tinjauan pustaka

advertisement
5
TINJAUAN PUSTAKA
Balita
Usia balita lebih dikenal sebagai the golden age karena masa ini sangat
menentukan pertumbuhan dan perkembangan anak selanjutnya. Anak balita
adalah bayi sampai anak berusia lima tahun atau biasa disebut anak bawah lima
tahun (Soekirman 2000). Pada usia balita merupakan periode kritis dalam
kehidupan manusia, karena secara fisik terjadi perkembangan tubuh dan
ketrampilan motorik yang sangat nyata. Menurut Hidayat (2004), peristiwa yang
dialami dalam pertumbuhan dan perkembangan anak adalah percepatan dan
perlambatan. Peristiwa pertumbuhan pada anak dapat terjadi perubahan tentang
besarnya, jumlah, ukuran di dalam tingkat sel, organ maupun individu,
sedangkan peristiwa perkembangan pada anak dapat terjadi pada perubahan
bentuk dan fungsi pematangan organ mulai dari aspek sosial, emosional dan
intelektual.
Menurut BKKBN
(1995) menyatakan bahwa pada masa balita hampir
seluruh waktu anak berada di tangan orang tua dan sangat tergantung padanya.
Orang tua selain berperan penting dalam mempengaruhi pertumbuhan dan
perkembangan anak karena orangtualah yang paling mengetahui secara
seksama perubahan yang terjadi pada anaknya. Balita merupakan golongan
rawan terkena masalah gizi. Makanan bergizi sangat penting diberikan pada bayi
sejak masih dalam kandungan. Masa balita merupakan momentum paling
penting dalam melahirkan generasi pintar dan sehat. Jika usia ini tidak dikelola
dengan baik, apalagi kondisi gizinya buruk kemudian hari akan sulit terjadi
perbaikan kualitas bangsa.
Awal masa kanak-kanak adalah periode pertumbuhan yang paling banyak
dan paling cepat selama kehidupan manusia. Usia anak dari masa konsepsi
sampai usia delapan tahun merupakan usia yang sangat kritis untuk melengkapi
pertumbuhan
kognitif,
emosional
dan
pertumbuhan
fisik
pada
anak.
Perkembangan otak pada anak sangat cepat pada tahap prenatal dan berlanjut
setelah lahir. Meskipun formasi sel sudah terpenuhi sebelum lahir, kematangan
sel dan hubungan jaringan saraf yang penting secara cepat berkembang setelah
kelahiran atau pada awal masa kanak-kanak. Pada masa anak-anak lingkungan
juga memiliki pengaruh yang penting dalam perkembangan dan pertumbuhan
sistem saraf pusat. Kekurangan gizi pada masa kanak-kanak berdampak serius
6
pada perkembangan otak terutama pada jaringan saraf dan penyimpangan
perilaku seperti kesulitan belajar dan retardasi mental (Unicef 2001).
Pada umur satu tahun, tinggi badan akan 1.5 kali tinggi badan waktu lahir,
pada umur 4 tahun tinggi badan akan 2 kali tinggi badan waktu lahir. Sedangkan
pada usia 6 tahun tinggi badan akan 2.5 kali tinggi badan waktu lahir, dan pada
usia 13 tahun tinggi badan akan 3 kali tinggi badan waktu lahir, serta pada usia
dewasa, tinggi badan akan 3.5 kali tinggi badan waktu lahir (Abunain 1990).
Status Gizi
Status gizi merupakan suatu ekspresi dan keseimbangan zat gizi dalam
bentuk variabel tertentu, atau perwujudan nutriture dalam bentuk variabel
tertentu meliputi berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas, dan lain-lain.
Status gizi adalah keadaan keseimbangan antara asupan (intake) zat gizi dan
jumlah yang dibutuhkan (requirement) oleh tubuh untuk berbagai fungsi biologis
(pertumbuhan fisik, perkembangan, aktivitas, pemeliharaan kesehatan dan lainlain) (Jahari 2002). Menurut Suharjo (2003), status gizi adalah suatu keadaan
tubuh yang disebabkan oleh konsumsi penyerapan dan penggunaan makanan
oleh jumlah dan jenis makanan yang dikonsumsi.
Status gizi seringkali digunakan untuk mengetahui gambaran tingkat
kecukupan konsumsi makan individu pada suatu saat. Dari gambaran status gizi
balita dapat diprediksikan apakah balita tersebut telah mengkonsumsi makanan
yang telah cukup untuk memenuhi kebutuhannya agar dapat memelihara proses
dan fungsi tubuh termasuk diantaranya untuk pertumbuhan dan aktivitas fisik
(Soekirman 2000).
Terdapat beberapa penilaian status gizi, yaitu yaitu dengan pengukuran
antropometri, klinis dan biofisik, yang disebut dengan penilaian status gizi secara
langsung. Pengukuran antropometri adalah jenis pengukuran yang paling
sederhana dan praktis, karena mudah dilakukan dan dapat dilakukan dalam
jumlah sampel yang besar. Pengukuran antropometri adalah pengukuran yang
dilakukan terhadap berat badan (BB), tinggi badan (TB) dan lingkaran bagianbagian tubuh serta tebal lemak bawah kulit (Supriasa et al. 2001).
Antropometri gizi berhubungan dengan berbagai macam pengukuran
dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi.
Pada pemakaian untuk menilai status gizi, antropometri disajikan dalam bentuk
7
indeks yang dikaitkan dengan variabel lain yaitu variabel umur, berat badan
(BB/U) dan tinggi badan (TB/U) ( Depkes 2008).
Tinggi badan merupakan antropometri yang menggambarkan keadaan
pertumbuhan skeletal. Dalam keadaan normal, tinggi badan tumbuh bersamaan
dengan pertambahan umur. Indeks tinggi/panjang badan menurut umur (TB/U)
menggambarkan status gizi masa lalu, selain itu juga erat kaitannya dengan
masalah sosial ekonomi masyarakat (Jahari 2002). Keadaan indeks ini pada
umumnya memberikan gambaran keadaan lingkungan yang tidak baik,
kemiskinan dan akibat tidak sehat yang menahun (Depkes RI 2005). Penilaian
status gizi dengan indikator TB/U dilakukan berdasarkan standar WHO-NCHS
2005 untuk menyatakan apakah anak termasuk kedalam kategori status normal,
pendek atau sangat pendek disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 kategori status gizi berdasarkan baku WHO-NCHS 2005
Indikator
Tinggi badan menurut
umur (TB/U)
Kategori status gizi
Sangat pendek (severe stunted)
Pendek (stunted)
Normal
Tinggi
Keterangan
z-score <-3 SD
-3 SD ≤ z-score < -2SD
-2 SD ≤ z-score < +2SD
z-score > +2 SD
Kurang gizi menurut Suharjo (2003) disebabkan oleh masukan (intake)
energi dan protein yang sangat kurang dalam waktu yang cukup lama. Keadaan
ini lebih cepat terjadi bila anak mengalami diare atau infeksi penyakit lainnya.
