II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Lingkungan Hidup Lingkungan hidup adalah suatu kesatuan hidup antara kondisi fisik yang mencakup keadaan sumberdaya alam seperti tanah, air, energi surya, mineral, serta flora dan fauna yang tumbuh di atas tanah maupun di dalam lautan, dengan kelembagaan yang meliputi ciptaan manusia seperti keputusan bagaimana menggunakan lingkungan fisik tersebut (Deateytomawin, 2010). Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di sekitar manusia yang mempengaruhi perkembangan kehidupan manusia baik langsung maupun tidak langsung. Lingkungan bisa dibedakan menjadi lingkungan biotik dan abiotik. Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda dan kesatuan makhluk hidup termasuk di dalamnya manusia dan perilakunya yang melangsungkan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya (UU No. 23 Tahun 1997). 2.2 Pengertian Permukiman Ada beberapa padanan kata yang menjelaskan makna dari kata tempat tinggal. Kata housing dalam bahasa Inggris berarti perumahan dalam bahasa Indonesia. Sedangkan kata human settlement berarti permukiman. Permukiman merupakan kumpulan pemukim beserta sikap dan perilakunya di dalam lingkungan. Permukiman menitik beratkan pada suatu yang bukan bersifat fisik atau benda mati, yaitu manusia (Kurniasih, 2009). Lingkungan permukiman adalah suatu area yang di dalamnya terdapat susunan ketetanggaan atau kumpulan tempat tinggal dan sarana perkantoran, niaga, pendidikan, budaya, kesehatan, dan fasilitas administrasi penting lainnya di sekitar area tersebut (Eckbo dalam Rahayu, 2008). Permukiman dinyatakan sebagai kelompok-kelompok rumah yang memiliki ruang terbuka secara bersama dan merupakan kelompok yang cukup kecil untuk melibatkan semua anggota keluarga dalam suatu aktifitas, tetapi cukup besar untuk menampung fasilitas umum seperti tempat berbelanja, lapangan bermain dan daerah penyangga (Simond dalam Rahayu, 2008). Pengertian permukiman menurut UU No. 4/1992 tentang permukiman yaitu bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik yang berupa kawasan perkotaan maupun pedesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan. Lebih lanjut dinyatakan bahwa satuan lingkungan permukiman adalah kawasan perumahan dalam berbagai bentuk dan ukuran dengan penataan tanah dan ruang, prasarana dan sarana lingkungan yang terstruktur. Rumah adalah bangunan yang dijadikan tempat tinggal selama jangka waktu tertentu. Rumah bisa menjadi tempat tinggal manusia maupun hewan, namun tempat tinggal yang khusus bagi hewan biasanya sangkar, sarang, atau kandang, Leonardlansyah (2010). Adanya penataan jalur hijau dalam kawasan permukiman memungkinkan pencapaian kenyamanan dan keamanan bagi penghuninya. Sebagai contoh penanaman jalur hijau sepanjang berm dan median jalan yang bersifat sederhana dalam pelaksanaannya dengan berpedoman pada kebutuhan, kecocokan penampilan ditiap musim, penampilan ditiap tahapan pertumbuhan, kecocokan antara tanaman dan bangunan serta lingkungan sekitar dan keefisienan dalam pemeliharaan (Simond dalam Rahayu, 2008). 