“ KOMUNIKASI DAN SOSIALISASI KAUM GAY DALAM MASYARAKAT ” (Studi Deskriptif Kualitatif tentang Komunikasi dan Sosialisasi Kaum Gay Dalam Pengungkapan Diri pada Masyarakat di Kabupaten Sragen) SKRIPSI Diajukan untuk Melengkapi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Gelar Sarjana Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Ilmu Komunikasi Disusun oleh : Sri Andri Hariyanto D.1206567 DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL UNIVERSITAS SEBELAS MARET PROGRAM S-1 NON REGULER FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK 2010 i PERSETUJUAN Disetujui untuk dipertahankan di hadapan Panitia Penguji Skripsi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta Pembimbing I Pembimbing II Drs. Nuryanto, M.Si NIP. 19490831 197802 1 001 Dra. Christina Tri Hendriyani, M.Si NIP. 19620117 198661 2 001 ii PENGESAHAN Telah diuji dan disahkan oleh Panitia Ujian Skripsi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta Pada Hari Tanggal : Selasa : 23 Pebruari 2010 Panitia Ujian Skripsi 1. Dra. Prahastiwi Utari, M.Si, Ph.D NIP. 19600813 198702 2 001 (.............................) Ketua 2. Nora Nailul Amal, S.Sos, MLMEd, Hons NIP. 19810429 200501 2 002 (.............................) Sekretaris 3. Drs. Nuryanto, M.Si NIP. 19490831 197802 1 001 (.............................) Penguji I 4. Dra. Christina Tri Hendriyani, M.Si NIP. 19620117 198601 2 001 (……………….…) Penguji II Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta Dekan iii Drs. Supriyadi SN, SU NIP. 19530128 198103 1 002 MOTTO “Dan sesungguhnya hari kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang sekarang (permulaan)” (QS Adh Dhuhaa : 4) ### “Jangan menganggap tugas belajarmu sebagai sebuah kewajiban melainkan pandanglah itu sebagai sebuah kesempatan untuk menikmati betapa indahnya ilmu pengetahuan, kepuasan hati yang diberikannya, serta manfaat yang akan diterima oleh masyarakat apabila jerih payahmu berhasil.” (Sebuah nasehat bagi seorang mahasiswa, Princenton AS, dari Albert Einstein) ### “Banyak orang mempunyai ambisi untuk sukses. Mereka bahkan punya keterampilan istimewa dalam bekerja. Tapi mereka tidak juga maju. Mengapa? Mungkin mereka berpikir karena mereka menguasai pekerjaan mereka, mereka tak perlu lagi menguasai diri mereka.” iv (John Stevenson) v PERSEMBAHAN Thanks to: Allah SWT My Luvly Mom and Dad My Brothers and My Sisters And All My Family vi KATA PENGANTAR Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan nikmat, karunia dan rahmat-Nya kepada penulis sehingga penulis diberikan kesempatan untuk dapat menyelesaikan skripsi ini. Proses penyusunan skripsi ini melibatkan pihak-pihak yang telah memberikan bimbingan, dukungan, dorongan dan bantuan kepada penulis. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih dan rasa hormat kepada: 1. Drs. Supriyadi, SN, SU selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta. 2. Drs. Surisno Satriyo Utomo, M.Si selaku Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi Non Reguler FISIP UNS. 3. Drs. Nuryanto, M.Si dan Dra. Christina Tri Hendriyani, M.Si selaku Pembimbing Skripsi, yang telah melaksanakan bimbingan dengan baik, sabar dan senantiasa memberikan motivasi kepada penulis. 4. Drs. Hamid Arifin, M.Si selaku Pembimbing Akademis. 5. Semua staff pengajar di Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP UNS. 6. Semua staff Yayasan Gessang Surakarta, yang telah memberikan waktu, memberikan data-data dan informasi serta bantuan dalam mencari informan. 7. Kedua orang tua dan seluruh keluarga untuk bantuan material. 8. Teman-teman di Ilmu Komunikasi Non Reguler FISIP UNS angkatan 2006, angkatan 2007 dan D3 Broadcasting FISIP UNS 2003. vii 9. Teman-teman dekat penulis yang selalu memberikan motivasi : Arolieta, Aim Fatimah Tehong, Mas Pandi, Bang Heru. 10. Teman-teman penyiar dan staff Radio ASRI 95.5 FM Sragen. 11. Serta semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah membantu dalam pengerjaan skripsi ini. Penulis menyadari betul skripsi ini masih memiliki banyak kekurangan. Namun demikian penulis tetap berharap dapat memberikan manfaat kepada siapapun yang membaca. Surakarta, Pebruari 2010 Penulis viii DAFTAR ISI Halaman JUDUL …………………………………………………………….................. i PERSETUJUAN …………………………………………………………...... ii PENGESAHAN ……………………………………………………………… iii MOTTO ……………………………………………………………………… iv PERSEMBAHAN …………………………………………………………… v KATA PENGANTAR …………………………………………………...….. vi DAFTAR ISI ………………………………………………………………… viii ABSTRAK …………………………………………………………………… BAB I xi PENDAHULUAN A. L atar Belakang ………………………………………………….. 1 B. R umusan Masalah ………………………………………………. 9 C. T ujuan Penelitian ……………………………………………….. D. 9 Man faat Penelitian ……………………………………………… 9 E. K erangka Teori …………………………………………………. ix 10 1. K omunikasi …………………………………………………. 10 2. S osialisasi …………………………………………………… 15 3. G ay ………………………………………………………….. 17 4. P engungkapan Diri ………………………………………….. 5. 22 Peril aku ……………………………………………………... 6. 26 Iden titas …………………………………………………….. F. 27 Defi nisi Konsepsional ...………………………………………… 29 a. K omunikasi ………………………………………….……… b. 29 Sosi alisasi …………………………………………….…….. c. 30 Kau m Gay ……………………………………………..……. d. 30 Pen gungkapan Diri ………………………………….……… x 31 e. Iden titas …………………………………………….………. 31 G. K erangka Pemikiran ………………………………….….……… 31 H. M etodologi Penelitian …………………………………….…….. 33 1. J enis Penelitian………………………………………………. 33 2. M etode Penelitian …………………………………………… 34 3. P opulasi dan Sampel ………………………………………... 35 4. T eknik Pengambilan Sampel ……………………………….. 36 5. T eknik Pengumpulan Data ………………………………….. 36 6. A nalisis Data ………………………………………………... 39 7. V aliditas Data ……………………………………………….. 41 BAB II KEHIDUPAN KAUM GAY DI SRAGEN A. K ondisi Geografis Sragen ………………………………………. xi 44 B. P ola Kehidupan …………………………………………………. 45 C. K omunitas Gay …………………………………………………. 53 BAB III KOMUNIKASI DAN SOSIALISASI KAUM GAY DI SRAGEN A. D ata Informan dan Latar Belakang Keluarga …………………... 57 B. K omunikasi dan Sosialisasi Kaum Gay di Sragen ……………… 62 C. P engungkapan Diri Kaum Gay di Sragen ………………………. 71 BAB IV ANALISIS TERHADAP KAUM GAY DI SRAGEN A. I dentitas Diri Kaum Gay ………..……………………………… 79 B. C ara Mengkomunikasikan Identitas Diri pada Masyarakat .….... 81 C. M asyarakat ……………………………………………….…….. 91 BAB V PENUTUP A. K esimpulan ………………………………………………..…… 94 B. S aran ………………………………………………………..….. xii 95 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN xiii ABSTRAK Sri Andri Hariyanto, D.1206567, KOMUNIKASI DAN SOSIALISASI KAUM GAY DALAM MASYARAKAT (Studi Deskriptif Kualitatif tentang Komunikasi dan Sosialisasi Kaum Gay Dalam Pengungkapan Diri pada Masyarakat di Kabupaten Sragen), Skripsi, Jurusan Ilmu Komunikasi Non Reguler, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2010. Kaum gay merupakan kaum minoritas yang ada di tengah-tengah masyarakat heteroseks. Mereka memiliki perbedaan dalam masalah orientasi seksual. Kaum gay merupakan salah satu penyimpangan seksual di mana mereka merasakan kesenangan dengan sesama jenis yaitu laki-laki dengan laki-laki. Agar keberadaan mereka bisa diterima oleh lingkungan masyarakat heteroseks, maka perlu adanya pengungkapan diri tentang penyimpangan yang dimilikinya. Tetapi tidak semua masyarakat bisa menerima keberadaan kaum gay. Dari itulah perlu adanya proses komunikasi dan sosialisasi dalam pengungkapan diri terhadap lingkungan masyarakat. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui fenomena kaum gay di Kabupaten Sragen dan untuk melihat bagaimana proses komunikasi dan sosialisasi kaum gay dengan masyarakat sekitarnya di Kabupaten Sragen dalam hal pengungkapan diri. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara, observasi dan studi pustaka. Sedangkan pengujian validitas data dalam penelitian ini menggunakan triangulasi sumber dengan membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda, data yang sama atau sejenis akan lebih mantap kebenarannya bila digali dari beberapa sumber data yang berbeda. Berdasarkan hasil penelitian penulis menyimpulkan bahwa fenomena kaum gay di Sragen sudah dapat berdiri sendiri seperti halnya kaum gay di kotakota besar lainnya. Mereka sudah berani untuk mengungkapkan diri mereka kepada teman, keluarga ataupun lingkungan tempat tinggal mereka. Meskipun mereka sudah diterima masyarakat tetapi mereka juga harus mengikuti normanorma masyarakat yang ada agar keberadaan mereka bisa tetap dihargai oleh masyarakat. Dalam pengungkapan diri yang dilakukan, mereka memerlukan suatu komunikasi dan bersosialisasi dengan lingkungan. Dan komunikasi dan sosialisasi yang dilakukan tidak berbeda dengan masyarakat normal lainnya. Mereka tetap menjalankan norma-norma yang berlaku dan tidak melanggar aturan-aturan yang ada di tengah masyarakat seperti tidak berlaku vulgar dengan pasangannya di depan orang lain, menjaga tindak tanduk mereka agar masyarakat tetap menghargai keberadaan mereka serta membaur dengan lingkungan sekitar agar xiv tidak tercipta anggapan bahwa kaum gay adalah kelompok eksklusif yang memisahkan diri. xv ABSTRACT Sri Andri Hariyanto, D.1206567, KOMUNIKASI DAN SOSIALISASI KAUM GAY DALAM MASYARAKAT (Studi Deskriptif Kualitatif tentang Komunikasi dan Sosialisasi Kaum Gay Dalam Pengungkapan Diri pada Masyarakat di Kabupaten Sragen), Skripsi, Jurusan Ilmu Komunikasi Non Reguler, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2010. The community of gay is a minority community within heterosexual society. They have different sexual orientation. Gay is a kind of sexual deviation which they feel fun with the same gender; between man and man. In order to state their existences in society, they have to reveal their community although not all societies can accept their existences. So communication and socialization are needed in revealing their existences in society. The purposes of this research are to know the phenomenon of gay community in Kabupaten Sragen and to see how the guy’s communication and socialization processes with the surrounding society in Kabupaten Sragen in the case of revealing their existences. The methodology that was used in this research was qualitative descriptive. The data was gathered by interview, observation and library study. Whereas the data validity testing in this research used sources triangulation with comparing and checking information about the return of degree belief which were gained through different times and devices since the data would be more valid if they were gathered from several different sources. Based on the research results, the writer concluded that the phenomenon of gay community in Sragen had stood by themselves as the gay community in other big cities. They had taken upon to state their existences to friends, families or their environments. Even though the society had accepted their existences, they still had to follow the existing society’s rules so that they could be appreciated. In revealing their community, they needed to communicate and socialize with the environments. The communication and socialization done were not different from the normal society in general. They still followed the existing society’s rules and did not against the existing rules such as did not show their intimacies in front of others, kept their actions so that the society appreciated their existences and merged into the surrounding society in order to omit opinion that the gay community was separated exclusive group. xvi ABSTRACT Sri Andri Hariyanto, D.1206567, KOMUNIKASI DAN SOSIALISASI KAUM GAY DALAM MASYARAKAT (Studi Deskriptif Kualitatif tentang Komunikasi dan Sosialisasi Kaum Gay Dalam Pengungkapan Diri pada Masyarakat di Kabupaten Sragen), Skripsi, Jurusan Ilmu Komunikasi Non Reguler, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2010. The community of gay is a minority community within heterosexual society. They have different sexual orientation. Gay is a kind of sexual deviation which they feel fun with the same gender; between man and man. In order to state their existences in society, they have to reveal their community although not all societies can accept their existences. So communication and socialization are needed in revealing their existences in society. The purposes of this research are to know the phenomenon of gay community in Kabupaten Sragen and to see how the guy’s communication and socialization processes with the surrounding society in Kabupaten Sragen in the case of revealing their existences. The methodology that was used in this research was qualitative descriptive. The data was gathered by interview, observation and library study. Whereas the data validity testing in this research used sources triangulation with comparing and checking information about the return of degree belief which were gained through different times and devices since the data would be more valid if they were gathered from several different sources. Based on the research results, the writer concluded that the phenomenon of gay community in Sragen had stood by themselves as the gay community in other big cities. They had taken upon to state their existences to friends, families or their environments. Even though the society had accepted their existences, they still had to follow the existing society’s rules so that they could be appreciated. In revealing their community, they needed to communicate and socialize with the environments. The communication and socialization done were not different from the normal society in general. They still followed the existing society’s rules and did not against the existing rules such as did not show their intimacies in front of others, kept their actions so that the society appreciated their existences and merged into the surrounding society in order to omit opinion that the gay community was separated exclusive group. xvii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berbicara tentang homoseksual sebenarnya tidak hanya menyangkut obyek laki-laki. Homoseksual merupakan penyimpangan arah seksual di mana terjadi keterkaitan dengan semua jenis bila dipandang dari unsur seksual, entah itu antara laki-laki dengan laki-laki atau perempuan dengan perempuan. Tetapi untuk memudahkannya sering kali mengenal panggilan masing-masing untuk membedakannya. Panggilan gay dipakai untuk menyebutkan lelaki “merindukan” lelaki. Sementara bila perempuan yang “tertarik” dengan perempuan biasanya dikenal dengan sebutan lesbian. Peneliti sadar bahwa apa yang diutarakan di atas adalah salah dan telah menyimpang dari norma-norma yang ada, di mana dikatakan bahwa fungsi seks yang paling utama dan sudah menjadi kodrat manusia adalah prokreasi yaitu pria dan wanita berhubungan seks dengan tujuan melahirkan anak. Dan prinsip ini membimbing ke arah pembuatan putusan benar dan salah, karena semua yang salah adalah yang tidak menjurus ke arah menghasilkan kelahiran anak yang sah adalah buruk maka masyarakat mengutuk salah satunya yaitu homoseksualitas. Tapi ini tidak berarti bahwa aktivitas demikian tidak terjadi. Seperti kita ketahui dari kitab-kitab suci, aktivitas itu terjadi sejak jaman dulu. Bahkan di negara Islam sekalipun, di mana adanya istilah “tabu” terhadap perilaku seks yang menyimpang yang xviii dilakukan oleh pria atau wanita sebelum menikah bahkan meskipun mereka sudah menikah.1 Agama Kristen dan pendahulunya, agama Yahudi (Yudisme) memang mempunyai pandangan terhadap seks oleh sejarawan seksualitas Vern L. Bullough dinamakan seks negatif. Seks hanyalah melulu untuk prokreasi (mendapatkan keturunan) di dalam pernikahan resmi (yang disahkan oleh gereja). Sedangkan pemanfaatan kemampuan seks pada manusia untuk tujuan lain (rekreasi, misalnya) dipandang sebagai penyimpangan yang penuh noda dan dosa.2 Menurut Donald W. Cory, seorang psikiater dan psikologis, homoseksual adalah subyek yang merupakan bahan tertawaan dan kaum yang sudah dihukum penjara seumur hidup. Opini masyarakat dan legalitas yang ada tidak memungkinkan bagi mereka untuk berada dalam masyarakat. Cory merasa bahwa masalah yang muncul bukan dari kehidupan sebagai homoseksual di dalam lingkungan heteroseksual.3 Cory mengatakan bahwa homoseksual sejati tidak akan pernah menikah, sementara bagi yang memiliki hasrat homoseksual sekaligus heteroseksual akan melakukan pernikahan. Meskipun dikatakan homoseksual tidak memiliki hasrat untuk menikah, terdapat banyak alasan mengapa mereka mungkin menjalani suatu pernikahan. Hubungan seseorang homoseksual kebanyakan singkat dan tidak stabil. Oleh karena itu, kemungkinan alasan kaum homoseksual memasuki perkawinan yang heteroseksual untuk mendapatkan kestabilan 1 Landis Paul H, Social Problem in Nation and Worlds, 1959, hal. 232 Dede Oetomo, Memberi Suara pada yang Bisu, Pustaka Marwa, Yogyakarta, 2003, hal. 9 3 Ibid, hal. 285 2 xix dan hubungan yang tetap. Mereka tidak ingin hidup sendiri, khususnya kekhawatiran di hari tua. Selain itu banyak masyarakat yang tidak bisa menerima seorang homoseksual dan menikah juga merupakan salah satu cara mereka agar bisa diterima di tengah masyarakat. Sedang bagi orang yang terkenal yang merupakan seorang homoseksual pernikahan merupakan topeng yang tepat untuk menutupi kegiatannya dengan seorang homoseksual. Fakta kehadiran kaum gay ini, memang tidak begitu diterima di tengah masyarakat. Kutukan atau hujatan sering dilontarkan, tanpa adanya usaha untuk memahami dan mengerti tentang keberadaan mereka. Seandainya diterima hanya pada lingkungan-lingkungan tertentu saja. Seperti halnya kebudayaan di Jawa Timur, tepatnya di Ponorogo pada awal abad 20, daerah Ponorogo umum dikenal karena kesenian reognya yang melibatkan tokoh yang disebut warok, yang lazim memelihara gemblak (laki-laki pilihan). Gemblak adalah seorang remaja putra yang menjadi mitra warok, yang ditabukan berhubungan seks dengan perempuan dalam mencapai dan mempertahankan kesaktiannya. Namun warok (laki-laki dewasa) juga beristri dan berketurunan, biasanya hal itu terjadi apabila ia sedang tidak mencari kesaktian. Tradisi gemblakan nampaknya dijumpai pula di kawasan-kawasan lain seperti Surabaya dan sekitarnya. Di sini dapat dilihat adanya suatu budaya di Indonesia yang secara ekplisit memberikan xx suatu ruang yang luas bagi tumbuh dan berkembangnya perilaku seks sejenis (homoseks).4 Sementara itu di Solo, ada seorang lelaki berstatus sosial tinggi yang beristri dan beranak, namun gemar memelihara “momongan” lelaki muda. Perilaku “sugar dady” (gay sepuh yang pemurah) ini ditolelir sang istri. Bagi sang istri, suaminya lebih baik punya “momongan” lelaki daripada jadi “bandot” tua yang hobinya mmelihara gundik. Momongan suaminya itu tidak mungkin hamil, tidak akan punya anak, sehingga warisan suami aman diturunkan hanya untuk anak-anak dan istri satu-satunya.5 Tetapi penerimaan yang ada tidaklah hadir di dalam segenap masyarakat. Tetap ada suatu pemisah antara kaum gay dengan masyarakat lainnya. Jika ditinjau lebih dalam terdapat pandangan yang