2014 Executive Summary: Analisis Hak Tenurial Masyarakat Adat dan Lokal dalam Rancangan Peraturan Pemerintah Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut oleh Fahmi Alamri Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut adalah Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yang diprakarsai oleh Kementrian Lingkungan Hidup (KLH) sebagai salah satu peraturan pemerintah untuk melaksanakan Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH). Adapun alasan dibalik didorongnya RPP ini dikarenakan belum mampunya berbagai peraturan perundang-undangan yang ada untuk menahan laju kerusakan kawasan gambut. Namun, dalam proses penyusunannya, RPP ini dinilai “cacat” karena kurang terbuka dan tidak konsultatif serta masih lemahnya substansi perlindungan ekosistem gambut dan hak-hak masyarakat dalam RPP tersebut. UU PPLH yang menjadi induk RPP ini mengatur beberapa hak penting terkait masyarakat adat dan lokal yang berakar pada hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, di antaranya hak prosedural atas akses informasi, akses partisipasi, dan akses keadilan serta hak-hak substantif yang meliputi hak untuk hidup, hak atas standar hidup yang layak, dan hak untuk mendapatkan keadilan intra- dan antargenerasi. Berbagai hak ini, meskipun tidak dinyatakan secara eksplisit dalam RPP Gambut, dapat dituntut pula untuk diaplikasikan dalam tata kelola gambut ke depan sebagai bagian dari perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Namun, aspek perlindungan terhadap hak masyarakat adat dan lokal terkait Ekosistem Gambut, khususnya hak-hak tenurial mereka, belum mendapat jaminan yang utuh, baik dalam praktik tata kelola gambut selama ini maupun dalam RPP Gambut yang miskin penyebutan hak. Saat ini, masyarakat adat dan lokal yang mengelola gambut setidaknya menghadapi dua ancaman serius terkait hak-hak mereka, yakni: 1) perampasan lahan dan pembatasan wilayah kelola/sumber mata pencaharian akibat pemberian konsesi pengelolaan gambut skala besar oleh pemerintah yang mengabaikan hak-hak masyarakat (utamanya HTI dan Sawit) serta perusakan Ekosistem Gambut di sekitar wilayah kelola mereka yang turut merusak sumber mata pencaharian mereka sehingga pada akhirnya standar hidup mereka menurun. Terkait hal ini, RPP Gambut hanya menyebut ‘kearifan lokal’ sebagai pintu masuk menuju jaminan hakhak masyarakat adat dan lokal, yang tidak cukup kuat untuk menahan tekanan perampasan hak-hak masyarakat dalam bentuk perampasan lahan dan perusakan sumber penghidupan yang dilegalisasi oleh pemerintah melalui pemberian konsesi. Meskipun demikian, di sisi lain RPP Gambut menawarkan peluang untuk lebih melindungi hak-hak masyarakat adat dan lokal jika ia berhasil secara konsisten menghalau izin-izin konsesi besar yang merusak gambut dan mengganggu mata pencaharian masyarakat. Syaratnya ada dua: RPP Gambut diperkuat hingga dapat melindungi Ekosistem Gambut dengan lebih utuh (melalui pengetatan kriteria baku kerusakan lingkungan dan pengaturan pemanfaatan terutama di Ekosistem Gambut dengan fungsi budidaya) dan penguatan perlindungan hak-hak masyarakat adat dan lokal dengan membuatnya lebih eksplisit di RPP Gambut dan meliputi semua tahap perlindungan dan pengelolaan Ekosistem Gambut, 2014 mulai dari tahap perencanaan hingga penegakan hukum (tidak hanya di tahap perencanaan saja seperti saat ini). Hak-hak tenurial masyarakat adat dan lokal terkait lahan gambut juga bergantung pada rezim hukum sektoral lain, terutama Undang-Undang Kehutanan yang masih mengandung banyak masalah terkait hak masyarakat. Dalam hal ini, pengakuan negara atas hak-hak masyarakat adat dan lokal masih bersyarat dan harus melewati tahap yang rumit. Selain itu, pemerintah belum memenuhi kewajibannya untuk memenuhi dan melindungi hak-hak tersebut dari ancaman pihak luar. Untuk itu, penguatan tidak bisa hanya dilakukan atas RPP Gambut saja, tetapi harus dilakukan juga pada berbagai peraturan perundangundangan lain yang mengatur terkait hak-hak tenurial masyarakat. Agar RPP Gambut ini dapat menjaga hak-hak masyarakat adat dan lokal dalam implementasinya, beberapa