Estimasi nilai ekonomi ruang terbuka hijau pada permukiman di

advertisement
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Lingkungan Hidup
Lingkungan hidup adalah suatu kesatuan hidup antara kondisi fisik yang
mencakup keadaan sumberdaya alam seperti tanah, air, energi surya, mineral,
serta flora dan fauna yang tumbuh di atas tanah maupun di dalam lautan, dengan
kelembagaan yang meliputi ciptaan manusia seperti keputusan bagaimana
menggunakan lingkungan fisik tersebut (Deateytomawin, 2010). Lingkungan
adalah segala sesuatu yang ada di sekitar manusia yang mempengaruhi
perkembangan kehidupan manusia baik langsung maupun tidak langsung.
Lingkungan bisa dibedakan menjadi lingkungan biotik dan abiotik. Lingkungan
hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda dan kesatuan makhluk hidup
termasuk di
dalamnya manusia dan perilakunya
yang melangsungkan
perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya
(UU No. 23 Tahun 1997).
2.2 Pengertian Permukiman
Ada beberapa padanan kata yang menjelaskan makna dari kata tempat
tinggal. Kata housing dalam bahasa Inggris berarti perumahan dalam bahasa
Indonesia. Sedangkan kata human settlement berarti permukiman. Permukiman
merupakan kumpulan pemukim beserta sikap dan perilakunya di dalam
lingkungan. Permukiman menitik beratkan pada suatu yang bukan bersifat fisik
atau benda mati, yaitu manusia (Kurniasih, 2009). Lingkungan permukiman
adalah suatu area yang di dalamnya terdapat susunan ketetanggaan atau kumpulan
tempat tinggal dan sarana perkantoran, niaga, pendidikan, budaya, kesehatan, dan
fasilitas administrasi penting lainnya di sekitar area tersebut (Eckbo dalam
Rahayu, 2008). Permukiman dinyatakan sebagai kelompok-kelompok rumah yang
memiliki ruang terbuka secara bersama dan merupakan kelompok yang cukup
kecil untuk melibatkan semua anggota keluarga dalam suatu aktifitas, tetapi cukup
besar untuk menampung fasilitas umum seperti tempat berbelanja, lapangan
bermain dan daerah penyangga (Simond dalam Rahayu, 2008).
Pengertian permukiman menurut UU No. 4/1992 tentang permukiman
yaitu bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik yang berupa
kawasan perkotaan maupun pedesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat
tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung
perikehidupan dan penghidupan. Lebih lanjut dinyatakan bahwa satuan
lingkungan permukiman adalah kawasan perumahan dalam berbagai bentuk dan
ukuran dengan penataan tanah dan ruang, prasarana dan sarana lingkungan yang
terstruktur. Rumah adalah bangunan yang dijadikan tempat tinggal selama jangka
waktu tertentu. Rumah bisa menjadi tempat tinggal manusia maupun hewan,
namun tempat tinggal yang khusus bagi hewan biasanya sangkar, sarang, atau
kandang, Leonardlansyah (2010).
Adanya penataan jalur hijau dalam kawasan permukiman memungkinkan
pencapaian kenyamanan dan keamanan bagi penghuninya. Sebagai contoh
penanaman jalur hijau sepanjang berm dan median jalan yang bersifat sederhana
dalam pelaksanaannya dengan berpedoman pada kebutuhan, kecocokan
penampilan ditiap musim, penampilan ditiap tahapan pertumbuhan, kecocokan
antara tanaman dan bangunan serta lingkungan sekitar dan keefisienan dalam
pemeliharaan (Simond dalam Rahayu, 2008).
