I. Pendahuluan Tujuan pendidikan adalah memberikan pengalaman belajar yang meliputi domain kognitif, afektif, dan psikomotorik secara bermakna, yang berfungsi menyiapkan siswa menjalani kehidupan dalam era global yang sangat kompleks ini. Buchori (2000) menekankan bahwa pendidikan yang bermakna dapat menolong kita, sedangkan pendidikan yang tidak bermakna hanya menjadi beban hidup. Karena itu kebermaknaan belajar menjadi isu penting dalam pendidikan seperti yang telah dilaporkan kepada UNESCO oleh the International Commission on Education for the Twenty-first Century (Delors, 1995). Laporan itu mengatakan bahwa untuk memenuhi tuntutan kehidupan masa depan, pendidikan tradisional yang sangat quantitatively-oriented and knowledge-based tidak lagi relevan. Melalui pendidikan, setiap individu mesti disediakan berbagai kesempatan belajar sepanjang hayat; baik untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap maupun untuk dapat menyesuaikan diri dengan dunia yang kompleks dan penuh dengan saling ketergantungan. Untuk itu, pendidikan yang relevan harus bersandar pada empat pilar pendidikan, yaitu (1) learning to know, yakni siswa mempelajari pengetahuan, (2) learning to do, yakni siswa menggunakan pengetahuannya untuk mengembangkan keterampilan, (3) learning to be, yakni siswa belajar menggunakan pengetahuan dan keterampilannya untuk hidup, dan (4) learning to live together, yakni siswa belajar untuk menyadari adanya saling ketergantungan sehingga perlu kesadaran untuk saling menghargai antara sesama manusia. Dalam konteks pembelajaran, kebermaknaan ini diartikan sebagai penjabaran tujuan pendidikan dalam suatu proses belajar mengajar yang bersifat linier, artinya adanya kesesuaian antara perencanaan, pelaksanaan, dan asesmen; yang memungkinkan terbentuknya kompetensi life skills. Terkait dengan itu, salah satu isu krusial pendidikan kita dewasa ini adalah adanya kecenderungan sistem asesmen yang tidak dapat mencerminkan kebermaknaan belajar seperti yang dimaksudkan oleh laporan komisi pendidikan di atas. Asesmen memang merupakan satu tahapan dalam siklus pembelajaran, yang peranannya tidak bisa diabaikan. Dikatakan demikian 1 karena asesmen minimal dapat menghasilkan dua hal yaitu: pertama, sebagai umpan balik pada proses pembelajaran, dan kedua, dapat memberikan informasi mengenai kualitas perolehan pada subjek didik. Kecenderungan evaluasi di sekolah yang lebih memfokus pada satu jenis sistim evaluasi, yaitu penggunaan tes objektif secara berlebihan menimbulkan kerisauan yang sangat serius di kalangan ahli maupun praktisi pendidikan, karena diprediksi hanya mampu menghasilkan pengembangan kognitif semata. Fogarty (1996) mengatakan bahwa bentuk tes objektif digunakan terutama untuk ujian penentuan (judgmental testing) dalam rangka menyeleksi dan mengevaluasi siswa. Tes seperti ini sangat sedikit kontribusinya terhadap pembelajaran sehingga tidak tepat digunakan untuk semua penilaian yang dilakukan di sekolah. Ketidaktepatan penggunaan tes objektif untuk semua jenis penilaian tersebut terkait dengan keterbatasan yang ada pada tes objektif itu sendiri. Salvia dan Ysseldike (1996) menyebutkan tiga kelemahan utama tes objektif, yaitu (1) ketergantungan yang terlalu besar pada pola acuan normatif dalam menentukan prestasi belajar, (2) kebingungan guru terhadap apa yang mesti diajarkan karena adanya orientasi pada keberhasilan dalam mengerjakan tes (test-oriented learning), dan (3) ketergantungan yang sangat besar pada pengukuran objektif dan numerik. Model penilaian seperti itu dianggap tidak mampu mengukur kemampuan siswa yang sebenarnya karena hanya terfokus pada beberapa aspek saja; jadi tidak memberi kesempatan pada siswa untuk menunjukkan kemampuan dan kelebihan masing-masing. Pendidikan saat ini harus mampu membekali setiap pebelajar dengan pengetahuan, keterampilan, serta nilai-nilai dan sikap, dimana proses belajar bukan semata-mata mencerminkan pengetahuan (knowledge-based) tetapi mencerminkan keempat pilar di atas. Melalui keempat pilar itulah dapat terbentuk kompetensi. Pendidikan Indonesia dengan cepat telah merespon terhadap kebutuhan pendidikan global seperti yang diisyaratkan dalam empat pilar pendidikan, yaitu melalui pencanangan kurikulum berbasis kompetensi, yang selanjutnya berubah menjadi kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP). Adanya pengakuan terhadap muatan kurikulum dari kearifan lokal melalui 2 pengembangan kurikulum berbasis sekolah, telah menunjukkan kesadaran tentang pentingnya pendidikan yang relevan dengan tuntutan kehidupan. Kompetensi adalah pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap yang memfasilitasi pebelajar dalam berfikir dan bertindak sesuai dengan situasi yang dihadapi. Seseorang dikatakan kompeten apabila padanya terbentuk suatu kemampuan yang dapat diandalkannya dalam menghadapi tuntutan kehidupan. Dengan kata lain, kompetensi dibangun agar setiap individu dapat survived dalam menghadapi kehidupan yang penuh dengan tantangan dalam era global ini. Pembentukan kompetensi mensyaratkan dilakukannya asesmen yang bersifat komprehensif, dalam arti, asesmen dilakukan terhadap proses dan produk belajar. Bila pada masa yang lalu fokus pembelajaran adalah pada produk belajar, pada masa sekarang proses dan produk mendapat porsi perhatian yang seimbang. Hal ini didasari oleh asumsi bahwa suatu produk yang baik seyogyanya didahului oleh proses yang baik. Untuk meyakinkan hal tersebut, perlu dilakukan pemantauan terhadap proses. Disamping itu, dengan dilakukannya pemantauan selama proses, terbuka peluang bagi pebelajar untuk mendapatkan umpan balik yang dapat digunakannya untuk menghasilkan produk terbaik. Dengan uraian di atas, kini dapat dipahami kenapa KTSP menetapkan penggunaan asesmen berbasis kelas (ABK) dalam praktik asesmen di sekolah. ABK dilakukan sebagai upaya penjaminan pembentukan kompetensi (kemampuan nyata berupa suatu unjuk kerja) karena meliputi pemantauan terhadap proses dan produk belajar; dan menggunakan berbagai teknik pengumpulan data dari jenis tes objektif maupun asesmen otentik. Nitko (1996) mengatakan bahwa hampir 50 persen kegiatan pembelajaran diisi dengan kegiatan yang berkaitan dengan asesmen. Oleh karenanya, asesmen merupakan hal integral dalam pembelajaran yang perannya sangatlah penting. II. TERMINOLOGI DALAM KHASANAH ASESMEN Dalam konteks pendidikan, dewasa ini istilah asesmen atau penilaian lebih banyak digunakan pada sistem pengujian dibandingkan dengan pada masa-masa yang lalu. Ada tiga istilah yang terkait dengan konsep pengujian 3 dan yang sering digunakan untuk mengetahui keberhasilan belajar peserta didik, yaitu pengukuran, asesmen atau penilaian, dan evaluasi. Menurut Popham (1975), pengukuran adalah suatu tindakan menentukan sejauhmana (the degree to which) seseorang memiliki suatu atribut tertentu. Pengukuran menurut Guilford (1982) adalah proses penetapan angka terhadap suatu gejala menurut aturan tertentu. Pengukuran pendidikan berbasis kompetensi dasar berdasarkan pada klasifikasi observasi unjuk kerja atau kemampuan peserta didik dengan menggunakan suatu standar. Pengukuran dapat mengunakan tes dan non-tes. Tes adalah seperangkat pertanyaan yang memiliki jawaban benar atau salah. Contohnya adalah teknik-teknik tes objektif seperti pilihan ganda, benar-salah, menjadohkan, melengkapi, dan esai terstruktur. Non-tes berisi pertanyaan atau pernyataan yang tidak memiliki jawaban benar atau salah. Instrumen non-tes bisa berbentuk kuesioner atau inventori. Kuesioner berisi sejumlah pertanyaan atau pernyataan, peserta didik diminta menjawab atau memberikan pendapat terhadap pernyataan atau pertanyaan tersebut. Contoh kuesioner antara lain skala sikap seperti skala motivasi belajar, dan banyak skala pengukuran faktor-faktor psikologis lainnya. Inventori merupakan instrumen yang berisi tentang laporan diri, yaitu keadaan peserta didik, misalnya potensi peserta didik. Pengukuran pendidikan bisa bersifat kuantitatif atau kualitatif. Pengukuran kuantitatif hasilnya berupa angka, sedangkan pengukuran kualitatif hasilnya bukan angka tetapi pernyataan kualitatif, yaitu berupa pernyataan sangat baik, baik, cukup, kurang, sangat kurang, dan sebagainya. Penilaian atau asesmen adalah istilah umum yang mencakup semua metode yang biasa digunakan untuk menilai unjuk kerja individu peserta didik atau kelompok. Proses penilaian mencakup pengumpulan bukti-bukti yang menunjukan pencapain belajar peserta didik. Salvia dan Ysseldike (1994) mengatakan bahwa asesmen adalah suatu proses mengumpulkan data dengan tujuan agar dapat dilakukan keputusan mengenai suatu objek. Popham (1975) mengatakan bahwa asesmen adalah suatu upaya formal untuk menentukan status suatu objek dalam berbagai aspek yang dinilai. Nitko (1996) mengatakan bahwa asesmen merupakan suatu proses mendapatkan data yang digunakan untuk pengambilan keputusan mengenai 4 siswa, program pendidikan, dan kebijakan pendidikan. Jika dikatakan ’mengases kompetensi siswa’, maka itu berarti pengumpulan informasi untuk dapat ditentukan sejauhmana seorang siswa telah mencapai suatu target belajar. Kegiatan penilaian oleh karenanya tak terbatas pada karakteristik peserta didik saja, tetapi juga mencakup karakteristik metode mengajar, kurikulum, fasilitas dan administrasi sekolah. Jadi, penilaian berhubungan dengan setiap bagian dari proses pendidikan, bukan hanya keberhasilan belajar saja, tetapi mencakup semua proses mengajar dan belajar. Instrumen penilaian bisa berupa metode prosedur formal atau informal, untuk menghasilkan informasi tentang peserta didik, yaitu:tes tertulis, tes lisan, lembar pengamatan, pedoman wawancara, tugas rumah, dan sebagainya. Penilaian juga diartikan sebagai kegiatan menafsirkan data hasil pengukuran. Evaluasi adalah keseluruhan proses untuk menilai sesuatu baik atau tidak, bermanfaat atau tidak, dan seterusnya. Evaluasi adalah penilaian sistematik tentang manfaat atau kegunaan suatu objek (Stufflebeam & Shinkfield, 1985). Dalam melakukan evaluasi, di dalamnya ada kegiatan untuk menentukan nilai (worth). Dalam melakukan judgement diperlukan data hasil penilaian yang didalamnya dapat berisi hasil-hasil pengukuran. Jadi, evaluasi adalah worth determination. Selanjutnya, Popham (1975) mengatakan bahwa asesmen seringkali dimaksudkan sama dengan evaluasi. Kata asesmen dianggap lebih ‘ramah’ dibandingkan dengan evaluasi. Setelah dua puluh tahun, Popham (1995) lebih menekankan lagi bahwa pada hakikatnya kata asesmen maupun evaluasi secara prinsip tidaklah berbeda, dan menggunakannya dengan makna yang sama. Kini, penyamaan arti evaluasi dan asesmen seperti yang dimaksudkan oleh Popham tersebut, telah digunakan secara luas. Istilah evaluasi program yang secara klasik digunakan dalam penilaian suatu program tertentu, kini lebih sering disebut asesmen program (program assessment). Demikian pula kata self-evaluation kini lebih dikenal dengan self-assessment. Sebab, dalam pengertian asesmen tersebut telah tercakup adanya judgement. 