Keadaan kehidupan yang miskin mempunyai hubungan sangat erat dengan
timbulnya kondisi kurang energi protein. Lebih lanjut menurut Gibson (1990),
status gizi adalah tanda-tanda atau penampilan fisiologis yang diakibatkan oleh
keseimbangan intake gizi dan penggunaanya oleh organisme.
Penelitian Husaini et al. (2003) pada anak-anak yang berumur <18 bulan
yang menderita kekurangan KEP diberikan intervensi gizi, pada 8 tahun
kemudian (usia saat penelitian, yaitu 9 tahun) dilakukan cognitive ability test (uji
kognitif) memiliki skor lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol (yang tidak
mendapat intervensi gizi). Jadi anak yang mendapat intervensi gizi lebih cerdas
daripada yang tidak mendapatkan intervensi gizi.
8
Stunting
Stunting merupakan proses kumulatif yang bermula dari proses maternal
atau janin kemudian berlanjut sampai usia tiga tahun stelah lahir. Menurut
Graham-Mc Gregor et al. (2007) prevalensi anak yang mengalami stunting
merupakan indikator kemiskinan dari negara yang memiliki pendapatan yang
rendah
khususnya
negara
berkembang,
yang
akan
berdampak
keterlambatan perkembangan. Waterlow & Schurch (1994)
pada
menyimpulkan
penyebab stunting dari faktor : 1) zat gizi (kekurangan zat gizi energi, zat gizi
makro, zat gizi mikro dan faktor racun / toxin); 2) infeksi ( kerusakan mukosa
gastrointestinal, sistem imunitas dan 3). interaksi bayi dan ibu (kekurangan zat
gizi tertentu yang diperlukan selama masa kehamilan dan penyaluran zat gizi
saat lahir, serta interaksi perilaku/ behavioral interaction). Berat badan lahir
rendah (BBLR) adalah indikator penting dari kekurangan zat gizi maternal dan
sebagai menentukan pertumbuhan anak selanjutnya (Frogillo et al. 1997).
Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2010 kejadian
stunting pada balita di Indonesia masih sangat tinggi, yaitu 36.8% yang terdiri
dari 18.8% sangat pendek (severe stunted) dan 18.0% pendek (stunted). Hal
tersebut sangat
memperihatinkan karena WHO merekomendasikan bahwa
prevalensi stunting pada semua negara sebaiknya dibawah 20% sampai akhir
2020 (ACC/SCN 1997).
Anak yang stunted mengalami pertumbuhan rangka yang lambat dan
pendek. Kondisi ini merupakan hasil dari periode yang panjang dimana tidak
terpenuhinya kebutuhan makanan, meningkatnya kesakitan dan biasanya
ditemukan pada negara-negara yang kondisi ekonominya buruk. Prevalensi anak
stunted dan kurus banyak terjadi pada tahun ke-2 dan ke-3 dalam kehidupan.
Pengaruh perbedaan genetik dan suku menjadi pertimbangan ketika melakukan
evaluasi tinggi badan terhadap umur (Gibson 1990).
Studi pada anak stunted berkaitan dengan rendahnya skor kognitif
dibandingkan dengan anak normal (Mc Gregor 1990). Dampak terburuk dari
kekurangan gizi yang dialami pada saat kehamilan maupun dua tahun pertama
usia anak yang merupakan periode window of opportunity, akan mengakibatkan
kerusakan pada tumbuh kembang otak yang bersifat permanen. Akibat
kerusakan tersebut meliputi kerusakan pada pertumbuhan otak, kecerdasan,
kemampuan belajar, kreativitas, dan produktivitas anak (Syarief et al. 2007).
9
Penelitian yang dilakukan oleh Mendez dan Adair (1999) membuktikan
bahwa anak stunted memiliki skor kognitif yang lebih rendah daripada anak yang
memiliki tinggi normal, mereka juga memiliki pencapaian nilai yang lebih rendah
pada nilai matematika dan bahasa. Hal tersebut sejalan dengan penelitian Hall
et al. (2001) bahwa anak yang stunted memiliki skor nilai matematika dan bahasa
yang lebih rendah daripada anak yang bertumbuh normal. Hasil studi Hizni et al.
(2009) pada anak balita di Pesisir kota Cirebon, bahwa terdapat hubungan
antara status gizi stunted pada anak balita dengan perkembangan bahasa
dimana perkembangan bahasa merupakan salah satu aspek yang diteliti dalam
perkembangan anak. Watanabe et al. (2005) menemukan pengaruh
yang
signifikan dari intervensi gizi dan stimulasi pada peningkatan skor tes kognitif
anak stunted. Lebih lanjut pada penelitian
Meenakshi et al.(2007) di India
tentang pertumbuhan dan perkembangan anak, bahwa terdapat hubungan
signifikan antara status stunted dengan perkembangan bahasa anak.
Perkembangan Anak
Perkembangan mempunyai arti suatu pola perubahan (Change) atau
gerakan (movement yang dimulai dari periode konsepsi (dalam) kandungan) dan
berlansung terus-menerus sepanjang siklus hidup (life cycle)). Perkembangan ini
meliputi pertumbuhan dengan pola pergerakan yang kompleks karena
merupakan hasil dari beberapa proses simultan yaitu proses biologi, kognitif dan
sosial. Ketiga proses ini saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu sama
lainnya (Santrock 2007).
Sedangkan menurut Monk et al. (2004) perkembangan menunjuk pada
proses kearah yang lebih sempurna dan tidak begitu saja diulang kembali
(irreversible). Selanjutnya Hurlock (1999) menjelaskan bahwa perkembangan
bertambahnya kemampuan dalam struktur dan fungsi yang lebih teratur yang
mengikuti pola tertentu dan dapat diramalkan. Misalnya pola-pola teratur dari
perkembangan fisik, motorik, bicara/bahasa dan perkembangan kognitif.
Proses tumbuh kembang anak mempunyai ciri-ciri yang saling berkaitan
yaitu 1). Perkembangan menimbulkan perubahan : setiap pertumbuhan diikuti
dengan perkembangan. Misalnya pertumbuhan sel-sel otak dan serabut saraf
diikuti dengan perkembangan intelegensi pada seorang anak; 2). Pertumbuhan
dan perkembangan pada tahap awal menentukan perkembangan selanjutnya :
terdapat tahap-tahap perkembangan yang harus dilalui anak; 3). Pertumbuhan
10
dan perkembangan mempunyai kecepatan yang berbeda : pertumbuhan fisik dan
perkembangan fungsi organ mempunyai kecepatan yang berbeda pada masingmasing anak; 4). Perkembangan berkorelasi dengan pertumbuhan : bila
pertumbuhan berlangsung cepat, perkembanganpun meningkat. Anak sehat
bertambah umur, bertambah berat dan tinggi badannya serta bertambah
kepandaiannya; 5). Perkembangan mempunyai pola yang tetap: perkembangan
fungsi organ tubuh terjadi menurut dua hukum yang tetap. Perkembangan di
daerah
kepala
terjadi
lebih
dahulu
kemudian
diikuti
perkembangan
kaudal/anggota tubuh (pola sefakaudal). Perkembangan didaerah proksimal
(gerak dasar) terjadi sebelum perkembangan kebagian distal seperti jari-jari yang
mempunyai kemampuan gerak halus (poin proksimodistal); 6) perkembangan
memiliki tahap yang berurutan, tidak bisa terjadi terbalik. Misalnya anak mampu
berdiri sebelum berjalan dan sebagainya (Depkes 2005).
