PRESPEKTIF SMALL CLAIM COURT DALAM PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS DI INDONESIA Abstrak Sengketa bisnis memerlukan penyelesaian secara cepat dan sederhana sehingga biaya perkara relatif lebih sedikit dengan hasil penyelesaian dapat diterima oleh kedua pihak yang bersengketa tanpa menimbulkan masalah baru atau memperpanjang sengketa. Berbagai cara dapat dilakukan untuk menyelesaikan sengketa bisnis, baik melalui pengadilan (litigasi) maupun melalui penyelesaian di luar pengadilan (non litigasi). Penyelesaian sengketa melalui Pengadilan (Litigasi) dianggap tidak efektif dan tidak efisien sehingga akan mengganggu atau menghambat kegiatan bisnis, hal ini disebabkan proses berperkara ke pengadilan (litigasi) harus menempuh prosedur beracara yang panjang. Sementara penyelesaian sengketa secara damai (non litigasi) yang didasarkan pada kesepakatan para pihak, hasilnya tidak memiliki kekuatan mengikat secara formal bagi para pihak, meskipun undang-undang mengharuskan agar kesepakatan para pihak tersebut dituangkan dalam bentuk akta tertulis dan didaftarkan ke pengadilan Dalam penyelesaian sengketa bisnis lebih disukai melalui cara non litigasi meskipun seringkali tidak dapat menyelesaikan masalah secara tuntas, sehingga cara non litigasi bukan juga merupakan pilihan penyelesaian sengketa yang tepat guna. Oleh karena itu perlu adanya suatu bentuk prosedur penyelesaian sengketa (bisnis) yang dapat mewujudkan tercapai penyelesaian sengketa (bisnis) secara cepat, sederhana dan murah, melalui mekanisme yang dinamakan small claim court. Small claim court diartikan sebagai suatu pengadilan yang bersifat informal (di luar mekanisme pengadilan pada umumnya) dengan pemeriksaan yang cepat untuk mengambil keputusan atas tuntutan ganti kerugian atau utang piutang yang nilai gugatannya kecil. Mekanisme small claim court berada dalam jalur penyelesaian sengketa melalui pengadilan, akan tetapi dengan prosedur beracara yang berbeda dengan proses pemeriksaan perkara perdata biasa, yaiu dengan acara singkat (sederhana). Karenanya putusan small claim court sama kekuatan hukumnya dengan putusan hakim pengadilan pada umumnya. Secara kelembagaan, mekanisme small claim court berada di Pengadilan Negeri, akan tetapi acara pemeriksaan perkaranya berbeda dengan pemeriksaan perkara secara kontradiktoir (acara pemeriksaan perkara biasa). Eksistensi small claim court sebagai mekanisme penyelesaian sengketa bisnis di Indonesia sampai saat ini belum ada pengaturannya, namun demikian dalam rancangan undang-undang hukum acara perdata telah diatur mengenai acara singkat yang dapat digunakan dalam mekanisme small claim court, mengingat dalam pemeriksaan perkara melalui small claim court diperlukan acara pemeriksaan yang singkat, cepat dan sederhana sesuai dengan tujuannya. Kata kunci: penyelesaian sengketa, small claim court. A. Latar Belakang Sudah merupakan kodratnya bahwa manusia sejak dilahirkan sampai meninggal dunia hidup bersama manusia lainnya dalam suatu pergaulan hidup masyarakat. Hal ini disebabkan karena manusia cenderung ingin selalu hidup bersama dengan manusia lainnya. Kenyataan ini oleh Aristoteles disebut dengan Zoon Politicon yang artinya bahwa manusia adalah mahluk sosial dan politik, sementara P.J. Bouman menyatakan bahwa De mens wordt eerst mens door samenleving met anderen, yang artinya manusia itu baru menjadi manusia karena hidup bersama dengan manusia lainnya.1 Sebagai mahluk sosial, manusia dalam kehidupannya memerlukan interaksi sosial satu sama lain, maka berbagai kepentingan akan saling bertemu. Kepentingan manusia yang satu dengan manusia lainnya berbeda, kepentingan yang berbeda seringkali menimbulkan konflik kepentingan. Konflik yang tidak dapat diselesaikan akan berkembang menjadi sengketa yang harus diselesaikan