BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perilaku Konsumen dan Perilaku Konsumtif 2.1.1. Pengertian Perilaku Konsumen Perilaku konsumen adalah perilaku yang ditunjukan dalam mencari, membeli, menggunakan, menilai, dan menentukan produk, jasa, dan gagasan (Schiffman & Kanuk, 2004), sedangkan menurut Mowen (1995) perilaku pengambilan konsumen keputusan merupakan yang sebuah terlibat proses dalam dan unit mendapatkan, mengkonsumsi dan membuang barang, jasa, pengalaman, dan ide-ide. Menurut Loudon & Bitta (1984), perilaku konsumen adalah proses pengambilan keputusan dan aktivitas fisik individu yang terlibat dalam mengevaluasi, memperoleh, menggunakan, atau membuang barang dan jasa. Berdasarkan dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa perilaku konsumen adalah sebuah proses pengambilan keputusan yang ditunjukan berupa perilaku atau aktivitas fisik yang terlibat dalam mencari, membeli atau mendapatkan, menggunakan, menilai, dan membuang produk, jasa, dan gagasan. 2.1.1.1. Proses Pengambilan Keputusan Konsumen Kotler & Armstrong (2004) menjelaskan proses bagaimana seseorang mengambil keputusan dalam pembelian suatu produk. Pengambilan keputusan oleh konsumen untuk melakukan pembelian diawali dengan Pengenalan Kebutuhan, yaitu adanya kesadaran terhadap pemenuhan kebutuhan dan keinginannya. Setelah konsumen menyadari akan kebutuhan dan keinginannya, selanjutnya konsumen melakukan kegiatan Pencarian Informasi, sehubungan dengan produk yang diinginkannya. Pada tahap mengumpulkan Pencarian informasi Informasi mengenai ini, tersedianya konsumen berbagai alternatif yang memenuhi atau akan memenuhi kebutuhan dan keinginannya, semua informasi ini berhubungan dengan produk yang diinginkannya. Dari berbagai informasi yang diperoleh, konsumen menggunakannya untuk mengevaluasi alternatif- alternatif yang ada dalam menentukan keputusan pembeliannya. Dalam tahap Evaluasi Alternatif ini, konsumen juga mempelajari merek-merek yang tersedia dan ciri-cirinya. Berdasarkan alternatif-alternatif yang ada, dan berbagai faktor, akhirnya konsumen memilih produk yang dibelinya, Proses ini disebut dengan Keputusan Pembelian, yang merupakan suatu tahap dimana konsumen benar-benar membeli produk. Setelah tahap Keputusan pembelian, proses Pengambilan Keputusan Konsumen tidak berhenti sampai disitu saja, adanya Tindakan Setelah Pembelian. Kepuasan dan ketidakpuasan konsumen akan mempengaruhi perilaku konsumen berikutnya. Jika konsumen merasa puas maka ia akan menunjukkan kemungkinan yang lebih tinggi untuk membeli produk itu lagi. Sebaliknya apabila konsumen merasa tidak puas, maka konsumen akan memungkinkan melakukan tindakan membuang produk atau mengembalikan produk tersebut atau mereka mungkin berusaha untuk rnengurangi ketidakpuasan dengan mencari informasi yang dapat memperkuat nilai produk tersebut. Berdasarkan uraian penjelasan diatas, dapat disimpulkan proses keputusan pembelian terdapat lima tahap pada setiap pembelian (Kotler & Armstrong, 2004), yaitu Pengenalan Kebutuhan, Pencarian Informasi, Evaluasi Alternatif, Keputusan Pembelian dan Tindakan Setelah Pembelian. 2.1.2. Pengertian Perilaku Konsumtif Menurut Schiffman & Kanuk (2004), konsumen yang melakukan pembelian dipengaruhi motif emosional seperti hal-hal yang bersifat pribadi atau subyektif (misalnya saja status, harga diri, perasaan cinta dan lain sebagainya), tidak mempertimbangkan apakah barang atau jasa yang dibelinya sesuai dengan dirinya, sesuai dengan kebutuhannya, sesuai dengan kemampuannya, dan sesuai dengan standar atau kualitas yang diharapkannya. Hal inilah yang menyebabkan individu dapat berperilaku konsumtif. Pengertian Konsumen perilaku Indonesia konsumtif (dalam Lina menurut & Rosyid, Yayasan 1997) Lembaga merupakan kecenderungan untuk melakukan konsumsi tiada batas, yang lebih mementingkan faktor keinginan daripada kebutuhan. Hal tersebut mengandung arti adanya unsur sifat pemborosan dalam perilaku konsumtif. Lubis (dalam Lina & Rosyid, 1997) mengemukan bahwa perilaku konsumtif melekat pada individu bila membeli dan mengkonsumsi barang dan jasa yang didasari pada keinginan (want) dan bukan pada kebutuhan (need). Menurut Fromm (1980) seseorang dapat dikatakan konsumtif jika ia memiliki barang lebih disebabkan oleh pertimbangan status, yang dimaksud adalah memiliki barang bukan untuk memenuhi kebutuhannya tetapi karena barang tersebut menunjukan status pemiliknya. Fromm (1995) menyatakan