Jurnal Ilmu-Ilmu Perairan, Pesisir dan Perikanan

advertisement
Volume 2, Nomor 1
April 2013
ISSN: 2089-7790
DEPIK
Jurnal Ilmu-Ilmu Perairan, Pesisir dan Perikanan
(Journal of Aquatic, Coastal and Fishery Sciences)
DEPIK
Jurnal Ilmu-Ilmu Perairan, Pesisir dan Perikanan
(Journal of Aquatic, Coastal and Fishery Sciences)
ISSN: 2089-7790
Penerbit
: Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Syiah Kuala
Penanggung Jawab
: Prof. Dr. Adlim, M.Sc - Dekan Fakultas Kelautan dan Perikanan,
Universitas Syiah Kuala (Kimia Lingkungan)
Ketua Dewan Editor
: Prof. Dr. Muchlisin Z. A., S.Pi, M.Sc - Universitas Syiah Kuala
(Manajemen SDP & Budidaya Perairan)
Editor Pelaksana
Asisten Editor Pelaksana 1
Asisten Editor Pelaksana 2
Anggota Dewan Editor
: Ichsan Setiawan, M.Si - Universitas Syiah Kuala (Oseanografi)
: Drs. Muhammad, M.Si - Universitas Syiah Kuala (Hidrodinamika)
: Yopi Ilhamsyah, M.Si - Universitas Syiah Kuala (Meteorologi)
: Prof. Dr. Syamsul Rizal - Universitas Syiah Kuala (Oseanografi Fisik)
Dr. Musri Musman, M.Sc - Universitas Syiah Kuala (Kimia Perairan)
Dr. M. Ali Sarong, M.Si - Universitas Syiah Kuala (Ekologi Perairan)
Dr. Indra, MP - Universitas Syiah Kuala (Manajemen Sumberdaya Pesisir)
Dr. Abrar Muslim, M.Eng - Universitas Syiah Kuala (Kimia Lingkungan)
Dr. Muhammadar, ST, MP - Universitas Syiah Kuala (Akuakultur)
Farok Afero, Ph.D - DKP Aceh (Biometrik & Sosek Perikanan)
Dr. Indra Suharman, S.Pi, M.Sc - Universitas Riau (Pakan & Nutrisi Ikan)
Teknisi IT/Web Master
: Achmad Muhadjier, S.Kel
Sirkulasi dan Dokumentasi : Muhammad Saumi, A.Md
Jurnal Depik Diindek Oleh:
Alamat Redaksi:
Fakultas Kelautan dan Perikanan - Universitas Syiah Kuala
Kopelma Darussalam - Banda Aceh 23111, Provinsi Aceh , Indonesia.
Email : [email protected] Website : http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/depik
Kontak Redaksi : +62-(0)852-6091-2084
DEPIK
JURNAL ILMU-ILMU PERAIRAN, PESISIR DAN PERIKANAN
VOLUME 2, NOMOR 1, APRIL 2013
ISSN: 2089-7790
DAFTAR ISI
No.
Judul Artikel
Halaman
1.
Efek pemberian dosis akriflavin dan lama perendaman yang berbeda terhadap rasio pembentukan
kelamin jantan ikan baung (Hemibagrus nemurus)..............................................................................................
Junius Akbar, Agussyarif Hanafie
1-5
2.
Inventarisasi tumbuhan air di Kebun Raya Cibodas ..........................................................................................
Dian Ridwan Nurdiana
3.
Uji kadar formalin, kadar garam dan total bakteri ikan asin tenggiri asal Kabupaten Sarmi Provinsi
Papua ..........................................................................................................................................................................
Yenni Y. Salosa
10 - 15
4.
Pertumbuhan dan kelangsungan hidup benih ikan nila (Oreochromis niloticus) pada beberapa
konsentrasi tepung daun jaloh (Salix tetrasperma) dalam pakan .....................................................................
Zuraidha Yanti, Zainal A. Muchlisin, Sugito
16 - 19
5.
Keragaman fitoplankton di perairan estuaria Kuala Gigieng Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh .......
Fahni Sarinda, Irma Dewiyanti
6.
Distribusi kecepatan arus pasang surut pada muson peralihan barat-timur terkait hasil tangkapan ikan
pelagis kecil di perairan Spermonde ....................................................................................................................
Abdul Rasyid Jalil
26 - 32
7.
Catatan Penelitian: Persepsi nelayan terhadap kebijakan subsidi perikanan dan konservasi di Kabupaten
Aceh Besar, Provinsi Aceh .....................................................................................................................................
Zainal A. Muchlisin, Nur Fadli, Arifsyah M. Nasution, Rika Astuti
33 - 39
8.
Pengaruh getah pepaya (Carica papaya) terhadap sintasan tokolan udang windu (Panaeus monodon)
pada kepadatan yang berbeda selama pengangkutan .........................................................................................
40 - 44
Wahyu Tursina, Sofyatuddin Karina
6-9
20 - 25
Depik, 2(1): 1-5
April 2013
ISSN 2089-7790
Efek pemberian dosis akriflavin dan lama perendaman yang berbeda terhadap
rasio pembentukan kelamin jantan ikan baung (Hemibagrus nemurus)
The effect of different acriflavine doses and immersion times on male sex
reversal of bagrid catfish (Hemibagrus nemurus)
Junius Akbar*, Agussyarif Hanafie
Program Studi Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan, Universitas Lambung Mangkurat. Jalan A. Yani Km 35,8
Banjarbaru, Kalimantan Selatan (70714). *E-mail: [email protected]
Abstract. The purpose of this study was to examine the Acriflavine doses and immersion time on the sex ratio and survival rate of Bagrid
catfish (Hemibagrus nemurus. The completely randomized design of factorial was applied in this research (4x2) with 3 replications. The tested
doses were 0 mg/L, 2.5 mg/L, 5 mg/L, and 7.5 mg/L and immersion times were 6 hours and 12 hours. The Anova test showed that
Acriflavine doses and immersion times were not influence significantly on survival rate and sex ratio of Hemibagrus nemurus. However, the
highest male sex ratio was found 5 mg/L dose and 12 hours immersion time.
Keywords : Bagrid catfish, Hemibagrus nemurus, acriflavine, masculinization
Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh dosis akriflavin dan lama perendaman terhadap keberhasilan
pembentukan kelamin jantan dan sintasan benih ikan baung yang terbaik. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan
Acak Lengkap Faktorial (4x2) dengan tiga kali ulangan. Variabel bebas yang diukur adalah kombinasi antara dosis akriflavin
(0 mg/L, 2,5 mg/L, 5 mg/L, dan 7,5 mg/L) pada lama perendaman (6 jam dan 12 jam. Hasil uji Anova menunjukkan
bahwa perlakuan dosis akriflavin dan lama perendaman tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap sintasan dan rasio
kelamin ikan baung. Namun demikian hasil terbaik diperoleh pada perlakuan dosis 5 mg/L akriflavin dengan lama
perendaman 12 jam, yakni 61,83%.
Kata kunci : Baung, Hemibagrus nemurus, akriflavin, jantanisasi
Pendahuluan
Ikan baung (Hemibagrus nemurus) merupakan salah satu jenis ikan air tawar yang hidup di beberapa sungai di
Indonesia, terutama di Sumatera dan Kalimantan. Ikan ini berpotensi untuk dibudidayakan karena memiliki nilai ekonomis
tinggi. Ketersediaan ikan baung sebagai bahan pangan masyarakat sebagian besar masih berasal dari hasil tangkapan di
alam. Semakin meningkatnya minat konsumen terhadap ikan baung, mendorong penangkapan yang berlebihan, sehingga
kondisi tersebut cukup mengkhawatirkan terhadap keberadaan dan ketersediaannya di alam. Untuk mengatasi
permasalahan tersebut maka salah satu cara yang dapat ditempuh adalah dengan melakukan pengembangan usaha budidaya
ikan baung.
Secara umum, usaha budidaya ikan mencakup dua aspek usaha, yaitu usaha pembenihan dan pembesaran, oleh
karena itu kedua aspek tersebut sangat penting dikembangkan dalam upaya pengembangan kegiatan budidaya, karena
penyediaan benih dalam kualitas maupun kuantitas yang memadai akan menentukan keberhasilan usaha budidaya tersebut.
Penyediaan benih dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu menangkap benih dari perairan umum dan melakukan produksi
benih dari hasil pemijahan buatan. Benih yang ditangkap dari alam tidak tersedia secara terus menerus sepanjang waktu,
jumlahnya terbatas, kualitas tidak terjamin dan ketersediaanya juga masih bergantung pada kondisi lingkungan. Lain halnya
dengan benih hasil pemijahan buatan, kegiatan ini mampu menyediakan benih setiap waktu, tidak terpengaruh musim, dan
tersedia dalam jumlah yang banyak dengan kualitas yang terkontrol.
Dalam usaha budidaya, proses pemijahan buatan ikan baung telah berhasil dilakukan oleh Handoyo et al. (2010),
namun dalam proses pemijahan buatan masih mengalami masalah, karena induk jantan ikan baung harus dibunuh untuk
diambil testis dan cairan spermanya, hal ini dapat menyebabkan kelangkaan induk jantan ikan baung.
Untuk mengatasi masalah tersebut, perlu dilakukan perbanyakan induk jantan ikan baung. Salah satunya dengan
perangsangan perubahan kelamin melalui pemberian hormon androgen. Penggunaan hormon androgen seperti testosteron,
17α-metiltestosteron (17α-MT), dan testosteron propionat, telah terbukti berhasil dalam proses pembalikan kelamin jantan
pada ikan nila (Zairin et al., 2002; Zairin et al., 2005), ikan gurami (Sunandar et al., 2005), ikan kerapu (Mayunar et al., 1993),
ikan luohan (Adam, 2006), ikan gapi (Yunianti, 1995), dan udang galah (Akmal et al., 2004). Pembalikan kelamin dengan
pemberian hormon androgen (misalnya metiltestosteron) cukup efektif untuk memproduksi populasi jantan pada spesies
yang telah disebutkan diatas, dengan tingkat keberhasilan mencapai 96-100%. Namun demikian, kebijakan Pemerintah
Indonesia memalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan, Nomor: KEP. 20/MEN/2003 tentang Klasifikasi Obat
Ikan, penggunaan hormon androgen 17α-MT telah dilarang penggunaannya (Anonim, 2003). Oleh karena itu, perlu dicari
bahan lain yang dapat berperan seperti hormon androgen, mudah didapat, dan harganya relatif murah, salah satunya adalah
akriflavin.
1
Depik, 2(1): 1-5
April 2013
ISSN 2089-7790
Akriflavin merupakan bahan nonsteroid yang telah banyak digunakan sebagai agen utama anti mikroba pada ikan
(Hines dan Watts, 1995). Maka perlu dilakukan penelitian tentang efektivitas akriflavin pada pembalikan kelamin ikan
baung sebagai upaya untuk mengatasi kelangkaan induk jantan. Penggunaan akriflavin dalam mengubah jenis kelamin ikan,
selain dapat digunakan secara oral atau melalui pakan, dapat juga digunakan secara dipping atau perendaman (Zairin, 2002).
Sampai saat ini belum ada penelitian tentang penggunaan akriflavin dalam mengubah jenis kelamin ikan khususnya ikan
baung secara perendaman, maka dalam tulisan ini dilaporkan hasil kajian penggunaan akriflafin dengan dengan dosis
akriflavin dan lama perendaman yang berbeda terhadap persentase perubahan kelamin jantan ikan baung.
Bahan dan Metode
Bahan dan alat
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih ikan baung berumur 7 hari, akriflavin, pakan alami
cacing sutera dan pellet halus (fengli). Sedangkan peralatan yang digunakan untuk perlakuan adalah kolam terpal, bak
plastik, baskom, serok, dan alat untuk mengukur kualitas air (suhu air, pH, DO, dan NH3), sedangkan untuk pengamatan
morfologi menggunakan mikroskop dan section set.
Rancangan percobaan
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen dan rancangan Rancangan Acak Lengkap
(RAL) Faktorial dengan 2 faktor, yaitu faktor A (dosis akriflavin) dan faktor B (lama perendaman). Faktor A terdiri atas
empat taraf perlakuan, yaitu A1 = 0 mg/L, A2 = 2,5 mg/L, A3 = 5 mg/L, dan A4 = 7,5 mg/L. Faktor B terdiri atas dua
taraf perlakuan, yaitu B1 = 6 jam dan B2 = 12 jam, masing-masing perlakuan dengan tiga kali ulangan sehingga dihasilkan
sebanyak 24 unit percobaan. Perlakuan tersebut adalah :
A1B1 : Dosis akriflavin 0 mg/L dengan lama perendaman 6 jam
A1B2 : Dosis akriflavin 0 mg/L dengan lama perendaman 12 jam
A2B1 : Dosis akriflavin 2,5 mg/L dengan lama perendaman 6 jam
A2B2 : Dosis akriflavin 2,5 mg/L dengan lama perendaman 12 jam
A3B1 : Dosis akriflavin 5 mg/L dengan lama perendaman 6 jam
A3B2 : Dosis akriflavin 5 mg/L dengan lama perendaman 12 jam
A4B1 : Dosis akriflavin 7,5 mg/L dengan lama perendaman 6 jam
A4B2 : Dosis akriflavin 7,5 mg/L dengan lama perendaman 12 jam
Prosedur penelitian
Benih ikan uji yang digunakan yaitu benih ikan baung hasil pemijahan secara buatan yang dilaksanakan di
Laboratorium Basah Balai Budidaya Air Tawar Mandiangin. Benih ikan baung dilakukan perendaman sesuai dengan
perlakuan yang diingikan, yaitu dengan lama perendaman 6 dan 12 jam serta dengan dosis 0 mg/L; 2,5 mg/L; 5 mg/L,
dan 7,5 mg/L. Perendaman dilakukan pada baskom bervolume 25 liter, dengan banyaknya air 15 liter per baskom
perlakuan.
Setelah masa perendaman selama 6 dan 12 jam, benih ikan baung dipindah ke dalam wadah perlakuan, tiap
wadah berisi 20 ekor benih ikan baung. Lama pemeliharaan 6 minggu diberi pakan berupa cacing sutera yang dicincang
halus. Pemberian pakan 4 kali sehari dengan pemberian pakan pada pukul 08.00; 11.30; 14.30, dan 17.00 Wita yang
diberikan secara ad libitum. Pada masa pemeliharaan benih ikan baung memasuki minggu ke-4, pakan yang diberikan berupa
pellet Fengli 0 dengan pemberian sebanyak 3 kali sehari pada pukul 08.00, 01.00 dan 17.00 Wita.
Untuk mempertahankan kualitas air pada kondisi optimal dilakukan penyiponan setiap hari dan penggantian air
setiap 4 hari sekali. Parameter kualitas air yang diukur adalah suhu air, pH, DO, dan NH3. Pengukuran dilakukan pada awal
penelitian dan akhir penelitian.
Pengamatan jenis kelamin benih ikan baung dengan mengamati ciri-ciri morfologis dengan mengamati lubang
genital (genital pore). Pada ikan baung jantan, lubang genital agak memanjang dan terdapat bagian yang meruncing ke arah
caudal, sedangkan ikan betina, lubang genitalnya berbentuk bulat.
Parameter uji
Parameter utama
Parameter utama yang diamati dalam penelitian ini adalah keberhasilan pembentukan jenis kelamin jantan.
Menurut Zairin (2002), keberhasilan pembentukan jenis kelamin diukur dengan menggunakan rumus :

Persentase Kelamin Jantan (IJ)
IJ = (Ij/Is) x 100%
Keterangan :
IJ = Persentase kelamin jantan (%)
Ij = Jumlah ikan berkelamin jantan (ekor)
Is = Jumlah sampel ikan yang diamati (ekor)
Parameter penunjang
Parameter penunjang dalam penelitian ini adalah tingkat sintasan benih ikan baung dan parameter kualitas air
media ikan yang diukur dengan rumus:
2
Depik, 2(1): 1-5
April 2013
ISSN 2089-7790

Tingkat sintasan (Survival Rate/SR)
Jumlah ikan yang hidup akhir penelitian
SR (%) = -------------------------------------------------- x 100
Jumlah ikan awal penelitian

Pengukuran parameter kualitas air meliputi pengukuran suhu air, derajat keasaman (pH), oksigen terlarut (DO), dan
amoniak (NH3).
Analisis data
Data yang diperoleh dianalisis dengan uji Two-ways ANOVA. Jika dari hasil uji ANOVA diketahui perlakuan
memberikan pengaruh nyata, dilanjutkan uji Beda Nyata Terkecil (BNT) untuk membandingkan nilai antar perlakuan
(Hanafiah, 1993).
Hasil dan Pembahasan
Hasil penelitian tentang pengaruh dosis akriflavin dan lama perendaman yang berbeda pada benih ikan baung
(Hemibagrus nemurus) terhadap tingkat sintasan dan keberhasilan pembentukan kelamin jantan disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Tingkat sintasan dan keberhasilan pembentukan kelamin jantan ikan baung dengan menggunakan dosis Akriflavin
dan lama perendaman yang berbeda. Huruf superscript yang sama pada kolom yang sama menyatakan tidak berbeda nyata
antar perlakuan (p>0,05)
Parameter
Sintasan (%)
Kelamin jantan (%)
6 Jam
0 mg/L
76,67±12,58a
36,89±3,09a
2,5 mg/L
73,33±2,99a
43,18±3,35a
5 mg/L
75,00±5,00a
51,55±12,25a
7,5 mg/L
76,67±10,41a
46,14±8,21a
0 mg/L
81,67±2,89a
44,85±1,91a
12 Jam
2,5 mg/L
5 mg/L
76,67±10,41a 83,33±7,64a
54,95±7,33a
61,83±4,23a
7,5 mg/L
80,00±10,00a
47,32±10,53a
Sintasan
Berdasarkan hasil uji ANOVA menunjukkan bahwa perlakuan dosis akriflavin dan lama perendaman yang
berbeda tidak berpengaruh nyata terhadap sintasan ikan baung (P>0,05). Persentase sintasan benih ikan baung berkisar
73,33%-83,33%. Berbedanya persentase sintasan antar perlakuan diduga selain dipengaruhi oleh pakan yang diberikan juga
dipengaruhi faktor lain seperti kualitas air dan adanya sifat kanibalisme (Van Damme et al., 1989). Tidak berpengaruhnya
akriflavin terhadap sintasan ikan baung selama perendaman membuktikan bahwa akriflavin tidak bersifat toksik (racun).
Pembentukan kelamin Jantan
Berdasarkan hasil uji ANOVA menunjukan bahwa perlakuan dosis akriflavin dan lama perendaman yang
berbeda tidak berpengaruh nyata terhadap pembentukan kelamin jantan ikan baung (P>0,05). Persentase keberhasilan
pembentukan kelamin jantan ikan baung berkisar 36%-61%. Pembentukan kelamin jantan ikan baung menunjukkan
kecenderungan semakin tinggi dosis yang diberikan sampai batas dosis 5 mg/L akriflavin akan semakin tinggi persentase
kelamin jantan yang dihasilkan. Akan tetapi, apabila dosis melebihi 5 mg/L, maka akan terjadi sebaliknya, yaitu semakin
menurun pembentukan kelamin jantan (Tabel 1). Hal ini, sesuai pendapat Yunianti (1995) pada pemberian hormon
17 α-MT dengan periode perendaman jangka panjang dapat menyebabkan ikan menjadi mandul ataupun efek yang
berlawanan yakni terjadinya feminisasi. Tingginya persentase kelamin jantan pada perlakuan A3B2 (dosis 5 mg/L dengan
lama perendaman 12 jam) dibanding dengan perlakuan lain menunjukkan bahwa dosis tersebut merupakan dosis yang
optimal dalam proses maskulinisasi ikan baung.
Hasil penelitian ini dinyatakan belum maksimal, karena menurut Yuwanny (2000), pembentukan kelamin jantan
dengan metode perendaman menggunakan hormon metiltestosteron dapat menghasilkan pembentukan kelamin jantan
mencapai 93,3%. Umumnya hormon yang dilarutkan dalam wadah perendaman masuk bersamaan dengan masuknya cairan
ke dalam tubuh, kemudian dilanjutkan keperedaran darah dan mencapai target pada gonad. Sedangkan akriflavin diduga
sukar masuk secara difusi ke dalam tubuh benih ikan baung bahkan tidak berhasil beredar pada sistem peredaran darah.
Selain itu, diduga lapisan permukaan tubuh benih ikan baung kurang permeabel sehingga sukar ditembus oleh akriflavin
(Yuwanny, 2000). Menurut Hepher dan Pruginin (1982), bahwa laju difusi hormon yang akan masuk organ target
terhambat karena permeabilitas dari tubuh benih ikan rendah, sehingga pembentukan kelamin jantan ikan baung tidak
maksimal.
Pemberian akriflavin melalui perendaman pada fase benih kurang efektif karena terlalu jauh untuk mencapai
organ target, yaitu otak. Perlakuan pengarahan kelamin dengan cara perendaman, hormon akan masuk ke dalam tubuh ikan
melalui insang, kulit, dan gurat sisi (Zairin, 2002) sehingga dengan cara ini, tidak semua hormon masuk ke dalam tubuh
ikan. Akriflavin masuk ke dalam tubuh benih melalui proses difusi karena perbedaan dosis antara media perendaman
dengan benih. Seperti halnya hormon, akriflavin diduga masuk secara difusi. akriflavin yang masuk ke dalam sel akan
langsung berhubungan dengan sisi aktif dari enzim dan mengikatnya sehingga sisi aktif tersebut tidak ditempati oleh
substrat alami (testosteron) (Brodie, 1991).
Pada saat ini belum diketahui dosis yang dapat menyebabkan kematian pada ikan. Namun, perlu diperhatikan
hormon steroid, misalnya 17α-MT terdapat kecenderungan pemberian dosis yang terlalu rendah menyebabkan proses
pengarahan jenis kelamin kurang sempurna dan sebaliknya dapat menyebabkan ikan menjadi steril, abnormalitas, dan
bahkan dapat menyebabkan kematian ikan (Zairin, 2002). Selain karena dosis akriflavin dan waktu perlakuan yang kurang
tepat, faktor lingkungan sangat berpengaruh terutama faktor suhu air pemeliharaan. Dari hasil pengukuran terhadap suhu
air media budidaya, tampak bahwa suhu air media relatif tinggi, yaitu berkisar 26,89 0C sampai 27,2 0C. Menurut
3
Depik, 2(1): 1-5
April 2013
ISSN 2089-7790
Khairuman dan Amri (2010), kisaran suhu untuk budidaya ikan baung adalah 25-26 0C. Dengan tingginya suhu air,
mengakibatkan DO rendah. Padahal kisaran DO yang baik untuk budidaya ikan baung minimal 4 mg/L (Khairuman dan
Amri, 2010). Selain itu diduga penurunan DO disebabkan oleh besarnya hasil buangan feces ikan. Hal ini, diduga yang
menyebabkan kematian pada ikan baung dan rendahnya persentase rerata jenis kelamin jantan ikan baung selain metode
yang digunakan.
Akriflavin yang diberikan pada ikan nila merah melalui pakan dapat membuat pembentukan kelamin jantan ikan
nila merah meningkat sampai 72,46% pada dosis 15 mg/kg pakan, 78,3% dengan dosis 25 mg/kg pakan, dan 79,0%
dengan dosis 35 mg/kg pakan. Pada penelitian tersebut, semakin tinggi dosis akriflavin yang diberikan hasil nisbah kelamin
jantan semakin meningkat (Zairin et al., 2005). Artinya, pemberian dosis akriflavin yang berbeda melalui pakan berpengaruh
terhadap nisbah kelamin jantan ikan. Sedangkan pada penelitian Hines dan Watts (1995), akriflavin yang diberikan pada
ikan nila melalui pakan, dosis akriflavin 5 mg/kg pakan menghasilkan persentase jantan sebesar 79%, 15 mg/kg pakan
menghasilkan persentase jantan sebesar 89%, dan 50 mg/kg pakan menghasilkan persentase jantan sebesar 85%. Hasil
penelitian Isnaini (2000), dosis akriflavin yang terbaik dalam metode perendaman adalah 10 mg/L (57,35%), setelah dosis
dinaikkan menjadi 20 mg/L dan 30 mg/L maka pembentukan kelamin jantan ikan gapi menurun menjadi 18,83% dan
33,52%. Artinya peningkatan dosis akriflavin di atas 10 mg/L tidak dapat meningkatkan pembentukan kelamin jantan ikan.
Artinya, pemberian dosis akriflavin yang berbeda tidak berpengaruh terhadap pembentukan kelamin jantan ikan gapi. Tidak
berpengaruhnya pemberian dosis akriflavin yang berbeda pada ikan baung pada penelitian ini diduga karena metode
perendaman yang dilakukan, akibatnya akriflavin hanya bekerja di luar tubuh ikan saja, sementara proses diferensiasi
kelamin terjadi di dalam tubuh ikan. Saat berada di luar tubuh ikan, akriflavin bekerja dengan cara mengikat asam nukleat
ektoparasit pada ikan (Budavari, 1996).
Kualitas Air
Secara langsung ataupun tidak langsung, kualitas air berpengaruh terhadap sintasan dan pertumbuhan ikan yang
dipelihara. Pengukuran terhadap parameter kualitas air dilakukan untuk mengetahui keadaan air media pemeliharaan.
Parameter kualitas air yang diukur pada saat penelitian ini adalah suhu air, pH, DO, dan NH3. Dari Tabel 2, terlihat bahwa
kualitas air media masih dalam kisaran yang menunjang untuk sintasan dan pertumbuhan ikan baung. Hal ini, didukung
oleh pernyataan Khairuman dan Amri (2010) kisaran suhu air ideal untuk budidaya ikan baung antara 25-320C, nilai pH air
ideal untuk budidaya ikan baung antara 6,5-8, kandungan DO yang baik untuk budidaya ikan baung minimal 4 mg/L, dan
batas konsentrasi NH3 yang mematikan ikan baung berkisar antara 0,1-0,3 mg/L.
Tabel 2. Hasil pengukuran kualitas air selama kajian
No
1
2
3
4
Parameter
Suhu air
pH
DO
NH₃
Satuan
0C
mg/L
mg/L
Hasil
Awal
26,89
7,88
4,34
0,1
Akhir
27,2
6,73
4.86
0,075
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat diambil kesimpulan bahwa pemberian dosis akriflavin dan lama perendaman
yang berbeda tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap tingkat sintasan dan keberhasilan perubahan kelamin jantan
ikan baung (Hemibagrus nemurus). Guna mendapatkan populasi jantan ikan baung (Hemibagrus nemurus) dengan cara
perendaman sebaiknya dilakukan pada dosis 5 mg/L akriflavin dengan lama perendaman 12 jam. Perlu dilakukan penelitian
lanjutan dengan menggunakan perlakuan umur benih ikan baung yang berbeda pada konsentrasi 5 mg/L akriflavin dan
lama perendaman 12 jam untuk mendapatkan persentase pembalikan kelamin jantan yang lebih tinggi.
