KOLOM Tantangan Peningkatan Mutu Guru Oleh : Bahrul Hayat, PhD Sekretaris Jenderal Kementerian Agama Guru berfungsi sebagai generator dalam kegiatan pembelajaran yang menggerakkan seluruh komponen input. Guru merupakan leading sector. Bahkan guru bisa mengalahkan ketiadaan komponen-komponen input lain, seperti buku sebagi bagian dari komponen sarana. Guru Madrasah sedang memberikan pelajaran di depan siswa-siswi, pada salah satu Madrasah Aliyah di Jakarta. D alam dunia pendidikan dewasa ini berkembang sebuah paradigma bahwa proses pendidikan berbeda dengan proses produksi. Sekilas, lembaga pendidikan memang mirip pabrik atau lembaga produksi. Akan tetapi, sesungguhnya terdapat perbedaan yang sangat mendasar. Pada pabrik, terjadi hubungan kausal yang mutlak antara input (masukan), proses, dan output (keluaran). Komponen-komponen itu bergerak secara linier, dan bisa dikalkulasi dengan tepat. Begitu input dan prosesnya distandardisasi atau standar operasional prosedur (SOP) diterapkan, maka output-nya juga akan terstandar. Yang dibutuhkan adalah checking dan quality control. Sedangkan pada pendidikan tidak seperti itu, karena pendidikan bersifat dinamis, tidak statis. Kita tidak bisa menjadikan seluruh siswa sebagai input yang memiliki standar yang sama seperti barang. Pada proses pun, juga sangat dinamis, karena di proses ini ada wilayah yang disebut dengan black box (kotak hitam), yang tidak bisa dilihat dengan kasat mata. Karena kedinamisan itu, maka output yang dihasilkan dalam pendidikan juga tidak akan sama persis antara siswa yang satu Ikhlas BERAMAL, Nomor 63 Tahun XIII Juni 2010 49 KOLOM DAE R AUTAMA H LAPORAN dengan yang lain. Selain tiga hal itu, yakni input, proses, dan output, yang juga membedakan dalam pendidikan adalah adanya konteks (context). Baik input, proses, maupun output berinteraksi dengan konteks. Di pabrik atau lembaga produksi, tidak ada komponen konteks. Peran guru sangat penting sebagai penggerak terhadap proses pendidikan. Guru merupakan komponen paling dominan dalam proses interaksi itu. Guru adalah pusat dari pergerakan input supaya mengarah ke proses yang baik. Oleh karena itu, guru memegang peran sentral (the central role) dari proses pendidikan. Guru adalah ruh atau jiwa dari pendidikan. Guru berfungsi sebagai generator dalam kegiatan pembelajaran yang menggerakkan seluruh komponen input. Guru merupakan leading sector. Bahkan guru bisa mengalahkan ketiadaan komponen-komponen input lain, seperti buku sebagai bagian dari komponen sarana. Walaupun ada media atau sumber belajar yang lain, misalnya buku, internet, alat peraga, dan lain-lain, namun peran guru tetap tidak tergantikan. Saat kita masih belajar di SD dulu pada tahun 1960-an, tidak ada buku yang memadai, tidak ada laboratorium, toh pendidikan masih jalan karena ada guru. Melihat begitu pentingnya posisi guru, maka kebijakan peningkatan mutu guru harus mencakup dua hal. Pertama, harus mendorong kemampuan guru yang sangat profesional untuk menggerakkan sebuah sistem pembelajaran. Ini yang disebut dengan profesionalitas guru. Walaupun pemerintah berusaha keras meningkatkan mutu pendidikan, misalnya buku diperbaiki, sarana dilengkapi, kurikulum dirubah, tapi kalau guru sebagai penggeraknya tidak diperbaiki, tidak akan ada gunanya juga. Oleh karena itu, profesionalitas guru menjadi hal yang mutlak. Kedua, untuk menunjang agar guru memiliki profesionalitas yang tinggi, maka harus didukung dengan penghargaan yang memadai. Ini adalah keniscayaan. Itulah mengapa kesejahteraan menjadi nomor dua dari kesatuan nafas peningkatan mutu