DM - ETD UGM

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Diabetes mellitus (DM) merupakan penyakit degeneratif yang menduduki
peringkat ke-4 berdasarkan prioritas penelitian nasional. Terdapat empat
kelompok besar penyakit yang frekuensi dan risiko kejadiannya cukup besar di
rumah sakit diantaranya DM, hipertensi, gagal ginjal dan penyakit jantung.
Sampai saat ini DM termasuk suatu penyakit yang masih belum dapat
disembuhkan, tetapi sudah dapat dikendalikan agar tidak terjadi komplikasi
dengan dilakukan perawatan kontinyu selama hidupnya (Tjokroprawiro, 2003).
Diabetes menurut World Health Organization (WHO) merupakan kelainan
metabolik yang ditandai dengan hiperglikemia dan ketidaknormalan metabolisme
karbohidrat, lemak dan protein. Hal ini disebabkan oleh adanya kekurangan
sekresi insulin, kurangnya sensitivitas insulin atau keduanya (Craig et al., 2009).
Menurut American Diabetes Association (ADA), DM termasuk penyakit kronik
yang membutuhkan pengobatan secara berkelanjutan. Selain itu perlu edukasi
terus menerus tentang manajemen diri dan tindakan untuk mencegah munculnya
komplikasi akut serta mengurangi risiko komplikasi jangka panjang. Diabetes
sering kali dikaitkan dengan meningkatnya risiko morbiditas dan mortalitas.
Insidensi dan prevalensi DM semakin meningkat setiap tahunnya dan
diperkirakan pada tahun 2030 prevalensi DM di seluruh dunia akan meningkat
menjadi dua kali lipat. Prediksi dari WHO menyebutkan bahwa akan ada kenaikan
1
2
penderita DM di Indonesia dari 8,4 juta penderita pada tahun 2000 menjadi sekitar
21,3 juta penderita pada tahun 2030. Hal ini akan menjadikan Indonesia
menduduki rangking ke-4 dunia setelah Amerika Serikat, Cina, dan India dalam
prevalensi diabetes (Wild et al., 2004).
Diabetes tipe 2 memiliki angka kejadian yang lebih tinggi daripada DM tipe
lainnya yaitu 90% dari seluruh kasus. Jumlah pasien DM tipe 2 semakin
meningkat seiring dengan perubahan pola hidup, makanan yang dikonsumsi, dan
kegiatan jasmani (Triplitt et al., 2008). Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun
2007 menunjukkan bahwa secara nasional prevalensi DM berdasarkan diagnosis
dan gejala adalah 1,1%. Sedangkan prevalensi nasional DM berdasarkan hasil
pengukuran gula darah pada penduduk umur >15 tahun yang bertempat tinggal di
perkotaan adalah 5,7%.
Faktor risiko DM sangat erat kaitannya dengan perilaku tidak sehat yaitu
diet yang tidak sehat dan tidak seimbang, kurangnya aktifitas fisik, merokok,
obesitas, hipertensi, hiperkolesterol, dan konsumsi alkohol. Pengendalian DM
dilakukan melalui pencegahan dan penanggulangan faktor risiko tersebut
(Rodbard et al., 2007). Tujuan akhir penatalaksanaan DM adalah menurunkan
morbiditas dan mortalitas, dengan menjaga target kadar gula dalam darah berada
dalam kisaran normal serta mencegah atau meminimalkan kemungkinan
terjadinya komplikasi DM (Bennett et al., 2011). Komplikasi DM dapat dikurangi
dengan mempertahankan kadar gula darah pada rentang target terapi. Tetapi tidak
semua pasien DM dapat mengontrol kadar gula darah pada rentang target terapi,
hanya 38,5% pasien DM yang terkontrol gula darahnya (Gina et al., 2007).
3
Terdapat empat pilar utama pengelolaan DM yaitu edukasi, terapi gizi medis,
latihan jasmani, dan intervensi farmakologis. Farmasis memiliki peranan penting
dalam edukasi pasien DM meliputi edukasi mengenai penyakit DM secara garis
besar, komplikasi serta manajemennya, edukasi mengenai tujuan terapi DM dan
terapi gizi medis (Raguci et al., 2005).
