24 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Ketuban Pecah Dini 2.1.1 Definisi

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1
Ketuban Pecah Dini
2.1.1 Definisi ketuban pecah dini preterm
Ketuban Pecah Dini Preterm adalah pecahnya ketuban secara spontan
sebelum saatnya persalinan dan terjadi saat usia kehamilan belum mencapai aterm
atau 37 minggu. Faktor risiko terjadinya ketuban pecah dini pada kehamilan
preterm adalah : Riwayat persalinan preterm, infeksi, kehamilan kembar dan
solusio plasenta. Saat dirawat di Rumah sakit, 75% menjadi inpartu, 5% lahir
dengan komplikasi, 10% bersalin dalam waktu 48 jam, 7% terjadi persalinan lebih
dari 48 jam (Cunningham, 2010).
2.1.2 Insiden ketuban pecah dini preterm
Menurut Eastman, insiden ketuban pecah dini ini kira-kira 12 % dari
semua kehamilan normal. Sedangkan insidensi ketuban pecah dini preterm
terdapat sekitar 2-5 % dari seluruh kehamilan (Getahun, 2010). Sekitar 70%
kasus ketuban pecah dini terjadi pada kehamilan di aterm, tetapi di pusat rujukan,
lebih dari 50% kasus dapat terjadi pada kehamilan prematur. Meskipun beberapa
kemajuan dalam memperpanjang periode laten setelah terjadinya ketuban pecah
dini preterm dan pencegahan kemungkinan terulangnya, tetapi ketuban pecah dini
preterm tetap menjadi kontributor utama bagi keseluruhan masalah lahir prematur
(Mochtar, 2012).
24
25
Kelahiran prematur merupakan masalah yang cukup besar mengingat
besarnya angka morbiditas dan mortalitas perinatal. Pada penelitian yang ada di
dapatkan 75-90% dari morbiditas dan mortalitas neonatal dikarenakan akibat
prematuritas. Ketuban pecah dini preterm dikaitkan dengan 30-40% kelahiran
prematur dan diidentifikasikan penyebab utama kelahiran prematur, dan terjadi
pada sekitar 150.000 kehamilan setiap tahun di Amerika Serikat. Ketika ketuban
pecah dini preterm terjadi, risiko yang signifikan terjadi baik untuk janin dan ibu.
(Amy, et al., 2003).
Di Negara berkembang angka kejadian persalinan preterm bervariasi, di
India sekitar 30%, Afrika selatan sekitar 15%, Sudan 31% dan Malaysia 10%. Di
Indonesia angka kejadian prematuritas nasional belum ada, namun angka kejadian
bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) dapat mencerminkan angka
kejadian prematuritas secara kasar. Angka kejadian BBLR Nasional Rumah Sakit
adalah 27,9 %. Di RSUP Sanglah Denpasar tahun 2001-2003, persalinan preterm
sekitar 8,3% dari seluruh persalinan. Sedangkan pada periode Januari 2008
sampai dengan Oktober 2011 sebesar 9,33% dari seluruh persalinan.
2.1.3
Patogenesis ketuban pecah dini
Ketuban pecah dini atau premature rupture of the membrane (PROM)
adalah pecahnya selaput ketuban secara spontan pada saat belum menunjukkan
tanda-tanda persalinan, bila satu jam kemudian tidak timbul tanda-tanda awal
persalinan. Bila pecahnya selaput ketuban terjadi sebelum umur kehamilan 37
minggu disebut ketuban pecah dini preterm / preterm rupture of the membrane
(PPROM) (Cunningham, 2010). Himpunan Kedokteran Fetomaternal POGI di
26
Semarang tahun 2005 menetapkan bahwa persalinan preterm adalah persalinan
yang terjadi pada usia kehamilan 22-37 minggu (Binarso, 2010).
Ketuban pecah dini terjadi pada 12% kehamilan (Mochtar, 2012) dan
dapat terjadi komplikasi seperti korioamnionitis sampai 30% dari kasus ketuban
pecah dini. Komplikasi pada janin berhubungan dengan kejadian prematuritas
dimana 80% kasus ketuban pecah dini preterm akan terjadi proses persalinan
kurang dari 7 hari dengan risiko infeksi yang akan meningkat baik pada ibu
maupun bayinya. Reaksi radang yang hebat ditempat pecahnya selaput ketuban
sudah ditemukan sejak 1950, dan hal ini diketahui sebagai infeksi. Pajanan invitro
terhadap protease bakteri meningkatkan kemungkinan selaput ketuban ketuban
untuk pecah. Jadi, mikroorganisme yang memperoleh akses ke selaput janin
mungkin dapat menyebabkan pecah ketuban, persalinan pretem atau keduanya
(Cunningham, 2010).