bahwa keinginan masyarakat dalam era kehidupan yang modern untuk mengkonsumsi sesuatu tampaknya telah kehilangan hubungan dengan kebutuhan yang sesungguhnya. Hal itu terlihat bahwa perilaku konsumtif masyarakat Indonesia tergolong berlebihan bila dibandingkan dengan bangsa-bangsa di Asia tenggara (Soegito dalam Parma, 2007). Keadaan ini dilihat dari rendahnya tingkat tabungan masyarakat Indonesia dibandingkan negara lain seperti Malaysia, Filipina, dan Singapura (Soegito dalam Parma, 2007). Hal tersebut membuktikan bahwa masyarakat Indonesia lebih senang menggunakan uang untuk memenuhi kebutuhan yang tidak penting dengan berperilaku konsumtif yang menjadi syarat mutlak untuk kelangsungan status dan gaya hidup (Soegito dalam Parma, 2007). Selain itu, masyarakat juga melihat pola perilaku konsumsi seseorang untuk membantu mereka membuat penilaian mengenai identitas sosial orang tersebut (Solomon, 2004). Pernyataan diatas diperjelas oleh Dennis dan Soron (2005) dalam jurnal Death by Consumption bahwa setengah dari orang yang memiliki tingkat konsumsi yang tinggi berdomisili di negara yang sedang berkembang, dimana akan diperkirakan negara yang memiliki tingkat populasi yang tinggi seperti Cina, India dan Indonesia akan memiliki tingkat konsumsi yang sangat tinggi kedepannya. Menurut Fromm (1955), perilaku mengkonsumsi produk secara berlebihan tersebut dapat berakibat Consumption Hungry. Consumption hungry adalah keinginan untuk mengkonsumsi sesuatu secara berlebihan demi memenuhi rasa puas yang dapat membuat seseorang menjadi konsumtif. Sedangkan, rasa puas pada manusia tidak bertahan pada satu titik saja, melainkan akan cenderung meningkat (Fromm, 1955). Sehingga orang tersebut akan memiliki keinginan untuk membelanjakan uangnya dengan mengkonsumsi barang dan jasa secara berlebihan dan terus menerus untuk memenuhi rasa puasnya. Berdasarkan dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa perilaku konsumtif adalah perilaku atau tindakan yang terlihat secara nyata dalam membeli, mendapatkan, menggunakan, dan menghabiskan barang dan jasa, tanpa batas dan lepas kendali, yang dalam proses tersebut lebih mementingkan faktor keinginan daripada kebutuhan. Perilaku konsumtif ditandai dengan kehidupan mewah dan berlebihan. Bila dilihat dari pengertian perilaku konsumen adalah sebuah proses pengambilan keputusan yang ditunjukan berupa perilaku atau aktivitas fisik yang terlibat dalam mencari, membeli, menggunakan, menilai, dan membuang produk, jasa, gagasan, sedangkan pengertian perilaku konsumtif adalah perilaku atau tindakan yang terlihat secara nyata dalam membeli, mendapatkan, menggunakan, dan menghabiskan barang dan jasa, tanpa batas dan lepas kendali, yang dalam proses tersebut lebih mementingkan faktor keinginan daripada kebutuhan. Dari pengertian tersebut dapat dilihat perilaku konsumtif sebenarnya bagian dari perilaku konsumen, karena perilaku konsumtif merupakan bagian dari mengkonsumsi suatu produk dan jasa yang dilakukan oleh konsumen. Pada penelitian ini, perilaku konsumtif yang dimaksud adalah perilaku konsumtif pada produk fashion. Produk adalah apapun yang bisa ditawarkan ke sebuah pasar dan bisa memuaskan sebuah keinginan atau kebutuhan (Kotler, 2004). Dari sudut pandang pelanggan, produk hanya menarik jika produk tersebut menawarkan manfaat yang memenuhi kebutuhan pelanggan (Lawn, 2004). Sedangkan fashion berkaitan dengan sesuatu yang baru (Evans, 1989) dan pengadopsi fashion (mode) sering menganggap hal tersebut sebagai cara baru untuk mengekspresikan diri mereka kepada orang lain. Fashion adalah representasi mengejar individualitas, agar diterima secara sosial (Sproles, 1985). Fashion juga merupakan salah satu cara individu untuk mempertahankan atau malah memperbaiki status sosial mereka (Hemphill & Suk, 2009). Berdasarkan prinsip ini, fashion merupakan hal yang di adopsi oleh kaum sosial elite yang bertujuan untuk membedakan diri mereka dari kelompok sosial menengah kebawah (Hemphill & Suk, 2009). 2.1.2.1. Dimensi - dimensi Perilaku Konsumtif Berdasarkan dari pembahasan Erich Fromm (1995), perilaku konsumtif memiliki beberapa dimensi yaitu Pemenuhan Keinginan, Barang di Luar Jangkauan, Barang Tidak Produktif, dan Status. 