guru. Dalam upaya meningkatkan mutu guru, kita harus berpikir bahwa profesionalitas harus melekat dengan penghargaan terhadap profesi guru, apakah berupa penghargaan renumerasi (sistem penggajian), penghargaan sosial, dan lain-lain. Bisa jadi renumerasi tidak menjadi satu-satunya yang membuat guru profesional. Oleh karena itu, juga harus didukung oleh penghargaan sosial yang juga kuat. Di beberapa negara, tidak otomatis guru yang hidupnya sejahtera dan bergaji tinggi, melahirkan profesionalitas. Mengapa? Karena dukungan sosial 50 Ikhlas BERAMAL, Nomor 63 Tahun XIII Juni 2010 atau penghargaan lain terhadap guru tidak kuat. Misalnya di Kuwait, gaji guru sangat tinggi. Tapi tidak otomatis guru di sana profesional, karena daya dukung maupun pengakuan (recognition) terhadap profesi guru tidak muncul kuat. Walaupun gajinya sangat tinggi, tetap saja guru dipandang sebagai profesi yang kurang prestise. Kondisi di Kuwait itu berbeda dengan Indonesia. Sebelum era Orde Baru, gaji guru kita saat itu sebenarnya tidak begitu tinggi. Namun pengakuan sosialnya tinggi. Guru saat itu dipandang sebagai profesi terhormat dan disegani di masyarakat. Jadi makna aspek kesejahteraan guru itu tidak selalu terkait dengan uang. Dengan kata lain, saya memandang kesejahteraan guru itu tidak hanya bermakna kesejahteraan terhadap finansial (gaji), tetapi juga kesejahteraan batiniah berupa penghargaan dan pengakuan sosial maupun perlindungan terhadap profesi guru. Kesejahteraan batiniah itu juga harus ditumbuhkan melalui regulasi. Kita harus merancang sistematika yang baik untuk perlindungan dan penghargaan status sosial guru. Regulasi-regulasi yang kita buat harus menuntun masyarakat agar menghargai guru. Inilah konstruksi yang harus kita bangun. Kualifikasi, Distribusi, dan Kompetensi Guru Lahirnya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, merupakan solusi terhadap dua persoalan besar yang dihadapi guru, yakni rendahnya profesionalitas dan penghargaan/ kesejahteraan. Oleh karena itu, UU harus dimaknai sebagai UU tentang profesionalitas dan kesejahteraan guru dan dosen, karena intinya memang itu. Dua kata itu, yakni profesionalitas dan kesejahteraan, adalah bagaikan dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Kalau menyebut profesionalitas, harus meniscayakan adanya kesejahteraan. Walaupun UU Guru dan Dosen telah memuat aspek-aspek yang reformatif, namun implementasinya tidak gampang karena persoalan-persoalan yang terkait dengan guru-guru kita sangat pelik. Pertama, percepatan kebutuhan kualifikasi guru yang tidak sebanding dengan penyediannya. Pada masa lalu, kebutuhan guru berkualifikasi tidak secepat dengan penyediaannya. Tuntutan terhadap kualifikasi guru sudah harus tinggi, tapi waktu itu kita tidak pernah mampu dan secara konsisten melakukan penyiapan agar kebutuhan kualifikasi tersebut bisa terpenuhi. Peninggalan sejak zaman Belanda, Jepang, Orde Lama, sampai Orde Baru yang saat itu guru lulusan SLTA mengajar SD, mestinya dulu disikapi dengan KOLOM D A E LAPORAN RAH UTAMA sangat cepat karena perkembangan dunia menuntut kualifikasi guru harus naik. Namun waktu itu kita lambat meresponnya, dan belum ada political will yang menjadikan peningkatan kualifikasi guru ini sebagai program utama penyelenggaraan pendidikan kita. Nah, kelahiran UU Guru dan Dosen ini memaksa gap (kesenjangan) antara kebutuhan guru berkualifikasi dengan penyediaannya dibatasi bahwa pada tahun 2015 semua guru sudah harus di-upgrade berkualifikasi guru SD diwajibkan berijazah D-II, tidak diangkat sebagai political will pada tingkat UU. Sehingga