1 URGENSI PEMULIHAN TARGET RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) DALAM RTRW 2010 DKI JAKARTA *) Oleh: Tarsoen Waryono **) Abstrak Realisasi pembangunan RTH (sementara) tahun 2002, tercatat 148,35 luas RTH 2002; hingga realisasi RTH (sementara tahun 2002) tercatat 7.394,98 ha, terdiri atas RTH Lindung (340,80 ha); RTH Budidaya Pertanian (3.656,91 ha) RTH Pertamanan (2.206,27 ha), RTH Pemakaman (666,48 ha); dan RTH Kehutanan (524,52 ha). Hingga pemenuhan target RTH (RTRW 2010), selama 8 tahun rata-rata 268,72 ha/tahun. Untuk memperoleh gambaran penyeimbangan dana pembangunan konpensasi besaran PAD sektor hijau, dapat dihitung. Jumlah (STNK) di DKI Jakarta tercatat ada 4,1 juta, dengan konpensasi lingkungan Rp 1000,-/kendaraan/tahun; maka jumlah dana tersedia sebesar Rp 4,1 milyar setiap tahunnya. Pendahuluan Daerah khusus Ibukota (DKI) Jakarta, seperti halnya kota-kota besar di negaranegara lain, dalam pertumbuhannya menghadapi dua fenomena yaitu; (a) menurunnya lingkungan fisik kritis perkotaan, dan (b) masalah sosial seperti urbanisasi, tumbuh berkembangnya permukiman kumuh, lunturnya budaya asli serta gejala sosial lainnya. Penduduk DKI Jakarta akhir tahun 2000 ± 11,2 juta jiwa pada siang hari dan ± 9,2 juta jiwa pada malam hari (Waryono, 2001), dan cenderung semakin meningkat seiring dan sejalan dengan tumbuh berkembangnya wilayah perkota-an. Kondisi ini nampaknya memacu terhadap luas kawasan kumuh yang kini tercatat 11.340 ha, atau (17,3% dari luas daratan DKI Jakarta). Menurunnya daya dukung lingkungan hidup kota Jakarta, seperti laporan hasil penelusuran (Waryono, 2000), cenderung disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut; (a). Jumlah kendaraan bermotor ± 6,3 juta buah, menyebabkan meningkatnya tingkat polusi udara. Pencemaran udara selama jangka waktu 3 tahun (1997-2000) seperti Karbon dioksida (Co2) dari 274,3 menjadi 307,0 mg/m2; kadar debu rata-rata dari 279,7 menjadi 461,0 mg/m2 ; Kadar timbal (Pb) dari rata-rata 261,6 meningkat menjadi 411 mg/m2; demikian halnya dengan kadar kebisingan dari rata-rata 38,9 dan kini meningkat menjadi 43,6 dB (BPLHD, 2000). (b). Meningkatnya luas bangunan beton dan aspal ± 18.798,5 ha (28,7% luas daratan DKI Jakarta), hingga menyebabkan tingginya laju limpasan air hujan. *). Sumbangsih pemikiran peningkatan pembangunan kawasan hijau di DKI Jakarta, Pertemuan Koordinasi Pembangunan kawasan Hijau, Gunung Sahari 3 Prebuari 2003 (Dinas Pertanian dan Kehutanan DKI Jakarta). **). Pengelola hutan kota dan Staff Pengajar Jurusan Geografi FMIPA Universitas Indonesia. Kumpulan Makalah Periode 1987-2008 2 Tingginya tingkat laju erosi (wilayah kikisan) ± 82,3 ton/ha/tahun dan meluasnya wilayah pengendapan, sebagai akibat hasil sedimentasi, yang memberikan pengaruh bahkan dampak terhadap semakin meluasnya wilayah genangan musiman dan kawasan kumuh perkotaan ± 19.540 ha, atau 29,8% dari luas daratan DKI Jakarta (PPST, 2000). (c). Meningkatnya bangunan berdinding kaca ± 4.061 ha (6,2% dari luas daratan DKI Jakarta), menyebabkan meningkatnya kutub-kutub panas kota; dari suhu udara rata-rata dari 28,3 menjadi 30,70C (BPLHD, 2000). (d). Terdesaknya luasan kawasan hijau akibat lajunya pembangunan fisik wilayah baik untuk kepentingan permukiman, maupun pusat-pusat kegiatan kota, hingga menyebabkan tidak berfungsinya kawasan hijau, dan kawasan tandon air ± 5.765 ha, serta terganggunya habitat dan sangtuari satwa liar (Dinas