Kekerabatan Politik dan Politisi Korup

advertisement
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM RI
BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL
Pusat Dokumentasi dan Jaringan Informasi Hukum Nasional
n.May.Jen. Sutoyo -Cililitan- Jakarta Timur
1Hari/Tgl :
Sumber : LCtY1PA<;
Subjek:
'Fo ~--(J p5/
-
10M ItT/ 3 'Jctn\.011 .)(1 4
I< C r--o-IC p?4 f I
Hlm/Kol
Bidang:
:~
J
2 --£;
!>
Kekerabatan Politik dan Politisi Korup
Oleh SISWANTO
onteks sejarah Reformasi tahun
1998 adalah melawan rezim yang korup.
K
Mestinya di era ini budaya dan
perilaku politik para politisi berpijak pada semangat Reformasi:
melawan korupsi (karena salah
satu produk Reformasi 1998 adalah Tap MPR No XI/1998 tentang
Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi,
dan Nepotisme). Kenyataaimya,
perilaku politisi dan penyelenggaraan nega:ra saat ini bertentangan dengan semangat reformasi. Para politisi dan pejabat
berlomba-lomba korupsi.
Salah satu pasal Tap MPR tersebut berbunyi "untuk menjalankan fungsi dan tugasnya tersebut,
penyelenggara negara harus jujur, adil, terbuka, dan tepercaya
serta mampu membebaskan diri
dari praktik korupsi, kolusi, dan
nepotisme." Tap MPR ini tidak
dihiraukan. Ada asumsi bahwa
angka korupsi pada era Reformasi lebih tinggi dibandingkan
dengan pada era Orde Baru. Salah
satu indikatornya: banyaknya
anggota DPR, DPRD, serta pejabat tinggi pusat dan daerah
yang dipenjara karena terjerat
kasus korupsi.
Asumsi yang dikembangkan
bahwa maraknya korupsi, yang
dilakukan khususnya oleh politisi, tidak bisa dipisahkan dari
sistem kekerabatan yang salah
tempat. Sistem kekerabatan telah
disalahgunakan masyarakat demi
kepentingan pribadi atau golongan dengan cara melanggar hukum (KKN).
Sistem kekerabatan
Sistem kekerabatan di sini diartikan sebagai hubungan antar-entitas yang mempunyai Jatar
silsilah sama, baik melalui keturunan biologis, sosial, maupun
budaya. Dalam sistem kekerabatan, dikenal istilah keluarga inti
(hubungan kekerabatan yang terjadi karena tali pernikahan: suami, istri, dan anak). Dikenal pula
keluarga luas, yaitu hubungan kekerabatan di luar keluarga inti:
paman, tante, kakek, nenek, cucu,
keponakan, saudara ipar, dan sebagainya. Dalam praktiknya, sistern kekerabatan dipahami lebih
luas lagi, bahkan sampai orang
yang tinggal sama-sama satu
kampung.
Antropolog senior seperti
Koentjaraningrat punya catatan
atas nilai-nilai budaya Indonesia
yang mencerminkan sisi negatif
atas nilai-nilai budaya tersebut.
Catatan ini dibuat pada saat re. zim Orde Baru sedang giat-giatnya melaksanakan pembangunan
nasional, untuk menyadarkan
masyarakat dan pemerintah pada
saat itu bahwa tak semua nilai
budaya Indonesia itu sejalan dengan pembangunan nasional.
Nilai-nilai budaya yang tak sejalan dengan pembangunan diidentifikasi sebagai: mentalitas
meremehkan mutu, mentalitas
suka menerabas, sifat tidak percaya kepada diri sendiri, sifat
tidak berdisiplin murni, dan
mentalitas suka mengabaikan
tanggung jawab. Tidak· dimungkiri, nilai-nilai budaya ini masih
melekat erat dalam kehidupan
masyarakat Indonesia.
