komunikasi dan sosialisasi kaum gay dalam masyarakat

advertisement
“ KOMUNIKASI DAN SOSIALISASI KAUM GAY
DALAM MASYARAKAT ”
(Studi Deskriptif Kualitatif tentang Komunikasi dan Sosialisasi
Kaum Gay Dalam Pengungkapan Diri pada Masyarakat di
Kabupaten Sragen)
SKRIPSI
Diajukan untuk Melengkapi Sebagian Persyaratan
Guna Mencapai Gelar Sarjana Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Jurusan Ilmu Komunikasi
Disusun oleh :
Sri Andri Hariyanto
D.1206567
DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
PROGRAM S-1 NON REGULER
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
2010
i
PERSETUJUAN
Disetujui untuk dipertahankan di hadapan Panitia Penguji Skripsi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sebelas Maret
Surakarta
Pembimbing I
Pembimbing II
Drs. Nuryanto, M.Si
NIP. 19490831 197802 1 001
Dra. Christina Tri Hendriyani, M.Si
NIP. 19620117 198661 2 001
ii
PENGESAHAN
Telah diuji dan disahkan oleh Panitia Ujian Skripsi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sebelas Maret
Surakarta
Pada Hari
Tanggal
: Selasa
: 23 Pebruari 2010
Panitia Ujian Skripsi
1. Dra. Prahastiwi Utari, M.Si, Ph.D
NIP. 19600813 198702 2 001
(.............................)
Ketua
2. Nora Nailul Amal, S.Sos, MLMEd, Hons
NIP. 19810429 200501 2 002
(.............................)
Sekretaris
3. Drs. Nuryanto, M.Si
NIP. 19490831 197802 1 001
(.............................)
Penguji I
4. Dra. Christina Tri Hendriyani, M.Si
NIP. 19620117 198601 2 001
(……………….…)
Penguji II
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sebelas Maret
Surakarta
Dekan
iii
Drs. Supriyadi SN, SU
NIP. 19530128 198103 1 002
MOTTO
“Dan sesungguhnya hari kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang sekarang
(permulaan)”
(QS Adh Dhuhaa : 4)
###
“Jangan menganggap tugas belajarmu sebagai sebuah kewajiban
melainkan pandanglah itu sebagai sebuah kesempatan untuk menikmati
betapa indahnya ilmu pengetahuan, kepuasan hati yang diberikannya,
serta manfaat yang akan diterima oleh masyarakat
apabila jerih payahmu berhasil.”
(Sebuah nasehat bagi seorang mahasiswa, Princenton AS, dari Albert Einstein)
###
“Banyak orang mempunyai ambisi untuk sukses. Mereka bahkan punya
keterampilan istimewa dalam bekerja. Tapi mereka tidak juga maju. Mengapa?
Mungkin mereka berpikir karena mereka menguasai pekerjaan mereka,
mereka tak perlu lagi menguasai diri mereka.”
iv
(John Stevenson)
v
PERSEMBAHAN
Thanks to:
Allah SWT
My Luvly Mom and Dad
My Brothers and My Sisters
And All My Family
vi
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang
telah melimpahkan nikmat, karunia dan rahmat-Nya kepada penulis sehingga
penulis diberikan kesempatan untuk dapat menyelesaikan skripsi ini.
Proses penyusunan skripsi ini melibatkan pihak-pihak yang telah
memberikan bimbingan, dukungan, dorongan dan bantuan kepada penulis. Oleh
karena itu penulis mengucapkan terima kasih dan rasa hormat kepada:
1. Drs. Supriyadi, SN, SU selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2. Drs. Surisno Satriyo Utomo, M.Si selaku Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi
Non Reguler FISIP UNS.
3. Drs. Nuryanto, M.Si dan Dra. Christina Tri Hendriyani, M.Si selaku
Pembimbing Skripsi, yang telah melaksanakan bimbingan dengan baik, sabar
dan senantiasa memberikan motivasi kepada penulis.
4. Drs. Hamid Arifin, M.Si selaku Pembimbing Akademis.
5. Semua staff pengajar di Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP UNS.
6. Semua staff Yayasan Gessang Surakarta, yang telah memberikan waktu,
memberikan data-data dan informasi serta bantuan dalam mencari informan.
7. Kedua orang tua dan seluruh keluarga untuk bantuan material.
8. Teman-teman di Ilmu Komunikasi Non Reguler FISIP UNS angkatan 2006,
angkatan 2007 dan D3 Broadcasting FISIP UNS 2003.
vii
9. Teman-teman dekat penulis yang selalu memberikan motivasi : Arolieta, Aim
Fatimah Tehong, Mas Pandi, Bang Heru.
10. Teman-teman penyiar dan staff Radio ASRI 95.5 FM Sragen.
11. Serta semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah
membantu dalam pengerjaan skripsi ini.
Penulis menyadari betul skripsi ini masih memiliki banyak kekurangan.
Namun demikian penulis tetap berharap dapat memberikan manfaat kepada
siapapun yang membaca.
Surakarta, Pebruari 2010
Penulis
viii
DAFTAR ISI
Halaman
JUDUL ……………………………………………………………..................
i
PERSETUJUAN …………………………………………………………......
ii
PENGESAHAN ……………………………………………………………… iii
MOTTO ………………………………………………………………………
iv
PERSEMBAHAN ……………………………………………………………
v
KATA PENGANTAR …………………………………………………...…..
vi
DAFTAR ISI ………………………………………………………………… viii
ABSTRAK ……………………………………………………………………
BAB I
xi
PENDAHULUAN
A.
L
atar Belakang …………………………………………………..
1
B.
R
umusan Masalah ……………………………………………….
9
C.
T
ujuan Penelitian ………………………………………………..
D.
9
Man
faat Penelitian ………………………………………………
9
E.
K
erangka Teori ………………………………………………….
ix
10
1.
K
omunikasi ………………………………………………….
10
2.
S
osialisasi ……………………………………………………
15
3.
G
ay …………………………………………………………..
17
4.
P
engungkapan Diri …………………………………………..
5.
22
Peril
aku ……………………………………………………...
6.
26
Iden
titas ……………………………………………………..
F.
27
Defi
nisi Konsepsional ...…………………………………………
29
a.
K
omunikasi ………………………………………….………
b.
29
Sosi
alisasi …………………………………………….……..
c.
30
Kau
m Gay ……………………………………………..…….
d.
30
Pen
gungkapan Diri ………………………………….………
x
31
e.
Iden
titas …………………………………………….……….
31
G.
K
erangka Pemikiran ………………………………….….………
31
H.
M
etodologi Penelitian …………………………………….……..
33
1.
J
enis Penelitian……………………………………………….
33
2.
M
etode Penelitian ……………………………………………
34
3.
P
opulasi dan Sampel ………………………………………...
35
4.
T
eknik Pengambilan Sampel ………………………………..
36
5.
T
eknik Pengumpulan Data …………………………………..
36
6.
A
nalisis Data ………………………………………………...
39
7.
V
aliditas Data ………………………………………………..
41
BAB II KEHIDUPAN KAUM GAY DI SRAGEN
A.
K
ondisi Geografis Sragen ……………………………………….
xi
44
B.
P
ola Kehidupan ………………………………………………….
45
C.
K
omunitas Gay ………………………………………………….
53
BAB III KOMUNIKASI DAN SOSIALISASI KAUM GAY DI SRAGEN
A.
D
ata Informan dan Latar Belakang Keluarga …………………...
57
B.
K
omunikasi dan Sosialisasi Kaum Gay di Sragen ………………
62
C.
P
engungkapan Diri Kaum Gay di Sragen ……………………….
