BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan hidup berkaitan erat dengan kegiatan manusia dalam mengelola sumberdaya. Perubahan penggunaan lahan adalah salah satu faktor utama yang mempengaruhi kualitas lahan. Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, keadaan dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya (U.U.R.I No 23 th. 2007). Pengelolaan lingkungan adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijakan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan dan pengendalian lingkungan hidup (UU RI no 4 tahun 1982). Pengelolaan DAS bertujuan untuk melestarikan lingkungan yang mencakup penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan sedangkan pengendalian DAS dan bertujuan untuk melindungi lahan dari segala bentuk kerusakan, memperbaiki kondisi tanah, mengendalikan erosi dan menjaga kestabilan laju aliran air. Pengelolaan tersebut dikenal dengan pengelolaan terpadu, yaitu suatu bentuk dari berbagai kegiatan yang saling terkait secara serasi untuk mencapai suatu tujuan yang telah ditetapkan. Pengelolaan DAS terpadu berarti pengelolan yang terstruktur dan menyeluruh dari bagian hulu, tengah dan hilir. Komponen yang tidak dapat terlepas dari pengelolaan DAS baik yang berkaitan dengan laju aliran air permukaan (runoff) maupun erosi adalah tanah. Tanah adalah suatu benda alami heterogen yang terdiri atas komponen komponen padat, cair dan gas yang memiliki sifat dan perilaku yang dinamik. Tanah memiliki dua fungsi utama, yaitu (1) sebagai matriks tempat akar tumbuhan berjangkar dan lengas tanah tersimpan, dan (2) sebagai penyedia unsur hara bagi tumbuhan. Kedua fungsi tersebut dapat menurun atau hilang, yang selanjutnya disebut sebagai kerusakan tanah atau degradasi tanah (Arsyad, 2010). Tanah merupakan bagian dari permukaaan bumi yang terbentuk dari adanya proses fisik, kimiawi dan biologi yang ada di permukaan bumi yang 1 bekerja pada periode tertentu (Thonbury, 1954). Proses pembentukan tanah tidak terlepas dari proses geomorfologi yang meliputi aspek morfologi, morfostruktur, morfokronologi dan morfoaransemen yang membentuk suatu bentuklahan. Proses pembentukan tersebut mempengaruhi terjadinya degradasi lingkungan yang meliputi erosi dan longsor sehingga akan berpengaruh pada kesesuaian praktek konservasi yang diterapkan. Degradasi fisik, kimia, biologi dan nilai ekonomis tanah sebagai faktor kerusakan tanah antara lain terjadi karena (1) kehilangan unsur hara dan bahan organik dari daerah perakaran, (2) terakumulasinya garam di daerah perakaran (salinisasi), dan (3) penjenuhan tanah oleh air (water logging). Kerusakan oleh salah satu faktor atau lebih dapat menyebabkan berkurangnya kemampuan tanah untuk mendukung pertumbuhan tumbuhan atau menghasilkan barang dan jasa (Arsyad, 2010). DAS Secang merupakan sub DAS dari DAS Serang yang ada di Kabupaten Kulonprogo Yogyakarta, terletak di bagian paling hulu DAS Serang dengan bentuklahan denudasional dengan ciri-ciri adanya erosi yang sangat intensif. DAS Secang merupakan sub DAS dengan sungai utama adalah sungai Ngrancah yang outlet-nya ke Sungai Secang. Di bagian hulu DAS, sebagian besar massa air di akumulasikan ke Waduk Sermo, termasuk di dalamnya sedimen tanah yang terangkut erosi, sebagian diendapkan di Waduk Sermo. DAS Secang meliputi Desa Hargowilis dan