Kehutanan DKI Jakarta, 1999). (e). Lajunya pemanfaatan air tanah dangkal dan penerapan teknologi pancang bangunan tinggi, hingga menyebabkan terganggunya sirkulasi dan sistem tata air tanah (hidrologis), serta menyusupnya intrusi air laut yang kini telah mencapai 7.210 ha atau 11% dari luas daratan DKI Jakarta (PPST, 1997). Mencermati fenomena lingkungan fisik kritis perkotaan seperti uraian di atas, munculah kesadaran bagi Pemerintah DKI Jakarta sejak tahun 1980-an, dalam upaya mengendalikan atas kecenderungan-kecenderungannya. Langkah awal yang dilakukan, dengan dibentuknya Dinas-dinas Teknis (Pertanian, Pertamanan, dan Kehutanan), yang secara langsung memiliki embanan tugas untuk penanganannya. Pertimbangan yang cukup mendasar munculnya kesadaran Pemda DKI, atas dasar peran fungsi dan jasa biologis pepohonan yang telah terbukti dan mampu melerai serta mengendalikan berbagai bentuk cemeran dan sumber-sumber penyebab lainnya. Hal ini mengingat bahwa keberadaan kawasan hijau dapat berfungsi sebagai paru-paru kota; kenyamanan lingkungan hidup; sumber produksi oksigen, pelerai segala bentuk cemaran (udara, air dan tanah), pereda iklim mikro, baik sebagai pengatur kelembaban dan suhu udara, penghalau angin, dan pelerai silau cahaya; pengatur tata air tanah dan pengendali laju erosi; berperanan fungsi sebagai habitat sangtuari satwa liar, pelestarian plasma nutfah dan vegetasi asli, serta bermanfaat dalam dunia ilmu penge-tahuan alam lainnya. Di sisi lain, kawasan hijau perkotaan juga berperan sebagai pemandu keindahan kota; pusat kesegaran jasmani, rekreasi alam dan sumber produksi terbatas. Meperhatikan meningkatnya laju pertambahan jumlah penduduk, dan semakin meningkatmnya sumber-sumber penyebab lingkungan fisik kritis perkotaan, serta peran fungsi dan jasa biologis pepohonan, untuk itu niat kesungguhan untuk membangun kawasan hijau, merupakan langkah dan program yang dinilai cukup strategis. Atas dasar itulah Perda DKI Jakarta No. 6 tahun 1999, tentang RTRW 2010, secara tegas ditetapkannya luasan RTH 9.544,79 ha. Suatu harapan dengan ditetapkannya luasan RH tersebut di atas, mampu mewujudkan Jakarta hijau dalam waktu yang relatif singkat; terkendalinya lingkungan fisik kritis perkotaan, dengan sasaran utama terciptanya kota Jakarta yang teduh, hijau royo-royo dan berkicau, sebagai ilustrasi kota yang telah menyandang gelar Ibukota Negara, kota Metropolitan, kota Tropis Dunia, dan kota jasa (service city). Kumpulan Makalah Periode 1987-2008 3 Mencermati kompleknya fenomena di atas, munculah suatu pertanyaan yang cukup mendasar yaitu: (a) bagaimana pemenuhan target RTH harus dilakukan ? (b) dimana alokasi pemenuhan target berdasarkan bentuk RTH, dan atau bagaimana tatanan pengaturan pengelolaan berdasarkan Dinas Teknis pengelolanya ? serta (c) strategi pencapaian apa yang harus dilakukan ?. Evaluasi Pembangunan Kawasan Hijau A. RTH Eksis Tahun 2002 RTH DKI Jakarta tercatat 9.544,79 ha, realisasi tahun 2000 tercatat 7.246,63 ha, terdiri atas RTH Lindung (340,80 ha). RTH Budidaya Pertanian (3.656,91 ha); RTH Pertamanan (2.193,62 ha), RTH Pemakaman (666,48 ha), dan RTH Kehutanan (388,82 ha). Kekurangan target atas dasar realisasi tahun 2000 tercatat 2.298,16 ha. Realisasi pembangunan RTH (sementara) tahun 2002, tercatat 148,35 ha, luas RTH 2002 hingga realisasi RTH (sementara tahun 2002) tercatat 7.394,98 ha, terdiri atas RTH Lindung (340,80 ha), RTH Budidaya Pertanian (3.656,91 