Pertumbuhan dan perkembangan merupakan dua proses yang saling
berhubungan. Pertumbuhan akan diikuti perkembangan. Begitu juga sebaliknya,
proses
perkembangan
Bertambahnya
akan
ketrampilan
menstimulasi
anak
baik
pertumbuhan
mental
sel-sel
maupun
motorik
tubuh.
akan
mampengaruhi perkembangan sel-sel otak, saraf, tulang dan sebagainya.
Gangguan perkembangan tidak normal antara lain ditandai dengan lambatnya
kematangan sel-sel syaraf, lambatnya gerakan motorik, kurangnya kecerdasan
dan lambatnya respon sosial (Yuliana et al. 2004).
Perkembangan Bahasa Anak
Perkembangan bahasa merupakan tingkat pencapaian kemampuan anak
dalam berbicara spontan, mengikuti perintah, dan berespon terhadap suara (
Soetijingsih 1995). Menurut Santrock (2007) bahasa adalah sarana komunikasi
dengan menyimbolkan pikiran dan perasaan untuk menyampaikan makna
kepada orang lain. Kemampuan berbahasa merupakan proses paling kompleks
diantara seluruh fase perkembangan pada anak. Lebih lanjut menurut
Soetjiningsih (1995) fungsi bahasa bersamaan dengan fungsi perkembangan
pemecahan masalah visio-motor yang merupakan indikator yang paling baik dari
ada tidaknya gangguan perkembangan intelektual pada anak.
Terdapat empat tugas perkembangan bahasa pada anak yang satu sama
lainnya saling berkaitan. Keempat tugas itu adalah : 1) pemahaman, yaitu
kemampuan
memahami
makna
ucapan
orang
lain;
2)
pemahaman
11
pembendaharaan kata, hal ini dimulai secara lambat pada usia dua tahun
pertama, kemudian mengalami tempo yang cepat pada usia pra-sekolah dan
terus meningkat setelah anak masuk sekolah; 3) penyusunan kata-kata menjadi
kalimat, kemampuan ini pada umumnya berkembang sebelum anak usia dua
tahun. Bentuk kalimat pertama adalah kalimat tunggal (kalimat satu kata) dengan
disertai gesture untuk melengkapi cara berpikirnya. Contohnya anak menyebut
“Bola” sambil menunjuk bola itu dengan jarinya. Kalimat tunggal itu berati “tolong
ambilkan bola untuk saya”, seiring dengan meningkatnya usia anak keleluasan
pergaulannya, tipe kalimat yang diucapkannya pun semakin bertambah; 4)
Ucapan, kemampuan mengucapkan kata-kata merupakan hasil belajar melalui
imitasi (peniruan) terhadap suara-suara yang didengar anak dari orang lain
(Yusuf 2005). Menurut Santrock (2007) anak yang berasal dari keluarga yang
tingkat sosio ekonomi yang tinggi, anak perempuan dan anak yang cerdas
memiliki pengucapan bentuk kalimat yang lebih panjang dan kompleks
dibandingkan dengan anak yang kurang cerdas, anak wanita dan anak yang
berada di lingkungan yang miskin.
Perkembangan bahasa anak dimulai saat masa bayi, pada masa ini bayi
melakukan komunikasi yang bertujuan menarik perhatian pengasuh. Pada tahuntahun pertama komunikasi pertama adalah menangis, kemudian mendekut
(cooing) kira-kira usia 1-2 bulan, kemudian berceloteh dengan menggabungkan
kombinasi konsonan-vokal seperti “ba, ba, ba, ba.” Bayi juga mulai menggunakan
gerakkan seperti menunjuk (untuk menunjukkan sesuatu untuk pamer), kira-kira
pada usia 8 hingga 12 bulan (Santrock 2007).
Kata-kata pertama anak meliputi nama-nama orang penting (misalnya papa atau ma-ma), binatang yang lazim (“meong” atau kucing). Rata-rata bayi
memahami 50 kata pada usia 13 bulan, tetapi setelah bayi usia 2 tahun bayi
telah mengucapkan 200 kata, peningkatan jumlah kosakata yang cepat ini
dinamakan ledakan kosakata (vocabulary spurt). Pada saat usia anak 18 hingga
24 bulan mereka lazim mengucapkan ucapan-ucapan dua kata. Untuk
menyampaikan makna dengan hanya dua kata anak sangat tergantung pada
gerak tubuh, nada, dan konteks. Ucapan dua kata misalnya Identifikasi : “lihat
anjing”, lokasi : “buku sana” . Setelah tahapan dua-kata, perkembangan bahasa
mereka berkembang cepat menuju kombinasi tiga-empat-lima kata dan
penguasaan terhadap sistem aturan yang menata bahasa meningkat. Peralihan
12
kalimat sederhana menjadi kalimat kompleks diawali antara usia 2 hingga 3
tahun dan berlanjut hingga sekolah dasar (Santrock 2007).
Seorang anak berusia dua tahun mengerti “ya” dan “tidak”, seperti juga
pertanyaan “di mana”, “siapa”, dan “apa”, dan secara umum menjawabnya
dengan benar. Pada usia 3 tahun anak-anak mulai menjawab “mengapa” dengan
benar. Frekuensi jawaban yang betul dari semua jenis pertanyaan “apa”,
“mengapa” meningkat pada usia antara 3 dan 5 tahun (Mussen et al. 1984).
Lebih lanjut menurut Papalia (1979), pada saat anak berumur 3 dan 4 tahun
anak sangat familiar dengan binatang, bagian tubuh, dan orang-orang terdekat.
Anak yang berumur 4-5 tahun anak-anak sudah dapat menggunakan empat
sampai lima kata perkalimat, lebih dapat membedakan posisi benda-benda
disekelilingnya yaitu “dibawah”, “diatas”, “didepan”, “dibelakang”, “disamping”
serta sering menggunakan kata kerja daripada kata benda, pemahaman anak
dan berbicara anak lebih kompleks, anak dapat berbicara dengan total 1500
sampai 2000 kata.
Pengertian kata-kata deiktik (kata-kata yang menunjukkan lokasi dari sisi
pembicara) seperti “di sini”, “di sana”, “ini”, “itu” menunjukkan bahwa anak kecil
mampu mengambil titik pandang orang lain. Anak berusia 2 tahun jelas mengerti
perspektif pembicara jika diinterpetasikan kata-kata “di sini” atau “di sana”.
Semua anak telah siap membedakan antara “milik saya” dan “milik kamu”, tetapi
anak usia 2 tahun mengalami kesulitan jika dibutuhkan perubahan perspektif,
seperti untuk menerjemahkan “di bagian kiri meja” dari pandangan orang lain
yang tidak berada pada sisi yang sama dengan dirinya. Anak usia 3 tahun telah
mahir mengambil perspektif si pengamat yaitu menginterpretasikan “di sini”, “di
sana”, “ini”, “itu”, “di depan”, dan “di belakang” dengan benar (Mussen et al.