9
2.3 Konsep Ruang Terbuka Hijau (RTH)
2.3.1 Definisi dan Pengertian RTH
Ruang terbuka adalah ruang-ruang dalam kota atau wilayah yang lebih
luas,
baik
dalam
bentuk
area/kawasan
maupun
dalam
bentuk
area
memanjang/jalur dimana di dalam penggunaannya lebih bersifat terbuka pada
dasarnya tanpa bangunan. Ruang terbuka hijau (RTH) pemanfaatannya lebih
bersifat pengisian hijau tanaman atau tumbuh-tumbuhan secara alamiah ataupun
budidaya tanaman seperti lahan pertanian pertamanan, perkebunan dan sebagainya
(Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 14 Tahun 1988). Ruang Terbuka Hijau
adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok yang penggunaannya lebih
bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah
maupun yang sengaja ditanam. Ruang terbuka hijau sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 28 huruf a terdiri dari ruang terbuka hijau publik dan ruang terbuka hijau
privat. Proporsi ruang terbuka hijau pada wilayah kota paling sedikit tiga puluh
persen dari luas wilayah kota. Proporsi ruang terbuka hijau publik pada wilayah
kota paling sedikit dua puluh persen dari luas wilayah kota (Undang-Undang
Republik Indonesia No. 26 Tahun 2007).
Ruang terbuka hijau berdasarkan bobot kealamiannya bentuk dapat
diklasifikasi menjadi RTH alami, misalnya habitat liar/alam, kawasan lindung
dan RTH non alami atau RTH binaan, contohnya pertanian kota, pertamanan kota,
lapangan olah raga, dan pemakaman. Ruang terbuka hijau berdasarkan karakter
dan sifat ekologisnya diklasifikasikan menjadi, RTH kawasan dan RTH bentuk
jalur. Ruang terbuka hijau berdasarkan penggunaan lahan atau kawasan
fungsionalnya diklasifikasikan menjadi, RTH kawasan perdagangan, RTH
10
kawasan perindustrian, RTH kawasan permukiman, RTH kawasan pertanian,
RTH kawasan-kawasan khusus, seperti pemakaman, hankam, olag raga, alamiah.
Ruang terbuka hijau berdasarkan status kepemilikannya diklasifikasikan menjadi
RTH publik dan RTH privat atau non publik. Ruang terbuka hijau publik, yaitu
RTH yang berlokasi pada lahan-lahan publik atau lahan yang dimiliki oleh
pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Ruang terbuka hijau privat adalah
RTH yang berlokasi pada lahan-lahan milik privat (Departemen Pekerjaan Umum,
2005).
2.3.2 Fungsi dan Manfaat RTH
Berdasarkan Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 14 Tahun 1988 Ruang
terbuka hijau kota mempunyai fungsi:
a) Sebagai areal perlindungan berlangsungnya fungsi ekosistem dan
penyangga kehidupan.
b) Sebagai sarana untuk menciptakan kebersihan, kesehatan, keserasian,
dan kehidupan lingkungan.
c) Sebagai sarana rekreasi.
d) Sebagai pengaman lingkungan hidup perkotaan terhadap berbagai
macam pencemaran baik di darat, perairan maupun udara.
e) Sebagai sarana penelitian dan pendidikan serta penyuluhan bagi
masyarakat untuk membentuk kesadaran lingkungan.
f) Sebagai sarana perlindungan plasma nutfah.
g) Sebagai sarana untuk mempengaruhi dan memperbaiki iklim mikro.
h) Sebagai pengatur tata air.
11
Manfaat yang dapat diperoleh dari ruang terbuka hijau kota berdasarkan
Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 14 Tahun 1988 antara lain:
a) Memberikan kesegaran, kenyamanan dan keindahan lingkungan;
b) Memberikan lingkungan yang bersih dan sehat bagi penduduk kota;
c) Memberikan hasil produksi berupa kayu, daun, bunga dan buah.
Ruang terbuka hijau memiliki fungsi utama (intrinsik) meliputi fungsi
ekologis, dan fungsi tambahan (ekstrinsik) meliputi fungsi arsitektural, sosial, dan
fungsi ekonomi. Ruang terbuka hijau juga berfungsi ekologis seperti RTH untuk
perlindungan sumberdaya penyangga kehidupan manusia dan untuk membangun
jejaring habitat kehidupan liar. Ruang terbuka hijau untuk fungsi-fungsi lainnya
(sosial, ekonomi, arsitektural) merupakan RTH pendukung dan penambah nilai
kualitas lingkungan dan budaya kota tersebut, sehingga dapat berlokasi dan
berbentuk sesuai dengan kebutuhan dan kepentingannya, seperti untuk keindahan,
rekreasi, dan pendukung arsitektur kota (Departemen Pekerjaan Umum, 2005).
