BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Harga Diri 2.1.1 Pengertian Harga Diri Santrock (2007) berpendapat harga diri digunakan untuk menjelaskan penilaian positif seseorang untuk dirinya, evaluasi global seseorang mengenai dirinya sendiri. Emler (2001) menyatakan bahwa harga diri merupakan pembahasan mengenai kesehatan psikologis, mengenai motivasi, dan mengenai identitas pribadi. Harga diri adalah suatu penilaian akan dirinya sendiri dan dipengaruhi oleh karakteristik yang dimiliki orang lain yang menjadi role modelnya (Baron & Byrne, 2004). Chaplin (2004, dalam Wardhani, 2009) mengungkapkan, harga diri merupakan penilaian diri yang dipengaruhi oleh sikap, interaksi, penghargaan, dan penerimaan orang lain terhadap individu. Menurut Coopersmith (dalam Emler, 2001) harga diri ialah suatu kondisi sejauh mana individu menilai dirinya sendiri dapat dikatakan mampu, penting, sukses, dan berharga. Braden (1999, dalam Nurmalasari, 2007) mengungkapkan, harga diri merupakan suatu persepsi diri seseorang mengenai keberhargaannya yang didapatkan dari hasil interaksi dengan lingkungan yang berwujud penghargaan, penerimaan dan perilaku orang lain terhadap dirinya. Sedangkan Andini dan Supriyadi (2013) berpendapat, harga diri ialah suatu evaluasi yang dibuat oleh individu mengenai dirinya sendiri dalam rentangan positif-negatif. Jadi dapat disimpulkan harga diri adalah suatu evaluasi atau penilaian diri terhadap sejauh mana individu tersebut dikatakan mampu dan berharga. 2.1.2 Kategori Harga Diri Menurut Mruk (2006), terdapat dua tingkatan yang dapat dikategorikan sebagai harga diri (Mruk, 2006) yaitu : 1. High self-esteem (Harga diri tinggi) High self-esteem merupakan kondisi yang paling positif yang dimiliki individu akan harga dirinya, sehingga individu yang berada pada tingkatan ini memiliki pandangan yang positif pada diri dan kehidupannya. Individu yang memiliki harga diri yang tinggi akan mampu mengatasi masalah yang dihadapi, dan memiliki interpersonal yang baik, serta lebih eksploratif, terbuka dan menikmati hidup. 2. Low self-esteem (Harga diri rendah) Low self-esteem merupakan kondisi dimana individu memiliki rasa harga diri yang rendah terhadap dirinya sendiri. Individu yang berada pada tingkatan ini lebih cenderung untuk menutupi dirinya sebagai bentuk perlindungan daripada mengeksplor dan mengaktualisasikan potensi yang dimiliki dan menikmati hidup. Ciri-ciri individu yang memiliki low self-esteem seperti rasa canggung, tidak percaya diri, tertutup, tidak stabil, dan cenderung lebih sensitif, sehingga sulit berinteraksi dengan lingkungan. 2.1.3 Dimensi Harga Diri Felker (1974, dalam Nurmalasari, 2007) membagi dimensi harga diri menjadi tiga, yaitu: 1. Feeling Of Belonging (Perasaan Diterima) Suatu perasaan dimana individu merasa dirinya adalah bagian dari suatu kelompok dan ia diterima serta dihargai oleh anggota kelompok lainnnya sebagai bagian dari kelompok tersebut. 2. Feeling Of Competence (Perasaan Mampu) Suatu perasaan dimana individu merasa mampu untuk mencapai tujuannya secara efisien, dengan begitu individu akan memberikan penilai yang positif pada dirinya. 3. Feeling Of Worth (Perasaan Berharga) Suatu perasaan dimana individu merasa dirinya berharga. Individu yang memiliki perasaan berharga akan menilai dirinya lebih positif. Salah satu contoh perasaan tersebut muncul berasal dari pernyataan seperti cantik, pintar, dan sebagainya. 