13 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Teori Stimulus Organism Respons (SOR) Berbagai teori telah diusulkan untuk menjelaskan secara perilaku pembelian impulsif, salah satunya adalah model stimulus organism response (SOR) (Parboteeah et al., 2009). Pembelian impulsif biasanya dikonseptualisasikan sebagai perilaku reaksioner yang melibatkan respon langsung terhadap rangsangan disajikan dalam lingkungan ritel (Smith dan Sivakumar, 2004). Teori stimulus organism response (SOR) yang dikemukakan oleh Mehrabian dan Russell (1974) dalam Jang dan Young (2009) menunjukkan pengaruh antara stimulus lingkungan eksternal terhadap perilaku individu. Model SOR menunjukkan rangsangan eksternal (stimulus) menyebabkan konsumen untuk membuat evaluasi (organism), yang pada akhirnya menyebabkan perilaku (response). Model SOR juga menggambarkan mekanisme bagaimana elemen lingkungan mempengaruhi keadaan internal dan mempengaruhi perilaku individu. Elemen lingkungan memberikan rangsangan eksternal (stimulus) kepada individu untuk melakukan evaluasi sampai akhirnya melakukan suatu perilaku atau tindakan. Model SOR telah diterapkan oleh beberapa peneliti untuk menjelaskan pembelian impulsif secara online seperti yang dilakukan oleh Madhavaram dan Laverie (2004) serta Parboteeah et al. (2009). Pada konteks belanja offline, konsumen dapat berinteraksi langsung dengan produk yang sebenarnya 14 sedangkan, belanja online harus dimediasi melalui situs web. Pengalaman dengan situs web secara keseluruhan lebih relevan dan dekat dengan perilaku pembelian akhir, bukan dari fitur spesifik dari situs web (Shen dan Khalifa, 2012). Pada penelitian ini, yang menjadi dorongan (stimulus) adalah atribut produk pakaian. Rangsangan berupa atribut produk pakaian seperti keragaman pilihan, harga, dan atribut sensori produk mempengaruhi individu untuk melakukan evaluasi (organism) dengan melakukan web browsing hedonism. Web browsing hedonism nantinya diharapkan menghasilkan pengaruh emosi dari pembeli untuk mendorong mereka melakukan tindakan (response) berupa pembelian secara impulsif secara online. 2.2 Perilaku Pembelian Impulsif Pembelian impulsif didefinisikan sebagai pembelian yang belum direncanakan terlebih dahulu, memainkan peran penting dalam penjualan suatu ritel (Muruganantham dan Bhakat, 2013). Pembelian impulsif biasanya terjadi ketika seorang konsumen merasakan motivasi yang kuat yang berubah menjadi keinginan untuk membeli barang langsung (Tirmizi et al., 2009). Stren (1962) dalam Muruganantham dan Bhakat (2013) mengkatagorikan pembelian impulsif dalam empat kelompok, yaitu: a) Pembelian impulsif murni (Pure impulse buying) Pembelian impulsif murni terjadi pada pembelian baru yang menghancurkan pola pembelian normal. Pada Pembelian impulsif murni, individu sebelumnya tidak berniat untuk membeli suatu barang. 15 b) Pembelian impulsif pengingat (Reminder impulse buying) Pembelian impulsif pengingat terjadi ketika ingatan seorang konsumen akan suatu produk menjadi rendah atau membutuhkan barang ketika dia melihat di toko atau teringat iklan tentang suatu barang dan keputusan sebelumnya untuk membeli. Individu secara spontan memutuskan untuk membeli barang yang didasarkan pada pengalaman atau ingatan sebelumnya. c) Pembelian impulsif saran (Suggestion impulse buying) Pembelian impulsif saran terjadi ketika seorang konsumen melihat produk untuk pertama kalinya di toko dan kemudian terbayang kebutuhan untuk hal itu. Individu melihat produk pada rak atau etalase kemudian memutuskan untuk membelinya. d) Pembelian impulsif terencana (Planned impulse buying) Pembelian impulsif terencana terjadi ketika seorang konsumen memasuki toko dengan niat untuk membeli barang tertentu, namun membeli barangbarang lainnya juga bisa terjadi tergantung pada promosi penjualan. Individu