Mengingat begitu tingginya angka kejadian dan pentingnya penanganan
DM, perlu dilakukan terapi baik farmakologi maupun non farmakologi secara
rasional. Kondisi ini memicu timbulnya banyak penelitian mengenai DM, baik
pengobatan maupun DM itu sendiri. Untuk dapat mencapai pengobatan yang
rasional perlu dilakukan identifikasi pola penyakit maupun pola penggunaan obat
di suatu lokasi. Hasil identifikasi tersebut dibandingkan dengan standar tertentu
kemudian dilihat kesesuaiannya.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pola penggunaan obat
antidiabetika di RSU Queen Latifa Yogyakarta pada tahun 2012. Kemudian
dievaluasi dalam hal tepat indikasi, tepat pasien, dan respon terapi pasien terhadap
penggunaan antidiabetika dilihat dari capaian kadar gula darah sewaktu (GDS)
pasien. Periode penelitian yang digunakan selama satu tahun dan tidak terbatas
pada kelas perawatan tertentu (semua pasien yang didiagnosis dokter menderita
DM). Rumah Sakit Umum Queen Latifa merupakan rumah sakit tipe C yang
terletak di jalan Ringroad Barat Mlangi Nogotirto Gamping Sleman Yogyakarta.
Awalnya, rumah sakit ini berdiri sebagai rumah sakit ibu dan anak. Seiring
berjalannya waktu, semakin banyak warga yang memeriksakan diri ke rumah
sakit tersebut. Hal ini mendorong Queen Latifa berkembang menjadi rumah sakit
4
umum pada tahun 2010. Penelitian mengenai pola dan evaluasi pengobatan DM
sudah banyak dilakukan baik di dalam maupun di luar negeri. Pada umumnya
lokasi penelitian yang digunakan adalah rumah sakit besar atau puskesmas dengan
asumsi pasien yang datang berobat cukup banyak sehingga data yang didapat bisa
mewakili populasi pada umumnya. Namun penelitian ini dilakukan di RSU Queen
Latifa yang belum lama diresmikan menjadi rumah sakit umum. Peneliti
berasumsi bahwa belum banyak penelitian yang dilakukan di rumah sakit tersebut.
Kemungkinan ditemukannya hal atau informasi baru dalam terapi DM sangatlah
besar. Hal ini mendorong peneliti untuk memilih RSU Queen Latifa Yogyakarta
menjadi lokasi penelitian.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, dapat dirumuskan :
1.
Bagaimana pola penggunaan obat antidiabetika pada pasien DM di instalasi
rawat inap RSU Queen Latifa Yogyakarta periode Januari-Desember 2012?
2.
Bagaimana ketepatan dan respon terapi penggunaan obat antidiabetika pada
pasien DM di instalasi rawat inap RSU Queen Latifa Yogyakarta periode
Januari–Desember 2012?
C. Tujuan Penelitian
1.
Mengetahui pola penggunaan obat antidiabetika pada pasien DM di instalasi
rawat inap RSU Queen Latifa Yogyakarta periode Januari–Desember 2012.
5
2.
Mengetahui ketepatan penggunaan obat antidiabetika meliputi tepat indikasi,
tepat pasien, dan mengetahui respon terapi penggunaan obat antidiabetika
dilihat dari kadar gula darah sewaktu pasien.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan memberikan pengetahuan dan bermanfaat baik secara
teoritis maupun praktis, meliputi :
1.
Sebagai penyedia informasi atau data tambahan mengenai pola pengobatan
DM.
2.
Sebagai bahan acuan bagi rumah sakit untuk menyusun standar terapi dan
peningkatan mutu pelayanan medis.
3.
Sebagai bahan evaluasi terhadap pemberian obat antidiabetika pada pasien
DM di instalasi rawat inap RSU Queen Latifa Yogyakarta.
4.
Dapat digunakan sebagai bahan pembanding dan pelengkap bagi penelitian
selanjutnya.
5.