2.1.4 Faktor yang Membentuk Harga Diri Ramadhan (2012) mengungkapkan beragam faktor yang dapat membentuk harga diri individu baik berbentuk positif atau negatif, yaitu sebagai berikut: 1. Pengalaman Pengalaman yang bersifat positif dapat berpengaruh dalam proses pembentukan harga diri yang positif, begitu pula sebaliknya bila pengalaman yang didapat oleh individu negatif maka dapat berpengaruh dengan pembentukan harga diri yang negatif. 2. Pola Asuh Pola asuh yang orangtua terapkan saat membesarkan anaknya mempengaruhi proses perkembangan harga diri milik anaknya. Apabila pola asuh yang diberikan orangtua positif maka harga diri yang terbentuk akan positif, begitu pula sebaliknya. 3. Lingkungan Lingkungan positif dan nyaman dapat membentuk harga diri yang positif, namun lingkungan yang negatif dan tidak nyaman akan membentuk harga diri yang negatif juga. 4. Sosial Ekonomi Menurut Coopersmith (1998, dalam Ramadhan, 2012) sosial ekonomi adalah dasar dari perilaku individu dalam memenuhi dorongan sosialnya yang membutuhkan dukungan secara finansial. Bila keadaan sosial ekonomi memadai maka dapat berpengaruh pada harga diri yang positif, namun bila keadaan sosial ekonomi tidak memadai maka dapat berpengaruh pada harga diri yang negatif. 2.1.5 Karakteristik Harga Diri Myers (1992, dalam Nurmalasari, 2007) mengemukakan karakteristik dari individu yang memiliki harga diri yang tinggi dan yang rendah, sebagai berikut: 1. Karakteristik individu dengan harga diri tinggi Dapat menghormati diri sendiri Dapat mengakui dirinya berharga Tidak merasa dirinya lebih baik daripada orang lain, namun tidak juga merasa lebih buruk. 2. Karakteristik individu dengan harga diri rendah Merasa tidak puas dengan dirinya sendiri. Merasa tidak berharga Menolak dirinya baik secara verbal dan aktif Merasa tidak mampu berubah 2.2 Perilaku Konsumtif 2.2.1 Pengertian Perilaku Konsumtif Sebayang, Yusuf, dan Priyatama (2011) mengatakan bahwa perilaku konsumtif adalah suatu tindakan yang individu lakukan yaitu membeli atau mengkonsumsi barang atau jasa yang dimana hal tersebut bukanlah prioritas kebutuhannya secara berlebihan dan tanpa pertimbangan yang rasional, dan dilakukan hanya untuk kepuasan fisik dan memuaskan hasrat kesenangan semata. Fromm (1955) berpendapat hampir serupa dengan yang diungkapkan oleh Sebayang, Yusuf, dan Priyatama bahwa perilaku konsumtif merupakan suatu perilaku pembelian yang dilakukan individu secara berlebihan. Sumartono (2002, dalam Hotpascaman, 2010) berpendapat bahwa perilaku konsumtif adalah tindakan penggunaan suatu produk secara tidak tuntas, artinya produk yang sedang digunakan belum habis, individu menggunakan juga produk yang sejenis namun berbeda merek, atau membeli produk tersebut karena sedang digemari, atau membeli produk tersebut karena berhadiah. Sabirin (2005, dalam Wardhani, 2009) mengungkapkan perilaku konsumtif ialah suatu kondisi dimana individu memiliki keinginan untuk mengkonsumsi barang yang sebenarnya kurang dibutuhkan secara berlebihan untuk mencapai kepuasan sepenuhnya. Menurut Sembiring (2009, dalam Sebayang, Yusuf, dan Priyatama , 2011) perilaku konsumtif adalah suatu perilaku berkonsumsi yang boros dan berlebihan, lebih cenderung untuk mendahulukan keinginan daripada kebutuhannya, serta tidak ada skala priorita, atau dapat dikatakan sebagai bentuk gaya hidup yang mewah. Jadi perilaku konsumtif merupakan suatu kondisi dimana individu akan mengkonsumsi secara berlebihan akan suatu barang untuk memenuhi hasrat atau keinginan semata tanpa memikirkan kebutuhan yang sebenarnya. 