Hargotirto. Keduanya merupakan desa dengan topografi berbukit dan bergunung. Sebagian besar penduduk mengolah daerahdaerah perbukitan menjadi kebun campuran dengan berbagai macam tanaman, baik pertanian maupun non pertanian. Sebagian besar pemanfaatan lahan, belum sesuai dengan kaidah konservasi tanah dan air (Sartohadi, 2008). Luas Sub DAS Secang kurang lebih 2070,88 Ha, dengan variasi kemiringan lereng, mulai dari landai sampai lereng sangat terjal (2%-lebih dari 50%). Erosi yang banyak terjadi di Sub DAS Secang dikontrol oleh faktor kepekaan erosi tanah dan kemiringan lereng. Antara kepekaan tanah dan kemiringan lereng, faktor yang lebih mendominasi terjadinya erosi di DAS Secang adalah faktor lereng (Tarigan, 2012). Bentuk konservasi yang biasa 2 dilakukan untuk merekayasa akibat erosi yang lebih didominasi faktor lereng adalah teras, karena teras berfungsi mengurangi panjang lereng dan menahan air, sehingga aliran permukaan relatif berkurang dan terserap oleh tanah sehingga erosi akan berkurang (Arsyad, 2010). Kartasapotra (dalam Ariyanto, 2004) menyatakan bahwa teras merupakan bentuk konservasi tanah yang paling baik untuk digunakan dalam pengaturan aliran air pada daerah dengan sudut lereng besar. Pemerintah daerah Kulonprogo sebagai penanggung jawab administratif telah melakukan program pemberdayaan masyarakat di daerah penelitian yang salah satunya berupa pelatihan pembuatan teras dan gully plug (Survei Lapangan, 2013). Pembuatan teras sebagai alternatif konservasi tanah memiliki syaratsyarat tertentu. Ada beberapa karakteristik satuan lahan yang sangat tepat diterapkan praktek konservasi tanah tetapi ada sebagian satuan lahan yang tidak sesuai. Berdasarkan uraian tersebut, penelitian ini mencoba meneliti, mengkaji dan mendeskripsikan praktek konservasi cara teras aktual yang ada di DAS Secang yang dirumuskan dalam judul penelitian berikut: Evaluasi Praktek Konservasi Tanah Cara Teras di DAS Secang Kecamatan Kokap Kabupaten Kulonprogo Daerah Istimewa Yogyakarta. 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang mengenai kerusakan lahan di DAS Secang dan alternatif metode konservasi berupa penerapan konservasi cara teras, maka permasalahan dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut ini. 1. Bagaimana penerapan konservasi tanah cara teras yang telah diterapkan di daerah penelitian? 2. Bagaimana bentuk evaluasi konservasi cara teras di daerah penelitian yang sudah diterapkan di daerah penelitian? 3 1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk 1. Mengidentifikasi dan mendeskripsikan praktek konservasi tanah cara teras di daerah penelitian. 2. Melakukan evaluasi terhadap bentuk penerapan konservasi cara teras di daerah penelitian. 1.4. Kegunaan Penelitian Kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut. 1) Bagi peneliti dimaksudkan untuk mengaplikasikan ilmu geografi khususnya pada konsentrasi konservasi tanah. 2) Untuk kepentingan ilmu pengetahuan khususnya konservasi tanah teras. 3) Memberikan pertimbangan kebijakan bagi instansi terkait di Kabupaten Kulonprogo mengenai konservasi tanah cara teras di DAS Secang Kecamatan Kokap. 