Ucapan Terima Kasih
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Direktorat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Dikti melalui
Program Penelitian Desentralisasi Hibah Fundamental yang telah memberikan dana melalui Lembaga Penelitian Unlam,
dengan Surat Keputusan Rektor Unlam No. 204/UN8/PL/2012, sehingga penelitian ini dapat dilaksanakan.
Daftar Pustaka
Adam, M., Fauzan. 2006. Pengaruh pemberian pakan berhormon 17 α-Metiltestosteron pada dosis 30,40, dan 50 mg/kg
pakan terhadap nisbah kelamin ikan Luo Han (Cichlasoma spp.). Skripsi, Program Studi Teknologi dan Manajemen
Akuakultur. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB, Bogor. 41 hal.
Akmal., D. Rohmana, M.B. Galugu. 2004. Optimalisasi pembesaran udang galah dari hasil aplikasi sex reversal dengan
menggunakan aromatase inhibitor di kolam irigasi. Kumpulan Abstrak Pertemuan Pra-Lintas Unit Pelaksana
Teknis Bidang Budidaya Laut dan Air Payau. Mataram 2-5 Agustus 2004.
Anonim. 2003. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. KEP.20/MEN/2003 tentang Klasifikasi Obat Ikan. 8 hal.
Brodie, A. 1991. Aromatase and its inhibitor- an overview. J. Steroid. Biochem. Molec. Biol., 40 : 225-261.
Budavari, S. 1996. The merck index. (an encyclopedia of chemicals, drugs, and biological). 12 Edition. Merck & CO., Inc,
Rahway. N.J, USA.
Hanafiah, H.A. 1993. Rancangan percobaan teori dan aplikasi. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. 238 hal.
4
Depik, 2(1): 1-5
April 2013
ISSN 2089-7790
Handoyo, Boyun., C. Setiowibowo, Y. Yustiran. 2010. Cara mudah budidaya dan peluang bisnis ikan baung dan jelawat.
IPB Press, Bogor. 161 hal.
Hepher, B., Y. Pruginin. 1982. Commercial fish farming. With Special Reference John Willey and Sons. Fish Culture in
Israel. New York. 261 p
Hines, G.A., S.A. Watts. 1995. Non-steroidal chemical sex manipulation of tilapia. Journal of The World Aquaculture
Society, 26: 98-101.
Isnaini, R. 2000. Efek akriflavin terhadap nisbah kelamin, pertumbuhan, dan tingkat sintasan ikan gapi (Poecilia reticulate
Peters). Skripsi, Program Studi Budidaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB, Bogor. 43 hal.
Khairuman., K. Amri. 2010. Ikan baung, peluang usaha dan teknik budidaya intensif. PT. Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta. 88 hal.
Mayunar., S. Diani, T. Ahmad. 1993. Studi pendahuluan perubahan kelamin dan reproduksi ikan kerapu macan, Epinephelus
fuscoguttatus. Jurnal Penelitian Budidaya Pantai, 9(1): 125-134.
Sunandar., T.M. Arifin, N. Yuliani. 2005. Perendaman benih ikan gurami (Osphronemus gouramy Lac) terhadap keberhasilan
pembentukan kelamin jantan. Jurusan Perikanan, UMM, Malang. 9 hal.
Van Damme, P., S. Appelbaum, T. Hecht. 1989. Sibling cannibalism in koi carp, Cyprinus carpio L., larvae and juvenile
reared under controlled conditions. J. Fish Biol., 34: 855-863.
Yunianti, A. 1995. Pengaruh lama waktu perendaman induk di dalam larutan hormon 17 α-Metiltestosteron terhadap
nisbah kelamin anak ikan gapi (Poecilia reticulata Peters). Skripsi, Program Studi Budidaya Perairan. Fakultas
Perikanan, IPB, Bogor. 41 hal.
Yuwanny. 2000. Pengaruh lama perendaman induk ikan gapi (Poecilia reticulate Peters) dalam akriflavin terhadap nisbah
kelamin keturunannya. Skripsi, Program Studi Budidaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB,
Bogor. 59 hal.
Zairin, M.Jr. 2002. Sex reversal memproduksi benih ikan jantan atau betina. Penebar Swadaya, Jakarta. 96 hal.
Zairin, M.Jr., O. Carman, A. Laining, E. Nurdiana. 2002. The effects of different exposure time of 17α-methyltestosterone
on sex ratio of Congo Tetra (Micralestes interruptus). Jurnal Ilmu-Ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia, 9: 59-65.
Zairin, M.Jr., D. Nurlestiyoningrum, M.M. Raswin. 2005. Pengaruh dosis akriflavin yang diberikan secara oral kepada larva
ikan nila merah (Oreochromis sp.) terhadap nisbah kelaminnya. Jurnal Akuakultur Indonesia, 4(2): 131-137.
5
Depik, 2(1): 6-9
April 2013
ISSN 2089-7790
Inventarisasi tumbuhan air di Kebun Raya Cibodas
Inventory of aquatic plant in Cibodas Botanical Garden
Dian Ridwan Nurdiana
UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Cibodas LIPI. Sindanglaya, PO BOX 19 SDL Cipanas – Cianjur Jawa
Barat, Indonesia. Email : [email protected]
Abstract. Cibodas Botanic Garden is ex situ conservation area located at Cibodas Biosphere Reserve West Java. As the part of biosphere
reserve, Cibodas Botanic Garden plays an important role in conservation, research, tourism and education programs. The objective of the present
study was to collect information on aquatic plants found in Cibodas Botanic Garden. The exploration method was used in this study with 6
sampling locations. The results showed that emergent aquatic plants are dominant in Cibodas Botanic Garden and the largest amount of aquatic
plants are location no 4 as much 29 species.
Keywords: Aquatic plant, Cibodas Botanic Garden
Abstrak. Kebun Raya Cibodas merupakan kawasan konservasi ex situ yang terletak di Cagar Biosfer Cibodas Jawa Barat.
Sebagai bagian dari Cagar Biosfer Cibodas, Kebun Raya Cibodas berfungsi sebagai konservasi, penelitian, pariwisata dan
pendidikan. Penelitian inventarisasi tumbuhan air bertujuan untuk mendapatkan informasi jenis tumbuhan air yang tumbuh
di kawasan Kebun Raya Cibodas. Penelitian inventarisasi tumbuhan air dilakukan dengan metode eksplorasi pada 6 lokasi
di Kebun Raya Cibodas dan pengumpulan specimen tumbuhan air untuk identifikasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
kategori tumbuhan air emergent plants merupakan tumbuhan air yang paling banyak ditemukan di Kebun Raya Cibodas dan
lokasi terbanyak ditemukan jenis tumbuhan air adalah lokasi 4 yaitu sebanyak 29 jenis tumbuhan air.
Kata kunci: Tumbuhan air, Kebun Raya Cibodas
Pendahuluan
Kebun Raya Cibodas terletak di Cagar Biosfer Cibodas yang merupakan kawasan cagar alam dunia. Daerah ini
merupakan kawasan terbasah di Jawa Barat. Suhu udara di Kebun Raya Cibodas berkisar 18-200C, tingkat kelembaban 90%
dan berada pada ketinggian 1300-1450 m dpl. Kebun Raya Cibodas memiliki 4 fungsi antara lain konservasi, pariwisata,
pendidikan lingkungan dan penelitian. Kebun Raya Cibodas merupakan kawasan strategis sebagai salah satu daerah jalur
distribusi dan serapan air di Cagar Biosfer Cibodas khususnya untuk wilayah Kabupaten Cianjur. Keutuhan ekosistem yang
terdapat didalamnya perlu dijaga untuk mendukung kepada kesuksesan fungsi ekologis dan ekonomi kawasan. Salah satu
komponen penting dari biosfer adalah keberadaan tumbuhan air. Tumbuhan air merupakan tumbuhan yang tinggal di
sekitar air dan di dalam air yang berfungsi sebagai produsen penghasil energi pada suatu ekosistem (Odum dan Barrett,
2005). Fungsi tumbuhan air secara alamiah beraneka ragam antara lain tumbuhan mikroskopik (fitoplankton) berfungsi
membentuk dasar rantai makanan, alga dan tumbuhan berbunga (Makrofita) berfungsi memberikan tempat perlindungan
dan habitat bagi ikan, unggas dan kehidupan liar lainnya, sumber oksigen bagi hewan, menyerap nutrisi dan menyaring
polutan, menstabilkan dasar perairan dan sebagai ornamental (tumbuhan hias). Selain fungsi ekologis, tumbuhan air dapat
dimanfaatkan untuk pangan, tanaman hias, obat-obatan dan agen lingkungan (fitoremediasi). Salah satu jenis tumbuhan air
yang sudah banyak dimanfaatkan adalah eceng gondok (Eichhornia crassipes) yang dapat digunakan untuk fitoremediasi dan
bahan kerajinan (Palapa, 2009). Menurut Kurniawan et al. (2010) menyatakan Ipomoea aquatica, dan Nymphaea sp. juga
memiliki potensi sumber klorofil, karotenoid dan vitamin C.
Menurut Lembi (2009) tumbuhan air dapat dibagi menjadi beberapa kategori antara yaitu: Submersed plants yaitu
tumbuhan yang berakar di dasar perairan dan tumbuh melewati permukaan air dengan ciri bunga atau tangkai bunga
muncul di atas permukaan air. Free floating plants yaitu tumbuhan air yang hidup mengapung di permukaan dengan akar di
dasar perairan, biasanya tumbuh pada perairan yang kaya nutrisi. Rooted floating plants yaitu tumbuhan air yang memiliki
batang di bawah permukaan dengan sistem pertunasan, biasanya daun dan bunga mengapung di dasar perairan dengan
kedalaman perairan 4-5 kaki. Emergent plants yaitu tumbuhan tepi atau disebut juga sebagai marginal plants dengan ciri umum
sistem perakaran yang berada di atas permukaan air.
Inventarasasi tumbuhan air di Kebun Raya Cibodas belum pernah dilakukan sebelumnya, sehingga penelitian ini
perlu dilakukan untuk mendukung upaya konservasi flora dan fauna yang terdapat ekosistem perairan Kebun Raya Cibodas
sekaligus potensi pemanfaatan yang bisa dikembangkan. Tujuan dari penelitian untuk mengidentifikasi tumbuhan air yang
hidup di saluran air, kolam, selokan dan kawasan basah di Kebun Raya Cibodas untuk kepentingan pemanfaatan yang
berkelanjutan dan status pengelolaannya kedepan. Penelitian diharapkan mampu memberikan informasi keberadaan
tumbuhan air yang hidup di Kebun Raya Cibodas baik yang liar ataupun dikoleksi sebagai dasar untuk pemanfaatan dan
pengelolaan berkelanjutan dalam upaya pelestarian ekosistem perairan di Kebun Raya Cibodas sebagai bagian dari Cagar
Biosfer Cibodas.
6
Depik, 2(1): 6-9
April 2013
ISSN 2089-7790
Metode Penelitian
Lokasi dan waktu penelitian
Penelitian dilakukan pada bulan Januari – April 2012 di 6 lokasi berbeda di kawasan Kebun Raya Cibodas. Lokasi
yang dipilih merupakan habitat ditemukannya tumbuhan air yaitu sepanjang aliran air dan kolam yang terdapat di Kebun
Raya Cibodas (Gambar 1). Lokasi pengambilan data jenis tumbuhan air dibagi menjadi (1) jalur air terjun Ciismun pada
ketinggian sekitar 1300 m dpl sampai perbatasan pintu gerbang keluar menuju arah Cipanas, (2) aliran air sepanjang gedung
laboratorium yang merupakan akses utama aliran air dari sumber mata air Gunung Gede Pangrango sampai menuju kolam
besar, (3) kolam besar, (4) aliran air dan kolam di sekitar kantor pengelola, (5) kolam air mancur yang berdekatan dengan
pintu gerbang keluar kawasan Kebun Raya Cibodas, (6) Aliran air dan kolam sekitar Gedung Konservasi.
Pengambilan data tumbuhan air
Pengumpulan data tumbuhan air dilakukan dengan metode eksploratif (penjelajahan). Jenis-jenis yang ditemukan
dikumpulkan dalam bentuk specimen basah dengan diberikan label lokasi dan tanggal pengambilan specimen serta
dilakukan identifikasi di laboratorium (Anonim, 2008). Pengambilan data dilakukan untuk semua tumbuhan air yang
ditemukan disepanjang aliran air dan kolam berdasarkan lokasi yang ditentukan (lokasi 1-6). Data yang dicatat adalah lokasi
pengambilan, tempat tumbuh, dan nama daerah. Spesimen yang dikumpulkan kemudian dibuat dalam bentuk herbaria
untuk pengamatan lebih lanjut. Alat yang digunakan untuk pengumpulan material tumbuhan air antara lain kantong plastik,
gunting tanaman, dan label.
Gambar 1. Peta Pengambilan Sampel di Kebun Raya Cibodas
Hasil dan Pembahasan
Keragaman jenis tumbuhan air
Berdasarkan hasil pengamatan di lokasi, ditemukan 49 jenis tumbuhan air yang tersebar di 6 lokasi yang berbeda
di Kebun Raya Cibodas (Tabel 1). Dari 49 jenis tumbuhan air yang ditemukan, 18 jenis ditemukan di lokasi 1 dengan
dominasi tumbuhan dengan kategori emergant plants. Tipe lokasi 1 yang memiliki aliran deras menyebabkan tumbuhan air
yang bersifat rooted floating plants sulit ditemukan. Pada lokasi 2 ditemukan 19 jenis tumbuhan air dengan didominasi
tumbuhan air kategori emergant plants. Lokasi ini memiliki kesamaan tipe dengan lokasi 1 yang memiliki arus deras. Pada
lokasi 3 ditemukan 6 jenis tumbuhan air dengan kategori submersed plants karena lokasi ini merupakan kolam tanpa arus yang
memungkinkan substrat terkonsentrasi di dasar perairan. Substrat yang ditemukan pada lokasi ini umumnya lumpur dengan
sedikit pasir. Lokasi 4 ditemukan 29 jenis tumbuhan dengan dominasi jenis Nasturtium officinale dan Lemna spp. Lokasi 4
didominasi oleh tumbuhan air kategori Rooted floating plants dengan substrat lumpur dan pasir. Pada lokasi 5 ditemukan 10
jenis tumbuhan air dengan didominasi kategori tumbuhan air submersed plants dan jenis Hydrilla verticillata (L.f.) Royle. Pada
lokasi 6 ditemukan 9 jenis tumbuhan air dengan dominasi tumbuhan air kategori rooted floating plants.
7
Depik, 2(1): 6-9
April 2013
ISSN 2089-7790
Dari 6 lokasi pengamatan, tumbuhan air yang mendominasi kawasan Kebun Raya Cibodas berasal dari kategori
tumbuhan air emergant plants. Hal ini dimungkinkan oleh kecepatan aliran air yang melintasi kawasan Kebun Raya Cibodas
dengan topografi berbukit sehingga tumbuhan air lebih dominan di sekitar aliran air. Perbedaan tumbuhan air yang
ditemukan di Kebun Raya Cibodas bisa diakibatkan oleh perbedaan permukaan air. Menurut Sunanisari et al. (2008)
perubahan tinggi muka air akan berdampak pada perubahan bagian tepi yang terendam air yang dapat mengakibatkan
perubahan dari penyebaran komunitas tumbuhan air selain daripada perbedaan unsur hara seperti nitrogen dan fosfor.
Tabel 1. Tumbuhan air di Kebun Raya Cibodas
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
46
47
48
49
Jenis
Suku
Ageratina riparia (Regel) R. M. King & H. Rob.
Alternanthera sp.
Alternanthera philoxeroides (Mart.)Griserb.
Artemisia vulgaris L.
Bacopa monnieri (L.)Wettst.
Blumea lacera (Burm.f.)DC.
Centella asiatica (L.)Urb.
Ceratophyllum demersum L.
Commelina diffusa Burm.f.
Commelina paludosa Blume
Cyperus brevifolius (Rottb.) Hassk.
Cyperus flabelliformis Rottb.
Cyperus papyrus L.
Cyperus sp.
Digitaria nuda Schumach.
Drymaria villosa Cham. & Schltdl.
Echinochloa crusgalli
Equisetum ramosissimum
Galinsoga parviflora Cav.
Houttuynia cordata Thunb.
Hydrilla verticillata (L.f.)Royle
Hydrocotyle sibthorpioides Lam.
Impatiens balsamina L.
Isachne globosa (Thunb.) Kuntze
Lecanthus peduncularis (Wall. Ex Royle) Wedd.
Lemna sp.
Ludwigia peruviana (L.) H.Hara
Monochoria vaginalis (Burm.f.) Presl.
Myriophyllum aquaticum (Vell.) Verdc.
Nasturtium officinale R.Br.
Neptunia plena (L.) Benth.
Nymphaea sp.
Oenanthe javanica (Blume)D.C
Ottelia alismoides (L.) Pers.
Paspalum longifolium Roxb.
Paspalum sp.
Pogostemon menthoides Blume
Polygala paniculata L.
Potamogeton natans L.
Ranunculus sundaicus (Backer) H. Eichler
Rorippa sp.
Rostellularia sundana Bremek.
Spilanthes paniculata
Synedrella nodiflora (L.) Gaertn.
Thalia geniculata L.
Trapa natans L.
Typha angustifolia L.
Youngia japonica (L.)DC.
Zantedeschia aethiopica (L.) Spreng.
Compositae
Amaranthaceae
Amaranthaceae
Compositae
Plantaginaceae
Compositae
Apiaceae
Ceratophyllaceae
Commelinaceae
Commelinaceae
Cyperaceae
Cyperaceae
Cyperaceae
Cyperaceae
Poaceae
Caryophyllaceae
Poaceae
Equisetaceae
Compositae
Saururaceae
Hydrocharitaceae
Araliaceae
Balsaminaceae
Poaceae
Urticaceae
Araceae
Onagraceae
Pontederiaceae
Haloragaceae
Brassicaceae
Leguminosae
Nymphaeaceae
Apiaceae
Hydrocharitaceae
Poaceae
Poaceae
Lamiaceae
Polygalaceae
Potamogetonaceae
Ranunculaceae
Brassicaceae
Acanthaceae
Compositae
Compositae
Marantaceae
Lythraceae
Typhaceae
Compositae
Araceae
Lokasi
5
4
4
4,6
1,4
1,6
1,4,5,6
4
1
2,4,5,6
1,2
3
3,5
4
1
1,2,4,6
2
1,4
2,4
2
5
4
4
1
2,4
4
1
6
4
1,4,5
4,5,6
4,5,6
1
1,2,3,5
1
2,4
2
4
4
2
1
4,6
1
4
3
1
3
2
3
Status keberadaan tumbuhan air di Kebun Raya Cibodas
Perbedaan jenis tumbuhan air yang ditemukan di Kebun Raya Cibodas dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Hal
ini sesuai dengan yang diungkapkan Barko et al. (1986) bahwa beberapa faktor lingkungan yang mempengaruhi
produktivitas, distribusi dan komposisi makrofita, diantaranya cahaya, suhu air, komposisi sedimen dan ketersediaan
8
Depik, 2(1): 6-9
April 2013
ISSN 2089-7790
karbon inorganik. Tumbuhan air yang tumbuh di Kebun Raya Cibodas merupakan tumbuhan air yang tumbuh secara alami
yang mungkin terbawa arus dari tempat lain karena wilayah ini merupakan jalur distribusi air dari kawasan hulu Taman
Nasional Gunung Gede Pangrango. Berdasarkan pengamatan menunjukkan adanya jenis tumbuhan air yang berpotensi
invasif antara lain Hydrilla verticillata (L.f.) Royle., Trapa natans L., Lemna sp., Myriophyllum aquaticum (Vell.) Verdc. dan
Potamogeton natans L yang ditemukan di lokasi 4 dan 5. Tumbuhan air yang bersifat invasive memberikan dampak buruk pada
lingkungan seperti menghambat saluran air, saluran irigasi, dan mengurangi estetika dan nilai pariwisata perairan (Catling
and Dobson, 1985 dalam Capers et al., 2005).
Tumbuhan air yang terdapat di Kebun Raya Cibodas umumnya merupakan tanaman non koleksi, biasanya banyak
ditemukan secara liar di areal perairan baik saluran air, maupun kolam. Pola pemanfaatan tumbuhan air yang sudah
dilakukan oleh masyarakat sekitar adalah untuk bahan pangan, dan tanaman hias antara lain tumbuhan air jenis Nasturtium
officinale R. Br. Oenanthe javanica DC. Teratai (Nymphaea sp.), Cyperus papyrus L., Equisetum ramosissimum. dan Centella asiatica
(L.) Urb.
Nasturtium officinale R.Br. atau selada air merupakan jenis tumbuhan air yang kerap dijadikan lalapan oleh sebagian
besar masyarakat di sekitar Cibodas. Salah satu khasiat yang terkandung dalam selada air adalah sebagai antioksidan,
mengobati gangguan dan iritasi pada kulit, memperlancar saluran pencernaan dan mengobati hipertensi (Soetiarso, 2010).
Jenis lain yang sudah dimanfaatkan adalah Oenanthe javanica DC. Jenis ini memiliki khasiat sebagai anti nyeri pinggang,
demam, flu, memar, digigit ular dan kalajengking. Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya, selada air mengandung vitamin
C, B2, Vitamin A, mineral P, Fe dan Ca serta memiliki kandungan minyak atsiri sebanyak 117 (Rostinawati, 2010).
Selanjutnya, jenis tumbuhan air pegagan atau Centella asiatica (L.)Urb. Tumbuhan ini dapat dimakan langsung sebagai
lalapan atau diolah dengan cara direbus terlebih dahulu. Secara farmakologis pegagan memiliki khasiat mampu
menstimulasi saraf, meningkatkan memori serta intelegensi, penenang dan sedasi (Amalia, 2009). Pola pemanfaatan lain
tumbuhan air yang sudah dilakukan adalah sebagai tanaman hias antara lain jenis Teratai (Nymphaea sp.), Cyperus papyrus L.
dan Equisetum ramosissimum. Tumbuhan ini banyak ditemukan di penjual tanaman hias disekitar kawasan Cibodas.
Kesimpulan
Di Kebun Raya Cibodas ditemukan 49 jenis tumbuhan air dengan sebaran lokasi terbanyak ditemukan tumbuhan
air di aliran air dan kolam di sekitar kantor pengelola (lokasi 4). Tumbuhan air yang banyak ditemukan di Kebun Raya
Cibodas termasuk kedalam kategori emergent plants.
Ucapan Terima Kasih
Penulis menyampaikan terima kasih kepada seluruh staf bagian koleksi tumbuhan UPT Balai Konservasi
Tumbuhan Kebun Raya Cibodas atas bantuan informasi dan tenaga selama kegiatan penelitian berlangsung.
Daftar Pustaka
Anonim. 2008. Identification manual of aquatic plants in Lake Hopatcong and potential future invasive species.
(www.lakehopatcong.org, diakses 29 Oktober 2011).
Amalia, R. 2009. Pengaruh ekstrak pegagan (Centella asiatica (L.)Urban) terhadap efek sedasi pada mencit balb/C. Laporan
Penelitian, Fakultas Kedokteran. Universitas Diponegoro, Semarang.
Barko, J.W., M.S. Adam, N.L. Cleseceri. 1986. Environmental factors and their consideration in the management of
submersed aquatic vegetation: A Review. Journal Aquatic Plant Management, 24: 1-10.
Capers, R.S., J.B. Gregory, S. Roslyn, C.W. Jason. 2005. A guide to invasive aquatic plants of Connecticut. The
Connecticut Agricultural Experiment Station, Connecticut, USA.
Lembi, C.A. 2009. Aquatic plant management: identifying and managing aquatic vegetation. Purdue University, USA.
Kurniawan, M., M. Izzati, Y. Nurchayati. 2010. Kandungan klorofil, karotenoid dan vitamin C pada beberapa spesies
tumbuhan akuatik. Buletin Anatomi dan Fisiologi, 18(1): 28-40.
Odum, E.P., G. W. Barrett. 2005. Fundamentals of ecology. 5th Edition. Thomson Learning, USA.
Palapa, T.M. 2009. Bioremediasi merkuri (Hg) dengan tumbuhan air sebagai salah satu alternatif penanggulangan limbah
tambang emas rakyat. Agritek, 17(5): 918-931.
Rostinawati, T. 2010. Aktivitas antimikroba ekstrak herba tespong (Oenanthe javaniva DC.) terhadap Eschericia coli,
Staphylococcus dan Candida albicans. Laporan Penelitian, Fakultas Farmasi. Universitas Padjadjaran, Bandung.
Soetiarso, T.A. 2010. Sayuran indigenous alternative sumber pangan bernilai gizi tinggi. Iptek Hortikultura, 2: 5-10.
Sunanisari, S. A.B. Santoso, E. Mulyana. S. Nomosatryo, Y. Mardiyati. 2008. Penyebaran populasi tumbuhan air di Danau
Singkarak. Limnotek, 15(2): 112-119.
9
Depik, 2(1): 10-15
April 2013
ISSN 2089-7790
Uji kadar formalin, kadar garam dan total bakteri
Kabupaten Sarmi Provinsi Papua
ikan asin tenggiri asal
Examination of formalin and salt concentrations and total bacteria in the
mackerel salted fish from Sarmi district, Papua Province
Yenni Y. Salosa
Program Studi Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Papua. Email:
[email protected]
Abstract. Food safety is depending on the accurence of a dangerous fisical, chemical and microbiology components. Quality of food with healty
and a complete safe nutrient is the most important things in the food material. Because of food that consume influencing people brain and
health. The aim of this research was to determine the content of formaldehyde, salt and Total Plate Count of bacteria in the tenggiri salty fish
from Sarmi Papua. Formsaldehyde was indentificated by using cromatofat acid method as qualitative and spectrophotometer as quantitative
method. Choman method was used to analize salt content. Total Plate Count (TPC) was used for bacterial content analysis. The result showed
that Tenggiri salty fish from Sarmi is not contain formaldehyde. About 9.76 % to 16.31 % of salt contant and approximately 24.5 x 10- 549.5 x 10 5 colony/gram of bacterial in total. This conclude that Tenggiri salty fish have already contaminated by bacterial because it’s higher
than Standard National Indonesia obligation for fisheries product about 1 x 105 colony/gram.