1984)
Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan bahasa menurut
Hurlock (1995) dalam Yusuf (2005) terkait dalam proses belajar berbicara
seorang anak diantaranya 1). faktor kesehatan, anak yang sehat lebih cepat
berbicara dibanding anak tidak sehat, hal ini karena motivasi yang lebih kuat
untuk menjadi anggota kelompok sosial dan berkomunikasi dengan anggota
kelompok tersebut; 2). kecerdasan, anak dengan kecerdasan yang tinggi, dalam
berbicara lebih cepat dan memperlihatkan penguasaan bahasa yang lebih baik
dibandingkan anak yang tingkat kecerdasan yang rendah; 3). Keadaan sosial
ekonomi, anak dari keluarga ekonomi mampu lebih mudah belajar berbicara,
13
pengungkapan perasaan dirinya lebih baik, dan lebih banyak bicara dibanding
anak dari keluarga kurang mampu. Hal ini dikarenakan anak dari keluarga
berada lebih banyak mendapat dorongan dan bimbingan untuk berbicara dari
anggota keluarga yang lain. Keluarga dengan ekonomi yang rendah cenderung
lebih
memfokuskan
pada
pemenuhan
kebutuhan
sehari-hari
sehingga
perkembangan bahasa anak kurang diperhatikan; 4).Jenis kelamin, pada
umumnya anak perempuan lebih cepat belajar berbicara dibanding anak laki-laki.
Pada setiap jenjang umur, kalimat anak laki-laki lebih pendek, dan kurang benar
dalam tata bahasa, kosakatanya pun lebih sedikit dan pengucapan kata kurang
tepat daripada anak perempuan; 5).Dukungan keluarga, semakin banyak
dorongan untuk berbicara dengan mengajak anak berbicara dan didorong untuk
menanggapinya, akan semakin awal mereka belajar berbicara dan semakin baik
kualitas bicaranya. Pendapat ini didukung oleh Soetjiningsih (2002), bahwa anak
yang mendapat stimulasi yang terarah dan teratur akan lebih cepat berkembang
dibandingkan dengan anak yang kurang atau tidak mendapat stimulasi.
Perkembangan Kognitif
Kognitif adalah kemampuan yang berkaitan dengan penguasaan ilmu
pengetahuan (Fatimah 2006). Apabila diperlukan, pengetahuan yang dimiliki
dapat dipergunakan. Banyak atau sedikitnya pengetahuan merupakan ukuran
tingkat kemampuan kognitif seeorang. Menurut Fatimah (2006) menyatakan
bahwa terdapat hubungan yang signifikan dan positif antara kecerdasan dengan
kemampuan kognitif seseorang. Artinya bahwa semakin tinggi kecerdasan
seseorang, semakin tinggi pula tingkat perkembangan kognitifnya.
Kemampuan kognitif berkembang sebagai hasil dari kerjasama antar
genetik dengan lingkungan. Kemampuan ini akan meningkat karena adanya
rangsangan yang diberikan kemudian masuk ke dalam otak yang sedang
berkembang. Hal ini berarti akan membantu perkembangan kecerdasan.
Pembentukan kecerdasan dipengaruhi oleh proses kecerdasan dan interaksi
dengan lingkungan sejak dini. Kecerdasan terbentuk dari interaksi antara faktor
internal dengan lingkungan. Faktor lingkungan termasuk di dalamnya lingkungan
dalam keluarga dan luar keluarga (Dariyo 2007).
Teori perkembangan kognitif Piaget mengatakan bahwa anak secara aktif
membangun pemahaman dan pengetahuan mereka tentang dunia melalui empat
tahapan perkembangan kognitif (Santrock 2007). Masing-masing dari tahapan
14
perkembangan
membangun
mempunyai
pencapaian
keunikan
dari
setiap
dan
kemampuan
tahapan
tersendiri,
(Ormrod
2003).
serta
Teori
perkembangan kognitif menurut Piaget yang harus dilewati oleh anak terdiri dari
Sensorimotorik (0-2 tahun), preoperational (2-7 tahun), concret operational (7-12
tahun) dan formal operational (>12 tahun) (Papalia et al. 2008). Perkembangan
kognitif menurut Piaget dapat dilihat pada tabel 2 dibawah.
Tabel 2 Tahap perkembangan kognitif Piaget
Tahap
Umur
Sensorimotorik
0-2 tahun
preoperational
2-7 tahun
concret operational 7-12 tahun
formal operational
(>12 tahun)
Perkembangan kognitif yang nyata
Perkembangan yang berlahan pada ketrampilan
sensori,
motorik
anak.
Kurang
dapat
membedakan konsep diri dan lingkungan, namun
interaksi yang berarti dan pencapaian konsep
objek yang permanen
Pengembangan kemapuan bahasa dan konsep
diri. Anak cenderung egosentris. Mulai muncul
kemampuan untuk mencapai imajinasi pikiran
pada akhir metode ini. Kemampuan persepsi
meningkat, namun masih ditentukan oleh
penampilan fisik yang terlihat. Belum mampu
untuk mengerti konsep konservasi, pola pikir
masih bersifat intuitif dan impulsif.
Mulai memahami hukum konservasi dan operasi
yang
bersifat
kebalikan.
Mulai
dapat
mengelompokkan, menyusun menurut ukuran dan
bentuk, serta mengenal konsep hubungan.
Mulai dapat berpikir abstrak dan menjelaskan
konsep. Masalah diselesaikan dengan penjelasan
dan logika, serta mampu membuat hipotesa.
Sumber : Santrock 2007
Pada tahap sensorimotor (usia 0-2 tahun) bayi membentuk pemahaman
tentang dunia dengan mengkoordinasikan pengalaman-pengalaman sensorik
misalnya melihat dan mendengar dengan tindakan fisik dan motorik, oleh karena
itu disebut dengan “sensorimotorik” . Akhir tahap ini saat anak berusia dua tahun
mampu
menghasilkan
pola-pola
sensorimotorik
yang
kompleks
dan
menggunakan simbol-simbol yang primitif (Santrock 2007).
