KOMPOSISI JENIS MIKORIZA DARI PERAKARAN TEMBAKAU (Nicotiana tabaccum) Di DESA BAJUR DAN ORAI PAMEKASAN MADURA Aisiyah Yulianitha*, Tutik Nurhidayati1 , Indah Trisnawati D.T1 Jurusan Biologi, Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya Gedung H Kampus ITS Sukolilo, Surabaya 60111, Indonesia Abstrak Mikoriza merupakan simbiosis mutualistik antara jamur dengan akar tanaman. Kondisi lingkungan yang bervariasi di Indonesia dapat memungkinkan beranekaragamnya komposisi jenis mikoriza pada suatu lahan. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui komposisi jenis mikoriza dari perakaran tembakau (Nicotiana tabaccum) di Desa Bajur dan Orai, Pamekasan Madura. Spora mikoriza diisolasi dari rizosfer tembakau (Nicotiana tabaccum) di dua desa tersebut dengan menggunakan metode Wet and Decanting Method dilanjutkan dengan teknik sentrifugasi sukrosa. Hasil penelitian menunjukkan genus mikoriza arbuskula yang ditemukan tergolong ke dalam tiga genus yaitu Glomus, Gigaspora, dan Acaulospora. Jumlah spora mikoriza arbuskula tertinggi diperoleh di desa Orai sebesar 789 spora/500 gr dengan 19 tipe genus Glomus sp dan 2 tipe genus Gigaspora sp. sedangkan di desa Bajur sebesar 300 spora/500 gr dengan 4 tipe genus Glomus sp dan 1 tipe genus Acaulospora sp. Kata Kunci: Mikoriza arbuskula, Tembakau, Glomus, Gigaspora, Acaulospora. Abstract Mycorrhiza is a mutualistic symbiosis between fungi with plant roots. The environmental conditions in Indonesia may effect of variety in the species composition of mycorrhizal in soil. Therefore, this study aims to determine the species composition of the mycorrhizal roots of tobacco (Nicotiana tabaccum) in Bajur and Orai Pamekasan Madura. Mycorrhizal spores were isolated from the rhizosphere of tobacco (N. tabaccum) using Wet Sieving and Decanting Method and followed by sucrose centrifugation techniques. The results showed arbuscula mycorrhizal genus were found in three genera belonging to the Glomus, Gigaspora, and Acaulospora. The highest number of arbuscula mycorrhizal spores in Orai is 789 spore/500 gr with 19 type of genus Glomus sp. and 2 type of genus Gigaspora sp. while in Bajur is 300 spore/500 gr with 4 type of genus Glomus sp. and 1 type of genus Acaulospora sp. Key words: Arbuscula mycorrhizae, Tobacco, Glomus, Gigaspora, Acaulospora. *Coresponding Author Phone: 085755749371 1 Alamat Sekarang : Jurusan Biologi FMIPA ITS 1. Pendahuluan Madura merupakan salah satu daerah produsen tembakau lokal aromatis di Indonesia (Balittas, 2009). Salah satu kabupaten penghasil tembakau di Madura ialah Pamekasan. Luas wilayah daratan di Pamekasan sebesar 792,30 km2 dengan kondisi lahan yang kering sehingga lahan pertanian di Pamekasan cocok untuk ditanami tembakau dengan luas areal perkebunan tembakau mencapai 29.050 Ha. Tembakau di daerah Pamekasan Madura merupakan salah satu komoditas perkebunan unggulan dengan produksi 16.384 ton per tahun (Dishutbun, 2008). Pada umumnya tembakau di Madura ditanam dan tumbuh dengan baik di lahan kering pada ketinggian antara 50-350 m dpl (Balittas, 2009). Perbedaan ketinggian tempat di atas permukaan air laut menyebabkan komposisi jenis mikroorganisme dalam tanah cukup beragam, diantaranya yaitu mikoriza (Elfiati dan Delvian, 2007). Mikoriza merupakan simbiosis antara jamur dengan akar tanaman. Jumlah mikoriza sangat melimpah di alam dan ditemukan hampir 80% dapat bersimbiosis dengan tumbuhan angiospermae (Harley&Smith 1983 dalam Charoenpakdee et al., 2010) serta berperan penting dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman agrikultur, holtikultura, dan tanaman hutan (Wubet et al., 2003). Secara umum mikoriza tergolong dalam dua tipe yaitu ektomikoriza dan endomikoriza atau mikoriza arbuskula (Dewi, 2007). Mikoriza