program tersebut dibiarkan berjalan alamiah saja. Tidak menjelma sebagai gerakan besar. Akibatnya, walaupun sejak awal tahun 1990-an guru SD diwajibkan berijazah D-II, namun sampai tahun 2009 mungkin baru sekitar 60% yang mencapai kualifikasi tersebut. Sisanya yang 40% masih berkualifikasi setingkat SLTA. Kelonggaran ini mestinya tidak perlu waktu sekian lama. Seorang guru sedang mengawasi pelaksanaan Ujian tingkat Nasional di salah satu MadrasahTsanawiyah di Jakarta. S1 atau D-IV. Dengan kata lain, UU Guru dan Dosen merupakan daya paksa agar pengalaman sebelumnya selama puluhan tahun masalah kualifikasi guru yang dibiarkan berjalan apa adanya, tidak terulang lagi. Kita harus memenuhi tuntutan itu, yang menurut perkembangan pendidikan di dunia manapun, sudah harus mengupgrade kualifikasi guru minimal S1 atau D-IV. Pada masa lalu, kita tidak memaksa diri untuk melakukan hal tersebut. Kita dulu lama tidak melakukan upgrade kualifikasi guru karena terlalu mengandalkan mekanisme alamiah. Kita tidak menjadikannya sebagai program terobosan yang prioritas. Ketika Hal yang sama juga terjadi pada dosen. Dulu kita punya peninggalan sistem pendidikan, dosen lulusan S-1 mengajar mahasiswa program S1. Saat itu kita tidak punya political will yang memaksa semua pihak agar kondisi tersebut secepatnya diperbaiki, kualifikasi dosennya harus secepatnya ditingkatkan. Sekarang dengan adanya UU Guru dan Dosen, hal-hal seperti itu tidak boleh terulang lagi. UU Guru dan Dosen harus kita jadikan sebagai pendorong yang kuat, pemaksa agar pemerintah dan semua pihak menyadari bahwa gap kualifikasi guru jangan dibiarkan terus tanpa terobosan. Kalau kesenjangan kualifikasi itu terus dibiarkan, maka pengalaman yang lalu akan diulang. Padahal di era Ikhlas BERAMAL, Nomor 63 Tahun XIII Juni 2010 51 KOLOM DAE R AUTAMA H LAPORAN globalisasi, di negara-negara maju tidak ada guru- guru, sebaliknya semakin ke desa semakin tidak guru SD yang kualifikasi pendidikannya tidak ada guru. Persoalan ini sangat mengganggu setingkat S1. distribusi guru kita. Kalau terus dibiarkan, bukan Kedua, distribusi guru yang tidak merata. hanya berdampak terhadap lebarnya kesenjangan Penyebaran guru yang merata secara nasional mutu pendidikan. Lebih dari itu, hal tersebut juga masih mengalami kesulitan karena lokasi yang akan berdampak pada kesenjangan sosial dan sangat terpencar dan cukup banyaknya kepulauan ekonomi. Ini tentu sangat berbahaya bagi keutuhan kecil di daerah terpencil. Hal ini menyebabkan negara kita. Oleh karena itu, kebijakan pemerintah sulitnya menyediakan guru yang secara permanen untuk menyediakan guru di daerah pedesaan atau mau mengabdi di daerah-daerah tersebut. Secara terpencil wajib diprioritaskan. Hal ini karena di nasional, rasio guru dengan siswa pada tingkat SD daerah pedesaan/terpencil, kalau tidak ada buku sebenarnya sudah ideal, bahkan sudah surplus. mungkin tidak masalah. Tapi begitu tidak ada guru, Rasio Indonesia sekitar 1:20, bandingkan dengan pasti bermasalah. Jepang yang 1:25. Jadi rasio guru dengan siswa Ketiga, lemahnya kompetensi guru. Beberapa SD kita sebenarnya sudah melebihi rata-rata dari pengamat menyatakan bahwa walaupun kualifikasi negara maju. Tapi kenyataannya di daerah guru naik, namun dirasakan kemampuannya dalam pedalaman, bahkan di pinggiran Provinsi Banten, berbagai aspek masih lemah. Kelemahan itu masih banyak dijumpai ketidaktersediaan guru. mencakup empat kompetensi dasar guru, yaitu Untuk mengatasi problema distribusi guru yang kompetensi profesional (penguasaan terhadap begitu berat ini, UU Guru memberikan