71
BAB IV ANALISIS TERHADAP KAUM GAY DI SRAGEN
A.
I
dentitas Diri Kaum Gay ………..………………………………
79
B.
C
ara Mengkomunikasikan Identitas Diri pada Masyarakat .…....
81
C.
M
asyarakat ……………………………………………….……..
91
BAB V PENUTUP
A.
K
esimpulan ………………………………………………..……
94
B.
S
aran ………………………………………………………..…..
xii
95
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
xiii
ABSTRAK
Sri Andri Hariyanto, D.1206567, KOMUNIKASI DAN SOSIALISASI
KAUM GAY DALAM MASYARAKAT (Studi Deskriptif Kualitatif tentang
Komunikasi dan Sosialisasi Kaum Gay Dalam Pengungkapan Diri pada
Masyarakat di Kabupaten Sragen), Skripsi, Jurusan Ilmu Komunikasi Non
Reguler, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sebelas Maret
Surakarta, 2010.
Kaum gay merupakan kaum minoritas yang ada di tengah-tengah
masyarakat heteroseks. Mereka memiliki perbedaan dalam masalah orientasi
seksual. Kaum gay merupakan salah satu penyimpangan seksual di mana mereka
merasakan kesenangan dengan sesama jenis yaitu laki-laki dengan laki-laki. Agar
keberadaan mereka bisa diterima oleh lingkungan masyarakat heteroseks, maka
perlu adanya pengungkapan diri tentang penyimpangan yang dimilikinya. Tetapi
tidak semua masyarakat bisa menerima keberadaan kaum gay. Dari itulah perlu
adanya proses komunikasi dan sosialisasi dalam pengungkapan diri terhadap
lingkungan masyarakat.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui fenomena kaum gay
di Kabupaten Sragen dan untuk melihat bagaimana proses komunikasi dan
sosialisasi kaum gay dengan masyarakat sekitarnya di Kabupaten Sragen dalam
hal pengungkapan diri.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif.
Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara, observasi dan studi pustaka.
Sedangkan pengujian validitas data dalam penelitian ini menggunakan triangulasi
sumber dengan membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu
informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda, data yang sama
atau sejenis akan lebih mantap kebenarannya bila digali dari beberapa sumber data
yang berbeda.
Berdasarkan hasil penelitian penulis menyimpulkan bahwa fenomena
kaum gay di Sragen sudah dapat berdiri sendiri seperti halnya kaum gay di kotakota besar lainnya. Mereka sudah berani untuk mengungkapkan diri mereka
kepada teman, keluarga ataupun lingkungan tempat tinggal mereka. Meskipun
mereka sudah diterima masyarakat tetapi mereka juga harus mengikuti normanorma masyarakat yang ada agar keberadaan mereka bisa tetap dihargai oleh
masyarakat. Dalam pengungkapan diri yang dilakukan, mereka memerlukan suatu
komunikasi dan bersosialisasi dengan lingkungan. Dan komunikasi dan sosialisasi
yang dilakukan tidak berbeda dengan masyarakat normal lainnya. Mereka tetap
menjalankan norma-norma yang berlaku dan tidak melanggar aturan-aturan yang
ada di tengah masyarakat seperti tidak berlaku vulgar dengan pasangannya di
depan orang lain, menjaga tindak tanduk mereka agar masyarakat tetap
menghargai keberadaan mereka serta membaur dengan lingkungan sekitar agar
xiv
tidak tercipta anggapan bahwa kaum gay adalah kelompok eksklusif yang
memisahkan diri.
xv
ABSTRACT
Sri Andri Hariyanto, D.1206567, KOMUNIKASI DAN SOSIALISASI
KAUM GAY DALAM MASYARAKAT (Studi Deskriptif Kualitatif tentang
Komunikasi dan Sosialisasi Kaum Gay Dalam Pengungkapan Diri pada
Masyarakat di Kabupaten Sragen), Skripsi, Jurusan Ilmu Komunikasi Non
Reguler, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sebelas Maret
Surakarta, 2010.
The community of gay is a minority community within heterosexual
society. They have different sexual orientation. Gay is a kind of sexual deviation
which they feel fun with the same gender; between man and man. In order to state
their existences in society, they have to reveal their community although not all
societies can accept their existences. So communication and socialization are
needed in revealing their existences in society.
The purposes of this research are to know the phenomenon of gay
community in Kabupaten Sragen and to see how the guy’s communication and
socialization processes with the surrounding society in Kabupaten Sragen in the
case of revealing their existences.
The methodology that was used in this research was qualitative
descriptive. The data was gathered by interview, observation and library study.
Whereas the data validity testing in this research used sources triangulation with
comparing and checking information about the return of degree belief which were
gained through different times and devices since the data would be more valid if
they were gathered from several different sources.
Based on the research results, the writer concluded that the phenomenon
of gay community in Sragen had stood by themselves as the gay community in
other big cities. They had taken upon to state their existences to friends, families
or their environments. Even though the society had accepted their existences, they
still had to follow the existing society’s rules so that they could be appreciated. In
revealing their community, they needed to communicate and socialize with the
environments. The communication and socialization done were not different from
the normal society in general. They still followed the existing society’s rules and
did not against the existing rules such as did not show their intimacies in front of
others, kept their actions so that the society appreciated their existences and
merged into the surrounding society in order to omit opinion that the gay
community was separated exclusive group.
xvi
ABSTRACT
Sri Andri Hariyanto, D.1206567, KOMUNIKASI DAN SOSIALISASI
KAUM GAY DALAM MASYARAKAT (Studi Deskriptif Kualitatif tentang
Komunikasi dan Sosialisasi Kaum Gay Dalam Pengungkapan Diri pada
Masyarakat di Kabupaten Sragen), Skripsi, Jurusan Ilmu Komunikasi Non
Reguler, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sebelas Maret
Surakarta, 2010.
The community of gay is a minority community within heterosexual
society. They have different sexual orientation. Gay is a kind of sexual deviation
which they feel fun with the same gender; between man and man. In order to state
their existences in society, they have to reveal their community although not all
societies can accept their existences. So communication and socialization are
needed in revealing their existences in society.
The purposes of this research are to know the phenomenon of gay
community in Kabupaten Sragen and to see how the guy’s communication and
socialization processes with the surrounding society in Kabupaten Sragen in the
case of revealing their existences.
The methodology that was used in this research was qualitative
descriptive. The data was gathered by interview, observation and library study.
Whereas the data validity testing in this research used sources triangulation with
comparing and checking information about the return of degree belief which were
gained through different times and devices since the data would be more valid if
they were gathered from several different sources.
Based on the research results, the writer concluded that the phenomenon
of gay community in Sragen had stood by themselves as the gay community in
other big cities. They had taken upon to state their existences to friends, families
or their environments. Even though the society had accepted their existences, they
still had to follow the existing society’s rules so that they could be appreciated. In
revealing their community, they needed to communicate and socialize with the
environments. The communication and socialization done were not different from
the normal society in general. They still followed the existing society’s rules and
did not against the existing rules such as did not show their intimacies in front of
others, kept their actions so that the society appreciated their existences and
merged into the surrounding society in order to omit opinion that the gay
community was separated exclusive group.
xvii
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Berbicara
tentang
homoseksual
sebenarnya
tidak
hanya
menyangkut obyek laki-laki. Homoseksual merupakan penyimpangan arah
seksual di mana terjadi keterkaitan dengan semua jenis bila dipandang dari
unsur seksual, entah itu antara laki-laki dengan laki-laki atau perempuan
dengan perempuan. Tetapi untuk memudahkannya sering kali mengenal
panggilan masing-masing untuk membedakannya. Panggilan gay dipakai
untuk menyebutkan lelaki “merindukan” lelaki. Sementara bila perempuan
yang “tertarik” dengan perempuan biasanya dikenal dengan sebutan lesbian.
