HUKUM PANCUNG DALAM PERSPEKTIF FIQIH DAN HAM Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy) Oleh: Husniyah NIM : 107045202199 KONSENTRASI SIYASAH SYARIYYAH PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1432 H / 2011 M KATA PENGANTAR ﺑﺴﻢ ﷲ اﻟﺮﺣﻤﻦ اﻟﺮﺣﯿﻢ Assalamu’alaikum Wr. Wb Puji Syukur saya haturkan kepada Allah SWT yang telah menciptakan manusia dengan kesempurnaan sehingga dengan izin dan berkah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan penuh rasa tanggung jawab kepada Allah SWT dan seluruh umat manusia yang mencintai ilmu. Shalawat serta salam selalu tercurahkan kepada suri tauladan kita Nabi Muhammad SAW, atas tetesan darah dan air mata beliaulah kita mamapu berdiri dengan rasa bangga sebagai umat Islam yang menjadi umat terbaik di antara semua kaum. Tidak lupa kepada keluarga, para sahabat, serta yang mengamalkan sunnahnya dan menjadi pengikut setia hingga akhir zaman. Dalam penulisan skripsi ini, penulis menyadari akan pentingnya orang-orang yang telah memberikan pemikiran dan dukungan secara moril maupun spiritual sehingga skripsi ini dapat terselesaikan sesuai yang diharapkan, karena adanya mereka segala macam halangan dan hambatan yang menghambat penulisan skripsi ini menjadi mudah dan terarah. Untuk itu penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada yang terhormat Bapak: 1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM selaku Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan pembantu Dekan I, II, III yang telah membimbing penulis. 2. Dr. Asmawi, M.Ag dan Bapak Afwan Faizin, MA selaku Ketua dan Sekertaris Program Studi Jinayah Siyasah yang telah meluangkan waktunya demi membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 3. Dr. H. Muhammad Nurul Irfan dan Bapak Khamami Zada selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan, petunjuk dan nasehat yang sangat berguna bagi penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan sebaik-baiknya. 4. Segenap Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum yang dengan Ikhlas menyalurkan ilmu dan pengetahuannya dalam kegiatan belajar mengajar yang penulis jalani. 5. Kedua orang tua penulis yang membantu dengan sekuat tenaga dan pengorbanan serta doa yang bergema dalam dzikir dan tahajjudnya sehingga penulis dapat menyelesaikan studi strata 1 dengan penuh semangat, Ayahanda H. Ardani Choiri dan Ibunda Hj. Zahro Hayati. Juga untuk ke sepuluh orang kakak dan abngku, semua keponakan yang luculucu, dan semua saudara-saudaraku yang telah memberikan semangat dan dukungan kepada penulis. 6. Teman-teman Program Studi Jinayah Siyasah Angkatan 2007 terima kasih telah menemani saya selama kuliah dan memberikan inspirasi untuk berjuang dalam hidup. 7. Teman-teman dalam Gank “Kedondong” yang telah memberikan motivasi saya dalam menulis skripsi, khususnya (Nurma Wazibali, Nicky Mustika, Citra Mutiara, Siti Zubaidah, Devi Nur Asrida) makasih ya kawan. 8. Teman-teman KKN kelurahan Pisangan Ciputat 2010 yang telah memberi semangat dan doanya. 9. Terakhir ucapan terima kasih kepada saudara Ahdiyat Bagus Nugraha yang senantiasa setia menemani penulis dalam susah maupun senang, yang menjadi motifator agar penulis mampu merampungkan skripsi ini dengan baik. Makasih ya Abang. Tiada cipta dapat terwujud dengan sendirinya kecuali dengan pertolongan Allah SWT sehingga penulis dapat memberikan kontribusinya dalam ilmu pengetahuan. Mudah-mudahan skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya serta menjadi amal baik disisi Allah SWT. Akhirnya semoga setiap bantuan, doa, motivasi yang telah diberikan kepada penulis mendapatkan balasan dari Allah SWT. Wassalamu’alaikum Wr. Wb. Ciputat, 19 Desember 2011 Penulis DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ................................................................................... i LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING .............................................. ii LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ....................................................... iii LEMBAR PERNYATAAN ......................................................................... iv KATA PENGANTAR ................................................................................. v DAFTAR ISI ............................................................................................... viii BAB I : PENDAHULUAN ........................................................................ 1 A. Latar Belakang Masalah ......................................................... 1 B. Perumusan dan Pembatasan Masalah ...................................... 5 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................... 5 D. Tinjauan Pustaka/Studi Terdahulu .......................................... 6 E. Metode Penelitian ................................................................... 8 F. Sistematika Penulisan ............................................................. 9 BAB II : HUKUM PANCUNG SEBAGAI QISHASH DALAM FIQIH .. 11 A. Pengertian dan Sejarah Hukum Pancung Sebagai Qishash Dalam Islam 11 B. Tujuan dan Manfaat Diberlakukannya Hukum Pancung ......... 15 C. Hal-Hal Yang Menyebabkan Seseorang Dihukum Pancung .... 19 D. Hal-Hal Yang Dapat Menggugurkan Hukuman Pancung ........ 21 E. Tata Cara Pelaksanaan Hukuman Pancung ............................. 24 BAB III : HUKUMAN PANCUNG DALAM PERPEKTIF HAM HAM 29 A. Pengertian, Sejarah dan Nilai-nilai HAM ............................. 29 B. HAM di Indonesia ................................................................ 41 C. Pandangan HAM Tentang Hukuman Mati ............................ 46 BAB IV: ANALISIS PERBANDINGAN HUKUM PANCUNG DALAM FIQIH DAN HAM ............................................................................................ 51 A. Substansi Hukum.................................................................... 51 B. Tujuan Penghukuman atau Pemidanaan .................................. 55 C. Tata Cara Penghukuman ......................................................... 60 BAB V: PENUTUP .................................................................................. 64 A. Kesimpulan ............................................................................ 64 B. Saran ...................................................................................... 65 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 66 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum Islam dan hukum positif berbeda pandangannya dalam masalah penyelesaian perkara pembunuhan. Pembunuhan dalam bahasa Indonesia diartikan dengan proses, perbuatan, atau cara membunuh. Sedangkan pengertian membunuh adalah mematikan, menghilangkan (menghabisi/menyabut) nyawa. 1 Dalam bahasa Arab, pembunuhan disebut “Al-qatlu” berasal dari kata “qatala” yang sinonimnya “amaata” artinya mematikan. Dalam arti istilah, pembunuhan didefinisikan oleh Wahbah al-Zuhaili yang mengutip pendapat Syarbini Khatib yaitu“Pembunuhan adalah perbuatan yang menghilangkan atau mencabut nyawa seseorang”. 2 Pembunuhan dengan ancaman hukuman mati juga dikenal dalam semua agama dan kitab sucinya, baik Injil, Taurat, maupun Alquran. Demikian pula dalam hukum Romawi dengan sedikit perbedaan karena adanya diskriminasi, sesuai dengan tingkatan kelas pada saat itu. Dalam hukum Romawi, apabila pelaku pembunuhan itu seorang bangsawan atau pejabat, ia bisa dibebaskan dari hukuman mati dan sebagai penggantinya ia dikenakan hukuman pengasingan. Kalau pelakunya kelas menengah maka ia dikenakan hukuman mati dengan jalan potong leher (dipancung). Sedangkan untuk kelas rakyat jelata, ia disalib, kemudian hukuman itu diubah menjadi diadu dengan binatang buas, kemudian diubah lagi dengan jalan digantung.3 Seperti yang telah dijelaskan di atas, bahwa Allah mengharamkan membunuh seorang tanpa ada sebab, dan apabila seseorang melakukan pembunuhan terhadap orang lain, hukuman yang setimpal adalah hukuman mati, yaitu nyawa dibalas dengan nyawa, inilah yang dinamakan 1 Anton M. Moeliono, et. al., Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), h. 138. Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, Juz VI, (Damaskus: Dar Al-Fikr, 1989), h. 217 3 Mahmud Syaltut, Al-Islam ‘Aqidah wa Syari’ah, (Beirut: Dar Al-Qalam, 1966), h. 313-315 2 dengan qishash. Di mana para fuqaha tidak ada kesepakatan mengenai cara atau teknis pelaksanaan hukuman qishash. Menurut Hanafiyah dan pendapat yang shahih dari kelompok Hanabilah, qishash pada jiwa harus dilaksanakan dengan menggunakan pedang, baik tindak pidana pembunuhannya dilakukan dengan pedang atau dengan alat yang lainnya, dan bagaimanapun cara atau bentuk perbuatannya. Mereka beralasan dengan hadis Nabi SAW, yang diriwayatkan oleh Ibn Majah, Al-Bazzar, Baihaqi, dan Daruquthni dari Nu’man ibn Basyir, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Tidak ada Qishash kecuali dengan pedang”. Menurut Malikiyah dan Syafi’iyah, orang yang melakukan pembunuhan harus diqishash (dibunuh) dengan alat yang sama dengan yang digunakan untuk membunuh korban dan cara yang digunakannya. Apabila ia membunuh dengan pedang maka ia diqishash dengan pedang. Apabila ia membunuh dengan cara membakar korban, maka ia diqishash dengan cara dibakar. Namun demikian apabila wali korban mengubah pikirannya dengan meng-qishash menggunakan pedang, hal itu dibolehkan. 4 Pendapat ini didasarkan kepada hadis Nabi yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dan firman Allah dalam surah An-Nahl ayat 126. Baru-baru ini kita telah dikejutkan dengan hukuman pancung yang dilakukan pemerintah Arab Saudi kepada warga Indonesia “Ruyati binti Satubi” yang menjadi TKI di Arab Saudi. Ruyati dieksekusi hukuman pancung di Arab Saudi karena telah membunuh majikannya pada hari Sabtu, 18 Juni jam 15:00 waktu Saudi.5 Begitu kasus Ruyati mencuat ke permukaan, kalangan pegiat hak asasi manusia (HAM) berteriak lantang. Mereka mengecam keras pelaksanaan hukuman mati. Mereka menilai hukuman mati itu bertentangan dengan HAM. Amnesty International, Jumat (11/6/2011), meminta Arab Saudi menghentikan pelaksanaan hukuman mati setelah ada “penambahan 4 5 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h. 158-159 Media Umat, Edisi 62,6-19 Sya’ban 1432 H/8-12 Juli 2011. h. 5 signifikan” dalam eksekusi di kerajaan itu dalam enam pekan terakhir. Sebagian pegiat HAM kemudian menghubungkan hukuman pancung itu dengan Islam dan menyebut bahwa hukuman itu barbar dan tidak berprikemanusiaan.6 Dalam UUD 1945 telah tertulis jelas pada Pasal 28A tentangan hak asasi manusia yang menjelaskan bahwa “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”. Begitu juga dengan pasal 28D ayat (1) “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. 7 Bukan hanya UUD 1945 yang menjamin hak asasi manusia, sebab hak-hak asasi manusia lebih dirinci dengan munculnya UU No. 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia (HAM), di mana dalam undang-undang tersebut dalam Pasal 4 yang menjelaskan bahwa “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun dan oleh siapa pun.” Kemudian dalam Pasal 9 ayat (1) bahwa “Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya. Pasal 33 ayat (2) bahwa “Setiap orang berhak untuk bebas dari penghilangan paksa dan penghilangan nyawa.” Pasal 35 bahwa “Setiap orang berhak hidup di dalam tatanan masyarakat dan kenegaraan yang damai, aman, dan tenteram, yang menghormati, melindungi dan melaksanakan sepenuhnya hak asasi manusia dan kewajiban dasar manusia sebagaimana diatur dalam undang-undang ini”. 8 6 Media Umat, Edisi 62,6-19 Sya’ban 1432 H/8-12 Juli 2011. h. 7 Mahkamah Konstitusi, Undang-undang Dasar 1945, (Jakarta: Sekertariat Jendral dan Kepaniteraan MK, 2010), h.45 dan 47 8 Undang-undang hak asasi manusia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h.5 7 Terjadi banyak perbedaan pendapat mengenai hukuman pancung, meski hukuman pancung telah diatur dalam hukum Islam namun bukan berarti bagi sebagian orang bisa menerima hukuman itu begitu saja, sebab banyak yang beranggapan bahwa hukuman pancung telah bertentangan dengan undang-undang HAM No. 39 Tahun 1999. Di mana undang-undang tersebut menjamin hak untuk hidup bagi setiap warga negara Indonesia. Sedangkan hukum pancung dinilai telah melanggar undang-undang HAM tersebut. Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis bermaksud untuk membahas secara mendalam mengenai masalah tersebut dalam sebuah skripsi dengan judul: “HUKUM PANCUNG DALAM PERSPEKTIF FIQIH DAN HAM”. B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Untuk memudahkan pembatasan masalah dan fokus kajian skripsi ini, penulis akan membatasi masalah dan merumuskan permasalahan. Berdasarkan atas pemaparan skripsi ini, penulis membatasi permasalahan pada kajian hukuman pancung dalam perspektif Fiqih dan HAM. Adapun masalah pokok yang akan dicari jawabannya dalam skripsi ini bisa dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimana hukuman pancung dalam perspektif Fiqih? 2. Bagaimana perbandingan pandangan antara Fiqih dan HAM mengenai hukuman pancung? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Secara umum, tujuan penelitian ini antara lain: 1. Untuk menjelaskan bagaimana fiqih memandang hukuman pancung dengan berbagai penjelasan mana yang patut dikenakan hukuman pancung mana yang tidak. 2. Mengetahui bagaimana kesesuaian hukum pancung jika dikaitkan dengan Undangundang HAM. 3. Memberikan gambaran mengenai bagaimana perspektif Fiqih memandang tentang hukuman pancung jika dikaitkan dengan Undang-undang No. 39 Tahun 1999. 