BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perilaku Konsumtif 2.1.1 Definisi Perilaku Konsumtif Menurut Fromm (1995) perilaku konsumtif merupakan perilaku yang ditandai oleh adanya kehidupan berlebihan dan menggunakan segala hal yang dianggap mahal untuk memberikan kepuasan dan kenyamanan fisik yang besar serta adanya dukungan pola hidup manusia yang didorong oleh rasa ingin hanya untuk memberi kesenangan. Lina (2008) mengatakan bahwa perilaku konsumtif merupakan suatu perilaku yang tidak lagi didasarkan pada perlakuan rasional, melainkan karena adanya keinginan yang tidak rasional lagi. Aryani (dalam Rinata, 2010) mengatakan bahwa perilaku konsumtif dapat diartikan sebagai suatu kecenderungan manusia untuk melakukan konsumsi tiada batas, dimana manusia lebih mementingkan keinginan daripada kebutuhan. Suprana (Agustina, 2002) mengatakan bahwa perilaku konsumtif adalah sebagai kecenderungan seseorang yang berperilaku secara berlebihan dalam membeli sesuatu atau membeli secara tidak terencana. Tambunan (2001) perilaku konsumtif adalah memanfaatkan nilai uang lebih besar dari produksinya dan melakukan pembelian barang ataupun jasa yang bukan merupakan kebutuhan pokok. Sumartono (2002) berpendapat bahwa perilaku konsumtif dapat diartikan sebagai suatu tindakan memakai produk yang tidak tuntas artinya, belum habis sebuah produk yang dipakai seseorang telah menggunakan produk jenis yang sama dari merek lainnya atau dapat disebutkan, membeli barang karena adanya hadiah yang ditawarkan atau membeli suatu produk karena banyak orang memakai barang tersebut Menurut beberapa definisi diatas perilaku kosumtif merupakan tindakan seseorang yang melakukan konsumsi tiada batas pada suatu produk suatu produk dan membeli produk tersebut bukan karena butuh tapi hanya karena ingin. Peneliti menggunakan teori konsumtif dari Fromm (1995) dikarenakan teori konsumtif 7 8 dari Fromm merupakan landasan dari teori lainnya dan alat ukur yang digunakan oleh peneliti merupakan alat ukur dari Fromm. 2.1.2 Indikator Perilaku Konsumtif Fromm (1995) mengemukakan 4 indikator perilaku konsumtif berdasarkan ciri perilaku konsumtif, yaitu : 1. Pemenuhan keinginan (wants) Rasa puas pada manusia tidak pernah habis dan semakin meningkat oleh karena itu manusia selalu ingin lebih untuk memenuhi rasa puasnya, walaupun sebenarnya tidak ada kebutuhan hal tersebut. 2. Barang diluar jangkauan Saat individu menjadi konsumtif maka semakin lama tindakan mengkonsumsi menjadi menjadi kompulsif dan tidak rasional. Individu akan selalu belum puas dan akan terus mencari kepuasan dengan terus membeli barang-barang baru. Individu tidak lagi melihat pada kebutuhan dirinya dan kegunaan barang itu bagi dirinya. 3. Barang tidak produktif Penggunaan barang berlebihan membuat konsumsi menjadi tidak jelas dan barang menjadi tidak produktif. Individu selalu tidak puas dengan apa yang dimilikinya sehingga dia selalu membeli barang walaupun sebenarnya barang tersebut belum tentu penting untuknya. 4. Status Perilaku individu bisa digolongkan sebagai konsumtif jika individu memiliki barang-barang lebih karena pertimbangan status. Tindakan konsumsi itu sendiri tidak lagi merupakan pengalaman yang berarti, manusiawi dan produktif karena hanya merupakan pengalaman “pemuasan angan-angan” untuk mencapai sesuatu (status) melalui barang atau kegiatan yang bukan merupakan bagian dari kebutuhan dirinya. 9 2.1.3 Aspek-aspek yang mempengaruhi perilaku konsumtif Tambunan (2001) berpendapat ada lima aspek yang mempengaruhi perilaku konsumtif, yaitu : 1. Adanya suatu keinginan mengkonsumsi secara berlebihan. Dimana seorang individu merasa bahwa ia tidak pernah puas, sehingga ia ingin terus menerus membeli barang-barang yang ia mau dengan berlebihan. 