melalui mekanisme penyelesaian sengketa. Secara umum dikenal dua macam makanisme penyelesaian sengketa, yaitu secara konvensional sengketa diselesaikan melalui pengadilan (proses litigasi), dan sebagai mekanisme alternatif dikenal proses penyelesaian sengketa di luar pengadilan melalui cara damai atau perundingan yang disebut juga sebagai mekanisme penyelesaian sengketa alternatif (non litigasi). Ke dua macam mekanisme penyelesaian sengketa tersebut memiliki karakteristik yang berbeda dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Mekanisme penyelesaian sengketa di luar pengadilan merupakan penyelesaian sengketa secara damai. Pada asasnya penyelesaian sengketa perdata dilakukan secara damai, hal ini disebabkan timbul atau tidaknya sengketa sepenuhnya tergantung pada para pihak yang bersengketa, apakah mereka akan melanjutkan berperkara atau berdamai. Oleh karena itu sekalipun sengketa tersebut sudah diajukan ke pengadilan untuk diselesaikan secara litigasi, namun upaya penyelesaian secara damai masih tetap harus diupayakan sebagaimana yang diamanatkan oleh Pasal 130 HIR yang menyatakan bahwa: “…..hakim ketua sidang dalam persidangan harus mencoba mendamaikan para pihak yang berperkara di pengadilan….” 1 Sudiman Kartohadipradjo, Pengantar Tata Hukum di Indonesia, Jilid 1, FH UI Jakarta, 1956, hlm. 20 Mekanisme penyelesaian sengketa melalui pengadilan didasarkan pada hukum acara sebagai hukum formil, untuk sengketa perdata menggunakan Hukum Acara Perdata dan untuk perkara pidana menggunakan Hukum Acara Pidana. Mengingat sengketa bisnis termasuk ke dalam ranah sengketa perdata, maka yang akan dibahas dalam hal ini adalah mekanisme penyelesaian sengketa perdata yang dalam proses litigasi menggunakan hukum acara perdata. Hukum acara perdata adalah “Sekumpulan peraturan yang mengatur cara bagaimana seorang atau lebih terhadap orang lain, badan hukum atau negara, demikian juga sebaliknya, mempertahankan hak dan kepentingannya melalui suatu badan yang disebut badan peradilan, sehingga tercapai tertib hukum”. 2 Secara sederhana sengketa bisnis dapat diartikan sebagai sengketa yang timbul dalam dunia bisnis, yang dapat terjadi karena adanya pelanggaran kesepakatan/ perjanjian/kontrak (wanprestasi) atau adanya perbuatan melanggar hukum. Mengamati kegiatan bisnis yang jumlah transaksinya ratusan setiap hari, tidak mungkin dihindari terjadinya sengketa (dispute/ difference) antar pihak yang terlibat. Setiap jenis sengketa yang terjadi selalu menuntut pemecahan dan penyelesaian yang cepat. Makin banyak dan luas kegiatan perdagangan, frekuensi terjadi sengketa makin tinggi, hal ini berarti sangat mungkin makin banyak sengketa yang harus diselesaikan. Membiarkan sengketa dagang atau sengketa bisnis terlambat diselesaikan akan mengakibatkan perkembangan pembangunan tidak efesien, produktifitas menurun, dunia bisnis mengalami kemandulan dan biaya produksi meningkat. Oleh karena itu mekanisme penyelesaian sengketa bisnis yang dirasakan paling menguntungkan bagi kepentingan kedua belah pihak yang bersengketa sangatlah diperlukan. Tulisan ini akan membahas tentang bagaimana mekanisme penyelesaian sengketa bisnis yang dianggap efisien dan efektif. B. Penyelesaian Sengketa Bisnis Cara penyelesaian sengketa bisnis jika dilihat sudut pandang prosesnya dapat dilakukan melalui litigasi yang merupakan mekanisme penyelesaian sengketa melalui jalur pengadilan dengan menggunakan pendekatan hukum, atau secara non Litigasi yang 2 hlm. 5. Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Edisi Enam, Liberty, Yogyakarta, 2002, merupakan mekanisme penyelesaian sengketa diluar pengadilan dan tidak menggunakan pendekatan hukum formal. Sedangkan dari sudut pandang pembuat keputusan dapat dilakukan secara ajudikatif yaitu mekanisme penyelesaian yang ditandai dengan kewenangan pengambilan keputusan pengambilan dilakukan oleh pihak ketiga dalam sengketa diantara para pihak, secara konsensual/kompromi, melalui quasi adjudikatif yaitu merupakan kombinasi antara unsur konsensual dan adjudikatif. 