arbuskula banyak dijumpai pada sebagian besar tanaman budidaya dan berperan penting dalam serapan unsur hara (Handayanto dan Hairiah, 1997). Beberapa penelitian menunjukan bahwa diversitas mikoriza arbuskula banyak dijumpai pada daerah rhizosphere pada berbagai macam ekosistem seperti lahan pertanian, lahan hutan konservasi, lahan salin dan lahan bekas pertambangan. Salah satu tanaman budidaya pertanian yang dapat bersimbiosis dengan mikoriza arbuskular ialah tanaman tembakau (Nicotiana tabaccum) (Liu and Wang 2003). Berdasarkan penelitian Liu and Wang (2003) yang dilakukan di Zhaozhuang dan Shandong Province China, mikoriza indigenous yang ditemukan pada tanaman tembakau ialah Acaulospora, Glomus, Gigaspora dan Scutellospora. Tembakau di kabupaten Pamekasan Madura ditanam di tiga jenis lahan yakni lahan sawah, lahan tegal dan lahan gunung (Murdiyati et al., 2009). Perbedaan lahan tersebut diduga juga akan mempengaruhi jumlah dan perkembangan mikoriza, karena adanya perbedaan faktor biotik dan abiotik pada tiap lahan tersebut. Kondisi lingkungan yang bervariasi di Indonesia seperti ketinggian tempat serta kondisi lahan, dapat memungkinkan beranekaragamnya komposisi mikoriza pada suatu lahan tersebut. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian ini untuk mengetahui komposisi jenis mikoriza dari perakaran tembakau (Nicotiana tabaccum) di desa Bajur dan Orai di Pamekasan Madura, dengan cara isolasi dan identifikasi. 2. Metodologi Penelitian dilakukan pada bulan Agustus hingga Oktober 2011 di Laboratorium Botani Biologi ITS dan Laboratorium Mikologi Jurusan HPT, Universitas Brawijaya Malang. Pengambilan sampel dilakukan di lahan gunung di Desa Orai dan lahan tegal di Desa Bajur, Pamekasan Madura. Pada lahan Tegal di Desa Bajur terletak pada 7000’25”4 S, 113033’05”4 E. Sedangkan pada lahan Gunung di Desa Orai terletak pada 7003’37”00 S, 113031’56”09 E. Sampel tanah diambil pada daerah rhizosphere tembakau pada kedalaman ± 0-20 cm (lapisan top soil). Sedangkan untuk sampel akar diambil pada saat tanaman memasuku fase vegetative akhir hingga generative awal (Javaid and Tariq, 2008). Metode pengambilan sampel dilakukan secara acak (Random sampling) (Nurhidayati et al, 2010). Dilakukan analisa fisik dan kimia tanah pada lokasi sampel. Isolasi spora mikoriza dilakukan menggunakan metode Wet sieving and Decanting (Brundreet et al., 1996). Sampel tanah yang diperoleh dtimbang ± 100 gr dan dibasahi dengan air ± 500 ml dan dicampur rata lalu didiamkan selama 10 menit sampai partikelpartikel mengendap. Selanjutnya dituang kedalam sarigan bertingkat dengan pori berukuran 300, 180, 78, 63 dan 38 µm. Hasil penyaringan yang terakhir dipindahkan kedalam tabung sentrifuge dan ditambahkan larutan glukosa 60% kemudian disentrifugasi selama 5 menit pada 2000 rpm. Supernatan yang terbentuk dituang pada saringan terakhir (38 µm) dan dibilas dengan air untuk menghilangkan sukrosa, kemudian spora hasil penyaringan yang terakhir dipindahkan ke dalam cawan petri kemudian diamati dibawah mikroskop stereo pada perbesaran 400x (Charoenpakdee et al., 2010) dan dilakukan proses identifikasi manual dengan menggunakan website INVAM (2006) ([http://invam.caf.wvu.edu/Myc_Info/Taxonomy /species.html]). Identifikasi dilakukan dengan menggunakan mikroskop kompon dengan perbesaran 400x (Charoenpakdee et al., 2010). Identifikasi mikoriza dilakukan berdasarkan karakter morfologi spora mikoriza meliputi bentuk spora, serta warna spora (Brundrett et al. 1994 dalam Yovita , 2008). Sedangkan untuk sampel akar tanaman, diamati infeksi mikoriza dalam akar tembakau (Nicotiana tabccum) melalui proses pewarnaan akar dengan menggunakan larutan tryphan blue. Selanjutnya perhitungan infeksi akar dihitung berdasarkan rumus : % Infeksi akar = JAT/JSP x 100% Keterangan : JAT = Jumlah Akar Terinfeksi JSP = Jumlah Seluruh Potongan Akar yang Diamati (Schenck, 1982 dalam Nurhidayati et al., 2010). 