peradilan agama

advertisement
UNDANG UNDANG
PERADILAN AGAMA
HASIL PERUBAHAN
&
&&&
&&&
&&&
&&&
&&&
&&&
&&&
&&&
&&&
&
DISUSUN SATU NASKAH
DALAMī€ 
UNDANG UNDANG NOMOR 50 TAHUN 2009
TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS
UNDANG UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989
TENTANG PERADILAN AGAMA
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, akhirnya rangkuman dari berbagai sumber ini selesai
disusun. Rangkuman ini terdiri dari dua bagian, yaitu bagian pertama tentang kumpulan
peraturan perundang-undangan Pengadilan Agama mulai Undang Undang Nomor 7
Tahun 1989, Undang Undang Nomor 3 Tahun 2006 sampai Undang Undang Nomor 50
Tahun 2009 dan bagian kedua tentang peraturan maupun yurisprudensi yang terkait
dengan pasal-pasal dalam undang undang tersebut.
Rangkuman ini berawal dari catatan pribadi namun akhirnya dirasakan lebih
afdhol apabila diedit secara rapi dan teratur sehingga dapat dibaca oleh orang lain. Sudah
barang tentu
subyektifitas
dan tingkat
keilmuaannya
sangat
kurang,
namun
demikiandiharapkan dengan membawa rangkuman ini persoalan yang terkait dengan
peradilan agama dapat dijawab dengan cepat dan tidak perlu membutuhkan buku atau
catatan yang lain.
Adapun tata cara memahami peraturan peradilan agama hasil perubahan adalah
sebagai berikut :
1. Tanda *
: Teks asli UU Nomor 7 Tahun 1989 yang tidak dirubah.
2. Tanda *) : UU Nomor 7 Tahun 1989 dirubah oleh UU Nomor 3 Tahun 2006
3. Tanda *)) : Diadakan baru oleh UU Nomor 3 Tahun 2006.
4. Tanda **): UU Nomor 7 Tahun 1989 dirubah oleh UU Nomor 50 Tahun 2009
6. Tanda
**)) : UU Nomor 3 Tahun 2006 dirubah oleh UU Nomor 50 tahun
2009
7. Tanda **))): Diadakan baru oleh UU Nomor 50 tahun 2009.
Menyadari akan segala kekurangan dalam tulisan ini, sebagai penyunting
mohon kiranya pembaca yang budiman memberikan saran dan pendapat demi
kebaikan kita semua.
Akhirnya, ilaika al musytakaa wa anta al musta’aan.
Pontinak, 15 Januari 2015
Penyunting,
Ali M. Haidar
1
UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 50 TAHUN 2009
TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989
TENTANG PERADILAN AGAMA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang : a. bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka
untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum
dan keadilan sehingga perlu diwujudkan adanya lembaga
peradilan yang bersih dan berwibawa dalam memenuhi rasa
keadilan dalam masyarakat;
b. bahwa Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang
Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama sudah tidak
sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat
dan ketatanegaraan menurut Undang Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan dimaksud pada huruf a dan
huruf b perlu membentuk Undang Undang tentang Perubahan
Kedua atas Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama;
Mengingat : 1. Pasal 20, pasal 21, pasal 24 dan pasal 25 Undang Undang
DasarNegara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985
Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3316), sebagaimana telah diubah terakhir dengan
Undang Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan
Kedua Atas Undang Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang
Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4958);
3. Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1989, Nomor 49,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3400)
sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Nomor 3
Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang Undang Nomor 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 22, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4611);
4. Undang Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman
2
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009, Nomor
157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5076);
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN
Menetapkan : UNDANG UNDANG TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS
UNDANG UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG
PERADILAN AGAMA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Bagian Pertama
Pengertian
Pasal 1
Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan :
1. Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama
Islam.*
2. Pengadilan adalah Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama di
lingkungan Peradilan Agama.*
3. Hakim adalah hakim pada Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi
Agama.*
4. Pegawai Pencatat Nikah adalah Pegawai Pencatat Nikah pada Kantor
Urusan Agama.*
5. Juru Sita dan/Juru Sita Pengganti adalah Juru Sita dan/Juru Sita Pengganti
pada Pengadilan Agama.*
6. Mahkamah Agung adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman
sebagaimana dimaksud dalam Undang Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.**)))
7. Komisi Yudisial adalah lembaga negara sebagaimana dimaksud dalam
Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.**)))
8. Pengadilan Khusus adalah pengadilan yang mempunyai kewenangan
untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara tertentu yang hanya
dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan badan peradilan yang berada
dibawah Mahkamah Agung yang diatur dalam undang-undang.**)))
3
9. Hakim ad hoc adalah Hakim yang bersifat sementara yang memiliki
keahlian dan pengalaman di bidang tertentu untuk memeriksa, mengadili
dan memutus suatu perkara yang pengangkatannya diatur dalam undangundang. **)))
Bagian Kedua
Kedudukan
Pasal 2
Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi
rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu yang
diatur dalam undang-undang ini.*)
Pasal 3
(1) Kekuasaan kehakiman dilingkungan Peradilan Agama dilaksanakan oleh :
a. Pengadilan Agama.
b. Pengadilan Tinggi Agama.*
(2) Kekuasaan kehakiman dilingkungan Peradilan Agama berpuncak pada
Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara Tertinggi.*
(1)
(2)
(3)
(4)
Pasal 3A
Di lingkungan Peradilan Agama dapat dibentuk pengadilan khusus yang
diatur dengan undang-undang.**))
Peradilan Syari’ah Islam di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam
merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan Peradilan Agama
sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan Peradilan Agama,
dan merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan Peradilan Umum
sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan Peradilan
Umum.**)))
Pada pengadilan khusus dapat diangkat Hakim ad hoc untuk memeriksa,
mengadili dan memutus perkara yang membutuhkan keahlian dan
pengalaman dalam bidang tertentu dan dalam jangka waktu tertentu.**)))
Ketentuan mengenai syarat, tata cara pengangkatan dan pemberhentian
serta tunjangan Hakim ad hoc diatur dalam peraturan perundangundangan.**)))
Bagian Ketiga
Tempat Kedudukan
Pasal 4
(1) Pengadilan Agama berkedudukan di ibu kota kabupaten atau kota dan
daerah hukumnya meliputi wilayah kabupaten atau kota.*)
(2) Pengadilan Tinggi Agama berkedudukan di ibu kota provinsi dan daerah
hukumnya meliputi wilayah provinsi.*
4
Bagian Keempat
Pembinaan
Pasal 5
(1) Pembinaan teknis peradilan, organisasi, administrasi dan finansial
pengadilan dilakukan oleh Mahkamah Agung.*)
(2) Pembinaan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) tidak boleh
mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan memutus perkara.*)
BAB II
SUSUNAN PENGADILAN
Bagian Pertama
Umum
Pasal 6
Pengadilan terdiri dari :
1. Pengadilan Agama, yang merupakan Pengadilan Tingkat Pertama.*
2. Pengadilan Tinggi Agama, yang merupakan Pengadilan Tingkat
Banding.*
Pasal 7
Pengadilan Agama dibentuk dengan Keputusan Presiden.*
Pasal 8
Pengadilan Tinggi Agama dibentuk dengan undang-undang.*
Pasal 9
(1) Susunan Pengadilan Agama terdiri dari Pimpinan, Hakim Anggota,
Panitera, Sekretaris dan Juru Sita.*
(2) Susunan Pengadilan Tinggi Agama terdiri dari Pimpinan, Hakim Anggota,
Panitera dan Sekretaris.*
Pasal 10
(1) Pimpinan Pengadilan Agama terdiri dari seorang Ketua dan seorang Wakil
Ketua.*
(2) Pimpinan Pengadilan Tinggi Agama terdiri dari seorang Ketua dan
seorang Wakil Ketua.*
(3) Hakim Anggota Pengadilan Tinggi Agama adalah Hakim Tinggi.*
Bagian Kedua
Ketua, Wakil Ketua, Hakim, Panitera dan Juru Sita
Paragraf 1
Ketua, Wakil Ketua dan Hakim
Pasal 11
(1) Hakim pengadilan adalah pejabat yang melaksanakan tugas kekuasaan
kehakiman.*)
(2) Syarat dan tata cara pengangkatan, pemberhentian serta pelaksanaan tugas
Hakim ditetapkan dalam undang-undang ini.*
5
Pasal 12
(1) Pembinaan dan pengawasan umum terhadap Hakim dilakukan oleh
Mahkamah Agung.*)
(2) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak
boleh mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan memutus
perkara.*
Pasal 12A
(1) Pengawasan internal atas tingkah laku Hakim dilakukan oleh Mahkamah
Agung.**)))
(2) Selain pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), untuk menjaga
dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku Hakim,
pengawasan eksternal atas perilaku Hakim dilakukan oleh Komsisi
Yudisial.**)))
Pasal 12B
(1) Hakim harus memiliki integritas dan kepribadian tidak tercela, jujur, adil,
profesional, bertakwa dan berakhlak mulia serta berpengalaman di bidang
hukum.**)))
(2) Hakim wajib menaati Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.**)))
Pasal 12C
(1) Dalam melakukan pengawasan Hakim sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12, Komisi Yudisial melakukan kordinasi dengan Mahkamah
Agung.**)))
(2) Dalam hal terdapat perbedaan antara hasil pengawasan internal yang
dilakukan oleh Mahkamah Agung dan hasil pengawasan eksternal yang
dilakukan oleh Komisi Yudisial, pemeriksaan dilakukan bersama oleh
Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial.**)))
Pasal 12D
(1) Dalam melaksanakan pengawasan eksternal sebagaimana dimaksud
dalam pasal 12A ayat (2), Komisi Yudisial mempunyai tugas melakukan
pengawasan terhadap perilaku Hakim berdasarkan Kode Etik dan
Pedoman Perilaku Hakim.**)))
(2) Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
Komisi Yudisial berwenang :
a. Menerima dan menindak lanjuti pengaduan masyarakat dan/atau
informasi tentang dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman
Perilaku Hakim.**)))
b. Memeriksa dan memutus dugaan pelanggaran atas Kode etik dan
Pedoman Perilaku Hakim.**)))
c. Dapat menghadiri persidangan di pengadilan.**)))
6
d. Menerima dan menindak lanjuti pengaduan Mahkamah Agung dan
badan-badan peradilan dibawah Mahkamah Agung atas dugaan
pelanggaran Kode Etik dan Perilaku Hakim.**)))
e. Melakukan verifikasi terhadap pengaduan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan huruf d.**)))
f. Meminta keterangan atau data kepada Mahkamah Agung dan/atau
pengadilan.**)))
g. Melakukan pemanggilan dan memutus keterangan dari Hakim yang
diduga melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim untuk
kepentingan pemeriksaan, dan/atau**)))
h. Menetapkan keputusan berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana
dimaksud dalam huruf b.**)))
(1)
(2)
(3)
(4)
Pasal 12E
Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
12A, Komisi Yudisial dan/atau Mahkamah Agung wajib :
a. Menaati norma dan peraturaan perundang-undangan.**)))
b. Menaati Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.**)))
c. Menjaga kerahasiaan keterangan atau informasi yang diperoleh.**)))
Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) ditetapkan oleh Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung.**)))
Pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh
mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan memutus
perkara.**)))
Ketentuan mengenai pengawasan eksternal dan pengawasan internal
Hakim diatur dalam undang-undang.**)))
Pasal 12F
Dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat
serta perilaku Hakim, Komisi Yudisial dapat menganalisis putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagai dasar rekomendasi
untuk melakukan mutasi Hakim.**)))
Pasal 13
(1) Untuk dapat diangkat sebagai Hakim Pengadilan Agama, seseorang harus
memenuhi syarat sebagai berikut :
a. Warga Negara Indonesia.*
b. Beragama Islam.*
c. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.*
d. Setia kepada Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.**)
e. Sarjana syari’ah, sarjana hukum Islam atau sarjana hukum yang
menguasai hukum Islam.**)
f. Lulus pendidikan Hakim.**)))
g. Mampu secara rohani dan jasmani untuk menjalankan tugas dan
kewajiban.**)))
7
h. Berwibawa, jujur, adil dan berkelakuan tidak tercela.*
i. Berusia paling rendah 25 (dua puluh lima) tahun dan paling tinggi 40
(empat puluh) tahun.**)
j. Tidak pernah dijatuhi pidana penjara karena melakukan kejahatan
berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap.**)))
(2) Untuk dapat diangkat menjadi Ketua atau Wakil Ketua Pengadilan
Agama, Hakim harus berpengalaman paling singkat 7 (tujuh) tahun
sebagai Hakim Pengadilan Agama.**))
Pasal 13A
(1) Pengangkatan Hakim Pengadilan Agama dilakukan melalui proses seleksi
yang transparan, akuntabel dan partisipatif.**)))
(2) Proses pengangkatan Hakim Pengadilan Agama dilakukan bersama oleh
Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial.**)))
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai proses seleksi diatur oleh Mahkamah
Agung dan Komisi Yudisial.**)))
Pasal 13B
(1) Untuk dapat diangkat sebagai Hakim ad hoc, seseorang harus memenuhi
syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1), kecuali huruf e dan
huruf f.**)))
(2) Larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf c tetap
berlaku kecuali undang-undang menentukan lain.**)))
(3) Tata cara pelaksanaan ketentuan ayat (1) diatur dalam peraturan
perundang-undangan.**)))
Pasal 14
(1) Untuk dapat diangkat sebagai Hakim Pengadilan Tinggi Agama, seorang
Hakim harus memenuhi syarat sebagai berikut :
a. Syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf a, huruf
b, huruf c, huruf d, huruf g dan huruf j.**))
b. Berumur paling rendah 40 (empat puluh) tahun.**))
c. Berpengalaman paling singkat 5 (lima) tahun sebagai Ketua, Wakil
Ketua Pengadilan Agama atau 15 (lima belas) tahun sebagai Hakim
Pengadilan Agama.**))
d. Lulus eksaminasi yang dilakukan oleh Mahkamah Agung, dan*))
e. Tidak pernah dijatuhi sanksi pemberhentian sementara akibat
melakukan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.**)))
(2) Untuk dapat diangkat menjadi Ketua Pengadilan Tinggi Agama harus
berpengalaman paling singkat 5 (lima) tahun sebagai Hakim Pengadilan
Tinggi Agama atau 3 (tiga) tahun bagi Hakim Pengadilan Tinggi Agama
yang pernah menjabat ketua pengadilan.*)
(3) Untuk dapat diangkat menjadi Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Agama
harus berpengalaman paling singkat 4 (empat) tahun sebagai Hakim
8
Pengadilan Tinggi Agama atau 2 (dua) tahun bagi Hakim Pengadilan
Tinggi Agama yang pernah menjabat Ketua Pengadilan Agama.*)
Pasal 15
(1) Hakim pengadilan diangkat oleh Presiden atas usul Ketua Mahkamah
Agung.*)
(1a) Hakim pengadilan diberhentikan oleh Presiden atas usul Ketua
Mahkamah Agung dan/atau Komisi Yudisial melalui Ketua Mahkamah
Agung.**)))
(1b) Usul pemberhentian Hakim yang dilakukan oleh Komisi Yudisial
sebagaimana dimaksud pada ayat (1a) hanya dapat dilakukan apabila
Hakim yang bersangkutan melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku
Hakim.**)))
(2) Ketua dan wakil ketua pengadilan diangkat dan diberhentikan oleh Ketua
Mahkamah Agung.**)
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(1)
(2)
(3)
Pasal 16
Sebelum memangku jabatannya, Ketua, Wakil Ketua dan Hakim
pengadilan wajib mengucapkan sampah menurut agama Islam.*)
Sumpah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbunyi sebagai berikut :
“Demi Allah, saya bersumpah bahwa saya akan memenuhi kewajiban
Hakim dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh
Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan
menjalankan segala peraturan perundang-undangan dengan seluruslurusnya menurut Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 serta berbakti kepada nusa dan bangsa”*)
Wakil Ketua dan Hakim Pengadilan Agama diambil sumpahnya oleh
Ketua Pengadilan Agama.*)
Wakil Ketua dan Hakim Pengadilan Tinggi Agama serta Ketua Pengadilan
Agama diambil sumpahnya oleh Ketua Pengadilan Tinggi Agama.*)
Ketua Pengadilan Tinggi Agama diambil sumpahnya oleh Ketua
Mahkamah Agung.*)
Pasal 17
Kecuali ditentukan lain oleh atau berdasarkan undang-undang, Hakim
tidak boleh merangkap menjadi :
a. Pelaksana putusan pengadilan.*
b. Wali, pengampu dan pejabat yang berkaitan dengan suatu perkara
yang diperiksa olehnya.*
c. Pengusaha.*
Hakim tidak boleh merangkap sebagai Advokat.*)
Jabatan yang tidak boleh dirangkap oleh Hakim selain jabatan
sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah.*
9
Pasal 18
(1) Ketua, Wakil Ketua dan Hakim pengadilan diberhentikan dengan hormat
dari jabatannya karena :
a. Atas permintaan sendiri secara tertulis.**)
b. Sakit jasmani atau rohani secara terus menerus.*
c. Telah berumur 65 (enam puluh lima) tahun bagi Ketua, Wakil Ketua
dan Hakim Pengadilan Agama, dan 67 (enam puluh tujuh) tahun bagi
Ketua, Wakil Ketua dan Hakim Pengadilan Tinggi Agama, atau**))
d. Ternyata tidak cakap dalam menjalankan tugasnya.*
(2) Ketua, Wakil Ketua dan Hakim pengadilan yang meninggal dunia dengan
sendirinya diberhentikan dengan hormat dari jabatannya oleh Presiden.*)
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
Pasal 19
Ketua, Wakil Ketua dan Hakim pengadilan diberhentikan tidak dengan
hormat dari jabatannya dengan alasan :
a. Dipidana penjara karena melakukan kejahatan berdasarkan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.**)
b. Melakukan perbuatan tercela.*
c. Melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas pekerjaannya terus
menerus selama 3 (tiga) bulan.**)
d. Melanggar sumpah atau janji jabatan.**)
e. Melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dan/atau
f. Melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.**))
Usul pemberhentian dengan alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a diajukan oleh Ketua Mahkamah Agung kepada Presiden.**))
Usul pemberhentian dengan alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b diajukan oleh Mahkamah Agung dan/atau Komisi Yudisial.**)
Usul pemberhentian dengan alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c, huruf d, dan huruf e diajukan oleh Mahkamah Agung.**))
Usul pemberhentian dengan alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf f, diajukan oleh Komisi Yudisial.**)))
Setelah Mahkamah Agung dan/atau Komisi Yudisial mengajukan usul
pemberhentian karena alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat
(4) dan ayat (5), Hakim pengadilan mempunyai hak untuk membela diri di
hadapan Majelis Kehormatan Hakim.**)))
Majelis Kehormatan Hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diatur
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.**)))
Pasal 20
Dalam hal Ketua atau Wakil Ketua pengadilan diberhentikan dengan hormat
dari jabatannya kerana atas permintaan sendiri secara tertulis sebagaimana
dimaksud dalam pasal 18 ayat (1) huruf a, tidak dengan sendirinya
diberhentikan sebagai Hakim.**))
10
Pasal 21
(1) Ketua, Wakil Ketua dan Hakim pengadilan sebelum diberhentikan tidak
dengan hormat sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (1) huruf b,
huruf c, huruf d, huruf e dan huruf f dapat diberhentikan sementara dari
jabatannya oleh Ketua Mahkamah Agung.**))
(1a) Pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
diusulkan oleh Komisi Yudisial.**)))
(2) Terhadap pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
berlaku juga ketentuan dimaksud dalam pasal 19 ayat (2).*)
(3) Pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 6
(enam) bulan.*))
Pasal 22
(1) Apabila terhadap seorang Hakim ada perintah penangkapan yang diikuti
dengan penahanan, dengan sendirinya Hakim tersebut diberhentikan
sementara dari jabatannya.*
(2) Apabila seorang Hakim dituntut di muka pengadilan dalam perkara pidana
sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 ayat (4) Undang Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tanpa tahanan, maka ia dapat
diberhentikan sementara dari jabatannya.*
Pasal 23
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberhentian dengan hormat,
pemberhentian tidak dengan hormat dan pemberhentian sementara serta hakhak pejabat yang dikenakan pemberhentian diatur dengan Peraturan
Pemerintah.*
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
Pasal 24
Kedudukan protokol Hakim pengadilan diatur dengan peraturan
perundang-undangan.**)
Selain mempunyai kedudukan protokoler, Hakim Pengadilan berhak
memperoleh gaji pokok, tunjangan, biaya dinas, pensiun dan hak-hak
lainnya.**)
Tunjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa :
a. Tunjangan jabatan.**)
b. Tunjangan lain berdasarkan peraturan perundang-undangan.**)
Hak-hak lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa :
a. Rumah jabatan milik negara.**)
b. Jaminan kesehatan.**)
c. Sarana transportasi milik negara.**)
Hakim pengadilan diberi jaminan keamanan dalam melaksanakan
tugas.**)
Ketentuan lebih lanjut mengenai gaji pokok, tunjangan dan hak-hak
lainnya beserta jaminan keamanan bagi Ketua, Wakil Ketua dan Hakim
pengadilan diatur dengan peraturan perundang-undangan.**)
11
Pasal 25
Ketua, Wakil Ketua dan Hakim pengadilan dapat ditangkap atau ditahan
hanya atas perintah Jaksa Agung setelah mendapat persetujuan Ketua
Mahkamah Agung, kecuali dalam hal :
a. Tertangkap tangan melakukan tindak pidana kejahatan, atau*)
b. Disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan
pidana mati, atau*)
c. Disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan terhadap keamanan
negara.*
Paragraf 2
Panitera
Pasal 26
(1) Pada setiap pengadilan ditetapkan adanya kepaniteraan yang dipimpin
oleh seorang Panitera.*
(2) Dalam melaksanakan tugasnya, Panitera Pengadilan Agama dibantu oleh
seorang Wakil Panitera, beberapa Panitera Muda, beberapa orang Panitera
Pengganti dan beberapa orang Juru Sita.*
(3) Dalam melaksanakan tugasnya, Panitera Pengadilan Tinggi Agama
dibantu oleh seorang Wakil Panitera, beberapa orang Panitera Muda dan
beberapa orang Panitera Pengganti.*
Pasal 27
Untuk dapat diangkat sebagai Panitera Pengadilan Agama, seorang calon
harus memenuhi syarat sebagai berikut :
a. Warga Negara Indonesia.*
b. Beragama Islam.*
c. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.*
d. Setia kepada Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.*)
e. Berijazah sarjana syari’ah, sarjana hukum Islam atau sarjana hukum yang
menguasai hukum Islam.**))
f. Berpengalaman paling singkat 3 (tiga) tahun sebagai Wakil Panitera, 5
(lima) tahun sebagai Panitera Muda Pengadilan Agama atau menjabat
Wakil Panitera Pengadilan Tinggi Agama, dan*)
g. Mampu secara rohani dan jasmani untuk menjalankan tugas dan
kewajiban.**)
Pasal 28
Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Pengadilan Tinggi Agama, seorang
calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. Syarat-syarat sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 27 huruf a, huruf
b, huruf c huruf d dan huruf g.*)
b. Berijazah sarjana syari’ah atau sarjana hukum yang menguasai hukum
Islam.*
12
c. Berpengalaman sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun sebagai Wakil Panitera
atau 5 (lima) tahun sebagai Panitera Muda Pengadilan Tinggi Agama atau
3 (tiga) tahun sebagai Panitera Pengadilan Agama.*)
Pasal 29
Untuk dapat diangkat menjadi Wakil Panitera Pengadilan Agama, seorang
calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. Syarat-syarat sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 27 huruf a, huruf
b, huruf c, huruf d, huruf e dan huruf g.*)
b. Berpengalaman sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun sebagai Panitera Muda
atau 4 (empat) tahun sebagai Panitera Pengganti Pengadilan Agama.*)
Pasal 30
Untuk dapat diangkat menjadi Wakil Panitera pengadilan Tinggi Agama,
seorang calon harus memenuhi syarat sebagai berikut :
a. Syarat sebagaimana dimaksud dalam pasal 27 huruf a, huruf b, huruf
c,huruf d, huruf e dan huruf g.*)
b. Dihapus. **) (semula berbunyi : berijazah sarjana syari’ah atau sarjana
hukum yang menguasai hukum Islam, dan)
c. Berpengalaman paling singkat 2 (dua) tahun sebagai Panitera Muda
Pengadilan Tinggi Agama, 5 (lima) tahun sebagai Panitera Pengganti
Pengadilan Tinggi Agama atau 3 (tiga) tahun sebagai Wakil Panitera
pengadilan Agama atau menjabat sebagai Panitera Pengadilan Agama.*)
Pasal 31
Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Muda Pengadilan Agama, seorang
calon harus memenuhi syarat sebagai berikut :
a. Syarat sebagaimana dimaksud dalam pasal 27 huruf a, huruf b, huruf c,
huruf d huruf e dan huruf g.*)
b. Berpengalaman sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun sebagai Panitera
Pengganti Pengadilan Agama.*)
Pasal 32
Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Muda Pengadilan Tinggi Agama,
seorang calon harus memenuhi syarat sebagai berikut :
a. Syarat sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 27 huruf a, huruf b, huruf
c, huruf d, huruf e dan huruf g.*)
b. Berpengalanan sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun sebagai Panitera
Pengganti Pengadilan Tinggi Agama, atau 3 (tiga) tahun sebagai Panitera
Muda atau 5 (lima ) tahun sebagai Panitera Pengganti Pengadilan Agama
atau menjabat Wakil Panitera Pengadilan Agama.*)
Pasal 33
Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Pengganti Pengadilan Agama, seorang
calon harus memenuhi syarat sebagai berikut :
13
a. Syarat sebagimana yang dimaksud pasal 27 huruf a, huruf b, huruf c, huruf
d, huruf e dan huruf g.*)
b. Berpengalaman sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun sebagai pegawai negeri
pada Pengadilan Agama.*)
Pasal 34
Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Pengganti Pengadilan Tinggi Agama,
seorang calon harus memenuhi syarat sebagai berikut :
a. Syarat sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 27 huruf a, huruf b, huruf
c, huruf d, huruf e dan huruf g.*)
b. Berpengalaman sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun sebagai Panitera
Pengganti Pengadilan Agama atau 6 (enam) tahun sebagai pegawai negeri
pada Pengadilan Tinggi Agama.*)
Pasal 35
Panitera tidak boleh merangkap menjadi :
a. Wali.*
b. Pengampu.*
c. Advokat, dan/atau*
d. Pejabat peradilan yang lain.**)
Pasal 36
Panitera, Wakil Panitera, Panitera Muda dan Panitera Pengganti pengadilan
diangkat dan diberhentikan dari jabatannya oleh Mahkamah Agung.*)
Pasal 37
(1) Sebelum memangku jabatannya, Panitera, Wakil Panitera, Panitera
Muda dan Panitera Pengganti mengucapkan sumpah menurut agama
Islam di hadapan Ketua Pengadilan yang bersangkutan.*)
(2) Sumpah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbunyi sebagai berikut :
“Demi Allah, saya bersumpah bahwa saya, untuk memperoleh jabatan
saya ini, langsung atau tidak langsung dengan menggunakan nama atau
cara apapun juga, tidak memberikan atau menjanjikan barang sesuatu
kepada siapapun juga”.
“Saya bersumpah bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan
sesuatu dalam jabatan ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau
tidak langsung dari siapapun juga suatu janji atau pemberian”
“Saya bersumbah bahwa saya, akan setia kepada dan akan
mempertahankan serta mengamalkan Pancasila sebagai dasar dan
ideologi negara, Undang Undang Dasar 1945 dan segala undang-undang
serta peraturan perundang-undangan yang beerlaku bagi Negara Kesatuan
Repulik Indonesia.
