BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Pengertian Petani Mengenai definisi

advertisement
BAB II
KAJIAN TEORI
2.1 Pengertian Petani
Mengenai definisi formal dari istilah “petani” tampaknya tak bisa dibantah
lagi bahwa ada perbedaan tertentu tidak saja antara pengarang-pengarang
terkemuka, tetapi juga berbagai variasi yang penting dari seorang penulis dalam
jangka waktu yang relatif singkat. Dengan perkataan lain, situasinya demikian
membingungkan hingga pertama-tama kita tak akan lebih buruk kalaupun kita
salah dalam mencoba memberikan sumbangan, dan kedua, kekisruhan itu sendiri
merupakan pertanda tak langsung bahwa suatu yang drastis maupun fundamental
mungkin saja salah.
Hal tersebut diatas sesuai dengan yang dikatakan oleh Barrington Moore
mengatakan bahwa :
“Tak mungkinlah mendefinisikan perkataan petani dengan ketetapan
mutlak karena batasannya memang kabur pada ujung kenyataan sosial itu sendiri.
Suatu sejarah sub ordinasi kepada kelas atas tuan tanah diakui dan diperkuat
hukum kekhususan kultural yang tajam dan sampai tingkat tertentu kekhususan de
facto dalam pemilikan tanah merupakan ciri-ciri pokok yang membedakan
seorang petani”
Berdasarkan uraian tersebut diatas, dapat dikatakan bahwa petani menurut
beliau adalah semua orang yang berdiam dipedesaan yang mengelola usaha
pertanian serta yang membedakan dengan masyarakat adalah faktor pemilikan
tanah atau lahan yang disandangnya.
Akan tetapi lain halnya dengan yang dikemukakan oleh Eric R. Wolf.
mendefinisikan petani sebagai :
“Penduduk yang secara eksistensial terlibat dalam cocok tanam dan
membuat keputusan yang otonom tentang proses tanam. Kategori itu dengan
demikian mencakup penggarapan atau penerima bagi hasil maupun pemilik
penggarap selama mereka ini berada pada posisi pembuat keputusan yang relevan
tentang bagaimana pertumbuhan tanaman mereka.Namun itu tidak memasukkan
nelayan atau buruh tani tak bertanam”.1
Nampaknya definisi yang dikemukakan oleh Wolf menitikberatkan pada
kegiatan seseorang yang secara nyata bercocok tanam dan membuat keputusannya
sendiri dalam proses cocok tanam. Oleh karenanya beliau tidak memasukkan
buruh tani tak bertanah karena dianggap sebagai pekerja yang tidak berhak
membuat keputusan atas tanaman.
A.T. Mosher mengemukakan pendapat bahwa, energi matahari menimpa
permukaan bumi dimana-mana dengan atau tanpa manusia. Dimana saja terdapat
suhu yang yang tepat serta air yang cukup, maka tumbuhlah tumbuh-tumbuhan
dan hiduplah hewan, manusialah yang datang mengendalikan keadaan ini, ia
1
EricR.Wolf1984.http://www.infoorganik.com/index.php?option=com_content&view=arti
cle&id=86:petani-penggarap-hambat-aplikasi-pertanian-organik-pola-tanamsri&catid=34:padi&Itemid=62. Di akses minggu 07 april 2013
mengecap keguanaan dari hasil tanaman dan hewan, ia mengubah tanamantanaman dan hewan serta sifat tanah supaya lebih berguna baginya, dan manusia
yang melakukan semua ini disebut petani.2
Selanjutnya beliau mengemukakan bahwa dalam menjalankan usaha
taninya, setiap petani memegang dua peranan yakni petani sebagai juru tani
(cultivator) dan sekaligus sebagai seorang pengelola (manajer).Peranan petani
sebagai juru tani yaitu memelihara tanaman dan hewan guna mendapatkan hasilhasilnya yang bermanfaat.Sedangkan peranan petani sebagai pengelola (manajer)
yaitu apabila keterampilan bercocok tanam sebagai juru tanam pada umumnya
yakni keterampilan tangan, otot, dan mata, maka keterampilan sebagai pengelola
mencakup kegiatan pikiran didorong oleh kemauan.Tercakup didalamnya
terutama pengambilan keputusan atau penetapan pilihan dari alternatif-alternatif
yang ada.