2. Manfaat Penelitian Adapun manfaat penelitian ini dapat dikemukakan sebagi berikut: 1. Hasil dari penelitian ini diharapkan mampu memberikan suatu tambahan ilmu pengetahuan mengenai hukuman pancung, yang peredarannya di dalam masyarakat semakin lama semakin kompleks. 2. Dapat memberikan tambahan reverensi bacaan bagi mahasiswa mengenai hukuman pancung dalam perspektif fiqih dan HAM. 3. Memberikan suatu gambaran apabila hukuman pancung diterapkan di Indonesia dengan melihat beberapa segi, terutama dilihat dari segi peraturan di Indonesia yang berasaskan UUD 1945 sebagai aturan dasar negara. 4. Mampu menjelaskan relevansi hukuman pancung dalam perspektif fiqih dan jika dikaitkan dengan undang-undang HAM No. 39 Tahun 1999. D. Tinjauan Pustaka/Penelitian Terdahulu Berdasarkan penelitian yang penulis lakukan selama melakukan penelitian, penulis tidak menemukan judul skripsi yang sama dengan judul skripsi penulis, baik di perpustakaan fakultas, maupun di perpustakaan umum. Adapun skripsi yang memiliki kesamaan atau kemiripan dengan penelitian yang penulis lakukan mengenai hukuman mati dan kaitannya dengan HAM adalah skripsi yang ditulis oleh Ima Halimatu Sadiah dengan judul skripsi “Eksekusi Pidana Mati Studi Tentang Psikologi Hukum Terpidana Mati Tubagus Yusuf Maulana Dan Sabirin” pada tahun 2010, yang menjelaskan tentang psikis seorang pembunuh yang divonis hukuman mati bagi pelaku pembunuhan. Dalam skripsi ini, Ima Halimatu Sadiah menjelaskan bagaimana psikis seorang pembunuh jika mereka dikenakan hukuman mati, seperti yang terjadi pada Tubagus Yusuf Maulana dan Sabrini sebagai dukun yang telah meracuni pasiennya sampai mati. Letak perbedaan dengan skripsi yang hendak saya bahas adalah pada tataran nilai hukuman mati apabila ditinjau dari segi hukum Islam dan HAM, yang menjelaskan tentang hukuman mati bagi seorang pembunuh dengan balasan yang setimpal. Dan satu lagi yang penulis jumpai, yaitu tesis dari Roni Fahmi yang disusun pada tahun 2006, mengenai pandangan hukuman mati yang berjudul “Hukuman Mati Dalam Pidana Islam Ditinjau Dari Perspektif Hak Asasi Manusia”. Dalam tesis ini, Roni Fahmi meneliti tentang hukuman mati yang sifatnya lebih general ditinjau dari dua sudut pandang, pidana Islam dan HAM. Letak perbedaan dengan skripsi yang penulis bahas di sini adalah bahwa tesis yang ditulis oleh Roni Fahmi mengenai hukuman mati yang secara luas dijelaskan di dalamnya, baik hukuman mati karna berzina (mushan), hukuman mati karna melakukan kejahatan Genosida, hukuman mati karena melakukan pembunuhan. Bila dibandingkan dengan yang penulis teliti dalam skripsi ini adalah mengenai hukuman mati khusus bagi para pelaku pembunuhan berencana, dengan mempertimbangkan dari aspek Fiqih dan HAM. E. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah jenis penelitian kualitatif, di mana dalam melakukan penelitian, penulis menggunakan studi kepustakaan (library research) yaitu penelitian dengan cara mengumpulkan bahan-bahan yang berasal dari buku-buku, majalah, artikel-artikel, makalah, koran, serta bahan-bahan lainnya yang berkaitan dengan masalah yang diangkat. 2. Teknik Pengumpulan Data Tehnik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah tehnik kepustakaan, yaitu dengan membaca buku atau literatur yang relevan dengan topik masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini. 3. Sumber Data a. Data Primer. Yaitu buku-buku yang berkaitan dengan bahan penulisan antara lain UUD 1945, UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, DUHAM, dan buku-buku lain yang berkaitan dengan bahasan penulisan. b. Data Sekunder yang penulis gunakan dalam penulisan skripsi ini yaitu sumbersumber berita dari berbagai media, baik media cetak maupun media elektronik yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas dalam penulisan skripsi ini. 4. Teknik Analisis Data Pada tahap analisis data, data diolah dan dimanfaatkan sedemikian rupa sampai berhasil menyimpulkan kebenaran-kebenaran yang dapat dipakai untuk menjawab persoalan-persoalan yang diajukan dalam penelitian. Adapun data-data tersebut dianalisis dengan metode analisis deskriptif, yaitu suatu metode menganalisis dan menjelaskan suatu permasalahan dengan memberikan suatu gambaran secara jelas hingga menemukan jawaban yang diharapkan. 5. Teknik Penulisan Adapun teknik penulisan rancangan proposal skripsi ini, penulisan mengacu pada buku “Pedoman Penulisan skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2011”. F. Sistematika Pembahasan Materi laporan penelitian skripsi ini dibagi menjadi 5 (lima) bab. Bab pertama berjudul “Pendahuluan”. Pada bab ini diuraikan pokok-pokok pikiran yang melatarbelakangi penelitian ini, yang dipaparkan menjadi 6 (enam) sub-bab, yaitu (1) Latar belakang masalah, (2) Pembatasan dan perumusan masalah, (3) Tujuan dan manfaat penelitian, (4) Tinjauan pustaka atau penelitian terdahulu, (5) Metode penelitian, dan (6) Sistematika pembahasan. Bab kedua berjudul “Hukum Pancung Dalam Perspektif Fiqih”. Bab ini menyajikan penjelasan tentang hukuman pancung sebagai qishash dalam perspektif fiqih. Bab ini terdiri atas 5 (lima) sub-bab, yaitu (1) Pengertian dan sejarah hukum pancung sebagai qishash dalam Islam, (2) Tujuan dan manfaat diberlakukannya hukuman pancung, (3) Hal-hal yang menyebabkan seseorang dihukum pancung, (4) Hal-hal yang dapat menggugurkan hukuman pancung, (5) Tata cara pelaksanaan hukuman pancung. Bab ketiga berjudul “Hukuman Pancung Dalam HAM”. Dalam bab ini akan diuraikan bagaimana HAM memandang hukuman pancung. Dalam bab ini terdiri dari 3 (tiga) sub-bab, yaitu (1) Pengertian, sejarah dan nilai-nilai HAM, (2) HAM di Indonesia, (3) Pandangan HAM tentang hukuman mati. Bab keempat berjudul “Analisis Perbandingan Hukuman Pancung Dalam Perspektif Fiqih dan HAM”. Dalam bab ini akan diuraikan mengenai perbedaan pandangan hukuman pancung dalam perspektif fiqih dan HAM, dalam bab ini terdiri dari 3 (tiga) sub-bab, yaitu (1) Substansi hukum, (2) Tujuan penghukuman atau pemidanaan (3) Tata cara penghukuman. Bab kelima merupakan penutup, yang memuat kesimpulan dan saran. Dalam bab ini disajikan pokok-pokok temuan penelitian yang dihasilkan dan korelasinya dengan komunitas akademik lain. Di samping itu, dimuat pula saran terkait tindak lanjut atas temuan penelitian. BAB II HUKUM PANCUNG DALAM FIQIH A. Pengertian dan Sejarah Hukum Pancung Dalam Islam Hukum Pancung adalah jenis hukuman qishash dengan cara memenggal kepala jika terdakwa benar-benar terbukti melakukan sebuah pembunuhan dan keluarga korban tidak menghendaki adanya mediasi ataupun alternatif lainnya. Hukuman qishash dengan hukuman pancung sebagai cara mengeksekusi tersangka dilakukan, karena hukuman pancung di nilai sebagai hukuman yang paling ringan bagi si terpidana, dengan argumen bahwa hukuman pancung meminimalisir rasa sakit yang diderita oleh si terpidana. Secara literal, qishash merupakan kata turunan dari qashsha-yaqushshu-qashshan wa qashashan ( ) ﻗﺼ َ ﺼﺎ ً و ﻗﺼ ّ ً ﺎ –ﯾﻘ ُﺺ ﱡ – ﻗﺺ ﱠyang berarti menggunting, mendekati, menceritakan, mengikuti (jejaknya), dan membalas. 9 Imam Taqy al-Din Abi Bakr bin Muhammad al-Husaini al-Damasyqy al-Syafi’i di dalam bukunya Kifayah al-Akhyar menyebutkan bahwa seseorang terkena hukum qishash karena beberapa syarat; pembunuh baligh, pembunuh berakal, pembunuh bukan orang kafir, dan yang dibunuh bukan budak. 10 Sedangkan menurut kamus Bahasa Indonesia, pancung atau memancung adalah memotong dengan parang atau pedang yang tajam agak miring (dengan sekai tebas) seperti bambu telang. Memenggal leher orang seperti yang dilakukan algojo untuk menghukum orang jahat dahulu. Terpancung, terpotong miring, terpenggal, setelah leher penahat itu, darah 9 Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, (Yogyakarta: Pondok Pesantren AlMunawwir, 1984), h. 1210 10 Imam Taqy al-Din Abi Bakr bin Muhammad al-Husaini al-Damasyqy al-Syafi’i, Kifayah al-Akhyar fi Halli Ghayah al-Ikhtishar, (Semarang: Maktabah Usaha Keluarga), h. 159-160. 11 menyembur dari lehernya yang terpotong itu. Pancungan adalah potongan, tebasan dengan alat yang tajam sekali (parang, pedang, kapak).11 Hukuman pancung merupakan metode hukuman mati yang murah dan praktis di mana eksekusi hanya membutuhkan sebilah pedang atau sebuah kapak. Hukuman pancung biasanya dilakukan dengan menggunakan pedang, kapak, guillotine, atau bahkan dengan senjata militer. Hukuman pancung memiliki sejarah yang sangat panjang dan sulit diperkirakan asal usulnya, karena seperti hukuman gantung. Hukuman pancung dahulu dianggap sebagai salah satu cara terhormat untuk mati bagi seorang bangsawan, yang beranggapan bahwa sebagai prajurit, sudah seharusnya berharap mati dengan tebasan pedang dalam situasi apa pun. Di Inggris ada anggapan bahwa hukuman pancung merupakan hak istimewa para pria terhormat. Hukuman pancung ini akan membedakan seseorang dari terdakwa lainnya yang dihukum dengan cara yang tidak terhormat (keji) yaitu dengan dibakar secara hidup-hidup di atas tumpukan kayu.12 Orang-orang Yunani dan Romawi menganggap hukuman pancung sebagai hukuman mati yang kurang menyakitkan dibandingkan metode hukuman mati lain yang digunakan pada saat itu. Oleh karena itu, mereka menggunakan hukuman pancung jika terpidana adalah warga negara mereka sendiri. Sedangkan, jika terdakwa adalah penduduk dari negeri lain, mereka akan menggunakan metode hukuman mati dengan cara disalib. Hukuman pancung secara luas digunakan di Eropa dan Asia sampai abad ke-20, dan saat ini hanya Arab Saudi dan Iran yang masih menggunakan metode hukuman mati seperti ini. Qatar 11 Badudu dan Sutan Mohammad Zain, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994), h. 989 12 Yudhasmara, Kisah dan Sejarah Hukuman Pancung, http://mediaanakindonesia.wordpress.com/2011/06/24/kisah-dan-sejarah-hukuman-pancung-di-dunia/, diunggah pada tanggal 9 Oktober 2011. dan Yaman pun sebenarnya melegalkan hukuman mati dengan metode seperti ini, namun sampai saat ini belum ada eksekusi dengan metode ini yang dilaporkan. Hukuman pancung juga digunakan secara luas di China sampai komunis berkuasa dan menggantikannya dengan hukuman tembak di abad ke-20. Jepang juga terbiasa memenggal kepala sampai akhir abad ke-19 sebelum beralih ke hukuman gantung. 13 Hukuman pancung berlaku di Inggris sampai dengan tahun 1747 dan merupakan metode hukuman mati standar di Norwegia sampai saat dihapuskan pada tahun 1905, Swedia (sampai tahun 1903) dan Denmark (sampai tahun 1892) dan digunakan untuk beberapa kelas tahanan di Prancis (sampai penggunaan Guillotine di tahun 1792) dan di Jerman sampai dengan tahun 1938. Semua negara-negara Eropa yang sebelumnya menggunakan hukuman pancung sekarang telah benar-benar menghapuskan metode hukuman mati dengan cara ini. Sedangkan dalam ajaran Islam, hukuman pancung merupakan suatu balasan terhadap seseorang yang telah melakukan pembunuhan. Perbuatan membunuh adalah suatu aktivitas yang dilakukan oleh seseorang dan atau beberapa orang yang mengakibatkan seseorang dan atau beberapa orang meninggal dunia. Apabila diperhatikan dari sifat perbuatan seseorang dan atau beberapa orang dalam melakukan pembunuhan, maka dapat diklasifikasi atau dikelompokkan menjadi: disengaja (amad), tidak sengaja (khata), dan semi disengaja (syibhu al-amad).14 Demikian beratnya akibat dari pembunuhan, sehingga Allah SWT dalam ayat yang lain menetapkan hukuman mati sebagai hukuman yang setimpal dengan perbuatan membunuh. Dalam Surah Al-Maidah ayat 45 Allah berfirman: 13 Yudhasmara, Kisah dan Sejarah Hukuman Pancung, http://mediaanakindonesia.wordpress.com/2011/06/24/kisah-dan-sejarah-hukuman-pancung-di-dunia/ diunduh pada tanggal 9 Oktober 2011. 14 Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h. 24 (45 : 5/)اﳌﺎﺋﺪة “Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At-Taurat) bahwasannya jiwa (dibalas) denngan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka pun ada qishash”. (Al-Maidah/5 : 45)15 Dalam pidana qishash, hukuman mati diberlakukan bagi orang yang melakukan tindak pidana pembunuhan secara sengaja (pembunuhan terencana), maka ia harus dihukum bunuh (mati) melalui penggunaan metode yang sesuai dengan cara dia membunuh. Pembunuhan sengaja dalam syariat Islam diancam dengan beberapa macam hukuman, sebagian merupakan hukuman pokok dan pengganti, dan sebagian lagi merupakan hukuman tambahan. Hukuman pokok untuk pembunuhan sengaja adalah qishash dan kafarat, sedangkan penggantinya adalah diyat dan ta'zir. Adapun hukuman tambahannya adalah penghapusan hak waris dan wasiat.16 Qishash dalam arti bahasa adalah tattaba'a al-atsar yang artinya menelusuri jejak. Pengertian tersebut digunakan untuk arti hukuman, karena orang yang berhak atas qishash mengikuti dan menelusuri jejak tindak pidana dari pelaku. Qishash juga diartikan al-mumatsalah, yaitu keseimbangan dan kesepadanan. 17 Dari pengertian yang kedua inilah kemudian diambil pengertian menurut istilah. 15 16 h. 261 17 Al-Quran dan Terjemahnya, (Jakarta: Departemen Agama, 1984). Abdul Qadir Audah, al-Tasyri’ Al-Jinaiy, h. 113-114. Wahbah Zuhaili, al-Fiqh Al-Islami wa Adillathu, Wahbah Zuhaili, al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, h. 739 Secara istilah, qishash adalah memberikan balasan kepada pelaku, sesuai dengan perbuatannya. 