2.2.2 Dimensi Perilaku Konsumtif Formm (1955) membagi perilaku konsumtif menjadi beberapa dimensi, yaitu sebagai berikut: 1. Pemenuhan Keinginan Setiap individu tidak akan pernah berhenti untuk merasa puas pada satu titik saja, bahkan akan cenderung semakin meningkat. Berdasarkan hal tersebutlah, individu akan selalu ingin merasakan kepuasan yang lebih untuk memenuhi rasa puasnya saat individu tersebut mengkonsumsi suatu hal, walaupun dalam kenyataannya tidak ada kebutuhan akan barang tersebut namun masih tetap dilakukan. 2. Barang di Luar Jangkauan Ketika individu menjadi konsumtif, maka tindakan konsumsinya akan menjadi kompulsif serta tidak akan rasional. Apabila hal ini terjadi, maka individu akan merasa “belum lengkap” dan akan mulai mecari kepuasan akhir dengan mendapatkan barang-barang yang baru. Individu tidak akan lagi mencari kebutuhan dirinya dan kegunaan barang tersebut bagi dirinya. 3. Barang Tidak Produktif Apabila pengkonsumsian barang menjadi berlebihan, maka kegunaan konsumsi menjadi tidak jelas, serta barang tersebut menjadi tidak produktif bagi individu. 4. Status Individu dapat digolongkan memiliki perilaku konsumtif apabila individu tersebut memiliki barang-barang yang berlebihan karena pertimbangan status. Tindakan tersebut merupakan pengalaman yang tidak lagi berarti, manusiawi, dan produktif, karena hal tersebut dilakukan hanya sebagai pemuas keinginannya untuk mencapai status tertentu melalui barang ataupun kegiatan yang bukan bagian dari kebutuhan dirinya. 2.2.3 Aspek Perilaku Konsumtif Lina dan Rosyid (1997, dalam Wardhani, 2009) menyatakan terdapat beberapa aspek dari perilaku konsumtif yaitu: 1. Impulsive buying (Pembelian impulsif) Suatu kondisi dimana individu membeli sesuatu (berbelanja) didasari oleh keinginan sesaat, dilakukan secara spontan, tanpa mempertimbangkan terlebih dahulu. 2. Wasteful buying (Pemborosan) Suatu kondisi dimana individu membeli sesuatu (berbelanja) sehingga menghabiskan banyak dana tanpa menyadari adanya kebutuhan yang jelas. 3. Non rational buying (Mencari kesenangan) Suatu kondisi dimana individu membeli sesuatu (berbelanja) hanya untuk mencari kesenangan dan kenyamanan semata. 2.2.4 Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Konsumtif Rahardjo & Silalahi (2007, dalam Shohibullana, 2014) mengungkapkan faktorfaktor yang mempengaruhi perilku konsumtif yaitu: 1. Iklan Merupakan salah satu media yang digunakan dalam mempromosikan atau menawarkan suatu produk pada khalayak umum. Hal ini dilakukan untuk mempengaruhi masyarakat supaya membeli produk yang di iklankan tersebut. 2. Konformitas Biasanya terjadi pada remaja, khususnya remaja putri. Karena pada masa remaja, individu memiliki egosentrisme (memusatkan perhatian hanya pada dirinya sendiri) sehingga mereka akan berusaha berpenampilan menarik sesuai dengan trend yang mereka ikuti, sampai mereka dapat menjadi bagian dari kelompoknya. 3. Gaya hidup Masuknya budaya barat manjadi pengaruh yang cukup kuat dalam penerapan gaya hidup individu. Dengan membeli atau menggunakan barang bermerek dari luar negeri dirasa dapat meningkatkan status sosial individu. 