1. Penyelesaian Sengketa Secara Litigasi Secara konvensional penyelesaian sengketa perdata (bisnis) dilakukan melalui proses ke pengadilan dengan memngajukan gugatan oleh pihak yang merasa dirugikan terhadap pihak lain yang dianggap telah menimbulkan kerugian dimaksud. Sengketa bisnis pada prinsipnya merupakan sengketa perdata biasa yang dapat didasarkan pada adanya wanprestasi atau perbuatan melawan hukum, karenanya penyelesaiannya menjadi kewenangan Pengadilan Negeri dengan berdasarkan pada ketentuan tentang hukum acara perdata yang sumber hukum utamanya adalah HIR (het Herziene Indische Reglement) dan RBg (Reglement Buitengeweisten). Pengadilan Negeri mempunyai kewenangan untuk mengadili sengketa bisnis dalam pengadilan tingkat pertama dengan mekanisme penyelesaian yang mempunyai karakteristik sebagai berikut: prosesnya sangat formal, keputusan dibuat oleh pihak ketiga yang ditunjuk oleh negara (hakim), para pihak tidak terlibat dalam pembuatan keputusan, sifat keputusan memaksa dan mengikat (coercive and binding), orientasi ke pada fakta hukum (mencari pihak yang bersalah), dan persidangannya bersifat terbuka. Apabila ada pihak yang tidak puas atas putusan hakim pada tingkat pertama (Pengadilan Negeri) maka dapat mengajukan upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi, demikian pula bila merasa tidak puas atas putusan hakim tingkat banding maka dapat mengajukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung sebagai lembaga peradilan tertinggi pemegang kekuasaan kehakiman di samping Mahkamah Konstitusi. Secara kelembagaan sistem peradilan kita memiliki Pengadilan Niaga yang sesungguhnya merupakan alih bahasa dari Comercial Court yaitu pengadilan khusus yang sejatinya memiliki kewenangan mengadili sengketa-sengketa komersial atau dengan kata lain sengketa bisnis. Akan tetapi berdasarkan regulasi yang ada, Pengadilan Niaga adalah pengadilan khusus yang berada di lingkungan peradilan umum yang mempunyai kompetensi untuk memeriksa dan memutuskan Permohonan Pernyataan Pailit dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dan sengketa HAKI. Mekanisme beracara melalui Pengadilan Niaga mempunyai karakteristik sebagai berikut: prosesnya sangat formal, keputusan dibuat oleh pihak ketiga yang ditunjuk oleh negara (hakim), para pihak tidak terlibat dalam pembuatan keputusan, sifat keputusan memaksa dan mengikat (coercive and binding), orientasi pada fakta hukum (mencari pihak yang salah), proses persidangan bersifat terbuka, dan waktunya singkat. 2. Arbitrase Penyelesaian sengketa bisnis secara ajudikasi selain dilakukan melalui mekanisme pengadilan (litigasi), juga melalui Arbitrase yang merupakan lembaga penyelesaian sengketa yang bersifat ajudikasi tapi bukan merupakan proses pengadilan (litigasi) melainkan termasuk ke dalam proses non litigasi. Hal ini dikarenakan Arbitrase tidak termasuk sebagai Badan Peradilan (bukan pengadilan tapi lembaga penyelesaian sengketa), sebagaimana diamanatkan oleh Undang-undang Kekuasaan Kehakiman Pasal 10 yang menentukan bahwa hanya ada 4 badan peradilan di Indonesia yaitu: Peradilan Umum (meliputi Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi), Peradilan Agama (meliputi Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama), Peradilan Militer (meliputi Pengadilan Militer dan Pengadilan Tinggi Militer) serta Peradilan Tata Usaha Negara (meliputi Pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara). Kesemuanya berpuncak di Mahkamah Agung sebagai pemegang kekuasaan kehakiman di samping Mahkamah Konstitusi. Istilah arbitrase