KOMPOSISI JENIS MIKORIZA DARI PERAKARAN

advertisement
KOMPOSISI JENIS MIKORIZA DARI PERAKARAN TEMBAKAU (Nicotiana tabaccum) Di
DESA BAJUR DAN ORAI PAMEKASAN MADURA
Aisiyah Yulianitha*, Tutik Nurhidayati1 , Indah Trisnawati D.T1
Jurusan Biologi, Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam
Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya
Gedung H Kampus ITS Sukolilo, Surabaya 60111, Indonesia
Abstrak
Mikoriza merupakan simbiosis mutualistik antara jamur dengan akar tanaman. Kondisi
lingkungan yang bervariasi di Indonesia dapat memungkinkan beranekaragamnya komposisi jenis
mikoriza pada suatu lahan. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui komposisi jenis
mikoriza dari perakaran tembakau (Nicotiana tabaccum) di Desa Bajur dan Orai, Pamekasan Madura.
Spora mikoriza diisolasi dari rizosfer tembakau (Nicotiana tabaccum) di dua desa tersebut dengan
menggunakan metode Wet and Decanting Method dilanjutkan dengan teknik sentrifugasi sukrosa. Hasil
penelitian menunjukkan genus mikoriza arbuskula yang ditemukan tergolong ke dalam tiga genus yaitu
Glomus, Gigaspora, dan Acaulospora. Jumlah spora mikoriza arbuskula tertinggi diperoleh di desa Orai
sebesar 789 spora/500 gr dengan 19 tipe genus Glomus sp dan 2 tipe genus Gigaspora sp. sedangkan di
desa Bajur sebesar 300 spora/500 gr dengan 4 tipe genus Glomus sp dan 1 tipe genus Acaulospora sp.
Kata Kunci: Mikoriza arbuskula, Tembakau, Glomus, Gigaspora, Acaulospora.
Abstract
Mycorrhiza is a mutualistic symbiosis between fungi with plant roots. The environmental
conditions in Indonesia may effect of variety in the species composition of mycorrhizal in soil. Therefore,
this study aims to determine the species composition of the mycorrhizal roots of tobacco (Nicotiana
tabaccum) in Bajur and Orai Pamekasan Madura. Mycorrhizal spores were isolated from the rhizosphere
of tobacco (N. tabaccum) using Wet Sieving and Decanting Method and followed by sucrose
centrifugation techniques. The results showed arbuscula mycorrhizal genus were found in three genera
belonging to the Glomus, Gigaspora, and Acaulospora. The highest number of arbuscula mycorrhizal
spores in Orai is 789 spore/500 gr with 19 type of genus Glomus sp. and 2 type of genus Gigaspora sp.
while in Bajur is 300 spore/500 gr with 4 type of genus Glomus sp. and 1 type of genus Acaulospora sp.
Key words: Arbuscula mycorrhizae, Tobacco, Glomus, Gigaspora, Acaulospora.
*Coresponding Author Phone: 085755749371
1
Alamat Sekarang : Jurusan Biologi FMIPA ITS
1. Pendahuluan
Madura merupakan salah satu daerah
produsen tembakau lokal aromatis di Indonesia
(Balittas, 2009). Salah satu kabupaten penghasil
tembakau di Madura ialah Pamekasan. Luas
wilayah daratan di Pamekasan sebesar 792,30
km2 dengan kondisi lahan yang kering sehingga
lahan pertanian di Pamekasan cocok untuk
ditanami tembakau dengan luas areal
perkebunan tembakau mencapai 29.050 Ha.
Tembakau di daerah Pamekasan Madura
merupakan salah satu komoditas perkebunan
unggulan dengan produksi 16.384 ton per tahun
(Dishutbun, 2008). Pada umumnya tembakau di
Madura ditanam dan tumbuh dengan baik di
lahan kering pada ketinggian antara 50-350 m
dpl (Balittas, 2009). Perbedaan ketinggian
tempat di atas permukaan air laut menyebabkan
komposisi jenis mikroorganisme dalam tanah
cukup beragam, diantaranya yaitu mikoriza
(Elfiati dan Delvian, 2007).
Mikoriza merupakan simbiosis antara
jamur dengan akar tanaman. Jumlah mikoriza
sangat melimpah di alam dan ditemukan hampir
80% dapat bersimbiosis dengan tumbuhan
angiospermae (Harley&Smith 1983 dalam
Charoenpakdee et al., 2010) serta berperan
penting dalam meningkatkan pertumbuhan
tanaman agrikultur, holtikultura, dan tanaman
hutan (Wubet et al., 2003). Secara umum
mikoriza tergolong dalam dua tipe yaitu
ektomikoriza dan endomikoriza atau mikoriza
arbuskula (Dewi, 2007). Mikoriza arbuskula
banyak dijumpai pada sebagian besar tanaman
budidaya dan berperan penting dalam serapan
unsur hara (Handayanto dan Hairiah, 1997).