1.5. Tinjauan Pustaka Daerah aliran sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang secara topografik dibatasi oleh punggung-punggung (igir) perbukitan dan pegunungan yang menampung dan menyimpan air hujan untuk kemudian menyalurkan ke laut melalui sungai utama (Asdak, 2004). Wilayah daratan tersebut dinamakan daerah tangkapan air (DTA) yang merupakan suatu ekosistem dengan unsur utamanya terdiri atas sumberdaya alam (tanah, air, dan vegetasi) dan sumberdaya manusia sebagai pemanfaat sumberdaya. Penelitian-penelitian lingkungan fisik direkomendasikan menggunakan batasan wilayah berupa DAS karena dampak integral lingkungan yang ditimbulkan dari suatu pengelolaan DAS kadang melewati batas batas administratif. Erosi tanah adalah proses dua fase yang terdiri atas penglepasan partikel tanah dari massa tanah dan dibawa oleh tenaga erosi seperti air dan angin, ketika telah tersedia energi yang cukup, partikel tanah akan dibawa oleh tenaga erosi dan diendapkan di suatu tempat (Morgan, 2005). Erosi alami yang berada pada 4 ambang batas normal tidak menjadi suatu permasalahan yang berarti, tetapi dalam tahap lanjut, erosi yang terjadi karena tindakan manusia yang berlebihan perlu mendapatkan perhatian serius, misalnya erosi yang terjadi karena kesalahan pengelolaan lahan atau penebangan hutan. Erosi tanah mengalami dua fase yaitu fase terlepasnya partikel tanah dari massa tanah, dan transportasi tanah oleh tenaga erosi baik air maupun angin, ketika ada energi yang cukup, maka tanah yang terbawa oleh tenaga erosi akan diendapkan di suatu tempat. Faktor-faktor pengontrol erosi meliputi erosivitas hujan, erodibilitas tanah, faktor lereng, vegetasi penutup dan penggunaan lahan. Konservasi tanah dalam arti yang luas adalah penempatan setiap bidang tanah pada cara penggunaan yang sesuai dengan kemampuan tanah dan memperlakukannya sesuai dengan syarat syarat yang diperlukan agar tidak terjadi kerusakan tanah (Arsyad, 2010). Dalam arti yang sempit, konservasi tanah berarti upaya untuk mencegah kerusakan tanah akibat erosi dan memperbaiki tanah yang rusak karena erosi. Tujuan utama dari konservasi tanah adalah mengurangi erosi sampai tingkat yang paling memungkinkan untuk dilakukan pemanfaatan tanah tanpa menimbulkan kerusakan lingkungan (Morgan, 2005). Prinsip utama dalam konservasi tanah adalah (1) menutup tanah untuk melindungi dari pukulan atas hujan langsung (2) meningkatkan kapasitas infiltrasi tanah untuk mengurangi limpasan (3) meningkatkan stabilitas agregat tanah, dan (4) meningkatkan kekasaran permukaan untuk mengurangi kecepatan aliran permukaan dan angin (Morgan, 2005). Konservasi tanah erat kaitannya dengan konservasi air, di dalamnya perlu dilakukan kerjasama yang erat antara berbagai disiplin ilmu pengetahuan (Arsyad, 2010). Metode konservasi tanah dapat digolongkan ke dalam tiga golongan utama, yaitu (1) metode vegetatif, (2) metode mekanik, dan (3) metode kimia. Metode vegetatif mengoptimalkan penggunaan tanaman atau bagian-bagian tanaman atau sisa-sisanya untuk meminimalisasikan terjadinya erosi tanah baik melalui penanaman berjalur, penggunaan sisa tanaman, pergiliran tanaman maupun agroforestri. Metode mekanik adalah semua perlakuan fisik mekanik yang diberikan terhadap tanah untuk mengontrol aliran permukaan dan erosi baik 5 dengan pengolahan tanah (tillage), pengolahan tanah menurut kontur, guludan, teras (terrace) dan perbaikan drainase (Morgan, 2005). Konservasi tanah dengan metode kimia meningkatkan stabilitas agregat