9 2.3 Konsep Ruang Terbuka Hijau (RTH) 2.3.1 Definisi dan Pengertian RTH Ruang terbuka adalah ruang-ruang dalam kota atau wilayah yang lebih luas, baik dalam bentuk area/kawasan maupun dalam bentuk area memanjang/jalur dimana di dalam penggunaannya lebih bersifat terbuka pada dasarnya tanpa bangunan. Ruang terbuka hijau (RTH) pemanfaatannya lebih bersifat pengisian hijau tanaman atau tumbuh-tumbuhan secara alamiah ataupun budidaya tanaman seperti lahan pertanian pertamanan, perkebunan dan sebagainya (Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 14 Tahun 1988). Ruang Terbuka Hijau adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. Ruang terbuka hijau sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a terdiri dari ruang terbuka hijau publik dan ruang terbuka hijau privat. Proporsi ruang terbuka hijau pada wilayah kota paling sedikit tiga puluh persen dari luas wilayah kota. Proporsi ruang terbuka hijau publik pada wilayah kota paling sedikit dua puluh persen dari luas wilayah kota (Undang-Undang Republik Indonesia No. 26 Tahun 2007). Ruang terbuka hijau berdasarkan bobot kealamiannya bentuk dapat diklasifikasi menjadi RTH alami, misalnya habitat liar/alam, kawasan lindung dan RTH non alami atau RTH binaan, contohnya pertanian kota, pertamanan kota, lapangan olah raga, dan pemakaman. Ruang terbuka hijau berdasarkan karakter dan sifat ekologisnya diklasifikasikan menjadi, RTH kawasan dan RTH bentuk jalur. Ruang terbuka hijau berdasarkan penggunaan lahan atau kawasan fungsionalnya diklasifikasikan menjadi, RTH kawasan perdagangan, RTH 10 kawasan perindustrian, RTH kawasan permukiman, RTH kawasan pertanian, RTH kawasan-kawasan khusus, seperti pemakaman, hankam, olag raga, alamiah. Ruang terbuka hijau berdasarkan status kepemilikannya diklasifikasikan menjadi RTH publik dan RTH privat atau non publik. Ruang terbuka hijau publik, yaitu RTH yang berlokasi pada lahan-lahan publik atau lahan yang dimiliki oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Ruang terbuka hijau privat adalah RTH yang berlokasi pada lahan-lahan milik privat (Departemen Pekerjaan Umum, 2005). 2.3.2 Fungsi dan Manfaat RTH Berdasarkan Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 14 Tahun 1988 Ruang terbuka hijau kota mempunyai fungsi: a) Sebagai areal perlindungan berlangsungnya fungsi ekosistem dan penyangga kehidupan. b) Sebagai sarana untuk menciptakan kebersihan, kesehatan, keserasian, dan kehidupan lingkungan. c) Sebagai sarana rekreasi. d) Sebagai pengaman lingkungan hidup perkotaan terhadap berbagai macam pencemaran baik di darat, perairan maupun udara. e) Sebagai sarana penelitian dan pendidikan serta penyuluhan bagi masyarakat untuk membentuk kesadaran lingkungan. f) Sebagai sarana perlindungan plasma nutfah. g) Sebagai sarana untuk mempengaruhi dan memperbaiki iklim mikro. h) Sebagai pengatur tata air. 11 Manfaat yang dapat diperoleh dari ruang terbuka hijau kota berdasarkan Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 14 Tahun 1988 antara lain: a) Memberikan kesegaran, kenyamanan dan keindahan lingkungan; b) Memberikan lingkungan yang bersih dan sehat bagi penduduk kota; c) Memberikan hasil produksi berupa kayu, daun, bunga dan buah. Ruang terbuka hijau memiliki fungsi utama (intrinsik) meliputi fungsi ekologis, dan fungsi tambahan (ekstrinsik) meliputi fungsi arsitektural, sosial, dan fungsi ekonomi. Ruang terbuka hijau juga berfungsi ekologis seperti RTH untuk perlindungan sumberdaya penyangga kehidupan manusia dan untuk membangun jejaring habitat kehidupan