ruang terbuka hijau yang semakin terpinggirkan

advertisement
RUANG TERBUKA HIJAU YANG SEMAKIN TERPINGGIRKAN
Oleh
Roswidyatmoko Dwihatmojo *)
Kota merupakan perwujudan aktivitas manusia yang berfungsi sebagai pusat kegiatan
sosial, ekonomi, pemerintahan, politik, dan pendidikan, serta penyedia fasilitas pelayanan
bagi masyarakat. Dalam perjalanannya, kota mengalami perkembangan yang sangat pesat
akibat adanya dinamika penduduk, perubahan sosial ekonomi, dan terjadinya interaksi dengan
wilayah lain.
Menurut Imam Ernawi (2010) menyatakan bahwa perkembangan fisik ruang kota
sangat dipengaruhi oleh urbanisasi. Perkembangan urbanisasi di Indonesia dapat diamati dari
3 (tiga) aspek : pertama, jumlah penduduk yang tinggal di kawasan perkotaan (kini mencapai
120 juta dari total 230 juta jiwa); kedua, sebaran penduduk yang tidak merata (hampir 70% di
Jawa dengan 125 juta jiwa dan di Sumatera dengan 45 juta jiwa); serta, ketiga, laju urbanisasi
yang tinggi, dimana kota-kota metropolitan, seperti: Jakarta, Surabaya, Medan, Palembang,
dan Makassar.
Kondisi Ruang Terbuka Hijau
Pertambahan jumlah penduduk tersebut mengakibatkan terjadinya densifikasi
penduduk dan permukiman yang cepat dan tidak terkendali di bagian kota. Hal tersebut
menyebabkan kebutuhan ruang meningkat untuk mengakomodasi kepentingannya. Semakin
meningkatnya permintaan akan ruang khususnya untuk permukiman dan lahan terbangun
berdampak kepada semakin merosotnya kualitas lingkungan. Rencana Tata Ruang yang telah
dibuat tidak mampu mencegah alih fungsi lahan di perkotaan sehingga keberadaan Ruang
Terbuka Hijau (RTH) semakin terancam dan kota semakin tidak nyaman untuk beraktivitas.
James Siahaan (2010) menyatakan bahwa
kecenderungan terjadinya penurunan kuantitas ruang
publik, terutama RTH pada 30 tahun terakhir sangat
signifikan. Di kota besar seperti Jakarta, Surabaya,
Medan, dan Bandung, luasan RTH telah berkurang
dari 35% pada awal tahun 1970-an menjadi 10%
pada saat ini. Ruang terbuka hijau yang ada sebagian
besar
telah
dikonversi
menjadi
infrastruktur
perkotaan dan kawasan permukiman baru.
Kebun Raya Bogor, salah satu RTH di Kota Bogor
Permasalahan utama keberadaan RTH adalah semakin berkurangnya RTH karena
keterbatasan lahan dan ketidakkonsisten dalam menerapkan tata ruang. Berkurangnya RTH
disebabkan oleh konversi lahan yaitu beralih fungsinya RTH untuk peruntukan ruang yang
lain.
Arti Penting Ruang Terbuka Hijau
RTH menurut UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang adalah area
memanjang atau jalur dan atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka
sebagai tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah ataupun sengaja ditanam.
Keberadaan Ruang Terbuka Hijau merupakan salah satu unsur penting dalam membentuk
lingkungan kota yang nyaman dan sehat.
Menurut Chafid Fandeli (2004) RTH Kota merupakan bagian dari penataan ruang
perkotaan yang berfungsi sebagai kawasan lindung. Kawasan hijau kota terdiri atas
pertamanan kota, kawaan hijau hutan kota, kawasan hijau rekreasi kota, kawasan hijau
kegiatan olah raga, kawasan hijau pekarangan. RTH diklasifikasikan berdasarkan status
kawasan, bukan berdasarkan bentuk dan struktur vegetasinya.
RTH bertujuan untuk menjaga ketersediaan lahan
sebagai kawasan resapan air. Dilihat dari aspek
planologis perkotaan RTH diharapkan dapat menjaga
keseimbangan antara lingkungan alam dan lingkungan
binaan yang berguna untuk kepentingan masyarakat.
Keberadaan RTH memberikan keserasian lingkungan
perkotaan
sebagai
sarana
pengaman
lingkungan
perkotaan yang aman, nyaman, segar, indah, dan bersih.