terobosan bidang/materi yang diajarkan), kompetensi berupa tunjangan khusus bagi guru yang bertugas pedagogik (kemampuan metodologis untuk di daerah khusus. Ketentuan ini adalah untuk menyampaikan materi dengan baik), kompetensi memaksa agar negara memberikan perhatian kepribadian, dan kompetensi sosial. khusus terhadap pemerataan ketersediaan guru. Menurunnya kompetensi guru sebagaimana Adanya tunjangan khusus bagi guru yang diklaim oleh sejumlah pengamat itu, bisa jadi salah bertugas di daerah khusus itu dimaksudkan untuk satu penyebabnya adalah proses massal dalam mendorong agar guru mau mengabdi di daerah penyediaan guru yang terjadi pada tahun 1970-an khusus. Mereka juga merasa aman, nyaman, dan hingga 1980-an yang disebut dengan kebijakan tercukupi kesejahteraannya. Tanpa afirmasi seperti Guru Inpres. Akibat adanya gerakan massal dalam itu, tentu sulit mendorong mereka bekerja di daerah penyediaan guru, maka pilihan pekerjaan guru terpencil. Afirmasi bagi guru yang bertugas di daerah khusus ini juga untuk mengurangi kesenjangan sosial ekonomi antara daerah perkotaan dengan daerah pedalaman. Memang benar bahwa, semakin tersedia sumber-sumber belajar yang lain, maka siswa relatif tidak membutuhkan cukup banyak waktu guru. Fungsi guru yang dibutuhkan adalah sebagai fasilitator. Misalnya di sekolah-sekolah perkotaan, guru cukup hanya memberikan arahan karena siswa bisa belajar sendiri dengan memanfaatkan berbagai sumber belajar yang tersedia. Semakin mengarah ke daerah pedesaan, kehadiran guru dalam proses pendidikan semakin dibutuhkan. Peran guru bagi daerah pedesaan dan terpencil menjadi sangat mutlak, bahkan segalagalanya. Padahal data kita menunjukkan, semakin ke kota semakin banyak Penguatan kemampuan penguasaan teknologi informasi mendorong peningkatan kualitas guru. 52 Ikhlas BERAMAL, Nomor 63 Tahun XIII Juni 2010 KOLOM D A E LAPORAN RAH UTAMA menjadi makin tidak menarik. Apalagi ketika dua hal penting tidak mendukung, yaitu kesejahteraan yang memadai, dan munculnya pilihan profesi lain yang lebih terbuka dan menarik. Kelemahan kompetensi ini sebenarnya sudah lama dirasakan, namun waktu itu tidak segera di-upgrade. Kalau UU Guru lahir pada tahun 1980-an, mungkin akan lain ceritanya. Untuk mengatasi tiga persoalan utama guru di atas, yakni kesenjangan kualifikasi dengan kebutuhan, distribusi yang tidak merata, dan rendahnya kompetensi, maka lahirnya UU Guru merupakan terobosan sekaligus alat yang secara politis memaksa pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat untuk melakukan tindakan mengatasi tiga persoalan tersebut. Jadi kelahiran UU Guru harus dilihat sebagai sebuah gerakan agar terjadi suatu daya dorong tinggi untuk memajukan pendidikan melalui penyediaan guru yang memiliki kualifikasi memadai, terdistribusi merata di semua layanan pendidikan, dan memiliki kompetensi yang baik. Mismatch, Kelangkaan Guru Bidang Tertentu, dan Sistem Penggajian Selain tiga persoalan utama di atas, juga ada sekurang-kurangnya tiga persoalan tambahan yang terkait dengan masalah guru, yakni mismatch, suplai bidang-bidang tertentu yang tidak memadai, dan sistem penggajian yang kurang baik. Mismatch adalah ketidaksesuaian antara kompetensi dan latar pendidikan guru dengan bidang yang diajarkannya. Problema ini terjadi karena munculnya bidang-bidang baru di kurikulum tidak cepat disuplai oleh lembaga penyedia guru atau Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK). Dengan kata lain, adjusment (penyesuaian diri) dari LPTK tidak cepat dalam merespon perubahan kurikulum. Sebagai contoh, meskipun matapelajaran