Hasil ketik ulang dari dokumen asli (dokumen asli terlampir di bawah) : YUDHA MINGGU, 11 Januari 1987 “Duo-Ismail” Dalam Kiprah Musik dan Film Musik dan film, di negeri kita ibarat kotak TTS. Antara lain kotak mendatar dan menurun pun keterkaitan yang sulit dipisahkan. Realitas ini nampak pada perjalanan karir artis Indonesia. Kepopuleran seseorang dalam dunia tarik suara, didukung wajah cantik, bisa ditarik ke layar putih. Sebaliknya bintang film yang ngetop, dapat menggedor studio rekaman. Beberapa albun segera dilemparkan ke pasaran. Padahal belum tentu suaranya bagus. “Ah, tak apalah. Yang penting kan sudah punya nama. Soal suara nomor dua” kira-kira begitulah jalan pikiran sang produser. Karena sasaran kepopuleran Marissa Haque, Lydia Kandou, dan beberapa artis lainnya, pernah mengisi suaranya di kaset. Tetapi jauh untuk dikatakan meledak. Nyatanya ketenaran seseorang tak menjamin kaset itu laku di pasaran. Ini entah perhitungan produser yang salah memperkira keuntungan materi semata atau kuping orang Indonesia yang terlatih. Artinya bisa membedakan mana yang penyanyi beneran, mana penyanyi bohongan. Kenyataannya sekarang ini jangkan bintang film, atlit yang terkenal pun bisa jadi penyanyi. Yang penting namanya sudah top. Senua itu tentu saja merupakan dampak dan perkembangan musik dan film di negeri kita. Ekses yang kurang sehat tentunya. Kendati begitu kita tidak bisa melupakan kiprak dua orang seniman di masa lalu. Dan tonggak-tonggak kesenimannya tetap kukuh sampai sekarang. Bahkan menjadi pegangan yang kuat buat komponis dan sineas di masa kini. Dua tokoh itu sama-sama memakai nama Ismail. Yang satu bergelut di bidang musik, satunya lagi di dunia film. Mereka sama-sama intens dalam bidangnya masingmasing. Hingga nama mereka dikenal baik di luar negeri ,aupun di dalam negeri sendiri. Bukti dan dedikasi mereka diabadikan melalui Pusat Kesenian dan Perfilman. Ismail Marzuki dilahirkan di Kwitang, tanggal 11 Mei 1914, putra dari seorang pemilik bengkel. Marzuki. Oleh rekan-rekannya si “Panon Hideung” ini lebih top dipanggil Maing. Dalam kertas-kertas lagu ciptaannya, tertulis Ismail Marzuki. Mengikutkan nama ayahnya di belakang namanya sendiri. Sejak kecil, bocah Kwitang ini paling getol mendengarkan musik. Kalau sudag begitu, ia tidak ingat apa-apa lagi. Kecuali terus memasang telinganya di depan gramaphone. Ini merupakan pengaruh untuk kekomponisannya, di samping ia jua mempunyai feeling yang kuat dalam menangkap gerak-gerik nada. Vokal yang dimiliki Ismail pun nyatanya tak bisa dibilang jelek. Dalam menyalurkan jiwa seninya, ia bergabung dengan grup orkes Lief Java. Lagunya yang berjudul “My hulla girl” memenangkan juara tiga dalam lomba musik Hawaian. Ia memang jago berbahasa Inggris. Andaikata ia masih hidup, dan diwawancarai penyiar In English Program di TVRI boleh jadi membuat jadi artis-artis penyanyi sekarang jadi iri. Bahkan harus bersuhu bahasa Inggris itu kepadanya, di samping berguru musik. Maksudnya, agar tidak tersendat-sendat kalau sedang diwawancarai. Dan tidak monoton dalam membuat komposisi musik. Terutama musik pop yang kini tak bergeser dari nada itu ke itu juga. Kalau dihitung-hitung, lagu ciptaannya komponis ini sudah ratusan jumlahnya baik dalam sentuhan keroncong, pop, melayu dan irama musik lainnya. Beberapa lagu yang masih pavorit sampai sekarang di antaranya “O Kopral Jono”, “Duduk Termenung” dan lainnya. Selain itu, syairnya yang diguratkan Ismail dalam lagu-lagunya banyak mencerminkan sikapnya yang patriotis. Hentakan musiknya seperti dalam lagu “Halohalo Bandung”, menyiratkan kegagahan. Mengajak bangsa Indonesia untuk terus membela tanah air. Tak heran jika lagu tersebut masih menggema sampai sekarang. Dan menjadi lagu kenangan sepanjang masa. Kendati begitu, bukan tak banyak lagu-lagunya yang bertema cinta. Tapi, garapan musiknya yang apik, ditambah lagi syair yang tinggi nilai satranya, membuat lagu Ismail jauh untuk dikatakan cengeng. Selama hidupnya, Ismail yang suka melawak ini, tak pernah lepas dari musik. Tapi, toh ia tidak terseret dalam pola hidup glamour. Malah ia serba kekurangan. Untuk menunjang hidupnya sehari-hari, ia memberikan les bahasa Inggris. Sedang istrinya, Eulis Zuraedah, menambal sulam dengan berjualan gado-gado. Dalam suka dan duka mereka selalu berdua. Tanpa anak disekitar mereka. Akhirnya, seniman kebanggan kita ini, dipanggil oleh Yang Maha Kuasa. Ia meninggal pada tanggal 25 Mei 1958, pukul 14.00 WIB. Sayang, komponis legendaries ini meninggal dalam usia yang masih sangat muda, 