“Saya bersumpah bahwa saya senantiasa akan menjalankan jabatan saya
ini dengan jujur, seksama dan dengan tidak membeda-bedakan orang dan
akan berlaku dalam melaksanakan kewajiban saya sebaik-baiknya dan
14
seadil-adilnya seperti layaknya bagi seorang Panitera, Wakil Panitera,
Panitera Muda, Panitera Pengganti yang berbudi baik dan jujur dalam
menegakan hukum dan keadilan”*)
Paragraf 3
Juru Sita
Pasal 38
Pada setiap Pengadilan Agama ditetapkan adanya Juru Sita dan Juru Sita
Pengganti.*
Pasal 38A
Panitera, Wakil Panitera, Panitera Muda dan Panitera Pengganti pengadilan
diberhentikan dengan hormat dengan alasan :
a. Meninggal dunia.**)))
b. Atas permintaan sendiri secara tertulis.**)))
c. Sakit jasmani atau rohani secara terus menerus.**)))
d. Telah berumur 60 (enam puluh) tahun bagi Panitera, Wakil Panitera,
Panitera Pengganti Pengadilan Agama.**)))
e. Telah berumur 62 (enam puluh dua) tahun bagi Panitera, Wakil Panitera,
Panitera Muda dan Panitera Pengganti Pengadilan Tinggi Agama; dan
/atau**)))
f. Ternyata tidak cakap dalam menjalankan tugasnya.**)))
Pasal 38B
Panitera, Wakil Panitera, Panitera Muda dan Panitera Pengganti pengadilan
diberhentikan dengan tidak hormat dengan alasan :
a. Dipidana penjara karena melakukan kejahatan berdasarkan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.**)))
b. Melakukan perbuatan tercela.**)))
c. Melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas pekerjaannya terusmenerus selama 3 (tiga) bulan.**)))
d. Melanggar sumpah atau janji jabatan.**)))
e. Melanggar larangan sebagaiman dimaksud dalam pasal 35; dan /atau**)))
f. Melanggar Kode Etik Panitera.**)))
Pasal 39
(1) Untuk dapat diangkat menjadi Juru Sita, seorang calon harus memenuhi
syarat sebagai berikut :
a. Warga Negara Indonesia.*
b. Beragama Islam.*
c. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.*
d. Setia kepada Pancasila dan Unmdang Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.*)
e. Berijazah pendidikan menengah.**)
15
f. Berpengalaman paling singkat 3 (tiga) tahun sebagai Juru Sita
Pengganti dan*)
g. Mampu secara rohani dan jasmani untuk menjalankan tugas dan
kewajiban.**)
(2) Untuk dapat diangkat menjadi Juru Sita Pengganti, seorang calon harus
memenuhi syarat sebagai berikut :
a. Syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c,
huruf d, huruf e dan huruf g; dan *)
b. Berpengalaman paling singkat 3 (tiga) tahun sebagai pegawai negeri
pada Pengadilan Agama.*)
(1)
(2)
(1)
(2)
Pasal 40
Juru Sita diangkat dan diberhentikan oleh Ketua Mahkamah Agung atas
usul Ketua pengadilan yang bersangkutan.*)
Juru Sita Pengganti diangkat dan diberhentikan oleh Ketua Pengadilan
yang bersangkutan.*)
Pasal 41
Sebelum memangku jabatannya, Juru Sita dan Juru Sita Pengganti
mengucapkan sumpah menurut agama Islam dihadapan Ketua pengadilan
yang bersangkutan.*)
Sumpah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbunyi sebagai berikut :
“Demi Allah, saya bersumpah bahwa saya, untuk memperoleh jabatan
saya ini, langsung atau tidak langsung dengan menggunakan nama atau
cara apapun juga, tidak memberikan atau menjanjikan barang sesuatu
kepada siapapun juga”.
“Saya bersumpah bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan
sesuatu dalam jabatan ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau
tidak langsung dari siapapun juga suatu janji atau pemberian”
“Saya bersumbah bahwa saya, akan setia kepada dan akan
mempertahankan serta mengamalkan Pancasila sebagai dasar dan
ideologi negara, Undang Undang Dasar 1945 dan segala undang-undang
serta peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi Negara Kesatuan
Repulik Indonesia.
“Saya bersumpah bahwa saya senantiasa akan menjalankan jabatan saya
ini dengan jujur, seksama dan dengan tidak membeda-bedakan orang dan
akan berlaku dalam melaksanakan kewajiban saya sebaik-baiknya dan
seadil-adilnya seperti layaknya bagi seorang Juru Sita, Juru Sita Pengganti
yang berbudi baik dan jujur dalam menegakan hukum dan keadilan”*)
Pasal 42
(1) Kecuali ditentukan lain oleh atau berdasarkan undang-undang, Juru Sita
tidak boleh merangkap menjadi wali, pengampu dan pejabat yang
berkaitan dengan perkara yang didalamnya ia sendiri berkepentingan.*)
(2) Juru Sita tidak boleh merangkap menjadi Advokat.*)
16
(3) Jabatan yang tidak boleh dirangkap oleh Juru Sita selain jabatan
sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut
oleh Mahkamah Agung.*)
Bagian Ketiga
Sekretaris
Pasal 43
Pada setiap pengadilan ditetapkan adanya sekretariat yang dipimpin oleh
seorang Sekretaris dan dibantu oleh seorang Wakil Sekretaris.
Pasal 44
Dihapus dengan Undang Undang Nomor 50 Tahun 2009
Semula
Dalam Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 berbunyi :
“Panitera pengadilan merangkap Sekretaris pengadilan”
Dalam Undang Undang Nomor 3 Tahun 2006 berbunyi :
“Panitera pengadilan tidak merangkap Sekretaris pengadilan”
Pasal 45
Untuk dapat diangkat menjadi Sekretaris atau Wakil Sekretaris Pengadilan
Agama , seorang calon harus memenuhi syarat sebagai berikut :
a. Warga Negara Indonesia.*
b. Beragama Islam.*
c. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.*
d. Setia kepada Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.*)
e. Berijazah sarjana syari’ah atau sarjana hukum Islam, sarjana hukum yang
menguasai hukum Islam atau sarjana administrasi.**)
f. Berpengalaman paling singkat 2 (dua) tahun di bidang adminstrasi
peradilan, dan**)
g. Mampu secara rohani dan jasmani untuk menjalankan tugas dan
kewajibannya.**))
Pasal 46
Dihapus oleh Undang Undang Nomor 3 Tahun 2006
Pasal 46**)))
Untuk dapat diangkat menjadi Sekretaris atau Wakil Sekretaris Pengadilan
Tinggi Agama, seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. Syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam pasal 45 huruf a, huruf b,
huruf c, huruf d, huruf e dan huruf g, dan**)))
b. Berpengalaman paling singkat 4 (empat) tahun di bidang
administrasi.**)))
17
Pasal 47
Sekretaris dan Wakil Sekretaris pengadilan diangkat dan diberhentikan oleh
Ketua Mahkamah Agung.*)
Pasal 48
(1) Sebelum memangku jabatannya, Sekretaris dan Wakil Sekretaris
mengucapkan sumpah menurut agama Islam dihadapan Ketua pengadilan
yang bersangkutan.*)
(2) Sumpah sebagaimana dimaksud ayat (1) berbunyi sebagai berikut :
“Demi Allah, saya bersumpah bahwa saya, untuk diangkat menjadi
Sekretaris/WakilSekretaris akan setia dan taat sepenuhnya kepada
Pancasila, Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945,Negara dan pemerintah.
“Saya bersumpah bahwa saya, akan menaati peraturan perundangundangan yang berlaku dan melaksanakan tugas kedinasan yang
dipercayakan kepada saya dengan penuh pengabdian, kesadaran dan
tanggung jawab”
“ Saya bersumpah bahwa saya akan senantiasa menjunjung tinggi
kehormatan negara, pemerintah, martabat sekretaris/wakil sekretaris
serta akan senantiasa mengutamakan kepentingan negara dari pada
kepentingan saya sendiri, seseorang atau golongan”
“Saya bersumpah bahwa saya akan memegang rahasia sesuatu yang
menurut sifatnya atau perintah harus saya rahasiakan”
“Saya bersumpah bahwa saya akan bekerja dengan jujur, tertib, cermat
dan bersemangat untuk kepentingan Negara”*)
BAB III
KEKUASAAN PENGADILAN
Pasal 49
Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan
menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang beragama Islam
di bidang :
a. Perkawinan.*
b. Waris.*
c. Wasiat.*
d. Hibah.*
e. Wakaf.*
f. Zakat.*))
g. Infaq.*))
h. Shadaqoh, dan*
i. Ekonomi syari’ah.*))
Pasal 50
(1) Dalam hal terjadi sengketa hak milik atau sengketa lain dalam perkara
sebagaimana dimaksud dalam pasal 49, khusus mengenai objek sengketa
tersebut harus dputus lebih dahulu oleh pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Umum.*)
18
(2) Apabila terjadi sengketa hak milik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
yang subjek hukumnya antara orang-orang yang beragama Islam, objek
sengketa tersebut diputus oleh Pengadilan Agama bersama-sama perkara
sebagaimana dimaksud dalam pasal 49.*))
(1)
(2)
(1)
(2)
Pasal 51
Pengadilan Tinggi Agama bertugas dan berwenang mengadili perkara
yang yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama.*
Pengadilan Tinggi Agama juga bertugas dan berwenang mengadili di
tingkat pertama dan terakhir sengketa kewenangan antar Pengadilan
Agama di daerah hukumnya.*
Pasal 52
Pengadilan dapat memberikan keterangan, pertimbangan dan nasehat
tentang hukum Islam kepada instansi pemerintah di daerah hukumnya,
apabila diminta.*
Selain tugas dan kewenangan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 49
dan pasal 51, pengadilan dapat diserahi tugas dan kewenangan lain oleh
atau berdasarkan undang-undang.*
Pasal 52A
Pengadilan Agama memberikan itsbat kesaksian rukyat hilal dalam penentuan
awal bulan pada tahun Hijriyah.*))
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
Pasal 53
Ketua pengadilan melakukan pengawasan atas pelaksanaan tugas
Hakim.**)
Ketua pengadilan selain melakukan pengawasan sebagaimana yang
dimaksud dalam ayat (1), juga mengadakan pengawasan terhadap
pelaksanaan tugas dan perilaku Panitera, Sekretaris, dan Juru Sitadi daerah
hukumnya**).
Selain tugas melakukan pengawasan sebagaiamana pada ayat (1) dan ayat
(2), Ketua Pengadilan Tinggi Agama di daerah hukumnya mengadakan
pengawasan terhadap jalannya peradilan di tingkat Pengadilan Agama dan
menjaga
agar peradilan dilselenggarakan dengan seksama dan
sewajarnya. **)
Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana yang dimaksud dalam
ayat (1) dan ayat (2), Ketua pengadilan dapat memberikan petunjuk,
teguran dan peringatan yang dipandang perlu.**)
Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana yang dimaksud dalam
ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), tidak boleh mengurangan kebebasan Hakim
dalam memeriksa dan memutus perkara.**)
BAB IV
HUKUM ACARA
Bagian Pertama
Umum
19
Pasal 54
Hukum Acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan peradilan
agama adalah hukum acara perdata yang berlaku pada pengadilan dalam
lingkungan peradilan umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam
undang-undang ini.*
Pasal 55
Tiap pemeriksaan perkara di pengadilan dimulai sesudah diajukannya suatu
permohonan atau gugatan dan pihak-pihak yang berperkara telah dipanggil
menurut ketentuan yang berlaku.*
Pasal 56
(1) Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan memutus suatu
perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak jelas atau kurang
jelas, melainkan wajib memeriksa dan memutusnya.*
(2) Ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) tidak menutup
kemungkinan usaha penyelesaian perkara secara damai.*
Pasal 57
(1) Peradilan
dialakukan
DEMI
KEADILAN
BERDASRKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA.*
(2) Tiap
penetapan
dan
putusan
dimulai
dengan
kalimat
BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM diikuti dengan DEMI KEADILAN
BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA.*
(3) Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan.*
Pasal 58
(1) Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan
orang.*
(2) Pengadilan membantu para pencari keadilan dan berusaha sekeraskerasnya mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk tercapainya
peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan.*
Pasal 59
(1) Sidang pemeriksaan pengadilan terbuka untuk umum, kecuali apabila
undang-undang menentukan lain atau jika Hakim dengan alasan-alasan
penting yang dicatat dalam berita acara sidang, memerintahkan bahwa
pemeriksaan secara keseluruhan atau sebagian akan dilakukan dengan
sidang tertutup untuk umum.*
(2) Tidak terpenuhinya ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1)
mengakibatkan seluruh pemeriksaan beserta penetapan atau putusannya
batal demi hukum.*
(3) Rapat permusyawaratan Hakim bersifat rahasia.*
20
Pasal 60
Penetapan dan putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan
hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.*
Pasal 60A
(1) Dalam memeriksa dan memutus perkara, Hakim harus bertanggung jawab
atas penetapan dan putusan yang dibuatnya.**)))
(2) Penetapan dan putusan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) harus
memuat pertimbangan hukum Hakim yang didasarkan pada alasan dan
dasar hukum yang tepat dan benar.**)))
Pasal 60B
(1) Setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan
hukum.**)))
(2) Negara menanggung biaya perkara bagi pencari keadilan yang tidak
mampu.**)))
(3) Pihak yang tidak mampu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus
melampirkan keterangan tidak mampu dari kelurahan tempat domisili
yang bersangkutan.**)))
Pasal 60C
(1) Pada setiap Pengadilan Agama dibentuk pos bantuan hukum untuk pencari
keadilan yang tidak mampu dalam memperoleh bantuan hukum.**)))
(2) Bantuan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan secara
cuma-cuma kepada tingkat peradilan sampai putusan terhadap perkara
tersebut memperoleh kekuatan hukum tetap.**)))
(3) Bantuan hukum dan pos bantuan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundangundangan.**)))
Pasal 61
Atas penetapan dan putusan Pengadilan Agama dapat dimintakan banding
oleh para pihak yang berperkara, kecuali apabila undang-undang menentukan
lain.*
Pasal 62
(1) Segala penetapan dan putusan pengadilan, selain harus memuat alasanalasan juga harus memuat pasal-pasal tertentu dari peraturan-peraturan
yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar
untuk mengadili.*
(2) Tiap penetapan dan putusan pengadilan ditanda tangani oleh Ketua dan
Hakim-hakim yang memutus serta Panitera yang ikut bersidang pada
waktu penetapan dan putusan itu diucapkan.*
21
(3) Berita Acara tentang pemeriksaan ditanda tangani oleh Ketua dan Panitera
yang bersidang.*
Pasal 63
Atas penetapan dan putusan Pengadilan Tinggi Agama dapat dimintakan
kasasi kepada Mahkamah Agung oleh pihak yang berperkara.*
Pasal 64
Penetapan dan putusan pengadilan yang dimintakan banding atau kasasi,
pelaksanaannya ditunda demi hukum, kecuali apabila dalam amarnya
menyatakan penetapan atau putusan tersebut dapat dijalankan lebih dahulu
meskipun ada perlawanan, banding atau kasasi.*
Pasal 64A
(1) Pengadilan wajib memberikan akses kepada masyarakat untuk
memperoleh informasi yang berkaitan dengan putusan dan biaya perkara
dalam proses persidangan.**)))
(2) Pengadilan wajib menyampaikan salinan putusan kepada para pihak dalam
jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak putusan
diucapkan.**)))
(3) Apabila pengadilan tidak melaksanakan ketentuan dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2), Ketua Pengadilan dikenai sanksi sebagaimana diatur
peraturan perundang-undangan.**)))
Bagian Kedua
Pemeriksaan Sengketa Perkawinan
Paragraf 1
Umu m
Pasal 65
Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah
pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan
kedua belah pihak.*
Paragraf 2
Cerai Talak
Pasal 66
(1) Seorang suami yang beragama Islam yang akan menceraikan isterinya
mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk mengadakan sidang
guna menyaksikan ikrar talak.*
(2) Permohonan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) diajukan kepada
pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman termohon,
kecuali apabila termohon dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman
yang ditentukan bersama tanpa izin pemohon.*
(3) Dalam hal termohon bertempat kediaman di luar negeri, permohonan
diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat
kediaman pemohon.*
22
(4) Dalam hal pemohon dan termohon bertempat kediaman di luar negeri,
maka permohonan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya
meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada
Pengadilan Agama Jakarta Pusat.*
(5) Permohonan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah isteri dan harta
bersama suami isteri dapat diajukan bersama-sama dengan permohonan
cerai talak ataupun sesudah ikrar talak diucapkan.*
Pasal 67
Permohonan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 66 diatas memuat :
a. Nama, umur dan tempat kediaman pemohon, yaitu suami dan termohon,
yaitu isteri.*
b. Alasan-alasan yang menjadi dasar cerai talak.*
Pasal 68
(1) Pemeriksaan permohonan cerai talak dilakukan oleh Majelis Hakim
selambat-lambatmya 30 (tiga puluh) hari setelah berkas atau surat
permohonan cerai talak didaftarkan di kepaniteraan.*
(2) Pemeriksaan permohonan cerai talak dilakukan dalam sidang tertutup.*
Pasal 69
Dalam pemeriksaan perkara cerai talak ini berlaku ketentuan-ketentuan pasal
79, pasal 80 ayat (2), pasal 82 dan pasal 83.*
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
Pasal 70
Pengadilan setelah berkesimpulan bahwa kedua belah pihak tidak
mungkin lagi didamaikan dan telah cukup alasan perceraian, maka
pengadilan menetapkan bahwa permohonan tersebut dikabulkan.*
Terhadap penetapan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1), isteri
dapat mengajukan banding.*
Setelah penetapan tersebut memperoleh kekuatan hukum tetap, pengadilan
menentukan hari sidang penyaksian ikrar talak, dengan memanggil suami
dan isteri atau wakilnya untuk menghadiri sidang tersebut.*
Dalam sidang itu, suami atau wakilnya yang diberi kuasa khusus dalam
suatu akte otentik untuk mengucapkan ikrar talak, mengucapkan ikrar
talak yang dihadiri oleh isteri atau kuasanya.*
Jika isteri telah mendapat panggilan secara sah atau patut, tetapi tidak
datang menghadap sendiri atau tidak mengirim wakilnya, maka suami atau
wakilnya dapat mengucapkan ikrar talak tanpa hadirnya isteri atau
wakilnya.*
Jika suami dalam tenggang waktu 6 (enam) bulan sejak ditetapkan hari
sidang penyaksian ikrar talak, tidak datang menghadap sendiri atau tidak
mengirim wakilnya meskipun telah mendapat panggilan secara sah atau
patut, maka gugurlah kekuatan penetapan tersebut, dan perceraian tidak
dapat diajukan lagi berdasarkan alasan yang sama.*
Pasal 71
23
(1) Panitera mencatat segala hal ihwal yang terjadi dalam sidang ikrar talak.*
(2) Hakim membuat penetapan yang isinya menyatakan bahwa perkawinan
putus sejak ikrar talak diucapkan dan penetapan tersebut tidak dapat
dimintakan banding atau kasasi.*
Pasal 72
Terhadap penetapan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 71 berlaku
ketentuan-ketentuan dalam pasal 84 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4)
serta pasal 85.*
Paragraf 3
Cerai Gugat
Pasal 73
(1) Gugatan perceraian diajukan oleh isteri atau kuasanya kepada pengadilan
yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat, kecuali
apabila penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman
bersama tanpa izin tergugat.*
(2) Dalam hal penggugat bertempat kediaman di luar negeri, gugatan
perceraian diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi
tempat kediaman tergugat.*
(3) Dalam hal penggugat dan tergugat bertempat kediaman di luar negeri,
maka gugatan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya
meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada
Pengadilan Agama Jakarta Pusat.*
Pasal 74
Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan salah satu pihak mendapat
pidana penjara, maka untuk memperoleh putusan perceraian, sebagai bukti
penggugat cukup menyampaikan salinan putusan pengadilan yang berwenang
yang memutuskan perkara disertai keterangan yang menyatakan bahwa
putusan itu telah memperoleh kekuatan hukum tetap.*
Pasal 75
Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan bahwa tergugat mendapat
cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajiban
sebagai suami, maka Hakim dapat memerintahkan tergugat untuk
memeriksakan diri kepada dokter.*
Pasal 76
(1) Apabila gugatan perceraian didasarkan pada alasan syiqaq, maka untuk
mendapatkan putusan perceraian harus didengar keterangan saksi-saksi
yang berasal dari keluarga atau orang-orang yang dekat dengan suami
isteri.*
24
(2) Pengadilan setelah mendengar keterangan saksi tentang sifat pertengkaran
antara suami isteri dapat mengangkat seorang atau lebih dari keluarga
masing-masing pihak ataupun orang lain untuk menjadi hakam.*
Pasal 77
Selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas permohonan penggugat atau
tergugat atau atas pertimbangan bahaya yang mungkin ditimbulkan,
pengadilan dapat mengizinkan suami isteri tersebut untuk tidak tinggal dalam
satu rumah.*
Pasal 78
Selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas permohonan penggugat,
pengadilan dapat :
a. Menentukan nafkah yang harus ditanggung oleh suami.*
b. Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan
pendidikan anak.*
c. Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barangbarang yang menjadi hak bersama suami isteri atau barang-barang yang
menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak isteri.*
Pasal 79
Gugatan perceraian gugur apabila suami atau isteri meninggal sebelum adanya
putusan pengadilan.*
Pasal 80
(1) Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan oleh Majelis Hakim selambatlambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah berkas atau surat gugatan
perceraian didaftarkan di kepaniteraan.*
(2) Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan dalam sidang tertutup.*
Pasal 81
(1) Putusan pengadilan mengenai gugatan perceraian diucapkan dalam sidang
terbuka untuk umum.*
(2) Suatu perceraian dianggap terjadi beserta segala akibat hukumnya
terhitung sejak putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap.*
Pasal 82
(1) Pada sidang pertama pemeriksaan gugatan perceraian, Hakim berusaha
mendamaikan kedua belah pihak.*
(2) Dalam sidang perdamaian tersebut, suami isteri harus datang secara
pribadi, kecuali apabila salah satu pihak bertempat kediaman di luar
negeri, dan tidak dapat datang menghadap secara pribadi dapat diwakili
oleh kuasanya yang secara khusus dikuasakan untuk itu.*
(3) Apabila kedua belah pihak bertempat kediaman di luar negeri, maka
penggugat pada sidang perdamaian tersebut harus menghadap secara
pribadi.*
25
(4) Selama perkara belum diputuskan, usaha mendamaikan dapat dilakukan
pada setiap sidang pemeriksaan.*
Pasal 83
Apabila terjadi perdamaian, maka tidak dapat diajukan perceraian baru
berdasarkan alasan yang ada dan telah diketahui oleh penggugat sebelum
perdamaian tercapai.*
(1)
(2)
(3)
(4)
Pasal 84
Panitera pengadilan atau pejabat pengadilan yang ditunjuk berkewajiban
selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari mengirimkan satu helai salinan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, tanpa
bermeterai kepada Pegawai Pencatat Nikah yang wilayahnya meliputi
tempat kediaman penggugat dan tergugat, untuk mendaftarkan putusan
perceraian dalam sebuah daftar yang disediakan untuk itu.*
Apabila perceraian dilakukan di wilayah yang berbeda dengan wilayah
Pegawai Pencatat Nikah tempat perkawinan dilangsungkan, maka satu
helai salinan putusan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap tanpa bermeterai dikirimkan pula
kepada Pegawai Pencatat Nikah di tempat perkawinan dilangsungkan dan
oleh Pegawai Pencatat Nikah tersebut dicatat pada bagian pinggir daftar
catatan perkawinan.*
Apabila perkawinan dilangsungkan di luar negeri, maka satu helai salinan
putusan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) disampaikan pula
kepada Pegawai Pencatat Nikah di tempat didaftarkannya perkawinan
mereka di Indonesia.*
Panitera berkewajiban memberikan akta cerai sebagai surat bukti cerai
kepada para pihak selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari terhitung setelah
putusan yang memperoleh kekuatan hukum tetap tersebut diberitahukan
kepada para pihak.*
Pasal 85
Kelalaian pengiriman salinan putusan sebagaimana yang dimaksud dalam
pasal 84, menjadi tanggung jawab Panitera yang bersangkutan atau pejabat
pengadilan yang ditunjuk, apabila yang demikian itu mengakibatkan kerugian
bagi bekas suami atau isteri atau keduanya.*
Pasal 86
(1) Gugatan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah isteri dan harta
bersama suami isteri dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan
perceraian ataupun sesudah putusan perceraian memperoleh kekuatan
hukum tetap.*
(2) Jika ada tuntutan pihak ketiga, maka pengadilan menunda terlebih dahulu
perkara harta bersama tersebut sampai ada putusan pengadilan dalam
26
lingkungan peradilan umum yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
tentang hal itu.*
(1)
(2)
(1)
(2)
(1)
(2)
(1)
(2)
Paragraf 4
Cerai Dengan Alasan Zina
Pasal 87
Apabila permohonan atau gugatan cerai diajukan atas alasan salah satu
pihak melakukan zina, sedangkan pemohon atau penggugat tidak dapat
melengkapi bukti-bukti dan termohon atau tergugat menyanggah alasan
tersebut, dan Hakim berpendapat bahwa permohonan atau gugatan itu
bukan tiada pembuktian sama sekali serta upaya peneguhan alat bukti
tidak mungkin lagi diperoleh baik dari pemohon atau penggugat maupun
dari termohon atau tergugat, maka Hakim karena jabatannya dapat
menyuruh pemohon atau penggugat untuk bersumpah.*
Pihak termohon atau tergugat diberi kesempatan pula untuk meneguhkan
sanggahannya dengan cara yang sama.*
Pasal 88
Apabila sumpah sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 87 ayat (1)
dilakukan oleh suami, maka penyelesaiannya dapat dilakukan dengan cara
li’an.*
Apabila sumpah sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 87 ayat (1)
dilakukan oleh isteri, maka penyelesaiaannya dilaksanakan dengan hukum
acara yang berlaku.*
Bagian Ketiga
Biaya Perkara
Pasal 89
Biaya perkara dalam bidang perkawinan dibebankan kepada penggugat
atau pemohon.*
Biaya perkara penetapan atau putusan pengadilan yang bukan merupakan
penetapan atau putusan akhir akan diperhitungkan dalam penetapan atau
putusan akhir.*
Pasal 90
Biaya perkara sebagaimana dimaksud dalam pasal 89, meliputi :
a. Biaya kepaniteraan dan biaya meterai yang diperlukan untuk perkara
tersebut.*)
b. Biaya untuk para saksi, saksi ahli, penerjemah dan biaya pengambilan
sumpah yang diperlukan dalam perkara tersebut.*)
c. Biaya yang diperlukan untuk pemeriksaan setempat dan tindakantindakan lain yang diperlukan pengadilan dalam perkara tersebut,
dan*)
d. Biaya pemanggilan, pemberitahuan dan lain-lain atas perintah
pengadilan yang berkenaan dengan perkara tersebut.*)
Besarnya biaya perkara diatur oleh Mahkamah Agung.*)
27
Pasal 91
(1) Jumlah biaya perkara sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 90 harus
dimuat dalam amar penetapan atau putusan pengadilan.*
(2) Jumlah biaya yang dibebankan oleh pengadilan kepada salah satu pihak
berperkara untuk dibayarkan kepada pihak lawannya dalam perkara itu
harus dicantumkan juga dalam amar penetapan atau putusan pengadilan.*
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
Pasal 91A
Dalam menjalankan tugas peradilan, peradilan agama dapat menarik biaya
perkara.**)))
Penarikan biaya perkara sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) wajib
disertai dengan tanda bukti pembayaran yang sah.**)))
Biaya perkara sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya
kepaniteraan dan biaya proses penyelesaian perkara.**)))
Biaya kepaniteraan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (3) merupakan
penerimaan negara bukan pajak, yang ditetapkan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.**)))
Biaya proses penyelesaian perkara sebagaimana yang dimaksud pada ayat
(3) dibebankan kepada pihak atau para pihak yang berperkara yang
ditetapkan oleh Mahkamah Agung.**)))
Pengelolaan dan pertanggungjawaban atas penarikan biaya perkara
sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1), diperiksa oleh Badan
Pemeriksa Keuangan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.**)))
Pasal 91 B
(1) Setiap pejabat peradilan dilarang menarik biaya selain biaya perkara
sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 91A ayat (3).**)))
(2) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1)
dikenai sanksi pemberhentian tidak dengan hormat sebagaimana dimaksud
dalam pasal 19 dan pasal 38B.**)))
BAB V
KETENTUAN KETENTUAN LAIN
Pasal 92
Ketua pengadilan mengatur tugas para Hakim.*
Pasal 93
Ketua pengadilan membagikan semua berkas perkara dan atau surat-surat lain
yang berhubungan dengan perkara yang diajukan ke pengadilan kepada
Majelis Hakim untuk diselesaikan.*
Pasal 94
Ketua pengadilan menetapkan perkara yang harus diadili berdasarkan nomor
urut, tetapi apabila terdapat perkara tertentu yang karena menyangkut
kepentingan umum harus segera diadili, maka perkara itu didahulukan.*
28
Pasal 95
Ketua pengadilan wajib mengawasi kesempurnaan pelaksanaan penetapan
atau putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.*
Pasal 96
Panitera pengadilan bertugas menyelengggarakan administrasi perkara dan
mengatur tugas Wakil Panitera, Panitera Muda dan Panitera Pengganti.*
Pasal 97
Panitera, Wakil Panitera, Panitera Muda dan Panitera Pengganti bertugas
membantu Hakim dengan menghadiri dan mencatat jalannya sidang
pengadilan.*
Pasal 98
Panitera bertugas melaksanakan penetapan atau putusan pengadilan.*
Pasal 99
(1) Panitera wajib membuat daftar semua perkara yang diterima di
kepaniteraan.*
(2) Dalam daftar sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1), tiap perkara
diberi nomor urut dan dibubuhi catatan singkat tentang isinya.*
Pasal 100
Panitera membuat salinan atau turunan penetapan atau putusan pengadilan
menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.*
Pasal 101
(1) Panitera bertanggung jawab atas pengurusan berkas perkara, penetapan
atau putusan, dokumen, akta, buku daftar, biaya perkara, uang titipan
pihak ketiga, surat-surat berharga, barang bukti dan surat-surat lain yang
disimpan di kepaniteraan.*
(2) Semua daftar, catatan, risalah, berita acara, serta berkas perkara tidak
boleh dibawa keluar dari ruangan kepaniteraan, kecuali atas izin Ketua
pengadilan berdasarkan ketentuan undang-undang.*
(3) Tata cara pengeluaran surat asli, salinan atau turunan penetapan atau
putusan, risalah, berita acara, akta dan surat-surat lain diatur oleh
Mahkamah Agung.*
Pasal 102
Tugas dan tanggung jawab serta tata kerja kepaniteraan pengadilan diatur
lebih lanjut oleh Mahkamah Agung.*
29
Pasal 103
(1) Juru Sita bertugas :
a. Melaksanakan semua perintah yang diberikan oleh Ketua Sidang.*
b. Menyampaikan pengumuman-pengumuman, teguran-teguran dan
pemberitahuan penetapan atau putusan pengadilan menurut cara-cara
berdasarkan ketentuan undang-undang.*
c. Melakukan penyitaan atas perintah Ketua pengadilan*
d. Membuat berita acara penyitaan, yang salinan resminya diserahkan
kepada pihak-pihak yang berkepentingan.*
(2) Juru Sita berwenang melakukan tugasnya di daerah hukum pengadilan
yang bersangkutan.*
Pasal 104
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan tugas Juru Sita diatur oleh
Mahkamah Agung.*
Pasal 105
(1) Sekretaris pengadilan bertugas menyelenggarakan administrasi umum
pengadilan.*
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas, tanggung jawab, susunan
organisasi dan tata kerja Sekretaris diatur oleh Mahkamah Agung.*)
BAB VI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 106
Pada saat mulai berlakunya undang-undang ini :
1. Semua Badan Peradilan Agama yang telah ada dinyatakan sebagai Badan
Peradilan Agama menurut undang-undang ini.*
2. Semua peraturan pelaksanaan yang telah ada mengenai peradilan agama
dinyatakan tetap berlaku selama ketentuan baru berdasarkan undangundang ini belum dikeluarkan, sepanjang peraturan itu tidak bertentangan
dengan undang-aundang ini.*
Pasal 106A
Pada saat undang-undang ini mulai berlaku, peraturan perundang-undangan
pelaksana Undang Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama
masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diganti
berdasarkan undang-undang ini.*))
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 107
(1) Pada saat mulai berlakunya undang-undang ini, maka :
a. Peraturan tentang peradilan agama di Jawa dan Madura (Staatsblad
Tahun 1882 Nomor 152 dan Staatsblad Tahun 1937 Nomor 116 dan
Nomor 610),*
30
b. Peraturan tentang Kerapan Qadi dan Kerapatan Qadi Besar untuk
sebagian Residensi Kalimantan Selatan dan Timur (Staatsblad Tahun
1937 Nomor 638 dan 639;*
c. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957 tentang Pembentukan
Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah di luar Jawa dan Madura
(Lembaran Negara Tahun 1957 Nomor 99), dan*
d. Ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 63 ayat (2)
Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran
Negara Tahun 1974, Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3019), dinyatakan tidak berlaku.*
(2) Ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 236 a Reglemen
Indonesia Yang Diperbaharui (RIB), Staatsblad Tahun 1941, Nomor 44,
mengenai permohonan pertolongan pembagian harta peninggalan diluar
sengketa antara orang-orang yang beragama Islam yang dilakukan
berdasarkan hukum Islam, diselesaikan oleh Pengadilan Agama.*
Pasal 108
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.*
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undangundang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.*
Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989, disahkan pada tanggal
29 Desember 1989.
Undang Undang Nomor 3 Tahun 2006, disahkan pada tanggal
20 Maret 2006.
Undang Undang Nomor 50 Tahun 2009, disahkan pada tanggal
29 Oktober 2009
31
PENJELASAN
ATAS
UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 7 TAHUN 1989
TENTANG
PERADILAN AGAMA
I. U M U M
1. Dalam Negara Republik Indonesia ….. dan seterusnya.
Keragaman
dasar hukum peradilan agama tersebut
mengakibatkan beragamnya pula susunan, kekuasaan dan hukum acara
peradilan agama. Dalam rangka penerapan wawasan nusantara di
bidang hukum yang merupakan pengejawantahan Pancasila sebagai
sumber dari segala sumber hukum, maka keragaman tersebut perlu
segera diakhiri demi terciptanya kesatuan hukum yang mengatur
peradilan agama dalam kerangka sistem dan tata hukum nasional yang
berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945.
2. Kekuasaan Kehakiman di lingkungan peradilan agama …… dan
seterusnya.
Bidang perkawinan yang dimaksud disini adalah hal-hal yang
diatur dalam Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan.
Bidang kewarisan adalah mengenai penentuan siapa-siapa
yang menjadi ahli waris, penentuan harta peninggalan, penentuan
bagian masing-masing ahli waris dan pelaksanaan pembagian harta
peninggalan, bilamana pewarisan tersebut dilakukan berdasarkan
hukum Islam.
Sehubungan dengan hal tersebut, para pihak sebelum
berperkara dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang
akan dipergunakan dalam pembagian warisan.
II. PASAL DEMI PASAL.
Pasal 1. Cukup jelas. …… dan seterusnya.
Pasal 49 ayat (2)
Yang dimaksud dengan perkawinan yang diatur dalam Undang Undang
Nomor 1 Tahun 1974 antara lain adalah :
1. Izin beristeri lebih dari seorang.
2. Izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21
(dua puluh sat) tahun, dalam hal orang tua atau wali atau keluarga
dalam garis lurus ada perbedaan pendapat.
3. Despensasi kawin.
4. Pencegahan perkawinan.
5. Penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah.
6. Pembatalan perkawinan.
7. Gugatan kelalaian atas kewajiban suami atau isteri.
32
8. Perceraian karena talak.
9. Gugatan perceraian.
10. Penyelesaian harta bersama.
11. Mengenai penguasaan anak.
12. Ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak, bilamana
bapak yang seharusnya bertanggung jawab tidak memenuhinya.
13. Penentuan kewajiban memberi biaya kehidupan oleh suami kepada
bekas isteri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas isteri.
14. Putusan tentang sah atau tidaknya seorang anak.
15. Putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua.
16. Pencabutan kekuasaan wali.
17. Penunjukan orang lain sebagai wali oleh pengadilan, dalam hal
kekuasaan seorang wali dicabut.
18. Menunjuk seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup
umur 18 (delapan belas) tahun yang ditinggal kedua orang tuanya pada
hal tidak ada penunjukan wali oleh orang tuanya.
19. Pembebanan kewajiban ganti kerugian terhadap wali yang telah
menyebabkan kerugian atas harta benda anak yang ada dibawah
kekuasaannya.
20. Penetapan asal usul anak.
21. Putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan
perkawinan campuran.
22. Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum Undang
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
33
PENJELASAN
ATAS UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 3 TAHUN 2006
TENTANG
PERADILAN AGAMA
I. U M U M
Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945……
dan seterusnya.
Dalam Undang Undang ini kewenangan peradilan agama diperluas,
hal ini sesuai perkembangan hukum masyarakat, khususnya masyarakat
muslim. Perluasan tersebut antara lain meliputi ekonomi syari’ah.
Dalam kaitannya dengan perubahan undang undang ini pula, kalimat
yang terdapat dalam penjelasan umum Undang Undang Nomor 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama yang menyatakan “Para pihak sebelum
berperkara dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang
akan dipergunakan dalam pembagian warisan”, dinyatakan dihapus.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1 (cukup jelas)
Pasal 49
Penyelesaian sengketa tidak hanya dibatasi di bidang perbankan
syari’ah, melainkan juga di bidang ekonomi syari’ah lainnya.
Yang dimaksud dengan “antara orang-orang yang beragama Islam”
adalah termasuk orang atau badan hukum yang dengan sendirinya
menundukan diri dengan sukarela kepada hukum Islam mengenai hal-hal
yang menjadi kewenangan peradilan agama sesuai dengan ketentuan pasal
ini.
Huruf a.
Yang dimaksud dengan “perkawinan” adalah hal-hal yang diatur dalam
atau berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku yang
dilakukan menurut syari’ah, antara lain :
1. Izin beristeri lebih dari seorang.
2. Izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21
(dua puluh sat) tahun, dalam hal orang tua atau wali atau keluarga
dalam garis lurus ada perbedaan pendapat.
3. Despensasi kawin.
4. Pencegahan perkawinan.
5. Penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah.
6. Pembatalan perkawinan.
7. Gugatan kelalaian atas kewajiban suami atau isteri.
8. Perceraian karena talak.
9. Gugatan perceraian.
10. Penyelesaian harta bersama.
11. Penguasaan anak-anak.
34
12. Ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak, bilamana
bapak yang seharusnya bertanggung jawab tidak memenuhinya.
13. Penentuan kewajiban memberi biaya kehidupan oleh suami kepada
bekas isteri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas isteri.
14. Putusan tentang sah atau tidaknya seorang anak.
15. Putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua.
16. Pencabutan kekuasaan wali.
17. Penunjukan orang lain sebagai wali oleh pengadilan, dalam hal
kekuasaan seorang wali dicabut.
18. Menunjuk seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup
umur 18 (delapan belas) tahun yang ditinggal kedua orang tuanya pada
hal tidak ada penunjukan wali oleh orang tuanya.
19. Pembebanan kewajiban ganti kerugian terhadap wali yang telah
menyebabkan kerugian atas harta benda anak yang ada dibawah
kekuasaannya.
20. Penetapan asal usul seorang anak dan penetapan pengangkatan anak
berdasarkan hukum Islam.
21. Putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan
perkawinan campuran.
22. Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum Undang
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Huruf b
Yang diamksud dengan “waris” adalah penentuan siapa yang
menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan
bagian masing-masing ahli waris dan melaksanakan pembagian harta
peninggalan tersebut; serta penetapan pengadilan atas permohonan
seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan
bagiam masing-masing ahli waris.
Huruf c :
Yang dimaksud dengan “wasiat” adalah perbuatan seseorang memberikan
suatu benda atau manafa’at kepada orang lain atau lembaga/badan hukum,
yang berlaku setelah yang memberi tersebut meninggal dunia.
Huruf d :
Yang dimaksud dengan “hibah” adalah pemberian suatu benda secara
sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang atau badan hukum kepada
orang lain atau badan hukum untuk dimilki.
Huruf e :
Yang dimaksud dengan “wakaf” adalah perbuatan seseorang atau
sekelompok orang (wakif) untuk memisahkan dan/atau menyerahkan
sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk
jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan
ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syari’ah.
Huruf f :
Yang dimaksud dengan “zakat” adalah harta yang wajib disisihkan oleh
seorang muslim atau badan hukum yang dimliki oleh orang muslim sesuai
35
dengan ketentuan syari’ah untuk diberikan kepada yang berhak
menerimanya.
Huruf g :
Yang dimaksud dengan “infaq” adalah perbuatan seseorang memberikan
sesuatu kepada orang lain guna menutupi kebutuhamn hidup, baik berupa
makanan, minuman, mendermakan, memberikan rezeki (karunia), atau
menafkahkan sesuatu kepada orang lain berdasarkan rasa ikhlas dan
karena Allah swt.
Huruf h :
Yang dimaksud dengan “shadaqah” adalah perbuatan seseorang
memberikan sesuatu kepada orang lain atau lembaga/badan hukum secara
spontan dan sukarela tanpa dibatasi oleh waktu dan jumlah tertentu dengan
mengharap ridho Allah swt dan pahala semata.
Huruf i :
Yang dimaksud dengan “ekonomi syari’ah” adalah perbuatan atau
kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah, antara lain
meliputi :
a. Bank syari’ah.
b. Lembaga keuangan mikro syari’ah.
c. Asuransi syari’ah.
d. Reasuransi syari’ah.
e. Reksa dana syariah.
f. Obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka menengah syari’ah.
g. Sekuritas syari’ah.
h. Pembiayaan syari’ah.
i. Pegadaian syari’ah.
j. Dana pensiun lembaga keuangan.
k. Bisnis syari’ah.
Pasal 50 ayat (2)
Ketentuan ini memberi wewenang kepada Pengadilan Agama untuk
sekaligus memutuskan sengketa milik atau keperdataan lain yang terkait dengan
objek sengketa yang diatur dalam pasal 49 apabila subjek sengketa antara orangorang yang beragama Islam.
Hal ini menghindari upaya memperlambat atau mengulur waktu
penyelesaian sengketa karena alasan adanya sengketa milik atau keperdataan
lainnya tersebut sering dibut oleh pihak yang merasa dirugikan dengan adanya
gugatan di Pengadilan Agama.
Sebaliknya apabila subjek yang mengajukan sengketa hak milik atau
keperdataan lain tersebut bukan yang menjadi subjek bersengketa di Pengadilan
Agama, sengketa di pengadilan Agama ditunda untuk menunggu putusan gugatan
yang diajukan ke pengadilan di lingkungan peradilan umum.
Penagguhan dimaksud hanya dilakukan jika pihak yang berkeberatan telah
mengajukan bukti ke Pengadilan Agama bahwa telah didaftarkan gugatan di
Pengadilan Negeri terhadap objek sengketa yang sama dengan sengketa di
Pengadilan Agama.
36
Dalam hal objek sengketa lebih dari satu objek dan yang tidak terkait
dengan objek sengketa yang diajukan keberatannya, Pengadilan Agama tidak
perlu menangguhkan putusannya, terhadap objek sengketa yang tidak terkait
dimaksud.
Pasal 52 :
Selama ini Pengadilan Agama diminta oleh Menteri Agama untuk
memberikan penetapan (itsbat) terhadap kesaksian orang yang telah melihat atau
menyaksikan hilal bulan pada setiap memasuki bulan Ramadhan dan awal bulan
Syawal tahun Hijriyah dalam rangka Menteri Agama mengeluarkan penetapan
secara nasional untuk penetapan 1 (satu) Ramadhan dan 1 (satu) Syawal.
Pengadilan Agama dapat memberikan keterangan atau nasehat mengenai
perbedaan penentuan arah qiblat dan penentuan waktu shalat.
37
PENJELASAN
ATAS
UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 50 TAHUN 2009
TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989
TENTANG PERADILAN AGAMA
I. UMUM
Undang Undang dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945….. dan
seterusnya.
Perubahan kedua atas Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama telah meletakan dasar kebijakan bahwa segala urusan
mengenai peradilan agama, pengawasan tertinggi baik menyangkut teknis
yudisial maupun non yudisial yaitu urusan organisasi, administrasi dan
finansial berada dibawah kekuasaan Mahkamah Agung. Sedangkan untuk
menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku
Hakim, pengawasan eksternal dilakukan oleh Komisi Yudisial. Perubahan
kedua atas Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama dimaksudkan untuk meperkuat prinsip dasar dalam
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, yaitu agar prinsip kemandirian
peradilan dan prinsip kebabasan Hakim dapat berjalan pararel dengan
prinsip integritas dan akuntabilitas Hakim.
Perubahan penting lainnya atas Undang Undang Nomor 7 tahun 1989
tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dengan Undang
Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama antara lain sebgai
berikut :
1. Penguatan pengawasan Hakim, baik pengawasan internal oleh
Mahkamah Agung maupun pengawasan eksternal atas perilaku Hakim
yang dilakukan oleh Komisi Yudisial
dalam menjaga dan
menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku Hakim.
2. Memperketat persyaratan pengangkatan Hakim, baik Hakim pada
Pengadilan Agama maupun Hakim pada Pengadilan Tinggi Agama,
antara lain melalui proses seleksi Hakim yang dilakukan secara
transparan, akuntabel dan partisipatif serta harus melalui proses atau
lulus pendidikan Hakim.
3. Pengaturan mengenai pengadilan khusus dan Hakim Ad Hoc.
4. Pengaturan mekanisme dan tata cara pengangkatan dan pemberhentian
Hakim
5. Keamanan dan kesejahteraan Hakim.
6. Transparansi putusan dan limitasi pemberian salinan putusan.
7. Transparansi biaya perkara serta pemeriksaan pengelolaan dan
pertanggungjawaban biaya perkara.
8. Bantuan hukum, dan
38
9. Majelis kehormatan Hakim dan kewajiban Hakim untuk menaati Kode
Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
Perubahan secara umum atas Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dengan Undang
Undang Nonor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, pada dasarnya
untuk mewujudkan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang
merdeka dan peradilan yang bersih serta berwibawa yang dilakukan
melalui penataan sistim peradilan yang terpadu (integrated system),
terlebih peradilan agama secara konstitusional merupakan badan
peradilan di bawah Mahkamah Agung.
II. PASAL DEMI PASAL
Dan seterusnya.
CATATAN :
-Tanda * : Teks asli UU Nomor 7 Tahun 1989 yang tidak dirubah.
- Tanda *) : UU Nomor 7 Tahun 1989 dirubah oleh UU Nomor 3 Tahun 2006
-Tanda *)) : Diadakan baru oleh UU Nomor 3 Tahun 2006.
-Tanda **) : UU Nomor 7 Tahun 1989 dirubah oleh UU Nomor 50 Tahun 2009
-Tanda **)) : UU Nomor 3 Tahun 2006 dirubah oleh UU Nomor 50 tahun 2009
-Tanda **))): Diadakan baru oleh UU Nomor 50 tahun 2009.
Demak, 29 Desember 2009
Editor
Ali M. Haidar
1
CATATAN PENTING
ATAS HAL-HAL YANG TERKAIT
DENGAN UNDANG UNDANG PERADILAN AGAMA
(UU NO. 7/1989, UU NO. 3/2006 DAN UU NO. 50/2009)
1. Konsideran :
1.1. Judul Undang Undang adalahUndang Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua atas Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama.
1.2. Dalam menyebut undang-undang yang telah beberapa kali dirubah dengan
menggunakan istilah seperti “Undang Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang
Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang Undang
Nomor 3 Tahun 2009”.
2. Pasal 2 (Pengadilan Agama sebagai salah satu kekuasaan kehakiman dan
pengertian peradilan dan pengadilan), menurut Hartono, 1977, hal. 95 :
2.1. Peradilan adalah tugas atau fungsi menegakkan hukum dan keadilan yang
dibebankan kepada pengadilan.
2.2. Pengadilan adalah organisasi atau badan yang menjalankan tugas dan fungsi
peradilan tersebut.
2.3. Dasar hukum peradilan agama dalam Undang Undang Dasar 1945 pasal 24 :
2.3.1. Ayat (1) Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang
merdekauntuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
hukum dan keadilan.
2.3.2. Ayat (2) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah
Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam
lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer dan lingkungan peradilan tata usaha
negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
2.3.3. Ayat (3) Badan badan lain yang fungsinya berkaitan dengan
kekuasaan kehakiman diatur dalam undang undang.
2.4. Filosofi kekuasaan kehakiman di Indonesia :
2.4.1. Sistim hukum menurut UUD 1945 menganut teori single system of
court (satu sistem peradilan), yaitu Mahkamah Agung dan badan
peradilan dibawahnya yang kesemuanya disebut sebagai peradilan
negara.
2.4.2. Namun sebelum maupun setelah kemerdekaan sampai dengan tahun
1963 masih menganut teori multy system of court (banyak sistem
peradilan). Ada pengadilan adat, pengadilan swapraja, pengadilan
negeri dan pengadilan agama.
2.4.3. Mahkamah Agung sebagai badan peradilan negara tertinggi dan juga
sebagai lembaga tinggi negara.
2.4.4. Sedangkan peradilan dibawah Mahkamah Agung menganut sistem
lingkungan, yaitu :
2.4.4.1. Lingkungan peradilan umum.
2.4.4.2. Lingkungan peradilan agama.
2
2.4.4.3. Lingkungan peradilan militer.
2.4.4.4. Lingkungan peradilan tata usaha negara.
2.4.5. Peradilan umum adalah peradilan negara yang melaksanakan tugas
peradilan di bidang pidana dan perdata secara umum.
2.4.6. Tiga peradilan yang lain adalah peradilan khusus :
2.4.6.1. Khusus yustiabelennya (pencari keadilan/subyek hukumnya) :
2.4.6.1.1. Orang Islam di Pengadilan Agama.
2.4.6.1.2. Anggota militer di Pengadilan Militer.
2.4.6.1.3. Pegawai negeri di PTUN.
2.4.6.2. Khusus hukum yang diberlakukan/diterapkan :
2.4.6.2.1. Hukum Islam di Pengadilan Agama.
2.4.6.2.2. Hukum pidana militer di Pengadilan Militer.
2.4.6.2.3. Hukum administrasi negara di PTUN.
2.4.7. Peradilan agama adalah sub sistem peradilan negara Republk
Indonesia yang khusus melayani pencari keadilan yang beragama
Islam, mengenai perkara tertentu, yang didasarkan pada hukum Islam.
2.4.8. Tata hukum ketatanegaraan Negara Republik Indonesia menganut
sistem peradilan dalam dua tingkat :
2.4.8.1. Peradilan tingkat pertama, seperti pengadilan agama.
2.4.8.2. Peradilan ulangan, seperti pengadilan tinggi agama.
2.4.9. Kasasi adalah mengajukan pembatalan putusan peradilan kepada
peradilan tertinggi yakni Mahkamah Agung.
2.4.10. Peninjauan Kembali adalah mengajukan permohonan mengadili ulang
kepada peradilan tertinggi yakni Mahkamah Agung.
2.5. Undang Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal
42 ayat (2) menyatakan bahwa pengalihan organisasi, administrasidan
finansial dalam lingkungan peradilan agama dilaksanakan paling lambat
tanggal 30 Juni 2004.
2.6. Keputusan Presiden Nomor 21 Tahun 2004 :
2.6.1. Pasal 2 menegaskan bahwa organisasi, administrasi dan finansial pada
Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Departemen Agama,
PTA/MSAceh, PA dan MS terhitung tanggal 30 Juni 2001 dialihkan
dari Departemen Agama ke Mahkamah Agung.
2.6.2. Pasal 3 menerangkan bahwa pembinaan organisasi, administrasi dan
finansial berada di bawah Mahkamah Agung.
2.7. Sema Nomor 4 Tahun 1959 tanggal 01-03-1959 :
2.7.1. PP Nomor 43 Tahun 1958 Pasal 3 tentang penggunaan lambang negara.
2.7.2. Di ruang sidang hanya dipasang lambang garuda tanpa yang lain dan
tepatdiatas kursi Ketua Majelis Hakim.
2.8. Sema Nomor 6 Tahun 1966 tanggal 11-09-1966 :
2.8.1. Dalam sidang hakim memakai toga.
2.8.2. Di luar sidang hakim memakai pakaian dinas.
2.8.3.SK Menteri Agama Nomor 62 Tahun 1985 tentang Pakaian Hakim
dalam Sidang.
2.9. Peraturan tentang pakaian dinas aparat peradilan :
2.10.SK Ketua MA Nomor KMA/033/SK/V/2004 tanggal 11-05-2004 tentang
stempel, logo papan nama, pakaian dinas dan bendera pengadilan :
3
2.10.1. Pakaian pegawai :
2.10.1.1. Baju model PDH.
2.10.1.2. Warna baju hijau muda, warna celana dan rok hijau tua.
2.10.1.3. Pakai papan nama.
2.10.1.4. Pakai logo.
2.10.2. Pakaian hakim dan pejabat struktural :
2.10.1.2.1. Baju model jas mini.
2.10.1.2.2. Celana panjang bagi pria atau rok bagi wanita.
2.10.1.2.3. Warna biru dongker.
2.10.1.2.4. Pakai papan nama.
10.2.SK Sekretaris Mahkamah Agung tentang Pakaian Hari Jum’at memakai
pakaian olah raga dan batik lengan panjang atau lengan pendek.
10.3. SK Ketua PTA Pontianak Nomor W14-A/827/HK.03.5/IX/2008 tanggal
08-09-2008 tentang Tata Tertib Kedinasan pada PTA Pontianak dan
Pengadilan Agama se Wilayah Hukum PTA Pontianak.
2.11. Keputusan Sekretaris MA Nomor 039/Sek/SK/IX/2008 tanggal 17-09-2008 :
2.11.1. Jumlah seluruh peradilan agama tingkat pertama ada 343 Pengadilan
Agama/Mahkamah Syariah.
2.11.2. Dengan perincian :
2.11.2.1. Pengadilan Agama/MS Kelas IA sebanyak 52.
2.11.2.2. Pengadilan Agama/MS Kelas IB sebanyak 92.
2.11.2.3. Pengadilan Agama/MS Kelas II sebanyak 199.
2.12. SK Ketua MA Nomor KMA/043/SSK/VIII/1999 tentang Hari Jadi MA :
2.12.1. Hari Jadi Mahkamah Agung jatuh pada tanggal 19 Agustus 1945.
2.12.2. HUT Mahkamah Agungdiadakan setiap tanggal 19 Agustus.
2.12.3. Filosofinya, terhitung pengangkatan Dr. Mr. RSE Koesoema Atmadja
sebagai Ketua MA yang pertama oleh Presiden Ir. H. Soekarno.
3. Pasal 5 (pembinaan teknis peradilan, organisasi dan finansial) dan Pasal 12
(pembinaan dan pengawasan umum terhadap hakim) :
3.1. Keputusan Ketua MA Nomor MA/Kumdil/207/VIII/K/1994 tanggal 09-081994 tentang Pengawasan dan Evaluasi Hasil Pengawasan.
3.2. Keputusan Ketua MA Nomor KMA/096/SK/X/2006 tanggal 19-10-2006
tentang Tanggung jawab Ketua Pengadilan Tingkat Banding dan Ketua
Pengadilan Tingkat Pertama Dalam Melaksanakan Tugas Pengawasan.
3.3. Keputusan Ketua MA Nomor 215/KMA/SK/XII/2007 tanggal 19-12-2007
tentang Petunjuk Pelaksanaan Pedoman Perilaku Hakim.
3.4. Keputusan Ketua MA Nomor 071/KMA/SK/V/2008 tanggal 14-05-2008
tentang Ketentuan Penegakan Disiplin Kerja.
3.5. Keputusan Bersama Ketua MA dan Ketua KY tanggal 08-04-2009, Nomor
047/KMA/SK/VI/2009 dan Nomor 02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik
dan Pedoman Perilaku Hakim.
3.6. Keputusan Ketua MA Nomor 069/KMA/SK/V/2009 tanggal 13-05-2009
tentang Perubahan atas Ketentuan Penegakan Disiplin Kerja.
3.7. Sema Nomor 10 Tahun 2005 tanggal 27-06-2005 (pembinaan hakim dalam
memeriksa perkara) :
4
3.7.1. Yang dimaksud “kekuasaan kehakiman yang merdeka” menurut Pasal
24 ayat (1) UUD 1945 adalah bersifat kelembagaan.
3.7.2. Jadi kebebasan hakim adalah berada dalam kerangka kemerdekaan
lembaga peradilan.
3.7.3. Hakim adalah sub sistem dari kekuasaan kehakiman, maka kemerdekaan
hakim haruslah selalu dalam koridor kekuasaan kehakiman.
3.7.4. Secara filosofis putusan hakim adalah bersifat indifidual, namun secara
administratif adalah bersifat kelembagaan. Sebab setelah putusan hakim
diucapkan maka putusan itu menjadi putusan pengadilan (lembaga).
3.7.5. Ketua pengadilan dapat memberikan bimbingan kepada majelis hakim
dan hal ini tidak akan mengurangi kemerdekaan hakim.
3.8. Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 192 Tahun 2014 tentang Pola
Promosi dan Mutasi Hakim di Lingkungan Peradilan Agama.
3.9. Sema Nomor 5 Tahun 2011 jo. Sema Nomor 3 Tahun 2012, bahwa pejabat
yang wajib menanda tangani pakta integritas adalah :
3.9.1. Eselon I dan II Mahkamah Agung.
3.9.2. Ketua dan Wakil Ketua pengadilan tingkat banding dan pengadilan
tingkat pertama pada saat pengambilan sumpah.
