Fungsi Sosial Film (?) A. Nimas Kesuma N

advertisement
Dialektika Edisi 07 Tahun 2011
ISSN 1858-3857
Fungsi Sosial Film (?)
A. Nimas Kesuma N
Sebagai seorang penikmat film nasional, rasanya bangga melihat perkembangan perfilman
nasional belakangan. Kreasi sineas nasional tak hanya membanggakan di dalam negeri tetapi
pengakuan juga diberikan dunia internasional melalui penghargaan yang diberikan bagi
sineas nasional. Kondisi macam ini sangat jadi adalah indikasi kebangkitan perfilman
nasional. Meski harus diakui apresiasi publik terhadap karya perfilman nasional belum
cukup optimal untuk membangun sebuah iklim perfilman yang baik.
Dalam konsepsi umum film merupakan media hiburan bagi penikmatnya, tapi dalam
kenyataannnya film juga memiliki fungsi sosial, seperti yang diungkapkan Karl Manheim
bahwa siaran televisi, film, dan media lain yang melibatkan khalayak dapat menimbulkan
apa yang dirumuskan Manhein sebagai publik abstrak, meski publik abstrak tidak
terorganisir, tapi reaksi terhadap stimulus yang sama yang diberikan melalui media diatas,
akan bersesuaian dengan konsep integrasi sosial (Soejono Soekanto : 1985). Dari sana
ternyata kita bisa melihat film tidak sekedar sebagai sebuah karya seni yang lantas bersamasama kita nikmati, lebih dari itu film juga dapat dilihat sebagai sebuah bangunan sosial dari
masyarakat yang ada dimana film itu diciptakan. Maka, kita kemudian dapat menarik sebuah
benang merah bahwa film juga memiliki fungsi sosial.
Berbicara mengenai fungsi sosial film, kita tentu tak dapat melepaskan diri dari realita sosiokultural yang mengitari film tersebut. Dalam konteks Indonesia kekinian, sebuah masalah
besar yang dihadapi bangsa adalah, mulai hancurnya integrasi sosial, seperti diungkapkan
Imam Prasodjo, bahwa kerekatan sosial (social bond) bangsa ini tengah berada pada titik
terendah (2000).
Dari sketsa perfilman nasional dua-tiga tahun terakhir fungsi film sebagai media
membangun integrasi sosial telah nampak, dapat kita lihat dalam film karya Garin Nugroho
(Aku Ingin Menciummu Sekali Saja) atau film nasional terbaru (Biola dak berdawai). Dalam
film-film tersebut nampak jelas bahwa film mencoba membangun kesadaran kolektif bangsa
ini untuk mau dan sanggup mengakui pluralitas.
Maka secara tidak langsung sudah tercapai kesepakatan bahwa film memang memiliki fungsi
sosial yang cukup besar. Apalagi konon, film merupakan karya estetika yang memiliki bahasa
universal, dimana audience tersebar melintasi lorong-lorong ideologis, agama, suku dan ras.
Sosiologi FISIP Universitas Sebelas Maret
Page - 1
Dialektika Edisi 07 Tahun 2011
ISSN 1858-3857
Peluang film menjadi sarana membangun integrasi sosial menjadi sangat terbuka, apalagi
ketika publik saat ini tengah meragukan institusi resmi bentukan negara.
Kemudian pertanyaan yang muncul apakah fungsi sosial film ini akan membebani para
sineas Indonesia dalam melahirkan ide. Rasanya kebebasan ekspresi atau juga dimensi
estetik dalam film tidak harus dipertentangkan dengan dimensi sosial film, karena keduanya
merupakan hal yang inheren. Karena saya yakin, para pekerja film di negeri ini, apalagi para
darah muda yang punya energi idealis memiliki sense of belonging terhadap bangsa ini, dan
ketika bangsa membutuhkan sentuhan mereka guna membangun kembali integrasi sosial,
tentu saja mereka akan menjadikan itu sebagai salah satu bagian penting dalam aktivitas
mereka berkarya.
Selamat Tinggal Film Kacau
Selama rentang waktu dua dasawarsa tertidurnya perfilman nasional, film-film yang muncul
film dengan kualitas yang rendah, tema yang diusung tak jauh dari ranjang dan setan. Bisa
jadi publik menyambut film semacam itu dengan tangan terbuka, tapi saya melihat sambutan
publik lebih disebabkan karena memang tidak ada pilihan tontonan, film yang muncul film
seperti itu maka mau tak mau film itu yang dikonsumsi, kita mencatat ketika muncul Daun di
Atas bantal publik menyambut dengan sangat antusias. Mengapa kami mengambil Daun di
atas bantal, karena film inilah yang menjadi salah satu pendobrak lesunya perfilman nasional
ketika itu.
