Era baru penyelesaian sengketa non litigasi ala Milenial oleh: Linta Ulinnuha Bahraine Kehidupan manusia yang dinamis, memunculkan banyak kejadian. Hubungan saling ketergantungan antar manusia, tidak sering berbuah pada konflik. Konflik tentu tidak bisa dihindari, akan tetapi dapat diselesaikan. Konflik bisa muncul dari permasalahan yang sederhana hingga yang paling rumit. Konflik yang sederhana terkadang tidak berlangsung lama sehingga penyelesaianya mudah, tidak melibatkan banyak pihak dan kerugian yang besar. Sedangkan konflik yang rumit seringkali berlangsung dalam jangka waktu yang tidak sebentar, sehingga penyelesaianya akan menuntut hal-hal yang kompleks sampai pada akar masalah. Konflik dapat dilihat dari sebuah perjuangan individu atau kelompok untuk memenangkan sesuatu tujuan yang sama-sama ingin dicapai. Konflik mensyaratkan adanya kehancuran dari pihak lawan (Suparlan, 1999). Bentuk konflik yang muncul ke ranah publik dan membutuhkan upaya penyelesaian dari para pihak disebut dengan sengketa. Sengketa menjadi dasar dibuatnya gugatan atau tuntutan terhadap suatu hak yang tidak terpenuhi. Sengketa yang kerap muncul di masyarakat antara lain sengketa bisnis, sengketa internasional, maupun sengketa politik. Sengketa bisnis dalam perusahaan membutuhkan penyelesaian agar perusahaan tetap berjalan dengan baik. Sengketa internasional yang melibatkan negara lain dapat membatasi hubungan kerjasama ekonomi maupun politik. Sengketa politik dapat menghambat arus demokrasi sehingga pemerintah dan civil society tidak dapat menciptakan suasana politik yang sejuk. Sengketa dimulai dari adanya interaksi dua pihak yang tidak tepat. Kemudian timbul hal-hal yang dianggap tidak menguntungkan dan sama-sama merasa berhak atas klaim kemenangan. Sengketa tersebut apabila tidak dapat menemui titik temunya, dapat diajukan ke meja hijau. Kemudian para pihak akan melakukan pembuktian agar hakim dapat memberikan putusan yang adil bagi para pihak. Putusan yang dikeluarkan oleh hakim mengikat bagi para pihak, ada yang menang dan ada yang kalah. Jenis penyelesaian sengketa yang sudah lazim adalah litigasi dan non litigasi. Litigasi merupakan penyelesaian sengketa melalui jalur pengadilan dan non litigasi merupakan penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Pasal 1 ayat (10) tenang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian sengketa, selain arbitrase, dikenal Alternatif Penyelesian Sengkata yakni lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli. Salah satu jenis alternatif penyelesaian sengketa yang dikenal adalah mediasi. Mediasi lebih mengedepankan win-win solution bagi para pihak. Mediasi dikendalikan sepenuhnya oleh para pihak untuk mengakomodasi kepentingan masingmasing yang bersifat privat dan rahasia. Kesepakatan dalam mediasi dibuat sendiri oleh para pihak. Mediasi berusaha mengakomodasi jalan tengah kebutuhan masing-masing pihak. Para pihak dapat berkomunikasi secara pribadi dengan mediator tanpa melibatkan pihak lainnya dalam forum bernama kaukus untuk mendiskusikan kepentingan yang ingin diakomodasi. Mediasi menjadi suatu upaya yang mungkin di lakukan di era milenial seperti saat ini. Era milenial menghadirkan digitalisasi zaman, mengehendaki budaya generasi yang baru. Generasi baru yang mengedepankan semangat kolaborasi dan berbagi. Penggunaan teknologi dan pemanfaatan internet telah mengubah gaya hidup masyarakat. Masyarakat yang tadinya individualis, ketika bertemu dengan kemudahan media seakan beralih menjadi sosialis, meskipun interaksinya banyak dilakukan melalui sosial media. Budaya kompetisi beralih menjadi budaya kolaborasi, melalui kemudahan berjejaring untuk sama-sama mendapatkan keuntungan. Tentunya, dengan budaya ini generasi milenial akan mengedepankan pola hubungan baik yang dijalin dengan rekan kerja dan community nya. Semakin baik dan luas seseorang dalam membangung hubungan, maka akan semakin meningkatkan produktivitasnya. Ditambah lagi dengan adanya teknologi dan internet, maka dunia akan semakin mudah dan bergerak sangat cepat. Nampaknya generasi milenial sangat mengedepankan efektifitas dan cenderung menhindari konflik berkepanjangan, karena hal itu akan memberikan kerugian bagi mereka. Biarpun memiliki banyak kemudahan, generasi milenial tidak dapat lepas dari adanya konflik. Generasi milenial memiliki kemandirian dalam berwirausaha, seperti menjadi start-up developer. Sengketa yang sering muncul dalam dunia start-up adalah terkait sengketa merek. Start-up yang belum memiliki legalitas resmi, pasti akan dirugikan. Ketika muncul sengketa, para pihak akan dihadapkan dengan dua pilihan penyelesaian, yakni litigasi dan non litigasi. Setiap pilihan memiliki kekurangan dan kelebihannya. Litigasi (melalui pengadilan) memberikan kepastian hukum. Keputusan yang dihasilkan mengikat dan memiliki nilai eksekutorial. Putusan bersifat menang-kalah bagi para pihak. Akan tetapi, proses litigasi berlangsung dalam jangka waktu yang tidak sebentar. Ketika sengketa diajukan ke Pengadilan, maka para pihak harus menunggu pangilan sidang. Setelah itu, para pihak mulai bersidang dan melalui beberapa alur. Jika sengketa yang disidangkan di pengadilan tidak sedikit, maka para pihak harus bergantian karena alasan keterbatasan waktu dan sumber daya manusianya. Setelah hakim memutus perkara di tingkat pertama, para pihak masih diberikan kesempatan untuk melakukan banding ke Pengadilan Tinggi jika tidak dapat menerima putusan. Begitu seterusnya sampai tingkat Kasasi di Mahkamah Agung. Ingat, beracara tidak gratis untuk membayar biaya perkara maupun menyewa jasa advokat. Tentunya hal ini tidak sesuai dengan karakteristik milanial yang tidak suka bertele-tele dan membuang banyak waktu. Adapun penyelesaian sengketa non litigasi dalam hal ini melalui mediasi, dapat menjadi solusi terbaik bagi milenial yang sedang bersengketa. Meskipun upaya mediasi masih belum banyak dilakkan di bandung upaya melalui meja hijau, tapi seiring berkembangnya budaya, generasi milenial tentu akan beralih kepada jalur mediasi. Jika memang karakteristik generasi milenial cenderung mengedepankan perdamaian, maka tidak ada lagi tuntutan untuk menjatuhkan pihak lawan yang bersengketa denganya. Akan tetapi, akan berusaha melakukan penyelesaian untuk mengembalikan kondisi semula dan melanjutkan kerjanya lagi. http://journal.ui.ac.id/index.php/jai/article/view/3375/2659 https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt59093529c0236/begini-alasan-mengapa-mediasilebih-menguntungkan