pergi ke toko dengan pembelian yang sudah direncanakan tetapi juga mempertimbangkan pembelian lainnya. Mirip dengan konteks belanja di ritel konvensional, penelitian terbaru menemukan bahwa pembelian impulsif juga menjadi perhatian penting dalam konteks belanja online (Ling dan Yazdanifard, 2015). Verhagen dan Dolen (2011) menunjukkan bahwa 40 persen dari pembelian online dapat dikaitkan dengan pembelian impulsif. Hal tersebut dipicu oleh faktor situasional belanja impulsif secara online dikarenakan kemudah akses serta kesempatan untuk akses promosi 16 harga barang yang lebih murah. Pembelian impulsif terjadi ketika orang-orang mendapat dorongan yang membuat mereka melakukan pembelian yang tidak diinginkan, tidak bisa dicerminkan, langsung melakukan pembelian, dan sering merasa terpanggil untuk membeli produk (Park et al., 2011). Berdasarkan uraian di atas dapat dijelaskan bahwa pembelian impulsif merupakan adanya motivasi yang kuat untuk melakukan pembelian yang tidak direncanakan secara spontan dengan karakteristik dalam pengambilan keputusannya dilakukan dalam waktu yang relatif cepat dan adanya keinginan untuk memiliki secara cepat. 2.3 Web browsing hedonism Secara sederhana browsing dapat diartikan sebagai kegiatan menjelajah, menelusuri, atau mencari. Kegiatan browsing sebagai tahap awal dalam proses pembelian impulsif memiliki beberapa pengertian dari sejumlah penelitian terdahulu. Beatty dan Ferrell (1998) dalam Madhavaram dan Laverie (2004) mengemukakan kegiatan pencarian (browsing) di dalam toko, seperti memeriksa barang dagangan dengan tujuan mencari informasi ataupun rekreasi mempengaruhi keputusan pembelian konsumen. Browsing merupakan kegiatan “berselancar” di internet (Lumintang, 2012). Kegiatan ini dianalogikan seperti berjalan-jalan di suatu toko atau mall sambil melihat-lihat produk yang ada tanpa membeli apapun. Verhagen dan Dolen (2011) menyatakan browsing adalah pemeriksaan barang dagangan di toko untuk tujuan rekreasi dan mencari informasi tanpa ada niat untuk membeli. Web browsing merupakan suatu tahapan 17 ketika konsumen mencari suatu informasi dan membuat pilihan melalui internet (Park et al., 2011). Pengumpulan informasi eksternal ini merupakan kegiatan yang dapat menentukan konsumen apakah mereka ingin membeli atau tidak membeli produk melalui internet. Web browsing hedonism, lebih fokus pada pemenuhan motivasi hedonis yang mengacu untuk memenuhi perilaku konsumsi dalam rangka mencari hal-hal baru, fantasi, hiburan, dan kesenangan. Manfaat motivasi hedonis adalah pengalaman dan emosional bagi pelanggan (Park et al., 2011). Lingkungan secara online mendorong seseorang untuk mengeksplorasi kesenangan (Huang, 2005). Kemudian pada konteks online, nilai hedonis berdiri sebagai penilaian secara keseluruhan dari manfaat pengalaman dan fantasi. Bahkan, konsumen yang melakukan pembelian untuk rekreasi atau hiburan mengharapkan tingkat tinggi nilai hedonis (Nurmikko, 2011). Konsumen yang mengunjungi ritel online tidak hanya untuk mengumpulkan informasi dan membeli produk, tetapi mereka juga mencoba untuk memenuhi kebutuhan pengalaman dan emosi (Kim, 2008). Berdasarkan beberapa uraian tentang web browsing hedonism tersebut dapat dijelaskan bahwa web browsing hedonism merupakan perasaan emosional yang dirasakan konsumen atau pengunjung situs dari pengalaman pencarian informasi atau hiburan di suatu situs yang bersifat mencari suatu hal yang baru, fantasi dan kesenangan. 