liar. Ruang terbuka hijau untuk fungsi-fungsi lainnya (sosial, ekonomi, arsitektural) merupakan RTH pendukung dan penambah nilai kualitas lingkungan dan budaya kota tersebut, sehingga dapat berlokasi dan berbentuk sesuai dengan kebutuhan dan kepentingannya, seperti untuk keindahan, rekreasi, dan pendukung arsitektur kota (Departemen Pekerjaan Umum, 2005). Ruang terbuka hijau berdasarkan manfaatnya dibagi atas dua hal. Ruang terbuka hijau yang memiliki manfaat langsung (dalam pengertian cepat dan bersifat tangible) seperti mendapatkan bahan-bahan untuk dijual (kayu, daun, bunga) dan kenyamanan fisik (teduh, segar). Ruang terbuka hijau dengan manfaat tidak langsung (berjangka panjang dan bersifat intangible) seperti perlindungan tata air dan konservasi hayati atau keanekaragaman hayati (Departemen Pekerjaan Umum, 2005). 2.3.3 Pola dan Struktur Fungsional RTH Pola ruang terbuka hijau (RTH) kota merupakan struktur yang ditentukan oleh hubungan fungsional (ekologis, sosial, ekonomi, arsitektural) antara 12 komponen pembentuknya. Pola RTH terdiri dari, RTH struktural dan RTH non struktural. RTH struktural merupakan pola RTH yang dibangun oleh hubungan fungsional antara komponen pembentuknya yang mempunyai pola hierarki planologis yang bersifat antroposentris. RTH non struktural merupakan pola RTH yang dibangun oleh hubungan fungsional antara komponen pembentuknya yang umumnya tidak mengikuti pola hierarki planologis karena bersifat ekosentris. 2.3.4 Elemen Pengisi RTH Departemen Pekerjaan Umum (2005), mengatakan RTH dibangun dari kumpulan tumbuhan dan tanaman atau vegetasi yang telah diseleksi dan disesuaikan dengan lokasi serta rencana dan rancangan peruntukannya. Keberhasilan rancangan, penanaman dan kelestariannya maka sifat dan ciri serta kriteria arsitektural dan hortikultura tanaman dan vegetasi penyusun RTH harus menjadi bahan pertimbangan dalam menyeleksi jenis-jenis yang akan ditanam. Persyaratan umum tanaman untuk ditanam di wilayah perkotaan: a) Disenangi dan tidak berbahaya bagi warga kota. b) Mampu tumbuh pada lingkungan yang marjinal (tanah tidak subur, udara dan air yang tercemar). c) Tahan terhadap gangguan fisik (vandalism). d) Perakaran dalam sehingga tidak mudah tumbang. e) Tidak gugur daun, cepat tumbuh, bernilai hias dan arsitektural. f) Dapat menghasilkan O2 dan meningkatkan kualitas lingkungan kota. g) Bibit/benih mudah didapatkan dengan harga yang murah/terjangkau oleh masyarakat. h) Prioritas menggunakan vegetasi endemik/lokal. 13 i) Keanekaragaman hayati. 2.3.5 Teknis Perencanaan RTH Rencana pembangunan dan pengembangan RTH yang fungsional suatu wilayah perkotaan, ada empat hal utama yang harus diperhatikan, yaitu: a) Luas RTH minimum yang diperlukan dalam suatu wilayah perkotaan ditentukan secara komposit oleh tiga komponen berikut ini, yaitu: i) Kapasitas atau daya dukung alami wilayah. ii) Kebutuhan per kapita (kenyamanan, kesehatan, dan bentuk pelayanan lainnya). iii) Arah dan tujuan pembangunan kota. RTH berluas minimum merupakan RTH berfungsi ekologis yang berlokasi, berukuran, dan berbentuk pasti, yang melingkup RTH publik dan RTH privat. Suatu wilayah perkotaan maka RTH publik harus berukuran sama atau lebih luas dari RTH luas minimal, dan RTH privat merupakan RTH pendukung dan penambah nilai rasio terutama dalam