Ruang terbuka hijau berdasarkan manfaatnya dibagi atas dua hal. Ruang
terbuka hijau yang memiliki manfaat langsung (dalam pengertian cepat dan
bersifat tangible) seperti mendapatkan bahan-bahan untuk dijual (kayu, daun,
bunga) dan kenyamanan fisik (teduh, segar). Ruang terbuka hijau dengan manfaat
tidak langsung (berjangka panjang dan bersifat intangible) seperti perlindungan
tata air dan konservasi hayati atau keanekaragaman hayati (Departemen Pekerjaan
Umum, 2005).
2.3.3 Pola dan Struktur Fungsional RTH
Pola ruang terbuka hijau (RTH) kota merupakan struktur yang ditentukan
oleh hubungan fungsional (ekologis, sosial, ekonomi, arsitektural) antara
12
komponen pembentuknya. Pola RTH terdiri dari, RTH struktural dan RTH non
struktural. RTH struktural merupakan pola RTH yang dibangun oleh hubungan
fungsional antara komponen pembentuknya yang mempunyai pola hierarki
planologis yang bersifat antroposentris. RTH non struktural merupakan pola RTH
yang dibangun oleh hubungan fungsional antara komponen pembentuknya yang
umumnya tidak mengikuti pola hierarki planologis karena bersifat ekosentris.
2.3.4 Elemen Pengisi RTH
Departemen Pekerjaan Umum (2005), mengatakan RTH dibangun dari
kumpulan tumbuhan dan tanaman atau vegetasi yang telah diseleksi dan
disesuaikan dengan lokasi serta rencana dan rancangan peruntukannya.
Keberhasilan rancangan, penanaman dan kelestariannya maka sifat dan ciri serta
kriteria arsitektural dan hortikultura tanaman dan vegetasi penyusun RTH harus
menjadi bahan pertimbangan dalam menyeleksi jenis-jenis yang akan ditanam.
Persyaratan umum tanaman untuk ditanam di wilayah perkotaan:
a) Disenangi dan tidak berbahaya bagi warga kota.
b) Mampu tumbuh pada lingkungan yang marjinal (tanah tidak subur,
udara dan air yang tercemar).
c) Tahan terhadap gangguan fisik (vandalism).
d) Perakaran dalam sehingga tidak mudah tumbang.
e) Tidak gugur daun, cepat tumbuh, bernilai hias dan arsitektural.
f) Dapat menghasilkan O2 dan meningkatkan kualitas lingkungan kota.
g) Bibit/benih mudah didapatkan dengan harga yang murah/terjangkau
oleh masyarakat.
h) Prioritas menggunakan vegetasi endemik/lokal.
13
i) Keanekaragaman hayati.
2.3.5 Teknis Perencanaan RTH
Rencana pembangunan dan pengembangan RTH yang fungsional suatu
wilayah perkotaan, ada empat hal utama yang harus diperhatikan, yaitu:
a) Luas RTH minimum yang diperlukan dalam suatu wilayah perkotaan
ditentukan secara komposit oleh tiga komponen berikut ini, yaitu:
i) Kapasitas atau daya dukung alami wilayah.
ii) Kebutuhan per kapita (kenyamanan, kesehatan, dan bentuk
pelayanan lainnya).
iii) Arah dan tujuan pembangunan kota.
RTH berluas minimum merupakan RTH berfungsi ekologis yang
berlokasi, berukuran, dan berbentuk pasti, yang melingkup RTH
publik dan RTH privat. Suatu wilayah perkotaan maka RTH publik
harus berukuran sama atau lebih luas dari RTH luas minimal, dan
RTH privat merupakan RTH pendukung dan penambah nilai rasio
terutama dalam meningkatkan nilai dan kualitas lingkungan dan
kultural kota.
b) Lokasi lahan kota yang potensial dan tersedia untuk RTH.
c) Struktur dan pola RTH yang akan dikembangkan (bentuk, konfigurasi,
dan distribusi).
d) Seleksi tanaman sesuai kepentingan dan tujuan pembangunan kota.
