BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Paradigma pariwisata

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Paradigma pariwisata modern berangkat dari filsafat modern yang menjadi
pondasi dasar, dan memandu praktek dari apa yang dikenal sebagai pariwisata
massal. Banyak gelombang kritik ditujukan pada praktek pariwisata tersebut karena
sifatnya yang elitis, dan menyebabkan masyarakat lokal yang berada di kawasan
destinasi wisata teralienasi. Gerakan kontra wacana pariwisata massal telah
membidani lahirnya wacana pariwisata alternatif (Fayos-Sola, 1996), yang berangkat
dari tradisi berpikir yang dalam ranah ilmu sosial dan filsafat dikenal sebagai gerakan
posmodernisme. Secara general, tradisi pemikiran modern memproduksi apa yang
disebut
sebagai
perspektif
dualisme
(subyek-obyek),
sedangkan
gerakan
posmodernisme melahirkan perspektif dualitas (subyek-subyek).
Paradigma pariwisata kontemporer relatif telah banyak mengalami perubahan
dibandingkan pariwisata konvensional. Pergeseran ini terinspirasi kuat dari sebuah
aliran pemikiran yang santer disebut sebagai posmodernisme, atau sering dinamakan
pula pascastrukturalisme (Ritzer dan Smart, 2012; Ritzer, 2013). Keduanya, walau
berangkat dari tradisi pemikiran yang agak berbeda, akan tetapi memiliki kesamaan
ciri dalam proyeknya: memberangus segala macam metafisika filsafat cartesian yang
berpusat pada subyek. Pemikiran Rene Descartes memang telah mengakar kuat dalam
tradisi pemikiran yang dikenal sebagai modernisme, ketika sang filsuf Prancis ini
1
mendeklarasikan rapalan kaum rasionalis yang terkenal itu: cogito ergo sum (aku
berpikir maka aku ada). Artinya, subyek yang berpikir ini, dengan menggunakan
instrumen rasionalitasnya akan selalu mampu mengontrol obyek di luar dirinya
(Hardiman, 2012). Implikasinya cukup jauh: eksistensi manusia ditentukan ketika ia
menggunakan kemampuan daya pikirnya.
Aroma antroposentris ini merambah ke seluruh dimensi kehidupan. Demikian
juga semua disiplin ilmu, logika modern dijadikan rujukan untuk memperoleh
kebenaran. Racikan pas antara logika formal aristotelian dengan subyektivitas
cartesian melahirkan apa yang populer dinamakan metode ilmiah. Metode khas inilah
yang disepakati sebagai satu-satunya cara dalam memperoleh pengetahuan yang
benar dalam maskapai keilmuan. Standarisasi ini ternyata tidak hanya berada dalam
demarkasi akademis, ketika posisi ilmu/sains ternyata merambah ke semua relung
kehidupan manusia (Habermas dalam Hardiman, 2000). Teknologi yang merupakan
anak kandung dari sains telah menunjukkan hasilnya yang gilang-gemilang. Hal ini
menjadikan apa yang ilmiah adalah terhormat, dan apa yang tidak ilmiah akan
ditolak, atau minimal diterima setengah hati sampai suatu kelak diverifikasi secara
ilmiah. Klaim rasionalitas ilmiah ini menemui titik universalitasnya, ketika apa yang
distandarisasikan
oleh
kelompok
sainstis
(subyek)
menjadi
dasar
dalam
menundukkan apapun yang dianggap sebagai obyek (Sindhunata, 1987).
Berikutnya, yang juga khas dari modernisme adalah pandangannya tentang
arus sejarah yang memiliki tujuan akhir ideal (teleologisme). Ini merupakan
keyakinan bahwa masa depan pasti memiliki telos, menuju arah yang lebih baik jika
2
dipandu dengan rasionalitas ilmiah. Demikianlah, keyakinan metafisis ini menjadi
optimisme khas kaum modernis. Dalam konteks inilah, sains menjadi ideologis
(Hardiman, 2012).