RTH sebagai ruang interaksi publik
Banyak fungsi yang dapat diberikan RTH baik ekologis, sosial budaya maupun estetika
yang memberikan kenyamanan dan memperindah lingkungan kota baik dari skala mikro
maupun makro. Manfaat yang diperoleh dari keberadaan RTH baik manfaat langsung maupun
manfaat tidak langsung dalam jangka panjang dan bersifat intangible.
RTH selain sebagai kawasan lindung juga berfungsi sosial sebagai open public space
untuk tempat berinteraksi sosial dalam masyarakat seperti tempat rekreasi, sarana olahraga
dan atau area bermain. RTH ini harus memiliki aksesibilitas yang baik untuk semua orang,
termasuk aksesibilitas bagi penyandang cacat.
Kritik Terhadap Keberadaan Ruang Terbuka Hijau
UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang mengamanatkan perencanaan tata
ruang wilayah kota harus memuat rencana penyediaan dan pemanfaatan RTH yang luas
minimalnya sebesar 30% dari luas wilayah kota. RTH di perkotaan terdiri dari RTH Publik
dan RTH privat dimana proporsi RTH pada wilayah perkotaan adalah sebesar minimal 30%
yang terdiri dari 20% RTH publik dan 10% terdiri dari RTH privat.
Proporsi 30% merupakan ukuran minimal untuk menjamin keseimbangan ekosistem
kota, baik keseimbangan sistem hidrologi dan keseimbangan mikroklimat, maupun sistem
ekologis lain yang dapat meningkatkan ketersediaan udara bersih yang diperlukan
masyarakat, serta sekaligus dapat meningkatkan nilai estetika kota. Target luas sebesar 30%
dari luas wilayah kota dapat dicapai secara bertahap melalui pengalokasian lahan perkotaan
secara tipikal (Permen PU No. 5 Tahun 2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan
Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan).
Namun fakta di lapangan menyatakan bahwa keberadaan RTH yang jauh dari proporsi
ideal, kekuatan pasar yang dominan merubah fungsi lahan sehingga keberadaan RTH semakin
terpinggirkan bahkan diabaikan fungsi dan manfaatnya. Tata ruang yang diharapkan dapat
mengakomodasi seakan tidak berdaya menahan mekanisme pasar.
Perangkat hukum mengatur penataan ruang hendaknya diimplementasikan dengan baik
oleh pengambil keputusan. Pemerintah harus konsisten dalam menjalankan penataan ruang.
Penyediaan RTH harus disesuaikan dengan peruntukan yang telah ditentukan dalam rencana
tata ruang. UU Penataan Ruang yang memuat sanksi dapat digunakan sebagai payung hukum
untuk memenuhi kebutuhan RTH.
Pemerintah harus mampu menyediakan RTH bagi masyarakat sehingga memberikan
kenyamanan karena lingkungannya yang berkualitas. Identifikasi ketersediaan RTH perlu
dilakukan sehingga pemerintah mengetahui ketersediaan RTH sebagai salah satu bahan
evaluasi dalam menentukan arah kebijakan dan perlindungan RTH.
RTH sebagai komponen ruang yang tingkat ketersediannya baik secara kualitas
maupun kuantitas harus selalu diperhitungkan dalam proses perencanaan kota agar tercipta
kota berkelanjutan yang berwawasan lingkungan.
Partisipasi Masyarakat
Partisipasi masyarakat sangat penting dalam penyediaan dan pemanfaatan RTH.
Upaya ini dilakukan untuk memberikan hak masyarakat dan mencegah terjadinya
penyimpangan pemanfaatan ruang. Masyarakat perlu dilibatkan dalam perencanaan,
pemanfaatan, dan pengendalian.
Partisipasi Masyarakat dalam Pemanfaatan dan Pengendalian
Masyarakat dapat berperan dengan meningkatkan kualitas lingkungan di permukiman
misalnya dengan menanam tanaman dan membangun sumur serapan serta pengelolaan
sampah. Lahan pekarangan rumah dimanfaatkan secara optimal dengan berbagai jenis
tanaman baik ditanam langsung maupun dalam media perantara seperti pot maupun media
perantara lainnya. Sektor swasta juga dapat berperan menyediakan RTH pada fasilitas yang
dibangun (mall, plaza, perumahan, dan sebagainya).
Pemerintah menempatkan diri sebagai fasilitator dengan menempatkan masyarakat
sebagai pelaku utama. Masyakat dalam hal ini berupa individu, kelompok, lembaga, ataupun
di dalamnya termasuk swasta.
Roswidyatmoko Dwihatmojo *)
Staf Pusat Tata dan Ruang Atlas
Badan Informasi Geospasial (BIG)
Download