menyatakan bahwa kaum homoseks berpendidikan lebih rendah atau memiliki tingkat kecerdasan lebih rendah dibandingkan heteroseksual. Sementara beberapa studi menunjukkan sebaliknya, mereka memiliki kecerdasan di atas rata-rata. Mereka memiliki bermacam-macam keterikatan, tetapi lebih banyak tertarik pada bidang estetika (keindahan), seperti dalam bidang puisi, musik dan kesusastraan. Selain itu adanya pandangan bahwa homoseks berada di kalangan bawah. Padahal banyak orang-orang terkenal, pegawai-pegawai pemerintah yang berprestasi menyatakan dirinya sebagai seorang homoseks. Hal-hal seperti ini sering menyebabkan pengungkapan diri mereka terhambat oleh perasaan-perasaan takut ditolak, dihujat dari perasaan malu. 4 5 Ibid, hal. 17 Ibid, hal. vii xxi Kondisi seperti ini membuat kaum homoseks terutama di dalam lingkungan masyarakat yang kompleks seperti kota besar memiliki tempat-tempat pertemuan tertentu seperti restoran, klub malam, bar dan kafe-kafe. Mereka menciptakan tempat-tempat rahasia di mana kegiatan-kegiatan yang dilakukan hanya di ketahui oleh mereka sendiri. Sebagai manusia, seorang gay membutuhan kasih sayang dan perhatian. Selain diperoleh dari pasangan mereka sesama gay, mereka juga membutuhkan perhatian dari keluarga, teman bahkan lingkungan tempat tinggal mereka. Hal tersebut sangatlah sulit bila mereka tidak memberanikan membuka diri dan menyampaikan kepada lingkungan bahwa mereka adalah homoseks. Berdasarkan majalah Gaya Nusantara edisi 56, Juli 2000, yaitu majalah yang berisi informasi mengenai dunia homoseksual, dikatakan bahwa kebanyakan kaum gay terbuka hanya kepada sebagian orang saja. Sedang alasan mereka terbuka sebenarnya sangat sederhana, yaitu agar keberadaan mereka bisa diterima siapa saja. Perilaku keterbukaan diri ini dilakukan dengan pertimbangan yang cukup lama dan setelah mereka benarbenar yakin akan resiko yang akan muncul di belakang nanti. Biasanya mereka terbuka kepada orang tua, sesama gay dan masih sedikit yang sudah berani terbuka secara terang-terangan kepada lingkungannya tentang perilaku seks yang mereka miliki. Dalam komunitas gay, terdapat dua strategi utama dalam melakukan pergaulan dengan dunia luar lingkungan mereka, yaitu : gay yang tertutup memisahkan antara kehidupan pribadi mereka dengan dunia xxii luar. Sewaktu berada dalam lingkungan yang normal, mereka berusaha menyembunyikan identitas seksualnya dari orang-orang sekitar. Gay yang bebas secara kontras lebih aktif menyatakan identitas seksualnya dalam berbagai aspek kehidupan. Gay yang tertutup menghindari anggapan jelek dari lingkungannya sementara gay yang bebas mencoba untuk menghadapi dan mengubah anggapan jelek tersebut.6 Pengungkapan diri yang dilakukan akan menimbulkan sesuatu persepsi dalam masyarakat yang diikuti dengan stereotip negatif tentang diri mereka. Hal ini akan sangat mempengaruhi interaksi yang akan berlangsung dalam pergaulan sehari-harinya. Di samping itu, kaum minoritas seperti kaum gay ini biasanya memiliki ego yang tinggi. Mereka akan cenderung untuk bergaul dengan orang yang memiliki kesamaan dan dengan menggunakan istilah-istilah (bahasa) yang sebagian besar hanya dimengerti oleh lingkungan sendiri. Kaum gay setidaknya menghadapi tiga jenis tekanan dan lingkungan sekitar, yaitu berupa : 1. Hukuman fisik, di mana mereka dianggap sebagai kelompok yang kotor yang dinyatakan tidak sah dan orang memperlakukan mereka sebagai golongan yang harus ditangkap. 2. Pekerjaan-keuangan. Dalam hal ini, kaum gay yang dibatasi dalam kesempatan bekerja, promosi jabatan dan pembatasan penghasilan yang akan mereka terima. Apakah kaum gay memilih terbuka atau memilih 6 Persell Caroline Hodges, Understanding Society, 1990, hal. 360 xxiii untuk tetap tertutup sangat tergantung dari pertimbangan jabatan dan di mana mereka bekerja. Semakin tinggi jabatan yang diduduki oleh orang tersebut, maka akan semakin besar kemungkinan dia akan menutup diri dari orang lain tentang perilaku seks yang dimilikinya. Dan kebanyakan dari mereka akan menutupnya dengan memiliki sebuah keluarga (dalam hal ini istri dan anak) agar mereka terhindar dari sorotan lingkungannya. 3. Individu perusak, mereka dianggap sebagai individu yang merupakan noda yang menyebabkan rasa sakit, penuh dosa atau perbuatan tercela lainnya. Persepsi yang muncul dalam masyarakat mengenai gay salah satunya kehidupan seks bebas (free sex), yang dengan perilaku seks ini dapat menimbulkan berbagai masalah di belakang hari nanti, yaitu semakin menyebarnya virus HIV/AIDS, yang disebabkan oleh kegiatan berganti-ganti pasangan yang dilakukan.7 Kaum gay meskipun merupakan kaum minoritas yang ada dalam masyarakat tetap merupakan manusia yang memiliki suatu keinginan. Baik itu keinginan (orientasi) dalam perilaku seks atau keinginan (obsesi) untuk masa depannya nanti. Pengertian dan pemahaman akan kebersamaan mereka itulah suatu bagian penting untuk mengungkap keberadaan kaum gay ini. Permulaan suatu korelasi yang tinggi sangatlah penting dalam hal ini. Memang akan sulit bagi kita untuk melihat suatu ketidakwajaran. Tetapi di sinilah kita sebagai 7 masyarakat harus memiliki Ibid, hal. 360 xxiv hati yang lapang, melihat keanekaragaman yang ada di sekitar kita. Karena bagaimanapun, kaum gay masih tetap merupakan manusia yang memiliki potensi diri. Mereka juga mempunyai hak untuk berbahagia, sebagaimana manusia lainnya. Penelitian ini mencoba untuk memahami dan mengungkapkan keberadaan homoseks, bagaimana mereka berkomunikasi dalam mengungkapkan dirinya pada lingkungan sekitar. Dengan pemahaman yang ada, diharapkan dapat diperoleh pengungkapan diri (self disclosure) kaum homoseks, sehingga latar belakang, faktor penyebab, komunikasi yang terjadi serta sosialisasi lingkungan mereka dapat diketahui. Lingkungan Sragen yang menjadi tempat penelitian merupakan salah satu wilayah yang juga memiliki komunitas kaum gay meskipun keberadaannya tidak terlihat secara transparan namun mereka memiliki komunitas tetap di tempat-tempat tertentu seperti di tempat fitness, alun-alun dan angkringan. Kaum gay di Sragen tidak sebanyak dan sebebas di kotakota besar lainnya. Hal ini disebabkan karena Sragen masih kuat dengan adat budaya Jawa yang menganggap hubungan sejenis adalah hubungan yang saru dan aneh, karena itu kaum gay di Sragen cenderung lebih tertutup. Dalam kehidupan sehari-hari kaum gay di Sragen juga melakukan aktivitas dengan masyarakat normal. Tetapi ketika mereka beraktivitas dengan masyarakat normal ternyata kaum gay memiliki rasa yang kurang percaya diri. Mereka takut kalau keberadaan mereka diketahui oleh temantemannya. Sebenarnya mereka juga berkeinginan agar mereka bisa diterima keberadaannya di tengah masyarakat normal, tetapi mereka masih belum xxv berani dengan pengungkapan mereka. Ketakutan yang mereka alami kemungkinan setelah adanya pengakuan maka masyarakat normal akan menjauhi mereka dengan berbagai alasan. B. Rumusan Masalah Dengan melihat latar belakang di atas, maka peneliti dapat merumuskan masalah sebagai berikut : 1. Secara khusus - Bagaimana kaum gay melihat identitas mereka? - Bagaimana kaum gay mengkomunikasikan identitas-identitas tersebut kepada masayarakat (keluarga dan masayarakat luas)? 2. Secara umum - Bagaimanakah kaum gay di Kabupaten Sragen mengkomunikasikan identitas diri mereka kepada masyarakat? C. Tujuan Penelitian Untuk mengetahui identitas kaum gay dan cara bagaimana kaum gay mengkomunikasikan identitas diri mereka kepada masyarakat. D. Manfaat Penelitian 1. Bagi penulis khususnya, memberikan pengetahuan bagaimana kehidupan kaum gay terjadi di tengah masyarakat heterogen. 2. Secara umum diharapkan penulis dapat memberikan manfaat kepada dosen, mahasiswa, akademisi serta masyarakat pada umunya terkait dengan perilaku kaum gay di masyarakat. xxvi E. Kerangka Teori 1. Komunikasi Komunikasi mempunyai peranan yang penting dalam kehidupan manusia, karena manusia adalah makhluk sosial dan memerlukan hubungan dengan orang lain. Dalam kehidupan sehari-hari disadari atau tidak komunikasi adalah bagian dari kehidupan manusia itu sendiri. Manusia sejak dilahirkan sudah berkomunikasi dengan lingkungannya. Selain itu komunikasi diartikan pula sebagai hubungan atau kegiatan-kegiatan yang ada kaitannya dengan masalah hubungan yang pada dasarnya manusia ingin mendapatkan perhatian di antara sesama ataupun kelompok. Menurut Edward Depari, komunikasi adalah proses penyampaian gagasan, harapan dan pesan yang disampaikan melalui lambang tertentu, mengandung arti, dilakukan oleh penyampai pesan ditujukan kepada penerima pesan.8 Menurut Lasswell komunikasi adalah dengan menjawab pertanyaan sebagai berikut: Who says What in Which channel To Whom with What Effect?9 Pendapat Lasswell tersebut menunjukkan bahwa komunikasi meliputi lima unsur jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan, yaitu: 8 9 A.W.Widjaja, Ilmu Komunikasoi, PT Rineka Cipta, Jakarta, 2000, hal. 13 Onong Uchana Effendy, Ilmu Komunikasi : Teori dan Praktek, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1994, xxvii a. Who say menunjukkan bahwa komunikator atau pengirim atau sumber b. What menunjukkan pesan yang ingin disampaikan c. In which channel menunjukkan saluran atau media yang akan digunakan d. To whom menunjukkan kepada siapa pesan itu ditujukan atau komunikan atau penerima pesan e. What effect menunjukkan apa pengaruh yang terjadi. Sedangkan dalam sebuah jurnal disebutkan bahwa komunikasi adalah mengirimkan dan menerima pesan, bagaimana kita berhubungan dengan satu sama lain, suatu bagian yang penting dalam hubungan, suatu jalan untuk menyatakan siapakah kita, lebih dari berbicara dan mendengarkan dan tentang sikap, nada suara, ekspresi wajah dan bahasa tubuh. Communication is: a. Sending and receiving messages b. How we relate to each other c. An important part of our relationships d. A way to express who we are e. More than talking and listening f. About attitude, tone of voice, facial expressions and body language.10 Jadi berdasarkan penjelasan tersebut maka komunikasi didefinisikan sebagai proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan melalui saluran atau media yang ada dan menimbulkan efek tertentu. 10 http://www.alzdsw.org xxviii Media telah menjadi sumber dominan bukan saja bagi individu untuk memperoleh gambaran dan citra realitas sosial tetapi juga bagi masyarakat dan kelompok secara kolektif karena media menyuguhkan nilai-nilai dan penilaian normatif yang dibaurkan dengan berita dan hiburan.11 Seperti dikatakan bahwa melakukan komunikasi dengan masyarakat tidak semudah membalikkan telapak tangan, terutama bagi kaum gay yang terkadang keberadaan mereka masih belum dianggap ada. Kegiatan komunikasi merupakan kunci awal untuk membuka identitas kaum gay kepada lingkungan sekitar. Suatu pemahaman popular mengenai komunikasi manusia adalah komunikasi yang mengisyaratkan penyampaian pesan searah dari seseorang kepada orang lain, baik secara langsung ataupun melalui media, seperti surat kabar, majalah, radio ataupun televisi. Komunikasi dianggap suatu proses linier yang dimulai dengan sumber atau pengirim dan berakhir pada penerima, sasaran dan tujuannya. Harold Laswell mengungkapkan bahwa untuk menggambarkan komunikasi adalah dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut “Who Says What In Which Channel To Whom With What Effect?” Atau Siapa Mengatakan Apa Dengan Saluran Apa Kepada Siapa Dengan Pengaruh Bagaimana?. Berdasarkan definisi Laswell, dapat diturunkan 11 Dennis Mc Quail, Teori Komunikasi Massa : Suatu Pengantar, Erlangga, jakarta, Edisi Kedua, 1994, hal. 3 xxix lima unsur komunikasi yang saling bergantung satu sama lainnya, yaitu :12 Pertama adalah sumber atau sering disebut komunikator. Komunikator adalah pihak yang berinisiatif atau mempunyai kebutuhan untuk berkomunikasi. Dalam menyampaikan apa-apa yang ada dalam hatinya (perasaannya) atau dalam pikirannya, komunikator harus mengubah perasaan atau pikirannya tersebut ke dalam seperangkat simbol verbal atau non verbal yang idealnya dapat dipahami oleh penerima pesan. Kedua adalah pesan yaitu apa yang disampaikan oleh komunikator kepada penerima. Pesan merupakan seperangkat simbol verbal dan non verbal yang memiliki perasaan, nilai, gagasan atau maksud dari komunikan. Ketiga adalah media yaitu alat yang digunakan komunikator untuk menyampaikan pesannya kepada penerima. Keempat adalah penerima atau biasa disebut komunikan, yaitu orang yang menerima pesan dari sumber. Penerima pesan biasanya menterjemahkan atau menafsirkan seperangkat simbol verbal atau non verbal yang ia terima menjadi gagasan yang dapat dipahami. Kelima adalah efek, yaitu apa yang terjadi pada penerima setelah komunikan menerima pesan dari komunikator. Efek dapat berupa 12 Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, hal. 6263 xxx penambahan pengetahuan, perubahan sikap, perubahan keyakinan dan lain-lain. Kegiatan komunikasi selain merupakan kegiatan pengoperan dan penerimaan lambang atau keinginan mengubah pendapat orang lain, juga merupakan suatu usaha untuk mengadakan hubungan sosial. Hal ini direalisasikan dengan jalan komunikasi yang serasi.13 Karena komunikasi sangat berperan penting dalam penyebaran informasi maka penilaian terhadap dampak informasi tersebut juga harus diperhatikan. Seperti dijelaskan dalam kutipan International Journal of Communication 3 (2009) Mass Society, Mass Culture, and Mass Communication berikut : For a complete assessment of its impact, one needs to look beyond specific outcomes by focusing on the pervasiveness of the media. On some matters, and especially at critical times, they provide vital information. Even the Internet, often considered an alternative to the mass media, takes account of the news and, on occasion, serves as the primary source for a major story. The two are inextricably linked. As Tarde, Lippmann, and many other early writers recognized, the power of media with access to the mass stems less from what they ask of people (prescription and persuasion) than from their portrayal of the world beyond the personal acquaintance of audiences. Unable ever to catch the full diversity of events and situations, the media supply the bits and pieces that, when put together, form the symbolic environment to which active citizens, including bloggers and nerds, are bound to react in one way or other. Hardly anyone — not even those who scorn the media — escapes their reach. In at least one regard, institutional leaders and élites enhance this influence through their concern about likely third-person effects, which makes them forever anticipate, and attempt to forestall, the response of the anonymous multitude to the continuous flow of images over the mass media. The resultant discourse and maneuvering, much of it played out in the public sphere and difficult as it is to map, needs to be moved into sharper focus by 13 Dr. Phil, Astrid S. Susanto, Komunikasi Dalam Teori dan Praktek, Bina Cipta, Bandung, 1988, hal. 88-89 xxxi researchers in mass communication. How to do so lies beyond the scope of this paper. 14 Berkaitan dengan komunikasi dan kebudayaan, maka lahirlah bentuk komunikasi lainnya yaitu komunikasi antarbudaya. Yang membedakan komunikasi antarbudaya adalah apabila sumber dan penerimanya berasal dari budaya yang berbeda. Komunikasi antarbudaya terjadi bila produsen pesan adalah anggota suatu budaya dan penerima pesan adalah anggota budaya lain. Dalam keadaan demikian kita dihadapkan dengan masalah yang ada dalam situasi di mana pesan disandi dalam suatu budaya dan harus disandi balik dalam budaya lain.15 2. Sosialisasi Menurut David A Geslin (Goslin. 1969) sosialisasi adalah proses belajar yang dialami oleh seseorang untuk memperoleh pengetahuan, ketrampilan, nilai-nilai dan norma-norma agar ia dapat berpartisipasi sebagai anggota dalam masyarakatnya. Horton dan Hunt bahwa sosialisasi merupakan suatu proses dengan mana seseorang menghayati (mendarah daging-internalize) norma-norma kelompok di mana ia hidup sehingga tumbuh “diri” yang unik. Ada dua proses sosialisasi manusia yaitu: 1. Sifat tergolong manusia pada manusia lain, misalnya bayi dilahirkan dalam keadaan sangat tergantung pada orang tuanya, baik secara biologis maupun secara sosial. 14 15 http://ijoc.org/ojs/index.php/ijoc/article/view/597/380 Drs. Jalaluddin Rahmat, Op.Cit., hal. 11 xxxii 2. Sifat adaptabilitas dan intelegensi manusia karena sifat ini, manusia mampu mempelajari bermacam-macam bentuk tingkah laku, memanfaatkan pengalamannya dan mengubah tingkah lakunya. (Vembriarto, 193:23). Menurut Vembriarto ada 3 metode yang mempengaruhi proses sosialisasi yaitu metode hukuman dan ganjaran, metode didactic teaching (anak diajarkan berbagai pengetahuan dan ketrampilan melalui pemberian informasi ceramah dan penjelasan) dan metode pemberian contoh. Menurut Robert M.Z. Lawang sosialisasi adalah proses mempelajari norma, nilai, peran, dan semua persyaratan lainnya yang diperlukan untuk memungkinkan partisipasi yang efektif dalam kehidupan sosial.16 Sedangkan dalam sebuah jurnal disebutkan bahwa sosialisasi adalah suatu proses berkelanjutan di mana seseorang memperoleh suatu jati diri dan mempelajari norma-norma, nilai-nilai, perilaku, dan ketrampilan sosial yang sesuai untuk posisi sosialnya. Socialization- a continuing process whereby an individual acquires a personal identity and learns the norms, values, behavior, and social skills appropriate to his or her social position.17 Berdasarkan jenisnya, sosialisasi dibagi menjadi dua: sosialisasi primer (dalam keluarga) dan sosialisasi sekunder (dalam masyarakat). Menurut Goffman kedua proses tersebut berlangsung 16 17 http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20090116003552AASN3WB http://www.millcreekhighschool.org xxxiii dalam institusi total, yaitu tempat tinggal dan tempat bekerja. Dalam kedua institusi tersebut, terdapat sejumlah individu dalam situasi yang sama, terpisah dari masyarakat luas dalam jangka waktu kurun tertentu, bersama-sama menjalani hidup yang terkukung, dan diatur secara formal.18 Sosialisasi primer terjadi pada usia anak masih kecil, dengan sosialisasi itu anak dapat mengenal lingkungan sosial sekaligus sebagai proses berlangsungnya pembentukan dasar kepribadian. Pada umumnya terjadi di keluarga yang merupakan kelompok primer. Kelompok primer di sini diartikan sebagai satuan hidup yang ditandai dengan hubungan yang akrab, mesra di antara anggotanya. Sedangkan sosialisasi sekunder terjadi setelah sosialisasi primer di mana yang lebih berperan adalah orang di luar keluarga misalnya sekolah, organisasi dan lingkungannya. 3. Gay Homoseksual adalah kelainan terhadap orientasi seksual yang ditandai dengan timbulnya rasa suka terhadap orang lain yang mempunyai jenis kelamin sejenis atau identitas gender yang sama. Istilah yang sudah umum dikenal masyarakat untuk orang yang termasuk homoseksual adalah gay (untuk lelaki penyuka lelaki) dan lesbian (untuk wanita penyuka wanita).19 Di Indonesia, meskipun kata gay sangat dikenal, ternyata kata ini tidak terdaftar dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). 