meningkatkan nilai dan kualitas lingkungan dan kultural kota. b) Lokasi lahan kota yang potensial dan tersedia untuk RTH. c) Struktur dan pola RTH yang akan dikembangkan (bentuk, konfigurasi, dan distribusi). d) Seleksi tanaman sesuai kepentingan dan tujuan pembangunan kota. 14 2.4 Konsep Nilai Sumberdaya Alam dan Lingkungan Menurut Fauzi (2006), sumber daya didefinisikan sebagai sesuatu yang dipandang memiliki nilai ekonomi. Sumber daya itu sendiri memiliki dua aspek yakni aspek teknis yang memungkinkan bagaimana sumber daya dimanfaatkan dan aspek kelembagaan yang menentukan siapa yang mengendalikan sumber daya dan bagaimana teknologi digunakan. Dapat juga dikatakan bahwa sumber daya adalah komponen dari ekosistem yang menyediakan barang dan jasa yang bermanfaat bagi kebutuhan manusia. Menurut Easterlin dalam Alikodra (2006), nilai (value) adalah sebagai kerangka untuk mengidentifikasi sifat-sifat positif atau negatif dalam berbagai peristiwa, benda (objects), atau situasi. Sedangkan menurut Fauzi (2006), pengertian nilai atau value, khususnya yang menyangkut barang dan jasa yang dihasilkan oleh SDAL, memang bisa berbeda jika dipandang dari berbagai disiplin ilmu. Diperlukan suatu persepsi yang sama untuk penilaian ekosistem tersebut. Salah satu tolak ukur yang relatif mudah dan bisa dijadikan persepsi bersama berbagai disiplin ilmu tersebut adalah pemberian price tag (harga) pada barang dan jasa yang dihasilkan SDAL. Lebih lanjut menurut Fauzi (2006), penilaian barang dan jasa yang dihasilkan dari sumber daya alam dan lingkungan dapat dinilai secara moneter. Barang dan jasa yang dihasilkan tersebut seperti ikan, kayu, air bahkan pencemaran sekalipun dapat dihitung nilai rupiah atau nilai ekonominya karena diasumsikan bahwa pasar itu eksis (market based), sehingga transaksi barang dari sumber daya alam tersebut dapat dilakukan. Selain menghasilkan barang dan jasa yang dapat dikonsumsi baik langsung maupun tidak langsung, sumber daya alam juga menghasilkan jasa 15 dalam bentuk lain, misalnya manfaat amenity seperti keindahan, ketenangan, dan sebagainya. Manfaat ini lebih terasa dalam jangka panjang. Manfaat fungsi ekologis (ecological function) tersebut sering tidak terkuantifikasi dalam perhitungan menyeluruh terhadap nilai dari sumber daya. Demikian pula, meskipun diketahui kerusakan lingkungan akibat aktivitas ekonomi. Pengambil kebijakan sering tidak mampu mengkuantifikasikan kerusakan tersebut dengan metode ekonomi yang konvensional. Permasalahanpermasalahan di atas kemudian menjadi dasar pemikiran lahirnya konsep valuasi ekonomi, khususnya valuasi non-pasar (non-market valuation). 2.5 Konsep Nilai Ekonomi Total Menurut Askary (2001), ilmu ekonomi lingkungan telah mengembangkan apa yang dikenal sebagai Nilai Ekonomi Total (NET/TEV: Total Economic Value) untuk memahami nilai sumberdaya alam dan fungsi lingkungan, walaupun tidak mencakup seluruh nilai yang dimliki oleh suatu lingkungan. Nilai Ekonomi Total dibentuk dari dua bagian, yaitu nilai guna dan non-guna. NET merupakan konsep yang sesuai untuk memperhitungkan manfaat dari peningkatan kualitas sumber daya alam yang merupakan barang publik/public goods (misalnya, upaya peningkatan kualitas air sungai) atau kerusakan-kerusakan yang ditimbulkan oleh proyek pembangunan sebagai dampak lingkungan (seperti, penurunan atau kerusakan ekosistem terumbu karang). 