Proyek modernisme ini melahirkan jenis dualisme berikutnya (selain oposisi
antara subyek-obyek), yaitu oposisi biner (Piliang, 2003). Pemikiran yang berasal
dari tradisi linguistik ini pada intinya berangkat dari pandangan dasar bahwa adanya
sesuatu (tanda) karena kaitannya dengan sesuatu yang lain. Dalam sebuah struktur
oposisi biner yang ideal, segala sesuatu arti/makna dapat dimasukkan dalam dua
kategori. Kategori (x) ataupun kategori (y). Suatu kategori (x) tidak bakalan ada
dengan sendirinya tanpa berhubungan secara struktural dengan kategori (y). Kategori
(x) masuk akal bila dan hanya bila karena dia bukan kategori (y). Tanpa kategori (y),
ikatan dengan kategori (x) tidak bakalan ada, dan kategori (x) juga tidak ada. Dalam
sistem biner, hanya ada dua sign/tanda yang hanya memiliki makna bila masingmasing beroposisi dengan yang lain. Suatu kategori jadi eksis/bermakna karena
ditentukan
oleh
ketidak-eksis-an/ketidakbermaknaan
kategori
yang
lain.
Implikasinya, sesuatu akan bermakna ketika menidakkan yang lain. Dalam konteks
inilah memunculkan apa yang disebut sebagai the others/liyan/yang lain (Sarup,
2011).
Pariwisata konvensional adalah pariwisata modern, yang terinspirasi dari
logika berpikir cartesian tersebut. Bentuk konkretnya adalah pariwisata massal
(Baiquni, 2010). Pariwisata jenis ini dipandang memiliki beberapa cacat bawaan.
Pertama, dengan paradigma modernnya, pariwisata ini mengusung standarisasi yang
3
menjadi rujukan universal. Ia mengusung seperangkat aturan yang harus diterima
secara taken for granted (tanpa perlu dipertanyakan lagi secara kritis) dalam
pembangunan pariwisata dimanapun, kapanpun, dan oleh siapapun. Aturan ini bisa
berupa kode etik, regulasi, tata kelola ideal, dan kajian keilmuannya. Hal ini
membawa kepada problem legitimasi. Siapa yang memiliki otoritas untuk
memproduksi aturan tersebut? Atas klaim apa sehingga apa yang diproduksi tersebut
sahih? Dan, lewat mekanisme apa sehingga aturan tersebut berlaku universal?
Berikutnya adalah, kedua, yang menjadi telos (tujuan) dalam pariwisata
modern adalah pertumbuhan. Logika pertumbuhan berangkat dari kerangka pikir
pembangunanisme/developmentalisme, yaitu suatu paham yang dijadikan model ideal
oleh semua negara di dunia pasca era kolonialisasi. Setelah kolonialisasi yang
dilakukan oleh negara dunia pertama berakhir, diperlukan tata relasi baru antara
negara yang terlibat, mantan kolonial dan yang dijajah (Fakih, 2002). Yang
dibutuhkan pertama kali oleh mereka yang dijajah pasca kemerdekaan adalah
menjawab pertanyaan: what’s next? Para negara kolonialis menawarkan resep mudah:
pembangunan. Menjadi tidak mudah adalah ketika para negara yang pernah
dikolonialisasi ini tentu saja tidak memiliki sumber daya yang dibutuhkan, terutama
dalam konteks kualitas sumber daya manusianya untuk mengerjakan pembangunan
tersebut.
Terjadilah fenomena pengiriman pelajar ke negara dunia pertama untuk
menimba ilmu dalam rangka pembangunan negaranya nanti. Munculah paradoks,
walau de jure mereka merdeka dalam artian fisik, tetapi de facto tetap terjajah secara
4
mind-sett. Suatu kolonialisme model baru. Sebuah neokolonialisme. Mengapa
demikian? Jawabannya mudah, yang terjadi adalah ketergantungan antara negara
dunia ketiga terhadap negara dunia pertama ketika model pembangunan yang
diterapkan pada hakekatnya adalah formulasi dari negara pertama. Dan, tentu saja
bukannya nir-kepentingan. Kepentingan negara pertama terepresentasikan ketika
model, teknik, dan filosofi pengelolaan pembangunan negara bekas jajahan tersebut
merupakan proyeksi wacana mereka (Fakih, 2002).
Developmentalisme terkait erat dengan kapitalisme. Mansour Fakih (2002)
menyebutkan bahwa developmentalisme merupakan salah satu manifestasi dari
kapitalisme.