4. Kartu kredit Merupakan salah satu kemudahan yang dapat dimiliki oleh individu dalam melakukan pembelian secara kredit. Maka hal ini membuat individu merasa nyaman dan tidak merasa takut tidak memiliki uang saat berbelanja. Sumartono (2002, dalam Hotpascaman, 2010) memaparkan penyebab munculnya perilaku konsumtif sebagai berikut: a. Faktor Internal Faktor internal seperti harga diri, motivasi, observasi, proses belajar, serta kepribadian dan konsep diri merupakan faktor yang dapat memperngaruhi kemunculan perilaku konsumtif. b. Faktor Eksternal Keluarga, kelas sosial, kelompok sosial, serta kebudayaan merupakan faktor eksternal yang dapat mempengaruhi kemunculan perilaku konsumtif. 2.3 Remaja Remaja merupakan suatu masa transisi antara masa anak dan masa dewasa, yang meliputi dari sisi biologis, kognitif, dan sosial-emosional (Santrock, 2003). Rice (1996, dalam Nurmalasari, 2007) mengatakan remaja atau adolesence berasal dari Latin (kata bendanya, adolescentia artinya remaja) yang berarti “tumbuh menjadi dewasa”. Erikson mengungkapkan delapan tahap rentang kehidupan, remaja berada pada tahap yang ke lima dan dimulai dari usia 10 tahun hingga 20 tahun. Pada tahap yang ke lima, Erikson membahas mengenai identity vs identity confusion, yang dimana pada tahap tersebut remaja akan mencari identitas dirinya (Santrock, 2008). Ketika remaja dapat menemukan identitasnya maka individu tersebut akan lebih mudah menerima dirinya, namun akan sebaliknya jika remaja tersebut tidak dapat menemukan identitasnya maka remaja tersebut akan menutup diri karena individu tersebut mengalami kebinggungan akan identitasnya dan akan lebih sulit menerima dirinya. 2.3.1 Remaja dan Harga Diri Harga diri merupakan hal yang dipelajari serta terbentuk sepanjang pengalaman individu (Tjahjaningsih & Nuryoto, 1994, dalam Wardhani, 2009). Sholihah dan Kuswardani (2012) menyampaikan bahwa remaja merupakan suatu masa individu mengalami masa peralihan, dimana individu tersebut belum dapat dikatakan sebagai orang dewasa, tetapi tidak ingin dikatakan sebagai anak-anak, maka remaja akan menciptakan penampilan yang berbeda mulai dari pakaian, gaya rambut, sampai pada tingkah laku. Apabila diperhatikan secara seksama, terlihat bahwa remaja putri akan merasa memiliki harga diri yang tinggi jika mereka dapat berpenampilan menarik, dan salah satu cara yang dapat dilakukan untuk tampil menarik salah satunya adalah mengikuti trend fashion yang diminati oleh kelompok sebayanya (Mappiare, 1982). Daradjat (1976, dalam Wardhani, 2009) menyampaikan bahwaharga diri merupakan kebutuhan dasar bagi remaja. Menurut Coopersmith (1967, dalam Wardhani, 2009) perkembangan harga diri individu akan berpengaruh dengan proses pemikiran, perasaan, keinginan, nilai, dan tujuan. Hal tersebut merupakn kunci dalam tingkah laku individu yang akan membawa ke arah keberhasilan atau kegagalan. 2.3.2 Remaja dan Perilaku Konsumtif Seperti yang telah ada di latar belakang, Sebayang, Yusuf, dan Priyatama (2011) mengatakan remaja adalah salah satu target pemasaran atau pangsa pasar yang potensial pada beragam produk industri. Hal ini disebabkan karena pada masa remaja individu akan cenderung lebih tidak stabil serta mudah dipengaruhi, sehingga akan lebih mudah memunculkan perilaku konsumtif. Pernyataan tersebut diperkuat pula oleh Tambunan (2001) bahwa bagi produsen, remaja adalah salah satu pasar yang potensial, karena pola konsumsi