Keywords: Food safety, chemical and microbiology
Abstrak. Keamanan pangan ditentukan oleh ada tidaknya komponen yang berbahaya secara fisik, kimia maupun
mikrobiologi. Makanan yang sehat dengan kandungan gizi yang lengkap dan aman merupakan syarat mutlak yang harus
dipenuhi oleh bahan pangan karena pembangunan manusia yang sehat dan cerdas tidak terlepas dari bahan makanan yang
dikonsumsi. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan kadar formalin, garam serta total bakteri yang terdapat pada
produk ikan asin Tenggiri asal Kabupaten Sarmi Provinsi Papua. Identifikasi keberadaan formalin pada ikan asin
dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Pengujian secara kuantitatif memakai spektrofotometer sedangkan uji kualitatif
menggunakan metode Asam Kromatofat. Analisis kadar garam ini menggunakan metode Khoman. Sedangkan pada
penentuan keberadaan bakteri dilakukan dengan metode Total Plate Count. Hasil penelitian ini diketahui bahwa sampel
ikan Tengiri asal Kabupaten Sarmi bebas formalin. Kadar garam dihasilkan rendah berkisar antara 9,76 % - 16,31 % dan
Total bakteri yang dihasilkan pada pengenceran 10-5 total bakteri yang ditemukan berkisar antara 24,5 x 10 -5 - 49,5 x 105
koloni/gram. Hal ini menunjukan bahwa ikan asin tenggiri asal Kabupaten Sarmi telah terkontaminasi bakteri dalam
kadar Standart Nasional Indonesia untuk produk perikanan dengan garam yang mensyaratkan Total Plate Count 1 x 105
koloni/gram.
Kata kunci: Keamanan pangan, kimia dan mikrobiologi
Pendahuluan
Bahan makanan yang dikonsumsi sangat mempengaruhi tingkat kesehatan dan kecerdasan seseorang. Bahan
makanan haruslah sehat, aman serta mengandung gizi lengkap. Bahan makanan dikatakan aman apabila tidak
mengandung komponen fisik, kimia dan mikrobiologi yang berbahaya. Rinto et al. (2009) menerangkan bahwa secara fisik
pangan yang aman adalah bahan pangan yang bersih dari bahan-bahan yang tidak dapat dicerna oleh tubuh yaitu plastik,
logam dan bahan bahan-bahan lainnya yang mengganggu pencernaan manusia, secara kimiawi dapat berasal dari zat-zat
berbahaya yang tidak boleh digunakan dalam bahan pangan seperti formalin, boraks, insektisida serta bahan tambahan
makanan yang sangat dibatasi penggunaannya. Faisal (2002) menerangkan bahwa pangan yang tidak aman dapat
menyebabkan penyakit (food borne diseases) yaitu gejala penyakit yang timbul akibat mengkonsumsi pangan yang
mengandung bahan atau senyawa beracun dan atau organisme patogen, bahan yang tidak dapat dicerna seperti plastik,
logam maupun bahan yang dapat mengganggu pencernaan manusia. Penggunaan zat-zat kimia berbahaya pada bahan
pangan seperti formalin, boraks dan insektisida serta bahan tambahan makanan lainnya sangat dibatasi penggunaannya
seperti asam benzoat, askorbat, laktat, laktat sitrat serta bahan tambahan lainnya sesuai dengan SNI 01-0222-1995.
Sedangkan adanya mikroba patogen maupun racun dalam bahan pangan merupakan bahaya mikrobiologi.
Maraknya penggunaan bahan tambahan atau zat aditif pada makanan belakangan ini untuk membuat makanan
tampak lebih menarik, tahan lama, serta rasa dan teksturnya lebih sempurna. Bahan tambahan tersebut diantaranya adalah
pewarna, penyedap rasa dan aroma, antioksidan, pengawet, pemanis dan pengental (Siaka, 2009). Pemakaian bahan
pengawet sepatutnya diatur dan diawasi sebab dalam kadar tertentu akan menimbulkan masalah kesehatan bagi
konsumen.
10
Depik, 2(1): 10-15
April 2013
ISSN 2089-7790
Ikan sebagai bahan makanan yang mengandung protein tinggi dan mengandung asam amino essensial yang
diperlukan oleh tubuh, di samping itu nilai biologisnya mencapai 90 persen, dengan jaringan pengikat sedikit sehingga
mudah dicerna. Ikan merupakan komoditi ekspor yang mudah mengalami pembusukan dibandingkan produk daging,
buah dan sayuran. Proses pengolahan ikan secara tradisional memegang peranan penting bagi di Indonesia khususnya
bagi nelayan tradisional. Hampir 50 % hasil tangkapan ikan diolah secara tradisional dan ikan asin merupakan salah satu
produk olahan ikan secara tradisional yang banyak dikonsumsi masyarakat. Pengasinan ikan adalah salah satu cara
pengawetan ikan agar tidak mengalami kebusukan oleh bakteri pembusuk dengan menambahkan garam 15-20 % pada
ikan segar atau ikan setengah basah (Siregar, 2004).
Salah satu penyebab terjadinya kerusakan ikan adalah terdapatnya bakteri pembusuk. Dua kelompok bakteri
yang mampu hidup dan merusak produk ikan asin yaitu kelompok bakteri halofilik dan bakteri heterotoleran. Dalam
pertumbuhannya bakteri halofilik sangat bergantung pada konsentrasi garam tertentu. Sedangkan kelompok bakteri
heterotoleran merupakan bakteri yang mampu hidup pada media yang mengandung garam walaupun pertumbuhannya
tidak memerlukan garam. Rinto et al. (2009), menyatakan bahwa beberapa jenis bakteri penyebab kerusakan ikan asin di
Indonesia adalah bakteri halofilik dan bakteri heterotoleran Halobacterium salinarum, Halococcus morhuae, Halomonas sp,
Staphylococcus xylosus,Staphylococcus sp, dan Planococcus halophylus.
Formalin adalah nama dagang larutan formaldehid dalam air dengan kadar 30-40 persen. Pada industri perikanan,
formalin digunakan untuk menghilangkan bakteri yang biasa hidup di sisik ikan. Formalin banyak digunakan dalam
pengawetan sampel ikan untuk keperluan penelitian dan identifikasi (Widyaningsih dan Murini, 2006).
Penelitian tentang kadar formalin, garam dan kandungan mikroba dianggap penting karena maraknya penggunaan
zat pengawet berbahaya dalam bahan makanan sehingga menyebabkan keraguan konsumen untuk mengkonsumsi bahan
makanan tersebut. Kadar garam yang tinggi (melebihi 20 %) akan menyebabkan hipertensi pada beberapa orang sehingga
membahayakan kesehatan. Hasil perikanan segar maupun olahan di Papua tidak terlepas dari kontaminasi mikroba.
Penelitian Mandatjan (2009) menunjukan bahwa secara bakteriologis ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) yang dijual di
Pasar ikan Sanggeng Manokwari Papua Barat telah terkontaminasi bakteri patogen Coliform dan Escherichia coli dan telah
melampaui ambang batas yang ditentukan oleh Badan Standarisasi Nasional yaitu sebesar >1100 APM/gram. Sedangkan
pada produk ikan olahan (cakalang asap) pada daerah yang sama telah melebihi batas SNI pada Total Plate Count (TPC)
yaitu 5,0 x 105 kol/g yaitu berkisar antara 11,8x106 kol/g - 19,1x107 kol/g. Lutriani (2012), sampel ikan asin puri, betebete dan ikan merah yang beredar di Manokwari Papua Barat tidak mengandung formalin dengan kadar garam rendah
antara 4,72 % -17,47 % serta total bakteri 93x105 – 206,5x105 ml/g sehingga perlunya pengawasan dan periksaan rutin
oleh instansi terakhir dalam menilai mutu produk ikan olahan.
Sarmi merupakan salah satu kabupaten pemakeran di Provinsi Papua yang kaya akan hasil laut, dimana 46% dari
luas wilayahnya terdiri dari laut, sungai dan rawa. Beberapa jenis ikan yang dapat dijumpai di Sarmi adalah tenggiri, betebete, kerapu serta cakalang. Oleh kerena banyaknya hasil tangkapan ikan, menyebabkan beberapa industri rumah tangga
memproduksi ikan asin. Tercatat lebih dari 10 industri rumah tangga di daerah ini yang memproduksi ikan asin tenggiri
secara tradisional. Produk ikan asin tersebut dijual dengan harga Rp. 150.000,- per kilogram, selain diperdagangkan di
Sarmi ikan Tenggiri asin ini dijual ke beberapa daerah di sekitar Jayapura. Sampai saat ini, diketahui secara pasti
kandungan formalin dan kadar garam serta total bakteri yang mengkontaminasi produk ikan asin asal Sarmi.
Bahan dan Metode
Waktu dan tempat
Penelitian berlangsung pada 30 November – 15 Desember 2012 di Laboratorium mikrobiologi FMIPA
Universitas Negeri Papua. Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini ialah perangkat alat gelas laboratorium, cawan
petri, inkubator, perangkat alat titrasi, penangas air, Laminar air flow, Neraca analitik, lampu Bunsen, Autoklaf,
spektrofotometer, oven , vortexs dan lemari es. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini ialah ikan asin, aquades,
Kalium Khromat 5 %, AgNO3 0,1 N, Larutan Garam fisiologis 0,85 %, Medium Natrium Agar (NA) dan Asam
Kromatofat. Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah ikan asin tenggiri yang berasal dari beberapa produsen
dan pedagang ikan asin di Sarmi. Penentuan sampel dilakukan secara acak dengan sejumlah 14 sampel 2 kali pengulangan.
Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis secara deskriptif berdasarkan parameter untuk keamanan pangan yaitu
kandungan formalin, kadar garam dan kandungan bakteri.
Identifikasi dan analisis kandungan formalin
Identifikasi keberadaan formaldehid pada ikan asin dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Pengujian awal
dilakukan secara kualitatif. Bila hasil uji positif akan dilanjutkan dengan pengujian secara kuantitatif memakai
spektrofotometer.
a. Uji kualitatif dengan metode asam kromatofat
Ikan asin sebanyak 5 gram dimasukan ke dalam 50 ml aquades pada beaker glass lalu didihkan. Kemudian
dimasukan bahan yang diuji tersebut ke dalam labu Erlenmeyer dan ditambahkan 5 ml asam kromatofat 0,5% serta 50 ml
aquades panas kemudian diaduk. Produk yang mengandung formalin akan menunjukan adanya perubahan warna menjadi
merah muda hingga ungu (Hastuti, 2010).
Pengidentifikasian untuk mengetahui keberadaan formalin pada sampel ikan asin dilakukan menggunakan
metode asam kromatofat, sebelum melakukan analisis kualitatif. Hal ini dilakukan dengan cara memasukan 50 ml aquades
11
Depik, 2(1): 10-15
April 2013
ISSN 2089-7790
panas dan 5 ml asam kromatofat 5 %. Asam Kromatofat digunakan untuk mengetahui keberadaan formalin di dalam
sampel secara kualitatif dan dipakai untuk mengikat formalin agar terlepas dari bahan formalin mampu bereaksi dengan
asam kromatofat sehingga menghasilkan senyawa kompleks yang warnanya merah muda hingga unggu. Jika senyawa
kompleks semakin berwarna ungu, mengindikasikan kadar formalin yang semakin tinggi. Aquades panas yang digunakan
adalah untuk mempercepat reaksi antara sampel dan asam kromatofat.
Analisis kadar garam
Analisis kadar garam ini menggunakan metode Khoman. Lebih kurang 5 gram ikan asin yang dihaluskan lalu
diekstrak dengan menggunakan 15 ml aquades panas (100 OC), dibiarkan selama 15 menit hingga semua garam NaCl larut
dan terpisah dengan sampel. Hal ini dilakukan selama 8 kali. Cairan hasil ektraksi ditampung dalam wadah lalu tambahkan
dengan 3 ml kalium khromat 5% dan dititrasi dengan AgNO3 0,1 N secara perlahan-lahan sampai warnanya menjadi
merah bata (Zulfiar, 2010). Persentase NaCl menggunakan persamaan:
% NaCl= [(ml AgNO3 x N AgNO3 x 58,46) / (gram bahan x 1000) x 100 %
Analisis total bakteri
Analisis total bakteri dilakukan dengan seri pengenceran. Metode seri pengenceran dengan cara : 1 gram
sampel yang telah dihancurkan dimasukan ke dalam 9 ml larutan pengencer steril secara aseptis untuk mendapatkan
pengenceran 10-1 . Pada pengenceran 10-2 diambil 1 ml suspense sampel dari tabung pengencer 10-1 dan masukan ke dalam
tabung pengencer yang berisi 9 ml larutan pengencer yang berisi 9 ml larutan fisiologis kemudian dikocok hingga
homogen. Hal yang sama dilakukan sampai mendapatkan pengenceran 10-7.
Kemudian masukan 1 ml suspense sampel ke dalam hasil pengenceran 10-5, 10-6, 10-7 lalu dimasukan ke dalam
cawan petri diikuti 15 ml medium Natrium Agar (NA) yang telah steril lalu goyangkan cawan petri supaya sampel
menyebar merata. Inkubasi dilakukan selama 24-72 jam pada temperatur 300C lalu koloni yang tumbuh diamati dan
dihitung jumlahnya untuk memperoleh Total Plate Count (TPC) secara duplo. Perhitungan TPC dilakukan berdasarkan
interval 25-250, dengan rumus sebagai berikut :
TPC (Koloni/ml)= Jumlah Koloni per cawan x (1/faktor pengenceran)
Hasil dan Pembahasan
Kadar formalin
Setelah dilakukan pengujian kandungan formalin terhadap ikan asin tenggiri Sarmi baik yang diambil langsung
dari produsen maupun dari konsumen ditemukan bahwa semua sampel adalah negatif (tidak mengandung formalin).
Dimana tidak ada perubahan warna merah muda sampai ungu (Tabel 1). Hasil Uji di atas jelas menunjukan bahwa ikan
asin yang diproduksi dan diperdagangkan di Sarmi dan daerah sekitarnya terbebas dari formalin. Hal ini sesuai dengan
pengakuan beberapa produsen dan pedagang bahwa dalam proses pembuatannya mereka menggunakan teknik sederhana
dan tradisional tanpa menggunakan formalin. Ciri ikan asin yang mengandung formalin adalah berwarna cerah dan
bersih, daging tidak mudah hancur, tidak berbau amis serta awet hingga 1 bulan pada suhu kamar.
Formalin bersifat bakteriosidal yang mampu membunuh semua mikrobia termasuk bakteri oleh karena itu
formalin sering digunakan sebagai zat pengawet makanan bahkan mayat. Formalin dapat merusak pertumbuhan dan
pembelahan sel sehingga menimbulkan kerusakan struktur jaringan tubuh hingga memicu timbulnya kanker (Rinto et al.,
2009)
Tabel 1. Hasil Uji Kualitatif kandungan formalin pada ikan Tenggiri
No
Sampel
Formalin
1
T1
2
T2
3
T3
4
T4
5
T5
6
T6
7
T7
8
T8
9
T9
10
T10
11
T11
12
T12
13
T13
14
T14
Keterangan : T= Ikan Tenggiri
Kadar garam
Titrasi argentometri dipakai untuk menentukan besarnya kadar garam pada sampel ikan tenggiri asal Kabupaten
Sarmi. Penggunaan argentometri dalam penentuan kadar suatu zat dalam larutan dengan mengacu kepada titrasi
berdasarkan pembentukan endapan dengan ion Ag+. Khusus dalam penelitian ini, setelah larutan garam ditambahkan
indikator kemudian dititrasi dengan larutan AgNO 3. Indikator yang dipakai adalah K2CrO4 5% (3 ml) yang ditunjukan
dengan adanya perubahan warna dari kuning jernih ke merah keruh pada akhir titrasi.
12
Depik, 2(1): 10-15
April 2013
ISSN 2089-7790
Hasil penelitian setelah dititrasi dengan AgNO 3 , pada awalnya terbentuk endapan putih AgCl. NaCl bereaksi
dengan AgNO3 , setelah NaCl habis, maka AgNO3 bereaksi dengan indikator K2CrO4. Bentuk endapan yang dihasilkan
dalam penelitian ini berwarna merah bata. Data hasil pengukuran kadar garam pada sampel dapat dilihat pada Tabel 2.
2 Ag+ (aq) + CrO4 (aq)
Ag2CrO4(s) (endapan merah bata)
Tabel 2. Kandungan garam pada ikan asin bete-bete dan ikan asin Tenggiri.
No
Sampel
Kadar Garam (%)
1
T1
11, 81
2
T2
12,54
3
T3
11,46
4
T4
10,65
5
T5
14,89
6
T6
13,66
7
T7
15,94
8
T8
09,73
9
T9
12,75
10
T10
15,08
11
T11
14,28
12
T12
16,31
13
T13
14,24
14
T14
13,24
Berdasarkan Tabel 2 kadar garam pada ikan Tengiri berkisar antara 9,73% - 16,31 % persentase ini memenuhi
Standar Nasional Indonesia (SNI) sehingga masih aman dikonsumsi. Standar Nasional Indonesia (SNI) mensyaratkan
kadar garam pada ikan asin tidak lebih dari 20% karena kadar garam yang tinggi dapat memicu timbulnya hipertensi. Di
sisi lain konsentrasi atau kadar garam yang tinggi juga dapat menghambat pertumbuhan bakteri dalam daging ikan karena
garam yang terdapat di jaringan ikan akan mengurai atau menghilangkan oksigen dan jaringan ikan, sehingga
pertumbuhan jasad renik yang membutuhkan oksigen akan terhambat, garam dapat pula terurai menjadi ion natrium dan
ion klorida yang bersifat racun terhadap jasad renik (Siregar, 2004).
Kadar garam yang cukup bervariasi ini diduga karena produsen ikan asin tenggiri di Sarmi melakukan
penggaraman dengan jumlah yang berbeda. Selain itu berdasarkan pengamatan di lapangan menunjukan bahwa beberapa
produsen ikan asin Tenggiri yang masih menggunakan metode tradisional yaitu dengan melakukan perendaman ikan
dalam air laut dan ada pula yang melakukan penggaraman kering denagn garam kasar. Akibatnya penyerapan garam ke
dalam daging ikan di seluruh produksi ikan asal Sarmi menjadi bervariasi.
Garam merupakan komponen kimia yang bersifat bakteriostatik maupun bakteriosidal. Bakteri mampu dibunuh
oleh garam oleh karena sifatnya higroskopis garam sehingga mampu menyerap air (sitoplasma) bakteri pada akhirnya sel
bakteri mengkerut dan mati. Ion Na+ dan Cl- pada garam juga bersifat toksin bagi beberapa bakteri.
Total bakteri
Uji total plate count dilakukan dengan teknik dilusi menggunakan larutan garam fisiologis (larutan NaC1 0,85%)
sebagai pengencer steril. Teknik dilusi (pengenceran) sangat penting mengawali analisis mikrobiologi pada semua metode
perhitungan jumlah sel mikroba. Teknik dipakai untuk mendapatkan koloni tunggal yang sesunguhnya (murni).
Pengenceran juga dipakai untuk mendapatkan koloni untuk diisolasi dengan meminimalkan kontaminasi dan
penambahan nutrisi untuk mikroba. Berdasarkan hasil uji total plate count pada sampel diperoleh data yang disajikan pada
Tabel 3.
Berdasarkan Tabel 3 terlihat hasil perhitungan TPC menunjukan bahwa sampel ikan asin tenggiri asal
Kabupaten Sarmi tidak memenuhi standar TPC produk perikanan pada umumnya yaitu rata-rata sebesar 1 x 105
berdasarkan SPI – KAN/02/04/1983 (Standar Nasional Indonesia, 2009). Kadar formalin dan kadar garam pada ikan
asin ini sangat mempengaruhi total bakteri yang terdapat di dalamnya. Keberadaan formalin yang tidak ditemukan dalam
sampel serta jumlah kadar garam yang berkisar antara 9,76 % - 16, 31 % turut mempengaruhi keberadaan bakteri yang
dikandung. Pada pengenceran 10-5 total bakteri yang ditemukan berkisar antara 24,5 x 105 - 49,5 x 105. Hal ini
menunjukan bahwa ikan asin tenggiri asal Kabupaten Sarmi telah terkontaminasi bakteri.
Kisaran kadar garam pada sampel, di atas menunjukan bahwa bakteri yang terisolasi dari sampel ikan asin tenggiri
ini ialah bakteri halofilik atau halototeran. Dimana bakteri halotoleran mampu tumbuh pada kadar garam 10-15%.
Streptococcus, Clostridium, Bacillus, Mikrococcus dan Corynobacterium merupakan contoh genus bakteri yang termasuk bakteri
halotoleran. Bakteri Vibrio, Bacillus, Mikrococcus, Vibro, Acinetobacter dan Moraxella adalah genus bakteri yang tergolong
bersifat halofihik karena bakteri dengan sifat halofihik dapat tumbuh pada konsentrasi garam 5-20% (Fardiaz,1992).
Bakteri jenis ini banyak didominasi oleh bakteri asam laktat yang sangat berperan dalam proses fermentasi sehingga
menghasilkan asam laktat. Bakteri asam laktat bersifat menguntungkan bagi manusia karena protein pada ikan dapat
dirombak menjadi asam amino yang lebih mudah dicerna yang memudahkan penyerapan oleh tubuh. Rahayu (2003),
mengemukakan bahwa beberapa bakteri asam laktat yang diinokulasi dari ikan asin antara lain Lactobacilus plantarum, L.
acidophilus, Streptococcus thermophiles dan Leuconostoc paramesenteroides.
13
Depik, 2(1): 10-15
April 2013
ISSN 2089-7790
Tabel 3. Hasil Perhitungan total bakteri pada sampel ikan asin tengiri
Sel mikroba tiap ml/gram bahan per pengenceran
Kode sampel
10-5
10-6
10-7
T1
43
35
29,5
T2
42,5 x 105
28,5 x 106
20 x 107
T3
43,5 x 105
33 x 106
27 x 107
5
6
44
x
10
31,5
x
10
19,5 x 107
T4
37 x 105
17,5 x 106
8,5 x 107
T5
5
6
40
x
10
37,5
x
10
26,5 x 107
T6
T7
40,5 x 105
30 x 106
19,5 x 107
T8
49,5 x 105
32 x 106
21 x 107
T9
105
41,5 x
30 x 105
106
37 x
23,5 x 106
27,5 x 107
8 x 107
32 x 105
26,5 x 105
27 x 106
17,5 x 106
9,5 x 107
2,5 x 107
24,5 x 105
37 x 105
18 x 106
32 x 106
4 x 107
11 x 107
T10
T11
T12
T13
T14
Diduga garam mempunyai fungsi sebagai pengawet digunakan dalam kadar kurang, selain itu proses produksi,
distribusi, pengepakan serta penjualannya yang kurang higienis. Menurut Lutriani (2012), beberapa faktor penyebab
rusaknya makanan antara lain: pemilihan bahan yang keliru, pembuatan ramuan yang tidak tepat, penanganan yang salah,
pembungkusan yang kurang layak, penyimpanan yang tidak benar, faktor suhu dan kelembaban yang kurang diawasi
secara cermat, pengangkutan yang tidak sesuai petunjuk, penyajian yang ceroboh serta perlakuan yang berlawanan dengan
sifat makanan tersebut.
Makanan yang berlendir, berjamur, beraroma, warna dan rasa makanan berubah merupakan tanda-tanda
makanan yang rusak dan berbahaya bagi kesehatan. Penyebab kerusakan ikan adalah kadar air tinggi, dimana 70-80 % dari
berat dagingnya sehingga menyebabkan mudahnya mikroba tumbuh dan berkembang biak. Selain itu Ikan memiliki
jaringan sel yang lebih longgar sehingga dimanfaatkan oleh mikroba sebagai media pertumbuhan. Beberapa jenis bakteri
dapat mengurai gizi ikan menjadi senyawa-senyawa yang berbau busuk seperti asam indol, H2S dan merkaptan dan
menurunkan mutu ikan yang ditandai dengan perubahan sensori maupun indicator pembusukan lainnya. Di sisi lain,
ketidakadaan formalin juga berbanding terbalik dengan kehadiran bakteri. Formalin bersifat antimikrobial yaitu dapat
merusak bakteri karena bakteri adalah protein.
Kesimpulan
Dari penelitian yang dilakukan dapat diperoleh kesimpulan bahwa sampel ikan tenggiri asal Pasar Sawar
Kabupaten Sarmi tidak mengandung formalin, sedangkan kadar garam pada ikan asin Tenggiri berkisar antara 9,76 % 16,31 %, presentase ini memenuhi Standard Nasional Indonesia (SNI) sehingga masih aman dikonsumsi. Pada
pengenceran 10-5 total bakteri yang ditemukan berkisar antara 24,5 x 10- 5 - 49,5 x 10 5. Hal ini menunjukan bahwa ikan
asin tenggiri asal Kabupaten Sarmi telah terkontaminasi bakteri di atas yang diizinkan oleh Standart Nasional Indonesia
untuk produk perikanan dengan TPC atau ALT (Angka Lempeng Total) 1 x 105 .
Daftar Pustaka
Faisal, A. 2002. Pengantar pangan dan gizi. Swadaya, Jakarta.
Fardiaz. 1992. Mikrobiologi pangan 1. Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, halaman 25-37. Institut Pertanian Bogor,
Bogor.
Hastuti, S. 2010. Analisis kualitatf dan kuantitatif formaldehida pada ikan asin di Madura. Jurnal Agrointek, 4 (2): (15-17).
Lutriani, N. 2012. Kajian keamanan pangan (formalin, garam dan mikrobia) pada ikan asin yang beredar di Distrik
Manokwari Barat. Abstrak seminar Ilmiah MIPA UNIPA ke III tahun 2012.
Mandatjan, K.I. 2009. Kandungan Escherichia coli pada ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) dari pasar ikan Sanggeng
Manokwari. Skripsi, Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu pengetahuan Alam Unipa. (Tidak
dipublikasikan).
Rahayu, E. S. 2003. Lactic acid bacteria in fermented food in Indonesian origin. Agritech, 23 (2): 75-84.
Rinto, E., Arafah, S.B. Utama. 2009. Kajian keamanan pangan (formalin, garam dan mikrobia) pada ikan sepat asin
produksi Indralaya. Jurnal Pembangunan Manusia, 8 (2): (20-25).