Peneliti sadar bahwa apa yang diutarakan di atas adalah salah dan
telah menyimpang dari norma-norma yang ada, di mana dikatakan bahwa
fungsi seks yang paling utama dan sudah menjadi kodrat manusia adalah
prokreasi yaitu pria dan wanita berhubungan seks dengan tujuan melahirkan
anak. Dan prinsip ini membimbing ke arah pembuatan putusan benar dan
salah, karena semua yang salah adalah yang tidak menjurus ke arah
menghasilkan kelahiran anak yang sah adalah buruk maka masyarakat
mengutuk salah satunya yaitu homoseksualitas. Tapi ini tidak berarti bahwa
aktivitas demikian tidak terjadi. Seperti kita ketahui dari kitab-kitab suci,
aktivitas itu terjadi sejak jaman dulu. Bahkan di negara Islam sekalipun, di
mana adanya istilah “tabu” terhadap perilaku seks yang menyimpang yang
xviii
dilakukan oleh pria atau wanita sebelum menikah bahkan meskipun mereka
sudah menikah.1
Agama Kristen dan pendahulunya, agama Yahudi (Yudisme)
memang mempunyai pandangan terhadap seks oleh sejarawan seksualitas
Vern L. Bullough dinamakan seks negatif. Seks hanyalah melulu untuk
prokreasi (mendapatkan keturunan) di dalam pernikahan resmi (yang
disahkan oleh gereja). Sedangkan pemanfaatan kemampuan seks pada
manusia untuk tujuan lain (rekreasi, misalnya) dipandang sebagai
penyimpangan yang penuh noda dan dosa.2
Menurut Donald W. Cory, seorang psikiater dan psikologis,
homoseksual adalah subyek yang merupakan bahan tertawaan dan kaum
yang sudah dihukum penjara seumur hidup. Opini masyarakat dan legalitas
yang ada tidak memungkinkan bagi mereka untuk berada dalam masyarakat.
Cory merasa bahwa masalah yang muncul bukan dari kehidupan sebagai
homoseksual di dalam lingkungan heteroseksual.3 Cory mengatakan bahwa
homoseksual sejati tidak akan pernah menikah, sementara bagi yang
memiliki hasrat homoseksual sekaligus heteroseksual akan melakukan
pernikahan. Meskipun dikatakan homoseksual tidak memiliki hasrat untuk
menikah, terdapat banyak alasan mengapa mereka mungkin menjalani suatu
pernikahan. Hubungan seseorang homoseksual kebanyakan singkat dan
tidak stabil. Oleh karena itu, kemungkinan alasan kaum homoseksual
memasuki perkawinan yang heteroseksual untuk mendapatkan kestabilan
1
Landis Paul H, Social Problem in Nation and Worlds, 1959, hal. 232
Dede Oetomo, Memberi Suara pada yang Bisu, Pustaka Marwa, Yogyakarta, 2003, hal. 9
3
Ibid, hal. 285
2
xix
dan hubungan yang tetap. Mereka tidak ingin hidup sendiri, khususnya
kekhawatiran di hari tua. Selain itu banyak masyarakat yang tidak bisa
menerima seorang homoseksual dan menikah juga merupakan salah satu
cara mereka agar bisa diterima di tengah masyarakat. Sedang bagi orang
yang terkenal yang merupakan seorang homoseksual pernikahan merupakan
topeng
yang
tepat
untuk
menutupi
kegiatannya
dengan
seorang
homoseksual.
Fakta kehadiran kaum gay ini, memang tidak begitu diterima di
tengah masyarakat. Kutukan atau hujatan sering dilontarkan, tanpa adanya
usaha untuk memahami dan mengerti tentang keberadaan mereka.
Seandainya diterima hanya pada lingkungan-lingkungan tertentu saja.
Seperti halnya kebudayaan di Jawa Timur, tepatnya di Ponorogo pada awal
abad 20, daerah Ponorogo umum dikenal karena kesenian reognya yang
melibatkan tokoh yang disebut warok, yang lazim memelihara gemblak
(laki-laki pilihan). Gemblak adalah seorang remaja putra yang menjadi mitra
warok, yang ditabukan berhubungan seks dengan perempuan dalam
mencapai dan mempertahankan kesaktiannya. Namun warok (laki-laki
dewasa) juga beristri dan berketurunan, biasanya hal itu terjadi apabila ia
sedang tidak mencari kesaktian. Tradisi gemblakan nampaknya dijumpai
pula di kawasan-kawasan lain seperti Surabaya dan sekitarnya. Di sini dapat
dilihat adanya suatu budaya di Indonesia yang secara ekplisit memberikan
xx
suatu ruang yang luas bagi tumbuh dan berkembangnya perilaku seks sejenis
(homoseks).4
Sementara itu di Solo, ada seorang lelaki berstatus sosial tinggi
yang beristri dan beranak, namun gemar memelihara “momongan” lelaki
muda. Perilaku “sugar dady” (gay sepuh yang pemurah) ini ditolelir sang
istri. Bagi sang istri, suaminya lebih baik punya “momongan” lelaki
daripada jadi “bandot” tua yang hobinya mmelihara gundik. Momongan
suaminya itu tidak mungkin hamil, tidak akan punya anak, sehingga warisan
suami aman diturunkan hanya untuk anak-anak dan istri satu-satunya.5
Tetapi penerimaan yang ada tidaklah hadir di dalam segenap masyarakat.
Tetap ada suatu pemisah antara kaum gay dengan masyarakat lainnya.
Jika ditinjau lebih dalam terdapat pandangan yang menyatakan
bahwa kaum homoseks berpendidikan lebih rendah atau memiliki tingkat
kecerdasan lebih rendah dibandingkan heteroseksual. Sementara beberapa
studi menunjukkan sebaliknya, mereka memiliki kecerdasan di atas rata-rata.
Mereka memiliki bermacam-macam keterikatan, tetapi lebih banyak tertarik
pada bidang estetika (keindahan), seperti dalam bidang puisi, musik dan
kesusastraan. Selain itu adanya pandangan bahwa homoseks berada di
kalangan bawah. Padahal banyak orang-orang terkenal, pegawai-pegawai
pemerintah yang berprestasi menyatakan dirinya sebagai seorang homoseks.
Hal-hal seperti ini sering menyebabkan pengungkapan diri mereka
terhambat oleh perasaan-perasaan takut ditolak, dihujat dari perasaan malu.
4
5
Ibid, hal. 17
Ibid, hal. vii
xxi
Kondisi seperti ini membuat kaum homoseks terutama di dalam lingkungan
masyarakat yang kompleks seperti kota besar memiliki tempat-tempat
pertemuan tertentu seperti restoran, klub malam, bar dan kafe-kafe. Mereka
menciptakan tempat-tempat rahasia di mana kegiatan-kegiatan yang
dilakukan hanya di ketahui oleh mereka sendiri.
Sebagai manusia, seorang gay membutuhan kasih sayang dan
perhatian. Selain diperoleh dari pasangan mereka sesama gay, mereka juga
membutuhkan perhatian dari keluarga, teman bahkan lingkungan tempat
tinggal mereka. Hal tersebut sangatlah sulit bila mereka tidak memberanikan
membuka diri dan menyampaikan kepada lingkungan bahwa mereka adalah
homoseks. Berdasarkan majalah Gaya Nusantara edisi 56, Juli 2000, yaitu
majalah yang berisi informasi mengenai dunia homoseksual, dikatakan
bahwa kebanyakan kaum gay terbuka hanya kepada sebagian orang saja.