Dapat memberikan pengalaman besar bagi peneliti yang bermanfaat bagi
perkembangan profesionalisme yang akan ditempuh.
E. Tinjauan Pustaka
1. Definisi Diabetes Mellitus
Menurut World Health Organization (WHO), DM merupakan kelainan
metabolik yang memiliki karakter hiperglikemia kronik sebagai akibat dari
penurunan sekresi insulin, penurunan aksi insulin, atau keduanya (Craig et
6
al., 2009). Gangguan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein yang
terjadi pada penderita DM diakibatkan oleh penurunan aksi insulin pada
jaringan target (Craig et al., 2009).
2. Epidemiologi DM
Prevalensi terjadinya DM di dunia diperkirakan mencapai 250 juta jiwa
dan jumlah tersebut dapat meningkat mencapai 380 juta jiwa pada tahun
2025. Peningkatan tersebut terjadi di berbagai belahan dunia. Pada tahun
2007 di Asia, prevalensi terjadinya DM diperkirakan mencapai 110 juta jiwa.
Namun angka tersebut masih meningkat karena jumlah penderita DM di Cina
sendiri mencapai 92,4 juta jiwa (Chan et al., 2009; Yang et al., 2010).
Komplikasi mikrovaskular (terutama retinopati, neuropati, dan nefropati)
serta makrovaskular (terutama stroke dan penyakit jantung koroner) serta
kondisi akut seperti hipoglikemia dan ketoasidosis, menempatkan DM pada
peringkat keempat penyebab umum kematian di dunia. Sebanyak 3,8 juta
jiwa penduduk dunia meninggal akibat DM di tahun 2007 (Sacks et al.,
2011).
Pada tahun 2000,
WHO
menyatakan bahwa dari data statistik
kematian di dunia, 3,2 juta jiwa kematian terjadi setiap tahunnya akibat DM.
Selanjutnya, pada tahun 2003 WHO memperkirakan 194 juta jiwa (5,1%) dari
3,8 miliar penduduk dunia yang berusia 20-79 tahun menderita DM dan pada
2025 akan meningkat menjadi 333 juta jiwa. WHO memprediksi
ada
kenaikan dari 8,4 juta penderita pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta
penderita pada tahun 2030 di Indonesia. Hal ini akan menjadikan Indonesia
7
menduduki rangking ke-4 dunia setelah Amerika Serikat, Cina, dan India
dalam prevalensi diabetes (Wild et al., 2004).
3. Tanda dan gejala klinik DM
Diabetes sering kali muncul tanpa gejala, namun ada beberapa gejala
yang harus diwaspadai sebagai tanda dan gejala kemungkinan diabetes.
Gejala yang sering muncul pada penderita DM menurut American Diabetes
Association (ADA) yaitu sering buang air kecil (poliuria), sering haus
(polidipsia), cepat merasa lapar (poliphagia), penurunan berat badan yang
tidak biasa, penglihatan kabur, badan terasa lemah, dan iritabilitas.
International Diabetes Federation
(IDF) juga menyebutkan gejala yang
sama pada penderita DM (kecuali iritabilitas), ditambah penyembuhan luka
yang lambat/lama dan terjadinya infeksi berulang. Walaupun gejala-gejala
tersebut dapat terlihat pada penderita DM tipe 1, namun munculnya salah 1
atau beberapa gejala belum tentu dapat digunakan untuk diagnosis awal DM
tipe 2. Pada umumnya, pasien DM tipe 2 tidak menyadari bahwa pasien
tersebut terkena DM sampai komplikasi DM muncul (Clark et al., 2007).
4. Klasifikasi DM
Menurut ADA, klasifikasi DM dibagi menjadi empat kelas berdasar
etiologinya:
a. Diabetes tipe 1 atau disebut juga Insulin-Dependent Diabetes Mellitus
(IDDM), yaitu diabetes yang ditandai dengan kenaikan kadar gula darah
yang diakibatkan oleh defisiensi insulin secara absolut karena kerusakan
sel β-pankreas (Sacks et al., 2011). Kerusakan pankreas dapat
8
disebabkan oleh autoimun (immune-diabetes mediated) dan idiopatik.