3. Hasil dan Pembahasan Hasil Analisa Tanah Kondisi lingkungan sangat mempengaruhi keberadaan spora mikoriza arbuskula didalam tanah, seperti kondisi fisik dan kimia tanah. Berikut hasil analisa kandungan tanah pada kedua lokasi pengambilan sampel yang tampak pada tabel 4.1 dibawah ini. COrg anik (%) 1,04 Desa Orai 0,61 N P total (%) (%) K (%) 0,12 9,01 0,43 0,09 12,05 0,24 Hasil Identifikasi Spora Mikoriza Spora mikoriza arbuskula yang berhasil diisolasi dan diidentifikasi dari perakaran tembakau (Nicotiana tabaccum) di desa Bajur dan Orai Pamekasan Madura tergolong kedalam tiga genus yaitu Glomus, Gigaspora, dan Acaulospora. Hasil identifikasi dan jumlah spora mikoriza (jumlah spora per 100 gr tanah ) di kedua lokasi pengambilan sampel disajikan pada tabel 2 berikut ini Tabel 2. Hasil Identifikasi dan Jumlah Spora Mikoriza Tabel 1. Hasil Analisa Kandungan Tanah Loka si Samp el Desa Bajur kimia tanah (LPT, 1983) nilai hara P di desa Orai tergolong sedang yaitu 11.4 – 19.6 sedangkan di desa Bajur tergolong rendah yaitu 4.4 – 11.0. pH Tekstur 6,9 6,6 Lempung liat berpasir Liat berdebu Tekstur tanah pada desa Bajur yaitu lempung liat berpasir sedangkan tekstur tanah pada desa Orai yaitu liat berdebu. Hal ini sesuai dengan literatur yang menyatakan bahwa pada umumnya tekstur tanah di kabupaten Pamekasan berupa liat dan liat berpasir (Anonim2, 2008). Sifat fisik tanah lainnya yang diukur adalah pH tanah. pH tanah pada kedua lokasi pengambilan sampel adalah 6,6 dan 6,9. Berdasarkan Majid (2008) kisaran pH netral sebesar 6,6 - 7,5. Hal tersebut menunjukkan bahwa pH pada kedua lokasi tergolong dalam pH netral. Kandungan C-organik pada desa bajur lebih tinggi dibandingkan desa Orai yaitu sebesar 1,04% dan 0,61%. Begitu juga dengan kandungan hara N dan K pada desa Bajur yang memiliki nilai lebih tinggi dibandingkan desa Orai yaitu sebesar 0,43% dan 0,24%. Berdasarkan kriteria penilaian sifat kimia tanah (LPT, 1983) nilai hara C-organik dan N di desa Orai tergolong kategori sangat rendah yaitu < 1.00 dan < 0.10 sedangkan di desa Bajur tergolong kategori rendah yaitu 1.00 - 2.00 dan 0.10 – 0.20. Berbeda dengan kandungan hara N dan K, kandungan hara P pada desa Bajur lebih rendah daripada desa Orai yaitu sebesar 9,01% dan 12,05%. Berdasarkan kriteria penilaian sifat No. Jenis Mikoriza 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. Glomus sp.1 Glomus sp.2 Glomus sp.3 Glomus sp.4 Glomus sp.5 Glomus sp.6 Glomus sp.7 Glomus sp.8 Glomus sp.9 Glomus sp.10 Glomus sp.11 Glomus sp.12 Glomus sp.13 Glomus sp.14 Glomus sp.15 Glomus sp.16 Glomus sp.17 Glomus sp.18 Glomus sp.19 Glomus sp.20 Glomus sp.21 Glomus sp.22 Glomus sp.23 Gigaspora sp.1 Gigaspora sp.2 Acaulospora sp. ∑ Individu ∑ Spesies ∑ Famili Lokasi Desa Desa Bajur Orai 45 0 78 0 75 0 65 0 0 31 0 25 0 55 0 15 0 92 0 72 0 56 0 25 0 50 0 55 0 30 0 13 0 30 0 28 0 15 0 50 0 37 0 5 0 10 0 21 0 25 37 0 300 789 5 21 2 2 Jumlah Individu 45 78 75 65 31 25 55 15 92 72 56 25 50 55 30 13 30 28 15 50 37 5 10 21 25 37 1089 26 4 Desa Bajur 789 625 300 25 21 5 2 2 1 ∑ ∑ ∑ Famili Individu Spesies Gambar 1. Grafik Perbandingan Jumlah Spora Di Desa Bajur dan Desa Orai Berdasarkan Tabel dan garfik 4.2, terlihat bahwa pada desa Bajur dan Orai samasama ditemukan 2 familia. Familia yang ditemukan pada desa Bajur adalah Glomaceae dan Acaulosporaceae sedangkan pada desa Orai adalah Glomaceae dan Gigasporaceae. Familia Glomaceae yang ditemukan pada desa Bajur terdiri atas 4 jenis Glomus sp., sedangkan familia Acaulosporaceae terdiri atas 1 jenis Acaulospora sp. Pada desa Orai, familia Glomaceae terdiri atas 19 jenis Glomus sp. dan familia Gigasporaceae terdiri atas 2 jenis Gigaspora sp. Terkait dengan jumlah spesies yang ditemukan, jumlah spesies pada desa Orai lebih tinggi daripada desa Bajur. Dimana spesies yang paling banyak ditemukan pada kedua lokasi tersebut berasal dari genus Glomus, sedangkan spesies Acaulospora sp dan Gigaspora sp hanya ditemukan 1 spesies saja pada tiap lokasi. Glomus sp. merupakan jenis mikoriza yang mempunyai penyebaran paling dominan ditemukan karena 23 dari 26 spesies yang ditemukan adalah jenis Glomus sp. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan simbiosis dan adaptasi Glomus dengan jenis tanaman budidaya yang lebih luas jika dibandingkan dengan genus Gigaspora dan Acaulospora. Tingginya frekuensi kehadiran spora mikoriza jenis Glomus sp ini berhubungan dengan jenis Glomus yang sangat banyak ditemukan dibandingkan jenis lain. Seperti yang dilaporkan oleh (INVAM, 2008 dalam Hartoyo, 2011) bahwa dari 172 spesies yang sudah teridentifikasi diketahui Glomus adalah jenis yang paling dominan (52,3 %), diikuti Acaulospora (20,9%), Scutellospora (16,9%), Gigaspora (4,7%), Entrophospora (2,3%), Archaeospora (1,7%), dan Paraglomus (1,2%). Selain penyebarannya yang luas, kehadiran Glomus sp yang mendominasi tersebut juga berhubungan dengan kondisi tekstur tanah pada kedua lokasi, dimana tekstur pada kedua lokasi tersebut yaitu lempung liat berpasir dan liat berdebu. Tekstur tanah liat ini merupakan kondisi yang sesuai dengan perkembangan spora Glomus. Seperti yang dikemukakan oleh Baon (1998) dalam Hapsoh (2008) yang menyebutkan bahwa tanah yang didominasi oleh fraksi lempung (clay) merupakan kondisi yang sesuai untuk perkembangan spora Glomus dan pada tanah berpasir genus Gigaspora ditemukan dalam jumlah tinggi. Selain jumlah spesies, jumlah individu yang ditemukan pada desa Orai juga lebih tinggi daripada desa Bajur yaitu 789 dan 300 spora. Tingginya jumlah individu yang ditemukan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain kandungan C-organik, N, P, dan K. Dari hasil pengukuran kandungan C-organik, N dan K pada desa Orai lebih rendah bila dibandingkan desa Bajur. Ketersediaan hara yang rendah akan mengoptimalkan mekanisme kerja mikoriza dengan memperluas daerah penyerapan nutrien, sebaliknya bila ketersediaan hara tinggi dapat menurunkan jumlah spora. Hayman (1975) dalam Astuti (2000) mengatakan bahwa kandungan N tanah yang tinggi dapat menurunkan jumlah spora, hal ini disebabkan kandungan hara yang tinggi akan menyebabkan mekanisme kerja mikoriza jadi menurun sebaliknya kandungan hara yang rendah akan mengoptimalkan kerja mikoriza. Seperti yang dikemukakan oleh Smith and Read (1997) dalam Yassir (2006) bahwa ketersediaan hara yang rendah mengakibatkan meningkatnya kolonisasi mikoriza pada akar tanaman dan produksi spora. Berbeda dengan kandungan hara N dan K, kandungan hara P pada desa Bajur lebih tinggi daripada desa Orai. Fosfor di dalam tanah terdapat dalam bentuk orthofosfat, P organik dan P anorganik yang berikatan dengan Fe, Al, Ca, dan mineral tanah lainnya. Sejumlah 2-5% fosfor terdapat dalam bentuk orthofosfat dan sebagian besar unsur hara fosfor dalam bentuk tidak tersedia unuk tanaman (Tisdale et al., 1990). Dalam kondisi fosfor yang tidak tersedia, kolonisasi mikoriza lebih cepat terbentuk. Hal ini disebabkan fungsi utama infeksi mikoriza adalah penyerapan fosfor dalam bentuk tidak tersedia atau fosfor yang terserap partikel lempung (Moose, 1997). Apabila fosfor dalam bentuk tidak tersedia, hifa mikoriza akan mengeluarkan enzim fosfatase untuk melepaskan fosfor menjadi bentuk tersedia sehingga fosfor dapat diserap oleh tanaman. Terkait dengan kandungan fosfor tersebut, aktifitas mikoriza lebih optimum pada tanah yang kandungan haranya