Artinya, reformasi, pendidikan, dan modernisasi tidak membuahkan hasil karena tak mengubah mentalitas buruk masyarakat Indonesia. Bandingkan dengan masyarakat Melayu di luar
Indonesia, misalnya di Singapura
dan Malaysia Kedua masyarakat
negara ini awalnya sama dengan
masyarakat Indonesia, ada nilai-nilai budaya yang tidak sejalan dengan pembangunan.
Di Malaysia Timur, tepatnya di
Kucing, misalnya, banyak terdapat patung kucing. Konon ini
sirnbol bahwa masyarakat dahulu
punya sifat pemalas seperti kucing, yang kesukaannya tidur-tiduran belaka. Namun, sekarang
kota Kucing tertata rapi dan maju. Keadaan ini mencerminkan
ada perubahan mental masyarakat dari malas menjadi rajin
dan disiplin. Pendidikan dan modernisasi berhasil mengubah
mental masyarakat dari buruk ke
baik.
Tulisan ini ingin mengatakan
bahwa sistem kekerabatan atau
sistem kekeluargaan yang salah
tempatjuga menjadi kendala bagi
pembangunan nasional karena
mendorong timbulnya korupsi.
Sistem kekerabatan seharusnya
diletakkan pada posisi terhormat
karena merujuk pada persamaan
keturunan dan adat, sedangkan
korupsi adalah aksi mengambil
sesuatu yang bukan haknya. Jadi,
pada hakikatnya sistem kekerabatan bertolak belakang dengan
korupsi.
Masalahnya, manusia menyalahgunakan sistem kekerabatan
untuk kepentingan pribadi atau
kelompok. Dalam konteks ini, seseorang yang anggota keluarganya memiliki kekuasaan (pejabat) cenderung menggunakan
pengaruh keluarga itu untuk kepentingannya. Dikenal budaya
memo atau katebelece yang diberikan seorang pejabat kepada pihak lain dengan tujuan memengaruhi kebijakan yang diambil
agar sesuai dengan kepentingan
si pembuat memo dan kerabatnya. Atas nama kerabat atau keluarga, seseorang sengaja memengaruhi pihak lain demi kepentingannya dengan cara tak adil
dan melawan hukum.
Kekerabatan dalam politik
Kader-kader suatu partai politik dipahan1i sebagai entitas dari kekerabatan politik. dalam hal
ini sistem kekerabatan dalam arti
luas. Para anggota kader merasa
Sambungan
Somber:
Hari!Tgl:
satu nasib dan satu penanggungan meski dalam beberapa kasus,
sesama kader terlibat konflik. Dinamika politik terkadang mengantar mereka kepada persaingan
menuju target politik tertentu.
Meski demikian, sesama kader
adalah tetap keluarga besar partai. Mereka berada dalam satu
bingkai: ideologi. Mereka punya
ikatan batin dan emosi yang timbul karena bingkai ideologi tadi.
Jadi, ideologi menjadi pengikat
untuk membangun nilai kekerabatan di dalam suatu partai
karena kader dan politisi merasa
satu keluarga besar dari partai
yang menaunginya.
Para kader dan politisi punya
tanggung jawab kepada partai
tempatnya bernaung. Diawali
upaya partai politik yang punya
tugas membesarkan kadernya
agar menjadi politisiyahg sukses.
Partai politik dalam hal ini punya
fungsi sebagai sarana bagi para
kad~r mencapai target politik.
Sebaliknya, politisi punya tanggung jawab moral kepada partai
yang membesarkan dan mengusungnya. Ketika sudah jadi politisi besar dan punya jabatan
strategis, dia akan berpikir membalas budi kepada partainya,
memberi dukungan moral ataupun material. Upaya memberikan dukungan material kepada
partai ini mendorong KKN.