Tahap
selanjutnya
yaitu
tahap
praoperasional
(usia
2-7
tahun)
pemahaman anak tentang benda-benda disekitarnya tidak hanya dilakukan
melalui kegiatan sensorimotor akan tetapi juga melalui kegiatan yang bersifat
simbolik. Kegiatan simbolik dapat berupa percakapan melalui telepon mainan
atau berpura-pura menjadi bapak atau ibu dan kegiatan simbolik lainnya. Tahap
ini memberikan andil besar bagi perkembangan kognitif anak. Pada tahap
praoperasional anak tidak berpikir secara rasional yaitu suatu proses berpikir
15
yang
dilakukan
memungkinkan
dengan
anak
jalan
menginternalisasi
mengkaitkannya
dengan
suatu
kegiatan
aktivitas
yang
yang
dilakukan
sebelumnya. Tahap ini merupakan masa permulaan anak untuk membangun
pemikirannya. Oleh sebab itu cara berpikir anak pada tahap ini belum stabil dan
tidak terorganisir dengan baik. Tahap praoperasional dibagi dalam dua sub tahap
yakni subtahap fungsi simbolik dan sub tahap berpikir secara intuitif. Pada
subtahap simbolik terjadi saat anak berusia 2-4 tahun. Pada masa ini anak
memiliki kemampuan untuk dapat menggambarkan objek secara fisik misalnya
menyusun puzzel atau menyusun balok menjadi bangunan tertentu. Pada tahap
ini juga dikenal dengan sub tahap berpikir egosentris, yakni ketidakmampuan
anak anak untuk memahami perspektif atau cara berpikir orang lain. Sedangkan
sub tahap berpikir intuitif terjadi pada usia 4-7 tahun. Masa ini disebut tahap
berpikir secara intuisi karena saat ini anak kelihatannya mengerti sesuatu
padahal ia tidak mengetahui alasan-alasan yang menyebabkan balok itu dapat
disusun menjadi rumah. Dengan kata lain anak belum memiliki kemampuan kritis
tentang apa yang ada dibalik suatu kejadian (Santrock 2007). Menurut Papalia
(1979) pada periode preoperasional anak-anak cenderung mendemonstrasikan
persepsi mereka dengan beberapa karakteristik warna, bentuk, dan ukuran.
Mereka juga sudah mengkategorikan konsep.
Tahap
operasional
kongkrit
(7-12
tahun)
adalah
tahap
dimana
kemampuan anak untuk berpikir logis sudah berkembang, dengan syarat objek
yang menjadi sumber berpikir logis tersebut hadir secara kongkrit. Kemampuan
berpikir logis terwujud dalam kemampuan mengklasifikasikan objek sesuai
dengan klasifikasinya, mengurutkan benda sesuai dengan tata urutnya,
kemampuan berpikir secara deduktif (Santrock 2007).
Menurut Santrock (2007) tahap operasional formal (12 tahun sampai
dewasa) ditandai oleh perpindahan dari cara berpikir kongkrit ke cara berpikir
abstrak,
yang
dapat
dilihat
dari
kemampuan
mengemukakan
ide-ide,
memprediksi kejadian yang terjadi dan melakukan proses berpikir ilmiah, yakni
mengemukakan hipotesis dan menentukan cara untuk membuktikan kebenaran
hipotesis tersebut.
16
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Balita
Proses perkembangan merupakan interaksi dari berbagai faktor yang
dimulai
dari
rahim
dan
diteruskan
ketika
anak
berinteraksi
bersama
lingkungannya. Terdapat pondasi genetik dalam memahami proses sosial yang
akan membentuk perbedaan individual bagaimana anak menginterpretasikan
dan merespon lingkungannya.Karakteristik genetik akan berkombinasi dengan
lingkungan pada periode spesifik dari perkembangan otaknya. Hal ini akan
menentukan perkembangan anak pada periode berikutnya (Maggi et al. 2005).
Menurut Soetjiningsih (2002), setiap individu berbeda dalam proses
pertumbuhan dan perkembangan, karena pertumbuhan dan perkembangan anak
dipengaruhi oleh beberapa faktor
antara
lain faktor
herediter/genetika,
lingkungan dan internal.
Faktor genetik
Faktor genetik merupakan modal dasar untuk dalam mencapai hasil akhir
proses tumbuh kembang anak. Potensi genetik yang bermutu hendaknya dapat
berinteraksi dengan lingkungan secara positif sehingga diperoleh hasil akhir yang
optimal. Potensi genetik diantaranya adalah faktor bawaan normal dan patologis,
jenis kelamin, ras dan suku bangsa, keluarga dan umur (Soetjiningsih 2002).
Faktor genetik mempengaruhi perkembangan intelektual dan faktor
lingkungan hanya sedikit mempengaruhinya (Jensen 1969 dalam Santrock
2007), namun saat ini sebagian besar peneliti setuju bahwa faktor keturunan
tidak menentukan perkembangan intelektual anak. Meskipun dukungan genetik
mungkin mempengaruhi kemampuan intelektual seseorang, pengaruh-pengaruh
lingkungan dan dukungan keluarga juga akan mempengaruhi perkembangan
pada anak (Campbell et al. 2001 dalam Santrock 2007)
Faktor lingkungan
Lingkungan merupakan faktor yang sangat menentukan tercapai atau
tidaknya potensi bawaan. Lingkungan yang cukup baik akan memungkinkan
tercapainya
potensi
bawaan,
sedangkan
yang
kurang
baik
akan
menghambatnya. Faktor lingkungan yang mempengaruhi tumbuh kembang
secara umum dapat digolongkan menjadi : 1). Lingkungan biologis, antara lain
ras atau suku bangsa, jenis kelamin, umur, gizi, perawatan kesehatan, kepekaan
terhadap penyakit, penyakit kronis, fungsi metabolisme, hormon. 2). Faktor fisik,
17
antara lain : cuaca, musim, kedaan geografis suatu daerah, sanitasi, keadaan
rumah, radiasi. 3). Faktor psikososial, antara lain : stimulasi, motivasi belajar,
ganjaran, hukuman yang wajar, kelompok sebaya, kualitas interaksi orang tua
terhadap anak. 4) faktor keluarga dan adat istiadat, antara lain : pekerjaan atau
pendapatan keluarga, pendidikan ayah dan ibu, besar keluarga (Soetjiningsih
2002).
Aspek-aspek lingkungan seperti sosioekonomi yakni bagaimana orang
tua berkomunikasi dengan anak, dukungan yang diberikan orang tua, lingkungan
dimana keluarga tinggal mempengaruhi perkembangan bahasa anak. Anak
dengan orang tua yang mempunyai status ekonomi menengah keatas atau kaya
berbicara lebih sedikit kepada anak-anaknya, jarang membicarakan peristiwa
masa lalu dan menyediakan sedikit waktu untuk bercakap dengan anak-anak
mereka dibandingkan orang tua yang berstatus ekonomi menengah (Betty Hart &
Todd Risley 1995 dalam Santrock 2007). Orang tua yang memperhatikan apa
yang dikatakan anaknya, memperluas kosakata mereka, membacakan buku
cerita bagi anak-anaknya dan mamberikan objek-objek dalam lingkungan, akan
memberikan manfaat-manfaat yang berharga bagi perkembangan bahasa anak
(Gleason 2004 dalam Santrock 2007)
Stimulasi
Perkembangan psikis seseorang tidak saja ditentukan oleh faktor-faktor
dari dalam dirinya, tetapi juga sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor dari luar diri
anak
tersebut.
perkembangan
Oleh
anak
karena
melalui
itu
lingkungan
pemberian
sosial
berbagai
harus
stimulasi.
mendukung
Bila
anak
mendapatkan stimulasi maka ia akan mengembangkan kemampuannya dalam
batas-batas yang diberikan oleh keluarga atau lingkungannya. Hal ini akan
sangat berpengaruh bagi perkembangan yang sehat (Monks et al. 2004).
Stimulasi memegang peranan sangat penting dalam memaksimalkan
kecerdasan anak. Stimulasi diperlukan agar hubungan antarsel syaraf otak
(sinaps) dapat berkembang. Sinaps akan menghilang secara spontan bila tidak
digunakan (Monks et al. 2004).