berasal dari kata “Arbitrare” (bahasa Latin) yang berarti “kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu perkara menurut kebijaksanaan”. Dalam proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase didasarkan pada asas-asas: asas kesepakatan artinya kesepakatan para pihak untuk menunjuk seorang atau beberapa oramg arbiter, asas musyawarah yaitu setiap perselisihan diupayakan untuk diselesaikan secara musyawarah, baik antara arbiter dengan para pihak maupun antara arbiter itu sendiri, asas limitatif artinya adanya pembatasan dalam penyelesaian perselisihan melalui arbirase, yaiu terbatas pada perselisihan-perselisihan di bidang perdagangan dan hak-hak yang dikuasai sepenuhnya oleh para pihak, dan asas final and binding yaitu suatu putusan arbitrase bersifat puutusan akhir dan mengikat yang tidak dapat dilanjutkan dengan upaya hukum lain, seperi banding atau kasasi. Asas ini pada prinsipnya sudah disepakati oleh para pihak dalam klausa atau perjanjian arbitrase. Oleh karena itu didasarkan pada asas-asas tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa tujuan arbitrase itu sendiri adalah untuk menyelesaikan perselisihan dalam bidang perdagangan dan hak dikuasai sepenuhnya oleh para pihak, dengan mengeluarkan suatu putusan yang cepat dan adil, tanpa adanya formalitas atau prosedur yang berbelit-belit yang dapat yang menghambat penyelisihan perselisihan. 3. Negosiasi Mekanisme penyelesaian sengketa bisnis non litigasi yang bersifat non ajudikasi adalah melalui proses Negosiasi, Mediasi, Konsiliasi, Konsultasi dan Penilaian ahli. Akan tetapi yang umum dilakukan adalah penyelesaian melalui negosiasi dan mediasi sebagai mekanisme penyelesaian sengketa alternatif, yang akan dibahas lebih lanjut dalam tulisan ini. Negosiasi merupakan suatu upaya seseorang untuk mengubah sikap dan perilaku orang lain, atau merupakan proses untuk mencapai kesepakatan yang menyangkut kepentingan timbal balik dari pihak-pihak tertentu dengan sikap, sudut pandang, dan kepentingan-kepentingan yang berbeda satu dengan yang lain. Dengan kata lain proses negosiasi adalah suatu bentuk pertemuan antara dua pihak yang bersengketa dimana kedua belah pihak bersama-sama berunding mencari hasil atau penyelesaian sengketa yang baik dan dapat diterima, demi kepentingan kedua pihak. Dalam proses negosiasi, para pihak yang bersengketa langsung berhadapan untuk berunding tanpa melibatkan pihak lain dalam mencari jalan keluar guna menyelesaikan sengketa diantara mereka. Namun demikian negosiasi dapat saja dilakukan oleh wakil ataun kuasa hukum sebagai pihak, akan tetapi akan lebih efektif bila dilakukan langsung oleh para pihak yang bersengketa, karena berkompeten untuk memberikan pertimbangan dan mengambil keputusan dalam menyelesaikan sengketa secara musyawarah/damai. Dalam negosiasi tak tertutup kemungkinan masing-masing pihak memiliki hiden agenda, yaitu gagasan tersembunyi atau niat terselubung yang tak diungkapkan (tak eksplisit) tetapi justru hakikatnya merupakan hal yang sesungguhnya ingin dicapai oleh pihak yang bersangkutan. Jika proses negosiasi terhambat karena adanya hiden agenda dari salah satu atau kedua pihak, maka lobbying dapat dipilih untuk menggali hiden agenda yang ada sehingga negosiasi dapat berjalan lagi dengan gagasan yang lebih terbuka. 