18 http://noretz2.blogspot.com/2009/02/pengertian-sosialisasi.html 19 http://www.chem-is-try.org/artikel_kimia/biokimia/homoseksual_tinjaun_dari_perspektif_ilmiah/ xxxiv Sebaliknya, kata lesbian justru tercantum dengan arti “wanita yang mencintai atau merasakan rangsangan seksual sesama jenisnya;wanita homoseks”. Ada beberapa orang yang menggunakan istilah homo untuk mengacu kepada penyuka sesama lelaki. Padahal homo merupakan bentuk singkat dari homoseksual yang menurut KBBI berarti “kecenderungan untuk tertarik kepada orang lain yang sejenis.20 Gay bisa didefinisikan sebagai kelainan orientasi seksual yang ditandai dengan timbulnya rasa suka terhadap orang lain yang mempunyai jenis kelamin yang sama atau identitas gender yang sama. Menurut Hardiwardirjo dalam bukunya Moral dan Masyarakat adalah apabila hubungan itu menyangkut ikatan cinta antara sesama, yang dikenakan pada hubungan cinta yang sudah mendalam antara dua orang sejenis kelamin dan kemesraan mereka sudah begitu jauh, sehingga mencakup pula permainan seksual setingkat dengan senggama suami istri.21 Sedangkan homoseksual menurut Dede Oetomo didefinisikan sebagai orientasi atau pilihan seks yang diarahkan kepada seseorang atau orang-orang dari jenis kelamin yang sama atau ketertarikan orang secara emosional dan seksual kepada seseorang atau orang-orang dari jenis kelamin yang sama.22 Secara ilmiah bisa dibuktikan bahwa penyebab terjadinya gay bisa dipicu oleh faktor biologi dan biokimia (kelainan otak dan genetik). 20 http://indonesiasaram.wordpress.com/2008/05/23/homoseksual-gay-lesbian/ 21 Hardiwardirjo, Moral dan Masyarakat, 1991, hal. 48 22 Dede Oetomo, Op..Cit., hal. 6 xxxv Selain faktor biologi dan biokimia di atas, pemicu terjadinya gay bisa jadi disebabkan oleh banyak faktor. Seperti yang diungkapkan oleh Prof. DR. Wimpie Pangkahila (Pakar Andrologi dan Seksologi) bahwa penyebab terjadinya gay bisa jadi dipengaruhi oleh :23 ü Faktor psikodinamik : ganguan perkembangan psiko-seksual pada masa anak-anak. ü Faktor psikotraumatik : disebabkan karena pengalaman buruk seperti pelecehan seksual, sakit hati, pemerkosaan dan lain sebagainya. ü Faktor sosiokultural : adat-istiadat yang memberlakukan hubungan homoseksual dengan alasan yang tidak benar. ü Faktor lingkungan : pengaruh lingkungan dan pergaulan, di mana memungkinkan dan mendorong hubungan para pelaku homoseksual menjadi erat. Dari beberapa faktor di atas, homoseksual yang disebabkan oleh faktor biologis dan psikodinamik memungkinkan untuk tidak dapat disembuhkan menjadi heteroseksual. Namun jika seseorang menjadi homoseksual karena faktor sosiokultural dan lingkungan, maka dapat disembuhkan menjadi heteroseksual, asalkan orang tersebut mempunyai tekad dan keinginan kuat untuk menjauhi lingkungan tersebut. Pada suatu survei di Amerika Serikat - 2004, diketahui bahwa 4% dari seluruh surveyor pria menyatakan bahwa dirinya adalah seorang gay. Di Kanada, berdasarkan statistik di antara warga Kanada yang 23 http://daretobegay.blogspot.com/2008/06/whats-science-say-about-gay.html xxxvi berumur 18 sampai 59 tahun, terdapat 1% homoseksual dan 0.7% biseksual. Sedangkan di Indonesia, data statistik menyatakan bahwa 8 sampai 10 juta populasi pria Indonesia pada suatu waktu pernah terlibat pengalaman homoseksual. Hal ini membuktikan bahwa keberadaan gay dalam populasi bisa jadi merupakan bagian dari dinamika kehidupan. Namun pengakuan terhadapnya sering kali menyebabkan friksi yang sangat sensitif terhadap aspek lainya. Kebaradaan gay dianggap masih dianggap menyimpang dan merupakan kutukan / pendosa bagi pelakunya. Sehingga anggapan negatif tidak bisa dihindarkan dalam jati diri mereka yang sebenarnya. Legalitas keberadaan gay di Indonesia sendiri masih belum bisa diakui secara terbuka. Sehingga hal ini menyebakan kecenderungan kehidupan gay menjadi bebas. Dalam kehidupan gay sendiri tak banyak yang mempunyai pandangan jauh kedepan untuk tujuan yang lebih bermakna, semisal untuk membangun kehidupan yang serius, komitment dan monogamous relationship seperti kehidupan normal lainnya. Revolusi seksual yang merupakan suatu fenomena di tahun 60an dan 70-an mempunyai inti yaitu kebebasan untuk berhubungan seks dengan siapa saja yang dia mau. Di samping sebagai pernyataan diri, tujuannya adalah untuk mendapatkan kesenangan. Komponen yang kritis dari revolusi seks adalah bertambahnya dukungan terhadap homoseks. Terutama dalam tahun 70-an, homoseks mulai melakukan demonstrasi besar-besaran mengilhami banyak kaum homoseks untuk segera keluar xxxvii dari sikap tertutupnya dan memprotes sikap yang menahan mereka untuk tetap tertutup. Masyarakat Amerika Serikat cenderung untuk memberikan nama homoseks kepada orang yang telah memiliki pengalaman berhubungan dengan sesama pria meskipun jarang melakukannya. Namun survey menunjukkan bahwa perilaku seksual antara orang-orang yang memiliki jenis kelamin yang sama relatif sering dilakukan selama masa remaja.24 Alasan individu menjadi homoseks memang bisa ditinjau dari beberapa teori, tetapi tidak satupun yang dapat membuktikan secara memuaskan. Beberapa pendekatan alami mengatakan bahwa mungkin karena alasan genetik atau hormonal yang menciptakan homoseksual tersebut.25 Terdapat sedikit bukti untuk masing-masing pendekatan, meskipun masih tetap terdapat kemungkinan pengaruh genetik atau faktor biologis yang memberi kecenderungan orang kepada homoseksual. Dalam buku Understanding Psychology, menyataan teori-teori lain lebih difokuskan pada masa kanak-kanak dan latar belakang keluarga dari homoseksual tersebut. Freud mengatakan bahwa perilaku homoseksual muncul sebagai hasil dari identifikasi yang tidak tepat atas perbedaan jenis kelamin orang tua pada masa pertumbuhan.26 Hal yang sama menurut psikolog lainnya, menyatakan bahwa hubungan alami 24 Bootzin Ricard R, Psycology Today Introduction, 1986, hal. 337 Fieldman Robert S, Understanding Psychology, 1990, hal. 336 26 Freud Sigmund, Memperkenalkan Psikoanalisa, 1979, hal. 360 25 xxxviii antara orang tua dan anak bisa mengarahkan kepada perilaku homoseksual, adanya perlindungan yang berlebihan, serta adanya salah satu orang tua yang dominan terhadap anaknya. Pendekatan komunikasi antar personal dapat membantu individu yang berasal dari budaya berbeda dalam beradaptasi dengan individu lain atau dengan lingkungan secara langsung. Komunikasi antar personal merupakan hubungan yang langsung secara tatap muka antara komunikator dan komunikannya. Keuntungan hubungan ini adalah reaksi dari komunikan dapat diperoleh dengan segera. Reaksi ini dapat berupa positif maupun negatif dan dapat dikirimkan secara langsung maupun tidak langsung. Reaksi ini akan mempengaruhi komunikator kembali, sehingga ia dapat menyesuaikan diri dengan situasi dari komunikan dengan harapan bahwa dengan penyesuaian ini dapat menimbulkan reaksi yang lebih baik dari komunikan. 4. Pengungkapan Diri Pengungkapan diri merupakan suatu tindakan penting dalam jalan hidup kita. Ketika individu dihadapkan pada satu masalah maka pilihan dia adalah menutup diri untuk menyelesaikan masalahnya atau membuka diri. Membuka diri pada diri sendiri berarti menerima diri apa adanya dan menyenangi keadaan apa adanya. Sedangkan membuka diri pada orang lain atau lingkungan merupakan pengungkapan diri tentang hal-hal yang berkaitan dengan diri sendiri kepada orang lain, baik itu pengungkapan tentang perasaan atau pengalaman individu. xxxix Self disclosure atau proses pengungkapan diri yang telah lama menjadi fokus penelitian dan teori komunikasi mengenai hubungan, merupakan proses mengungkapkan informasi pribadi kita kepada orang lain dan sebalknya. Sidney Jourard menandai sehat atau tidaknya komunikasi pribadi dengan melihat keterbukaan yang terjadi di dalam komunikasi. Mengungkapkan yang sebenarnya tentang dirinya, dipandang sebagai ukuran dari hubungan yang ideal. Ahli lain, Joseph Luft mengemukakan teori self disclosure lain didasarkan pada model interaksi manusia yang disebut Johari Window. Menurut Luft, orang memiliki atribut yang hanya diketahui oleh dirinya sendiri da orang lain dan tidak diketahui oleh siapapun. Jika komunikasi antara dua orang berlangsung dengan baik maka akan terjadi disclosure yang mendorong informasi mengenai diri masing-masing ke dalam kuadran “terbuka”. Meskipun self disclosure mendorong adanya keterbukaan namun keterbukaan itu sendiri ada batasnya. Artinya perlu kita pertimbangkan kembali apakah menceritakan segala sesuatu tentang diri kita kepada orang lain akan menghasilkan efek positif bagi hubungan kita dengan orang tersebut. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa keterbukaan yang ekstrim akan memberikan efek negative terhadap hubungan.27 Pengungkapan diri pada orang lain atau lingkungan tidak semudah teori yang ada. Karakteristik individu yang heterogen biasanya 27 Prof. Dr. H.M. Burhan Bungin, S.Sos. M.Si, Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma dan Diskusi Teknologi Komunikasi di Masyarakat, Kencana Prenada Media Group, 2007:262 xl membuat kaum gay mengalami hambatan dalam mengungkapkan identitasnya kepada lingkungan. Terlebih mereka adalah kaum minoritas yang keberadaannya masih sulit diterima di masyarakat. Upaya yang dilakukan kaum homoseksual untuk mengungkapan bahwa mereka ada dan eksis di tengah-tengah masyarakat pada saat ini membutuhkan suatu keberanian khusus. Keberanian ini tidak bisa dilepaskan dari pengungkapan diri (selfdisclosure) kepada masyarakat dan lingkungan di mana mereka berada. Namun pengungkapan diri ini tidaklah semudah yang dibayangkan. Karena terdapat berbagai hal yang harus dipertimbangkan, termasuk dampak yang akan timbul setelah adanya proses perilaku pengungkapan diri kepada lingkungan ini. Pengungkapan diri ini haruslah disertai dengan kesadaran penuh dari individu yang melakukannya. Menurut Sidney Jourand yang merupakan seorang filsuf sosial, psikolog klinis dan peneliti empirik mengatakan bahwa resep dari manusia itu adalah keterbukaan atau transparansi.28 Transparansi bagaikan dua sisi koin, menurut Jourand menjadi transparan berarti di satu sisi membiarkan lingkungan membuka dirinya secara bebas dan di lain pihak kesediaan diri untuk terbuka kepada orang lain. Jadi hubungan interpersonal yang ideal adalah dengan adanya saling keterbukaan antara diri sendiri dengan orang lain. 28 Littlejohn Stephen W, Theories of Human Communication, 1983, hal. 179 xli Seorang individu yang terbuka kepada orang lain akan menimbulkan banyak perubahan. Penerimaan perubahan diri dari orang lain dilakukan dengan menerima juga bagian lain dari diri mereka. Akan sangat sulit untuk berkembang bila lingkungan sekitar tidak terbuka atas keterbukaan diri yang kita lakukan. Di dalam lingkungan masyarakat yang menyatakan dirinya normal, pernyataan kaum gay tentang perilaku seks mereka sangat tabu. Adanya tanggapan ketidakpantasan terhadap pengungkapan perilaku seks ini (dalam hal ini homoseksual) akan mendorong orang untuk mengadakan penilaian bahwa mereka adalah kaum yang harus dihindari dan dipandang sebelah mata. Dalam hal inilah norma-norma kepantasan ini muncul, yang kadang cenderung sebagai penghalang pengungkapan dan penyalahgunaan perilaku seksual seperti homoseksual yang hanya merupakan kelompok kecil dalam masyarakat. Lingkungan tempat kita hidup memiliki latar belakang budaya yang berbeda-beda. Perbedaan kebudayaan ini bisa menimbulkan hambatan dalam berkomunikasi. Seluruh perbendaharaan perilaku kita sangat bergantung pada budaya tempat kita dibesarkan. Konsekuensinya budaya merupakan landasan komunikasi. Bila budaya beraneka ragam, maka beraneka ragam pula praktek-praktek komunikasi yang ada dalam masyarakat. xlii 5. Perilaku Perilaku merupakan tanggapan atau reaksi individu yang terwujud dalam gerakan atau sikap, tidak hanya badan atau ucapan. Pada hakekatnya perilaku terjadi karena adanya sikap. Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap objek tertentu dengan cara tertentu pula. Sikap juga sebagai cara bereaksi terhadap suatu rangsangan yang timbul dari seseorang atau situasi, dalam hal ini terkait dengan perasaan mendukung atau menolak terhadap suatu objek tertentu. Untuk terwujudnya suatu sikap agar menjadi suatu perilaku nyata diperlukan faktor pendukung atau kondisi yang memungkinkan akan adanya kesempatan. Seperti diungkapkan Thoha Miftah (1988) perilaku merupakan fungsi dari interaksi antara seseorang dengan lingkungannya. Sehingga adanya pengalaman dan perasaan yang tidak sama menyebabkan berbedanya perilaku yang ditunjukkan seseorang. Perilaku dapat diartikan perbuatan yang dapat diobservasi. Perilaku disebabkan karena adanya suatu stimulus yaitu suatu objek fisik yang mempengaruhi seseorang dalam banyak cara. Setelah seseorang mengetahui adanya stimulus kemudian memprosesnya ke dalam pengetahuannya yang pada akhirnya akan menimbulkan suatu sikap di mana sikap tersebut terimplementasikan dalam suatu tindakan. Hal senada juga disampaikan oleh Soekardjo, bentuk-bentuk operasional perilaku dapat dikelompokkan sebagai berikut: xliii - Perilaku dalam bentuk pengetahuan yaitu informasi yang dimulai untuk mengetahui situasi rangsangan dari luar. - Perilaku yang berbentuk sikap yaitu tanggapan batin terhadap keadaan dan rangsangan dari luar subjek sehingga alam sendiri mencetak perilaku manusia yang hidup di dalamnya sesuai dengan sifat dan keadaan alam tersebut. Selain alam itu sendiri, faktor lingkungan sosial budaya juga mempunyai pengaruh yang kuat terhadap perkembangan dan pembentukan perilaku. - Perilaku dalam membentuk perbuatan / tindakan yaitu tindakan yang nyata berupa faktor perbuatan (action) terhadap situasi / rangsangan dari luar. 6. Identitas Teori identitas dikemukakan oleh Sheldon Stryker (1980). Teori ini memusatkan perhatiannya pada hubungan salng mempengaruhi di antara individu dengan struktur sosial yang lebih besar lagi (masyarakat). Individu dan masyarakat dipandang sebagai dua sisi dari satu mata uang. Seseorang dibentuk oleh interaksi, namun struktur sosial membentuk interaksi. Dalam hal ini Stryker tampaknya setuju dengan perspektif struktural, khususnya teori peran. Namun dia juga memberi sedikit kritik terhadap teori peran yang menurutnya terlampau tidak peka terhadap kreativitas individu. Teori Stryker mengkombinasikan konsep peran (dari teori peran) dan konsep diri / self (dari teori interaksi simblis). Bagi setiap xliv peran yang kita tampilkan dalam berinteraksi dengan orang lain, kita mempunyai definisi tentang diri kita sendiri yang berbeda dengan diri orang lain, yang oleh Stryker dinamakan “identitas”. Jika kita memiliki banyak peran maka kita memilih banyak identitas. Perilaku kita dalam suatu bentuk interaksi, dipengaruhi oleh harapan peran dan identitas diri kita, begitu juga perilaku pihak yang berinteraksi dengan kita. Intinya, teori interaksi simblis dan identitas mendudukan individu sebagai pihak yang aktif dalam menetapkan perilakunya dan membanun harapan-harapan sosial. Perspektif interaksionis tidak menyangkal adanya pengaruh struktur sosial, namun jika hanya struktur sosial saja yang dilihat untuk menjelaskan perilaku sosial maka hal tersebut kurang memadai.29 Biasanya pemahaman tentang teori identitas mengacu kepada perspektif interaksi-simbolik struktural (structural symbolic- interactionism) tentang perilaku pilihan peran (role choice behavior). Sebagai ilustrasi, pertanyaan pokok yang diajukan oleh teori identitas misalnya ialah, kenapa seseorang yang mempunyai waktu luang pada hari Minggu memilih mengajak anak-anak dan keluarganya ke kebun binatang, sementara orang lain dengan peluang waktu yang sama mengajak anak-anak dan keluarganya pergi ke suatu rumah ibadat. Asumsi teori symbolic-interactionism mengatakan bahwa kehidupan manusia itu bukanlah sekedar kumpulan perbuatan yang merupakan 29 http://konsultasikehidupan.wordpress.com/2009/05/12/teori-identitas-identity-theory/ xlv reaksi terhadap lingkungannya, melainkan ia adalah aktor aktif dalam kehidupannya karena adanya pilihan-pilihan di hadapannya. Pada waktu yang sama, teori identitas juga mengakui adanya keterbatasan pilihan manusia itu untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu karena adanya ikatan struktur sosial dan interaksi sosial. Ada beberapa premis yang biasanya dipegangi oleh teori identitas. Pertama, bahwa manusia itu adalah aktor dan reaktor sekaligus. Kedua, bahwa tindakan manusia itu dibentuk oleh penafsiran dirinya tentang situasi interaksi yang sedang dihadapinya. Dan ketiga, bahwa penilaian seseorang terhadap dirinya (self-conception) merupakan titik pertemuan antara tindakannya dan interaksinya dengan sekitarnya.30 F. Definisi Konsepsional a. Komunikasi Proses penyampaian pesan baik verbal maupun non verbal dari komunikator kepada penerima pesan dapat disebut sebagai proses komunikasi. Komunikasi penting untuk membangun konsep diri kita, aktualisasi diri, kelangsungan hidup, memperoleh kebahagiaan, terhindar dari tekanan dan ketegangan serta hal-hal yang bersifat menghibur dan menjalin hubungan dengan orang lain. 30 http://persatuan.web.id/?p=428 xlvi b. Sosialisasi Sosialisasi merupakan proses di mana seorang individu berinteraksi dengan orang lain untuk menghasilkan partisipasi sosial dalam masyarakat yang efektif. Dalam melakukan sosialisasi dengan masyarakat seorang individu berusaha untuk beradaptasi dengan lingkungan di mana di berada, baik itu dengan adat istiadatnya, pola pikir masyarakatnya dan tindakan lain yang semuanya diperlukan untuk menghasilkan pembauran yang serasi. c. Kaum Gay Kaum gay adalah orang-orang yang memiliki hubungan menyangkut perasaan cinta antara sesame jenis kelamin (pria) yang apabila kemesraan mereka sudah begitu jauh sehingga mencakup pula permainan seksual setingkat dengan senggama suami istri. Hubungan tersebut terjadi karena berbagai faktor penyebab, antara lain: karena adanya kelainan mental, faktor lingkungan atau pengaruh dari pihak lain. d. Pengungkapan Diri Pengungkapan diri merupakan suatu tindakan penting dalam jalani hidup kita. Ketika individu dihadapkan pada satu masalah maka pilihan dia adalah menutup diri untuk menyelesaikan masalahnya atau membuka diri. Membuka diri pada diri sendiri berarti menerima diri apa adanya dan menyenangi keadaan apa adanya. Sedangkan membuka diri pada orang lain atau lingkungan merupakan pengungkapan diri tentang hal-hal xlvii yang berkaitan dengan diri sendiri kepada orang lain, baik itu pengungkapan tentang perasaan atau pengalaman individu. Pengungkapan diri pada orang lain atau lingkungan tidak semudah teori yang ada. Karakteristik individu yang heterogen biasanya membuat kaum gay mengalami hambatan dalam mengungkapkan identitasnya kepada lingkungan. Terlebih mereka adalah kaum minoritas yang keberadaannya masih sulit diterima di