1. Pemenuhan Keinginan Rasa puas pada manusia tidak berhenti pada satu titik saja melainkan cenderung meningkat. Oleh karena itu dalam pengkonsumsian suatu hal, manusia selalu ingin lebih, untuk memenuhi rasa puasnya, walaupun sebenarnya tidak ada kebutuhan akan barang tersebut. Sehingga individu tersebut akan memiliki keinginan untuk membelanjakan uangnya dengan mengkonsumsi barang dan jasa secara terus menerus untuk memenuhi rasa puasnya. 2. Barang di Luar Jangkauan Acquistion transitory having and using – throwing away (or if posibble, profitable exchange for a better mode) new acquisition = consitutes the vicious. Jika manusia menjadi konsumtif, tindakan konsumsinya menjadi kompulsif dan tidak rasional. Individu tersebut selalu merasa “belum lengkap” dan mencari-cari kepuasan akhir dengan mendapatkan barang-barang baru. Individu tersebut tidak lagi mencari kebutuhan dirinya dan kegunaan barang itu bagi dirinya. 3. Barang Tidak Produktif Jika pengkonsumsian barang menjadi berlebihan maka kegunaan konsumsi menjadi tidak jelas, sehingga mengakibatkan barang atau produk tersebut menjadi tidak produktif. 4. Status Perilaku individu bisa digolongkan sebagai konsumtif jika ia memiliki barang-barang lebih karena pertimbangan status. Manusia mendapatkan barang-barang untuk memilikinya. Tindakan konsumsi itu sendiri tidak lagi merupakan pengalaman yang berarti, manusiawi dan produktif karena hanya merupakan pengalaman pemuasan angan-angan untuk mencapai suatu status melalui barang atau kegiatan yang bukan merupakan bagian dari kebutuhan dirinya. 2.1.2.2. Faktor-faktor Perilaku Konsumtif Banyak hal yang mendasari seseorang mengkonsumsi atau membeli suatu produk. Faktor-faktor merupakan hal-hal yang mendasari seseorang untuk pada akhirnya mengkonsumsi suatu produk. Perilaku konsumtif, menurut Engel, Blackwell, dan Miniard (1995) dipengaruhi oleh faktor-faktor berikut : 1. Kebudayaan, yaitu sebagai bentuk kreativitas yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya, yang akan membentuk perilaku yang mengakar. Kebudayaan memiliki pengaruh kuat terhadap perilaku membeli, perilaku membeli dapat diramalkan dari nilai-nilai budaya yang dipegang konsumen. 2. Kelas Sosial, yaitu pembagian di dalam masyarakat yang terdiri dari individu-individu yang berbagi nilai, minat, dan perilaku yang sama. Tingkat seseorang dalam berinteraksi sosial akan mempengaruhi bentuk perilakunya. Kelas sosial menunjukkan bentuk-bentuk perilaku konsumsi yang berbeda. 3. Kelompok Referensi, mempengaruhi didalam perilaku kelompok pendapat dan yaitu kelompok seseorang. sosial seleranya. akan yang Interaksi berpengaruh Seseorang sangat seseorang terhadap dipengaruhi oleh kelompok referensi melalui tiga cara (Kotler, 1994) ; Kelompok referensi menghadapkan seseorang pada perilaku dan gaya hidup baru. Mempengaruhi sikap dan gambaran diri seseorang karena secara normal orang ingin ”menyesuaikan diri”. Menciptakan suasana untuk penyesuaian yang dapat mempengaruhi pilihan orang terhadap merek dan produk. 4. Situasi, yaitu berupa suasana hati dan kondisi seseorang akan mempengaruhi bentuk perilaku konsumsinya, termasuk kondisi keuangan atau pendapatan, waktu dan juga tempat membeli. 5. Keluarga, yaitu berbentuk keyakinan dan kebiasaan yang berfungsi langsung menetapkan keputusan perilaku untuk membeli atau menggunakan produk atau jasa tertentu. Keluarga sebagai bagian dari faktor eksternal mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam pembentukan sikap dan perilaku anggotanya. 6. Kepribadian, yaitu bentuk sifat-sifat yang terdapat dalam diri individu yang mempengaruhi keputusan untuk berperilaku. Setiap orang mempunyai kepribadian yang berbeda yang akan mempengaruhi perilaku konsumsi (Kotler, 1994). 7. Konsep diri, yaitu persepsi dan perilaku seseorang untuk membeli dan menggunakan produk/jasa tertentu. Konsep diri seseorang juga berpengaruh terhadap perilaku konsumsi. Seseorang yang memandang dirinya secara negatif cenderung berperilaku konsumtif untuk menaikkan citra dirinya. 8. Motivasi, yaitu yang mendorong seseorang untuk membeli dan menggunakan suatu produk. Menurut Foxall (dalam Pohan, 2001) motivasi pembelian dapat dibagi dalam beberapa kategori besar, yaitu Buying for Needs, Buying for Special Occasions or Situation, Buying for Saving or Investment, dan Buying for Fullfilling Psychological Needs. Perilaku konsumtif dapat dikatakan termasuk dalam Buying for Fullfilling Psychological Need, dimana individu memutuskan untuk melakukan pembelian suatu produk dengan alasan semata-mata karena produk tersebut menggugah emosi invidu. Produk yang dibeli dapat memberikan suatu “nilai” atau “rasa” tertentu terhadap pembelinya. 