BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring dengan berkembangnya jaman, semakin banyak remaja yang mengalami perubahan khususnya dalam segi penampilan dan hal ini mendorong remaja untuk terus memenuhi berbagai kebutuhan dalam hidupnya. Dilansir dari malesbanget.com remaja jaman sekarang banyak mempunyai barang-barang yang terbaru dan bagus, bisa mengikuti trend yang paling baru adalah salah satu kepuasan mereka sendiri, apalagi bila ia yang paling pertama yang punya. Demam trend baru adalah salah satu "penyakit" anak-anak di Jakarta dan sekitarnya. Bila muncul suatu trend baru, maka remaja yang akan berlomba-lomba sekuat mungkin untuk mengikutinya (mempunyainya). Sampai-sampai muncul "standar gengsi" terhadap suatu barang yang mempunyai ciri khusus, seperti topi rajut dan baju tanpa belahan samping. Standar gengsi yang dimaksudkan diatas adalah dimana remaja tidak mau kalah dengan teman sepermainannya sehingga hal ini menimbulkan rasa saling ikut-ikutan antara satu dengan yang lain. Rata-rata demam tersebut tidak berjalan lama, paling lama juga hanya 1 tahun sampai dengaan 1,5 tahun, dan apabila sudah tidak trend lagi, maka orang yang masih mengikuti (memakai) trend tersebut akan dilihat sebagai orang yang sangat norak sekali atau ketinggalan jaman. Selain itu dilansir pada Antara.com Nongkrong di cafe atau restoran siap saji usai bubaran sekolah, kuliah atau pulang kerja, belakangan ini merupakan tren gaya hidup remaja dan eksekutif. Anak muda dan nongkrong adalah dua hal yang sudah melekat. Di sekolah-sekolah usai jam pelajaran, di kampus-kampus di antara jam kuliah, bahkan di kantor-kantor sepulang jam kantor, akan mudah dijumpai kelompok-kelompok remaja dan orang muda duduk-duduk di cafe atau resto. Di Jakarta, tak hanya pada akhir pekan saja para remaja memadati resto dan cafe, namun sepulang sekolah pun, sebagian dari mereka suka nongkrong. Baju seragam sekolah mereka lapis dengan jaket atau sweater. Topik obrolan mereka 1 2 bisa "ngalor-ngidul" mulai dari rapat membicarakan kegiatan atau kepanitiaan, mendiskusikan topik-topik yang dianggap serius, "ngerumpi" tentang "cewek/cowok, bos di kantor" sampai bertukar cerita-cerita lucu yang mengundang tawa. Dengan semakin tingginya daya beli masyarakat segmen ini, cafe dan restoran cepat saji makin kebanjiran pembeli. Juga diuntungkan lagi dengan kemacetan di kota-kota besar yang semakin parah yang membuat anakanak muda malas untuk pergi ke lokasi-lokasi yang rawan macet di pusat kota. Lokasi yang strategis, harga murah, tempat yang nyaman, menu minuman dan makanan yang variatif, serta cara penyajian yang berbeda dari restoran cepat saji biasa membuat resto tertentu seperti 7-Eleven menjadi salah satu tempat nongkrong favorit anak muda di Jakarta. Seperti hasil wawancara dengan AM mahasiswa semester 2 dari salah satu universitas di DKI Jakarta ia saat ini mempunyai kebiasaan baru yaitu suka berbelanja baju dan make up di mall, hal ini dikarenakan dengan berpenampilan menarik ia tidak malu lagi untuk pergi dengan gank-nya. AM mengatakan dirinya menjadi lebih menarik saat ia memakai baju yang modis, selain itu AM juga selalu mengikuti perkembangan teknologi seperti handphone, ia selalu berusaha agar dapat mengganti handphone dengan model terbaru mengikuti jaman. Hal ini membuat AM menjadi sering berbelanja tanpa berpikir apakah barang itu nanti berguna atau tidak, yang penting ia memiliki barang tersebut. AM juga mengatakan bahwa sesusai pulang kuliah ia sering sekali pergi nongkrong dengan teman-temannya di café hanya sekedar untuk makan ataupu membemi minuman. Selain itu hasil wawancara lainnya dengan BR mahasiswa semester 6 dari salah satu universitas di Jakarta mengakui bahwa suka berbelanja tanpa berpikir panjang apakah barang tersebut berguna atau tidak. Setiap temannya memiliki barang yang terbaru dia juga selalu ingin memilikinya dan harus mendapatkannya sehingga ia merasa dihargai oleh teman-temannya apabila ia dapat membeli produk terbaru yang hanya untuk mengikuti arus mode dan mengikuti temantemannya. Hal seperti ini membuat BR merasa menjadi lebih dihargai oleh temantemannya. 