5 Bila asesmen diartikan sama dengan evaluasi; maka daripadanya dapat ditemukan beberapa unsur pokok yang ada dalam pengertian asesmen, yaitu: (1) Asesmen bersifat formal, artinya adanya suatu upaya sengaja untuk menentukan status suatu objek dalam variabel-variabel yang menjadi fokus. (2) Asesmen terfokus pada variabel-variabel tertentu sesuai dengan tujuan asesmen. (3) Dalam asesmen ada keputusan mengenai status, yaitu sejauhmana suatu objek telah menunjukkan perkembangan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dan perlu tidaknya dilakukan program khusus. Dengan demikian, dalam naskah ini, kata asesmen yang berarti penilaian dan kata evaluasi dianggap memiliki pengertian yang sama. Kata asesmen akan digunakan dalam pembahasan sepanjang naskah ini. III. ASESMEN BERBASIS KELAS (ABK) 1. Fungsi dan Tujuan Asesmen Secara Umum Fungsi asesmen dibedakan menjadi fungsi formatif dan fungsi sumatif, yang terkait dengan tujuan dari dilakukannya asesmen. Secara formatif, asesmen sangat bermanfaat dalam proses pembelajaran. Nitko (1996) lebih suka menyebut fungsi formatif ini dengan instructional management function of assessment; artinya, bahwa asesmen berfungsi dalam manajemen pembelajaran. Dalam fungsinya ini, asesmen dapat digunakan sebagai umpan balik bagi siswa, umpan balik bagi guru, alat memotivasi siswa, alat pemodelan tujuan pembelajaran, dan alat untuk memberikan nilai (grade) untuk siswa. Oleh karena itu, untuk memenuhi fungsi formatifnya, asesmen sangat tepat dilakukan selama proses pembelajaran sebagai upaya untuk mengoptimalkan hasil akhir (produk) dari proses belajar tersebut. Fungsi sumatif asesmen merupakan fungsi penentuan (Judgment) karena asesmen secara sumatif berarti menentukan (posisi/status) sesuatu. Dalam fungsi sumatifnya, asesmen tidak dilakukan terhadap proses melainkan pada produk suatu proses pembelajaran. Beberapa fungsi sumatif 6 dari asesmen antara lain sebagai alat seleksi, penempatan, klasifikasi, dan sertifikasi. 2. Tujuan ABK Secara umum, tujuan asesmen telah dibahas sebelumnya. Terkait dengan itu, ABK memiliki tujuan spesifik yang khas terjadi dilingkup kelas/pembelajaran. Arends (2004), menyarikan tujuan ABK menjadi tiga, yaitu tujuan diagnostik, umpan balik, dan pelaporan. Berdasarkan ketiga tujuan di atas, Arends selanjutnya melihat ketiganya dalam beberapa variabel, sebagai berikut. Tabel 1. Tiga Tujuan Utama Asesmen Kelas Diagnostik Umpanbalik Evaluasi/Pelaporan Penempatan, perencanaan, dan penentuan keberadaan atau ketiadaan keterampilan dan pengetahuan awal Umpanbalik bagi siswa dan guru berdasarkan kemajuan Pemberian nilai (grading) siswa pada akhir unit atau semester Waktu Pada awal penggunaan pembahasan (unit), semester, atau tahun kuliah, atau selama pembelajaran ketika siswa memiliki permasalahan Selama pembelajaran Pada akhir suatu pokok bahasan (unit), kuwartal, atau ujian semester. Teknik asesmen Tes diagnostik standar, observasi, dan daftar centang (checklists) Kuis dan tes khusus atau pekerjaan rumah Ujian akhir Pemberian skor Menggunakan acuan norma dan acuan patokan Menggunakan acuan patokan Menggunakan acuan norma dan acuan patokan Fungsi (Sumber: Arends, 2004:230) Sejalan dengan itu, ABK oleh guru hendaknya diarahkan juga untuk memperoleh hal-hal berikut (Chittenden,1991, dalam Buku Penilaian Tingkat Kelas, Pedoman Bagi Guru : Jakarta: Pusat Penilaian Balitbang Depdiknas). 7 a. Penelusuran (Keeping track), yaitu untuk menelusuri agar proses pembelajaran anak didik tetap sesuai dengan rencana. Guru mengumpulkan informasi sepanjang semester dan tahun pelajaran melalui berbagai bentuk penilaian kelas agar memperoleh gambaran tentang pencapaian kompetensi oleh siswa. b. Pengecekan (Checking-up), yaitu untuk mengecek adakah kelemahankelemahan yang dialami anak didik dalam proses pembelajaran. Melalui penilaian kelas, baik yang sifat formal maupun informal guru melakukan pengecekan kemampuan (kompetensi) apa yang siswa kuasai dan yang belum dikuasai. c. Pencarian (Finding-out), yaitu untuk mencari dan menemukan hal-hal yang menyebabkan terjadinya kelemahan dan kesalahan dalam proses pembelajaran. Guru harus selalu menganalisis dan merefleksikan hasil penilaian kelas dan mencari hal-hal yang menyebabkan proses pembelajaran tidak berjalan efektif. d. Penyimpulan (Summing-up), yaitu untuk menyimpulkan apakah anak didik telah menguasai seluruh kompetensi yang ditetapkan dalam kurikulum atau belum. Penyimpulan sangat penting dilakukan guru, khususnya pada saat guru diminta melaporkan hasil kemajuan belajar anak kepada orang tua, sekolah, atau pihak lain seperti di akhir semester atau akhir tahun ajaran baik dalam bentuk rapor siswa atau bentuk lainnya. 3. Fungsi ABK ABK yang disusun secara terencana dan sistematis oleh guru memiliki fungsi motivasi, belajar tuntas, efektivitas pengajaran,dan umpan balik. a. Fungsi Motivasi, dalam arti, penilaian yang dilakukan guru di kelas harus mendorong motivasi siswa untuk belajar. Latihan, tugas, dan ulangan yang diberikan oleh guru harus memungkinkan siswa melakukan proses pembelajaan baik secara individu maupun kelompok. Bentuk tugas, latihan dan ulangan harus dirancang sedemikian rupa sehingga siswa terdorong untuk terus belajar dan merasakan kegiatan itu menyenangkan dan menjadi kebutuhannya. Dengan mengerjakan latihan, tugas, dan ulangan yang diberikan, siswa sendiri memperoleh gambaran tentang hal-hal apa yang 8 telah dia kuasai dan belum kuasai. Jika siswa merasa ada hal-hal yang belum dia kuasai, ia terdorong untuk mempelajarinya kembali. b. Fungsi Belajar Tuntas, dimana penilaian di kelas harus diarahkan untuk memantau ketuntasan belajar siswa. Pertanyaan yang harus selalu diajukan oleh guru adalah apakah siswa sudah menguasai kemampuan yang diarahkan, siapa dari siswa yang belum menguasai kemampuan tetentu, dan tindakan apa yang harus dilakukan agar siswa mampu menguasai kemampuan tersebut. Ketuntasan belajar harus menjadi fokus dalam perancangan materi yang harus dicakup setiap kali guru melakukan penilaian. Jika suatu kemampuan belum dikuasai siswa, penilaian harus terus dilakukan untuk mengetahi apakah semua atau sebagian besar siswa telah menguasai kemampuan tersebut. Rencana penilaian harus harus disusun dengan target kemampuan yang harus dikuasai siswa pada setiap semester dan kelas sesuai dengan daftar kemapuan yang telah ditetapkan. c. Fungsi Sebagai Indikator Efektivitas Pengajaran, disamping untuk memantau kemajuan belajar siswa, penilaian kelas juga dapat digunakan untuk melihat seberapa jauh proses belajar mengajar telah berhasil. Apabila sebaian besar atau semua siswa telah menguasai sebagian besar atau semua kemampuan yang diajarkan, maka dapat disimpulkan bahwa proses belajar mengajar telah berhasil sesuai dengan rencana. Apabila guru menemukan bahwa hanya seagian siswa saja yang menguasai keampuan yang ditargetkan, guru perlu melakukan analisis dan refleksi mengapa hal ini terjadi dan apa tindaka yang harus guru lakukan untuk meningkatkan efektivitas pengajaran. d. Fungsi Umpan balik, hasil penilaian harus dianalisis oleh guru sebagai bahan umpan balikbagi sswa dan guru itu sendiri. Umpan balik hasil penilaian sangat bermafaat bagi siswa agar siswa mengetahui kelemahan yang dialaminya dalam mecapai kemampuan yang diharapakan, dan siswa diminta melakukan latihan dan atau pengayaan yang dianggap perlu baik sebagai tugas individu ataupun kelompok. Analisis hasil peilaiam juga berguna bagi guru untuk melihat hal-hal apa yang perlu diperhatikan secara serius dalam proses belajar mengajar. misalnya, analisis terhadap kesalahan yang umum dilakukan siswa dalam memahami konsep tetentu mejadi umpan balik dari guru dan melaukan perbaikan dalam proses belajar megajar berikutnya. 9 Dalam hal-hal tertentu hasil penilaian juga dapat menjadi umpan balik bagi sekolah dan orang tua agar secara bersama-sama mendorong dan membantu ketecapaiannya target penguasaan kemampuan yang telah ditetapkan. 4. Prinsip ABK Agar penilaian kelas memenuhi tujuan dan fungsi sebagaimana dijelaskan di atas, perlu diperhatikan hal-hal berikut. a. Mengacu pada pencapaian kompetensi (Competency Referenced), penilaian kelas perlu disusun dan dirancang untuk mengukur apakah siswa telah menguasai kemampuan sesuai dengan target yang ditetapkan dalam kurikulum. Materi yang dicakup dalam penilaian kelas harus terkait secara langsung dengan indikator pencapaian kemampuan tersebut. Ruang lingkup materi penilaian disesuaikan dengan tahapan materi yang telah diajarkan serta pengalaman belajar siswa yang diberikan. Materi penugasan atau ulangan harus betul-betul merefleksiksan setiap kemampuan yang ditargetkan untuk dikuasai siswa. Hanya materi yang secara esensial terkait langsung dengan kemampuan yang perlu dicakup dalam penilaian di kelas. Materi yang tidak langsung terkait dengan kemampuan tidak perlu dicakup dalam penilaian di kelas. Namun demikian, guru tetap dapat mencatat hal-hal tersebut sebagai bahan dalam melakukan analisis dan umpan balik hasil penilaian. b. Berkelanjutan (Continous), penilaian yang dilakukan di kelas oleh guru harus merupakan proses yang berkelanjutan dalam rangkaian rencana mengajar guru selama satu semester dan tahun ajaran. Rangkaian aktivitas penilaian kelas yang dilakukan guru melalui pemberian tugas, pekerjaan rumah (PR), ulangan harian, ulangan tengah dan akhir semester, serta akhir tahun ajaran merupakan proses yang berkesinambuangan dan berkelanjutan selama satu tahun ajaran. c. Didaktis, alat yang akan digunakan untuk penilaian kelas berupa tes amupun non-tes harus dirancang baik isi, format, maupun tata letak (layout) dan tampilannya agar siswa menyenangi dan menikmati kegiatan penilaian. Perancangan bahan penilaian yang kreatif dan menarik dapat mendorong siswa untuk menyelesaikan tugas penilaian, baik yang bersifat individual 10 maupun kelompok dengan penuh antusias dan menyenangkan. Alat penilaian kelas seperti ini dapat menumbuhkan rasa keingintahuan siswa lebih dalam dan dorongan belajar lebih kuat. d. Menggali Informasi, penilaian kelas yang baik harus dapat memberikan informasi yang cukup bagi guru untuk mengambil keputusan dan umpan balik. Pemilihan metoda, teknik, dan alat peniaian yang tepat sangat menentukan jenis informasi yang ingin digali dari proses penilaian kelas acuan sederhana yang dapat digunakan guru adalah prinsip “Sedikit-tapi-banyak” (less-ismore). Prinsip ini dimaksudkan agar guru melakukan penilaian dengan cakupan materi yang tidak terlalu banyak tetapi informasi yang diperoleh dari hasil penilaian tesebut sangat dalam dan luas. Oleh karenanya, untuk soal dan penugasan yang tebuka, seperti soal uraian dan pemecahan masalah sangat dianjurkan untuk ulangan harian yang disiapkan guru. Sebaliknya, bentuk soal lebih tertutup, seperti pilihan ganda dan uraian terstruktur, lebih dianjurkan untuk penilaian yang materinya bersifat luas dan komprehensif seperti pada ulangan akhir semester dan akhir tahun pelajaran. e. Melihat yang benar dan yang salah, Dalam melaksanakan penilaian, guru hendaknya melakukan analisis teadap hasil penilaian dan kerja siswa secara seksama untuk melihat adanya kesalahan yang secara umum terjadi pada siswa dan sekaligus melihat hal-hal positif yang dilakukan siswa. Hal-hal positif tersebut dapat berupa, misalnya, jawaban benar yang diberikan siswa diluar perkiraan atau cakupan yang ada pada guru. Siswa yang memiliki kelebihan kecerdasan, pengetahuan, dan pengalaman sangat mungkin memberikan jawaban dan penyelesaian masalah yang tidak tersedia pada bahan yang diajarkan di kelas. Demikian juga, melihat pola kesalahan yang umum dilakukan siswa dalam menjawab dan menyelesaikan masalah untuk materi serta kompetesi tetentu sangat membantu guru dalam melakukan perbaikan dan penyesuaian dan penyelesaian program belajar mengajar. analisis terhadap kesalahan jawaban dan penyelesaian masalah yang diberikan siswa sangat berguna untuk menghindari terjadinya miskonsepsi dan ketidakjelasan dalam proses pembelajaran. Guru harus hendaknya memberikan penekanan terhadap kesalahan-kesalahan yang bersifat umum tersebut. 