Siaka, I.M. 2009. Analisis bahan pengawet benzoat pada saos tomat yang beredar di wilayah Kota Denpasar. Jurnal
Kimia, 3(2):87-92.
Siregar, D. 2004. Ikan asin. Kanisius, Yogyakarta.
14
Depik, 2(1): 10-15
April 2013
ISSN 2089-7790
Standar Nasional Indonesia (SNI). 2009. Batas maksimum cemaran mikroba dalam pangan .Badan Standarisasi Nasional
Indonesia. Jakarta.
Widyaningsih, T.D., E .S. Murini. 2006. Alternatif pengganti formalin pada produk pangan, cetakan Pertama. Trubus
Agrisarana, Surabaya.
Zulfiar. 2010. Titrasi argentometri. http//www.titrasi Argentometri Chemistry. org. (Diakses 4 Maret 2013).
15
Depik, 2(1): 16-19
April 2013
ISSN 2089-7790
Pertumbuhan dan kelangsungan hidup benih ikan nila (Oreochromis niloticus)
pada beberapa konsentrasi tepung daun jaloh (Salix tetrasperma) dalam pakan
Growth performance and survival rate of tilapia larvae (Oreochromis niloticus)
at different concentrations of jaloh leaf powders (Salix Tetrasperma) in the
formulated diet
Zuraidha Yanti1, Zainal A. Muchlisin1*, Sugito2
1Jurusan
Budidaya Perairan, Koordinatorat Kelautan dan Perikanan, Universitas Syoah Kuala, Banda Aceh 23111.
Kedokteran Hewan, Universitas Syiah Kuala, Banda aceh 23111. Corresponding author:
[email protected]
2Fakultas
Abstract. The objective of the present study was to evaluate the possibility of jaloh (Salix tetrasperma) leaf powders as alternative raw material
for tilapia fish feed. Four concentrations of jaloh leafe powders (0%, 5%, 10% and 15%) were examined in this study. The experimental fish
were fed three times a day on 08.00 AM, 12.00 AM and 17.00 PM. with feeding ration of 5% of body weight for 42 days. The one-way
Anova test showed that the different concentrations of jaloh leaf powders gave a significantly effect on growth performance of tilapia larvae (p<
0.05), but did not give a significant effect on their survival rate (p>0.05). The Duncans test showed that the higher growth performace and
survival rate were found at 5-10% of jaloh leaf powders, it was indicated that diet with 5-10% jaloh leaf powders were better than control
(without jaloh leaf powders). Therefore, it is concluded that the jaloh leaf powders is suitable as alternative raws material for tilapia formulated
diet at concentration of 5-10%.
Key words: Protein, carbohydrate and alternative feed
Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kemungkinan pemanfaatan tepung daun jaloh (S. tetrasperma) sebagai
bahan baku alternatif untuk pakan ikan nila (Oreochormis niloticus). Dalam penelitian ini telah diuji beberapa tingkat proporsi
tepung daun jaloh yaitu (0%, 5%, 10%, dan 15%). Pemberian pakan dilakukan tiga kali sehari, yaitu pada pukul 08.00, 12.00
dan 17.00 WIB. Ikan diberikan pakan sebanyak 5% dari berat bobot tubuhnya selama 42 hari. Hasil uji Anova satu arah
menunjukkan bahwa pemberian tepung daun jaloh memberikan pengaruh nyata terhadap pertambahan bobot badan dan
laju pertumbuhan harian benih ikan nila (p<0,05), namun tidak berpengaruh nyata terhadap kelangsungan hidupnya
(p>0,05). Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa penambahan tepung daun jaloh 5-10% dalam pakan memberikan hasil
terbaik dari segi pertumbuhan mutlak, pertumbuhan harian dan kelangsungan hidup, dan hasil ini lebih baik berbanding
kontrol (tanpa daun jaloh). Dengan demikian dapat disimpulkan tepung daun jaloh dapat dijadikan sebagai bahan baku
alternatif dalam pakan ikan dengan kadar 5-10%.
Kata kunci: Protein, karbohidrat dan pakan alternatif
Pendahuluan
Ikan nila (Oreochromis niloticus) adalah salah satu ikan air tawar yang banyak dibudidayakan karena mudah
beradaptasi dengan lingkungan yang kurang menguntungkan dan mudah dipijahkan, sehingga penyebarannya di alam
sangat luas, baik di daerah tropis maupun di daerah beriklim sedang (Angienda et al., 2010). Pada tahun 2004 produksi ikan
nila tercatat sebesar 97.116 ton, meningkat sebesar 237% dalam kurun waktu 4 tahun (Gustiano et al., 2003).
Peluang budidaya ikan nila di Provinsi Aceh masih terbuka luas, karena Aceh memiliki potensi sumberdaya
perairan yang cukup besar, namun demikian, pengembangan budidaya ikan nila masih menghadapi kendala terutama dalam
hal tingginya harga pakan komersil yang mengakibatkan keuntungan yang diperoleh pembudidaya ikan menjadi rendah.
Ikan membutuhkan pakan dengan kandungan nutrisi yang cukup dan umumnya pakan diformulasikan dari bahan
mentah nabati dan hewani secara bersama-sama untuk mencapai keseimbangan kandungan nutrisi pakan. Disamping dedak
halus, bahan mentah nabati yang umum digunakan adalah tepung kedelai, bersama-sama bahan mentah lainnya. Tepung
kedelai adalah salah satu bahan mentah yang berharga relatif mahal setelah tepung ikan karena kedua bahan ini umumnya
masih diimpor dari luar negara. Sebagai gambaran pada awal Januari 2007, harga eceran kedelai mencapai Rp. 3.450/kg dan
diawal November 2007, harga kedelai telah mencapai Rp. 5.450/kg, dan pada akhir Desember pada tahun yang sama
harga komoditi ini menjadi Rp. 6.950/kg, pada awal Januari 2008 harga kedelai telah mencapai Rp. 7.250/kg (Widodo,
2008).
Mengingat harga kedelai yang cukup mahal dan kurang stabil, maka perlu dicarikan alternatif bahan mentah nabati
lainnya yang berharga murah, mudah didapat dan memiliki nilai gizi khususnya protein yang baik. Salah satu bahan mentah
alternatif sebagai sumber protein nabati yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan pakan ikan nila adalah daun jaloh (Salix
tetrasperma), dengan pertimbangan ikan nila termasuk ikan omnivora yang cukup efektif mencerna pakan yang bersumber
dari bahan nabati dan hewani, selain itu juga daun jaloh memiliki kandungan protein yang cukup baik, yaitu mencapai 14%
(Kemp et al., 2001) dan mengandung senyawa antiinflamasi dan antibakteri (Hussain et al., 2011).
Tanaman jaloh biasanya tumbuh pada daerah rawa-rawa atau pada daerah yang banyak mengandung air. Hasil
pengamatan lapangan memperlihatkan pada rawa-rawa atau tempat perairan yang ditumbuhi tanaman jaloh ini merupakan
16
Depik, 2(1): 16-19
April 2013
ISSN 2089-7790
tempat yang disenangi oleh ikan air tawar. Diduga daun jaloh yang gugur dan jatuh ke dalam air memiliki efek yang baik
terhadap ikan sehingga dipilih sebagai tempat yang disukai untuk tempat mencari makan, pertumbuhan dan
perkembangbiakanya (Sugito et al., 2007). Namun demikian, kajian tentang potensi daun jaloh sebagai salah satu bahan
pakan ikan belum pernah dilakukan, oleh karena itu perlu dilakukan penelitian tentang alternatif pemanfaatan tepung daun
jaloh dalam pakan ikan nila.
Bahan dan Metode
Rancangan percobaan
Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah model eksperimental menggunakan Rancangan Acak Lengkap
(RAL) non faktorial. Faktor yang diteliti adalah perbedaan proporsi tepung daun jaloh dalam pakan, yaitu (0%, 5%, 10%,
dan 15%) . Masing-masing perlakuan dengan tiga kali ulangan, sehingga dihasilkan 12 unit percobaan.
Persiapan wadah percobaan dan hewan uji
Unit percobaan adalah akuarium kaca (45 cm x 28 cm x 36 cm) sebanyak 12 unit. Sebelum digunakan akuarium
dicuci dengan air tawar kemudian disterilkan dengan larutan kaporit 10 ppm untuk membunuh bakteri dan jamur yang
menempel pada dinding akuarium. Setelah itu akuarium dibilas dengan menggunakan air tawar sampai bersih, kemudian
jemur dibawah sinar matahari selama 24 jam, selanjutnya masing-masing akuarium diisi air sebanyak 25 liter dan dilengkapi
dengan aerasi.
Ikan uji yang digunakan adalah larva ikan nila (O. niloticus) dengan berat rata-rata 1 gram dan panjang rerata 3 cm,
sebelum digunakan ikan uji diaklimatisasi selama 24 jam, selama aklimatisasi ikan tidak diberikan pakan. Setelah
diaklimatisasi ikan uji diambil secara acak dan dimasukan kedalam akuarium dengan jumlah 15 ekor setiap wadah.
Pemberian pakan uji dilakukan tiga kali sehari, yaitu pada pukul 08.00, 12.00 dan 17.00 WIB. Ikan uji diberikan pakan
sebanyak 5% dari bobot tubuhnya dan dipelihara selama 42 hari. Penyiponan dilakukan setiap hari setelah 2 jam pemberian
pakan dan pergantian air dilakukan sebanyak 25% setiap hari. Setiap 7 hari dilakukan pengukuran panjang dan
penimbangan berat ikan untuk mengetahui pertumbuhan dan penyesuaian jumlah ransum harian, pengukuran dan
penimbangan ikan dilakukan setelah 2 jam pemberian pakan pada sore hari atau setelah penyiponan pada pemberian pakan
ketiga yaitu pada sore hari.
Pengukuran parameter uji
Specific growth rate:
Pertumbuhan harian atau Specific growth rate (SGR), dihitung dengan formula De-Silva dan Anderson (1995):
, dimana W1=berat awal (g), W2= berat akhir (g), dan t adalah waktu lama pemeliharaan
(hari).
Pertumbahan mutlak dihitung dengan formula: Pertambahan berat (Wg)= W2 – W1, dimana Wg= pertambahan
bobot (g), W1= bobot badan awal (g) dan W2= bobot badan diakhir penelitian (g).
Sedangkan tingkat kelangsungan hidup dihitung dengan menggunakan formula: Survival rate (SR) = N2/N1 x
100%, dimana SR= kelangsungan hidup (%), N1= jumlah ikan pada awal penelitian, dan N2= jumlah ikan pada akhir
penelitian.
Analisis data
Data yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabel dan gambar dan selanjutnya dianalisis sidik ragam (Anova) satu
arah, dan apabila menunjukkan pengaruh yang nyata maka dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan untuk menentukan
perlakuan terbaik. Analisis data dengan menggunakan bantuan software SPSS versi 14.0
Hasil dan Pembahasan
Pertumbuhan
Hasil uji analisis sidik ragam (Anova) menunjukkan bahwa perlakuan perbedaan konsentrasi daun jaloh dalam
pakan berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan mutlak dan laju pertumbuhan harian (p<0,05), namun tidak bepengaruh
nyata terhadap kelangsungan hidup benih ikan nila (p>0,05). Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa pertumbuhan mutlak
tertinggi diperoleh pada perlakuan P1 (5% tepung daun jaloh) dengan nilai rata-rata pertambahan bobot 6,02 gram, nilai
ini tidak berbeda nyata dengan P2 (10% jaloh) (p>0,05), namun berbeda nyata dengan perlakuan lainya (p<0,05).
Pertambahan bobot terendah dijumpai pada P3 (15% daun jaloh) sebesar rata-rata 4,46 gram, namun nilai ini tidak
berbeda nyata dengan P0 kontrol, yaitu sebesar 4,88 gram (Tabel 2).
Laju pertumbuhan harian tertinggi dijumpai pada P2 (10% tepung daun jaloh) dengan nilai 3,50%. Nilai ini tidak
berbeda nyata dengan perlakuan P1 dan P3 (p>0,05). Selanjutnnya kelangsungan hidup tertinggi dijumpai pada P1 (5%
tepung daun jaloh), namun nilai ini tidak berbeda nyata dengan perlakuan lainnya (p>0,05; Tabel 2).
Secara umum terlihat bahwa penambahan daun jaloh 5-10% dalam pakan memberikan hasil lebih baik
berbanding kontrol (tanpa daun jaloh), namun pertumbuhan akan menurun jika konsentrasi daun jaloh dalam pakan
ditingkatkan menjadi 15%. Nilai rata-rata pertumbuhan harian yang dijumpai pada penelitian ini berkisar 3,33 - 3,50%.
Nilai ini lebih rendah berbanding dengan pemberian daun Hydrilla verticillata dan Lemna minor yang menghasilkan
pertumbuhan harian berkisar 5,36-8,47% (Sait, 2006). Widyanti (2009) melaporkan bahwa penambahan daun lamtorogung
Leucaena leucocephala pada pakan ikan nila memberikan laju pertumbuhan harian berkisar 1,36-0,18%. Selanjutnya Fitriliyani
(2010) melaporkan angka pertumbuhan harian ikan nila menurun seiring dengan peningkatan konsentrasi daun
lamtorogung dalam pakannya. Hal yang sama juga ditemukan pada pemberian daun jaloh dalam penelitian ini. Dengan
17
Depik, 2(1): 16-19
April 2013
ISSN 2089-7790
demikian dapat dikatakan bahwa tepung daun jaloh masih lebih baik berbanding tepung daun Lamtorogung (Leucaena
leucocephala) untuk ikan nila, karena menghasilkan laju pertumbuhan harian lebih tinggi.
Tabel 2. Parameter uji dan komposisi proksimat dalam pakan benih ikan nila (Oreochromis niloticus) yang di beri tepung daun
jaloh dengan tingkat konsentrasi yang berbeda setelah 42 hari. Huruf superskrip sama pada baris yang sama menunjukkan
tidak berbeda nyata (p<0,05).
Parameter Uji
Perlakuan
0% (P0)
5% (P1)
10% (P2)
15% (P3)
Pertumbuhan
Mutlak (g)
4,88±0,49ab
6,02±0,75c
5,47±0,34bc
4,46±0,74a
L. Pertumbuhan Harian (%)
2,86±0,21a
3,38±0,35b
3,50±0,16b
3,33±3,35b
a
a
a
Kelangsungan Hidup (%)
80,00±6,67
86,67±0,00
80,00±6,67
73,33±1,76a
Komposisi Proksimat Pakan
Protein
25,6a
27,5a
26,6a
26,5a
Lemak
6,0a
8,1b
9,9bc
10,5c
Karbohidrat
29,7ab
27,9a
31,1bc
32,4c
Kadar Protein dalam Feses
Protein dalam Feses
20,3b
16,4a
18,3ab
19,2ab
Protein Tercerna
5,3a
11,1c
8,3b
7,3ab
Hasil analisis kadar protein dalam feses berkisar 16-20%, artinya hanya 5-11% protein yang dapat dicerna dan
digunakan oleh ikan nila. Hal ini mungkin disebabkan proporsi bahan nabati dalam pakan terlalu tinggi yaitu mencapai 7578%. Menurut Suprayudi et al. (1999), salah satu bahan pakan nabati yang berasal dari tepung kedelai juga memiliki
keterbatasan nutrisi yang terkait dengan rendahnya kecernaan dan energi, defisiensi mineral, dan faktor antinutrisi yang
sulit dicerna, misalnya tanin.
Penurunan daya cerna protein ini disebabkan kemampuan ikan mencerna protein hanya sampai batas persentase
tertentu, salah satu diantaranya bergantung pada kandungan serat kasar pada bahan pakan khususnya bahan nabati
(Handajani, 2011). Secara umum karbohidrat yang terdapat dalam pakan dapat berupa serat kasar, misalnya selulosa yang
sulit dicerna oleh ikan (Hariadi et al., 2005). Menurut penelitian Hemre et al. (2002) bahwa pakan yang mengandung serat
kasar tinggi dapat mengurangi bobot badan ikan, dan memberikan rasa kenyang karena komposisi karbohidrat komplek
yang dapat mengurangi nafsu makan sehingga mengakibatkan turunnya konsumsi pakan dan menurunkan pertumbuhan
ikan.
Secara umum kemampuan cerna ikan terhadap suatu pakan dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu sifat kimia air,
suhu air, jenis pakan, ukuran dan umur ikan, kandungan nutrisi pakan, frekuensi pemberian pakan serta jumlah dan macam
enzim pencernaan yang terdapat dalam saluran pencernaan pakan (National Research Council, 1983). Hepher (1988)
menambahkan bahwa daya cerna pakan dipengaruhi oleh keberadaan enzim dalam saluran pencernaan, tingkat aktifitas
enzim-enzim pencernaan dan lamanya pakan yang dimakan bereaksi dengan enzim pencernaan.
Meyer and Pena (2001) menyebutkan bahwa kadar protein untuk pakan ikan nila berkisar antara 25%-35%. Selain
protein, ikan nila juga membutuhkan karbohidrat dan lemak untuk pertumbuhannya. Menurut Furuichi (1988) kebutuhan
karbohidrat yang optimal untuk ikan nila berkisar 30-40%, dan lemak berkisar antara 5-8,5% (Zonneveld et al., 1991). Nilai
kandungan gizi dalam pakan uji sudah memenuhi kebutuhan untuk pertumbuhan ikan nila sebagaimana dikutip di atas.
Komponen lain yang dibutuhkan dalam pakan ikan yaitu vitamin dan mineral dalam jumlah yang kecil, namun
kehadirannya dalam pakan juga penting karena dibutuhkan tubuh ikan untuk tumbuh dan menjalani beberapa fungsi
tubuh.
Secara umum nilai kelangsungan hidup di atas 70% dimana kelangsungan hidup terbaik diperoleh pada perlakuan
P1 (5% daun jaloh), dan hasilnya lebih baik berbanding dengan pemberian makanan sumber limbah sawit pada ikan nila
yang memiliki kelangsungan hidup 68% (Hadadi et al., 2007). Hal tersebut menunjukkan bahwa komposisi nutrisi yang ada
pada daun jaloh tidak berpengaruh buruk terhadap kelangsungan hidup ikan nila. Selain itu, tingginya nilai kelangsungan
hidup ikan nila diduga karena adanya senyawa-senyawa bioaktif yang berfungsi mempertahankan sistem imun tubuh.
Menurut Sugito et al. (2006) bahwa kandungan senyawa-senyawa yang terdapat pada daun jaloh yaitu salisilat, naringenin-7O-glukosida, friedelin, β-sitisterol, beberapa asam lemak, isoquersitrin, dan salipurposida yang mampu pembentukan
antibodi. Akan tetapi kematian ikan diduga karena adanya penyakit yang tidak teramati oleh kasat mata, dan mungkin juga
akibat kepadatan yang terlalu tinggi.
Parameter kualitas air yang diamati selama penelitian meliputi suhu, oksigen terlarut (DO) dan derajat keasaman
(pH). Suhu air berkisar antara 27ºC - 28ºC, pH air berkisar antara 7-7,5. Oksigen terlarut berkisar antara 5 – 6 mg/L.
Sehingga secara umum terlihat kualitas air selama penelitian masih pada kondisi yang optimum untuk pertumbuhan dan
kelangsungan hidup ikan nila (Tabel 3). Menurut Lovell (1989), ikan nila mampu mentolelir pH air antara 5-11, dan
menurut Boyd and Lichtkoppler (1991) kandunagn oksigen oksigen terlarut yang baik untuk ikan adalah lebih dari 5 ppm.
18
Depik, 2(1): 16-19
April 2013
ISSN 2089-7790
Tabel 3. Nilai parameter kisaran kualitas air utama yang diukur selama penelitian.
Parameter
Nilai kisaran yang tercatat
Nilai optimum
Suhu (oC)
27ºC-28ºC
28 - 32
pH
7-7,5
6,5 - 8,0
Oksigen terlarut (ppm)
5-6
>4
Kesimpulan
Hasil studi menunjukkan bahwa penambahan 5-10% daun jaloh dalam pakan memberikan angka pertumbuhan
mutlak dan pertumbuhan harian lebih baik berbanding kontrol. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa daun jaloh
dapat dijadikan sumber protein nabati alternatif bagi ikan nila dengan konsentrasi 5-10%.
Daftar Pustaka
Angienda, P.O., B.O. Aketch, E.N. Waindi. 2010. Development of all-male fingerlings by heat treatment and the genetic
mechanism of heat induced sex determination in nile tilapia (Oreochromis niloticus L.). International Journal of
Biological and Life Sciences, 6(1): 38-42.
Boyd, C.E., F. Lichtkoppler. 1991. Water quality management in pond fish culture. Auburn University, Auburn, Alabama.
De Silva, T.A., J. Anderson. 1995. Fish Nutrition in Aquaculture. Chapman and Hall, London.
Fitriliyani, L. 2010. Evaluasi nilai nutrisi tepung daun lamtorogung (Leucaena leucophala) terhidrolisis dengan ekstrak enzim
cairan remen domba (Ovis aries) terhadap kinerja pertumbuhan ikan nila (Oreochromis niloticus). Jurnal Akuakultur
Indonesia, 9(1): 30-37.
Furuichi, M. 1988. Fish nutrion and mariculture. The General Aquaculture Couese. Department of Aquaculture Biosience,
Tokyo University of Fisheries, Tokyo.
Gustiano, R., O.Z. Arifin, A. Widiyanti, L. Winarlin. 2003. Pertumbuhan jantan dan betina 24 famili ikan nila (Oreochromis
niloticus) pada umur 6 bulan. Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar, Bogor.
Hadadi, A., H. Setyorini, A. Surahman, E. Ridwan. 2007. Pemanfaatan limbah sawit untuk bahan pakan ikan. Jurnal
Budidaya Air Tawar, 4(1): 11-18.
Handajani, H. 2011. Optimalisasi substitusi tepung azolla terfermentasi pada pakan ikan untuk meningkatkan produktivitas
ikan nila gift. Jurnal Teknik Industri, 12(2): 178-184.
Hariadi, B., A. Haryono, U. Susilo. 2005. Evalusai efisiensi pakan dan efisiensi protein pada ikan kerapu (Ctenopharyngodon
idella Val.) yang diberi pakan dengan kadar karbohidrat dan energi yang berbeda. Jurnal Ichtyos, 4(2): 88-92.
Hemre, G.I., T.P. Mommsen, A. Krogdahl. 2002. Carbohydrates in fish nutrition efects on growth, glucose metabolism
and hepatic enzymes. Aquaculture Nutrition, 8: 175-194.
Hepher, B. 1988. Nutrition of pond fishes. Combridge University Press, Ney York.
Hussain, H., A. Badawy, A. Elshazly, A. Elsayed, K. Krohn, M. Riaz, B. Schulz. 2011. Chemical constituents and
antimicroal activity of Salix subserrata. Records of Natural Products, 5(2): 133-137.
Kemp, P.D., A.D. Mackay, L.A. Matheson, M.E. Timmins. 2001. The forage value of poplars and willows. Proceedings of
the New Zealand Grassland Association, 63: 115-119.
Lovell, T. 1989. Nutrition and feeding of fish. Van National Reinhold, New York..
Meyer, D.E., P. Pena. 2001. Ammonia excretion rates and protein adequacy in diets for tilapia Oreochromis sp. World
Aquaculture Society, 1: 61-70.
National Research Council. 1983. Nutrient requirements of warm water fishes and shellfishes. National Academy Press,
Washimgton, D.C.
Sait, A. 2006. Pengaruh komposisi Hydrilla verticillata dan lemna minor sebagai pakan harian terhadap pertumbuhan dan
sintasan ikan nila merah (Oreochromis niloticus X Oreochromis mossambicus) dalam keramba jaring apung di perairan
umum das musi. Prosiding Seminar Nasional Ikan IV, Jatiluhur. Hal 145-152.
Sugito., W. Manalu, D.A. Astuti, E. Handharyani, Chairul. 2006. Histopatologi hati dan ginjal pada ayam broiler yang
dipapar cekaman panas dan diberi ekstrak kulit batang jaloh (Salix tetrasperma roxb). Jurnal Ilmu Peternakan dan
Veteriner, 12(1): 68-73.
Sugito, W. Manalu., D.A. Astuti, E. Handharyani, Chairul. 2007. Morfometrik usus dan performa ayam broiler yang diberi
cekaman panas dan ekstrak n-heksana kulit batang “Jaloh” (Salix tetrasperma Roxb). Media Peternakan, 30(3): 198206.
Suprayudi, M.A., M. Bintang, T. Takeuchi, I. Mokoginta, S. Toha. 1999. Defatted soybean meal as an alternative source to
substitusi fish meal in the feed of giant gouramy Osphronemus gouramy Lac. Suisanzozhoku, 47(4):551-557.
Widodo, W. 2008. Ketahanan pakan unggas di tengah krisis pangan. Disampaikan dalam acara pengukuhan guru besar
dalam bidang ilmu nutrisi dan makanan ternak unggas. Fakultas Peternakan-Perikanan Universitas
Muhammadiyah Malang, Malang.
Widyanti, W. 2009. Kinerja pertumbuhan ikan nila (Oreochromis niloticus) yang diberi berbagai dosis enzim cairan rumen pada
pakan berbasis daun lamtorogung Leucaena leucocephala. Skripsi, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
Zonneveld, N., E.A. Huisman, J.H. Boom. 1991. Prinsip-prinsip budidaya ikan. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
19
Depik, 2(1): 20-25
April 2013
ISSN 2089-7790
Keragaman fitoplankton di perairan estuaria Kuala Gigieng Kabupaten Aceh
Besar, Provinsi Aceh
The diversity of phytoplankton in Kuala Gigieng estuary Aceh Besar District,
Aceh Province
Fahni Sarinda1, Irma Dewiyanti2*
Jurusan Ilmu Kelautan Koordinatorat Kelautan dan Perikanan Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh 23111.*Email
korespondensi: [email protected]
Abstract. The objective of the present study was to evaluate diversity of phytoplankton as bioindicator water quality viewed from abundance,
diversity index, evenness index, and saphrobic coefficient in Kuala Gigieng, Aceh Besar District, Aceh Province. Sampling was conducted on
December 2011 to January 2012. This study applied purposive sampling method. The research obtained 4 families consisted of Crysopyceae
(42 genera), Chlorophyceae (8 genera), Cyanophyceae (14 genera) and Euglenophyceae (4 genera). The highest abundance of phytoplankton
was 1,362.89 ind/l at high tide on station 3 and the lowest was at low tide on station 1 (809,835 ind/l). The diversity index (H’) was
ranged from 3.14 to 4.75, the evenness index (E) was ranged from 0.49 to 0.74, and saprobic coefficient was ranged from 0.331to 0.887.