3.9.3. Hakim non palu saat menyelesaikan hukuman.
3.9.4. Pejabat Kuasa Pengguna Anggaran.
3.9.5. Pejabat Pembuat Komitmen.
3.9.6. Pejabat Pengadaan.
4. Pasal 9 Susunan Pengadilan Agama :
4.1. Susunan Pengadilan Agama terdiri dari Ketua dan Wakil Ketua, Hakim,
Panitera, Sekretaris dan Jurusita.
4.2. Susunan Pengadilan Tinggi Agama terdiri dari Ketua dan Wakil Ketua,
Hakim Tinggi, Panitera dan Sekretaris.
4.3. Sema nomor 2 Tahun 1988 tentang Pedoman Pembagian Tugas Antara Ketua
dan Wakil Ketua Pengadilan.
4.4. Sema Nomor 5 Tahun 1996 tentang Bagan Susunan Pengadilan.
4.5. Sema Nomor 8 Tahun 1996 tentang Audit berkas dan keuangan Ketua dan
Panitera dalam serah terima jabatan.
4.6. Sema Nomor 05 Tahun 1971 :
4.6.1. Ketua dan Wakil Ketua pengadilan harus selalu menjadi ketua majelis.
4.6.2. Namun Wakil Ketua dapat menjadi anggota sidang Ketua pengadilan.
5. Pasal 13 dan 27 (pembinaan jasmani rohani dan kebersihan kantor) :
5.1. Surat Keputusan Konggres PTWP ke XVI Nomor 02/RP.PTWP.XVI/X /2014
tanggal 18-10-2014, huruf E tentang Iuran :
5.1.1. Hakim tingkat pertama Rp.60.000; dengan perincian :
5.1.1.1. Untuk pusat 1/3 bagian.
5.1.1.2. Untuk daerah 1/3/ bagian.
5.1.1.3. Untuk cabang 1/3 bagian.
5.1.2. Hakim tingkat banding Rp.90.000; dengan perincian :
5.1.2.1. Untuk pusat 1/3 bagian.
5.1.2.2. Untuk daerah 1/3 bagian.
5
5.1.2.3. Untuk cabang 1/3 bagian.
5.1.3. Hakim Agung Rp.200.000; dengan perincian :
5.1.3.1. Untuk pusat ½ bagian.
5.1.3.2. Untuk MA ½ bagian.
5.1.4. Karyawan/karyawati :
5.1.4.1. Panitera, Panitera Muda, eselon I dan II MA Rp.100.000;
5.1.4.2. Panitera/Sekretaris tingkat banding Rp.75.000;
5.1.4.3. Wapan, Wasek tingkat banding, eselon III dan IV Rp.60.000;
5.1.4.4. Pansek tingkat pertama Rp.60.000;
5.1.4.5. Panitera Pengganti tingkat banding Rp.45.000;
5.1.4.6. Panitera Pengganti tingkat pertama Rp.30.000;
5.1.4.7. Karyawan/Karyawati Rp.15.000;
5.1.5. Tata cara pembayaran :
5.1.5.1. Pengurus cabang membayar iuran melalui Pengurus Daerah
tiga bulan sekali dengan dilengkapi bukti pengiriman dan
rincian.
5.1.5.2. Rincian pembayaran iuran ditembuskan kepada Pengurus
Pusat.
5.1.5.3. Pengurus Daerah membayar iuran kepada Pengurus Pusat tiga
bulan sekali melalui rekening yang telah ditentukan.
5.1.5.4. Pengurus Pusat mengirim tanda terima iuran.
5.2. Surat Pengurus Daerah IKAHI Kalimantan Barat Nomor 01/ikahi-pta/2014
tanggal 09-04-2014 tentang iuran dan berdasarkan hasil Munas IKAHI tahun
2013 yang diberlakukan sejak Januari 2014 sebagai berikut :
5.2.1. Uang pangkal Rp.100.000; dengan porsi :
5.2.1.1. Pengurus Pusat Rp.15.000;
5.2.1.2. Pengurus Daerah Rp.60.000;
5.2.1.3. Pengurus Cabang Rp.25.000;
5.2.2. Iuran bulanan Rp.25.000; dengan porsi :
5.2.2.1. Pengurus Pusat Rp.5.000;
5.2.2.2. Pengurus Daerah Rp.10.000;
5.2.2.3. Pengurus Cabang Rp.10.000;
5.2.3. Sumbangan Munas Rp.10.000; setiap anggota.
5.3. Sejarah IKAHI yang disusun PN Kebumen :
5.3.1. Timbulnya konspirasi dari pihak tertentu yang ingin menempatkan
hakim pada kedudukan yang tidak sesuai dengan ketentuan UUD
1945.
5.3.2. Hakim seluruh Jawa, pada tahun 1952 berkumpul di Surabaya untuk
merancang sebuah organisasi untuk profesi hakim.
5.3.3. Tanggal 20 Maret 1953 disahkan organisasi IKAHI beserta AD/ART
nya oleh bapak Soerjadi, SH dan merupakan hari jadi IKAHI.
5.3.4. HUT IKAHI dilaksanakan setiap tanggal 20 Maret.
5.4. Sejarah IKAHA :
5.4.1. Sebelum berintegrasi kedalam IKAHI, hakim peradilan agama berada
di dalam organisasi IKAHA(Ikatan Hakim Peradilan Agama) yang
didirikan pada 27-12-1977.
6
5.4.2. Berdasarkan SKB PP IKAHA dan PP IKAHI pada Munaslub IKAHA
tanggal 9 s/d 11 Nopember 1995 di Wisma Haji Pondok Gede,
Jakarta,maka pada tanggal 11-11-19995 IKAHA secara resmi
membubarkan diri.
5.4.3. Seluruh anggota IKAHA yang berjumlah 2079 orang akan menjadi
anggota biasa IKAHI.(Mimbar Hukum, Nomor 22 Tahun VI 1995,
halaman 85).
5.5. Berdasarkan AD/ART PTWP Hasil Konggres di Bandung, pada tanggal 2510-2008 :
5.5.1. BAB I, Pasal 2 : Persatuan Tenis Warga Pengadilan didirikan di
Jakarta dalam Rapat Kerja antara para Ketua Pengadilan Tinggi di
seluruh Indonesia dengan Mahkamah Agung RI pada hari Minggu
tanggal 7 Maret 1976 untuk waktu yang tidak ditentukan.
5.5.2. HUT PTWP dilaksanakan setiap tanggal 7 Maret.
5.6. Sema Nomor 3 Tahun 2004 tentang Kebersihan Lingkungan Kerja.
6. Pasal 16 (sumpah Ketua, Wakil Ketua dan Hakim) dan Pasal 37 dan 40
(sumpahuntuk pejabat lainnya):
6.1. Lafadh sumpah untuk pimpinan dan hakim adalah “Demi Allah, saya
bersumpah bahwa saya akan memenuhi kewajiban Hakim”.
6.2. Lafadh sumpah untuk pejabat lainnya, seperti lafadh sumpah pegawai negeri
sipil sebelum UU Nomor 3 Tahun 2006.
6.3. PP Nomor 21 Tahun 1975 tentang Sumpah dan Pelantikan PNS:
6.3.1. Pasal 4 menyatakan bahwa sumpah diambil oleh menteri dan
seterusnya.
6.3.2. Pasal 5 ayat (1) menyatakan bahwa sumpah didampingi oleh
rohaniwan.
6.3.3. Pasal 5 ayat (3) menyatakan bahwa sumpah disaksikan oleh dua orang
saksi yang pangkatnya serendah-rendahnya sama dengan yang
disumpah.
6.3.4. Pasal 5 ayat (4) menjelaskan bahwa sumpah dituntun atau menirukan
pejabat yang mengambil sumpah.
6.3.5. Pasal 5 ayat (5) saat sumpah semua yang hadir harus berdiri.
6.3.6. Rohaniwan tidak ikut menanda tangani berita acara sumpah.
6.4. Peraturan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1979 tentang Tata Cara Sumpah :
6.4.1. Pasal 2, upacara pengambilan sumpah dihadiri :
6.4.1.1. Pejabat yang mengambil sumpah.
6.4.1.2. Pejabat yang mengangkat sumpah.
6.4.1.3. Saksi-saksi.
6.4.1.4. Rohaniwan pendamping.
6.4.1.5. Undangan.
6.4.2. Pasal 3, Rohaniwan ditunjuk oleh :
6.4.2.1. Untuk non muslim ditunjuk oleh Kepala Kandepag.
6.4.2.2. Untuk muslim ditunjuk oleh Pengadilan Agama.
6.4.3. Pasal 7 menegaskan bahwa yang mengangkat sumpah harus ditanya
bersedia disumpah/tidak dan dengan agama apa.
6.4.4. Pasal 8 (tata ruang pengambilan sumpah) :
7
6.4.4.1. Pejabat yang mengangkat sumpah berdiri menghadap pejabat
yang mengambil sumpah.
6.4.4.2. Para saksi berdiri disebelah samping kanan pejabat yang
mengangkat sumpah.
6.4.4.3. Rohaniwan berdiri sebelah kiri saksi.
6.4.4.4. Saat sumpah, rohaniwan dibelakang pejabat yang mengambil
sumpah dengan mengangkat Al Qur’an kearah atas kepala
pejabat tersebut, jika yang mengangkat sumpah hanya seorang.
6.4.4.5. Jika yang mengangkat sumpah banyak, rohaniwan berdiri
disebelah kanan pejabat yang mengangkat sumpah yang berdiri
paling depan dan saat sumpah rohaniwan menghadap pejabat
tersebut dengan mengangkat Al Qur’an kearah atas kepala
pejabat yang mengangkat sumpahtersebut.
6.4.4.6. Protokol disebelah kanan/kiri pejabat yang mengambil sumpah.
6.4.4.7. Pembaca do’a berdiri sejajar protokol.
6.4.5. Pasal 11, menjelaskan pakaian pejabat yang mengambil sumpah atau
yang mengangkat sumpah adalah pakaian sipil lengkap.
6.5. Seiring perpindahan Pengadilan Agama dari Kementerian Agama ke
Mahkamah Agung, maka kewenangan menunjuk rohaniwan dialihkan ke
Kementerian Agama.
6.6. Pengambilan sumpah hakim dan pimpinan pengadilan melalui sidang luar biasa
dengan prosesi sebagai berikut (versi PTA Semarang) :
6.6.1. Panitera Sidang memasuki ruang sidang sendirian :
6.6.1.1. Panitera Sidang mengumumkan : “Ketua dan Anggota Majelis
Hakim memasuki ruang sidang”, hadirin dimohon berdiri.
- Setelah posisi duduk Majelis Hakim telah sempurna,
Panitera Sidang mengucapkan :”Hadirin dipersilahkan
duduk kembali”.
6.6.1.2. Pembukaan pengambilan sumpah dan pelantikan Ketua PA......
(oleh Panitera Sidang) :
- Kemudian dilanjutkan oleh Ketua majelis membuka sidang
dengan kalimat : “Sidang luar biasa pengambilan sumpah
dan pelantikan Ketua PA ... dibuka dan dinyatakan terbuka
untuk umum dengan membaca Bismillahrrahmanirrahim,
ketok palu 3 kali.
6.6.2. Lagu Indonesia Raya (oleh Panitera Sidang).
(Hadirin dimohon berdiri dan setelah selesai dipersilahkan duduk
kembali).
6.6.3. Pembacaan Surat Keputusan (oleh Panitera Sidang) :
6.6.3.1. Pejabat yang akan mengangkat sumpah dan rohaniwan
dimohon menempatkan diri.
6.6.3.2. Hadirin dimohon berdiri.
6.6.3.3. Panitera Sidang membaca SK.
6.6.4. Pengambilan sumpah (oleh Panitera Sidang) :
6.6.4.1. Ketua majelis memerintahkan kepada :
6.6.4.1.1. Hakim anggota I untuk menanyakan kesediaan
pejabat yang diambil sumpah.
8
6.6.4.2.
6.6.4.3.
6.6.4.4.
6.6.4.5.
6.6.4.6.
6.6.4.7.
6.6.4.8.
6.6.4.9.
6.6.4.1.2. Hakim anggota II untuk membacakan khutbah
sumpah.
Ketua Majelis mengambil sumpah :
6.6.4.2.1. Ketua Majelis : “Silahkan saudara menirukan ucapan
saya” :
6.6.4.2.2. Pejabat yang mengangkat sumpah, “siap”.
Penanda tanganan berita acara (oleh Panitera Sidang).
5.6.4.1. Rohaniwan dimohon kembali ke tempat.
5.6.4.2.Penanda tanganan dimulai dari pejabat yang
mengangkat sumpah, anggota majelis dan terakhir
Ketua Majelis.
Kata pelantikan (oleh Panitera Sidang)
- Ketua Majelis mengucapkan Kata Pelantikan.
Pengalungan tanda jabatan.
- Setelah pengalungan selesai, langsung lagu Padamu Negeri.
- Setelah lagu selesai, Panitera Sidang : Hadirin dimohon
duduk kembali.
- Kepada pejabat yang mengangkat sumpah dipersilahkan
kembali ke tempat.
Sidang luar biasa selesai (oleh Panitera Sidang) :
Ketua majelis lalu menutup sidang dengan ucapan :
- “Sidang luar biasa pengambilan sumpah dan pelantikan
Ketua PA ..... ditutup dengan ucapan Alhamdulillahi rabbil
‘alamiin”.
Hadirin dimohon berdiri (oleh Panitera Sidang).
- Majelis Hakim meninggalkan ruang sidang.
- Setelah Majelis meninggalkan ruangan dengan sempurna,
Panitera sidang mengucapakan : Hadirin dimohon duduk
kembali.
- Panitera Sidang meninggalkan ruang sidang.
Protokol umum kemudian mengambil alih acara.
7. Pasal 22 (perintah penangkapan terhadap Hakim), ada yang dijelaskan oleh
SEMA Nomor 4 Tahun 2002 yang berisi :
7.1. Pejabat pengadilan tidak perlu memenuhi panggilan kepolisian apabila
menyangkut suatu perkara yang sudah diputus maupun yang masih dalam
proses pemeriksaan pengadilan.
7.2. Dapat memenuhi panggilan apabila diminta untuk membahas RUU atau
memberikan pertimbangan hukum sebagai sumbangan pemikiran.
7.3. Prinsip universal, bahwa suatu putusan pengadilan tidak dapat dideskusikan
oleh siapa saja, karena masalah tersebut merupakan kemandirian badan
peradilan.
8. Pasal 24 (kedudukan protokoler hakim ) :
8.1. PP Nomor 41 Tahun 2002 tentang Jabatan, Pangkat dan Golongan Hakim :
8.1.1. Hakim Utama
Pembinan Utama
IV/e.
8.1.2. Hakim Utama Muda
Pembina Utama Madya
IV/d
9
8.1.3. Hakim Madya Utama
Pembina Utama Muda
IV/c.
8.1.4. Hakim Madya Muda
Pembina Tingkat I
IV/b.
8.1.5. Hakim Madya Pratama
Pembina
IV/a.
8.1.6. Hakim Pratama Utama
Penata Tingkat I
III/d.
8.1.7. Hakim Pratama Madya Penata
III/c.
8.1.8. Hakim Pratama Muda
Penata Muda Tingkat I
III/b.
8.1.9. Hakim PratamaPenata Muda
III/a.
8.2. PP Nomor 94 Tahun 2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim.
8.3. Keputusan Ketua MA Nomor 192/KMA/SK/XI/2014 tanggal 25-11-2014
tentang Pembaruan Pola Promosi dan Mutasi Hakim di Lingkungan Peradilan
Agama.
8.4. Surat MA Nomor 13/TUADA-AG/III-UM/1991 :
8.4.1. Kedudukan aparat kehakiman khususnya hakim menurut undang-undang
mempunyai kedudukan khusus yang tidak sama dengan pegawai
negeri sipil lainnya.
8.4.1. Pakaian dinas sehari-hari hakim adalah pakaian sipil harian, sedang
untuk bersidang adalah toga.
9. Pasal 26 (Panitera) :
9.1. Sema Nomor 5 Tahun 1996 tentang Susunan Organisasi Kepaniteraan dan
Kesekretariatan Pengadilan.
9.2. Keputusan Ketua MA Nomor KMA/012/SK/III/93 tentang Susunan
Organisasi, Tugas dan Tanggungjawab Kepaniteraan Pengadilan Agama dan
Pengadilan Tinggi Agama.
9.3. Berita acara sidang adalah berisi proses pemeriksaan sebagai dasar majelis
membuat putusan, jadi sebagai proses verbal atau akta autentik (Pasal 197 (1)
dan (3) RBg jo. Pasal 97 UU Nomor 7 Tahun 1989.
9.4. Sema Nomor 5 Tahun 1959 tanggal 20-04-1959 :
- Mahkamah Agung menginstruksikan supaya hakim mendikte panitera yang
bersidang dalam membuat berita acara sidang.
9.5. Sema Nomor 5 Tahun 1975 tentang Petunjuk Tentang Sita.
10. Pasal 43 (kesekretriatan) :
10.1. Sema Nomor 5 Tahun 1996 tentang Susunan Organisasi Kepaniteraan dan
Kesekretariatan Pengadilan.
10.2. Keputusan Menteri Agama Nomor 303 Tahun 1990 tentang Susunan
Organisasi dan Tata Kerja Kesekretariatan Pengadilan Agama dan
Pengadilan Tinggi Agama.
10.3. Sema Nomor 01 Tahun 2004 tentang Penyerahan Kendaraan Dinas Dalam
rangka Serah Terima Jabatan.
11. Pasal 49 (kewenangan absolut pengadilan agama ) :
11.1. Bidang perkawinan :
11.1.1. UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
11.1.2. Abstraksi hukum Putusan MA Nomor 388 K/AG/19914 tanggal 1910-1995 :
10
11.1.2.1. Bagi pegawai negeri sipil yang ingin menceraikan
istrinya wajib memperoleh surat izin dari atasannya
sesuai Pasal 3 ayat (1) PP Nomor 10 Tahun 1983 jo.
Pasal 3 PP Nomor 45 Tahun 1990.
11.1.2.2. Surat izin ini dipandang sebagai bagian tak terpisahkan
dalam hukum acara bagi pengadilan dalam memproses
perkara perceraian.
11.1.2.3. Pengadilan Agama yang memproses permohonan izin
ikrar talak, dalam putusannya seharusnya menggunakan
istilah pemohon dan termohon dan bukan istilah
penggugat dan tergugat.
11.1.2.4. Pertimbangan MA : bahwa PTA Banda Aceh telah salah
dalam menerapkan hukum pembuktian, sebab surat bukti
T-3 (surat pembatalan terhadap surat izin cerai yang
pernah dikeluarkan oleh pejabat yang sama) tidak
membatalkan surat bukti P-1 (izin atasan untuk cerai)
sehingga surat bukti P-1 tetap berlaku.
11.1.3. Sema Nomor 5 Tahun 1984 tanggal 17-04-1984 :
11.1.3.1. Sebelum memeriksa perceraian atau izin poligami, hakim
mengintruksikan kepada pemohon untuk melampirkan
surat izin dari pejabat.
11.1.3.2. Hakim menunda persidangan selama-lamanya 6 (enam)
bulan untuk memberi kesempatan kepada yang
bersangkutan untuk memperoleh surat izincerai atau surat
izin poligami, tanpa diperpanjang lagi.
11.1.3.3. Hakim memberi peringatan tentang sanksi perceraian
atau poligami tanpa izin pejabat.
11.1.3.4. Setelah diberi peringatan, pemeriksaan perceraian dan
poligami dilanjutkan tanpa adanya izin pejabat.
11.1.3.5. Pengadilan mengirim salinan putusan perceraian atau
poligami yang telah berkekuatan hukum tetap kepada
pejabat yang mengeluarkan izin.
11.1.3.6. Jika termohon tidak bersedia mengurus surat keterangan
cerai, proses persidangan dilanjutkan tanpa menunggu 6
(enam) bulan (Rakernas MA dan peradilan di Indonesia
tanggal 14 s/d 19 September 2003).
11.1.4. Abstraksi hukum Putusan Nomor 2039 K/Pdt/1997 tanggal 16-031997:
11.1.4.1. Seorang pria WNI keturunan China yang masih terikat
dalam suatu perkawinan yang sah dengan seorang wanita,
bilamana pria ini kawin
lagi dengan wanita lain
(poligami), maka pria yang berstatus suami tersebut
menurut UU No.1 Tahun 1974 berkewajiban untuk:
10.1.4.1. Minta persetujuan istri pertama.
10.1.4.2. Memperoleh izin dari pengadilan negeri yang
berwenang.
11
11.1.4.2. Bilamana kedua syarat tersebut tidak terpenuhi, akibat
hukumnya adalah perkawinan yang kedua tersebut
bertentangan dengan undang-undang, sehingga tidak sah
(illegal) dan batal demi hukum (null and void) secara ex
tune dan perkawinan kedua tersebut dianggap tidak
pernah ada (never existed).
11.1.5. Abstraksi hukum Putusan MA Nomor 02 K/AG/1985 tanggal 2506-1985:
- Untuk sahnya perkawinan seorang wanita yang telah berumur
24 tahun dan berstatus janda, tidak diperlukan izin dari orang
tua atau wali.
11.1.6. Abstraksi hukum Putusan MA Nomor 1413 K/Pdt/1988 tanggal
18-05-1990 :
- Apakah seorang anak adalah anak angkat atau bukan, tidak
semata-mata tergantung pada formalitas pengangkatan anak
tetapi dilihat dari kenyataan yang ada, yakni bahwa ia sejak
bayi dipelihara, dikhitan dan dikawinkan oleh orang tua
angkatnya.
11.1.7. Surat Edaran Ditbinbapera Nomor D.IV/Ed/17/1979 tanggal 1002-19979 :
- Dalam amar putusan yang berisi talak roj’i, apabila duda akan
kawin lagi harus dengan izin poligami dengan dasar Pasal 4
dan 5 UU Nomor 1 Tahun 1974.
11.1.8. Pengertian yuridis sahnya suatu perkawinan :
11.1.8.1. Putusan PN Bale Bandung Nomor 273/Pid /S/ 1987 /
PN.BB tanggal 04-04-1988 :
11.1.8.1.1.Perkawinan sah apabila sudah sesuai dengan
syari’at Islam meskipun tidak dilakukan
dihadapan dan dicatat oleh PPN sesuai Pasal
2 ayat (1), sebab UU Nomor 1 Tahun 1974
tidak mengandung sanksi tidak sah atau
batal demi hukum.
11.1.8.1.2.Perkawinan pertama menjadi penghalang
perkawinan kedua.
11.1.8.1.3. Semua elemen atau unsur delik Pasal 279
KUHP telah terbukti dan meyakinkan.
11.1.8.1.4.Terdakwa terbukti melakukan delick
mengadakan
perkawinan,
padahal
perkawinan yang telah ada menjadi
penghalang yang sah bagi perkawinan
tersebut.
11.1.8.1.5. Memidana terdakwa dengan pidana penjara
selama 5 (lima) bulan.
11.1.8.2. Putusan PT Bandung Nomor 104/Pid/S/1988/PT.Bdg.
tanggal 04-07-1998 :
12
11.1.8.2.1. Menurut ex Pasal 2 ayat (2) UU Nomor 1
Tahun 1974, bahwa sahnya perkawinan
harus memenuhi 2 syarat, yakni :
11.1.8.2.1.1. Dilakukan menurut hukum
agama
dan
kepercayaan
masing-masing.
11.1.8.2.1.2. Adanya pendaftaran/pencatatan
dari perkawinan tersebut.
11.1.8.2.2. Perkawinan terdakwa telah memenuhi persyaratan
pertama,
tetapi
belum
memenuhi
persyaratan kedua, sehingga belum
dianggap sebagai telah melakukan
perkawinan.
11.1.8.2.3. Berdasar alasan ini, maka tidak terbukti bersalah dan
harus dibebaskan dari dakwaan Pasal 279
KUHP.
11.1.8.2.4. Fakta membuktikan bahwa terdakwa melakukan hidup
bersama dan bukan melakukan perkawinan
menurut UU Nomor 1 Tahun 1974.
11.1.8.2.5. Terdakwa tidak terbukti melakukan tindak
pidana Pasal 279 sepertiyang didakwakan.
11.1.8.2.6. Membebaskan terdakwa dari dakwaan
pidana.
11.1.8.3. Putusan MA Nomor 214/K/Pid/1988 tanggal 22-07-1991
11.1.8.3.1. PT salah dan keliru dalam menafsirkan Pasal
2 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974,
sehingga berakibat salah dalam menerapkan
Pasal 279 KUHP, maka harus dibatalkan.
11.1.8.3.2. Suatu akad nikah menurut agama Islam tanpa
diawasi oleh PPN adalah sah, asalkan nikah
tersebut memenuhi aturan syari’at Islam.
11.1.8.3.3. Terdakwa bersalah dan dipenjara 5 bulan.
11.1.8.4. Putusan PN Loksumawe Nomor 14/Pid/B/90/PN.LSM
tanggal 15-12-1990 :
11.1.8.4.1. Perkawinan poligami liar tidak tepat jika
dijerat dengan Pasal 279 KUHP (nikah
diatas nikah yang sah), tetapi lebih tepat
dengan Pasal 284 KUHP tentang
perzinahan.
11.1.8.4.2. Karena manurut petunjuk MA Nomor
MA/Pemb/0156/77 tanggal 25-02-1977,
bahwa Pasal 279 KUHP jo. Pasal 3 dan 4
ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 berlaku
bagi yang telah mengajukan permohonan
poligami ke Pengadilan Agama dan tidak
diberi izin, namun tetap melakukan
perkawinan.
13
11.1.8.4.3. Dakwaan tidak terbukti dan terdakwa
dibebaskan.
11.1.8.5. Putusan PT Banda Aceh :
11.1.8.5.1. Putusan hakim pertama harus dibatalkan.
11.1.8.5.2. Pasal 279 KUHP jo. Pasal 3 dan 4 Ayat (1)
UU Nomor 1 Tahun 1974 yang
didakwakan dalam kasus ini dapat
diberlakukan yurisprudensi Putusan MA :
11.1.8.5.2.1. Nomor 435/K/KR/1975 tanggal 17-04-1980.
11.1.8.5.2.2. Nomor 349/K/KR/80 tanggal 26-11-1980.
11.1.8.5.2.3. Nomor 561/K/KR/81 tanggal 17-07-1982.
11.1.8.5.3. Telah terbukti terdakwa melakukan
perkawinan lagi dan sudah beristri sah.
11.1.8.5.4. Menghukum terdakwa selama 5 bulan.
11.1.8.6. Putusan MA Nomor 1948 K/Pid/91 tanggal 18-12-1993 :
11.1.8.6.1. Jika perkawinan tidak melalui PPN, lembaga
yang ditunjuk oleh negara, maka tidak dapat
disebut sebagai perkawinan karena tidak
melalui syarat sahnya perkawinan.
11.1.8.6.2. Yang dimaksud perkawinan menurut UU
Nomor 1 Tahun 1974 beserta PP Nomor 9
Tahun 1975 adalah perkawinan yang
dilangsungkan dihadapan PPN KUA yang
berwenang serta perkawinan tersebut
didaftarkan menurut perundangan yang
berlaku.
11.1.8.6.3. Perkawinan dalam kasus ini tidak memenuhi
UU Nomor 1 Tahun 1974 jo. PP Nomor 9
Tahun 1975 karena itu bukan merupakan
perkawinan yang dimaksud Pasal 279 KUHP.
11.1.8.6.4. Terdakwa tidak terbukti dan harus dibebaskan.
11.1.9. Putusan PTA Jakarta Nomor 48/1993/PTA.JK tanggal 08-02-1994
- Intinya, surat izin untuk berpoligami yang ditolak oleh
pengadilan, dapat dijadikan alasan perceraian karena
perselisihan terus menerus.
11.1.10. Putusan PA Jakarta Nomor 1751/P1989 tanggal 20-04-1990 :
11.1.10.1. Prof. Dr. H. Baharudin Harahap sebagai wali nikah
menikahkan putrinya dengan seorang laki-laki Drs.
Aria Sutarto yang berada di AmerikaSerikatdalam ijab
dan kabulnya via telepon.
11.1.10.2. Putusan : perkawinan yang ijab dan kabulnya via
telepon adalah sah.
11.1.11. Sema Nomor 2 Tahun 1961 (pergantian ketua majelis) :
11.1.11.1. Cara pemeriksaan dengan dilanjutkan oleh hakim lain.
11.1.11.2. Dibacakan ulang berita acara sidang yang lalu.
11.1.12. Sema Nomor 10 Tahun 2009 tanggal 12-06-2009 :
14
11.1.12.1. Peninjauan Kembali dalam perkara yang sama hanya
dapat diajukan satu kali, baik pidana maupun perdata.