16 Penjelasan rinci Nilai Ekonomi Total (NET) NET= F (NGL, NGTL, NP + NW, NK) Dimana: NGL, NGTL, NP = Nilai Guna NW, NK = Nilai non-guna atau pasif NET = Nilai Ekonomi Total (Total Economic Value) NGL = Nilai Guna Langsung (Direct Use Value) NGTL = Nilai Guna Tidak Langsung (Indirect Use Value) NP = Nilai Pilihan (Option Value) NW = Nilai Warisan (Bequest Value) Sumber: The United University & The World Bank, 1995 Gambar 2.1 Komponen-komponen Nilai Ekonomi Total Nilai Ekonomi Total Nilai Guna Nilai Non-guna Nilai Guna Langsung Nilai Guna Tidak Langsung Hasil yang dapat dikonsumsi langsung Manfaatmanfaat fungsional Fungsi ekologi Pengendalian banjir Makanan Biomassa Rekresasi Nilai Pilihan Nilai Warisan Nilai Keberadaan Nilai Guna Langsung & tidak langsung di masa mendatang Nilai karena membiarkan Nilai Guna & non-guna untuk anak cucu Nilai dari pengetahuan terhadap keberadaan yang tetap Keanekaragam an hayati Habitat terkonservasi Habitat Perubahan yang tidak dapat diperbaiki Habitat Fauna/flora langka Berkurangnya “sifat nyata” (tangibility) suatu nilai terhadap individu Sumber: The United University & The World Bank, 1995 Gambar 2.2 Bagan Nilai Ekonomi Total 17 Nilai guna dari sumber daya alam dapat diperkirakan langsung dari konsumsi atau produksi, yaitu penentuan harga dalam transaksi pasar. Nilai guna ini dibayar oleh orang yang secara langsung menggunakan dan mendapatkan manfaat. Nilai guna tidak langsung adalah nilai guna fungsi pendukung terhadap nilai guna langsung dari sumber daya alam yang berkaitan, seperti fungsi plasma nutfah dan fungsi asimilasi terhadap buangan manusia. Nilai pilihan (masa datang) adalah nilai dari barang publik sebagai manfaat potensial yang dapat diambil. Hal ini merupakan preferensi untuk melindungi barang publik dari kemungkinan pemanfaatannya untuk masa yang akan datang. Apabila terdapat ketidakpastian yang berhubungan dengan pemanfaatan yang akan datang berkaitan dengan ketersediaan akan adanya pasokan barang tersebut, maka nilai pilihan akan positif. Salah satu nilai pilihan spesifik berhubungan dengan nilai dari informasi mengenai masa yang akan datang. Nilai warisan, diperoleh dari dorongan untuk menjaga keberadaan sumber daya alam agar dapat dimanfaatkan oleh generasi yang berikutnya. Nilai warisan diperkirakan dari kepuasan memberikan sesuatu pada orang lain, dan harapan agar generasi mendatang dapat menggunakan sumber daya alam yang diwariskan. Nilai disini sangat berkaitan dengan konsep “penggunaan masa datang” dan/atau “pilihan agar orang lain yang menggunakan”. Nilai keberadaan adalah bagian dari nilai guna yang sebetulnya tidak berhubungan dengan penggunaan sumber daya alam oleh manusia, baik untuk masa kini maupun mendatang. Nilai ini termasuk kepedulian akan keberadaan suatu objek sebagai makhluk. Salah satu contohnya adalah nilai yang diberikan 18 terhadap keberadaan paus biru. Pada umumnya orang tidak akan memberi nilai/harga terhadap paus ini dengan harapan akan melihat atau memanfaatkannya (walaupun mereka mengetahui keberadaannya tersebut melalui foto atau film), namun lebih karena keunikan keberadaannya. Barton (1994) mengklasifikasi nilai sumber daya alam atas nilai kegunaannya (use value) dan nilai tanpa kegunaannya (non