masyarakat. e. Identitas Identitas merupakan definisi tentang diri kita sendiri yang berbeda dengan orang lain. Dengan identitas kita akan dapat mengetahui siapa sebenarnya diri kita, sehingga kita akan dapat menempatkan diri dalam sebuah masyarakat. Dan identitas merupakan sebuah simbol dalam diri kita, semakin banyak kita berperan maka semakin banyak juga identitas yang kita miliki. G. Kerangka Pemikiran Kaum gay merupakan salah satu kaum minoritas yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Gay termasuk kategori homoseksual selain lesbian, di mana keduanya sama-sama penyuka sejenis. Lesbian sebutan untuk wanita yang menyukai wanita, sedangkan gay sebutan untuk lelaki yang tertarik dengan lelaki. Sebagai manusia, seorang gay membutuhkan kasih saying dan perhatian. Selain diperoleh dari pasangan mereka sesama gay, mereka juga membutuhkan perhatian dari keluarga, teman bahkan xlviii lingkungan tempat tinggal mereka. Hal tersebut sangatlah sulit bila mereka tidak memberanikan diri untuk membuka dan menyampaikan kepada lingkungan bahwa mereka adalah seorang gay. Perilaku keterbukaan diri ini dilakukan dengan pertimbangan yang cukup lama dan setelah mereka benarbenar yakin akan resiko yang akan muncul di belakang nanti. Biasanya mereka terbuka kepada orang tua, sesama gay dan masih sedikit yang sudah berani terbuka secara terang-terangan kepada lingkungannya tentang perilaku seks yang mereka miliki. Dalam pengungkapan diri yang mereka lakukan tentunya tidak lepas dari proses komunikasi. Pengungkapan diri yang dilakukan kaum gay agar dapat diterima oleh masyarakat ini dibedakan menjadi dua macam cara. Beberapa kaum gay akan melakukan keterbukaan secara langsung terhadap keluarga maupun masyarakat. Ini dilakukan oleh beberapa kaum gay yang terbuka. Mereka akan mengutarakan secara langsung kepada keluarga bahkan masyarakat mengenai keberadaan mereka yang gay. Tetapi ada juga dari beberapa kaum gay yang melakukan pengungkapan tentang identitas mereka secara tidak langsung. Hal ini dilakukan oleh kaum gay yang termasuk gay tertutup. Gay tertutup akan mengutarakan identitasnya hanya dengan teman-teman dekat yang mereka percaya, bahkan ada juga yang hanya bercerita dengan sahabatnya saja. Biasanya keluarga dan masyarakat tidak mengetahui identitas yang dimiliki oleh gay tertutup ini sebagai seorang homoseks. xlix Dari penjelasan di atas dapat digambarkan sebagai berikut : Gay Identitas Diri - Obyektif - Subyektif H. Komunikasi Masyarakat - Langsung - Tidak Langsung - Keluarga - Masyarakat Luas Metodologi Penelitian 1. Jenis Penelitian Dalam penelitian ini jenis penelitian yang dipakai termasuk pada penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian kualitatif merupakan penelitian dengan data yang dihasilkan merupakan data yang subyektif, tidak berupa angka-angka. Prof. Dr. Winarno Surakhmad, M.Sc Ed dalam bukunya yang berjudul “Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar” berpendapat bahwa penelitian deskriptif adalah : “Penelitian yang menuturkan, menganalisa dan mengklarifikasi dengan menggunakan teknik survey, interview, angket, observasi atau dengan teknik tes, studi kasus, studi komparatif, studi waktu dan gerak, analisis kuantitatif, studi kooperatif atau operasional.”31 Tujuan dari penelitian deskriptif adalah membuat deskriptif, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta , sifat-sifat suatu hubungan antara fenomena yang diselidiki. 31 Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar Metode dan Teknik Edisi VII, Tarsito, Bandung, 1990, hal. 139 l 2. Metode Penelitian Penelitian tentang pengungkapan diri kaum gay pada masyarakat sekitar ini merupakan studi yang menggunakan pendekatan kualitatif. Dalam tatanan teoritik ada beberapa asumsi yang menjadi landasan dalam penelitian kualitatif. Asumsi-asumsi tersebut adalah : a. Penelitian kualitatif lebih memiliki perhatian pada proses daripada hasil atau produk. b. Penelitian kualitatif tertarik pada makna yaitu bagaimana orang berusaha memahami kehidupan, pengalaman dan struktur lingkungan mereka. c. Penelitian kualitatif merupakan instrumen utama dalam pengumpulan dan analisis data. Data diperoleh melalui instrumen manusia daripada melalui inventarisasi (inventories), kuisioner ataupun melalui mesin. d. Penelitian kualitatif sangat berkaitan dengan fieldwork. Artinya, penelitian secara fisik terlibat langsung dengan orang latar, tempat atau institusi untuk mengamati atau mencatat perilaku dalam latar alamiahnya. e. Penelitian kualitatif bersifat deskriptif, dalam arti peneliti tertarik pada proses, makna dan pemahaman yang diperoleh melalui katakata atau gambar-gambar. li f. Proses penelitian kualitatif bersifat induktif dalam arti penelitian membangun abstraksi, konsep, hipotesis dan teori.32 Berdasarkan asumsi-asumsi di atas, penelitian ini secara praktis berusaha untuk mengkaji peristiwa kehidupan yang nyata yang dialami oleh subyek penelitian ini (kaum gay) secara holistik dan bermakna. Dalam uraian yang lebih luas, penelitian ini berusaha untuk memberikan deskripsi dan eksplanasi terhadap pengungkapan diri kaum gay pada masyarakat sekitar. 3. Populasi dan Sampel Populasi (population/universe) dalam statistika merujuk pada sekumpulan individu dengan karakteristik khas yang menjadi perhatian dalam suatu penelitian (pengamatan)33. Dalam penelitian ini yang menjadi populasi adalah kaum gay yang domisili di wilayah kabupaten Sragen. Sementara sampel adalah bagian kecil dari anggota populasi yang diambil menurut prosedur tertentu sehingga dapat mewakili populasinya.34 Pertanyaan yang diajukan adalah hal-hal yang berkaitan dengan latar belakang kehidupan individu dan cara komunikasi dan sosialisasi mereka dalam pengungkapan diri pada masyarakat di lingkungan kabupaten Sragen. 32 Creswell John W, Research Design, Qualitative & Quantitative, 1994, hal. 145 http://sambasalim.com/statistika/populasi-dan-sampel-dalam-penelitian-kualitatif.html 34 Ibid 33 lii 4. Teknik Pengambilan Sampel Penelitian ini menggunakan purposive sampling, berguna untuk mendapatkan sampel (narasumber) yang tepat, yang menguasai permasalahan yang menjadi obyek penelitian. Perbedaan teknik sampling ini dengan teknik lainnya karena purposive sampling dilakukan dengan cara memilih orang-orang tertentu karena dianggap – berdasarkan penilaian tertentu – mewakili tingkat signifikansi dan mewakili obyek penelitian. Dalam teknik pengambilan sampel ini, siapa yang akan diambil sebagai anggota sampel diserahkan pada pengumpulan data yang menurut peneliti sesuai dengan maksud dan tujuan penelitian. Peneliti berusaha untuk memilih informan yang dianggap mengetahui segala sesuatu yang berkaitan dengan obyek penelitian secara mendalam dan dapat dipercaya untuk dijadikan sebagai sumber informasi data yang valid dan up to date.35 Dalam penelitian ini penulis mengambil 7 narasumber yang mewakili dari kaum gay di Kabupaten Sragen. 5. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data dalam fenomena pengungkapan diri kaum gay (homoseks) pada masyarakat sekitar ini akan menggunakan beberapa metode yaitu : 35 H.B. Sutopo, Metodologi Penelitian Kualitatif Dasar Teori dan Terapannya dalam Penelitian (Surakarta: UNS Press, 2002), hal. 56. liii a. Observasi Observasi merupakan teknik pengumpulan data yang bersifat nonverbal. Sekalipun dasar utama dari teknik ini adalah penggunaan indera visual, tetapi juga melibatkan indera-indera lain seperti pendengaran, rabaan dan penciuman.36 Observasi dilakukan oleh peneliti dengan mengamati objek yang sedang diteliti. Karl Weick mendefinisikan observasi sebagai pemilihan, pengubahan, pencatatanm pengodean serangkaian perilaku dan suasana yang berkenaan dengan organism institusi, sesuai dengan tujuan-tujuan empiris.37 Teknik observasi digunakan untuk menggali data dari sumber data yang dapat berupa peristiwa, tempat atau lokasi, dan benda serta rekaman gambar. Dalam pengamatan ini, peneliti hanya berfungsi sebagai pengamat tanpa berperan sebagai anggota kelompok tersebut. Pengamatan lapangan dilakukan terutama untuk pengecekan ulang (cross-check) data sekunder dengan fakta-fakta yang terjadi. b. Wawancara Pengertian interview atau wawancara menurut Cannel dan Kahn (1968 : 527 – 528) dalam “Metode Penelitian Ilmu Pengetahuan Sosial” adalah : 36 37 Y. Slamet, Metode Penelitian Sosial (Surakarta: UNS Press, 2006), hal. 85. Jalaluddin Rakhmat, Op. Cit., hal. 83. liv “Percakapan 2 orang yang dimulai oleh pewawancara dengan tujuan khusus memperoleh keterangan yang sesuai dengan penelitian dan dipusatkan olehnya pada isi yang dititikberatkan pada tujuan-tujuan deskripsi, predisksi dan penjelasan sistematik mengenai penelitian tersebut.”38 Ciri utama dari wawancara adalah kontak langsung dengan tatap muka antara si pencari informasi dengan sumber informasi. Wawancara digunakan untuk menghimpun data sosial terutama untuk mengetahui tanggapan, pendapat, keyakinan, perasaan, motivasi dan cita-cita seseorang. Wawancara dalam penelitian ini dilakukan secara mendalam atau indepth interview dengan tujuan untuk mendapatkan data selengkaplengkapnya karena tidak sedikit informasi yang dibutuhkan oleh peneliti. Dalam tataran praktis, teknik wawancara ini dimanfaatkan untuk mengetahui “keaslian” pengalaman-pengalaman subyektif dari individu-individu ketika mereka melakukan pengungkapan diri terhadap lingkungan sekitarnya. c. Studi kepustakaan Dengan mengadakan pencatatan berupa data atau informasi dari referensi-referensi yang mendukung kelengkapan data dalam penelitian. Referensi didapatkan melalui dokumentasi, literatur dan catatan. 38 Bruce A. Chadwick, Howard M. Bahr dan Stan L, Albrecht, Op. Cit., hal. 121 lv 6. Analisis Data Penelitian deskriptif adalah penelitian yang tidak dimaksudkan untuk menguji hipotesis berdasarkan teori-teori tertentu. Data yang diperoleh dan dikumpulkan dari berbagai sumber kemudian ditelaah dalam upaya meningkatkan pemahaman terhadap objek yang diteliti. Analisis data dilakukan dalam suatu data yang dikerjakan secara intensif. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini dalah analisis data interaktif (Miles & Hubarman dalam Sutopo, 1988:37)39 yang mempunyai tiga komponen yaitu : a. Reduksi data adalah proses seleksi, pemfokusan, penyederhanaan dan pengabstraksian data kasar yang muncul dari catatan tertulis dan mengatur data sedemikian rupa sehingga bisa ditarik kesimpulan, b. Penyajian data adalah mengumpulkan informasi yang memungkinkan suatu kesimpilan dapat dilakukan, c. Penarikan kesimpulan bahwa kesimpulan akhir tidak akan terjadi sebelum proses pengumpulan data berakhir. Telah dikemukakan di atas tiga hal utama yaitu Reduksi data, Penyajian data dan Penarikan kesimpulan sehingga suatu yang jalinmenjalin pada saat, sebelum, selama dan sesudah pengumpulan data dalam bentuk yang sejajar, untuk membangun wawasan umum yang disebut “analisis”. Dalam pandangan ini tiga jenis kegiatan analisis dan 39 Sunarno, Op, Cit., hal. 35 lvi kegiatan pengumpulan data itu sendiri merupakan proses siklus dan interaktif. Dalam pengertian ini, analisis data kualitatif merupakan upaya yang berlanjut, berulang dan terus-menerus. Masalah reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan menjadi gambaran keberhasilan secara berurutan sebagai rangkaian kegiatan analisis yang saling susul menyusul dan dapat disederhanakan dengan bagan sebagai berikut Model Interaktif Miles dan Huberman Pengumpulan Data Reduksi Data Penarikan Kesimpulan Sajian Data Sumber : H.B. Sutopo, 1988:37 Setelah pengumpulan data, peneliti bisa melakukan penyajian data, mereduksi data dan kemudian menarik kesimpulan dan seterusnya kembali melakukan pengumpulan data. Atau sebaliknya setelah pengumpulan data, peneliti melakukan reduksi data, menyajikan data lvii dan kemudian menarik kesimpulan dan seterusnya kembali mengumpulkan data yang diperlukan. 7. Validitas Data Pada penelitian ini menggunakan teknik triangulasi, triangulasi merupakan teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data tersebut. Dezin (1978) membedakan empat macam triangulasi sebagai teknik pemeriksaan yang memanfaatkan penggunaan sumber, metode, penyidik dan teori. Triangulasi dengan sumber berarti membandingkan dan mengecek balik derajad kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam metode kualitatif. Patton (1984) menyatakan ada empat macam triangulation yaitu sebagai berikut: a. Data triangulation, di mana peneliti menggunakan beberapa sumber data untuk mengumpulkan data yang sama. Membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara. b. Investigator triangulation, yaitu pengumpulan data yang semacam dilakukan oleh beberapa orang peneliti. Membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum dengan apa yang dikatakannya secara pribadi. c. Methodological triangulation, yakni penelitian yang dilakukan dengan menggunakan metode yang berbeda ataupun dengan lviii mengumpulkan data sejenis tetapi dengan menggunakan teknik pengumpulan data yang berbeda. Pada triangulasi dengan metode, terdapat dua strategi yaitu: 1) Pengecekan derajat kepercayaan penemuan hasil penelitian beberapa teknik pengumpulan data. 2) Pengecekan derajat kepercayaan beberapa sumber data dengan metode yang sama. d. Theoretical triangulation, yakni melakukan penelitian tentang topik yang sama dan datanya dianalisis dengan menggunakan beberapa perspektif teoritis yang berbeda. Triangulasi dengan teori, menurut Lincoln dan Guba, berdasarkan anggapan bahwa fakta tertentu tidak dapat diperiksa derajat kepercayannya dengan satu atau lebih teori. Penelitian ini menggunakan triangulasi dengan sumber. Menurut Patton, triangulasi dengan sumber berarti membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam metode kualitatif. Cara ini mengarahkan peneliti agar di dalam mengumpulkan data menggunakan beragam sumber data yang tersedia. Hal ini dapat diartikan bahwa data yang sama atau sejenis akan lebih mantap kebenarannya bila digali dari beberapa sumber data yang berbeda.40 Hal tersebut dapat dicapai dengan: a. Membandingkan data hasil pengamatan dengan hasil wawancara. 40 Lexy J. Moleong, Op. Cit., hal. 78. lix b. Membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum dengan apa yang dikatakan secara pribadi. c. Membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang situasi penelitian dengan apa yang dikatakannya sepanjang waktu. d. Membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai pendapat dan pandangan orang, seperti rakyat biasa, orang yang berpendidikan menengah atau tinggi, orang berada, orang pemerintahan dan lain-lain. e. Membandingkan hasil wawancara dengan isu suatu dokumen yang berkaitan. lx BAB II KEHIDUPAN KAUM GAY DI SRAGEN A. Kondisi Geografis Sragen Kabupaten Sragen, adalah sebuah kabupaten di Propinsi Jawa Tengah. Ibukotanya terletak di Sragen, sekitar 30 km sebelah timur Kota Surakarta. Kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten Grobogan di utara, Kabupaten Ngawi (Jawa Timur) di timur, Kabupaten Karanganyar di selatan, serta Kabupaten Boyolali di barat. Wilayah Kabupaten Sragen berada di dataran dengan ketinggian rata-rata 109 M diatas permukaan laut. Sragen menpunyai iklim tropis dengan suhu harian yang berkisar antara 19-31 º C. Curah hujan rata-rata di bawah 3000mm per tahun dengan hari hujan di bawah 150 hari per tahun. Sragen terletak di jalur utama Solo-Surabaya. Kabupaten ini merupakan gerbang utama sebelah timur Propinsi Jawa Tengah, yang berbatasan langsung dengan Propinsi Jawa Timur. Sragen dilintasi jalur kereta api lintas selatan Pulau Jawa (Surabaya-Yogyakarta-Jakarta) dengan stasiun terbesarnya Sragen, serta lintas Gundih-Solo Balapan dengan stasiun terbesarnya Gemolong. Sragen berada di lembah daerah aliran Sungai Bengawan Solo yang mengalir ke arah timur. Sebelah utara berupa perbukitan, bagian dari sistem Pegunungan Kendeng. Sedangkan di selatan berupa pegunungan, lereng dari Gunung Lawu. lxi B. Pola Kehidupan Fakta tentang hadirnya kehidupan malam di seluruh daerah Indonesia memang tidak akan dapat kita pungkiri. Kehidupan yang penuh dengan liku dan seluk beluk hubungan manusia yang dilihat dari segi seksualitas terbentang dengan begitu jelasnya. Tanpa dapat dihilangkan atau dicegah walaupun sudah banyak cara yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasinya. Begitu pulalah yang terjadi di kabupaten Sragen. Di Sragen dapat kita temukan berbagai sebutan yang ada di masyarakat yang mengacu kepada istilah-istilah untuk menandai kelompok orang seperti waria (banci), ciblek (pelacur), gay, lesbi, gigolo dsb. Dan semua sebutan yang ada itu acap kali muncul di kehidupan malam, meskipun dalam kesehariannya kita tetap dapat menemukan mereka. Salah satu yang sangat menarik untuk dipahami lebih lanjut adalah kehidupan sekelompok masyarakat minoritas, karena jumlahnya yang cenderung masih sedikit yaitu kehidupan kaum gay. Kaum gay di Sragen jika dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Indonesia memang masih sedikit sekali diketahui oleh masyarakat luas. Keberadaan mereka di tengah masyarakat masih sangat tertutup meskipun ada beberapa yang sudah berani untuk membuka dirinya dan menyatakan bahwa mereka adalah seorang gay. Jika kita pernah memperhatikan kehidupan kaum gay di Surabaya, Yogyakarta, Solo, Semarang, Jakarta, Bandung dan daerahdaerah lainnya, akan dapat terlihat perbedaan yang cukup mencolok yang akan menimbulkan berbagai pertanyaan mengenai perbedaan tersebut. Di daerah- lxii daerah tersebut kaum gay benar-benar sudah memiliki tempat tersendiri untuk mengadakan suatu perkumpulan yang cukup besar yang merupakan wadah bagi kegiatan-kegiatan yang akan mereka lakukan, tanpa harus tertutup dari pandangan masyarakat umum. Dapat dilihat di bawah ini tempat-tempat berkumpulnya kaum gay di berbagai daerah (gay artikel di www.google.com) yaitu : Jakarta : ML Diskotik Jl. Mataram, Blok M Mall Jakarta, Citraland Mall Senin, Bioskop Senin, Hard Rock Cafe, Mall Taman Anggrek Bali : Pantai Sanur Surabaya : Sinta Diskotik (di tengah kota), Pataya (sepanjang sungai di tengah Kota), Tunjungan Plaza 3 Mall Yogyakarta : Alun-alun selatan, Wayang Cafe Parangtritis Surakarta : Atria Cafe, Komplek Sriwedari Akan tetapi lain halnya dengan kehidupan kaum gay di Sragen. Meskipun jumlah gay mencapai sekitar + 240 orang (berdasarkan data dari Yayasan Gessang Surakarta : Dampingan dan Jangkauan Gessang Surakarta) namun mereka belum memiliki kehidupan sebebas kaum gay di daerah lainnya. Kecenderungan untuk menutup diri masih sangat besar. Berbagai macam faktor disebut sebagai penyebab hal ini terjadi, antara lain lingkungan sekitar yang belum mendukung karena masih menganggap kaum gay sebagai orang yang memiliki kelainan atau “sakit” sehingga jika ketahuan mereka akan dihina dan dicaci maki, faktor untuk menjaga nama baik keluarga karena lxiii memiliki anggota keluarga seorang gay (yang memiliki penyimpangan orientasi seksual) merupakan suatu aib besar, faktor lingkungan pekerjaan yang tidak memungkinkan mereka untuk menyatakan ke-gay-an mereka dan faktor lainnya yang sangat menghambat keterbukaan diri mereka. Untuk mempermudah gay menemukan teman-teman mereka, sudah ada beberapa tempat khusus yang mereka tetapkan sebagai tempat “mangkal” dan “kongkow-kongkow” bagi kaum gay. Dan biasanya kita dapat menemukan banyak kaum gay di sana pada malam hari setelah jam 22.00 WIB. Tempatnya antara lain kawasan alun-alun Sragen, kawasan stadion Taruna, depan Adira, tempat fitness “Gold Gym” dan angkringan shopping center pasar kota Sragen. Selain tempat tersebut, mereka juga memiliki tempat berkumpul yang hanya di ketahui oleh gay itu sendiri. Untuk pergaulan mereka sehari-hari sering menggunakan bahasa yang hanya mereka sendiri yang mengetahui artinya. Bahasa itu sering disebut dengan bahasa Binan. Dalam bahasa ini istilah-istilah yang muncul terkadang didengar sangat aneh. Seperti akika (aku), cuco’ (cakep), ember (memang), hombre (homo), kalengan (tertutup) dan masih banyak lagi lainnya. Istilahistilah ini digunakan salah satunya karena adanya faktor menutup diri yang tidak menginginkan keberadaan mereka diketahui oleh orang lain. Secara umum dapat diterangkan bahwa pembentukan istilah bahasa gay dari bahasa biasa ada 5 jenis (info dari rekan gay [email protected]), yaitu : lxiv 1. Yang mengubah vokal suku kata kedua dari akhir menjadi [e] dan vokal (dan konsonan) suku kata akhir menjadi [ong], [es] atau [i], seperti loco menjadi lecong, leces atau leci (masturbasi, onani). 