11.1.12.2. Jika diajukan PK untuk yang kedua kalinya dan
seterusnya, maka dengan penetapan Ketua, permohonan
tersebut dinyatakan “tidak dapat diterima (PTP) dan
berkas perkaranya tidak perlu dikirim ke MA.
11.1.12.3. Jika satu perkara terdapat dua atau lebih putusan PK dan
salah satunya diajukan PK lagi, maka permohonan PK
tersebut diterima dan berkas dikirim ke MA.
11.1.13. Sema Nomor 07 Tahun 2008 tanggal 25-09-2009 :
11.1.13.1. Salah satu tugas Bank Indonsia adalah melaksanakan
dan menetapkan kebijakan moneter dan oleh karena itu
berwenang melakukan pengendalian moneter giro wajib
minimum yang harus dipelihara bank dalam bentuk
saldo rekening giro.
11.1.13.2. Sita jaminan/sita eksekusi dapat mempengaruhi tugas
dan kebijakan bank diatas.
11.1.13.3. Dilarang meletakan sita atas rekening giro wajib
minimum bank.
11.1.14. Amar Putusan MA Nomor 411 K/AG/1998 tanggal 17-02-2000
tentang pembatalan nikah :
11.1.14.1. Membatalkan perkawinan penggugat (..................
bin/binti
..........)
dengan
tergugat
(......................binti/bin
...........) yang dilaksanakan pada tanggal ................ di
...................;
11.1.14.2. Menyatakan Kutipan Akta Nikah Nomor ........ tanggal
............. tidak mempunyai kekuatan hukum;
11.1.15. UU Nomor 24 Tahun 2014 tentang Kependudukan.
11.1.16. PP Nomor 9 Tahun 1975.
11.1.17. PP Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan
Perceraian.
11.1.18. PP Nomor 45 Tahun 1990 tentang Perubahan atas PP Nomor 10
Tahun 1983.
11.1.19. Sema Nomor 5 Tahun 1984 tentang Pelaksanaan PP Nomor 10
Tahun 1983.
11.1.20. Sema Nomor 2 Tahun 1990 tentang Pelaksanaan UU Nomor 7
Tahun 1989.
11.1.21. Peraturan Menteri Agama Nomor 2 Tahun 1987 tentang Wali
Hakim.
11.1.22. Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 tentang
Perubahan Biodata.
11.1.23. Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010 tanggal 13-02-2012
tentang Anak diluar Kawin.
11.1.24. Kompilasi Hukum Islam.
11.1.25. Sema Nomor 3 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Anak.
15
11.2. Bidang waris :
11.2.1. Asas personalitas keislaman dalam bidang waris adalah keislaman
pewaris meskipun terdapat ahli waris yang beragama non Islam (Buku II
hal.59).
11.2.2. Abstraksi hukum Putusan MA Nomor 86 K/AG/1994 tanggal 27-071995 dan Tafsir Tanwir al Miqbas min Tafsiri Ibni Abbas li Ibni Thohir
ibni Ya’qub al Fairuzabadi, hal. 87 :
11.2.2.1. Sesuai pendapat Ibnu Abbas ahli Tafsir di kalangan sahabat,
maka lafadh“walad” yang terdapat dalam ayat 176 Surat An
Nisa’ ditafsirkan mencakup anak laki-laki maupun
perempuan.
11.2.2.2. Dengan adanya anak kandung baik laki-laki maupun
perempuan maka ahli waris dari orang-orang yang masih
mempunyai hubungan darah dengan pewaris akan menjadi
tertutup, kecuali orang tua, suami atau istri.
11.2.3. Abstraksi hukum Putusan MA Nomor 207 K/AG/1993 :
11.2.3.1. Putusan penetapan ahli waris dan pembagian masing-masing
dengan acara voluntair tanpa pihak dinyatakan tidak
mempunyai kekuatan hukum.
11.2.3.2. Permohonan banding oleh orang yang bukan pihak dalam
tingkat pertama harus dinyatakan tidak dapat diterima dan
upaya hukumnya adalah mengajukan perlawanan (verzet).
11.2.4. Abstraksi hukum Putusan MA Nomor 80 K/AG/1993 tanggal 01-031995:
11.2.4.1. Terhadap gugatan berupa tanah yang dalam posita gugatan
tidak disebutkan dengan jelas tentang luas, letak dan batas
tanah yang disengketakan, maka hakim yang memeriksa
perkara gugatan tersebut agar memperoleh kepastian terhadap
tanah yang disengketakan, berkewajiban untuk melakukan
pemeriksaan setempat (decente) atas tanah tersebut terletak.
11.2.4.2. Kelalaian hakim dalam masalah ini mengakibatkan MA
dalam tingkat kasasi akan memerintahkan kepada hakim
tingkat pertama agar membuka kembali persidangan untuk
melakukan pemeriksaan setempat.
11.2.5. Abstraksi hukum Putusan MA Nomor 369 K/AG/1995 tanggal 30-121996 :
11.2.5.1. Suatu gugatan terhadap harta warisan, dimana harta yang
menjadi obyek gugatan tersebut telah berpindah tangan dan
dikuasai oleh pihak ketiga, karena tanah telah dijual oleh
sebagian ahli waris yang lain, maka untuk sempurnanya
gugatan tersebut, disamping semua ahli waris juga pihak
ketiga yang menguasai harta obyek sengketa tersebut harus
ditarik menjadi para tergugat dalam gugatan tersebut.
11.2.5.2. Gugatan yang tidak memenuhi syarat yang demikian ini
dinyatakan NO (Plorium litis consortium= sebagian tergugat
tidak dimasukkan kedalam gugatan).
16
11.2.6. Abstraksi hukum Putusan MA Nomor 195 K/AG/1994 tanggal 20-101995 :
11.2.6.1. Suatu gugatan yang tidak jelas siapakah yang menguasai harta
kekayaan yang disengketakan, sehingga tidak jelas pula
siapakah yang sebenarnya menjadi para pihak dalam gugatan
tersebut, maka surat gugatan yang demikian itu menurut
hukum acara harus dinyatakan sebagai gugatan yang kabur
(obscuur libel).
10.2.6.2. Dalam gugatan seperti itu, hakim memutus bahwa gugatan
tersebut “tidak dapat diterima”.
11.2.7. Abstraksi hukum Putusan MA Nomor 184 K/AG/1996 tanggal 27-051996 :
11.2.7.1. Suatu gugatan perdata ke Pengadilan Agama tentang tuntutan
agar harta peninggalan dibagi waris dari ahli waris yang ada,
maka dalam gugatan tersebut seharusnya semua ahli waris
dari pewaris yang ada ditarik atau dijadikan pihak, baik
sebagai tergugat atau turut tergugat, sehingga semua ahli
waris berperan/terlibat aktif dalam proses di pengadilan.
11.2.7.2. Hal ini dapat diharapkan dapat menghasilkan putusan yang
menyeluruh terhadap kasus gugatan tersebut.
11.2.7.3. Gugatan tentang pembagian harta peninggalan yang tidak
demikian itu oleh MA dinyatakan tidak diterima.
11.2.8. Abstraksi hukum Putusan MA Nomor 112 K/AG/1996 tanggal 17-091998:
11.2.8.1. Foto kopi suatu surat yang diserahkan ke persidangan untuk
digunakan sebagai alat bukti surat dalam suatu gugatan
perkara perdata, tanpa disertai surat aslinya untuk disesuaikan
atau tanpa dikuatkan oleh keterangan para saksi dan alat bukti
lainnya.
11.2.8.2. Foto kopi surat tersebut menurut hukum pembuktian tidak
dapat digunakan sebagai alat bukti sah dalam persidangan
pengadilan.
11.2.8.3. Pasal 301 RBg dan Pasal 1888 BW (asli dan salinan surat
bukti).
11.2.9. Abstraksi hukum Putusan MA Nomor 419 K/AG/2000 tanggal 10-042002 :
11.2.9.1. Dalam menghadapi tentang ahli waris pengganti dalam
hukum Islam yang kasusnya terjadi pada tahun 1986 yaitu
waktu sebelum berlakunya KHI pasal 185 (ahli waris
pengganti) terlebih dahulu KHI tidak berlaku surut.
11.2.9.2. Maka lembaga ahli waris pengganti yang dianut oleh sebagian
ulama salaf, sehingga sebenarnya tentang pemberian warisan
kepada ahli waris pengganti oleh hakim Pengadilan Agama
dinilai sebagai pendapat fiqih juga yang dipilih untuk
diberlakukan.
11.2.9.3. Dasar hukum pemberlakuan Kompilasi Hukum Islam:
17
11.2.9.3.1. Instruksi Presiden (Soeharto) Nomor 1 Tahun
1991 tanggal 10 Juni 1991.
11.2.9.3.2. Keputusan Menteri Agama Nomor 154 Tahun
1991 tanggal 22 Juli 1991.
11.2.10. Abstraksi hukum Putusan MA Nomor 266 K/AG/1994 tanggal 30-041996:
10.2.10.1.Hakim dalam pertimbangannya dapat menentukan ahli waris pengganti.
10.2.10.2. Bagian ahli waris pengganti adalah dua bagian untuk lakilaki dan satu bagian untuk perempuan.
10.2.10.3.Menurut hukum, status anak angkat harus ditetapkan oleh pengadilan.
10.2.10.4. Ahli waris pengganti termuat pada Pasal 185 KHI.
11.2.11. Abstraksi hukum Putusan MA Nomor 122 K/AG/1995 tanggal 30-041996 :
- Seorang pewaris yang yang meninggalkan seorang anak perempuan (anak
tunggal) maka saudara-saudara dari pewaris haknya menjadi terhijab
atau tertutup.
11.2.12. Abstraksi Putusan Nomor 97 K/AG/1994 tanggal 24-04-1994 :
11.2.12.1. Suami meninggal akibat jatuh dari pesawat terbang dan dengan
demikian atas dasar Pasal 12 ayat (1), (2) dan (3) PP
Nomor 17 Tahun 1965tentang Ketentuan-ketentuan Dana
Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang jo. UU
Nomor 33 Tahun 1964 tentang Dana Pertanggungan
Wajib Kecelakaan Penumpang, maka ahli warisnya
berhak memperoleh santunan ganti rugi dari Asuransi
Jasa Raharja dan Asuransi Timur Jauh.
11.2.12.2. Ahli waris yang berhak atas asuransi adalah :
11.2.12.2.1.Janda, duda (bilamana tidak ada),
11.2.12.2.2.Anak-anak
yang
sah
(bilamana
tidak
ada),
11.2.12.3. Orang tua yang meninggal dunia.
11.2.12.4. Yang pertama menutup yang kedua.
11.2.13. Abstraksi hukum Putusan MA Nomor 180 K/AG/1993 tanggal 12-031997 :
11.2.13.1.Para ahli waris, janda dan semua anak kandungnya tidak
menyatakan menolak harta warisan/harta peninggalan
pewaris, maka ahli waris tersebut secara yuridis
berkewajiban untuk membayar semua hutang yang dibuat
oleh pewaris semasa hidupnya.
11.2.13.2. Biaya menagih hutang yang telah dikeluarkan oleh kreditur
bank seperti biaya pengacara, tidak dapat dituntut untuk
dibayar oleh debitur selama hal tersebut tidak diatur dalam
perjanjian yang mereka sepakati bersama sebelumnya.
11.2.14. Abstraksi hukum Putusan MA Nomor 3574 K/Pdt/2000 tanggal 05-092002 :
11.2.14.1.Tanggung jawab ahli waris terhadap hutang pewaris hanya
terbatas pada jumlah atau nilai harta peninggalan (KHI
Pasal 175 ayat 2).
18
11.2.142.Terhadap harta bawaan istri tidak dapat disita sebagai jaminan
atas hutang almarhum suami sebab bukan merupakan harta
peninggalan almarhum suami.
11.2.15. Abstraksi hukum Putusan MA Nomor 184 K/AG/1996 tanggal 27-05-1996 :
11.2.15.1.Kesepakatan secara lisan untuk mengadakan ikatan jual beli
tanah telah dicapai oleh calon penjual dan calon pembeli,
kemudian dituangkan dalam bentuk tertulis, masih
merupakan konsep persetujuan ikatan jual beli tanah yang
belum ditanda tangani oleh para pihak.
11.2.15.2.Kesepakatan yang demikian itu dinilai sebagai suatu
persetujuan yang sah dengan segala akibat hukumnya
karena telah memenuhi syarat obyektif dan subyektif yang
ditentukan dalam Pasal 1320 BW dan ternyata tidak
diketemukan adanya alasan dwang, dwaling atau bedrog.
11.2.16. Abstraksi hukum putusan MA Nomor 07.K/AG/2000 tanggal 31-032004 :
11.2.16.1. Petitum yang terbukti dikabulkan dan yang tidak terbukti
ditolak.
11.2.16.2. Dalam perkara gugat waris, hakim boleh memutus hanya
dengan menetapkan ahli waris saja, meskipun petitum yang
lain ditolak.
11.2.16.3. Urutan diktum amar biaya perkara pada nomor terakhir
dalam diktum putusan.
11.2.17. Sema Nomor 2 Tahun 1996 tentang maksud Pasal 177 KHI adalah :
11.2.17.1. Ayah mendapat 1/3 bagian apabila pewaris tidak
meninggalkan anak, akan tetapi meninggalkan suami dan ibu.
11.2.17.2. Ayah mendapat 1/6 bagian apabila pewaris meninggalkan
anak.
11.3. Bidang wasiat :
11.3.1. Putusan MA Nomor 159 K/AG/1989 tanggal 22-06-1986 yang
menyatakan tidak menerima atas kasasi terhadap Putusan PTA
Medan Nomor 30/Pts/1988/1989 tanggal 22-06-1986 yang
menguatkan Putusan PAPadangsidempuan Nomor PA.b/12/Pts/1988
tanggal 31-03-1988 dengan pertimbangan PA Padangsidempuan :
11.3.1.1. Hak ahli waris telah ditentukan Allah swt dalam Al Quran
surat an Nisa’ ayat 7.
11.3.1.2. Oleh karena itu para pewaris tidak dapat menentukan
siapa-siapa yang akan menjadi ahli waris dan tidak dapat
mengurangi atau menghapuskan sama sekali hak-hak ahli
waris yang telah ditentukan syara’ tersebut dengan
membuat wasiat yang isinya bertentangan atau
menyimpang dari ketentuan syara’.
11.3.1.3. Harta yang diwasiatkan almarhum kepada anaknya yang
bernama Fadlil lebih dari 1/3 (sepertiga) harta sehingga
dengan demikian wasiat yang bersangkutan tidak dapat
dibenarkan.
19
11.3.1.4. Selain hal-hal yang telah dikemukakan diatas, wasiat yang
ditujukan kepada kepada ahli waris sendiri seperti yang
tidak disetujui oleh ahli waris lainnya, hal mana dalam
perkara ini demikian adanya, adalah tidak sah sesuai hadits
“Laa washiyyata li waaritsin”
11.3.1.5. Mengadili :
11.3.1.5.1. Mengabulkan gugatan penggugat.
11.3.1.5.2. Menyatakan surat wasiat almarhum kepada
anaknya tersebut tidak sah.
11.3.1.5.3. Membatalkan surat wasiat tersebut.
11.3.1.6. Pasal 195 ayat (2) KHI : wasiat hanya diperbolehkan
sebanyak-banyaknya 1/3 (sepertiga) dari harta warisan
kecuali apabila semua ahli waris menyetujui.
11.3.1.7. Pasal 201 KHI : apabila wasiat melebihi 1/3 (sepertiga)
harta warisan, sedangkan ahli waris yang ada tidak
menyetujuinya, maka wasiat hanya dilaksanakan sampai
batas 1/3(sepertiga) harta warisan. (Bandingkan dengan
nomor 10.4.3.1.).
11.4.
Bidang Hibah :
11.4.1. Kaidah hukum Putusan MA Nomor 27 K/AG/2002 tanggal 2602-2004
11.4.1.1. Bahwa seseorang yang mendalilkan mempunyai hak
atas tanah berdasar hibah, harus dapat membuktikan
kepemilikan atas hibah tersebut sebagaimana
dimaksud oleh Pasal 210 ayat (1) KHI (hibah
maksimal 1/3 harta) dan apabila diperoleh berdasar
hibah maka segera tanah tersebut dibalik namakan
atas nama penerima hibah.
11.4.1.2. Jika tidak demikian kalau timbul sengketa di
kemudian hari maka status tanah tersebut tetap
seperti semula kecuali benar-benar dapat dibuktikan
perubahan status kepemilikannya.
11.4.2. Kaidah hukum Putusan MA Nomor 75 K/AG/2003 tanggal 1405-2003
11.4.2.1. Bahwa UU Nomor 20 Tahun 1947 adalah undangundang untuk tingkat banding bagi wilayah Jawa dan
Madura, sehingga tidak dapat diterapkan pada
pembuatan surat gugat dalam tingkat pertama.
11.4.2.2. Bahwa sebelum menerapkan Pasal 210 ayat (1) KHI
(hibah maksimal 1/3 harta) maka terlebih dahulu
harus dijelaskan oleh penggugat mengenai jumlah
harta keseluruhannya sehingga dapat ditentukan
apakah hibah tersebut melampaui batas 1/3
(sepertiga) harta penghibah atau tidak.
11.4.2.3. Pertimbangan MA : Menimbang, bahwa Pengadilan
Agama Tembilahan dalam memutuskan perkara ini
20
telah salah dalam menerapkan hukum karena pasal
240 ayat (1) KHI membatasi hibah 1/3 (sepertiga)
dari harta penghibah dan dalam surat gugat tidak
dijelaskan apakah harta tersebut satu-satunya harta
penghibah atau masih ada harta yang lain, sehingga
dalam gugatan tersebut tidak tergambar apakah harta
tersebut melampaui batas 1/3 (sepertiga) harta
penghibah atau tidak, oleh karena itu gugatan
penggugat harus dinyatakan “tidak diterima” karena
kabur (obscuur libel).
11.4.3. Abstraksi hukum Putusan MA Nomor 76 K/AG/1992 tanggal
25-10-1993 :
11.4.3.1. Hibah tanah yang merupakan bagian dari harta
kekayaan almarhum yang dilakukan oleh almarhum
sewaktu hidupnya kepada salah satu ahli warisnya,
bilamana jumlah atau luas tanah yang dihibahkan
tersebut melebihi 1/3(sepertiga) dari seluruh harta
warisan almarhum adalah merupakan hibah yang
bertentangan dengan ketentuan hukum.
11.4.3.2. Hibah tersebut “batal seluruhnya”, tidak hanya
yang melebihi 1/3 (sepertiga) harta peninggalan
almarhum. (Bandingkan dengan nomor 10.3.1.7.).
11.4.4. Abstraksi hukum Putusan MA Nomor 77 K/AG/1993 tanggal
26-02-1993 :
- Hibah seorang ibu kepada anaknya adalah sah hukumnya
karena sesuai dengn syari’at Islam (Kitab I’anatut Thalibin)
bahwa hibah adalah menyerahkan hak milik tanpa imbalan
dengan disertai ijab dan kabul berupa ucapan atau isyarat
dan tidak halal bagi orang tua menarik kembali hibah dari
anaknya.
11.5. Bidang wakaf :
11.5.1. UU Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.
11.5.2. PP Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Wakaf.
11.5.3. KHI Pasal 215.
11.5.4. Abstraksi hukum Putusan MA Nomor 57 K/AG/1999 tanggal 24042000 :
11.5.4.1. Akta wakaf yang telah memenuhi syarat formil dan materiil
hukum pembuktian, maka perbuatan hukum wakaf adalah
sah.
11.5.4.2. Wakaf harus dituangkan dalam akta ikrar wakaf, dibuat oleh pejabat yang
berwenang dihadapan dua orang saksi dengan sertifikat,
kemudian didaftarkan di Kantor Pertanahan.
11.5.5. Varia Peradilan Nomor 262 Tahun 2007, hal.138/07 :
11.5.5.1.Dalam hal tanah wakaf yang tidak memiliki akta ikrar wakaf atau pengganti
akta ikrar wakaf dapat diajukan permohonan itsbat wakaf
ke Pengadilan Agama dengan berpedoman pada petunjuk
21
teknis MA dan penetapan itsbat wakaf Pengadilan Agama
tersebut menjadi dasar permohonan sertifikat tanah.
11.5.5.2. Persangkaan hakim dan syahadah istifadhah dalam sengketa wakaf
memiliki kekuatan pembuktian yang kuat.
11.6. Bidang zakat :
- UU Nomor 23 Tahun 2011 jo. UU Nomor 14 Tahun 2014 tentang
Zakat.
11.7. Infaq :
- Menunggu masukan.
11.8. Bidang shodaqoh :
- Menunggu masukan.
11.9. Bidang ekonomi syari’ah :
11.9.1. UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.
11.9.2. UU Nomor 42 Tahun 1999 tentang Fidusia.
11.9.3. UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah.
11.9.4. Fatwa Majelis Ulama Indonesia.
11.9.5. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah.
11.10. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012 tanggal 29-082013 :
11.10.1. Gugatan :
11.10.1.1. Pasal 55 ayat (1) UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syari’ah : “Penyelesaian sengketa
perbankan syariah dilakukan oleh pengadilan dalam
lingkungan peradilan agama”.
11.10.1.2. Pasal 55 ayat (2) UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syari’ah : “Dalam hal para pihak telah
memperjanjikan
penyelesaian
sengketa
selain
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian
sengketa dilakukan sesuai isi akad”.
11.10.1.3. Pasal 55 ayat (3) UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syari’ah : “Penyelesaian sengketa
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh
bertentangan dengan prinsip syariat Islam.
11.10.1.4. Pasal 55 ayat (2) bertentangan dengan Pasal 55 ayat
(1) dan (3) dan menimbulkan ketidak pastian hukum,
karena para pihak diberi kesempatan untuk memilih
Pengadilan Agama atau Pengadilan Negeri dan juga
bertentangan dengan UUD 1945.
11.10.1.5. Mohon Pasal 55 ayat (2) UU Nomor 21 Tahun 2008
tentang Perbankan Syari’ah dan penjelasannya
dibatalkan dan dinyatakan bertentangan dengan UUD
22
1945 serta tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat.
11.10.2. Amar putusan Mahkamah Konstitusi :
11.10.2.1. Penjelasan Pasal 55 ayat (2) UU Nomor 21 Tahun
2008 tentang Perbankan Syariah bertentangan dengan
UUD 1945.
11.10.2.2. Penjelasan Pasal 55 ayat (2) UU Nomor 21 Tahun
2008 tentang Perbankan Syariah tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat.
11.10.3. Kesimpulan :
- Penanganansengketa perbankan syari’ah daneksekusinya tetap
berada dibawah kewenangan Pengadilan Agama.
11.11. Personalitas keislaman yang menjadi dasar kewenangan Pengadilan
Agama
(Buku II hal. 58-59) :
11.11.1. Semua sengketa antara orang-orang yang beragama Islam
mengenai kewenangan peradilan agama sebagaimana ketentuan
pasal 49 UU Nomor 7 Tahun 1989 jo. UU Nomor 50 Tahun
2009.
11.11.2. Sengketa perkawinan yang perkawinannya dicatat oleh Kantor
Urusan Agama meskipun yang bersangkutan saat mengajukan
perkaranya beragama non Islam.
11.11.3. Sengketa kewarisan yang pewarisnya beragama Islam.
11.11.4. Sengketa ekonomi syari’ah meskipun nasabahnya beragama non
Islam.
11.11.5. Sengketa wakaf meskipun salah satu pihak ada yang bergama
non Islam.
11.11.6. Sengketa hibah dan wasiat yang dilakukan menurut hukum
Islam.
12. Pasal 50 (titik singgung ) :
12.1. Abstraksi hukum Putusan MA Nomor 11 K/AG/1979 tanggal 13-12-1979
12.1.1. Suatu gugatan tentang keahli warisan dan pembagian harta waris
yang didalamnya masih berkaitan dengan sengketa hak milik,
maka perkara ini merupakan wewenang absolut Pengadilan
Negeri, bukan wewenang Pengadilan Agama.
12.1.2. Bentuk diktumnya adalah :
12.1.2.1. Menghentikan proses pemeriksaan.
Atau
12.1.2.2. Menyatakan gugatan penggugat tidak dapat diterima.
12.1.3. Pasal 50 UU Nomor 7 Tahun 1989 : jika sengketa milik antara
pihak yang berperkara adalah termasuk pembuktian, makatetap
menjadi wewenang Pengadilan Agama.
12.1.4. Pasal 50 UU Nomor 7 Tahun 1989 : jika sengketa milik dengan
pihak ketiga adalah termasuk wewenang ke Pengadilan Negeri.
12.1.5. Sengketa waris adalah pihak-pihak berperkara harus ahli waris.
23
12.1.6. Jika pihak-pihak ada yang tidak ahli waris pewaris, maka
menjadi sengketa milik.
12.2. Abstraksi hukum Putusan MA Nomor 60 K/AG/1996 tanggal 06-08-1997 :
12.2.1. Harta peninggalan yang belum dibagi-bagikan kepada ahli waris
yang berhak dan ternyata kemudian harta peninggalan tersebut
telah dikuasai oleh seorang ahli waris yang mengaku bahwa
harta tersebut adalah hak miliknya, bukan harta peninggalan.
12.2.2. Sebagian ahli waris mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama
agar harta peninggalan tersebut dikembalikan ke dalam harta
waris yang selanjutnya dibagi-bagikan kepada para ahli waris
yang berhak sesuai dengan bagiannya masing-masing menurut
hukum Islam.
12.2.3. Namun bersamaan dengan itu, sebagian ahli waris yang lain
mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri yang
mempersoalkan penguasaan tidak sah oleh seorang ahli waris
atas harta peninggalan tersebut.
12.2.4. Dalam keadaan yang demikian ini, maka harta peninggalan
terperkarayang masih belum dibagi-bagikan kepada ahli waris
tersebut mengandung didalamnya suatu sengketa milik (dalam
proses di Pengadilan Negeri) karena itu sesuai dengan Pasal 50
UU Nomor 7 Tahun 1989, Pengadilan Agama tersebut tidak
berwenang memeriksa dan mengadili perkara ini.
12.3. Sema Nomor 1 Tahun 1996 tanggal 07-05-1996 tentang Sengketa
Kewenangan :
12.3.1. Sengketa kewenangan terjadi dalam bentuk :
12.3.1.1. Sama-sama mengaku berwenang mengadili.
12.3.1.2. Sama-sama mengaku tidak berwenang mengadili.
12.3.2. Pihak berperkara atau dalam hal tidak diajukan oleh oleh pihak
yang berperkara, ketua pengadilan karena jabatannya, mengajukan
permohonan kepada MA untuk memeriksa dan mengadili sengketa
mengadili.
12.3.3. Pengadilan menunda pemeriksaan dengan dituangkan dalam bentuk
“penetapan” dan pemeriksaan dibuka kembali setelah diputus oleh
MA.
12.3.4. Pengadilan yang menunda, mengirim “penetapan” kepada
pengadilan yang lain.
12.3.5. Pengadilan yang lain harus menunda dengan “penetapan” sampai
dengan ada putusan dari MA.
12.3.6. Permohonan kepada MA yang diajukan oleh pengadilan, tanpa
biaya.
12.3.7. Permohonan yang diajukan oleh pihak yang berperkara dibebankan
kepada yang bersangkutan.
13. Pasal 54 (hukum acara Pengadilan Agama) :
13.1. Hukum acara yang berlaku di peradilan umum.
13.2. Hukum acara yang telah diatur khusus.
24
13.3. Hukum acara yang telah diatur khusus didahulukan dari padahukum acara
yang berlaku di peradilan umum (leg spesialis derogat leg generalis).
13.4. Surat Edaran Nomor 2 Tahun 2002 tanggal 30-01-2002 tentang Nebis in
idem :
13.4.1. Pengadilan yang sama :
13.4.1.1. Panitera melapor kepada ketua pengadilan.
13.4.1.2.Ketua pengadilan memberi catatan kepada ketua majelis.
13.4.1.3. Ketua majelis harap memperhatikan secara seksama.
13.4.2. Pengadilan yang berbeda :
13.4.2.1. Panitera yang bersangkutan wajib memberitahu kepada
pengadilan yang pernah memutus.
13.4.2.2. Melapor kepada ketua pengadilan tentang adanya
perkara bebis in idem.