Fakih
bermetamorfosa
dari
mengemukakan
tiga
tahapan;
kapitalisme
pertama,
dalam
tahapan
kolonialisme,
sejarahnya
lalu,
kedua,
developmentalisme, dan, ketiga, yang terakhir, globalisasi. Kapitalisme sebagai
sebuah sistem, berpondasikan filsafat liberalisme dan neo liberalisme.
Pembangunan ekonomi negara menjadi kredo yang ditawarkan negara dunia
pertama. Artinya, the economic first, the politic and the others next. Logika
kapitalisme ekonomi adalah akumulasi kapital yang mendorong pertumbuhan
ekonomi. Prinsip dasar sistem ekonomi kapitalisme tidaklah mempersoalkan dimana
dan bagaimana kapital atau modal itu terakumulasi (apakah hanya di tangan segelintir
orang ataukah ditangan rakyat banyak), yang terpenting adalah ada akumulasi yang
dialokasikan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Logika pertumbuhan
ekonomi ini berbenturan dengan logika pemerataan ekonomi (yang merupakan ciri
dasar sosialisme ekonomi).
5
Akibatnya, para pelaku ekonomi akan berlomba mengakumulasi kapital dan
negara akan mendukung sepenuhnya praktek tersebut melalui kebijakan liberalisasi.
Hal inilah yang menyebabkan terjadinya praktek-praktek konglomerasi, yang tidak
jarang juga dibarengi dengan praktek-praktek monipoli, oligopoli, atau bentuk-bentuk
perilaku ekonomi yang berpotensi ketidakadilan.
Di bawah paradigma pengutamaan pembangunan ekonomi kapitalis inilah
pariwisata modern disapih. Logika pertumbuhan dijadikan dasar tolok ukur
keberhasilan pembangunan di bidang pariwisata. Artinya, jumlah kunjungan
wisatawan yang berkunjung ke destinasi wisata dalam suatu Negara akan menjadi
indikator apakah pariwisatanya berhasil atau gagal. Tentu, hal ini merujuk pada
statistik kunjungan wisatawan setiap tahunnya, apakah grafiknya naik, stagnan, atau
turun. Semakin menunjukkan trend positif ketika grafik kunjungan wisatawan setiap
tahunnya meningkat. Stagnan berarti kurang berhasil, dan jika grafik menurun artinya
gagal.
Selanjutnya, yang menjadi problem ketiga dari pariwisata modern adalah
logika oposisi biner yang melekat padanya. Hal ini mengandaikan adanya kebutuhan
akan the others/liyan/yang lain agar salah satu pihak eksis. Dalam aroma ekonomistik
yang kental, pembangunan pariwisata yang dioperasikan dikendalikan oleh pihak
yang memiliki modal ekonomi yang kuat. Terjadilah kolaborasi, semacam simbiosis
mutualisme di antara elit. Pertanyaannya adalah: siapa menguasai siapa? Jika merujuk
pada konsep stake holders pariwisata, yaitu para pemangku kepentingan yang terlibat
dalam produksi pariwisata, mereka terdiri dari: pebisnis (swasta), penguasa (negara),
6
dan masyarakat lokal, maka pihak bisnis yang ditopang oleh negaralah yang
cenderung mendominasi. Dalam konteks ini, masyarakat lokal cenderung menjadi
penonton, menjadi the others/liyan/yang lain. Tidak terlibat dan dilibatkan dalam
pembangunan pariwisata yang, ironisnya, berlangsung di wilayahnya.
Wacana pembangunan pariwisata yang lebih memberi penekanan pada
keberhasilan (pertumbuhan) secara ekonomis dewasa ini telah menuai berbagai kritik
dari berbagai pihak (Leiper, 1990). Hal ini dipandang telah menyebabkan beberapa
masalah jika ditilik dari dua sudut pandang, yaitu: pertama, aspek daya dukung
(fisik/lingkungan, sosial budaya, dan ekonomi itu sendiri), dan, kedua, aspek
keberlanjutannya.