Kasus yang terjadi hanya sekitar 5% sampai 10% kasus (Rodbard et al.,
2007). DM tipe 1 lebih sering terjadi pada anak-anak dan orang dewasa
yang berusia kurang dari 30 tahun, tetapi dapat juga terjadi pada berbagai
usia (Shargel et al., 2001).
b. Diabetes tipe 2 atau disebut juga Non-Insulin-Dependent Diabetes
Mellitus (NIDDM), yaitu diabetes yang ditandai dengan kenaikan kadar
gula darah akibat penurunan sekresi insulin dan/atau fungsi insulin yang
menyebabkan terjadinya resistensi insulin (Sacks et al., 2011). Sekitar
90% sampai 95% terjadi dari semua kasus diabetes (Rodbard et al.,
2007). Umumnya DM tipe 2 terjadi pada usia diatas 30 tahun.
Penyebabnya lebih karena gaya hidup penderita (kelebihan kalori,
kurangnya olahraga, dan obesitas) dibandingkan pengaruh genetik. Kadar
insulin endogen pada DM tipe 2 dapat normal, meningkat, menurun, dan
kebutuhan akan insulin eksogen bervariasi (Shargel et al., 2001).
c. Diabetes spesifik, berdasarkan penyebab lain atau diabetes sekunder,
contoh kelainan genetik yang menyebabkan penurunan fungsi sel βpankreas, menurunkan aksi insulin, penyakit eksokrin pankreas (cystic
fibrosis), dan obat atau bahan kimia, infeksi, sebab imunologi yang
jarang, sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM (Rodbard et al.,
2007).
d. Diabetes Gestasional (Gestational Diabetes Mellitus/GDM) yaitu
penyakit gangguan metabolik yang ditandai dengan kenaikan kadar gula
9
darah yang didiagnosis saat kehamilan, biasanya terjadi pada usia
kehamilan 24 minggu dan setelah melahirkan kadar gula darah kembali
normal (Rodbard et al., 2007). Prevalensi terjadinya GDM sekitar 7%
dari 5%-15% kehamilan (Sacks et al., 2011).
5. Etiologi dan patofisiologi DM
a. Diabetes Mellitus Tipe 1
Pada pulau langerhans kelenjar pankreas terdapat beberapa tipe sel,
yaitu sel α yang memproduksi glukagon, sel β yang memproduksi
insulin, dan sel γ yang memproduksi hormon somatostatin. Serangan
autoimun secara langsung pada kelenjar pankreas terutama pulau
langerhans mengakibatkan defisiensi sekresi insulin yang menyebabkan
gangguan metabolisme yang menyertai DM tipe 1. Selain defisiensi
insulin, fungsi sel α juga menjadi tidak normal (sekresi glukagon
berlebihan). Normalnya jika terjadi hiperglikemia maka sekresi glukagon
akan menurun namun pada DM tipe 1 tidak terjadi demikian sehingga
manifestasi klinik penderita DM tipe 1 ini adalah ketoasidosis diabetik
jika tidak segera diberikan insulin (Rodbard et al., 2007).
b. Diabetes Mellitus Tipe 2
Etiologi DM tipe 2 merupakan multifaktor yang belum pernah
sepenuhnya terungkap jelas. Faktor genetik dan lingkungan cukup besar
mempengaruhi munculnya DM tipe 2 ini, diantaranya obesitas, diet
tinggi lemak dan sedikit serat, serta kurang aktifitas badan (Rodbard et
al., 2007).
