5 TINJAUAN PUSTAKA Balita Usia balita lebih dikenal sebagai the golden age karena masa ini sangat menentukan pertumbuhan dan perkembangan anak selanjutnya. Anak balita adalah bayi sampai anak berusia lima tahun atau biasa disebut anak bawah lima tahun (Soekirman 2000). Pada usia balita merupakan periode kritis dalam kehidupan manusia, karena secara fisik terjadi perkembangan tubuh dan ketrampilan motorik yang sangat nyata. Menurut Hidayat (2004), peristiwa yang dialami dalam pertumbuhan dan perkembangan anak adalah percepatan dan perlambatan. Peristiwa pertumbuhan pada anak dapat terjadi perubahan tentang besarnya, jumlah, ukuran di dalam tingkat sel, organ maupun individu, sedangkan peristiwa perkembangan pada anak dapat terjadi pada perubahan bentuk dan fungsi pematangan organ mulai dari aspek sosial, emosional dan intelektual. Menurut BKKBN (1995) menyatakan bahwa pada masa balita hampir seluruh waktu anak berada di tangan orang tua dan sangat tergantung padanya. Orang tua selain berperan penting dalam mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak karena orangtualah yang paling mengetahui secara seksama perubahan yang terjadi pada anaknya. Balita merupakan golongan rawan terkena masalah gizi. Makanan bergizi sangat penting diberikan pada bayi sejak masih dalam kandungan. Masa balita merupakan momentum paling penting dalam melahirkan generasi pintar dan sehat. Jika usia ini tidak dikelola dengan baik, apalagi kondisi gizinya buruk kemudian hari akan sulit terjadi perbaikan kualitas bangsa. Awal masa kanak-kanak adalah periode pertumbuhan yang paling banyak dan paling cepat selama kehidupan manusia. Usia anak dari masa konsepsi sampai usia delapan tahun merupakan usia yang sangat kritis untuk melengkapi pertumbuhan kognitif, emosional dan pertumbuhan fisik pada anak. Perkembangan otak pada anak sangat cepat pada tahap prenatal dan berlanjut setelah lahir. Meskipun formasi sel sudah terpenuhi sebelum lahir, kematangan sel dan hubungan jaringan saraf yang penting secara cepat berkembang setelah kelahiran atau pada awal masa kanak-kanak. Pada masa anak-anak lingkungan juga memiliki pengaruh yang penting dalam perkembangan dan pertumbuhan sistem saraf pusat. Kekurangan gizi pada masa kanak-kanak berdampak serius 6 pada perkembangan otak terutama pada jaringan saraf dan penyimpangan perilaku seperti kesulitan belajar dan retardasi mental (Unicef 2001). Pada umur satu tahun, tinggi badan akan 1.5 kali tinggi badan waktu lahir, pada umur 4 tahun tinggi badan akan 2 kali tinggi badan waktu lahir. Sedangkan pada usia 6 tahun tinggi badan akan 2.5 kali tinggi badan waktu lahir, dan pada usia 13 tahun tinggi badan akan 3 kali tinggi badan waktu lahir, serta pada usia dewasa, tinggi badan akan 3.5 kali tinggi badan waktu lahir (Abunain 1990). Status Gizi Status gizi merupakan suatu ekspresi dan keseimbangan zat gizi dalam bentuk variabel tertentu, atau perwujudan nutriture dalam bentuk variabel tertentu meliputi berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas, dan lain-lain. Status gizi adalah keadaan keseimbangan antara asupan (intake) zat gizi dan jumlah yang dibutuhkan (requirement) oleh tubuh untuk berbagai fungsi biologis (pertumbuhan fisik, perkembangan, aktivitas, pemeliharaan kesehatan dan lainlain) (Jahari 2002). Menurut Suharjo (2003), status gizi adalah suatu keadaan tubuh yang disebabkan oleh konsumsi penyerapan dan penggunaan makanan oleh jumlah dan jenis makanan yang dikonsumsi. Status gizi seringkali digunakan untuk mengetahui gambaran tingkat kecukupan konsumsi makan individu pada suatu saat. Dari gambaran status gizi balita dapat diprediksikan apakah balita tersebut telah mengkonsumsi makanan yang telah cukup untuk memenuhi kebutuhannya agar dapat memelihara proses dan fungsi tubuh termasuk diantaranya untuk pertumbuhan dan aktivitas fisik (Soekirman 2000). Terdapat beberapa penilaian status gizi, yaitu yaitu dengan pengukuran antropometri, klinis dan biofisik, yang disebut dengan penilaian status gizi secara langsung. Pengukuran antropometri adalah jenis pengukuran yang paling sederhana dan praktis, karena mudah dilakukan dan dapat dilakukan dalam jumlah sampel yang besar. Pengukuran antropometri adalah pengukuran yang dilakukan terhadap berat badan (BB), tinggi badan (TB) dan lingkaran bagianbagian tubuh serta tebal lemak bawah kulit (Supriasa et al. 2001). Antropometri gizi berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Pada pemakaian untuk menilai status gizi, antropometri disajikan dalam bentuk 7 indeks yang dikaitkan dengan variabel lain yaitu variabel umur, berat badan (BB/U) dan tinggi badan (TB/U) ( Depkes 2008). Tinggi badan merupakan antropometri yang menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal. Dalam keadaan normal, tinggi badan tumbuh bersamaan dengan pertambahan umur. Indeks tinggi/panjang badan menurut umur (TB/U) menggambarkan status gizi masa lalu, selain itu juga erat kaitannya dengan masalah sosial ekonomi masyarakat (Jahari 2002). Keadaan indeks ini pada umumnya memberikan gambaran keadaan lingkungan yang tidak baik, kemiskinan dan akibat tidak sehat yang menahun (Depkes RI 2005). Penilaian status gizi dengan indikator TB/U dilakukan berdasarkan standar WHO-NCHS 2005 untuk menyatakan apakah anak termasuk kedalam kategori status normal, pendek atau sangat pendek disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 kategori status gizi berdasarkan baku WHO-NCHS 2005 Indikator Tinggi badan menurut umur (TB/U) Kategori status gizi Sangat pendek (severe stunted) Pendek (stunted) Normal Tinggi Keterangan z-score <-3 SD -3 SD ≤ z-score < -2SD -2 SD ≤ z-score < +2SD z-score > +2 SD Kurang gizi menurut Suharjo (2003) disebabkan oleh masukan (intake) energi dan protein yang sangat kurang dalam waktu yang cukup lama. Keadaan ini lebih cepat terjadi bila anak mengalami diare atau infeksi penyakit lainnya. Keadaan kehidupan yang miskin mempunyai hubungan sangat erat dengan