18 Dalam redaksi yang berbeda, Abdul Mujieb dan Ibrahim Unais mendefinisikan qishash sebagai hukuman kepada pelaku kejahatan persis seperti apa yang dilakukannya. Jika perbuatan yang dilakukan oleh pelaku adalah menghilangkan nyawa yang lain (membunuh), maka hukuman yang setimpal adalah dibunuh atau hukuman mati. B. Tujuan dan Manfaat diberlakukannya Hukum Pancung Dalam literatur fiqih (hukum Islam), hukum pidana lebih dikenal dengan sebutan alAhkam al-Jina’iyyah, yaitu hukum-hukum yang mengatur (baik ucapan, sikap atau perbuatan) orang-orang mukallaf (dewasa) yang berkenaan dengan berbagai tindak pelanggaran atau kejahatan (jarimah/jinayah) yang disertai jenis-jenis ancaman hukuman yang patut diberikan. Dalam istilah hukum pidana Islam, pemidanaan ataupun hukuman disebut dengan istilah 'uqubah. Kata 'uqubah memiliki akar kata sama dengann 'iqabah, berarti hukuman, siksaan, dan sakit atau pedih.19 Uqubah merupakan bentuk balasan bagi seseorang atas perbuatannya yang dianggap telah melanggar syara' yang ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya demi kemaslahatan manusia. Menurut Abdul Qadir Audah hukuman merupakan penderitaan yang dibebankan kepada seseorang akibat perbuatan melanggar aturan. Dengan demikian, secara terminologi, 'uqubah adalah sebutan bagi sesuatu yang menyakitkan atau tidak menyenangkan yang dikenakan atau ditimpakan kepada pelaku tindak kejahatan dalam rangka mencegah 18 M. Abdul Mujieb dan Mabruri Tholhah, Kamus Istilah Fiqh, h. 177 Muhammad Amin Suma, Seminar: Hukum Pidana Islam: Visi, Misi dan Filosofinya dalam Perspektif Quran dan Sunnah, (Jakarta, 23-24 Juni 1999) h. 12 19 (menghalangi) pelaku. Atau sesuatu yang tidak menyenangkan (menyakitkan) yang disyariatkan (oleh Allah) untuk mencegah timbulnya berbagai kerusakan atau mafasid. 20 Tujuan dari adanya hukuman dalam Islam merupakan realisasi dari tujuan hukum Islam, sebagai pembalasan atas perbuatan jahat, pencegahan secara umum dan pencegahan secara khusus, serta perlindungan terhadap hak-hak si korban. Pemidanaan (penghukuman) dimaksudkan untuk mendatangkan kemaslahatan umat dan mencegah kezaliman atau kemudharatan. 21 Sementara menurut Abu Zahrah, hukuman dimaksudkan untuk menciptakan ketentraman individu dan masyarakat serta mencegah perbuatan-perbuatan yang bisa menimbulkan kerugian terhadap anggota masyarakat, baik berkenaan dengan jiwa, harta, maupun kehormatan. Adapun prinsip dasar mencapai tujuan pemidanaan dalam hukum Islam adalah: 1. Hukuman harus bersifat universal, yaitu dapat menghentikan orang dari perbuatan jahat serta menyadarkan dan mendidik pelaku kejahatan. 2. Penerapan materi hukuman sejalan dengan kebutuhan dan kemaslahatan masyarakat. 3. Seluruh bentuk hukuman yang dapat menjamin dan mencapai kemaslahatan pribadi dan masyarakat harus didasarkan pada hukuman yang telah disyariatkan. 4. Hukuman dalam Islam bukanlah untuk membalas dendam, tetapi untuk melakukan perbaikan terhadap pelaku tindak pidana. 5. Hukuman hanya dikenakan kepada pelaku tindak pidana, karena pertanggung jawaban tindak pidana hanya diberlakukan kepada pelakunya, sementara orang lain tidak boleh. 20 Mohammad Hasyim Kamali, Hukuman Dalam Undang-undang Islam: Suatu Penelitian Terhadap Hukum Hudud Kelantan dan Terengganu, Skripsi, (Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009), h. 112 21 Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 188 6. Hukuman harus berlaku universal bagi seluruh orang, karena pelaku tindak pidana dimuka hakim (hukum) adalah sama (sederajat), tanpa membedakan status, jenis kelamin, dan sebagainya. 22 Hukuman yang ditegakkan dalam syariat Islam mempunyai dua aspek, represifpreventive (pencegahan) dan represif-educatif (pendidikan). Dengan diterapkan kedua aspek tersebut akan dihasilkan satu aspek kemaslahatan (utility), yaitu terbentuknya moral baik, dan menjadikan masyarakat aman, tentram, damai dan penuh keadilan, karena moral yang dilandasi agama akan membawa perilaku manusia sesuai dengan tuntunan agama.23 Dalam tradisi hukum pidana Islam, konsep ataupun tujuan hukuman memiliki keunikankeunikan yang tidak dimiliki oleh hukum positif yang ada di negara-negara modern saat ini, termasuk Indonesia. Terdapat beberapa perbedaan karakter penghukuman antara hukum positif dengan hukum Islam. Hal ini dapat dilihat dari beberapa hal: Pertama, tujuan hukum pidana Islam menyatu dengan tujuan hidup manusia, yaitu mengabdi kepada Allah Swt. Dalam konteks ajaran Islam, hukum berfungsi mengatur kehidupan manusia, baik pribadi maupun masyarakat, yang sesuai dengan kehendak Allah Swt, untuk kebahagiaan terlingkup dalam kesadaran ta'abbudi umatnya.24 Sedangkan dalam hukum pidana positif (barat), justru menafikkan hubungannya dengan Tuhan, dan lebih menekankan pada pencapaian kedamaian dalam masyarakat dengan mengatur kepentingan-kepentingan antara manusia dengan manusia lain dalam masyarakat. 22 Abdul Jalil Salam, Polemik Hukuman Mati di Indonesia, (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2010) h. 211-212 23 Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam, h. 38 24 Sofjan Satrawidjaja, Hukum Pidana: Asas Hukum Pidana Sampai Dengan Dasar Peniadaan Pidana, (Bandung: Amrico, 1995), h. 33-35 Kedua, dalam hukum pidana Islam, metode penemuan hukumnya deduktif-kasuistik. Setiap peristiwa hukum diatur menurut aturan-aturan pokok yang ada dalam sumber-sumber hukum Islam. Adanya aturan hukum terlepas dari ada tidaknya masyarakat. Hukum diberlakukan kepada siapa saja, meskipun ia tinggal sendirian di suatu pulau terpencil. Jelas berbeda dengan metode yang digunakan oleh hukum pidana positif modern yang bersifat induktif, yaitu penciptaan aturan-aturan umum yang didasarkan pada pengamatan terhadap perbuatan-perbuatan dan sikap anggota masyarakat. Dalam pidana positif modern hukum baru muncul apabila ada suatu komunitas masyarakat, minimal dua orang manusia. Jadi, dalam hukum positif modern, orang yang hidup sendirian di suatu tempat tidak dibebani hukum apalagi hukuman.25 Ketiga, konsep keadilan yang menjadi prioritas hukum pidana Islam adalah keadilan didasarkan dan ditentukan oleh keadilan Tuhan. Keadilan yang lebih mengedepankan naluri keimanan dari pada sekedar nalar (logika) manusia semata. Sedangkan keadilan yang ditentukan oleh hukum pidana positif adalah keadilan yang didasarkan pada penalaran manusia (logika), yaitu keadilan yang ada dalam pikiran masyarakat.26 C. Hal-hal Yang Menyebabkan Seseorang Dihukum Pancung Hal-hal yang menyebabkan seseorang dihukum pancung adalah karena telah melakukan pembunuhan yang disengaja, yang mengakibatkan seseorang meninggal dunia. Apabila diperhatikan, dari sifat perbuatan seseorang dan atau beberapa orang dalam melakukan pembunuhan, maka dapat diklasifikasikan atau dikelompokkan menjadi: disengaja (amad), tidak 25 26 Sofjan Satrawidjaja, Hukum Pidana: Asas Hukum Pidana Sampai Dengan Peniadaan Pidana, h. 34 Sofjan Satrawidjaja, Hukum Pidana: Asas Hukum Pidana Sampai Dengan Peniadaan Pidana, h. 35 disengaja (khata), dan semi disengaja (syibhu al-amad). Ketiga klasifikasi pembunuhan dimaksud, akan di uraikan sebagai berikut. 1. Pembunuhan Sengaja Pembunuhan sengaja (amad) adalah perbuatan yang dilakukan oleh seseorang denngan tujuan untuk membunuh orang lain dengan menggunakan alat yang dipandang layak untuk membunuh. 2. Pembunuhan tidak disengaja Pembunuhan tidak disengaja (khata) adalah perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dengan tidak ada unsur kesengajaan yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia. Sebagai contoh dapat ditemukan bahwa seseorang melakukan penebangan pohon yang kemudian pohon yang ditebang itu, tiba-tiba tumbang dan menimpa orang yang lewat lalu meninggal dunia. 3. Pembunuhan semi sengaja Pembunuhan semi sengaja adalah perbuatan yang sengaja dilakukan oleh seseorang kepada orang lain dengan tujuan mendidik. Sebagai contoh, seseorang guru memukulkan penggaris kepada kaki seorang muridnya, tiba-tiba murid yang dipukulnya itu meninggal dunia, maka perbuatan guru tersebut dinyatakan sebagai pembunuhan semi sengaja (syibhu al-amad).27 Sanksi hukum bagi pembunuhan adalah sebagai berikut: (a). Pelaku pembunuhan yang disengaja, pihak keluarga korban dapat memutuskan salah satu dari tiga pilihan, yaitu (1) qishash, yaitu hukuman pembalasan yang setimpal dengan penderitaan korbannya, (2) diyat, yaitu pembunuh harus membayar denda sejumlah 100 ekor unta, atau 200 ekor sapi atau 1000 27 Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h. 24 ekor kambing, atau bentuk lain senilai harganya. Diyat tersebut diserahkan kepada keluarga korban, (3) pihak keluarga memaafkannya apakah harus dengan syarat atau tanpa syarat. (b). Pelaku pembunuhan yang tidak disengaja, pihak keluarga diberikan pilihan, yaitu (1) pelaku membayar diyat; (2) membayar kifarah (memerdekakan budak mukmin); (3) jika tidak mampu pelaku diberikan hukuman moral, yaitu berpuasa selama dua bulan berturut-turut. (c). Pelaku pencederaan dalam bentuk menusukkan bandik atau parang ke bagian perut korban maka pelakunya dikenakan sanksi hukuman, yaitu ditusuk perutnya dengan bidik atau parang sesuai perbuatannya yang membuat korban menderita. Selain itu, dapat juga tidak dikenakan hukuman bila pihak korban memaafkan orang yang melukainya. Dalil hukum dalam hal ini mengungkapkan bahwa mata dibalas dengan mata, telinga dibalas dengan telinga, hidung dibalas dengan hidung, dan seterusnya. 28 D. Hal-hal Yang Dapat Menyebabkan Gugurnya Hukuman Pancung Dalam hukum Islam, hukuman mati yang telah dijatuhkan kepada seorang pelaku tindak pidana bisa tidak berlaku (daluarsa) atau gugur karena beberapa sebab, misalnya pelaku meninggal dunia sebelum dieksekusi, pelaku dimaafkan ahli waris, adanya perdamaian antara dua belah pihak serta belum balighnya pelaku atau ahli waris. a. Pelaku meninggal dunia sebelum dieksekusi Bila pelaku kejahatan, baik membunuh atau melukai yang telah divonis mati lalu meninggal dunia sebelum sempat dieksekusi, maka qishash yang akan dilimpahkan kepada dirinya menjadi gugur, karena sesungguhnya tempat qishash adalah pada diri pelaku kejahatan, dan tidak ada orang lain yang bisa menggantikannya. Islam tidak membebankan dosa seseorang 28 Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, h. 35 kepada orang lain yang tidak bersalah. Terkait dengan persoalan, jika pelaku pembunuhan telah meninggal sebelum dihukum mati, apakah ahli waris korban boleh mengambil diyat dari harta pembunuh tersebut atau tidak, para ulama kebanyakan (jumhur ulama) menjawab tidak boleh. Dikarenakan hukuman hanya berlaku bagi si pembunuh, sehingga bila ia telah meninggal dunia, maka dengan sendirinya semua hukumannya gugur, termasuk pula diyatnya. 29 b. Pelaku dimaafkan ahli waris Hukuman mati dianggap daluarsa atau gugur jika ahli waris korban pembunuhan memaafkan pelaku. Pemberian maaf oleh ahli waris korban dalam hukum Islam dibolehkan, bahkan dianggap sebagai perbuatan yang mulia, sebagaimana dalam firman Allah dalam Surat Al-Baqarah ayat 178 (178 : 2/)اﻟﺒﻘﺮة dan Surat Al-Maidah ayat 45. Makna maaf dalam qishash adalah ahli waris korban tidak meminta sedikitpun kompensasi berupa materi atau lainnya dari si pembunuh maupun dari ahli waris pembunuhnya. Namun, bila si pembunuh maupun keluarganya memberikan sesuatu sebagai tanda kebaikan dan sama-sama ridha, maka itu tidak terlarang dalam syariat. Tidak dilarang pula menerima diyatnya jika setelah dimaafkan lalu pembunuh membayar diyatnya. 29 Abdurrahman Madjrie, Qishash:Pembalasan yang Hak, (Jakarta: Khairul Bayan, 2003), h. 15 c. Kedua Belah Pihak Berdamai Dalam hukum Islam, adanya kesepakatan damai antara ahli waris korban dengan pelaku pembunuhan dapat menggugurkan hukuman mati (qishash), baik kesepakatan damai tersebut terkait soal diyat atau tidak, atau juga terkait dengan kompensasi tertentu yang bisa menghasilkan perdamaian. Semua jenis perdamaian untuk menggugurkan hukuman mati dibolehkan asalkan tidak menyalahi aturan hukum Islam. Terkait persoalan diyat, maka jumlah diyatnya tidak boleh melebihi ketentuan hukum. Dengan kata lain, damai yang disyariatkan adalah menerima kompensasi atau diyat yang sewajarnya, sesuai kemampuan pelaku pembunuhan. Damai yang dianjurkan oleh hukum Islam adalah agar qishash berkenaan dengan darah kaum muslimin itu digugurkan, dan itu bisa dilaksanakan apabila kedua belah pihak menyepakatinya. d. Belum Baligh atau Hilang Akal Jika pembunuhan dilakukan oleh orang yang belum baligh, belum berakal, ataupun tidak berakal, maka qishash atau hukuman matinya menjadi tidak dapat dilaksanakan (daluarsa). Sebagaimana hadis Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Ibnu Majah "Gugurnya suatu hukum disebabkan oleh tiga hal: Anak yang masih kecil sampai ia baligh, orang yang gila sampai ia sembuh, dan orang yang tidur sampai ia bangun (sadar). E. Tata Cara Pelaksanaan Hukuman Pancung Hukum Islam telah membimbing dan mengarahkan tatacara ataupun etika dalam melaksanakan hukuman mati terhadap pelaku kejahatan yang diancam hukuman mati, yaitu: Menghukum mati dengan cara yang paling baik, eksekusi yang tidak menimbulkan rasa sakit yang berlebihan, agar si terhukum segera meninggal, misalnya dengan pedang yang sangat tajam. Hal ini didasarkan pada hadis: dari Syadad bin Aus bahwasannya Rasulullah Saw bersabda, “Apabila kalian membunuh, maka baguskanlah cara membunuhnya dan apabila kalian menyembelih, maka yang baiklah cara menyembelihnya”. 