A.T. Mosher juga membagi pertanian dalam dua golongan, yaitu pertanian
primitif dan pertanian modern. Pertanian primitif diartikan sebagai petani yang
bekerja mengikuti metode-metode yang berasal dari orang-orang tua dan tidak
menerima pemberitahuan (inovasi). Mereka yang mengharapkan bantuan alam
untuk mengelolah pertaniannya. Sedangkan pertanian modern diartikan sebagai
yang menguasai pertumbuhan tanaman dan aktif mencari metode-metode baru
serta dapat menerima pembaruan (inovasi) dalam bidang pertanian. Petani macam
inilah yang dapat berkembang dalam rangka menunjang ekonomi baik dibidang
pertanian. Sedangkan Koentrjaraningrat memberikan pendapat bahwa :
2
IbidA.T. Mosher
“Petani atau peasant itu, rakyat pedesaan, yang hidup dari pertanian
dengan teknologi lama, tetapi merasakan diri bagian bawah dari suatu kebudayaan
yang lebih besar, dengan suatu bagian atas yang dianggap lebih halus dan beradab
dalam masyarakat kota. Sistem ekonomi dalam masyarakat petani itu berdasarkan
pertanian (bercocok tanam, peternakan, perikanan) yang menghasilkan pangan
dengan teknologi yang sederhana dan dengan ketentuan-ketentuan produksi yang
tidak berspesialisasi”3.
Dari penjelasan di atas, beliau lebih menekankan pada cirri-ciri petani,
mentalitas budayanya dan sistem perekonomian yang menggunakan teknologi
sederhana.
James C. Scoot, membagi secara hirarkhis status yang begitu konvensional
di kalangan petani seperti, petani lahan kecil petani penyewa dan buruh tani.
Menurut beliau bahwa kategori-kategori itu tidak bersifat eksklusif, oleh
tambahan yang disewa. Begitu pula ada buruh yang memiliki lahan sendiri. Jadi
sepertinya ada tumpang tindih hal pendapatan, sebab kemungkinan, ada petani
lahan kecil yang lebih miskin dari buruh tani apabila ada pasaran yang lebih baik
dari tenaga kerja4.
Sementara Eric R. Wolf (1986), mengemukakan bahwa petani sebagai
orang desa yang bercocok tanam, artinya mereka bercocok tanam di daerah
pedesaan, tidak dalam ruangan tertutup di tengah kota. Petani tidak melakukan
usaha tani dalam arti ekonomi, ia mengelolah sebuah rumah tangga, bukan sebuah
3
Ibid Koentrjaraningrat(1987).
IbidJames C. Scoot“Moral Ekonomi Petani” (1981)
4
perusahaan bisnis, namun demikian dikatakan pula bahwa petani merupakan
bagian dari masyarakat yang lebih luas dan besar.
Fadholi
Hermanto,
memberikan
pengertian
tentang
petani
yang
mengatakan bahwa :
“Petani adalah setiap orang yang melakukan usaha untuk memenuhi
sebagian atau seluruh kebutuhan kehidupannya dibidang pertanian dalam arti luas
yang meliputi usaha tani pertanian, peternakan, perikanan (termasuk penangkapan
ikan), dan mengutamakan hasil laut”5.
Lebih jauh mengungkapkan bahwa petani mempunyai banyak sebutan,
anggota fungsi, kedudukan dan peranannya yaitu antara lain sebagai berikut :
a. Petani sebagai pribadi
b. Petani sebagai kepala keluarga / anggota keluarga
c. Petani sebagai guru
d. Petani sebagai pengelola usaha tani
e. Petani sebagai warga sosial kelompok
f. Petani sebagai warga Negara
g. Dan lain-lain
Fungsi, kedudukan dan peranan di atas harus selalu diemban oleh petani
dalam kehidupannya sebagai petani yang baik.