Kontra wacana terhadap developmentalisme dimulai sekitar medio 1980an
ketika lembaga-lembaga yang concern terhadap permasalahan lingkungan mulai
gencar melancarkan kritiknya. International Union for the Conservation of Nature
(IUCN), United Nations Environment Programme (UNEP), dan World Wildlife Fund
(WWF) mendeklarasikan “world conservation strategy”guna memperjuangkan tiga
hal:
1. Mempertahankan
proses-proses
ekologi
yang
pokok
beserta
sistem
pendukungnya.
2. Memelihara keanekaragaman hayati.
3. Menjamin penggunaan ekosistem berikut spesiesnya secara berkelanjutan.
7
Selanjutnya, pada tahun 1987, World Commission on Environment and Development
yang diketuai oleh Brundtlandt mewacanakan konsep Sustainable Development (SD),
yang didefinisikan sebagai:
“pembangunan yang berusaha memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengurangi
kemampuan generasi mendatang untuk mencukupi kebutuhannya.”
Konsep SD lalu diadaptasi ke dalam bidang pariwisata oleh Burns dan Holden
(1997) menjadi Sustainable Tourism Development (STD). Konsep ini merupakan
sebuah model yang mengintegrasikan aspek lingkungan fisik (place), lingkungan
budaya (host community), dan wisatawan (visitor).
Salah satu konsep yang menjelaskan peranan komunitas dalam pembangunan
pariwisata adalah Community Based Tourism (CBT) (Suansri, 2003). Secara
konseptual prinsip dasar kepariwisataan berbasis masyarakat adalah menempatkan
masyarakat sebagai pelaku utama melalui pemberdayaan masyarakat dalam berbagai
kegiatan kepariwisataan, sehingga kemanfaatan kepariwisataan sebesar-besarnya
diperuntukkan bagi masyarakat. Sasaran utama pengembangan kepariwisataan
haruslah meningkatkan kesejahteraan masyarakat (setempat).
CBT menekankan kepada pemberdayaan komunitas untuk menjadi lebih
memahami nilai-nilai dan aset yang mereka miliki, seperti kebudayaan, adat istiadat,
masakan kuliner, gaya hidup. Dalam konteks pembangunan wisata, komunitas
tersebut haruslah secara mandiri melakukan mobilisasi aset dan nilai tersebut menjadi
daya tarik utama bagi pengalaman berwisata wisatawan. Melalui konsep CBT, setiap
individu dalam komunitas diarahkan untuk menjadi bagian dalam rantai ekonomi
8
pariwisata, untuk itu para individu diberi keterampilan untuk mengembangkan small
business.
Wacana tentang geowisata merupakan salah satu bentuk kreasi pariwisata
yang merupakan kontra wacana terhadap pariwisata massal. Hal ini dimungkinkan
karena berdasarkan jenis atraksi yang ditawarkan, geowisata masuk dalam klasifikasi
pariwisata minat khusus (Ansori, 2012). Artinya, daya tarik wisata yang
dikembangkan lebih banyak berbasis pada pemenuhan keinginan wisatawan secara
spesifik. Inilah yang menjadikan sifat massal yang melekat pada pariwisata modern
terlucuti. Dengan tawaran atraksi yang terbatas, daya tarik wisata yang berbasis pada
bentang alam ini melakukan proses seleksi alami untuk wisatawan yang datang, yaitu
mereka yang tertarik dan memiliki minat pada bentang alam geologis dengan
berbagai keunikan dan sejarahnya.
Keunggulan dikreasinya geowisata bagi suatu destinasi adalah dianggap
mampu mengeliminir atau meminimalisasi berbagai dampak negatif dari pariwisata
modern yang berakar dari filsafat modern. Dualisme res cogitans Descartes telah
membawa alienasi para liyan yang dianggap tidak memiliki instalasi rasionalitas. Para
“the others” yang teralienasi ini cenderung menimpa masyarakat lokal di mana
aktivitas pariwisata eksis. Dengan terseleksinya wisatawan yang datang, sehingga
lebih diutamakan turis yang berkualitas daripada kuantitas, membawa arti pada energi
yang diberikan dalam konteks pelayanan pariwisata menjadi lebih hemat. Artinya,
secara logika, tidak dibutuhkan pemborosan sumber daya dalam aktivitas pariwisata
9
yang dikembangkan, dengan memperhatikan carrying capacity yang ada pada suatu
destinasi (Liu, 1994).