timbulnya kondisi kurang energi protein. Lebih lanjut menurut Gibson (1990), status gizi adalah tanda-tanda atau penampilan fisiologis yang diakibatkan oleh keseimbangan intake gizi dan penggunaanya oleh organisme. Penelitian Husaini et al. (2003) pada anak-anak yang berumur <18 bulan yang menderita kekurangan KEP diberikan intervensi gizi, pada 8 tahun kemudian (usia saat penelitian, yaitu 9 tahun) dilakukan cognitive ability test (uji kognitif) memiliki skor lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol (yang tidak mendapat intervensi gizi). Jadi anak yang mendapat intervensi gizi lebih cerdas daripada yang tidak mendapatkan intervensi gizi. 8 Stunting Stunting merupakan proses kumulatif yang bermula dari proses maternal atau janin kemudian berlanjut sampai usia tiga tahun stelah lahir. Menurut Graham-Mc Gregor et al. (2007) prevalensi anak yang mengalami stunting merupakan indikator kemiskinan dari negara yang memiliki pendapatan yang rendah khususnya negara berkembang, yang akan berdampak keterlambatan perkembangan. Waterlow & Schurch (1994) pada menyimpulkan penyebab stunting dari faktor : 1) zat gizi (kekurangan zat gizi energi, zat gizi makro, zat gizi mikro dan faktor racun / toxin); 2) infeksi ( kerusakan mukosa gastrointestinal, sistem imunitas dan 3). interaksi bayi dan ibu (kekurangan zat gizi tertentu yang diperlukan selama masa kehamilan dan penyaluran zat gizi saat lahir, serta interaksi perilaku/ behavioral interaction). Berat badan lahir rendah (BBLR) adalah indikator penting dari kekurangan zat gizi maternal dan sebagai menentukan pertumbuhan anak selanjutnya (Frogillo et al. 1997). Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2010 kejadian stunting pada balita di Indonesia masih sangat tinggi, yaitu 36.8% yang terdiri dari 18.8% sangat pendek (severe stunted) dan 18.0% pendek (stunted). Hal tersebut sangat memperihatinkan karena WHO merekomendasikan bahwa prevalensi stunting pada semua negara sebaiknya dibawah 20% sampai akhir 2020 (ACC/SCN 1997). Anak yang stunted mengalami pertumbuhan rangka yang lambat dan pendek. Kondisi ini merupakan hasil dari periode yang panjang dimana tidak terpenuhinya kebutuhan makanan, meningkatnya kesakitan dan biasanya ditemukan pada negara-negara yang kondisi ekonominya buruk. Prevalensi anak stunted dan kurus banyak terjadi pada tahun ke-2 dan ke-3 dalam kehidupan. Pengaruh perbedaan genetik dan suku menjadi pertimbangan ketika melakukan evaluasi tinggi badan terhadap umur (Gibson 1990). Studi pada anak stunted berkaitan dengan rendahnya skor kognitif dibandingkan dengan anak normal (Mc Gregor 1990). Dampak terburuk dari kekurangan gizi yang dialami pada saat kehamilan maupun dua tahun pertama usia anak yang merupakan periode window of opportunity, akan mengakibatkan kerusakan pada tumbuh kembang otak yang bersifat permanen. Akibat kerusakan tersebut meliputi kerusakan pada pertumbuhan otak, kecerdasan, kemampuan belajar, kreativitas, dan produktivitas anak (Syarief et al. 2007). 9 Penelitian yang dilakukan oleh Mendez dan Adair (1999) membuktikan bahwa anak stunted memiliki skor kognitif yang lebih rendah daripada anak yang memiliki tinggi normal, mereka juga memiliki pencapaian nilai yang lebih rendah pada nilai matematika dan bahasa. Hal tersebut sejalan dengan penelitian Hall et al. (2001) bahwa anak yang stunted memiliki skor nilai matematika dan bahasa yang lebih rendah daripada anak yang bertumbuh normal. Hasil studi Hizni et al. (2009) pada anak balita di Pesisir kota Cirebon, bahwa terdapat hubungan antara status gizi stunted pada anak balita dengan perkembangan bahasa dimana perkembangan bahasa merupakan salah satu aspek yang diteliti dalam perkembangan anak. Watanabe et al. (2005) menemukan pengaruh yang signifikan dari intervensi gizi dan stimulasi pada peningkatan skor tes kognitif anak stunted. Lebih lanjut pada penelitian Meenakshi et al.(2007) di India tentang pertumbuhan dan perkembangan anak, bahwa terdapat hubungan signifikan antara status stunted dengan perkembangan bahasa anak. Perkembangan Anak Perkembangan mempunyai arti suatu pola perubahan (Change) atau gerakan (movement yang dimulai dari periode konsepsi (dalam) kandungan) dan berlansung terus-menerus sepanjang siklus hidup (life cycle)). Perkembangan ini meliputi pertumbuhan dengan pola pergerakan yang kompleks karena merupakan hasil dari beberapa proses simultan yaitu proses biologi, kognitif dan sosial. Ketiga proses ini saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu sama lainnya (Santrock 2007). Sedangkan menurut Monk et al. (2004) perkembangan menunjuk pada proses kearah yang lebih sempurna dan tidak begitu saja diulang kembali (irreversible). Selanjutnya Hurlock (1999) menjelaskan bahwa perkembangan bertambahnya kemampuan dalam struktur dan fungsi yang lebih teratur yang mengikuti pola tertentu dan dapat diramalkan. Misalnya pola-pola teratur dari perkembangan fisik, motorik, bicara/bahasa dan perkembangan kognitif. Proses tumbuh kembang anak mempunyai ciri-ciri yang saling berkaitan yaitu 1). Perkembangan menimbulkan perubahan : setiap pertumbuhan diikuti dengan perkembangan. Misalnya pertumbuhan sel-sel otak dan serabut saraf diikuti dengan perkembangan intelegensi pada seorang anak; 2). Pertumbuhan dan perkembangan pada tahap awal menentukan perkembangan selanjutnya : terdapat tahap-tahap perkembangan yang harus dilalui anak; 3). Pertumbuhan 10 dan perkembangan mempunyai kecepatan yang berbeda : pertumbuhan fisik dan perkembangan fungsi organ mempunyai kecepatan yang berbeda pada masingmasing anak; 4). Perkembangan berkorelasi dengan pertumbuhan : bila pertumbuhan berlangsung cepat, perkembanganpun meningkat. Anak sehat bertambah umur, bertambah berat dan tinggi badannya serta bertambah kepandaiannya; 5). Perkembangan mempunyai pola yang tetap: perkembangan fungsi organ tubuh terjadi menurut dua hukum yang tetap. Perkembangan di daerah kepala terjadi lebih dahulu kemudian diikuti