Masa kejayaan film kacau sudah harus ditinggalkan, apalagi film-film tersebut ditinjau secara
sosiologis hanya akan memberi stimulus negatif bagi publik. Lihat saja banyaknya kasus
perkosaan yang ditimbulkan oleh film-film berbau ranjang tadi. Dengan munculnya film
nasional dengan kualitas yang memadai secara berlahan akan menggeser paradigma
penikmat film yang semula menjadikan film sekedar memiliki fungsi rekreatif menjadi
paradigma yang menjadikan film memiliki fungsi ganda, fungsi sosial dan fungsi rekreatif.
Ada juga sebuah fenomena menarik dalam perfilman nasional saat ini, masih hadirnya film
nasional yang berbau setan seperti Jelangkung atau yang akan menyusul Tusuk Jelangkung,
tapi yang kini hadir adalah usaha merasionalkan keyakinan tradisonal seputar dunia klenik
tersebut. Aspek tonjolan dalam film-film berbau setan tersebut lebih pada usaha elaborasi
spiritual yang rasional ketimbang sekedar penekanan pada aspek keseraman dan
ketegangan film. Kondisi-kondisi di atas menguatkan keyakinan bahwa masa kejayaan filmfilm kacau akan segera berlalu.
Sosiologi FISIP Universitas Sebelas Maret
Page - 2
Dialektika Edisi 07 Tahun 2011
ISSN 1858-3857
Film-film nasional saat ini juga memperlihatkan ada usaha menjadikan publik penikmat
sebagai subjek bukan sekedar objek film, dimana proses dialektis antara penikmat film dan
pekerja film diusahakan untuk berlangsung. Baik pada saat film akan diproduksi maupun
pasca produksi, proses macam ini harus terus dilakukan jangan sampai kesalahan yang
menimpa Pearl Harlbour yang notabene adalah film sejarah malah mengesampingkan fakta
sejarah juga terjadi pada film nasional.
Merumuskan Fungsi Sosial Film
Bila kita mau merujukkan dunia film nasional dengan kondisi sosio-kultural masyarakat kita,
maka ada beberapa tawaran fungsi sosial yang bisa diperankan film sebagai media stimulus.
Pertama, film sebagai media pelurusan sejarah, seperti kita ketahui sejarah bangsa ini
menjadi sangat tidak jelas akibat banyaknya sejarah yang diciptakan penguasa dan salah
satu media pereduksian sejarah dilakukan melalui film, meskipun tugas meluruskan sejarah
bukan menjadi tanggung jawab sineas saat ini, tapi paling tidak ada beban untuk mencoba
melakukan eksplorasi historis bangsa ini, mengingat film adalah media yang cukup efektif
untuk menyampaikan pesan.
Kedua, film harus ikut serta membangun integrasi sosial bangsa ini yang disebut-sebut
tengah berada di tepi jurang, meski mungkin isu-isu seputar integrasi sosial isu yang tidak
terlalu menarik untuk dijadikan bahan film, tapi tanggung jawab membangun kembali
integritas sosial adalah tanggung jawab kita bersama, salah satunya adalah dunia perfilman
nasional. Film harus mampu menjadi jembatan dalam dialog pluralitas di negeri ini, ada
baiknya film mampu menjelaskan pluralitas di negeri ini dalam bahasa yang mudah
dipahami hingga esensi integrasi sosial dapat terbangun melalui kesadaran yang
dimediasikan oleh film.
Ketiga, film harus ikut dalam proses demokratisasi di negeri ini, peran sebagai campaign
media untuk kelangsungan proses demokrasi dapat diperankan oleh dunia film nasional, film
diharapkan mampu mentransformasikan nilai-nilai demokrasi ke audience. Fungsi-fungsi
tambahan bagi film nasional di atas tidak dimaksudkan untuk membatasi kreativitas para
sineas dalam berkarya, fungsi-fungsi tersebut merupakan fungsi yang muncul secara natural,
sebagai bentuk persinggungan antara dunia film nasional dengan realitas sosio-kulturalpolitik bangsa ini. Jadi, sangat tidak beralasan jika fungsi sosial film dianggap menjadi beban
bagi pekerja film di Indonesia.
Sosiologi FISIP Universitas Sebelas Maret
Page - 3
Dialektika Edisi 07 Tahun 2011
ISSN 1858-3857
Akhirnya proses dialog antara film sebagai bangunan tersendiri dimana aspek estetik
menjadi pusat dengan kondisi sosio-kultural-politik lingkungan yang mengitarinya, maka
waktulah yang akan menjawab segala harapan-harapan pada perfilman nasional dalam
memainkan fungsi-fungsi sosialnya. Semoga perfilman nasional mampu menjadi tuan rumah
di negeri sendiri dan bisa dibanggakan sebagai produk original anak negeri.
Sosiologi FISIP Universitas Sebelas Maret
Page - 4
Download