Mekanisme pecah ketuban yang terjadi sebelum aterm terjadi oleh karena
berbagai faktor yang akhirnya mempercepat lemahnya membran ketuban. Hal ini
peningkatan sitokin-sitokin lokal dan ketidakseimbangan dalam interaksi antara
matrix metalloproteinase (MMP) dan tissue inhibitor matrixmetyalloproteinase
(TiMP), peningkatan aktivitas-aktivitas kolagenase dan protease, peningkatan
tekanan intrauterin (misalnya : Polyhydramnios). Selanjutnya faktor risiko klinis,
termasuk gangguan jaringan
ikat (misalnya pada
sindrom Ehlers-Danlos).
Asending infeksi melalui kolonisasi bakteri juga dapat menyebabkan lokal respon
inflamasi termasuk memproduksi sitokin-sitokin, prostaglandin, dan MMP yang
27
dapat menyebabkan melemahnya dan terjadi degradasinya dari membran ketuban
(Goldsmith,et al., 2005).
2.1.3.1
Faktor infeksi
Infeksi intrauterin disebabkan oleh bakteri yang dianggap menjadi
penyebab utama infeksi terkait persalinan prematur. Rongga ketuban biasanya
steril dan atau dibawah 1% pada persalinan aterm terdapat bakteri dalam cairan
ketuban. Isolasi bakteri dalam cairan ketuban adalah temuan patologis yang
dikenal sebagai invasi mikroba dari rongga amnion. Kebanyakan kolonisasi
tersebut subklinis dan tidak terdeteksi tanpa analisis cairan ketuban. Frekuensi
tergantung pada presentasi klinis dan usia kehamilan. Pada pasien dengan
persalinan prematur dengan membran utuh, didapatkan kultur bakteri pada cairan
ketuban adalah 12,8%. Kemudian dilakukan pengukuran pada pasien tersebut
pada saat dimulai proses pengeluaran janin, frekuensi menjadi hampir dua kali
lipat (22%). Pada ketuban pecah dini preterm didapatkan kultur bakteri pada
cairan ketuban adalah 32,4%, dan kemudian dilakukan pengukuran kembali pada
saat dimulai proses pengeluaran janin menjadi 75% (Agrawal, et al., 2011).
Infeksi dapat menyebabkan ketuban pecah dini sebesar 10-30% melalui
beberapa mekanisme. Beberapa flora-flora vagina seperti Streptokokus grup B,
Stafilokokus aureus, Trichomonas vaginalis mensekresi protease yang akan
menyebabkan terjadinya degradasi membran pada selaput ketuban dan akhirnya
melemahkan selaput ketuban. Respon terhadap infeksi berupa reaksi terjadinya
reaksi inflamasi akan merangsang produksi sitokin, MMP, dan prostaglandin oleh
28
netrofil PMN dan makrofag. IL-1, IL6, TNF-α yang diproduksi oleh monosit akan
meningkatkan aktivitas MMP-1 dan MMP-3 pada sel korion (Dudley, 1997).
Infeksi bakteri dan respon inflamasi juga merangsang produksi
prostaglandin oleh selaput ketuban yang diduga berhubungan dengan ketuban
pecah dini
preterm karena menyebabkan irritabilitas pada uterus dan terjadi
degradasi kolagen membran. Beberapa jenis bakteri tertentu dapat menghasilkan
fosfolipase A2 yang melepaskan prekursor prostaglandin dari membran fosfolipid.
Respon imunologis terhadap infeksi juga menyebabkan produksi prostaglandin
oleh sel korion akibat perangsangan sitokin yang diproduksi oleh monosit. Sitokin
juga terlibat dalam induksi enzim Siklooksigenase II yang berfungsi mengubah
asam arakhidonat menjadi prostaglandin. Prostaglandin mengganggu sintesis
kolagen pada selaput ketuban dan meningkatkan aktivitas matriks MMP-1 dan
MMP-3 (Ulug, 2001).