4. Mediasi Mekanisme penyelesaian sengketa bisnis lainnya adalah melalui Mediasi, yaitu proses penyelesaian sengketa melalui proses perundingan atau mufakat para pihak dengan dibantu oleh mediator yang tidak memiliki kewenangan memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian. Ciri utama proses mediasi adalah perundingan yang esensinya sama dengan proses musyawarah atau konsensus. Sesuai dengan hakikat perundingan atau musyawarah atau konsensus, maka tidak boleh ada paksaan untuk menerima atau menolak sesuatu gagasan atau penyelesaian selama proses mediasi berlangsung. Segala sesuatunya harus memperoleh persetujuan dari para pihak. Mediator adalah pihak netral yang membantu para pihak dalam proses perundingan guna mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian. Ciri-ciri penting dari mediator adalah : netral, membantu para pihak dan tidak memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian. Jadi, peran mediator hanyalah membantu para pihak dengan cara tidak memutus atau memaksakan pandangan atau penilaiannya atas masalah-masalah selama proses mediasi berlangsung kepada para pihak. Sejatinya proses mediasi dilakukan di luar pengadilan karena merupakan salah satu mekanisme penyelesaian sengketa non litigasi. Akan tetapi melalui Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, ditetapkan bahwa semua sengketa perdata yang diajukan ke pengadilan, kecuali undang-undang menentukan lain, harus melalui proses mediasi di pengadilan (mediation in court) yang dibantu oleh mediator, baik mediator hakim atau mediator professional (bersertifikat) yang terdaftar di pengadilan. Prosedur mediasi di pengadilan adalah: a. Setelah perkara dinomori, dan telah ditunjuk majelis hakim oleh ketua, kemudian majelis hakim membuat penetapan untuk mediator supaya dilaksanakan mediasi. b. Setelah pihak-pihak hadir, majelis menyerahkan penetapan mediasi kepada mediator berikut pihak-pihak yang berperkara tersebut. c. Selanjutnya mediator menyarankan kepada pihak-pihak yang berperkara supaya perkara ini diakhiri dengan jalan damai dengan berusaha mengurangi kerugian masing-masing pihak yang berperkara. d. Mediator bertugas selama 21 hari kalender, berhasil perdamaian atau tidak pada hari ke 22 harus menyerahkan kembali kepada majelis yang memberikan penetapan. e. Jika terdapat perdamaian, penetapan perdamaian tetap dibuat oleh majelis. Tugas seorang mediator adalah: a. Wajib mendorong mempersiapkan usulan jadual pertemuan mediasi kepada para pihak untuk wajib dibahas dan disepakati; b. Wajib mendorong para pihak untuk secara langsung berperan dalam proses mediasi; c. Apabila dianggap perlu mediator dapat melakukan pertemuan terpisah (caucus) selama proses mediasi berlangsung; d. Mediator wajib mendorong para pihak untuk menelusuri dan menggali kepentingan mereka dan mencari berbagai pilihan penyelesaian yang terbaik bagi para pihak. C. Penyelesaian Sengketa Bisnis yang Efisien dan Efektif Dalam era global seperti sekarang ini, dimana dunia seolah-olah tanpa batas (borderless), orang bisa berusaha dan bekerja di manapun tanpa ada halangan, yang penting dapat menghadapi lawannya secara kompetitif. Suatu hal yang sering dihadapi dalam situasi semacam ini adalah timbulnya sengketa atau perselisihan. Sengketa merupakan suatu hal yang sudah menjadi bagian dari kehidupan manusia. Oleh karena itu, sengketa tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Salah satu jenis sengketa yang sering kita temui adalah sehari-hari sengketa dalam konteks bisnis. Sengketa yang timbul ini perlu untuk diselesaikan. Masalahnya, adalah siapa yang dapat menyelesaikan sengketa tersebut. Cara yang paling mudah dan sederhana adalah para pihak yang bersengketa menyelesaikan sendiri sengketa tersebut. Cara lain yang dapat ditempuh adalah menyelesaikan sengketa tersebut dengan mekanisme penyelesaian sengketa secara konvensional melalui jalur pengadilan, atau mekanisme penyelesaian sengketa di luar pengadilan (non litigasi). Penyelesaian sengketa di luar lembaga peradilan sering disebut juga dengan Alternatif Dispute Resolution (ADR) atau dalam istilah Indonesia diterjemahkan menjadiAlternatif Penyelesaian Sengketa (APS).3 Sengketa bisnis memerlukan penyelesaian yang sederhana dan cepat, sehingga tidak menimbulkan kerugian yang lebih besar