2. Pemborosan Perilaku konsumtif yang memanfaatkan nilai uang lebih besar dari nilai produknya untuk barang dan jasa yang bukan menjadi kebutuhan pokok. Perilaku ini hanya berdasarkan pada keinginan untuk mengkonsumsi barangbarang yang sebenarnya kurang diperlukan secara berlebihan untuk mencapai kepuasan yang maksimal. 3. Inefisiensi Biaya Pola konsumsi seseorang terbentuk pada usia remaja yang biasanya mudah terbujuk rayuan iklan, suka ikut-ikutan teman, tidak realistis, dan cenderung boros dalam menggunakan uangnya sehingga menimbulkan inefisiensi biaya. 4. Pengenalan kebutuhan Pengambilan keputusan membeli barang dengan mempertimbangkan banyak hal seperti faktor harga, faktor kualitas, faktor manfaat, dan faktor merk. 5. Emosional Motif pembelian barang berkaitan dengan emosi seseorang. Biasanya individu membeli barang hanya karena pertimbangan kesenangan indera atau bisa juga karena ikut-ikutan. 2.2 Harga Diri 2.2.1 Harga Diri Harga Diri menurut Tafarodi dan Swann (2001) adalah dua aspek yang saling terkait dimana individu dapat merasa nyaman dengan dirinya (self-liking) dan menghargai kompetensi dirinya (self competence). Menurut Baron dan Byrne (dalam Geldard, 2010) harga diri merupakan penilaian individu terhadap diri sendiri dan dipengaruhi oleh karakteristik yang dimiliki oleh individu lain untuk 10 dijadikan pembanding. Hogg & Vaughan (2008) mendefinisikan harga diri sebagai evaluasi dan perasaan tentang diri pribadi. Rosenberg (dalam Mruk, 2006) mendefinisikan harga diri sebagai perasaan seseorang atas nilai dirinya sebagai individu. Harga diri yang tinggi dapat membuat seseorang merasa senang atas diri mereka sendiri (Hogg & Vaughan, 2008). Berdasarkan definisi dari beberapa tokoh diatas harga diri adalah perasaan dimana individu memberi penilaian terhadap dirinya sendiri dan menjadikan individu lain sebagai pembanding. 2.2.2 Tingakatan dalam harga diri Coopersmith (dalam Fakhrurrozi, 2008) membagi tingkatan harga diri menjadi tiga yaitu sebagai berikut: 1. Harga Diri Tinggi Seseorang dengan harga diri tinggi, akan memiliki ciri-ciri penuh percaya diri, mandiri, aktif dalam kegiatankegiatan fisik dan sosial, ambisius tetapi realistis terhadap kemampuannya, ekspresif, kreatif, dan memiliki skor tinggi dalam intelegensi. 2. Harga Diri Menengah Mereka menilai lebih baik dari kebanyakan orang, akan tetapi tidak termasuk dalam kelompok pilihan. Pada dasarnya penilaian mereka cenderung seperti kelompok dengan taraf harga diri tinggi dari pada kelompok dengan harga diri rendah. 3. Harga Diri Rendah Individu dengan harga diri rendah, memiliki ciri-ciri tidak percaya diri, tidak menghargai diri sendiri, gampang putus asa, kurang berusaha dan adanya kecenderungan berorientasi pada kegagalan 2.2.3 Dimensi dalam Harga Diri Menurut Tafarodi dan Swann (2001) harga diri terbagi menjadi dua dimensi yaitu: 1. Self Competence bagaimana seorang individi menilai dirinya sebagai obyek pelaku apakah dirinya mampu atau tidak mampu dalam mencapai suatu tujuan. 2. Self Liking 11 bagaimana seorang individu menilai pengalamannya sebagai obyek sosial, apakah dirinya orang baik atau buruk berdasarkan kriteria kebaikan yang ada didalam dirinya. 2.2.4 Sumber-sumber harga diri Menurut Eipstein (Mruk, 2006) bersumber dari: 1. Acceptance vs Rejection Menerima atau menolak dalam hubungan interpersonal. Contohnya: hubungan individu dengan orang tua, saudara, temana, dan lingkungan. 