ha), RTH Pertamanan (2.206,27 ha), RTH Pemakaman (666,48 ha); dan RTH Kehutanan (524,52 ha). Mencermati hasil perhitungan realisasi pembangunan kawasan hijau hingga tahun 2002; maka target RTH (RTRW 2010) seluas 9.544,79 - 7.394,98 = 2149,81 ha. Hingga kebutuhan areal selama 8 tahun rata-rata 268,72 ha/tahun. Target RTH (2010) Realisasi tahun 2000 Realisasi s/d tahun 2002 : 9.544,79 : 7246,63 : 148,35 ha ha ha *) Jumlah (Realisasi) Kekurangan Target awal 2003 Rata-rata kekurangan/tahun (8 tahun) : 7.394,98 ha : 2.149,81 ha : 268,72 ha/tahun *). laporan sementara (akan dikoreksi) B. Penelusuran Kawasan Hijau Peluang Berdasarkan alokasi kawasan hijau peluang mencakup tiga kawasan yaitu; (a) kawasan penyangga, (b) kawasan pengembangan hutan kota, dan (c) kawasan habitat mangrove, yang secara rinci disajikan pada tabel halaman berikut; Tabel-1. Kawasan Peluang Pembangunan Kawasan Hijau No. 1. 2. 3. Uraian Kawasan Peluang Kawasan Penyangga a. Sempadan sungai b. Sempadan Situ-situ c. Penyangga tegangan tinggi d. Penyangga Jalur rel Kereta api Pengembangan Hutan Kota Kawasan Industri PT. Jeep Kawasan Habitat mangrove Jumlah Taksasi luas (ha) 1.200,00 23,76 6,45 4,80 5,00 6,00 1.246,01 Sumber : Evaluasi Potensi Kawasan Peluang RTH (BPLHD, 2002) Kumpulan Makalah Periode 1987-2008 4 Mencermati Tabel-1, nampaknya kawasan sempadan sungai memiliki peluang terluas, dibanding dengan kawasan-kawasan lainnya, dan diikuti oleh kawasan sempadan 40 buah situ-situ di seluruh wilayah DKI Jakarta. C. Evaluasi Pembangunan Kawasan Hijau (RTH) Evaluasi terhadap hasil-hasil pembangunan kawasan hijau di DKI Jakarta, secara rinci dapat dirangkum sebagai berikut; 1. Kualitas jenis masih terbatas, hingga bentuk-bentuk RTH yang dibangun sulit dibedakan. 2. Kualitas bentuk kawasan hijau (Taman, Hutan kota dan hijau penyangga), masih belum memperlihatkan kriteria yang jelas atas makna masing-masing RTH terbangun. 3. Belum terciptanya koridor hijau yang mampu menghubungkan antar pulau-pulau habitat hijau, sebagai wahana wilayah jelajah satwa liar. 4. Belum tersosialisakannya pagar hidup sebagai pengaman kawasan hijau terbangun. 5. Pepohonan yang dibudidayakan tidak memenuhi persyaratan teknikultur (silvikultur), karena keterbatasan sistem perakarannya. 6. Pengembangan jenis pepohonan tidak didasarkan atas kesesuaian lahan dan jenis; dan kecenderungan untuk mengembangkan jenis-jenis introduksi. 7. Masih rendahnya sistem pemeliharaan yang praktis dan efisien. Mencermati hasil evaluasi terhadap hasil-hasil pembangunan kawasan hijau; nampaknya hal-hal yang perlu diperhatikan mencakup. 1. Penetapan kriteria baku jenis tanaman yang dikembangkan pada masing-masing wahana RTH (Taman, Hutan kota, hijau penyangga). 2. Pemantapan kriteria desain bentuk masing-masing bentuk RTH. 3. Pengembangan teknik budidaya penyiapan bahan tanaman (bibit) berkualitas berdasarkan kesesuaian tapak kawasan RTH. 4. Kriteria desain penunjang pemeliharaan (sarana air), dan pengaman taman (pagar hidup), 5. Efektifitas evaluasi dan monitoring hasil-hasil pembangunan kawasan hijau. Strategi Pencapaian Target RTH Dalam Rtrw 2010 DKI Jakarta A. Kriteria Bentuk RTH Berikut ini disajikan bentuk kriteria RTH DKI Jakarta seperti tersirat pada tabel berikut: Tabel-2. Bentuk dan Kriteria RTH DKI Jakarta BENTUK RTH No. 1. Kriteria Sasaran Taman Kawasan strategis sebagai penunjang keindahan lingkungan Budidaya Pertanian Pemukiman, KDB rendah Jalur Hijau