Beberapa penelitian menunjukan bahwa
diversitas mikoriza arbuskula banyak dijumpai
pada daerah rhizosphere pada berbagai macam
ekosistem seperti lahan pertanian, lahan hutan
konservasi, lahan salin dan lahan bekas
pertambangan. Salah satu tanaman budidaya
pertanian yang dapat bersimbiosis dengan
mikoriza arbuskular ialah tanaman tembakau
(Nicotiana tabaccum) (Liu and Wang 2003).
Berdasarkan penelitian Liu and Wang (2003)
yang dilakukan di Zhaozhuang dan Shandong
Province China, mikoriza indigenous yang
ditemukan pada tanaman tembakau ialah
Acaulospora,
Glomus,
Gigaspora
dan
Scutellospora.
Tembakau di kabupaten Pamekasan
Madura ditanam di tiga jenis lahan yakni lahan
sawah, lahan tegal dan lahan gunung (Murdiyati
et al., 2009). Perbedaan lahan tersebut diduga
juga akan mempengaruhi jumlah dan
perkembangan mikoriza, karena adanya
perbedaan faktor biotik dan abiotik pada tiap
lahan tersebut.
Kondisi lingkungan yang bervariasi di
Indonesia seperti ketinggian tempat serta kondisi
lahan, dapat memungkinkan beranekaragamnya
komposisi mikoriza pada suatu lahan tersebut.
Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian ini
untuk mengetahui komposisi jenis mikoriza dari
perakaran tembakau (Nicotiana tabaccum) di
desa Bajur dan Orai di Pamekasan Madura,
dengan cara isolasi dan identifikasi.
2. Metodologi
Penelitian dilakukan pada bulan Agustus
hingga Oktober 2011 di Laboratorium Botani
Biologi ITS dan Laboratorium Mikologi Jurusan
HPT,
Universitas
Brawijaya
Malang.
Pengambilan sampel dilakukan di lahan gunung
di Desa Orai dan lahan tegal di Desa Bajur,
Pamekasan Madura. Pada lahan Tegal di Desa
Bajur terletak pada 7000’25”4 S, 113033’05”4 E.
Sedangkan pada lahan Gunung di Desa Orai
terletak pada 7003’37”00 S, 113031’56”09 E.
Sampel tanah diambil pada daerah
rhizosphere tembakau pada kedalaman ± 0-20
cm (lapisan top soil). Sedangkan untuk sampel
akar diambil pada saat tanaman memasuku fase
vegetative akhir hingga generative awal (Javaid
and Tariq, 2008). Metode pengambilan sampel
dilakukan secara acak (Random sampling)
(Nurhidayati et al, 2010). Dilakukan analisa
fisik dan kimia tanah pada lokasi sampel.
Isolasi
spora
mikoriza
dilakukan
menggunakan metode Wet sieving and
Decanting (Brundreet et al., 1996). Sampel
tanah yang diperoleh dtimbang ± 100 gr dan
dibasahi dengan air ± 500 ml dan dicampur rata
lalu didiamkan selama 10 menit sampai partikelpartikel mengendap. Selanjutnya dituang
kedalam sarigan bertingkat dengan pori
berukuran 300, 180, 78, 63 dan 38 µm. Hasil
penyaringan yang terakhir dipindahkan kedalam
tabung sentrifuge dan ditambahkan larutan
glukosa 60% kemudian disentrifugasi selama 5
menit pada 2000 rpm. Supernatan yang
terbentuk dituang pada saringan terakhir (38
µm)
dan
dibilas
dengan
air
untuk
menghilangkan sukrosa, kemudian spora hasil
penyaringan yang terakhir dipindahkan ke dalam
cawan petri kemudian diamati dibawah
mikroskop stereo pada perbesaran 400x
(Charoenpakdee et al., 2010) dan dilakukan
proses identifikasi manual dengan menggunakan
website
INVAM
(2006)
([http://invam.caf.wvu.edu/Myc_Info/Taxonomy
/species.html]). Identifikasi dilakukan dengan
menggunakan mikroskop kompon dengan
perbesaran 400x (Charoenpakdee et al., 2010).
Identifikasi mikoriza dilakukan berdasarkan
karakter morfologi spora mikoriza meliputi
bentuk spora, serta warna spora (Brundrett et al.
1994 dalam Yovita , 2008).
Sedangkan untuk sampel akar tanaman,
diamati infeksi mikoriza dalam akar tembakau
(Nicotiana tabccum) melalui proses pewarnaan
akar dengan menggunakan larutan tryphan blue.
Selanjutnya perhitungan infeksi akar dihitung
berdasarkan rumus :
% Infeksi akar = JAT/JSP x 100%
Keterangan :
JAT = Jumlah Akar Terinfeksi
JSP = Jumlah Seluruh Potongan Akar yang
Diamati
(Schenck, 1982 dalam Nurhidayati et al., 2010).
3. Hasil dan Pembahasan
Hasil Analisa Tanah
Kondisi lingkungan sangat mempengaruhi
keberadaan spora mikoriza arbuskula didalam
tanah, seperti kondisi fisik dan kimia tanah.
Berikut hasil analisa kandungan tanah pada
kedua lokasi pengambilan sampel yang tampak
pada tabel 4.1 dibawah ini.