tidak tersedia dibandingkan dengan kandungan hara yang cukup tersedia bagi tanaman. Karakteristik Glomus sp. Pada genus Glomus proses perkembangan spora adalah dari ujung hifa yang membesar sampai mencapai ukuran maksimal dan terbentuk spora. Spora Glomus hanya memiliki satu jenis dinding yaitu dinding spora. Dinding spora berwarna merah sampai cokelat pada media PVLG dan akan berwarna lebih pekat di preaksi Melzer. Permukaan dinding spora halus tanpa perhiasan. Dinding spora berjumlah satu, seluruh lapisan yang ada pada dinding spora berasal dari dinding hifa pembawa. Glomus tidak membentuk dinding perkecambahan fleksibel. Dinding spora berakhir dengan pori pada daerah melekatnya hifa pembawa. (INVAM, 2008 dalam Yovita, 2008). Jenis spora Glomus yang ditemukan di desa Bajur mempunyai bentuk spora yang relatif sama (bulat) dan permukaan spora yang relatif halus. Sedangkan karakter yang membedakan antar spesies adalah warna spora, dinding dan ketebalan dinding spora. Pada keempat jenis Glomus yang diamati terdapat kesamaan pada warna spora yakni kuning kecoklatan hingga kuning bening, Namun yang membedakannya yakni ketebalan dari dinding kedua spora tersebut serta terdapat ornamen pada Glomus sp.3. Sedangkan jenis spora yang ditemukan di Desa Orai mempunyai perbedaan yang lebih tegas. Karakter yang hampir sama ialah bentuk spora yang relatif sama (bulat) antara Glomus sp.5 sampai Glomus sp.23, sedangkan untuk Glomus sp.6, Glomus sp.10, Glomus sp.14, Glomus sp.17, dan Glomus sp.19 ditemukan hyphal attachments yang langsung menyatu dengan dinding spora, dengan warna yang sama dengan warna dinding spora. Selain pengamatan spora mikoriza pada tanah, juga dilakukan pengamatan infeksi mikoriza pada akar tanaman tembakau. Pada hasil pengamatan infeksi akar, hanya ditemukan struktur hifa dan vesikula saja sedangkan struktur arbuskula tidak ditemukan. Hal ini dikarenakan siklus hidup dari arbuskula relatif pendek yakni berkisar 4-6 hari dan setelah itu arbuskula akan mengalami degenerasi kemudian dicerna oleh sel tanaman inang (Srivastava et al., 1996 dalam Hapsoh, 2008). Hasil pengamatan infeksi mikoriza pada akar menunjukkan adanya struktur vesikula dan hifa. seperti yang terlihat pada gambar 4.3.1 dibawah ini yang menunjukkan spora Glomus sp. dan infeksinya pada akar. a b c Gambar 2. (a) Spora Glomus sp. (b) Vesikula dan (c) Hifa Karakteristik Gigaspora sp. Genus Gigaspora hanya ditemukan di desa Orai yaitu sebanyak 2 tipe spora, Berdasarkan karakteristik morfologinya, genus Gigaspora sp. yang ditemukan di Desa Orai sebanyak 2 jenis spesies. Spora Gigaspora sp.1 berbentuk bulat, berwarna kuning bening, dan memiliki bulbus suspensor yang warnanya hampir sama dengan warna dinding spora. Sedangkan Gigaspora sp.2 berbentuk bulat berwarna kuning muda, memiliki dua dinding spora dan terlihat bulbus suspensor berwarna hitam dengan ukuran spora yang lebih besar bila dibandingkan dengan Gigaspora sp.1. Spora Gigaspora terbentuk berawal dari ujung hifa yang membulat (bulbous suspensor), selanjutnya muncul bulatan kecil yang semakin membesar mencapai ukuran maksimum yang akhirnya menjadi spora (Budi, 2009 dalam Hartoyo, 2011). Gigaspora tidak memiliki dinding perkecambahan fleksibel yang dibentuk (inner wall), dan suspensor melekat pada permukaan terluar dinding spora (INVAM, 2008 dalam Yovita, 2008). Selain dilakukan pengamatan spora mikoriza pada tanah, juga dilakukan pengamatan infeksi mikoriza pada akar tanaman tembakau. Pada hasil pengamatan infeksi akar, hanya ditemukan struktur hifa saja sedangkan untuk struktur arbuskula dan vesikula tidak ditemukan. Hal ini dikarenakan pada genus Gigaspora tidak membentuk struktur vesikula didalam akar melainkan hanya terdapat arbuskula dan hifa (Brundreet et al., 