9. Pengalaman belajar, yaitu tindakan pengamatan dan pelajaran dari stimulus berupa informasi untuk melakukan pembelian dan penggunaan. Sebelum seseorang membeli produk, seseorang akan mendasarkan pengamatannya terhadap produk tersebut. Jika produk tersebut sesuai maka seseorang tidak akan segan membelinya. Pembelian yang dilakukan konsumen juga merupakan suatu rangkaian proses belajar. 10. Gaya hidup, yaitu pola rutinitas kehidupan dan aktivitas seseorang dalam menggunakan waktu dan uang. Gaya hidup juga merupakan pola hidup seseorang yang diekspresikannya dalam aktivitas, minat, dan opini, yang menggambarkan “keseluruhan diri seseorang” yang berinteraksi dengan lingkungannya (Abdurachman, 2004) 2.2. Remaja 2.2.1. Pengertian Remaja Kata remaja berasal dari bahasa latin yaitu adolescere yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa (Hurlock, 2004). Definisi remaja menurut Hurlock (2004), masa remaja merupakan suatu periode transisi dimana seseorang berubah secara fisik dan psikologis dari seorang anak menjadi dewasa. Piaget (dalam Hurlock, 2004) mempunyai arti yang lebih luas, dimana remaja mencakup kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik. Menurut Sarwono (2006), untuk profil remaja Indonesia sebenarnya tidak ada yang seragam dan berlaku secara nasional karena Indonesia terdiri dari berbagai macam suku, adat, dan tingkatan sosialekonomi maupun pendidikan. Menurut Papalia, Olds & Feldman (2001), mengenai batasan rentang usia pada remaja, transisi perkembangan pada remaja berlangsung antara masa kanak-kanak dan masa dewasa, yang pada umumnya dimulai pada usia 12 atau 13 tahun dan berakhir pada usia akhir belasan tahun atau awal dua puluhan tahun. Hal itu diperjelas oleh Monks (2000), dimana remaja merupakan individu yang berusia antara 12 hingga 21 tahun yang sedang mengalami masa peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa, dengan pembagian 12 hingga 15 tahun pada masa remaja awal, 15 hingga 18 tahun untuk masa remaja pertengahan dan 18 hingga 21 tahun untuk masa remaja akhir. Masa remaja awal dan akhir dibedakan oleh Hurlock karena pada masa remaja akhir individu telah mencapai transisi perkembangan yang lebih mendekati masa dewasa Hurlock (2004). Pada penelitian ini pemfokusan kepada remaja awal dan akhir terkait dengan sampel penelitian ini, yaitu anak SMA dengan kisaran usia berumur 13-18 tahun. Namun ketersediaan sampel pada SMA IIBS hanya pada remaja berumur 14-17 tahun yang duduk di SMA kelas 1 dan 2. 2.2.2. Aspek-aspek Perkembangan Pada Masa Remaja Yang dimaksud dengan perkembangan adalah perubahan yang terjadi pada rentang kehidupan (Papalia & Olds, 2001). Transisi perkembangan pada masa remaja berarti sebagian perkembangan masa kanak-kanak masih dialami namun sebagian kematangan masa dewasa sudah dicapai (Hurlock, 1990). Perkembangan dalam kehidupan manusia terjadi pada aspekaspek yang berbeda. Ada tiga aspek perkembangan yang dikemukakan Papalia dan Olds (2001), yaitu: (1) perkembangan fisik, (2) perkembangan kognitif, dan (3) perkembangan kepribadian dan sosial. 1. Perkembangan fisik Yang dimaksud dengan perkembangan fisik adalah perubahan-perubahan dalam hakikat fisik individu. Perkembangan fisik pada remaja mencakup perubahan-perubahan pada tubuh, otak, kapasitas sensoris dan ketrampilan motorik. Perubahan pada tubuh ditandai dengan pertambahan tinggi dan berat tubuh, pertumbuhan tulang dan otot, dan kematangan organ seksual dan fungsi reproduksi. 2. Perkembangan Kognitif Perkembangan kognitif meliputi perubahan dalam pikiran, intelegensi, dan bahasa individu. Piaget (dalam Papalia & Olds, 2001) mengemukakan bahwa pada masa remaja terjadi kematangan kognitif, yaitu interaksi dari struktur otak yang telah sempurna dan lingkungan sosial yang semakin luas untuk eksperimentasi memungkinkan remaja untuk berpikir astrak. Remaja sudah mampu membedakan antara hal-hal atau ide-ide yang lebih penting dibanding ide lainnya. Remaja sudah mampu memikirkan suatu situasi yang masih berupa rencana atau suatu bayangan (Santrock, 2001). Pada tahap ini, remaja juga sudah mulai mampu berspekulasi tentang sesuatu, dimana mereka sudah mulai membayangkan sesuatu yang diinginkan di masa depan dan membuat suatu perencanaan untuk mencapai suatu tujuan di masa depan (Santrock, 2001). Remaja juga sudah dapat memahami bahwa tindakan yang dilakukan pada saat ini dapat memiliki efek pada masa yang akan datang. Dengan demikian, seorang remaja mampu memperkirakan konsekuensi dari tindakannya. 