hal perlu diperhatikan dalam tahapan-tahapan perlindungan dan pengelolaan Ekosistem Gambut yang dibayangkan oleh RPP ini. Tahapan-tahapan tersebut adalah; Pertama, tahap perencanaan. Tahap ini terdiri dari inventarisasi Ekosistem Gambut, Penetapan fungsi Ekosistem Gambut, dan penyusunan rencana perlindungan dan pengelolaan Ekosistem Gambut. Dalam tahap perencanaan, semua proses harus dibuat terbuka dan melibatkan partisipasi penuh dari masyarakat dan masyarakat sipil. Terkait penetapan fungsi, kearifan lokal harus diperhatikan secara mendalam. Saat ini adalah saatnya pemerintah mengakui dan mengakomodasi tata guna lahan, tata fungsi, dan zonasi masyarakat adat dan lokal. Adapun apabila pemanfaatan oleh masyarakat tersebut berbenturan dengan aspek ekologis, maka pemerintah harus sungguh-sungguh dalam memfasilitasi akses masyarakat terhadap keadilan. Dan dalam penyusunan rencana perlindungan, perlu dirancang sebuah proses yang benar-benar terbuka dan partisipatif di tiap tingkatan, termasuk penyusunan mekanisme komplain apabila masyarakat merasa dirugikan dengan penetapan fungsi atau penetapan rencana perlindungan dan pengelolaan Ekosistem Gambut. Terkait tahap perencanaan ini, KLH perlu segera menyusun protokol konsultasi yang menekankan partisipasi masyarakat adat dan lokal yang membuka peluang bagi masyarakat untuk ikut andil di dalam pengambilan keputusan, tidak hanya dalam proses deliberasi. Dua isu penting yang harus diperhatikan dalam tahap perencanaan ini adalah dilaksanakannya inventarisasi konflik terkait pengelolaan sumber daya alam yang diamanatkan oleh UU PPLH serta diperjelasnya kaitan antara inventarisasi Ekosistem Gambut dengan inventarisasi dan pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak-hak mereka, yang saat ini masih merupakan rantai yang hilang dalam tahapan-tahapan perlindungan dan pengelolaan Ekosistem Gambut. Kedua, tahap pemanfaatan. Diperlukannya klausul FPIC untuk izin usaha dan/atau kegiatan di Ekosistem Gambut yang berada di wilayah penguasaan masyarakat adat dan lokal untuk menekan jumlah konflik. Dan kearifan lokal tetap harus dipertimbangkan, karena dalam hal ini terdapat sebuah perbedaan cara pemanfaatan antara masyarakat dengan teknologi kearifan lokalnya dan Perusahaan dengan teknologi “modern” nya, yang mana hal ini akan sangat merugikan bagi masyarakat adat dan lokal dalam pemanfaatan Ekosistem Gambut. 2014 Ketiga, tahap pengendalian. Perlu diperhatikan pengecualian pembukaan lahan dengan cara membakar yang dilakukan berdasarkan kearifan lokal sebagaimana diatur oleh Pasal 69 ayat (2) UU PPLH. Dan dalam hal ini, keterlibatan masyarakat adat dan lokal diperlukan untuk dapat membantu pemerintah dalam proses pengendalian dan pengawasan. Keempat, tahap pemeliharaan. Untuk melakukan pemeliharaan maka aspek hak-hak masyarakat adat dan lokal perlu diperhatikan, agar kedepannya pemeliharaan tersebut (yang turut mencakup pencadangan Ekosistem Gambut yang tidak boleh dikelola) lantas tidak menyebabkan masyarakat adat dan lokal kehilangan hak mereka atas penggunaan dan pengelolaan terhadap Ekosistem Gambut. Terakhir, tahap pengawasan. Diperlukan sistem informasi yang dapat diakses oleh masyarakat adat dan lokal agar masyarakat kemudian dapat ikut berperan aktif dalam memberikan informasi terkini terkait berbagai kegiatan pemanfaatan Ekosistem Gambut di lapangan. Selain itu, masyarakat adat dan lokal yang hidup di wilayah Gambut berharap agar ke depannya pemanfaatan gambut yang dikembangkan oleh masyarakat dapat diakui dan dijadikan referensi oleh pemerintah. Kemudian, diberikan perlindungan kepada sumber penghidupan masyarakat yang bergantung pada Ekosistem Gambut dengan mencegah keluarnya izin-izin konsesi yang merampas hak masyarakat dan merusak lingkungan. Selain itu semua, masyarakat adat dan lokal dalam aspek keterbukaan informasi, mengharapkan untuk dibuatkan semacam sekolah rakyat dan mendirikan informasi gambut, agar masyarakat bisa berperan dalam hal timbal balik informasi, yang kemudian dengan hal ini maka kearifan lokal dalam pengelolaan gambut akan bisa dilestarikan. ***