Interaksi yang harmonis antara anak dengan anggota keluarga akan
menimbulkan keakraban dalam keluarga. Anak akan terbuka pada orang tuanya
sehingga setiap permasalahan dapat dipecahkan bersama karena adanya
kedekatan dan kepercayaan antara orang tua dan anak. Kualitas interaksi yang
18
baik akan menimbulkan pemahaman terhadap kebutuhan masing-masing dan
upaya untuk memenuhi kebutuhan tersebut yang dilandasi rasa saling
menyayangi (Soetjiningsih 1995).
Anak mempunyai kebutuhan untuk belajar. Berbagai stimulasi melalui
pancainderanya seperti mendengar, melihat, merasa, mencium dan meraba,
yang diberikan selama awal kehidupan mempunyai pengaruh yang besar pada
pertumbuhan dan maturasi otak.
Hal ini ditunjukkan oleh program stimulasi yang dapat mendorong
percepatan pertumbuhan, memperbaiki koordinasi gerakan otot, meningkatkan
lama konsentrasi dan meningkatkan Intelligence Quotion (IQ) bayi sebanyak 15
poin. Terdapat bukti eksperimental yang menyatakan bahwa tikus yang
dibesarkan dalam lingkungan stimulasi dengan penuh kegembiraan dan
permainan mempunyai sel otak ekstra 50.000 pada setiap sudut hipokampusnya
dibandingkan dengan tikus yang dibesarkan dalam kandang biasa. Ketika tikus
ditempatkan di treadmill, menyebabkan sel otak mereka memproduksi faktor
pertumbuhan yang menstimulasi pertumbuhan dendrit dan perluasan jaringan
saraf. Pertumbuhan neuron tidak hanya terjadi pada bagian otak yang
mengontrol fungsi motorik tapi juga pada bagian yang mengontrol kognitif (Singh
2003).
Status Gizi
Untuk mencapai tumbuh kembang yang baik maka diperlukan zat
makanan yang adekuat. Makanan yang kurang baik secara kualitas maupun
kuantitas akan menyebabkan gizi kurang. Keadaan gizi kurang dapat
mengakibatkan perubahan struktural dan fungsional pada otak.
Menurut Georgieff (2007), otak manusia mengalami perubahan struktural
dan fungsional yang luar biasa antara minggu ke 24 dan minggu 42 setelah
konsepsi. Sel-sel otak mulai terbentuk pada trimester pertama kehamilan,dan
berkembang pesat sejak dalam rahim. Perkembangan ini berlanjut saat setelah
lahir hingga usia 2 atau 3 tahun, periode tercepat usia 6 bulan pertama. Setelah
usia tersebut praktis tidak ada pertumbuhan lagi, kecuali pembentukan sel
neuron baru untuk mengganti sel otak yang rusak. Dengan demikian diferensiasi
dan pertumbuhan otak berlangsung hanya sampai usia 3 tahun.
Kekurangan gizi pada masa kehamilan akan menghambat multiplikasi sel
janin, sehingga jumlah sel neuron di otak dapat berkurang secara permanen.
19
Sedangkan kekurang gizi pada usia anak sejak lahir hingga 3 tahun akan sangat
berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan sel glia dan proses
mielinisasi otak. Sehingga kekurangan gizi saat usia kehamilan dan usia anak
sangat berpengaruh terhadap kualitas otaknya. Gizi kurang pada usia di bawah 2
tahun akan menyebabkan sel otak berkurang 15-20%, sehingga anak yang
demikian kelak kemudian hari akan menjadi manusia dengan kualitas otak
sekitar 80-85%.
Pertumbuhan susunan syaraf ini dapat dikatakan berlangsung dengan
cepat sekali selama dalam kandungan dan 3 sampai 4 tahun setelah dilahirkan.
Selama dalam kandungan susunan syaraf yang terutama tumbuh cepat adalah
jumlah dan ukuran sel syaraf. Setelah bayi lahir maka pertumbuhan susunan
syaraf lebih terarah pada perkembangan sel syaraf yang belum berkembang.
Setelah anak berusia lebih dari 4 tahun, pertumbuhan susunan syaraf
berlangsung lebih lambat (Yuliana 2004).
Karakteristik anak
Usia
Usia menentukan perkembangan bahasa anak. Sebagaimana aspek
perkembangan lainnya, perkembangan bahasa juga melalui berbagai tahapantahapan. Perkembangan pada periode sebelumnya akan berpengaruh pada
perkembangan
pada
periode
selanjutnya
(Santrock
2007).
Semakin
bertambahnya usia anak, kemampuan berbahasa anakpun akan semakin
bertambah (Turner & Helms 1990).
Penambahan umur ini terkait dengan jumlah kosakata yang dikuasai,
tingkat kekomplekan kalimat yang dapat dirangkai dan pemahaman pada isi
pembicara orang lain maupun perintah yang ditunjukkan kepada anak. Cara
berpikir anak juga berkembang setiap tahap umur, pada perkembangan kognitif
anak semakin dewasa usia anak semakin kompleks dalam berpikir melalui tahaptahap sesuai tingkatan umur mereka (Santrock 2007).
Jenis kelamin
Jenis
kelamin
menentukan
perkembangan
bahasa
pada
anak
(Soetjiningsih 1995). Perkembangan bahasa melibatkan maturasi dari fungsi
hemisfer kiri otak besar manusia yang merupakan pusat berbicara dan
berbahasa (Turner & Helms 1990). Lebih lanjut Soetjiningsih (1995) pada anak
20
perempuan proses maturasi fungsi verbal hemisfer kiri lebih cepat dibandingkan
pada anak laki-laki. Menurut Hurlock (1980) selain faktor yang alami (nurture),
lingkungan pengasuhan juga menyebabkan perbedaan kemampuan berbahasa
pada anak laki-laki dan permpuan, masyarakat cenderung menghendaki anak
laki-laki lebih sedikit berbicara dibandingkan anak perempuan.
Studi mengenai perbedaan jenis kelamin pada kemampuan intelektual
yaitu laki-laki memiliki skor yang lebih baik daripada wanita dalam beberapa area
non-verbal, seperti berpikir spasial. Sedangkan perempuan memiliki skor lebih
baik daripada pria dalam beberapa area verbal, seperti kemampuan menemukan
sinonim kata-kata dan memori verbal (Santrock 2007)
Karakteristik keluarga
Pendidikan Orang Tua
Pendidikan orang tua, terutama ibu merupakan salah satu faktor penting
dalam tumbuh kembang anak. Ibu yang berpendidikan tinggi lebih terbuka
menerima informasi dari luar tentang cara pengasuhan anak yang baik, menjaga
kesehatan anaknya, pendidikannya dan sebagainya (Soetjiningsih 1995).
Penelitian lain menemukan hubungan yang bermakna antara tingkat pendidikan
ibu dengan perkembangan anak. Penelitian Muljati et al. (2002) juga menemukan
hubungan yang bermakna antara tingkat pendidikan ibu dengan perkembangan
mental anak batita gizi kurang.