Infeksi sistemik bisa berasal dari penyakit periodontal, pneumonia, sepsis,
prankreatis, pielonefritis, infeksi traktus genitalis, korioamnionitis dan infeksi
amnion semuanya berhubungan dengan terjadinya pecahnya ketuban. Infeksi
bakteri juga merangsang produksi prostaglandin, dimana dapat meningkatkan
risiko pecahnya selaput ketuban preterm yang diakibatkan oleh degradasi dari
selaput ketuban. Beberapa bakteri vaginal menghasilkan fosfolipase A2, dimana
fosfolipase A2 ini akan melepaskan asam arakhidonat. Lebih lanjut, respon imun
tubuh terhadap infeksi bakteri akan meningkatkan produksi sitokin yang akan
meningkatkan produksi dari prostaglandin. Dimana sitokin ini juga akan
29
meningkatkan kadar MMP yang akan mengakibatkan degradasi kolagen dan akan
mengakibatkan pecahnya selaput ketuban (Goldenberg, et al., 2003).
Gambar 2.1 Jalur Yang Berpotensial Terjadinya Infeksi Intra Uterine
(Goldenberg, et al, 2008)
2.1.3.2 Faktor nutrisi
Gangguan nutrisi seperti mikronutrien merupakan faktor predisposisi
adanya gangguan pada struktur kolagen. Asam askorbat yang berperan dalam
pembentukan struktur kolagen tripel heliks berhubungan dengan pecahnya selaput
ketuban. Zat tersebut kadarnya lebih rendah pada kasus ketuban pecah dini
(Chalis, 2005).
Asupan nutrisi ibu sebelum dan selama kehamilan dapat mempengaruhi
kondisi janin dan berpengaruh pada kejadian persalinan prematur. Beberapa faktor
30
yang berpotensi sebagai penyumbang risiko persalinan prematur spontan antara
lain rendahnya berat badan ibu sebelum kehamilan, indeks massa tubuh, dan
kenaikan berat badan semasa kehamilan (Sabarudin, et al., 2011).
2.1.3.3 Faktor hormon
Progesteron dan estradiol menekan proses remodeling matriks ektraseluler
pada jaringan reprodruktif. Kedua hormon ini dapat menurunkan konsentrasi
MMP-1 dan MMP-3 serta meningkatkan konsentrasi TiMP pada fibroblast
serviks. Tingginya konsentrasi progesteron menyebabkan penurunan produksi
kolagenase. Hormon relaxin diproduksi oleh sel desidua dan plasenta berfungsi
mengatur pembentukan jaringan ikat, dan mempunyai aktivitas yang berlawanan
dengan efek inhibisi oleh progesterone dan estradiol dengan meningkatkan
aktivitas MMP-3 dan MMP-9 dalam membran janin. Aktivitas hormon ini
meningkat sebelum persalinan pada selaput ketuban saat aterm (Goldsmith, et al.,
2005).
2.1.3.4 Faktor apoptosis
Apoptosis adalah istilah yang digunakan sebagai sinonim dari proses
kematian sel. Proses apoptosis sangat dipengaruhi oleh sinyal yang berasal dari
protein ekstraseluler dan intraseluler. Faktor ekstraseluler sangat dipengaruhi oleh
infeksi yang telah lama dikenal sebagai pencetus ketuban pecah dini, sedangkan
faktor intraseluler diperankan oleh p53 yang merupakan suatu protein yang
berperan dalam apoptosis intraseluler melalui pengaktifan protein bax yang
memacu pelepasan sitokrom c. Fungsi normal p53 adalah sebagai penjaga
proteinom. Pada keadaan dimana jumlah p53 rendah maka p53 akan berperan
31
sebagai penjaga sel, sedangkan dalam jumlah banyak akan menyebabkan
pengaktifan apoptosis ( Suhaimi, 2012).