1996). Gigaspora termasuk ke dalam sub ordo Gigasporineae, yang apabila berasosiasi dengan akar tanaman inangnya dapat membentuk arbuskula tetapi tidak dapat membentuk struktur vesikula (Sieverding, 1991). Struktur arbuskula tidak dapat ditemukan dikarenakan siklus hidup dari arbuskula relatif pendek yakni berkisar 4-6 hari dan setelah itu arbuskula akan mengalami degenerasi kemudian dicerna oleh sel tanaman inang (Srivastava et al., 1996 dalam Hapsoh, 2008). seperti yang ditunjukkan gambar 4.3.2 di bawah ini yang menunjukkan spora Gigaspora sp. dan infeksinya pada akar. a subtending hifa kantung sporifora, sedangkan spora Entrophospora dibentuk didalam subtending hifa kantung sporifora. Dinding spora Acaulospora dan Entrophospora berlanjut dan tidak membentuk pori sebagaimana pada subtending hifa Glomus (INVAM, 2008 dalam Yovita, 2008). Selain dilakukan pengamatan spora mikoriza pada tanah, juga dilakukan pengamatan infeksi mikoriza pada akar tanaman tembakau. Pada hasil pengamatan infeksi akar, hanya ditemukan struktur hifa dan vesikula saja sedangkan untuk struktur arbuskula tidak ditemukan. Hal ini dikarenakan siklus hidup dari arbuskula relatif pendek yakni berkisar 4-6 hari dan setelah itu arbuskula akan mengalami degenerasi kemudian dicerna oleh sel tanaman inang (Srivastava et al., 1996 dalam Hapsoh, 2008). Seperti yang ditunjukkan gambar 4.3.2 di bawah ini yang menunjukkan spora Acaulospora sp. dan infeksinya pada akar. b Gambar 3. (a) Spora Gigaspora sp. dan (b) Hifa Karakteristik Acaulospora sp. Genus Acaulospora sp. yang diamati hanya ditemukan 1 jenis spesies saja yakni di desa Bajur. Karakter morfologi spora Acaulospora sp.1 yang ditemukan berebentuk bulat, berwarna berwarna coklat kekuningan, memilki dua dinding spora dan terdapat dinding bagian dalam (inner wall). Genus Acaulospora proses perkembangan spora berawal dari ujung hifa (subtending hyphae) yang membesar seperti spora yang disebut hyphal terminus. Di antara hyphal terminus dan subtending hypae akan muncul bulatan kecil yang semakin lama semakin membesar dan terbentuk spora. Dalam perkembangannya, hifa terminus akan rusak dan isinya akan masuk ke spora. Rusaknya hifa terminus akan meninggalkan bekas lubang kecil yang disebut Cicatric (Budi, 2009 dalam Hartoyo, 2011). Sel induk spora atau kantung sporifora merupakan struktur awal dalam perkembangan spora dari genus Acaulospora dan Entrophospora, dimana spora dibentuk dari subtending hifa yang menggembung. Spora tua akan terlepas dari kantung sporifora dan akan menjadi spora tunggal. Perbedaan antara Acaulospora dan Entrophospora yaitu spora Acaulospora dibentuk pada bagian lateral a b Gambar 8. (a) Spora Acaulospora sp. (b) Vesikula (c) Hifa 4. Kesimpulan Kesimpulan yang dapat diambil dalam penelitian ini adalah : 1. Jenis spora mikoriza yang berhasil diisolasi dan diidentifikasi dari rizosfer tanaman tembakau (N.tabaccum) di desa Bajur terdapat 2 jenis yaitu 4 tipe Glomus sp., dan 1 tipe Acaulospora sp. Sedangkan di desa Orai diperoleh 2 jenis yaitu 19 tipe Glomus sp., dan 2 tipe Gigaspora sp. 2. Jumlah spora Glomus sp. yang ditemukan di desa Bajur sebesar 263 spora/500 gr dan Acaulospora sp. sebesar 37 spora/500 gr tanah. Sedangkan jumlah spora Glomus sp. yang ditemukan di desa Orai sebesar 694 spora/500 gr tanah dan Gigaspora sp. sebesar 46 spora/500 gr tanah. 3. Jenis mikoriza yang mendominasi pada kedua lokasi tersebut ialah Glomus sp. c DAFTAR PUSTAKA Anas, I., E. Premono dan R. Widyastuti. 1997. Peningkatan Efisiensi Pemupukan P Dengan Menggunakan Mikroorganisme Pelarut P. IPB Press. Bogor. Anonim1. 