Based on saprobic coefficient, pollution level and water quality was categorized light to moderate level. Furthermore, phase of saprobic were
β-mesosaprobik, β-meso/Oligosaprobik dan β/α-mesosaprobik.
Key words : phytoplankton, abundance, diversity index, saprobic coefficient.
Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keberadaan fitoplankton sebagai bioindikator kualitas perairan
ditinjau dari kelimpahan, indeks keragaman, indeks keseragaman, dan koefisien saprobik di Kuala Gigieng Kabupaten
Aceh Besar, Provinsi Aceh. Pengambilan sampel dilakukan pada bulan Desember 2011 sampai Januari 2012. Penelitian
ini menggunakan metode purposive random sampling. Hasil penelitian mendapatkan 4 family yang terdiri dari Crysopyceae (42
genera), Chlorophyceae (20 genera), Cyanophyceae (14 genera) dan Euglenophyceae (4 genera). Kelimpahan fitoplankton tertinggi
terdapat pada saat pasang di stasiun 3 dengan jumlah 1.362,89 ind/l, dan terendah terdapat pada saat surut di stasiun 1
yaitu 809.835 ind/l. Indeks keragaman (H’) yang diperoleh berkisar antara 3,14 - 4,75, indeks keseragaman (E) berkisar
antara 0,49 - 0,74, dan koefisien saprobik yang diperoleh berkisar antar 0,331 - 0,887. Berdasarkan koefisien saprobik,
nilai ini menunjukkan perairan dalam kondisi tercemar ringan hingga sedang. Selanjutnya fase saprobik terdapat pada
β-mesosaprobik, β-meso/Oligosaprobik dan β/α-mesosaprobik.
Kata kunci : fitoplankton, kelimpahan, indeks keragaman, koefisien saprobik
Pendahuluan
Kuala Gigieng adalah salah satu kawasan estuaria di Provinsi Aceh yang berada di Kabupaten Aceh Besar.
Perairan ini memiliki potensi perikanan antara lain perikanan laut, tambak dan sungai. Daerah estuaria memiliki unsur
hara yang tinggi bagi organisme perairan untuk mendukung perkembangan berbagai organisme termasuk fitoplankton.
Aktivitas manusia yang berhubungan dengan perairan Kuala Gigieng tergolong tinggi, antara lain aktivitas rumah tangga,
sampah yang dibuang ke perairan, budidaya perikanan, dan perhubungan yang berpotensi memberikan dampak negatif
terhadap perairan. Akibatnya secara langsung dan tidak langsung akan menyebabkan terjadinya gangguan dan perubahan
kualitas fisik, kimia dan biologi pada perairan dan akhirnya dapat menimbulkan pencemaran. Rudiyanti (2009)
menyebutkan bahwa, degradasi kualitas air dapat terjadi akibat adanya perubahan parameter kualitas air.
Fitoplankton memegang peranan yang sangat penting dalam suatu perairan, fungsi ekologinya sebagai produsen
primer dan awal mata rantai dalam jaring makanan menyebabkan fitoplankton sering dijadikan ukuran kesuburan suatu
perairan (Handayani et al., 2005). Penelitian ini penting dilakukan sebagai upaya penyediaan data awal kondisi perairan
Kuala Gigieng dan selanjutnya dapat digunakan untuk kegiatan monitoring kondisi perairan di Kuala Gigieng.
Bahan dan Metode
Lokasi dan waktu penelitian
Pengambilan sampel dilaksanakan pada bulan Desember 2011 sampai Januari 2012. Sampling dilakukan setiap 1
minggu sekali selama 3 minggu. Penelitian ini menggunakan metode purposive random sampling untuk menentukan stasiun
pengamatan. Kriteria-kriteria dalam penetapan lokasi sampling sebagai stasiun pengamatan yaitu berdasarkan zonasi
pasang surut dan letak stasiun yang dipengaruhi oleh salinitas yaitu daerah dekat darat (Stasiun 1), daerah tengah perairan
(Stasiun 2) dan daerah dekat laut (Stasiun 3). Pada setiap stasiun ditetapkan 3 sub stasiun pada waktu pasang dan pada
waktu surut (Gambar 1). Parameter fisika kimia, dan biologi diukur sebanyak 3 kali ulangan di setiap titik pengambilan
sampel pada setiap kali sampling.
20
Depik, 2(1): 20-25
April 2013
ISSN 2089-7790
Gambar 1. Peta Kuala Gigieng yang menunjukkan lokasi penelitian
Pengambilan dan identifikasi fitoplankton
Sampling fitoplankton dilakukan saat pasang pada titik stasiun pengamatan dengan menggunakan plankton net
nomor 25. Plankton net tersebut dilengkapi dengan botol penampung untuk menampung sampel yang tersaring. Pada
setiap titik pengamatan dilakukan penyaringan air sebanyak 100 liter melalui jaring plankton net dengan menggunakan
ember plastik volume 10 liter sebanyak 10 kali pengambilan, sehingga dihasilkan air sampel yang tertampung di dalam
botol sampel (botol film) volume 25 mL. Sampel tersebut diawetkan dengan menggunakan larutan formalin 4%. Botol
sampel yang berisi sampel fitoplankton digoyang secara perlahan-lahan hingga homogen, kemudian sampel diambil
dengan menggunakan pipet tetes dan diteteskan ke dalam ruang kaca benda. Kaca benda diletakkan di bawah mikroskop
kemudian dilakukan pencacahan serta identifikasi dengan metode lapang pandang. Fitoplankton yang diperoleh
diidentifikasi dengan menggunakan buku identifikasi Marine Plankton (Newell & Newell, 1977), dan The Fresh Water Algae
(Prescott, 1970).
Perhitungan indek biologis
Kelimpahan
Kelimpahan jenis fitoplankton dihitung berdasarkan persamaan menurut APHA (1989) sebagai berikut :
N =
x
x
x
Dimana: N= Jumlah individu per liter (ind/l), Oi= Luas gelas penutup preparat (324 mm 2), Op=Luas satu lapangan
pandang (1,036 mm2), Vr = Volume air tersaring (30 ml)Vo= Volume satu tetes air contoh (0,05 ml), Vs = Volume air
yang disaring oleh jaring plankton (100 L), N = Jumlah plankton pada seluruh lapangan pandang, p = Jumlah lapangan
pandang yang teramati.
Indeks keragaman (H')
Analisis ini digunakan untuk mengetahui keragaman jenis biota perairan. Persamaan yang dilakukan untuk
menghitung indeks ini adalah persamaan Shannon-Wiener (Kreb, 1985).
S
S
i 1
i 1
H '   (ni / N ) ln 2 (ni / N )   pi ln 2 pi
Dimana : H' = Indeks diversitas Shannon Wiener, pi = ni/N (Perbandingan jumlah individu ke-i terhadap jumlah total
individu), N = Jumlah total individu, indeks keragaman (H’) menurut persamaan Shannon-Wiener (Krebs, 1978)
dikategorikan sebagai berikut :
0 < H'< 2,302
= Keragaman rendah
2,302 < H'< 6,907 = Keragaman sedang
H'> 6,907
= Keragaman tinggi
21
Depik, 2(1): 20-25
April 2013
ISSN 2089-7790
Indeks keseragaman (E)
Indeks ini menunjukkan pola sebaran biota yaitu merata atau tidak. Jika Indeks kemerataan relatif tinggi maka
keberadaan setiap jenis biota di perairan dalam kondisi merata. Untuk menghitung indeks ini dengan persamaan (Brower
dan Zar, 1977):
Dimana: E = Indeks keseragaman, H' = Indeks keanekaragaman, H maks=
S = 3,3219 log S
S = Jumlah taksa/spesies. Indeks keseragaman jenis suatu populasi berkisar antara 0-1. Selanjutnya indeks keseragaman
berdasarkan Krebs (1978) dikategorikan sebagai berikut :
0 <E ≤ 0,5
: Komunitas tertekan
0,5 <E ≤ 0,75 : Komunitas labil
0,75≤ E ≤ 1
: Komunitas stabil
Koefisien saprobik
Sistem saprobitas hanya untuk melihat kelompok organisme yang dominan saja dan banyak digunakan untuk
menentukan tingkat pencemaran dengan persamaan Dresscher dan Van Der Mark (1976) dalam basmi (2000) :
X=
Dimana: X = Koefisien Saprofik (berkisar antara -3,0 sampai dengan 3,0), A = Jumlah spesies dari Cyanophyta, B =
Jumlah spesies dari Euglenophyta, C = Jumlah spesies dari Chrysophyta, D = Jumlah spesies dari Clorophyta.
Hasil dan Pembahasan
Kelimpahan (Ind/L)
Komposisi dan kelimpahan fitoplankton
Fitoplankton yang ditemukan diperairan Kuala Gigieng Kabupaten Aceh Besar terdiri dari 4 divisi yaitu
Crysophyta dari kelas Crysopyceae (42 spesies), divisi Clorophyta dari kelas Chlorophyceae (20 spesies), divisi Cyanophyta dari
kelas Cyanophycea (14 spesies) dan divisi Euglenophyta dari kelas Euglenophyceae (4 spesies). Jumlah kelas fitoplankton yang
diperoleh di lokasi penelitian sama dengan jumlah kelas yang diperoleh oleh Rudiyanti (2009) di sungai BangerPekalongan, yaitu 4 kelas yang terdiri dari Bacillariophyceae (15genera), Chlorophyceae (14 genera), Euglenophiceae (2
genera), dan Cyanophyceae (7 genera).
Secara umum, kelimpahan fitoplankton yang diperoleh selama penelitian yang tertinggi dijumpai saat pasang, dan
terendah dijumpai pada saat surut. Kelimpahan fitoplankton tertinggi dijumpai di stasiun 3 pada saat pasang, dengan
jumlah total 1.362,89 Ind/l, diikuti olehs stasiun 2 yaitu 981.526 Ind/l, dan stasiun 1 yaitu 885.866 Ind/l. (Gambar 2).
Tingginya kelimpahan fitoplankton di stasiun 3 pada saat pasang disebabkan karena letak stasiun 3 yang berada pada
daerah dekat laut sehingga pada saat pasang terjadi arus naik, arus ini membawa massa air yang lebih banyak dari laut ke
dalam perairan sehingga kelimpahan fitoplankton tinggi. Saat terjadinya pasang, nutrient atau zat hara yang menumpuk dan
mengendap di dasar perairan terangkat sehingga menyebabkan penyuburan perairan. Hal ini didukung oleh Nontji (1993)
bahwa fitoplankton yang subur umumnya terdapat di perairan dekat pantai dimana terjadi arus naik (upwelling) sehingga
terjadi proses penyuburan karena masuknya zat-zat hara ke dalam lingkungan perairan.
Kelimpahan fitoplankton di stasiun 3 tinggi diduga karena waktu sampling pada saat siang hari, sedangkan di
stasiun 1 dan 2 waktu sampling pada saat sore, dimana pada saat siang hari cahaya matahari telah mencapai maksimum
sehingga dapat merangsang pertumbuhan sel-sel fitoplankton. Ruttner (1973) menyatakan bahwa ketersediaan cahaya
dalam jumlah yang lebih banyak menyebabkan fitoplankton lebih aktif melakukan proses fotosintesis demikian juga
sebaliknya, laju produksi bergantung pada besarnya cahaya yang masuk dalam suatu perairan.
1600
1400
1200
1000
800
600
400
200
0
Pasang
Surut
Stasiun 1
Stasiun 2
Stasiun 3
Gambar 2. Kelimpahan fitoplankton pada lokasi penelitian
Kelimpahan fitoplankton yang terendah terdapat di stasiun 1 pada saat surut dengan kelimpahan 809.835 ind/l.
Rendahnya kelimpahan pada stasiun ini diduga pada saat sampling di stasiun 1, perairan terlihat keruh sehingga
22
Depik, 2(1): 20-25
April 2013
ISSN 2089-7790
menghambat cahaya matahari masuk ke dalam kolom perairan. Kekeruhan sangat erat kaitannya dengan penetrasi cahaya.
Hal ini didukung oleh Nybakken (1992) bahwa interaksi antara kekeruhan dan kecerahan perairan akan mempengaruhi
penetrasi cahaya matahari, sehingga dapat mempengaruhi kecerahan suatu perairan. Selain itu, rendahnya kelimpahan
fitoplankton di stasiun 1 diduga karena letak stasiun 1 yang dekat dengan pemukiman penduduk sehingga memungkinkan
adanya limbah rumah tangga yang masuk ke perairan yang dapat mengganggu kelimpahan fitoplankton di stasiun 1.
Menurut Astirin dan Setyawan (2000) bahwa pembuangan jenis limbah secara langsung yang berasal dari permukiman
(domestik), pertanian, industri dan limbah lain yang dibuang ke dalam perairan tanpa terlebih dahulu diolah dalam
instalasi pengolahan limbah, berakibat buruk terhadap kehidupan organisme di dalam perairan terutama fitoplankton,
karena memanfaatkan langsung bahan organik yang masuk ke dalam perairan.
Indeks keragaman (H’)
Indeks keragaman ini menyatakan kekayaan spesies dalam komunitas yang memperlihatkan keseimbangan dalam
pembagian individu per spesies. Nilai keragaman ini akan meningkat jika jumlah jenis yang ditemukan semakin banyak
dan proporsi masing-masing jenis semakin merata (Krebs, 1978). Secara umum nilai H’ tertinggi terdapat pada saat
pasang dan terendah terdapat pada saat surut.
Keragaman (H')
5
4
3
Pasang
2
Surut
1
0
Stasiun 1
Stasiun 2
Stasiun 3
Gambar 3. Keragaman fitoplankton pada lokasi penelitian
Nilai H’ yang diperoleh pada setiap stasiun pengamatan dalam kategori sedang. Nilai H’ tertinggi diperoleh di
stasiun 1 pada saat pasang yaitu 4,75, diikuti di stasiun 3 yaitu 4,72 dan stasiun 2 yaitu 4,52 (Gambar 3). Mengacu pada
persamaan Shannon-Wiener dimana jika nilai H’ yaitu 2,302 < 6,907 maka nilai keragaman fitoplankton dalam kategori
sedang. Tingginya nilai indeks keragaman di stasiun 3 menunjukkan di stasiun 3 merupakan daerah yang cocok untuk
pertumbuhan fitoplankton. Hal ini dapat dilihat dari keragaman jenis yang ditemukan di stasiun 3 lebih banyak yaitu
sebanyak 138 spesies, diikuti di stasiun 1 yaitu 107 spesies, dan stasiun 2 yaitu 102 spesies sehingga keragaman di stasiun 3
lebih tinggi. Hasil penelitian menunjukkan pada saat pasang di stasiun 3 fitoplankton banyak ditemukan dari divisi
Crysophyta, spesies dari Caetoceros. Menurut Sze (1993) fitoplankton dari divisi Crysophyta mendominasi hampir diseluruh
perairan laut, tawar hingga perairan payau. Divisi Chrysophyta ini memiliki dinding silica, sehingga mampu bertahan ketika
keadaan kualitas air berubah drastis. Keragaman fitoplankton terendah terdapat di stasiun 2 pada saat surut yaitu 3,14,
diikuti oleh stasiun 3 yaitu 3,69, dan stasiun 1 yaitu 4,69. Keragaman fitoplankton rendah pada saat surut di stasiun 1
mungkin terjadi karena faktor seperti oksigen terlarut (DO) yang diperoleh pada saat surut lebih rendah dibandingkan
pada saat pasang. Oksigen terlarut yang diperoleh pada saat surut berkisar antara 2,3-2,4 mg/L.
Indeks keseragaman (E)
Indeks keseragaman fitoplankton (E’) menunjukkan kemerataan sebaran fitoplankton, nilai ini berkisar antara 0-1.
Secara umum nilai E’ tertinggi terdapat pada saat pasang dan terendah terdapat pada saat surut. Nilai E’ tertinggi terdapat
di stasiun 2 pada saat pasang yaitu 0,75, diikuti stasiun 3 yaitu 0,73, dan stasiun 1 yaitu 0,71. Nilai E’ terendah terdapat di
stasiun 2 pada saat surut yaitu 0,49 diikuti di stasiun 3 yaitu 0,68, dan stasiun 1 yaitu 0,74 (Gambar 4). Nilai E yang di
peroleh pada saat pasang di stasiun 3 dalam nilai kategori labil. Hal ini sesuai pendapat Krebs (1978) yang menyatakan
komunitas labil, jika nilai E berkisar 0,5< E ≤ 0,75.
Nilai keseragaman (E) yang tidak merata, artinya ada beberapa spesies yang mendominasi. Hal ini disebabkan
karena perubahan kondisi ekosistem perairan sehingga hanya beberapa genus saja yang dapat beradaptasi dengan kondisi
tersebut. Jika ditinjau dari rata-rata perspesies yang diteliti, maka didominansi oleh fitoplankton dari divisi Crysophyta yang
terbanyak yaitu Caetoceros. Hal ini terjadi karena jenis tersebut mampu bertahan dalam kondisi yang ekstrim, sesuai
menurut Basmi (2000) menyatakan jenis-jenis fitoplankton dari divisi Crysophyta paling umum di jumpai di perairan
khususnya di perairan laut. Fitoplanton dari jenis Crysophyta memiliki sifat yang mudah beradaptasi dengan lingkungan,
bersifat kosmopolit, tahan terhadap kondisi yang ekstrim dan mempunyai daya reproduksi yang tinggi.
23
Depik, 2(1): 20-25
April 2013
ISSN 2089-7790
Keragaman (E')
0,8
0,6
0,4
Pasang
0,2
Surut
0
Stasiun 1
Stasiun 2
Stasiun 3
Gambar 4. Indeks keseragaman fitoplankton pada lokasi penelitian
Koefisien Saprobik
Perbedaan kandungan organik dalam perairan akan dicirikan oleh kehadiran spesies tertentu di dalam perairan.
Tingkat pencemaran yang terjadi dalam suatu perairan dapat dilihat dari nilai koefisien saprobik, yaitu dengan
menggunakan parameter biologi seperti fitoplankton (Parsons dan De-Pauw 1979). Nilai saprobitas perairan yang
diperoleh dapat dilihat pada Tabel 1.
Stasiun
1
2
3
Pasang
Surut
Pasang
Tabel 1. Nilai rata-rata koefisien saprobik Perairan Kuala Gigieng
Koefisien Saprobik Tingkat
Fase Saprobik
di lokasi
Pencemaran
pengamatan
0,741
Ringan
β -mesosaprobik
0,331
Sedang
β/α -mesosaprobik
0,631
Ringan
β -mesosaprobik
Surut
0,837
Ringan
β -mesosaprobik
0,5 - 1,0
Pasang
0,727
Ringan
β -mesosaprobik
0,5 - 1,0
Surut
0,887
Ringan
β -mesosaprobik
0,5 - 1,0
Waktu
Koefisien
Saprobik
0,5 – 1,0
0 - 0,5
0 - 0,5
Berdasarkan Tabel 1. Nilai koefisien saprobitas perairan Kuala Gigieng diketahui dalam kondisi tercemar ringan
sampai sedang. Kisaran rata-rata koefisien saprobik pada saat pasang yaitu 0,631 - 0,741. Sedangkan pada saat surut ratarata koefisien saprobik berkisar antara 0,331 - 0,887. Nilai tersebut menunjukkan bahwa pada saat surut tingkat
pencemaran lebih tinggi dibandingkan pada waktu pasang. Tingkat pencemaran yang lebih tinggi terdapat pada saat surut
di stasiun 1 yaitu daerah dekat darat sebesar 0,331, mengindikasikan bahwa parameter-parameter pencemaran berasal dari
kegiatan-kegiatan di darat, seperti pembuangan sampah ke perairan, dan limbah rumah tangga dari kegiatan masyarakat
sekitar perairan.
Fase saprobik di stasiun 1, 2 dan 3 pada saat pasang tergolong dalam kelompok β-mesosaprobik berarti kondisi
perairan tersebut tercemar ringan sampai sedang. Sedangkan kisaran fase saprobik pada saat surut di stasiun 1 dalam fase
β/α-mesosaprobik berarti kondisi perairan di stasiun 1 dalam kondisi tercemar sedang. Menurut Anggoro (2004)
menyatakan bahwa nilai koefisien saprobik berkisar antara 0,5-1,5 tergolong dalam kelompok β-mesosaprobik yang
berarti perairan tercemar ringan-sedang dan koefisien saprobik berkisar antara 0-0,5 tergolong dalam fase β/αmesosaprobik yang berarti perairan tercemar sedang.
Kesimpulan
Hasil penelitian fitoplankton ditemukan dari 4 kelas yaitu: Crysopyceae (42 genera), Chlorophyceae (20 genera),
Cyanophyceae (14 genera) dan Euglenophyceae (4 genera). Kelimpahan fitoplankton pada saat pasang dan surut berkisar antara
809.835 – 1.362,89 ind/l. Nilai Keragaman (H’) pada saat pasang dan surut berkisar antara 3,14 - 4,75 dalam kategori
sedang. Nilai Indeks keseragaman (E) pada saat pasang maupun saat dengan kisaran 0,49 – 0,74, tergolong dalam kategori
labil. Berdasarkan nilai koefisien saprobik, toleransi saprobik terdapat pada fase β-mesosaprobik, β-meso/Oligosaprobik
dan β/α-mesosaprobik. Tingkat pencemaran perairan Kuala Gigieng pada kondisi ringan hingga sedang.
Daftar Pustaka
Anggoro, H. 2004. Pencemaran beberapa unsur logam berat di Sungai Cisadane. Skripsi, Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Astirin, O. P., A.D. Setyawan. 2000. Biodiversitas plankton di waduk penampungan banjir Jabung, Kabupaten
Lamongan dan Tuban. Biodiversitas, (1): 65-71.
APHA. 1989. Standard methods for the examination of water and waste water. Apha, WWWA, WPCF, Washington.
24
Depik, 2(1): 20-25
April 2013
ISSN 2089-7790
Basmi, J. 2000. Plankton sebagai bioindikator kualitas perairan.Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.IPB. Bogor.
Brower, J.E., J.H. Zar.1977. Field and laboratory method for general ecology. Wm.C Brown Pulb. Dubuque, Iowa.
Handayani, M., H. Haeruman, L.C. Sitepu. 2005. Komunitas fitoplankton sebagai bio-indikator kualitas perairan teluk
Jakarta. Seminar Nasional MIPA, Universitas Indonesia, Jakarta.
Krebs, C. J. 1978. The experimental analysis of distribution and abundance. Harper & Row Publisher, New York.
Newel, G. E., R.C. Newel. 1977. Marine plankton. Fifth Editions. Hutchinsons & Co Ltd. 3 Fitzroy Square, London.
Nybakken, J. W. 1992. Biologi laut suatu pendekatan ekologis. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Nontji, A. 1993. Laut nusantara. Edisi kedua. Djambatan, Jakarta.
Parsons, G., N. De Pauw. 1979. System of biological indicator for water quality assessment biological aspects of
freshwater pollution. Pergamon Press, Oxford.
Prescott, G. W. 1970. How to know freshwaters algae. M.W.C. Brown Company Publishers. Iowa.
Rudiyanti, S. 2009. Kualitas perairan sungai banger pekalongan berdasarkan indikator biologis. Jurnal Saintek Perikanan, 4
(2): 46-52.
Ruttner, F. 1973. Fundamental of limnology. 3rd edition. University of Toronto Press, Toronto Canada.
Sze, P. 1993. Algae. Second Edition.WCB Publisher, Lowa.
25
Depik, 2(1): 26-32
April 2013
ISSN 2089-7790
Distribusi kecepatan arus pasang surut pada muson peralihan barat-timur
terkait hasil tangkapan ikan pelagis kecil di perairan Spermonde
Distribution of tidal current velocities transition monsoon east-west related to
small pelagic fish catches in Spermonde waters
Abdul Rasyid Jalil
Jurusan Ilmu Kelautan Universitas Hasanuddin. Jl. Perintis Kemerdekaan Km.10 Tamalanrea Makassar 90245. E-mail:
[email protected]
Abstract. Indonesian waters connect the Pacific Ocean and the Indian Ocean. These waters are also highly influenced by the
monsoonal climate. Current is a very important parameter in the marine environment and affect both directly and indirectly the
marine environment. A study has been done in the waters of Spermonde Archipelago in Makassar Strait to develop a model of
relationship between tidal current velocities and capture of small pelagic fishes at transition between west and east moonsoonal
season. Insitu field data were collected for 3 (three) months, from April to June 2009. Besides that, this study also used a twoyear image data (acquired from October 2007 to June 2009). Study sites were deployed in areas of fishing base of small pelagic
fishes within the waters of Spermonde Archipelago, Pangkep District, South Sulawesi, particularly in areas where purse seine gears
were operated by the fishermen. Distribution of current parameters, depth, wind direction and velocity, and tidal data were depicted
horizontally using Surfer v 7.0 software package. Meanwhile, Surface Modelling System v 8.1. (SMS v 8.1) program was used to
make prediction of the movement pattern of the surface current. Results of the analysis of current movement patterns when the
waters were approaching hightide showed that water mass movement from southern region (Flores Sea) was diverted and passed
through the Spermonde Archipelago to the coastline of Pangkep Regency. In contrary, when the waters were approaching ebb tide,
the current from the western coast of Pangkep Regency passed the Spermonde Archipelago and diverted to the Flores Sea again.
Analysis of current velocity indicated that higher current (> 0.1 m s-1) was found in offshore and tend to decrease below 0.1 m s-1
as the current passing the waters of Spermonde Archipelago. Optimal capture was obtained up to the current velocity of 0.032 m
s-1 i.e. 187.9 kg, and tend to decrease with increasing current velocity. At the highest current velocity, that is 0.216 m s -1, the
capture was 112 kg.
Key words: Current, monsoon transition, capture
Abstrak. Gugusan pulau-pulau yang terletak di Selat Makassar salah satunya adalah kepulauan Spermonde yang juga diapit
oleh Laut Jawa dan Laut Flores. Penelitian ini bertujuan untuk memodelkan distribusi kecepatan arus pasang surut pada
muson peralihan barat-timur terkait dengan jumlah hasil tangkapan ikan pelagis kecil di Perairan Spermonde, Pengambilan
data insitu dilaksanakan pada bulan April – Juni 2009 dengan menggunakan kapal purse seine, Lokasi penelitian pada
daerah-daerah yang merupakan sentra atau basis (fishing base) ikan pelagis kecil di perairan kepulauan Spermonde,
Kabupaten Pangkep khususnya pada wilayah penggunaan alat tangkap purse seine oleh nelayan. Pengambilan data insitu
(primer) selama operasi penangkapan ikan antara lain: waktu penangkapan, data hasil tangkapan dan arah serta kecepatan
arus. Sedangkan data sekunder yang digunakan adalah kedalaman, arah dan kecepatan angin, dan pasang surut. Sebaran
arus dan kedalaman digambarkan secara spasial, dengan menggunakan alat bantu perangkat lunak Surfer v 7.0. Sedangkan
untuk membuat prediksi pola pergerakan arus pasang surut digunakan program Surface Modelling System v 8.1. (SMS v 8.1).