Jalan dan Kawasan konservasi Hutan Areal konservasi Kumpulan Makalah Periode 1987-2008 5 Tabel-2. lanjutan BENTUK RTH No. 2. Kriteria Peran dan fungsi Taman Estetika, Rekreasi; Pere dam polusi 3. Vegetasi Tanaman hias rerumputan 4. Intensitas Manajemen Tinggi 5. Status Pemilikan Umum dan perorangan Budidaya Pertanian Produksi; Oksigen; Ame liorasi iklim; Buah-buahan, Tanaman hias, tanaman langka Jalur Hijau Hutan Ameliorasi Iklim, Oksigen, Penya ngga lingkungan, Peredam kebisi ngan Hidroorologis Ekologis Pohon berstrata (perdu/semak ) Pohon tajuk lebar dan pera karan intensif Ameliorasi iklim, Oksigen Konservasi Sedang Sedang Rendah Perorangan Umum Umum Memperhatikan tabel di atas, pada dasarnya kriteria masing-masing bentuk RTH berdasarkan sasaran, peranan fungsi, jenis yang dikembangkan, serta intensitas pengelolaannya memperlihatkan perbedaan nyata satu dengan lainnya. B. Kriteria Pengembangan Jenis Evaluasi lahan potensial sebagai wahana pembangunan kawasan hijau di DKI Jakarta tercatat 1.246,01 ha; berdasarkan zona fisik wilayahnya keterkaitannya dengan pengembangan jenis, secara rinci diuraikan sebagai berikut: Zona Utara (wilayah intrusi) Wilayah ini mencakup areal 382,67 ha, terdiri atas kawasan sempadan sungai 300 ha; penyangga situ-situ 6,82 ha; penyangga tegangan tinggi 6,45 ha; penyangga rel kereta api 3,4 ha; dan sempadan pantai 6 ha. Kondisi fisik wilayahnya dicirikan oleh pengaruh intrusi air laut, berada pada ketinggian tempat 0-4 meter dpl, kadangkala tergenang musiman, sangat terbatas dengan vegetasi yang mampu beradaptasi dan tumbuh. Pemilihan jenis tanaman pada wilayah yang terintrusi air laut, seyogyanya mendapat perhatian, karena jenis tumbuhan yang kurang tahan terhadap kandungan garam yang relatif tinggi, akan mengakibatkan tanaman tidak akan tumbuh dan berkembang. Demikian halnya dengan jenis tanaman yang mempunyai daya evaporasi tinggi, akan menguras air dari dalam tanah, hingga menyebabkan meningkatnya kosentrasi garam dalam tanah. Dengan demikian kekeliruan pemilihan jenis akan bukan memecahkan permasalahan intrusi air laut, namun sebaliknya akan memperburuk dan meluasnya intrusi air laut. Berdasarkan hasil pendataan 46 jenis yang tumbuh dan berkembang di zona utara, tercatat 23 jenis yang dinilai mampu beradaptasi dan tumbuh pada wilayah ini. Pada tapak yang terpengaruh oleh pasang surut air laut (kawasan sepandan pantai), dan kebun bibit Kumpulan Makalah Periode 1987-2008 6 mangrove, jenis-jenis yang dikembangkan meliputi api-api (Avicenia marina) pada areal berhadapan langsung dengan air laut dan A. alba yang mengarah kedaratan, bakau (Rhizophora mucronata) ditempatkan dibelakang api-api pada kelas genang-II, bidada (Sonneratia alba) pada kelas genang-III yang dicampur dengan jenis waru laut (Tephrosia villosa). Pada kawasan pantai berpasir, meliputi cemara laut (Casuarina equisetifolia), ketapang (Terminalia catapa); padan (Pandanus tectorius); nyamplung (Calophylum inophyllum), dan keben (Barringtonia asiatica); Pada kawasan penyangga situ-situ meliputi bungur (Lagerstrome spesiosa), kayu jaran (Lannea grandis); cangkring (Erythrina sp), kiacret (Spatodea campanulata); rengas (Gluta veluntino dan G. renghas); waru (Hisbiscus tiliaceus), bambu (Gigantocloa apus), gelam (Melaleuca sp) dan putat (Alstonia scholaris); Sedangkan pada kawasan sempadan sungai, perlu dikembangkan jenis bambu (Gigantocloa apus), kiacret (Spatodea campanulata), awar-awar (Ficus sp), karet (Hevea brasiliensis), laban (Vitex pubescens), dan kayu jaran (Lannea grandis), adalah jenis-jenis yang dinilai mampu tumbuh dan berkembang. Zona Tengah (wilayah pengendapan) Wilayah ini mencakup areal 731,71 ha, terdiri atas sempadan sungai 720 ha, penyangga situ-situ 6,71 ha; dan pengembangan hutan kota 6 ha. Kondisi fisik wilayahnya dicirikan oleh tanah-tanah alluvial, dengan air tanah yang relatif dangkal, pada ketinggian tempat 4-20 meter dpl, vegetasi yang tumbuh relatif beranekaragam. Pada daerah alluvial, dengan ketinggian yang relatif rendah (± 4 meter dpl), cenderung digenangi oleh banjir musiman baik pada musim pancaroba (Desember), yang sering menyebabkan tetumbuhan menjadi terganggu bahkan mengalami kematian. Untuk itu pemilihan jenis yang sedikit tahan terhadap genangan sementara nampaknya menjadi pilihan utama. Hasil pendataan 56 jenis yang tumbuh dan berkembang, tercatat 12 jenis yang dinilai potensial Pada kawasan penyangga situ-situ, seyogyanya dikembangan kepuh (Sterculia foetida), kiacret (Spatodea campanulata), gandaria (Bouea macrophylla), cangkring (Erythrina sp), dan kayu jaran (Lannea grandis). Sedangkan pada kawasan sepadan sungai, pengembangan jenis meliputi balsa (Ochroma sp), geronggang (Octomeles sumatrana), bambu (Gigantocloa apus), awar-awar (Ficus sp), bungur (Lagerstromea speciosa) dan kiacret (Spatodea campanulata). Zona Selatan (wilayah resapan dan kikisan) Wilayah ini mencakup areal 131,63 ha, terdiri atas kawasan sempadan sungai 120 ha; penyangga situ-situ 10,23 ha; penyangga jalur rel kereta api 1,4 ha. Kondisi fisik wilayahnya dicirikan sebagai kawasan resapan air, pada ketinggian tempat 20-27 meter dpl, vegetasi yang tumbuh cukup beranekaragam. Zona selatan wilayah DKI Jakarta berfungsi sebagai daearah resapan air, untuk itu bentuk-bentuk pembangunan kawasan hijau yang kurang mendukung akan meningkatkan besarnya laju erosi. Jenis tetumbuhan yang dipilih hendaknya mempunyai sistem perakaran yang dalam, dengan evaporasi yang rendah. Kumpulan Makalah Periode 1987-2008 7 Hasil pendataan 72 jenis yang tumbuh dan berkembang di zona ini, tercatat 17 jenis yang dinilai sesuai untuk dikembangkan. Pada kawasan penyangga situ-situ, pengembangan jenis yang sesuai meliputi kepuh (Sterculia foetida), cangkring (Erythrina sp), kiacret (Spatodea campanulata), salam (Eugenia malacensis), buni (Eugenis bunius), johar (Casia siamea), trembesi (Samanea saman), flamboyan (Delonix regia), plutau (Adenantera sp) dan mahoni (Swietenia macrophylla). Sedangkan pada kawasan sepadan sungai, pengembangan jenis meliputi bambu (Gigantocloa apus), kiacret (Spatodea campanulata), awar-awar (Ficus sp), loa (Euphorbia sp), benda (Ficus sp), kihiang (Albizia procera), kecapi (Sondaricum koetjape) dan gatet (Inocarpus sp). C. Alokasi Pembangunan Kawasan Hijau Berdasarkan hasil perhitungan alokasi pembangunan kawasan hijau selama 8 tahun (2003 s/d 2010), kawasan dan pembangunan RTH yang harus dipenuhi seluas 2.149,98 ha, atau rata-rata (dibulatkan) 268,73 ha/tahun, dengan alokasi sebagai berikut: 1. RTH Kehutanan 65% (1.397,377 ha), atau rata-rata 174,67 ha/tahun yang dimplementasikan di bantaran sungai, penyangga situ-situ, dan habitat mangrove. 