tanah dan pencegahan erosi dengan penggunaan preparat kimia (soil conditioner), baik dengan menggunakan bahan kimia sintetik maupun bahan alami yang telah diolah (Arsyad, 2010). Konservasi secara mekanik memiliki dua prinsip, yaitu memperkecil laju limpasan permukaan sehingga daya rusaknya berkurang, dan atau menampung limpasan permukaan kemudian mengalirkannya melalui bangunan atau saluran yang telah dipersiapkan untuk tujuan pengurangan limpasan permukaan. Usaha untuk memperkecil limpasan permukaan bisa dilakukan dengan meningkatkan kekasaran permukaan, mengurangi kemiringan dan panjang lereng. Berdasarkan bentuk dan fungsinya, dikenal 3 macam teras : (a) Teras saluran (channel terrace) : dibangun untuk mengakumulasi aliran permukaan pada saluran yang telah disiapkan untuk selanjutnya dialirkan ke saluran utama (jalan air) sehingga aliran air tidak menyebabkan erosi. Teras saluran dibuat memotong arah lereng dengan membuat tanggul dengan saluran diatasnya. Tanah untuk tanggul diambil dari sisi atas, atau dari kedua sisi yaitu atas dan bawah. Gambar 1.1. menunjukkan ilustrasi teras saluran. Gambar 1.1. Teras Saluran (sumber : http://www.cd3wd.com) Persyaratan teknis pembuatan teras saluran : Kemiringan lereng : 3-10% Kedalaman tanah : > 30 cm Tipe erosi : erosi permukaan Penggunaan lahan : tanaman kayu Tekstur : kasar Lain-lain : permeabilitas cepat 6 Teras saluran dengan tanah diambil dari sisi atas dikenal sebagai teras Nichols dan teras saluran dengan tanah diambil dari kedua sisi (atas dan bawah) disebut teras Mangum. Gambar 1.2. Dua tipe teras saluran : (a) Teras Nichols (b) Teras Mangum (sumber : Morgan : 2005) Perkembangan dari prinsip teras saluran, di Indonesia dikenal dengan beberapa istilah penamaan teras yang lain, yaitu : (1) teras datar, (2) teras kredit dan (3) teras guludan. Teras datar dibuat pada daerah kering dengan kemiringan 3%, teras kredit pada kemiringan lereng 3-10%, dan teras guludan pada kemiringan >10%. Teras guludan berarti teras yang dilengkapi dengan gulud (tumpukan tanah) yang dilengkapi batuan atau ditanami tanaman penguat gulud. Gambar 1.3. Teras datar (sumber : http://www.cd3wd.com) Syarat pembuatan teras datar Kemiringan lereng : < 3% Kedalaman tanah : < 30 cm Tipe erosi : erosi permukaan Penggunaan lahan : tanaman semusim Kondisi permukaan tanah : tidak berbatu Curah hujan : rendah Lain-lain : tanah mudah menyerap air 7 Gambar 1.4. Teras kredit (Sumber : Morgan, 2005) Syarat pembuatan teras kredit Kemiringan lereng : 3-10% Kedalaman tanah : > 30 cm Tipe erosi : erosi permukaan Penggunaan lahan : tanaman semusim Tekstur : daya infiltrasi dan permeabilitas tinggi Lain-lain : (a) tidak sering terjadi hujan lebat (b) tenaga kerja cukup banyak (c) tidak ada kanal yang peka longsor Gambar 1.5. Teras Guludan (Sumber : Sitanala Arsyad, 2010) Syarat pembuatan teras guludan Kemiringan lereng : 10 -30 % Kedalaman tanah : > 30 cm Tipe erosi : erosi permukaan Penggunaan lahan : tanaman semusim Lain-lain (a) diterapkan pada tanah dengan permeabilitas dan infiltrasi tinggi (b) tenaga kerja dan modal terbatas (c) bervegetasi (d) dapat dilaksanakan pada lahan budidaya kayu-kayu/tahunan 8 Gambar 1.6. Teras individu (Sumber : Blanco,H., 2008) Persyaratan teknis teras individu : Kemiringan lereng : 15 -60% Kedalaman tanah : > 30 cm Tipe erosi : erosi permukaan Penggunaan lahan : tanaman kayu dengan tanaman penutup tanah (b) Teras bangku (bench terrace) : dibangun untuk mengurangi panjang lereng. Teras bangku dibuat dengan cara memotong lereng dan meratakan tanah di bagian bawahnya sehingga terjadi deretan menyerupai bangku (atau tangga) seperti ditunjukkan pada Gambar 1.7. Teras bangku terdiri atas : (1) teras bangku datar, (2) teras bangku miring, dan (3) teras bangku berlawanan lereng (steep terrace) Gambar 1.7.Teras bangku (sumber : Blanco, H., 2008) Persyaratan teknis pembuatan teras bangku Kemiringan lereng : 10-15% Kedalaman tanah : > 30 cm Tipe erosi : erosi permukaan Penggunaan lahan : tanaman semusim Lain-lain : (1) Diterapkan pada tanah dengan permeabilitas tinggi (2) Bervegetasi (3) Dapat dilaksanakan pada lahan budidaya kayu-kayuan/tahunan (4) Tenaga kerja dan modal terbatas 9 (c) Teras Irigasi (irrigation terrace). Teras irigasi adalah teras yang pada ujungnya dibuat tanggul agar air dapat disimpan pada teras tersebut untuk pengairan. Gambar 1.8.Teras irigasi (Sumber : Blanco,H. 2008) Geomorfologi memegang peranan penting dalam kajian konservasi. Konservasi lahan yang dilakukan pada suatu daerah tidak terlepas dari aspek geomorfologi yang membentuk lahan, yaitu relief permukaannya, material (genesa), struktur dan proses yang terjadi (Kumajas, 1993). Kajian geomorfologi untuk dasar penelitian konservasi disebut sebagai morfokonservasi (Verstappen, 1968). Aspek geomorfologi menjadi perhatian yang penting untuk usaha konservasi karena pada bentuklahan yang berbeda akan terjadi perubahan proses dan pembentukan tanah yang berbeda, dan ini akan mengakibatkan kerentanan terhadap air hujan yang berbeda sehingga terjadi perbedaan penerapan metode konservasi. 1.6. Keaslian Penelitian Penelitian Kus Nugroho Ariyanto (2004) berjudul Evaluasi Praktek Konservasi Teras Bangku di DAS Tinalah Kabupaten Kulonprogo menyebutkan beberapa parameter pembatas utama dalam penerapan praktek konservasi tanah menggunakan teras bangku. Penelitian Ariyanto menggunakan metode survei, dengan pendekatan satuan bentuklahan dengan pertimbangan keberadaan teras bangku pada satuan tersebut. Teknik sampling yang digunakan adalah metode stratified random sampling dengan satuan lahan yang berteras bangku sebagai dasar dalam strata-nya. 10 Hasil penelitian menunjukkan didapat 76, 08 % dari 30 satuan lahan seluas 884,18 ha sesuai menggunakan teras bangku, yang didominasi bentuklahan asal proses fluvial dan denudasional. Sebesar 23, 92% yang tersebar di satuan lahan asal proses struktural dan sebagian denudasional tidak cocok. Rekomendasi hasil penelitian Ariyanto untuk satuan lahan yang tidak sesuai dengan penerapan teras bangku direkomendasikan untuk dikonservasi menggunakan praktik teras guludan dan teras individu. Penelitian Kus Nugroho Ariyanto (2007) berjudul Kesesuaian Teras Bangku di DAS Loano, Kabupaten Purworejo Jawa Tengah menghubungkan antara konservasi teras bangku, evaluasi kesesuaiannya terhadap potensi erosi disertai dengan simulasi limpasan hujan yang terjadi di atas teras teras bangku yang ada di daerah penelitian. Penelitian Ariyanto (2007) juga menekankan pada persepsi masyarakat terhadap praktek konservasi teras bangku yang terdapat di DAS Loano. Metode yang digunakan dalam pengumpulan dan analisis