2. Virtue vs Guilt Virtue adalah dimana individu patuh terhadap standar moral dan etika yang berlaku, sedangkan.guilt merujuk pada kegagalan individu dalam mematuhi standar moral yang berlaku. Saat individu bertindak sesuai dengan nilai moral dan etika yang berlaku maka mereka akan mempengaruhi self esteem mereka secara positif, sebaliknya apabila individu tidak dapat mematuhi standar moral maka akan mempengaruhi harga dirinya secara negatif. 3. Power vs Powerlessness Power merupakan kemampuan individu dalam mengatur atau mengontrol lingkungannya. Dengan kata lain individu mampu memberi pengaruh kepada seseorang. 4. Achievement vs failure Achievement dapat mempengaruhi self esteem seseorang hal ini terjadi ketika individu dapat mencapai kesuksesan pada dimensi tertentu yang berhubungan dengan identitas diri mereka. 2.3 Remaja Akhir 2.3.1 Definisi Remaja Akhir Menurut Santrock (2012) bahwa remaja (adolescene) merupakan masa perkembangan transisi antara masa anak-anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif, sosial emosional. Menurut Papalia dan Olds (2007), masa remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan 12 masa dewasa yang pada umumnya dimulai pada usia 12 atau 13 tahun dan berakhir pada usia akhir belasan tahun atau awal dua puluhan tahun. Masa remaja secara umum dimulai dengan masa pubertas, yaitu proses yang mengarah kepada kematangan seksual dan kemampuan untuk bereproduksi. Perubahan biologis pubertas yang merupakan tanda akhir masa kanak-kanak, berakibat pada peningkatan pertumbuhan berat dan tinggi badan, perubahan dalam proporsi dan bentuk tubuh, serta pencapaian kematangan organ seksual (Papalia dan Olds (2007). Menurut Kartono (dalam Haryanto,2010) masa remaja ada pada usia berkisar antara 12 sampai 15 tahun yaitu dimana remaja awal pada usia12-15 tahun, remaja pertengahan usia15-18 tahun, dan remaja akhir usia 18-21 Tahun. Menurut Kartono (dalam Haryanto,2010) remaja akhir (18-21 Tahun) pada masa ini remaja sudah mantap dan stabil. Remaja sudah mengenal dirinya dan ingin hidup dengan pola hidup yang digariskan sendiri dengan keberanian.Remaja mulai memahami arah hidupnya dan menyadari tujuan hidupnya.Remaja sudah mempunyai pendirian tertentu berdasarkan satu pola yang jelas yang baru ditemukannya. Hurlock (2004) mengatakan bahwa pada masa remaja akhir, remaja akan belajar menyesuaikan diri terhadap pola-pola hidup baru, belajar untuk memiliki cita-cita yang tinggi, mencari identitas diri dan pada usia kematangannya mulai belajar memantapkan identitas diri, citra jasmani dirinya, dapat mewujudkan rasa cinta, mampu berpikir abstrak. 2.3.2 Batasan Usia Remaja Batasan usia remaja menurut Monk (2000) adalah umur antara 12 sampai 21 tahun dan dibagi mengjadi tiga, yaitu: 1. Remaja awal (12-15 tahun) Pada tahap ini remaja masih merasa bingung dan mulai beradaptasi terhadap perubahan-perubahan yang terjadi pada dirinya. Mereka mulai mengembangkan pikiran-pikiran baru, cepat tertarik pada lawan jenis dan mudah terangsang secara erotis.Kepekaan berlebihan ini ditambah dengan kurangnya pengendalian terhadap emosi dan menyebabkan remaja sulit mengerti dan dimengerti oleh orang dewasa. 