Pendidikan ibu akan mempengaruhi perkembangan jika ibu memiliki
pengetahuan yang baik tentang pengasuhan anaknya serta adanya interaksi
yang harmonis antara ibu dan anak. Tanpa kedua hal tersebut pendidikan ibu
yang tinggi tidak serta merta dapat mempengaruhi perkembangan terlebih
kepedulian ibu terhadap tumbuh kembang anak minim. Studi yang dilakukan di
Brazil menunjukkan bahwa pendidikan ibu berpengaruh pada kemampuan ibu
dalam memproses informasi (Thomas et al. 1991). Kemudian Behrman dan
Hoddinot (2005) juga menyatakan bahwa ibu yang memiliki pendidikan tinggi
lebih baik dalam menerima informasi dan berpengaruh pada kesehatan anaknya.
Studi yang dilakukan di Jawa Tengah oleh Webb dan Block (2004) mengenai
pengaruh pendidikan formal ibu terhadap status gizi pada anak, menyatakan
bahwa pendidikan formal ibu memiliki pengaruh terhadap jangka panjang status
gizi anak melalui informasi nutrisi.
21
Menurut Hidayat (2004), pendidikan merupakan panutan manusia untuk
berbuat
dan
mengisi
kehidupannya
serta
sarana
untuk
memperoleh
pengetahuan sehingga mampu meningkatkan kualitas hidupnya. Semakin tinggi
tingkat pendidikan tingkat pendidikan ibu maka semakin baik pengetahuan yang
dimilikinya sehingga komunikasi yang dilakukan pada anak semakin efektif.
Pendapatan keluarga
Faktor pendapatan memiliki peranan besar dalam persoalan gizi dan
kebiasaan makan keluarga terutama tergantung kemampuan keluarga untuk
membeli pangan yang dibutuhkan keluarga tersebut (Azwar 2000). Pendapatan
keluarga mengggambarkan tingkat sosial ekonomi. Kemiskinan merupakan salah
satu faktor yang dapat mempengaruhi tingkat kecerdasan anak. Kemiskinan
berkaitan dengan kekurangan makanan, kesehatan lingkungan yang jelek dan
ketidaktahuan. Kemiskinan akan menyebabkan keterbatasan keluarga dalam
menyediakan berbagai fasilitas bermain menyebabkan otak anak kurang
mendapatkan stimulasi. Hal ini dapat menghambat perkembangannya (Depkes
2008).
Menurut Davidof (1991), efek kemiskinan terhadap inteligensi antara lain :
kemiskinan sering dihubungkan dengan kepadatan, kebisingin, ketegangan dan
kondisi hidup yang berubah. Dengan kondisi seperti ini anak-anak kurang
memperoleh informasi baru yang teratur untuk belajar. Kegiatan-kegiatan
tersebut sangat penting untuk perkembangan intelligensi anak.
Efek yang kedua adalah anak yang berasal dari keluarga yang tidak
mampu sedikit sekali memperoleh tambahan kata-kata yang dipergunakan untuk
mengekspresikan diri dan pengalamannya. Keterbatasan perbendaharaan katakata akan mempersempit pemikirannya dan dapat mengakibatkan intelligensi
menurun.
Selanjutnya adalah anak yang berasal dari orang tua miskin, kecil
kemungkinannya untuk dapat meluangkan waktu untuk memberikan pendidikan
pengembangan kemampuan anak, dan sering mereka tidak mengetahui caranya,
karena keterbatasan pendidikannya.
Pendapatan perkapita yang menggambarkan sosioekonomi merupakan
salah satu dasar masalah (basic causes) yang mempengaruhi tumbuh kembang
anak. Hasil studi yang dilakukan oleh Mendez dan adair (1999) menunjukkan
bahwa anak-anak yang berasal dari keluarga yang miskin bersinergi dengan
22
kekurangan gizi yaitu stunted dengan pencapaian perkembangan kognitif yang
cenderung rendah daripada anak yang berasal dari keluarga sejahtera dan kaya.
Menurut Papalia (1979) anak yang berasal dari keluarga dengan tingkat
sosio-ekonomi yang rendah berkaitan dengan lambatnya perkembangan bahasa
pada anak, ditandai dengan ketidakmatangan pembendaharaan kalimat,
rendahnya pengetahuan kata, berbicara lebih sedikit dibandingkan dengan anak
dari kelas menengah atau kaya. Melalui sosiolinguistik, studi mengenai interaksi
bahasa dengan kelas sosial diketahui bahwa anak yang berasal dari kelas sosial
menengah kebawah mempunyai kematangan berbahasa yang rendah serta
kata-kata yang digunakan tidak kompleks dan lebih singkat serta kurangnya
pengetahuan tentang kata dan kalimat.
Menurut Yusuf (2005) beberapa studi
menjelaskan hubungan antara perkembangan bahasa dengan status ekonomi
keluarga menunjukkan bahwa anak-anak yang berasal dari keluarga yang miskin
mengalami keterlambatan dalam perkembangan bahasanya dibandingkan anak
berasal dari anak dari keluarga dengan tingkat sosioekonomi yang baik. Kondisi
ini mungkin disebabkan oleh perbedaan kecerdasan atau kesempatan belajar.
Besar keluarga
Besar keluarga adalah banyaknya anggota keluarga yang terdiri dari
ayah, ibu dan anak. Salah satu faktor yang mempengaruhi kecukupan konsumsi
pangan pada suatu rumah tangga adalah jumlah anggota rumah tangga. Bagi
rumah tangga dengan anggota rumah tangga yang banyak, jumlah anggota
rumah tangga biasanya adalah faktor penentu dalam memilih jenis bahan
makanan dan distribusi pangan antar anggota rumah tangga. Biasanya pada
kondisi tersebut, faktor kuantitas lebih diutamakan daripada faktor kualitas
sehingga diharapkan seluruh anggota keluarga dapat tebagi secara merata
(Dariyo 2007).
Besar keluarga mempengaruhi pendapatan per kapita dan pengeluaran
pangan rumah tangga. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pendapatan per
kapita dan pengeluaran pangan menurun seiring dengan peningkatan besar
keluarga. Menurut Suhardjo (2003), terdapat pengaruh antara laju kelahiran dan
keadaan gizi keluarga pada masyarakat miskin. Keluarga akan lebih mudah
memenuhi kebutuhan makanannya jika jumlah anggota keluarga yang harus
diberi makan lebih sedikit. Anak yang paling kecil biasanya paling terpengaruh
oleh kekurangan pangan.
23
Besar keluarga berpengaruh pada kualitas pengasuhan yang bermanfaat
pada anak (Nuraeni 1997). Kualitas pengasuhan anak dimaknai sebagai proses
pengalaman berinteraksi dan berkomunikasi dengan lingkungan keluarga,
terutama dengan orang tua mengajar, melatih dan memberikan contoh
berbahasa pada anak. Anak yang berasal dari keluarga beranggota sedikit
cenderung memperhatikan perkembangan anak, orang tua lebih banyak
meluangkan waktu dan biaya untuk anak dalam memberikan fasilitas seperti
mainan sebagai alat stimuli dibandingkan anak yang berasal tinggal pada
keluarga beranggotakan lebih dari empat orang (Yusuf 2005).