11 5. Kaitan ABK dengan Proses Belajar Mengajar (PBM) ABK yang baik mempersyaratkan adanya keterkaitan langsung dengan aktivitas belajar mengajar (PBM). Demikian pula, PBM akan berjalan efektif apabila didukung oleh penilaian kelas yang efektif oleh guru. Penilaian merupakan bagian integral dari proses belajar mengajar. kegiatan penilaian harus dipahami sebagai kegiatan untuk mengefektifkan proses belajar mengajar agar sesuai dengan yang diharapkan. Keterkaitan dan keterpaduan antara penilaian dan PBM dapat digambarkan pada siklus dibawah ini. RENCANA MENGAJAR ANALSIS & UMPAN BALIK PROJEK BELAJAR-MENGAJAR PENILAIAN KELAS Pada gambar di atas tampak jelas bahwa langkah yang guru lakukan dalam rangkaian aktivitas pengajaran meliputi penyusunan rencana mengajar, proses belajar mengajar, penlaia, analisis dan umpan balik. Dalam siklus pembelajara, hal pertama yang harus dilakan guru adalah menyususn rencana mengajar. dalam menyusun rencana mengajar ini hal-hal yang harus diperhatikan melputi rician kompetisi yang harus dicapai siswa, cakupan dan kedalaman materi, indicator pencapaian kompetensi, pengalaman belajar yang harus dialami siswa, persyaratan sarana belajar yang diperlukan, dan metoda serta prosedur untuk menilai ketercapaian kompetensi. Setelah rencana mengajar disusun dengan baik, guru melakukan kegiatan mengajar sesuai rencana tersebut. Hal yang paling penting untuk diperhatikan dalam proses belajar mengajar ini adalah adanya interaksi yang efektif antara guru, siswa, dan sumber belajar lainnya sehingga menjamin terjadinya pengalaman belajar yang mengaah ke penguasaan kompetensi 12 oleh siswa. Untuk mengetahui dengan pasti ketecapaian kompetensi dmasud, guru harus melakuan penilaian secara terarah dan terprogram. Asesmen harus digunakan sebagai proses untuk mengukur dan menentukan tingkat ketercapaian kompetensi, dan sekaligus untuk mengukur efektivitas proses belajar mengajar. Untuk itu, penilaian yang efektif harus diikuti oleh kegiatan analisis terhadap hasil penilaian dan merumuskan umpan balik yang perlu dilakukan dalam perencanaan proses belajar mengajar selanjutnya. Dengan demikian, rencana mengajar yang disiapkan oleh guru untuk siklus PBM berikutnya harus didasarkan pada hasil dan umpan balik penilaian sebelumya. Jika ini dilakukan, maka kegiatan belajar mengajar yang dilakukan sepanjang semester dan tahun aaran merupan rangkaian dari siklus PBM yang saling bersambung. Pembelajaran secara tuntas dan pencapaian kompetensi akan dapat dijamin apabila siklus PBM yang satu terkait dengan siklus PBM berikutnya. 6. Jenis Asesmen Berbasis Kelas a. Ditinjau dari Jenis Respons yang Ditagih Bila ditinjau dari jenis respons yang ditagih, asesmen dibedakan menjadi imposed response tests dan free response. Imposed response adalah respons yang harus diberikan siswa dimana pilihan respons itu sendiri telah ditentukan terlebih dahulu. Contoh tes jenis ini adalah tes objektif. Testes objektif menyediakan pilihan jawaban bagi siswa, mungkin dua pilihan (Benar-salah), atau lebih (pilihan ganda dan skala sikap). Siswa diminta memilih salahsatu pilihan jawaban yang disediakan. Dengan demikian, siswa tidak memiliki kebebasan untuk memberikan respons sesuai dengan kehendaknya. Di pihak lain, tes dengan free response memberikan kesempatan yang luas bagi siswa untuk memberikan jawaban (respons) sesuai dengan kehendaknya. Dilihat dari kebebasan respons yang diberikan pada siswa, maka tes dengan free response (seperti tes kinerja, portofolio, esai, dan sebagainya) lebih memberikan kesempatan siswa menunjukkan kemampuan yang sesungguhnya dan secara riil, dalam arti, jawaban siswa jelas dapat dketahui dari uraian/tindakan (respons) yang diberikannya. 13 b. Ditinjau dari bentuk Asesmen Asesmen dapat berbentuk tes dan non-tes. Tes dibedakan menjadi tes objektif dan esai terstruktur. Contoh non-tes antara lain skala isian, skala rating, ceklis, inventori, dan asesmen otentik. Asesmen otentik yang merupakan asesmen berbasis kompetensi meliputi asesmen portofolio, kinerja, esai (tak terstruktur), projek, dan asesmen diri. (i) Tes Objektif Yang dimaksud dengan tes objektif adalah tes yang cara penilaiannya bersifat objektif, dalam arti, sudah jelas jawaban mana yang benar dan mana yang salah dan hanya satu jawaban yang benar. Tes objektif memiliki beberapa variasi dan bentuk yang berbeda, tetapi dapat diklasifikasikan ke dalam butir tes yang meminta siswa untuk mengisi jawaban dan butir tes yang meminta siswa untuk memilih jawaban dari sejumlah alternatif yang ada. Kedua golongan besar ini, menurut Gronlund dan Linn, secara umum dapat dibagi menjadi bentuk butir tes sebagi berikut. (1) Yang termasuk bentuk tes mengisi jawaban (supply type), yakni butir soal jawaban singkat (short answer) dan butir soal melengkapi (completion). (2) Yang termasuk bentuk butir tes yang meminta siswa untuk memilih jawaban, yakni butir soal benar-salah, menjodohkan, dan pilihan ganda (Gronlund dan Linn, 1991). Di antara bentuk tes objektif, yang umum digunakan adalah butir tes pilihan ganda, menjodohkan, dan benar-salah. Dari ketiga bentuk butir tes tersebut, bentuk pilihan ganda yang paling banyak digunakan (Salvia and Ysseldyke, 1995). Dalam hubungan ini, Nitko (1996) mengemukakan bahwa tes bentuk jawaban singkat meminta siswa untuk menjawab setiap pertanyaan dengan sebuah kata, kalimat pendek, nomor, atau simbol. Bentuk butir soal jawaban singkat bervariasi, seperti bentuk pertanyaan, melengkapi, dan asosiasi. Variasi bentuk pertanyaan biasanya mengemukakan pertanyaan secara langsung. Variasi bentuk tes melengkapi meminta siswa untuk menambahkan kata-kata untuk melengkapi suatu pertanyaan yang tidak lengkap. Sedangkan variasi bentuk asosiasi terdiri atas daftar istilahistilah atau gambar terhadap mana siswa dapat menyebutkan nomor-nomor, label, simbol, atau bentuk lain. 14 Bentuk tes benar-salah terdiri dari sebuah pernyataan atau proposisi dimana siswa harus menilai dan kemudian memberi tanda, apakah benar atau salah. Dalam hubungan ini, paling sedikit terdapat enam variasi, yaitu: betul-salah (true-false), ya-tidak (yes-no), benar-salah (right-wrong), pembetulan atau koreksi (correction), pilihan benar salah jamak (multiple truefalse), dan ya-tidak dengan penjelasan (yes-no with explanation). Variasi “benar-salah” berbentuk proposisi yang harus dipilih oleh siswa, apakah pernyataan itu benar atau salah. Variasi bentuk “ya-tidak” menanyakan pertanyaan langsung, terhadap mana siswa menjawab ya atau tidak. Pada variasi bentuk”betul-salah” dikemukakan perhitungan, persamaan, atau kalimat yang harus dinilai oleh siswa apakah betul atau tidak betul. Variasi bentuk “koreksi atau pembetulan” meminta kepada siswa untuk menilai sebuah proposisi, seperti pada bentuk benar-salah, tetapi siswa juga diminta untuk memperbaiki atau mengoreksi setiap pertanyaan yang salah dan membetulkannya. Variasi bentuk pilihan “benar-salah” tampaknya sama dengan butir pilihan ganda, malahan pada saat memilih satu opsi yang benar, siswa memperlakukan tiap opsi sebagai pertanyaan “benar-salah” yang terpisah, yakni lebih dari satu pilihan bisa benar. Sedangkan pada variasi “yatidak” dengan penjelasan, menanyakan pertanyaan langsung dan meminta siswa untuk menjawab “ya” atau “tidak” dan dijelaskan mengapa pilihannya benar (Nitko, 1996). Tes objektif memiliki kelebihan dan kekurangan, antara lain adalah sebagai berikut: (1) Kelebihan pada butir soal jawaban singkat adalah sangat mudah menyusunnya, karena secara relatif biasanya mengukur hasil belajar yang sederhana. Kecuali untuk mengukur hasil belajar pemecahan masalah pada matematika dan sains, butir tes jawaban singkat hanya mengukur ingatan (recall) tentang informasi ingatan. Kelebihan lain butir tes jawaban singkat adalah bahwa siswa harus menyisipkan jawaban sehingga mengurangi kemungkinan bahwa siswa menjawab dengan benar karena tebakan. Sedangkan kelemahan tes jawaban singkat adalah tidak cocok untuk mengukur hasil belajar yang kompleks dan kesulitan untuk memberi skor. (2) Kelebihan pada butir tes benar-salah adalah bahwa butir tes benarsalah mudah disusun, tetapi untuk menyusun butir tes benar-salah yang tidak ambigius diperlukan keterampilan tertentu. Kelebihan kedua pada butir tes 15 benar-salah adalah bahwa dapat mencakup materi yang luas. Di samping itu, salah satu kekurangan atau kelemahan yang serius pada butir benar-salah adalah bentuk hasil belajar yang dapat diukur. Di samping itu, bentuk tes benar-salah bisa ditebak, dan peluang benarnya adalah 50%. (3) Kelebihan pada butir tes menjodohkan adalah bentuknya yang kompak dan dapat mengukur sejumlah besar hasil belajar yang berkaitan dengan fakta-fakta, dan mudah menyusunnya. Sedangkan kelemahannya adalah bahwa butir tes menjodohkan terbatas untuk mengukur informasi tentang fakta-fakta pada belajar hafalan, dan kesulitan untuk menemukan materi yang homogen dan signifikan dengan tujuan dan hasil belajar. (4) Kelebihan pada butir tes pilihan ganda adalah efektif untuk mengukur berbagai tipe pengetahuan dan hasil belajar yang kompleks. Di samping itu, butir tes pilihan ganda memiliki tingkat reliabilitas yang lebih tinggi daripada bentuk butir tes benar-salah karena kesempatan untuk menebak dapat dikurangi. Sedangkan kelemahan butir tes pilihan ganda adalah bahwa sebagai butir tes tertulis memiliki keterbatasan untuk mengukur hasil belajar yang bersifat verbal, mengukur keterampilan pemecahan masalah, mengukur kecakapan untuk mengorganisasikan dan mengemukakan pendapat. Di samping itu, butir tes pilihan ganda memiliki kesulitan untuk menemukan pengecoh yang tepat (Linn and Gronlund, 1995). Tes esai jawaban terbatas, atau sering juga disebut esai terstruktur, adalah jenis tes objektif sebab jawaban yang dikehendaki sudah jelas dan harus sama pada setiap jawaban. Pada tes esai jawaban terbatas/terstruktur, siswa lebih dibatasi pada bentuk dan ruang lingkup jawabannya, karena secara khusus dinyatakan konteks jawaban yang harus diberikan oleh siswa. Esai jawaban terbatas berada pada tataran tes objektif karena sifatnya lebih banyak mengungkapkan informasi faktual saja. Sebagai contoh, soal: Sebutkan kelima sila Pancasila dengan urutan yang benar. Maka siswa akan menulis jawabannya sesuai dengan hafalannya. Hal ini tak ubahnya tes objektif. Bedanya, disini siswa menuliskan jawaban, bukan menyilang atau melingkari jawaban yang benar seperti pada tes pilihan ganda. Sebenarnya, tes esai dapat digolongkan menjadi dua bentuk, yaitu tes esai jawaban terbuka (extended-response) dan jawaban terbatas (restrictedresponse) dan hal ini tergantung pada kebebasan siswa untuk mengorganisasikan atau menyusun ide-idenya dan menuliskan jawabannya. 