14
2.4 Konsep Nilai Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Menurut Fauzi (2006), sumber daya didefinisikan sebagai sesuatu yang
dipandang memiliki nilai ekonomi. Sumber daya itu sendiri memiliki dua aspek
yakni aspek teknis yang memungkinkan bagaimana sumber daya dimanfaatkan
dan aspek kelembagaan yang menentukan siapa yang mengendalikan sumber daya
dan bagaimana teknologi digunakan. Dapat juga dikatakan bahwa sumber daya
adalah komponen dari ekosistem yang menyediakan barang dan jasa yang
bermanfaat bagi kebutuhan manusia.
Menurut Easterlin dalam Alikodra (2006), nilai (value) adalah sebagai
kerangka untuk mengidentifikasi sifat-sifat positif atau negatif dalam berbagai
peristiwa, benda (objects), atau situasi. Sedangkan menurut Fauzi (2006),
pengertian nilai atau value, khususnya yang menyangkut barang dan jasa yang
dihasilkan oleh SDAL, memang bisa berbeda jika dipandang dari berbagai disiplin
ilmu. Diperlukan suatu persepsi yang sama untuk penilaian ekosistem tersebut.
Salah satu tolak ukur yang relatif mudah dan bisa dijadikan persepsi bersama
berbagai disiplin ilmu tersebut adalah pemberian price tag (harga) pada barang
dan jasa yang dihasilkan SDAL. Lebih lanjut menurut Fauzi (2006), penilaian
barang dan jasa yang dihasilkan dari sumber daya alam dan lingkungan dapat
dinilai secara moneter. Barang dan jasa yang dihasilkan tersebut seperti ikan,
kayu, air bahkan pencemaran sekalipun dapat dihitung nilai rupiah atau nilai
ekonominya karena diasumsikan bahwa pasar itu eksis (market based), sehingga
transaksi barang dari sumber daya alam tersebut dapat dilakukan.
Selain menghasilkan barang dan jasa yang dapat dikonsumsi baik
langsung maupun tidak langsung, sumber daya alam juga menghasilkan jasa
15
dalam bentuk lain, misalnya manfaat amenity seperti keindahan, ketenangan, dan
sebagainya. Manfaat ini lebih terasa dalam jangka panjang. Manfaat fungsi
ekologis (ecological function) tersebut sering tidak terkuantifikasi dalam
perhitungan menyeluruh terhadap nilai dari sumber daya.
Demikian pula, meskipun diketahui kerusakan lingkungan akibat aktivitas
ekonomi. Pengambil kebijakan sering tidak mampu mengkuantifikasikan
kerusakan tersebut dengan metode ekonomi yang konvensional. Permasalahanpermasalahan di atas kemudian menjadi dasar pemikiran lahirnya konsep valuasi
ekonomi, khususnya valuasi non-pasar (non-market valuation).
2.5 Konsep Nilai Ekonomi Total
Menurut Askary (2001), ilmu ekonomi lingkungan telah mengembangkan
apa yang dikenal sebagai Nilai Ekonomi Total (NET/TEV: Total Economic
Value) untuk memahami nilai sumberdaya alam dan fungsi lingkungan, walaupun
tidak mencakup seluruh nilai yang dimliki oleh suatu lingkungan. Nilai Ekonomi
Total dibentuk dari dua bagian, yaitu nilai guna dan non-guna. NET merupakan
konsep yang sesuai untuk memperhitungkan manfaat dari peningkatan kualitas
sumber daya alam yang merupakan barang publik/public goods (misalnya, upaya
peningkatan kualitas air sungai) atau kerusakan-kerusakan yang ditimbulkan oleh
proyek pembangunan sebagai dampak lingkungan (seperti, penurunan atau
kerusakan ekosistem terumbu karang).