individu terbentuk pada usia remaja. Ditambah lagi remaja cenderung boros dalam menggunakan uang, mudah terbujuk rayuan iklan, tidak realistis, dan konformitas dengan teman-temannya. Gumulya & Widiastuti (2013) menyatakan bahwa pasar semakin banyak mengeluarkan produk yang ditargetkan untuk para remaja, dengan begitu dapat membuktikan bahwa semakin banyaknya remaja yang memiliki perilaku konsumtif, yang dikhawatirkan apabila hal ini terus berlangsung (jangka waktu panjang) maka akan menjadi gaya hidup konsumtif. 2.3.2.1 Dampak Perilaku Konsumtif Pada Remaja Tambunan (2001) mengungkapkan bahwa saat remaja merupakan masa peralihan dalam mencari identitas dirinya, maka pada saat itu remaja ingin diakui eksistensinya oleh lingkungannya dengan berusaha menjadi bagian pada lingkungan tersebut. Kebutuhan untuk diterima dan menjadi bagian dari lingkungan tersebut membuat remaja berusaha mengikuti atribut atau gaya yang sedang trend. Masalah mulai muncul saat kecenderungan yang sebenarnya merupakan perilaku yang wajar pada remaja menjadi berlebihan. Perilaku konsumtif dapat secara berkesinambungan menjadi bagian didalam gaya hidup seorang remaja hingga individu tersebut menjadi dewasa. Apabila perilaku konsumtif tersebut berubah menjadi gaya hidup maka perlu didukung dengan kekuatan finansial yang memadai. Akan menjadi masalah bila pencapaian finansial yang dimiliki tidak mendukung gaya hisup tersebut. Pada akhirnya perilaku konsumtif akan berdampak pada sisi ekonomi, psikologis, sosial dan juga etika. 2.4 E-commerce (Online shop) E-commerce atau electronic commerce dikalangan masyarakat lebih dikenal dengan online shop. E-commerce Menurut Laudon & Laudon (1998, dalam bpptik.kominfo.go.id) adalah suatu proses untuk menjual dan membeli produk (bisnis) secara elektronik oleh konsumen dan dari perusahaan ke perusahaan menggunakan komputer sebagai penghubung yaitu dengan memanfaatkan jaringan komputer. David Baum (1999, dalam bpptik.kominfo.go.id) berpendapat bahwa e-commerce merupakan satu set teknologi, aplikasi, serta proses bisnis yang dinamis untuk menghubungkan konsumen melalui transaksi elektronik dan pertukaran barang, pelayanan, dan informasi yang dilakukan secara elektronik. Kholil (2009) juga mengatakan bahwa e-commerce secara umum adalah suatu proses transaksi jual beli yang dilakuan secara elektronik melalui media internet. 2.4.1 Karakteristik E-commerce (Online shop) Kholil (2009) mengemukakan beberapa karakteristik dari e-commerce yaitu sebagai berikut: 1. Adanya transaksi yang melibatkan dua belah pihak. 2. Adaya pertukaran barang, jasa, dan informasi. 3. Internet adalah media utama yang digunakan dalam proses atau mekanisme perdagangan (penghubung antara dua belah pihak). 2.4.2 Proses Transaksi E-commerce (Online shop) Transaksi e-commerce dapat dilakukan melalui beberapa tahap berikut ini (Suyanto, 2003) yaitu: 1. Show Owner menunjukan produk atau layanan yang ditawarkan pada situs yang digunakan dalam bisnisnya, beserta dengan detail spesifikasi dari produk dan harganya. 2. Register Pelanggan akan diminta melakukan registrasi untuk memasukan identitas diri (nama, alamat pengiriman, no telepon) dan informasi login. 3. Order Setelah pelanggan melihat-lihat produk atau jasa yang ditawarkan dan memilih produk yang diinginkan, selanjutnya pelanggan akan melakukan order pembelian. 