3. Perkembangan kepribadian dan sosial Tahap perkembangan kepribadian dan sosial meliputi perubahan dalam hubungan individu dengan manusia lain, dalam emosi, dalam kepribadian, dan dalam peran dari konteks sosial dalam perkembangan. Perkembangan kepribadian adalah perubahan cara individu berhubungan dengan dunia dan menyatakan emosi secara unik, sedangkan perkembangan sosial berarti perubahan dalam berhubungan dengan orang lain. Perkembangan sosial pada masa remaja lebih melibatkan kelompok teman sebaya dibanding orang tua (Conger dalam Papalia & Olds, 2001). Dengan demikian, pada masa remaja peran kelompok teman sebaya cukup besar. Pada diri remaja, pengaruh lingkungan dalam menentukan perilaku diakui cukup kuat. Pada kehidupan sosial, remaja tidak lagi berhubungan hanya dengan individu dari jenis kelamin yang sama, tetapi juga dengan lawan jenis, dan dengan orang dewasa. 2.2.3. Perilaku Konsumtif Remaja Dalam kehidupan nyata, fashion sangat diminati oleh banyak pihak, salah satunya remaja. Sebagian dari mereka menganggap fashion hal yang harus sangat diperhatikan (Hemphill & Suk, 2009). Fashion menjadi alasan terbesar bagi individu, termasuk golongan remaja dalam menghabiskan uang mereka, konsumsi dalam bidang fashion (Hemphill & Suk, 2009). Hal itu dapat terjadi, karena menurut Tambunan (2001) kelompok usia remaja biasanya memiliki karakteristik khas seperti mudah terbujuk iklan dan rayuan penjual, suka ikut-ikutan teman, mudah tertarik pada mode atau fashion, tidak realistis, tidak hemat atau cenderung boros dalam menggunakan uangnya, dan impulsif. Perilaku konsumtif pada umumnya terjadi pada remaja, yang dalam perkembangannya mereka akan menjadi orang dewasa dengan gaya hidup konsumtif (Tambunan, 2001). Tambunan (2001) menjelaskan, bagi produsen kelompok usia remaja adalah salah satu pasar yang potensial. Misalnya bagi para pelaku industri mode, kelompok usia remaja adalah salah satu pasar yang potensial untuk produk-produk seperti pakaian sepatu, dan bermacam-macam aksesoris (Stanton dalam Brahim, 2009). Alasannya karena pola konsumsi seseorang terbentuk pada usia remaja (Loundon & Bitta, 1993). Meskipun sebagian besar dari remaja tidak memiliki penghasilan tetap karena belum memiliki pekerjaan dan masih bersekolah, namun para pemasar tahu bahwa sebenarnya pendapatan mereka tidak terbatas, dalam arti bisa meminta uang kapan saja pada orang tua mereka (Loudon & Bitta, 1993). Konsumen remaja, yang mempunyai keinginan membeli yang tinggi, karena pada umumnya remaja mempunyai ciri khas dalam berpakaian, bergaya rambut, berdandan menggunakan kosmetik, dan lain-lainnya. Remaja ingin selalu berpenampilan yang dapat menarik perhatian orang lain terutama teman sebaya, sehingga remaja kebanyakan membelanjakan uangnya untuk keperluan tersebut (Monks, Knoers & Haditono, 1991). Lucher (dalam Marpaung, 2005) berpendapat bahwa remaja sering berkorban demi segi kepuasaan terutama dalam mengikuti mode, karena apa yang dianggap pantas oleh remaja adalah apa yang telah menjadi mode saat ini, sekalipun harus mengeluarkan uang secara berlebih untuk memenuhi keperluannya. Bagi berkebanyakan remaja bergaya hidup konsumtif merupakan cara paling cepat untuk dapat ikut masuk dalam kehidupan kelompok sosial yang diinginkan (Ashadi dalam Brahim, 2009). Hal itulah yang menyebabkan remaja kemudian berperilaku konsumtif dengan berusaha untuk mengikuti fashion atau mode. Misalnya saja perilaku konsumtif pada remaja putri, remaja putri cenderung menyesuaikan warna pakaian dengan warna sepatu, tas, dan aksesoris lainnya yang dipakainya (Park & Burns dalam Brahim, 2009). Bila mereka memakai barang-barang tersebut dengan warna yang tidak sesuai akan mengakibatkan mereka menjadi kurang percaya diri, yang pada akhirnya mereka menjadi konsumtif hanya karena kepentingan kesesuaian warna. Masa remaja adalah masa dimana seseorang mencari informasiinformasi dari luar untuk membentuk identitas diri mereka (Ascbach et.al dalam Brahim, 2009). Remaja mencoba untuk mencari jati diri mereka yang sesungguhnya, oleh karena itu mereka cenderung tertarik untuk mencoba hal-hal baru yang menarik bagi mereka. Salah satunya adalah, mereka mengikuti trend fashion. Sedangkan fashion berkaitan dengan sesuatu yang baru (Evans,1989). Akibat dari perilaku-perilaku yang selalu mengikuti trend fashion, dan tuntutan sosial