16
Penjelasan rinci Nilai Ekonomi Total (NET)
NET= F (NGL, NGTL, NP + NW, NK)
Dimana:
NGL, NGTL, NP = Nilai Guna
NW, NK
= Nilai non-guna atau pasif
NET
= Nilai Ekonomi Total (Total Economic Value)
NGL
= Nilai Guna Langsung (Direct Use Value)
NGTL
= Nilai Guna Tidak Langsung (Indirect Use Value)
NP
= Nilai Pilihan (Option Value)
NW
= Nilai Warisan (Bequest Value)
Sumber: The United University & The World Bank, 1995
Gambar 2.1 Komponen-komponen Nilai Ekonomi Total
Nilai Ekonomi Total
Nilai Guna
Nilai Non-guna
Nilai Guna Langsung
Nilai Guna Tidak
Langsung
Hasil yang
dapat
dikonsumsi
langsung
Manfaatmanfaat
fungsional
Fungsi ekologi
Pengendalian
banjir
Makanan
Biomassa
Rekresasi
Nilai Pilihan
Nilai Warisan
Nilai Keberadaan
Nilai Guna
Langsung &
tidak langsung
di masa
mendatang
Nilai karena
membiarkan
Nilai Guna &
non-guna untuk
anak cucu
Nilai dari
pengetahuan
terhadap
keberadaan
yang tetap
Keanekaragam
an hayati
Habitat
terkonservasi
Habitat
Perubahan yang
tidak dapat
diperbaiki
Habitat
Fauna/flora
langka
Berkurangnya “sifat nyata” (tangibility) suatu nilai terhadap individu
Sumber: The United University & The World Bank, 1995
Gambar 2.2 Bagan Nilai Ekonomi Total
17
Nilai guna dari sumber daya alam dapat diperkirakan langsung dari
konsumsi atau produksi, yaitu penentuan harga dalam transaksi pasar. Nilai guna
ini dibayar oleh orang yang secara langsung menggunakan dan mendapatkan
manfaat. Nilai guna tidak langsung adalah nilai guna fungsi pendukung terhadap
nilai guna langsung dari sumber daya alam yang berkaitan, seperti fungsi plasma
nutfah dan fungsi asimilasi terhadap buangan manusia.
Nilai pilihan (masa datang) adalah nilai dari barang publik sebagai
manfaat potensial yang dapat diambil. Hal ini merupakan preferensi untuk
melindungi barang publik dari kemungkinan pemanfaatannya untuk masa yang
akan datang. Apabila terdapat ketidakpastian yang berhubungan dengan
pemanfaatan yang akan datang berkaitan dengan ketersediaan akan adanya
pasokan barang tersebut, maka nilai pilihan akan positif. Salah satu nilai pilihan
spesifik berhubungan dengan nilai dari informasi mengenai masa yang akan
datang.
Nilai warisan, diperoleh dari dorongan untuk menjaga keberadaan sumber
daya alam agar dapat dimanfaatkan oleh generasi yang berikutnya. Nilai warisan
diperkirakan dari kepuasan memberikan sesuatu pada orang lain, dan harapan agar
generasi mendatang dapat menggunakan sumber daya alam yang diwariskan.
Nilai disini sangat berkaitan dengan konsep “penggunaan masa datang” dan/atau
“pilihan agar orang lain yang menggunakan”.
Nilai keberadaan adalah bagian dari nilai guna yang sebetulnya tidak
berhubungan dengan penggunaan sumber daya alam oleh manusia, baik untuk
masa kini maupun mendatang. Nilai ini termasuk kepedulian akan keberadaan
suatu objek sebagai makhluk. Salah satu contohnya adalah nilai yang diberikan
18
terhadap keberadaan paus biru. Pada umumnya orang tidak akan memberi
nilai/harga terhadap paus ini dengan harapan akan melihat atau memanfaatkannya
(walaupun mereka mengetahui keberadaannya tersebut melalui foto atau film),
namun lebih karena keunikan keberadaannya.