Umur Orang Tua
Orangtua terutama ibu, cenderung kurang memiliki pengetahuan dan
pengalaman dalam mengasuh anak, sehingga umumnya mereka mengasuh dan
merawat anak didasarkan pada pengalaman orangtua terdahulu. Selain itu,
faktor usia muda juga cenderung menjadikan seorang ibu akan lebih
memperhatikan kepentingannya sendiri daripada kepentingan anaknya, sehingga
kuantitas dan kualitas pengasuhan kurang terpenuhi. Sebaliknya, ibu yang lebih
berumur cenderung menerima perannya dengan sepenuh hati (Hurlock 1999).
Umur ibu menentukan pola pengasuhan dan penentuan makan yang
sesuai bagi anak karena semakin bertambah umur ibu maka makain bertambah
pula pengalaman dan kematangan ibu dalam pola pengasuhan dan penentuan
makan anak (Hastuti 2008).
Pola Asuh Makan
Pola pengasuhan merupakan sikap dan perilaku ibu atau pengasuh lain
dalam
hal
kedekatannya
dengan
anak,
memberikan
makan,
merawat,
kebersihan, dan memberi kasih sayang. Oleh karena itu menurut Hastuti (2008)
pola pengasuhan mencakup pengasuhan makan, pengasuhan hidup sehat,
pengasuhan akademik, pengasuhan sosial ekonomi serta pengasuhan moral dan
displin. Pola pengasuhan tersebut berhubungan dengan keadaan ibu dalam hal
kesehatan (fisik dan mental), status gizi, pendidikan umum, pengetahuan tentang
pengasuhan anak yang baik, peran dalam keluarga di masyarakat, sifat
pekerjaan sehari-hari, adat kebiasaan keluarga dan masyarakat dari ibu atau
pengasuh (Soekirman 2000). Dalam penelitian Diana (2004) di Sumatera Barat,
pola asuh anak yang kurang akan mempunyai resiko anak batita KEP 1,5 kali
24
dibandingkan dengan anak batita yang mempunyai pola suh yang cukup. Selain
itu Diana (2004) menyebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi pola asuh adlah
pendidikan ibu, pekerjaan ibu, umur dan tingkat pengetahuan.
Pemberian makanan bergizi mutlak dianjurkan untuk anak melalui peran
ibu dan pengasuhnya. Menurut Hastuti (2008), pola asuh makan mengacu pada
apa dan bagaimana anak makan, serta situasi yang terjadi pada saat makan.
Hasil penelitian Ogunba (2006) menyebutkan bahwa perilaku ibu yang benar
selama memberi makan akan meningkatkan konsumsi pangan anak dan pada
akhirnya akan meningkatkan status gizi anak.Makanan dan minuman bergizi
harus dapat disediakan orang tua bahkan sejak masa prenatal (sebelum
kelahiran) hingga pada masa post natal (setelah kelahiran), periode usia bayi,
balita, usia prasekolah, usia sekolah hingga periode usia dewasa.
Terdapat variasi pemberian makanan balita yaitu usia bayi (0-1 tahun),
usia baduta (1-2 tahun), dan balita (2-5 tahun), anak telah mempunyai motorik
halus ketika berusia dua tahun, oleh karena itu pada usia ini anak dibiasakan
untuk memegang sendok makan dan gelas minumnya sendiri, belajar
memasukkan makanan kedalam mulut dan mengunyahnya dengan baik.
Kebiasaaan makanan yang beragam, bergizi dan berimbang, harus dibiasakan
sejak usia dini. Pemberian makanan yang baik akan membentuk kebiasaaan
makanan yang baik pula pada anak. Selain itu anak balita yang mendapatkan
kualitas pengasuhanyang lebih baik kemungkinan besar akan memiliki angka
kesakitan yang rendah dan status gizi yang relatif lebih baik (Hastuti 2008).
Keadaan lingkungan dan sikap keluarga merupakan pertimbangan yang
penting dalam pemberian makan kepada anak, karena pada perkembangan
anak, keluarga dapat membantu anak mencapai sikap normal dan berminat
terhadap makanan tanpa adanya suatu kecemasan dan kakuatiran mengenai
makan. Hawadi (2001) menyatakan bahwa anak yang berumur 2- 5 tahun
umunya sudah mampu makan makanan biasa hanya tidak pedas. Mereka masih
tergolong konsumen pasif dan belum dapat memilih dan menilai kulitas makanan.
Seringkali masa ini muncul kebiasaan buruk seperti menyukai makanan yang
kurang bergizi seperti permen, coklat dan makanan jajanan lainnya yang dapat
menyebabkan berkurangnya nafsu makan.
Pemberian makan yang salah dalam jumlah, jenis dan komposisi, cara
dan proses memasak dapat mengakibatkan keadaan gizi salah (malnutrisi), baik
kekurangan (kurang kalori dan protein) atau kelebihan (kegemukan). Tujuan
25
pemberian makanan pada anak bukan sekedar membuat kenyang, tetapi untuk
memenuhi kebutuhan zat gizi secara adekuat untuk keperluan hidup mendidik
anak untuk membina selera dan kebiasaan makan yang sehat Hawadi (2001)
Frekuensi Konsumsi Pangan Balita
Khomsan (2003) menyatakan bahwa frekuensi konsumsi pangan per hari
merupakan salah satu aspek dalam kebiasaan makan. Frekuensi konsumsi
pangan pada anak, ada yang terikat pada pola makan 3 kali per hari tetapi
banyak pula yang mengkonsumsi pangan antara 5 sampai 7 kali per hari atau
lebih. Frekuensi konsumsi pangan bisa menjadi penduga tingkat kecukupan gizi,
artinya semakin tinggi frekuensi konsumsi pangan, maka peluang terpenuhinya
kecukupan gizi semakin besar.
Penelitian yang dilakukan di Uganda anak balita yang mengalami stunted
berkaitan dengan rendahnya asupan energi dan protein. Konsumsi makanan
sebagian besar anak stunted yang diperoleh dari pencatatan makanan dengan
FFQ ( Food Frequencies Qustionare) sebagian berasal dari sumber pati-patian
dengan densitas energi yang sedikit, konsumsi sumber sayur dan buah yang
sangat rendah dan rendahnya Konsumsi zat besi hem (Bridge et.al 2006). Studi
yang dilakukan di Etiopia menyatakan bahwa terdapat hubungan signifikan
antara faktor konsumsi makanan terhadap kejadian stunting, faktor lain yaitu
jenis makanan yang diberikan pada anak juga berpengaruh signifikan terhadap
kejadian stunting pada anak kurang dari lima tahun. Sebanyak 51% anak yang
lebih sering diberikan makanan berupa bubur beras saja mengalami stunting,
sedangkan anak yang lebih sering diberikan tambahan susu dan mashed potato
(pure kentang) lebih rendah resiko kejadian stunted. Pemberian makanan pada
anak kurang dari tiga kali sehari memiliki hubungan secara signiifikan terhadap
kejadian stunting. Proporsi anak stunted lebih rendah secara bermakna dengan
frekuensi pemberian makan harian lebih dari 3 kali.
Download