13.4.3. Pengadilan yang bersangkutan wajib melapor kepada MA.
13.5. Varia Peradilan Nomor 303 Tahun 2011 :
- Pasal 1917 KUHPerdata : gugatan diajukan kedua kali pada waktu
bersamaan dimana para pihaknya sama, obyeknya sama dan
tuntutannya didasarkan pada alasan yang sama serta pihak-pihaknya
juga mempunyai hubungan hukum sama, maka putusan tersebut secara
hukum harus dinyatakan nebis in idem.
13.6. Abstraksi hukum Putusan MA Nomor 3182 K/Pdt/1994 tanggal 30-071997 :
- Pengadilan tidak dapat menjatuhkan putusan atas hal-hal yang tidak
dituntut oleh Penggugat.
13.7. Abstraksi hukum Putusan MA Nomor 2831 K/Pdt/1996 :
- Hakim tidak boleh menjatuhkan putusan melebihi yang tidak dituntut.
13.8. Abstraksi hukum Putusan MA Nomor 239 K/Sip/1968 :
- Gugatan rekonvensi dapat diajukan selama masih berlangsung jawab
menjawab, karena dalam Pasal 158 HIR/132 RBg hanya disebut
jawaban saja dan misalnya duplikpun merupakan jawaban, meskipun
bukan jawaban pertama (Yahya Harahap, hal. 342).
13.9. Abstrallksi hukum Putusan MA Nomor 134 K/AG/1998 tanggal 29-071998
- Putusan waris yang bersifat “penetapan” (voluntair declaratur) agar dapat
dieksekusi, maka dengan cara :
12.9.1. Salah satu ahli waris mengajukan gugatan contentius kepada ahli
waris yang lain.
13.9.2. Petitumnya berisi : Menghukum dan memerintahkan kepada Tergugat dan
siapa saja untuk membagi harta warisan sesuai putusan PA
Nomor : ......./Pdt.P/......./PA......
13.10. Abstraksi hukum Putusan MA Nomor 368 K/AG/1995 :
13.10.1. Menurut hukum Islam, disamping ahli waris muslim, maka dengan
adanya ahli waris non muslim seperti dalam kasus perkara ini,
mereka yang non muslim berhak pula memperoleh bagian atas
harta warisan yang ditinggalkan oleh pewaris yang kadar
bagiannya atas harta warisan tersebut adalah sama dengan
bagian ahli waris yang muslim.
25
13.10.2. Dengan demikian menurut Mahkamah Agung, ahli waris non muslim
berhak bersama-sama mewaris dengan kadar bagian yang sama
dengan ahli waris muslim dari harta warisan yang ditinggalkan
oleh pewaris muslim.
13.11. Abstraksi hukum Putusan MA Nomor 37 K/AG/1998 tanggal 30-121999 :
- Gugatan yang diajukan oleh penggugat sebagai istri kedua terhadap harta
peninggalan almarhum suaminya yang masih dikuasai anak-anaknya
dari istri pertama dan harta tersebut terbukti harta bersama, maka
gugatan yang materinya demikian itu merupakan perkara murni
warisan dan tidak sengketa hak milik ex Pasal 50 UU Nomor 7 Tahun
1989, sehingga Pengadilan Agama berwenang mengadili.
13.12. Sema Nomor 1 Tahun 1962 tanggal 31-05-1962 dan UU Nomor 13
Tahun 1985 tentang Meterai :
13.12.1. Surat bukti harus bermeterai.
13.12.2.Jika belum diberi meterai harus diperintahkan untuk dinazegelen.
13.12.3.Setiap keadaan saksi dan alat bukti yang diajukan para pihak harus
dipertimbangkan alasan menerima atau menolak.
13.13. Putusan MA Nomor 07 K/AG/2000 tanggal 31-03-2004 :
13.13.1.Pengadilan Agama Ciamis memutus gugat waris Nomor
148/Pdt.G/1998/PA.Cmi hanya memutus para penggugat
sebagai ahli waris dan menolak gugatan yang lain.
13.13.2. PTA Bandung memutus Nomor 172/Pdt.G/1998/PTA Bdg
tanggal 09-03-1999 dengan memutus sampai mengabulkan
pembagian warisan.
13.13.3. MA memutus sebagai berikut :
13.13.3.1. Mengabulkan gugatan para penggugat untuk sebagian.
13.13.3.2. Menetapkan para penggugat sebagai ahli waris almarhum Ny. Igar.
13.13.3.3.Menolak gugatan para penggugat untuk selain dan selebihnya.
13.13.3.4. Biaya perkara.
13.13.4. Kesimpulan :
13.13.4.1. Petitum yang terbukti harus dikabulkan.
13.13.4.2. Boleh memutus dengan hanya menetapkan ahli waris saja, meskipun
petitum yang lain ditolak.
13.13.4.3. Urutan amar biaya perkara pada nomor terakhir dari diktum amar
putusan.
13.14. Abstraksi hukum Putusan MA Nomor 316 K/Pdt/1994 tanggal 28-05-1997 :
- Putusan sela tidak dapat diajukan banding secara berdiri sendiri dan harus ditunggu
putusan akhir dan diajukan bersamaan dengan putusan akhir.
13.15. Abstraksi hukum Putusan Nomor 37 K/AG/1995 tanggal 28-09-1995 :
13.15.1. Bilamana para pihak yang bersengketa sebelum persoalannya
diajukan ke pengadilan, mereka telah bersepakat melalui akta
perdamaian yang berisi berapa besar bagian masing-masing
ahli waris atas harta peninggalan tersebut, maka bilamana
persolannya tetap juga diajukan gugatan perdata ke pengadilan,
maka hakim dalam memberikan putusannya seharusnya tetap
26
berpegang pada akta perdamaian yang telah disepakati kedua
belah pihak yang bersengketa tersebut.
13.15.2. Akta perdamaian wajib dan seharusnya ditaati dan dilaksanakan oleh
para pihak yang membuatnya dan hakim seharusnya
menghormati ketentuan yang tertuang dalam akta perdamaian
tersebut.
13.16. Abstraksi hukumPutusan Nomor 77 K/AG/1990 :
13.16.1. Berita acara telah terbukti adanya perselisihan antara suami istri yang
tidak mungkin hidup rukun kembali (berita acara sidang harus
dipertimbangkan meskipun tidak masuk dalam putusan).
13.16.2. Orang tua membenarkan anaknya saling menuduh zina dan tidak
mungkin dirukunkan kembali.
13.16.3. Dengan demikian Pasal 19 huruf (f) PP Nomor 9 Tahun 1975 telah
terbukti, sehingga jatuh talak satu dari suami kepada istri dapat
dikabulkan.
13.17. Abstraksi hukum Putusan MA Nomor 3199 K/Pdt/1992 :
13.17.1. Akta autentik menurut Pasal 165 HIR jo. Pasal 285 RBg jo. Pasal 1868
BW merupakan bukti sempurna bagi kedua belah pihak, para
ahli waris dan orang-orang yang mendapat hak darinya. Artinya
akta autentik tersebut masih dapat dilumpuhkan oleh bukti
lawan.
13.17.2. Meskipun sudah ada bukti autentik, hakim harus tetap meneliti bukti
lawan, berupa surat-surat bawah tangan dan tidak begitu
mengesampingkan dan tidak memberikan penilaian tentang
dapat tidaknya melumpuhkan bukti lawan.
13.18. Abstraksi hukum Putusan Nomor 122 K/AG/1995 tanggal 30-04-1996 :
13.18.1. Pemberian kuasa dari pemberi kuasa kepada penerima kuasa untuk
beracara di pengadilan, tidak harus dilakukan secara bersamasama, namun dapat pula dilakukan secara bertahap.
13.18.2. Sehingga surat kuasa yang dilakukan oleh para penggugat secara
bertahap kepada penerima kuasa adalah sah hukumnya.
13.19. Abstraksi hukum Putusan Nomor 1363 K/Pdt/1996 tanggal 30-06-1998 :
13.19.1. Surat pernyataan seseorang dibuat sendiri dengan tulisan tangan dan
ditanda tanganinya serta diketahui pula oleh Kepala Desa
dengan dibubuhi stempel desa, yang berisi pengakuan pembuat
surattersebut bahwa ia telah menjual tanah, tetapi tidak
disebutkan siapa pembelinya. Secara yuridis surat ini bernilai
sebagai “akta pengakuan sepihak” yang keabsahannya tunduk
pada Pasal 1878 BW.
13.19.2. Surat tersebut baik isinya maupun tanda tangannya kemudian disangkal oleh
orang yang namanya tercantum sebagai pembuat dan penanda
tangan surat tersebut karena ia merasa tidak pernah menjual
tanahnya.
13.19.3. Disamping disangkal, surat tersebut ditinjau dari isinya ternyata
13.19.3.1. Tidak mencerminkan adanya transaksi jual beli tanah.
13.19.3.2. Tidak nampak tersurat di dalamnya adanya penyerahan hak tanah
dari penjual kepada pembeli.
27
13.19.3.3.Maka “akta pengakuan sepihak” yang berkwalitas demikian ini,
bukan merupakan alat bukti adanya transaksi jual beli
tanah..
13.20. Abstraksi hukum Putusan Nomor 1282 K/Sip/1979 tanggal 20-12-1979 :
- Dalam gugat cerai atas alasan perselisihan dan pertengkaran, ibu kandung dan
pembantu rumah tangga dapat didengar sebagai saksi.
13.21.Kaidah hukum Putusan Nomor 83 K/AG/1999 tanggal 24-02-1999 :
13.21.1. Dalam hal permohonan ikrar talak dimana pihak ayah dan ibu dapat
diangkat sebagai saksi dan disesuaikan keterangan para saksi
dari termohon.
13.21.2. Alasannya : Pasal 145 (1) HIR/Pasal 172 RBg adalah ketentuan (saksi)
umum, sedang Pasal 76 ayat (1) UU Nomor 7 Tahunn 1989
adalah ketentuan (saksi) khusus.
13.22. Sema Nomor 2 Tahun 1997 :
- Pengacara yang berstatus sebagai pegawai negeri sipil atau militer
tanpa izin, harus ditolak.
13.23. Sema Nomor MA/Kumdil/8214/1986 :
- Jika ada pihak-pihak yang mengirim baik jawaban atau lainnya
dengan kata-kata yang tidak sopan harus ditegor.
13.24. Tim Pokja MA-RI (Suara Uldilag Nomor 8 Tahun 2006 halaman 135-157) :
13.24.1. Penggugat buta huruf :
13.24.1.1. Ketua/hakim mencatat dan memformulasikan gugatan dan menanda
tanganinya.
13.24.1.2. Penggugat tidak perlu cap jempol.
13.24.1.3. Tidak perlu diberi meterai.
13.24.2. Kuasa buta huruf dari penggugat buta huruf :
13.24.2.1. Ketua/hakim mencatat dan memformulasikan gugatan.
13.24.2.2. Penggugat buta huruf kemudian menyatakan menguasakan kepada kuasa
yang buta huruf.
13.24.2.3. Ketua/hakim mencatat identitas dan hal-hal yang diperlukan dalam surat
gugatan yang dibuat.
13.24.3. Cara memberikan kuasa :
13.24.3.1. Dengan akta notaris
13.24.3.2. Dengan akta dibawah tangan yang dilegalisir dan didaftar menurut
Ordonansi Stb. Nomor 46 Tahun 1916 jo. RBg Pasal 147
(3)/Pasal 123 HIR.
13.24.4. Surat kuasa di luar negeri :
13.24.4.1. Berbentuk akta notaris atau dibawah tangan.
13.24.4.2. Identitas pihak, obyek dan jenis kasus sengketa.
13.24.4.3. Dilegalisir KBRI setempat.
13.25. Keputusan Ketua MA Nomor MA/650/1979 tanggal 28-12-1979 :
- Tidak ada nikah dan sumpah menurut aliran kepercayaan.
13.26. Kaidah hukum Putusan Nomor 253 K/AG/2002 tanggal 17-03-2004 :
- Bahwa penggabungan beberapa tuntutan dari penggugat dapat dibenarkan
sepanjang penggabungan tuntutan perceraian dengan segala akibat
hukumnya sebagaimana diatur dalam Pasal 86 UU Nomor 7 Tahun
1989, sedangkan tuntutan lainnya yang tidak diatur dalam pasal tersebut
28
cukup dinyatakan tidak dapat diterima, tidak seharusnya keseluruhan
gugatan penggugat dinyatakan tidak dapat diterima dengan alasan
obscuur libel.
13.27. Adagium : Menimbang, bahwa semua dalil-dalil dan alat bukti yang diajukan
oleh penggugat dan tergugat sepanjang tidak dipertimbangkan oleh
majelis hakim, harus dinyatakan dikesampingkan.
13.28. Putusan PA Banjarmasin Nomor 520/1992 :
13.28.1. Salah satu dari para penggugat mencabut perkara, maka gugatan
menjadi kabur.
13.28.2. Gugatan tidak dapat diterima. (Mimbar Hukum No.45 Tahun
1999).
13.29. Abstraksi hukum Putusan MA Nomor 698 K/Sip/1969 :
- Yang pada pokoknya memberikan pedoman bahwa amar putusan yang
berbunyi “Mengabulkan seluruh gugatan” saja tidak dibenarkan dan
harus dirinci satu persatu petitum apa saja yang dikabulkan.
13.30. AbstraksiPutusan MA Nomor 797 K/Sip/1972 :
- Yang memberikan tuntunan bahwa apabila pengadilan dalam putusannya hanya
mengabulkan sebagian gugatan, maka yang dikabulkan harus dirinci
satu persatu dan diikuti amar “Menolak gugatan selebihnya”;
13.31. Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor 353 K/AG/2005 tanggal 27 April
2006 yang konstruksi hukumnya berbunyi “ Akta Pembagian Warisan di
Luar Sengketa (Akta P3HP) eks. Pasal 107 Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2006 harus mencantumkan seluruh ahli waris. Apabila tidak, maka
akta tersebut dapat digugat kembali dan dinyatakan tidak berkekuatan
hukum dengan alasan terdapat kekeliruan yang nyata”.
13.32. Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor 454 K/Sip/1970 tanggal 11
Maret 1970 yang kontruksi hukumnya menyatakan bahwa perubahan
gugatan (Pasal 127 Rv) dikabulkan asal tidak melampaui batas-batas
materi pokok pertama yang dapat menimbulkan kerugian pada hak-hak
pembelaan tergugat.
13.33.Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 843 K/Sip/1984 yang konstruksi
hukumnya menyatakan bahwa perubahan gugatan(Pasal 127 Rv) tanpa
mendengar pendapat tergugat dianggap tidak sah, sehingga perubahan
gugatan dianggap tidak ada.
13.34. Kaidah hukum dari putusan Mahkamah Agung Nomor 3182 K/Pdt/1994
tanggtal 30 Juli 1997 (Pasal 189 ayat (3) RBg/ 178 HIR/50 Rv):
- Hakim dilarang memutus apa yang tidak dituntut oleh Penggugat,
karena dapat dikatagorikan melanggar asas ultra petitum partium.
13.35.Kaidah hukum dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 77 K/Sip/1973
tanggal 19 September 1973 :
- Putusan yang melanggar asas ultra partium partem harus dibatalkan.
13.36. Abstraksi putusan MA Nomor 32 K/AG/2002 tanggal 20-04 2005 :
- Dalam amar putusan tidak perlu mengetengahkan taksiran harga, oleh
karena harga tersebut dapat berubah saat eksekusi, maka taksiran harga
yang diajukan oleh para pihak dapat dikesampingkan.
13.37. Sema Nomor 12 Tahun 1964 tentang Amar Putusan :
29
13.37.1. Amar mengabulkan, harus memperinci satu persatu apa saja yang
dikabulkan.
13.37.2. Amar menolak seluruhnya, tidak perlu diperinci apa yang ditolak.
13.37.3. Amar mengabulkan sebagian dan menolak selebihnya, harus
memperinci satu persatu apa yang dikabulkan dan yang ditolak
tidak perlu diperinci.
13.38. Sema Nomor 7 Tahun 2001 tentang Decente.
13.39. Sema Nomor 2 Tahun 1972 tanggal 19-05-1972 :
- Angka 4 menjelaskan bahwa semua perubahan dalam salinan putusan
harus renvoi yang harus ditanda tangani lengkap bukan paraf.
13.40. Sema Nomor 7 Tahun 2012 tentang Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar
Mahkamah Agung.
13.41. Sema Nomor 01 Tahun 2010 tentang Bantuan Eksekusi :
13.41.1. Permintaan ekskusi dituangkan dalam penetapan Ketua
Pengadilan Negeri peminta.
13.41.2. Ketua Pengadilan Negeri penerima eksekusi membuat penetapan
berisi perintah kepada paniteranya agar eksekusi dilaksanakan
atas perintah dan dibawah pimpinan Ketua pengadilan yang
diminta.
13.41.3. Ketentuan diatas berlaku untuk peradilan agama.
13.41.4. Jika ada perlawanan maka ditangani dan diputus oleh Pengadilan
Negeri yang diminta bantuan eksekusi.
13.41.5. Jika minta penangguhan eksekusi, maka dalam waktu 2 kali 24
jam harus sudah melapor kepada Ketua pengadilan peminta.
14. Pasal 58 ayat 2 (bantuan kepada para pihak) :
14.1. Sema Nomor 3 Tahun 1980 tanggal 23-09-1980 :
14.1.1. Hakim boleh memberi penjelasan teknis yustisial hanya kepada para
pihak yang berperkara.
14.1.2. Jika orang lain yang bertanya, tidak perlu menjawab.
14.1.3. Jika hakim menghadapai masalah yang menarik perhatian harap segera
lapor kepada Mahkamah Agung.
14.2. Sema Nomor 3 Tahun 1981 tanggal 06-07-1981 :
- Penyebab perselisihan tidak mungkin dapat meminta cerai berdasarkan
Pasal 19 f PP Nomor 9 Tahun 1975.
15. Pasal 60 (putusan diucapkan terbuka untuk umum) :
15.1. Sema Nomor 5 Tahun 1959 :
- Jika putusan diucapkan, konsep berita acara sidang dan putusan harus sudah
jadi.
15.2. Sema Nomor 3 Tahun 1962 tanggal 07-05-1962 :
- Sidang-sidang pengadilan negeri selambat-lambatnya dilaksanakan jam 09.00
WIB.
15.3. Sema Nomor 2 Tahun 2014 tentang Penyelesain Perkara di Peradilan
Tingkat Pertama dan Banding pada Empat Lingkungan Peradilan :
15.3.1. Penyelesaian perkara pada peradilan tingkat pertama paling
lambat 5 bulan.
30
15.1.2. Penyelesaian perkara pada peradilan tingkat banding paling lambat 3
bulan.
15.1.3. Penyelesaian minutasi masuk dalam waktu tersebut diatas.
16. Pasal 60 B dan 60 C (bantuan hukum) dijelaskan oleh :
16.1. Perma Nomor 1 Tahun 2014 tentang prodeo, sidang keliling dan
posbakum.
16.2. SOP Prodeo.
16.3. SOP Sidang Keliling.
16.4. SOP Posbakum.
17. Pasal 61 (banding) :
17.1. Sema nomor 01 Tahun 1952 tanggal 17-04-1952 :
- Memori banding dan kasasi tidak bermeterai karena bukan untuk
pembuktian.
17.2. Sema Nomor MA/Pemb/3250/1985 tanggal 08-04-1985 :
- Diinstruksikan kepada seluruh Pengadilan Agama agar menerima
permohonan banding meskipun telah lewat tenggang waktu bandingnya
dan meneruskan ke PTA.
17.3. Abstraksi Putusan MA tanggal 06 April 1955 Nomor : 247 K/Sip/1953 :
- Bahwa hakim banding tidak wajib meninjau satu persatu dalil yang
termuat dalam suatu memori banding dan juga tidak wajib meninjau satu
persatu segala pertimbangan hakim tingkat pertama“.
17.4. Menurut Pasal 357 Rv menegaskan bahwa putusan banding diambil
berdasarkan surat-surat atau berkas perkara (Proses Pemeriksaan dalam
Tingkat Banding oleh Yahya Harahap,2006) :
17.4.1. Surat-surat mengenai syarat formil :
17.4.1.1. Surat kuasa khusus.
17.4.1.2. Akta permohonan banding.
17.4.1.3. Tanda terima pembayaran biaya banding.
17.4.1.4. Surat pemberitahuan adanya banding kepada terbanding.
17.4.1.5.Surat pemberitahuan inzage kepada pembanding dan
terbanding.
17.4.1.6. Akta penerimaan memori banding dari pembanding.
17.4.1.7.Surat penyerahan salinan memori banding kepada terbanding.
17.4.1.8. Akta penerimaan kontra memori banding dari terbanding.
17.4.1.9.Surat penyerahan kontra memori banding kepada
pembanding.
17.4.2. Surat-surat mengenai materi perkara :
17.4.2.1. Berita acara sidang :
17.4.2.1.1. Yang membuat/menanda tangani.
17.4.2.1.2. Isi berita acara sidang.
17.4.2.1.3. Fungsi berita acara sidang :
17.4.2.3.1. Putusan tidak boleh bertentangan
dengan berita acara sidang.
17.4.2.3.2. Putusan tunduk pada berita acara sidang, karena yang mutlak benar
adalah berita acara sidang.
31
17.4.2.3.3. Jika putusan bertentangan dengan berita acara sidang, maka
hakim
tingkat
banding
berkewajiban
meluruskan
putusan sesuai berita acara
sidang.
17.4.2.1.4.Landasan penegakan prinsip umum persidangan :
17.4.2.1.4.1. Asas audi et alteram partem.
17.4.2.1.4.2. Asas terbuka untuk umum.
17.4.2.1.4.3. Asas inparsialitas.
17.4.2.1.5. Landasan formil dan materiil pemeriksaan saksi.
17.4.2.1.6. Syarat formil saksi :
17.4.2.1.6.1. Bukan orang yang dilarang
(Pasal 145 HIR/ 172 RBg).
17.4.2.1.6.2. Dipanggil dan diperiksa satu
persatu (Pasal 144 HIR/ 171
RBg).
17.4.2.1.6.3. Disumpah (Pasal 147 HIR/ 175 RBg).
17.4.2.1.7. Syarat materiil saksi :
17.4.2.1.7.1. Asas unus testis nulus testis
(Pasal 169 HIR, Pasal 306
RBg dan Pasal 1905 BW.
17.4.2.1.7.2. Bukan testimoniom de auditu (Pasal 171 (2) HIR, Pasal 1907 BW).
17.4.2.1.7.3. Bukan pendapat saksi Pasal 171 (2) HIR, Pasal 308 (1) RBg dan
Pasal 1907 (2) BW).
17.4.2.1.7.4. Saling bersesuaian (Pasal 172 HIR, Pasal 309 RBg dan Pasal 1908
BW.
17.4.2.1.8.Semua syarat bersifat kumulatif bukan alternatif.
17.4.2.1.9 . Berita acara pemeriksaan setempat.
17.4.2.2. Surat gugatan.
17.4.2.2.1. Kewenangan mengadili absolut.
17.4.2.2.2. Kewenangan mengadili relatif.
17.4.2.3. Surat jawaban, replikdan duplik.
17.4.2.4. Eksepsi dan rekonvensi.
17.4.2.5. Surat-surat bukti.
17.4.2.6. Putusan.
17.4.2.7.Memori banding, yang diperiksa adalah “keberatankeberatan yang terkait dengan putusan”. Sedangkan
tuntutan yang baru timbul dan tidak terdapat dalam
jawaban, duplik dan dalam putusan tidak perlu
dipertimbangkan.
17.4.2.8. Kontra memori banding, jika mengandung dasar hukum,
fakta pembuktian dan argumentasi rasional patut
dipertimbangkan.
17.5. Menurut pendapat Hensyah Syahlani :
17.5.1. Putusan hakim banding bersifat menguatkan apabila menyetujui
pertimbangan pendapat hakim pertama dan menjadikannya
sebagai dasar pertimbangan dan pendapatnya sendiri.
32
17.5.2. Putusan banding bersifat memperbaiki apabila pada dasarnya hakim
banding menyetujui pendapat hakim pertama, hanya memperbaiki
redaksi sebagian amar putusan, namun tidak merubah hakekat dan
makna putusan hakim tingkat pertama.
17.5.3. Putusan hakim banding bersifat membatalkan apabila :
17.5.3.1. Pembatalan yang menyangkut tidak sepakat, baik
keseluruhan atau sebagian.
17.5.3.2. Pembatalan yang menyangkut tidak diturutinya ketentuan hukum acara.
17.5.3.3. Pembatalan yang menyangkut kewenangan absolut atau relatif.
17.6. Menurut pendapat Bahrussam Yunus Ketua PTA Pontianak :
17.6.1. Apabila putusan pengadilan tingkat pertama banyak yang
diperbaiki, maka amarnya adalah membatalkan.
17.6.2. Apabila putusan pengadilan tingkat pertama sedikit yang diperbaiki,
maka amarnya adalah memperbaiki.
17.7. Sema Nomor 8Tahun 1984 :
17.6.1. Hakim banding membuat catatan tentang hal-hal penting terhadap
berkas banding.
17.6.2. Hal-hal tersebut dijadikan dasar pembinaan dan pengawasan kepada
hakim tingkat pertama.
17.8. Sema Nomor 1 Tahun 1988 tanggal 18-02-1988 :
17.8.1. Setiap hakim membuat dan mengisi daftar kegiatan persidangan.
17.8.2. Dilakukan secara tertib dan teratur.
17.8.3. Ketua pengadilan tingkat pertamamelakukan pengawasan.
17.8.4. Kolom daftar kegiatan persidangan perkara perdata hakim tingkat
pertama :
17.8.4.1. Kolom pertama, nomor urut.
17.8.4.2. Kolom kedua, nomor perkara.
17.8.4.3.
Kolom
ketiga,
penggugat/tergugat
dan
pemohon/termohon.
17.8.4.4. Kolom keempat, tanggal (penerimaan berkas, penetapan
sidang, putusan dan minutasi).
17.8.4.5. Kolom kelima, keterangan (susunan majelis hakim dalam
kolom keterangan).
17.8.4.6. Dibawahnya ditulis, tempat dan tanggal dibuat, hakim
yang bersangkutan dan tanda tangan serta nama terang)
17.8.5. Kolom daftar kegiatan persidangan perkara perdata hakim tingkat
banding :
17.8.4.1. Kolom pertama, nomor urut.
17.8.4.2. Kolom kedua, nomor perkara banding.
17.8.4.3. Kolom ketiga, asal perkara dan tanggal putusan pengadilan
tingkat pertama.
17.8.4.4. Kolom keempat, tanggal permohonan banding.
17.8.4.5. Kolom kelima, nama pembanding dan terbanding.
17.8.4.6.Kolom keenam, tanggal (pemeriksaan berkas, penetapan
sidang, putuenam dan minutasi)
17.8.4.7. Kolom ketujuh, keterangan.
33
17.8.4.8. Dibawahnya ditulis, tempat dan tanggal dibuat, hakim
yang bersangkutan dan tanda tangan serta nama terang).
17.9. Sema Nomor 3 Tahun 1999 :
- Apabila tenggang waktu pengajuan perlawanan, banding, kasasi dan PK
berakhir pada hari Sabtu, maka diundur pada hari kerja berikutnya.
18. Pasal 63 (kasasi) :
18.1. Putusan kasasi berkekuatan hukum tetap (BHT) sejak tanggal
pemberitahuan putusan kasasi tersebut kepada para pihak (catatan Panitera
Pengadilan Negeri Negara pada putusan Mahkamah Agung Nomor 3629
K/Pdt/1991 tanggal 20-09-1995).
18.2. Peraturan MA Nomor 1 Tahun 2001 :
18.2.1. Panitera membuat surat keterangan kepaniteraan terhadap kasasi
yang tidak memenuhi syarat formil.
18.2.2. Surat tersebut ditanda tangani dan diketahui juga oleh ketua
pengadilan.
18.2.3. Ketua pengadilan melaporkan tentang permohonan kasasi yang
tidak diteruskan kepada MA.
18.2.4. Panitera mengirim laporan yang ditanda tangani oleh ketua
pengadilan kepada MA.
18.2.5. Panitera mencatat dalam kolom keterangan buku register dengan
kode “TMS” (tidak memenuhi syarat formil).
18.3. Sema Nomor 1 Tahun 1959 tanggal 05-01-1959 :
- Risalah kasasi yang dibubuhi jap jempol harap disahkan (waarmerken)
oleh PN atau Kecamatan/Kawedanan.
18.4. Kaidah hukum Putusan MA Nomor 1114 K/Pdt/2009 tanggal 02-07-2010 :
18.4.1. Jika ternyata dalam memeriksa perkara permohonan (voluntair)
sedangkan dalam perkara a quo ada pihak lain yang mempunyai
kepentingan hukum yang sama dan ternyata tidak ikut sebagai
pihak, maka hal ini berarti perkara tersebut mengandung sengketa,
maka hakim harus menyatakan permohonan “tidak dapat diterima”
dan harus diajukan dalam bentuk gugatan (asas audi et alteram
partem).