3 Menurut Fromm (dalam Astuti, 2013) perilaku konsumtif merupakan perilaku kehidupan yang berlebihan dan menggunakan segala sesuatu yang mahal hanya untuk kepuasan dan kenyaman yang didorong untuk memberi kesenangan. Menurut Tambunan (2001) perilaku konsumtif adalah dimana seseorang memanfaatkan nilai uang lebih besar dari produksinya dan melakukan pembelian barang ataupun jasa yang bukan merupakan kebutuhan pokok. Tambunan (2001) berpendapat aspek mendasar dalam dalam perilaku konsumtif adalah keinginan mengkonsumsi secara berlebihan. Hal ini menimbulkan pemborosan bahkan pemborosan uang hanya untuk mencapai kepuasan semata. Fromm (1995) mengemukakan empat indikator perilaku konsumtif berdasarkan ciri perilaku konsumtif, yaitu pemenuhan keinginan, barang diluar jangkauan, barang tidak produktif, dan status. Pemenuhan keinginan terjadi ketika rasa puas yang dimiliki oleh manusia tidak terpenuhi sehingga rasa puas yang dimiki akan terus meningkat, barang diluar jangkauan dimana individu selalu belum puas dan akan terus mencari kepuasan dengan terus membeli barang-barang baru, barang tidak produktif dimana individu selalu tidak puas dengan apa yang dimilikinya sehingga dia selalu membeli barang walaupun sebenarnya barang tersebut belum tentu penting untuknya, dan status dimana individu mencapai sesuatu (status) melalui barang atau kegiatan yang bukan merupakan bagian dari kebutuhan dirinya. Perilaku konsumtif dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi faktor psikologis dimana seseorang terpengaruh dalam melakukan perilaku konsumtif karena adanya diantaranya motivasi. Faktor eksternal meliputi lingkungan dimana pengaruh berasal dari luar individu seperti budaya, keluarga, dan kelompok sosial. Perilaku membeli yang berlebihan dapat disebut juga dengan perilaku konsumtif. Assauri (dalam Sri Iriani dan Falahsifatul, 2013) mengatakan bahwa dimana salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku membeli adalah harga diri. Definisi harga diri menurut Tafarodi dan Swann (2001) adalah dua aspek yang saling terkait dimana individu dapat merasa nyaman dengan dirinya (self-liking) dan menghargai kompetensi dirinya (self competence). Menurut Tafarodi dan Swann (1995,2001), dua aspek harga diri adalah self liking dan self competence. 4 Self liking adalah sebuah perasaan berharga individu akan dirinya sendiri dalam lingkungan social dan hal ini bergantung dari nilai sosial yang individu berikan pada dirinya. Individu dengan selfliking yang tinggi mampu menerima keadaan dirinya yang berdampak pada munculnya perasaan nyaman saat berada di lingkungan dan situasi sosial. Individu yang memiliki tingkat self liking tinggi biasanya merupakan orang yang pandai menjalin hubungan sosial dan mudah beradaptasi. Sebaliknya individu yang memiliki tingkat self liking yang rendah akan menunjukkan afek negatif, merendahkan diri, dan mengalami disfungsi sosial. Self competence memiliki peran pada individu dalam memotivasi dirinya bersikap serta berperan dalam menyesuaikan diri pada penganggulangan stres. Secara kognitif, self