2009. Tembakau Madura. Diakses dari http://balittas.litbang.deptan.go.id pada tanggal 31 januari 2011 pukul 14.00 WIB 2008. Produksi Unggulan Anonim2. Perkebunan. Diakses dari http://www.pamekasan.go.id pada tanggal 20 Februari 2011 pukul 10.45 WIB 2006. INVAM (International Anonim3. Collection of Arbuscular and VesicularArbuscular Mycorrhizal). 2006. Classification. Diakses dari http://invam.caf.wvu.edu/fungi/taxonom y Anonim4. 2006. Booklet Teknik Produksi Bibit Bermikoriza. BPTH Jawa dan Madura : Jawa Timur Astuti, W.D. 2000. Biodiversitas Cendawan Mikoriza Arbuskula Pada Rizosfer Rumput Gajah (Pennisetum purpureum) Di Bogor dan Lembang. Skripsi. Jurusan Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak. Fakultas Peternakan IPB. Bogor Basuki, S., Suwarso, A.Herwati, dan S. Yulaikah.1999. Biologi dan Morfologi Tembakau Madura. Balai Penelitian Tembakau dan Tanaman Serat Bonfante-Fosolo P. 1984. Anatomy And Morphology Of Vesicular-Arbuscular Mycorrhizae. CRC Press. Inc. Boca Raton. Florida pp. 6-33 Brundrett MC, Melville L and Peterson L. 1994. Practical Methods In Mycorrhiza Research. Mycologue Publications. Ontario, Canada. 161 pp Brundrett, M. 2004. Diversity and Classification of Mycorrhizal Associations. Biol. Rev. 79:473–495 Brundrett, M.C., N. Bougher, B. Dells, T. Grove, And N. Malajczuk. 1996. Working with Mycorrhizas in Forestry and Agriculture. ACIAR. Canberra. Budi, H., M. Gulamadi, L.K. Darusman, S.A Aziz, I. Mansur. 20011. Keanekaragaman Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) Pada Rizosfer Tanaman Pegagan (Centella asiatica (L.) Urban). Jurnal Litri Vol. 17 No. 1, Maret 2011 : 32-40 Cahyono, B. 1998. Tembakau: Budi Daya dan Analisis Tani. Kanisius. Yogyakarta Badan Pusat Statistik Kabupaten Pamekasan (BPS Pamekasan). 2010. Kabupaten Pamekasan Dalam Angka. Katalog BPS : 1403.3528 Charoenpakdee. S, Phosri. C, Dell. B and Lumyong. S. 2010. The Mycorrhizal Status Of Indigenous Arbuscular Mycorrhizal Fungi Of Physic Nut (Jatropha Curcas) In Thailand. Mycosphere 1(2) : 167-181 Bagyaraj, D.J, E. Munyanziza, Kehri H.K. 1997. Agricultural Intensification, Soil Biodiversity And Agro-Ecosystem Function In The Tropics: The Role Of Mycorrhiza In Crops And Trees. Applied Soil Ecology 6 : 77-85 Delvian. 2005. Respon Pertumbuhan dan Perkembangan Cendawan Mikoriza Arbuskula dan Tanaman Terhadap Salinitas Tanah. Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara Baon. Dewi, A.I.R. 2007. Peran, Prospek dan Kendala Dalam Pemanfaatan Endomikoriza. Jurusan Budidaya Pertanian, Program Studi Agronomi, UNPAD : Jatinangor J.B. 1998. Serapan Hara dan Pertumbuhan Kopi Robusta Bermikoriza. Prosiding Kongres Nasional VI HITI Buku I halaman 741749 Elfiati, D. dan Delvian. 2007. Keanekaragaman Cendawan Mikoriza Arbuskula (CMA) Berdasarkan Ketinggian Tempat. Departemen Kehutanan. Jurnal Ilmu Pertanian 3: 371-378 Handayanto A. dan Hairiah. 2007. Biologi Tanah, landasan Pengelolaan Tanah Sehat. Pustaka Adipura : Yogyakarta Hapsoh. 2008. Pemanfaatan fungi Mikoriza Arbuskula Pada Budidaya Kedelai Di Lahan Kering. Pidato Pengukuhan Guru Besar Fakultas Pertanaian Universitas Sumatera Utara. Medan Harley. J.L, Smith. S.E. 1983. Mycorrhizal Symbiosis. Academic Press. London Madjid, A. 2009. Peran dan Prosek Mikoriza. Program Pascasarjana. Universitas Sriwijaya. Palembang Manjunath, A., D. J. Bagrayaj. 1984. Effect Of Funicides On Mycorrhizal Colonization And Growht Of Anion. Plant and Soil 78: 147-150 Martodireso, S. dan Widada A. S. 2001. Terobosan Teknologi Pemupukan dalam Era Pertanian Organik. Kanisius. Yogyakarta Mikola, P . 1965. Studies on the Ectendotrophic Mycorrhizae of Pine. Acta Forest. Fenn. 79:1-56 Mosse, S. 1981. Vesicular Mycorizarescarh for agriculture. Ress. Bull Arbuscular tropical Hartoyo, B., M. Ghulamahadi, L.K Darusman, S.A Aziz, dan I. Mansur. 