Hasil analisis pola pergerakan arus saat air menuju pasang menunjukkan pergerakan massa air permukaan dari Selatan
(Laut Flores) yang kemudian berbelok melewati kawasan kepulauan Spermonde menuju ke pesisir Kabupaten Pangkep.
Saat kondisi air menuju surut, terjadi sebaliknya, dari pesisir ke arah barat melewati kepulauan Spermonde kemudian
berbelok ke Selatan (menuju Laut Flores). Analisis sebaran kecepatan arus menunjukkan kecepatan arus tinggi > di atas
0,1 m/detik di perairan laut dalam dan cenderung menurun ketika memasuki perairan pulau-pulau Spermonde dengan
kecepatan <0,1 m/detik. Kondisi jumlah hasil tangkapan optimal cenderung semakin tinggi hingga pada kecepatan arus
0,032 m/detik yakni 187,9 kg, dan cenderung menurun dengan meningkatnya kecepatan arus. Pada kecepatan arus
tertinggi yakni 0,216 m/detik, hasil tangkapan 112 kg.
Kata kunci : Arus, muson peralihan, hasil tangkapan
26
Depik, 2(1): 26-32
April 2013
ISSN 2089-7790
Pendahuluan
Perairan Indonesia merupakan perairan penghubung antara Samudera Pasifik dengan Samudera Hindia.
Perairan tersebut juga dipengaruhi oleh iklim muson, hal ini mengakibatkan sifat yang khas bagi perairan Indonesia, yaitu
memiliki pola sirkulasi massa air yang berbeda dan bervariasi secara musiman serta dipengaruhi oleh massa air Samudera
Pasifik yang melintasi perairan Indonesia menuju Samudera Hindia melalui Arus Lintas Indonesia disebut Arlindo (Yusuf,
2007; Gambar 1).
Perairan Kepulauan Spermonde merupakan
paparan yang terletak di sebelah luar Sulawesi Selatan,
terpisah sepenuhnya dari Paparan Sunda yang terletak
di seberang Selat Makassar, terdiri dari banyak pulaupulau dan shelf banks. Kawasan perairan kepulauan
ini melingkupi empat kabupaten mulai dari
Kabupaten Takalar, Kota Makassar, Kabupaten
Pangkep, hingga Kabupaten Barru pada bagian utara
pantai Barat Sulawesi Selatan. Kabupaten Pangkep
yang merupakan salah satu kawasan dari gugusan
kepulauan Spermonde terdiri dari 12 kecamatan yaitu
sembilan kecamatan daratan dan tiga kecamatan
Kepulauan. Kepulauan Spermonde terdiri dari 112
pulau, 74 diantaranya berpenghuni. Luas Laut
Kabupaten Pangkep adalah 11.464,44 km 2 dan luas
pulau kecil 35.150 Ha, serta panjang garis pantai 250
Gambar 1. Pergerakan volume massa air Arlindo
Km (DKP Kabupaten Pangkep, 2007).
(Susanto dan Gordon, 2005)
Perairan
kepulauan
Spermonde
di
Kabupaten Pangkep merupakan daerah penangkapan ikan pelagis kecil yang sangat potensial. Keberadaan daerah
penangkapan ikan bersifat dinamis, karena secara alamiah ikan pelagis kecil selalu bermigrasi mencari habitat yang lebih
sesuai, dimana habitat ikan pelagis kecil sangat dipengaruhi oleh kondisi oseanografi, diantaranya pola pergerakan arus
permukaan yang berpengaruh pada dinamika atau pergerakan air laut baik secara horizontal maupun secara vertikal.
Arus merupakan parameter yang sangat penting dalam lingkungan laut dan berpengaruh secara langsung
maupun tidak langsung terhadap lingkungan laut dan biota yang hidup didalamnya, termasuk menentukan pola migrasi
ikan. Arus di laut dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satu di antaranya adalah angin muson. Selain itu dipengaruhi juga
faktor suhu permukaan laut yang selalu berubah-ubah, (Wibisono, 2005). Arah arus permukaan memiliki hubungan yang
erat dengan angin. Perairan Indonesia sangat dipengaruhi oleh sistem angin muson yang mengalami pembalikan arah dua
kali setahun, berkaitan dengan tekanan tinggi dan rendah antara benua Asia dan Australia. Pergerakan angin pada kedua
musim ini memiliki karakteristik pada muson timur angin bergerak dari Australia ke Asia dan pada muson barat terjadi
sebaliknya. Pola ini berpengaruh terhadap aliran massa air di lautan khususnya pada bagian lapisan permukaan dengan ciri
pada muson barat massa air bergerak dari arah barat Indonesia menuju ke timur dan didominasi aliran massa air yang
berasal dari perairan Samudera Hindia. Sedangkan pada muson timur arus permukaan bergerak dari belahan timur
Indonesia menuju ke arah barat yang didominasi aliran massa air dari Samudera Pasifik (Wyrtki, 1961).
Pada penelitian ini memodelkan distribusi kecepatan arus pasang surut pada muson peralihan barat-timur terkait
dengan jumlah hasil tangkapan ikan pelagis kecil di Perairan Spermonde, khususnya di perairan Kabupaten Pangkep Provinsi
Sulawesi Selatan.
Bahan and Metode
Lokasi dan waktu
Pengambilan data insitu (primer) dilaksanakan pada bulan Maret – Mei 2009 dengan menggunakan kapal purse
seine. Lokasi penelitian pada daerah-daerah yang merupakan sentra atau basis (fishing base) ikan pelagis kecil di perairan
kepulauan Spermonde, Kabupaten Pangkep (118° 59' 24.468" - 119° 25' 2.712" Bujur Timur dan 04° 32' 17.088"- 05° 1' 3.9"
Lintang Selatan) khususnya pada wilayah penggunaan alat tangkap purse seine oleh nelayan (Gambar 2). Pengambilan data
insitu (primer) selama operasi penangkapan ikan antara lain: waktu penangkapan, data hasil tangkapan dan arah serta
kecepatan arus. Sedangkan data sekunder yang digunakan adalah kedalaman, arah dan kecepatan angin dan pasang surut.
27
Depik, 2(1): 26-32
April 2013
ISSN 2089-7790
Gambar 2. Lokasi Penelitian
Pengumpulan data
Pengumpulan data terdiri dari pengumpulan data sekunder dan pengumpulan data primer (insitu). Data primer
meliputi: waktu penangkapan, data arah dan kecepatan arus, serta jumlah hasil tangkapan. Sedangkan data sekunder yang
dibutuhkan antara lain adalah peta lokasi, peta batimetri, data pasang surut, serta data arah dan kecepatan angin.
Selama pemasangan alat tangkap purse seine, dilakukan pengukuran arah dan kecepatan arus. Pola arus
dibutuhkan untuk mengetahui sebaran aliran massa air yang akan mempengaruhi distribusi parameter oseanografi lainnya,
sehingga dinamika oseanografi yang terjadi di perairan kepulauan Spermonde pada muson peralihan barat-timur dapat
digambarkan. Data arus insitu menjadi salah satu input dalam olah data dengan menggunakan Surface Modelling System
(SMS).
Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah data pasang surut selama 3 bulan (Maret – Mei
2009) yang diperoleh dari buku Pasang Surut terbitan Dishidros tahun 2009. Dari data tersebut diperoleh gambaran
tentang tipe pasang surut, dan kisaran tinggi pasang surut. Data kedalaman diperoleh dari hasil digitasi peta lingkungan
pantai terbitan Dishidros TNI-AL lembar 2011-1, 2011-2, dan 2011-3. Data arah dan kecepatan angin pada bulan Maret –
Mei 2009 diperoleh dari Stasiun Badan Meteorologi dan Geofisika maritim Paotere Makassar (BMG). Data sekunder
dibutuhkan sebagai data input dalam pemodelan gerakan massa air (pola arus) perairan Spermonde dengan menggunakan
software SMS.
Analisa data
Untuk membuat prediksi pola pergerakan arus pasang surut digunakan program SMS v 8.1. Untuk memprediksi
pola arus menggunakan data arus, data pasang surut, kedalaman, dan arah serta kecepatan angin. Sebaran kedalaman dan
arus digambarkan secara spasial, dengan menggunakan alat bantu perangkat lunak Surfer v 7.0.
Selanjutnya untuk melihat keterkaitan antara parameter oseanografi khususnya arus dengan hasil dan lokasi
penangkapan ikan pelagis kecil maka dianalisis menggunakan bantuan metode analisis Polynomial di software Microsoft
Excel 2007. Analisis trendline polynomial mampu menginterpretasikan pada kecepatan arus berapa terjadi hasil tangkapan
maksimum.
Hasil dan Pembahasan
Muson peralihan barat – timur
Kejadian muson peralihan dari barat ke timur berlangsung pada bulan Maret, April dan Mei. Kondisi angin
cukup berfluktuasi yang ditandai dengan pola angin yang berubah-ubah pada bulan Maret, April, dan Mei, dengan
kecepatan angin berkisar pada 0,0 – 6 m/detik. Pada bulan Maret, kondisi angin mulai melemah dan didominasi dari arah
barat laut. Dalam dua tahun terakhir (2008 - 2009), tercatat kecepatan angin maksimum 4,5 – 5,5 m/detik. Pola arus
permukaan yang dibangkitkan oleh pasang surut dan angin dari barat laut dapat dilihat pada Gambar 3.
Pola arus permukaan saat air pasang di laut lepas dari selatan dengan kecepatan mencapai 0,08 m/detik menuju
ke utara dengan kecepatan yang semakin menurun yakni 0,01 m/detik. Arus berbelok menuju ke timur memasuki
kepulauan Spermonde dengan kecepatan meningkat. Di perairan utara kepulauan Spermonde, kecepatan arus mencapai 0,17
m/detik, dan berbelok ke tenggara melewati pulau-pulau bagian utara dengan kecepatan 0,10 m/detik hingga memasuki
selat antar pulau di sekitar Pulau Saugi hingga Pulau Laiya. Arus yang memasuki pulau-pulau terluar bagian barat dengan
kecepatan 0,10 m/detik, hingga melewati pulau-pulau di bagian tengah. Ketika melewati pulau-pulau bagian dalam, arus
mengalami pembelokan ke timur laut, setelah melewati pulau Kodingareng hingga pulau Balanglompo dengan kecepatan
28
Depik, 2(1): 26-32
April 2013
ISSN 2089-7790
mencapai 0,04 m/detik. Sementara perairan antara Pulau Balanglompo dengan Pulau Laiya, arus menuju ke timur hingga
daratan dengan kecepatan mencapai 0,03 m/detik.
a.
Saat air Pasang
b. Saat air Surut
Gambar 3.
Pola Arus Pasang dan Surut Bulan Maret 2009
Pola arus permukaan saat air surut di laut lepas dari utara dengan kecepatan mencapai 0,02 m/detik menuju ke
selatan dengan kecepatan yang semakin meningkat yakni 0,15 m/detik. Sedangkan di perairan bagian utara, terjadi arus ke
timur lalu ke utara-timur laut ketika mendekati perairan pesisir dengan kecepatan mencapai 0,08 m/detik. Perairan dalam
kepulauan Spermonde terjadi pola arus yang bervariasi. Di perairan antara pesisir dengan pulau bagian dalam (dari Pulau
Saugi hingga Pulau Kodingareng) didominasi arus menuju ke selatan-barat daya dengan kecepatan mencapai 0,10 m/detik.
Sedangkan di perairan pesisir dengan Pulau Sabangko, arus cenderung menuju ke utara dengan kecepatan 0,06 m/detik.
Kondisi arus di perairan pulau-pulau bagian tengah cenderung menuju ke barat-barat daya dari Pulau Sabutung hingga
melewati pulau Sarappo Keke sampai Pulau Barrang Lompo lalu mengikuti arus ke selatan dengan kecepatan mencapai
0,10 m/detik. Pada bulan April, pola angin didominasi dari barat dengan kecepatan angin maksimum 6 m/detik. Pada
kecepatan tersebut, kondisi arus dominan memperlihatkan perbedaan pola saat pasang dan saat surut, seperti pada
Gambar 4.
Pola arus permukaan saat air pasang di laut lepas dari selatan dengan kecepatan mencapai 0,60 m/detik menuju
ke utara dengan kecepatan yang semakin menurun yakni 0,10 m/detik. Di perairan utara kepulauan Spermonde, kecepatan
arus mencapai 0,19 m/detik, dan berbelok ke timur menuju pesisir daratan. Sementara di bagian barat kepulauan
Spermonde, arus berbelok menuju ke timur laut memasuki kepulauan Spermonde (pulau Kapoposang dengan Pulau Langkai)
dengan kecepatan 0,09 m/detik, lalu menuju ke timur ketika melewati laut antara Pulau Sarappo dengan Pulau
Pamanggangan. Di bagian selatan (pesisir dengan Pulau Kodingareng) terbentuk pola arus menuju ke utara (antara Pulau
Kodingareng dengan Pulau Lanyukkang) dengan kecepatan 0,09 m/detik, dan pola arus ke timur laut menyusuri pantai
(antara pesisir dengan Pulau Kodingareng) dengan kecepatan 0,05 m/detik. Pertemuan pola-pola arus terjadi di perairan
pesisir dengan Pulau Saugi dan Pulau Sagara yang cenderung menuju ke pantai dengan kecepatan mencapai 0,02 m/detik.
Pola arus permukaan saat air surut di laut lepas dari utara dengan kecepatan mencapai 0,06 m/detik menuju ke
selatan dengan kecepatan yang semakin meningkat yakni 0,33 m/detik. Sedangkan di perairan bagian utara, terjadi arus ke
timur lalu ke utara-timur laut ketika mendekati perairan pesisir dengan kecepatan mencapai 0,10 m/detik. Di perairan
dalam Kepulauan Spermonde terjadi pola arus yang berlawanan arah dengan pola arus saat pasang. Kecepatan arus lemah
(sekitar 0,01 m/detik) ketika melewati perairan pulau-pulau bagian tengah, dan menguat ketika melewati perairan pulaupulau terluar dengan kecepatan 0,07 m/detik. Sementara kecepatan arus di pesisir dengan pulau-pulau bagian dalam
adalah 0,04 m/detik. Pada bulan Mei, pola angin didominasi dari selatan dengan kecepatan angin mencapai 4 m/detik.
Pada kecepatan tersebut, kondisi arus dominan memperlihatkan perbedaan pola saat pasang dan saat surut.
Pola arus permukaan saat air pasang cenderung tidak jauh berbeda dengan pola di bulan April, kecuali di perairan
utara memperlihatkan pola yang berbeda yakni arus berbelok ke timur dengan kecepatan 0,04 m/detik, dan memasuki
perairan Pulau Samatellu dengan pesisir. Kecepatan arus dari selatan mencapai 0,20 m/detik menuju ke utara dengan
kecepatan yang semakin menurun yakni 0,03 m/detik. Sementara di bagian barat kepulauan Spermonde (Pulau Kapoposang
dengan Pulau Langkai) dengan kecepatan 0,08 m/detik. Di bagian selatan (antara Pulau Kodingareng dengan Pulau
Lanyukkang) dengan kecepatan 0,06 m/detik, dan kecepatan arus antara pesisir dengan Pulau Kodingareng adalah 0,07
met/det. Pertemuan pola-pola arus terjadi di perairan pesisir dengan Pulau Saugi dan Pulau Karanrang dan cenderung
menuju ke pantai dengan kecepatan mencapai 0,02 m/detik (Gambar 5).
Pola arus permukaan saat air surut cenderung tidak jauh berbeda dengan pola di bulan April. Arus dari utara
dengan kecepatan mencapai 0,06 m/detik menuju ke selatan dengan kecepatan yang semakin meningkat yakni
29
Depik, 2(1): 26-32
April 2013
ISSN 2089-7790
0,31 m/detik. Kecepatan arus di perairan bagian utara mencapai 0,02 m/detik. Di perairan dalam Kepulauan Spermonde
terjadi kecepatan arus lemah (sekitar 0,01 m/detik) ketika melewati perairan pulau - pulau bagian tengah, dan menguat
ketika melewati perairan pulau-pulau terluar dengan kecepatan 0,04 m/detik. Sementara kecepatan arus di pesisir dengan
pulau-pulau bagian dalam adalah 0,01 m/detik.
a.
Saat air Pasang
b. Saat air Surut
Gambar 4. Pola Arus Pasang dan Surut Bulan April 2009
a.
Saat air Pasang
Gambar 5. Pola Arus Pasang dan Surut Bulan Mei
b. Saat air Surut
Hasil tangkapan pada musim peralihan di bulan April – Mei 2009 dibeberapa lokasi penangkapan menunjukkan
fluktuasi di beberapa kondisi kecepatan arus, seperti dapat dilihat pada Gambar 6. Sedangkan pada Bulan Juni 2009, yang
merupakan hasil tangkapan pada awal musim timur (sebagai bahan perbandingan) menunjukkan kecenderungan
berfluktasi pula, namun cenderung lebih sedikit. Berdasarkan Gambar 8, kondisi hasil tangkapan optimal cenderung
semakin tinggi hingga pada kecepatan arus 0,032 m/detik yakni 187,9 kg, dan cenderung menurun dengan meningkatnya
kecepatan arus. Pada kecepatan arus tertinggi yakni 0,216 m/detik, hasil tangkapan 112 kg.
Meskipun kondisi hasil tangkapan berfluktuasi terhadap berbagai kondisi kecepatan arus, tetapi ditemukan
adanya pola yang menunjukkan kecenderungan hubungan antara kecepatan arus terhadap hasil tangkapan, yakni
cenderung meningkat hingga pada batas kecepatan tertentu, kemudian menurun seiring dengan meningkatnya kecepatan
arus. Sehingga dengan kecenderungan tersebut, dalam menganalisis hubungan keduanya dilakukan dengan pendekatan
metode trendline polynomial. Hasil tangkapan maksimum pada setiap kondisi kecepatan arus yang dianalisis melalui
kenampakan grafik dan trendline polinomial, memunculkan persamaan dari hubungan keduanya sebagaimana dapat dilihat
pada Gambar 7. Berdasarkan Gambar 7, penampakan trendline polinomial menunjukkan hasil tangkapan cenderung
meningkat dari kecepatan arus lemah hingga mencapai kecepatan arus 0,12 m/detik. Kemudian menurun seiring dengan
meningkatnya kecepatan arus. Persamaan polynomial yang dihasilkan dari grafik yang terbentuk menunjukkan bahwa
30
Depik, 2(1): 26-32
April 2013
ISSN 2089-7790
prediksi hasil tangkapan pada kecepatan arus 0,02 m/detik adalah 77,44 kg, dan pada kecepatan arus 0,12 m/detik,
diprediksi terjadi hasil tangkapan maksimum mencapai 193,35 kg. Sedangkan pada kecepatan arus 0,20 m/detik, prediksi
hasil tangkapan semakin menurun yang mencapai 120,63 kg. Koefisien korelasi R2 sebesar 0,914 yang berarti berarti
hubungan antara hasil tangkapan dengan parameter arus sebesar 91,4%.
Gambar 6. Fluktuasi hasil tangkapan terhadap kecepatan arus
Gambar 7. Grafik hubungan hasil tangkapan maksimum dengan kecepatan arus.
Arus memberikan pengaruh terhadap dua hal, yaitu terhadap ikan pelagis kecil dan kestabilan alat tangkap yang
digunakan. Ikan pelagis kecil akan memberikan respon pasif bila berada dalam arus yang memiliki kecepatan sedang,
sedangkan bila kecepatan arus rendah, maka ikan pelagis kecil akan bereaksi secara aktif (melawan arus). Sedangkan
kecepatan arus yang cepat, maka ikan pelagis kecil cenderung untuk menghindari. Sedangkan menyangkut peralatan yang
digunakan dalam hal ini purse seine, maka kecepatan arus memberikan pengaruh terhadap kestabilan alat tangkap, yang
terkait dengan kecepatan kapal pada saat pelingkaran. Kecepatan kapal pada saat pelingkaran kapal sangat ditentukan
dengan ukuran dan derajat putaran kapal yang digunakan. Hal ini sesuai dengan pendapat Sudirman dan Mallawa (2004)
bahwa Dalam pengoperasian alat tangkap khususnya yang menggunakan jaring seperti purse seine, trawl, cantrang, bagan rambo
dan gillnet, faktor arus sangat mempengaruhi keberhasilan operasi penangkapan. Umumnya alat tangkap jaring hanya dapat
memberikan toleransi terhadap kecepatan arus sampai kecepatan 1,5 m/detik. Misalnya pada purse seine, ketika kecepatan lebih
dari 1,5 m/detik maka kegiatan pelingkaran akan sangat susah untuk dilaksanakan bahkan umumnya terjadi kegagalan.
31
Depik, 2(1): 26-32
April 2013
ISSN 2089-7790
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, diperoleh informasi bahwa pada bulan Maret pola arus permukaan saat air
pasang di laut lepas dari selatan dengan kecepatan mencapai 0,08 m/detik menuju ke utara dengan kecepatan yang
semakin menurun yakni 0,01 m/detik, sedangkan saat air surut di laut lepas dari utara dengan kecepatan mencapai 0,02
m/detik menuju ke selatan dengan kecepatan yang semakin meningkat yakni 0,15 m/detik. Pada bulan April pola arus
permukaan saat air pasang di laut lepas dari selatan dengan kecepatan mencapai 0,60 m/detik menuju ke utara dengan
kecepatan yang semakin menurun yakni 0,10 m/detik, sedangkan pada saat surut di laut lepas dari utara dengan kecepatan
mencapai 0,06 m/detik menuju ke selatan dengan kecepatan yang semakin meningkat yakni 0,33 m/detik. Pada bulan
Mei, pola arus permukaan saat air pasang dan saat surut cenderung tidak jauh berbeda dengan pola di bulan April.
Kondisi jumlah hasil tangkapan optimal cenderung semakin tinggi hingga pada kecepatan arus 0,032 m/detik
yakni 187,9 kg, dan cenderung menurun dengan meningkatnya kecepatan arus. Pada kecepatan arus tertinggi yakni 0,216
m/detik, hasil tangkapan 112 kg.
Daftar Pustaka
DKP Kabupaten Pangkep. 2007. Data base potensi kelautan dan perikanan wilayah pesisir dan kepulauan Kabupaten
Pangkep. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pangkep, Pangkep.
Sudirman., A. Mallawa. 2004. Teknik penangkapan ikan. Penerbit Rieka Cipta, Jakarta.
Susanto, R.D., A. L. Gordon. 2005. Velocity and transport of the Makassar Straitt through current. Journal of
Geophysical Research,110: C01005. DOI: doi:10.1029/2004JC002425
Wibisono, M.S. 2005. Pengantar ilmu kelautan. Grasindo, Jakarta.
Wyrtki, K. 1961, Physical oceanography of the Southeast Asian waters, Naga Report Vol. 2. Scripps Institution of
Oceanography, University of California, California.
Yusuf, 2007. Dinamika massa air di perairan Selat Makassar pada Bulan Juli 2005. Program Studi Ilmu Kelautan.
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Padjadjaran, Bandung. (Tidak dipublikasikan).
32
Depik, 2(1): 33-39
April 2013
ISSN 2089-7790
Catatan Penelitian: Persepsi nelayan terhadap kebijakan subsidi perikanan dan
konservasi di Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh
Research note: Perception of fishermen community on fishery subsidies and
conservation policies in Aceh Besar District, Aceh Province
Zainal A. Muchlisin1*, Nur Fadli1, Arifsyah M. Nasution2, Rika Astuti3
1Jurusan
Budidaya Perairan, Koordinatorat Kelautan dan Perikanan Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh 23111.
World Wildlife Fund (WWF), Banda Aceh; 3Jaringan Kualisi Untuk Laut Aceh (Kuala), Banda Aceh. Email
korespodensi: [email protected]
2The
Abstract. The objective of the present study was to collect information of fishermen perceptions in Aceh Besar district. The study was
conducted from June to August 2012, while the field survey conducted on 21 to 28 June 2012 at some fishing villages in Aceh Besar district
namely: (a) Baitussalam and Mesjid, (b) Peukan Bada, (c) Leupung, Lhoknga and Lhoong, (d) Pulo Aceh, (e) Seulimum. The Results
showed that most of respondents were in the productive age (31-45 years). The majority of the respondents have recieved subsidies from a
variety of sources both government and non-governmental organizations. The common type of subsidy were in the form of goods (in kinds)
namely: boats, fishing gear and boat engines, and small portion in cash. In addition, the majority of fishermen stated that the type of assistance
provided was in accordance with their needs as fishermen and most fishermen are still expected that fisheries subsidies should be continued. In
regard to environmental and conservation issues that most fishermen agreed with the conservation area in the district of Aceh Besar. However,
most of the respondents stated that they have not been involved in conservation activities. The fishermen need training in fishing technology, post
harvest and conservation.