competence ditandai dengan adanya ekspektasi individu untuk sukses. Coopersmith (1967) menjelaskan bahwa harga diri merupakan suatu evaluasi atau hasil penilaian yang dilakukan oleh diri sendiri terhadap kemampuan yang dimiliknya terutama mengenai sikap menerima dan menolak. Menurut Greenberg (dalam Nikmarijal, 2012) harga diri mempengaruhi motivasi, perilaku fungsional, dan kepuasan hidup perilaku manusia secara universal serta ingin mempertahankan dan meningkatkan harga diri sebagai kebutuhan dasar. Harga diri terbagi menjadi dua bagian yaitu harga diri tinggi dan harga diri rendah. Menurut Coopersmith (1967) Individu yang memiliki harga diri tinggi memiliki sifat aktif dan agresif dalam bidang akademis serta dalam hal hubungan sosial, sedangkan harga diri rendah dimana individu menunjukkan pehargaan yang buruk terhadap dirinya sehinga individu tidak mau menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya. Pada masa remaja harga diri berbeda dibanding dengan masa anak-anak. Darajat (dalam Yasdiananda, 2013) mengungkapkan bahwa harga diri adalah kebutuhan dasar remaja. Masa remaja merupakan periode peralihan dari masa anak-anak menuju masa dewasadengan melibatkan perubahan dalam biologis, kognitif, dan sosio emosional (Santrock, 2007). Masa peralihan remaja hingga dewasa dan berlangsung cukup lama sampai remaja dapat mengembangkan berbagai keterampilan yang efektif untuk menjadi bagian penuh dari suatu 5 kelompok masyarakat (Santrock, 2007). Hall (dalam Santrock, 2007) menyatakan bahwa dengan adanya perubahan biologis, kognitif dan sosio-emosional yang dialami pada remaja, mereka menjadi cenderung menyimpang dan penuh konflik seperti menggunakan obat-obatan terlarang, pesta, seks bebas, tawuran dan gemar mengikuti mode. Salah satu aspek psikologis dari masa remaja adalah mereka menjadi sangat memperhatikan citra tubuh dan mulai membangun jati dirinya (Santrock, 2007). Tambunan (2001), berpendapat bahwa perilaku konsumtif biasanya terjadi pada remaja. Mangkunegara (2009) juga mengatakan bahwa remaja adalah konsumen yang mudah terpengaruh oleh rayuan penjual, meudah terbujuk rayuan iklan, selain itu remaja adalah pembeli yang tidak berpikir hemat dan kurang realistis dan impulsif. Monks (2000) mengatakan bahwa pada umumnya konsumen remaja mempunyai keinginan membeli yang tinggi, karena pada umumnya remaja mempunyai ciri khas dalam berpakaian, berdandan, gaya rambut, tingkah laku, kesenangan musik, dalam pertemuan dan pesta. Remaja selalu ingin berpenampilan yang dapat menarik perhatian orang lain terutama teman sebaya, sehingga remaja kebanyakan membelanjakan uangnya untuk keperluan tersebut. Banyaknya fenomena tentang perilaku konsumtif dan self esteem di kalangan remaja yang didukung dengan semakin banyaknya tempat untuk berbelanja dan semakin mudahnya untuk berbelanja secara online yang menjadikan remaja sebagai sasaran utama, membuat para remaja yang memiliki kurang rasa percaya diri menjadi merasa selalu harus mengikuti tren agar merasa lebih dihargai oleh teman-temannya tanpa berpikir apakah produk yang ia beli berguna atau tidak. Setiap remaja ingin merasakan akan kebutuhan tentang keberadaannya yang dapat memberikan perasaan bahwa remaja berhasil, mampu dan berguna. Peneliti tertarik untuk meneliti peran self esteem dalam memprediksi perilaku konsumtif pada remaja di DKI Jakarta. 1.2 Rumusan Masalah Apakah terdapat peran harga diri dalam memprediksi perilaku konsumtif pada remaja akhir di DKI Jakarta ? 6 1.3 Tujuan Penelitian Untuk melihat peran harga diri dalam memprediksi perilaku konsumtif pada remaja akhir di DKI Jakarta