2011. Keanekaragaman Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) Pada Rizosfer Tanaman Pegagan (Centella asiatica (L.) Urban). Jurnal Litri 17(1) : 32-40 Mukani dan A.S. Murdiyati. 2003. Profil Komoditas Tembakau. Laporan Hasil Penelitian. Puslitbangbun. Bogor Hayman, D.S. 1975. The Occurrence of Mycorrhiza in Crops as Affected by Soil Fertility. Dalam: Sanders, F.E., B. Mosse and P.B Tinker (Eds). Endomycorrhizas Academics Press. London Murdiyati A.S., A. Herwati, dan Suwarso. 2009. Pengujian Efektivitas Penggunaan Pupuk ZK terhadap Hasil dan Mutu Tembakau Madura. Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri. Malang Heyne K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia III. Badan Litbang Kehutanan, Yayasan Sarana Wana Jaya. Jakarta Nurhidayati. T, K.I Purwani, D. Ermavitalini. 2010. Isolasi Mikoriza VesikularArbuskular Pada Lahan Kering Di Jawa Timur. Berkala Penelitian Hayati Edisi Khusus: 4F (43-46) Javaid, A. and T. Riaz. 2008. Mycorrhizal Colonization in Different Varieties of Gladiolus and its Relation with Plant Vegetative and Reproductive Growth. Inernational. Journal Agricultur. Vol. 10: 278 – 282 Killham, K, 1994. Soil Ecology. Cambridge University Press Laiho, O. 1976. Further Studies on the Ectendotrophic Mycorrhizae. Acta Forest. Fenn. 79:1-35 Liu, R. and F. Wang. 2003. Selection Of Appropriate Host Plants Used In Trap Culture Of Arbuscular Mycorrhizal Fungi. Mycorrhiza (13) :123–127 Pattimahu, D.V. 2004. Restorasi Lahan Kritis Pasca Tambang Sesuai Kaidah Ekologi. Makalah Mata Kuliah Falsafah Sains, Sekolah Pasca Sarjana, IPB : Bogor Prihastuti. 2007. Isolasi dan Karakterisasi Mikoriza Vesikular Arbuskular di Lahan Kering Masam, Lampung Tengah. Berkala Penelitian Hayati 12 : 99-106 Scannerini, S. and Bonfante-Fosolo P. 1983. Comparative ultrastructural analysis of mycorrhizal associations. Cannada Journal Botany. 61 : 917-922 Schenck NC, Perez Y. 1990. Manual for The Identification of VA Mycorrhiza Fungi 3rd Edition. Gain sville: Synergistic publication Schenk, N.C. 1982. Methods And Principles Of Mycorrhizal Research. The American Phytopathological Society. St Paul. Minnesota. USA Sieverding E. 1991. Vesicular-Arbuscular Mycorrhizal Management In Tropical Agroecosystems. German Technical Cooperation (GZT). Eschborn, Germany. 52 Smith S.E. and Read D.J. 1997. Mychorrhizal Symbiosis. Academic Press. Harcourt Brace And Company Publisher. San Diego: 96 Srivastava, D., R. Kapoor, S.K. Srivastava and K.G Mukerji. 1996. Vesicular Arbuscular Mycorrhiza – an overview. Dalam: Mukerji, K.G (Ed). Concepts in Mycorrhizal Research. Kluwer Academic Publishers. Netherlands Suhardi, 1989. Mikoriza Vesikular Arbuskular (MVA). UGM Press. Yogyakarta Sylvia, D.M dan D.B Hubbell. 1990. Field Response of Maize to a VAM Fungus and Water Management. Agron. J. 85: 193-198 Wubet,T., I. Kottke, D. Teketay, F. Oberwinkler. 2003. Mycorrhizal Status Of Indigenous Trees In Dry Afromontane Forest Of Ethiopia. Ethiopian Agricultural Research. Forest Ecology And Management 179: 387-399 Yang. F.Y., G. Z. Li, D. E. Zhang, P. Christie, X. L. Li, J. P. Gai. 2010. Geographical And Plant Genotype Effects On The Formation Of Arbuscular Mycorrhiza In Avena Sativa And Avena Nuda At Different Soil Depths. Biol Fertil Soils 46:435-443 Yassir, I., R. Mulyana Omon. 2006. Hubungan Potensi Cendawan Mikoriza Arbuskula dan Sifat-Sifat Tanah Di Lahan Kritis. Jurnal Penelitian Hutan Vol.3 No.2 : 107-115 Tanaman. Yovita, A.L. 2008. Isolasi dan Identifikasi Cendawan Mikoriza Arbuskula Asal Tanah Pertanian dan Perkebunan Jawa Barat. Skripsi. Departemen Biologi IPB. Bogor Zarate, J.T. and R.E. Dela Cruz. 1995. Pilot Testing The Effectiveness Of Arbuscular Mycorrhizal Fungi In The Reforestation Of Marginal Grassland. Biotrop Spec. Biology and Biotechnology of Mycorrhizae. Publ.56 : 131-137