5
Ibid Fadholi Hermanto(1989)
Dalam kamus Sosiologi karangan Soerjono Soekanto dikatakan bahwa
yang dimaksud dengan petani (peasant) adalah seseorang yang pekerjaan
utamanya bertani untuk konsumsi diri sendiri atau keluarganya.
Sehubungan dengan penulisan skripsi ini, dapat dikatakan bahwa yang
dimaksud dengan petani di sini orang, baik yang mempunyai maupun yang tidak
mempunyai tanah sendiri yang mata pencaharian pokoknya adalah mengusahakan
tanah untuk pertanian.
Tanah sawah adalah tanah pertanian yang berpetak-petak dan dibatasi oleh
pematang (galengan), saluran untuk menahan/menyalurkan air dan biasanya
ditanami padi sawah, tanpa memandang dari mana diperolehnya ataupun status
dari tanah tersebut. Yang termasuk pada lahan sawah diantaranya adalah :
1. Sawah berpengairan teknis
Sawah yang memperoleh pengairan dimana saluran pemberi terpisah
dari saluran pembuang agar penyediaan dan pembagian irigasi dapat
sepenuhnya diatur dan diukur dengan mudah. Jaringan seperti ini biasanya
terdiri dari saluran induk, sekunder dan tersier. Saluran induk, sekunder
serta bangunannya dibangun, dikuasai dan dipelihara oleh pemerintah.
2. Sawah Berpengairan Setengah Teknis
Sawah berpengairan teknis akan tetapi pemerintah hanya menguasai
bangunan penyadap untuk dapat mengatur dan mengukur pemasukan air,
sedangkan jaringan selanjutnya tidak diukur dan dikuasai pemerintah.
3. Sawah Berpengairan sederhana
Sawah yang memperoleh pengairan dimana cara pembagian dan
pembuangan airnya belum teratur, walaupun pemerintah sudah ikut
membangun sebagian dari jaringan tersebut (misalnya biaya membuat
bendungannya).
2.2 Perubahan Sosial
Setiap masyarakat manusia selama hidup pasti mengalami perubahanperubahan. Perubahan dapat berupa yang tidak menarik atau dalam arti kurang
mencolok. Adapula perubahan-perubahan yang pengaruhnya terbatas maupun
yang luas. Serta adapula perubahan-perubahan yang lambat sekali, akan tetapi ada
juga yang berjalan dengan cepat6.
Menurut Max Weber, bahwa tindakan sosial atau perubahan sosial tidak
bisa dipisahkan dari proses berpikir rasional dan tujuan yang akan dicapai oleh
pelaku. Tindakan sosial dapat dipisahkan menjadi empat macam tindakan menurut
motifnya:
1. Tindakan untuk mencapai suatu tujuan tertentu.
6
Ibid soekarno, 1999
2. Tindakan dasar atas adanya satu nilai tertentu.
3. Tindakan emosional.
4. Tindakan yang di dasarkan pada adat kebiasaan (tradisi).
Osburn, berusaha memberikan pengertian tertentu, walau tidak memberi
definisi tantang perubahn-perubahan sosial. Dia mengemukakan ruang lingkup
perubahan-perubahan sosial meliputi unsur-unsur kebudayaan baik material
maupun yang immaterial, yang ditekankan ialah adalah pengaruh besar unsurunsur material terhadap immaterial. Selanjutnya Soemardjan mengemukakan
perubahan sosial rumusannya adalah segala perubahan-perubahan pada lembagalembaga kemasyarakatan didalam suatu masyarakat, yang mempengaruhi sistem
sosialnya termasuk didalamnya nilai-nilai, sikap dan pola perilaku diantara
kelompok-kelompok dalam masyarakat. Tekanan dalam definisi tersebut terletak
pada lembaga-lembaga kemasyarakatan sebagai himpunan pokok manusia,
perubahan-perubahan mana kemudian mempengaruhi struktur masyarakat
lainnya.