use value). Nilai kegunaan adalah nilai SDAL yang berasal dari manfaat yang dapat diambil dari SDAL tersebut. Nilai ini terbagi dua, yaitu manfaat langsung dan manfaat tidak langsung. Menurut Barton (1994) nilai langsung merupakan manfaat penggunaan dan pengambilan barang sumber daya alam (extractive use) seperti pemanfaatan kayu dari hutan, ikan dari laut, air dari sungai/danau dan sebagainya, maupun penggunaan barang sumber daya alam secara langsung (non-extarctive) seperti rekreasi. Manfaat tidak langsung merupakan manfaat jasa lingkungan yang tidak harus diekstraksi secara langsung namun memberikan manfaat seperti hutan sebagai pengatur iklim, danau sebagai pengendali banjir, dan sebagainya (KLH, 2007). Sedangkan manfaat pilihan adalah suatu nilai yang dapat diinterpretasikan sebagai manfaat sumber daya alam yang potensial dimasa depan, baik manfaat langsung maupun tidak langsung (Barton, 1994). Nilai tanpa guna adalah nilai SDAL tanpa melihat ada atau tidaknya manfaat. Nilai dari SDAL ini dapat dilihat dari manfaat keberadaannya (existence value), manfaat pilihan (option value), dan manfaat pewarisannya (bequest value). Manfaat keberadaan menurut Barton (1994) adalah manfaat yang dirasakan oleh masyarakat dari keberadaan ekosistem atau spesies yang ada, terlepas dari apakah sumber daya tersebut digunakan atau tidak. Sedangkan manfaat pewarisan adalah 19 suatu manfaat yang dapat diwariskan untuk generasi yang akan datang (Barton, 1994). 2.6 Metode Penilaian dan Teknik Penilaian Kemas (2004), kita perlu membedakan antara moteda penilaian dan teknik penilaian. Metoda penilaian atau kerangka penilaian diperlukan untuk menaksir/menilai manfaat ekonomi untuk berbagai alternatif penggunaan dari suatu ataupun daerah konservasi yang diperlukan sebagai bahan pertimbangan bagi pembuat keputusan. Suatu keputusan dibuat dengan melihat berapa besar manfaat yang didapat jika dibandingkan dengan biaya yang timbul. Teknik penilaian adalah suatu teknik yang dipakai untuk menilai berapa besar nilai ekonomi suatu daerah lahan basah atau daerah konservasi dengan menggunakan satuan moneter dengan cara membandingkan nilai guna (use value) dan tanpa nilai guna (non-use value) terhadap nilai pasar. Menurut Fauzi (2004), secara umum teknik valuasi sumber daya yang tidak dapat dipasarkan (non market valuation) dapat digolongkan ke dalam dua kelompok. Kelompok pertama adalah teknik valuasi yang mengandalkan harga implisit dimana willingness to pay (WTP) terungkap melalui model yang dikembangkan. Teknik ini disebut teknik yang mengandalkan revealed WTP (keinginan untuk membayar yang terungkap). Beberapa teknik yang masuk kelompok ini adalah travel cost method, hedonic pricing, dan teknik yang relatif baru disebut random utility model. Kelompok kedua adalah teknik valuasi yang didasarkan pada survei dimana keinginan membayar atau WTP diperoleh langsung dari responden, yang 20 langsung diungkapkan secara lisan maupun tertulis. Salah satu teknik yang cukup popular adalah Contingent Valuation Method (CVM) dan Discrete Choice Model. Secara skematis teknik valuasi non-market tersebut dapat dilihat pada gambar berikut: Valuasi Non-market Tidak Langsung (Revealed WTP) Hedonic Pricing Langsung/Survei (expressed WTP) Contingent Valuation Discrete Choice Model Contingent Choice