16 Esai jawaban terbuka merupakan salahsatu bentuk asesmen otentik. Esai jenis ini akan dibahas secara lebih detail pada bagian asesmen otentik. Seperti halnya pada tes objektif, butir tes esai juga memiliki kelebihan, antara lain: (1) secara relatif lebih mudah untuk menyiapkan butir soalnya dibandingkan dengan menyusun butir soal pilihan ganda, (2) merupakan alat yang bisa mengukur kecakapan siswa untuk menyusun jawaban dan mengemukakannya dalam prosa, (3) dapat membantu guru untuk melihat kejujuran siswa dengan memberi tekanan pada kemampuan siswa untuk mengisi jawaban yang benar, dan (4) dapat membantu merangsang hasil yang baik bagi pembelajaran siswa. Di samping keunggulannya, tes esai juga memiliki kelemahan, yaitu: (1) terbatas pada cakupan materi yang bisa diukur, khususnya pada bentuk tes esai jawaban terbuka, dan (2) memiliki reliabilitas keterbacaan yang rendah. Tabel 2. Perbandingan antara Tes Esai dan Tes Objektif Aspek 1. Hasil Tes Objektif Tes Esai Baik untuk mengukur hasil Tidak efisien untuk mengukur belajar belajar pada yang pengetahuan tentang fakta, Dapt mengukur pemahaman, diukur pemahaman, berpikir, dan tingkat pengetahuan tentang fakta. keterampilan keterampilan hasil untuk dan belajar hasil belajar yang kompleks yang kompleks. Tetapi tidak lainnya mampu berpikir, (khususnya sangat mengukur berguna jika jawaban orisinil kemampuan untuk memilah yang diinginkan). Cocok untuk dan menyusun kecakapan ide-ide, memilih dan menyusun ide- menulis, beberapa dan ide, keterampilan bentuk dan keterampilan menulis, keterampilan untuk untuk memecahkan masalah yang memecahkan masalah menuntut pemikiran yang orisinil 2. Penyiapan Banyak memerlukan waktu Hanya butir soal untuk menyusun butir soal. yang 17 sedikit pertanyaan diperlukan untuk Sukar mempersiapkan butir seperangkat tes. Menyiapkan soal yang baik dan butir soal relatif mudah, tetapi memerlukan waktu lama. lebih sulit dari anggapan orang. 3. Mengambi l Dapat mewakili semua materi Tidak dapat mewakili seluruh sampel pelajaran dan dapat memuat materi materi butir soal yang banyak dalam hanya pelajaran seperangkat tes. pelajaran, sedikit karena pertanyaan yang bisa dimasukkan dalam seperangkat tes 4. Kontrol Tinggal memilih jawaban Bebas menjawab atas dasar terhadap yang telah tersedia. kata-katanya jawaban Menghindari gertak sambal keterampilan siswa dan pengaruh keterampilan mempengaruhi skor, berpikir menulis, bisa sendiri, dan menulis menebak menebak bisa dikurangi jawaban 5. Pemberia n skor Penskoran dan secara cepat, objektif Penskoran mudah, dan lambat, konsisten 6. Pengaruh subjektif sulit, dan dan tidak konsisten Biasanya mendorong siswa Mendorong siswa untuk pada untuk pikiran pada proses pengetahuan tentang fakta- sejumlah pembelaja fakta khusus dan kemampuan pelajaran, dengan penekanan ran untuk pembedaan di antara khusus fakta mengembangkan memusatkan tersebut. mendorong pemahaman, berpikir, dan besar pada materi kemampuan Dapat untuk menyusun, pengembangan mengintegrasikan, dan keterampilan mengemukakan hasil belajar secara yang kompleks lainnya mendorong ide-ide efektif. Dapat kebiasaan menulis buruk jika waktunya mendesak 7. Reliabilita s Reliabilitas yang tinggi Reliabilitasnya lebih rendah, mungkin dicapai, khususnya terutama karena penskoran jika tes disusun secara baik 18 yang tidak konsisten Kaidah Penyusunan Tes Objekif Untuk menyusun soal tes objektif, perlu dicermati dari segi materi soal, konstruksinya, dan penggunaan bahasanya. Berikut ini adalah kriteria penulisan Soal Pilihan Ganda: Materi a. Soal harus sesuai dengan indikator. Artinya, soal harus menanyakan perilaku dan materi yang hendak diukur sesuai dengan tuntutan indikator. b. Pilihan jawaban harus homogen dan logis ditinjau dari segi materi. Artinya semua pilihan jawaban harus berasal dari materi yang sama seperti yang terkandung dalam pokok soal, penulisannya harus setara, dan semua pilihan jawaban harus berfungsi. c. Setiap soal harus mempunyai satu jawaban yang benar atau yang paling benar. Artinya, satu soal hanya memiliki satu kunci jawaban. Jika terdapat beberapa pilihan jawaban yang benar, maka kunci jawabannya adalah pilihan jawaban yang paling benar. Konstruksi d. Pokok soal harus dirumuskan secara jelas dan tegas. Artinya, kemampuan/materi yang hendak diukur/ditanyakan harus jelas, tidak menimbulkan pengertian atau penafsiran yang berbeda dari yang dimaksud penulis, dan hanya mengandung satu persoalan untuk setiap nomor. Bahasa yang digunakan harus komunikatif, sehingga mudah dimengerti siswa. Apabila harus tanpa melihat dahulu pilihan jawaban, siswa sudah dapat mengerti pertanyaan/maksud pokok soal, maka dapat disimpulkan bahwa pokok soal tersebut sudah jelas. e. Rumusan pokok soal dan pilihan jawaban harus merupakan pernyataan yang diperlukan saja. Artinya, apabila terdapat rumusan atau pernyataan yang sebetulnya tidak diperlukan, maka rumusan atau pernyataan tersebut dihilangkan saja. f. Pokok soal jangan memberi petunjuk ke arah jawaban yang benar. Artinya, pada pokok soal jangan sampai terdapat kata, frase, atau ukapan yang dapat memberi petunjuk kearah jawaban yang benar. 19 g. Pokok soal jangan mengandung pernyataan yang bersifat negatif ganda. Artinya, pada pokok soal jangan sampai terdapat dua kata atau lebih yang mengandung arti negatif. Penggunaan kata negatif ganda dapat mempersulit siswa dalam memahami maksud soal, oleh karena itu perlu dihindari. Namun untuk keterampilan brbahasa, penggunaan kata negatif ganda diperbolehkan kalau yang ingin diukur justru pengertian tentang negatif ganda itu sendiri. h. Panjang rumusan pilihan jawaban harus relatif sama. Kaidah ini perlu diperhatikan karena adanya kecenderungan siswa untuk memilih jawaban yang paling panjang, karena seringkali jawaban yang lebih panjang itu lebih lengkap dan merupakan kunci jawaban. i. Pilihan jawaban jangan mengandung pernyataan, “semua pilihan jawaban di atas salah”, atau “semua pilihan jawaban di atas benar”. Artinya, dengan adanya pilihan jawaban seperti ini, maka dari segi materi pilihan jawaban berkurang satu, karena pernyataan itu hanya merujuk kepada materi dari jawaban sebelumnya. j. Pilihan jawaban yang berbentuk angka harus disusun berdasarkan urutan besar kecilnya angka tersebut, dan pilihan jawaban berbentuk angka yang menunjukkan waktu harus disusun secara kronologis. Pengurutan angka dilakukan dari nilai angka paling kecil ke nilai angka paling besar atau sebaliknya. Pengurutan waktu berdasarkan kronologis waktunya. Pengurutan tersebut dimasudkan untuk memudahkan siswa melihat dan memahami pilihan jawaban. k. Gambar, grafik, tabel, diagram, dan sejenisnya yang terdapat pada soal harus berfungsi. Artinya, apa saja yang menyertai suatu soal yang ditanyakan harus jelas, terbaca, dan dapat dimengerti oleh siswa. Apabila soal tersebut dapat tetap dijawab tanpa melihat gambar, grafik, tabel atau sejenisnya yang terdapat pada soal, berarti gambar, grafik, atau tabel tersebut tidak berfungsi. l. Butir materi soal jangan bergantung pada jawaban soal sebelumnya. Ketergantungan pada soal sebelumnya menyebabkan siswa yang tidak dapat menjawab soal pertama tidak aan dapat menjawab soal berikutnya. 20 Bahasa m. setiap soal harus menggunakan bahasa yang sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia. n. Jangan gunakan bahasa yang berlaku setempat, jika soal akan digunakan untuk daerah lain atau nasional. o. Pilihan jawaban jangan mengulang kata atau frase yang bukan merupakan satu kesatuan pengertian. Letakkan kata tesebut pada pokok soal. (ii) Asesmen Otentik Asesmen otentik termasuk non-tes, yaitu asesmen yang dilakukan dalam suasana non-threatening, seperti yang terjadi pada tes. Bila pada tes terjadi one-time response untuk melihat hasil belajar, maka pada non-tes, asesmen dapat memantau proses dan hasil belajar. Oleh karenanya, non-tes dilakukan secara terpadu dengan pembelajaran. Orientasi pendidikan kontemporer yang menekankan pembentukan kompetensi memberi peluang sangat luas bagi asesmen non-tes yang bersifat otentik seperti asesmen portofolio dan asesmen kinerja. Asesmen otentik adalah asesmen yang secara langsung bermakna, dalam arti, apa yang diases memang demikian yang sesungguhnya terjadi, dan dapat terjadi, dalam kehidupan sehari-hari. Jadi, asesmen otentik mengases kemampuan riil siswa dalam kaitannya dengan kehidupan seharihari. Penggunaan asesmen otentik sangat erat hubungannya dengan kompetensi. Dalam KTSP dikenal istilah Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD). Kompetensi adalah pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap yang tertunjukkan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi. Jelas dari pengertian tersebut bahwa kompetensi tidak bisa diasumsikan telah terbentuk pada diri siswa, melainkan harus benar-benar tertunjukkan dalam suatu unjuk kerja/kinerja. Oleh sebab itulah, jenis-jenis tes objektif seperti pilihan ganda, benar-salah bukanlah alat yang baik untuk mengukur tingkat kompetensi siswa. Sebaliknya, jenis-jenis asesmen otentik seperti asesmen kinerja dan portofolio lebih relevan untuk mengukur kompetensi. Sebagai contoh perbandingan, untuk mengetahui apakah siswa telah memiliki kompetensi 21 menulis sebuah paragraf deskriptif, misalnya, cara yang tepat digunakan adalah dengan meminta siswa menulis sebuah paragraf deskriptif, kemudian hasil karya siswa tersebut diases dengan cara membandingkan kualitas paragraf itu dengan sebuah paragraf standar (benchmark) atau diases dengan sebuah rubrk penilaian (sebuah rubrik penilaian berisi komponenkomponen paragraf deskriptif beserta deskriptornya). Mengetahui kompetensi siswa dalam menulis paragraf tidak dapat digunakan tes objektif. Asesmen otentik mengharuskan pembelajaran berpusat pada siswa, bukan pada guru sebab pelaku belajar adalah siswa. Sangatlah tidak tepat bila guru melakukan hal yang semestinya dilakukan oleh siswa. Sebagai contoh, untuk mengenal habitat sungai (pelajaran IPA), siswa mesti melihat sendiri habitat tersebut, bukan guru yang menceritakan habitat sungai pada siswa. Jika terjadi guru yang menggambarkan sesuatu pada siswa, sementara siswa pasif dan hanya mendengarkan saja penjelasan guru, maka pembelajaran tersebut tidak riil atau tidek otentik. Bagaimana mengases hasil belajar otentik? Asesmen otentik sangat baik bila dilakukan bersamaan dengan saat berlangsungnya pembelajaran. Misalnya, pada pembelajaran eksperimen membedah katak (topik pembelajaran mengenal organ tubuh amphibia), maka asesmen langsung dilakukan pada saat eksperimen berlangsung; bukan seminggu setelah eksperimen, lalu dilakukan tes objektif tentang eksperimen tersebut. Asesmen otentik memiliki sifat-sifat: (1) berbasis kompetensi yaitu asesmen yang mampu memantau kompetensi seseorang; (2) individual. Kompetensi tidak dapat disamaratakan pada semua orang, tetapi bersifat personal. Asesmen otentik dapat secara langsung mengukur kemampuan individu; (3) berpusat pada siswa, karena direncanakan, dilakukan, dan dinilai oleh siswa sendiri; mengungkapkan seoptimal mungkin kelebihan setiap individu, dan juga kekurangannya (untuk bisa dilakukan perbaikan); (4) tak terstruktur dan open-ended, dalam arti, percepatan penyelesaian tugastugas otentik tidak bersifat uniformed dan klasikal, juga kinerja yang dihasilkan tidak harus sama antar individu di suatu kelompok/kelas; (5) terintegrasi dengan proses pembelajaran, dengan demikian siswa tidak selalu dalam situasi tes (yang seringkali membuat tegang); dan (6) on-going atau berkelanjutan, oleh karena itu asesmen harus dilakukan secara 22 langsung pada saat proses belajar dan untuk produk belajar yang dihasilkannya. Sifat asesmen otentik yang komprehensif ini juga dapat membentuk unsur-unsur metakognisi dalam diri