30 Bagian yang dipenggal adalah leher atau tengkuk bagian belakang kepala. Hal ini didasarkan pada hadis yang meriwayatkan tentang beberapa orang sahabat Rasulullah Saw, apabila mereka mengetahui ada seseorang yang hendak dihukum mati, maka mereka saling berkata, “Ya Rasulullah, biarkanlah aku saja yang memenggal lehernya”. Apabila si terhukum sedang hamil, eksekusinya ditunda hingga ia melahirkan dan menyusui bayinya maksimal sampai dua tahun setelah melahirkan. Hal ini juga didasarkan pada hadis Rasulullah saw. 31 Eksekusi mati tidak boleh dilakukan dengan cara-cara yang tidak manusiawi dan merendahkan martabat, seperti dengan mencincangnya atau membakarnya. Hal ini didasarkan hadis Rasulullah saw, “Janganlah kalian menyiksa dengan azab Allah. Dari Abdullah bin Yazid al-Anshari, ia berkata, “Rasulullah saw melarang kita merampas dan mencincang”.32 Eksekusi mati tidak boleh dilakukan jika si korban dalam keadaan sakit atau belum sembuh dari luka yang ditimbulkannya. Dimaksudkan untuk memberikan kesempatan bagi si korban apakah memaafkan si pelaku atau tidak. Hal ini didasarkan pada hadis yang diriwayatkan oleh Jabir, ia berkata, “Sesungguhnya ada seorang laki-laki dicederai (dilukai), kemudian ia minta diqishashkan, maka Nabi saw melarang atau menunda qishash tersebut hingga orang yang dianiaya itu sembuh dari lukanya”. 30 Hadis tersebut diriwayatkan oleh al-Turmudzi dan Al-Thabrani. Lihat Muhammad Nashiruddin alAlbani, Sunan al-Turmudzi, (t.t.p: al-Maktabah al-Islami, 1998), Jilid I-III 31 Hadis diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dalam kitab shaheh mereka 32 Hadis diriwayatkan oleh al-Bukhari, Ahmad, dan Ibnu Abi Syaibah. Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, (Beirut: Dar al-Fikr, 1981). Pelaku pembunuhan boleh dibunuh dengan “alat apapun” yang mempermudah proses eksekusi. Menurut mazhab Maliki dan mazhab Syafi’i, hukuman mati hendaknya dilakukan dengan menggunakan pedang, atau dipenggal dengan alat yang sangat tajam, atau digantung dengan tali, atau dengan cara yang lain. Tidak disyaratkan kecuali satu saja, yaitu ihsan al-qathli (eksekusi yang paling baik), yakni yang mempermudah kematian. 33 Dari sini terlihat bagaimana perbedaan hukuman pancung dengan hukuman lainnya seperti hukuman mati dengan cara disetrum, atau hukuman mati dengan cara disuntik mati. Di mana hukuman pancung lebih mempercepat kematian dibanding dengan hukuman lainnya, ini terlihat dari pengamatan berdasarkan kaca mata ahli yaitu, Menjelang eksekusi mati di kursi listrik, biasanya terpidana mati terlebih dahulu rambut bagian kepala dan kaki dicukur gundul. Kadang-kadang alis mata dan janggut juga dicukur untuk mengurangi resiko terbakar akibat sengatan listrik. Setelah didudukkan di kursi listrik, bagian dada, pinggang, kakinya diikat ke kursi dengan ikat pinggang. Kepalanya diberi spon (sponge) yang dibasahi cairan garam untuk mempermudah mengalirkan arus listrik. Kepalanya kemudian diberi penutup berbentuk bulat terbuat dari logam listrik (elektrode), alat penghantar listrik. Lalu bagian kaki yang sudah dicukur, ditempeli elektrode berbentuk gel untuk mempercepat sirkulasi listrik ke tubuh pesakitan. Lalu kedua matanya ditutup. Saat mengalirkan arus listrik yang berkekuatan hingga 2.000 volt bahkan sampai 2.450 volt, dengan cara menarik tombol listrik. Dalam waktu 15 sampai 30 detik biasanya jantung pesakitan berhenti berdetak akibat hentakan listrik yang berkekuatan sampai 2.000 volt tersebut. Temperatur tubuh korban dapat meningkat sampai 59 derajad Celcius yang umumnya bisa mengakibatkan merusak organ-organ dalam tubuh. 33 Ibnu Rusydi, Bidayah al-Mujtahid, h. 303 Banding Rusjdi Ali Muhammad, Revitalisasi Syari’at Islam di Aceh: Problem, Solusi dan Implementasi, h. 350-352 Setelah aliran litrik dihentikan (penyaluran listrik 15–30 detik) dan suhu pesakitan mulai mendingin, maka dokter mulai memeriksa jantung sang terpidana mati tersebut, apakah jantungnya sudah tidak berdenyut lagi alias telah tercabut nyawanya. Jika belum tuntas mati, maka hentakan listrik diberikan lagi, diulang sampai betul-betul detak jantungnya berhenti total. Ketika arus mulai mengalir ke tubuh terpidana, para pesakitan mengalami kengerian luar biasa. Mereka berusaha melompat, meronta, dan melawan dengan sepenuh kekuatan. Tangan menjadi merah, lantas berubah menjadi putih. Anggota badan, jari jemari tangan, kaki, dan wajah berubah bentuk. Bola mata sering melotot. Mereka juga sering buang air besar dan kecil, muntah darah, serta mengeluarkan air liur. Pada suntik mati, hukuman mati dengan cara ini dilakukan dengan menyuntikkan cairan yang merupakan kombinasi tiga obat. Pertama, sodium thiopental atau sodium pentothal, obat bius tidur yang membuat terpidana tak sadarkan diri. Lantas disusul dengan pancuronium bromide, yang melumpuhkan diafragma dan paru-paru. Ketiga potassium chloride yang membikin jantung berhenti berdetak. Pada saat eksekusi, terpidana dibawa ke ruangan khusus, ditidurkan, serta diikat pada bagian kaki dan pinggang. Sebuah alat dipasang di badan untuk memonitor jantung yang disambungkan dengan pencetak yang ada di luar kamar. Ketika isyarat diberikan, 5 g sodium pentothal dalam 20 cc larutan disuntikkan lewat lengan. Lalu diikuti oleh 50 cc pancuronium bromide, larutan garam, dan terakhir 50 cc potassium chloride. Kelihatannya mudah. Namun, banyak hal tak terduga bisa terjadi. Dalam beberapa kasus pembuluh darah sukar didapat atau peralatan tidak pas menembus pembuluh darah. Pada kasus Suntik mati, si terhukum tetap merasakan sakit dalam hitungan menit, yakni saat racun menghentikan detak jantung. Si jantung yang sebelumnya sehat tetap memaksa bekerja keras memompa darah walaupun racun telah mencemarinya dalam hitungan menit. Sedangkan jika dibandingkan dengan hukum pancung bagi si terhukum, walau terlihat kejam secara fisik namun ternyata jauh lebih manusiawi ketimbang jenis hukuman mati lainnya, karena mampu menghilangkan rasa sakit dari tubuh manusia (dalam hitungan sepersekian detik) tanpa merasakan sakit sama sekali akibat terputusnya jutaan urat-urat saraf perasa dengan pusat syarafnya, yakni otak si terhukum. Oleh karena itu hukum pancung (qishash) yang ternyata jauh lebih akurat dalam menghilangkan rasa sakit pada manusia (si terhukum). 34 Parameter ataupun ukuran dalam menentukan apakah suatu tatacara pelaksanaan pidana mati merupakan sesuatu yang kejam, tidak manusiawi, dan tidak biasa, sebenarnya dapat dinilai dari pelaksanaannya, yaitu: a). Jika cara yang dilakukan menimbulkan penderitaan yang panjang disamping tidak diperlukan dalam menimbulkan kematian; b). Bertentangan dengan ukuran kesusilaan yang dianut dalam masyarakat; dan c). Tidak menjaga dan mempertahankan harkat dan mertabat terpidana sebagai manusia. 35 34 Dr. Fadli Ihsan, Perbedaan Hukum Pancung, Kursi Listrik atau Suntik Mati, http://kaahil.wordpress.com/2011/07/02/perbandingan-metode-hukluman-mati-antara-hukum-pancung-suntik-matidan-kursi-listrik/, diunduh pada Tanggal 8 Desember 2011. 35 Lihat Putusan MK Nomor 21/PUU-VI/2008 tentang Pengujian Undang-undang tentang tatacara Pelaksanaan Eksekusi Mati BAB III HUKUM PANCUNG DALAM HAM A. Pengertian, Sejarah dan Nilai-nilai HAM Hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. 36 Jika dilihat dari segi konstitusi, melalui undang-undang Dasar 1945, Indonesia telah mempunyai landasan hukum yang cukup kuat untuk menegakkan dan melaksanakan HAM, sebagai upaya penghormatan negara terhadap hak-hak rakyat. Tekad pemerintah untuk menegakkan HAM juga telah ditunjukkan dengan pembentukan Komisi Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pada tahun 1993. Pembentukan Komnas HAM dimaksudkan dalam upaya membantu pengembangan kondisi yang lebih kondusif bagi pelaksanaan HAM. Komnas HAM dibentuk sesuai dengan keinginan dan kesepakatan masyarakat internasional pada konferensi internasional HAM sedunia II di Wina pada tahun 1992 yang secara konsensus mengesahkan deklarasi dan program aksi Wina.37 Hak Asasi Manusia di Indonesia bersumber dan bermuara pada pancasila. Yang artinya Hak Asasi Manusia mendapat jaminan kuat dari falsafah bangsa, yakni Pancasila. Bermuara pada 36 UU HAM No. 23 Tahun 1999, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009). h. 3 Dirjen Perlindungan HAM, “Salinan Keputusan Presiden RI Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia Indonesia Tahun 2004-2009, h.2-3 37 30 Pancasila dimaksudkan bahwa pelaksanaan hak asasi manusia tersebut harus memperhatikan garis-garis yang telah ditentukan dalam ketentuan falsafah Pancasila. Bagi bangsa Indonesia, melaksanakan hak asasi manusia bukan berarti melaksanakan dengan sebebas-bebasnya, melainkan harus memperhatikan ketentuan-ketentuan yang terkandung dalam pandangan hidup bangsa Indonesia, yaitu Pancasila. Hal ini disebabkan pada dasarnya memang tidak ada hak yang dapat dilaksanakan secara multak tanpa memperhatikan hak orang lain. Setiap hak akan dibatasi oleh hak orang lain. Jika dalam melaksanakan hak, kita tidak memperhatikan hak orang lain, maka yang terjadi adalah benturan hak atau kepentingan dalam hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara kodrati melekat dan tidak terpisah dari manusia yang harus dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi peningkatan martabat kemanusisan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan kecerdasan serta keadilan. 38 Doktrin tentang Hak Asasi Manusia sekarang ini sudah diterima secara universal sebagai a moral, political, and legal framework and as a guideline dalam membangun dunia yang lebih damai dan bebas dari ketakutan dan pennindasan serta perlakuan yang tidak adil. Oleh karena itu, dalam paham negara hukum, jaminan perlindungan hak asasi manusia dianggap sebagai ciri yang mutlak harus ada di setiap negara yang dapat disebut rechtsstaat. Bahkan, dalam perkembangan selanjutnya, jaminan-jaminan hak asasi itu juga diharuskan tercantum dengan tegas dalam undang-undang dasar atau konstitusi tertulis negara demokrasi konstitusional (constitusional democracy), dan dianggap sebagai materi terpenting yang harus ada dalam konstitusi, di samping 38 Niwayan Syta Diantri, Sejarah Hak Asasi Manusia, http://emperordeva.wordpress.com/about/sejarahhak-asasi-manusia/ diunduh pada tanggal 20 Oktober 2011. materi ketentuan lainnya, seperti mengenai format kelembagaan dan pembagian kekuasaan negara dan mekanisme hubungan antarlembaga negara. Namun, sebelum sampai ke tahap perkembangan yang sekarang, baik yang dicantumkan dalam berbagai piagam maupun dalam naskah undang-undang dasar berbagai negara, ide hak asasi manusia itu sendiri telah memiliki riwayat yang panjang. 39 Sejak abad ke-13, perjuangan untuk mengukuhkan ide hak asasi manusia sudah dimulai. Penandatanganan Magna Charta pada 1215 oleh Raja John Lackland biasa dianggap sebagai permulaan sejarah perjuangan hak asasi manusia, meskipun sebenarnya, piagam ini belumlah merupakan perlindungan hak asasi manusia seperti yang dikenal sekarang. Dari segi isinya, Magna Charta hanya melindungi orang-orang yang masuk kategori freeman sehingga kaum budak tidak termasuk di dalamnya. Akan tetapi, jika dilihat dari segi perjuangan hak-hak asasi manusia, Magna Charta setidak-tidaknya menurut orang Eropa diakui sebagai yang pertama dalam sejarah perjuangan hak asasi manusia seperti yang dikenal sekarang.40 Setelah Magna Charta (1215), tercatat pula penandatanganan Petition of Rights pada 1628 oleh Raja Charles I. Apabila pada 1215 raja berhadapan dengan kaum bangsawan dan gereja sehingga lahirlah Magna Charta, pada 1628, Raja berhadapan dengan parlemen yang terdiri dari utusan rakyat (House of Commons). Oleh karena itu, menurut Moh Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, kenyataan ini memperlihatkan bahwa perjuangan hak-hak asasi manusia memiliki korelasi yang erat sekali dengan perkembangan demokrasi karena perjuangan hak-hak asasi manusia itu pada akhirnya berkaitan dengan soal jauh dekatnya rakyat dengan ide demokrasi. 39 Muh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: PSHTN- FHUI), h. 55 40 Mr. Suwandi, Hak-hak Dasar Dalam Konstitusi, Konstitusi Demokrasi Moderen, (Djakarta: Pembangunan, 1957), h. 8. Setelah itu, perjuangan yang lebih nyata terlihat pula dalam Bill of Rights yang ditandatangani oleh Raja Williem III pada 1689 sebagai hasil dari pergolakan politik yang dahsyat yang bias disebut the Glorious Revolution. Glorious Revolution ini tidak saja mencerminkan kemenangan perlemen atas raja, 41 tetapi juga menggambarkan rentetan kemenangan rakyat dalam pergolakan-pergolakan yang menyertai perjuangan Bill of Rights itu yang berlangsung tak kurang dari enam puluh tahun lamanya. Dalam perkembangan selanjutnya, gagasan tentang hak-hak asasi manusia banyak dipengaruhi pula oleh pemikiran-pemikiran para sarjana, seperti John Locke dan Jean Jacques Rousseau. John Locke dikenal sebagai peletak dasar bagi teori Trias Politica Montesquieu. Bersama dengan Thomas Hobbes dan J.J Rousseau, John Locke juga mengembangkan teori perjanjian masyarakat yang biasa dinisbatkan kepada Rousseau dengan istilah kontrak sosial. Perbedaan pokok antara Hobbes dan Locke dalam hal ini adalah bahwa jika teori Thomas Hobbes menghasilkan monarki absolut, teori John Locke menghasilkan monarki konstitusional. 