2. RTH Pertamanan 15% (322,47 ha), atau rata-rata 40,31 ha pembangunan taman termasuk penyediaan lahannya, dan dialokasikan pada jalur hijau jalan, tegangan tinggi dan jalur rel kereta api. 3. Sisanya 20% (429,96 ha), atau rata-rata 53,75 ha dialokasikan sebagai pengembangan RTH Fasos Fasum dan hijauan privat. Dalam implementasinya dibebankan kepada (a) kawasan industri, dan (b) pengembangan perumahan; dan minimal menyediakan areal seluas 1% dari luas kawasannya secara utuh (satu lokasi), sebagai wahana pembangunan kawasan hijau dan atau kawasan tandon air. Aspek Pemberdayaan Kemitraan Dalam Pembangunan Kawasan Hijau Mencermati atas kepedulian Pemda DKI Jakarta terhadap perlunya pembangunan hutan kota, lebih cenderung disebabkan oleh dua faktor, yaitu semakin meningkatnya lingkungan fisik kritis, dan kebutuhan masyarakat akan kenyamanan lingkungan. Pemahaman tersebut, dalam kaitannya dengan upaya pengendalian terhadap lingkungan fisik kritis, mengundang pengertian keikutsertaan: (a) masyarakat yang menginginkan kenyamanan lingkungan, dan (b) keperdulian semua pihak terkait, dengan faktor penyebab terjadinya lingkungan fisik kritis, serta pengelolan yang berwewenang menanganinya. Pengertian semua pihak terkait, dalam mewujudkan pembangunan kawasan hijau kota, pada hakekatnya merupakan unsur institusi dan atau lembaga baik dari unsur pemerintah, swasta maupun perorangan sebagai pemrakarsa “stake holder” untuk berperan aktif dan berkiprah dalam mengendalikan dan mengatasi fenomena permasalahan lingkungan fisik kritis perkotaan. Sumber lingkungan fisik kritis terbesar adalah kendaraan bermotor yang berarti terkait langsung dengan pemberdaya bahan bakar gas (BBG), produksen kendaraan bermotor, dan Kumpulan Makalah Periode 1987-2008 8 pengguna (pemilik). Demikian halnya dengan faktor penyebab lainnya seperti industri, pemilik gedung berdinding kaca serta masyarakat perkotaan itu sendiri. Keterpaduan bagi semua pihak dalam hal memahami, perduli dan perlunya penanganan lingkungan, nampaknya merupakan langkah awal terciptanya kenyamanan lingkungan di wilayah DKI Jakarta. Aspek strategis pembangunan kawasan hijau dan peranannya dalam RTH DKI Jakarta, secara konseptual memberikan pengertian atas aspek konservasi dan rehabilitasi lahan. Konservasi memberikan pengertian atas upaya penyelamatan, pelestarian, dan pemanfaatan optimal secara terkendali dan berkelanjutan, atas dasar peranan fungsi kawasan hijau perkotaan. Rehabilitasi lahan, merupakan upaya penanganan untuk tujuan pemulihan, melalui peningkatan dan atau perbaikan mutu peranan fungsi kawasan hijau, agar terciptanya keseimbangan yang berarti dalam mengatasi fenomena lingkungan fisik kritis. Membangun kawasan hijau, memberi pengertian mendayagunakan sumberdaya lahan (tapak) menjadi lebih potensial dan produktif, bahkan bermanfaat sesuai dengan peranan fungsinya, berdasarkan kaidah-kaidah konservasi. Pengembangan jenis sesuai dengan kesesuaian tapaknya, merupakan cara-cara yang harus ditempuh, karena keberhasilan pembangunan kawasan hijau kota di DKI Jakarta sangat ditentukan oleh strategi dan aplikasi penyelenggaraannya, termasuk pemrakarsa (stake holder). Dana pada dasarnya merupakan kendala yang sering sulit diatasi; namun demikian apabila konsekwen bahwa stake holder khususnya pengusaha yang memberikan kecenderungan atas meningkatnya cemaran udara memiliki kesadaran, maka dana bukan menjadi masalah lagi. Suatu perhitungan di DKI Jakarta tercatat ada 4,1 juta kendaraan (roda empat, tiga dan dua); dengan semua pemilik kendaraan memiliki kesadaran membayar resiko lingkungan sebesar Rp 1000,-/kendaraan/tahun, maka jumlah dana tersedia sebesar Rp 4,1 milyar setiap tahunnya. Kesimpulan dan Rekomendasi 1. Upaya yang harus dilakukan untuk memenuhi target RTH (RTRW 2010), perlu peningkatan kinerja Institusi terkait, termasuk unit-unit pelaksana teknis pembangunan kawasan hijau. 