Kadar p53 pada selaput amnion lebih tinggi pada kehamilan dengan
ketuban pecah dini dibandingkan dengan kehamilan normal. Kadar p53 > 0,97
U/ml berisiko lebih dari 30 kali menyebabkan ketuban pecah dini ( Suhaimi,
2012)
Selaput ketuban pecah karena pada daerah tertentu terjadi perubahan
kimia yang menyebabkan selaput ketuban rapuh pada bagian tertentu saja, bukan
karena seluruh selaput ketuban rapuh. Pada ketuban pecah dini aterm ditemukan
sel-sel yang mengalami kematian sel terprogram (apaptosis) di amnion dan korion
terutama disekitar robekan pada selaput ketuban. Pada kasus koriomnionitis
terlihat sel-sel
yang mengalami apaptosis akan melekat dengan granulosit,
kemudian menunjukkan terjadinya respon-respon imunologis mempercepat
terjadinya kematian sel. Kematian sel terprogram terjadi setelah proses degradasi
matriks ektraseluler dimulai (Soewarto, 2010).
Proses apoptosis dipercepat pada terjadinya robekan selaput ketuban pada
kehamilan dengan ketuban pecah dini baik melalui jalur caspase-dependent dan
caspase independent, dapat dilihat untuk jalur caspase-dependent dengan
memeriksa eksekutor utama apoptosis yaitu caspase-3 dan jalur caspase
independent dengan parameter endonuclease-G, hal ini disebabkan faktor
endonuclease- G ini muncul paling awal dan dominan sebagai bentuk respons
adanya apoptosis melalui caspase-independent (Prabantoro, et al., 2011).
32
2.1.3.5
Faktor mekanis
Peregangan secara mekanis akan merangsang beberapa faktor diselaput
ketuban seperti MMP-1 pada membran. IL-6 yang diproduksi dari sel amnion dan
korion bersifat kemotaktik terhadap neutrofil dan merangsang aktivitas
kolagenase. Hal-hal tersebut akan menyebabkan terganggunya keseimbangan
proses sintesis dan degradasi matriks ekstraseluler yang akhirnya menyebabkan
pecahnya selaput ketuban (Heaps, et al., 2005).
Degradasi kolagen dimediasi oleh MMP yang dihambat oleh inhibitor
jaringan spesifik dan inhibitor protease. Pecahnya selaput ketuban saat persalinan
disebabkan oleh melemahnya selaput ketuban karena kontraksi uterus dan
peregangan yang berulang. Daya regang ini dipengaruhi oleh keseimbangan
antara sintesis dan degradasi komponen matriks ekstraseluler pada selaput
ketuban. Pada ketuban pecah dini terjadi perubahan-perubahan seperti penurunan
jumlah jaringan kolagen, serta peningkatan aktivitas kolagenolitik. Degradasi
kolagen tersebut terutama disebabkan oleh MMP (Heaps, et al., 2005).
MMP ini merupakan suatu grup enzim yang dapat memecah komponenkomponen matriks ekstraseluler. Enzim tersebut diproduksi dalam selaput
ketuban. MMP-1 dan
MMP-8 berperan pada pembelahan tripel heliks dari
kolagen fibrin (tipe I dan III), dan selanjutnya didegradasi oleh MMP-2 dan
MMP-9 yang juga memecah kolagen tipe IV. Pada selaput ketuban juga
diproduksi penghambat MMP / TIMP. TIMP-1 menghambat aktivitas MMP-2.
TIMP-3 dan TIMP-4 mempunyai aktivitas yang sama dengan TIMP-1 (Heaps, et
al., 2005)
33
Lapisan dalam amnion merupakan mikrovili yang berfungsi mentransfer
cairan dan metabolik. Lapisan ini menghasilkan zat penghambat MMP-1. Sel
mesenkim berfungsi menghasilkan kolagen sehingga menjadi lentur dan kuat.
Disamping itu, selaput amnion menghasilkan sitokin IL-6, IL-8, MCP-1
(Monocyte Chemoattractant Protein-1), zat ini bermanfaat untuk melawan
bakteri. Di samping itu, selaput amnion menghasilkan zat vasoaktif seperti
Endothelin-1 (Vasokonstriktor), dan PHRP (Parathyroid Hormone Related
Protein) suatu vasorelaxan. Dengan demikian, selaput amnion mengatur
peredaran darah dan tonus pembuluh lokal (Cunningham, 2010).
Upaya yang dilakukan ketika terjadi ketuban pecah dini preterm ada dua yaitu:
1.
Penatalaksanaan non intervensi yaitu menunggu terjadinya persalinan
spontan.
2.