perkembangan kaudal/anggota tubuh (pola sefakaudal). Perkembangan didaerah proksimal (gerak dasar) terjadi sebelum perkembangan kebagian distal seperti jari-jari yang mempunyai kemampuan gerak halus (poin proksimodistal); 6) perkembangan memiliki tahap yang berurutan, tidak bisa terjadi terbalik. Misalnya anak mampu berdiri sebelum berjalan dan sebagainya (Depkes 2005). Pertumbuhan dan perkembangan merupakan dua proses yang saling berhubungan. Pertumbuhan akan diikuti perkembangan. Begitu juga sebaliknya, proses perkembangan Bertambahnya akan ketrampilan menstimulasi anak baik pertumbuhan mental sel-sel maupun motorik tubuh. akan mampengaruhi perkembangan sel-sel otak, saraf, tulang dan sebagainya. Gangguan perkembangan tidak normal antara lain ditandai dengan lambatnya kematangan sel-sel syaraf, lambatnya gerakan motorik, kurangnya kecerdasan dan lambatnya respon sosial (Yuliana et al. 2004). Perkembangan Bahasa Anak Perkembangan bahasa merupakan tingkat pencapaian kemampuan anak dalam berbicara spontan, mengikuti perintah, dan berespon terhadap suara ( Soetijingsih 1995). Menurut Santrock (2007) bahasa adalah sarana komunikasi dengan menyimbolkan pikiran dan perasaan untuk menyampaikan makna kepada orang lain. Kemampuan berbahasa merupakan proses paling kompleks diantara seluruh fase perkembangan pada anak. Lebih lanjut menurut Soetjiningsih (1995) fungsi bahasa bersamaan dengan fungsi perkembangan pemecahan masalah visio-motor yang merupakan indikator yang paling baik dari ada tidaknya gangguan perkembangan intelektual pada anak. Terdapat empat tugas perkembangan bahasa pada anak yang satu sama lainnya saling berkaitan. Keempat tugas itu adalah : 1) pemahaman, yaitu kemampuan memahami makna ucapan orang lain; 2) pemahaman 11 pembendaharaan kata, hal ini dimulai secara lambat pada usia dua tahun pertama, kemudian mengalami tempo yang cepat pada usia pra-sekolah dan terus meningkat setelah anak masuk sekolah; 3) penyusunan kata-kata menjadi kalimat, kemampuan ini pada umumnya berkembang sebelum anak usia dua tahun. Bentuk kalimat pertama adalah kalimat tunggal (kalimat satu kata) dengan disertai gesture untuk melengkapi cara berpikirnya. Contohnya anak menyebut “Bola” sambil menunjuk bola itu dengan jarinya. Kalimat tunggal itu berati “tolong ambilkan bola untuk saya”, seiring dengan meningkatnya usia anak keleluasan pergaulannya, tipe kalimat yang diucapkannya pun semakin bertambah; 4) Ucapan, kemampuan mengucapkan kata-kata merupakan hasil belajar melalui imitasi (peniruan) terhadap suara-suara yang didengar anak dari orang lain (Yusuf 2005). Menurut Santrock (2007) anak yang berasal dari keluarga yang tingkat sosio ekonomi yang tinggi, anak perempuan dan anak yang cerdas memiliki pengucapan bentuk kalimat yang lebih panjang dan kompleks dibandingkan dengan anak yang kurang cerdas, anak wanita dan anak yang berada di lingkungan yang miskin. Perkembangan bahasa anak dimulai saat masa bayi, pada masa ini bayi melakukan komunikasi yang bertujuan menarik perhatian pengasuh. Pada tahuntahun pertama komunikasi pertama adalah menangis, kemudian mendekut (cooing) kira-kira usia 1-2 bulan, kemudian berceloteh dengan menggabungkan kombinasi konsonan-vokal seperti “ba, ba, ba, ba.” Bayi juga mulai menggunakan gerakkan seperti menunjuk (untuk menunjukkan sesuatu untuk pamer), kira-kira pada usia 8 hingga 12 bulan (Santrock 2007). Kata-kata pertama anak meliputi nama-nama orang penting (misalnya papa atau ma-ma), binatang yang lazim (“meong” atau kucing). Rata-rata bayi memahami 50 kata pada usia 13 bulan, tetapi setelah bayi usia 2 tahun bayi telah mengucapkan 200 kata, peningkatan jumlah kosakata yang cepat ini dinamakan ledakan kosakata (vocabulary spurt). Pada saat usia anak 18 hingga 24 bulan mereka lazim mengucapkan ucapan-ucapan dua kata. Untuk menyampaikan makna dengan hanya dua kata anak sangat tergantung pada gerak tubuh, nada, dan konteks. Ucapan dua kata misalnya Identifikasi : “lihat anjing”, lokasi : “buku sana” . Setelah tahapan dua-kata, perkembangan bahasa mereka berkembang cepat menuju kombinasi tiga-empat-lima kata dan penguasaan terhadap sistem aturan yang menata bahasa meningkat. Peralihan 12 kalimat sederhana menjadi kalimat kompleks diawali antara usia 2 hingga 3 tahun dan berlanjut hingga sekolah dasar (Santrock 2007). Seorang anak berusia dua tahun mengerti “ya” dan “tidak”, seperti juga pertanyaan “di mana”, “siapa”, dan “apa”, dan secara umum menjawabnya dengan benar. Pada usia 3 tahun anak-anak mulai menjawab “mengapa” dengan benar. Frekuensi jawaban yang betul dari semua jenis pertanyaan “apa”, “mengapa” meningkat pada usia antara 3 dan 5 tahun (Mussen et al. 1984). Lebih lanjut menurut Papalia (1979), pada saat anak berumur 3 dan 4 tahun anak sangat familiar dengan binatang, bagian tubuh, dan orang-orang terdekat. Anak yang berumur 4-5 tahun anak-anak sudah dapat menggunakan empat sampai lima kata perkalimat, lebih dapat membedakan posisi benda-benda disekelilingnya yaitu “dibawah”, “diatas”, “didepan”, “dibelakang”, “disamping” serta sering menggunakan kata kerja daripada kata benda, pemahaman anak dan berbicara anak lebih kompleks, anak dapat berbicara dengan total 1500 sampai 2000 kata. Pengertian kata-kata deiktik (kata-kata yang menunjukkan lokasi dari sisi pembicara) seperti “di sini”, “di sana”, “ini”, “itu” menunjukkan bahwa anak kecil mampu mengambil titik pandang orang lain. Anak berusia 2 tahun jelas mengerti perspektif pembicara jika diinterpetasikan kata-kata “di sini” atau “di sana”. Semua anak telah siap membedakan antara “milik saya” dan “milik kamu”, tetapi anak usia 2 tahun mengalami kesulitan jika dibutuhkan perubahan perspektif, seperti untuk menerjemahkan “di bagian kiri meja” dari pandangan orang lain yang tidak berada pada sisi yang sama dengan dirinya. Anak usia 3 tahun telah mahir mengambil perspektif si pengamat yaitu menginterpretasikan “di sini”, “di sana”, “ini”, “itu”, “di depan”, dan “di