akibat tersitanya waktu yang akan menganggu berjalannya kegiatan bisnis. Di samping itu cara penyelesaian yang dipilih harus dapat diterima oleh semua pihak (disepakati) yang berujung pada win-win solution, dengan demikian hubungan bisnis antara kedua belah pihak dapat tetap terjalin setelah sengketa diselesaikan. Penyelesaian sengketa melalui pengadilan memerlukan waktu yang lama karena terdapat beberapa tahapan dalam berperkara, mulai dari mengajukan/mendaftarkan gugatan, pemeriksaan identitas para pihak, upaya mediasi, jawaban tergugat jika mediasi tidak berhasil, replik, duplik, kesimpulan pertama, proses pembuktian dari penggugat dan tergugat, kesimpulan kedua, penyusunan putusan oleh hakim, sampai dengan putusan yang keseluruhanya memerlukan waktu persidangan sekurang-kurangnya antara 3 sampai 6 bulan. Apalagi kalau pihak yang merasa tidak puas atas putusan hakim kemudian mengajukan upaya hukum ke pengadilan yang lebih tinggi, karena putusan hakim mengakibatkan terdapatnya pihak yang kalah dan menang saling berhadapan. Dengan 3 Susanti Adi Nugroho, Mediasi sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa, PT. Telaga Ilmu Indonesia, Jakarta, 2009, hlm. 1-12 proses yang tidak sederhana, maka sudah barang tentu diperlukan waktu sangat panjang untuk mendapatkan kepastian hukum atas penyelesaian suatu sengketa perdata. Namun demikian kelebihannya hasilnya berupa putusan hakim dengan kekuatan mengikat bagi para pihak. Proses penyelesaian sengketa melalui pengadilan yang memerlukan waktu lama dan tidak sederhana ini sangat tidak disukai oleh pelaku bisnis, terlebih lagi hasilnya memposisikan para pihak menjadi pihak yang kalah dan menang saling berdadapan. Keadaan ini sangat tidak disukai oleh para pelaku bisnis untuk menyelesaikan sengketa, karena akan sangat merugikan dari banyak aspek yang akan menganggu kelangsungan kegiatan bisnisnya, sekalipun hasilnya berupa putusan hakim yang mempunyai kekuatan mengikat. Pelaku bisnis lebih menyukai proses penyelesaian sengketa yang lebih cepat, sederhana, sehingga biaya yang dikeluarkan akan lebih efisien. Mekanisme penyelesaian sengketa alternatif yang non litigasi melalui negosiasi, mediasi, konsiliasi dan arbitrase lebih disukai oleh pelaku bisnis karena dirasakan lebih sederhana dan cepat sehingga biaya yang diperlukan relatif akan lebih murah. Di samping itu, hasilnya berupa kesepakatan yang tidak menempatkan posisi para pihak sebagai kalah dan menang, melainkan semua pihak merasa terpenuhi keinginannya (win-win solution). Negosiasi merupakan cara penyelesaian sengketa yang efisien dan efektif sepanjang para pihak yang bersengketa mempunyai komitmen yang tinggi untuk mentaati hasil kesepakatan sehingga sengketa menjadi selesai. Jika dapat dicapai kesepakatan penyelesaian sengketa melalui negosiasi yang dilakukan langsung oleh para pihak, maka permasalahan akan segera dapat diselesaikan dan biaya yang dikeluarkan juga lebih murah, di samping itu hubungan nbisnis dapat terus berlanjut karena hubungan baik tetap terpelihara. Hasil kesepakatan yang dicapai melalui negosiasi harus dituangkan dalam bentuk akta tertulis, bias berupa akta di bawah tangan atau akta otentik. Namun demikian akta kesepakatan tersebut secara tidak memiliki kekuatan mengikat bagi para pihak, tidak ada unsur daya paksa. Kekuatan mengikatnya didasarkan pada kehendak dan itikad baik para pihak untuk berkomitmen mentaati apa yang telah disepakati bersama. Mediasi sesungguhnya merupakan re-negosiasi terhadap upaya negosiasi para pihak secara langsung yang tidak berhasil dicapai kesepakatan oleh para pihak. Karena para pihak tidak dapat menyelesaikannya secara langsung, maka melibatkan pihak ketiga yang tidak memihak (non partisan) untuk membantu para pihak bernegosiasi ulang sehingga dicapai kesepakatan. Pihak