2. Remaja tengah (15-18 tahun) 13 Pada tahap ini remaja sangat membutuhkan teman-teman. Ada kecendrungan narsistik, yaitu mencintai dirinya sendiri, dengan cara lebih menyukai teman-teman yang mempunyai sifat yang sama dengan dirinya. Pada tahap ini remaja berada dalam kondisi kebingungan.Teman sebaya memiliki peran yang penting, namun individu sudah lebih mampu mengarahkan diri sendiri (self direct).Pada masa ini remaja mulai mengembangkan kematangan tingkah laku. 3. Remaja akhir (18-21 tahun) Masa ini ditandai oleh persiapan akhir untuk memasuki peran-peran orang dewasa. Selama periode ini remaja berusaha memantapkan tujuan dan mengembangkan sense of personal identity. Keinginan yang kuat untuk menjadi matang dan diterima dalam kelompok teman sebaya dan orang dewasa, juga menjadi ciri dari tahap ini. Saat remaja tidak bisa diterima oleh kelompok teman sebayanya, maka remaja akhir akan memiliki harga diri yang rendah. 14 2.4 Kerangka Berpikir FENOMENA HARGA DIRI PERILAKU kONSUMTIF Gambar 2.1 Kerangka Berpikir Fokus sampel penelitian ini adalah remaja akhir umur 18-21 tahun .Menurut Kartono (dalam Haryanto, 2010) remaja akhir sudah mengenal dirinya dan ingin hidup dengan pola hidup yang mereka pilih sendiri serta remaja sudah mulai memahami arah hidupnya dengan menyadari tujuan hidupnya.Pada masa remaja harga diri berbeda dibanding dengan masa anak-anak. Darajat (dalam Yasdiananda, 2013) mengungkapkan bahwa harga diri adalah kebutuhan dasar remaja. Purnomo (dalam Ramadhan 2012) yang mengatakan bahwa banyak remaja yang membeli pakaian baru dan bermerk, 15 membeli produk untuk menjaga gengsi, membeli barang-barang mahal agar terlihat tampil menarik, membeli produk agar dipandang hebat hanya untuk meningkatkan harga dirinya. Mangkunegara (2009) mengatakan bahwa remaja adalah konsumen yang mudah terpengaruh oleh rayuan penjual, mudah terbujuk rayuan iklan, selai itu remaja adalah pembeli yang tidak berfikir hemat dan kurang realistis dan impulsif. Tambunan (2001) berpendapat bahwa aspek mendasar dalam perilaku konsumtif, yaitu adanya suatu keinginan mengkonsumsi secara berlebihan. Hal ini akan menimbulkan pemborosan dan bahkan inefisiensi biaya dan perilaku tersebut dilakukan bertujuan untuk mencapai kepuasan semata. Perilaku membeli yang berlebihan dapat disebut jugan dengan perilaku konsumtif. Assauri (dalam Sri Iriani & Falahsifatul, 2013) mengatakan bahwa dimana salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku membeli adalah harga diri. Hasil yang didapatkan dari penelitian Dasputi (2009) dengan judul hubungan antara harga diri dengan perilaku konsumtif pada mahasiswa fakultas kedokteran umum universitas Islam Indonesia angkatan 2007 dimana adanya hubungan negatif yang sangat signifikan antara harga diri dengan perilaku konsumtif pada dewasa awal, dimana semakin tinggi harga diri maka semakin rendah perilaku konsumtif yang mereka miliki dan sebaliknya semakin rendah harga diri maka akan semakin tinggi perilaku konsumtif pada dewasa awal. Dalam penelitian oleh Astuti (2012) dengan judul hubungan antara harga diri dengan perilaku konsumtif pada mahasiswa tahun pertama jurusan psikologi pendidikan dan bimbingan universitas negeri Yogyakarta dikatakan hasil penelitian menunjukkan ada hubungan negatif antara harga diri rendah dengan perilaku konsumtif pada mahasiswa tahun pertama jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan Universitas Negeri Yogyakarta. Hal ini dapat diartikan semakin tingg harga diri pada mahasiswa tahun pertama, maka semakin rendah perilaku konsumtif dan sebaliknya, harga diri rendah pada mahasiswa tahun pertama, maka semakin tinggi perilaku konsumtifnya. Dari fenomena dan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa seseorang melakukan konformitas dan menyebabkan perilaku konsumtif dikarena adanya harga diri pada diri mereka. 16 Berdasarkan permasalahan yang sudah dijabarkan pada bab sebelumnya maka asumsi dalam penelitian ini bahwa harga diri mempunyai perandalam memprediksi perilaku konsumtif pada remaja akhir di DKI Jakarta.