COrg
anik
(%)
1,04
Desa
Orai
0,61
N
P
total (%)
(%)
K
(%)
0,12 9,01
0,43
0,09 12,05
0,24
Hasil Identifikasi Spora Mikoriza
Spora mikoriza arbuskula yang berhasil
diisolasi dan diidentifikasi dari perakaran
tembakau (Nicotiana tabaccum) di desa Bajur
dan Orai Pamekasan Madura tergolong kedalam
tiga genus yaitu Glomus, Gigaspora, dan
Acaulospora. Hasil identifikasi dan jumlah spora
mikoriza (jumlah spora per 100 gr tanah ) di
kedua lokasi pengambilan sampel disajikan pada
tabel 2 berikut ini
Tabel 2. Hasil Identifikasi dan Jumlah Spora
Mikoriza
Tabel 1. Hasil Analisa Kandungan Tanah
Loka
si
Samp
el
Desa
Bajur
kimia tanah (LPT, 1983) nilai hara P di desa
Orai tergolong sedang yaitu 11.4 – 19.6
sedangkan di desa Bajur tergolong rendah yaitu
4.4 – 11.0.
pH
Tekstur
6,9
6,6
Lempung
liat
berpasir
Liat
berdebu
Tekstur tanah pada desa Bajur yaitu
lempung liat berpasir sedangkan tekstur tanah
pada desa Orai yaitu liat berdebu. Hal ini sesuai
dengan literatur yang menyatakan bahwa pada
umumnya tekstur tanah di kabupaten Pamekasan
berupa liat dan liat berpasir (Anonim2, 2008).
Sifat fisik tanah lainnya yang diukur adalah pH
tanah. pH tanah pada kedua lokasi pengambilan
sampel adalah 6,6 dan 6,9. Berdasarkan Majid
(2008) kisaran pH netral sebesar 6,6 - 7,5. Hal
tersebut menunjukkan bahwa pH pada kedua
lokasi tergolong dalam pH netral. Kandungan
C-organik pada desa bajur lebih tinggi
dibandingkan desa Orai yaitu sebesar 1,04% dan
0,61%. Begitu juga dengan kandungan hara N
dan K pada desa Bajur yang memiliki nilai lebih
tinggi dibandingkan desa Orai yaitu sebesar
0,43% dan 0,24%. Berdasarkan kriteria
penilaian sifat kimia tanah (LPT, 1983) nilai
hara C-organik dan N di desa Orai tergolong
kategori sangat rendah yaitu < 1.00 dan < 0.10
sedangkan di desa Bajur tergolong kategori
rendah yaitu 1.00 - 2.00 dan 0.10 – 0.20.
Berbeda dengan kandungan hara N dan K,
kandungan hara P pada desa Bajur lebih rendah
daripada desa Orai yaitu sebesar 9,01% dan
12,05%. Berdasarkan kriteria penilaian sifat
No.
Jenis Mikoriza
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
Glomus sp.1
Glomus sp.2
Glomus sp.3
Glomus sp.4
Glomus sp.5
Glomus sp.6
Glomus sp.7
Glomus sp.8
Glomus sp.9
Glomus sp.10
Glomus sp.11
Glomus sp.12
Glomus sp.13
Glomus sp.14
Glomus sp.15
Glomus sp.16
Glomus sp.17
Glomus sp.18
Glomus sp.19
Glomus sp.20
Glomus sp.21
Glomus sp.22
Glomus sp.23
Gigaspora sp.1
Gigaspora sp.2
Acaulospora sp.
∑ Individu
∑ Spesies
∑ Famili
Lokasi
Desa
Desa
Bajur
Orai
45
0
78
0
75
0
65
0
0
31
0
25
0
55
0
15
0
92
0
72
0
56
0
25
0
50
0
55
0
30
0
13
0
30
0
28
0
15
0
50
0
37
0
5
0
10
0
21
0
25
37
0
300
789
5
21
2
2
Jumlah
Individu
45
78
75
65
31
25
55
15
92
72
56
25
50
55
30
13
30
28
15
50
37
5
10
21
25
37
1089
26
4
Desa
Bajur
789
625
300
25
21
5
2 2
1
∑
∑
∑ Famili
Individu Spesies
Gambar 1. Grafik Perbandingan Jumlah Spora Di
Desa Bajur dan Desa Orai
Berdasarkan Tabel dan garfik 4.2,
terlihat bahwa pada desa Bajur dan Orai samasama ditemukan 2 familia. Familia yang
ditemukan pada desa Bajur adalah Glomaceae
dan Acaulosporaceae sedangkan pada desa Orai
adalah Glomaceae dan Gigasporaceae. Familia
Glomaceae yang ditemukan pada desa Bajur
terdiri atas 4 jenis Glomus sp., sedangkan
familia Acaulosporaceae terdiri atas 1 jenis
Acaulospora sp. Pada desa Orai, familia
Glomaceae terdiri atas 19 jenis Glomus sp. dan
familia Gigasporaceae terdiri atas 2 jenis
Gigaspora sp. Terkait dengan jumlah spesies
yang ditemukan, jumlah spesies pada desa Orai
lebih tinggi daripada desa Bajur. Dimana spesies
yang paling banyak ditemukan pada kedua
lokasi tersebut berasal dari genus Glomus,
sedangkan spesies Acaulospora sp dan
Gigaspora sp hanya ditemukan 1 spesies saja
pada tiap lokasi.
