan. Selaras dengan pernyataan tersebut, dari sudut pandang emic sekaligus kaum perempuan yaitu Murniati (2004), mengatakan bahwa khitan perempuan merupakan produk dari suatu pelabelan kaum perempuan yaitu berupa mahluk yang pasif, lemah, serta emosional. Dengan kodrat seperti itu, perempuan kerap menjadi sasaran kekerasan baik fisik, psikis, maupun seksual. 27 2.5 Kerangka Berfikir Pengasosiasian identitas kaum laki-laki sebagai golongan kelas atas atau superior. Kaum perempuan sebagai golongan subordinasi menjadi korban diskriminasi dan kekerasan. Alih-alih kekerasan dilakukan demi menjaga kehormatan sekaligus membatasi hasrat seksual perempuan. Beberapa praktik khitan yang dikenakan terhadap perempuan mengandung unsur kekerasan dan perampasan hak perempuan. Agama dan budaya menjadi alasan utama masih diberlakukan khitan perempuan hingga saat ini. Perlu adanya deskripsi dengan tinjauan etic dan emic mengenai sikap terhadap praktik khitan perempuan kepada kaum laki-laki sebagai figur yang diprorioritaskan dan kaum perempuan yang dipandang sebagai golongan subordinasi