belakang” dengan benar (Mussen et al. 1984) Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan bahasa menurut Hurlock (1995) dalam Yusuf (2005) terkait dalam proses belajar berbicara seorang anak diantaranya 1). faktor kesehatan, anak yang sehat lebih cepat berbicara dibanding anak tidak sehat, hal ini karena motivasi yang lebih kuat untuk menjadi anggota kelompok sosial dan berkomunikasi dengan anggota kelompok tersebut; 2). kecerdasan, anak dengan kecerdasan yang tinggi, dalam berbicara lebih cepat dan memperlihatkan penguasaan bahasa yang lebih baik dibandingkan anak yang tingkat kecerdasan yang rendah; 3). Keadaan sosial ekonomi, anak dari keluarga ekonomi mampu lebih mudah belajar berbicara, 13 pengungkapan perasaan dirinya lebih baik, dan lebih banyak bicara dibanding anak dari keluarga kurang mampu. Hal ini dikarenakan anak dari keluarga berada lebih banyak mendapat dorongan dan bimbingan untuk berbicara dari anggota keluarga yang lain. Keluarga dengan ekonomi yang rendah cenderung lebih memfokuskan pada pemenuhan kebutuhan sehari-hari sehingga perkembangan bahasa anak kurang diperhatikan; 4).Jenis kelamin, pada umumnya anak perempuan lebih cepat belajar berbicara dibanding anak laki-laki. Pada setiap jenjang umur, kalimat anak laki-laki lebih pendek, dan kurang benar dalam tata bahasa, kosakatanya pun lebih sedikit dan pengucapan kata kurang tepat daripada anak perempuan; 5).Dukungan keluarga, semakin banyak dorongan untuk berbicara dengan mengajak anak berbicara dan didorong untuk menanggapinya, akan semakin awal mereka belajar berbicara dan semakin baik kualitas bicaranya. Pendapat ini didukung oleh Soetjiningsih (2002), bahwa anak yang mendapat stimulasi yang terarah dan teratur akan lebih cepat berkembang dibandingkan dengan anak yang kurang atau tidak mendapat stimulasi. Perkembangan Kognitif Kognitif adalah kemampuan yang berkaitan dengan penguasaan ilmu pengetahuan (Fatimah 2006). Apabila diperlukan, pengetahuan yang dimiliki dapat dipergunakan. Banyak atau sedikitnya pengetahuan merupakan ukuran tingkat kemampuan kognitif seeorang. Menurut Fatimah (2006) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan dan positif antara kecerdasan dengan kemampuan kognitif seseorang. Artinya bahwa semakin tinggi kecerdasan seseorang, semakin tinggi pula tingkat perkembangan kognitifnya. Kemampuan kognitif berkembang sebagai hasil dari kerjasama antar genetik dengan lingkungan. Kemampuan ini akan meningkat karena adanya rangsangan yang diberikan kemudian masuk ke dalam otak yang sedang berkembang. Hal ini berarti akan membantu perkembangan kecerdasan. Pembentukan kecerdasan dipengaruhi oleh proses kecerdasan dan interaksi dengan lingkungan sejak dini. Kecerdasan terbentuk dari interaksi antara faktor internal dengan lingkungan. Faktor lingkungan termasuk di dalamnya lingkungan dalam keluarga dan luar keluarga (Dariyo 2007). Teori perkembangan kognitif Piaget mengatakan bahwa anak secara aktif membangun pemahaman dan pengetahuan mereka tentang dunia melalui empat tahapan perkembangan kognitif (Santrock 2007). Masing-masing dari tahapan 14 perkembangan membangun mempunyai pencapaian keunikan dari setiap dan kemampuan tahapan tersendiri, (Ormrod 2003). serta Teori perkembangan kognitif menurut Piaget yang harus dilewati oleh anak terdiri dari Sensorimotorik (0-2 tahun), preoperational (2-7 tahun), concret operational (7-12 tahun) dan formal operational (>12 tahun) (Papalia et al. 2008). Perkembangan kognitif menurut Piaget dapat dilihat pada tabel 2 dibawah. Tabel 2 Tahap perkembangan kognitif Piaget Tahap Umur Sensorimotorik 0-2 tahun preoperational 2-7 tahun concret operational 7-12 tahun formal operational (>12 tahun) Perkembangan kognitif yang nyata Perkembangan yang berlahan pada ketrampilan sensori, motorik anak. Kurang dapat membedakan konsep diri dan lingkungan, namun interaksi yang berarti dan pencapaian konsep objek yang permanen Pengembangan kemapuan bahasa dan konsep diri. Anak cenderung egosentris. Mulai muncul kemampuan untuk mencapai imajinasi pikiran pada akhir metode ini. Kemampuan persepsi meningkat, namun masih ditentukan oleh penampilan fisik yang terlihat. Belum mampu untuk mengerti konsep konservasi, pola pikir masih bersifat intuitif dan impulsif. Mulai memahami hukum konservasi dan operasi yang bersifat kebalikan. Mulai dapat mengelompokkan, menyusun menurut ukuran dan bentuk, serta mengenal konsep hubungan. Mulai dapat berpikir abstrak dan menjelaskan konsep. Masalah diselesaikan dengan penjelasan dan logika, serta mampu membuat hipotesa. Sumber : Santrock 2007 Pada tahap sensorimotor (usia 0-2 tahun) bayi membentuk pemahaman tentang dunia dengan mengkoordinasikan pengalaman-pengalaman sensorik misalnya melihat dan mendengar dengan tindakan fisik dan motorik, oleh karena itu disebut dengan “sensorimotorik” . Akhir tahap ini saat anak berusia dua tahun mampu menghasilkan pola-pola sensorimotorik yang kompleks dan menggunakan simbol-simbol yang primitif (Santrock 2007). Tahap selanjutnya yaitu tahap praoperasional (usia 2-7 tahun) pemahaman anak tentang benda-benda disekitarnya tidak hanya dilakukan melalui kegiatan sensorimotor akan tetapi juga melalui kegiatan yang bersifat simbolik. Kegiatan simbolik dapat berupa percakapan melalui telepon mainan atau berpura-pura menjadi bapak atau ibu dan kegiatan simbolik lainnya. Tahap ini memberikan andil besar bagi perkembangan kognitif anak. Pada tahap praoperasional anak tidak berpikir secara rasional yaitu suatu proses berpikir 15 yang dilakukan memungkinkan dengan anak jalan menginternalisasi mengkaitkannya dengan suatu kegiatan aktivitas yang yang dilakukan sebelumnya. Tahap ini merupakan masa permulaan anak untuk membangun pemikirannya. Oleh sebab itu cara berpikir anak pada tahap ini belum stabil dan tidak terorganisir dengan baik. Tahap praoperasional dibagi dalam dua sub tahap yakni subtahap fungsi simbolik dan sub tahap berpikir secara intuitif. Pada subtahap