Intervensi yang meliputi kortikosteroid dimana diberikan bersama atau
tanpa tokolitik untuk mencegah terjadinya persalinan preterm, sehingga
janin mempunyai waktu yang cukup untuk proses pematangan paru janin.
Ditahun 1998, American Congress Obsteticians and Gynecologics
membuat tinjauan tentang pecah ketuban dini
preterm. Faktor risiko yang
diketahui untuk pecah ketuban preterm adalah riwayat persalinan preterm
sebelumnya, infeksi cairan amnion tersembunyi, janin ganda dan solusio plasenta
(Cunningham, 2010).
Meskipun kompilkasi ini ditemukan hanya 1,7% dari kehamilan, kondisi
ini merupakan penyebab 20% kematian perinatal selama periode waktu ini. Pecah
ketuban preterm ternyata berkaitan dengan komplikasi obstetri lain yang
34
mempengaruhi hasil perinatal, antara lain kehamilan multijanin, presentasi
bokong, korioamnionitis dan gawat janin intrapartum. Sebagai konsekuensi
komplikasi-komplikasi ini, seksio sesaria dilakukan pada 40% wanita. Pada saat
masuk, 75% wanita sudah inpartu, 5% melahirkan karena penyulit lain, dan 10%
lainnya melahirkan setelah persalinan spontan dalam 48 jam. Hanya terdapat 7%
wanita yang proses kelahirannya tertunda 48 jam atau lebih setelah pecah ketuban.
Periode waktu dari ketuban pecah preterm sampai proses kelahiran berbanding
terbalik dengan usia gestasi saat ketuban pecah. Jika ketuban pecah pada trimester
III, hanya diperlukan beberapa hari saja hingga kelahiran terjadi dibandingkan
dengan trimester II (Cunningham, 2010).
Gambar 2.2 Skema Gambar Membran Janin Manusia Dan Protein
Komponen (Heaps, et al., 2005).
35
2.2 Peran Sitokin Dan Prostaglandin Pada Ketuban Pecah Dini Preterm
2.2.1 Definisi sitokin
Sitokin (Bahasa Yunani : Cyto : Sel ; dan Kinos : Gerakan) adalah satu
dari sejumlah zat yang disekresikan oleh sel-sel spesifik sistem kekebalan tubuh
yang membawa sinyal lokal antara sel dan memiliki efek pada sel-sel lain. Sitokin
adalah kategori isyarat molekul yang digunakan secara ekstensif dalam
komunikasi selular terdiri protein, peptida, atau glikoprotein. Istilah sitokin
meliputi keluarga besar dan beragam regulator polipeptida yang diproduksi secara
luas diseluruh tubuh oleh beragam sel embriologis. IL–6 adalah salah satu tipe
dari sitokin yang ada (Kishimoto, 2003).
2.2.2
IL-6
Interleukin-6 (IL-6) adalah sitokin Pleiotropic dengan berbagai aktivitas
biologis, diproduksi oleh
baik limfoid dan non-limfoid sel dan mengatur
reaktivitas imun, respon fase akut, peradangan, dan hematopoiesis onkogenesis.
IL-6 pada awalnya dikenal dengan berbagai nama, seperti Interferon-b2 (IFNb2),
T-cell Replacing Factor (TRF)-Like Factor, B-Cell Differentiation Factor, 26kDa protein, B-Cell Stimulatory Factor-2 (BSF2), Hybridoma– Plasmacytoma
Growth Factor (HPGF or IL-HP1), Hepatocyte- Stimulating Factor (HSF), dan
Monocyte–Granulocyte Inducer type 2 (MGI-2). Namun, kloning molekuler
IFNb2, 26-kDa protein dan BSF-2 dilakukan penelitian dan terungkap bahwa
semua molekul adalah identik. Kemudian hal tersebut diusulkan pada akhir 1988
bahwa molekul ini disebut IL-6. Dalam bagian berikutnya , struktur dan fungsi IL-
36
6 dan reseptor pada mekanisme ketuban pecah dini preterm akan dijelaskan
(Kishimoto, 2003).