Sedang alasan mereka terbuka sebenarnya sangat sederhana, yaitu agar
keberadaan mereka bisa diterima siapa saja. Perilaku keterbukaan diri ini
dilakukan dengan pertimbangan yang cukup lama dan setelah mereka benarbenar yakin akan resiko yang akan muncul di belakang nanti. Biasanya
mereka terbuka kepada orang tua, sesama gay dan masih sedikit yang sudah
berani terbuka secara terang-terangan kepada lingkungannya tentang
perilaku seks yang mereka miliki.
Dalam komunitas gay, terdapat dua strategi utama dalam
melakukan pergaulan dengan dunia luar lingkungan mereka, yaitu : gay
yang tertutup memisahkan antara kehidupan pribadi mereka dengan dunia
xxii
luar. Sewaktu berada dalam lingkungan yang normal, mereka berusaha
menyembunyikan identitas seksualnya dari orang-orang sekitar. Gay yang
bebas secara kontras lebih aktif menyatakan identitas seksualnya dalam
berbagai aspek kehidupan. Gay yang tertutup menghindari anggapan jelek
dari lingkungannya sementara gay yang bebas mencoba untuk menghadapi
dan mengubah anggapan jelek tersebut.6
Pengungkapan diri yang dilakukan akan menimbulkan sesuatu
persepsi dalam masyarakat yang diikuti dengan stereotip negatif tentang diri
mereka. Hal ini akan sangat mempengaruhi interaksi yang akan berlangsung
dalam pergaulan sehari-harinya. Di samping itu, kaum minoritas seperti
kaum gay ini biasanya memiliki ego yang tinggi. Mereka akan cenderung
untuk bergaul dengan orang yang memiliki kesamaan dan dengan
menggunakan istilah-istilah (bahasa) yang sebagian besar hanya dimengerti
oleh lingkungan sendiri.
Kaum gay setidaknya menghadapi tiga jenis tekanan dan
lingkungan sekitar, yaitu berupa :
1. Hukuman fisik, di mana mereka dianggap sebagai kelompok yang kotor
yang dinyatakan tidak sah dan orang memperlakukan mereka sebagai
golongan yang harus ditangkap.
2. Pekerjaan-keuangan. Dalam hal ini, kaum gay yang dibatasi dalam
kesempatan bekerja, promosi jabatan dan pembatasan penghasilan yang
akan mereka terima. Apakah kaum gay memilih terbuka atau memilih
6
Persell Caroline Hodges, Understanding Society, 1990, hal. 360
xxiii
untuk tetap tertutup sangat tergantung dari pertimbangan jabatan dan di
mana mereka bekerja. Semakin tinggi jabatan yang diduduki oleh orang
tersebut, maka akan semakin besar kemungkinan dia akan menutup diri
dari orang lain tentang perilaku seks yang dimilikinya. Dan kebanyakan
dari mereka akan menutupnya dengan memiliki sebuah keluarga (dalam
hal ini istri dan anak) agar mereka terhindar dari sorotan lingkungannya.
3. Individu perusak, mereka dianggap sebagai individu yang merupakan
noda yang menyebabkan rasa sakit, penuh dosa atau perbuatan tercela
lainnya. Persepsi yang muncul dalam masyarakat mengenai gay salah
satunya kehidupan seks bebas (free sex), yang dengan perilaku seks ini
dapat menimbulkan berbagai masalah di belakang hari nanti, yaitu
semakin menyebarnya virus HIV/AIDS, yang disebabkan oleh kegiatan
berganti-ganti pasangan yang dilakukan.7
Kaum gay meskipun merupakan kaum minoritas yang ada dalam
masyarakat tetap merupakan manusia yang memiliki suatu keinginan. Baik
itu keinginan (orientasi) dalam perilaku seks atau keinginan (obsesi) untuk
masa depannya nanti.
Pengertian dan pemahaman akan kebersamaan mereka itulah suatu
bagian penting untuk mengungkap keberadaan kaum gay ini. Permulaan
suatu korelasi yang tinggi sangatlah penting dalam hal ini. Memang akan
sulit bagi kita untuk melihat suatu ketidakwajaran. Tetapi di sinilah kita
sebagai
7
masyarakat
harus
memiliki
Ibid, hal. 360
xxiv
hati
yang
lapang,
melihat
keanekaragaman yang ada di sekitar kita. Karena bagaimanapun, kaum gay
masih tetap merupakan manusia yang memiliki potensi diri. Mereka juga
mempunyai hak untuk berbahagia, sebagaimana manusia lainnya.
Penelitian ini mencoba untuk memahami dan mengungkapkan
keberadaan
homoseks,
bagaimana
mereka
berkomunikasi
dalam
mengungkapkan dirinya pada lingkungan sekitar. Dengan pemahaman yang
ada, diharapkan dapat diperoleh pengungkapan diri (self disclosure) kaum
homoseks, sehingga latar belakang, faktor penyebab, komunikasi yang
terjadi serta sosialisasi lingkungan mereka dapat diketahui.
Lingkungan Sragen yang menjadi tempat penelitian merupakan
salah satu wilayah yang juga memiliki komunitas kaum gay meskipun
keberadaannya tidak terlihat secara transparan namun mereka memiliki
komunitas tetap di tempat-tempat tertentu seperti di tempat fitness, alun-alun
dan angkringan. Kaum gay di Sragen tidak sebanyak dan sebebas di kotakota besar lainnya. Hal ini disebabkan karena Sragen masih kuat dengan
adat budaya Jawa yang menganggap hubungan sejenis adalah hubungan
yang saru dan aneh, karena itu kaum gay di Sragen cenderung lebih tertutup.
Dalam kehidupan sehari-hari kaum gay di Sragen juga melakukan
aktivitas dengan masyarakat normal. Tetapi ketika mereka beraktivitas
dengan masyarakat normal ternyata kaum gay memiliki rasa yang kurang
percaya diri. Mereka takut kalau keberadaan mereka diketahui oleh temantemannya. Sebenarnya mereka juga berkeinginan agar mereka bisa diterima
keberadaannya di tengah masyarakat normal, tetapi mereka masih belum
xxv
berani dengan pengungkapan mereka. Ketakutan yang mereka alami
kemungkinan setelah adanya pengakuan maka masyarakat normal akan
menjauhi mereka dengan berbagai alasan.
B.
Rumusan Masalah
Dengan melihat latar belakang di atas, maka peneliti dapat
merumuskan masalah sebagai berikut :
1. Secara khusus
-
Bagaimana kaum gay melihat identitas mereka?
-
Bagaimana
kaum
gay
mengkomunikasikan
identitas-identitas
tersebut kepada masayarakat (keluarga dan masayarakat luas)?
2. Secara umum
-
Bagaimanakah kaum gay di Kabupaten Sragen mengkomunikasikan
identitas diri mereka kepada masyarakat?
C.
Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui identitas kaum gay dan cara bagaimana kaum gay
mengkomunikasikan identitas diri mereka kepada masyarakat.
D.
Manfaat Penelitian
1. Bagi penulis khususnya, memberikan pengetahuan bagaimana kehidupan
kaum gay terjadi di tengah masyarakat heterogen.
2. Secara umum diharapkan penulis dapat memberikan manfaat kepada
dosen, mahasiswa, akademisi serta masyarakat pada umunya terkait
dengan perilaku kaum gay di masyarakat.
xxvi
E.