Barton (1994) mengklasifikasi nilai sumber daya alam atas nilai
kegunaannya (use value) dan nilai tanpa kegunaannya (non use value). Nilai
kegunaan adalah nilai SDAL yang berasal dari manfaat yang dapat diambil dari
SDAL tersebut. Nilai ini terbagi dua, yaitu manfaat langsung dan manfaat tidak
langsung. Menurut Barton (1994) nilai langsung merupakan manfaat penggunaan
dan pengambilan barang sumber daya alam (extractive use) seperti pemanfaatan
kayu dari hutan, ikan dari laut, air dari sungai/danau dan sebagainya, maupun
penggunaan barang sumber daya alam secara langsung (non-extarctive) seperti
rekreasi. Manfaat tidak langsung merupakan manfaat jasa lingkungan yang tidak
harus diekstraksi secara langsung namun memberikan manfaat seperti hutan
sebagai pengatur iklim, danau sebagai pengendali banjir, dan sebagainya (KLH,
2007). Sedangkan manfaat pilihan adalah suatu nilai yang dapat diinterpretasikan
sebagai manfaat sumber daya alam yang potensial dimasa depan, baik manfaat
langsung maupun tidak langsung (Barton, 1994).
Nilai tanpa guna adalah nilai SDAL tanpa melihat ada atau tidaknya
manfaat. Nilai dari SDAL ini dapat dilihat dari manfaat keberadaannya (existence
value), manfaat pilihan (option value), dan manfaat pewarisannya (bequest value).
Manfaat keberadaan menurut Barton (1994) adalah manfaat yang dirasakan oleh
masyarakat dari keberadaan ekosistem atau spesies yang ada, terlepas dari apakah
sumber daya tersebut digunakan atau tidak. Sedangkan manfaat pewarisan adalah
19
suatu manfaat yang dapat diwariskan untuk generasi yang akan datang
(Barton, 1994).
2.6 Metode Penilaian dan Teknik Penilaian
Kemas (2004), kita perlu membedakan antara moteda penilaian dan teknik
penilaian. Metoda penilaian atau kerangka penilaian diperlukan untuk
menaksir/menilai manfaat ekonomi untuk berbagai alternatif penggunaan dari
suatu ataupun daerah konservasi yang diperlukan sebagai bahan pertimbangan
bagi pembuat keputusan. Suatu keputusan dibuat dengan melihat berapa besar
manfaat yang didapat jika dibandingkan dengan biaya yang timbul. Teknik
penilaian adalah suatu teknik yang dipakai untuk menilai berapa besar nilai
ekonomi suatu daerah lahan basah atau daerah konservasi dengan menggunakan
satuan moneter dengan cara membandingkan nilai guna (use value) dan tanpa nilai
guna (non-use value) terhadap nilai pasar.
Menurut Fauzi (2004), secara umum teknik valuasi sumber daya yang
tidak dapat dipasarkan (non market valuation) dapat digolongkan ke dalam dua
kelompok. Kelompok pertama adalah teknik valuasi yang mengandalkan harga
implisit dimana willingness to pay (WTP) terungkap melalui model yang
dikembangkan. Teknik ini disebut teknik yang mengandalkan revealed WTP
(keinginan untuk membayar yang terungkap). Beberapa teknik yang masuk
kelompok ini adalah travel cost method, hedonic pricing, dan teknik yang relatif
baru disebut random utility model.
Kelompok kedua adalah teknik valuasi yang didasarkan pada survei
dimana keinginan membayar atau WTP diperoleh langsung dari responden, yang
20
langsung diungkapkan secara lisan maupun tertulis. Salah satu teknik yang cukup
popular adalah Contingent Valuation Method (CVM) dan Discrete Choice Model.
Secara skematis teknik valuasi non-market tersebut dapat dilihat pada gambar
berikut:
Valuasi Non-market
Tidak Langsung
(Revealed WTP)
Hedonic Pricing
Langsung/Survei
(expressed WTP)
Contingent Valuation
Discrete Choice Model
Contingent Choice
Travel Cost
Random Utility Model
Sumber : Fauzi (2004)
Gambar 2.3 Klasifikasi Valuasi Non-Market
2.6.1 Hedonic Price Model (HPM)
Nauli (2007) model ekonometrika hedonic adalah model dimana variabel
independen berhubungan dengan kualitas, misal kualitas dari suatu produk yang
ingin dibeli. Metode hedonic price banyak diterapkan dalam studi ekonomi
lingkungan, karena dalam ekonomi lingkungan banyak barang-barang yang
harganya tidak nyata (implisit) namun melekat pada barang tersebut.