4. Payment Pelanggan melakukan pembayaran yang disesuaikan dengan harga produk yang telah di order sebelumnya. 5. Verification Verifikasi data pelanggan seperti data pembayaran (no.rekening atau kartu kredit). 6. Deliver Seletah semua tahap sebelumnya telah dikerjakan sesuai dengan prosedur, maka owner akan mengirim pesanan yang telah di order oleh pelanggan. 2.4.3 Keuntungan E-commerce (Online shop) Kholil (2009) menyebutkan keuntungan yang didapat dari e-commerce (online shop) dengan membagi menjadi tiga, yaitu: 1. Produsen Kecanggihan pada grafis internet dpaat menunjukan produk yang sebenarnya (natural), dan membuat dan menyebarkan brosur berwarna tanya biaya (gratis). Lebih aman membuka toko online dibanding membuka toko secara konvensional. Berbisnis secara online dapat dilakukan kapan saja tanpa adanya hari libur yang berbeda hanya pada proses pengirimannya. Tidak ada batas wilayah dan waktu, sehingga jangkauan pemasarannya luas dan tidak dibatasi oleh waktu. Pangsa pasar tinggi, dan dapat menjangkau mulai dari dalam negeri sampai luar negeri. Biaya operasional yang dikeluatkan rendah. 2. Pelanggan Transaksi jual beli memungkinkan dilakukan secara langsung dan mudah. Tidak dibebankan biaya tambahan. Proses pembayarannya menggunakan digical cash atau tanpa harus membayar denagn uang tunai. 3. Masyarakat Umum & Pemerintah Mengurangi aktifitas diluar rumah, sehingga mengurangi kemacetan dan mereduksi polusi. Mengurangi penggangguran karena saat ini masyrakat lebih suka untuk berbisnis karena cara kerjanya mudah dan tanpa modal yang besar. 2.5 Produk Fashion Produk menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBII) adalah brang atau jasa yang dibuat dan ditambah gunanya atau nilainya dalam produksi dan menjadi hasil akhir dari proses produksi tersebut. Menurut Kotler (2005) produk adalah bentuk apapun yang dapat ditawarkan pada pasar dan dapat memuaskan keinginan atau kebutuhan. Fashion menurut Troxell & Stone (dalam Savitrie, 2008) merupakan sebuah gaya atau style yang dapat diterima dan digunakan oleh mayoritas anggota sebuah kelompok dalam satu waktu tertentu. Yuniya (2005) menjelaskan fashion adalah hasil dari beragam pengaruh yang secara kolektif menentukan sosial masyarakat. Menurut Hemphill dan Suk (2009) mengatakan Fashion merupakan salah satu alasan yang dimana individu rela menghabiskan uang yang dimilikinya untuk mengkonsumsi barang yang diinginkannya secara berlebihan dengan mengikuti trend fashion, yang bertujuan untuk melindungi atau meningkatkan status sosial individu. Hemphill dan Suk (2009) menambahkan bahwa fashion merupakan suatu bagian yang diambil oleh kelompok elite (secara kelas sosial) untuk membedakan antara mereka yang merupakan kelompok elite dengan kelompok sosial lainnya (menengah ke bawah). Netprebeur.co.id merilis bahwa terdapat tiga jenis produk dropship yang paling siminati oleh buyer atau pelanggan salah satunya adalah fashion yang menduduki peringkat yang pertama. Produk fashion merupakan produk yang paling diminati oleh pelanggan. Jenis produk fashion yang dijual seperti baju, celana, jam, sepatu, dan sebagainya. 