2. Yang melibatkan sisipan [in] di antara konsonan dan vokal tiap suku kata, umumnya dengan pemendekan hasilnya menjadi dua suku kata seperti banci menjadi binancini atau binan. 3. Yang mengambil sebagian awal kata dan kemudian mengubah selebihnya sehingga menjadi kata lain atau nama orang yang acapkali berkaitan makna yang hendak “disembunyikan” seperti semak (<Bld> smaak = suka) atau semangka (buah yang disuka) 4. Khusus di daerah bahasa Jawa yang menambahkan awalan si dan menyisakan hanya suku kata pertama (ditambah konsonan kata berikutnya apabila suku kata itu berakhir dengan vokal) seperti lanang (bahasa Jawa laki-laki) menjadi silan. 5. Yang memberikan makna beda pada istilah dari bahasa biasa seperti jeruk yang diberi arti pemeras. 6. Sejumlah kecil istilah khas yang hanya ditemui dalam bahasa gay seperti cuco’ (cakep) Banyak terdapat anggapan di tengah masyarakat yang menyatakan bahwa kaum gay sangat tertutup dan sulit untuk diketahui keberadaannya. Masyarakat umum sering pula beranggapan bahwa mereka adalah kelompok orang “eksklusif” yang tidak akan mau bergaul dengan orang lain di luar lxv kaumnya41, terutama bila mereka sedang mengadakan acara atau di perkumpulan gay. Selain itu jika mendengar kata “gay” atau “homoseksual”, masyarakat cenderung untuk merasa jijik, takut, geli dan berusaha menghindari hubungan dengan mereka.42 Tuduhan sebagai kaum penyebar virus HIV/AIDS pun tidak dapat terelakkan oleh kaum gay, karena adanya cerita yang beredar di masyarakat bahwa mereka adalah orang-orang yang menganut paham free sex dan sering bergonta-ganti pasangan43. Anggapan-anggapan di atas memang ada benar dan tidaknya. Mengapa dikatakan demikian? Marilah kita lihat satu per satu anggapananggapan tersebut. Pertama adanya cerita yang menyatakan bahwa kaum gay tertutup dan sulit diketahui keberadaannya, mungkin ada benarnya. Hal ini dapat dilihat dari individu gay itu sendiri. Mereka, terutama di Sragen masih sangat sedikit sekali coming out di tengah masyarakat. Sering kali kebanyakan kaum gay masih menggunakan topeng heteroseks untuk menutupi ke-gay-annya supaya mereka dapat merasa aman, terlindung dari cemoohan dan ejekan, supaya tidak dikucilkan oleh keluarga, agar tidak dijauhi teman-teman dekatnya atau karena takut kehilangan pekerjaannya. Dan menurut Dede Oetomo dalam buku Memberi Suara Pada Yang Bisu44, kata “topeng” adalah kata yang tepat sekali, karena kebanyakan kaum gay terasa sekali dorongan dan keharusan untuk mengenakan topeng. Mereka harus menampilkan dari 41 Majalah Gaya Nusantara, edisi 84 Agustus 2001 Persell Caroline Hodges, Understanding Society, 1990, hal. 560 43 Ibid, hal. 561 44 Dede Oetomo, Memberi Suara pada yang Bisu, Pustaka Marwa, Yogyakarta, 2003, hal. 221 42 lxvi sebagai laki-laki heteroseks yang mampu menyayangi wanita. Sehingga kemungkinan sulit menemui mereka memang sangat besar, terutama bagi orang-orang yang tidak mengetahui ciri-ciri atau tanda-tanda dari seorang gay. Kedua, adalah anggapan yang menyatakan kaum gay merupakan kelompok eksklusif yang tidak mau bergaul dengan orang lain di luar kelompok mereka. Pernyataan itu dapat dikatakan benar adanya karena terdapat dua jenis kaum gay yang ada di masyarakat. Pertama apa yang disebut dengan gay yang tertutup (atau istilah yang sering muncul di tengah kaum gay sendiri menyebutnya “kalegan”). Mereka sangat menjaga sekali “privacy” yang mereka miliki. Mereka tidak ingin jika nantinya ada yang mengetahui bahwa mereka adalah seorang gay lalu cerita itu menyebar ke luar sedangkan mereka sendiri belum siap untuk menghadapi resiko yang akan muncul di luar sana. Jadi muncullah kesan eksklusifitas, yang mengakibatkan seolah-olah mereka tidak mau bergaul dengan orang lain di luar kelompok mereka. Tapi di lain pihak ada juga yang disebut gay yang bebas (terbuka) yang sudah melakukan coming out (menyatakan diri gay) kepada lingkungannya. Mereka ini tidak lagi menutup-nutupi dirinya sehingga orang dapat mengetahui bahwa mereka memiliki orientasi seksual sebagai seorang homoseksual yang menyukai sesama jenis. Mereka ini bisa dikatakan tidak mengeksklusifkan diri dalam suatu kelompok tetapi justru sangat berbaur dalam masyarakat. Karena mereka sendiri sudah bisa menerima konsekuensi yang akan muncul apabila lingkungannya mengetahui bahwa mereka adalah gay. lxvii Ketiga, adanya perasaan jijik, takut, geli dan sikap menghindar dari masyarakat luas jika mendengar kata gay. Hal ini muncul karena masyarakat belum mengetahui sejauh mana kehidupan kaum gay itu. Yang ada di benak masyarakat awam hanyalah perasaan geli dan jijik melihat seseorang laki-laki menyenangi laki-laki lainnya sampai melakukan hubungan badan sesama mereka45. Perasaan ini muncul, karena masyarakat melihatnya sebagai suatu penyimpangan, bukan sebagai hak azasi pribadi untuk memiliki orientasi yang berbeda dengan orang lain pada umumnya. Sedangkan perasaan takut yang muncul di tengah masyarakat untuk bergaul dengan kaum gay hanyalah karena pandangan masyarakat yang beranggapan bahwa orientasi seksual sebagai homoseks dapat menular kepada orang lain. Padahal dalam kenyataannya homoseks itu tidak dapat ditularkan karena hal itu bukanlah penyakit yang harus disembuhkan. Untuk mengetahui apakah homoseks itu penyakit atau bukan, maka pada tahun 1983 para psikiater memutuskan ada dua macam homoseksual, yaitu homoseksual ego-sintronik (sinkron dengan egonya) dan homoseksual ego-distonik (tidak sinkron dengan egonya) menurut Dede Oetomo46. Seorang homoseks ego-sintonik adalah seorang homoseks yang tidak merasa terganggu orientasi seksualnya, tidak ada konflik bawah sadar yang ditimbulkan. Serta tidak ada desakan, dorongan atau keinginan untuk mengubah orientasi seksualnya. Hasil penelitian beberapa ahli menunjukkan, orang-orang homoseksual ego-sintonik mampu mencapai status pendidikan, pekerjaan dan 45 46 Op.,Cit.,hal. 560 Op,.Cit,.hal. 77 lxviii ekonomi sama tingginya dengan orang-orang heteroseks. Bahkan kadangkadang lebih tinggi. Kelompok ini juga tidak memiliki kecemasan dan kesulitan psikologis lebih banyak daripada para heteroseks. Hal ini karena mereka menerima dan tidak terganggu secara psikis dengan orientasi seksual mereka. Sebaliknya, seorang homoseks ego-distonik adalah homoseks yang mengeluh dan merasa terganggu akibat konflik psikis. Ia senantiasa tidak atau sedikit sekali terangsang oleh lawan jenis dan hal itu menghambatnya untuk memulai dan mempertahankan hubungan heteroseksual yang sebetulnya didambakannya. Secara terus terang ia menyatakan dorongan homoseksualnya menyebabkan dia merasa tidak disukai, cemas dan sedih. Konflik psikis tersebut menyebabkan perasaan bersalah, kesepian, malu, cemas dan depresi. Karenanya, homoseksual seperti ini dianggap sebagai gangguan psikoseksual. Dan jenis ini yang perlu disembuhkan. Tetapi bukan berarti dapat menular kepada orang lain, melainkan penyembuhan yang dilakukan adalah dengan mengarahkannya menjadi pribadi yang dapat menerima diri apa adanya. Kemudian adanya pandangan masyarakat bahwa kaum gay adalah penyebar virus HIV/AIDS, karena mereka menganut paham free sex dan senang berganti-ganti pasangan. Jika dilihat pernyataan ini, penyebaran virus yang mematikan ini tidak hanya dikarenakan oleh kaum gay. Tetapi masih banyak faktor penyebab lainnya, seperti prostitusi heteroseks, penggunaan jarum suntik yang berkali-kali dan lain-lain. Penyebaran ini sebenarnya tergantung kepada individu masing-masing. Jika dilihat dalam berhubungan lxix sebagian kaum gay sudah sangat perhatian dengan pemakaian alat pengaman seksual seperti kondom. Di samping itu banyak juga kaum gay yang sudah memiliki pasangan tetap dan hanya melakukan hubungan dengan pasangannya untuk mencegah penularan penyakit-penyakit yang tidak diharapkan47. Bahkan akhir-akhir ini banyak aktivis yang bergerak di bidang HIV/AIDS adalah seorang gay. Mereka sangat menyadari bahaya dari penyakit tersebut dan tidak menginginkan semakin banyaknya orang yang terinfeksi virus ini. C. Komunitas Gay Pertama kali, kaum gay di Sragen belum memiliki wadah khusus untuk menyatukan mereka. Mereka masih terpencar-pencar secara individu dan hanya dapat bertemu dengan orang-orang yang sudah mereka kenal dan tahu tentang keadaannya. Karena kaum gay di Sragen bersifat tertutup maka kebanyakan kaum gay Sragen bergabung dengan kaum gay di Surakarta. Kemudian mereka bergabung dalam kelompok yang membentuk perkumpulan arisan khusus para gay. Di sini diharapkan agar para gay dapat lebih banyak tahu tentang gay di kawasan Surakarta yang mencakup kaum gay dari beberapa kota di sekitar Surakarta, antara lain kota Surakarta sendiri, Sragen, Karang Anyar, Boyolali dan Sukoharjo. Arisan yang diadakan ini ternyata tidak bertahan lama. Lama kelamaan semangatnya memudar dan menghilang karena faktor kesibukan masing-masing individu yang ikut di dalamnya. Kemudian tahun 1992, muncul suatu pemikiran baru dari kalangan gay untuk membentuk suatu organisasi yang lebih solid yang dapat dijadikan wadah bagi 47 Majalah Gaya Nusantara, edisi 84, Agustus 2001 lxx mereka untuk berkumpul, bertukar pikiran dan menambah teman sesama gay. Lalu didirikanlah organisasi Gaya Surakarta. Organisasi ini cukup mendapatkan sambutan yang hangat dari kalangan gay di lingkungan Surakarta. Karena mereka merasa mendapatkan suatu naungan yang dapat mendukung perbedaan yang ada dalam diri mereka. Kegiatan organisasi ini pertama kalinya benar-benar merintis dari awal. Dari mulai berusaha mengumpulkan teman-teman sesama gay dan memberitahukan mereka bahwa telah berdiri organisasi gay di Surakarta. Kemudian pada tahun 1994 barulah organisasi ini mengadakan kegiatan mereka pertama kali. Kegiatan ini berupa kegiatan keakraban sesama gay yang diadakan di Bandungan Semarang. Di sini, cukup banyak gay yang ikut serta yaitu ±150 orang. Dan acara yang diadakan berupa kegiatan silaturahmi yang didukung dengan kegiatan seni. Banyak juga masyarakat awam yang menyaksikan acaranya. Dan sangat terlihat sekali antusiasme masyarakat untuk menonton acara ini. Tahun 1995 kaum gay menjadi tergilagila mengadakan pesta. Setiap dua bulan sekali mereka mengadakan pertemuan dengan teman-teman sesama gay dan mengadakan pesta-pesta yang meriah. Memang muncul kesan seolah-olah berfoya-foya dalam kegiatan ini. Kegiatan ini diadakan dengan maksud merayakan ulang tahun teman-teman sesama gay yang digabungkan setiap dua bulan sekali. Hal ini berlangsung sampai satu setengah tahun. Acara di Bandungan kembali di adakan tahun 1996 dengan judul “Black Night”. Di sini kaum gay yang hadir diharuskan menggunakan lxxi pakaian-pakaian hitam, dengan agenda acara masih berupa keakraban sesama gay. Peserta yang hadir ±200 oramg. Pada tahun 1997 diadakan kembali acara silaturahmi gay di Bandungan dengan tema “One Night in Paris” yang dihadiri ±150 orang. Di sini gay harus menggunakan pakaian ala model-model Paris yang berkesan “wah”. Tetapi setelah itu, kegiatan gay Surakarta vakum selama lebih kurang dari tiga tahun, ternyata banyak masyarakat terutama di daerah Bandungan yang mempertanyakan kevakuman tersebut. Hal ini terjadi karena sudah merasa bagian dari acara-acara yang diadakan kaum gay setiap tahunnya. Acara temu akrab gay kembali diadakan pada tahun 2000 dengan tema “Simpang Siur”. Acara ini juga diadakan kembali di Bandungan, banyak gay dari luar komunitas Surakarta juga hadir dalam acara ini. Peserta yang hadir dalam acara ini ±400 orang, mereka berkeinginan untuk memperluas pergaulan dan menambah wawasan tentang dunia gay. Dan yang terakhir diadakan bulan Pebruari 2002. Di sini yang hadir cukup banyak yaitu ±200 orang, baik dari Surakarta maupun dari daerah lainnya, seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Yogyakarta dan Kudus. Dilihat dari beberapa tema kegiatan yang diangkat dalam acara temu akrab kaum gay, sangatlah mencerminkan gaya berbusana yang mereka gunakan. Hal ini memang suatu ciri yang dapat kita lihat dalam kehidupan kaum gay sehari-hari. Kecenderungan seorang gay adalah selalu ingin tampil dengan modis. Dengan kata lain mereka cenderung tampil lain dari yang lain untuk menarik perhatian. Sebagaimana layaknya masyarakat pada umumnya seorang gay mempunyai penampilan khas sendiri, misalnya bergaya maskulin, lxxii feminism atau sportif. Busana press body atau ketat lebih disukai oleh kaum gay. Selain praktis, lekuk tubuh dari si pemakai juga nampak jelas. Selain press body, busana dengan warna mencolok menjadi salah satu alternatif pilihan mereka. Di samping itu ada sebagian gay yang menggunakan antinganting sebelah kanan saja atau menempatkan sapu tangan yang sedikit keluar di kantong celana sebelah kiri atau ada juga dengan membuka kancing baju mereka beberapa buah untuk menandakan bahwa mereka adalah seorang gay. Tapi tanda-tanda fisik ini sekarang sudah tidak begitu jelas, karena sudah banyak orang yang meniru cara berpakaian mereka. Sementara pertimbangan pemilihan tempat kegiatan komunitas gay Surakarta lebih banyak dilakukan di daerah Bandungan karena ternyata di daerah ini masyarakatnya sudah dapat menerima kegiatan-kegiatan yang diadakan. Terbukti dengan adanya antusiasme masyarakat dalam menunggu kegiatan kaum gay ini dari tahun ke tahun. Di samping itu, kegiatan yang dilakukan bukanlah merupakan pesta seks yang selama ini muncul di pikiran masyarakat umum bila sekelompok gay berkumpul, tetapi lebih cenderung ke kegiatan silaturahmi dan hiburan. lxxiii BAB III KOMUNIKASI DAN SOSIALISASI KAUM GAY DI SRAGEN A. Data Informan dan Latar Belakang Keluarga 1. Fafa Seorang gay berasal dari Sragen dan berdomisili di Masaran. Fafa berusia 32 tahun dan membuka usaha sebuah salon. Pria tamatan SMA ini merupakan anak pertama dari empat bersaudara. Dia merupakan laki-laki satu-satunya dalam keluarga. Ketiga adiknya semua perempuan. Fafa merasa dekat dengan ibunya karena ayahnya sudah meninggal. Fafa juga memberanikan diri untuk menceritakan keadaannya kepada ibunya. Saat pertama Fafa mengungkapkan dirinya sebagai gay, ibunya merasa kaget, namun pada akhirnya ibu dan saudara-saudaranya bisa menerima keadaannya. Fafa menganut agama Islam dan sejak kecil dia telah diberikan pendidikan agama yang cukup. Meskipun dia tahu bahwa di agama yang dianutnya melarang menyukai sesama jenis. Namun Fafa menyatakan bahwa menyukai seseorang dan mencintainya adalah masalah yang suci. Jadi bukanlah suatu dosa asal kita bisa menempatkan cinta tersebut di tempat yang benar. Keluarga Fafa mementingkan pendidikan formal karena bagi keluarganya yang bisa dibawa dan diwariskan oleh orang tuanya hanyalah pendidikan tersebut. Meskipun demikian Fafa tidak dapat sekolah tinggi karena dia harus menanggung biaya adikadiknya. Mengenai kasih sayang yang diberikan oleh Fafa selama ini lxxiv dianggap sudah baik. Bahkan ibunya selalu mendukung kegiatan yang dilakukan Fafa. 2. Kunkun Kunkun merupakan anak pertama dari empat bersaudara. Kunkun kini berusia 35 tahun dan bekerja sebagai karyawan PNS. Dia tidak jauh berbeda dengan Fafa. Kunkun anak tertua dan merupakan anak laki-laki satu-satunya. Dalam keluarga Kunkun berperan sebagai kakak yang dijadikan contoh dan penuntun bagi adik-adiknya. Meskipun orang tua Kunkun tidak tinggal di Sragen, namun Kunkun mengaku bahwa dia dekat dengan ibunya, Kunkun lebih sering mengobrol dengan ibunya. Namun Kunkun tidak pernah menceritakan bahwa dirinya seorang gay, dia hanya bercerita sewajarnya saja. Pria yang telah memiliki gelar sarjana ini memeluk agama Islam. Sejak kecil kedua orang tuanya telah menerapkan pendidikan baik agama maupun pendidikan lainnya secara tegas. Bahkan orang tua Kunkun juga memperkenalkan pendidikan seks kepada anak-anaknya. Ayah Kunkun seorang yang tegas, jadi keluarganya telah terbiasa hidup dengan aturan-aturan yang ketat. Meskipun demikian Kunkun tidak pernah merasa tertekan. Dia justru bangga mempunyai sosok ayah yang bisa dijadikan panutan baginya. Kedua orang tua Kunkun tetap memberikan perhatian dan kasih sayangnya yang cukup besar untuk anak-anak mereka. lxxv 3. Nono Nono pria berusia 40 tahun lulusan SMA ini memiliki empat orang adik perempuan. Nono merupakan anak pertama dan satu-satunya pria dalam keluarganya. Nono bekerja sebagai wiraswasta dengan membuka warung makan yang tak jauh dari rumahnya. Meskipun Nono tinggal dengan keluarganya namun Nono merasa tidak terlalu dekat dengan salah satu anggota keluarganya. Ayah Nono sudah meninggal sehingga Nono hanya memiliki ibu saja. Nono tidak pernah menceritakan masalah pribadi kepada ibu ataupun adik-adiknya termasuk tentang ke-gay-annya. Nono memang tidak pernah membicarakan secara langsung identitas dirinya kepada ibu dan adik-adiknya namun mereka sepertinya mengetahui kelainan yang dimiliki Nono dengan melihat tingkah laku Nono seharihari. Keluarga Nono termasuk keluarga terpandang di desanya karena orang tua Nono adalah haji. Pendidikan agama yang diberikan orang tuanya sangatlah cukup. Berkaitan masalah gay dan agama yang dianutnya, Nono berpendapat bahwa tidak mungkin Tuhan menciptakan umatnya tanpa terlebih dahulu melihat baik buruknya. Menurut Nono mencintai dan menyukai orang bukanlah sebuah dosa karena cinta itu suci. Kalaupun ada yang salah berarti semuanya harus dikembalikan lagi kepada Tuhan Yang Maha Esa. 4. Tian Pria yang memiliki nama panggilan Tian ini berusia 30 tahun. Dia bekerja sebagai karyawan di Dinas Pariwisata kabupaten Sragen. Pria lulusan lxxvi sarjana Sastra Inggris ini merupakan anak bungsu dari lima bersaudara. Jarak Tian dengan saudara-saudaranya lumayan jauh namun mereka tetap akrab. Tian memiliki tiga orang kakak perempuan dan satu kakak lakilaki. Keluarga Tian tinggal di Wonogiri sedangkan di Sragen Tian hidup sebagai anak kost, sehingga Tian jarang bertemu dengan keluarganya. Tian tidak tega mengutarakan identitas dirinya sebagai gay kepada ibu dan saudara-saudaranya karena dia takut ibunya kecewa. Namun sepertinya lama kelamaan keluarga Tian mulai curiga melihat tingkah laku Tian yang tidak pernah memikirkan perkawinan. 