di SD dan SMP untuk rumpun ilmu-ilmu sosial secara terintegrasi dinamakan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) dan untuk rumpun ilmu-ilmu alam dinamakan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), namun sampai sekarang program studi yang dikembangkan di LPTK masih belum menggambarkan sebagai sebuah program studi IPS atau IPA yang terintegrasi. Program studi yang dikembangkan di LPTK masih terpisah sendiri-sendiri, misalnya Pendidikan Fisika, Pendidikan Kimia, Pendidikan Biologi, Pendidikan Ekonomi, Pendidikan Geograsi, Pendidikan Sejarah, dan lain-lain. Belum lagi kalau kita bicara kebutuhan baru tentang teknologi komunikasi dan informasi (TIK), juga kebutuhan terhadap kemampuan bahasa Inggris di tingkat pendidikan dasar. Jadi ada gap yang mencolok antara suplai dengan demand. Tuntutan perkembangan yang dicerminkan oleh kurikulum tampak semakin beragam, namun LPTK tidak mampu memberikan suplai dengan cepat. Khusus di pendidikan madrasah, kondisi mismatch ini lebih berat dibanding pendidikan umum (sekolah). Hal ini karena pendidikan di madrasah dulu selalu diidentikkan dengan pendidikan agama. Oleh karena itu, kebanyakan guru yang direkrut madrasah adalah lulusan pendidikan agama Islam. Ketika masuk dalam sistem pendidikan nasional yang memasukkan matapelajaran umum, maka madrasah tersebut memanfaatkan guru berlatar belakang pendidikan agama Islam yang dimilikinya untuk mengajar matapelajaranmatapelajaran lain, walaupun bukan keahliannya. Dengan kata lain, ada dua penyebab terjadinya mismatch guru. Pertama, tuntutan perubahan kurikulum yang sangat cepat berkembang, yang tidak diimbangi oleh suplai tenaga guru dari LPTK. Kedua, khusus pada madrasah, pergerakan perubahan dari posisi madrasah yang awalnya murni sebagai pendidikan keagamaan kemudian ditambahkan matapelajaran umum, tidak dibarengi dengan ketersediaan guru bidang studi tersebut. Dengan adanya UU Guru yang menegaskan bahwa guru harus bersertifikat profesi pendidik, maka masalah mismatch ini harus dicari terobosan untuk mengatasinya. Khusus untuk mengatasi masalah mismatch guru-guru madrasah, Kementerian Agama (Kemenag) menggulirkan program yang disebut dengan dual competencies (kompetensi ganda). Kompetensi pertama sebagai sarjana pendidikan agama tetap mereka miliki, lalu kita perkuat kompetensi kedua yakni kemampuan menguasai matapelajaran umum yang diajarkan. Caranya, mereka dikuliahkan kembali selama beberapa semester khusus untuk memperoleh sertifikat kompetensi kedua. Jadi mereka nanti secara resmi punya kemampuan mengajar bidang kedua. Ini bentuk kuliah tambahan. Mereka kita sertakan ke sejumlah perguruan tinggi yang bagus. Problem tambahan berikutnya adalah tidak pernah terpenuhinya suplai guru untuk bidangbidang tertentu, terutama fisika, seni, dan olahraga. Padahal tiga matapelajaran itu diwajibkan. Untuk tiga bidang itu, sampai saat ini negara kita masih belum bisa memenuhi. Mengapa hal ini sampai terjadi? Karena peminat tiga bidang itu tidak banyak, dan bukan hal mudah mendorong orang untuk memasuki bidang-bidang tersebut. Oleh karena itu, mesti ada terobosan untuk menstimulasi agar anak-anak mau menjadi guru tiga bidang tersebut, misalnya memberikan beasiswa, mengambil anak-anak yang berasal dari keluarga tidak mampu secara ekonomi tetapi Ikhlas BERAMAL, Nomor 63 Tahun XIII Juni 2010 53 KOLOM mereka memiliki potensi dalam tiga bidang itu untuk diberi fasilitas studinya sampai menjadi guru. Problema tambahan yang terakhir adalah sistem penggajian. Sampai sebelum keluarnya UU Guru, sistem penggajian guru ini