Praktek pariwisata yang berlangsung di Karang Sambung memiliki beberapa
keunikan tersendiri. Pertama, walaupun telah berlangsung praktek pariwisata yang
dinamakan sebagai geowisata Karang Sambung, ternyata belum semua pemangku
kepentingan yang berada dalam ranah memiliki sense of belonging, dalam arti
praktek geowisata yang berlangsung masih elitis, dengan pihak Unit Pelaksana
Teknis (UPT) Balai Informasi Konservasi Kebumian (BIKK) Karangsambung yang
merupakan instansi kepanjangan tangan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(LIPI), selanjutnya akan disebut BIKK-LIPI, yang berperan sebagai produsernya.
Kedua, tafsir para aktor yang berada di Karang Sambung masih multi penafsiran
terhadap alam, yang belum semua memiliki pandangan tentang konteks relasi mereka
dengan alamnya adalah ranah pariwisata. Eksklusivitas penafsiran para aktor terhadap
ranah Karang Sambung berangkat dari primordialisme tertentu, sesuai dengan
kepentingannya masing-masing. Ini artinya, ego sektoral terbingkai dalam ranah,
ketika beragam penafsiran terhadap ranah berbasiskan kepentingan masing-masing
aktor. Dan, ketiga, hal ini berdampak kepada eksistensi praktek pariwisata di Karang
Sambung karena belum terstrukturnya bingkai pemaknaan aktor terhadap ranah
bersama, sebagai ranah pariwisata.
Seperti yang telah diuraikan mengenai berbagai dampak buruk pariwisata
modern yang beroperasi dalam bentuk pariwisata massal, sejatinya dengan dipilihnya
praktek geowisata di Karangsambung, pariwisata yang dibangun sudah berada pada
10
jalur yang benar. Fakta bahwa wilayah ini merupakan bentangan alam yang
menyimpan informasi geologi bernilai ilmiah tinggi yang berada dalam kawasan yang
relatif tidak luas (22.157 Ha), merupakan modal dasar bagi dikembangkannya
pariwisata minat khusus (Ansori, 2012). Tetapi ironisnya, terjadi pula fakta terjadinya
penambangan liar secara massif yang dilakukan oleh sebagaian masyarakat lokal
Desa Karangsambung di sepanjang aliran Sungai Luk Ulo guna dieksploitasi pasirnya
yang terkenal bermutu tinggi, dan eksploitasi batu gunung yang merupakan situs
geologi bernilai ilmiah tinggi. Dan, lebih ironisnya lagi, operasi penambangan ini
tepat terjadi di depan dan di sekitar kantor LIPI berada.
Diperlukan pemikiran untuk mengatasi problem tafsir yang masih manasuka
diantara para aktor yang berada di ruang sosial Karangsambung. Tafsir mereka
berbasis kepentingan pribadi atau kelompok, yang masing-masing memiliki bingkai
pemaknaan berbeda terhadap lingkungannya. Dua mainstream tafsir utama terhadap
ranah direpresentasikan oleh dua aktor utama: BIKK-LIPI dengan tafsir geologisnya,
dan penambang dengan tafsir material-ekonomisnya. Artinya, belum ada struktur
yang memadai di ranah Karangsambung, yang menampung aspirasi bersama. Untuk
itu diperlukan upaya untuk dekonstruksi struktur lama yang berangkat dari penafsiran
masing-masing, ke produksi struktur baru yang berangkat dari penafsiran bersama
terhadap ranah. Untuk itu pemikiran dualitas agensi struktur yang diperkenalkan oleh
Giddens dan Bourdieu akan dijadikan pisau analisis dalam penelitian ini, guna
mengatasi dualisme tafsir yang terjadi.
11
Selain itu, diperlukan pula cara pandang baru terhadap alam fisik, ketika
masih terjadi keberjarakan subyek-obyek. Dalam level tertentu, cara pandang para
aktor dalam ranah Karangsambung masih terperangkap dualisme Cartesian tersebut.