Kerangka Teori
1. Komunikasi
Komunikasi
mempunyai
peranan
yang
penting
dalam
kehidupan manusia, karena manusia adalah makhluk sosial dan
memerlukan hubungan dengan orang lain. Dalam kehidupan sehari-hari
disadari atau tidak komunikasi adalah bagian dari kehidupan manusia itu
sendiri. Manusia sejak dilahirkan sudah berkomunikasi dengan
lingkungannya. Selain itu komunikasi diartikan pula sebagai hubungan
atau kegiatan-kegiatan yang ada kaitannya dengan masalah hubungan
yang pada dasarnya manusia ingin mendapatkan perhatian di antara
sesama ataupun kelompok.
Menurut
Edward
Depari,
komunikasi
adalah
proses
penyampaian gagasan, harapan dan pesan yang disampaikan melalui
lambang tertentu, mengandung arti, dilakukan oleh penyampai pesan
ditujukan kepada penerima pesan.8
Menurut Lasswell komunikasi adalah dengan menjawab
pertanyaan sebagai berikut: Who says What in Which channel To Whom
with What Effect?9
Pendapat Lasswell tersebut menunjukkan bahwa komunikasi
meliputi lima unsur jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan,
yaitu:
8
9
A.W.Widjaja, Ilmu Komunikasoi, PT Rineka Cipta, Jakarta, 2000, hal. 13
Onong Uchana Effendy, Ilmu Komunikasi : Teori dan Praktek, Remaja Rosdakarya, Bandung,
1994,
xxvii
a.
Who say menunjukkan bahwa komunikator atau pengirim atau
sumber
b. What menunjukkan pesan yang ingin disampaikan
c.
In which channel menunjukkan saluran atau media yang akan
digunakan
d.
To whom menunjukkan kepada siapa pesan itu ditujukan atau
komunikan atau penerima pesan
e. What effect menunjukkan apa pengaruh yang terjadi.
Sedangkan dalam sebuah jurnal disebutkan bahwa komunikasi
adalah mengirimkan dan menerima pesan, bagaimana kita berhubungan
dengan satu sama lain, suatu bagian yang penting dalam hubungan, suatu
jalan untuk menyatakan siapakah kita, lebih dari berbicara dan
mendengarkan dan tentang sikap, nada suara, ekspresi wajah dan bahasa
tubuh.
Communication is:
a. Sending and receiving messages
b. How we relate to each other
c. An important part of our relationships
d. A way to express who we are
e. More than talking and listening
f. About attitude, tone of voice, facial expressions and body
language.10
Jadi
berdasarkan
penjelasan
tersebut
maka
komunikasi
didefinisikan sebagai proses penyampaian pesan oleh komunikator
kepada komunikan melalui saluran atau media yang ada dan
menimbulkan efek tertentu.
10
http://www.alzdsw.org
xxviii
Media telah menjadi sumber dominan bukan saja bagi individu
untuk memperoleh gambaran dan citra realitas sosial tetapi juga bagi
masyarakat dan kelompok secara kolektif karena media menyuguhkan
nilai-nilai dan penilaian normatif yang dibaurkan dengan berita dan
hiburan.11
Seperti dikatakan bahwa melakukan komunikasi dengan
masyarakat tidak semudah membalikkan telapak tangan, terutama bagi
kaum gay yang terkadang keberadaan mereka masih belum dianggap
ada. Kegiatan komunikasi merupakan kunci awal untuk membuka
identitas kaum gay kepada lingkungan sekitar.
Suatu pemahaman popular mengenai komunikasi manusia
adalah komunikasi yang mengisyaratkan penyampaian pesan searah dari
seseorang kepada orang lain, baik secara langsung ataupun melalui
media, seperti surat kabar, majalah, radio ataupun televisi. Komunikasi
dianggap suatu proses linier yang dimulai dengan sumber atau pengirim
dan berakhir pada penerima, sasaran dan tujuannya.
Harold Laswell mengungkapkan bahwa untuk menggambarkan
komunikasi adalah dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut
“Who Says What In Which Channel To Whom With What Effect?” Atau
Siapa Mengatakan Apa Dengan Saluran Apa Kepada Siapa Dengan
Pengaruh Bagaimana?. Berdasarkan definisi Laswell, dapat diturunkan
11
Dennis Mc Quail, Teori Komunikasi Massa : Suatu Pengantar, Erlangga, jakarta, Edisi Kedua,
1994, hal. 3
xxix
lima unsur komunikasi yang saling bergantung satu sama lainnya, yaitu
:12
Pertama adalah sumber atau sering disebut komunikator.
Komunikator adalah pihak yang berinisiatif atau mempunyai kebutuhan
untuk berkomunikasi. Dalam menyampaikan apa-apa yang ada dalam
hatinya (perasaannya) atau dalam pikirannya, komunikator harus
mengubah perasaan atau pikirannya tersebut ke dalam seperangkat
simbol verbal atau non verbal yang idealnya dapat dipahami oleh
penerima pesan.
Kedua adalah pesan yaitu apa yang disampaikan oleh
komunikator kepada penerima. Pesan merupakan seperangkat simbol
verbal dan non verbal yang memiliki perasaan, nilai, gagasan atau
maksud dari komunikan.
Ketiga adalah media yaitu alat yang digunakan komunikator
untuk menyampaikan pesannya kepada penerima.
Keempat adalah penerima atau biasa disebut komunikan, yaitu
orang yang menerima pesan dari sumber. Penerima pesan biasanya
menterjemahkan atau menafsirkan seperangkat simbol verbal atau non
verbal yang ia terima menjadi gagasan yang dapat dipahami.
Kelima adalah efek, yaitu apa yang terjadi pada penerima
setelah komunikan menerima pesan dari komunikator. Efek dapat berupa
12
Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, hal. 6263
xxx
penambahan pengetahuan, perubahan sikap, perubahan keyakinan dan
lain-lain.
Kegiatan komunikasi selain merupakan kegiatan pengoperan
dan penerimaan lambang atau keinginan mengubah pendapat orang lain,
juga merupakan suatu usaha untuk mengadakan hubungan sosial. Hal ini
direalisasikan
dengan
jalan
komunikasi
yang
serasi.13
Karena
komunikasi sangat berperan penting dalam penyebaran informasi maka
penilaian terhadap dampak informasi tersebut juga harus diperhatikan.
Seperti
dijelaskan
dalam
kutipan
International
Journal
of
Communication 3 (2009) Mass Society, Mass Culture, and Mass
Communication berikut :
For a complete assessment of its impact, one needs to look beyond
specific outcomes by focusing on the pervasiveness of the media. On
some matters, and especially at critical times, they provide vital
information. Even the Internet, often considered an alternative to the
mass media, takes account of the news and, on occasion, serves as the
primary source for a major story. The two are inextricably linked. As
Tarde, Lippmann, and many other early writers recognized, the power
of media with access to the mass stems less from what they ask of
people (prescription and persuasion) than from their portrayal of the
world beyond the personal acquaintance of audiences. Unable ever to
catch the full diversity of events and situations, the media supply the
bits and pieces that, when put together, form the symbolic environment
to which active citizens, including bloggers and nerds, are bound to
react in one way or other. Hardly anyone — not even those who scorn
the media — escapes their reach. In at least one regard, institutional
leaders and élites enhance this influence through their concern about
likely third-person effects, which makes them forever anticipate, and
attempt to forestall, the response of the anonymous multitude to the
continuous flow of images over the mass media. The resultant discourse
and maneuvering, much of it played out in the public sphere and
difficult as it is to map, needs to be moved into sharper focus by
13
Dr. Phil, Astrid S. Susanto, Komunikasi Dalam Teori dan Praktek, Bina Cipta, Bandung, 1988,
hal. 88-89
xxxi
researchers in mass communication. How to do so lies beyond the
scope of this paper. 14
Berkaitan dengan komunikasi dan kebudayaan, maka lahirlah
bentuk komunikasi lainnya yaitu komunikasi antarbudaya. Yang
membedakan komunikasi antarbudaya adalah apabila sumber dan
penerimanya berasal dari budaya yang berbeda. Komunikasi antarbudaya
terjadi bila produsen pesan adalah anggota suatu budaya dan penerima
pesan adalah anggota budaya lain. Dalam keadaan demikian kita
dihadapkan dengan masalah yang ada dalam situasi di mana pesan
disandi dalam suatu budaya dan harus disandi balik dalam budaya lain.15
2. Sosialisasi
Menurut David A Geslin (Goslin. 1969) sosialisasi adalah
proses belajar yang dialami oleh seseorang untuk memperoleh
pengetahuan, ketrampilan, nilai-nilai dan norma-norma agar ia dapat
berpartisipasi sebagai anggota dalam masyarakatnya. Horton dan Hunt
bahwa sosialisasi merupakan suatu proses dengan mana seseorang
menghayati (mendarah daging-internalize) norma-norma kelompok di
mana ia hidup sehingga tumbuh “diri” yang unik.