siswa seperti risk-taking, kreatif, mengembangkan kemampuan berfikir tingkat tinggi dan divergen, tanggungjawab terhadap tugas dan karya, dan rasa kepemilikan (ownership). Jenis-jenis asesmen otentik meliputi asesmen kinerja, evaluasi diri, esai, projek, dan portofolio. Kegiatan-kegiatan asesmen otentik antara lain presentasi, observasi, diskusi, wawancara, dan lain-lain kegiatan unjuk kerja yang sesuai dengan tuntutan kehidupan sehari-hari. Kegiatan asesmen yang tidak otentik adalah tes objektif seperti pilihan ganda, menghapal materi, dan kegiatan-kegiatan lain yang hanya menuntut siswa secara mekanis dan tidak langsung terkait dengan kehidupan. (iii) Asesmen Kinerja Asesmen kinerja adalah suatu prosedur yang menggunakan berbagai bentuk tugas-tugas untuk memperoleh informasi tentang apa dan sejauhmana yang telah dilakukan dalam suatu program. Pemantauan didasarkan pada kinerja (performance) yang ditunjukkan dalam menyelesaikan suatu tugas atau permasalahan yang diberikan. Hasil yang diperoleh merupakan suatu hasil dari unjuk kerja tersebut. Asesmen kinerja adalah penelusuran produk dalam proses. Artinya, hasil-hasil kerja yang ditunjukkan dalam proses pelaksanaan kegiatan itu digunakan sebagai basis untuk dilakukan suatu pemantauan/penilaian terhadap produk dari aktivitas tersebut. Terdapat tiga komponen utama dalam asesmen kinerja, yaitu tugas kinerja (performance task), rubrik performansi (performance rubrics), dan cara penilaian (scoring guide). Tugas kinerja adalah suatu tugas yang berisi topik, standar tugas, deskripsi tugas, dan kondisi penyelesaian tugas (lihat: Tugas Pertunjukan Drama, dalam asesmen projek). Rubrik performansi merupakan suatu rubrik yang berisi komponen-komponen suatu performansi ideal, beserta deskriptornya. Cara penilaian kinerja, yang dapat dilakukan secara holistik, analitik, atau primary traits. Secara lebih rinci, tugas kinerja yang valid harus memenuhi kriteria berikut. 23 (1) Memusatkan pada elemen-elemen yang penting (2) Sesuai dengan tuntutan kurikulum (3) Mengintegrasikan informasi, konsep, keterampilan, dan kebiasaan belajar (4) Melibatkan siswa (5) Mengaktifkan kemauan untuk bekerja (6) Layak, aman, dan cocok untuk seluruh siswa (7) Seimbang antara kerja kelompok dan individual (8) Terstruktur untuk memudahkan pemahaman. (9) Memiliki produk yang otentik (10) Memasukkan penilaian diri dan memungkinkan umpan balik dari orang lain (Hibbard, 1999:5). (iv) Asesmen Diri Menurut Rolheiser dan Ross (2005), asesmen diri adalah suatu cara untuk melihat kedalam diri sendiri. Melalui asesmen diri siswa dapat melihat kelebihan maupun kekurangannya, untuk selanjutnya kekurangan ini menjadi tujuan perbaikan (improvement goal). Dengan demikian, siswa lebih bertanggungjawab terhadap proses dan pencapaian tujuan belajarnya. Salvia dan Ysseldike (1996) menekankan bahwa refleksi dan asesmen diri merupakan cara untuk menumbuhkan rasa kepemilikan (ownership), yaitu timbul suatu pemahaman bahwa apa yang dilakukan dan dihasilkan siswa tersebut memang merupakan hal yang berguna bagi diri dan kehidupannya. Rolheiser dan Ross mengajukan suatu model teoretik untuk menunjukkan kontribusi asesmen diri terhadap pencapaian tujuan. Model tersebut menekankan bahwa, ketika mengases sendiri performansinya, siswa terdorong untuk menetapkan tujuan yang lebih tinggi (goals). Untuk itu, siswa harus melakukan usaha yang lebih keras (effort). Kombinasi dari goals dan effort ini menentukan prestasi (achievement); selanjutnya prestasi ini berakibat pada judgment terhadap diri (self-judgment) melalui kontemplasi seperti pertanyaan, ‘Apakah tujuanku telah tercapai’? Akibatnya timbul reaksi (self-reaction) seperti ‘Apa yang aku rasakan dari prestasi ini?’ Goals, effort, achievement, self-judgment, dan self-reaction dapat terpadu untuk membentuk kepercayaan diri (self-confidence) yang positif. 24 Kedua penulis menekankan bahwa sesungguhnya, evaluasi diri adalah kombinasi dari komponen self-judgment dan self-reaction dalam model di atas. Model tersebut digambarkan dalam bagan berikut. (1) Tujuan (2) Usaha (3) Prestai Asesmen Diri (4) Judgment Diri (5) Reaksi Diri (6) Rasa Percaya Diri Belakangan ini, asesmen diri sebagai salahsatu cara asesmen otentik banyak dibicarakan. Dunia global yang menciptakan persaingan, menuntut setiap orang untuk memiliki kompetensi yang tinggi agar dapat eksis dalam persaingan tersebut. Untuk itu, setiap orang harus terbiasa melakukan evaluasi terhadap dirinya – apa yang telah dicapai, apa yang belum; bila gagal mencapai sesuatu dimana letak penyebabnya, dan apa yang harus dilakukan untuk mencapai sukses. Hal di atas juga sangat penting untuk dipupuk dalam proses belajar. Asesmen diri adalah suatu unsur metakognisi yang sangat berperan dalam proses belajar. Oleh karena itu, agar asesmen diri dapat berjalan dengan efektif, Rolheiser dan Ross menyarankan agar siswa dilatih untuk melakukannya. Kedua peneliti mengajukan empat langkah dalam berlatih melakukan asesmen diri, yaitu: (1) libatkan semua komponen dalam menentukan kriteria penilaian, (2) pastikan semua siswa tahu bagaimana caranya menggunakan kriteria tersebut untuk menilai kinerjanya, (3) berikan umpan balik pada mereka berdasarkan hasil evaluasi dirinya, dan (4) arahkan mereka untuk mengembangkan sendiri tujuan dan rencana kerja berikutnya. 25 Untuk langkah pertama, yaitu menentukan kriteria penilaian. Guru mengajak siswa bersama-sama menetapkan kriteria penilaian. Pertemuan dalam bentuk sosialisasi tujuan pembelajaran dan curah pendapat sangat tepat dilakukan. Kriteria ini dilengkapi dengan bagaimana cara mencapainya. Dengan kata lain, kriteria penilaian adalah target pencapaian, sedangkan proses mencapai kriteria tersebut dipantau dengan menggunakan ceklis asesmen diri. Cara mengembangkan kriteria penilaian sama dengan mengembangkan rubrik penilaian dalam asesmen kinerja. Ceklis asesmen diri dikembangkan berdasarkan hakikat tujuan tersebut dan bagaimana mencapainya (lihat contoh-contoh kriteria penilaian dan ceklis evaluasi diri). Ada kendala-kendala potensial yang dapat dialami seorang guru yang baru memulai menggunakan kegiatan asesmen diri dalam pembelajarannya. Marhaeni (2007) menyebutkan tiga, yaitu kendala budaya, kendala psikologis, dan kendala pedagogis. Secara kultural, masyarakat pendidikan kita masih top-down oriented dan kurang bernuansa demokratis; sehingga dalam asesmen siswa merasa tidak berhak melakukan asesmen sebab yang berhak melakukan itu (dan secara tradisional terjadi) adalah guru, bukan siswa. Secara psikologis, siswa merasa tidak yakin dapat menilai kinerjanya sendiri sebab bagi mereka, orang yang melakukan suatu penilaian harus tahu apa yang benar sedangkan mereka sendiri masih dalam proses belajar. Kedua potensi kendala ini, jika terjadi, menimbulkan kendala lain, yaitu kendala pedagogik bagi guru. Guru harus menemukan cara-cara yang tepat untuk dapat melatih siswa melakukan asesmen diri, terutama meyakinkan mereka bahwa mereka mampu melakukannya. (v) Esai (Tes) esai menghendaki siswa untuk mengorganisasikan, merumuskan, dan mengemukakan sendiri jawabannya. Ini berarti siswa tidak memilih jawaban, akan tetapi memberikan jawaban dengan kata-katanya sendiri secara bebas. Seperti telah diulas di depan, esai dapat digolongkan menjadi dua bentuk, yaitu tes esai jawaban terbuka (extended-response) dan jawaban terbatas (restricted-response) dan hal ini tergantung pada kebebasan yang diberikan kepada siswa untuk mengorganisasikan atau menyusun ide-idenya 26 dan menuliskan jawabannya. Esai jawaban terbuka disebut sebagai salahsatu bentuk asesmen otentik karena kemampuannya memberi peluang yang besar bagi siswa untuk mendemonstrasikan kemampuannya secara bebas. Pada tes esai bentuk jawaban terbuka atau jawaban luas, siswa mendemonstrasikan kecakapannya untuk: (1) menyebutkan pengetahuan faktual, (2) menilai pengetahuan faktualnya, (3) menyusun ide-idenya, dan (4) mengemukakan idenya secara logis dan koheren. Contoh esai jenis ini adalah hasil suatu eksperimen dan pemaparannya, makalah, dan komposisi/karangan. Esai terbuka/tak terstruktur memiliki potensi untuk mengukur hasil belajar pada tingkatan yang lebih tinggi atau kompleks. Butir tes esai memberi kesempatan kepada siswa untuk menyusun, menganalisis, dan mensintesiskan ide-ide, dan siswa harus mengembangkan sendiri buah pikirannya serta terorganisasi. menuliskannya Kelemahan esai dalam adalah bentuk berkaitan yang tersusun dengan atau penskoran. Ketidakkonsistenan pembaca/penilai merupakan penyebab kurang objektifnya dalam memberikan skor dan terbatasnya reliabilitas tes. Namun hal ini dapat diminimalkan melalui penggunaan rubrik/pedoman penilaian, dan penilai ganda (inter-rater). Kaidah Penulisan (Tes) Esai Materi a. Soal harus sesuai dengan indikator, yaitu menanyakan kinerja dan materi yang hendak diukur oleh indikator. b. Batasan pertanyaan dan jawaban (ruang lingkup)harus jelas. c. Isi materi sesuai dengan jenjang, jenis sekolah, dan tingkat kelas. Konstruksi d. menggunakan kata-kata tanya yang menghendaki jawaban terurai, seperti mengapa, uraikan, jelaskan, bandingkan, hubungkan, buktikan. Hindari pertanyaan yang dapat dijawab dengan ya-tidak, siapa, dimana, dan kapan; karena dapat dijawab secara singkat tanpa uraian. 27 e. petunjuk mengerjakan soal harus jelas: cara pengerjaan, kondisi yang disediakan/dituntut, waktu penyelesaian soal. Tabel, peta, dan lain-lain yang menyertai soal harus jelas, bermakna, dan tidak menimbulkan penafsiran ganda. f. buat benchmark atau rubrik penilaian segera setelah soal selesai dibuat. Bahasa g. bahasa yang digunakan sederhana, efektif, komunikatif sehingga mudah dipahami oleh siswa. h. bahasa yang digunakan tidak menimbulkan penafsiran ganda atau salah pengertian i. bahasa yang digunakan harus netral, tidak menyinggung secara pribadi, kelompok, maupun etnis j. menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. k. tidak menggunakan bahasa yang berlaku setempat bila akan digunakan untuk daerah lain atau nasional. (vi) Projek Projek, atau seringkali disebut pendekatan projek (project approach) adalah investigasi mendalam mengenai suatu topik nyata. Dalam projek, siswa mendapat kesempatan mengaplikasikan keterampilannya. Pelaksanaan projek dapat dianalogikan dengan sebuah cerita, yaitu memiliki fase awal, pertengahan, dan akhir projek. Pada bagian contoh diberikan sebuah asesmen projek, yaitu tugas pertunjukan drama. (vii) Asesmen Portofolio Portofolio adalah sekumpulan artefak (bukti karya/kegiatan/data) sebagai bukti (evidence) yang menunjukkan perkembangan dan pencapaian siswa dalam suatu program pembelajaran. Penggunaan portofolio dalam kegiatan evaluasi sebenarnya sudah lama dilakukan, terutama dalam pendidikan seni dan bahasa. Sekarang, dengan adanya KTSP yang berbasis kompetensi, asesmen portofolio menjadi primadona dalam asesmen berbasis kelas. 