44 tahun. Namanya diabadikan untuk sebuah Pusat Kesenian Jakarta, Taman Ismail Marzuki. Yang lebih popular disebut TIM, tempatnya mangkalnya para seniman. Ismail yang satu lagi, sudah pasti gampang ditebak. Siapa lagi kalau bukan H Usmar Ismail yang dilahirkan di Bukit Tinggi, 21 Maret 1921. Pendidikannya, Algemene Middelbare School (A.M.S) bagian kesusasteraan. Ketika Jepang masuk ke Indonesia, ia melanjutkan ke Sekolah Menengah Tinggi (S.M.T). Di dunia sastra, ia termasuk angkatan 45, bersama rekan-rekannya, Asrul Sani, Chairil Anwar dan lain sebagainya. “Punting Berasap”, merupakan salah satu puisi yang dijadikan judul dalam buku kumpulan puisinya. Diterbitkan oleh Balai Pustaka pada tahun 1950. Puisi-puisinya yang lain seperti “Kalung dan Mutiara”, “Pujangga dan CitaCita” terdapat juga dalam buku “Kesusasteraan Indonesia di Masa Jepang”. Disusun oleh kritikus sastra Indonesia terkemuka, HB. Jasin.keterlibatan Usmar dalam sastra Indonesia, ternyata tak hanya menulis puisi. Ia juga menggoyangkan penanya untuk genre sastra lainnya, cerpen dan naskah Sandiwara. Kesusasteraan, memang kiprah pertama Usmar. Dan bukti dari keuletannya itu, telah beberapa naskah sandiwara dibuatnya. Antara lain: “Citra”, “Mutiara Dari Nusa Laut”, “Mekar Melati”, dan lainnya. Pada masa pendudukan Jepang, ia mendirikan perkumpulan sandiwara “Maya”. Sebagai bayangan Pusat Kebudayaan buatan Jepang. Dengan kata lain untuk menandingi para seniman yang menjadi “terompet” propaganda Jepang.. Akibat poltik “bangsa kuning” yang mengaku-aku sebagai saudara tua bangsa Indonesia. Dan akan memberikan kemerdekaan penuh. Padahal, mereka tak ubahnya seperti Belanda yang lebih dulu datang menjajah. Di waktu selanjutnya, dunia perfilman ternyata amat menarik perhatian Usmar. Iapun kemudian mendulang ilmu perfilman di South Pacific Film Corporation. Sejak kecil, ia memang sudah ngebet terhadap dunia yang kini semakin semarak itu. Ia pun segera mendirikan Perusahaan Film Indonesia (PERFINI) sesudah perang kemerdekaan dan kedaulatn, tahun 1950. “Orang Sumatera” yang satu ini, memang tak pernah kenyang dalam menimba pengetahuan dan pengalaman di bidang film. Universitas of California, Amerika Serikat adalah salah satu ‘air’ yang memenuhi dahaganya. Ia mengambil fakultas Theatre Arts selama delapan bulan.di samping itu, tak sedikit negara-negara maju di bidang perfilman yang ia satroni, di antaranya Italia. “The Long March”, yang lebih dikenal “Darah dan Doa” merupakan film pertama yang ia lahirkan. Syuting awal film tersebut yakni tanggal 30 Maret, ditetapkan sebagai Hari Film Nasional. Oleh Dewan Film Indonesia. Dan ini, membuat Usmar makin melanglang dalam bidang yang dicintainya itu. Jika dibandingkan dengan kondisi sekarang, segala fasilitas di jaman Usmar minim sekali. Namun, itu bukan hambatan untuk membikin film bermutu. Buktinya film “Krisis” yang dibuatnya tahun 1952 mencapai box office di pasaran. Bahkan disebutsebut sebagai film bermutu. Puluhan film yang dibuat Usmar, menandakan jiwanya yang menggebu-gebu. Karya sang pelopor film ini diantaranya “Gadis Desa” (1949), “darah dan Doa” (1950), “Enam Jam di Jogya” (1951), “Kafedo” (1952), “Lewat Jam Malam” (1954), dan film lainnya yang dibuat rata-rata pertahun sampai dengan tahun 1970. Dalam tiap tahunnya, Usmar mampu memproduksi tiga sampai empat vuah film. Suatu reputasi yang hebat tentunya. “Ananda” adalah filam terakhir yang dibikinnya tahun 1970. setahun kemudian, ia meninggalkan dunia film untuk selama-lamanya. Dalam usia 50 tahun ia kembali ke pangkalan Illahi. Tepatnya tanggal 2 Januari 1971 di Jakarta. Namanya diabadikan untuk Pusat Perfilman, yang sekarang dikenal sebagai Pusat Perfilman H. Usmar Ismail, di Kuningan Jakarta. Sisi lain dari almarhum ini adalah aktivitasnya di bidang prganisasi. Ia seorang organisatoris yang kaya pengalaman. Pernah menjadi anggota Pengurus Besar Nadhatul Ulama Jakarta, sejak tahun 1964-1969. berbagai jabatan ketua juga pernah dipegangnya. Ketua Badan Permusyawaratan Kebudayaaan Indonesia Yogyakarta, Ketua Umum Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia dan berbagai organisasi film. Di lapangan Jurnalistik, ia pernah menjabat Ketua PWI. Bahkan jabatan penting lainnya. Kedua tokoh senior besar itu telah pergi. Namun, jejak merekaterpampang di depan mata kita. Sebagai seniman pejuang yang memantapkan hatinya buat kemajuan bangsa. Dan kita tinggal lagi ,mendayung “sampan” sampai ke horizon. Melanjutkan perjalanan yang terputus. Meneruskan cita-cita mereka. (Ichsan Ch Mochtar)