data berupa survei lapangan. Metode sampling yang digunakan adalah purposive sampling dengan satuan lahan sebagai dasar stratifikasinya. Penelitian juga dilakukan dengan metode eksperimen yang mensimulasikan curah hujan untuk daerah pertanian yang berteras bangku dan tidak berteras. Hasil penelitian Ariyanto (2007) berupa peta kesesuaian praktik konservasi teras bangku di DAS Loano kabupaten Purworejo dan perspektif masyarakat yang menyatakan pola kebiasaan pembuatan teras yang dilakukan dari dulu. Dalam penelitian Ariyanto (2007) ditemukan juga besar efisiensi curah hujan terhadap permukaan tanah yang memungkinkan penerimaan air hujan masih bisa diterima oleh teras bangku sehingga tidak berfungsi secara destruktif. Penelitian Mithel Kumajas (1993) berjudul Kajian Morfokonservasi Daerah Tangkapan Hujan Danau Tondano mengidentifikasikan konservasi lahan pada Daerah Tangkapan Hujan Danau Tondano dengan menggunakan metode stratified random sampling. Unit analisis yang digunakan adalah peta satuan lahan yang dibuat dengan menumpangsusunkan peta bentuklahan, tanah, lereng dan penggunaan lahan di daerah penelitian. Unit analisis didasarkan pada 11 prinsip bahwa bentuklahan yang berbeda akan menentukan perkembangan lahan yang berbeda dan konservasi tanah yang berbeda. Penelitian Aries Dwi Wahyu Rahmadana (2013) berjudul Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Kritis Berbasis Pendekatan Geomorfologi di DAS Loano, bertujuan untuk mempelajari karakteristik DAS, menganalisis tingkat kekritisan DAS dan menentukan strategi konservasi untuk DAS Loano dengan pendekatan geomorfologi. Metode yang digunakan adalah interpretasi kontur dan citra ASTER serta survei lapangan untuk identifikasi satuan bentuklahan dan identikasi faktor penghambat dengan menggunakan permodelan. Rekomendasi strategi dilakukan dengan mempertimbangkan karakteristik satuan bentuklahan dan faktor penghambat. Berdasarkan penelitian-penelitian terdahulu, maka penelitian ini dituliskan dengan keaslian ide dengan judul “Evaluasi Konservasi Tanah Cara Teras Bangku di DAS Secang Kecamatan Kokap Kabupaten Kulonprogo”. Perbandingan keaslian penelitian dengan penelitian terdahulu dapat dilihat pada Tabel 1.1. 12 Tabel 1.1.Perbandingan keaslian penelitian dengan penelitian terdahulu No. 1. Judul Penelitian, Peneliti dan Tahun Evaluasi Praktek Konservasi Teras Bangku di DAS Tinalah Kabupaten Kulonprogo Kus Nugroho Ariyanto (2004) Tujuan Metode Hasil 1. Mengkaji faktor yang mempengaruhi konservasi tanah cara teras. 2. Mengevaluasi praktek teras bangku di daerah penelitian. 3. Menentukan praktek untuk konservasi tanah cara teras selain teras bangku di daerah penelitian. Teknik sampling yang digunakan adalah metode stratified random sampling dengan satuan lahan yang berteras bangku sebagai dasar dalam strata-nya. Hasil penelitian menunjukkan 76, 08 % dari 30 satuan lahan seluas 884,18 ha sesuai untuk teras bangku, yang didominasi bentuklahan asal fluvial dan denudasional. 