28 Perlu dipahami bahwa sebuah portofolio (biasanya ditaruh dalam folder) bukan semata-mata kumpulan bukti yang tidak bermakna. Portofolio harus disusun berdasarkan tujuannya. Wyatt dan Looper (2002) menyebutkan, berdasarkan tujuannya sebuah portofolio dapat berupa developmental portfolio, bestwork portfolio, dan showcase portfolio. Developmental portfolio disusun demikian rupa sesuai dengan langkahlangkah kronologis perkembangan yang terjadi. Oleh karena itu, pencatatan mengenai kapan suatu artefak dihasilkan menjadi sangat penting, sehingga perkembangan program tersebut dapat dilihat dengan jelas. Bestwork portfolio adalah portofolio karya terbaik. Karya terbaik diseleksi sendiri oleh pemilik portofolio dan diberikan alasannya. Karya terbaik dapat lebih dari satu. Showcase portfolio adalah portofolio yang lebih digunakan untuk tujuan pajangan, sebagai hasil dari suatu kinerja tertentu. Bagaimanakah asesmen portofolio membantu memantau pencapaian target kompetensi? Asesmen portofolio adalah suatu pendekatan asesmen yang komprehensif karena: (1) dapat mencakup ranah kognitif, afektif, dan psikomotor secara bersama-sama, (2) berorientasi baik pada proses maupun produk belajar, dan (3) dapat memfasilitasi kepentingan dan kemajuan siswa secara individual. Dengan demikian, asesmen portofolio merupakan suatu pendekatan asesmen yang sangat tepat untuk menjawab tantangan penilaian dalam KTSP. Asesmen portofolio mengandung tiga elemen pokok yaitu: (1) sampel karya siswa, (2) evaluasi diri, dan (3) kriteria penilaian yang jelas dan terbuka. (1) (Sampel) Karya Siswa Sampel karya siswa merupakan bukti (evidence) yang menunjukkan perkembangan belajarnya dari waktu ke waktu. Sampel tersebut dapat berupa tulisan/karangan, audio atau video, laporan, problem matematika, maupun eksperimen. Karya tersebut disusun secara sistematis tergantung pada tujuan pembelajaran, preferensi guru, maupun preferensi siswa. Asesmen portofolio menilai proses maupun hasil. Oleh karena itu proses dan hasil sama pentingnya. Meskipun asesmen ini bersifat berkelanjutan, yang berarti proses mendapatkan porsi penilaian yang besar (bandingkan dengan asesmen konvensional yang hanya menilai hasil belajar) tetapi kualitas hasil 29 sangat penting. Dan memang, penilaian proses yang dilakukan tersebut sesungguhnya memberi kesempatan siswa mencapai produk yang sebaikbaiknya. Berbagai bukti fisik selama asesmen berlangsung disimpan dalam folder (seringkali dipakai map, amplop besar, locker, kardus yang diisi nama masing-masing siswa). Bukti fisik diperoleh dari hasil tes maupun non-tes (tes objektif diupayakan minimal). Bukti fisik non-tes antara lain karya (artefak), rekaman, draf, kinerja, dan lain-lain yang dapat menunjukkan perkembangan siswa sebagai siswa. Catatan dan bahan evaluasi-diri juga merupakan bagian dalam folder. (2) Kriteria Penilaian yang Jelas dan Terbuka Mengenai kriteria penilaian, juga ada dalam evaluasi diri. Bila pada praktik asesmen konvensional kriteria penilaian menjadi ‘rahasia’ guru atau pun penguji, dalam asesmen portofolio kriteria penilaian justru harus disosialisasikan kepada siswa secara jelas. Hal ini sangatlah logis dan manusiawi. Bagimana seseorang bisa memenuhi target yang dibebankan padanya, jika target tersebut tidak secara jelas dia ketahui? Bahkan, cara mencapai target itu pun harus diketahuinya agar dapat dia tentukan strategi yang tepat, bagaimana cara mencapai target tersebut dengan waktu, biaya, dan tenaga yang seefektif dan seefisien mungkin. Demikian yang mesti terjadi dalam asesmen otentik. Karena itu, kriteria penilaian harus mencakup prosedur dan standar penilaian. Para ahli menganjurkan agar sistem dan standar asesmen tersebut ditetapkan bersama-sama dengan siswa, atau paling tidak diumumkan secara jelas. (3) Asesmen Diri dalam Asesmen Portofolio O’Malley dan Valdez Pierce (1994) bahkan mengatakan bahwa ‘selfassessment is the key to portfolio’. Hal ini disebabkan karena melalui evaluasi diri siswa dapat membangun pengetahuannya serta merencanakan dan memantau perkembangannya apakah rute yang ditempuhnya telah sesuai. Melalui evaluasi diri siswa dapat melihat kelebihan maupun kekurangannya, untuk selanjutnya kekurangan ini menjadi tujuan perbaikan (improvement 30 goal). Dengan demikian siswa lebih bertanggungjawab terhadap proses belajarnya dan pencapaian tujuan belajarnya. Asesmen diri dalam asesmen portofolio persis sama dengan asesmen diri yang dibahas di atas. Memang, asesmen portofolio adalah asesmen otentik yang paling komprehensif dalam khasanah asesmen otentik karena melibatkan jenis-jenis asesmen yang lain seperti asesmen kinerja, asesmen diri, projek, esai, dan juga tes objektif. Semua hasil asesmen tersebut, jika diatur secara sistematis mulai dari tujuan asesmen (berdasarkan KD dan indikator), serta mengikuti langkah-langkah implementasi seperti yang disebutkan di atas, dan mengandung ketiga elemen pokok asesmen portofolio (karya, kriteria penilaian, dan asesmen diri), maka sudah merupakan praktik asesmen portofolio. Jadi, semua jenis asesmen yang telah dibahas di atas, dapat dilakukan secara sendiri-sendiri (seperti kinerja, projek); dapat pula masing-masing asesmen tersebut merupakan bagian dari suatu portofolio. 7. Model Implementasi Asesmen Otentik Berbasis Kelas Berikut ini adalah modifikasi dari model asesmen portofolio oleh Moya dan O’Malley (1994). Model tersebut (Portfolio Assessment Model) disesuaikan dengan tiga komponen pembelajaran, yaitu Perencanaan, Pelaksanaan, dan Analisis dan Pelaporan. (a). Perencanaan (1) Menentukan tujuan dan fokus (standar kompetensi, kompetensi dasar, indikator pencapaian kompetensi, domain (kognitif, afektif, psikomotor) yang diases) (2) Merencanakan isi asesmen otentik yang meliputi: pemilihan prosedur asesmen, menentukan isi/topik, dan menetapkan frekuensi dan waktu dilakukannya asesmen. (3) Mendesain cara menganalisis data, yaitu dengan menetapkan: standar atau kriteria penilaian, menetapkan cara memadukan hasil penilaian dari berbagai sumber (misalnya dari kinerja, portofolio, evaluasi diri, tes. Dan lain-lain), dan menetapkan waktu analisis. 31 (4) Merencanakan langkah-langkah kegiatan asesmen (terpadu dalam pembelajaran, ada kegiatan pemberian umpan balik, penilaian proses, penilaian produk) (5) Menentukan prosedur pengujian keakuratan informasi, yaitu menetapkan cara mengetahui validitas informasi dan reliabilitas penilaian. (b). Implementasi/pelaksanaan (1) Mengumumkan tujuan dan fokus pembelajaran kepada siswa. (2) Menyepakati prosedur asesmen yang digunakan serta kriteria penilaiannya. (3) Mendiskusikan cara-cara yang perlu dilakukan untuk mencapai hasil maksimal. (4) Melaksanakan kegiatan asesmen sesuai dengan perencanaan dan kesepakatan bersama (pengumpulan data) (5) Memberikan umpan balik (c). Analisis dan pelaporan (1) Menganalisis data yang telah dikumpulkan (2) Memadukan hasil analisis dari berbagai data yang didapat (3) Menerapkan kriteria penilaian akhir (4) Melaporkan hasil asesmen 8. Cara Penilaian Dalam Asesmen Berbasis Kelas (i) Pemberian Skor Tes Objektif Secara umum, penskoran pada tes objektif cukup sederhana. Cukup dengan menghitung jumlah jawaban yang benar dan dikalikan bobot setiap soal (bila ada), lalu dibandingkan dengan skor maksimal idealnya. Misalnya, skor maksimal ideal sebuah tes dengan 50 butir soal adalah 100. Dengan demikian bobot tiap butir soal adalah 2. Seorang siswa yang menjawab benar 36 butir soal akan mendapat skor 72. Variasi penskoran dapat dilakukan untuk tes objektif, misalnya dengan juga menghitung kemungkinan kemungkinan siswa melakukan tebakan 32 (guessing). Namun untuk kepentingan praktis di dalam penilaian kelas, variasi-variasi tersebut jarang digunakan. (ii) Pedoman Penilaian Asesmen Otentik Seperti telah dijelaskan, asesmen otentik berbeda dengan tes objektif karena dalam asesmen otentik, penilaian dilakukan terhadap unjuk kerja siswa, dan pencapaian siswa adalah berupa tingkat (the degree to which) pencapaian, jadi bukan jawaban benar atau salah. Untuk itu, diperlukan suatu cara penilaian untuk dapat mengukur tingkat pencapaian siswa. Penilaian otentik dapat dilakukan dengan dua cara. Cara pertama, dengan cara membandingkan kinerja siswa dengan suatu kinerja standar. Dalam khasanah ilmu asesmen, standar jawaban tersebut disebut dengan benchmark. Sebagai contoh, siswa diminta untuk menulis sebuah paragraf naratif (pelajaran menulis Bahasa Indonesia di SMP) dengan tema suatu pengalaman pribadi. Guru menentukan suatu paragraf yang diambil dari buku, bahkan dapat pula dibuat sendiri oleh guru, yang memiliki jenis karangan dan tema yang sama. Paragraf pilihan tersebut harus memenuhi standar suatu paragraph naratif yang baik, seperti cara pengembangan yang tepat, memiliki kalimat topik, detail, dan penutup yang tepat, dan menggunakan ungkapan bahasa yang baik dan sesuai dengan karakteristik karangan naratif. Guru menetapkan beberapa unsur penting pada benchmark tersebut yang harus muncul pada karangan siswa. Ketika menilai karya siswa, guru berpedoman pada benchmark tersebut. Cara kedua, dengan mengembangkan rubrik penilaian. Rubrik digunakan untuk menilai kinerja dalam tugas (performance task). Sebuah rubrik penilaian merupakan suatu skala yang berisi sejumlah karakteristik yang menjelaskan kinerja siswa pada tiap poin skala. Nitko (1996) mengatakan bahwa dalam rubrik penilaian analitik, penilai memberi skor pada komponen-komponen, lalu dijumlah untuk mendapatkan skor total. Rubrik penilaian mengandung: a) aspek-aspek, konsep-konsep, atau dimensi kinerja yang akan dinilai, dan b) tingkatan kinerja yang berupa gradasi mutu dari kinerja yang dinilai. Dengan semakin tingginya upaya menggunakan asesmen otentik dewasa ini, berbagai bentuk rubrik telah banyak dikembangkan dan digunakan. 33 (iii) Cara Skoring (Scoring Guides) Marhaeni (2005) menyebutkan tiga cara penskoran (scoring guides), yaitu cara holistik, analitik, dan unsur utama (primary traits). Holistic scoring, yaitu pemberian skor berdasarkan impresi penilai secara umum terhadap kualitas performansi; analytic scoring, yaitu pemberian skor terhadap aspekaspek yang berkontribusi terhadap suatu performansi; dan primary traits scoring, yaitu pemberian skor berdasarkan beberapa unsur dominan atau khusus dari suatu performansi. Sebagai contoh, ketika menilai suatu karangan siswa dalam pelajaran Bahasa Indonesia. Jika skor diberikan secara menyeluruh tanpa melihat bagian-bagian karangan (holistik) untuk suatu karangan, misalnya, 80 (rentang 0-100), maka itu disebut skor holistik. Jika skor diberikan pada beberapa komponen karangan (misalnya ditetapkan 5 komponen: isi, organisasi isi, penggunaan tatabahasa, kosakata, dan mekanika) dimana setiap komponen diberi skor (selanjutnya boleh dijumlah atau dirata-ratakan, sama saja), maka penilaian seperti itu disebut skor analitik. Dan jika skor diberikan pada beberapa komponen khusus yang sesuai dengan jenis karangan (misalnya, untuk jenis karangan deskriptif ditetapkan tiga komponen khusus: pemilihan topik cocok untuk karangan deskriptif, kualitas deskripsi, cara pendeskripsian) dimana setiap komponen tersebut diberi skor (selanjutnya boleh dijumlah atau dirata-ratakan, sama saja), maka penilaian seperti itu disebut skor unsur utama (primary-traits scoring). Beberapa hasil penelitian tentang penggunaan scoring guides di atas menunjukkan bahwa cara analitik (yang juga dapat divariasi dengan primary traits) ternyata dapat dengan lebih objektif menilai kinerja. (iv) Pengembangan Rubrik Kinerja siswa dapat direkam dengan berbagai bentuk rubrik, seperti menggunakan checklist (daftar centang) atau rating scale (skala lajuan). Dalam pembuatan instrumen asesmen kinerja ini perlu dilakukan perencanaan terlebih dahulu mengenai aspek-aspek kinerja yang dapat diamati dan yang akan diases. Daftar centang digunakan untuk mengases kinerja siswa yang tampak sesuai atau