simbolik terjadi saat anak berusia 2-4 tahun. Pada masa ini anak memiliki kemampuan untuk dapat menggambarkan objek secara fisik misalnya menyusun puzzel atau menyusun balok menjadi bangunan tertentu. Pada tahap ini juga dikenal dengan sub tahap berpikir egosentris, yakni ketidakmampuan anak anak untuk memahami perspektif atau cara berpikir orang lain. Sedangkan sub tahap berpikir intuitif terjadi pada usia 4-7 tahun. Masa ini disebut tahap berpikir secara intuisi karena saat ini anak kelihatannya mengerti sesuatu padahal ia tidak mengetahui alasan-alasan yang menyebabkan balok itu dapat disusun menjadi rumah. Dengan kata lain anak belum memiliki kemampuan kritis tentang apa yang ada dibalik suatu kejadian (Santrock 2007). Menurut Papalia (1979) pada periode preoperasional anak-anak cenderung mendemonstrasikan persepsi mereka dengan beberapa karakteristik warna, bentuk, dan ukuran. Mereka juga sudah mengkategorikan konsep. Tahap operasional kongkrit (7-12 tahun) adalah tahap dimana kemampuan anak untuk berpikir logis sudah berkembang, dengan syarat objek yang menjadi sumber berpikir logis tersebut hadir secara kongkrit. Kemampuan berpikir logis terwujud dalam kemampuan mengklasifikasikan objek sesuai dengan klasifikasinya, mengurutkan benda sesuai dengan tata urutnya, kemampuan berpikir secara deduktif (Santrock 2007). Menurut Santrock (2007) tahap operasional formal (12 tahun sampai dewasa) ditandai oleh perpindahan dari cara berpikir kongkrit ke cara berpikir abstrak, yang dapat dilihat dari kemampuan mengemukakan ide-ide, memprediksi kejadian yang terjadi dan melakukan proses berpikir ilmiah, yakni mengemukakan hipotesis dan menentukan cara untuk membuktikan kebenaran hipotesis tersebut. 16 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Balita Proses perkembangan merupakan interaksi dari berbagai faktor yang dimulai dari rahim dan diteruskan ketika anak berinteraksi bersama lingkungannya. Terdapat pondasi genetik dalam memahami proses sosial yang akan membentuk perbedaan individual bagaimana anak menginterpretasikan dan merespon lingkungannya.Karakteristik genetik akan berkombinasi dengan lingkungan pada periode spesifik dari perkembangan otaknya. Hal ini akan menentukan perkembangan anak pada periode berikutnya (Maggi et al. 2005). Menurut Soetjiningsih (2002), setiap individu berbeda dalam proses pertumbuhan dan perkembangan, karena pertumbuhan dan perkembangan anak dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain faktor herediter/genetika, lingkungan dan internal. Faktor genetik Faktor genetik merupakan modal dasar untuk dalam mencapai hasil akhir proses tumbuh kembang anak. Potensi genetik yang bermutu hendaknya dapat berinteraksi dengan lingkungan secara positif sehingga diperoleh hasil akhir yang optimal. Potensi genetik diantaranya adalah faktor bawaan normal dan patologis, jenis kelamin, ras dan suku bangsa, keluarga dan umur (Soetjiningsih 2002). Faktor genetik mempengaruhi perkembangan intelektual dan faktor lingkungan hanya sedikit mempengaruhinya (Jensen 1969 dalam Santrock 2007), namun saat ini sebagian besar peneliti setuju bahwa faktor keturunan tidak menentukan perkembangan intelektual anak. Meskipun dukungan genetik mungkin mempengaruhi kemampuan intelektual seseorang, pengaruh-pengaruh lingkungan dan dukungan keluarga juga akan mempengaruhi perkembangan pada anak (Campbell et al. 2001 dalam Santrock 2007) Faktor lingkungan Lingkungan merupakan faktor yang sangat menentukan tercapai atau tidaknya potensi bawaan. Lingkungan yang cukup baik akan memungkinkan tercapainya potensi bawaan, sedangkan yang kurang baik akan menghambatnya. Faktor lingkungan yang mempengaruhi tumbuh kembang secara umum dapat digolongkan menjadi : 1). Lingkungan biologis, antara lain ras atau suku bangsa, jenis kelamin, umur, gizi, perawatan kesehatan, kepekaan terhadap penyakit, penyakit kronis, fungsi metabolisme, hormon. 2). Faktor fisik, 17 antara lain : cuaca, musim, kedaan geografis suatu daerah, sanitasi, keadaan rumah, radiasi. 3). Faktor psikososial, antara lain : stimulasi, motivasi belajar, ganjaran, hukuman yang wajar, kelompok sebaya, kualitas interaksi orang tua terhadap anak. 4) faktor keluarga dan adat istiadat, antara lain : pekerjaan atau pendapatan keluarga, pendidikan ayah dan ibu, besar keluarga (Soetjiningsih 2002). Aspek-aspek lingkungan seperti sosioekonomi yakni bagaimana orang tua berkomunikasi dengan anak, dukungan yang diberikan orang tua, lingkungan dimana keluarga tinggal mempengaruhi perkembangan bahasa anak. Anak dengan orang tua yang mempunyai status ekonomi menengah keatas atau kaya berbicara lebih sedikit kepada anak-anaknya, jarang membicarakan peristiwa masa lalu dan menyediakan sedikit waktu untuk bercakap dengan anak-anak mereka dibandingkan orang tua yang berstatus ekonomi menengah (Betty Hart & Todd Risley 1995 dalam Santrock 2007). Orang tua yang memperhatikan apa yang dikatakan anaknya, memperluas kosakata mereka, membacakan buku cerita bagi anak-anaknya dan mamberikan objek-objek dalam lingkungan, akan memberikan manfaat-manfaat yang berharga bagi perkembangan bahasa anak (Gleason 2004 dalam Santrock 2007) Stimulasi Perkembangan psikis seseorang tidak saja ditentukan oleh faktor-faktor dari dalam dirinya, tetapi juga sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor dari luar diri anak tersebut. perkembangan Oleh anak karena melalui itu lingkungan pemberian sosial berbagai harus stimulasi. mendukung Bila anak mendapatkan stimulasi maka ia akan mengembangkan kemampuannya dalam batas-batas yang diberikan oleh keluarga atau lingkungannya. Hal ini akan sangat berpengaruh bagi perkembangan yang sehat (Monks et al. 2004). Stimulasi memegang peranan sangat penting dalam memaksimalkan kecerdasan anak. Stimulasi diperlukan agar hubungan antarsel syaraf otak (sinaps) dapat berkembang. Sinaps akan menghilang secara spontan bila tidak digunakan (Monks et al. 2004). Interaksi yang harmonis antara