Beberapa ahli melihat perubahan sosial dengan lebih menekankan pada
penyebab perubahan sosial itu sendiri, dimana perubahan kondisi geografis,
kebudayaan, komposisi penduduk, adanya difusi ataupun penemuan-penemuan
baru dalam masyarakat sebagai suatu penyebab dari perubahan sosial ialah :
a. Keadaan geografis tempat pengelommpokan sosial.
b. Keadaan bio fisik kelompok.
c. Kebudayaan.
d. Sifat anatomi manusia.
Menurut
Roucek
dan
Warren,
berpandangan
bahwa
“barangkali
keluargalah yang penting dalam aspek ini. Kelompok yang lain menyerupai
keluarga dalam hal kenal-mengenal, hal mana merupakan dari primary group”.
Selanjutnya Cooley, mengemukakan bahwa, kelompok primer adalah kelompokkelompok yang ditandai ciri-ciri kenal mengenal antara anggota-anggota serta
kerja sama erat dengan bersifat pribadi7.
Beberapa sosiolog berpendapat bahwa ada kondisi-kondisi sosial primer
yang menyebabkan terjadinya perubahan misalnya kondisi-kondisi ekonomis,
teknologis, geografis, atau biologis menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan
pada aspek-aspek sosial lainnya. Sesuai yang dikemukakan oleh Veblen,
Durkheim, Marx tentang teori ekonomis. Teori ini menjelaskan bahwa
“perkembangan sosial-kultural terutama tergantung dari syarat-syarat sosialekonomi dan ekonomi teknis”.
Lebih lanjut Astrid S. Susanto membagi kedalam tiga jenis perubahan
sosial yaitu: a. Sosial Evolution (evolusi sosial), b. Sosial Mobility (mobilitas
sosial), c. Sosial Revolution (revolusi sosial). Ketiga bentuk perubahan sosial
diatas dapat dijabarkan satu persatu misalnya evolusi sosial, ini merupakan suatu
bentuk perubahan sosial dimana perubahan yang sifatnya lambat, karena
perubahan yang terjadi dengan sendirinya dan tidak didahului dengan adanya
rencana. Kemudian perubahan dalam bentuk mobilitas sosial, dimana suatu
7
IbidRoucek dan Warren (dalam Taneko, 1984)
perubahan yang terjadi karena adanya keinginan manusia akan hidup yang lebih
baik dan layak. Bentuk perubahan ini bersifat adanya gerakan sosial karena
munculnya konsep-konsep dan ide-ide baru.
2.3 Sistem Kekerabatan
Kekerabatan adalah inti utama dari studi dalam disiplin ilmu antropologi,
demikian yang pernah dikatakan oleh Fox (dalam Kuper, 2000:532) yang
menyatakan bahwa “Kekerabatan adalah milik antropologi…”. Pada awalnya
penelitian mengenai kekerabatan kurang diminati karena tidak adanya teori
tentang kekerabatan yang utuh dan umum. Para ahli antropologi saat itu masih
memperdebatkan definisi yang tepat tentang kekerabatan. Sebagian ilmuwan
antropologi menyatakan bahwa pengetahuan mengenai kekerabatan (kinship)
hanya ilusi semata seakan-akan menyatakan bahwa sistem kekerabatan di semua
masyarakat tertata dalam prinsip-prinsip yang sama.