18.4.2. Pengajuan kasasi terhadap “penetapan” yang dijatuhkan Pengadilan
Negeri, tenggang waktunya tidak terikat seperti tenggang waktu
dalam pengajuan kasasi perkara yurisdictie contentiosa.
18.4.3. Sema Nomor 2 Tahun 1997 :
- Syarat kelengkapan permohonan kasasi dan PK seperti
ditetapkan dalam Buku II.
18.4.4. Sema Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perkara Yang Tidak Memenuhi
Syarat Kasasi dan PK :
18.4.4.1. Melampaui tenggang waktu kasasi sebagaimana
ketentuan UU Nomor 14 Tahun 1985 jo. UU Nomor 3
Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung.
18.4.4.2. Melampaui tenggang waktu PK sebagaimana ketentuan
UU Nomor 14 Tahun 1985 jo. UU Nomor 3 Tahun 2009
tentang Mahkamah Agung.
34
19. Pasal 64 A ( akses ke pengadilan dan penyampaian salinan putusan) :
19.1. Bidang akses masyarakat ke pengadilan, lihat UU Nomor 14 Tahun 2008
tentang Keterbukaan Informasi.
19.2. Sema Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perubahan Sema Nomor 2 Tahun 2010
tentang Penyampaian Salinan Putusan :
19.2.1. Dalam waktu 14 hari tidak perlu penyampaian salinan putusan
kepada para pihak, akan tetapi salinan putusan harus sudah
dipersiapkan dalam waktu tersebut.
19.2.2. Salinan putusan merupakan turunan putusan yang diterbitkan oleh
pengadilan.
19.2.3. Petikan putusan merupakan kutipan isi dari putusan yang memuat
amar putusan majelis hakim.
19.3. Pasal 302 RBg, salinan/turunan lebih tinggi dari pada foto kopi.
20. Pasal 66 (perkara cerai talak) :
20.1. Putusan Mahkamah Agung Nomor 388 K/AG/1994 tanggal 19-10-1995,
bahwa penyebutan para pihak dalam perkara cerai talak dengan istilah
pemohon dan termohon, bukan penggugat dan tergugat meskipun termasuk
kelompok perkara gugatandan diberi kode “G”.
20.2. Sema Nomor 2 Tahun 1990 tanggal 03-04-1990 tentang Petunjuk
Pelaksanaan UU Nomor 7 Tahun 1989 (Ketua MA, Ali Said) yang berisi :
20.2.1. Putusan cerai talak adalah produk hukum, maka harus dibuat dalam
bentuk hukum memakai kepala berjudul“putusan”namun amarnya
berbentuk “penetapan”.
20.2.2. Dalam mengeluarkan surat/akta yang berkenaan dengan perkara,
pengadilan agama tidak diperkenankan memakai :
20.2.2.1. Menggunakan cap dinas yang berisi tulisan Departemen
Agama.
20.2.2.2. Nomor Induk Pegawai dibawah nama terang Ketua,
Hakim dan pejabat kepaniteraan.
20.3. Abstraksi hukum Putusan MA Nomor 2099/1990 tanggal 24-11-1993 :
- Menurut Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974, perkawinan harus
ada acara menurut agama terlebih dahulu sebelum didaftarkan di Kantor
Catatan Sipil. Jika tidak demikian, menurut hukum harus dinyatakan
belum/tidak ada perkawinan yang sah.
20.4. Abstraksi hukum Putusan MA Nomor 38 K/AG/1990 tanggal 05-10-1991 :
20.4.1. Hakim dalam menerapkan pengertian yuridis ex Pasal 19 (f) PP
Nomor 9 Tahun 1975 tentang alasan perceraian yaitu antara suami
istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak
ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga, maka
hakim harus berpegang pada pemikiran, adalah tidak patut bilamana
pecahnya rumah tangga itu dibebankan/ditimpakan kepada salah
satu pihak.
20.4.2. Abstraksi hukumnya : Dalam menerapkan ex Pasal 19 (f) PP
Nomor 9 Tahun 1975, maka hakim tidak perlu mencari siapa yang
salah diantara suami istri tersebut.
35
20.5. Abstraksi hukum Putusan MA Nomor 174 K/AG/1994 tanggal 28-04-1995
- Bilamana antara suami istri dalam kehidupan rumah tangga telah sering
terjadi percekcokan, semua usaha perdamaian yang dilakukan tidak
berhasil menyatukan mereka lagi sedang keduanya masih diam dalam
satu rumah, namun tidak pernah berkomunikasi lagi sebagai layaknya
suami istri dalam jangka waktu sekian lama, maka fakta yang demikian
itu seharusnya ditafsirkan bahwa hati kedua belah pihak telah pecah,
sehingga telah memenuhi ketentuan Pasal 19 (f) PP Nomor 9 Tahun
1975.
20.6. Abstraksi hukum Putusan MA Nomor 173 K/AG/1996 :
20.6.1. Dalam hal calon istri masih dalam waktu iddah(dari suami yang
dahulu) dan tidak sahnya wali yang menikahkan hanya berakibat
pernikahan itu “dapat dibatalkan/fasid” bukan “batal demi hukum”
sesuai Pasal 28 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 dan sampai
perkawinan yang kedua tanggal 11-01-1990 tidak ada proses
pembatalan perkawinan yang pertama dan karena itu perkawinan
yang kedua menjadikan perkawinan yang pertama adalah sah, ex
Pasal 28 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974.
20.6.2. Isi pertimbangan MA :
20.6.2.1. Permohonan itsbat nikah adalah murni permohonan dan
karena itulah tepat upaya hukumnya adalah kasasi.
20.6.2.2. Ukuran untuk menentukan apakah suatu perkara itu
perkara yang murni permohonan (voluntair) atau
perkara gugatan (contentius) adalah dilihat dari petitum
yang diajukan oleh pemohon kasasi.
20.6.2.3. Kalau permohonan itu menuntut suatu putusan yang
deklaratif makapermohonan ituadalah voluntair.
20.6.2.4. Kalau permohonan itu meminta putusan yang
konstitutif, maka permohonan itu adalah contentiues.
20.6.3. Abstraksi hukum Putusan MA Nomor 106 K/AG/1997tanggal 2211-1998 :
20.6.3.1. Seorang suami yang mengajukan permohonan cerai
dengan alasan telah terjadi percekcokan yang tidak
mungkin bisa hidup rukun kembali, sedangkan dalam
persidangan telah terbukti fakta bahwa penyebab
percekcokan rumah tangga tersebut tidak murni dari
termohon,maka sesuai Pasal 41 (c) UU Nomor 1 Tahun
1974 jo Pasal 149 KHI pemohon diwajibkan untuk
membayar nafkah iddah dan mut’ah kepada termohon
yang diceraikan tersebut.
20.6.3.2. Suami yang berkedudukan sebagai pegawai negeri sipil
yang permohonan cerainya dikabulkan oleh Pengadilan
Agama maka sesuai PP Nomor 10 Tahun 1983 jo. PP
Nomor 45 Tahun 1990 perincian pembagian gaji suami
merupakan aturan administrasi kepegawaian, sehingga
tidak perlu dicantumkan dalam amar putusan.
36
20.7. Abstraksi hukum Putusan MA Nomor 295 K/AG/2000 tanggal 29-082002 :
20.7.1. Untuk bercerai harus ada alasan bahwa antara suami dan istri itu
tidak akan hidup rukun kembali sebagai suami istri.
20.7.2. Adanya fakta yang terbukti di persidangan berupa bahwa
keduanya sering cekcok kemudian saling menuduh selingkuh
dan pada puncaknya keduanya hidup berpisah tempat tinggal
selama 2 tahun lebih serta hakim dan keluarga telah gagal
merukunkan mereka, maka yang demikian itu cukup menjadi
alasan hukum bahwa rumah tangga mereka telah pecah dan tidak
ada harapan lagi untuk rukun kembali sebagai suami istri
sehingga secara yuridis permohonan cerai patut dikabulkan (Ex
Pasal 19 (f) PP Nomor 9 Tahun 1975).
20.8. Abstraksi hukum Putusan MA Nomor 57 K/AG/2005 tanggal 04-092005 :
20.8.1. Istri murtad, suami diizinkan menjatuhkan talak atas istri
tersebut.
20.8.2. Alasannya : murtadnya termohon maka pemohon masih tetap
mempunyai hak untuk mengucapkan ikrar talak terhadap
termohon, sebab pemohon masih beragama Islam, yang murtad
adalah termohon, bukan pemohon.
20.9. Abstraksi hukum Putusan MA Nomor 78 K/AG/2001 tanggal 14-112002 :
20.9.1. Suami berstatus sebagai pegawai negeri sipil dipindah tugaskan
ke kota lain dan suami bertempat di kota yang baru itu, sedang
istri tidak bersedia mengikuti suami, bahkan istri menggugat
cerai, maka tindakan istri tersebut sebagai nusyuz dan perceraian
di Pengadilan Agama suami dapat dibenarkan.
20.9.2. Menurut hukum Islam kewajiban suamiterhadap istrinya yang
dijatuhi talak adalah hanya mengenai nafkah idah dan mut’ah,
bukan dengan memberikan sebagian uang ex suami setiap
bulannya sampai ex istri kawin lagi dengan pria lain.
20.10. Abstraki hukum Putusan MA Nomor3713 K/AG/1994 :
20.10.1. Kompromis, konsiliasi atau islah dalam memecahkan hal-hal
yang berkaitan dengan perceraian mengenai harta bersama,
alimentasi (pemberian atau imbalan), perwalian anak adalah
boleh.
20.10.2. Hukum Islam membolehkan untuk merundingkan cara-cara
penyelesaian perceraian apabila dalam rumah tangga suami istri
sudah tidak mampu lagi menegakkan nilai-nilai moral dan
filosofi sakinah, mawaddah dan rahmah (Al Baqoroh ayat 120).
20.10.3. Hukum Islam mengajarkan, bukan hanya dalam pembinaan
perkawinan dibangun berdasarkan landasan “wa ‘asyiruhunna bil
ma’ruf”, namun landasan ini juga diterapkan dalam pelaksanaan
penyelesaian perceraian (Al Bagoroh ayat 231) yang
menjelaskan “au sarrihunna bil ma’ruf”, artinya ceraikanlah
dengan cara yang ma’ruf.
37
20.10.4. Berdasarkan hukum kontemporer yang berlaku sekarang, apalagi
berdasarkan pandangan hukum Islam, perceraian seperti halnya
perkawinan, yaitu harus didudukkan dalam konteks moral,
sosial kemanusiaan dan peradaban yang tinggi.
20.10.5. Jika perkawinan dibarengi dengan berbagai pendekatan
musyawarah dan kata sepakat, maka perceraianpun sebaiknya
dilakukan dengan pendekatan kompromis atau islah sesuai
dengan jiwa “asyiruhunna bil ma’ruf”.
20.10.6. Sehubungan dengan penadapat tersebut dan diakitkan dengan
UU Nomor 1 Tahun 1974, PP Nomor 9 Tahun 1975 dan KHI,
adalah dimungkinkan bagi suami istri menyepakati suatu
kompromi tentang hak-hak yang berkenaan dengan harta,
nafkah, alementasi dan sebagainya sebelum pengadilan
manjatuhkan putusan perceraian.
20.10.7. Perceraian tetap mutlak kewenangan pengadilan, namun
mendahului putusan pengadilan, nilai hukum, moral,
kemanusiaan dan peradaban memberikan hak kepada suami
istri membuat kompromi, kesepakatan, konsiliasi atau islah
yang menyangkut akibat perceraian dengan ketentuan :
20.10.7.1. Kesepakatan tidak bertentangan dengan ketertiban
umum.
20.10.7.2. Kesepakatan tidak bersifat illegal (Pasal 1320 BW).
20.10.8. Kesepakatan suami istri sebelum perceraian adalah legal
menurut hukum dan perjanjian tersebut efektif dan konkludid
sejak putusan perceraian dijatuhkan oleh Pengadilan Agama
yang telah berkekuatan hukum.
20.11. Abstraksi hukum Putusan MA Nomor 279 K/AG/2001 tanggal 21-082003:
20.11.1. Adanya pertemuan dan melakukan hubungan suami istri tidak
dapatdijadikan indikator bahwa pemohon dan termohon pernah
hidup rukun dalam rumah tangga.
20.11.2.Bahwa mengenai tuntutan rekonvensi tergugat terkait kewajiban
bekas suami terhadap bekas istri dalam hukum Islam hanya
terbatas pada sampai dengan berakhirnya masa iddah. Oleh
karena itu gugatan penggugat rekonvensi tentang pembagian
1/3 gaji harus dianologkan dengn mut’ah, karena pada dasarnya
PP Nomor 10 Tahun 1983 jo. PP 45 Tahun 1990 yang
mengatur tentang pembagian gaji tersebut adalah peraturan
disiplin pegawai negeri sipil yang merupakan kewajiban atasan
yang bersangkutan untuk menerapkannya.
20.11.3. Bahwa demikian juga halnya 1/3 bagian gaji untuk anak, akan lebih adil
apabila mengenai kewajiban ayah dalam memenuhi nafkah
anak ditetapkan sesuai dengan kebutuhan pokok minimum
seorang anak dan kemampuan tergugat rekonvensi.
20.11.4.Bahwa nafkah madhiyah anak dalam hukum Islam adalah hak untuk
memanfaatkan (li al intifa’) bukan hak untuk memiliki (li al
38
tamlik) sebagaimana hak istri dalam hal nafkah, maka apabila
masanya telah lewat tidak dapat dituntut.
20.12. Petunjuk teknis yustisial MA Tahun 2005 :
20.12.1. Jika kekuatan hukum tetap ikrar talak gugur karena pemohon tidak
melaksanakan ikrar talak dalam waktu6 (enam) bulan sejak
ditetapkan hari sidang penyaksian ikrar talak, maka suami atau
istri dapat mengajukan pengangkatan sita kepada Pengadilan
Agama yang bersangkutan.
20.12.2. Harus ada “penetapan” hak talak telah “gugur” oleh Ketua
Pengadilan Agama.
20.12.3. Suami atau istri dapat mengajukan sita jaminan atas harta bersama
meskipun tidak ada gugatan cerai.
20.12.4. Pemanggilan suami atau istri yang ghoib :
20.12.4.1. Dipanggil sesuai Pasal 27 PP Nomor 9 Tahun 1975.
20.12.4.2. Dipanggil ke alamat yang bersangkutan.
20.12.4.3.Ada surat ghaib dari pejabat yang bersangkutan.
20.12.5. Pengadilan Agama berwenang mengadili orang yang sudah murtad,
sebab ukurannya adalah hukum saat pernikahan (Putusan MA
Nomor 726 K/Sip/1976tanggal 15-02-1977).
20.12.6. Dalam hal suami murtad diajukan sebagai cerai gugatdan
Pengadilan Agama memutus dengan fasah.
20.12.7. Amar putusan fasakh : “Memfasakhkan perkawinan pemohon
(........ bin .................) dengan termohon (................binti
.............);” (Buku II, hal.149).
20.13. Surat MA Nomor 32/TUADA-AG/III-UM/IX/1993 tanggal 11-09-1993 :
20.13.1. Setelah hakim membacakan putusan harus menjelaskan kepada para
pihak atas hak bandingnya danbagi yang tidak hadir harus
diberitahu isi putusan.
20.13.2. Ketentuan Pasal 84 ayat (4), mengingat asas peradilan dengan
biaya ringan tidak perlu dilakukan.
20.13.3. Jika barang yang disita di luar Pengadilan Agama yang berwenang,
maka dituangkan dalam “penetapan” yang juga mencantumkan
permintaan bantuan penyitaan.
20.14. Surat MA Nomor MA/KUMDIL/1405/III/1990 tanggal 13-03-1990 :
(Putusan yang menjadi dasar dikeluarkan Akta Cerai) :
20.14.1. Putusan Pengadilan Agama, jika :
20.14.1.1. Pengadilan Agama mengabulkan dan tidak ada banding.
20.14.1.2. Pengadilan Agama mengabulkan dan PTA menguatkan.
20.14.1.3. Mahkamah Agung menolak kasasi.
20.14.2. Putusan Mahkamah Agung, jika :
20.14.2.1. Pengadilan Agama menolak.
20.14.2.2. PTA mengabulkan cerai.
20.14.2.3. MA menolak kasasi.
20.14.3. Putusan Mahkamah Agung, jika :
20.14.3.1. Pengadilan Agama menolak.
20.14.3.2. PTA menguatkan penolakan PA.
20.14.3.3. MA mengabulkan cerai.
39
20.14.4.
Pembuatan Akta Cerai bagi cerai talak adalah berdasarkan
penetapan ikrar talak.
20.14.5. Pembuatan Akta Cerai bagi cerai gugat adalah putusan PA atau MA yang
mengabulkan putusnya perkawinan.
20.15. Surat Edaran Ditbinbapera Nomor EV/Ed/50/1981 tanggal 10-04-1981 :
- Talak tiga sekali, yang jatuh hanya satu.
20.16. Putusan MA Nomor 184 K/AG/2009 tanggal 04-08-2009 yang
membenarkan pertimbangan PTA :
20.16.1. Menimbang, bahwa mengenai pernyataan pemohon bahwa
pemohon telah berkali-kali menjatuhkan talak kepada termohon
di luar sidang Pengadilan Agama, maka PTA memberikan
pertimbangan sebagai berikut :
20.16.2. Bahwa tindakan pemohon tersebut merupakan sebuah pelanggaran
terhadap UU Nomor 1 Tahun 1974 dan hukum Islam yang
berlaku di Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 39 ayat (1)
UU Nomor 1 Tahun 1974 juncto Pasal 115 KHI yang
menyatakan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di muka
sidang Pengadilan Agama, setelah Pengadilan Agama tersebut
berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
20.16.3. Bahwa oleh sebab itu tidak ternyata bahwa tindakan pemohon tersebut
telah memenuhi ketentuan hukum formil maupunmateriil, maka
tindakan pemohon tersebuttidak mempunyai kekuatan hukum
dan tidak mempunyai akibat hukum.
20.16.4. Bahwa apa yang disampaikan oleh pemohon tersebut juga bukan
merupakan uraian lebih lanjut sebagai feitljk gronden dari posita
yang dikemukakan dalam surat permohonan.
21. Pasal 67 (syarat gugatan dan permohonan) :
21.1. Gugatan diajukan secara tertulis yang ditanda tangani oleh penggugat atau
kuasanya ditujukan kepada Ketua Pengadilan Agama sesuai kompetensi
relatif (Pasal 118 ayat (1) HIR/Pasal 142 ayat (1) RBg).
21.2. Bagi yang buta huruf diajukan secara lisan yang dicatat oleh hakim (Pasal
120 HIR/Pasal 144 RBg).
21.3. Diberi tanggal, guna menjamin kepastian hukum atas pembuatan dan
penanda tanganan surat gugatan, sehingga apabila timbul masalah penanda
tanganan surat gugatan berhadapan dengan tanggal pembuatan dan penanda
tanganan surat kuasa, segera dapat diatasi. Apabila tidak diberi tanggal
maka hakim memerintahkan perbaikan gugatan dengan memberi tanggal
(Yahya Harahap, hal.52).
21.4. Nama lengkap, jika kesalahan serius dapat mengakibatkan melanggar
syarat formil yang mengakibatkan surat gugatan cacat formil, karena dapat
menimbulkan ketidak pastian mengenai orang atau pihak yang berperkara
sehingga cukup alasan untuk menyatakan gugatan error in persona atau
obscuur libel(Yahya Harahap, hal.52).
21.5. Tempat tinggal yang jelas :
21.5.1. Alamat kediaman pokok.
21.5.2. Alamat kediaman tambahan.
40
21.5.3. Tempat tinggal riil.
21.5.4. Pilihan domisili yang tertulis dalam akta (Pasal 118 ayat (4) HIR/
Pasal 142 RBg).
21.6. Sumber keabsahan tempat tinggal :
21.6.1. KTP/NPWP.
21.6.2. Kartu Keluarga.
21.6.3. Akta autentik pilihan domisili (Pasal 118 ayat (4) HIR/ Pasal 142
RBg).
21.7. Harus ada sengketa (Putusan MA Nomor 995 K/Sip/1975 tanggal 08-081975).
21.8. Dalil gugatan tidak saling bertentangan (Putusan MA Nomor 3097
K/Sip/1983 tanggal 26-03-1987 yang mempertimbangkan bahwa dalil
gugatan yang didalamnya terdapat pertentangan antara dalil yang satu
dengan dalil yang lain, dinyatakan sebagai gugatan yang tidak mempunyai
dasar hukum yang jelas).
21.9. Perbedaan gugatan dengan decente menurut Putusan MA Nomor 227
K/AG/2004 tanggal 25-05-2004 menyatakan bahwa :
21.9.1. Perbedaan gugatan dengan decente asal disepakati sebagai obyek
perkara oleh kedua pihak, adalah gugatan yang jelas dan
disesuaikan dengan hasil decente.
21.9.2. Perbedaan luas tanah yang tertulis dalam gugatan dengan decente
dan kelebihan itu tidak disepakati kedua pihak sebagai obyek
perkara, maka obscuur libel.
21.10. Yang menguasai harta sengketa tidak jelas (Putusan MA Nomor 227
K/AG /2004 tanggal 25-05-2004 jo. Putusan Nomor 195 K/AG/1994
tanggal 20-10-1995) :
21.10.1. Surat gugatan yang tidak jelas siapakah yang menguasai harta
kekayaan yang disengketakan, sehingga tidak jelas pula siapakah
yang sebenarnya menjadi para pihak dalam gugatan tersebut.
21.10.2. Surat gugatan yang demikian itu menurut hukum acara harus
dinyatakan sebagai gugatan yang kabur (obscuur libel) dan
dalam gugatan seperti itu, hakim memutus bahwa gugatan
tersebut tidak dapat diterima.
22. Pasal 70 (panggilan ikrar) :
22.1. Panggilan perkara perceraian yang diketahui tempat tinggalnya :
22.1.1. Berdasarkan hari, tanggal dan jam yang diperintahkan oleh Ketua
Majelis (Pasal 118 HIR/145 RBg).
22.1.2. Diberitahukan kepada penggugat untuk mempersiapkan alat bukti.
22.1.3. Diberitahukan kepada tergugat untuk menjawab.
22.1.4. Tergugat diberi salinan gugatan.
22.1.5. Di tempat kediaman terpanggil (Pasal 390 HIR/718 RBg).
22.1.6. Jika tidak bertemu terpanggil, panggilan via Lurah/Kades.
22.1.7. Nama terang, tanda tangan dan cap dinas penerima di kelurahan
(Buku II halaman 27).
22.1.8. Tenggang waktu antara pemanggilan dengan hari sidang minimal
tiga hari kerja.
41
22.2.
22.3.
22.4.
22.5.
22.6.
22.1.9. Jika terpanggil meninggal dunia, diberikan kepada ahli waris.
Panggilan perkara perceraian yang tergugat tidak diketahui tempat
tinggalnya :
22.2.1. Melalui satu atau beberapa mas media yang telah ditetapkan.
22.2.2. Panggilan dilakukan sebanyak dua kali dengan tenggang waktu
antara panggilan pertama dan kedua selama satu bulan.
22.2.3. Tenggang waktu panggilan kedua dengan sidang selama 3 bulan
(Buku II halaman 28).
Panggilan terkait perkara kebendaan :
22.3.1. Seperti proses 22.1. diatas.
22.3.2. Jika tergugat tidak diketahui tempat tinggalnya, maka panggilan
lewat bupati/Wali kota dengan cara menempelkan surat panggilan
pada papan pengumuman pengadilan agama (Pasal 390 HIR/718
RBg).
22.3.3. Jika ahli waris tidak jelas tempat tinggalnya, maka panggilan
lewat bupati/wali kota.
Panggilan tergugat di luar negeri (Surat KMA Nomor 055/75/91/I/UMTU
/Pdt. /1991 tanggal 11-05-1991) :
22.4.1. Surat permohonan pemanggilan dikirim lewat Kementerian Luar
Negeri cq Dirjen Protokol dan Konsuler.
22.4.2. Tidak perlu dilampiri dengan relaas.
22.4.3. Surat permohonan sekaligus merupakan relaas.
22.4.4. Meskipun tidak ada jawaban, panggilan dianggap sah.
22.4.5. Tenggang waktu pemanggilam dengan sidang sekurangkurangnya 6 bulan sejak pengiriman.
Pemberitahuan isi putusan :
22.5.1. Perkara biasa seperti ketentuan nomor 22.1. diatas (Pasal 390
HIR/718 RBg).
22.5.2. Perkara perceraian yang ghoib seperti tata cara panggilan melalui
Bupati.
22.5.3. Pihak yang diberitahu di luar negeri mengacu pada pemanggilan ke
luar negeri.
Sema Nomor 6 Tahun 2014 tanggal 30-12-2014 tentang Penanganan
Bantuan Panggilan dan Pemberitahuan :
22.6.1. Bantuan panggilan dan pemberitahuan berdasarkan Pasal 5
Reglement op de Burgerlijk Rechtvordering (Rv).
22.6.2. Permintaan pemanggilan dan pemberitahuan adalah kewajiban
pengadilan yang harus dipenuhi berdasarkan Pasal 15 UU Nomor
48 Tahun 2009, yakni pengadilan wajib saling memberi bantuan
yang diminta untuk kepentingan peradilan.
22.6.3. Untuk mengurusi bantuan panggilan dan pemberitahuan harus
ditunjuk koordiantor yang bertanggung jawab kepada
Panitera/Sekretaris.
22.6.4. Pengadilan harus membuat buku register bantuan panggilan dan
pemberitahuan.
22.6.5. Panitera/Sekretaris melaporkan kepada Ketua pengadilan setiap satu
bulan sekali dengan tembusan Dirjend terkait.
42
22.6.6. Pengadilan banding melakukan pengawasan.
22.6.7. Mekanisme permintaan panggilan atau pemberitahuan :
22.6.7.1. Pengadilan peminta bantuan panggilan mengirim surat
via elektronik dengan disertai biaya, kecuali perkara
prodeo.
22.6.7.2. Panitera menunjuk jurusita dan 2 hari setelah itu harus
melaksanakan tugas.
22.6.7.3. Koordinator minta scaning relaas dan mengirimkan ke
pengadilan peminta bantuan.
22.6.7.4. Asli dokumen dikirim melalui jasa pengiriman dokumen
tercatat paling lambat satu hari sejak koordinator
menerima relaas dari jurusita.
22.6.7.5. Majelis hakim dapat melangsungkan pemeriksaan
berdasarkan print out dokumen elektronik relaas
panggilan.
22.6.7.6. Untuk proses pemberkasan/minutasi menggunakan relaas
panggilan asli.
22.6.7.7. Setiap pengadilan harus mempublikasikan daftar radius.
23. Pasal 73 (perkara cerai gugat) :
23.1. Abstraksi hukum Putusan PK MA Nomor 28-PK/AG/1995 tanggal 16-101996 atas Putusan Kasasi MA Nomor 137 K/AG/1994 tanggal 30-031995 :
23.1.1. Dalam menghadapai kasus gugatan perceraian dengan alasan
telah terjadi percekcokan suami istri yang terus menerus, maka
hakim seharusnya menerapkan doktrin syiqoq atau menurut
hukum kontemporer disebut broken marriege.
23.1.2. Dalam menerapkan doktrin hukum syiqoq tersebut landasannya
bukan hanya pada pertengkaran pisik (physical cruelty) tetapi
juga kekejaman terhadap mental (mental cruelty).
23.1.3. Berpegang pada doktrin syiqoq, maka bilamana secara faktual
maupun ada dugaan kuat telah berlangsung kekejamaan mental,
hal ini seharusnya diterima oleh hakim telah terjadi syiqoq.
23.1.4. Pertimbangan yang menjadi dasar penerapan doktrin syiqoq
adalah bilamana perkawinan sudah retak dan akan terpecah dua,
maka memaksa mereka tetap bertahan dalam perkawinan yang
sudah tidak harmonis lagi adalah merupakan suatu bahaya.
23.2. Abstraksi hukum Putusan Kasasi MA Nomor 263 K/AG/1993 tanggal 1605-1994 :
- Seorang istri yang mengajukan gugatan perceraian terhadap suaminya
tidak beralasan menuntut nafkah iddah karena perceraian atas dasar
tuntutan istri tidak ada jalan untuk rujuk yang berakibat tidak adanya
kewajiban nafkah idah dari suami.