2.6 Kerangka Berpikir Internet Remaja Online Shop Fashion Puteri Harga Diri Perilaku Konsumtif Gambar 2.1 Kerangka Berpikir Kecanggihan teknologi seperti internet salah satunya sedang berkembang dengan sangat pesat. Tercatat bahwa pada tahun 2014 sebanyak 83,7 juta orang di Indonesia mengakses internet (kominfo.go.id, 2014). Menyadari hal tersebut merupakan peluang yang baik, maka banyak pebisnis akhirnya mengambil kesempatan untuk menggunakan internet sebagai pangsa pasar yang berpotensial (startupbisnis.com, 2014). E-commerce atau online shop merupakan bentuk bisnis yang berkembang saat ini di Indonesia, bahkan Yoanita (BMI Rearch Head) mengatakan perkembangan online shopping tahun 2015 diprediksi akan mencapai 57% yang artinya adanya peningkatan sampai dua kali lipat dari tahun yang sebelumnya (teknologi.news.viva.co.id, 2015). Didalam online shop terdapat beragam produk yang ditawarkan, salah satunya adalah produk fashion, dimana produk tersebut merupakan produk yang seeingkali diminati oleh wanita (ekonomi.kompasiana.com, 2014). Hal tersebut diperkuat oleh data dari Tokopedia yang melakukan riset selama tiga bulan terakhir, bahwa 66,28% merupakan jumlah pembeli online adalah wanita (startupbisnis.com, 2014). Keminfo (2013) menyampaikan bahwa pengguna internet terbanyak berjenis kelamin wanita, berada pada usia 15-24 tahun, dan produk fashion merupakan produk yang paling sering dibeli secara online (teknologi.news.viva.co.id, 2015). Menurut Hemphill dan Suk (2009) fashion ialah alasan yang dapat digunakan individu rela menghabiskan uang yang dimiliki untuk mengkonsumsi barang yang diinginkannya (mengikuti trend) secara berlebihan hingga membuat individu tersebut menjadi konsumtif. Perilaku konsumtif adalah perilaku pembelian yang dilakukan individu secara nerlebihan (Fromm, 1955). Menurut Sebayang, Yusuf, dan Priyatama (2011) dan Tambunan (2001) remaja merupakan pangsa pasar yang berpotensial, karena pada masa remaja, individu cenderung tidak stabil dan juga mudah dipengaruhi, maka akan semakin mudah perilaku konsumtif tersebut muncul. Pernyataan tersebut diperkuat dengan data yang diberikan Keminfo (2013) bahwa sebanyak 47% pengguna internet adalah remaja. Hal ini dapat menimbukan perilaku konsumtif pada remaja akan semakin besar, khususnya remaja putri. Hurlock (2006, dalam Sebayang, Yusuf, dan Priyatama, 2011) berpendapat bahwa perhatian yang besar pada dirinya sendiri adalah minat yang kuat yang terjadi pada remaja putri. Pernyataan tersebut menunjukan adanya harga diri pada remaja. Myers (2002) mengemukakan, harga diri adalah suatu penilaian diri yang dilakukan oleh individu terhadap kondisi dirinya sendiri. Apabila diperhatikan lebih lagi, dapat terlihat bahwa remaja putri akan merasa memiliki harga diri yang tinggi jika mereka dapat berpenampilan menarik, maka cara yang dapat dilakukan untuk tampil menarik salah satunya adalah mengikuti trend fashion yang diminati oleh kelompok sebayanya (Mappiare, 1982). Maka harga diri remaja putri akan tinggi dengan berperilaku konsumtif supaya dapat tampil menarik. Berdasarkan dari penelitian Wardhani (2009) yaitu mengenai Hubungan antara konformitas dan harga diri dengan perilaku konsumtif pada remaja putri (2009) menyatakan bahwa terdapat hubungan negatif yang signifikan antara harga diri dengan perilaku konsumtif. Maka dengan pernyataan tersebut dapat terlihat bahwa harga diri memiliki keterkaitan dengan perilaku konsumtif remaja putri dalam berbelanja online khususnya pada produk fashion. 2.7 Hipotesis Hipotesis dari penelitian ini adalah terdapat hubungan antara harga diri dengan perilaku konsumtif pada remaja putri dalam berbelanja online produk fashion.