23, 92% dari luas yang tersebar di satuan lahan asal proses struktural dan sebagian denudasional tidak cocok. Satuan lahan yang tidak cocok diterapkan konservasi teras bangku direkomendasikan dengan teras guludan dan teras individu. Hasil penelitian berupa peta kesesuaian praktek konservasi teras bangku di DAS Loano, perspektif masyarakat terkait pola pembuatan teras yang dilakukan dari dulu dan besarnya nilai efisiensi curah hujan terhadap permukaan tanah yang memungkinkan penerimaan air hujan masih bisa diterima oleh teras bangku sehingga tidak berfungsi secara destruktif. Peta morfokonservasi berisi sebaran konservasi di daerah tangkapan hujan Danau Tondano sebagai dasar kajian pengelolaan lahan. 2. Kesesuaian Teras Bangku di DAS Loano, Kabupaten Purworejo Jawa Tengah Kus Nugroho Ariyanto (2007) Metode purposive sampling Mengetahui kesesuaian praktek dalam penentuan titik teras konservasi tanah cara teras dan pembuatan simulasi bangku di daerah penelitian limpasan. kaitannya dengan besar limpasan. 3. Kajian Morfokonservasi Daerah Tangkapan Hujan Danau Tondano. Mithel Kumajas (1993) Mengetahui sebaran konservasi tanah di daerah tangkapan hujan Danau Tondano dan melihat keterkaitannya dengan sebagaran geomorfologi daerah kajian. Metode stratified random sampling. Unit analisis yang digunakan adalah peta satuan lahan dari overlay peta bentuklahan, lereng, tanah dan penggunaan lahan. 13 5. Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Kritis Berbasis Pendekatan Geomorfologi di DAS Loano Aries Dwi Wahyu Rahmadana (2013) Mempelajari karakteristik DAS, menganalisis tingkat kekritisan DAS Loano serta menentukan arahan untuk konservasi lahan di DAS Loano dengan pendekatan geomorfologi. 6. Evaluasi Praktek Konservasi Tanah Cara Teras di DAS Secang Siti Fatimah (2015) 1. Mengidentifikasi praktek konservasi tanah cara teras di daerah penelitian. 2. Melakukan evaluasi penerapan konservasi cara teras di daerah penelitian. Interpretasi kontur RBI, citra Aster dan survei untuk identifikasi bentuklahan. Identifikasi faktor pembatas kekritisan DAS menggunakan permodelan Peta morfokonservasi DAS Loano sebagai dasar strategi konservasi yang dapat diterapkan untuk memperbaiki status DAS Loano menggunakan rekomendasi masing-masing faktor penghambat pada satuan bentuklahan. aligned Peta persebaran teras DAS Secang dan deskripsi masing-masing bentuklahan dan peta kesesuaian sampling (transek) dengan penerapan teras masing-masing penerapan teras. satuan bentuklahan sebagai Metode stratified unit analisis. (Sumber : Studi Pustaka, 2014) 14 1.7. Kerangka Pemikiran Lahan dengan tingkat erosi tinggi rawan terjadi degradasi lahan. Tindakan untuk mengurangi tingkat degradasi lahan diperlukan adanya konservasi tanah. Metode konservasi tanah terdiri atas beragam cara, yaitu vegetatif, mekanik, maupun kimiawi. Penentuan metode konservasi harus menggunakan berbagai macam pertimbangan, tetapi pada kenyataanya, perlakuan konservasi banyak yang tidak sesuai dengan kaidah konservasi tanah. Kurangnya pertimbangan yang dilakukan sebelum melakukan praktek konservasi tanah yang tepat seringkali justru menjadi faktor yang mempercepat terjadinya degradasi lahan. Kerangka pemikiran dalam penelitian ini ditunjukkan pada Gambar 1.9. Lahan Faktor Alami Bentuklahan Aktivitas Manusia Lereng Penggunaan Lahan Proses geomorfologi Vegetasi Dinamika lahan Longsor dan Erosi Rekayasa teknik Penerapan Teras Faktor Pembatas Gambar 1.9. Kerangka Pemikiran 15 1.8. Batasan Istilah Bangunan teras adalah suatu bangunan konservasi tanah dan air yang secara sipil dibuat untuk memperpendek panjang lereng dan memperkecil kemiringan lereng, dengan