anak dengan anggota keluarga akan menimbulkan keakraban dalam keluarga. Anak akan terbuka pada orang tuanya sehingga setiap permasalahan dapat dipecahkan bersama karena adanya kedekatan dan kepercayaan antara orang tua dan anak. Kualitas interaksi yang 18 baik akan menimbulkan pemahaman terhadap kebutuhan masing-masing dan upaya untuk memenuhi kebutuhan tersebut yang dilandasi rasa saling menyayangi (Soetjiningsih 1995). Anak mempunyai kebutuhan untuk belajar. Berbagai stimulasi melalui pancainderanya seperti mendengar, melihat, merasa, mencium dan meraba, yang diberikan selama awal kehidupan mempunyai pengaruh yang besar pada pertumbuhan dan maturasi otak. Hal ini ditunjukkan oleh program stimulasi yang dapat mendorong percepatan pertumbuhan, memperbaiki koordinasi gerakan otot, meningkatkan lama konsentrasi dan meningkatkan Intelligence Quotion (IQ) bayi sebanyak 15 poin. Terdapat bukti eksperimental yang menyatakan bahwa tikus yang dibesarkan dalam lingkungan stimulasi dengan penuh kegembiraan dan permainan mempunyai sel otak ekstra 50.000 pada setiap sudut hipokampusnya dibandingkan dengan tikus yang dibesarkan dalam kandang biasa. Ketika tikus ditempatkan di treadmill, menyebabkan sel otak mereka memproduksi faktor pertumbuhan yang menstimulasi pertumbuhan dendrit dan perluasan jaringan saraf. Pertumbuhan neuron tidak hanya terjadi pada bagian otak yang mengontrol fungsi motorik tapi juga pada bagian yang mengontrol kognitif (Singh 2003). Status Gizi Untuk mencapai tumbuh kembang yang baik maka diperlukan zat makanan yang adekuat. Makanan yang kurang baik secara kualitas maupun kuantitas akan menyebabkan gizi kurang. Keadaan gizi kurang dapat mengakibatkan perubahan struktural dan fungsional pada otak. Menurut Georgieff (2007), otak manusia mengalami perubahan struktural dan fungsional yang luar biasa antara minggu ke 24 dan minggu 42 setelah konsepsi. Sel-sel otak mulai terbentuk pada trimester pertama kehamilan,dan berkembang pesat sejak dalam rahim. Perkembangan ini berlanjut saat setelah lahir hingga usia 2 atau 3 tahun, periode tercepat usia 6 bulan pertama. Setelah usia tersebut praktis tidak ada pertumbuhan lagi, kecuali pembentukan sel neuron baru untuk mengganti sel otak yang rusak. Dengan demikian diferensiasi dan pertumbuhan otak berlangsung hanya sampai usia 3 tahun. Kekurangan gizi pada masa kehamilan akan menghambat multiplikasi sel janin, sehingga jumlah sel neuron di otak dapat berkurang secara permanen. 19 Sedangkan kekurang gizi pada usia anak sejak lahir hingga 3 tahun akan sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan sel glia dan proses mielinisasi otak. Sehingga kekurangan gizi saat usia kehamilan dan usia anak sangat berpengaruh terhadap kualitas otaknya. Gizi kurang pada usia di bawah 2 tahun akan menyebabkan sel otak berkurang 15-20%, sehingga anak yang demikian kelak kemudian hari akan menjadi manusia dengan kualitas otak sekitar 80-85%. Pertumbuhan susunan syaraf ini dapat dikatakan berlangsung dengan cepat sekali selama dalam kandungan dan 3 sampai 4 tahun setelah dilahirkan. Selama dalam kandungan susunan syaraf yang terutama tumbuh cepat adalah jumlah dan ukuran sel syaraf. Setelah bayi lahir maka pertumbuhan susunan syaraf lebih terarah pada perkembangan sel syaraf yang belum berkembang. Setelah anak berusia lebih dari 4 tahun, pertumbuhan susunan syaraf berlangsung lebih lambat (Yuliana 2004). Karakteristik anak Usia Usia menentukan perkembangan bahasa anak. Sebagaimana aspek perkembangan lainnya, perkembangan bahasa juga melalui berbagai tahapantahapan. Perkembangan pada periode sebelumnya akan berpengaruh pada perkembangan pada periode selanjutnya (Santrock 2007). Semakin bertambahnya usia anak, kemampuan berbahasa anakpun akan semakin bertambah (Turner & Helms 1990). Penambahan umur ini terkait dengan jumlah kosakata yang dikuasai, tingkat kekomplekan kalimat yang dapat dirangkai dan pemahaman pada isi pembicara orang lain maupun perintah yang ditunjukkan kepada anak. Cara berpikir anak juga berkembang setiap tahap umur, pada perkembangan kognitif anak semakin dewasa usia anak semakin kompleks dalam berpikir melalui tahaptahap sesuai tingkatan umur mereka (Santrock 2007). Jenis kelamin Jenis kelamin menentukan perkembangan bahasa pada anak (Soetjiningsih 1995). Perkembangan bahasa melibatkan maturasi dari fungsi hemisfer kiri otak besar manusia yang merupakan pusat berbicara dan berbahasa (Turner & Helms 1990). Lebih lanjut Soetjiningsih (1995) pada anak 20 perempuan proses maturasi fungsi verbal hemisfer kiri lebih cepat dibandingkan pada anak laki-laki. Menurut Hurlock (1980) selain faktor yang alami (nurture), lingkungan pengasuhan juga menyebabkan perbedaan kemampuan berbahasa pada anak laki-laki dan permpuan, masyarakat cenderung menghendaki anak laki-laki lebih sedikit berbicara dibandingkan anak perempuan. Studi mengenai perbedaan jenis kelamin pada kemampuan intelektual yaitu laki-laki memiliki skor yang lebih baik daripada wanita dalam beberapa area non-verbal, seperti berpikir spasial. Sedangkan perempuan memiliki skor lebih baik daripada pria dalam beberapa area verbal, seperti kemampuan menemukan sinonim kata-kata dan memori verbal (Santrock 2007) Karakteristik keluarga Pendidikan Orang Tua Pendidikan orang tua, terutama ibu merupakan salah satu faktor penting dalam tumbuh kembang anak. Ibu yang berpendidikan tinggi lebih terbuka menerima informasi dari luar tentang cara pengasuhan anak yang baik, menjaga kesehatan anaknya, pendidikannya dan sebagainya (Soetjiningsih 1995). Penelitian lain menemukan hubungan yang bermakna antara tingkat pendidikan ibu dengan perkembangan anak. Penelitian Muljati et al. (2002) juga menemukan hubungan yang bermakna antara tingkat pendidikan ibu dengan perkembangan mental anak batita gizi kurang. Pendidikan ibu akan mempengaruhi perkembangan jika ibu memiliki pengetahuan yang baik tentang pengasuhan anaknya serta adanya interaksi yang harmonis antara ibu dan anak. Tanpa kedua hal tersebut pendidikan ibu yang tinggi tidak serta merta dapat mempengaruhi perkembangan terlebih kepedulian ibu terhadap tumbuh kembang anak minim. Studi yang dilakukan di Brazil menunjukkan bahwa pendidikan ibu berpengaruh pada kemampuan ibu dalam memproses informasi (Thomas et al. 1991). Kemudian Behrman dan Hoddinot (2005) juga menyatakan bahwa ibu yang memiliki pendidikan tinggi lebih baik dalam menerima informasi dan berpengaruh pada kesehatan anaknya. Studi yang dilakukan di Jawa Tengah oleh Webb dan Block (2004) mengenai pengaruh pendidikan formal ibu terhadap status gizi pada anak, menyatakan bahwa pendidikan formal ibu memiliki pengaruh terhadap jangka panjang status gizi anak melalui informasi nutrisi. 