Glomus sp. merupakan jenis mikoriza
yang mempunyai penyebaran paling dominan
ditemukan karena 23 dari 26 spesies yang
ditemukan adalah jenis Glomus sp. Hal ini
menunjukkan bahwa kemampuan simbiosis dan
adaptasi Glomus dengan jenis tanaman budidaya
yang lebih luas jika dibandingkan dengan genus
Gigaspora dan Acaulospora. Tingginya
frekuensi kehadiran spora mikoriza jenis Glomus
sp ini berhubungan dengan jenis Glomus yang
sangat banyak ditemukan dibandingkan jenis
lain. Seperti yang dilaporkan oleh (INVAM,
2008 dalam Hartoyo, 2011) bahwa dari 172
spesies yang sudah teridentifikasi diketahui
Glomus adalah jenis yang paling dominan (52,3
%), diikuti Acaulospora (20,9%), Scutellospora
(16,9%), Gigaspora (4,7%), Entrophospora
(2,3%), Archaeospora (1,7%), dan Paraglomus
(1,2%). Selain penyebarannya yang luas,
kehadiran Glomus sp yang mendominasi
tersebut juga berhubungan dengan kondisi
tekstur tanah pada kedua lokasi, dimana tekstur
pada kedua lokasi tersebut yaitu lempung liat
berpasir dan liat berdebu. Tekstur tanah liat ini
merupakan kondisi yang sesuai dengan
perkembangan spora Glomus. Seperti yang
dikemukakan oleh Baon (1998) dalam Hapsoh
(2008) yang menyebutkan bahwa tanah yang
didominasi oleh fraksi lempung (clay)
merupakan kondisi yang sesuai untuk
perkembangan spora Glomus dan pada tanah
berpasir genus Gigaspora ditemukan dalam
jumlah tinggi.
Selain jumlah spesies, jumlah individu
yang ditemukan pada desa Orai juga lebih tinggi
daripada desa Bajur yaitu 789 dan 300 spora.
Tingginya jumlah individu yang ditemukan
dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain
kandungan C-organik, N, P, dan K. Dari hasil
pengukuran kandungan C-organik, N dan K
pada desa Orai lebih rendah bila dibandingkan
desa Bajur. Ketersediaan hara yang rendah akan
mengoptimalkan mekanisme kerja mikoriza
dengan memperluas daerah penyerapan nutrien,
sebaliknya bila ketersediaan hara tinggi dapat
menurunkan jumlah spora. Hayman (1975)
dalam Astuti (2000) mengatakan bahwa
kandungan N tanah yang tinggi dapat
menurunkan jumlah spora, hal ini disebabkan
kandungan hara yang tinggi akan menyebabkan
mekanisme kerja mikoriza jadi menurun
sebaliknya kandungan hara yang rendah akan
mengoptimalkan kerja mikoriza. Seperti yang
dikemukakan oleh Smith and Read (1997)
dalam Yassir (2006) bahwa ketersediaan hara
yang rendah mengakibatkan meningkatnya
kolonisasi mikoriza pada akar tanaman dan
produksi spora.
Berbeda dengan kandungan hara N dan
K, kandungan hara P pada desa Bajur lebih
tinggi daripada desa Orai. Fosfor di dalam tanah
terdapat dalam bentuk orthofosfat, P organik dan
P anorganik yang berikatan dengan Fe, Al, Ca,
dan mineral tanah lainnya. Sejumlah 2-5%
fosfor terdapat dalam bentuk orthofosfat dan
sebagian besar unsur hara fosfor dalam bentuk
tidak tersedia unuk tanaman (Tisdale et al.,
1990). Dalam kondisi fosfor yang tidak tersedia,
kolonisasi mikoriza lebih cepat terbentuk. Hal
ini disebabkan fungsi utama infeksi mikoriza
adalah penyerapan fosfor dalam bentuk tidak
tersedia atau fosfor yang terserap partikel
lempung (Moose, 1997). Apabila fosfor dalam
bentuk tidak tersedia, hifa mikoriza akan
mengeluarkan
enzim
fosfatase
untuk
melepaskan fosfor menjadi bentuk tersedia
sehingga fosfor dapat diserap oleh tanaman.
Terkait dengan kandungan fosfor tersebut,
aktifitas mikoriza lebih optimum pada tanah
yang kandungan haranya tidak tersedia
dibandingkan dengan kandungan hara yang
cukup tersedia bagi tanaman.
Karakteristik Glomus sp.
Pada
genus
Glomus
proses
perkembangan spora adalah dari ujung hifa yang
membesar sampai mencapai ukuran maksimal
dan terbentuk spora. Spora Glomus hanya
memiliki satu jenis dinding yaitu dinding spora.