10
c. Diabetes Mellitus Tipe Spesifik
Penyebab
DM
tipe
spesifik
antara
lain
faktor
genetik
(ketidakmampuan genetik untuk mengonversi proinsulin menjadi insulin
akibat kelainan fungsi sel β-pankreas atau kelainan insulin), penyakit
eksokrin pada pankreas, dan paparan kimia seperti pada pengobatan
HIV/AIDS atau transplantasi organ. DM tipe spesifik dikarakterisasi
dengan gangguan sekresi insulin dengan minimal atau tanpa resistensi
insulin (Triplitt et al., 2008).
d. Diabetes Gestasional
Diabetes yang terjadi selama masa kehamilan pada umumnya dapat
pulih sendiri beberapa saat setelah melahirkan, namun dapat berakibat
buruk terhadap bayi yang dikandung, antara lain malformasi kongenital,
peningkatan berat badan bayi ketika lahir dan meningkatnya risiko
mortalitas perinatal. Selain itu, wanita yang pernah mengalami diabetes
gestasional akan berisiko untuk menderita diabetes lagi di masa depan.
Kontrol metabolisme yang ketat dapat mengurangi risiko tersebut (Sacks
et al., 2011).
6. Faktor risiko DM
Beberapa faktor risiko untuk DM terutama DM tipe 2 antara lain
(Rodbard et al., 2007):
a. Riwayat DM pada keluarga, DM gestasional, melahirkan dengan berat
badan (BB) bayi >4 kg, kista ovarium (PCOS), impaired fasting glycemia
(IFG) atau impaired glucosa tolerance (IGT).
11
b. Obesitas, jika BB >120% berat badan ideal.
c. Usia, usia rentan terkena DM 20-59 tahun (8,7%), sedangkan >65 tahun
hanya sebesar 18%.
d. Hipertensi, jika tekanan darah >140/90 mmHg.
e. Hiperlipidemia, jika kadar High Density Lipoprotein (HDL) dalam darah
<35 mg/dL dan kadar lipid darah >250 mg/dL.
f. Faktor-faktor lain seperti kurang olahraga dan pola makan rendah serat
(sedentary lifestyle).
7. Diagnosis DM
Diagnosis DM ditegakkan dengan identifikasi kondisi hiperglikemia.
Kriteria untuk menegakkan diagnosis antara lain kadar HbA1c ≥6,5%; kadar
gula darah puasa ≥126 mg/dL; kadar gula darah 2 jam setelah makan ≥200
mg/dL; atau kadar gula darah sewaktu setelah makan ≥200 mg/dL disertai
gejala hiperglikemia (polidipsi, poliuria, dan penurunan berat badan yang
tidak diketahui penyebabnya). Pemeriksaan harus dilakukan secara berulang
agar tidak terjadi kekeliruan dalam diagnosis. Untuk pemeriksaan kadar gula
darah puasa, sebelumnya pasien diminta untuk puasa minimal 8 jam dan
maksimal 12 jam. Pasien hanya diperbolehkan minum air putih dan
dianjurkan tidak melakukan aktifitas yang berat (Sacks et al., 2011)
Test toleransi glukosa oral (TTGO)
merupakan tes dengan
menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 gram glukosa anhidrat
yang dilarutkan dalam air. Tes ini lebih spesifik dan sensitif dibandingkan
dengan pemeriksaan gula darah puasa. Namun tes ini sulit dilakukan karena
12
membutuhkan persiapan yang khusus sehingga jarang digunakan (Perkeni,
2011a). Impaired glucosa tolerance (IGT) dan impaired fasting glycemia
(IFG) merupakan tahap peralihan alami gangguan metabolisme karbohidrat
antara homeostatis gula darah normal dan diabetes. impaired fasting glycemia
(IFG) dan impaired glucosa tolerance (IGT) tidak dapat saling menggantikan
karena keduanya mewakili gangguan regulasi glukosa yang berbeda.
impaired fasting glycemia (IFG) adalah ukuran gangguan metabolisme
karbohidrat pada kondisi basal sedangkan impaired glucosa tolerance (IGT)
adalah ukuran yang dinamis gangguan metabolisme karbohidrat setelah
standar pembebanan glukosa. Penderita IFG dan/atau IGT disebut
prediabetes, dimana keadaan ini mengindikasikan risiko tinggi DM (Craig et
al., 2009). Penderita mengalami IGT jika kadar gula darah 140-199 mg/dL
selama TTGO sedangkan IFG jika kadar gula darah puasa 100-125 mg/dL
(Triplitt et al., 2008).