23.3. Abstraksi hukum Putusan MA Nomor 379 K/AG/1995 tanggal 26-031997
- Kehidupan rumah tangga suami istri yang telah terbukti retak, pecah
dimana keduanya sudah tidak berdiam serumah lagi, sehingga terlihat
43
23.4.
23.5.
23.6.
23.7.
tidak ada harapan untuk dapat hidup rukun kembali sebagai pasangan
suami istri yang harmonis dan bahagia, maka dengan fakta ini telah
terpenuhi ex Pasal 19 (f) PP Nomor 9 Tahun 1975.
Abstraksi hukum Putusan Kasasi MA Nomor 136 K/AG/1997 tanggal 2502-1998 :
23.4.1. Keterangan saksi keluarga kedua belah pihak meskipun tidak
diberikan dibawah sumpah di persidangan pengadilan dapat
diterima sebagai petunjuk bahwa suami istri telah terjadi cekcok
yang tidak dapat didamaikan.
23.4.2. Petunjuk mana diperkuat dengan pengakuan kedua belah pihak
yang bersangkutan bahwa mereka hidup berpisah selama tiga
tahun karena cekcok tersebut.
23.4.3. Fakta yang demikian ini membuktikan bahwa perkawinan
mereka telah pecah, sehingga memenuhi persyaratan Pasal 19 (f)
PP Nomor 9 Tahun 1975.
23.4.4. Pertimbangan MA : bahwa alasan keterangan saksi keluarga
tidak mempunyai kekuatan bukti bertentangan dengan maksud
Pasal 76 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 1989.
Abstraksi hukum Putusan Kasasi MA Nomor 237 K/AG/1998 tanggal 2612-1998 :
23.5.1. Sepasang suami istri telah cekcok satu sama lain, ayah istri
mengusir menantunya keluar dari rumah dimana mereka diam
bersama. Sejak saat itu suami istri tidak lagi hidup bersama
dalam satu kediaman bersama di rumah kediaman ayah istri,
melainkan mereka telah hidup berpisah di kediamannya masingmasing. Istri tidak berniat meneruskan kehidupan berumah
tangga dengan suaminya lagi.
23.5.2. Fakta yang demikian ini telah mencukupi dan sesuai dengan
alasan perceraian yang dimaksud Pasal 19 (f) PP Nomor 9 Tahun
1975.
Abstraksi hukum Putusan MA Nomor 523 K/AG/1999 tanggal 30-022001 :
23.6.1. Suatugugatan perceraian yang diajukan oleh istri di Pengadilan
Agama berupa tuntutan jatuhnya talak bain sughra kepada istri
oleh suami, disertai tuntutan pembagian harta bersama.
23.6.2. Tergugat dalamjawbannya atas gugatan istri tersebut
mengemukakan masalah hutang bersama, namun tanpa diikuti
atau ditindak lanjuti dengan cara tegas dan nyata mengajukan
gugatan rekonvensi oleh tergugat kepada penggugat, maka
masalah hutang bersama tersebut tidak perlu dipertimbangkan
dan diberi putusan oleh hakim dalam mengadili perkara gugat
cerai tersebut.
Varia Peradilan Nomor 205 Tahun 2002 :
23.7.1. Dalam suatu gugatan yang tidak mempunyai surat nikah, maka
hakim harus memerintahkan penggugat untuk membuktikan
sahnya perkawinan mereka terlebih dahulu dengan putusan sela
(Ex Pasal 7 ayaty (3) KHI) yang amarnya berbunyi :
44
-
Menyatakan sah perkawinan penggugat dengan tergugat
yang dilaksanakan pada tanggal ......... di ...................”
23.7.2. Itsbat nikah tersebut bukan masalah pokok, akan tetapi masalah
pembuktian.
23.8. Kuasa hukum, lihat UU Nomor 18 Tahun 20013 tentang Advokat.
23.8.1. Sema Nomor 052/KMA/V/2009 tanggal 01-05-2009 tentang
Advokat yang ditanda tangani oleh Harifin Tumpa, pada
pokoknya berisi :
23.8.2. Perselisihan advokat adalah urusan internal mereka dan
pengadilan tidak dalam posisi mengakui atau tidak mengakui
suatu organisasi.
23.8.3. Pengadilan Tinggi tidak menyumpah advokat baru sebelum
mereka bersatu dalam satu organisasi.
23.8.4. Advokat yang telah diambil sumpah oleh Pengadilan Tinggi tidak
boleh dihalangi dalam beracara.
23.8.5. Ketua pengadilan diminta untuk mendorong mereka bersatu.
23.9. Sema Surat Ketua Mahkamah Agung Nomor 113/KMA/IX/2009 tanggal
15 September 2009, tentang tanggapan atas surat DPP KAI Nomor
69/SK/DPP-KAI/VIII/09 tanggal 18-08 2009, yang ditanda tangani oleh
Harifin Tumpa, berisi sebagai berikut :
23.9.1. Dalam pertemuan Mahkamah Agung dengan DPP KAI tanggal
07-08-2009 tidak ada kesepakatan dalam butir 10 surat KAI.
23.9.2. Penyumpahan advokat sebagaimana ketentuan Pasal 4 UU Nomor
18 Tahun 2003 tidak dapat disimpangi.
23.9.3. Hakim tidak perlu meminta berita acara sumpah bagi setiap
advokat, kecuali apabila dipersoalkan keabsahannya sebagai
advokat, maka tentu hakim dapat meminta berita acara sumpah
tersebut.
23.10. Surat Mahkamah Agung Nomor 089/KMA/VI/2010 tanggal 25-06-2010
tentang Penyumpahan Advokat yang ditanda tangani Harifin Tumpa,
berisi :
23.10.1. Karena telah terjadi kesepakatan antara DPP Peradi (Otto
Hasibuan) dengan DPP KAI (Indra Sahnun Lubis), bahwa satusatunya organisasi advokat adalah Peradi, maka :
23.10.2. MA mencabut Surat Ketua MA Nomor 052/KMA/V/2009
tanggal 01-05-2009.
23.10.3. Ketua Pengadilan Tinngi dapat mengambil sumpah advokat
baru dengan catatan diusulkan oleh Peradi.
23.10.4. Surat Mahkamah Agung Nomor 099/KMA/VII/2010 tanggal
21-07-2009 tentang Wadah Organisasi Advokat yang ditanda
tangani oleh Harifin Tumpa, berisiLatar belakang terbitnya
Surat Ketua Mahkamah Agung Nomor 089/KMA//VI/2010
tanggal 25-06-2010 adalah sebagai berikut :
23.10.4.1. Tanggal pertengahan Juni 2009 Otto Hasibuan
(Peradi) dan Abdurrahim Hasibuan ingin bertemu
Ketua Mahkamah Agung lewat Ketua Muda TUN.
Setelah bertemu Ketua Mahkamah Agung mereka
45
sepakat berdamai, Mahkamah Agung sebagai
fasilitator.
23.10.4.2. Pada tanggal 24-06-2010 Indra Sahnun Lubis
berusaha akan mengingkari kesepakatan, namun
kemudian mau tanda tangan.
23.11. Surat Ketua Mahkamah Agung Nomor 052/KMA/HK.01/III/2011 tanggal
23-03-2011 tentang Penjelasan Surat Ketua Mahkamah Agung Nomor
089/KMA//VI/2010 tanggal 25-06-2010, adalah sebagai berikut :
23.11.1. Surat tersebut semata menuangkan kesepakatan Peradi dengan
KAI.
23.11.2. Advokat yang boleh beracara bukan hanya anggota Peradi, akan
tetapi
setiap advokat yang telah mengangkat sumpah di
hadapan Ketua Pengadilan Tinggi.
23.11.3.Advokat yang telah mengangkat sumpah di hadapan Ketua Pengadilan
Tinggi, baik sebelum atau sesudah berlakunya UU Advokat
dapat beracara di pengadilan.
23.12. Surat Panitera Mahkamah Agung (Panitera Muda Perdata Agama, Abdul
Ghoni) kepada Ketua Pengadilan Agama Ende Nomor 89/PAN.6/SPMAG/A-I/IX/2014 tanggal 22-09-2014 tentang Kuasa Insidentil :
23.12.1. Pengertian keluarga TNI/Polri dalam batas :
23.12.2. Suami dan istri (bukan bekas suami atau bekas isteri).
23.12.3. Anak-anak yang belum berkeluarga.
23.12.4. Orang tua dari suami atau istri tersebut (sesuai Sema Nomor
MA/Kumdil/8810/IX/1987 tanggal 21-09-1987).
23.12.5.Yang dimaksud anak, adalah anak yang dapat diwakili secara
insidentil untuk beracara, bukan anak sebagai penerima kuasa
insidentil.
23.12.6. Kuasa insidentil dengan alasan hubungan keluarga adalah
keluarga sedarah atau semenda dapat diterima sampai derajad
ketiga, yang dibuktikan dengan surat keterangan Lurah/Kepala
Desa.
23.13. Kesepakatan PTA Pontianak :
23.13.1. Harus anggota Peradi.
23.13.2. Menunjukkan Kartu Tanda Pengenal Anggota (KTPA) yang
masih berlaku.
23.13.3. Setiap advokat dari mana asal organisasinya yang telah
mengangkat sumpah dapat beracara di pengadilan.
23.13.4.Jika bukan anggota Peradi harus menunjukkan Berita Acara
Penyumpahan dari Pengadilan Tinggi.
23.14. Kuasa ikrar talak :
23.14.1. Dibuat dihadapan notaris.
23.14.2.Menyebut secara jelas dan tegas apa yang dikuasakan/ kalimat ikrar talak.
23.14.3. Kuasa hukum harus beragama Islam.
23.15. Kaidah hukum Putusan MA Nomor 626 K/Pdt/2002 tanggal 29-11-2004 :
23.15.1. Surat kuasa yang dilegalisir oleh panitera selaku pejabat publik di
pengadilan, maka legalitas dari surat kuasa dapat dibenarkan dan
surat kuasa dinyatakan sah.
46
23.15.2. Pertimbangan MA :
23.15.2.1. Pengadilan Tinggi salah dalam menerapkan hukum sebab :
23.15.2.2. Penggugat diwakili kuasanya dan surat kuasa
dilegalisir oleh panitera sedang panitera merupakan
pejabat publik di pengadilan, maka legalitas dari
surat kuasa yang dilakukan dapat dibenarkan
validitasnya karena itu surat kuasa dinyatakan sah
(kasus PN Jember dan PT Surabaya, Yurisprudensi
MA Tahun 2006 hal.42).
23.16. Abstraksi hukum Putusan MA Nomor 199 K/AG/1998 tanggal 17-03-1999
23.16.1. Di luar sidang telah terjadi kesepakatan perdamaian diatas surat pencabutan
perkara, namun dalam sidang penggugat mencabut perdamaian
karena ada paksaan.
23.16.2. Dalam persidangan penggugat tidak dapat membuktikan adanya paksaan
dalam perdamaian, oleh karena itu secara yuridis perdamaian
tersebut adalah sah.
23.16.3. Dengan berpegang pada isi perdamaian, ternyata penggugat telah rela tidak
diberi nafkah oleh tergugat, dengan demikian syarat taklik
talaktidak terpenuhi, maka harus ditolak.
23.17. Abstraksi hukum Putusan MA Nomor 90. K/AG/1992 tanggal 30-09-1993 :
23.17.1. Amar putusan gugatan perceraian antara pihak yang memeluk agama Islam,
maka seharusnya hakim memutuskan dengan rumusan :
“Menyatakan jatuh talak satu bain shughra dari tergugat
(.................) atas penggugat (.............);”
23.17.2. Menurut rumusan Buku II, hal. 150 berbunyi : “Menjatuhkan talak
satu bain shughra dari tergugat (.................) terhadap penggugat
(.............);”
24. Pasal 86 ( harta bersama dan hadhonah) :
24.1. Abstraksi hukum Putusan Nomor 343 K/AG/1995 tanggal 30-10-1996 :
24.1.1. Sebidang tanah beserta rumah yang berdiri diatasnya, meskipun
dibeli dalam masa perkawinan antara penggugat dan tergugat,
namun barang ini secara yuridis bukanlah merupakan harta bersama
dari suami istri tersebut.
24.1.2. Hal ini disebabkan karena uang yang dipergunakan untuk membeli
tanah beserta rumahnya tersebut adalahmilik istrinya yang diperoleh
dari pembagian harta bersama dengan bekas suaminya terdahulu
sebelum tergugat dikawin oleh penggugat.
24.1.3. Tanah dan rumah yang demikian itu menjadi hak milik tergugat.
24.2. Abstraksi hukum Putusan Nomor 38 K/AG/1998 tanggal 28-10-1998 :
24.2.1. Seorang pria yang mempunyai dua orang istri, maka harta bersama
yang terbentuk selama dalam masa perkawinan antara suami
dengan para istri tersebut harus dipisahkan satu sama lain.
24.2.2. Tatkala suami meninggal dunia, maka harta bersama yang terbentuk
dengan istri pertama dilakukan pembagian harta bersama sebagai
berikut :
24.2.2.1. Setengah hak istri pertama (sebagai harta bersama).
47
24.2.2.2. Setengah hak almarhum suami (sebagai harta bersama),
yang kemudian dibagikan kepada :
24.2.2.2.1. Istri pertama 1/6 bagian.
24.2.2.2.2. Istri kedua 1/6 bagian.
24.2.2.2.3. Anak angkat suami dengan istri pertama 1/3
bagian.
24.2.2.2.4. Anak kandung dari istri kedua 13/24 bagian.
24.2.3. Pembagian dengan cara yang sama seperti tersebut diatas berlaku
pula terhadap harta bersama yang terbentuk dengan istri kedua
sebagai berikut :
24.2.3.1. Setengah adalah hak bagian istri pertama (sebagai harta
bersama).
24.2.3.2. Setengah adalah hak almarhum suami (sebagai harta
bersama), yang kemudian dibagikan kepada :
24.2.3.2.1. Istri kedua
= 1/16 bagian.
24.2.3.2.2. Istri pertama = 1/16 bagian.
24.2.3.2.3. Anak kandungdari istri kedua = 7/8 bagian.
24.2.3.2.4. Anak angkat pewaris (dari anak kandung istri
pertama dengan suaminya terdahulu)
memperoleh 1/3 bagian dari ½ bagian haknya
pewaris atas harta bersama dengan istri
pertama.
24.2.4. Pertimbangan MA :
24.2.4.1. Jika sejak perkawinan suami dengan istri kedua
sampai suami meninggal, istri tidak mengajukan
pembatalan perkawinan menunjukkan istri
pertama tidak keberatan atas perkawinan suami
dengan istri kedua dan oleh karenanya istri
kedua dan anak-anaknya mendapat bagian
warisan dari suami.
24.2.4.2. Meskipun dalam perkara gugat waris a quo tidak
ada tuntutan terhadap pembagian harta bersama,
akan tetapi harta peninggalan masih bercampur
dengan harta bersama, maka secara ex officio harta
bersama tersebut harus sekaligus dibagi untuk
suami, istri yang masih hidup.
24.3. Abstraksi hukum Putusan MA Nomor 245 K/AG/1997 tanggal 30-121998 :
24.3.1. Sesuai dengan ketentuan pasal 209 KHI bahwa seorang anak
angkat berhak 1/3 (sepertiga) bagian dari harta peninggalan
orang tua angkatnya sebagai wasiat wajibah.
24.3.2. Surat kuasa khusus yang tidak memenuhi syarat undangundang, karena cap jempol yang dibubuhkan pada surat
kuasa oleh pemberi kuasa yang buta uruf tidak dilakukan
dihadapan pejabat camat/notaris/hakim, maka surat kuasa
khusus yang demikian itu masih dapat di terima hakim,
48
karena pemberi kuasa tersebut telah ikut hadir dalam
persidangan bersama-sama dengan penerima kuasa.
24.4. Abstraksi hukum Putusan MA Nomor 2690 K/AG/1985 tanggal 03-111986 :
24.4.1. Setiap perbuatan hukum yang menyangkut harta bersama
harus ada persetujuan suami isteri.
24.4.2. Dengan demikian kata “dapat” dalam pasal 36 ayat (1) UU
Nomor 1 Tahun 1974 harus diartikan “harus”.
24.5. Abstraksi hukum Putusan MA Nomor 65 K/AG/1993 tanggal 07-121993 :
- Menurut hukum Islam, dalam persengketaan antara istri dengan
saudara almarhum suami tentang siapa yang berhak merawat anak,
maka hak hadhanah harus diserahkan kepada ibu anak tersebut dan
bukan kepada saudara almarhum suami.
24.6. Abstraksi hukum Putusan MA Nomor 208 K/AG/1994 tanggal 0307-1995 :
- Putusan yudex faxi yang dibenarkan oleh MA yang menyatakan
bahwa menurut hukum, apabila terjadi perceraian, baik janda
maupun duda masing-masing mendapat separoh dari harta
bersama (KHI Pasal 97).
24.7. Abstraksi hukum Putusan MA Nomor 210 K/AG/1996 tanggal 26-111996 :
24.7.1. Masalah agama (aqidah Islam) merupakan syarat mutlak
untuk menentukan gugur dan tidaknya hak seorang ibu atas
pemeliharaan anak dan pengasuhannya (hadhanah) terhadap
anaknya yang masih bayi.
24.7.2. Seorang istri yang memeluk kembali agamanya semula, yang
dahulu telah dilepaskannya dan pindah memeluk agama Islam
pada saat ia melangsungkan akad nikah dengan pria yang
beragama Islam, maka dengan terjadinya perceraian menjadi
gugurlah hak istri dan tidak memenuhi syarat untuk
memperoleh hak hadhanah atas anak yang masih bayi yang
telah ikut suami (ayah) yang beragama Islam.
24.7.3. Suami yang beragama Islam tersebut ditetapkan sebagai
pemegang hak hadhanah atas anaknya tersebut.
24.8. Abstraksi hukum Putusan MA Nomor 10 K/AG1988 tanggal 07-101989 (MA menolak kasasi dan menguatkan putusan PA dan PTA) :
24.8.1. Menimbang bahwa pada pokoknya setiap anak yang lahir dari
perkawinan yang sah dan antara suami istri telah terjadi
perceraian, maka pemeliharaan anak a quo adalah hak istri
dengan syarat : berakal sehat, merdeka, beragama Islam,
sederhana, amanat, bertempat tinggal jelas dan tidak bersuami
baru.
24.8.2. Apabila salah satu diantara syarat tersebut tidak terpenuhi,
gugurlah hak hadhanah bagi seorang ibu sejalan dengan
ketentuan Kitab Kifayatul Akhyar Juz II, halaman 94.
49
24.9. Abstraksi hukumPutusan MA Nomor 279 K/AG/2001 tanggal 21-082003:
24.9.1. Adanya pertemuan dan melakukan hubungan suami istri tidak
dapat dijadikan indikator bahwa pemohon dan termohon pernah
hidup rukun dalam rumah tangga.
24.9.2. Bahwa mengenai tuntutan rekonvensi tergugat terhadap
kewajiban bekas suami terhadap bekas istri dalam hukum Islam
hanya terbatas pada sampai dengan berakhirnya masa idah.
24.9.3. Oleh karena itu gugatan penggugat rekonvensi tentang
pembagian 1/3 (sepertiga) gaji harus dianalogkan dengan
mut’ah, karena pada dasarnya PP Nomro 10 Tahun 1983 jo. PP
45 Tahun 1990 yang mengatur tentang pembagian gaji tersebut
adalah peraturan disiplin pegawai negeri sipil yang merupakan
kewajiban atasan yang bersangkutan untuk menerapkannya.
24.9.4. Bahwa demikian juga halnya 1/3 (sepertiga) bagian gaji untuk
anak, akan lebih adil apabila ditetapkan sesuai dengan
kebutuhan pokok minimum seorang anak dan kemampuan
terguga rekonvensi.
24.9.5. Bahwa nafkah madhiyah anak dalam hukum Islam adalah hak
untuk memanfaatkan (li al intifa’) bukan hak untuk memilik (li
al tamlik), maka apabila masanya telah lewat maka tidak dapat
dituntut lagi.
24.9.6. Perlu penambahan amar putusan untuk memenuhi Pasal 84 UU
Nomor 7 Tahun 1989 : “Memerintahkan kepada Panitera
Pengadilan Agama ....... untuk mengirim salinan penetapan
ikrar talak kepada PPN pada KUA Kec.......”
24.10. Putusan MA Nomor 440 K/Pdt/1988 tanggal 12-09-1990 :
- Dalam hal terbentuknya harta gono-gini yang terpisah dalam
perkawinan pertama dan kedua, anak-anak dari masing-masing
perkawinan berhak atas gono-gini orang tuanya masing-masing (Pasal
35, 36, 37 UU Nomor 1 Tahun 1974).
24.11. Abstraksi hukum Putusan MA Nomor 493 K/AG/1998 tanggal 17-031998 :
- Dengan terjadinya perceraian suami istri, maka sesuai hukum Islam
harta bersama dibagi menjadi dua (setengah untuk duda dan setengah
untuk janda) sesuai Pasal 35 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 jo Pasal
157 KHI.
24.12. Kaidah hukum Putusan MA Nomor 2866 K/Pdt/1987 tanggal 27-04-1989
24.12.1. Tujuan pengangkatan anak bukanlah untuk menerima kembali
balas jasa dari si anak angkat kepada orang tua angkatnya, akan
tetapi justeru merupakan pelimpahan kasih sayang orang tua
kepada anak, sehingga hubungan hukum pengangkatan anak
yang telah disahkan pengadilan tidak dapat dinyatakan tidak
berkekuatan hukum hanya dengan alasan bahwa anak angkat
telah menelantarkan atau tidak merawat dengan baik orang tua
angkatnya.
50
24.12.2. Demikian pula dengan harta gono gini orang tua angkat yang
sudah direlakan dengan susunan dan prosedur yang sah menurut
hukum kepada anak angkatnya tidak dapat begitu saja ditarik
kembali oleh yang merelaknnya (orang tua angkat).
25. Pasal 89 (pembebanan biaya perkara ) :
25.1. Dalam bidang perkawinan dibebankan kepada penggugat/pemohon (Pasal
89 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 1989).
25.2. Dalam bidang selain perkawinan dibebankan kepada yang dikalahkan,
Pasal 192 RBg dan Pasal 181 HIR.
25.3. Sema Nomor 3 Tahun 1967 tanggal 22-02-1967 :
25.3.1. Panjar biaya habis harus ditegor (aan maning).
25.3.2. Teguran menurut pasal 390 HIR :
25.3.2.1. Ada orangnya :
25.3.2.1.1. Langsung di tempat diam.
25.3.2.1.2. Lewat Kepala Desa/Lurah.
25.3.2.2. Meninggal dunia :
25.3.2.2.1. Ahli waris.
25.3.2.2.2. Ahli waris tidak ada/tidak jelas, kepada kepala desa.
25.3.2.3. Ghoib :
25.3.2.3.1. Lewat Bupati.
25.3.2.3.2. Dan ditempel di PA.
25.3.3. Pembatalan dengan perintah dicoret dari register perkara (lihat nomor
28.2 tentang frasa “dicoret”).
26. Pasal 90 (komponen biaya perkara) :
26.1. Biaya pendaftaran (Pasal 90 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 1989 dan Pasal
91A ayat (3) jo. PP Nomor 53 Tahun 2008 tentang PNBP).
26.2. Redaksi (Lampiran PP Nomor 53 Tahun 2008 tentang PNBP).
26.3. Biaya meterai (Pasal 90 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 1989).
26.4. Biaya saksi dan saksi ahli (Pasal 90 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 1989).
26.5. Biaya penerjemah(Pasal 90 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 1989).
26.6. Biaya sumpah (Pasal 90 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 1989).
26.7. Biaya pemeriksaan setempat (Pasal 90 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 1989).
26.8. Biaya pemanggilan (Pasal 90 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 1989).
26.9. Biaya pemberitahuan (Pasal 90 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 1989).
26.10. Biaya administrasi penyelesaian perkara (Pasal 91A UU Nomor 7 Tahun
1989 jo.Perma Nomor 02 Tahun 2009 tentang Biaya Proses dan SK
Panitera MA Nomor 15.A/SK/PAN/IX/2009 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Perma Nomor 2 Tahun 2009).
27. Biaya (perkara prodeo) :
27.1. Pasal 273, 274 dan 275 RBg/Pasal 237, 238 dan 239 HIR.
27.2. Perma Nomor 1 Tahun 2014 tentang prodeo, sidang keliling dan posbakum.
27.3.SOP Prodeo.
28. Pasal 96 (Adminitrasi perkara) :
51
28.1. Keputusan Ketua MA Nomor KMA/001/SK/1991 tanggal 24-01-1991
tentang Pola Bindalmin.
28.2. Buku II halaman 72, Frasa “mencoret” maksudnya adalah panitera/petugas
register perkara mencatat kata “mencoret” dalam kolom keterangan register
induk perkara.
29. Pasal 99 (penerimaan perkara dan tamu) :
29.1. Keputusan Ketua MA Nomor KMA/001/SK/1991 tanggal 24-01-1991
tentang Pola Bindalmin.
29.2. Keputusan Ketua MA Nomor MA/Kumdil/012/I/K/1994 tanggal 11-011994 :
29.2.1. Tugas Meja I adalah menerima perkara.
29.2.2. Verzet tidak didaftar sebagai perkara baru.
29.2.3. Derden verzet didaftar sebagai perkara baru.
29.2.4. Menaksir biaya perkara dan dituangkan dalam SKUM.
29.2.5. Panjar biaya perkara berdasar radius.
29.2.6. Dalam perkara cerai talak diperhitungkan pula biaya panggilan
ikrar talak.
29.2.7. Dalam menerima perkara dihindari dialog dan memasuki materi
perkara.
29.2.8. Surat bukti tidak diajukan pada Meja I, akan tetapi diserahkan
pada persidangan.
29.2.9. Penjelasan Meja I terbatas pada tata cara pendaftaran, biaya
perkara dan biaya eksekusi.
29.3. Nomor MA/Kumdil/P01/II/22002 tanggal 15-02-2002 :
29.3.1. Hakim dan pejabat pengadilan dilarang menerima tamu orang
yang berperkara, kecuali urusan administrasi.
29.3.2. Jika terpaksa, harus dengan permohonan bertemu dan harus
dihadiri oleh pihak lawan.
29.3.3. Pihak yang akan bertemu hakim dan pejabat harus
memberitahukan kepada pihak lawan, jika tidak demikian harus
ditolak.
30. Pasal 100 (salinan dan legalisasi) :
30.1. Nomor MA/Kumdil/225/VIII/K/1994 tanggal 15-08-1995 :
30.1.1. Bunyi kalimat legalisasi foto kopi sebagai alat bukti : “Setelah foto
kopi diperiksa dan dicocokkan dengan surat aslinya, ternyata foto
kopi tersebut cocok dan sesuai dengan aslinya”, Panitera, cap dan
tanda tangan.
30.1.2. Apabila yang dilegalisir lebih dari satu halaman, maka kalimat
legalisasi tersebut ditempatkan pada bagian bawah dari halaman
terakhir dan halaman lainnya cukup dibubuhi tanda tangan panitera
dan cap dinas.
30.1.3. Hakim masih berwenang untuk meneliti dengan aslinya meskipun
telah dilegalisir panitera.
30.1.4. Nazegelen adalah kewenangan kantor pos, maka pejabat pengadilan
tidak boleh mengambil alih.
52
30.2. Sema Nomor 2 Tahun 2004 tanggal 21-12-2004 :
- Ketua pengadilan diberi izin oleh MA untuk memberikan salinan
putusan yang telah berkekuatan hukum tetap secara dinas guna
penelitian yang dilakukan oleh perguruan tinggi atau perorangan.
31. Pasal 101 (pengurusan berkas perkara) :
31.1. SemaNomor UM/237/IV/A.3/P/M/1969 :
31.1.1. Surat-surat dan berkas perkara dapat dimusnahkan jika sudah berumur 30
tahun.
31.1.2. Dibuat berita acara yang tembusannya kepada MA.
31.2. RBg. Pasal 711/ 383 HIR :
- Putusan harus disimpan di arsip dan tidak boleh dibawa keluar, kecuali
dengan tata cara menurut undang-undang.
32. Pasal 103 (tugas jurusita/meterai relaas) :
32.1. Sema Nomor 01 Tahun 1952 tanggal 17-04-1952 :
- Akta yang dibuat oleh jurusita tidak perlu diatas meterai.
32.2. Sema Nomor 2 Tahun 1962 tanggal 25-04-1962 :
- Sita barang tidak bergerak harus ditempatnya dan dicocokkan dengan
keadaan sebenarnya.
Pontianak, 15 Januari 2015
Penyunting,
Ali M. Haidar
Download