Hedonic adalah regresi dari pengeluaran (sewa atau nilai) karakteristik
rumah. Variabel independen mempresentasikan karakteristik individual rumah,
dan koefisien regresi dapat dijadikan estimasi harga implisit karakter-karakteristik
tersebut (Malpezzi, 2002).
Fungsi hedonic price, dapat dijelaskan mengenai faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi harga sebuah rumah (Ph) dapat dipengaruhi oleh pertama
karakteristik lokasi/karateristik internal dari lahan (Si), contohnya adalah luas
taman, ketersediaan garasi kendaraan, dan jumlah kamar. Kedua, karakteristik
lingkungan sekitar/karakteristik eksternal lahan (Nj), contohnya suku/etnis, tingkat
kriminalitas, dan jumlah sekolah di area tersebut. Ketiga, kualitas lingkungan
21
(Qk), hal ini ditunjukan pada dengan kualitas udara dan tingkat kebisingan. Fungsi
hedonic price ini dapat dihitung dengan menggunakan ordinary least squares
(OLS) atau persamaan regesi Ph = P (Si,Nj,Qk). Jika ditulis dalam bentuk
matematis Ph =β0 + β1Si + β2Nj + βQk + ε, β adalah intersep/koefisien, Si adalah
karakteristik rumah itu sendiri, Nj adalah karakteristik lingkungan, Qk adalah
kualitas lingkungan dan ε (eror) yang menunjukkan faktor lain yang turut
menentukan harga rumah.
Model yang telah ditentukan, maka dapat ditentukan nilai implisit dari
karakteristik lingkungan. Pengaruh faktor lingkungan terhadap harga suatu tempat
tinggal dapat ditunjukkan oleh nilai implisit tersebut. Nilai tersebut digunakan
untuk menunjukkan besarnya pengaruh faktor lingkungan terhadap harga suatu
tempat tinggal.
δPh/δQk = P (Si,Nj,Qk)
Atau δPh/δQk = δ (β0 + β1S1 + β2Nj + β3Qk + ε) / δQk
δPh/δQk biasa disebut net differential, r, dan dihitung nilai berubahan
marjinal pada kualitas lingkungan variabel Qk pada persamaan di atas.
Harga implisit marjinal dapat diturunkan dari kurva harga implisit lingkungan di
atas, seperti pada gambar berikut
22
P
(harga)
3
02
Ph = P(Qk) = harga implisit
lingkungan
s
0
1
5
Harga implisit marginal
lingkungan
Qk = kualitas lingkungan tertentu
0
1
2
3
Sumber : Hanley dan Splash (1993)
Gambar 2.4 Kurva Harga Implisit Marjinal Lingkungan
Keseimbangan individu didalam housing market terjadi ketika harga
implisit marjinal sama dengan biaya marjinal. Keseimbangan ini menunjukan
bahwa tambahan kepuasaan yang diterima sebagai akibat peningkatan kualitas
lingkungan (Marginal Value = Harga Implisit Marjinal) sama dengan tambahan
biaya yang harus dikeluarkan untuk mendapatkan peningkatan kualitas
lingkungan (Marginal Cost).
2.7 Estimasi Kurva Permintaan
Estimasi kurva permintaan untuk kualitas lingkungan menggunakan
informasi tambahan dari estimasi HPM. Persamaan δPh/δQk = P (Si,Nj,Qk) akan
menjadi inverse kurva permintaan untuk Qi jika seandainya semua individu
dipengaruhi oleh polusi kebisingan yang sama. Prosedur untuk menghitung kurva
permintaan untuk Q tergantung pada asumsi tentang sisi supply pada pasar.