5. Awan Awan yang bekerja sebagai Customer Service di sebuah Fitness Center ini merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Awan yang sekarang berumur 25 tahun dan lulusan D3 ini mengaku sangat dekat dengan adik laki-lakinya namun Awan tidak pernah menceritakan penyimpangan seksual yang dimilikinya kepada adiknya. Awan hanya menceritakan kegay-annya kepada teman-teman sesama gay. Untuk masalah agama Awan mendapatkan pendidikan agama yang cukup. Awan juga diajarkan berbagai hal tentang agama oleh orang tuanya. Awan menyadari bahwa hubungan sesama pria adalah dosa namun Awan tidak bisa berbuat banyak karena keadaan dirinya sudah seperti itu. 6. Erik Erik merupakan anak tunggal dalam keluarganya sehingga dia selalu dekat dengan kedua orang tuanya. Meskipun dekat, Erik tidak pernah lxxvii menceritakan kepada orang tuanya bahwa dia seorang gay. Erik tidak ingin mengecewakan kedua orang tuanya karena Erik adalah anak satusatunya yang mereka miliki dalam keluarga. Pria yang berusia 27 tahun ini bekerja sebagai desainer dan lulusan sarjana. Tuntutan pekerjaannya membuat pergaulan Erik dengan kaum gay semakin luas. Pendidikan agama dan pendidikan informal lainnya telah diberikan sejak Erik masih kecil. Meskipun Erik sadar bahwa dalam agamanya itu dilarang, namun Erik tidak bisa menghentikan kelainannya tersebut karena dia merasa itu sudah takdirnya. 7. Budi Anak kedua dari tiga bersaudara ini termasuk orang yang sangat periang. Saat ini Budi sudah berusia 26 tahun dan dia lulusan D3. Budi memiliki satu kakak perempuan dan satu adik laki-laki. Budi yang bekerja di sebuah stasiun radio ini mengaku sangat dekat dengan keluarganya, termasuk kedua orang tua dan saudara-saudaranya. Hampir setiap harinya Budi menghabiskan waktu bersama keluarga. Meskipun Budi dekat dengan keluarga, tidak semua masalah yang dia alami diceritakan kepada keluarganya. apalagi masalah ke-gay-annya. Dia sangat menjaga untuk tidak diketahui oleh keluarganya. Agama Islam yang diajarkan oleh kedua orang tuanya dalam keluarga Budi sangat disiplin. Budi sempat merasa takut ketika ditanya masalah agama dan juga penyimpangan seksual yang dia miliki. Tetapi Budi menganggap penyimpangan itu termasuk cobaan lxxviii dari Tuhan yang harus dijalaninya dan yang pasti tidak akan terlampau jauh ke dalam. Dari data-data informan di atas dapat kita lihat bahwa kaum gay memiliki tempat untuk menceritakan setiap masalah yang berbeda-beda. Ada beberapa gay yang menceritakan semua masalah kepada ibunya karena mereka merasa dekat dengan ibu. Mereka bahkan menceritakan masalah kegay-annya kepada ibunya. Tetapi ada juga gay yang meskipun dekat dengan ibu tetapi mereka tidak pernah menceritakan kalau dirinya seorang gay. Mereka lebih memilih teman sebagai tempat bercerita keadaannya. Ada beberapa gay yang setiap masalah diceritakan hanya dengan temantemannya. Bahkan ada juga yang hanya bercerita dengan teman yang benarbenar dia percaya. B. Komunikasi dan Sosialisasi Kaum Gay di Sragen Dalam pergaulan sehari-hari, kaum gay memiliki lingkungan pergaulan sendiri, meskipun mereka berada di lingkungan heteroseks. Mereka tidak bisa terlepas dari tempat di mana mereka berada. Semua responden menyatakan bahwa dalam berkomunikasi dan bersosialisasi mereka tidak berbeda dengan orang lain yang normal (heteroseks). Akan tetapi ada perilaku dan tindakan yang tetap dijaga. Hal ini dilakukan agar masyarakat tetap menghargai mereka. Dalam melakukan komunikasi dan sosialisasi dengan lingkungan masyarakat, terkadang kaum gay mengalami hambatan terutama saat masyarakat baru pertama kali mengetahui dirinya gay. Kadang ada sebagian lxxix masyarakat yang mengucilkan dan menganggap aneh sebagian responden yang menyandang sebagai kaum gay, namun kadang ada masyarakat yang dengan senang hati menerima dan dapat berkomunikasi dengan baik. Berikut adalah hasil wawancara dengan responden mengenai masalah komunikasi dan sosialisasi dengan masyarakat. 1. Fafa Ketika ditanya tentang komunikasi dan sosialisasi terhadap masyarakat, Fafa menyatakan bahwa semua dilakukannya dengan normal-normal saja. “Nggak perlu dibikin-bikin, ntar jadi aneh. Mungkin di lingkungan tempat tinggal aku dan bekerja sudah banyak yang tahu kalau aku gay, tapi aku berusaha sebisa mungkin supaya aku nggak melanggar norma-norma masyarakat dan berbuat macam-macam. Malah aku sering ikutan acara kumpul-kumpul sama warga sekitar, biar mereka juga kenal aku dan aku kenal ama mereka. Jadi kalau sudah saling kenal khan bisa saling menghormati. Aku mempunyai prinsip, orang itu cuma ingin disegani dan dihormati serta diakui keberadaanya, kalau udah begitu mereka juga akan bersikap sebaliknya sama kita.” Dalam bersosialisasi dan berkomunikasi, Fafa melakukan hal-hal yang biasa saja. Meskipun di lingkungan tempat kerja dan bekerja sudah banyak yang mengetahui kalau Fafa gay, dia berusaha sebisa mungkin untuk tidak melanggar norma-norma masyarakat dan tidak berbuat macam-macam. Dia tetap menjaga hal-hal dan norma-norma yang berlaku di masyarakat. Fafa tidak pernah membawa pulang pasangannya ke rumah. Meskipun orang rumah sudah mengetahui Fafa sebagai gay, namun Fafa tetap menjaga perasaan mereka dan menjaga keluarganya dari pandangan negatif para tetangga. Meskipun terkadang Fafa lxxx mengalami hambatan dalam berkomunikasi, Fafa tetap tenang dan sabar. Fafa tidak pernah mencari masalah. Fafa menganggap itu sudah menjadi resiko dalam hidupnya. “Aku tidak pernah membayangkan konsekuensi terburuk saat sebagian besar masyarakat mulai mengetahui kalau aku adalah gay, tapi kalaupun suatu saat mereka mengetahui aku gay, aku rasa tidak akan ada perubahan yang drastis dalam pergaulanku dengan lingkungan. Paling-paling ada beberapa orang yang ngomong aku di belakang, itu wajar aja sih. Aku nggak akan ambil pusing, yang terpenting aku baik ke mereka dan nggak nyakitin mereka. Udah selesai.” Dalam hidupnya Fafa tidak pernah membayangkan konsekuensi terburuk kalau masyarakat nanti mulai mengetahui dirinya adalah gay, tetapi kalaupun mereka mengetahuinya, Fafa tidak akan mengalami perubahan yang drastis dalam hidupnya. Dia tidak terlalu memikirkan hal itu, yang penting dia baik dan tidak menyakiti atau mengganggu mereka. 2. Kunkun Lain halnya dengan Fafa, Kunkun seorang gay yang tertutup. Dia berusaha dan berharap supaya lingkungan sekitarnya tidak mengetahui bahwa dia seorang gay. Kunkun memang tidak pernah menceritakan kegay-annya kepada sembarang orang termasuk pada keluarganya. Hanya kepada orang atau teman terdekatnya saja Kunkun memliki keberanian untuk menceritakan identitas dirinya. Dalam bergaul dengan lingkungan dan masyarakat Kunkun mengaku tidak pernah ada masalah, karena Kunkun bersikap seperti layaknya orang normal. Kunkun memang jarang berkomunikasi dan bersosialisasi dengan lxxxi lingkungan atau masyarakat. Dia lebih sering bergaul dengan temantemannya sesama gay atau teman-teman dekat yang dipercaya. “Bukannya saya mau membatasi pergaulan, tapi saya berusaha banget supaya masyarakat jangan sampai ada yang tahu kalau saya gay. Memang kesannya munafik tapi mau dibilang apa lagi. Saya tidak bisa membayangkan kalau tiba-tiba banyak orang yang mengetahui bahwa saya gay, aduh…mudah-mudahan itu tidak terjadi deh, saya masih takut menerima kenyataan ini lho mas...” Dalam pergaulan sehari-hari, Kunkun tidak membatasi pergaulannya, tapi dia berusaha supaya masyarakat agar jangan sampai ada yang mengetahui kalau dia merupakan seorang gay. Dia tidak ingin dan tidak dapat membayangkan apa yang akan dilakukan kalau suatu saat nanti banyak orang yang mengetahui tentang ke-gay-annya. Kunkun seorang yang pendiam, dia tidak tahu apa yang dilakukannya jika suatu saat masyarakat mengetahui identitasnya. Dia merasa takut dikucilkan oleh teman-teman dan lingkungannya. Kunkun juga takut jika keluarganya mengetahui dirinya gay, dia berharap agar teman-teman yang mengetahui dia gay tidak pernah menceritakan keadaan Kunkun kepada keluarganya. 3. Nono Pemilik warung makan ini tidak pernah mempermasalahkan ke-gay-annya dalam berkomunikasi dan bersosialisasi dengan lingkungan. Nono tidak pernah menutupi dirinya gay tapi tak pernah juga terlalu membuka diri dan memberitahukan kepada semua orang bahwa dirinya gay. “Saya bergaul dan bersosialisasi dengan masyarakat yang biasa saja. Yang penting saya bisa menempatkan diri pada tempatnya. lxxxii Kalau saya berada di lingkungan masyarakat biasa ya saya berperan sebagai Nono yang anggota masyarakat, saya berusaha mengikuti semua tata cara yang ada di masyarakat. Soalnya menurut saya nggak ada dispensasi yang diciptakan terhadap seseoarang karena mereka lain dari yang lain. Justru orang yang berbeda itu yang harus menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Tapi kalau saya sudah bersama dengan teman gay, ya saya bisa menjadi diri saya lagi. Dalam hal ini barulah waktu yang tepat bagi saya untuk bersama pasangan, mungkin bergaul dengan cara-cara gay, bermesraan atau hal lain yang biasanya hanya kaum gay yang mengerti.” Nono melakukan komunikasi dan sosialisasi dalam masyarakat yang biasa saja. Yang terpenting dia bisa menempatkan diri. Ketika Nono berada di lingkungan masyarakat dia harus menjadi Nono yang sebagai anggota masyarakat, kemudian ketika dia sudah berada di kalangan gay, Nono akan menjadi diri pribadinya, di mana dia akan bergaul dengan pasangan gay dan melakukan hal-hal yang biasanya mereka lakukan. Karena menurutnya di masyarakat tidak ada dispensasi yang diberikan untuk seseorang yang lain dari yang lain. Lingkungan tempat Nono tinggal sudah banyak yang mengetahui identitas dirinya yang gay, termasuk teman-teman Nono yang bekerja di warung makannya. Nono termasuk gay yang terbuka. Dia melakukan komunikasi dan sosialisasi di lingkungan masyarakat dan di antara teman-teman seperti biasa saja. Nono kadang mengalami sedikit gangguan ketika ada seseorang yang baru pertama kali mengetahui dirinya gay. Kadang mereka memandang aneh pada dirinya bahkan beberapa hari tidak berkomunikasi. Namun biasanya itu tidak berlangsung lama. Setelah beberapa saat mereka akan mengerti keadaan lxxxiii Nono sebagai gay dan menerima Nono dalam pergaulan. Komunikasi dan sosialisasi yang baik dengan teman-teman dan lingkungan masyarakat maka keberadaan kaum gay secara perlahan akan diterima kehadirannya dan akan lebih dihargai. 4. Tian Komunikasi dan sosialisasi yang dilakukan Tian dalam bergaul dengan masyarakat seperti layaknya orang-orang normal lainnya saja. Tidak ada yang dibuat-buat. Tian yang status di Sragen tinggal sebagai anak kost menutupi identitas ke-gay-annya kepada keluarganya. Teman-teman di kost sudah banyak yang mengetahui dirinya gay, namun teman-temannya bersikap seperti biasa saja, tidak ada hambatan atau masalah yang serius antara Tian dan teman-teman kostnya dalam melakukan komunikasi. Begitu juga dengan teman-teman kantor Tian tetap bisa berkomunikasi dan bersosialisasi secara baik. Teman-teman kantor Tian tidak pernah ambil pusing tentang keadaan Tian yang berbeda dengan keadaan mereka. “Teman-teman kost dan kantorku tetap menganggap aku sama seperti orang normal lainnya. Mereka benar-benar menghargai dan menghormati keadaanku. Aku sadar kalau aku merasa berbeda dengan mereka, namun itu tidak menjadi hambatan bagi kami untuk bergaul, ngobrol atau bermain bersama. Mereka juga baik hati dan mau ngertiin aku lho. Aku khan di sini kost dan keluargaku tidak tahu kalau aku gay, teman-temanku tuh nggak pernah ngomong macam-macam ke keluargaku tentang tingkah lakuku di sini. Sebisa mungkin aku merahasiakan kepada keluargaku tentang ke-gay-anku. Aku cuma nggak mau keluargaku teruatama ibu kecewa mendengar anaknya seorang yang menyimpang, khan kasihan ibu mas….” lxxxiv Selama Tian hidup sebagai anak kost, Tian tidak pernah membawa sembarang teman-teman prianya ke tempat kostnya. Supaya orang yang belum mengetahui keadaan dirinya tidak merasa resah. 5. Awan Sama halnya dengan Kunkun, Awan adalah seorang gay yang tertutup. Lingkungan tempat dia tinggal tidak mengetahui bahwa dia gay, termasuk keluarganya. Dia hanya terbuka pada orang-orang tertentu saja. Karena lingkungan Awan menganggap bahwa Awan adalah normal dan sama seperti yang lainnya, maka Awan melakukan komunikasi dan sosialisasi sewajarnya seperti orang-orang lainnya. Namun apabila suatu saat ada yang mengetahui dirinya gay, itu tidak menjadi masalah baginya. Awan mengaku dia harus bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar agar orang-orang di lingkungannya tidak mengetahui Awan seorang gay. Dia juga berusaha untuk menghindari hal-hal yang bersinggungan dengan gay. Dan Awan juga tetap berusaha menjadi orang yang normal di masyarakat. “Saya harus bisa menyesuaikan diri dengan keadaan sekitar, nggak boleh dong saya terus mengeksklusifkan diri. Saya tetap berusaha menjaga perasaan orang-orang di lingkungan saya yang tidak tahu kalau saya gay, sebisa mungkin hal-hal yang bersinggungan dengan dunia gay di masyarakat saya hindari, saya harus tetap menjadi orang yang normal di suatu masyarakat.” Awan tidak bisa membayangkan jika pada suatu saat banyak orang mengetahui ke-gay-annya. Awan takut kehilangan teman-teman dan orang-orang yang disayangnya sehingga dia sebisa mungkin bertingkah lxxxv laku seperti orang normal. Bahkan pernah terlintas dalam pikiran Awan jika suatu saat lingkungannya mulai banyak yang mengetahui identitasnya, Awan memilih untuk pindah rumah atau mencari tempat lain. 6. Erik Erik termasuk gay yang tertutup. Dia tidak mau kedua orang tuanya tahu bahwa dia gay. Dalam bersosialisasi dengan masyarakat Erik bergaul seperti biasanya. Dia mengaku semuanya tidak ada yang dibuat-buat. Sebagai seorang desainer Erik banyak bertemu dan berkomunikasi dengan orang-orang terutama pelanggannya. Mereka tidak banyak yang tahu kalau Erik adalah gay, kalaupun ada sebagian yang mengetahui, Erik bersikap biasa saja. Erik memiliki perasaan takut dikucilkan oleh orang lain dan lingkungannya. Erik juga merasa takut kehilangan teman-temannya. Untuk itu sebisa mungkin dia bertingkah laku kayaknya orang normal. “Untuk menghilangkan jejak bahwa saya gay, saya kadang membawa teman-teman wanita ke rumah, ya sekedar untuk main dan ngobrol aja. Itupun nggak cuma satu orang, saya kadang membawa dua atau tiga orang wanita ke rumah. Supaya orang tua saya tidak curiga kalau saya gay. Saya kasihan sama orang tua saya kalau sampai mereka tahu bahwa anak satu-satunya adalah seorang gay. Apa yang akan terjadi coba mas, saya benar-benar tidak bisa membayangkannya.” Dalam keseharian Erik sering mengajak teman-teman wanitanya untuk main ke rumahnya. Hal ini agar orang tua Erik tidak curiga kalau dia gay. Biasanya mereka sekedar main dan ngobrol-ngobrol. Erik merasa kasihan lxxxvi pada orang tuanya kalau sampai mereka mengetahui bahwa anak satusatunya adalah seorang gay. 7. Budi Budi termasuk gay yang begitu tertutup. Dalam kesehariannya Budi berusaha untuk menjadi seorang yang normal. Karena dia tidak ingin diketahui ke-gay-annya, termasuk keluarganya. Dilihat dari aktivitas dan tingkah laku Budi sehari-hari, dia tidak nampak kalau dia seorang gay. Dalam melakukan komunikasi dan sosialisasi dalam masyarakat Budi melakukannya dengan biasa saja. Budi juga aktif dalam kegiatan masyarakat. "Saya sangat tertutup mas, sampai saat ini keluargaku belum ada yang tahu, dan aku berharap agar mereka tidak sampai mengetahuinya. Aku juga nggak mau kehilangan teman-teman mas. teman saya sudah ada yang mengetahui kalau aku gay, dan dia itu normal, sebab hanya dia yang aku percaya untuk menjaga aibku. Teman-teman gay juga hanya beberapa yang aku kenal, karena aku benar-benar takut kalau dengan banyaknya orang yang tahu, bisabisa masalahku ini sampai ke keluargaku, aku nggak mau mas." Keluarga dan teman-teman sangat memiliki arti yang penting dalam kehidupan Budi. Dia tidak ingin kehilangan mereka. Oleh karena itu Budi sangat menjaga ke-gay-annya agar tidak diketahui oleh mereka. Ke-gay-an Budi hanya diketahui oleh teman dekat dan beberapa teman gay saja, karena Budi takut untuk berkenalan dengan banyak orang gay. Dari beberapa data di atas bisa dikatakan bahwa hampir semua gay di Sragen mempunyai komunikasi dan sosialisasi yang sama dalam pergaulan di masyarakat. Mereka harus dapat menyesuaikan diri dan lxxxvii menempatkan diri dengan baik di lingkungan mereka. Mereka juga harus menjalankan norma-norma yang berlaku dan tidak melanggar aturan-aturan yang ada di masyarakat. C. Pengungkapan Diri Kaum Gay di Sragen Pengungkapan diri memang merupakan hal yang sulit. Terlebih lagi menyangkut masalah yang sangat pribadi. Berbagai hal perlu banyak dipertimbangkan sebelum kaum heteroseks melakukan pengungkapan diri. Latar belakang kehidupan mereka yang berbeda dengan orang-orang lainnya membuat sebagian responden enggan untuk melakukan pengungkapan identitiasnya. Reaksi-reaksi yang timbul setelah seseorang mengungkapkan diri memang tidak dapat dihindari, bisa jadi akan terjadi reaksi yang negatif yang tidak dapat menerima keterbukaan diri yang dilakukan oleh seseorang. Keterbukaan dan ketertutupan diri merupakan dampak dari kesadaran akan perbedaan yang dimiliki oleh setiap responden. Gay yang terbuka akan melakukan pengungkapan diri secara langsung kepada orangorang yang dikenal dan dipercaya (keluarga, sahabat dan bahkan lingkungan). Sementara gay yang tertutup akan melakukan pengungkapan diri hanya dengan orang-orang yang mereka percaya seperti sahabat dekat dan juga pacarnya (laki-laki), dalam jumlah yang besar. Tetapi lain halnya dengan gay yang sangat tertutup. Gay yang sangat tertutup hanya akan melakukan pengungkapan diri dengan orang yang benar-benar dipercaya (biasanya hanya seorang sahabat), karena gay yang sangat tertutup ini tidak mau orang lain mengetahui sifat ke-gay-annya dalam jumlah yang banyak, jadi gay yang lxxxviii sangat tertutup sangat menjaga privasi. Hal-hal seperti itu dialami pula oleh responden sebagai berikut : 1. Fafa Dalam hal pengungkapan diri yang dilakukan oleh Fafa, pertama-tama Fafa menyatakan ke-gay-annya kepada keluarganya dengan cara bicara langsung dengan mereka. Fafa menganggap bahwa keluarga adalah orang yang paling dekat dengannya. Pada awalnya ibu dan adikadiknya merasa kaget. Bahkan ibunya sempat sakit satu bulan dan dia didiamkan oleh adik-adiknya. Fafa berusaha memberikan pengertian kepada