Ada dua proses sosialisasi manusia yaitu:
1. Sifat tergolong manusia pada manusia lain, misalnya bayi dilahirkan
dalam keadaan sangat tergantung pada orang tuanya, baik secara
biologis maupun secara sosial.
14
15
http://ijoc.org/ojs/index.php/ijoc/article/view/597/380
Drs. Jalaluddin Rahmat, Op.Cit., hal. 11
xxxii
2. Sifat adaptabilitas dan intelegensi manusia karena sifat ini, manusia
mampu mempelajari bermacam-macam bentuk tingkah laku,
memanfaatkan pengalamannya dan mengubah tingkah lakunya.
(Vembriarto, 193:23). Menurut Vembriarto ada 3 metode yang
mempengaruhi proses sosialisasi yaitu metode hukuman dan
ganjaran, metode didactic teaching (anak diajarkan berbagai
pengetahuan dan ketrampilan melalui pemberian informasi ceramah
dan penjelasan) dan metode pemberian contoh.
Menurut Robert M.Z. Lawang sosialisasi adalah proses
mempelajari norma, nilai, peran, dan semua persyaratan lainnya yang
diperlukan untuk memungkinkan partisipasi yang efektif dalam
kehidupan sosial.16
Sedangkan dalam sebuah jurnal disebutkan bahwa sosialisasi
adalah suatu proses berkelanjutan di mana seseorang memperoleh suatu
jati diri dan mempelajari norma-norma, nilai-nilai, perilaku, dan
ketrampilan sosial yang sesuai untuk posisi sosialnya.
Socialization- a continuing process whereby an individual
acquires a personal identity and learns the norms, values,
behavior, and social skills appropriate to his or her social
position.17
Berdasarkan
jenisnya,
sosialisasi
dibagi
menjadi
dua:
sosialisasi primer (dalam keluarga) dan sosialisasi sekunder (dalam
masyarakat). Menurut Goffman kedua proses tersebut berlangsung
16
17
http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20090116003552AASN3WB
http://www.millcreekhighschool.org
xxxiii
dalam institusi total, yaitu tempat tinggal dan tempat bekerja. Dalam
kedua institusi tersebut, terdapat sejumlah individu dalam situasi yang
sama, terpisah dari masyarakat luas dalam jangka waktu kurun tertentu,
bersama-sama menjalani hidup yang terkukung, dan diatur secara
formal.18
Sosialisasi primer terjadi pada usia anak masih kecil, dengan sosialisasi
itu anak dapat mengenal lingkungan sosial sekaligus sebagai proses
berlangsungnya pembentukan dasar kepribadian. Pada umumnya terjadi
di keluarga yang merupakan kelompok primer. Kelompok primer di sini
diartikan sebagai satuan hidup yang ditandai dengan hubungan yang
akrab, mesra di antara anggotanya. Sedangkan sosialisasi sekunder
terjadi setelah sosialisasi primer di mana yang lebih berperan adalah
orang di luar keluarga misalnya sekolah, organisasi dan lingkungannya.
3. Gay
Homoseksual adalah kelainan terhadap orientasi seksual yang
ditandai dengan timbulnya rasa suka terhadap orang lain yang
mempunyai jenis kelamin sejenis atau identitas gender yang sama. Istilah
yang sudah umum dikenal masyarakat untuk orang yang termasuk
homoseksual adalah gay (untuk lelaki penyuka lelaki) dan lesbian (untuk
wanita penyuka wanita).19
Di Indonesia, meskipun kata gay sangat dikenal, ternyata kata
ini tidak terdaftar dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
18
http://noretz2.blogspot.com/2009/02/pengertian-sosialisasi.html
19
http://www.chem-is-try.org/artikel_kimia/biokimia/homoseksual_tinjaun_dari_perspektif_ilmiah/
xxxiv
Sebaliknya, kata lesbian justru tercantum dengan arti “wanita yang
mencintai atau merasakan rangsangan seksual sesama jenisnya;wanita
homoseks”. Ada beberapa orang yang menggunakan istilah homo untuk
mengacu kepada penyuka sesama lelaki. Padahal homo merupakan
bentuk singkat dari homoseksual yang menurut KBBI berarti
“kecenderungan untuk tertarik kepada orang lain yang sejenis.20
Gay bisa didefinisikan sebagai kelainan orientasi seksual yang
ditandai dengan timbulnya rasa suka terhadap orang lain yang
mempunyai jenis kelamin yang sama atau identitas gender yang sama.
Menurut Hardiwardirjo dalam bukunya Moral dan Masyarakat
adalah apabila hubungan itu menyangkut ikatan cinta antara sesama,
yang dikenakan pada hubungan cinta yang sudah mendalam antara dua
orang sejenis kelamin dan kemesraan mereka sudah begitu jauh,
sehingga mencakup pula permainan seksual setingkat dengan senggama
suami istri.21
Sedangkan homoseksual menurut Dede Oetomo didefinisikan
sebagai orientasi atau pilihan seks yang diarahkan kepada seseorang atau
orang-orang dari jenis kelamin yang sama atau ketertarikan orang secara
emosional dan seksual kepada seseorang atau orang-orang dari jenis
kelamin yang sama.22
Secara ilmiah bisa dibuktikan bahwa penyebab terjadinya gay
bisa dipicu oleh faktor biologi dan biokimia (kelainan otak dan genetik).
20
http://indonesiasaram.wordpress.com/2008/05/23/homoseksual-gay-lesbian/
21
Hardiwardirjo, Moral dan Masyarakat, 1991, hal. 48
22
Dede Oetomo, Op..Cit., hal. 6
xxxv
Selain faktor biologi dan biokimia di atas, pemicu terjadinya gay bisa
jadi disebabkan oleh banyak faktor. Seperti yang diungkapkan oleh Prof.
DR. Wimpie Pangkahila (Pakar Andrologi dan Seksologi) bahwa
penyebab terjadinya gay bisa jadi dipengaruhi oleh :23
ü Faktor psikodinamik : ganguan perkembangan psiko-seksual pada
masa anak-anak.
ü Faktor psikotraumatik : disebabkan karena pengalaman buruk seperti
pelecehan seksual, sakit hati, pemerkosaan dan lain sebagainya.
ü Faktor sosiokultural : adat-istiadat yang memberlakukan hubungan
homoseksual dengan alasan yang tidak benar.