Dinding spora berwarna merah sampai cokelat
pada media PVLG dan akan berwarna lebih
pekat di preaksi Melzer. Permukaan dinding
spora halus tanpa perhiasan. Dinding spora
berjumlah satu, seluruh lapisan yang ada pada
dinding spora berasal dari dinding hifa
pembawa. Glomus tidak membentuk dinding
perkecambahan fleksibel. Dinding spora
berakhir dengan pori pada daerah melekatnya
hifa pembawa. (INVAM, 2008 dalam Yovita,
2008). Jenis spora Glomus yang ditemukan di
desa Bajur mempunyai bentuk spora yang relatif
sama (bulat) dan permukaan spora yang relatif
halus. Sedangkan karakter yang membedakan
antar spesies adalah warna spora, dinding dan
ketebalan dinding spora.
Pada keempat jenis Glomus yang
diamati terdapat kesamaan pada warna spora
yakni kuning kecoklatan hingga kuning bening,
Namun yang membedakannya yakni ketebalan
dari dinding kedua spora tersebut serta terdapat
ornamen pada Glomus sp.3. Sedangkan jenis
spora yang ditemukan di Desa Orai mempunyai
perbedaan yang lebih tegas. Karakter yang
hampir sama ialah bentuk spora yang relatif
sama (bulat) antara Glomus sp.5 sampai Glomus
sp.23, sedangkan untuk Glomus sp.6, Glomus
sp.10, Glomus sp.14, Glomus sp.17, dan Glomus
sp.19 ditemukan hyphal attachments yang
langsung menyatu dengan dinding spora, dengan
warna yang sama dengan warna dinding spora.
Selain pengamatan spora mikoriza pada tanah,
juga dilakukan pengamatan infeksi mikoriza
pada akar tanaman tembakau. Pada hasil
pengamatan infeksi akar, hanya ditemukan
struktur hifa dan vesikula saja sedangkan
struktur arbuskula tidak ditemukan. Hal ini
dikarenakan siklus hidup dari arbuskula relatif
pendek yakni berkisar 4-6 hari dan setelah itu
arbuskula akan mengalami degenerasi kemudian
dicerna oleh sel tanaman inang (Srivastava et al.,
1996 dalam Hapsoh, 2008). Hasil pengamatan
infeksi mikoriza pada akar menunjukkan adanya
struktur vesikula dan hifa. seperti yang terlihat
pada gambar 4.3.1 dibawah ini yang
menunjukkan spora Glomus sp. dan infeksinya
pada akar.
a
b
c
Gambar 2. (a) Spora Glomus sp. (b) Vesikula dan
(c) Hifa
Karakteristik Gigaspora sp.
Genus Gigaspora hanya ditemukan di
desa Orai yaitu sebanyak 2 tipe spora,
Berdasarkan karakteristik morfologinya, genus
Gigaspora sp. yang ditemukan di Desa Orai
sebanyak 2 jenis spesies. Spora Gigaspora sp.1
berbentuk bulat, berwarna kuning bening, dan
memiliki bulbus suspensor yang warnanya
hampir sama dengan warna dinding spora.
Sedangkan Gigaspora sp.2 berbentuk bulat
berwarna kuning muda, memiliki dua dinding
spora dan terlihat bulbus suspensor berwarna
hitam dengan ukuran spora yang lebih besar bila
dibandingkan dengan Gigaspora sp.1. Spora
Gigaspora terbentuk berawal dari ujung hifa
yang membulat (bulbous suspensor), selanjutnya
muncul bulatan kecil yang semakin membesar
mencapai ukuran maksimum yang akhirnya
menjadi spora (Budi, 2009 dalam Hartoyo,
2011). Gigaspora tidak memiliki dinding
perkecambahan fleksibel yang dibentuk (inner
wall), dan suspensor melekat pada permukaan
terluar dinding spora (INVAM, 2008 dalam
Yovita, 2008).
Selain dilakukan pengamatan spora
mikoriza pada tanah, juga dilakukan pengamatan
infeksi mikoriza pada akar tanaman tembakau.
Pada hasil pengamatan infeksi akar, hanya
ditemukan struktur hifa saja sedangkan untuk
struktur arbuskula dan vesikula tidak ditemukan.
Hal ini dikarenakan pada genus Gigaspora tidak
membentuk struktur vesikula didalam akar
melainkan hanya terdapat arbuskula dan hifa
(Brundreet et al., 1996). Gigaspora termasuk ke
dalam sub ordo Gigasporineae, yang apabila
berasosiasi dengan akar tanaman inangnya dapat
membentuk arbuskula tetapi tidak dapat
membentuk struktur vesikula (Sieverding,
1991). Struktur arbuskula tidak dapat ditemukan
dikarenakan siklus hidup dari arbuskula relatif
pendek yakni berkisar 4-6 hari dan setelah itu
arbuskula akan mengalami degenerasi kemudian
dicerna oleh sel tanaman inang (Srivastava et
al., 1996 dalam Hapsoh, 2008). seperti yang
ditunjukkan gambar 4.3.2 di bawah ini yang
menunjukkan spora Gigaspora sp. dan
infeksinya pada akar.
a
subtending hifa kantung sporifora, sedangkan
spora
Entrophospora
dibentuk
didalam
subtending hifa kantung sporifora. Dinding
spora Acaulospora dan Entrophospora berlanjut
dan tidak membentuk pori sebagaimana pada
subtending hifa Glomus (INVAM, 2008 dalam
Yovita, 2008).