keluarganya bahwa dia memang tidak menyukai wanita. Fafa membuktikan dirinya bukanlah orang yang harus dikucilkan. Fafa mulai rajin bekerja dan terus bekerja untuk memenuhi kebutuhan ibu dan adikadiknya. Fafa merasa lega setelah melakukan pengungkapan diri kepada keluarganya bahwa dia adalah gay. Fafa merasa keluarganya mulai bisa mengerti dan memahaminya, bahkan bisa membantu memberikan semangat kepada Fafa berkaitan dengan keadaannya. Fafa kini juga memiliki tempat untuk pulang dan mengadu semua masalah yang dihadapinya. Pada awalnya Fafa merasa takut untuk mengungkapkan ke-gayannya kepada keluarga. Ia takut nanti kehadirannya tidak diharapkan lagi dalam keluarga. Yang mendasari pemikiran Fafa untuk melakukan lxxxix pengungkapan diri adalah perasaan tidak tenang jika nanti suatu saat orang tuanya akan mendesak dia untuk menikah. Karena daripada mereka nanti bingung dengan sikapku kenapa aku tidak memikirkan untuk menikah, Fafa lebih memilih untuk memberitahu keadaannya yang sebenarnya. Fafa juga sudah merasa cukup mapan untuk ngomong ke keluarga. Kalaupun setelah aku mengungkapkan yang sebenarnya mereka tidak lagi mau mengenalku karena malu, dia sudah bisa berdiri sendiri. Tetapi kenyataan berbeda, mereka bisa menerima keadaan Fafa yang sebenarnya. “Suatu saat nanti orang tuaku akan mendesak aku untuk menikah dan berkeluarga seperti layaknya heteroseks yang lainnya. Daripada nanti mereka bingung kenapa aku nggak menikahmenikah juga, mending aku omongin saja langsung keadaanku yang sebenarnya. Di samping itu aku sudah cukup mapan untuk ngomong ke keluargaku, kalaupun nantinya setelah aku ngomong mereka nggak mau lagi kenal aku, mungkin karena malu, aku sudah bisa berdiri sendiri. Tapi ternyata mereka bisa menerima aku apa adanya, ya syukurlah mas.” 2. Kunkun Pertama kali Kunkun mengungkapkan dirinya gay adalah kepada kedua orang teman kantornya. Kunkun bicara langsung kepada kedua temannya itu yang sudah dianggapnya seperti kakak sendiri. Saat pertama kali Kunkun mengungkapkan dirinya gay kedua teman kantornya itu merasa terkejut, mereka tidak menyangka kalau Kunkun ternyata seorang gay. Secara fisik Kunkun memang tidak terlihat seperti gay, dia benar-benar laki-laki sekali. xc Setelah pengungkapan yang Kunkun lakukan, kedua temannya itu tidak berubah. Mereka bahkan lebih perhatian dan makin dekat dengan Kunkun. Selain itu Kunkun merasa lebih terbuka kepada kedua temannya tersebut. “Saya merasa lebih terbuka dan menceritakan apa aja ke mereka tanpa khawatir mereka akan menjauhi saya. Saya merasa ada orang yang bisa menerima saya apa adanya. Tapi dulu sebelum saya ngomong sama siapa-siapa, saya sedikit agak tertekan, soalnya nggak ada yang bisa diajak tukar pikiran, terutama bila saya ada masalah dengan “pacar” saya.” Hingga saat ini Kunkun hanya mengungkapkan ke-gay-annya tersebut kepada kedua temannya. Dia tidak ingin keluarganya tahu dan menjadi malu karenanya. Karena Kunkun tidak mau berterus terang pada keluarganya, maka Kunkun ditunangkan dengan anak teman ayahnya, konsekuensi yang harus Kunkun hadapi adalah menikah. Dia menyatakan bahwa dengan menikahi tunangannya berarti dia telah berbakti kepada orang tuanya. Kunkun bahkan berjanji akan membahagiakan istrinya. Kehidupan gay yang dialami Kunkun memang unik, Kunkun adalah seorang gay yang menyukai sesama jenis pria, namun ia memutuskan untuk menikah dengan seorang wanita demi membahagiakan orang tuanya. Kunkun mengakui mengalami pertentangan batin, namun Kunkun mempunyai keyakinan kuat bahwa dirinya bisa melewati ini semua. 3. Nono Nono tidak pernah sembarangan mengungkapkan dirinya gay kepada orang-orang yang belum tentu terlalu dikenalnya. Nono lebih xci memilih biar orang-orang yang mengetahui dengan sendirinya tentang keadaannya. Pertama kali Nono mengungkapkan dirinya gay adalah kepada temannya sesama gay, dia lebih percaya kepada teman-teman gaynya. Setelah Nono melakukan pengungkapan diri, Nono baru benarbenar merasa yakin kalau dia seorang gay, dia juga merasa lega karena ternyata Nono masih punya banyak teman yang nasibnya sama seperti dia. Nono justru mendapat teman-teman baru sesama gay. Nono juga mendapat banyak masukan dari gay-gay seniornya. Nono tidak lagi merasa beban tentang ke-gay-annya. ”Aku lega mas setelah aku mengaku kalau aku adalah gay. Dan yang lebih membuat aku lega karena banyak orang-orang yang nasibnya sama dengan aku. Malah sekarang aku mempunyai banyak teman dan dari teman-teman gay yang sudah lama (senior) mereka sering memberiku masukan-masukan agar aku bisa lebih percaya diri lagi.” Kini Nono lebih bebas dan merasa enak dalam bergaul. Nono hanya ingin memperoleh kebebasan dalam menjalankan segala aktifitasnya termasuk saat dia melakukan banyak kegiatan yang berkaitan dengan komunitas gay-nya. 4. Tian Tian tidak jauh beda dengan Nono, dia tidak sembarangan memberitahukan tentang identitasnya ke semua orang. Tian benar-benar mencari orang yang sudah dipercayanya, sebagian orang yang mengetahui dirinya gay adalah karena melihat tingkah laku Tian dalam kesehariannya. Tian memang cenderung feminim, gaya dan tingkah lakunya begitu xcii lembut sehingga orang mempunyai kesimpulan masing-masing tentang identitas Tian. ”Aku sudah merasa kalau banyak orang yang tahu aku gay, karena aku orangnya feminim. Tetapi aku masih merasa takut untuk mengungkapkan diri kepada teman-teman gay. Meskipun banyak teman-teman yang sudah mengetahui kalau aku gay, aku masih kepikiran kalau aku mengaku nantinya. Dan setelah aku mengaku ternyata teman-teman malah merasa senang karena aku sudah berani untuk melakukan itu.” Pertama kali Tian mengungkapkan identitasnya adalah kepada sahabatnya yang juga seorang gay. Temannya itu sudah tidak kaget ketika mendengar pengakuan Tian, karena teman Tian itu sudah mengetahui sebelumnya gelagat Tian dalam keseharian. Tian merasa lega setelah menceritakan keberadaannya kepada teman gaynya, baginya itu telah membantu meringankan beban yang ditanggung olehnya untuk melakukan pengungkapan diri tentang ke-gay-annya yang dimiliki Tian memang tidak mudah. Tian memerlukan pemikiran keras sebelum melakukannya. 5. Awan Sebelumnya Awan tidak pernah melakukan mengungkapkan diri pada heteroseks atau masyarakat tentang ke-gay-annya. Pertama kali wawan melakukan pengungkapan diri kepada sahabatnya. Awalnya sahabat Awan sangat terkejut dengan pengakuan Awan, tetapi akhirnya sahabat Awan mau menerima keadaannya bahkan dia juga memberi semangat kepada Awan. xciii Setelah pengungkapan diri yang dilakukan, Awan merasa lebih lega karena beban yang selama ini bisa diterima oleh sahabatnya. Awan merupakan gay yang tergolong tertutup sehingga ketika nanti ke-gayannya sampai ketahuan oleh masyarakat luas, Awan takut dikucilkan yang akhirnya Awan akan kehilangan teman-teman dan orang yang disayanginya. ”Awalnya saya takut mas untuk ngaku kalau aku seorang gay, apalagi aku orangnya tertutup. Tetapi setelah aku ngaku sama sahabatku, dia akhirnya memberi semangat meskipun dia sempet kaget. Dan setelah pengungkapan itu aku lebih bebas untuk melakukan hal-hal yang aku suka karena aku sudah tidak takut lagi sama sahabatku. Tetapi aku masih takut kalau nanti masyarakat mengetahui ke-gay-anku, aku takut dikucilkan mas.” 6. Erik Tak lain dengan Awan, Erik termasuk gay yang tertutup. Tidak banyak yang mengetahui Erik adalah seorang gay. Ketika Erik mengaku kalau dia gay, Erik mengungkapkan hal itu kepada teman yang samasama desainer. Erik tidak akan memberitahu keluarga, karena selain anak tunggal Erik tidak ingin membuat orang tuanya kecewa. Pekerjaan Erik yang menjadi desainer membuat Erik memiliki banyak teman gay. Dalam beberapa kali kenalan dengan teman gay, Erik bisa mendapatkan “pacar”. Pacar Erik merasa senang dan mau menerima Erik dengan senang hati. Erik juga merasa senang setelah melakukan pengungkapan diri dan mempunyai “pacar” karena dia merasa ada tempat dan ruang yang mau menerima dirinya apa adanya dan merasa memiliki teman baru yang bisa memahaminya. xciv Erik belum pernah membayangkan akan melakukan pengungkapan diri kepada keluarga dan masyarakat. “Jujur saja aku belum pernah memikirkan kearah sana. Umurku saja masih sangat muda. Tapi kalau suatu saat nanti akan terjadi hal seperti itu, aku akan berusaha mencari jalan keluarnya. Untuk saat ini biar saja mengalir apa adanya”. 7. Budi Pengungkapan diri yang dilakukan oleh Budi bisa dikatakan harus memiliki keberanian yang tinggi. Budi yang orangnya tertutup mengungkapkan dirinya seorang gay hanya kepada satu teman dekatnya. Dia membutuhkan waktu yang lama untuk melakukan hal itu. Ketika Budi akan mengungkapkan kepada sahabatnya, dia sangat takut akan resiko yang akan diterimanya. Keinginan Budi untuk mengungkapkan dirinya sudah sejak 4 tahun yang lalu, tetapi dia masih belum berani untuk terus terang pada sahabatnya. Dan baru beberapa bulan kemarin Budi mengungkapkan diri kepada sahabatnya. Pada awalnya sahabat Budi begitu kaget, tetapi setelah beberapa saat akhirnya Budi bisa diterima oleh sahabatnya. Dan Budi tidak akan melakukan pengungkapan diri lagi termasuk keluarga. "Aku sebenere udah pingin jujur sama sahabatku dari 4 tahun yg lalu mas, tapi aku sangat takut. dan baru bulan-bulan kemarin aku jujur. Dia sangat kaget mas waktu aku terus terang. Saat itu juga aku takut, pikiranku uda macem-macem. takut nanti dia menjauh, takut nanti dia bilang sama teman-teman yang lain, pokoknya bener2 bingung mas waktu itu. Tapi pikiran2ku itu akhirnya hilang ketika sahabatku sudah mau nrima keadaanku. Hanya dia mas yang tahu kalau aku gay, dan aku nggak mau keluargaku nanti tahu hal itu." xcv xcvi BAB IV ANALISIS TERHADAP KAUM GAY DI SRAGEN A. Identitas Diri kaum Gay Tidak ada satu orangpun yang menginginkan hidup yang tidak normal. Namun kejadian yang dialami oleh kaum gay merupakan suatu hal yang bagaimanapun harus diterima oleh individu seorang gay. Pada awalnya seorang gay tidak pernah menyadari kalau dirinya akan menjadi seorang gay. Faktor lingkungan dan pembawaan sejak lahir juga melatarbelakangi munculnya penyimpangan perilaku ini. Pergaulan yang mereka alami sejak kecil yaitu terbiasa bergaul dan bermain dengan wanita, membentuk pribadi mereka menjadi seorang yang terbiasa hidup dengan keadaan yang biasa mereka kenal. Kebiasaan ini akhirnya terbawa dalam kehidupan sehari-hari sampai beranjak dewasa. Saat masa pubertas yaitu saat seorang individu mulai mencari jati dirinya, mereka akan memutuskan identitas dirinya sesuai dengan perasaan dan hati nurani yang dirasakan. Kebanyakan dari pria yang sejak kecil terbiasa hidup dengan latar balakang pergaulan bersama wanita akan memutuskan identitas dirinya sebagai seorang gay yang tidak menyukai wanita. Mereka justru lebih tertarik menjadi seorang wanita yang menyukai pria tanpa menghiraukan bahwa dirinya adalah seorang pria yang seharusnya dapat berperilaku selayaknya pria normal pada umumnya. Hal ini pada awalnya tidak mereka xcvii sadari karena telah terdapat bibit-bibit homoseksualitas dalam dirinya yang terlihat jauh sebelum masa remaja. · Identitas Subyektif dan Identitas Obyektif Dalam identitas ada dua sifat yang membedakan kaum gay dalam melakukan pengungkapan diri tentang ke-gay-an yang dimilikinya. Sifat identitas tersebut adalah sifat identitas yang subyektif dan sifat identitas obyektif. ü Identitas Subyektif Identitas diri yang subyektif merupakan identitas diri yang pengungkapan dirinya secara langsung oleh individu. Hal ini seperti diungkapkan oleh salah satu responden dalam penelitian ini yang termasuk identitas subyektif, Fafa ketika ditanya masalah bagaimana pengungkapan diri yang menyatakan bahwa dia adalah gay, Fafa mengatakan “Bicara langsung dengan keluarga”. Hal ini dilakukan oleh Fafa dengan alasan apabila suatu saat nanti disuruh untuk menikah. “…Suatu saat nanti orang tuaku akan mendesak aku untuk menikah dan berkeluarga seperti layaknya heteroseks yang lainnya. Daripada nanti mereka bingung kenapa aku nggak menikah-menikah juga, mending aku omongin saja langsung keadaanku yang sebenarnya. Di samping itu aku sudah cukup mapan untuk ngomong ke keluargaku, kalaupun nantinya aku ngomong mereka nggak mau lagi kenal aku, mungkin karena malu, aku sudah bisa berdiri sendiri. Tapi ternyata mereka bisa menerima aku apa adanya, ya syukurlah mas…” xcviii ü Identitas Obyektif Sedangkan identitas diri yang obyektif merupakan identitas yang diterima oleh seseorang dari pandangan orang lain (masyarakat). Identitas obyektif biasanya dirasakan oleh kaum gay yang tertutup karena mereka tidak ingin dikucilkan apabila mereka sudah melakukan keterbukaan tentang keadaan yang mereka alami. Hal ini dialami oleh responden Tian. “…..Aku sudah merasa kalau banyak orang yang tahu aku gay, karena aku orangnya feminim. Tetapi aku masih merasa takut untuk mengungkapkan diri kepada teman-teman gay. Meskipun banyak teman-teman yang sudah mengetahui kalau aku gay, aku masih kepikiran kalau aku mengaku nantinya. Dan setelah aku mengaku ternyata teman-teman malah merasa senang karena aku sudah berani untuk melakukan itu….” B. Cara Mengkomunikasikan Identitas Diri pada Masyarakat Seorang gay dalam bersosialisasi dengan lingkungannya akan dihadapkan dengan berbagai dilema yang menempatkan mereka dalam keadaan yang serba salah. Hal ini terutama sekali dirasakan oleh kaum gay yang masih menutup dirinya terhadap lingkungan. Di satu pihak mereka harus tetap bertopeng sebagai seorang hetero, di lain pihak mereka juga memiliki kebutuhan untuk pemenuhan akan orientasi seksual mereka sebagai gay. Akan tetapi bagi gay yang sudah mengungkapkan diri pada lingkungan, untuk melakukan pergaulan bukanlah suatu hal yang berat dan membebani. Yang dibutuhkan hanyalah kemampuan untuk menempatkan diri pada tempatnya. Jika berada di tengah masyarakat biasa, mereka akan xcix bertindak normal, karena bagaimanapun tidak ada dispensasi yang diciptakan terhadap seseorang karena mereka lain dari yang lain. Justru orang yang memiliki perbedaan itulah yang harus bisa menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Berkomunikasi dan bersosialisasi dengan masyarakat adalah syarat yang harus dilakukan oleh seseorang jika dia tidak ingin dikucilkan dari lingkungannya. Kaum gay yang merupakan kaum minoritas, sangatlah dituntut kecakapannya dalam bergaul di masyarakat. Mereka harus pandaipandai menempatkan diri di tengah lingkungan masyarakat normal. Dari data responden yang telah disajikan dapat dikatakan bahwa masing-masing responden tidak mengalami masalah dalam melakukan komunikasi dan sosialisasi dengan lingkungan. Cara berkomunikasi dan bersosialisasi yang dilakukan ada yang secara langsung dan ada yang secara tidak langsung terhadap keluarga maupun masyarakat luas. 1. Langsung a. Keluarga Cara mengungkapkan diri secara langsung kepada keluarga yang dilakukan oleh responden dalam penelitian ini terlihat hanya beberapa orang saja. Karena pengakuan terhadap keluarga membutuhkan keberanian yang lebih dan dia juga harus bersedia untuk menerima respon dari keluarga tersebut. Hal ini seperti diungkapkan oleh responden c Fafa ketika ditanya tentang pengungkapan diri yang dilakukan. Fafa bercerita langsung kepada ibunya tentang identitas yang dimilikinya tanpa basa-basi. “....Dekat dengan ibu, dan semua masalah selalu diceritakan dengan ibu termasuk masalah kalau aku gay....” b. Masyarakat Dari hasil wawancara yang sudah disajikan di atas dapat kita lihat bahwa hampir semua responden tidak ada yang berani melakukan pengungkapan diri terhadap masyarakat luas secara langsung. Hal ini tidak dilakukan karena mereka takut akan dikucilkan atau diusir oleh masyarakat luas tempat mereka tinggal. 2. Tidak Langsung a. Keluarga Berbeda dengan gay yang melakukan pengakuan secara langsung dengan keluarga. Untuk gay yang memiliki sifat tertutup biasanya tidak akan melakukan pengungkapan diri secara langsung baik kepada keluarga maupun masyarakat. Tetapi malah keluarga atau masyarakat yang menilai individu tersebut melalui tingkah laku sehari-hari. Untuk responden yang tidak mengatakan langsung tentang ke-gay-an yang dimiliki bisa dilihat dari penuturan responden Nono. “....Belum tahu mas, tetapi mereka sepertinya mengetahui kelainan yang aku miliki karena tingkah laku saya sehari-hari mas....” ci b. Masyarakat Selain dari keluarga yang menilai tentang identitas yang dimiliki oleh seorang gay, masyarakat juga akan melakukan hal demikian juga. Mereka akan menganggap seseorang individu termasuk gay hanya dengan melihat tingkah laku sehari-hari tanpa adanya pengungkapan yang dilakukan individu tersebut. Hal ini seperti yang dialami oleh Tian, yang merupakan responden yang memiliki sifat feminim, sehingga banyak masyarakat luas yang menyimpulkan tentang identitas Tian. ”....Aku sudah merasa kalau banyak orang yang tahu aku gay, karena aku orangnya feminim. Tetapi aku masih merasa takut untuk mengungkapkan diri kepada teman-teman gay. Meskipun banyak teman-teman yang sudah mengetahui kalau aku gay, aku masih kepikiran kalau aku mengaku nantinya. Dan setelah aku mengaku ternyata teman-teman malah merasa senang karena aku sudah berani untuk melakukan itu....” Hambatan-hambatan kecil dalam berkomunikasi wajar terjadi, terlebih status gay yang mereka anut. Tidak semua masyarakat heterogen dapat menerima kehadiran seorang gay di lingkungannya. Ada sebagian yang masih menganggap bahwa kaum gay adalah kelompok orang yang membawa virus bagi lingkungannya, terutama virus HIV. Sebagian masyarakat menganggap bahwa hubungan yang tidak normal dan terlarang selalu berdampak tidak baik bagi individu yang menjalankannya, sehingga ada sebagian masyarakat yang tidak mau bergaul dengan kaum gay. Tekanan secara batin yang dialami kaum gay sudah menjadi resiko yang harus mereka tanggung. Bergaul secara wajar dan normal serta bertopeng cii layaknya seperti kaum heteroseks adalah satu-satunya cara yang dapat dilakukan agar mereka bisa berkomunikasi dan bergaul secara aman dan normal di lingkungan. Kehadiran kaum gay di Sragen memang masih jarang dijumpai. Lain halnya dengan kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya. Kehadiran kaum gay di kota besar bukanlah hal yang aneh, sehingga masyarakatnya cenderung menganggap hal yang biasa saja. Sragen merupakan lingkungan yang adat istiadat masyarakatnya masih menjunjung tinggi budaya timur, sehingga hal-hal asing yang masuk sebagai budaya baru masih dianggap aneh. Kehadiran kaum gay merupakan hal baru yang mereka terima. Masyarakat Sragen menganggap bahwa hubungan sesama jenis merupakan budaya yang bertentangan dengan budaya yang dianut oleh sebagian besar masyarakat Sragen, sehingga tidak heran sebagian masyarakat Sragen tidak mau menerima kehadiran kaum gay di lingkungannya. Suatu tindakan penting dalam kehidupan seseorang adalah membuka diri. Manusia hidup dalam satu lingkungan yang terdiri dari individuindividu yang memiliki sifat dan latar belakang kehidupan yang bervariasi. Manusia sebagai