cenderung menimbulkan pola konsumsi yang berlebihan. Sedangkan perkembangan Fashion selalu berubah, suatu gaya yang sudah dibilang fashionable, akan digantikan lagi oleh gaya lain yang lebih fashionable, yang kemudian akan menjadi trend, dan akan selalu seperti itu, perkembangan fashion akan selalu berjalan (Hemphill & Suk, 2009). Hal tersebut akan terus menuntut rasa tidak puas dengan apa yang dimilikinya sehingga muncul lah perilaku konsumtif. Perilaku konsumtif muncul karena para remaja cenderung membeli produk fashion yang mereka inginkan bukan yang mereka butuhkan secara berlebihan dan tidak wajar (Fromm, 1995). Perilaku konsumtif bersifat emosional karena semata-mata hanya bertujuan untuk mencapai kepuasan diri. 2.3. Boarding School 2.3.1. Pengertian Boarding School Pengertian dari boarding school adalah sekolah khusus yang pelajarnya akan diberikan rumah tinggal dan juga makanan sebagaimana diberikan pelajaran tentunya. Boarding school tidak lain adalah sistem sekolah dengan asrama, peserta didik tinggal dalam lingkungan sekolah dalam waktu tertentu (Majalah Keluarga Muzzaki, 2012). Sosiologi Amerika Cokson dan Hognes (dalam Steven, 1980) menyatakan dua elemen penting dari boarding school, yakni: 1. Sekolah secara luas teroganisasi dihuni oleh pelajar dan berbagai pihak yang bertugas untuk bekerja sama dalam usaha mencapai prestasi, kebutuhan fisik dan social well being dari mereka sendiri. 2. Baik bangunan dan suasana dari institusi ini memiliki kualitas estetika tersendiri yang menunjukan agama, budaya, dan nilai etis dari institusi tersebut. Lebih lanjut lagi Lambert (dalam White, 2004) menyatakan boarding school mempunyai empat point, yakni: 1. Tempat berpindahnya baik fisik, mental dan keahlian sosial. 2. Tempat pelajar diajari tentang nilai yang pantas dalam bertingkah laku, kepercayaan, rasa dan ekspresi, agama, moral dan kesadaran akan budaya dan ketertarikan intelektualitas. 3. Tempat reputasi dan kehormatan sekolah tersebut sangatlah diperhatikan. 4. Boarding school mengitergrasikan pribadi-pribadi kedalam kelompok sosial tertentu sesuai dengan tujuan kelompok sosial. Menurut Tizard, Sinclair dan Clarke, Boarding school juga disebut sebagai sekolah yang lengkap dengan kehidupan pelajarnya di dalamnya, terdiri dari beberapa unit dan mempunyai aktivitas dan kurikulum berbeda yang meliputi hampir keseluruhan maupun bagian dari kehidupan pelajar didalamnya (dalam Kahane, 1988). Selain itu, dalam kegiatan ekstrakulikuler, pihak berwenang dari sekolah juga memaksakan aturan untuk menciptakan keseragaman (conformity). Hal tersebut juga terlihat dalam aktivitas keseharian lainnya seperti olahraga, musik, kesenian dan kegiatan di luar lainnya (excursion) yang cenderung membangkitkan inovasi dan kebebasan (Kahane, 1988). Perbedaan boarding school dengan sekolah umum lainnya adalah kelas di boarding school cenderung sedikit dengan jumlah siswa-siswi yang tidak banyak seperti kelas sekolah umum. Hal ini dilakukan agar para guru bisa melakukan pendekatan ke para siswa-siswi (GaztambideFernández, Rubén, 2009). Di boarding school bisa mengeluarkan siswasiswi dari kelas apabila siswa tersebut tidak terlihat minat dalam berpartisipasi dikelas untuk belajar (Gaztambide-Fernández, Rubén, 2009). Di boarding school kegiatan seperti olahraga atau kesenian tidak temasuk dalam kegiatan ektrakulikuler, mereka mencakup semua aspek belajar (Gaztambide-Fernández, Rubén, 2009). 2.3.2. Jenis-jenis Boarding School Terdapat beberapa jenis boarding school, namun tidak semua jenis boarding school terdapat di Indonesia. Berikut adalah jenis-jenis boarding school menurut Hays (1994) : 1. Sekolah dengan pelajar berjenis kelamin sama (contohnya ST. Margaret’s School for Girls, Victoria). 2. Sekolah militer, di Indonesia contohnya SMU Taruna Nusantara, Magelang. 3. Sekolah Pra-Profesional seni, melatih pelajar menjadi seniman di berbagai bidang seperti musik, akting, teater, ballet, dan penulis. Namun, di Indonesia belum ditemukan sekolah dengan jenis ini. 4. Sekolah berdasarkan agama, di Indonesia sekolah seperti ini merupakan jenis boarding school yang paling banyak. 5. Sekolah berkebutuhan khusus seperti para remaja bermasalah, autis. 