18 2.4 Atribut Produk Pakaian Atribut produk merupakan unsur-unsur pada suatu produk yang dipandang penting oleh konsumen dan dijadikan dasar pengambilan keputusan pembelian (Tjiptono, 2008). Hal yang hampir sama juga dinyatakan Hasan (2008), atribut produk yang setidaknya penting dipandang konsumen untuk dijadikan dasar pengambilan keputusan pembelian adalah merek, kemasan, labeling, garansi, dan pelayanan. Atribut-atribut produk tersebut sangat berpengaruh terhadap reaksi pelanggan akan suatu produk. Atribut produk merupakan karakteristik dari produk atau jasa yang menghasilkan kemampuan untuk memuaskan yang dinyatakan atau tersirat pada kebutuhan konsumen (Kotler dan Amstrong, 2012). Berarti atribut produk merupakan karakteristik yang melekat pada suatu produk atau jasa yang dijadikan sebagai dasar pengambilan keputusan pembelian oleh konsumen. Beberapa studi sebelumnya mengidentifikasi bahwa atribut produk pakaian sangat penting bagi konsumen dalam pengambilan keputusan pembelian. Suatu studi mengungkapkan bahwa konsumen di Amerika Serikat mempertimbangkan atribut seperti gaya, dan kain membuat keputusan pembelian pakaian (Eckman et al., 1990 dalam Bennur dan Jin, 2013). Pernyataan tersebut juga didukung oleh Miller et al. (2005), yakni konsumen Amerika Serikat mempertimbangkan atribut seperti gaya pakaian, bahan kain, dan warna yang ditemukan menjadi acuan dalam keputusan pembelian. Studi lain yang menemukan harga dan kualitas menjadi atribut penting yang mempengaruhi pembelian pakaian konsumen di Cina (Dickson et al., 2004). Konsumen Taiwan 19 lebih mempertimbangkan atribut seperti, warna, kualitas, kandungan serat, merek, dan kenyamanan dalam keputusan pembeliannya (Wang dan Heitmeyer, 2005). Pentingnya atribut pakaian tertentu, seperti gaya, harga, dan merek dalam pengambilan keputusan pembelian pakaian pada remaja (Burger dan Herbst, 2002). Atribut produk berperan penting dalam keputusan pembelian pakaian pada wanita (North et al., 2003). Atribut produk tertentu di situs mendorong perilaku browsing konsumen kemudian menyebabkan perilaku pembelian impulsif. Atribut produk seperti harga dan keragaman pilihan berpengaruh terhadap nilai hedonis (Irani dan Hanzaee, 2011). Atribut produk pada sebuah situs web adalah stimulus penting untuk mempromosikan web browsing karena konsumen tidak bisa mencoba atau menyentuh pakaian dalam konteks belanja online. 2.4.1. Keragaman pilihan produk Keragaman produk atau variasi produk merupakan suatu unit tersendiri dalam suatu merek atau lini produk yang dapat dibedakan berdasarkan ukuran, harga, penampilan atau atribut lainnya (Tjiptono, 2008). Mclior dan Rays (2008) dalam Park et al. (2011) menyatakan variasi produk merupakan berbagai macam pilihan produk dan barang pelengkap yang disediakan dalam suatu ritel atau toko. Jadi dapat dijelaskan bahwa keragaman pilihan produk merupakan macam-macam pilihan lini produk yang disediakan suatu ritel atau toko berdasarkan ukuran, penampilan serta ciri yang lain. 20 Keragaman pilihan produk penting bagi konsumen karena memberikan kesempatan bagi konsumen untuk membandingkan, membedakan dan memilih diantara beberapa solusi potensial yang dapat memenuhi kebutuhan konsumen. Keragaman merchandise atau produk di suatu ritel bertujuan agar para konsumen dimanjakan dengan banyaknya pilihan (Tinjung dan Herlina, 2012). Ritel harus menawarkan keberagaman yang cukup untuk memuaskan kebutuhan dan harapan konsumen, tetapi tidak terlalu banyak sehingga membingungkan konsumen dan akhirnya menurunkan niat pembelian konsumen (Utami, 2010). Pembelian berdasarkan mencari keragaman (variety-seeking) juga termasuk dalam bidang pengalaman (Mowen dan Minor, 2002). Mencari keragaman mengacu pada kecenderungan konsumen untuk secara spontan membeli merek produk baru meskipun mereka terus mengungkapkan kepuasan mereka dengan merek yang lama. Pembelian berdasarkan mencari keragaman diklasifikasikan sebagai bersifat pengalaman, karena pembelian tersebut dilakukan untuk mempengaruhi perasaan. Apabila konsumen merasa jenuh, mereka akan merasa di bawah optimal, dengan membeli merek baru mereka mencoba untuk membuat diri mereka menjadi