ü Faktor lingkungan : pengaruh lingkungan dan pergaulan, di mana
memungkinkan dan mendorong hubungan para pelaku homoseksual
menjadi erat.
Dari beberapa faktor di atas, homoseksual yang disebabkan
oleh faktor biologis dan psikodinamik memungkinkan untuk tidak dapat
disembuhkan menjadi heteroseksual. Namun jika seseorang menjadi
homoseksual karena faktor sosiokultural dan lingkungan, maka dapat
disembuhkan menjadi heteroseksual, asalkan orang tersebut mempunyai
tekad dan keinginan kuat untuk menjauhi lingkungan tersebut.
Pada suatu survei di Amerika Serikat - 2004, diketahui bahwa
4% dari seluruh surveyor pria menyatakan bahwa dirinya adalah seorang
gay. Di Kanada, berdasarkan statistik di antara warga Kanada yang
23
http://daretobegay.blogspot.com/2008/06/whats-science-say-about-gay.html
xxxvi
berumur 18 sampai 59 tahun, terdapat 1% homoseksual dan 0.7%
biseksual. Sedangkan di Indonesia, data statistik menyatakan bahwa 8
sampai 10 juta populasi pria Indonesia pada suatu waktu pernah terlibat
pengalaman homoseksual.
Hal ini membuktikan bahwa keberadaan gay dalam populasi
bisa jadi merupakan bagian dari dinamika kehidupan. Namun pengakuan
terhadapnya sering kali menyebabkan friksi yang sangat sensitif terhadap
aspek lainya. Kebaradaan gay dianggap masih dianggap menyimpang
dan merupakan kutukan / pendosa bagi pelakunya. Sehingga anggapan
negatif tidak bisa dihindarkan dalam jati diri mereka yang sebenarnya.
Legalitas keberadaan gay di Indonesia sendiri masih belum bisa diakui
secara terbuka. Sehingga hal ini menyebakan kecenderungan kehidupan
gay menjadi bebas. Dalam kehidupan gay sendiri tak banyak yang
mempunyai pandangan jauh kedepan untuk tujuan yang lebih bermakna,
semisal untuk membangun kehidupan yang serius, komitment dan
monogamous relationship seperti kehidupan normal lainnya.
Revolusi seksual yang merupakan suatu fenomena di tahun 60an dan 70-an mempunyai inti yaitu kebebasan untuk berhubungan seks
dengan siapa saja yang dia mau. Di samping sebagai pernyataan diri,
tujuannya adalah untuk mendapatkan kesenangan. Komponen yang kritis
dari revolusi seks adalah bertambahnya dukungan terhadap homoseks.
Terutama dalam tahun 70-an, homoseks mulai melakukan demonstrasi
besar-besaran mengilhami banyak kaum homoseks untuk segera keluar
xxxvii
dari sikap tertutupnya dan memprotes sikap yang menahan mereka untuk
tetap tertutup.
Masyarakat Amerika Serikat cenderung untuk memberikan
nama homoseks kepada orang yang telah memiliki pengalaman
berhubungan dengan sesama pria meskipun jarang melakukannya.
Namun survey menunjukkan bahwa perilaku seksual antara orang-orang
yang memiliki jenis kelamin yang sama relatif sering dilakukan selama
masa remaja.24
Alasan individu menjadi homoseks memang bisa ditinjau dari
beberapa teori, tetapi tidak satupun yang dapat membuktikan secara
memuaskan. Beberapa pendekatan alami mengatakan bahwa mungkin
karena alasan genetik atau hormonal yang menciptakan homoseksual
tersebut.25 Terdapat sedikit bukti untuk masing-masing pendekatan,
meskipun masih tetap terdapat kemungkinan pengaruh genetik atau
faktor
biologis
yang
memberi
kecenderungan
orang
kepada
homoseksual.
Dalam buku Understanding Psychology, menyataan teori-teori
lain lebih difokuskan pada masa kanak-kanak dan latar belakang
keluarga dari homoseksual tersebut. Freud mengatakan bahwa perilaku
homoseksual muncul sebagai hasil dari identifikasi yang tidak tepat atas
perbedaan jenis kelamin orang tua pada masa pertumbuhan.26 Hal yang
sama menurut psikolog lainnya, menyatakan bahwa hubungan alami
24
Bootzin Ricard R, Psycology Today Introduction, 1986, hal. 337
Fieldman Robert S, Understanding Psychology, 1990, hal. 336
26
Freud Sigmund, Memperkenalkan Psikoanalisa, 1979, hal. 360
25
xxxviii
antara orang tua dan anak bisa mengarahkan kepada perilaku
homoseksual, adanya perlindungan yang berlebihan, serta adanya salah
satu orang tua yang dominan terhadap anaknya.
Pendekatan komunikasi antar personal dapat membantu
individu yang berasal dari budaya berbeda dalam beradaptasi dengan
individu lain atau dengan lingkungan secara langsung. Komunikasi antar
personal merupakan hubungan yang langsung secara tatap muka antara
komunikator dan komunikannya. Keuntungan hubungan ini adalah
reaksi dari komunikan dapat diperoleh dengan segera. Reaksi ini dapat
berupa positif maupun negatif dan dapat dikirimkan secara langsung
maupun tidak langsung. Reaksi ini akan mempengaruhi komunikator
kembali, sehingga ia dapat menyesuaikan diri dengan situasi dari
komunikan dengan harapan bahwa dengan penyesuaian ini dapat
menimbulkan reaksi yang lebih baik dari komunikan.
4. Pengungkapan Diri
Pengungkapan diri merupakan suatu tindakan penting dalam
jalan hidup kita. Ketika individu dihadapkan pada satu masalah maka
pilihan dia adalah menutup diri untuk menyelesaikan masalahnya atau
membuka diri. Membuka diri pada diri sendiri berarti menerima diri apa
adanya dan menyenangi keadaan apa adanya. Sedangkan membuka diri
pada orang lain atau lingkungan merupakan pengungkapan diri tentang
hal-hal yang berkaitan dengan diri sendiri kepada orang lain, baik itu
pengungkapan tentang perasaan atau pengalaman individu.
xxxix
Self disclosure atau proses pengungkapan diri yang telah lama
menjadi fokus penelitian dan teori komunikasi mengenai hubungan,
merupakan proses mengungkapkan informasi pribadi kita kepada orang
lain dan sebalknya. Sidney Jourard menandai sehat atau tidaknya
komunikasi pribadi dengan melihat keterbukaan yang terjadi di dalam
komunikasi.
Mengungkapkan
yang
sebenarnya
tentang
dirinya,
dipandang sebagai ukuran dari hubungan yang ideal.
Ahli lain, Joseph Luft mengemukakan teori self disclosure lain
didasarkan pada model interaksi manusia yang disebut Johari Window.
Menurut Luft, orang memiliki atribut yang hanya diketahui oleh dirinya
sendiri da orang lain dan tidak diketahui oleh siapapun.
Jika komunikasi antara dua orang berlangsung dengan baik
maka akan terjadi disclosure yang mendorong informasi mengenai diri
masing-masing ke dalam kuadran “terbuka”. Meskipun self disclosure
mendorong adanya keterbukaan namun keterbukaan itu sendiri ada
batasnya.
Artinya
perlu
kita
pertimbangkan
kembali
apakah
menceritakan segala sesuatu tentang diri kita kepada orang lain akan
menghasilkan efek positif bagi hubungan kita dengan orang tersebut.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa keterbukaan yang ekstrim akan
memberikan efek negative terhadap hubungan.27
Pengungkapan diri pada orang lain atau lingkungan tidak
semudah teori yang ada. Karakteristik individu yang heterogen biasanya
27
Prof. Dr. H.M. Burhan Bungin, S.Sos. M.Si, Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma dan
Diskusi Teknologi Komunikasi di Masyarakat, Kencana Prenada Media Group, 2007:262
xl
membuat kaum gay mengalami hambatan dalam mengungkapkan
identitasnya kepada lingkungan. Terlebih mereka adalah kaum minoritas
yang keberadaannya masih sulit diterima di masyarakat.