Sering kali jaringan kekerabatan digunakan untuk kepentingan politik tertentu dari para
politisi. Kekerabatan politik dimanfaatkan u~tuk _mendukung _
perjuangan politisinya. Komunikasi dan kerja sama politik antara
para kader dan politisi satu partai
ataupun lintas partai dilakukan
ketika ada target politik tertentu
yang ingin dicapai. Di pihak lain
politisi di legislatif bersinergi
dengan pejabat di eksekutif saat
ada rancangan program yang
akan diwujudkan menjadi kebi=_
Hlm/Kol:
jakan publik. Sinergi politik ini
juga dilakukan bersifat lintas partai yang dikenal dengan istilah
koalisi.
Selanjutnya jaringan kekerabatan politik mempertemukan
dunia politik dengan dunia usaha.
Ini normal sejauh tak melanggar
hukum karena tugas politisi adalah memperjuangkan kepentingan rakyat, termasuk ada di lingkungan dunia usaha Namun, ketika kekerabatan politik tadi dimanfaatkan untuk mencapai tujuan dengan cara melanggar hukum (KKN), fenomena ini menjadi tidak normal.
Gejala sosial yang juga marak
terjadi, pengusaha menjadi politisi. Langkah ini normal sejauh
pengusaha mampu menjaga profesionalismenya. Ia menjadi tak
normal ketika pengusaha setelah
menjadi politisi memanfaatkan
jaringan kekerabatan politiknya
untuk mengawal kepentingan
bisnisnya.
Gejala sosiallain adalah politisi
merangkap jadi pengusaha meski
dalam sehari-hari kegiatan usaha
diserahkan kepada keluarganya.
Sekali lagi tentu saja ini normal
sejauh dilakukan dengan tujuan
semata-mata untuk berinvestasi
dan upayanya tak melanggar
aturan. Upaya ini menjadi tak
normal ketika politisi me manfaatkan kekerabatan politik untuk memperoleh kemudahan dan
melindungi kepentingan bisnisnya. Apalagi, jika upaya menjadi
pengusaha ini hanya untuk melakukan pen<mcian uang agar
harta yang banyak terkesan sebagai hasil jerih payahnya dalam
bisnis. Padahal, ini hanya untuk
menutupikeadaansesungguhnya
bahwa kekayaan yang dimiliki
adalah hasil perbuatan melawan
hukum (KKN).
Pergeseran nilai
Sistem kekerabatan telah
meng<}lami pergeseran nilai da-
lam konteks KKN. Sistem kekerabatan telah disalahgunakan
sebagian anggota masyarakat.
Sistem kekerabatan pada hakikatnya berdimensi sosial, tidak
terkait dengan kepentingan pribadi karena sistem kekerabatan
bertumpu pada satu keturunan
dan adat atau nilai-nilai luhur.
Dalam perkembangannya, masyarakat demi mencapai kepentingan pribadi memanfaatkan jaringan kekerabatan yang dimiliki
dengan cara melanggar hukum
(KKN).
Dalam konteks
melawan
korupsi, sistem kekerabatan perlu dikembalikan kepada arti sebenarnya Pemimpin adat punya
peran strategis menyadarkan
mftSyarakat dengan memberi
pencerahan bahwa sesungguhnya nilai-nilai kekerabatan itu
luhur dan bertolak belakang dengan tindakan melanggar hukum, termasuk KKN.
Jaringan kekerabatan politik
juga menjadi alat kepentingan
ekonomi: dimanfaatkan untuk
kepentingan bisnis para politisi
yang memiliki kepentingan bisnis atau politisi yang merangkap
sebagai pebisnis. Akibatnya, konflik kepentingan antara dirinya
sebagai politisi dan sebagai pengusaha tidak terhindarkan. Ini juga bermuara kepada KKN.
Perlu pengawasan ekstra oleh
lembaga terkait dan masyarakat
terhadap politisi yang merangkap
sebagai pebisnis (meski dijalankan orang lain) atau kepada politisi yang punya jaringan bisnis.
Pengalaman menunjukkan bahwa umumnya masyarakat Indonesia belurn cakap bertindak profesional, belum cakap membedakan kepentingan dinas dan pribadi sehingga terjebak KKN.
SISWANTO
Peneliti P2P LIPI
Download