Selain dilakukan pengamatan spora
mikoriza pada tanah, juga dilakukan pengamatan
infeksi mikoriza pada akar tanaman tembakau.
Pada hasil pengamatan infeksi akar, hanya
ditemukan struktur hifa dan vesikula saja
sedangkan untuk struktur arbuskula tidak
ditemukan. Hal ini dikarenakan siklus hidup
dari arbuskula relatif pendek yakni berkisar 4-6
hari dan setelah itu arbuskula akan mengalami
degenerasi kemudian dicerna oleh sel tanaman
inang (Srivastava et al., 1996 dalam Hapsoh,
2008). Seperti yang ditunjukkan gambar 4.3.2 di
bawah ini yang menunjukkan spora Acaulospora
sp. dan infeksinya pada akar.
b
Gambar 3. (a) Spora Gigaspora sp. dan (b) Hifa
Karakteristik Acaulospora sp.
Genus Acaulospora sp. yang diamati
hanya ditemukan 1 jenis spesies saja yakni di
desa Bajur. Karakter morfologi spora
Acaulospora sp.1 yang ditemukan berebentuk
bulat, berwarna berwarna coklat kekuningan,
memilki dua dinding spora dan terdapat dinding
bagian dalam (inner wall). Genus Acaulospora
proses perkembangan spora berawal dari ujung
hifa (subtending hyphae) yang membesar seperti
spora yang disebut hyphal terminus. Di antara
hyphal terminus dan subtending hypae akan
muncul bulatan kecil yang semakin lama
semakin membesar dan terbentuk spora. Dalam
perkembangannya, hifa terminus akan rusak dan
isinya akan masuk ke spora. Rusaknya hifa
terminus akan meninggalkan bekas lubang kecil
yang disebut Cicatric (Budi, 2009 dalam
Hartoyo, 2011). Sel induk spora atau kantung
sporifora merupakan struktur awal dalam
perkembangan spora dari genus Acaulospora
dan Entrophospora, dimana spora dibentuk dari
subtending hifa yang menggembung. Spora tua
akan terlepas dari kantung sporifora dan akan
menjadi spora tunggal. Perbedaan antara
Acaulospora dan Entrophospora yaitu spora
Acaulospora dibentuk pada bagian lateral
a
b
Gambar 8. (a) Spora Acaulospora sp. (b)
Vesikula (c) Hifa
4. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dalam
penelitian ini adalah :
1. Jenis spora mikoriza yang berhasil diisolasi
dan diidentifikasi dari rizosfer tanaman
tembakau (N.tabaccum) di desa Bajur
terdapat 2 jenis yaitu 4 tipe Glomus sp., dan
1 tipe Acaulospora sp. Sedangkan di desa
Orai diperoleh 2 jenis yaitu 19 tipe Glomus
sp., dan 2 tipe Gigaspora sp.
2. Jumlah spora Glomus sp. yang ditemukan di
desa Bajur sebesar 263 spora/500 gr dan
Acaulospora sp. sebesar 37 spora/500 gr
tanah. Sedangkan jumlah spora Glomus sp.
yang ditemukan di desa Orai sebesar 694
spora/500 gr tanah dan Gigaspora sp.
sebesar 46 spora/500 gr tanah.
3. Jenis mikoriza yang mendominasi pada
kedua lokasi tersebut ialah Glomus sp.
c
DAFTAR PUSTAKA
Anas, I., E. Premono dan R. Widyastuti. 1997.
Peningkatan Efisiensi Pemupukan P
Dengan Menggunakan Mikroorganisme
Pelarut P. IPB Press. Bogor.
Anonim1. 2009. Tembakau Madura. Diakses
dari http://balittas.litbang.deptan.go.id
pada tanggal 31 januari 2011 pukul
14.00 WIB
2008.
Produksi
Unggulan
Anonim2.
Perkebunan.
Diakses
dari
http://www.pamekasan.go.id
pada
tanggal 20 Februari 2011 pukul 10.45
WIB
2006.
INVAM
(International
Anonim3.
Collection of Arbuscular and VesicularArbuscular
Mycorrhizal).
2006.
Classification.
Diakses
dari
http://invam.caf.wvu.edu/fungi/taxonom
y
Anonim4. 2006. Booklet Teknik Produksi Bibit
Bermikoriza. BPTH Jawa dan Madura :
Jawa Timur
Astuti, W.D. 2000. Biodiversitas Cendawan
Mikoriza Arbuskula Pada Rizosfer
Rumput Gajah (Pennisetum purpureum)
Di Bogor dan Lembang. Skripsi.