tidak sesuai dengan aspek-aspek 34 kinerja. Jadi dalam hal ini asesor hanya menyatakan ada atau tidak adanya aspek-aspek kinerja yang dituntut. Daftar centang yang dibuat minimal ada dua komponen, yaitu deskripsi aspek kinerja dan tanda yang menyatakan ada tidaknya aspek kinerja yang diases. Rating scale dapat digunakan untuk memperoleh informasi tentang kualitas kinerja siswa pada setiap aspek kinerja yang dituntut. Ada beberapa tipe rating scale, antara lain numerical rating scale, graphic rating scale, dan descriptive rating scale. Numerical rating scale terdiri dari deskripsi tentang aspek kinerja yang disertai dengan angka yang menunjukkan tingkatan kualitas kinerja yang diases. Graphic rating scale sama dengan numerical rating scale, hanya dalam graphic rating scale yang digunakan bukan angka sebagai tanda kualitas kinerja, tetapi dengan memberi tanda tertentu pada suatu kontinum baris. Descriptive rating scale sama dengan graphic rating scale, tetapi pada setiap skala diberi deskripsi tentang kualitas kinerja yang diases. d. Cara Menginterpretasikan Hasil Asesmen Linn dan Gonlund (1995) menguraikan bahwa hasil tes dapat diinterpretasikan dengan dua cara (metode), yaitu berdasarkan standar absolut (criterion-referenced interpretation) yang kita kenal dengan PAP (Penilaian Acuan Patokan), dan standar relatif (norm-referenced interpretation) yang kita kenal dengan PAN (Penilaian Acuan Norma). Interpretasi berdasarkan standar absolut meliputi penentuan hasil tes dengan menggunakan suatu standar atau mengacu pada kriterium (patokan). Jika dalam penilaian menggunakan skala 0-100, yaitu skor minimal 0 dan skor maksimal 100, maka nilai siswa merentang dari 0 sampai 100. Seiring dengan pergeseran orientasi pembelajaran dari berbasis konten menuju berbasis kompetensi, sesuai dengan hakikat kompetensi itu sendiri yang bersifat individual bukan kelompok, maka PAP menjadi satusatunya cara interpretasi yang digunakan untuk mengetahui tingkat kompetensi siswa. Berbagai acuan patokan telah dikembangkan oleh sekolah karena KTSP sendiri memberi peluang bagi masing-masing sekolah untuk menetapkan standar minimal pencapaian yang disebut KKM. Acuan patokan 35 atau disebut juga acuan kriteria berasumsi bahwa hampir semua orang bisa belajar apa saja namun waktunya yang berbeda. Konsekuensi acuan ini adalah adanya program remidi atau pengayaan. Mereka yang belum memiliki kompetensi dasar seperti diisyarakatkan harus belajar lagi sampai kemampuannya mencapai kriteria atau standar yang ditetapkan. Bagi mereka yang telah mencapai standar, diberi pelajara tambahan yaitu yang disebut dengan pengayaan. Jadi irama belajar pada pendidikan berbasis komp[etensi adalah individu, yang cepat diberi pengayaan dan yang lambat diberi remedial. Penafsiran hasil penskoran selalu dibandingkan dengan kriteria yang telah ditetapkan lebih dahulu. Keputusannya adalah lulus atau tidak. Lulus berarti telah memiliki kompetensi dasar, tidak lulus berarti belum memiliki kompetensi dasar. Pada praktiknya batas lulus yang banyak digunakan adalah 75%. Batas lulus ini sebenarnya tergantung pada resiko yang ada pada tiap mata pelajaran. Mata pelajaran dengan resiko tinggi batas lulus tinggi, sedang yang resikonya rendah batas lulusnya bisa lebih rendah batas lulusnya bisa lebih rendah dari 75%. Jadi, dapat disimpulkan bahwa sistem penilaian hasil kegiatan pembelajaran berbasis kompetensi menggunakan acuan kriteria; yaitu berdasarkan apa yang bisa dilakukan peserta didik setelah peserta didik mengikuti proses pembelajaran, dan bukan untuk menentukan posisi seseorang terhadap kelompoknya. 9. Contoh-contoh Asesmen Otentik dan Instrumennya (i) Contoh asesmen Projek (Projek terdiri dari tiga fase, yaitu fase awal, fase pengembangan, dan fase akhir). Fase awal: Guru memberikan tugas projek pada siswa, sebagai berikut. Tugas Projek : Pertunjukan Drama Petunjuk : - Pilihlah salahsatu drama karya Putu Wijaya - Setiap kelompok terdiri dari 5 – 10 orang siswa 36 - Pertunjukan akan dilakukan pada tanggal 12 Februari 2008 di auditorium sekolah - Lama waktu pertunjukan adalah 30 menit untuk setiap kelompok, karena itu naskah dapat dimodifikasi tanpa meninggalkan pesan aslinya. Fase Pengembangan; Siswa mencari bahan, memodifikasi naskah, berdiskusi dengan ahli, berlatih secara terbimbing maupun mandiri. Fase Akhir: siswa menampilkan hasil kerja mereka, yaitu berupa pertunjukan drama. (ii) Contoh Rubrik dan Cara Penskoran Rubrik Holistik Menghitung dengan Cara Susun Skor Deskripsi 3 Hasil dan cara penyelesaiannya benar 2 Hasil salah, cara penyelesaiannya benar 1 Hasil benar, cara penyelesaiannya salah 0 Hasil dan cara penyelesaiannya salah Rubrik Analitik Mengarang dengan 150 kata Skor Aspek yang diukur Kesesuaian 0 1 2 3 tidak sesuai agak sesuai sesuai Ketepatan kesalahan kesalahan Kesalahan tidak ada penulisan ejaan lebih ejaan 4-6 kata ejaan 1-3 kata kesalahan ejaan dari 6 kata Ketepatan kesalahan kesalahan kesalahan tidak ada penulisan ejaan lebih ejaan 6-10 kata ejaan 1-5 kata kesalahan antara judul dengan isi ceritra ejaan 37 tanda baca dari 10 kata tanda baca Ketepatan lebih dari 2 2 kalimat 1 kalimat semua kalimat struktur kalimat strukturnya strukturnnya memiliki kalimat strukturnya tidak tepat tidak tepat struktur yang tidak tepat tepat Keterpaduan lebih dari 2 2 kalimat tidak 1 kalimat tidak semua kalimat antar kalimat kalimat tidak padu padu padu padu Skor Maksimum = 14 Contoh Rubrik Penilaian Analitik (digunakan oleh guru pada saat siswa mempresentasikan suatu tugas, misalnya presentasi hasil percobaan) Presentasi Makalah No. Dimensi Deskriptor Skor Bobot (1-10) 1. Kualitas presentasi Paparan sistematis, dukungan 4 visual tepat, bahasa baik 2. Kemampuan menjawab Menjawab pertanyaan pertanyaan, 4 isi jawaban tepat dan lugas 3. Etika presentasi Tegas dan luwes, mengikuti tatatertib, mengikuti tatakrama kegiatan ilmiah 38 2 SxB (iii) Contoh Ceklis Asesmen Diri Ceklis Persiapan Presentasi No. Dimensi Deskriptor 1. Kualitas presentasi paparan sistematis Cek dukungan visual tepat bahasa baik 2. 3. Kemampuan menjawab menjawab pertanyaan pertanyaan isi jawaban tepat dan lugas Etika presentasi tegas dan luwes mengikuti tatatertib mengikuti tatakrama kegiatan ilmiah Contoh-contoh Ceklis Proses Menulis Ceklis untuk Isi dan Organisasi Tulisan/Karangan No. Deskripsi Cek 1. Topik karangan cukup spesifik 2. Ide-ide utamanya baik 3. Setiap ide dikembangkan dengan detail cocok yang cukup 4. Detail untuk setiap ide seimbang 5. Ada paragraf pembuka dan penutup 6. Ada keserasian antara ide-ide sehingga menjadi suatu kesatuan (unity) 7. Ide-ide dikembangkan dengan lancar (koherensi/coherence) Ceklis untuk Kosakata (termasuk gaya pengungkapan) No. Deskripsi 1. Pemilihan kata tepat dan bervariasi 2. Menggunakan sinonim, dan antonim untuk menghindari pengulangan 3. Menggunakan kata-kata yang sesuai dengan audience 39 Cek 4. Kalimat-kalimat yang digunakan cocok dengan registernya (misalnya, naratif) 5. Ada variasi panjang-pendeknya kalimat 6. Bentuk-bentuk kalimat bervariasi 7. Menggunakan kalimat-kalimat efektif 8. Meniru gaya bercerita dari apa yang telah dibaca 9. Menggunakan kamus Ceklis Untuk Mekanika (aturan-aturan penulisan) No. Deskripsi 1. Menggunakan tanda-tanda baca dengan tepat 2. Permulaan paragraf menjorok kedalam 3. Menggunakan huruf besar untuk nama 4. Menggunakan huruf pada setiap awal kalimat 5. Menggunakan ejaan kata dengan baik 6. Menggunakan prefiks, infiks, dan sufiks dangan tepat 7. Ada jarak yang cukup antar kata 8. Garis pinggir (margin) 2 cm keliling 9. Menulis nama sendiri pada sudut kanan atas kertas 10. Membaca ulang karangan sendiri Cek (iv) Contoh Penilaian Kinerja Berpidato dengan berbagai cara rating. Instrumen Asesmen Kinerja Berpidato dengan checklist rating scale Nama : ……………………………………………. Kelas : ……………………………………………. Petunjuk : Berilah tanda centang (√) pada kolom yang disediakan mengenai aspek-aspek kinerja siswa yang diamati pada saat berpidato Komponen Kinerja Centang I. Ekspresi Fisik (Physical Expression) 1. Berdiri tegak melihat pada penonton 40 ………… 2. Mengubah ekspresi wajah sesuai dengan perubahan pernyataan yang disajikan ………… 3. Mata melihat pada penonton II Ekspresi Suara (Vocal Expression) 1. Berbicara dengan kata-kata yang jelas ................ 2. Nada suaranya berubah-ubah sesuai pernyataan yang ditekankan ................ 3. Berbicara cukup keras untuk didengar oleh penonton ................ III Ekspresi Verbal (Verbal Expression) 1. Memilih kata-kata yang tepat untuk menegaskan arti ................ 2. Tidak mengulang-ulang pernyataan ................ 3. Menggunakan kalimat yang lengkap untuk mengutarakan satu pikiran ................ 4. Menyimpulkan pokok-pokok pikiran yang penting ............... Skor Total Instrumen Asesmen Kinerja Berpidato dengan numerical Rating Scale Nama : …………………………………………. Kelas : ………………………………………… Petunjuk: Berilah lingkaran pada setiap aspek kinerja yang sesuai dengan ketentuan sebagai berikut 1 bila siswa selalu melakukan 2 bila kadang-kadang 3 bila jarang, dan 4 bila tidak pernah 41 I Ekspresi Fisik (Physical Expression) A. Berdiri tegak melihat pada penonton 1 2 3 4 B. Mengubah ekspresi wajah sesuai dengan perubahan pernyataan yang disajikan 1 2 3 4 C. dst. Instrumen Asesmen Kinerja Berpidato dengan Graphic Rating Scale Nama : ..................................................... Kelas : .................................................... Petunjuk Berikanlah tanda silang (X) pada garis dimana aspek kinerja siswa teramati pada waktu berpidato 1. Ekspresi Fisik (Physical Expression) A. Berdiri tegak melihat pada penonton Selalu Kadang- Jarang Tidak Pernah kadang 42 B. Mengubah ekspresi wajah sesuai dengan perubahan pernyataan yang disajikan Selalu Kadang- Jarang kadang Tidak Pernah C. dst. Instrumen Asesmen Kinerja Berpidato dengan Descriptive rating Scale Nama : ..................................................... Kelas : .................................................... Petunjuk Berikanlah tanda silang (X) pada garis dimana aspek kinerja siswa teramati pada waktu berpidato 1. Ekspresi Fisik (Physical Expression) A. Berdiri tegak melihat pada penonton Berdiri tegak, Kadang-kadang Tidak pernah selalu melihat berdiri tegak, berdiri tegak, maka pada melihat ke tidak pernah penonton langit-langit kontak dengan kadang-kadang penonton melihat penonton B. dst. (v) Contoh instrumen lain Contoh Jurnal Membaca (untuk tugas membaca suatu karya sastra) 43 Jurnal Membaca Judul Buku: ……….. Tanggal mulai : NO. TGL. Tanggal selesai: HALAMAN RINGKASAN (misalnya, (tentang isi KOMENTAR yang (perasaan/pendapat hal. 1 – 15) dibaca) tentang alur/topik/tokoh, dll). Contoh Inventori Minat Inventori Minat Membaca Nama Siswa:_____________________________ No. Deskripsi Ya/ Tidak 1. Saya suka membaca cerita apapun, terutama kisah-kisah orang terkenal 2. Saya lebih banyak membaca cerita untuk waktu luang saya 3. Saya tidak sabar untuk mengetahui akhir dari kisah yang saya baca 4. Banyak hal yang menarik dalam cerita-cerita yang saya baca 5. Saya sering melihat kehidupan dalam cerita-cerita 6. Saya lebih asyik membaca dibandingkan dengan melakukan hal-hal yang lain 7. Dst…….. 