2.2.3
Pengaruh IL-6 dalam pecah ketuban
Persalinan spontan berkaitkan dengan aktivasi reaksi inflamasi dalam
jaringan kehamilan. Sitokin menyebabkan perekrutan sel inflamasi ke dalam
membran korio desidual. Meskipun kehamilan cukup bulan atau aterm
berhubungan dengan respon inflamasi, infeksi intra uterin yang dimediasi dengan
pelepasan sitokin, diduga menjadi faktor penyebab dalam terjadinya kehamilan
dengan ketuban pecah dini preterm. Pada penelitian sebelumnya dinyatakan
bahwa kehamilan prematur berkaitkan dengan peningkatan konsentrasi sitokin
seperti Interleukin (IL): IL-1b, IL-6, IL-8, IL-10 dan Tumor Necrotic Factor -α
(TNF-α). Secara khusus, peningkatan konsentrasi IL-6
tampaknya menjadi
penanda infeksi intrauterin yang akan berdampak terjadinya untuk kelahiran
prematur (Matthew, et al., 2001).
Bukti yang telah disajikan bahwa janin merespon proses inflamasi
mungkin juga berkontribusi terhadap peningkatan konsentrasi sitokin intrauterin
yang berakibat terjadinya persalinan prematur. Hal ini akan memungkinkan
perawatan lebih obyektif dan akan menghindari pengobatan yang tidak
seperlunya. Sehingga terjadinya persalinan prematur dapat dicegah (Matthew, et
al., 2001).
Penelitian lebih lanjut menyatakan bahwa sitokin berpartisipasi secara
aktif dalam patofisiologi normal dan abnormal pada masa kehamilan dan masa
nifas. Colony Stimulating Factor-l (CSF-1)
terlibat dalam proses untuk
37
implantasi, dan Granulocyte-Makrofag Colony Stimulating Factor (GM-CSF)
telah menunjukkan berperan dalam merangsang pertumbuhan plasenta. IL-l dan
Tumor Necrotic Factor (TNF)
terlibat pada inisiasi nifas dalam pengaturan
infeksi pada intra uterin. Penelitian menyatakan bahwa IL-l dan TNF telah
terdeteksi pada cairan amniotik pada wanita yang hamil dengan ketuban pecah
dini preterm. Sitokin tersebut diproduksi oleh desidua dalam menanggapi adanya
paparan endotoksin. Dan kedua sitokin tersebut dapat merangsang amnion dan
desidua untuk memproduksi prostaglandin. Pengamatan ini mendorong kami
untuk menyelidiki partisipasi IL-6. IL-6 dikenal seperti sitokin lainnya sebagai
mediator utama dalam menanggapi infeksi dan jaringan yang cedera. IL-6
dihasilkan oleh sel-sel jaringan stroma endometrium untuk merespon adanya IL-l
dan Interferon-γ (IFN-γ). IL-6 juga dihasilkan oleh desidual dalam merespon
adanya endotoksin. Selain itu, pada penelitian sebelumnya melaporkan IL-6 akan
meningkat pada wanita yang hamil dengan ketuban pecah dini preterm. (Romero,
et al., 1991).
Peningkatan kadar IL-6 akan memacu pembentukan MMP-9 (Yoneda, et
al., 2009), Peningkatan kadar Metalloproteinase ini menyebabkan melemahnya
khorioamnion sehingga memudahkan terjadi ruptur melalui degradasi kolagen
(Goldenberg, et al., 2003).
38
IL
-6
IL
-6
MMP
-9
Gambar 2.3 Mekanisme Terjadinya Persalinan Preterm
(Goldenberg, et al., 2003)
2.2.4
PGE2
Prostaglandin E2 (PGE2) disintesis oleh jaringan intrauterin (desidua dan
selaput janin) (Kniss,et al., 1993). Mekanisme PGE2 dalam inisiasi persalinan
telah menjadi salah satu paradigma utama dalam proses kelahiran manusia.
Meskipun bukti kuat mendukung peran prostaglandin dalam timbulnya persalinan
cukup bulan, ada data mengenai peran mereka dalam persalinan prematur.
39
Klarifikasi masalah ini sangat penting untuk memahami diagnosis dan
patofisiologi persalinan prematur dan untuk pengembangan bentuk yang lebih
efektif dalam upaya pengobatan (Mitchel, et al., 2003).