Pemeriksaan harus dilakukan pada individu yang memiliki berat badan
berlebih (overweight, body mass index (BMI) ≥25 kg/m2) atau obesitas dan
faktor risiko lain DM (Sacks et al., 2011).
8. Komplikasi dari DM
Komplikasi atau penyulit DM dapat berupa akut maupun kronis.
Komplikasi ini akan berpengaruh pada pemilihan terapi antidiabetika. Secara
umum, komplikasi DM dibagi menjadi komplikasi makrovaskular (penyakit
jantung koroner, penyakit arteri perifer, dan stroke) dan mikrovaskular
(diabetes nefropati, neuropati, dan retinopati). Kontrol gula darah dan
13
modifikasi gaya hidup dapat mengurangi risiko terjadinya komplikasi tersebut
(Marshall et al., 2006).
9. Penatalaksanaan DM
Tujuan akhir penatalaksanaan DM adalah menurunkan morbiditas dan
mortalitas, secara spesifik dua target utamanya yaitu menjaga agar kadar gula
darah berada dalam kisaran normal dan mencegah atau meminimalisasi
kemungkinan terjadinya komplikasi DM. Kontrol kadar gula darah secara
intensif dapat menurunkan risiko penyakit kardiovaskular pada penderita DM
tipe 2 (Bennett et al., 2011; Sacks et al., 2011).
Ada beberapa rekomendasi parameter yang dapat digunakan untuk
menilai keberhasilan terapi DM.
Tabel I. Parameter Keberhasilan Terapi
Parameter
Target/kadar ideal yang diharapkan
Kadar gula darah puasa (GDP)
90-130 mg/dL
Kadar gula darah 2 jam setelah
<180 mg/dL
makan (post prandial) (GDPP)
Kadar gula darah sewaktu (GDS)
< 180 mg/dL
Kadar HbA1c
<7%
Pria >45 mg/dL
Kadar HDL
Wanita >55 mg/dL
Kadar trigliserida
<200 mg/dL
Tekanan darah
<130/80 mmHg
Sumber : Triplitt et al., 2008; Perkeni, 2011.
Ada 2 macam pendekatan dalam penatalaksanaan diabetes, yaitu
pendekatan tanpa obat dan pendekatan dengan obat. Langkah pertama yang
dilakukan pada penderita DM adalah pendekatan tanpa obat dengan
pengaturan diet dan olahraga. Jika langkah ini masih belum mencapai target,
maka dapat dikombinasikan dengan pendekatan terapi obat (Alberti et al.,
2007).
14
a. Intervensi gaya hidup
Intervensi gaya hidup yang paling sering dilakukan adalah menjaga
berat badan agar tetap pada body mass index (BMI) normal dengan diet
dan olahraga secara teratur. Hal ini dapat dilakukan individu yang
mengalami impaired glucosa tolerance (IGT) agar tidak berkembang
menjadi DM dan individu yang memiliki faktor risiko DM atau sebagai
terapi tambahan selain terapi farmakologi. Diet yang direkomendasikan
yaitu mengurangi konsumsi lemak dan meningkatkan konsumsi sayuran
dan buah-buahan. Olahraga ringan secara teratur minimal 30-40 menit
per hari lebih bermanfaat untuk mengurangi risiko terkena DM.
Intervensi gaya hidup dapat meningkatkan HDL dan mengurangi
insidensi hipertensi sebagai hasil positif terapi untuk penderita IGT dan
IFG. Parameter keberhasilan dapat dilihat dari respon penurunan berat
badan sebanyak 2 kg dalam 1 bulan atau 5% dalam 6 bulan (Alberti et
al., 2007).
b. Intervensi Farmakologis
1) Terapi Insulin
Terapi penggantian insulin terdiri dari insulin prandial dan
insulin basal. Insulin prandial diberikan untuk berperan sebagai
insulin endogen jika ada intake makanan, sedangkan komponen
dari insulin basal berperan sebagai insulin yang dilepaskan secara
15
perlahan dan konstan yang meregulasi lipolisis dan pengeluaran
glukosa hepatik (Hirsch, 2005).