21 Menurut Hidayat (2004), pendidikan merupakan panutan manusia untuk berbuat dan mengisi kehidupannya serta sarana untuk memperoleh pengetahuan sehingga mampu meningkatkan kualitas hidupnya. Semakin tinggi tingkat pendidikan tingkat pendidikan ibu maka semakin baik pengetahuan yang dimilikinya sehingga komunikasi yang dilakukan pada anak semakin efektif. Pendapatan keluarga Faktor pendapatan memiliki peranan besar dalam persoalan gizi dan kebiasaan makan keluarga terutama tergantung kemampuan keluarga untuk membeli pangan yang dibutuhkan keluarga tersebut (Azwar 2000). Pendapatan keluarga mengggambarkan tingkat sosial ekonomi. Kemiskinan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi tingkat kecerdasan anak. Kemiskinan berkaitan dengan kekurangan makanan, kesehatan lingkungan yang jelek dan ketidaktahuan. Kemiskinan akan menyebabkan keterbatasan keluarga dalam menyediakan berbagai fasilitas bermain menyebabkan otak anak kurang mendapatkan stimulasi. Hal ini dapat menghambat perkembangannya (Depkes 2008). Menurut Davidof (1991), efek kemiskinan terhadap inteligensi antara lain : kemiskinan sering dihubungkan dengan kepadatan, kebisingin, ketegangan dan kondisi hidup yang berubah. Dengan kondisi seperti ini anak-anak kurang memperoleh informasi baru yang teratur untuk belajar. Kegiatan-kegiatan tersebut sangat penting untuk perkembangan intelligensi anak. Efek yang kedua adalah anak yang berasal dari keluarga yang tidak mampu sedikit sekali memperoleh tambahan kata-kata yang dipergunakan untuk mengekspresikan diri dan pengalamannya. Keterbatasan perbendaharaan katakata akan mempersempit pemikirannya dan dapat mengakibatkan intelligensi menurun. Selanjutnya adalah anak yang berasal dari orang tua miskin, kecil kemungkinannya untuk dapat meluangkan waktu untuk memberikan pendidikan pengembangan kemampuan anak, dan sering mereka tidak mengetahui caranya, karena keterbatasan pendidikannya. Pendapatan perkapita yang menggambarkan sosioekonomi merupakan salah satu dasar masalah (basic causes) yang mempengaruhi tumbuh kembang anak. Hasil studi yang dilakukan oleh Mendez dan adair (1999) menunjukkan bahwa anak-anak yang berasal dari keluarga yang miskin bersinergi dengan 22 kekurangan gizi yaitu stunted dengan pencapaian perkembangan kognitif yang cenderung rendah daripada anak yang berasal dari keluarga sejahtera dan kaya. Menurut Papalia (1979) anak yang berasal dari keluarga dengan tingkat sosio-ekonomi yang rendah berkaitan dengan lambatnya perkembangan bahasa pada anak, ditandai dengan ketidakmatangan pembendaharaan kalimat, rendahnya pengetahuan kata, berbicara lebih sedikit dibandingkan dengan anak dari kelas menengah atau kaya. Melalui sosiolinguistik, studi mengenai interaksi bahasa dengan kelas sosial diketahui bahwa anak yang berasal dari kelas sosial menengah kebawah mempunyai kematangan berbahasa yang rendah serta kata-kata yang digunakan tidak kompleks dan lebih singkat serta kurangnya pengetahuan tentang kata dan kalimat. Menurut Yusuf (2005) beberapa studi menjelaskan hubungan antara perkembangan bahasa dengan status ekonomi keluarga menunjukkan bahwa anak-anak yang berasal dari keluarga yang miskin mengalami keterlambatan dalam perkembangan bahasanya dibandingkan anak berasal dari anak dari keluarga dengan tingkat sosioekonomi yang baik. Kondisi ini mungkin disebabkan oleh perbedaan kecerdasan atau kesempatan belajar. Besar keluarga Besar keluarga adalah banyaknya anggota keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan anak. Salah satu faktor yang mempengaruhi kecukupan konsumsi pangan pada suatu rumah tangga adalah jumlah anggota rumah tangga. Bagi rumah tangga dengan anggota rumah tangga yang banyak, jumlah anggota rumah tangga biasanya adalah faktor penentu dalam memilih jenis bahan makanan dan distribusi pangan antar anggota rumah tangga. Biasanya pada kondisi tersebut, faktor kuantitas lebih diutamakan daripada faktor kualitas sehingga diharapkan seluruh anggota keluarga dapat tebagi secara merata (Dariyo 2007). Besar keluarga mempengaruhi pendapatan per kapita dan pengeluaran pangan rumah tangga. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pendapatan per kapita dan pengeluaran pangan menurun seiring dengan peningkatan besar keluarga. Menurut Suhardjo (2003), terdapat pengaruh antara laju kelahiran dan keadaan gizi keluarga pada masyarakat miskin. Keluarga akan lebih mudah memenuhi kebutuhan makanannya jika jumlah anggota keluarga yang harus diberi makan lebih sedikit. Anak yang paling kecil biasanya paling terpengaruh oleh kekurangan pangan. 