42 Dalam konteks hak asasi manusia, Thomas Hobbes melihat bahwa hak asasi manusia merupakan jalan keluar untuk mengatasi keadaan yang disebutnya homo homini lupus, bellum omnium comtra omnes. Dalam keadaan demikian, manusia tak ubahnya bagaikan binatang buas dalam legenda kuno yang disebut ‘Leviathan’ yang dijadikan oleh Thomas Hobbes sebagai judul buku. Keadaan seperti itlak yang, menurut Hobbes, mendorong terbentuknya perjanjian masyarakat dalam mana rakyat menyerahkan hak-haknya kepada penguasa. Itu sebabnya 47 24-26 41 Muhammad Yamin, Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia, (Djakarta: Djambatan, 1959), h. 42 A. Appadorai, The Subtance of Politics, (Oxford University Press: Oxford India Paperbacks, 2005), h. pandangan Thomas Hobbes disebutkan sebagai teori yang mengarah kepada pembentukkan monarki absolut.43 Sebaliknya, John Locke berpendapat bahwa manusia tidaklah secara absolut menyerahkan hak-hak individunya kepada penguasa. Yang diserahkan, menurutnya, hanyalah hak-hak yang berkaitan dengan perjanjian negara semata, sedangkan hak-hak lainnya tetap berada pada masing-masing individu. John Locke juga membagi proses perjanjian masyarakat tersebut dalam dua macam, yang disebutnya sebagai second Treaties if Civil Government yang juga menjadi judul bukunya. Dalam instansi pertama (the First trearty) adalah perjanjian antara individu dengan individu warga yang ditunjukkan untuk terbentunnya masyarakat politik dan negara. Instansi pertama ini disebut oleh John Locke sebagai Pactum Unionis. Dalam instansi berikutnya yang disebutkan sebagai “Pactum Subjectionis” Locke melihat bahwa pada dasarnya setiap persetujuan antar individu tadi (pactum unionis) terbentuk atas dasar suara mayoritas. Dan karena setiap individu selalu memiliki hak-hak yang tak tertanggalkan, yakni life, liberty serta estate, logis jika tugas negara adalah memberikan perlindungan kepada masing-masing individu. Dasar pemikiran John Locke inilah yang kemudian harus dijadikan landasan bagi pengakuan hak-hak asasi manusia. Sebagaimana yang kemudian terlihat dalam Declaration of Independence Amerika Serikat yang pada 4 Juli 1776 telah disetujui oleh Congres yang mewakili 13 negara baru yang bersatu. Di Amerika Serikat perjuangan hak-hak asasi manusia itu disebabkan oleh karena rakyat Amerika Serikat yang berasal dari Eropa sebagai imigran merasa tertindas oleh pemerintahan Inggris. Hal itu berlainan dengan apa yang dialami oleh bangsa Perancis yang pada abad ke-17 dan ke-18 dipimpin oleh pemerintahan raja yang bersifat absolut. Sebagai reaksi terhadap 43 Jimly Asshidiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tatanegara, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h.345 absolutism itulah, Montesquieu merumuskan teorinya yang dikenal dengan istilah “Trias Politica” yang dikemukakannya dalam buku L’esprit des Lois (1748).44 Montesquieu berpendapat bahwa kekuasaan negara dibagi dalam tiga bagian, yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif. Ketiga bagian tersebut harus dipisahkan baik dari segi organnya maupun dari fungsinya. Pemisahan itu menurutnya sangat penting untuk mencegah bertumpuknya semua kekuasaan di tangan satu orang. Dengan terpisahnya kekuasaan negara dalam tiga badan yang mempunyai tugas masing-masing dan tidak boleh saling mencampuri tugas yang lain, dapatlah dicegah terjadinya pemerintahan yang absolut. Sementara itu, Jean Jacques Rousseau melalui bukunya Du Contrat Social menghendaki adanya satu demokrasi, di mana kedaulatan ada di tangan rakyat. Pandangan Rousseau ini banyak dipengaruhi oleh pemikiran Thomas Hobbes dan John Locke. Ketika itu, berkembang pernyataan tidak puas dari kaum borjuis dan rakyat kecil terhadap raja, yang menyebabkan Raja Louis XVI memanggil Etats Generaux untuk bersidang pada 1789. Akan tetapi, kemudian utusan kaum borjuis menyatakan dirinya sebagai “Assemble Nationale” yaitu Dewan Perwakilan Rakyat yang mewakili seluruh bangsa Prancis. Pada 20 Juni 1789 mereka bersumpah untuk tidak bubar sebelum Perancis mempunyai konstitusi. Selanjutnya, Assemble Nationale tersebut menyatakan dirinya sebagai Badan Konstituante. Pada 26 Agustus 1789 ditetapkanlah pernyataan Hak-hak Asasi Manusia dan Warga Negara (Declaration des droit de I’homme et du citoyen). Sesudah itu, yaitu pada 13 Desember 1789 lahirlah konstitusi Prancis yang pertama. 45 Pernyataan hak-hak asasi manusia dan warga negara Prancis tersebut dapat dikatakan banyak dipengaruhi oleh Declaration of Independence Amerika Serikat, terutama berkat jasa, antara lain seorang warga negara Prancis yang bernama La Fayette yang pernah ikut berperang di 44 45 A. Appadorai, The Subtance of Politics, h. 516-517 Jimly Asshidiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tatanegara, h.347 Amerika Serikat. Setelah rakyat Amerika berhasil mencapai kemenangan dan American Declaration of Independence di tandatangani pada 1776, La Fayette kembali ke Prancis dengan membawa salinan naskah deklarasi tersebut. Pada waktu Prancis menyusun Declaration des droit de I’homme et du citoyen (1789), Declaration of Independence Amerika Serikat (1776) itu banyak ditiru. Kemudian dalam perkembangan selanjutnya deklarasi tersebut banyak ditiru pula oleh negara-negara Eropa lainnya. Oleh karena itu, kedua naskah deklarasi, yaitu Declaration of Independence Amerika Serikat (1776) dan Declaration des droit de I’homme et du citoyen (1789) sangat berpengaruh dan merupakan peletak dasar bagi perkembangan universal perjuangan hak asasi manusia. Kedua deklarasi ini, kemudian disusul oleh The Universal Declaration of Human Rights 1948 menjadi contoh bagi semua negara yang hendak membangun dan mengembangkan diri sebagai negara demokrasi yang menghormati dan melindungi hak-hak asasi manusia. Kejadian lain yang juga penting yang juga terjadi dalam perkembangan hak-hak asasi manuisa adalah kemenangan demokrasi dalam pemerintahan diktator dan fascist Jerman, Italia dan Jepang pada perang Dunia II. Setelah perang Dunia II berakhir dengan kemenangan berada di pihak sekutu, melalui perserikatan bangsa-bangsa disepakatilah satu universal declaration of Human Rights di Paris pada 1948, dengan perbandingan suara 48 setuju dan 8 blanko. Meskipun Declaration of Human Rights itu tidak mengikat bagi negara-negara yang ikut menandatanganinya, diharapkan agar negara-negara anggota PBB dapat mencantumkan Undangundang Dasar masing-masing atau peraturan perundang-undangan lainnya sehingga norma hukum yang terkandung di dalamnya dapat diberlakukan sebagai hukum domestic di masingmasing negara anggota. Undang-undang Dasar yang secara lengkap memuat ketentuan yang terdapat dalam The Universal Declaration of Human Rights tersebut adalah undang-undang dasar sementara Republik Indonesia tahun 1950 dan Konstitusi RIS. Namun demikian, dikukuhkannya naskah Universal Declaration of Human Rights ini, ternyata tidak cukup mampu untuk mencabut akar-akar penindasan di semua negara. Karena itu, tidaklah mengherankan apabila PBB terus berupaya mencari beberapa landasan yuridis, dengan maksud agar naskah tersebut dapat mengikat seluruh negara di dunia. Akhirnya, setelah 18 tahun kemudian, PBB berhasil juga melahirkan Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (perjanjian tentang hak-hak ekonomi, social dan budaya) dan Covenan on Civil and Political Rights (perjanjian tentang hak-hak sipil dan politik). Kedua kovenan tersebut, dapat dipandang sebagai peraturan pelaksanaan atas naskah pokok Universal Declaration of Human Rights. Dengan demikian, secara yuridis meratifikasikan kedua kovenan ini, bukan saja menyebabkan negara anggota terikat secara hukum, akan tetapi juga merupakan sumbangan terhadap perjuangan hak-hak asasi manusia di dunia. Apabila diingat bahwa kedua kovenan tersebut baru dapat berlaku mengikat secara yuridis segera setelah diratifikasikan oleh sedikitnya 35 negara anggota PBB.46 Setelah kedua kovenan ini, berbagai instrumen hukum internasional diadopsikan oleh perserikatan bangsa-bangsa untuk melengkapinya lebih lanjut. Sampai sekarang, instrumeninstrumen PBB dimaksud dapat disusun secara berturut-turut sebagai: 1. Universal Declaration of Human Rights, 1948; 2. Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide, 1948; 3. International Convention on the Eliminationof All Forms of Racial Discrimination, 1965; 4. International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights, 1966; 46 Jimly Asshidiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tatanegara, h.348-349 5. International Covenant on Civil and Political Rights, 1966; 6. Convention on Emlimination of All Forms of Disrimination against Women, 1979; 7. Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman, and Degrading Treatment or Punishment, 1984; 8. Convention on the Rights of the Child, 1989. Sementara itu, ada pula instrumen hak asasi manusia yang bersifat khusus di kawasan tertentu. Misalnya, dikalangan negara-negara Arab yang tergabung dalam Liga Arab (Arab League) telah pula berhasil menyepakati Arab Charter on Human Rights yang disahkan oleh Council of the League of Arab States pada 15 September 1994. Satu-satunya kawasan yang dikenal paling majemuk dan karena itu belum dapat memliki instrument regional hak asasi manusia yang tersendiri, yaitu kawasan benua Asia. Di kalangan tokoh-tokoh masyarakat dan lembaga swadaya masyarakat (NGO’s), tentu sudah banyak prakarsa yang dilakukan untuk membicarakan mengenai hal ini. Dalam rangka peringatan 50 tahun Universal Declaration of Human Rights 1948, pernah diadakan suatu EuroAsian Dialogue di antara Uni Eropa dan negara-negara ASEAN. Juga pernah diadakan dialog antara Uni Eropa dengan Cina. Akan tetapi, forum yang bersifat resmi belum pernah diadakan. Mungkin komisi hak asasi manusia Indonesia sebagai negara demokrasi yang terbesar bersama India di kawasan Asia dapat mengambil prakarsa mengenai hal ini di masa yang akan datang. 47 Berbicara tentang Hak Asasi Manusia, berarti berbicara tentang hak manusia yang paling dasar dan fundamental. Setiap manusia di muka bumi berhak atas hak ini dan di mana pun tempat mereka tinggal seharusnya Hak Asasi Manusia harus dijunjung tinggi. Walaupun konteks praktis dari Hak Asasi Manusia ini tidak bisa seragam dan sama di setiap negara, tetapi setiap 47 Jimly Asshidiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tatanegara, h.351-352 negara setidaknya mempunyai pikiran ideal yang sama mengenai Hak Asas Manusia ini. Manusia sebagai pribadi maupun sebagai rakyat/ warga negara, dalam mengembangkan diri, berperan dan memberikan sumbangan dalam kehidupan, ditentukan oleh pandangan hidupnya sesuai dengan kepribadian bangsa. Pandangan dan kepribadian bangsa Indonesia yang merupakan kristalisasi nilai-nilai luhur bangsa Indonesia, telah menempatkan manusia pada keluhuran harkat dan martabat makhluk Tuhan Yang Maha Esa dengan kesadaran mengemban kodratnya sebagai makhluk pribadi dan juga makhluk sosial, tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Nilai-nilai luhur bangsa Indonesia sebagai satu kesatuan yang utuh dan bulat itulah yang dirumuskan menjadi dasar negara. Hak Asasi Manusia yang dijunjung tinggi oleh setiap negara termasuk Indonesia, harus memiliki landasan yang kuat baik dalam ideologi maupun konstitusi. Hal ini karena permasalahan tentang hak asasi manusia sangat rentan terjadi. Jadi perlu adanya ketegasan dan ketetapan yang betul-betul bisa mengatur Hak Asasi Manusia tersebut.48 Maka dibentuklah konstitusi yang memuat pula hal-hal yang ideal atau yang dicita-citakan. Dengan demikian kehidupan ketatanegaraan menuju atau mengejar cita-cita atau sesuatu yang dinilai tinggi dan bermanfaat bagi kemanusiaan. Apa yang dinilai tinggi ini akan membentuk suatu tata nilai yang terperinci dan terkait pada tatanan-tatanan kehidupan yang “membentuk” kehidupan kenegaraan. Di dalam menjelaskan 48 Wahyu Purnomo, Nilai-Nilai HAM Dalam Ideologi Negara, http://wahyouforlife.blogspot.com/2010/05/nilai-nilai-ham-dalam-ideologi-negara.html, diunduh pada Tanggal 13 Oktober 2011. perihal tujuan bernegara juga telah diuraikan bahwa masyarakat adil dan makmur yang menjadi tujuan bernegara perlu lebih dikonkretkan agar dapat dicapai dengan nyata. Secara ideal tatanan kehidupan diberi petunjuk idealismenya sesuai dengan ideologi Pancasila, dengan demikian kita akan berhadapan dengan nilai-nilai dasar. Nilai-nilai dasar ini yang akan dijabarkan ke dalam nilai-nilai instrumental di dalam garis-garis besar haluan negara. Undang-Undang Dasar 1945, menggunakan dua cara di dalam menentukan petunjukpetunjuk tentang nilai-nilai dasar tersebut. Pertama, dengan jelas diberikan petunjuk tentang suatu tatanan dasar; Kedua, nilai suatu tatanan dasar diserahkan pada undang-undang untuk merumuskannya, artinya dengan persetujuan (wakil) rakyat pula. 49 B. HAM di Indonesia a. Muatan Dalam konstitusi Berdasar sejarah sejak dari persiapan sampai berdiri dan pelaksanaan pemerintahan dapat ditegaskan bahwa Indonesia menganut sistem konstitusional sehingga masalah hak asasi manusia (HAM) menjadi hal yang sangat penting, sebab esensi konstitusionalisme itu sendiri pada dasarnya ada dua yakni, adanya perlindungan terhadap HAM dan adanya pembagian kekuasaan negara dengan sistem chek and balances agar pemerintahan dapat memberi perlindungan terhadap HAM. Di dalam UUD 1945 ditemukan adanya rumusan-rumusan HAM yang baik di dalam Pembukaan maupun di dalam Batang Tubuhnya. Di alinea I Pembukaan UUD 1945 disebutkan bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa sehingga setiap penjajahan di atas dunia harus 49 C.S.T Kansil, Hukum Tata Negara Republik Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), h. 99 dihapuskan dari muka bumi. Bunyi alinea pertama ini jelas merupakan pernyataan mendasar tentang penerimaan dan dukungan bangsa Indonesia atas prinsip perlindungan HAM. Jika dilihat dari tujuan dan dasar negara seperti yang dimuat di dalam alinea IV Pembukaan UUD 1945 tampak juga bahwa Indonesia sangat menekankan pentingnya perlindungan HAM. Di dalam tujuan negara disebutkan bahwa negara harus melindungi HAM dengan memfungsikan dirinya sebagai pelindung bagi segenap bangsa bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia; sedangkan dasar negara Pancasila menekankan pentingnya perlindungan bagi kemerdekaan untuk beriman kepada Tuhan dan memeluk agama (Ketuhanan Yang Maha Esa), memperlakukan manusia secara adil dan beradab (Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab), dan membangun keadilan sosial bagi rakyat (Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia). 