ketiga ini dinamakan mediator yang hanya berfungsi sebagai fasilitator untuk membantu memfasilitasi para pihak bernegosiasi mencari kesepakatan penyelesaian sengketa secara damai. Mediator tidak memutuskan atau menentukan kesepakatan yang diambil para pihak, tetapi hanya membantu para pihak untuk dapat sampai pada kesepakatan penyelesaian masalah. Para pihaklah yang berunding dan mengambil keputusan untuk sepakat berdamai. Apabila proses perundingan/negosiasi berlarut-larut dan mediator mulai mengarahkan dan bahkan menganjurkan suatu pilihan kesepakatan penyelesaian masalah, maka saat itu mediator sudah berubah fungsi menjadi Konsiliator dan prosesnya juga beralih menjadi proses konsiliasi. Dalam konsiliasi, peran pihak ketiga lebih aktif dalam mengarahkan dan menganjurkan pilihan penyelesaian sengketa, walaupun kata akhir menentukan pilihan tetap ada pada para pihak yang bersengketa. Penyelesaian sengketa melalui negosiasi dan mediasi dianggap efektif dan efisien untuk menyelesaikan sengketa bisnis sepanjang komitmen para pihak untuk mentaati hasil kesepakatan dapat diperoleh. Hasil kesepakatan yang harus tertuang dalam bentuk akta tertulis, tidak mempunyai kekuatan mengikat seperti halnya putusan pengadilan, karenanya tidak memiliki daya paksa. Sementara penyelesaian sengketa melalui pengadilan, memang hasilnya berupa putusan hakim yang memiliki kekuatan mengikat (daya paksa) bagi para pihak, akan tetapi prosedurnya memerlukan waktu yang lama dan prosedurnya panjang sehingga tidak efisien dari segi biaya perkara. Kedua bentuk mekanisme penyelesaian sengketa ini masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan yang menimbulkan ketidak tertarikan para pihak yang bersengketa untuk menggunakannya. Untuk mengatasinya maka mekanisme penyelesaian sengketa bisnis melalui lembaga Arbitrase dianggap lebih memenuhi kebutuhan, baik dari segi prosedur beracaranya yang relatif lebih sederhana, waktunya lebih singkat dibandingkan proses litigasi dan juga hasilnya mempunyai kekuatan mengikat karena putusan Arbitrase mempunyai kedudukan yang sama dengan keputusan hakim, yaitu keduanya mempunyai kekuatan eksekutorial. Di samping itu, putusan arbitrase bersifat final and binding yaitu bersifat terakhir dan mengikat,4 jadi tidak dapat diajukan upaya hukum terhadapnya. Dengan demikian penyelesaian melalui Arbitrase dianggap lebih efisien dan efektif karena hasil yang diperolehnya memenuhi kedua karakter dari mekanisme litigasi dan non litigasi. Meskipun demikian, dalam praktinya seringkali para pihak tidak taat untuk melaksanakan putusan Arbitrase yang pada akhirnya tetap akan berujung di pengadilan, karena sesuai amanat undang-undang bahwa pihak yang tidak puas terhadap putusan arbitrase dapat mengajukan keberatan ke Pengadilan Negeri. Sejatinya pengajuan ke Pengadilan Negeri atas putusan arbitrase ini hanya sebatas jika ada keberatan atas putusan saja, namun seringkali di maknai berbeda yaitu bahwa pengajuan keberatan ke pengadilan merupakan pengajuan gugatan kembali atas sengketa yang sudah diselesaikan di Arbitrase. Padahal menurut ketentuan jika sengketa yang timbul didasari oleh adanya klausula arbitrase atau perjanjian arbitrase, maka merupakan kompetensi absolut Arbitrase, dengan kata lain Pengadilan Negeri tidak punya kewenangan untuk mengadili perkara tersebut. Mencermati apa yang telah diuraikan di atas, maka kiranya perlu difikirkan suatu mekanisme penyelesaian sengketa bisnis secara cepat dan sederhana sehingga biaya perkara relatif lebih sedikit dengan hasil penyelesaian dapat diterima oleh kedua pihak yang bersengketa tanpa menimbulkan masalah baru atau memperpanjang sengketa, akan tetapi tetap merupakan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan mengikat bagi para pihak. Terdapat suatu mekanisme penyelesaian