lebih baik. 2.4.2 Kebijakan Harga Kebijakan harga menjadi salah satu elemen penting bagi perusahaan untuk menarik minat konsumen untuk membeli produk yang ditawarkan. Harga merupakan salah satu atribut penting yang dievaluasi oleh konsumen, dan manajer perlu benar-benar menyadari peran harga tersebut dalam pembentukan sikap 21 konsumen (Mowen dan Minor, 2002). Harga sebagai atribut produk atau jasa yang paling sering digunakan oleh sebagian besar konsumen untuk mengevaluasi produk (Sumarwan, 2004). Bagi sebagian besar konsumen Indonesia yang masih berpendapatan rendah, harga adalah faktor utama yang dipertimbangkan dalam memilih produk maupun jasa. Hal tersebut membuat konsumen sangat sensitif terhadap harga. Berarti kebijakan harga merupakan sejumlah satuan mata uang yang ditetapkan oleh perusahaan terhadap suatu produk sebagai bahan evaluasi bagi konsumen untuk mendapatkan suatu produk. Secara historis, harga telah menjadi faktor utama yang mempengaruhi pilihan pembeli, meskipun faktor selain harga juga dianggap penting. Namun, harga masih tetap menjadi salah satu elemen yang paling penting dalam menentukan pembelian konsumen yang dapat meningkatkan pangsa pasar dan profitabilitas suatu perusahaan (Kotler dan Armstrong, 2012). Konsumen menganggap bahwa berbelanja merupakan suatu permainan pada saat tawarmenawar harga, atau pada saat konsumen mencari tempat pembelanjaan yang menawarkan diskon, obralan, ataupun tempat berbelanja dengan harga yang murah (Utami, 2010). Konsumen dengan motivasi hedonis lebih peka terhadap informasi harga, dan sangat penting untuk menentukan browsing hedonis dan pembelian impulsif secara online (Park et al., 2011). Harga produk di ritel online biasanya lebih murah dibandingkan ritel konvensional karena sebagian besar ritel online tidak mengenakan pajak penjualan kepada konsumen (Sirhindi, 2010). Dengan harga produk lebih murah dapat memicu pembelian impulsif secara online. 22 2.4.3 Atribut sensori produk Atribut sensori produk merupakan suatu karakteristik seperti penampilan, bau, rasa, tekstur dan suara yang terdapat pada suatu produk yang bisa dirasakan oleh panca indera, seperti penglihatan, penciuman, pengecapan, sentuhan dan pendengaran (Meilgaard et al., 2006). Atribut sensori produk digunakan sebagai stimulus kepada sistem sensori konsumen yang nantinya dijadikan sebagai acuan dalam keputusan pembelian suatu produk. Atribut sensori yang dijadikan pertimbangan konsumen dalam pembelian pakaian adalah ketika konsumen melihat tampilan dan menyentuh tesktur dari pakaian tersebut. Penampilan produk sering digunakan sebagai dasar keputusan untuk membeli atau mengkonsumsi suatu produk (Meilgaard et al., 2006). Pernyataan tersebut didukung oleh McCorkle (1990) dalam Park et al. (2011) menjelaskan bahwa tampilan pakaian seperti bahan kain, warna, dan desain merupakan kriteria utama untuk pembelian pakaian. Selain penampilan produk, penting untuk disadari bahwa pembelian pakaian mencakup banyak isyarat sensori yang menjadi aktif ketika menyentuh dan mencoba. Menyentuh dan mencoba merupakan faktor-faktor yang meningkatkan pembelian impulsif (Peck dan Childers, 2003). Lebih lanjut dijelaskan bahwa sentuhan yang membangkitkan perasaan menyenangkan, gairah, stimulasi sensorik dan fantasi konsumen. Terdapat perbedaan pengaruh atribut sensori pada pembelian pakaian di ritel konvensional dengan ritel online. Belanja di ritel konvensional pelanggan secara fisik dapat melihat, menyentuh, dan mencoba produk. Sedangkan, belanja 23 di ritel online konsumen hanya bisa melihat produk secara visual tanpa bisa menyentuh dan mencobanya. Konsumen hanya bisa memanfaatkan informasi atribut sensori produk secara visual, seperti warna, desain, dan bahan sebagai pertimbangan dalam membeli pakaian secara online (Kim dan Knight, 2007).