50 Di dalam batang Tubuh UUD 1945 terdapat sedikitnya lima butir yang diurai dalam empat pasak yang menggariskan tentang pengakuan dan perlindungan HAM, yaitu: 51 (1) Kesamaan di depan hukum dan pemerintahan Ketentuan ini dimuat di dalam pasal 27 ayat (1) yang berbunyi “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di depan hukum dan pemerintahan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Pasal ini mengkritalisasikan pandangan bahwa tidak boleh ada diskriminasi terhadap warga negara dalam menegakkan hukum dan memberi kesempatan untuk aktif di dalam urusan pemerintahan dengan syarat-syarat yang berlaku bagi setiap orang. (2) Pekerjaan dan penghidupan yang layak 131-132. 50 Mahfuf MD, Dasar & Struktur Ketatangeraan Indonesia, Cet. Kedua, (Jakarta: Rineka Cipta, 2001), h. 51 Mahfuf MD, Dasar & Struktur Ketatangeraan Indonesia, Cet. Kedua, h. 132-133 Setiap warga negara juga harus mendapat kesempatan untuk memperoleh pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan (sebagai makhluk yang bermatabat) dan tidak boleh ada pemerasan, eksploitasi, apa lagi perbudakan. Hal ini disebutkan di dalam pasal 27 ayat (2) yang berbunyi “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Perumusan yang seperti ini menimbulkan konssekuensi bahwa setiap warga negara bukan hanya diberi peluang untuk mendapat pekerjaan tetapi juga harus dengan ketentuan tentang upah yang menjamin dapat hidup layak. (3) Berserikat, berkumpul, dan menyatakan pendapat UUD 1945 mengatur juga tentang perlindungan HAM yang menyangkut hak berkumpul, berserikat, dan menyatakan pendapat seperti yang dituangkan di dalam pasal 28 yang berbunyi “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”. Pasal 28 ini secara tegas menyatakan bahwa warga negara mempunyai hak dan kebebasan untuk berkumpul atau berorganisasi dan mempunyai hak untuk mengemukakan pendapat baik secara lisan maupun secara tertulis (seperti pers), namun dalam pelaksanaannya harus diatur dengan undang-undang. (4) Kebebasan Beragama Masalah kebebasan memeluk dan melaksanakan ajaran agama bagi warga negara diatur di dalam pasal 29 ayat (2) yang berbunyi “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaanya itu”. Seperti diketahui kebebasan untuk memeluk agama ini merupakan hak yang sangat fundamental, ketentuan ini tercantum baik di dalam the Four Freedom maupun di dalam Univeral Declaration of Human Rights yang dikeluarkan oleh PBB. (5) Mendapat pengajaran Setiap warga negara Indonesia juga mempunyai hak untuk mendapatkan pendidikan agar dapat meningkatkan taraf hidupnya. Hal ini tertuang di dalam pasal 31 yang berbunyi Bahkan dijadikan“Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran”. Kata pengajaran di sini harus diartikan sebagai pendidikan yang merupakan istilah yang lebih luas dari sekedar pengajaran. Pengambilan arti pendidikan untuk istilah pengajaran ini telah dituangkan di dalam UU yang menjadi produk hukum pelaksanaannya yakni UU No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. b. Pelanggaran HAM Meskipun di dalam UUD 1945 telah dicantumkan beberapa ketentuan mendasar mengenai pengakuan dan perlindungan HAM, bahkan dijadikan isi dari staatsfundamentalnorm (Pembukaan), namun dalam kenyataannya dalam sepanjang berlakunya UUD 1945 telah banyak terjadi pelanggaran HAM bahkan tidak sedikit di antaranya yang dilakukan secara massif oleh aparat pemerintah. Marilah kita bahas beberapa catatan sekilas tentang pelanggaran HAM ini. Banyak sekali orang yang diduga melakukan tindak pidana ditangkap tanpa surat perintah untuk kemudian dianiaya di dalam tahanan dan dipaksa untuk mengakui perbuatannya dengan menandatangani Berita Acara Pemeriksaan. Terhadap mereka yang ditahan ini pun seringkali tidak diberi kesempatan untuk mendapat bantuan hukum bahkan untuk bertemu dengan penasihat hukumnya saja kadangkala dipersulit. Azas praduga tidak bersalah diperlakukan secara tidak proporsional. Adakalanya orang yang menurut rasa keadilan di dalam masyarakat harus ditahan tetapi kenyataannya tidak ditahan, sebaliknya orang yang menurut kewajaran tidak perlu ditahan tetapi kenyataannya ditahan. Tidak jaranng juga masyarakat melihat tertahan lamanya nasib suatu perkara, apakah akan dilimpahkan ke pengadilan atau tidak, bahkan sering ditenggarai adanya permainan untuk meneruskan atau menghentikan proses suatu perkara pidana dengan pembayaran tertentu. Bagi mereka yang punya uang suatu kasus bisa dibeli agar tidak diteruskan ke pengadilan dengan kesimpulan tidak cukup bukti dan karenanya dikeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Adakalanya juga seseorang ditekan untuk membayar sejumlah uang agar tidak disidik lebih lanjut atau perkaranya diteruskan ke pengadilan. Bahkan orang yang mengadukan atau menyampaikan laporan terjadinya tindak pidana tidak jarang malahan dijadikan tersangka dan diperas dengan sejumlah uang agar tidak diproses lebih lanjut. Bagi yang sudah diproses di pengadilan juga dapat dinilai dengan sejumlah uang melalui tawar menawar. Semua ini jelas merupakan pelanggaran atas UU yang mengatur tentang proses hukum dalam memperlakukan kasus-kasus pidana seperti yang diatur di dalam UU Nomor 14 Tahun 1970 maupun di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Kekerasan politik juga terjadi dalam penggunaan hak berorganisasi (berserikat dan berkumpul) dan hak menyatakan pendapat melalui pers. Untuk berhimpun dalam organisasi politik masyarakat dibatasi dengan UU tentang Parpol dan Golkar yang secara pasti menetapkan hanya ada tiga partai politik (meskipun namanya parpol dan golkar tetapi semuanya adalah partai politik). C. Pandangan HAM Tentang Hukuman Mati Akibat perkembangan zaman yang bergitu pesat, mudahnya akses hubungan internasional, cepat menyebarnya berita-berita di dunia, maka pada saat itu pula mulai banyak dari para intelektual Islam yang menjadikan materi-materi asing sebagai sebuah pendekatan dalam menentukan hukum, salah satunya adalah melalui pendekatan sosial (termasuk di dalamnya Hak Asasi Manusia) dan maksud-maksud hukum (maqashid al-syari’ah). Melalui pendekatan-pendekatan ini maka timbullah permasalahan tentang relevansi qishash dalam Islam di era modern ini. Bagi kelompok liberal yang banyak dipelopori oleh JIL (Jaringan Islam Liberal) dan JIMM (Jaringan Islam Muda Muhammadiyah) pembahasan qishash adalah pembahasan kuno karena hal itu merupakan tradisi bangsa arab pra-Islam yang kemudian dimasukkan ke dalam bagian hukum Islam, dan bertentangan dengan maqashid al-syari’ah untuk menjaga jiwa manusia. Bagi para pegiat HAM, kehidupan adalah modal paling berharga manusia yang darinya semua kemungkinan lain bersumber. Maka itu, ada kesepakatan mengenai fakta bahwa hak hidup adalah hak asasi manusia yang paling tinggi dan mendasar. Tanpa hak ini, semua hak asasi manusia lain menjadi tidak bermakna. Para sarjana berpendapat bahwa hak hidup adalah jus cogens dalam hukum internasional. Hak ini tidak bisa dikurangi atau disimpangkan (non derogable).52 Khusus di Indonesia, munculnya gugatan terhadap penerapan hukuman mati di Indonesia secara lebih rinci didasarkan atas pemikiran sebagai berikut: Pertama, hukuman mati saat ini tidak mampu memenuhi tuntutan rasa keadilan masyarakat modern kerena menyerahkan keputusan hidup-mati seseorang ke tangan hakim yang tidak luput dari kesalahan. Kedua, hukuman mati tidak selalu efektif sebagai salah satu upaya pencegahan atau membuat orang jera untuk melakukan kejahatan. Ketiga, atas dasar pertimbangan kemanusiaan, hukuman mati melanggar nilai-nilai HAM yang menutup kesempatan seorang terpidana untuk memperbaiki diri. Dari sini, para aktivis HAM menilai hukuman mati merupakan bentuk peninggalan masa 52 Mashood A. Baderin, Hukum Internasional, Hak Asasi Manusia & Hukum Islam, (Jakarta: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, 2007), h. 66-67. lalu yang harus ditinggalkan. Meski bukan tindakan yang menentang hak hidup secara langsung, namun penerapan hukuman mati sesungguhnya merupakan bentuk tindak pembunuhan yang telah direncanakan atas nama hukum (negara).53 Dari perspektif ini, penerapan hukuman mati dapat digolongkan sebagai bentuk hukuman yang kejam dan tidak manusiawi, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 3 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) yang berbunyi, “Setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan dan keselamatan sebagai individu”. Jaminan ini dipertegas dengan Pasal 6 ayat (1)54 dan Pasal 755 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights-ICCPR) dan dikuatkan dengan Protokol Opsional Kedua atas Perjanjian Internasional mengenai Hak-hak Sipil dan Politik tahun 1989 tentang Penghapusan Hukuman Mati. 56 Jadi, hukuman mati pada dasarnya bertentangan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan (HAM) dan harus dihilangkan atau dihapus.57 Hukuman mati mungkin akan membuat kejahatan si pelaku terbalaskan, setidaknya bagi keluarga korban, dan akan membuat orang lain takut melakukan kejahatan serupa, namun hal itu jelas tidak akan dapat memperbaiki diri si pelaku, karena kesempatan hidup sudah tidak ada lagi. Sebaliknya, tanpa dihukum mati pun, seorang pelaku kejahatan dapat merasakan pembalasan atas tindakannya dengan bentuk hukuman lain, misalnya dihukum seumur hidup atau penjara.58 Dari sinilah, hukuman mati dinilai sudah tidak tidak efektif lagi sebagai sebuah bentuk 53 Barda Nawawi Arief, Kebijakan dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara, (Semarang: CV Ananta, 1994), h. 18. 54 Pasal 6 (1) ICCPR menyatakan bahwa setiap manusia berhak atas hak untuk hidup dan mendapatkan perlindungan hukum dan tiada yang dapat mencabut hak itu. 55 Pasal 7 ICCPR berbunyi, "Tidak seorang pun boleh disiksa atau diperlakukan secara kejam, diperlakukan atau dihukum secara tidak manusiawi atau dihina." 56 Tim Imparsial, Jalan Panjang Menghapus Praktek Hukuman Mati; Sebuah Studi Kebijakan di Indonesia, Laporan Hasil Penelitian, 24 Juni 2004 57 Tim Imparsial, Jalan Panjang Menghapus Praktek Hukuman Mati; Sebuah Studi Kebijakan di Indonesia, Laporan Hasil Penelitian, 24 Juni 2004 58 J.E. Sahetapy, Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana Mati, h. 216-217. pemidanaan yang menjerakan, karena sistem pemidanaan modern terus mengarah ke upaya merehabilitasi terpidana (treatment). Dari penjelasan di atas, setidak-tidaknya terdapat kekurangan dan kelebihan anatara hukum positif dan hukum Islam, kekurangan dan kelebihan tersebut anatara lain: 1. Hukum Islam berasal dari Allah yang dibawa oleh Rasulullah saw. yang ma’shum, sedangkan Allah maha mengetahui apa yang diperlukan oleh hamba-Nya sehingga Dia memberian hukum yang dapat mewujudkan segala kemaslahatan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat bagi mereka. Allah tidak perlu dengan hamba-Nya, Dia Maha kaya dan Maha penyayang dengan hamba-Nya. Adapun hukum positif yang menetapkannya adalah manusia, semua serba terbatas baik dari segi kemampuan, ilmu dan kebutuhan mereka dengan Allah, selain ia juga sangat tergantung pada faktor kecakapan, lingkungan, zaman, dan adaptasi kebiasaan. 2. Bahwa hukum Islam mengatur hubungan antara Allah dan hamba-Nya atas dasar agama yang berlandaskan kepada pamrih ukhrawi dan perhitungan terhadap amal-amal zhahir dan batin. Adapun hukum positif tidak memiliki semua itu, tidak ada perhitungan dan pamrih kecuali yang tampak saja dan berhubungan dengan orang lain. Jadi, tidak ada filter yang terkait dengan hati nurani. 3. Hukum Islam memerintahkan yang baik dan mencegah yang munkar. Ia mencakup segala bentuk kebaikan dan memotivasinya, mencegah yang munkar dan mewanti-wantinya. Adapun hukum positif hanya mengatasi masalah kerusakan (akibat negatif) dan andaikan ada kebaikan, itu hanya konsekuensi logis. Oleh karena itu balasannya hanya bersifat duniawi yang dilaksanakan oleh para penguasa. Sedangkan hukum Islam, taat dan patuh dinilai sebagai ibadah, mendapat pahala dan mendapat kebaikan duniawi, melanggarnya dianggap maksiat dan dosa. 4. Hukum positif terkadang melegalkan yang haram dengan alasan manfaat manusia. Sedangkan hukum Islam tidak seperti itu karena Allah maha mengetahui dengan semua kebaikan walaupun manusia tidak mengetahuinya. Tetapi dalam hal ini bukan berarti hukum positif tidak mempunyai kelebihan yang melahirkan sebuah manfaat walaupun dibuat oleh manusia tepatnya orang-orang romawi. Tetapi kita juga tidak dapat mengatakan, bahwa sistem hukum positif yang kita kenal sekarang ini adalah sepenuhnya mencerminkan ciri romawinya. BAB IV ANALISIS PERBANDINGAN HUKUM PANCUNG DALAM FIQIH DAN HAM A. Substansi Hukum Selama ini, banyak tuduhan terhadap konsep hukuman dalam sistem pidana Islam yang sering kali digambarkan sebagai sesuatu yang kejam, tidak manusiawi dan sadis. Dalam sistem hukum pidana Islam, dikenal hukuman mati bagi pelaku pembunuhan (qishash). Konsep hukum pidana Islam semata-mata hanya dilihat dari satu aspek saja, yaitu kemanusiaan menurut standar dunia modern, tanpa melihat alasan, maksud, tujuan dan keefektifan hukuman-hukuman tersebut.59 Padahal, diperkenankannya menjatuhkan hukuman mati tentunya harus setelah melalui proses dan etika hukum yang sangat ketat. Dalam hukum qishash, hukuman mati diberlakukan bagi orang yang melakukan tindak pidana pembunuhan secara sengaja (pembunuhan terencana), maka ia harus dihukum bunuh (mati) melalui penggunaan metode yang sesuai dengan cara dia membunuh. 