10. Kesahihan dan Keandalan Alat Asesmen Kesahihan suatu alat asesmen menyangkut kemampuan alat tersebut mengukur/mengungkap apa yang ingin diukur/diungkap. Kesahihan alat asesmen dapat dikategorikan menjadi tiga, yaitu kesahihan isi, konstruk dan kriteria. Kesahihan isi dilihat dari bahan yang diujikan, yang dapat dilihat dari kisi-kisinya; kesahihan konstruk dilihat dari dimensi-dimensi yang diukur, dan kesahihan kriteria dilihat dari daya prediksinya. Untuk asesmen otentik, 44 kesahihan merupakan isu yang cukup kompleks, terutama dalam hal keterwakilan domain yang hendak diukur dan pengumpulan datanya (validity evidence). Keandalan suatu alat asesmen memberikan informasi tentang besarnya kesalahan pengukuran. Keandalan dapat dikategorikan menjadi tiga, yaitu konsistensi internal, stabilitas, dan antar penilai (inter-rater). Besarnya indeks konsistensi internal diperoleh dari data hasil asesmen karena untuk mencari indeks ini cukup dilakukan satu kali pengujian. Indeks stabilitas merupakan tingkat kestabilan hasil pengukuran yang dilakukan paling tidak dua kali untuk orang yang sama dalam waktu yang berbeda, dengan asumsi tidak ada efek pengujian. Keandalan antar penilai diperoleh dari besarnya korelasi hasil penskoran dari dua orang terhadap lembar jawaban atau kinerja yang sama. Besarnya indeks keandalan merentang dari 0 sampai 1. Inter-rater reliability coefficient yang dapat diterima minimal 0,7. Keandalan antara penilai umum diperlukan pada instrumen non-tes seperti kinerja, esai, dan portofolio. Untuk menjamin kesesuaian penilaian (antara dua atau lebih penilai untuk kinerja yang sama) diperlukan pedoman pensekoran yang disepakati dan dilatihkan diantara penilai sebelum digunakan. Semakin andal suatu alat asesmen berarti kesalahan pengukuranya semakin kecil. 11. Beberapa pertanyaan terkait dengan implementasi asesmen otentik Seiring dengan meningkatnya kebutuhan terhadap cara-cara penilaian yang lebih bermakna, guru telah mulai bergeser dari orientasi yang berlebihan terhadap tes-tes objektif, ke cara-cara penilaian otentik. Sesuai dengan hukum rule of practice, pada awal melakukan asesmen otentik, berbagai kendala pasti dialami. Berikut ini rekaman dari beberapa pertanyaan guru terkait dengan implementasi asesmen otentik dalam asesmen berbasis kelas. (i). Bagaimana caranya/strategi melakukan asesmen otentik dalam kelas besar dan waktu yang terbatas? Dari pengalaman dan pengamatan selama ini, masalah ukuran kelas memang menjadi salahsatu kendala dalam implementasi asesmen otentik. Namun, ada rencana yang tertuang dalam Standar Proses Pendidikan (belum 45 terbit sebagai Permen) bahwa ukuran kelas di SD nantinya adalah 30 orang, dan di SMP SMA 32 orang, lebih kecil dari umumnya ukuran kelas sekarang. Disamping itu, menyelenggarakan terlihat para guru pembelajaran belum terpadu. terampil Dalam betul pelajaran dalam Bahasa Indonesia, misalnya, guru memisahkan pembelajaran Membaca dengan Menulis, padahal materinya sama, yaitu tentang Ringkasan. Mestinya, sebuah naskah ringkasan yang digunakan dalam kegiatan membaca secara langsung merupakan model/contoh untuk melatih siswa menulis ringkasan. Dengan cara ini, pembelajaran dan asesmen dapat efisien dalam waktu, dan tetap bermakna. (ii). Apa asesmen otentik sesuai dengan cara evaluasi dalam UN? Dilihat dari pendekatan evaluasi yang dilakukan UN selama ini, yaitu dengan menggunakan tes objektif, maka secara langsung cara-cara asesmen otentik tidak sesuai dengan UN. Namun, perlu dicermati beberapa hal berikut: (i) asesmen otentik adalah amanat KTSP yang harus dilakukan, (ii) dengan berlakunya KTSP, diharapkan pendekatan evaluasi UN yang terjadi selama ini dapat dievaluasi dan ditingkatkan relevansinya dengan kurikulum yang berlaku, (iii) sebenarnya, asesmen otentik bila dilakukan dengan baik, akan benar-benar dapat membangun kompetensi. Bila siswa sudah kompeten, maka jenis evaluasi apapun yang dipakai pasti dapat diselesaikan dengan baik, (iv) guru masih bisa menggunakan tes-tes objektif untuk KD yang relevan diukur dengan cara tersebut, misalnya dalam mengukur aspek kognitif tingkat rendah. Namun perlu dihindari penggunaan tes objektif secara berlebihan karena selain kemampuannya mengukur tingkat kompetensi sangat rendah, juga dapat menimbulkan ketergantungan (over-reliance); jangan sampai siswa tidak bisa mengerjakan soal selain soal-soal objektif. Jangan pula sampai terjadi persepsi, bila mengerjakan tes objektif baru namanya ujian, baru serius mengerjakan tugas. Perlu pula diingat bahwa terdapat kombinasi untuk ujian nasional dan ujian sekolah, dimana untuk ujian sekolah dilakukan melalui tes kinerja. 46 (iii). Apakah semua KD harus diases dengan asesmen otentik? Sudah disinggung di atas, hendaknya guru menyesuaikan jenis asesmen yang digunakan dengan target kompetensi seperti yang dijabarkan dalam indikator pencapaian. Bila indikator pencapaian berkisar di tataran konsep, maka tes objektif dapat digunakan. Namun, mengingat validitas yang tinggi pada asesmen otentik untuk mengukur kompetensi, maka sudah saatnya para guru mengurangi penggunaan tes objektif. Sebagai saran, gunakan perbandingan 80:20 untuk asesmen otentik dan tes objektif. Suatu saran, bila Anda akan melakukan asesmen otentik, maka lakukanlah secara kecil-kecilan dulu, misalnya asesmen kinerja untuk satu KD, misalnya dalam pelajaran Bahasa Indonesia, yaitu KD untuk keterampilan Menulis. Contoh lain, untuk suatu materi tertentu dalam pelajaran IPA, misalnya materi Sistem Tata Surya, dengan menggunakan asesmen Projek. Yang penting, siapkan dengan baik model implementasi seperti tersebut di atas. Pada awalnya memang sulit dan butuh waktu. Hal ini wajar karena Anda mencoba suatu hal baru. Memulai apapun yang baru pastilah terasa sulit. Namun, lambat laun, Anda akan terbiasa dengan asesmen otentik, dan juga akan menyadari bahwa banyak alat asesmen yang Anda gunakan sebelumnya, dapat digunakan lagi berikutnya, misalnya, kriteria penilaian. Dengan demikian, pekerjaan Anda akan semakin mudah. Karena itu, biasakanlah menyimpan alat-alat asesmen yang Anda gunakan. IV. BAHAN LATIHAN DAN TUGAS 1. Membuat Tes Objektif Langkah Pengembangan Tes Ada sembilan langkah yang harus ditempuh dalam mengembangkan tes hasil atau prestasi belajar, yaitu: (a) menyusun spesifikasi tes,(b) menulis soal tes,(c) menelaah soal tes,(d) melakukan uji coba tes, (e) menganalisis butir soal,(f) memperbaiki tes,(g) merakit tes, (h) melaksanakan tes, dan (i) menafsirkan hasil tes. Khusus mengenai uji coba tes, dalam menyusun tes untuk mengukur prestasi/ hasil pembelajaran yang diselenggarakan oleh guru di kelas seperti ulangan harian, ulangan umum, dan ulangan kenaikan kelas, tidak harus dilakukan secara tersendiri. Pembakuan tes dilakukan melalui beberapa kali uji coba. 47 Langkah awal dalam mengembangkan tes adalah menetapkan spesifikasi tes, yaitu berisi uraian yang menunjukkan keseluruhan karakteristik yang harus dimiliki suatu tes. Spesifikasi yang jelas akan mempermudah dalam menulis soal, dan siapa saja yang menulis soal akan menghasilkan tingkat kesulitan yang relatif sama. Penyusunan spesifikasi tes mencakup kegiatan berikut ini: (a) menentukan tujuan tes, (b) menyusun kisikisi tes, (c) memilih bentuk tes, dan (d) menentukan panjang tes. a. Kisi-Kisi Tes Kisi-kisi merupakan matriks yang berisi spesifikasi soal-soal yang akan dibuat. Kisi-kisi ini merupakan acuan bagi penulis soal, sehingga siapapun yang menulis soal akan menghasilkan soal yang isi dan tingkat kesulitannya relatif sama. Matriks kisi-kisi soal terdiri atas dua jalur, yaitu kolom dan baris. Kolom menyatakan standar kompetensi, kompetensi dasar, materi pokok, indikator, jenis tagihan, betuk soal, dan contoh soal (lihat lampiran I) Ada tiga langkah dalam mengembangkan kisi-kisi tes dalam sistem penilaian berbasis kompetensi dasar, yaitu: 1) Menulis kompetensi dasar 2) Menulis materi pokok 3) Menentukan indikator, dan 4) Menentukan jumlah soal. Penentuan indikator-indikator yang dapat diukur digunakan kompetensi dasar sebagai acuan.. hal ini dimaksudkan untuk mengurangi penyimpangan-penyimpangan dalam memilih bahan yang diujikan agar memenuhi persyaratan kesahihan isi. Hal yang penting dalam menentukan materi tes adalah kompetensi dasar yang diukur melalui tugas rumah, ada yang melaui ulangan harian. b. Pemilihan Bentuk Tes Pemilihan bentuk tes yang tepat ditentukan oleh tujuan tes, jumlah peserta tes, waktu yang tersedia untuk memeriksa lembar jawaban tes, cakupan materi tes, dan karakteristik mata pelajaran yang diujikan. 48 c. Panjang Tes panjang tes ditentukan oleh waktu yang tersedia untuk melakukan ujian dengan memperhatikan bahan yang diujikan dan tingkat kelelahan peserta tes. Pada umumnya tes dilakukan selama 90 menit sampai dengan 120 menit. Untuk tes bentuk pilihan ganda dengan tingkat kesulitan rata-rata sedang, tiap butir soal memerlukan waktu pengerjaan sekitar 1 menit. Untuk bentuk uraian banyaknya bentuk soal tergantung pada pada kompleksitas soal. Namun demikian, disarankan menggunakan lebih banyak soal dibanding hanya beberapa soal agar kesahihan isi tes lebih baik. Latihan: 1. Membuat Kisi-kisi dan mengembangkan butir soal pilihan ganda 2. Menilai suatu kinerja dengan menggunakan scoring guides. Latihan: Suatu kinerja akan ditayangkan melalui alat bantu, Anda diberikan suatu scoring guides dan diminta untuk menskor kinerja yang ditayangkan. 3. Merancang Asesmen Otentik Latihan: merancang suatu asesmen kinerja/otentik; dengan tahapan: menentukan indikator, membuat tugas kinerja (performance task), mengembangkan rubrik penilaian dan menetapkan cara skoringnya, dan pengembangan skenario kecil langkah-langkah pembelajaran dan asesmen untuk mencapai indikator. 49 V. REFERENSI Arends, R.I. (1997). Classroom Management and Instruction. New York: Mc. Graw-Hill Companies Inc. Buchori, M. (2000). Pendidikan Antisipatoris. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Delors, J. (1996). Learning: The Treasure Within. France: UNESCO Publishing. Fogarty, R. (Ed.). (1996). Student Portfolios, A Collection of Articles. Victoria, Australia: Hawker Brownlow Education. Gronlund, N.E & Linn, R.L. (1995). Measurement and Evaluation in Teaching. New York: McMillan Publishing Company Hibbard, M. 1999. Performance Assessment in The Science Classroom. New York: McGraw-Hill. Marhaeni, A.A.I.N. (2005). Pengaruh Asesmen Portofolio dan Motivasi Berprestasi terhadap Kemampuan Menulis Bahasa Inggris (disertasi tak dipublikasikan), Jakarta: Universitas Negeri Jakarta. Marhaeni, A.A.I.N. (2007). Self-assessment in EFL Instruction: Why Does It Matter? Makalah disampaikan dalam 55th TEFLIN International Conference. Jakarta. Nitko A.J. (1996). Educational Assessment of Students, 2nd Ed. Columbus Ohio : Prentice Hall. O’Malley, J.M. & Valdez Pierce, L. (1996). Authentic Assessment for English Language Learners. New York: Addison-Wesley Publishing Company. Popham, W.J. (1975). Educational Evaluation. New Jersey: Prentice Hall Inc. Popham, W.J. (1995). Classroom Assessment, What Teachers Need to Know. Boston: Allyn and Bacon. Rolheiser, C. & Ross, J. A. (2005) Student Self-Evaluation: What Research Says and What Practice Shows. Internet download. Salvia, J. & Ysseldyke, J.E. (1996). Assessment. 6th Edition. Boston: Houghton Mifflin Company. Stufflebeam, D. L. & Shienkfield, A. J. (1985). Systematic Evaluation. Boston: Kluwer-Nijhoff Publishing. 50 Wyaatt III, R.L. & Looper, S. (1999). So You Have to Have A Portfolio, a Teacher’s Guide to Preparation and Presentation. California: Corwin Press Inc. 51