makhluk sosial perlu melakukan pembauran atau sosialisasi dengan sesama di lingkungan setempat. Agar dapat melakukan komunikasi dan sosialisasi diperlukan pembauran termasuk melakukan pengungkapan diri. Namun terkadang tidak semua orang bisa melakukan pengungkapan diri secara transparan kepada orang lain, setiap manusia memiliki suatu rahasia dan kepentingan masing-masing yang tidak semuanya harus diketahui orang ciii lain. Pengungkapan diri yang dilakukan hanya sekedar pengungkapan identitas kepada orang lain supaya tumbuh rasa saling menghargai dan dihargai orang lain. Melakukan pengungkapan diri kepada orang lain memang bukan perbuatan atau hal yang mudah, terutama bagi kaum minoritas seperti kaum gay. Kehadiran kaum gay memang masih belum dapat diterima 100% oleh masyarakat terutama untuk wiayah Sragen. Sragen hanya bagian kota kecil yang komunitas gay-nya masih sangat sedikit dibandingkan dengan kotakota besar seperti Jakarta dan Surabaya. Menurut Stephen W. Littlejohn dalam buku “Theories of Human Communication” terdapat empat tahapan dalam melakukan pengungkapan diri yang harus dilakukan seseorang dalam hal keterbukaan terhadap masyarakat, yaitu: 48 Tahap pertama, orang akan melakukan orientasi terlebih dahulu. Orientasi terdiri dari komunikasi interpersonal, di mana satu orang mengungkapkan hanya informasi yang sangat publik sifatnya dari dirinya. Hal ini terjadi pada saat perkenalan pertama kali dengan individu lain, atau pada saat hubungan baru dimulai. Begitu pula halnya dengan kaum gay, pada tahap ini mereka belum akan memberitahukan dan menyatakan ke-gayannya kepada orang lain. Tahap ini merupakan tahap perkenalan bagi mereka dan mempelajari karakteristik lawan bicaranya. Jika tahap ini 48 http://www.google.com/books?hl=id&YR6ZENi7NecC&oi=fnd&pg=PA1&dg=theories+of+hu man+communication&ots=5erb_4WezR&sig=x0ssCUF-WAyffaNLe7WyZ7F8EI#v=twopage&q=&f=false civ menguntungkan bagi para partisipan, mereka akan bergerak untuk memasuki tahap berikutnya. Tahap kedua, pertukaran afektif eksploratif, di mana ekspansi awal dari informasi dan perpindahan ke tingkat pengungkapan yang lebih dalam terjadi. Biasanya kaum gay dalam tahap ini sudah mulai tertarik dengan lawan bicaranya. Mereka mulai berani memberikan sinyal-sinyal kepada lawan bicaranya bahwa mereka adalah seorang gay yang menyukai sesama jenis. Biasanya kaum gay lebih leluasa memberikan sinyal-sinyal (berupa gaya bicara, tindak tanduk) justru kepada lawan jenisnya. Hal ini disebabkan karena mereka merasa lebih aman melakukan hal tersebut kepada lawan jenis, akan tetapi sebaliknya jika melakukan kepada sesama jenis mereka akan sangat berhati-hati. Karena adanya kekhawatiran akan dijauhi setelah diketahui keadaan mereka yang sebenarnya. Biasanya masih bersifat implisit. Tahap ketiga, pertukaran afektif di mana dalam tahap ini memusatkan pada perasaan-perasaan evaluatif dan krisis pada tingkat yang lebih dalam. Tahap ini tidak akan dimasuki kecuali pandangan tersebut melihat keuntungan yang substansial relatif terhadap kerugian pada tahaptahap awal. Biasanya kaum gay dalam tahap ini tidak akan memberikan sinyal-sinyal saja, akan tetapi sudah berani secara eksplisit menyatakan bahwa dirinya adalah seorang gay. Hal ini sering dilakukan jika lawan bicara sudah mereka percayai, dan bila mereka menyukai lawan bicaranya serta mengharapkan hubungan yang lebih mendalam. cv Tahap terakhir adalah tahap pertukaran yang stabil, sifatnya sudah sangat intim dan memungkinkan pasangan tersebut untuk memprediksikan tindakan-tindakan dan respon-respon mereka dengan baik. Tahap ini dilaksanakan bila sudah tdak ada lagi batas di antara mereka. Hampir tidak ada informasi yang ditutup-tutupi oleh kaum gay terhadap lawan bicaranya. Dan biasanya ini dilakukan kepada pasangan (kekasih), keluarga dan sahabat yang sudah sangat dekat. Dari hasil wawancara dengan beberapa kaum gay yang berdomisili di Sragen, dapat dikatakan bahwa tidak semua kaum gay memiliki sifat keterbukaan yang sama dalam melakukan pengungkapan diri, sebagian dari mereka justru termasuk pada gay tertutup, karena mereka tidak mengungkapkan identitas secara langsung kepada kaum heteroseksual. Mereka justru mengungkapkan diri pada komunitas gay atau lingkungan mereka sendiri. Gay tertutup cenderung memiliki anggapan, biarlah kaum heteroseks yang memberi penilaian dan tanggapannya secara langsung tentang kaum gay. Sifat tertutup ini mereka lakukan untuk menjaga nama baik keluarga dan mempertimbangkan kedudukan mereka di tengah masyarakat dengan adanya kekhawatiran akan dikucilkan dari lingkungannya. Untuk itu mereka lebih memilih untuk mengungkapkan identitas sebenarnya kepada sesama kaum gay dan mereka akan bersikap layaknya heteroseks dalam kehidupan sehari-hari. Resiko dari menutup diri yang dilakukan oleh kaum gay sangatlah besar. Hal ini dikarenakan keluarga dan lingkungan sekitar belum cvi mengetahui orientasi seksual yang mereka miliki, maka yang ditakutan adalah akan muncul beberapa resiko yang harus diterima oleh kaum gay, salah satunya tuntutan harus menikah seperti heteroseks dan memiliki keluarga. Di mana hal ini dapat menyebabkan suatu tekanan di dalam diri seorang gay, karena harus mengingkari ke-gay-annya. · Sifat Dasar Informan Setiap manusia memiliki sifat yang berbeda-beda. Begitu juga kaum gay yang memiliki sifat berbeda antara gay yang satu dengan yang lain. Maksud sifat di sini adalah sifat yang terbuka dan tertutup terhadap keluarga maupun masyarakat luas. - Sifat Terbuka Pada kenyataannya tidak semua kaum gay memiliki sifat tertutup. Sebagian kecil dari mereka ada yang juga memiliki sifat terbuka. Seperti yang dimiliki atau dialami oleh responden Fafa dan Nono. Mereka memilih untuk membuka diri dan mengungkapkan identitas dirinya kepada orang sekitar mereka yang berasal dari kaum heteroseksual. Seperti yang dikatakan oleh Kunkun. ”....Saya merasa lebih terbuka dan menceritakan apa aja ke mereka tanpa khawatir mereka akan menjauhi saya. Saya merasa ada orang yang bisa menerima saya apa adanya. Tapi dulu sebelum saya ngomong sama siapa-siapa, saya sedikit agak tertekan, soalnya nggak ada yang bisa diajak tukar pikiran, terutama bila saya ada masalah dengan “pacar” saya....” cvii - Sifat Tertutup Kaum gay yang memiliki sifat tertutup biasanya sangat berhati-hati dalam menjaga identitas yang dimiliki sebenarnya. Karena kaum gay yang tertutup tidak ingin identitas mereka diketahui oleh banyak orang. Kaum gay akan merasa takut dikucilkan ketika setelah mereka diketahui identitasnya. Hal ini seperti yang dirasakan oleh Budi salah satu responden yang termasuk gay tertutup. “….saya sangat tertutup mas, sampai saat ini keluargaku belum ada yang tahu dan aku berharap agar mereka tidak sampai mengetahuinya. Aku juga nggak mau kehilangan teman-teman mas. Teman saya sudah ada yang mengetahui kalau aku gay dan dia itu normal, sebab hanya dia yang aku percaya untuk menjaga aibku. Teman-teman gay juga hanya beberapa yang aku kenal, karena aku benar-benar takut kalau dengan banyaknya orang yang tahu, bisa-bisa masalahku ini sampai ke keluargaku, aku nggak mau mas….” Pada awalnya mereka merasa takut akan resiko yang harus ditanggung yaitu dikucilkan dari lingkungannya. Namun pada akhirnya mereka memiliki keberanian untuk mengungkapkan identitas mereka sebagai seorang gay. Fafa dan Kunkun beranggapan bahwa selama seorang gay dapat menjaga sikap dan tingkah laku mereka di hadapan masyarakat heteroseks, maka masyarakat heteroseks juga akan berusaha memahami keadaan kaum gay, bahkan mereka bisa jadi menerima kehadiran kaum gay di lingkungannya. Seperti penuturan Fafa ketika ditanya masalah komunikasi dan sosialisasi dalam penelitian ini. “…..Nggak perlu dibikin-bikin, ntar jadi aneh. Mungkin di lingkungan tempat tinggal aku dan bekerja sudah banyak yang tahu kalau aku cviii gay, tapi aku berusaha sebisa mungkin supaya aku nggak melanggar norma-norma masyarakat dan berbuat macam-macam. Malah aku sering ikutan acara kumpul-kumpul sama warga sekitar, biar mereka juga kenal aku dan aku kenal ama mereka. Jadi kalau sudah saling kenal khan bisa saling menghormati. Aku mempunyai prinsip, orang itu cuma ingin disegani dan dihormati serta diakui keberadaanya, kalau udah begitu mereka juga akan bersikap sebaliknya sama kita…” Penerimaan dan penolakan merupakan reaksi yang harus diterima kaum gay setelah menyatakan diri sebagai seorang homoseks. Karena tidak dapat dipungkiri bahwa perbedaan pandangan yang ada di masyarakat dapat membentuk opini yang berbeda terhadap hadirnya homoseksualitas di sekitar mereka. C. Masyarakat Dalam kehidupan manusia tidak akan terlepas dengan interaksi yang dilakukan dalam sehari-hari. Manusia akan berinteraksi dengan anggota keluarga dan akan berinteraksi luas dengan masyarakat. Hal ini sudah terlihat ketika manusia lahir dan berkembang. Manusia lahir pada awalnya akan berinteraksi dan bersosialisasi dengan anggota keluarga, kemudian akan melakukan sosialisasi dengan masyarakat luar. Begitu juga yang dialami oleh kaum gay yang hidup di tengahtengah masyarakat heteroseks. Kaum gay akan merasa tertekan apabila mereka tidak melakukan pengungkapan diri, baik itu pada keluarga maupun masyarakat. Keluarga dan masyarakat yang sudah mengetahui identitas seseorang yang ternyata gay, mereka akan memberikan respon berbedabeda. cix Ø Keterbukaan terhadap Keluarga Kaum gay yang sudah terbuka dengan keluarga misalnya, mereka pada awalnya akan menerima respon yang kurang nyaman. Keluarga akan merasa kecewa dan akan mengucilkannya. Tetapi lama kelamaan keluarga tersebut akan menerima keadaan yang dialami oleh gay tersebut. Hal ini seperti yang dialami oleh Fafa salah satu responden dalam penelitian ini. Fafa menganggap bahwa keluarga adalah orang yang paling dekat dengannya. Pada awalnya keluarga Fafa merasa kecewa tetapi Fafa berusaha memberikan pengertian kepada keluarganya bahwa dia memang tidak menyukai wanita. Fafa membuktikan dirinya bukanlah orang yang harus dikucilkan. Fafa mulai rajin bekerja dan terus bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga. “....Pada awalnya ibu dan adik-adik saya kaget, sempat ibu saya sakit satu bulan. Adik-adik saya juga mendiamkan saya....” Ø Keterbukaan terhadap Masyarakat Sedangkan yang dialami oleh Nono, dia tidak melakukan keterbukaan kepada keluarganya. Tetapi anggota keluarga sudah mengetahuinya dengan melihat tingkah laku sehari-hari Nono. Bahkan masyarakat luas sudah ada yang mengetahui kalau Nono adalah seorang gay. Ketika masyarakat luas sudah mengetahui identitasnya sebagai gay, tetapi Nono bisa menempatkan dirinya. Di saat berkumpul dengan masyarakat dia harus bisa menjadi anggota heteroseks. Dan cx ketika dia berkumpul dengan sesama gay, dia akan menjadi dirinya yang gay. “....Belum tahu mas, tetapi mereka sepertinya mengetahui kelainan yang aku miliki karena tingkah laku saya sehari-hari mas....” “....Lingkungan tempat tinggal saya sudah banyak yang mengetahui identitas diri saya yang gay, termasuk teman-teman yang bekerja di warung makan saya...” Dari hasil wawancara yang sudah disajikan di bab sebelumnya, banyak dari kaum gay yang masih belum berani melakukan keterbukaan terhadap keluarganya bahkan masyarakat luas. Mereka hanya akan melakukan keterbukaan cukup dengan sahabat dekatnya dan teman-teman gay-nya. Karena bagaimanapun juga kaum gay juga bagian dari masyarakat yang harus bisa menghormati norma-norma yang berlaku di masyarakat tersebut. Mereka tidak akan mendapat perlakuan yang khusus dari masyarakat tetapi kaum gay yang hidup di masyarakat harus bisa menempatkan dirinya sebagai seorang heteroseks. cxi BAB V PENUTUP Terdapat pemahaman bahwa manusia memiliki orientasi seksual yang dibagi dalam beberapa kategori. Salah satunya yang dikenal dengan homoseksual. Homoseksualitas adalah istilah yang diberikan kepada hubungan seksual yang terjadi antara sesama jenis dan merupakan suatu fenomena tersendiri yang muncul di tengah masyarakat. Hanya saja yang menjadi sebuah persoalan adalah belum semua kaum gay yang ada di tengah masyarakat dapat mengungkapkan dirinya dan menyatakan keadaan mereka yang sebenarnya kepada masyarakat luas. A. Kesimpulan Dalam penelitian ini dapat diungkapkan tentang hal-hal yang mendukung pengungkapan diri kaum gay pada lingkungan sekitar. Berdasarkan penuturan yang diperoleh dari pengalaman responden sebagai subyek yang langsung terlibat dalam pengungkapan diri yang dilakukan, maka dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut : 1. Identitas yang dimiliki kaum gay bisa bersifat subyektif dan obyektif. Identitas subyektif merupakan identitas yang pengungkapan dirinya dilakukan secara langsung oleh individu yang bersangkutan kepada masyarakat (keluarga dan masyarakat luas). Sedangkan identitas obyektif merupakan identitas yang diterima oleh seseorang dari pandangan orang lain (masyarakat). Identittas obyektif biasanya dimiliki oleh kaum gay yang memiliki sifat tertutup dan gay yang terbuka akan cxii memiliki identitas subyektif. Hal tersebut dilakukan oleh kaum gay berdasarkan pemikiran yang matang dan akan resiko yang akan terjadi ketika pengungkapan diri dilakukan. Karena tidak semua masyarakat bisa menerima keadaan atau identitas seorang gay. 2. Dalam mengkomunikasikan diri kepada masyarakat termasuk keluarga dan masyarakat luas, kaum gay memiliki cara yang berbeda-beda. Ada yang secara langsung mengungkapkan dirinya dan ada yang secara tidak langsung dalam pengungkapan diri yang dilakukan baik kepada keluarga maupun kepada masyarakat luas tempat mereka tinggal. Kaum gay yang secara langsung mengkomunikasikan diri baik kepada keluarga maupun masyarakat luas, mereka akan langsung berterus terang tanpa ada keraguan lagi. Dan biasanya mereka sudah memikirkan akan resiko yang diterima. Kaum gay yang secara tidak langsung mengkomunikasikan dirinya tidak akan melakukan pengungkapan diri kepada keluarga maupun masyarakat. Bahkan keluarga atau masyarakat yang akan menilai individu tersebut melalui tingkah laku sehari-hari. B. Saran Orientasi seksual yang dimiliki seseorang bukanlah merupakan hal yang harus dibeda-bedakan. Karena keadaan diri yang berbeda dengan orang lain bukanlah hal yang diharapkan terjadi oleh siapapun. Begitu pula halnya dengan keadaan diri sebagai seorang yang memiliki orientasi seks sebagai cxiii gay. Akan tetapi untuk dapat menjalani kehidupan dengan lebih tenang dan tanpa beban, seorang gay akan lebih baik jika terlebih dahulu mampu menerima keadaan dirinya apa adanya. Setelah hal itu dapat dilakukan dengan baik maka barulah suatu pengungkapan diri dapat dilakukan kepada lingkungannya. Akan tetapi pengungkapan diri ini juga perlu didukung oleh orang-orang yang berada di sekitarnya, terutama dari keluarga. Pemahaman dan penerimaan yang diberikan oleh masyarakat tidak dapat dilepaskan dari peran aktif berbagai pihak dalam membantu kaum gay untuk menyatakan eksistensinya. Termasuk dalam hal ini peran media cetak dan media elektronik yang ada. Pengangkatan tema-tema yang berhubungan dengan kehidupan homoseks, akan membantu memberikan jalan bagi kaum minoritas ini untuk lebih dikenal masyarakat. Sehingga pelan tapi pasti, masyarakat dapat menyadari dan mengetahui bahwa di sekitarnya terdapat orang-orang yang memiliki perbedaan dalam hal orientasi seks yang tidak perlu dikucilkan, karena mereka tetap memiliki potensi diri dan kemampuan-kemampuan yang dapat diandalkan. Akan tetapi kaum gay sendiri perlu lebih memperhatikan dan manjaga tingkah laku dan tindak-tanduk mereka di masyarakat. Adanya tindakan yang tidak bertanggung jawab dari segelintir orang, dapat menyebabkan citra buruk tentang kaum gay sebagai kaum gay dari masyarakat luas menjadi semakin bertambah kepada keseluruhan kaum gay yang ada. Seperti adanya beberapa oknum yang tidak bertanggung jawab seperti sering bergonta-ganti pasangan, melakukan hubungan seks secara cxiv bebas dan bertingkah laku kurang wajar di depan umum. Sehingga akan mempersulit membaurnya kaum gay dengan masyarakat normal lainnya. Untuk menghindari terjadinya hubungan yang tidak harmonis, maka perlunya sikap toleransi antara kaum gay dan masyarakat. Kaum gay hendaknya tidak melakukan perbuatan yang menyimpang dan melanggar norma-norma yang ada di masyarakat. Begitu pula sebaliknya masyarakat hendaknya tidak mengucilkan dan memandang negatif tentang kehadiran kaum gay. Adanya rasa saling menghargai dan menghormati satu sama lain akan menciptakan suasana keakraban di antara keduanya. cxv DAFTAR PUSTAKA Caroline, Persell Hodges. 1990. Understanding Society. Effendi, Onong U. 1994. Ilmu Komunikasi : Teori dan Praktek. Bandung : Remaja Rosdakarya. Goodman, Ryan dan Derek Jinks. 2004. How to Influence States: Socialization and International Human Right Law Diakses tanggal 6 Januari 2010 dari: http://ssrn.com/abstract=519565 Hardiwardirjo. 1991. Moral dan Masyarakat. John, Creswell W. 1994. Research Design : Qualitative & Quantitative. King, Alex. 2008. Homoseksual, Gay, Lesbian. Diakses tanggal 15 Oktober 2009 dari : http://indonesiasaram.wordpress.com/2008/05/23/homoseksual-gaylesbian/ Lang, Kurt dan Gladys Engel Lang. 2009. Mass Society, Mass Culture, and Mass Communication : The Meaning of Mass, International Journal of Communication. Diakses tanggal 6 Januari 2010 dari : http://www.ijoc.org/ojs/index.php/ijoc/article/view/597/380 Mc Quail, Dennis. 1994. Teori Komunikasi Massa : Suatu Pengantar. Jakarta : Erlangga. Muhidin, Sambas. 2009. Populasi dan Sampel Dalam Penelitian Kualitatif. Diakses tanggal 15 Oktober 2009 dari : http://sambasalim.com/statistika/populasi-dan-sampel-dalam-penelitiankualitatif.html Mulyana, Deddy. 2000. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung : Remaja Rosdakarya. Oetomo, Dede. 2003. Memberi Suara pada yang Bisu. Yogyakarta : Pustaka Marwa. Paul, Landis H. 1959. Social Problem in National and Worlds. PDE, Team. 2008. Geografi. Diakses tanggal 27 Oktober 2009 dari: http://www.sragen.go.id/home.php?menu=2 Phil dan Astrid S. 1988. Komunikasi Dalam Teori dan Praktek. Bandung : Bina Cipta. Ricard, Bootzin R. 1986. Psychology Today Introduction. Robert, Fieldman S. 1990. Understanding Psychology. cxvi Saletan, William. 2008. Gay Ditinjau dari Science. Diakses tanggal 15 Oktober 2009 dari: http://daretobegay.blogspot.com/2008/06/whats-science-say-aboutgay.html Sigmund, Freud. 1979. Memperkenalkan Psikoanalisa. Stephen, Littlejohn W. 1983. Theories of Human Communication. Surakhmad, Winarno. 1990. Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar Metode dan Teknik Edisi VII. Bandung : Tarsito. Sutopo, HB. 2002. Metode Penelitian Kualitatif Dasar Teori dan Terapannya dalam Penelitian. Surakarta : UNS Press. ---------------. 2007. Metode Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta : LKis Widjaya, A W. 2000. Ilmu Komunikasi. Jakarta : Rineka Cipta. Sumber Lain : Majalah Gaya Nusantara edisi 56 Juli 2000 hal. 14 dan edisi 84 Agustus 2001 hal. 20 cxvii