Posisi manusia yang merasa berposisi lebih tinggi dibandingkan alam menyebabkan
alam hanya menjadi obyek an-sich. Dibutuhkan cara pandang filsafat baru yang
mampu mengatasi perangkap dualisme Cartesian tersebut. Filsafat fenomenologi
yang diperkenalkan Merleau Ponty (Hardiman, 2007) dianggap memadai guna
mengatasi problem dualisme subyek-obyek yang berbasis res cogitans, menuju ke
arah dualitas subyek-subyek yang berlandaskan inkorporealitas. Cara pandang ini
akan membawa relasi antara agen dengan alam, dalam kedudukannya yang setara dan
tergantung secara resiprokal.
Penelitian ini akan mencoba mengatasi perangkap dualisme yang terjadi di
Karangsambung dalam dua tingkatan, yaitu: pertama, dualisme yang terjadi di
tingkatan relasi antara agensi/aktor dengan struktur yang sedang beroperasi di ranah,
dan, kedua, dualisme antara manusia dengan lingkungan fisiknya.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan fenomena yang ada di Karangsambung, penelitian ini berusaha
menyingkap praktek geowisata terjadi di Karang Sambung, dengan ikhtiar untuk
menjawab pertanyaan yang diformulasikan menjadi tiga hal, yaitu:
1. Bagaimana praktek geowisata yang terjadi di Karangsambung?
2. Bagaimana posisi para aktor dalam relasinya dengan lingkungan alamiah
Karangsambung?
12
3. Apa implikasi relasi tersebut bagi keberlanjutan praktek pariwisata di
Karangsambung?
1.3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini memiliki tujuan untuk menjawab ketiga pertanyaan penelitian yang
diformulasikan di atas.
1.3.1. Tujuan Umum
Secara
umum
penelian
ini
ingin
memahami
praktek
Geowisata
Karangsambung, tafsir para aktor yang berada dalam ranah yang berimplikasi pada
keberlanjutan praktek pariwisata di Karang Sambung.
1.3.2. Tujuan Khusus
Secara spesifik beberapa hal yang ingin diketahui melalui penelitian ini adalah:
1. Praktek geowisata di Karangsambung, menyangkut latar belakang terjadinya,
agen yang memroduksi, aktivitas yang berlangsung, serta posisinya dalam
bingkai relasi antar aktor yang berada dalam ranah pariwisata di
Karangsambung.
2. Mengetahui posisi para aktor konteks relasinya dengan lingkungan alamiah
Karangsambung, menyangkut cara pandang masing-masing kelompok aktor
terhadap alam fisik Karangsambung.
3. Mengetahui implikasi dari relasi tersebut bagi keberlanjutan praktek
pariwisata di Karangsambung, menyangkut problem struktur yang ada saat
ini, dan alternatif produksi struktur
pariwisata yang diperlukan sehingga
mampu mewadahi aspirasi para aktor di ranah Karangsambung.
13
1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1. Manfaat Akademik
Secara akademis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan bagi
kajian kritis tentang praktek pariwisata yang beroperasi pada ranah yang di dalamnya
para aktor memiliki vested interest masing-masing, dan menjadi bahan diskusi bagi
kajian strukturasi tentang pariwisata dengan pendekatan sosiologi pariwisata, yang
masih dirasa kurang dalam penelitian pariwisata, serta mendorong bagi penelitian
lebih lanjut guna pengembangan ilmu pariwisata. Bagi institusi pendidikan akan
menambah perbendaharaan penelitian pariwisata dan menjadi bahan dalam
pengajaran, pengabdian masyarakat, serta landasan bagi penelitian lebih lanjut.
1.4.2. Manfaat Praktis
Diharapkan penelitian ini dapat dimanfaatkan secara praktis bagi pemangku
kepentingan, yaitu BIKK-LIPI, Pemerintah Daerah Kabupaten Kebumen, dan
Masyarakat Lokal di Kawasan Cagar Alam Geologi Karangsambung, khususnya
Desa Karangsambung, dalam rangka pengambilan keputusan tentang model
pembangunan pariwisata di Karangsambung ke depan. Dalam konteks pragmatis,
hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan informasi awal guna mendesain
program yang mampu mengakomodasi kepentingan para aktor yang berada dalam
ranah pariwisata yang diproduksi bersama.
14
Download