merupakan persoalan serius. Namun setelah berlakunya UU Guru, masalah penggajian ini relatif sudah teratasi. Guru yang sudah bersertifikat bukan hanya menerima gaji pokok, tetapi juga menerima tunjangan profesi yang besarnya sama dengan satu kali gaji pokok. Bahkan guru yang bertugas di daerah khusus, mendapat tambahan tunjangan khusus yang besarnya juga satu kali gaji pokok. Pengembangan Profesional Mandiri Perkembangan IT yang sangat cepat memang Siswa Madrasah sedang praktek Biologi di ruang laboratorium. memberatkan bagi guru ketika sumber belajar (learning resources) tersedia lebih banyak dan lebih mudah bagi siswa. Di kota, misalnya, banyak guru masih terbiasa menggunakan buku teks, sementara anak-anaknya sudah menjelajah dunia maya. Padahal buku-buku teks pelajaran maupun kurikulum kita selalu terlambat lima sampai sepuluh tahun dari perkembangan sains. Oleh karena itu, peran guru harus sedikit ditambah. Kalau sebelumnya peran guru bersifat konvensional, yakni mentransfer pengetahuan secara tatap muka, sekarang harus ditambah fungsi fasilitasi dan pendampingan dalam proses belajar. Kehadiran guru harus dirasakan oleh anak, walaupun proses pembelajarannya bisa melalui berbagai cara, misalnya melalui media online. Peran tambahan guru berupa fasilitasi dan pendampingan itu merupakan tantangan untuk mencapai profesionalitas. Namun, pencapaian 54 Ikhlas BERAMAL, Nomor 63 Tahun XIII Juni 2010 profesionalitas guru itu kini tidak bisa lagi dilakukan hanya dengan training atau pendikan dan pelatihan (diklat) konvensional seperti yang dilakukan selama ini. Kita harus menciptakan beberapa modus baru. Modus yang paling penting yang harus dikembangkan adalah apa yang disebut dengan self professional development atau pengembangan profesional mandiri. Inilah paradigma baru yang harus dikembangkan untuk menggenjot profesionalitas guru ke depan. Para guru harus didorong agar memiliki kapasitas untuk mengembangkan dirinya sendiri, tidak lagi bergantung pada pihak lain. Mereka tidak boleh lagi mengandalkan pada program-program pengembangan yang dilakukan pihak luar (external development). Pengembangan profesional mandiri ini harus menjadi bagian dari kebutuhan mutlak para guru untuk meningkatkan kompetensinya. Apalagi, pemerintah tidak mungkin melakukan pendekatan konvensional berupa training kepada 2,7 juta guru secara bertahap. Diputar dengan cara apapun, pelatihan kepada guru sebanyak itu tidak akan teratasi dalam jangka lima tahun. Oleh karena itu, ke depan kita harus melahirkan satu kondisi yang mendukung terhadap self professional development. Kalau pada masa lalu pengembangan profesional mandiri itu dianggap sebagai beban, maka setelah peningkatan kualifikasi dan kesejahteraan self professional development harus dipandang sebagai kebutuhan untuk meningkatkan kompetensi guru. Kalau gaji guru naik dan mereka mendapat tunjangan profesi, tidak lantas habis untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Kenaikan kesejahteraan itu harus dimaknai sebagai instrumen untuk meningkatkan profesionalitas, misalnya dengan membeli buku baru, men-download bahan-bahan dari internet, langganan koran dan majalah, dan lain-lain. Ke depan, self professional development itu pada gilirannya berdampak pada perubahan mindset guru dalam meningkatkan profesionalitasnya. Kalau dulu menunggu dan berharap pada pihak lain, sekarang harus menjadi kebutuhan mereka sendiri. Namun, syaratnya adalah kualifikasi dan kesejahteraannya harus ditingkatkan. *** *) Tulisan ini disarikan dari wawancara Saiful Anam dengan Sekjen Kemenag Bahrul Hayat, PhD