Insulin dibagi berdasarkan onset terapi dan lama kerjanya
(durasi). Pengelompokan insulin dapat dilihat pada tabel II.
Tabel II. Profil Farmakokinetik Sediaan Insulin (Tahun 2006)
Durasi
Insulin, Nama Generik (Brand)
Onset
Puncak
efektif
Insulin analog rapid-acting
5-15
30-90
Insulin aspart (Novorapid®)
3-5 jam
menit
menit
5-15
30-90
Insulin lispro (Humalog®)
3-5 jam
menit
menit
5-15
30-90
Insulin glulisine (Apidra®)
3-5 jam
menit
menit
Insulin short-acting
30-60
30-90
Regular (Actrapid®, Humulin®R)
3-5 jam
menit
menit
Insulin intermediate-acting
NPH (Insulatard®, Humulin®N)
2-4 jam
4-10 jam
10-16 jam
Lente*
3-4 jam
4-12 jam
12-18 jam
Insulin Basal Long-acting
Insulin glargine injection (Lantus®)
2-4 jam
No peak
Ultralente*
6-10 jam
8-10 jam
Insulin detemir injection (Levemir ®)
3-8 jam
No peak
Insulin campuran (short- dan intermediate- acting)
70%NPH/30%reguler
30-60
Dual
10-16 jam
(Mixtard®; Humulin® 30/70)
menit
70% insulin aspart protamine/30%
10-20
Dual
15-18 jam
insulin aspart Novomix® 30)
menit
75% insulin lispro protamine/25%
5-15
insulin lispro injection (Humalog®
1-2 jam
16-18 jam
menit
Mix25)
NPH (Neutral Protamine Hagedorn)
*belum tersedia di Indonesia
Nama dalam tanda kurung adalah nama dagang
Sumber : Perkeni, 2006
16
Gambar 1. Profil Farmakokinetik Insulin Manusia Dengan Insulin
Analog (Hirsch, 2005)
Insulin injeksi dikategorikan sebagai insulin basal atau
insulin bolus tergantung dari durasi dan aksinya (tabel II dan
gambar 1). Insulin basal terdiri dari neutral protamine Hagedorn
(NPH), detemir (Levemir®), dan insulin analog glargine (Lantus®).
Sedangkan insulin bolus atau insulin mealtime terdiri dari insulin
regular (Actrapid®, Humulin®R) dan insulin analog (aspart
(Novorapid®), lispro (Humalog®), dan glulisine (Apidra®)). Insulin
campuran terdiri dari 70%NPH/30%reguler (Mixtard®; Humulin®
30/70), 70% insulin aspart protamine/30% insulin aspart Novomix ®
30), dan 75% insulin lispro protamine/25% insulin lispro injection
(Humalog® Mix25). Insulin terdahulu (regular dan NPH)
mempunyai 2 karakteristik yang dapat menyulitkan terapi. Pertama,
absorbsinya fluktuatif, dan yang kedua adalah onset yang tertunda
sehingga harus diinjeksikan 30-60 menit sebelum makan untuk
menyamai kenaikan kadar gula darah setelah makan. Masalah
tersebut dapat diatasi dengan penggunaan insulin analog (aspart,
17
glargine, detemir). Sesuai dengan namanya, insulin ini menyerupai
pelepasan insulin normal setelah makan.
2) Terapi obat hipoglikemik oral (OHO)
a) Pemicu sekresi insulin, yaitu golongan sulfonilurea dan glinid.
Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan
sekresi insulin oleh sel β dan merupakan lini pertama untuk
pasien dengan berat badan normal dan kurang tetapi sebaiknya
tidak diberikan kepada penderita gangguan hati, ginjal, dan
tiroid. Hipoglikemia terkadang terjadi akibat OHO dengan
masa kerja panjang atau interaksi dengan obat lain (alkohol,
insulin, sulfonamid, monoamin oksidase (MAO) inhibitor,
klofibrat,
dan
kloramfenikol).