Travel Cost Random Utility Model Sumber : Fauzi (2004) Gambar 2.3 Klasifikasi Valuasi Non-Market 2.6.1 Hedonic Price Model (HPM) Nauli (2007) model ekonometrika hedonic adalah model dimana variabel independen berhubungan dengan kualitas, misal kualitas dari suatu produk yang ingin dibeli. Metode hedonic price banyak diterapkan dalam studi ekonomi lingkungan, karena dalam ekonomi lingkungan banyak barang-barang yang harganya tidak nyata (implisit) namun melekat pada barang tersebut. Hedonic adalah regresi dari pengeluaran (sewa atau nilai) karakteristik rumah. Variabel independen mempresentasikan karakteristik individual rumah, dan koefisien regresi dapat dijadikan estimasi harga implisit karakter-karakteristik tersebut (Malpezzi, 2002). Fungsi hedonic price, dapat dijelaskan mengenai faktor-faktor yang dapat mempengaruhi harga sebuah rumah (Ph) dapat dipengaruhi oleh pertama karakteristik lokasi/karateristik internal dari lahan (Si), contohnya adalah luas taman, ketersediaan garasi kendaraan, dan jumlah kamar. Kedua, karakteristik lingkungan sekitar/karakteristik eksternal lahan (Nj), contohnya suku/etnis, tingkat kriminalitas, dan jumlah sekolah di area tersebut. Ketiga, kualitas lingkungan 21 (Qk), hal ini ditunjukan pada dengan kualitas udara dan tingkat kebisingan. Fungsi hedonic price ini dapat dihitung dengan menggunakan ordinary least squares (OLS) atau persamaan regesi Ph = P (Si,Nj,Qk). Jika ditulis dalam bentuk matematis Ph =β0 + β1Si + β2Nj + βQk + ε, β adalah intersep/koefisien, Si adalah karakteristik rumah itu sendiri, Nj adalah karakteristik lingkungan, Qk adalah kualitas lingkungan dan ε (eror) yang menunjukkan faktor lain yang turut menentukan harga rumah. Model yang telah ditentukan, maka dapat ditentukan nilai implisit dari karakteristik lingkungan. Pengaruh faktor lingkungan terhadap harga suatu tempat tinggal dapat ditunjukkan oleh nilai implisit tersebut. Nilai tersebut digunakan untuk menunjukkan besarnya pengaruh faktor lingkungan terhadap harga suatu tempat tinggal. δPh/δQk = P (Si,Nj,Qk) Atau δPh/δQk = δ (β0 + β1S1 + β2Nj + β3Qk + ε) / δQk δPh/δQk biasa disebut net differential, r, dan dihitung nilai berubahan marjinal pada kualitas lingkungan variabel Qk pada persamaan di atas. Harga implisit marjinal dapat diturunkan dari kurva harga implisit lingkungan di atas, seperti pada gambar berikut 22 P (harga) 3 02 Ph = P(Qk) = harga implisit lingkungan s 0 1 5 Harga implisit marginal lingkungan Qk = kualitas lingkungan tertentu 0 1 2 3 Sumber : Hanley dan Splash (1993) Gambar 2.4 Kurva Harga Implisit Marjinal Lingkungan Keseimbangan individu didalam housing market terjadi ketika harga implisit marjinal sama dengan biaya marjinal. Keseimbangan ini menunjukan bahwa tambahan kepuasaan yang diterima sebagai akibat peningkatan kualitas lingkungan (Marginal Value = Harga Implisit Marjinal) sama dengan tambahan biaya yang harus dikeluarkan untuk mendapatkan peningkatan kualitas lingkungan (Marginal Cost). 