sengketa secara litigasi tetapi dengan acara yang sederhana, proses yang cepat dan memelukan biaya lebih murah sebagaimana dilakukan di beberapa Negara maju di dunia, yaitu mekanisme Small Claim Court. Berdasarkan Black’s Law Dictionary5, small claim court diartikan sebagai suatu pengadilan yang bersifat informal (di luar mekanisme pengadilan pada umumnya) dengan pemeriksaan yang cepat untuk mengambil keputusan atas tuntutan ganti kerugian atau utang piutang yang nilai gugatannya kecil. Small Claim Court telah lama berkembang baik dinegara-negara yang bersistem hukum Common Law maupun Negara-negara dengan sistem hukum Civil Law. Bahkan 4 Syahrizal Abbas, Mediasi dalam Prespektif Hukum Syariah, Hukum Adat dan Hukum Nasional, Prenada Media Group, Jakarta, 2009, hlm. 352. 5 Bryan A. Gardner, Black’s Law Dictionary, 8th edition, West Publishing, 2004. Small Claim Court tumbuh dan berkembang pesat tidak hanya di negara maju seperti Amerika, Inggris, Kanada, Jerman, Belanda tetapi juga dinegara-negara berkembang baik dibenua Amerika Latin, Afrika dan Asia. Hal ini dikarenakan forum penyelesaian sengketa bisnis melalui pengadilan yang efisien, cepat dan biaya perkara murah bagi perkara yang jumlah nilai perkaranya kecil diperlukan dalam dunia bisnis. Pembentukan suatu forum demikian sangat dibutuhkan terutama bagi negara berkembang seperti Indonesia, untuk meningkatkan kepercayaan para investor dalam dan luar negeri guna mengembangkan dunia bisnis. D. Penutup Sengketa bisnis memerlukan penyelesaian secara cepat dan sederhana sehingga biaya perkara relatif lebih sedikit dengan hasil penyelesaian dapat diterima oleh kedua pihak yang bersengketa tanpa menimbulkan masalah baru atau memperpanjang sengketa. Berbagai cara dapat dilakukan untuk menyelesaikan sengketa bisnis, baik melalui pengadilan (litigasi) maupun melalui proses di luar pengadilan (non litigasi/perdamaian), namun untuk penyelesaian sengketa bisnis lebih disukai melalui cara non litigasi meskipun seingkali tidak dapat menyelesaikan masalah secara tuntas, sehingga cara non litigasi bukan juga merupakan pilihan penyelesaian sengketa yang tepat guna. Demikian pula halnya dengan penyelesaian sengketa melalui Pengadilan (litigasi) dianggap tidak efektif dan efisien karena akan mengganggu atau menghambat kegiatan bisnis. Hal ini disebabkan proses berperkara ke pengadilan harus menempuh prosedur beracara yang sudah ditetapkan dan tidak boleh di simpangi, sehingga memerlukan waktu yang lama, tidak melindungi kerahasiaan, serta hasilnya ada pihak yang kalah dan yang menang, sehingga akan memperpanjang persengketaan karena dimungkinkannya melanjutkan perkara ke pengadilan tingkat yang lebih tinggi (upaya hukum); meskipun terdapat asas peradilan yang cepat, sederhana dan biaya murah. Dari pemikiran di atas, maka dirasakan perlu adanya suatu bentuk prosedur penyelesaian sengketa (bisnis), seperti yang dikenal di negara-negara yang menganut sistem common law dengan memberikan kewenangan untuk menyelesaikan perkara didasarkan pada besar kecilnya nilai objek sengketa, sehingga dapat tercapai penyelesaian sengketa (bisnis) secara cepat, sederhana dan murah, melalui mekanisme yang dinamakan Small Claim Court. E. Daftar Pustaka Bryan A. Gardner, Black’s Law Dictionary, 8th edition, West Publishing, 2004. R. Tresna, Komentar HIR, Pradnya Paramita, Jakarta, 2008. Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Edisi Enam, Liberty, Yogyakarta, 2002. Sudiman Kartohadipradjo, Pengantar Tata Hukum di Indonesia, Jilid 1, FH UI Jakarta, 1956 Susanti Adi Nugroho, Mediasi sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa, PT. Telaga Ilmu Indonesia, Jakarta, 2009. Syahrizal Abbas, Mediasi dalam Prespektif Hukum Syariah, Hukum Adat dan Hukum Nasional, Prenada Media Group, Jakarta, 2009.