Keywords: Habitat degradation, fish, skills and capital
Abstrak. Penelitian ini bertujuan mengetahui persepsi masyarakat nelayan di Kabupaten Aceh Besar terhadap kebijakan
subsidi perikanan dan program konservasi untuk dapat dijadikan dasar penetapan kebijakan oleh pihak terkait. Penelitian
ini dilakukan pada Juni sampai Agustus 2012. Survei lapangan dilaksanakan pada 21-28 Juni 2012 di lima kecamatan
dalam Kabupaten Aceh Besar, meliputi kecamatan: (a) Baitussalam dan Mesjid Raya, (b) Peukan Bada, (c) Leupung,
Lhoknga dan Lhoong, (d) Pulo Aceh, (e) Seulimum. Sebanyak 62 orang nelayan telah diwawancara secara langsung, hasil
penelitian menunjukkan umumnya nelayan di Kabupaten Aceh Besar berada di usia produktif (31-45 tahun). Sebagian
besar nelayan pernah mendapatkan bantuan dari berbagai sumber baik dari pemerintah maupun lembaga swadaya
masyarakat. Lembaga yang paling banyak atau sering memberikan bantuan adalah Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh
Besar dan lembaga swadaya masyarakat/NGO. Jenis bantuan yang umum diterima adalah dalam bentuk barang (in kinds)
antara lain kapal, alat tangkap dan mesin kapal, sebagian kecil dalam bentuk uang tunai. Mayoritas nelayan menyatakan
jenis bantuan yang diberikan sudah sesuai dengan kebutuhan mereka sebagai nelayan dan sebagian besar nelayan tersebut
masih mengharapkan agar kebijakan subsidi perikanan tetap dilanjutkan. Terkait dengan isu konservasi, sebagian besar
nelayan menyatakan setuju dengan adanya kawasan konservasi di wilayah Kabupaten Aceh Besar. Namun, hampir
sebagian besar responden mengaku belum pernah terlibat dalam kegiatan konservasi baik pelatihan maupun terlibat
secara aktif di lapangan. Nelayan mengharapkan adanya pelatihan dalam hal teknik penangkapan ikan yang baik,
pengolahan ikn dan konservasi
Kata kunci: Kerusakan habitat, ikan, ketrampilan dan modal
Pendahuluan
Kabupaten Aceh Besar adalah salah satu kabupaten yang berada di pesisir Aceh tepatnya di perairan utara dan
barat Aceh. Aceh Besar memiliki garis pantai sepanjang 344 km dengan luas wilayah perairan lautnya mencapai 2.796
km2 dan jumlah pulau-pulau kecil sebanyak 21 buah dengan 2 buah pulau kecil terluar (Muchlisin et al., 2012a). Pesisir
dan laut Aceh Besar memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi diantaranya 1.155 Ha terumbu karang dan hutan bakau
seluas 980,82 Ha (DKP Aceh Besar, 2011).
Sektor kelautan dan perikanan adalah salah satu sektor penting bagi masyarakat Aceh Besar. Jika dilihat dari
besarnya wilayah laut Kabupaten Aceh Besar, dibutuhkan anggaran yang besar pula untuk mensubsidi pembangunan di
sektor kelautan dan perikanan Aceh Besar. Walaupun secara global subsidi dalam arti luas ditentang banyak pihak karena
dianggap membebani anggaran pemerintah (Wikaniati, 2011), namun kebijakan ini dipandang masih diperlukan terutama
di negara-negara berkembang seperti Indonesia dan Aceh Besar khususnya. Untuk itu pemberian subsidi perikanan yang
dilakukan harus dilakukan secara hati-hati dan tepat sasaran, dan perlu disertai dengan skema fisheries management (Satria,
2005).
Keragaan subsidi perikanan bahan bakar minyak (BBM) solar dan non BBM di Kabupaten Aceh Besar telah
dilaporkan oleh Muchlisin et al. (2012a; 2012b), diungkapan bahwa kebijakan subsidi yang perikanan di Aceh Besar yang
dijalankan selama ini belum menjurus kepada green investment karena salah satu alasannya masih menumpukan kepada
33
Depik, 2(1): 33-39
April 2013
ISSN 2089-7790
subsidi pengadaan kapal dan alat tangkap, walaupun hal ini juga masih debatable namun para pakar fisheries management
bersepakat bahwa subsidi perikanan untuk pengadaan kapal dan alat tangkap berpotensi tinggi menyebabkan over fishing
(Ghofar et al., 2008). Namun dilain pihak, kondisi nelayan Indonesia khususnya di Aceh Besar masih sangat
memprihatinkan dan masih memerlukan bantuan pemerintah untuk mengangkat taraf hidup mereka, oleh karena itu
pendapat dan harapan mereka juga patut didengar untuk dipertimbangkan dalam penetapan kebijakan subsidi perikanan
di Aceh Besar, agar subsidi yang diberikan akan berdampak positif, baik dari segi ekonomis maupun ekologis.
Paper ini memaparkan beberapa masalah yang dihadapi oleh nelayan di Kabupaten Aceh Besar dan persepsi
mereka terhadap kebijakan subsidi perikanan yang selama ini dijalankan serta upaya konservasi sumberdaya perikanan
untuk dapat dijadikan dasar penetapan kebijakan subsidi perikanan oleh pihak terkait di Aceh Besar khususnya dan
Provinsi Aceh umumnya.
Bahan dan Metode
Lokasi dan waktu penelitian
Penelitian ini dilakukan pada mulai Juni sampai Agustus 2012. Survei lapangan dilaksanakan pada 21-28 Juni
2012. Lokasi survei meliputi perkampungan nelayan di Kecamatan : (a) Baitussalam dan Mesjid Raya, (b) Peukan Bada, (c)
Leupung, Lhoknga dan Lhoong, (d) Pulo Aceh, (e) Seulimum.
Jenis dan sumber data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer, data tersebut diperoleh dari wawancara dengan
menggunakan kusioner semi tertutup terhadap nelayan dan tokoh-tokoh kunci nelayan di masing-masing lokasi
penelitian. Data yang dikumpulkan antara lain:
a. Karakteristik responden, meliputi; umur, tingkat pendidikan, status perkawinan, jumlah tanggungan dan lainlain.
b. Proses dan biaya produksi; jenis alat tangkap, biaya produksi, jenis ikan tangkapan, pendapatan dan lain-lain.
c. Subsidi; jenis barang bantuan yang pernah diterima baik oleh nelayan budidaya dan nelayan tangkap atau
nelayan pengolah: kesesuaian bantuan dengan kebutuhan, kegunaan bantuan dalam membantu proses produksi,
dan seberapa besar dampaknya, dan lain-lain.
d. Cash transfer subsidy: jumlah uang yang diterima, tujuan pemberian untuk apa, digunakan untuk apa, apakah sesuai
kebutuhan, apakah dapat membantu dalam proses produksi, seberapa besar dampaknya.
e. Capacity building: jenis pelatihan yang pernah diikuti, berapa lama, siapa yang melakukan, apakah pelatihan
tersebut sesuai dengan kebutuhan pekerjaan saat ini, apakah pelatihan tersebut sesuai dengan harapan, apakah
pelatihan tersebut dapat membantu dalam proses produksi, seberapa besar dampaknya.
Responden
Pemilihan responden dalam penelitian dilakukan secara purposive sampling, yaitu pemilihan secara sengaja
berdasarkan alasan dan kriteria yang telah ditetapkan. Total jumlah responden yang terlibat lebih kurang 62 orang (Tabel
1).
Tabel 1. Jumlah dan distribusi responden berdasarkan ukuran/jenis kapal
pada masing-masing lokasi kajian
Perahu tanpa Boat
No.
Lokasi
< 5 GT
< 10 GT
Jumlah
motor
tempel
1.
Baitussalam
5
5
10
2.
Mesjid Raya
3
9
2
5
19
3.
Lhoknga
-
3
5
-
8
4.
Leupung
1
2
4
-
7
5.
Peukan Bada
2
6
-
-
8
6.
Seulimum
-
10
-
-
10
Total
6
35
16
5
62
Analisa data
Data yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabel dan grafik selanjutnya dianalisis secara deskriptif dengan
menghubungkan temuan dengan fenomena-fenomena yang terjadi di lapangan dan laporan-laporan terkait lainnya.
34
Depik, 2(1): 33-39
April 2013
ISSN 2089-7790
Hasil dan Pembahasan
Karakteristik responden
Sebanyak 62 orang nelayan tangkap telah
diwawancarai dalam survei ini, dimana proporsi
responden yang berkeluarga dan yang belum
berkeluarga (lajang) adalah seimbang. Jika ditinjau
dari segi umur terlihat bahwa sebagian besar adalah
pada kisaran usia produktif (31-45 tahun), namun
demikian sebagian besar nelayan di Kecamatan
Leupung berusia lebih muda berbanding kecamatan
lainnya. Jika ditinjau dari tingkatan pendidikan maka
sebagian besar nelayan di Kabupaten Aceh Besar
adalah lulusan Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah
Menengah Atas (SMA). Lebih lanjut jika dilihat
berdasarkan kecamatan maka tingkat pendidikan
yang lebih baik dijumpai pada nelayan di Kecamatan
Mesjid Raya, sementara Kecamatan Baitussalam,
Seulimeun dan Pekanbada sebagian besar nelayan
hanya lulusan Sekolah Dasar (Gambar 1).
Gambar 1. Tingkatan pendidikan nelayan kabupaten Aceh
Hasil survei menunjukkan hampir semua
Besar berdasarkan kecamatan.
anak nelayan tidak ada yang putus sekolah (tidak
tamat SMA), hanya 2 orang anak nelayan di Kecamatan Baitussalam teridentifikasi tidak tamat SMA. Hal ini
menunjukkan perhatian keluarga nelayan akan pentingnya pendidikan bagi masa depan anak-anak mereka sudah semakin
baik. Namun demikian, sangat sedikit anak nelayan yang dapat melanjutkan kuliah di perguruan tinggi, mungkin
disebabkan kerena biaya kuliah yang tinggi. Pemerintah melalui Dirjen Pendidikan Tinggi telah meluncurkan program
beasiswa Bidik Misi yang khusus diperuntukkan bagi calon mahasiswa dari keluarga kurang mampu, termasuk dari anakanak nelayan, untuk itu diharapkan keluarga nelayan khususnya di Aceh Besar dapat memanfaatkan peluang ini.
Sebagian besar responden nelayan (>50%) tidak memiliki pekerjaan sampingan, dan bagi mereka yang memiliki
pekerjaan sampingan jenis pekerjaan yang umum dilakukan adalah bertani dan buruh bangunan (Gambar 2). Pekerjaan
nelayan yang geluti saat ini adalah pekerjaan turun temurun dari orang tua, kecuali bagi responden di Kecamatan Mesjid
Raya dan Seulimeun (Gambar 3). Umumnya responden mengaku alasan memilih pekerjaan sebagai nelayan karena tidak
ada pekerjaan atau keahlian lain yang mereka miliki disamping rendahnya tingkat pendidikan yang dimiliki. Namun
demikian, sebagian besar dari mereka di semua kecamatan menyatakan ingin terus mengeluti pekerjaan sebagai nelayan.
Hal ini mungkin disebabkan karena tidak ada pilihan lain bagi mereka akibat dari tidak adanya keahlian tambahan dan
tingkat pendidikan yang rendah.
Ketiadaan ketrampilan tambahan pada hampir sebagian besar nelayan menyebabkan produktifitas mereka
menjadi rendah terutama pada masa-masa angin barat dimana sebagai besar nelayan memutuskan tidak melaut, untuk
menyokong kehidupan selama tidak melaut mereka sangat bergantung kepada toke bangku (juragan) dengan cara
berhutang, menyebabkan mereka sulit melepaskan diri dari jeratan rentenir. Oleh karena itu introduksi ketrampilan
tambahan baik untuk nelayan maupun untuk keluarga mereka sangat diperlukan dengan harapan masa tidak melaut dapat
digunakan untuk kegiatan produktif yang dapat mendatangkan income bagi keluarga.
Gambar 2. Jenis pekerjaan sampingan yang ditekuni oleh
nelayan Aceh Besar
Gambar 3. Alasan memilih pekerjaan sebagai nelayan
35
Depik, 2(1): 33-39
April 2013
ISSN 2089-7790
Isu subsidi perikanan
Hasil penelitian mencatat bahwa hampir 80% nelayan responden pernah mendapatkan bantuan dari berbagai
sumber baik dari pemerintah maupun lembaga swadaya masyarakat. Jenis bantuan yang umum diterima adalah dalam
bentuk barang (in kinds) antara lain kapal, alat tangkap dan mesin kapal, sebagian kecil ada juga yang menerima dalam
bentuk uang tunai. Secara umum jenis barang bantuan boat dan alat tangkap diberikan secara berimbang, namun di
Kecamatan Leupung sebagian besar diberikan dalam bentuk kapal/boat, dan sebalik di Kecamatan Baitussalam jenis
bantuan yang diberikan umumnya berupa alat tangkap (Gambar 4).
Nelayan Aceh Besar mengaku bahwa lembaga yang paling banyak atau sering memberikan bantuan adalah Dinas
Kelautan dan Perikanan Aceh Besar dan lembaga swadaya masyarakat/NGO. Namun di Kecamatan Seulimeun dan
Peukanbada bantuan lebih dominan datang dari NGO, sedangkan di Kecamatan Lhoknga berimbang antara pemerintah
dan NGO. Secara umum lebih dari 50% responden mengaku jenis bantuan yang diberikan sudah sesuai dengan
kebutuhan mereka sebagai nelayan (Gambar 5), namun demikian di beberapa nelayan di Kecamatan Seulimeun mengaku
belum puas dengan bantuan yang diberikan, dengan alasan boat bantuan yang diberikan berkualitas rendah dan jika dalam
bentuk uang, jumlahnya tidak mencukupi untuk modal kerja.
Lebih kurang 60% responden mengaku barang bantuan yang pernah diterima masih ada dan masih digunakan
dengan baik, namun demikian lebih dari 20% diantaranya mengaku barang bantuan yang diterima sudah tidak ada lagi,
dan umumnya mereka tidak memberikan alasan kenapa barang tersebut tidak ada lagi, namun sebagian kecil dari padanya
menjawab bahwa barang tersebut rusak dan dijual. Sebagian besar nelayan di Aceh Besar masih mengharapkan agar
kebijakan subsidi perikanan tetap dilanjutkan dan mereka pada umumnya mengharapkan bantuan berupa kapal dan alat
tangkap (Gambar 6). Umumnya responden berpendapat bahwa bantuan yang disalurkan sebaiknya dilakukan secara
perorangan (individual), namun demikian nelayan di Baitussalam berpendapat penyaluran sebaiknya dilakukan secara
berkelompok. Terdapat tiga kendala utama nelayan dalam menjalankan usahanya, yaitu cuaca yang tidak menentu dan
sulit diprediksi, kerusakan kapal dan alat tangkap serta mahalnya harga BBM (Gambar 7). Saat ini sebagian besar nelayan
Aceh Besar belum dapat membeli BBM (solar) pada harga resmi pemerintah, umumnya mereka membeli BBM pada
pengencer (pihak ketiga) dengan harga berkisar Rp5.000 s/d Rp6.000 per liter (Muchlisin et al., 2012a).
Lebih kurang 60-75% responden mengaku tidak pernah mengikuti pelatihan apapun baik yang diadakan oleh
pemerintah maupun swasta/NGO, dan bagi mereka yang pernah mengikuti pelatihan, jenis pelatihan yang paling banyak
diikuiti (60%) adalah teknik penangkapan ikan secara modern, umumnya pelatihan tersebut (>40%) dilakukan oleh
NGO, hanya kurang dari 10% yang dilakukan oleh pemerintah, dan sayangnya hanya sebagian kecil dari mereka mengaku
pelatihan tersebut bermanfaat, dengan alasan tidak sesuai dengan kebiasaan dan penggunaan alat tangkap pada nelayan
setempat, seperti pelatihan yang diberikan menggunakan alat tangkap modern seperti fish finder, sedangkan nelayan di
daerah yang disurvei masih menggunakan alat tangkap yang tradisional, sehingga pelatihan yang diberikan tidak sesuai
dengan kebutuhan nelayan dalam melakukan aktivitas penangkapan ikan, hanya sebagian kecil saja manfaat yang
diperoleh dari pelatihan yang diberikan. Dimasa depan nelayan Aceh Besar mengharapkan beberapa jenis pelatihan, yaitu
pelatihan teknik penangkapan ikan yang ramah lingkungan, pelatihan konservasi, pengelolaan koperasi, merajut jaring,
budidaya perikanan, pengolahan ikan dan jenis-jenis ketrampilan lainnya untuk mendukung wirausaha (Gambar 8).
Nelayan Aceh Besar mendukung dan masih mengharapkan subsidi perikanan yang dilakukan oleh pemerintah,
namun sayangnya para nelayan umumnya masih mengharapkan bantuan yang diberikan berupa kapal dan alat tangkap.
Jika dipandang perlu mengalokasikan anggaran untuk pengadaan kapal dan alat tangkap, sebaiknya perlu dijalankan secara
hati-hati dan terbatas dengan mempertimbangkan kondisi stok sumberdaya ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP)
571 (Selat Malaka) dan WPP 572 (Samudera Hindia) serta dilakukan secara terencana dan dibina pengoperasian dan
pengelolaannya dengan baik atau dengan kata lain adanya upaya peningkatan kapasitas nelayan, agar sejalan dengan
prinsip-prinsip perikanan yang bertanggungjawab dan berkelanjutan (Muchlisin et al., 2012b).
Gambar 5. Kesesuaian bantuan yang diterima dengan
kebutuhan sebagai nelayan berdasarkan kecamatan
Gambar 4. Proporsi jenis bantuan yang diterima oleh
nelayan responden.
36
Depik, 2(1): 33-39
April 2013
ISSN 2089-7790
Gambar 6. Jenis bantuan yang diharapkan oleh nelayan
Aceh Besar di masa depan.
Gambar 7. Beberapa kendala yang dihadapi oleh
nelayan Aceh Besar.
Isu degradasi habitat dan konservasi
Nelayan di Aceh Besar mengaku
terjadi penurunan hasil tangkapan saat ini
berbanding 5 tahun lalu (Gambar 9), menurut
nelayan hal ini disebabkan karena perubahan
musim tangkap dan kerusakan habitat.
Perubahan musim tangkap kemungkinan
disebabkan pergeseran siklus musim hujankemarau
akibat pengaruh El Nino
(Muhammad et al., 2012). Menurut nelayan,
kerusakan habitat disebabkan oleh penebangan
hutan bakau dan pemakaian bahan kimia dan
bom sehingga merusak terumbu karang.
Perubahan iklim akan memberikan dampak
kepada distribusi ikan baik secara spasial
maupun temporal, secara jangka panjang akan
memberikan pengaruh kepada ekosistim laut
(Grafton, 2009), misalnya pengasaman air laut
yang memberi dampak kepada biota yang
Gambar 8. Jenis-jenis pelatihan yang diharapkan oleh nelayan
hidup didalamnya.
di masa depan.
Nelayan menilai pemerintah belum
serius membantu nelayan mengatasi masalah-masalah tersebut, seperti perbaikan kondisi ekosistem. Menurut pejabat di
Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Aceh Besar bahwa pemerintah telah melakukan beberapa program konservasi
sumberdaya perikanan dan mensosialisasikannya melalui lembaga adat Penglima Laot, namun sayangnya sebagian besar
dari nelayan belum mengetahui adanya kebijakan Pemkab Aceh Besar tentang rencana penetapan kawasan konservasi di
Aceh Besar (Gambar 10), namun demikian sebagian besar nelayan menilai kawasan konservasi diperlukan (Gambar 11).
Dari hasil wawancara ini terlihat bahwa masih ada sebagian nelayan yang belum memahami akan peran penting kawasan
konservasi bagi keberlanjutan usaha penangkapan mereka, oleh karena ini menjadi tantangan bagi pemerintah setempat
dan kalangan pengiat lingkungan untuk memberikan pengetahuan kepada masyarakat melalui seminar dan penyuluhan.
Berdasarkan SK Bupati Aceh Besar No. 190 tahun 2011 telah ditetapkan 16 kawasan konservasi di Aceh Besar,
diharapkan dengan adanya kawasan konservasi ini dapat menjadi pemicu lahirnya inisiatif pendapatan alternatif
masyarakat di lokasi KKPD tersebut, seperti ekowisata, produk pasca tangkap/panen.
Hampir semua nelayan di Kabupaten Aceh Besar mengaku tidak pernah menggunakan alat tangkap yang
merusak, misalnya pukat harimau, racun dan bom ikan, namun ada 10% nelayan di Kecamatan Peukanbada pernah
melakukannya beberapa tahun lalu, namun hal tersebut tidak pernah dilakukan lagi karena mereka sudah sadar akibat
buruk yang ditimbulkan oleh aktifitas tersebut. Namun demikian, disinyalir kegiatan penangkapan ikan dengan
menggunakan racun (potassium) masih marak di perairan Aceh Besar, biasanya dilakukan pada malam hari dengan
peralatan selam untuk menangkap ikan-ikan karang jenis tertentu. Menurut hasil survei dijumpai pengelolaan sampah dan
oli bekas sudah cukup baik, dimana sebagian besar nelayan sudah menampung oli bekas kapal dan bahkan beberapa
diantaranya menggunakan ulang untuk keperluan lain, demikian pula halnya dengan sampah sudah ditampung disuatu
37
Depik, 2(1): 33-39
April 2013
ISSN 2089-7790
tempat untuk seterusnya dibakar. Namun sayangnya hampir sebagian besar nelayan responden mengaku belum pernah
terlibat dalam kegiatan konservasi baik pelatihan maupun terlibat secara aktif di lapangan, namun demikian ada lebih
kurang 20% nelayan responden di Kecamatan Baitussalam, Lhoknga dan Mesjid Raya pernah terlibat dalam beberapa
pelatihan konservasi yang dilakukan oleh pihak universitas, NGO atau pemerintah (Gambar 12).
Pendapat
Penyebab
Gambar 10. Persepsi nelayan terhadap penyebab
turunnya hasil tangkapan ikan
Gambar 9. Persepsi masyarakat nelayan terhadap hasil
tangkapan ikan saat ini berbanding 5 tahun lalu
Pendapat
Gambar 12. Pengakuan nelayan terhadap keterlibatan
mereka dalam kegiatan konservasi berdasarkan
kecamatan
Gambar 11. Persepsi nelayan tentang perlu tidaknya
kawasan konservasi.
Kesimpulan
Nelayan di Kabupaten Aceh Besar umumnya berada di usia produktif (31-45 tahun). Sebagian besar nelayan
pernah mendapatkan bantuan dari berbagai sumber baik dari pemerintah maupun lembaga swadaya masyarakat. Jenis
bantuan yang umum diterima adalah dalam bentuk barang (in kinds) antara lain kapal, alat tangkap dan mesin kapal,
sebagian kecil dalam bentuk uang tunai. Lembaga yang paling banyak atau sering memberikan bantuan adalah Dinas
Kelautan dan Perikanan Aceh Besar dan lembaga swadaya masyaraka/NGO. Mayoritas responden menyatakan jenis
bantuan yang diberikan sudah sesuai dengan kebutuhan mereka sebagai nelayan dan sebagian besar nelayan tersebut
masih mengharapkan agar kebijakan subsidi perikanan tetap dilanjutkan. Sebagian besar nelayan Aceh Besar tidak
memiliki ketrampilan tambahan untuk itu diperlukan adanya introduksi ketrampilan tambahan yang siklus produksinya
cepat/singkat. Terkait dengan isu perubahan iklim dan konservasi, sebagian besar nelayan menyatakan setuju dengan
adanya kawasan konservasi di wilayah Kabupaten Aceh Besar. Namun, hampir sebagian besar responden mengaku belum
pernah terlibat dalam kegiatan konservasi baik pelatihan maupun terlibat secara aktif di lapangan.
Ucapan Terimakasih
Penelitian ini didanai oleh The World Wildlife Fund (WWF ) bekerjasama dengan Jaringan Kualisi untuk Laut
Aceh (Kuala) dan Koordinatorat Kelautan dan Perikanan Universitas Syiah Kuala. Oleh karena itu kami mengucapkan
terima kasih kepada pihak penyandang dana dan semua pihak yang terlibat dalam penelitian ini.
38
Depik, 2(1): 33-39
April 2013
ISSN 2089-7790
Daftar Pustaka
DKP Aceh Besar. 2011. Statistik Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Aceh Besar Tahun 2010. Dinas Kelautan dan
Perikanan Kabupaten Aceh Besar, Jantho.
Ghofar, A., D.K. Schoor, A. Halim. 2008. Selected Indonesian fisheries subsidies: quantitative and qualitative assessment
of policy coherence and effectiveness. The Nature Conservation – Coral Triangle, Bali.
Grafton, R.Q. 2009. Adaptation to Climate Change in Marine Capture Fisheries. Environmental Economics Research
Hub Research Reports. The Australian National University, Australia.
Muchlisin, Z.A., N. Fadli, A.M. Nasution, R. Astuti, Marzuki, D. Amuni. 2012a. Analisis subsidi bahan bakar minyak
(BBM) solar bagi nelayan di Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh. Depik, 1(2): 107-113.
Muchlisin, Z.A., N. Fadli, A.M. Nasution, R. Astuti, Marzuki, D. Amuni. 2012b. Analisis subsidi perikanan non BBM di
Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh. Depik, 1(3): 172-178.
Muhammad, S. Rizal, J.M. Affan. 2012. Pengaruh ENSO (El Niño and Southern Oscillation) terhadap transpor massa air laut
di Selat Malaka. Depik 1(1): 61-67.
Satria,
A.
2005.
Kenaikan
harga
BBM
dan
subsidi
perikanan.
http://kompas.com/kompascetak/0504/12/ilpeng/1676640.htm. Diakses 17 November 2012.
Wikaniati. 2011. Analisis kebijakan pemberian subsidi perikanan (solar) terhadap kelestarian sumberdaya ikan teri nasi dan
pendapatan nelayan payang gemplo (Kasus TPI Wonokerto, Kabupaten Pekalongan). Skripsi, Fakultas Ekonomi dan
Manejemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
39
Depik, 2(1): 40-44
April 2013
ISSN 2089-7790
Pengaruh getah pepaya (Carica papaya) terhadap sintasan tokolan udang
windu (Panaeus monodon) pada kepadatan yang berbeda selama
pengangkutan
The effect of papaya’s latex (Carica papaya) on the survival rate of tiger shrimp
(Panaeus monodon) post larvae at the different density during transportation
Wahyu Tursina1, Sofyatuddin Karina2*
1Jurusan
Budidaya Perairan, Koordinatorat Kelautan dan Perikanan, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, 23111;
Ilmu Kelautan, Koordinatorat Kelautan dan Perikanan, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, 23111.
Corresponding author: [email protected]
2Jurusan
Abstract. The objective of present study was to evaluate the possibility of papaya’s latex (Carica papaya) as anti stress or larvaside for tiger
shrimp (Panaeus monodon) post larvae Pl 14-30 during transportation. The tiger shrimp post larvae was collected from BBAP Ujung Batee,
Aceh Besar on September, 2012. Reseach method used the completely random design with two factors, density of post larvae with three
treatments (1000; 1500 dan 2000 ind/l) and concentration of papaya’s latex with four treatments (0; 100; 200 dan 300 ppm) and three
replications for each treatments. The effect of papaya’s latex on tiger shrimp post larvae was observed by calculating the percentage of post
larvae’s survival rate. The calculation was only done after twelve hours of transportation, due to the everage of survival rate percentage of post
larvae on all levels of density was less than 50%. The ANOVA test showed that the density and the concentration factors gave significance
effect on survival rate of tiger shrimp post larvae (P<0,05). The results showed that survival rate of tiger shrimp post larvae (PL 14-30) were
decreased with increasing of larvae density and concentration of papaya’s latex. However, Duncan’s test showed that the highest survival rate
was obtained at 1.000 ind/l and 0 ppm of papaya’s latex. Hence, the effect of papaya’s latex concentration treatments in this study was
larvaside on tiger shrimp post larvae.