6. Sekolah junior yang menyediakan Boarding school di bawah tahap SMU. 2.3.3. Siswa-siswi Boarding School Perasaan diabaikan, kurang diperhatikan, atau tidak hadirnya figur orang tua sebagai identifikasi bagi siswa-siswi yang tinggal di asrama. Hal tersebut dapat dikurangi dengan kesempatan untuk memperoleh bimbingan, pengarahan, informasi serta pengalaman-pengalaman yang bermanfaat terutama dari pembina asrama (Surya dalam Saomah, 2006). Namun, sebenarnya menurut TABS (The Association of Boarding Schools) 86% siswa-siswi boarding school merasa sangat puas atau cukup puas dengan kehidupan keluarga mereka. Banyak siswa-siswi yang bersekolah di boarding school karena mereka memiliki kehidupan rumah yang sehat, yang mendorong mereka untuk mengejar impian mereka melalui pendidikan yang lebih baik dan lebih tinggi. Penjelasan mengenai boarding school pada “What is a Boarding School?” (Kennedy, 2012), bahwa siswa-siswi benar-benar tinggal di boarding school, saat di asrama mereka diawasi oleh anggota staf atau pembina asrama selama 24 jam, pelajar boarding school menghabiskan hampir seluruh kegiatan kesehariannya dalam lingkungan sekolah ataupun asrama. Kehidupan di asrama menuntut siswa-siswi untuk mentaati dan menegakkan aturan-aturan yang berlaku serta tata tertib yang tertulis di asrama. Pembina asrama memberikan pembinaan (misalnya pada kegiatan-kegiatan belajar dan mengaji), bimbingan (misalnya dengan pemberian orientasi dan informasi seputar kehidupan asrama dan sekolah) termasuk di dalamnya melatih siswa-siswi melakukan segala sesuatunya sendiri (misalnya membereskan tempat tidur sendiri dan lain-lain) (Saomah, 2006). Meskipun pada awalnya bentuk kepatuhan itu karena dikontrol oleh pembina asrama namun seiring dengan lamanya waktu tinggal di asrama serta kematangan remaja itu sendiri, proses kepatuhan itu berkembang menjadi sesuatu yang diputuskan dan dikontrol oleh diri sendiri (Saomah, 2006). Sebagai aturan, siswa-siswi boarding school mengikuti hari yang sangat terstruktur di mana kelas, makan, belajar, kegiatan dan waktu luang yang telah ditentukan untuk mereka. “Home Stay” adalah komponen yang unik dari pengalaman boarding school. Menurut “What is a Boarding School?” (Kennedy, 2012) berada jauh dari rumah dan belajar untuk mengatasi memberikan rasa percaya diri anak dan kemerdekaan. Boarding school dapat membentuk karakter anak dengan peraturan yang ketat siswa-siswi diajarkan mandiri, bisa mengurus dirinya sendiri. Meskipun boarding school terisolasi dari dunia luar, anak diajarkan untuk bertahan (Lucher dalam Marpaung, 2005). Di lingkungan sekolah ini mereka dipacu untuk menguasai ilmu dan teknologi secara intensif sedangkan selama di lingkungan asrama mereka ditempa untuk menerapkan ajaran agama atau nilai-nilai khusus serta mengekspresikan rasa seni dan keterampilan hidup pada hari libur (Majalah Keluarga Muzzaki, 2012). Hari-hari mereka adalah hari-hari berinteraksi dengan teman sebaya dan para guru. Rutinitas kegiatan tersebut berlangsung dari pagi hingga malam sampai bertemu pagi lagi. Hampir setiap hari kegiatan mereka selalu dilingkupi oleh dinamika kehidupan yang serba sama karena sesuai dengan jadwal kegiatan yang diberikan oleh pihak lembaga pendidikan tersebut (Majalah Keluarga Muzzaki, 2012). Berdasarkan penelitian yang TABS lakukan mengenai kehidupan anak-anak yang pernah bersekolah di boarding school, 59% siswa-siswi boarding school menggambarkan sekolah mereka memiliki siswa-siswi dari berbagai ras dan kelompok etnis. Beragamnya latar belakang etnik warga asrama juga menuntut siswa-siswi untuk mampu bersikap toleran terhadap sesama temannya (Saomah, 2006). Mereka berasal dari keluarga dan bahkan daerah yang berbeda sehingga hampir dapat dipastikan pola perilaku mereka juga beraneka ragam (Saomah, 2006). Dikemukakan oleh Mohammad Surya (dalam Saomah, 2006) bahwa siswa-siswi yang tinggal di asrama dituntut untuk mampu melakukan penyesuaian diri dengan lingkungannya yang baru, dengan teman yang baru, kebiasaan hidup, pengelolaan diri, serta tuntutan sosial yang semuanya baru. Siswa-siswi berasal dari berbagai daerah yang mempunyai latar belakang sosial, budaya, tingkat kecerdasan, kemampuan akademik yang sangat beragam. Kondisi ini sangat kondusif untuk membangun wawasan nasional dan siswa-siswi terbiasa berinteraksi dengan teman-temannya yang berbeda sehingga sangat baik bagi anak untuk melatih wisdom anak dan menghargai pluralitas. Munculnya beberapa mitos mengenai boarding school, yang salah satunya bahwa siswa-siswi yang pernah bersekolah di boarding school merupakan anak-anak yang bermasalah, namun kenyataannya berdasarkan penelitian yang TABS lakukan 60% responden