Landasan bagi sebagian besar tipologinya adalah terminologi kekerabatan,
yaitu klasifikasi kerabat (kin) menurut penduduk asli yang bersangkutan. Suatu
tipologi mengenai terminologi kekerabatan yang disepakati secara luas muncul
pada awal abad keduapuluh. Tipe-tipe ini semuanya diberi sebutan berdasarkan
masyarakat pribumi Amerika Utara, tapi disertai asumsi bahwa semua terminologi
kekerabatan di dunia sesuai dengan klasifikasi ini. Dengan menggunakan
perbandingan-perbandingan statistik mengenai lintas budaya, para peneliti
berusaha mengaitkan berbagai tipe terminologi kekerabatan ini dengan bentukbentuk khusus dari aturan-aturan keturunan (descent) atau perkawinan. Dua
kerangka teoritik yang paling besar muncul, yakni yang pertama menekankan
keturunan dan kelompok-kelompok keturunan ini dalam klasifikasi mengenai
sistem kekerabatan, yang kedua memberi arti penting pada tempat berlangsungnya
perkawinan.
Pada abad ke-19 kebanyakan penulis evolusionis menggambarkan bahwa
dalam komunitas purba, unit dan ikatan domestik didasarkan pada kelompok
keturunan unilineal, keturunan ditelusuri hanya pada garis laki-laki (patrilineal)
atau hanya garis perempuan (matrilineal). Keluarga telah terbentuk pada tahap
akhir sejarah kemanusiaan. Pada awal abad ke-20 kesimpulan ini ditolak, dan
disepakati bahwa keluarga merupakan atribut universal masyarakat dan subsistem
sosial.
Ahli antropologi yang juga membahas tentang sistem kekerabatan adalah
Bronislaw Malinowski dan Redcliffe-Brown dengan „teori keturunan‟. Teori ini
mengklaim bahwa kelompok-kelompok korporat kerabat besar yang direkrut
melalui keturunan unilineal merupakan institusi dasar publik dalam sebagian
besar masyarakat primitif. Teori ini telah mengidentifikasi suatu tipe sistem sosial
yang berkembang luas, berlandaskan pada kelompok keturunan unilineal yang
menunjukkan unsur-unsur struktural yang sama disetiap tempat.
Malinowski (dalam Kuper, 2000:533) mengemukakan bahwa keluarga
adalah institusi domestik, bergantung pada afeksi dan bertujuan membesarkan
anak. Koorporasi keturunan adalah institusi publik dan politik yang mempunyai
suatu peran dalam urusan komunitas dan pengaturan hak-hak kepemilikan
(property rights). Malinowski juga menyatakan bahwa keluarga merupakan suatu
pengertian yang mendahului garis silsilah (lineage), dan bahwa kelompok
keturunan dibangun di atas sentimen-sentimen solidaritas yang tercipta dalam
keluarga domestik. Lebih lanjut Redcliffe-Brown (dalam Kuper, 2000:533)
berpandangan bahwa sistem kekerabatan yang lebih luas dibangun di atas pondasi
keluarga. Fungsi keturunan adalah untuk meregulasi transmisi kepemilikan dan
hak masyarakat dari generasi ke generasi.
Berbeda dengan teori keturunan yang dikembangkan oleh Bronislaw
Malinowski dan Redcliffe-Brown, ahli antropologi lain, Levi Strauss juga banyak
mempelajari masalah struktur sosial dan sistem kekerabatan. Levi Strauss yang
juga ahli filsafat yang berpikir tentang masalah azas-azas cara berpikir simbolik
dari manusia sebagai mahluk yang berinteraksi dalam masyarakat. Teori yang
dikembangkan oleh Levi Strauss adalah „teori aliansi‟ yang diperkenalkannya
tahun 1949 yang oleh sebagian ahli antropologi dianggap sebagai karya tunggal
paling berpengaruh mengenai kekerabatan, yang berjudul: Les Structures
Elementaires de la Parente (1949).
Konsepsinya bahwa pranata perkawinan pada dasarnya merupakan tukar
menukar antara kelompok adalah akibat dari konsepsinya mengenai asal-mula
pantangan inceste, yaitu pantangan nikah antara saudara sekandung, yang dalam
alam mahluk merupakan gejala yang memang hanya ada pada mahluk manusia.