Pembeli rumah harus menawar untuk penawaran yang tetap ini pada unit yang
heterogen. Jika kurva permintaan implisit untuk kurva Q dapat diperoleh dengan
regresi harga implist r pada Q, variabel sosial-ekonomi diduga relevan seperti
23
pendapatan (Y) dan usia (A), dan beberapa perwakilan variabel mampu
mempresentasikan pilihan. Perhitungan pada kurva permintaan untuk area kota,
dengan wilayah-wilayah ini ditandai dengan “i”,
ri = P (Qi,Yi,Ai)
Jika persamaan di atas dihitung, kemudian nilai non-marginal increase pada Qi
dapat dihitung oleh perhitungan secara tepat, menggunakan rata-rata untuk Yi dan
Ai. Agregrat manfaat dan ditemukan dengan menjumlahkan penjumlahan
penguraian semua wilayah.
2.8 Penelitian Terdahulu
2.8.1 Estimasi Nilai Ekonomi Lingkungan Pemukiman Mahasiswa IPB
Avianto (2005) melakukan penelitian mengenai estimasi nilai ekonomi
lingkungan pemukiman mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) dalam
prespektif regresi hedonis. Dari penelitian tersebut dapat diketahui faktor-faktor
yang mempengaruhi tingkat kesukaan mahasiswa terhadap tempat tinggal antara
lain luas halaman, tingkat keamanan, dan kondisi udara. Nilai ekonomi
lingkungan pemukiman mahasiswa sebesar Rp 10.065.016,31.
Hanum dalam Awwali (2010) melakukan penelitian mengenai kebisingan
permukiman pinggiran rel kereta api (Kasus Desa Cilebut Timur Kabupaten
Bogor Jawa Barat): analisis preferensi, persepsi dan willingness to accept.
Penelitian tersebut bertujuan untuk mengkaji kesediaan masyarakat Cilebut Timur
dalam menerima kompensasi dan besar nilainya dengan menggunakan hedonic
price method. Variabel yang secara nyata mempengaruhi nilai willingness to
accept (WTA) responden adalah jumlah tanggungan, harga tanah, pendidikan,
24
jenis pekerjaan, luas tanah, jarak ke sumber bising, dan sumber pendapatan. Nilai
WTA masyarakat adalah Rp 264.719,25 sampai dengan Rp 314.719,25 per meter
persegi, sehingga bid curve yang terbentuk adalah supply curve antara nilai WTA
(Rp/m2) yang diperoleh dengan luas tanah (m2) responden.
Astrini (2009) melakukan penelitian mengenai faktor-faktor yang akan
mempengaruhi harga lahan permukiman di Kecamatan Bogor Utara dan Bogor
Selatan Kota Bogor jawa Barat. Penelitian ini menggunakan model persamaan
regresi berganda double-log. Faktor-faktor yang berpengaruh nyata berdasarkan
model double log adalah luas lahan, akses terhadap angkutan kota, kepadatan
penduduk, jarak pasar terdekat, status lahan, prasarana jalan, akses ke fasilitas
umum, dan kebersihan lingkungan.
Awwali (2010) melakukan penelitian mengenai estimasi nilai lingkungan
di permukiman pinggiran jalan tol Jagorawi (Kasus Perumahan Bumi Cimahpar
Kecamatan Bogor Utara Kota Bogor Jawa Barat). Penelitian ini menggunakan
hedonic price method untuk mengestimasi nilai lingkungan melalui nilai rumah.
Variabel yang mempengaruhi nilai rumah adalah umur rumah, luas tanah, luas
bangunan, dan jarak antara rumah dengan jalan tol (sumber bising). Esimasi nilai
rumah berdasarkan penelitian ini memiliki persamaan sebagai berikut:
Hr = -1,27  0,183 UR + 0,421 LT + 0,218 LB + 0,245 JT + e
HR = Harga Rumah (Rp)
UR = Umur Rumah (Tahun)
LT = Luas Tanah (m2)
LB = Luas Bangunan (m2)
JT = Jarak Rumah ke Taman (m)
25
Download