Key words: Closed transportation system, dissolved oxygen, enzyme papain, tiger shrimp post larvae.
Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji apakah getah pepaya (Carica papaya) dapat bersifat sebagai anti stres atau
bersifat larvasida terhadap tokolan udang windu (Panaeus monodon) Pl 14-30 selama pengangkutan. Tokolan udang windu
diperoleh dari Balai Benih Air Payau (BBAP) Ujung Batee, Aceh Besar pada bulan September 2012. Metode penelitian
menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dua faktorial yaitu kepadatan tokolan dengan tiga taraf perlakuan (1000;
1500 dan 2000 ind/l) dan konsentrasi getah pepaya dengan empat taraf perlakuan (0; 100; 200 dan 300 ppm) dan tiga kali
ulangan. Efek getah pepaya terhadap tokolan udang windu diamati dengan menghitung persentase kelangsungan hidup
tokolan. Perhitungan hanya dilakukan setelah pengangkutan (selama 12 jam) karena didapati rerata persentase
kelangsungan hidup tokolan pada semua tingkat kepadatan, kurang dari 50 %. Uji ANOVA menunjukkan bahwa
kepadatan berpengaruh nyata terhadap kelangsungan hidup tokolan udang windu PL 14-30 (P<0,05), di mana
kelangsungan hidup tokolan udang windu menurun seiring dengan peningkatan getah pepaya dan kepadatan. Uji lanjut
Duncan’s menunjukkan bahwa nilai kelangsungan hidup tertinggi diperoleh pada kepadatan 1.000 ekor/l dengan
konsentrasi getah pepaya 0 ppm. Sehingga disimpulkan bahwa perlakuan konsentrasi getah pepaya pada penelitian ini
bersifat larvasida terhadap tokolan udang windu PL 14-30.
Kata kunci: Pengangkutan sistem tertutup, oksigen terlarut, enzim papain, tokolan udang windu.
Pendahuluan
Udang windu (Paneaus monodon) adalah salah satu komoditi penting di sektor perikanan di Aceh, dan Aceh
dikenal memiliki induk udang windu yang berkualitas terbaik di dunia (Wardana, 2011). Namun kegagalan dalam budidaya
udang windu juga sering menjadi keluhan para petani tambak akibat mudah terjangkitnya udang dengan penyakit. Ilmiah
(2007) menyebutkan bahwa Penyakit biasanya timbul beberapa hari setelah penebaran dan timbulnya penyakit ini diawali
dengan adanya perubahan lingkungan yang mengakibatkan stres pada udang. Stres ini terjadi karena belum adanya
penyesuaian dengan lingkungan yang baru. Pemilihan benur, pengangkutan, perubahan suhu, kurangnya oksigen terlarut,
adanya gas dan senyawa beracun serta kurangnya makanan mengakibatkan timbulnya stres pada udang, akibatnya
produksi antibodi berkurang sehingga imunitas atau kekebalan akan menurun.
Umumnya petambak memasok bibit dari balai benih yang letaknya jauh dari tambak sehingga perlu dilakukan
proses pengangkutan. Tokolan udang yang diangkut selama berjam-jam dengan kepadatan populasi tokolan yang tinggi,
supplai oksigen yang terbatas serta tanpa pertukaran media air akan menyebabkan udang mudah mengalami stres seperti
yang dinyatakan oleh Anderson et al. (1988) bahwa mortalitas akibat vibriosis terjadi ketika udang (pada semua fase
kehidupan) dalam kondisi stres. Wickins dan Lee (2002) menyatakan bahwa penyakit kronis dapat mengakibatkan
gangguan pertumbuhan dan menurunkan kualitas udang, sedangkan penyakit yang bersifat akut dapat menyebabkan
40
Depik, 2(1): 40-44
April 2013
ISSN 2089-7790
kematian. Beberapa penyakit yang menyerang jenis udang penaied diakibatkan virus, bakteri, jamur, parasit, dan faktor
abiotik lainnya.
Kepadatan populasi yang tinggi selama pengangkutan dimaksudkan untuk menghemat tempat atau wadah serta
efisiensi pengangkutan. Rosyida dan Parakkasi (2004) telah melakukan penelitian untuk melihat pengaruh kepadatan
dalam proses pengangkutan terhadap kelangsungan hidup benih udang windu (Panaeus monodon) PL-20, dengan waktu
pengangkutan selama 8 jam. Tingkat kepadatan yang diuji pada penelitian tersebut adalah 1000; 1500; 2000; dan 2500
ekor/L. Hasil penelitian tersebut menemukan bahwa mortalitas benur yang cukup tinggi pada saat perhitungan baik
sebelum maupun sesudah pengangkutan dan dinyatakan tidak terdapat pengaruh yang nyata antar perlakuan kepadatan
pada taraf P>0,05. Untuk menindaklanjuti penelitian tersebut, maka perlu cari zat anti stres selain immunostimulan yang
tepat dan ramah lingkungan untuk mempertahankan kondisi ketahanan tokolan udang windu PL 14-30 selama
pengangkutan agar tidak mudah terserang penyakit dan menyebabkan kegagalan budidaya.
Sejauh ini, getah pepaya telah digunakan oleh petani dan diduga dapat berfungsi sebagai zat anti stres untuk
meningkatkan ketahanan benih lobster selama pengangkutan (Adijaya et al., 2006). Namun penggunaan getah pepaya
sebagai zat anti stres terhadap tokolan udang windu sampai saat ini belum pernah dikaji dan dilaporkan. Sementara itu,
dalam penelitian lain yang dilaporkan oleh Veriswan (2006), menyebutkan bahwa enzim papain dalam getah pepaya
bersifat larvasida terhadap larva Aedes aegypti (larva nyamuk). Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengkaji
apakah getah pepaya bersifat sebagai anti stres atau bersifat larvasida pada tokolan udang windu Pl 14-30 selama
pengangkutan.
Bahan dan Metode
Lokasi dan waktu penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Balai Benih Air Payau (BBAP) Ujong Batee Aceh Besar, Provinsi Aceh pada bulan
September 2012.
Rancangan percobaan
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial. Faktor yang diuji adalah; (1) perbedaan
kepadatan tokolan, dengan tiga taraf perlakuan, yaitu 1.000 ekor/L, 1.500 ekor/L dan 2.000 ekor/L; dan (2) perbedaan
konsentrasi getah pepaya, dengan empat taraf perlakuan, yaitu 0 ppm (kontrol), 100 ppm, 200 ppm dan 300 ppm,
masing-masing perlakuan dengan tiga kali ulangan, dengan demikian terdapat 36 unit percobaan. Unit percobaan yang
digunakan dalam penelitian ini adalah kantong plastik volume 10 liter.
Pengumpulan getah pepaya dan penyiapan wadah uji
Buah pepaya (C. papaya) muda dibelah menggunakan pisau dan getah yang diperoleh dikumpulkan dan
ditampung dalam gelas kimia. Sebanyak 1 liter air dimasukkan dalam setiap kantong, selanjutnya dimasukkan getah
pepaya dalam setiap kantong dengan volume yang disesuaikan dengan memperhitungkan densitas getah pepaya
yaitu ρ = 1,038 g/cm3 (Sabari et al., 2001) untuk menghasilkan konsentrasi getah yang diinginkan; untuk menghasilkan
konsentrasi getah pepaya 100 ppm dimasukkan 100 mg/l larutan, untuk konsentrasi 200 ppm dimasukkan getah
sebanyak 200 mg/l larutan dan untuk konsentrasi 300 ppm dimasukkan getah sebanyak 300 mg/l larutan getah.
Pengadukan dilakukan agar getah tercampur dalam air media dan terlihat homogen (karena getah bersifat koloid yang
sebenarnya adalah heterogen). Parameter kualitas air yaitu; oksigen terlarut, suhu, salinitas dan pH diukur sebagai kontrol.
Tokolan udang windu dimasukkan ke dalam media dengan kepadatan yang berbeda sesuai dengan rancangan
yang telah ditetapkan, dan seterusnya setiap kantong diisi dengan oksigen, dengan perbandingan air dan oksigen adalah 1 :
3 (v/v) dan kantong plastik diikat erat dengan tali karet.
Kantong-kantong yang telah dikemas selanjutnya dimasukkan ke dalam styrofoam. Penempatan unit percobaan di
dalam box styrofoam dilakukan secara acak (Lampiran 1). Beberapa batang es batu diselipkan di setiap sisi styrofoam dan
ditutup rapat.
Pengangkutan
Unit-unit percobaan ditempatkan secara acak dalam wadah styrofoam. Wadah tersebut ditempatkan dalam bak
mobil dan ditutup rapat dengan terpal. Pengangkutan dilakukan dengan waktu tempuh ± 12 jam perjalanan darat (Banda
Aceh – Lhokseumawe – Banda Aceh).
Pengukuran parameter uji
Pengamatan terhadap tingkat stres pada tokolan udang windu PL 14-30 selama pengangkutan sulit untuk
dilakukan. Salah satu indikasi stres yang dapat diamati adalah apabila ketahanan udang menurun dan mudah terserang
penyakit sehingga menyebabkan mortalitas. Penyakit pada udang akibat stres biasanya menyerang setelah beberapa hari
penebaran pasca pengangkutan (Ilmiah, 2007). Oleh karena itu, pengukuran hanya dapat dilakukan dengan menghitung
persentase kelangsungan hidup tokolan udang windu setelah pengangkutan dan setelah penebaran.
Parameter utama yang diamati adalah persentase kelangsungan hidup tokolan udang windu setelah 12 jam
pengangkutan. Jika didapati angka kelangsungan hidup lebih besar dari kontrol (tanpa getah pepaya), maka untuk melihat
tingkat ketahanan benih udang, pengamatan persentase kelangsungan hidup akan dilanjutkan setelah penebaran setiap
harinya hingga satu bulan dalam wadah terbatas (digunakan wadah styrofoam per unit pengamatan), dilengkapi aerasi dan
pemberian pakan yang teratur. Jika didapati angka kelangsungan hidup lebih kecil dari kontrol, maka pengamatan
persentase kelangsungan hidup tidak dilanjutkan hingga setelah penebaran.
Selain itu juga diukur parameter pendukung yaitu parameter kualitas air di antaranya, oksigen terlarut (ppm), suhu
(oC), pH dan salinitas (ppt) sebelum dan sesudah pengangkutan.
41
Depik, 2(1): 40-44
April 2013
ISSN 2089-7790
Analisa data
Analisis sidik ragam dua arah (Two-ways Anova) dengan tingkat kepercayaan 95% menggunakan program SPSS
software versi 13.0 dilakukan untuk mengetahui pengaruh interaksi kedua faktor (kepadatan tokolan udang windu dan
konsentrasi getah pepaya) dan pengaruh masing-masing faktor tunggal terhadap tingkat kelangsungan hidup tokolan
udang windu. Jika didapati terdapat pengaruh yang nyata, maka dilakukan uji lanjut Duncan’s.
Hasil dan Pembahasan
Hasil pengamatan setelah 12 jam pengangkutan, ditemukan persentase kelangsungan hidup tokolan udang windu
PL 14-30 lebih kecil dari kontrol (tanpa getah pepaya) pada semua tingkat kepadatan, sehingga pengamatan tidak
dilanjutkan hingga setelah penebaran dalam wadah budidaya (buatan). Ditemukan bahwa getah pepaya bersifat larvasida
terhadap tokolan udang windu.
Uji Anova menunjukkan bahwa interaksi antara kepadatan dan konsentrasi getah pepaya berpengaruh nyata
terhadap kelangsungan hidup tokolan udang windu Pl 14-30 (P<0,05). Uji ANOVA terhadap masing-masing faktor
tunggal kepadatan tokolan dan konsentrasi getah pepaya menunjukkan bahwa perbedaan konsentrasi getah memberikan
pengaruh nyata terhadap kelangsungan hidup tokolan udang windu (P<0,05), dan perbedaan kepadatan juga berpengaruh
nyata terhadap kelangsungan hidup tokolan udang windu (P<0,05). Uji lanjut Duncan’s terhadap interaksi kedua faktor
menunjukkan bahwa nilai kelangsungan hidup tertinggi diperoleh pada kepadatan 1.000 ekor/l dan konsentrasi 0 ppm.
Nilai ini tidak berbeda nyata dengan tingkat kepadatan yang sama pada konsentrasi 100 dan 200 ppm serta dengan
kepadatan 1.500 dan 2.000 ekor/l pada konsentrasi 0 ppm (P<0,05) (Tabel 1).
Uji lanjut Duncan’s terhadap faktor tunggal kepadatan menunjukkan nilai kelangsungan hidup tertinggi dijumpai
pada kepadatan 1.000 ekor/l, dimana nilai ini berbeda nyata dengan perlakuan kepadatan lainnya (P<0,05; Tabel 2).
Sedangkan pada faktor tunggal konsentrasi, nilai kelangsungan hidup tertinggi dijumpai pada konsentrasi 0 ppm getah
pepaya, di mana nilai kelangsungan hidup berbeda nyata dengan perlakuan konsentrasi lainnya (P<0,05, Tabel 3).
Secara umum terlihat bahwa adanya hubungan linear negatif antara oksigen terlarut dengan kepadatan tokolan
udang windu dan konsentrasi getah pepaya dalam media air, di mana oksigen terlarut menurun seiring dengan
peningkatan kepadatan dan konsentrasi getah pepaya (Gambar 1). Sedangkan nilai parameter kualitas air lainnya seperti
pH, suhu dan salinitas tidak menunjukkan perubahan yang berarti (Tabel 4).
Tabel 1. Rata-rata nilai kelangsungan hidup tokolan udang windu PL 14-30 pada interaksi kepadatan dan
konsentrasi yang berbeda. Superscript yang sama pada baris dan kolom yang sama menunjukkan
tidak berbeda nyata (P<0,05)
Kelangsungan hidup (%)
Konsentrasi getah pepaya (ppm)
Kepadatan tokolan
(ekor/l)
0
100
200
300
1.000
1.500
2.000
53,72±8,07b
46,11±25,76b
42,92±6,54b
46,42±3,19b
10,14±4,08a
14,27±3,35a
47,71±30,87b
9,23±6,20a
4,80±6,73a
10,01±2,81a
4,49±5,20a
1,49±1,33a
Tabel 2. Kelangsungan hidup tokolan udang windu PL 14-30 pada kepadatan yang berbeda.
Superscript yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (P<0,05). *Rerata nilai kelangsungan hidup
tokolan udang windu Pl 14-30 pada tingkat kepadatan yang berbeda untuk semua konsentrasi.
Kepadatan
Kelangsungan hidup*
(ekor/l)
(%)
1000
39,47±3.94b
1500
17,49±3.94a
2000
15,88±3.94a
Tabel 3. Kelangsungan hidup tokolan udang windu PL 14-30 pada konsentrasi getah pepaya yang berbeda.
Superscript yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (P<0,05). *Rerata nilai kelangsungan hidup tokolan
udang windu Pl 14-30 pada tingkat konsentrasi yang berbeda untuk semua kepadatan.
Konsentrasi
Kelangsungan hidup*
(ppm)
(%)
0
47,58±4,55c
100
23,61±4,55b
200
20,58±4,55b
300
5,33±4,55a
42
Depik, 2(1): 40-44
April 2013
ISSN 2089-7790
Tabel 4. Nilai parameter kualitas air media yang diukur pada tt=12 jam setelah pengangkutan pada
tingkat kepadatan dan konsentrasi getah pepaya.
Perlakuan
Parameter
Kepadatan
(ekor/l)
Konsentrasi
(ppm)
1.000
1.000
1.000
1.000
1.500
1.500
1.500
1.500
2.000
2.000
2.000
2.000
0
100
200
300
0
100
200
300
0
100
200
300
Oksigen terlarut
pH
Suhu
Salinitas
(mg/l)
10,30
9,46
8,21
4,53
9,01
8,20
5,16
4,46
8,25
6,53
8,21
4,01
7,70
7,70
7,70
7,70
7,60
7,70
7,20
7,70
8,20
7,70
7,70
7,60
ºC
27,00
27,00
27,00
27,00
27,00
27,00
27,00
27,00
27,00
27,00
27,00
27,00
ppt
25,00
25,00
25,00
25,00
25,00
25,00
25,00
25,00
25,00
25,00
25,00
25,00
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kelangsungan hidup tokolan udang windu PL 14-30 menurun seiring
dengan peningkatan kepadatan dan konsentrasi getah pepaya dalam media air. Semakin padat jumlah tokolan udang
windu dalam media membutuhkan semakin banyak oksigen terlarut untuk dikonsumsi. Dalam hal ini, berarti terjadi
penipisan/ pengosongan oksigen terlarut dalam media, sehingga menyebabkan terjadinya pelarutan oksigen yang lebih
tinggi dan mengurangi ketersediaan oksigen dalam kantung, dan pada akhir pengukuran didapatkan jumlah oksigen
terlarut semakin berkurang. Meskipun oksigen terlarut didapatkan semakin menurun, namun penurunan angka oksigen ini
bukanlah penyebab penurunan angka kelangsungan hidup tokolan udang windu, di mana oksigen telarut dalam penelitian
ini masih berada dalam kisaran normal untuk pertumbuhan udang windu. Schmittou (1992) menyebutkan bahwa kondisi
perairan dianggap membahayakan bagi udang windu apabila nilai oksigen terlarut lebih rendah dari 4,0 mg/l.
Peningkatan konsentrasi getah pepaya juga menyebabkan berkurangnya nilai oksigen terlarut dalam media air.
Terlihat bahwa terjadi penurunan (hubungan yang linier, R2= 0,959) nilai oksigen terlarut pada setiap kenaikan
konsentrasi 100 ppm dari 0 hingga 300 ppm (Tabel 4). Penurunan nilai oksigen ini diduga disebabkan oleh kehadiran
getah pepaya dalam air. Meskipun sebelumnya dilakukan pengadukan secara merata sebelum pengepakan, namun dalam
waktu tertentu selama pengangkutan (12 jam perjalanan), sifat koloid dari getah pepaya yang heterogen mengalami
pemisahan, sehingga partikel terdispersinya membentuk koagulasi di permukaan air (pendispersi). Hasil pengamatan
menunjukkan adanya lapisan yang menutupi permukaan air. Hal ini diduga menyebabkan sulitnya pelarutan kembali
oksigen tersedia dalam kantung ke dalam media air. Didapatkan bahwa semakin tinggi konsentrasi getah pepaya yang
dilarutkan, maka semakin rendah nilai oksigen terlarut setelah pengangkutan. Namun, dalam hal ini seperti yang telah
disebutkan sebelumnya bahwa nilai oksigen terlarut masih berada di atas 4,0 mg/l dan diduga bukan penyebab penurunan
nilai kelangsungan hidup tokolan udang windu.
Getah pepaya dalam penelitian ini tidak memberikan respon positif terhadap tokolan udang windu PL 14-30, di
mana dengan kehadiran getah pepaya telah mematikan tokolan lebih dari 50% selama 12 jam. Candraningsih dan Irsyad
(2012) menyatakan bahwa dalam getah buah pepaya terkandung beberapa senyawa metabolit sekunder seperti alkaloid,
minyak atsiri, sterol, triterpena, serta tanin. Penelitian lain menyebutkan bahwa senyawa alkaloid dan minyak atsiri dari
daun jarak (Riyadhi, 2013), senyawa turunan minyak atsiri seperti eugenol dari daun selasih (Arjentinia, 2001) dan enzim
papain dari getah pepaya (Veriswan, 2006) bersifat larvasida terhadap larvae A. aegypti. Namun dalam penelitian ini belum
dikaji secara mendalam dan terpisah dari masing-masing senyawa yang terkandung dalam getah pepaya yang bersifat
larvasida terhadap tokolan udang windu karena pada dasarnya kedua organisme ini memiliki faal yang berbeda.
Hingga saat ini, belum dapat dijelaskan mengapa petani bibit lobster menambahkan getah pepaya ke dalam
kantung pengepakan sebelum pengiriman yang dimaksudkan sebagai anti stres selama pengangkutan seperti yang ditulis
oleh Adijaya et al. (2006). Di mana, sifat anti stress agent dari beberapa senyawa metabolit sekunder yang terkandung dalam
getah pepaya belum dikaji secara mendalam terhadap komoditi seperti lobster sehingga masih sulit untuk disimpulkan.
Bagaimanapun, jenis biota, ukuran benih serta ketahanan benih lobster dan tokolan udang windu PL 14-30 berbeda,
sehingga belum bisa disimpulkan apakah benar getah pepaya dapat digunakan sebagai zat anti stres pada biota tertentu
seperti lobster. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa tokolan udang windu yang telah mati mudah hancur, seperti yang
disebutkan oleh Warisno (2003), bahwa getah pepaya dapat digunakan sebagai pengempuk daging, sehingga sulit untuk
diamati struktur histopatologi insang dan organ lainnya yang terpapar dengan getah pepaya. Hal ini menyebabkan sulit
juga mengetahui bagaimana zat tersebut bekerja mematikan tokolan udang windu.
Peningkatan kepadatan tokolan udang windu dan kenaikan konsentrasi getah pepaya hanya sedikit berpengaruh
terhadap perubahan pH. Salinitas dan suhu air media dalam penelitian ini juga masih berada dalam kisaran optimum
pertumbuhan udang windu yaitu 25 ppt dan 27ºC dan tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan dari awal hingga
akhir pengangkutan. Secara umum kondisi pH pada penelitian ini masih berada pada kisaran yang normal. Hal ini sesuai
dengan pernyataan Boyd (1990), di mana pH perairan yang sesuai untuk pertumbuhan udang windu adalah antara 6,5
43
Depik, 2(1): 40-44
April 2013
ISSN 2089-7790
hingga 9,0. Lebih lanjut Maryadi (2008) yang menyatakan bahwa udang windu tahan hidup pada kisaran salinitas 5-60 ppt
dan Komarawidjaja (2006) melaporkan bahwa kisaran suhu air pada pertumbuhan udang windu adalah sekitar 26-32°C.
Kesimpulan
Persentase kelangsungan hidup tokolan udang windu dipengaruhi oleh kepadatan tokolan dan konsentrasi getah
pepaya dalam media pengangkutan. Semakin tinggi kepadatan tokolan udang windu dan konsentrasi getah pepaya, maka
persentase kelangsungan hidup tokolan udang windu menunjukkan penurunan yang signifikan. Sehingga disimpulkan
bahwa getah pepaya tidak dapat ditambahkan ke dalam kantung yang berisi tokolan udang windu (PL 14-30) selama
pengangkutan. Kepadatan tokolan udang windu untuk pengangkutan sebaiknya tidak lebih dari 1.000 ekor/l.
Ucapan Terima Kasih
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Muchlisin Z.A., M.Sc yang telah banyak membantu dan
memberikan masukan dalam penulisan paper ini. Ucapan terima kasih juga kami sampaikan kepada kedua reviewer yang
telah memberikan koreksi dan kritikan yang sangat konstruktif sehingga paper ini menjadi lebih baik.
Daftar Pustaka
Adijaya, D. S., C. Destika, Sofia, H. Dermawan. 2006. Lobster Air Tawar. Trubus, 27(435): 12-15.
Anderson, I.G., M.N. Shamsudin, M. Shariff. 1988. Bacterial septicemia in juvenile tiger shrimp, Penaeus monodon, cultured
in Malaysian brackishwater ponds. Asian Fisheries Science, 2: 93-108.
Arjentinia, I.P. G.Y. 2001. Efektivitas ekstrak daun selasih (Ocimum gratissimum L.) dan ekstrak daun mimba (Azadirachta
indica A. JUSS.) sebagai insektisida nabati alternatif pada nyamuk Aedes aegypti L. Skripsi. Fakultas Kedokteran
Hewan, IPB, Bogor.
Boyd, C. E. 1990. Water quality in ponds for aquaculture. Birmingham Publishing Co., Birmingham.
Candraningsih, D. S., A. Irsyad. 2012. Potensi getah buah pepaya (Carica pepaya) sebagai agen antibakteri. Http.
www.Antibakteri.Blog.com. Diakses pada 25 November 2012.
Ilmiah. 2007. Peranan imunostimulan dalam meningkatkan sintasan benur windu (Penaeus Monodon, Fab) terhadap
serangan Virus Wssv. Skripsi. Jurusan Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
Universitas Muslim Indonesia, Makasar.
Komarawidjaja, W. 2006. Pengaruh perbedaan dosis oksigen terlarut (DO) pada degradasi amonium kolam kajian
budidaya udang. Jurnal Hidrosfir, 1(1): 32-37.
Maryadi. 2008. Aklimatisasi benur udang windu (Panaeus monodon) sebagai upaya budidaya diluar lingkungan hidupnya:
sebuah kasus di Kabupaten Lamongan. Majalah Teknologi Lingkungan, 4(2): 143-152.
Riyadhi, A. 2013. Identifikasi senyawa aktif minyak jarak pagar (Jatropha curcas) sebagai larvasida nabati vektor demam
berdarah dengue . Karya Ilmiah, Pusat Studi Bioteknologi, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Rosyida, E., P. Parakkasi. 2004. Pengaruh kepadatan dalam proses transportasi terhadap tingkat kelangsungan hidup
benih udang windu (benur) Peneaus monodon Fabricius. Laporan Penelitian, Indonesian Science and
Technology Digital Library, Jakarta.
Sabari, S. D., W. Broto, T. Mulyani, S. Pratikno. 2001. Perbaikan teknologi penyadapan dan pengawetan getah pepaya
(Carica papaya) segar untuk produksi papain. Jurnal Holtikultura, 11(3): 196-206.
Schmittou, H. R. 1992. Water quality and shrimp health management in hatcheries. Balai Budidaya Air Payau Jepara,
Jepara.
Veriswan, I. 2006. Perbandingan efektivitas abate dengan papain dalam menghambat pertumbuhan larva Aedes aegypti.
Karya Tulis Ilmiah, Universitas Diponegoro, Semarang.
Wardana, M.Y. 2011. Kajian prospek komoditas induk udang windu pada kawasan pesisir perairan pantai di daerah
Kabupaten Aceh Besar. Jurnal Agrisep, 12(1): 1-9.
Warisno. 2003. Budidaya kelapa genjah. Kanisius, Yogyakarta:.
Wickins, J. F., D. O. C Lee. 2002. Crustacean farming, ranching and culture. Blackwell Science, Oxford.
44
Download