60 Hukum Islam ini menuai kritik-kritik Barat yang dilancarkan terhadap hukuman tersebut bukan semata karena mereka tidak suka terhadap konsep hukuman fisik, tetapi lebih disebabkan perasaan moral mereka yang belum terbangun seutuhnya. Adanya kritik juga disebabkan tidak disadarinya alasan keagamaan (spiritual) dari adanya hukuman, yaitu bahwa hukuman bukanlah dijatuhkan secara kejam oleh seseorang kepada orang lain. Akan tetapi, hukuman semata-mata melaksanakan ketentuan-ketentuan yang tercantum 59 60 Mohammed Iqbal Siddiqi, the Penal Law of Islam, (Lahore: Kazi Publication, 1985), h. 30 Abdul Qadir Audah, al-Tasyri’ Al-Jinaiy, h. 113-114. Wahbah Zuhaili, al-Fiqh Al-Islami wa Adillathu, h. 261 52 dalam doktrin agama Islam. Sebab, ketaatan kepada hukum agama bagaimanapun adalah karakter dasar bagi masyarakat muslim yang sesungguhnya. 61 Hak asasi manusia dalam Islam merupakan bagian yang utuh dari seluruh tatanan syari’at Islam yang menjadi kewajiban bagi seluruh masyarakat untuk memperjuangkan, memelihara dan menegakkannya. Konsep hak asasi manusia dalam Islam inheren dalam ajaran-ajaran syari’ah yang telah diturunkan Allah kepada manusia. Di dalam ajaran-ajaran itu terkandung motif-motif kemanusiaan, kebebasan, kesetaraan, kesemestaan, penghormatan dan perlindungan terhadap hak-hak dasar manusia, menghapus penindasan serta ketidakadilan. Pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia dapat dijumpai dalam ketentuan al-Quran dan sunnah sebagai sumber ajaran normatif bagi umat Islam. Al-Quran dan sunnah meletakkan hak asasi manusia sebagai satu tujuan mengikat baik dalam bentuk kewajiban moral maupun dalam sitem hukum yang harus dilaksanakan dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan kata lain Islam telah menjamin hak-hak manusia dengan penuh tanggung jawab sebagai khalifah Allah di muka bumi. Agama Islam memiliki nilai-nilai yang tinggi yaitu universalitas, keadilan, kesetaraan, persatuan dan toleransi. Secara interistik tujuan dari syari’at Islam adalah menjamin tegaknya nilai-nilai kemanusiaan. Sejak awal Islam menciptakan revolusi sosial dan kemanusiaan yang merubah masyarakat jahiliyah menjadi masyarakat madani yang menempatkan manusia sebagai mahluk terhormat dan mulia.62 Hak-hak ini sebelumnya tidak atau belum sepenuhnya diakui secara utuh. Berbicara tentang Hak Asasi Manusia, berarti berbicara tentang hak manusia yang paling dasar dan fundamental. Setiap manusia di muka bumi berhak atas hak ini dan di mana pun 61 62 24 Abdul Jalil Salam, Polemik Hukuman Mati di Indonesia, h. 171 Arddjo Alkostar, Pengadilan HAM, Indonesia dan Peradaban, (Yogyakarta: PUSHAM-UII, 2004), h. tempat mereka tinggal seharusnya Hak Asasi Manusia harus dijunjung tinggi. Walaupun konteks praktis dari Hak Asasi Manusia ini tidak bisa seragam dan sama di setiap negara, tetapi setiap negara setidaknya mempunyai pikiran ideal yang sama mengenai Hak Asas Manusia ini. Manusia sebagai pribadi maupun sebagai rakyat/warga negara, dalam mengembangkan diri, berperan dan memberikan sumbangan dalam kehidupan, ditentukan oleh pandangan hidupnya sesuai dengan kepribadian bangsa. Bagi para pegiat HAM, kehidupan adalah modal paling berharga manusia yang darinya semua kemungkinan lain bersumber. Maka itu, ada kesepakatan mengenai fakta bahwa hak hidup adalah hak asasi manusia yang paling tinggi dan mendasar. Tanpa hak ini, semua hak asasi manusia lain menjadi tidak bermakna. Para sarjana berpendapat bahwa hak hidup adalah jus cogens dalam hukum internasional. Hak ini tidak bisa dikurangi atau disimpangkan (non derogable).63 Khusus di Indonesia, munculnya gugatan terhadap penerapan hukuman mati di Indonesia secara lebih rinci didasarkan atas pemikiran sebagai berikut: Pertama, hukuman mati saat ini tidak mampu memenuhi tuntutan rasa keadilan masyarakat modern kerena menyerahkan keputusan hidup-mati seseorang ke tangan hakim yang tidak luput dari kesalahan. Kedua, hukuman mati tidak selalu efektif sebagai salah satu upaya pencegahan ataumembuat orang jera untuk melakukan kejahatan. Ketiga, atas dasar pertimbangan kemanusiaan, hukuman mati melanggar nilai-nilai HAM yang menutup kesempatan seorang terpidana untuk memperbaiki diri. Dari sini, para aktivis HAM menilai hukuman mati merupakan bentuk peninggalan masa lalu yang harus ditinggalkan. Meski bukan tindakan yang menentang hak hidup secara langsung, 63 Mashood A. Baderin, Hukum Internasional, Hak Asasi Manusia & Hukum Islam, (Jakarta: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, 2007), h. 66-67. namun penerapan hukuman mati sesungguhnya merupakan bentuk tindak pembunuhan yang telah direncanakan atas nama hukum (negara).64 Hukuman mati mungkin akan membuat kejahatan si pelaku terbalaskan, setidaknya bagi keluarga korban, dan akan membuat orang lain takut melakukan kejahatan serupa, namun hal itu jelas tidak akan dapat memperbaiki diri si pelaku, karena kesempatan hidup sudah tidak ada lagi. Sebaliknya, tanpa dihukum mati pun, seorang pelaku kejahatan dapat merasakan pembalasan atas tindakannya dengan bentuk hukuman lain, misalnya dihukum seumur hidup atau penjara.65 Hukuman mati hanya akan dijatuhkan pada kasus tertentu, bukan pada kasus pembunuhan selayaknya hukum qishash dalam fiqih. Di Indonesia, hukuman mati sampai saat ini masih diberlakukan pada kasus-kasus tertentu, seperti pada kasus kejahatan tentang terorisme, dalam undang-undang nomer 15 tahun 2003 tentang tindak pidana terorisme pasal 6 menyatakan “Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun”. Namun, hukuman mati yang ada di Indonesia bukanlah merupakan hukuman qishash seperti yang ada dalam fiqih, di mana hukuman mati yang ada di Indonesia hanya akan diterapkan pada kasus-kasus tertentu bukan pada kasus pembunuhan yang disengaja pada perseorangang saja. Dalam hal ini, Indonesia memang masih menggunakan hukuman mati pada 64 Barda Nawawi Arief, Kebijakan dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara, (Semarang: CV Ananta, 1994), h. 18. 65 J.E. Sahetapy, Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana Mati, h. 216-217. kasus kejahatan terorisme, meski ada sebagian orang yang mengutuk hukuman mati dan ada pula yang mendukung hukuman mati, dengan catatan hukuman tersebut hanya berlaku pada kasuskasus tertentu seperti kejahatan tentang terorisme. B. Tujuan Penghukuman atau Pemidanaan Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa nilai-nilai hak asasi manusia telah tertanam sejak Rasulullah SAW mencetuskan piagam Madinah, di mana hak-hak asasi kaum non-muslim dijamin kelangsungannya. Dan bila ditelaah lebih lanjut, tujuan penghukuman ataupun pemidanaan atas perbuatan membunuh menurut fiqih yaitu adanya hukuman dalam Islam merupakan realisasi dari tujuan hukum Islam, sebagai pembalasan atas perbuatan jahat, pencegahan secara umum dan pencegahan secara khusus, serta perlindungan terhadap hak-hak si korban. Pemidanaan (penghukuman) dimaksudkan untuk mendatangkan kemaslahatan umat dan mencegah kezaliman atau kemudharatan. 66 Sementara menurut Abu Zahrah, hukuman dimaksudkan untuk menciptakan ketentraman individu dan masyarakat serta mencegah perbuatan-perbuatan yang bisa menimbulkan kerugian terhadap anggota masyarakat, baik berkenaan dengan jiwa, harta, maupun kehormatan. Hukuman yang ditegakkan dalam syariat Islam mempunyai dua aspek, represifpreventive (pencegahan) dan represif-educatif (pendidikan). Dengan diterapkan kedua aspek tersebut akan dihasilkan satu aspek kemaslahatan (utility), yaitu terbentuknya moral baik, dan menjadikan masyarakat aman, tentram, damai dan penuh keadilan, karena moral yang dilandasi agama akan membawa perilaku manusia sesuai dengan tuntunan agama.67 66 67 Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 188 Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam, h. 38 Sedangkan tujuan penghukuman menurut HAM dalam kasus pembunuhan adalah: berorientasi kepada suatu pembalasan yang ditunjukkan pada elemen kejahatan yang tercela dari si pelaku. 68 Untuk mengamankan dan menenteramkan masyarakat dengan jalan prevensi umum, di samping untuk mencegah terulangnya kejahatan.69 Hukuman dijatuhkan agar orang lain (masyarakat) takut untuk melakukan kejahatan serupa. untuk memperbaiki perilaku si pelaku kejahatan agar kembali normal layaknya masyarakat yang baik. Hukuman digunakan untuk mengembalikan kekuatan nalar manusia agar bisa mengontrol tindakannya dalam kehidupan bermasyarakat.70 Memelihara ketertiban masyarakat dan memelihara tata tertib hukum. Maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada benturan yang signifikan antara fiqih dengan hak asasi manusia. Yang ada hanya keegoisan masing-masing pihak yang terlibat dalam dinamika hukum internasional dan Indonesia menjadi bagiannya. Bahwa ada sejumlah perbedaan memang tidak dapat diingkari. Namun, yang menjadi masalah adalah bahwa perdebatan itu kemudian diliputi semangat saling membela diri dan bukan semangat untuk menghasilkan sebuah titik temu atas berbagai perbedaan yang ada. Semangat ini kemudian menghilangkan kemauan untuk meneliti secara cermat tentang hukum asasi manusia dengan hukum Islam, khususnya terkait dengan hukum pancung. Hal ini diperburuk oleh keadaan bahwa argumen yang muncul didasarkan lebih pada asumsi-asumsi dan praduga dan bukan didasarkan pada sebuah kajian yang bersifat obyektif. Apabila ada rujukan, hal itu dibuat dengan mendasarkan pada praktik-praktik dibanyak negara-negara Islam, misalnya saja, bagaimana hukuman pancung diterapkan di Arab Saudi yang sampai sekarang negara itu belum 68 Banding Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, Cet. ke-2, h.22-23 Lili Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat Hukum, h. 90 70 Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam: Penegakkan Syariah dalam Wacana dan Agenda, h. 51 69 mengakui adanya universalisme hak asasi manusia. Kita tahu, bahwa praktik-praktik itu lebih didasarkan pada penafsiran-penafsiran secara harfiah dan bukan hukum itu sendiri. Seperti yang telah dijelaskan dalam beberapa bab sebelumnya, bahwa hukuman pancung masih dibenarkan ketika berbicara tentang fiqih. Namun, tidak serta merta hukuman pancung itu dilaksanakan. Ada beberapa fase sebelum dilakukannya hukuman pancung terhadap terpidana. Hukum pancung dilaksanakan karena memang hukum pancunglah yang dianggap sebagai hukuman mati/qishash yang paling manusiawi. Sebab, hukuman pancung meminimalisir rasa sakit yang diderita oleh terpidana sebelum ajalnya. Berbeda dengan pegiat HAM secara umum, yang melihat bahwa hukuman pancung adalah hukuman peninggalan masa jahiliyah yang dianggap kuno, tidak manusiawi dan barbar. Bahkan bagi para pegiat HAM, sampai sekarang hukuman mati dianggap tidak lagi relevan dengan pranata sosial kekinian. Adanya ancaman hukuman mati dalam Islam, menurut Barda Nawawi Arief, pada hakikatnya bukanlah sarana utama untuk mengatur, menertibkan, atau melindungi masyarakat, tetapi lebih merupakan jalan hukum terakhir, seperti halnya amputasi dalam kedokteran yang sebenarnya bukan obat utama, tetapi sebuah pengecualian sebagai sarana pengobatan terakhir.71 Dengan demikian, ada kriteria-kriteria tertentu yang diatur dalam hukum Islam yang memungkinkan suatu tindak kejahatan tersebut dapat dijatuhi hukuman mati. Tentu saja hal ini yang tidak terlihat oleh perspektif hukum asasi manusia. Meskipun terdapat undang-undang yang mengatur tentang hukuman mati dalam kasus tindak pidana terorisme dalam sistem hukum positifnya,72 bahkan mencantumkannya dalam banyak undang-undang. Hanya saja, sebagai negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai HAM, negara Indonesia memberlakukan hukuman 71 Dengan kata lain, muncul semacam budaya masyarakat modern yang memandang hubungan seksual, yang dilakukan atas dasar suka sama suka, sebagai hal normal dan hak setiap individu yang tidak dapat dipertentangkan dengan hukum. Lihat Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya, 1996), h. 99. 72 J.E. Sahetapy, Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana Mati, h. 75 mati secara khusus, hati-hati, dan selektif. 73 Penerapan hukuman mati ini secara filosofis diakui dan diakomodasi oleh konsep negara hukum Pancasila, meski nantinya bisa saja hukuman mati bersifat esepsional ataupun pidana bersyarat. Dalam hal ini, penetapan hukuman mati dalam beberapa UU di Indonesia pada dasarnya telah melalui pembahasan di lembaga legislatif, yang notabene adalah para wakil rakyat, sebagai representasi dari seluruh rakyat Indonesia. Jika hukuman mati tetap dipertahankan, maka itulah pilihan bangsa Indonesia yang harus dihormati dan dipatuhi. Jika hukuman mati itu tidak disetujui lagi, maka rakyatlah yang harus menghapusnya, bukan para ahli, apalagi pihak (negara) lain. Menurut Van Bemmelen, mengutip pendapat J.J. Rousseau, pada dasarnya hukum secara menyeluruh bersandar pada suatu perjanjian masyarakat yang di dalamnya dinyatakan kehendak bersama. Jika terdapat tingkah laku yang menurut kehendak bersama tersebut harus dipidana, maka hal itu sejak awal harus diuraikan atau ditulis dalam undang-undang. Penguraian yang rinci dimaksudkan untuk menghindari pelanggaran kebebasan individu, sebab dalam perjanjian masyarakat, setiap orang hanya bersedia melepaskan sebagian kecil kebebasannya ke dalam wadah bersama itu.74 Begitu pula dengan hukuman mati. Sekiranya hukuman mati tersebut masih layak diberlakukan dan diterima oleh kehendak bersama, maka hukuman tersebut harus dituangkan dalam bentuk hukum tertulis (undang-undang). Dengan demikian, perdebatan hukuman mati dalam konteks demokrasi hendaknya lebih ditempatkan sebagai komoditas politik hukum ketimbang persoalan "ideologis-keagamaan" 73 Menurut Mardjono Reksodiputro, hukuman mati di Indonesia saat ini masih diperlukan tapi bukan pada pidana pokoknya. “Ia harus menjadi pidana khusus yang diterapkan secara hati-hati, selektif dikhusus pada kasus-kasus berbahaya dan harus ditetapkan bulat oleh majlis hakim”. Lihat Todung Mulya Lubis dan Alexander Lay, Kontroversi Hukuman Mati; Perbedaan Pendapat Hakim Konstitusi, (Jakarta: Gramedia Kompas, 2007), h. 335. 