2. Pencapaian target RTH (RTRW 2010), perlu disusun dalam bentuk Masterplan pencapaian target, hingga tatanan kegiatannya (waktu, lokasi, dan beaya yang diperlukan), secara jelas tertuang dalam rencana. 3. Rendahnya mutu kualitas pembangunan kawasan hijau, dapat ditingkatkan melalui peningkatan kualitas jenis dan pemulihan habitat. 4. Tatanan prioritas pembangunan kawasan hijau berdasarkan alokasi lahan, bantaran sungai menjadi prioritas utama, diikuti oleh kawasan penyangga situ-situ dan pemulihan habitat mangrove. 5. Strategi pencapaiannya, dilakukan melalui koordinasi baik dalam pelaksanaan program, serta dalam evaluasi dan monitoring hasil-hasil pembangunan kawasan hijau secara berkelanjutan. Kumpulan Makalah Periode 1987-2008 9 6. Untuk meningkatkan pengamanan terhadap hasil-hasil pembangunan kawasan hijau, namnpaknya pemberdayaan pembangunan pagar hijau perlu dilakukan, termasuk penyediaan sarana fasilitas pemeliharaan (penyiraman) secara efisien. 7. Keterkaitannya dengan pendanaan, pemberdayaan stake holder melalui konpensasi lingkungan bagi pemilik kendaraan bermotor perlu dilakukan, dan dipayungi dalam bentuk Perda. 8. Untuk memberikan pengetahuan pentingnya pembangunan kawasan hijau kepada seluruh petugas (pengelola) pembangunan kawasan hijau, seyogianya perlu sosialisasi (pemberdayaan) dalam bentuk pelatihan singakat. 9. Untuk memacu kehadiran satwa liar (burung), nampaknya pemulihan kawasan penyangga bantaran sungai menjadi prioritas utama, karena erat kaitannya dengan koridor hijau (wilayah jelajah) satwa liar. Daftar Pustaka Anonimuos, 1990. Kumpulan per-Undang-undangan (Lingkungan Hidup dan, Kon-servasi Sumberdaya Alam). Achmadi, UF, 1978. Efek Pencemaran Udara Pada Penduduk Jakarta. Widyapura, XII. Tahun 1878. Biampoen, 1984. Masalah Kualitas Lingkungan Hidup Manusia, Pendekatan Peren-canaan Kota. Makalah Seminar Badan Pembinaan Kesehatan Jiwa Masyarakat. Dinas Pertanian DKI Jakarta, 1999. Proposal Kajian RTH Pertanian DKI Jakarta. FMIPA-Universitas Indonesia, 1989. Kumpulan Makalah Seminar Man Biosfer Perkotaan Tropis. Hauser, Phillip M.et al, 1985. Penduduk dan Masa Depan Perkotaan (Studi kasus di beberapa Perkotaan di Indonesia). Yayasan Obor Indonesia. Hough. Michael, 1978. City Form and Natural Process. James. A Schmid, 1975. Urban Vegetation. University of Chicago. Departemen of Geography. Robinette, 1963. Landscap Planning. Prineceton University. Sumardja. Effendi, A, 1997. Konsep dan Kriteria Dasar Pembangunan Kawasan Lindung Ditinjau Dari Aspek Lingkungan Perkotaan. Makalah Utama Saresehan Pengelolaan Kawasan Lindung, Dinas Kehutanan DKI Jakarta. Suprijatna, N dan Tarsoen Waryono, 1996. Prinsip Dasar Manajemen Konservasi Biologi Untuk Mencapai Tujuan. Program Pasca Sarjana Biologi Universitas Indonesia. Waryono. Tarsoen, 1990. Fungsi dan Peran Jasa Biologis Pepohonan Terhadap Lingkungan Fisik Kritis Perkotaan. Publikasi HK-02/1990. Pelaksanaan Pro gram Pembangunan Hutan Kota Universitas Indonesia. ________________, 1997. Aspek Pemberdayaan Atas Kekurang Perdulian Masya-rakat Terhadap Pengelolaan Keanekaragaman Hayati. Publikasi GEO-07/1997. Jurusan Geografi FMIPA, Universitas Indonesia. Kumpulan Makalah Periode 1987-2008