2.7 Estimasi Kurva Permintaan Estimasi kurva permintaan untuk kualitas lingkungan menggunakan informasi tambahan dari estimasi HPM. Persamaan δPh/δQk = P (Si,Nj,Qk) akan menjadi inverse kurva permintaan untuk Qi jika seandainya semua individu dipengaruhi oleh polusi kebisingan yang sama. Prosedur untuk menghitung kurva permintaan untuk Q tergantung pada asumsi tentang sisi supply pada pasar. Pembeli rumah harus menawar untuk penawaran yang tetap ini pada unit yang heterogen. Jika kurva permintaan implisit untuk kurva Q dapat diperoleh dengan regresi harga implist r pada Q, variabel sosial-ekonomi diduga relevan seperti 23 pendapatan (Y) dan usia (A), dan beberapa perwakilan variabel mampu mempresentasikan pilihan. Perhitungan pada kurva permintaan untuk area kota, dengan wilayah-wilayah ini ditandai dengan “i”, ri = P (Qi,Yi,Ai) Jika persamaan di atas dihitung, kemudian nilai non-marginal increase pada Qi dapat dihitung oleh perhitungan secara tepat, menggunakan rata-rata untuk Yi dan Ai. Agregrat manfaat dan ditemukan dengan menjumlahkan penjumlahan penguraian semua wilayah. 2.8 Penelitian Terdahulu 2.8.1 Estimasi Nilai Ekonomi Lingkungan Pemukiman Mahasiswa IPB Avianto (2005) melakukan penelitian mengenai estimasi nilai ekonomi lingkungan pemukiman mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) dalam prespektif regresi hedonis. Dari penelitian tersebut dapat diketahui faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kesukaan mahasiswa terhadap tempat tinggal antara lain luas halaman, tingkat keamanan, dan kondisi udara. Nilai ekonomi lingkungan pemukiman mahasiswa sebesar Rp 10.065.016,31. Hanum dalam Awwali (2010) melakukan penelitian mengenai kebisingan permukiman pinggiran rel kereta api (Kasus Desa Cilebut Timur Kabupaten Bogor Jawa Barat): analisis preferensi, persepsi dan willingness to accept. Penelitian tersebut bertujuan untuk mengkaji kesediaan masyarakat Cilebut Timur dalam menerima kompensasi dan besar nilainya dengan menggunakan hedonic price method. Variabel yang secara nyata mempengaruhi nilai willingness to accept (WTA) responden adalah jumlah tanggungan, harga tanah, pendidikan, 24 jenis pekerjaan, luas tanah, jarak ke sumber bising, dan sumber pendapatan. Nilai WTA masyarakat adalah Rp 264.719,25 sampai dengan Rp 314.719,25 per meter persegi, sehingga bid curve yang terbentuk adalah supply curve antara nilai WTA (Rp/m2) yang diperoleh dengan luas tanah (m2) responden. Astrini (2009) melakukan penelitian mengenai faktor-faktor yang akan mempengaruhi harga lahan permukiman di Kecamatan Bogor Utara dan Bogor Selatan Kota Bogor jawa Barat. Penelitian ini menggunakan model persamaan regresi berganda double-log. Faktor-faktor yang berpengaruh nyata berdasarkan model double log adalah luas lahan, akses terhadap angkutan kota, kepadatan penduduk, jarak pasar terdekat, status lahan, prasarana jalan, akses ke fasilitas umum, dan kebersihan lingkungan. Awwali (2010) melakukan penelitian mengenai estimasi nilai lingkungan di permukiman pinggiran jalan tol Jagorawi (Kasus Perumahan Bumi Cimahpar Kecamatan Bogor Utara Kota Bogor Jawa Barat). Penelitian ini menggunakan hedonic price method untuk mengestimasi nilai lingkungan melalui nilai rumah. Variabel yang mempengaruhi nilai rumah adalah umur rumah, luas tanah, luas bangunan, dan jarak antara rumah dengan jalan tol (sumber bising). Esimasi nilai rumah berdasarkan penelitian ini memiliki persamaan sebagai berikut: Hr = -1,27 0,183 UR + 0,421 LT + 0,218 LB + 0,245 JT + e HR = Harga Rumah (Rp) UR = Umur Rumah (Tahun) LT = Luas Tanah (m2) LB = Luas Bangunan (m2) JT = Jarak Rumah ke Taman (m) 25