74 J.M. van Bemmelen, Hukum Pidana I; Hukum Pidana Material Bagian Umum, (Bandung: Binacipta, 1987), Edisi Indonesia, h. 50. tertentu (Islam). Munculnya dukungan kuat dari kalangan masyarakat terhadap eksistensi penerapan hukuman mati di Indonesia harus ditempatkan dalam konteks demokrasi, bukan dalam kerangka perjuangan ideologis. Artinya, hukuman mati yang berlaku di Indonesia sekarang ini adalah hasil dari proses-proses politik hukum dan demokrasi modern. C. Tata Cara Penghukuman Hukum Islam telah membimbing dan mengarahkan tatacara ataupun etika dalam melaksanakan hukuman mati terhadap pelaku kejahatan yang diancam hukuman mati, yaitu: Menghukum mati dengan cara yang paling baik, eksekusi yang tidak menimbulkan rasa sakit yang berlebihan, agar si terhukum segera meninggal, misalnya dengan pedang yang sangat tajam. Hal ini didasarkan pada hadis: dari Syadad bin Aus bahwasannya Rasulullah Saw bersabda, “Apabila kalian membunuh, maka baguskanlah cara membunuhnya dan apabila kalian menyembelih, maka yang baiklah cara menyembelihnya”. 75 Bagian yang dipenggal adalah leher atau tengkuk bagian belakang kepala. Hal ini didasarkan pada hadis yang meriwayatkan tentang beberapa orang sahabat Rasulullah Saw, apabila mereka mengetahui ada seseorang yang hendak dihukum mati, maka mereka saling berkata, “Ya Rasulullah, biarkanlah aku saja yang memenggal lehernya”. Apabila si terhukum sedang hamil, eksekusinya ditunda hingga ia melahirkan dan menyusui bayinya maksimal sampai dua tahun setelah melahirkan. Hal ini juga didasarkan pada hadis Rasulullah saw. 76 Eksekusi mati tidak boleh dilakukan dengan cara-cara yang tidak manusiawi dan merendahkan martabat, seperti dengan mencincangnya atau membakarnya. Hal ini didasarkan 75 Hadis tersebut diriwayatkan oleh al-Turmudzi dan Al-Thabrani. Lihat Muhammad Nashiruddin alAlbani, Sunan al-Turmudzi, (t.t.p: al-Maktabah al-Islami, 1998), Jilid I-III 76 Hadis diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dalam kitab shaheh mereka hadis Rasulullah saw, “Janganlah kalian menyiksa dengan azab Allah. Dari Abdullah bin Yazid al-Anshari, ia berkata, “Rasulullah saw melarang kita merampas dan mencincang”.77 Eksekusi mati tidak boleh dilakukan jika si korban dalam keadaan sakit atau belum sembuh dari luka yang ditimbulkannya. Dimaksudkan untuk memberikan kesempatan bagi si korban apakah memaafkan si pelaku atau tidak. Hal ini didasarkan pada hadis yang diriwayatkan oleh Jabir, ia berkata, “Sesungguhnya ada seorang laki-laki dicederai (dilukai), kemudian ia minta diqishashkan, maka Nabi saw melarang atau menunda qishash tersebut hingga orang yang dianiaya itu sembuh dari lukanya”. Pelaku pembunuhan boleh dibunuh dengan “alat apapun” yang mempermudah proses eksekusi. Menurut mazhab Maliki dan mazhab Syafi’i, hukuman mati hendaknya dilakukan dengan menggunakan pedang, atau dipenggal dengan alat yang sangat tajam, atau digantung dengan tali, atau dengan cara yang lain. Tidak disyaratkan kecuali satu saja, yaitu ihsan al-qathli (eksekusi yang paling baik), yakni yang mempermudah kematian. 78 Berbeda halnya dengan tatacara penghukuman yang sedikit dikemukakan oleh pakar yang telah mengemukakan wacananya untuk menghapus penerapan pidana mati di Indonesia. Sebagian besar pakar tersebut mendasari argumentasinya dari perpektif kemanusiaan (HAM) hingga perspektif hukum (positif) yang mengandung kerancuan di beberapa pasal. Perdebatan hukum terhadap absah tidaknya pidana mati berangkat dari peraturanperaturan di atas, yang pada satu sisi masih mengakui pidana mati dan sisi lain mengakui hak hidup. Bagi pihak yang menolak pidana mati, berpendapat bahwa pidana mati secara hukum adalah inkonstitusional, karena bertentangan dengan konstitusi. 77 Hadis diriwayatkan oleh al-Bukhari, Ahmad, dan Ibnu Abi Syaibah. Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, (Beirut: Dar al-Fikr, 1981). 78 Ibnu Rusydi, Bidayah al-Mujtahid, h. 303 Banding Rusjdi Ali Muhammad, Revitalisasi Syari’at Islam di Aceh: Problem, Solusi dan Implementasi, h. 350-352 Pihak-pihak yang kurang menyetujui penerapan hukuman mati, kemudian merekomendasikan apa yang disebut sebagai conditional capital punisment menjadi alternatif apabila negara masih memberlakukan hukuman mati. Karena itu hukuman mati bisa dilakukan dengan syarat-syarat tertentu. Sehingga hukuman mati diterapkan sebagai upaya terakhir untuk mengayomi masyarakat. Di samping itu rekomendasi juga diarahkan agar pemerintah bersikap tegas. Sementara itu pasal 28I ayat (1) UUD ‘45 (Amandemen Kedua) menyatakan bahwa hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan umum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Namun tidak dapat dipungkiri, bahwa terdapat undang-undang yang mengatur tentang hukuman mati, yaitu undang-undang tentang pidana terorisme dalam pasal 6, di mana dalam undang-undang terorisme tersebut telah diketahui hukuman maksimalnya adalah hukuman mati dengan cara ditembak, seperti yang terjadi pada kasus bom Bali yang dilakukan oleh Amrozi, atau hukuman 20 tahun penjara dan hukuman minimal 4 (empat) tahun penjara. BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Dalam perspektif fiqih, hukuman pancung boleh dilaksanakan, sebab hukuman pancung merupakan suatu balasan terhadap seseorang yang telah melakukan tindak pidana pembunuhan yang disengaja. Hukuman pancung merupakan balasan yang setimpal bagi orang yang melakukan pembunuhan, yaitu nyawa dibalas dengan nyawa. Di dalam Al-Quran, hukuman yang setimpal ini dinamakan dengan qishash yang terdapat dalam surah Al-Maidah ayat 45. Hukuman pancung bukan semata-mata dilakukan berdasarkan balasan yang setimpal. Sebab dalam hukuman pancung atau qishash memiliki tujuan dari adanya hukuman dalam Islam yang merupakan realisasi dari tujuan hukum Islam, sebagai pembalasan atas perbuatan jahat, pencegahan secara umum dan pencegahan secara khusus, serta perlindungan terhadap hak-hak si korban. Pemidanaan (penghukuman) dimaksudkan untuk mendatangkan kemaslahatan umat dan mencegah kezaliman atau kemudharatan. Pandangan antara fiqih dan HAM mengenai hukuman pancung sedikit berbeda. Ini terlihat dari pihak-pihak yang kurang menyetujui penerapan hukuman pancung, dengan dalih bahwa hukuman pancung telah melanggar hak asasi manusia untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk dapat hidup layak, kemudian pihak yang tidak menyetujui hukuman mati merekomendasikan apa yang disebut sebagai conditional capital punisment menjadi alternatif apabila negara masih memberlakukan hukuman mati. Di samping itu, tidak bisa dipungkiri bahwa Indonesia masih menerapkan hukuman mati pada kasus pidana terorisme, hanya saja penerapan hukuman mati di Indonesia berbeda dengan fiqih, di mana hukuman mati di Indonesia hanya pada kasus-kasus tertentu dengan cara ditembak, sedangkan dalam fiqih, hukuman mati diterapkan pada kasus pembunuhan disengaja yang dinamakan dengan hukum qishash yaitu dengan cara di pancung. B. Saran-saran Sebelum menjatuhkan hukuman, hendaklah melihat aspek maslahat dari saran di bawah ini: 1. Diharapkan agar pemerintah meninjau ulang kembali undang-undang yang berkaitan dengan hukuman mati ataupun undang-undang yang menjamin hak hidup bagi setiap warganya, agar tidak terjadinya tumpang tindih antara undang-undang yang satu dengan undang-undang yang lainnya, hingga dapat disesuaikan dengan hierarki perundang-undangan yang ada. 2. Diharapkan agar UIN Syarif Hidatullah Jakarta lebih baik lagi dalam aspek pelayanan terhadap mahasiswa/i yang sedang menuntut ilmu, baik pelayanan dalam belajar – mengajar, maupun pelayanan dalam hal administrasi dan transparansi. DAFTAR PUSTAKA Al-Quran dan Terjemahnya, Departemen Agama, Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci AlQuran, 1984 Undang-Undang Dasar 1945, Jakarta: Sekertariat Jendral dan Kepaniteraan MK, 2010 Undang-Undang HAM No. 23 Tahun 1999, Jakarta: Sinar Grafika, 2009 Anton M. Moeliono, et. al., Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka 1989 Zuhaili, Wahbah. Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, Juz VI, Damaskus: Dar Al-Fikr, 1989 Syaltut, Mahmud. Al-Islam ‘Aqidah wa Syari’ah, Beirut: Dar Al-Qalam, 1966 Muslich, Ahmad Wardi. Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2005 Media Umat, Edisi 62,6-19 Sya’ban 1432 H/8-12 Juli 2011 Munawwir, Ahmad Warson. al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, Yogykarta: Pondok Pesantren Al-Munawwir, 1984 Sahabuddin, Ensiklopedia al-Qur’an; Kajian Kosakata, Jakarta: Lentera Hati, 2007 Imam Taqy al-Din Abi Bakr bin Muhammad al-Husaini al-Damasyqy al-Syafi’i, Kifayah alAkhyar fi Halli Ghayah al-Ikhtishar, Semarang: Maktabah Usaha Keluarga Badudu dan Sutan Mohammad Zain, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994 71 http://mediaanakindonesia.wordpress.com/2011/06/24/kisah-dan-sejarah-hukuman-pancung-didunia/ Ali, Zainuddin. Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2009 Zuhaili , Wahbah. al-Fiqh Al-Islami wa Adillathu,Dar-AlFikr: Damaskus, 1989 Amin Suma, Muhammad. Seminar: Hukum Pidana Islam: Visi, Misi dan Filosofinya dalam Perspektif Quran dan Sunnah, Jakarta, 23-24 Juni 1999 Hasyim Kamali, Mohammad. Skripsi Mengenai Hukuman Dalam Undang-undang Islam: Suatu Penelitian Terhadap Hukum Hudud Kelantan dan Terengganu, Fakultas Syari’ah dan Hukum, 2009 Salam, Abdul Jalil. Polemik Hukuman Mati di Indonesia, Jakarta, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2010 Santoso , Topo. Membumikan Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1975 Sastrawidjaja, Sofjan. Hukum Pidana; Asas Hukum Pidana Sampai Dengan Alasan Peniadaan Pidana, Bandung: Amrico, 1995 Madjrie, Abdurrahman. Qishash:Pembalasan yang Hak, Jakarta: Khairul Bayan, 2003 Albani, Al, Muhammad Nashiruddin. Sunan al-Turmudzi, t.t.p: al-Maktabah al-Islami, 1998 Hadis riwayat al-Bukhari, Ahmad, dan Ibnu Abi Syaibah. Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, Beirut: Dar al-Fikr, 1981 Putusan MK Nomor 21/PUU-VI/2008 tentang Pengujian Undang-undang tentang tatacara Pelaksanaan Eksekusi Mati Kusnardi, Muhammad dan Harmaily Ibrahim. Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: PSHTN-FHUI, 2009 Suwandi, Mr. Hak-hak Dasar Dalam Konstitusi, Konstitusi Demokrasi Moderen, Djakarta: Pembangunan, 1957 Yamin, Muhammad. Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia, Djakarta: Djambatan, 1959 A. Appadorai, the Subtance of Politics, Oxford University Press: Oxford India Paperbacks, 2005 Asshidiqie, Jimly. Pengantar Ilmu Hukum Tatanegara, Jakarta: Rajawali Pers, 2009 Kansil, C.S.T. Hukum Tata Negara Republik Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta, 2003 MD, Mahfud. Dasar & Struktur Ketatangeraan Indonesia, Cet. Kedua, Jakarta: Rineka Cipta, 2001 Mashood A. Baderin, Hukum Internasional, Hak Asasi Manusia & Hukum Islam, Jakarta: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, 2007 Arief, Barda Nawawi. Kebijakan dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara, Semarang: CV Ananta, 1994 Tim Imparsial, “Jalan Panjang Menghapus Praktek Hukuman Mati; Sebuah Studi Kebijakan di Indonesia", Laporan Hasil Penelitian, 24 Juni 2004 Siddiqi, Mohammed Iqbal. the Penal Law of Islam, Lahore: Kazi Publication, 1985 Sihab, Alwi. Membedah Islam di Barat: Menepis Tudingan, Meluruskan Kesalahfahaman, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004 Salam, Abdul Jalil. Polemik Hukuman Mati di Indonesia, Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2010 Zahra, Muhammad Abu. Ushul Fiqh, Beirut: Dar al-Fikr al-Arabi, t.th. Toto Tohir, H.M. Abdurrahman, Negara, Demokrasi, dan Hak Asasi Manusia dalam Tataran Islam dan Hukum Positif, Bandung: Pusat Penerbitan Universitas-LPPM, 1999 Yazid, Abu, Zainal Abidin Amir dan Fuad Mustafid: Islam Akomodatif: Rekonstruksi Pemahaman Islam Sebagai Agama Universal, 2004 Zainun Kamal, Komaruddin Hidayat, Ahmad Gaus A.F., Munawir Sjadzali, Islam Negara dan Civil Society: Gerakan dan Pemikiran Islam Kontemporer, Jakarta: Paramadina University Press, 2005 Alkostar, Arddjo. Pengadilan HAM, Indonesia dan Peradaban, Yogyakarta: PUSHAM-UII, 2004 T.W.Arnold, the Preaching of Islam, Pakistan: Ashraf Printing Press, 1979 Sukarja, Ahmad. Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945 John L.Esposito (ed), Ensiklopedi Oxford: Dunia Islam Modern, Bandung: Mizan, 2004 Sopa, Hak-hak Kemanusiaan dalam Tinjauan Fiqih, dalam Koordinat, Jurnal Komunikasi Antar Perguruan Tinggi Islam Kopertasi Wilayah I DKI Jakarta, Volume 2, no.1 tahun 2001 Waluyo, Bambang. Pidana dan Pemidanaan, Jakarta, Sinar Grafika, 2004 Arief, Barda Nawawi. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya, 1996 Todung Mulya Lubis dan Alexander Lay, Kontroversi Hukuman Mati; Perbedaan Pendapat Hakim Konstitusi, Jakarta: Gramedia Kompas, 2007 J.M. van Bemmelen, Hukum Pidana I; Hukum Pidana Material Bagian Umum, Bandung: Binacipta, 1987