23 Besar keluarga berpengaruh pada kualitas pengasuhan yang bermanfaat pada anak (Nuraeni 1997). Kualitas pengasuhan anak dimaknai sebagai proses pengalaman berinteraksi dan berkomunikasi dengan lingkungan keluarga, terutama dengan orang tua mengajar, melatih dan memberikan contoh berbahasa pada anak. Anak yang berasal dari keluarga beranggota sedikit cenderung memperhatikan perkembangan anak, orang tua lebih banyak meluangkan waktu dan biaya untuk anak dalam memberikan fasilitas seperti mainan sebagai alat stimuli dibandingkan anak yang berasal tinggal pada keluarga beranggotakan lebih dari empat orang (Yusuf 2005). Umur Orang Tua Orangtua terutama ibu, cenderung kurang memiliki pengetahuan dan pengalaman dalam mengasuh anak, sehingga umumnya mereka mengasuh dan merawat anak didasarkan pada pengalaman orangtua terdahulu. Selain itu, faktor usia muda juga cenderung menjadikan seorang ibu akan lebih memperhatikan kepentingannya sendiri daripada kepentingan anaknya, sehingga kuantitas dan kualitas pengasuhan kurang terpenuhi. Sebaliknya, ibu yang lebih berumur cenderung menerima perannya dengan sepenuh hati (Hurlock 1999). Umur ibu menentukan pola pengasuhan dan penentuan makan yang sesuai bagi anak karena semakin bertambah umur ibu maka makain bertambah pula pengalaman dan kematangan ibu dalam pola pengasuhan dan penentuan makan anak (Hastuti 2008). Pola Asuh Makan Pola pengasuhan merupakan sikap dan perilaku ibu atau pengasuh lain dalam hal kedekatannya dengan anak, memberikan makan, merawat, kebersihan, dan memberi kasih sayang. Oleh karena itu menurut Hastuti (2008) pola pengasuhan mencakup pengasuhan makan, pengasuhan hidup sehat, pengasuhan akademik, pengasuhan sosial ekonomi serta pengasuhan moral dan displin. Pola pengasuhan tersebut berhubungan dengan keadaan ibu dalam hal kesehatan (fisik dan mental), status gizi, pendidikan umum, pengetahuan tentang pengasuhan anak yang baik, peran dalam keluarga di masyarakat, sifat pekerjaan sehari-hari, adat kebiasaan keluarga dan masyarakat dari ibu atau pengasuh (Soekirman 2000). Dalam penelitian Diana (2004) di Sumatera Barat, pola asuh anak yang kurang akan mempunyai resiko anak batita KEP 1,5 kali 24 dibandingkan dengan anak batita yang mempunyai pola suh yang cukup. Selain itu Diana (2004) menyebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi pola asuh adlah pendidikan ibu, pekerjaan ibu, umur dan tingkat pengetahuan. Pemberian makanan bergizi mutlak dianjurkan untuk anak melalui peran ibu dan pengasuhnya. Menurut Hastuti (2008), pola asuh makan mengacu pada apa dan bagaimana anak makan, serta situasi yang terjadi pada saat makan. Hasil penelitian Ogunba (2006) menyebutkan bahwa perilaku ibu yang benar selama memberi makan akan meningkatkan konsumsi pangan anak dan pada akhirnya akan meningkatkan status gizi anak.Makanan dan minuman bergizi harus dapat disediakan orang tua bahkan sejak masa prenatal (sebelum kelahiran) hingga pada masa post natal (setelah kelahiran), periode usia bayi, balita, usia prasekolah, usia sekolah hingga periode usia dewasa. Terdapat variasi pemberian makanan balita yaitu usia bayi (0-1 tahun), usia baduta (1-2 tahun), dan balita (2-5 tahun), anak telah mempunyai motorik halus ketika berusia dua tahun, oleh karena itu pada usia ini anak dibiasakan untuk memegang sendok makan dan gelas minumnya sendiri, belajar memasukkan makanan kedalam mulut dan mengunyahnya dengan baik. Kebiasaaan makanan yang beragam, bergizi dan berimbang, harus dibiasakan sejak usia dini. Pemberian makanan yang baik akan membentuk kebiasaaan makanan yang baik pula pada anak. Selain itu anak balita yang mendapatkan kualitas pengasuhanyang lebih baik kemungkinan besar akan memiliki angka kesakitan yang rendah dan status gizi yang relatif lebih baik (Hastuti 2008). Keadaan lingkungan dan sikap keluarga merupakan pertimbangan yang penting dalam pemberian makan kepada anak, karena pada perkembangan anak, keluarga dapat membantu anak mencapai sikap normal dan berminat terhadap makanan tanpa adanya suatu kecemasan dan kakuatiran mengenai makan. Hawadi (2001) menyatakan bahwa anak yang berumur 2- 5 tahun umunya sudah mampu makan makanan biasa hanya tidak pedas. Mereka masih tergolong konsumen pasif dan belum dapat memilih dan menilai kulitas makanan. Seringkali masa ini muncul kebiasaan buruk seperti menyukai makanan yang kurang bergizi seperti permen, coklat dan makanan jajanan lainnya yang dapat menyebabkan berkurangnya nafsu makan. Pemberian makan yang salah dalam jumlah, jenis dan komposisi, cara dan proses memasak dapat mengakibatkan keadaan gizi salah (malnutrisi), baik kekurangan (kurang kalori dan protein) atau kelebihan (kegemukan). Tujuan 25 pemberian makanan pada anak bukan sekedar membuat kenyang, tetapi untuk memenuhi kebutuhan zat gizi secara adekuat untuk keperluan hidup mendidik anak untuk membina selera dan kebiasaan makan yang sehat Hawadi (2001) Frekuensi Konsumsi Pangan Balita Khomsan (2003) menyatakan bahwa frekuensi konsumsi pangan per hari merupakan salah satu aspek dalam kebiasaan makan. Frekuensi konsumsi pangan pada anak, ada yang terikat pada pola makan 3 kali per hari tetapi banyak pula yang mengkonsumsi pangan antara 5 sampai 7 kali per hari atau lebih. Frekuensi konsumsi pangan bisa menjadi penduga tingkat kecukupan gizi, artinya semakin tinggi frekuensi konsumsi pangan, maka peluang terpenuhinya kecukupan gizi semakin besar. Penelitian yang dilakukan di Uganda anak balita yang mengalami stunted berkaitan dengan rendahnya asupan energi dan protein. Konsumsi makanan sebagian besar anak stunted yang diperoleh dari pencatatan makanan dengan FFQ ( Food Frequencies Qustionare) sebagian berasal dari sumber pati-patian dengan densitas energi yang sedikit, konsumsi sumber sayur dan buah yang sangat rendah dan rendahnya Konsumsi zat besi hem (Bridge et.al 2006). Studi yang dilakukan di Etiopia menyatakan bahwa terdapat hubungan signifikan antara faktor konsumsi makanan terhadap kejadian stunting, faktor lain yaitu jenis makanan yang diberikan pada anak juga berpengaruh signifikan terhadap kejadian stunting pada anak kurang dari lima tahun. Sebanyak 51% anak yang lebih sering diberikan makanan berupa bubur beras saja mengalami stunting, sedangkan anak yang lebih sering diberikan tambahan susu dan mashed potato (pure kentang) lebih rendah resiko kejadian stunted. Pemberian makanan pada anak kurang dari tiga kali sehari memiliki hubungan secara signiifikan terhadap kejadian stunting. Proporsi anak stunted lebih rendah secara bermakna dengan frekuensi pemberian makan harian lebih dari 3 kali.