cara penggalian dan pengurugan tanah, sehingga urugan tanah memotong/melintang lereng (Sukmana, dalam Ariyanto 2004) Bentuklahan adalah kenampakan medan yang dibentuk oleh proses-proses alami, yang mempunyai komposisi tertentu dan julat karakteristik fisikal dan visual dimanapun ditemukan (Van Zuidam, 1979) Evaluasi Praktek Konservasi Tanah adalah adalah proses penaksiran aspek pendukung konservasi tanah dengan perbandingan bentuk konservasi yang lebih sesuai. Kedalaman Tanah Kedalaman tanah diukur dari permukaan ke bawah hingga zona perakaran atau hingga tidak tembus akar atau sampai batuan keras lapuk atau sampai batas impermeabel lainnya seperti padas. (Stocking and Murnaghan (2000) dalam Wardhana, 2013) Kemiringan Lereng adalah perbandingan beda tinggi antara dua titik dengan jarak horisontal kedua titik tersebut. Kemiringan lereng dinyatakan dengan derajat (0) atau persen (%) Konservasi tanah adalah penggunaan tanah sesuai dengan daya guna dan kemampuan tanah, jika sudah dimanfaatkan maka harus ada upaya memelihara/mempertahankan produktivitasnya (Utomo,1994) Lahan adalah wilayah di permukaan bumi yang mempunyai sifat-sifat agak tetap atau pengulangan sifat-sifat dari biosfer secara vertikal di atas maupun di bawah wilayah tersebut, termasuk atmosfer, tanah, geologi, geomorfologi, hidrologi, tumbuhan, binatang serta hasil kegiatan manusia masa lalu ataupun masa sekarang, dan perluasan sifat-sifat tersebut. Berpengaruh terhadap penggunaan lahan sekarang ataupun di masa mendatang (FAO, 1983) 16 Satuan lahan adalah luasan area dari lahan yang dapat dipetakan dan merupakan satuan pemetaan terkecil yang mempunyai karakteristik tertentu yang dapat digunakan dalam evaluasi lahan (FAO (1983) Tanah adalah tubuh alam gembur yang menyelimuti sebagian besar permukaan bumi, mempunyai sifat dan karakteristik fisik, kimia, biologi serta morfologi yang khas akibat dari berbagai proses panjang yang membentuknya (Sartohadi dkk., 2011) Teras adalah bangunan konservasi secara mekanik yang dibuat dengan cara mengurangi panjang lereng dan menahan air sehingga mengurangi kecepatan dan jumlah aliran permukaan serta memungkinkan penyerapan air oleh tanah. Dengan demikian maka erosi berkurang (Arsyad, 2010) Teras bangku adalah teras yang dibuat sedemikian rupa dengan memotong suatu lereng dan meratakan tanah dibawahnya sehingga susunannya menyerupai bangku atau tangga (Arsyad, 2010) Teras saluran adalah teras yang dibangun untuk mengumpulkan air aliran permukaan (overland flow) kemudian dialirkan pada jalan air (Utomo, 1994) Teras datar adalah teras saluran yang dibuat pada daerah kering dan lereng 3% (Utomo, 1994) Teras kredit adalah teras saluran yang dibuat pada daerah dengan kemiringan lereng 3-10% (Utomo, 1994) Teras guludan adalah teras saluran yang dibuat pada daerah dengan kemiringan lereng >10%. (Utomo, 1994) Teras individu adalah dibuat pada lahan dengan kemiringan lereng antara 30 – 50 % yang direncanakan untuk areal penanaman tanaman perkebunan di daerah yang curah hujannya terbatasTeras dibuat berdiri sendiri untuk setiap tanaman (pohon) sebagai tempat pembuatan lobang tanaman. (Utomo, 1994) Teras irigasi adalah teras yang dibuat dengan adanya saluran pada kaki teras. Saluran air ini dibuat untuk mengurangi aliran permukaan pada keseleuruhan teras. (Utomo, 1994) 17