Jurusan Ilmu Nutrisi dan Makanan
Ternak. Fakultas Peternakan IPB. Bogor
Basuki,
S., Suwarso, A.Herwati, dan S.
Yulaikah.1999. Biologi dan Morfologi
Tembakau Madura. Balai Penelitian
Tembakau dan Tanaman Serat
Bonfante-Fosolo P. 1984. Anatomy And
Morphology Of Vesicular-Arbuscular
Mycorrhizae. CRC Press. Inc. Boca
Raton. Florida pp. 6-33
Brundrett MC, Melville L and Peterson L. 1994.
Practical Methods In Mycorrhiza
Research. Mycologue Publications.
Ontario, Canada. 161 pp
Brundrett, M. 2004. Diversity and Classification
of Mycorrhizal Associations. Biol. Rev.
79:473–495
Brundrett, M.C., N. Bougher, B. Dells, T.
Grove, And N. Malajczuk. 1996.
Working with Mycorrhizas in Forestry
and Agriculture. ACIAR. Canberra.
Budi, H., M. Gulamadi, L.K. Darusman, S.A
Aziz,
I.
Mansur.
20011.
Keanekaragaman
Fungi
Mikoriza
Arbuskula (FMA) Pada Rizosfer
Tanaman Pegagan (Centella asiatica (L.)
Urban). Jurnal Litri Vol. 17 No. 1,
Maret 2011 : 32-40
Cahyono, B. 1998. Tembakau: Budi Daya dan
Analisis Tani. Kanisius. Yogyakarta
Badan Pusat Statistik Kabupaten Pamekasan
(BPS Pamekasan). 2010. Kabupaten
Pamekasan Dalam Angka. Katalog BPS
: 1403.3528
Charoenpakdee. S, Phosri. C, Dell. B and
Lumyong. S. 2010. The Mycorrhizal
Status Of Indigenous Arbuscular
Mycorrhizal Fungi Of Physic Nut
(Jatropha
Curcas)
In
Thailand.
Mycosphere 1(2) : 167-181
Bagyaraj, D.J, E. Munyanziza, Kehri H.K. 1997.
Agricultural
Intensification,
Soil
Biodiversity And Agro-Ecosystem
Function In The Tropics: The Role Of
Mycorrhiza In Crops And Trees.
Applied Soil Ecology 6 : 77-85
Delvian. 2005. Respon Pertumbuhan dan
Perkembangan Cendawan Mikoriza
Arbuskula dan Tanaman Terhadap
Salinitas Tanah. Jurusan Kehutanan
Fakultas Pertanian Universitas Sumatera
Utara
Baon.
Dewi, A.I.R. 2007. Peran, Prospek dan Kendala
Dalam Pemanfaatan Endomikoriza.
Jurusan Budidaya Pertanian, Program
Studi Agronomi, UNPAD : Jatinangor
J.B. 1998. Serapan Hara dan
Pertumbuhan
Kopi
Robusta
Bermikoriza. Prosiding
Kongres
Nasional VI HITI Buku I halaman 741749
Elfiati, D. dan Delvian. 2007. Keanekaragaman
Cendawan Mikoriza Arbuskula (CMA)
Berdasarkan
Ketinggian
Tempat.
Departemen Kehutanan. Jurnal Ilmu
Pertanian 3: 371-378
Handayanto A. dan Hairiah. 2007. Biologi
Tanah, landasan Pengelolaan Tanah
Sehat. Pustaka Adipura : Yogyakarta
Hapsoh. 2008. Pemanfaatan fungi Mikoriza
Arbuskula Pada Budidaya Kedelai Di
Lahan Kering. Pidato Pengukuhan Guru
Besar Fakultas Pertanaian Universitas
Sumatera Utara. Medan
Harley. J.L, Smith. S.E. 1983. Mycorrhizal
Symbiosis. Academic Press. London
Madjid, A. 2009. Peran dan Prosek Mikoriza.
Program Pascasarjana.
Universitas
Sriwijaya. Palembang
Manjunath, A., D. J. Bagrayaj. 1984. Effect Of
Funicides On Mycorrhizal Colonization
And Growht Of Anion. Plant and Soil
78: 147-150
Martodireso, S. dan Widada A. S. 2001.
Terobosan Teknologi Pemupukan dalam
Era Pertanian Organik. Kanisius.
Yogyakarta
Mikola, P . 1965.
Studies on the
Ectendotrophic Mycorrhizae of Pine.
Acta Forest. Fenn. 79:1-56
Mosse,
S. 1981. Vesicular
Mycorizarescarh
for
agriculture. Ress. Bull
Arbuscular
tropical
Hartoyo, B., M. Ghulamahadi, L.K Darusman,
S.A Aziz, dan I. Mansur. 2011.
Keanekaragaman
Fungi
Mikoriza
Arbuskula (FMA) Pada Rizosfer
Tanaman Pegagan (Centella asiatica
(L.) Urban). Jurnal Litri 17(1) : 32-40
Mukani dan A.S. Murdiyati. 2003. Profil
Komoditas Tembakau. Laporan Hasil
Penelitian. Puslitbangbun. Bogor
Hayman, D.S. 1975. The Occurrence of
Mycorrhiza in Crops as Affected by Soil
Fertility. Dalam: Sanders, F.E., B.