Kadar Prostaglandin akan meningkat secara drastis pada cairan ketuban
pada saat proses persalinan dimulai. Sebuah perbedaan yang signifikan untuk
prostaglandin pada arteriovenosa dalam plasma tali pusat menunjukkan bahwa
plasenta juga merupakan sumber penting bagi PGE2 dalam sirkulasi janin selama
akhir kehamilan akhir (Grigsby, et al., 2006).
2.2.5
Pengaruh PGE2 dalam pecah ketuban
Prostaglandin dianggap sebagai mediator sentral dalam proses kelahiran,
produksi prostaglandin oleh jaringan intrauterin meningkat sebelum dan selama
tahap awal proses persalinan. Hal ini dapat diketahui dari penelitian yang ada,
yaitu terjadi peningkatan dalam cairan ketuban dan serum plasma ibu dan urin.
PGE2 dan PGF2α dikenal sebagai stimulator kuat kontraktilitas miometrium dan
dapat menginduksi persalinan pada semua umur kehamilan, sedangkan inhibitor
prostaglandin dapat memperpanjang proses kehamilan (Kayem, et al., 2002).
Kelahiran adalah suatu proses fisiologis yang kompleks yang terjadi
karena faktor janin, plasenta dan ibu. PGE2 yang terlibat dalam onset dan
kemajuan persalinan, dan peningkatan sintesis prostaglandin oleh Cyclooxygenase
(COX) dalam jaringan intrauterin (plasenta dan selaput janin) merupakan faktor
yang berperan penting dalam memicu terjadinya proses ketuban pecah dini.
Membran selaput ketuban utuh serta sel-sel diisolasi dari amnion, korion dan
40
desidua menghasilkan PGE2 dalam menanggapi rangsangan sitokin seperti IL-6
dan IL-1 (Farina, et al., 2006).
Permulaan waktunya pembentukan prostaglandin mungkin berhubungan
dengan persalinan prematur yang dapat terjadi sebagai akibat dari infeksi
intrauterin. Ada bukti bahwa sel-sel dari membran amnion merupakan sumber
utama PGE2 dalam intrauterin, karena jaringan amnion kaya mengandung
Fosfolipid Arachidonyl dan berisi fosfolipase A2 yang mengkatalisis pelepasan
Asam Arakidonat untuk biosintesis prostaglandin, dan amnion sel yang
disebabkan oleh Epidermal Growth Factor (EGF) (Kniss, et al., 2003).
Ada bukti bahwa EGF berasal dari janin setidaknya bertanggung jawab
untuk memicu timbulnya sintesis prostaglandin oleh sel amnion. Epidermal
Growth Factor menyebabkan peningkatan cairan ketuban saat kehamilan. Sel-sel
amnion dan baris sel amnion mengandung reseptor afinitas tinggi untuk
Epidermal Growth Factor. Kemudian Epidermal Growth Factor merangsang
pembentukan PGE2 dalam sel-sel amnion (Kniss, et al., 2003).
Pada kehamilan tanpa komplikasi, proses penurunan posisis janin yang
disebabkan Epidermal Growth Factor yang terakumulasi dalam cairan ketuban
sebagai janin matang, dan setelah mencapai konsentrasi ambang batas,
merangsang PGE2 yang di biosintesis oleh sel amnion. Dalam kasus persalinan
prematur (<37 minggu kehamilan), sistem sinyal normal diaktifkan proses
prematur. Salah satu penyebab yang mungkin untuk ini adalah produksi sinyal
tambahan dari ibu. Aktivasi dari sistem kekebalan tubuh ibu yang menjadi pemicu
penting bagi timbulnya persalinan prematur dalam pengaturan infeksi bakteri
41
intrauterin. Telah dikemukakan bahwa agen imuno regulatori seperti InterleukinL1β (IL-1β) dan Tumor Necrotic Factor-α (TNF-α) merangsang sintesis PGE2,
yang mengarah kepada terjadinya aktivitas dini pada uterus dan dilatasi pada
serviks (Kniss, et al., 2003).
PGE2 juga meningkatkan MMP-9. Selain itu juga dapat meningkatkan
MMP-1 dan MMP-3. Peningkatan MMP akan berakibat pada mudahnya terjadi
ruptur pada membran selaput ketuban. (Mc.Laren, 2000). Selain itu, PGE2 juga
menyebabkan penurunan TiMP-1 dan berperan mestimulasi pembentukan MMP-2
(Ulug, et al., 2001).
Download