menentukan masuk sekolah boarding school karena keinginannya untuk memiliki kesempatan lebih baik pendidikan. Selain itu, 95% siswa-siswi boarding school mengatakan bahwa kehidupan sosial mereka tidak berhubungan dengan obat dan alkohol, dibandingkan dengan 82% dari siswa-siswi sekolah umum. Boarding school menyediakan sarana dan prasarana untuk memenuhi kebutuhan siswa. Lengkapnya fasilitas yang ada untuk menyalurkan bakat dan hobi siswa-siswi. Siswa-siswi di boarding school memiliki kesempatan mengambil untuk mengeksplorasi berbagai kepentingan, bidang yang diminati, dan menunjukkan bakat mereka (Gaztambide-Fernández, Rubén, 2009). Ini adalah salah satu yang dijanjikan oleh boarding school untuk menarik perhatian para siswa-siswi untuk masuk ke sekolah ini. 2.4. Kerangka Berfikir Manusia sering kali dihadapkan pada persoalan untuk memenuhi kebutuhannya dan mempertahan kehidupannya (Fromm, 1955). Oleh karena itu, manusia harus melengkapi kebutuhannya tersebut. Namun seiring berkembangnya jaman, manusia tidak lagi berpusat hanya pada pemenuhan kebutuhannya, tetapi juga untuk memenuhi keinginan-keinginannya (Fromm, 1955). Fromm (1995) menyatakan bahwa keinginan masyarakat untuk mengkonsumsi sesuatu produk telah tidak mempedulikan kebutuhan yang sesungguhnya. Masyarakat modern memiliki keinginan untuk membelanjakan uangnya dengan mengkonsumsi barang dan jasa yang modern agar tidak ketinggalan jaman. Tuntutan dan tindakan seperti inilah yang merupakan perillaku konsumtif yang dilakukan seseorang terhadap suatu objek yang ada di sekelilingnya (Engel, dkk, 1994). Hal tersebut secara tidak langsung mempengaruhi peningkatan daya beli masyarakat. Menurut Tambunan (2001), pada umumnya perilaku konsumtif terjadi pada remaja, yang dalam perkembangannya mereka akan menjadi orang dewasa dengan gaya hidup konsumtif, karena pola konsumsi seseorang terbentuk pada usia remaja (Loundon & Bitta, 1993). Remaja merupakan salah satu contoh yang paling mudah terpengaruh gaya hidup konsumtif (Loudon & Bitta, 1993). Meskipun sebagian besar dari remaja tidak memiliki penghasilan tetap karena belum memiliki pekerjaan dan masih bersekolah, namun para pemasar tahu bahwa sebenarnya pendapatan mereka tidak terbatas, dalam arti bisa meminta uang kapan saja pada orang tua mereka (Loudon & Bitta, 1994). Selain itu remaja merupakan tipe konsumen yang mudah terpengaruh oleh rayuan penjual, mudah terbujuk iklan, tidak berfikir hemat, kurang realistis, dan impulsif (Johnstone dalam Brahim, 2009). Pada perkembangan sosial masa remaja, mereka lebih melibatkan kelompok teman sebaya dibanding orang tua (Conger, dalam Papalia & Olds, 2001). Dengan demikian pada masa remaja, pengaruh lingkungan dalam menentukan perilaku diakui cukup kuat. Salah satu lingkungan sosial remaja, adalah lingkungan sekolah. Pada penelitian sebelumnya mengenai perilaku konsumtif pada remaja, sampel berasal dari sekolah-sekolah umum, dari hasil penelitian-penelitian sebelumnya, dapat diambil kesimpulan dimana adanya kecenderungan perilaku konsumtif yang cukup besar. Namun, pada sekolah berjenis boarding school, pelajar menghabiskan hampir seluruh kegiatan kesehariannya dalam lingkungan sekolah maupun asrama (Honris, dalam Gaztambide-Fernández dan Rubén, 2009). Meskipun sekolah berasrama yang identik dengan kondisi yang terisolasi dari dunia luar dan memiliki akses kedunia luar yang lebih sedikit, namun tidak menjamin bahwa siswa-siswi akan menjadi individu yang tidak konsumtif. Pemilihan remaja SMA boarding school dikarenakan peneliti memiliki asumsi, bahwa siswa-siswi asrama memiliki kemungkinan pandangan yang berbeda karena beberapa hal, seperti jauh dari orang tua, memiliki akses ke dunia luar yang lebih sedikit, dan lain sebagainya. Salah satu sekolah yang menyediakan model pendidikan boarding school adalah SMA International Islamic Boarding School Republic of Indonesia atau dikenal dengan SMA IIBS. Pemilihan SMA IIBS berdasarkan atas SMA boarding school yang menyelenggarakan pendidikan berdasarkan kurikulum nasional, disamping pendidikan lainnya sesuai dengan karakteristik yang akan SMA IIBS ingin capai, serta memiliki standar internasional. SMA IIBS juga memiliki siswa-siswi dengan keberagaman suku dan berasal dari berbagai daerah (Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Sumatra bahkan Jayapura), dan berada di kelas ekonomi menengah ke atas, sehingga di asumsikan memiliki kecenderungan berperilaku konsumtif.