Mosse and P.B Tinker (Eds).
Endomycorrhizas Academics Press.
London
Murdiyati A.S., A. Herwati, dan Suwarso. 2009.
Pengujian Efektivitas Penggunaan
Pupuk ZK terhadap Hasil dan Mutu
Tembakau Madura. Buletin Tanaman
Tembakau, Serat & Minyak Industri.
Malang
Heyne K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia
III. Badan Litbang Kehutanan, Yayasan
Sarana Wana Jaya. Jakarta
Nurhidayati. T, K.I Purwani, D. Ermavitalini.
2010. Isolasi Mikoriza VesikularArbuskular Pada Lahan Kering Di Jawa
Timur. Berkala Penelitian Hayati Edisi
Khusus: 4F (43-46)
Javaid, A. and T. Riaz. 2008. Mycorrhizal
Colonization in Different Varieties of
Gladiolus and its Relation with Plant
Vegetative and Reproductive Growth.
Inernational. Journal Agricultur. Vol.
10: 278 – 282
Killham, K, 1994. Soil Ecology. Cambridge
University Press
Laiho, O. 1976. Further Studies on the
Ectendotrophic
Mycorrhizae. Acta
Forest. Fenn. 79:1-35
Liu, R. and F. Wang. 2003. Selection Of
Appropriate Host Plants Used In Trap
Culture Of Arbuscular Mycorrhizal
Fungi. Mycorrhiza (13) :123–127
Pattimahu, D.V. 2004. Restorasi Lahan Kritis
Pasca Tambang Sesuai Kaidah Ekologi.
Makalah Mata Kuliah Falsafah Sains,
Sekolah Pasca Sarjana, IPB : Bogor
Prihastuti. 2007. Isolasi dan Karakterisasi
Mikoriza Vesikular Arbuskular di
Lahan Kering Masam, Lampung
Tengah. Berkala Penelitian Hayati 12 :
99-106
Scannerini, S. and Bonfante-Fosolo P. 1983.
Comparative ultrastructural analysis of
mycorrhizal associations. Cannada
Journal Botany. 61 : 917-922
Schenck NC, Perez Y. 1990. Manual for The
Identification of VA Mycorrhiza Fungi
3rd Edition. Gain sville: Synergistic
publication
Schenk, N.C. 1982. Methods And Principles Of
Mycorrhizal Research. The American
Phytopathological Society. St Paul.
Minnesota. USA
Sieverding E. 1991. Vesicular-Arbuscular
Mycorrhizal Management In Tropical
Agroecosystems. German Technical Cooperation (GZT). Eschborn, Germany.
52
Smith S.E. and Read D.J. 1997. Mychorrhizal
Symbiosis. Academic Press. Harcourt
Brace And Company Publisher. San
Diego: 96
Srivastava, D., R. Kapoor, S.K. Srivastava and
K.G
Mukerji.
1996.
Vesicular
Arbuscular Mycorrhiza – an overview.
Dalam: Mukerji, K.G (Ed). Concepts in
Mycorrhizal
Research.
Kluwer
Academic Publishers. Netherlands
Suhardi, 1989. Mikoriza Vesikular Arbuskular
(MVA). UGM Press. Yogyakarta
Sylvia, D.M dan D.B Hubbell. 1990. Field
Response of Maize to a VAM Fungus
and Water Management. Agron. J. 85:
193-198
Wubet,T., I. Kottke, D. Teketay, F. Oberwinkler.
2003. Mycorrhizal Status Of Indigenous
Trees In Dry Afromontane Forest Of
Ethiopia.
Ethiopian
Agricultural
Research.
Forest
Ecology
And
Management 179: 387-399
Yang. F.Y., G. Z. Li, D. E. Zhang, P. Christie,
X. L. Li, J. P. Gai. 2010. Geographical
And Plant Genotype Effects On The
Formation Of Arbuscular Mycorrhiza In
Avena Sativa And Avena Nuda At
Different Soil Depths. Biol Fertil Soils
46:435-443
Yassir, I., R. Mulyana Omon. 2006. Hubungan
Potensi Cendawan Mikoriza Arbuskula
dan Sifat-Sifat Tanah Di Lahan Kritis.
Jurnal Penelitian Hutan
Vol.3 No.2 : 107-115
Tanaman.
Yovita, A.L. 2008. Isolasi dan Identifikasi
Cendawan Mikoriza Arbuskula Asal
Tanah Pertanian dan Perkebunan Jawa
Barat. Skripsi. Departemen Biologi IPB.
Bogor
Zarate, J.T. and R.E. Dela Cruz. 1995. Pilot
Testing
The
Effectiveness
Of
Arbuscular Mycorrhizal Fungi In The
Reforestation Of Marginal Grassland.
Biotrop
Spec.
Biology
and
Biotechnology of Mycorrhizae. Publ.56
: 131-137
Download