Contoh
obat
golongan
sulfonilurea yaitu gliburid (glibenklamid), glipizid, glimepirid,
dan glikazid. Sedangkan contoh obat golongan glinid yaitu
nateglinid dan repaglinid. Repaglinid hanya sedikit diekskresi
melalui ginjal sehingga obat ini lebih aman untuk pasien
dengan gangguan ginjal (Rodbard et al., 2007).
b) Penambah sensitifitas terhadap insulin, yaitu golongan
tiazolindindion
Obat
resistensi
golongan ini mempunyai efek menurunkan
insulin
dengan
berikatan
dengan
PPAR-γ
(peroksisome proliferator activated receptor-γ ) di otot,
jaringan lemak dan hati. PPAR-γ yang aktif akan menginisiasi
18
pembentukan
gen
yang
meregulasi
karbohidrat
dan
metabolisme lemak sehingga meningkatkan jumlah protein
pengangkut glukosa di perifer. Efek samping yang dapat
timbul antara lain penambahan berat badan, udem, dan anemia.
Obat ini kontraindikasi untuk pasien dengan penyakit jantung
(congestive heart failure/CHF) atau penyakit hati. Pada
penggunaan obat ini perlu dilakukan monitoring fungsi hati
secara periodik. Contohnya adalah rosiglitazon dan pioglitazon
(Rodbard et al., 2007).
c) Penghambat
glukoneogenesis,
yaitu
golongan
biguanid
(metformin)
Obat ini memiliki efek utama yaitu mengurangi produksi
glukosa hati (glukoneogenesis) dan glikogenolisis sehingga
tepat digunakan untuk pasien yang kelebihan berat badan.
Selain itu dapat memperbaiki transport glukosa ke sel-sel otot
(uptake glukosa) sebesar 10-40%. Senyawa biguanid tidak
merangsang sekresi insulin dan hampir tidak menyebabkan
hipoglikemia. Efek samping yang mungkin muncul antara lain
nyeri perut, mual, dan diare. Untuk meminimalkan munculnya
efek samping, obat dapat digunakan setelah makan atau titrasi
dosis. Obat ini dikontraindikasikan pada penderita gangguan
hepar, gagal jantung kongesti, dehidrasi, metabolik asidosis,
dan pecandu alkohol (Rodbard et al., 2007).
19
d) Penghambat absorbsi glukosa (penghambat glukosidase α )
Enzim α-glukosidase bekerja dengan menghidrolisis
oligosakarida dan karbohidrat kompleks lainnya di dinding
usus halus. Enzim ini dihambat secara kompetitif sehingga
dapat menurunkan kadar gula darah setelah makan dengan
mengurangi absorbsi gula di usus halus. Obat ini efektif bagi
penderita diet tinggi karbohidrat dan kadar GDP <180 mg/dL.
Efek samping obat ini antara lain diare, rasa tidak enak pada
perut, dan flatulensi. Obat ini dapat digunakan secara tunggal
atau kombinasi bersama sulfonilurea. Contoh obat golongan ini
adalah acarbose dan meglitol (Rodbard et al., 2007).
3) Terapi kombinasi
Pada keadaan tertentu diperlukan terapi kombinasi dari
beberapa OHO atau OHO dengan insulin. Pemilihan obat untuk
kombinasi ini harus dipilih dua macam obat dari golongan yang
memiliki aksi berbeda. Contoh kombinasi obat-obat hipoglikemik
antara lain metformin-gliburid, pioglitazon-metformin atau
dengan rosiglitazon-metformin, golongan sulfonilurea dengan
penghambat glukosidase-α , dan lain sebagainya (Rodbard et al.,
2007).
20
F. Hipotesis
Penelitian dilakukan untuk mengetahui pola penggunaan obat
antidiabetika kemudian dibandingkan dengan standar pengobatan diabetes
mellitus dari Perkeni tahun 2011 tentang Konsensus Pengelolaan Diabetes
Mellitus tipe 2 di Indonesia 2011. Penggunaan obat antidiabetika pada pasien
DM yang menjalani rawat inap di RSU Queen Latifa Yogyakarta periode
Januari-Desember 2012 diduga sudah sesuai standar dari Perkeni tersebut
diatas.
Download