Levi Strauss lebih lanjut mengemukakan bahwa konsepsi ini muncul berdasarkan
pendirian kuno dalam ilmu antropologi yang mengatakan bahwa dalam proses
evolusi sosial timbul suatu saat dimana ada orang dari suatu kelompok manusia
mulai mencari wanita untuk dijadikan istrinya dari kelompok lain. Pada awalnya
para wanita dari kelompok lain keberatan untuk kawin dengan kelompok lain,
tetapi pada suatu saat timbul gagasan pada satu kelompok itu untuk memberikan
saja wanita kepada kelompok lain dengan syarat bahwa mereka juga memperoleh
wanita dari kelompok lain lagi sebagai gantinya. Alasannya ialah bahwa dengan
tukar menukar wanita itu kedua kelompok dapat bersekutu ke dalam lapangan
kebutuhan yang sama, dan dengan demikian menjadi kelompok yang lebih besar
dan lebih kuat apabila menghadapi kelompok-kelompok lain. Demikian pula
hanya dengan kelompok-kelompok lain, mereka melakukan hal yang sama agar
dapat membentuk persekutuan kekerabatan besar (dalam Koentjaraningrat,
1987:218).
Teori umum mengenai sistem kekerabatan berdasarkan konsep tukar
menukar wanita itu dimulai dengan membedakan adanya dua golongan sistem
kekerabatan dengan dua kategori struktur, yaitu: (1) structures elementaires, atau
struktur-struktur elementer dengan aturan-aturan yang tegas, yang mengakibatkan
bahwa para warga kelompok kekerabatan itu mengetahui dengan gadis atau
wanita mana, dan dari kelompok mana, mereka dapat menikah; dan (2) structures
complexes atau struktur-struktur kompleks, dengan aturan-aturan yang hanya
membatasi kelompok kekerabatan sendiri, tetapi tidak mempunyai aturan-aturan
yang tegas yang menentukan dengan gadis atau wanita mana di luar kelompok
sendiri itu seseorang boleh menikah (dalam Koentjaraningrat, 1987: 220)
Struktur-struktur elementer terjadi sebagai akibat dari berbagai macam
peraturan kawin antara saudara sepupu silang (cousins croises), sedang strukturstruktur kompleks terjadi sebagai akibat dari usaha pria mendapatkan wanita
untuk calon istrinya berdasarkan perjanjian mas kawin, pemilihan sendiri, dan
konsiderasi ekonomi lainnya, atau berdasarkan alasan sosial politik. Namun
pembahasan kekerabatan dalam bukunya Levi-Strauss hanya mengkhusus kepada
sistem-sistem kekerabatan dengan struktur elementer saja.
Dalam usahanya menganalisis segala macam sistem kekerabatan, seperti
juga Redcliffe-Brown, maka Levi-Strauss (1963) berpangkal pada keluarga inti. Ia
memberikan gambaran tentang azas hubungan kekerabatan yang digambarkannya
dalam tiga macam hubungan kekerabatan yang berpangkal dari keluarga inti
sehingga terciptanya kelompok kekerabatan. Ketiga macam hubungan dalam
rangka keluarga inti yang menciptakan kelompok kekerabatan itu adalah: (1)
hubungan antara seorang individu E dengan saudara-saudara sekandungnya yang
berupa hubungan darah; (2) hubungan antara E dengan istrinya yang berupa
hubungan karena kawin, yang menghubungkan kelompok saudara sekandungnya
sendiri dengan saudara sekandung istrinya dan dalam gambar di bawah ini
digambarkan sebagai kelompok A dan kelompok B; (3) hubungan yang lain
adalah hubungan antara E dan istrinya dengan anak-anak mereka yang berupa
hubungan keturunan dan yang dalam gambar di bawah ini digambarkan sebagai
kelompok C (dalam Koentjaraningrat, 1987:214
+
A
E
-
-
B
A
+
+
E
B
C
C
Gambar : Hipotesis Levi-Strauss Tentang Azas Hubungan Kekerabatan
(Korelasi Y dan X)
Download