Upaya
yang
dilakukan
kaum
homoseksual
untuk
mengungkapan bahwa mereka ada dan eksis di tengah-tengah
masyarakat pada saat ini membutuhkan suatu keberanian khusus.
Keberanian ini tidak bisa dilepaskan dari pengungkapan diri (selfdisclosure) kepada masyarakat dan lingkungan di mana mereka berada.
Namun pengungkapan diri ini tidaklah semudah yang dibayangkan.
Karena terdapat berbagai hal yang harus dipertimbangkan, termasuk
dampak yang akan timbul setelah adanya proses perilaku pengungkapan
diri kepada lingkungan ini.
Pengungkapan diri ini haruslah disertai dengan kesadaran
penuh dari individu yang melakukannya. Menurut Sidney Jourand yang
merupakan seorang filsuf sosial, psikolog klinis dan peneliti empirik
mengatakan bahwa resep dari manusia itu adalah keterbukaan atau
transparansi.28 Transparansi bagaikan dua sisi koin, menurut Jourand
menjadi transparan berarti di satu sisi membiarkan lingkungan membuka
dirinya secara bebas dan di lain pihak kesediaan diri untuk terbuka
kepada orang lain. Jadi hubungan interpersonal yang ideal adalah dengan
adanya saling keterbukaan antara diri sendiri dengan orang lain.
28
Littlejohn Stephen W, Theories of Human Communication, 1983, hal. 179
xli
Seorang individu yang terbuka kepada orang lain akan
menimbulkan banyak perubahan. Penerimaan perubahan diri dari orang
lain dilakukan dengan menerima juga bagian lain dari diri mereka. Akan
sangat sulit untuk berkembang bila lingkungan sekitar tidak terbuka atas
keterbukaan diri yang kita lakukan.
Di dalam lingkungan masyarakat yang menyatakan dirinya
normal, pernyataan kaum gay tentang perilaku seks mereka sangat tabu.
Adanya tanggapan ketidakpantasan terhadap pengungkapan perilaku
seks ini (dalam hal ini homoseksual) akan mendorong orang untuk
mengadakan penilaian bahwa mereka adalah kaum yang harus dihindari
dan dipandang sebelah mata. Dalam hal inilah norma-norma kepantasan
ini muncul, yang kadang cenderung sebagai penghalang pengungkapan
dan penyalahgunaan perilaku seksual seperti homoseksual yang hanya
merupakan kelompok kecil dalam masyarakat.
Lingkungan tempat kita hidup memiliki latar belakang budaya
yang berbeda-beda. Perbedaan kebudayaan ini bisa menimbulkan
hambatan dalam berkomunikasi. Seluruh perbendaharaan perilaku kita
sangat bergantung pada budaya tempat kita dibesarkan. Konsekuensinya
budaya merupakan landasan komunikasi. Bila budaya beraneka ragam,
maka beraneka ragam pula praktek-praktek komunikasi yang ada dalam
masyarakat.
xlii
5. Perilaku
Perilaku merupakan tanggapan atau reaksi individu yang
terwujud dalam gerakan atau sikap, tidak hanya badan atau ucapan. Pada
hakekatnya perilaku terjadi karena adanya sikap. Sikap merupakan
kesiapan untuk bereaksi terhadap objek tertentu dengan cara tertentu
pula. Sikap juga sebagai cara bereaksi terhadap suatu rangsangan yang
timbul dari seseorang atau situasi, dalam hal ini terkait dengan perasaan
mendukung atau menolak terhadap suatu objek tertentu. Untuk
terwujudnya suatu sikap agar menjadi suatu perilaku nyata diperlukan
faktor pendukung atau kondisi yang memungkinkan akan adanya
kesempatan. Seperti diungkapkan Thoha Miftah (1988) perilaku
merupakan fungsi dari interaksi antara seseorang dengan lingkungannya.
Sehingga
adanya
pengalaman
dan
perasaan
yang tidak
sama
menyebabkan berbedanya perilaku yang ditunjukkan seseorang.
Perilaku dapat diartikan perbuatan yang dapat diobservasi.
Perilaku disebabkan karena adanya suatu stimulus yaitu suatu objek fisik
yang mempengaruhi seseorang dalam banyak cara. Setelah seseorang
mengetahui adanya stimulus kemudian memprosesnya ke dalam
pengetahuannya yang pada akhirnya akan menimbulkan suatu sikap di
mana sikap tersebut terimplementasikan dalam suatu tindakan.
Hal senada juga disampaikan oleh Soekardjo, bentuk-bentuk
operasional perilaku dapat dikelompokkan sebagai berikut:
xliii
-
Perilaku dalam bentuk pengetahuan yaitu informasi yang dimulai
untuk mengetahui situasi rangsangan dari luar.
-
Perilaku yang berbentuk sikap yaitu tanggapan batin terhadap
keadaan dan rangsangan dari luar subjek sehingga alam sendiri
mencetak perilaku manusia yang hidup di dalamnya sesuai dengan
sifat dan keadaan alam tersebut. Selain alam itu sendiri, faktor
lingkungan sosial budaya juga mempunyai pengaruh yang kuat
terhadap perkembangan dan pembentukan perilaku.
-
Perilaku dalam membentuk perbuatan / tindakan yaitu tindakan yang
nyata berupa faktor perbuatan (action) terhadap situasi / rangsangan
dari luar.
6. Identitas
Teori identitas dikemukakan oleh Sheldon Stryker (1980).
Teori ini memusatkan perhatiannya pada hubungan salng mempengaruhi
di antara individu dengan struktur sosial yang lebih besar lagi
(masyarakat). Individu dan masyarakat dipandang sebagai dua sisi dari
satu mata uang. Seseorang dibentuk oleh interaksi, namun struktur sosial
membentuk interaksi. Dalam hal ini Stryker tampaknya setuju dengan
perspektif struktural, khususnya teori peran. Namun dia juga memberi
sedikit kritik terhadap teori peran yang menurutnya terlampau tidak peka
terhadap kreativitas individu.
Teori Stryker mengkombinasikan konsep peran (dari teori
peran) dan konsep diri / self (dari teori interaksi simblis). Bagi setiap
xliv
peran yang kita tampilkan dalam berinteraksi dengan orang lain, kita
mempunyai definisi tentang diri kita sendiri yang berbeda dengan diri
orang lain, yang oleh Stryker dinamakan “identitas”. Jika kita memiliki
banyak peran maka kita memilih banyak identitas. Perilaku kita dalam
suatu bentuk interaksi, dipengaruhi oleh harapan peran dan identitas diri
kita, begitu juga perilaku pihak yang berinteraksi dengan kita.
Intinya, teori interaksi simblis dan identitas mendudukan
individu sebagai pihak yang aktif dalam menetapkan perilakunya dan
membanun harapan-harapan sosial. Perspektif interaksionis tidak
menyangkal adanya pengaruh struktur sosial, namun jika hanya struktur
sosial saja yang dilihat untuk menjelaskan perilaku sosial maka hal
tersebut kurang memadai.29
Biasanya pemahaman tentang teori identitas mengacu kepada
perspektif
interaksi-simbolik
struktural
(structural
symbolic-
interactionism) tentang perilaku pilihan peran (role choice behavior).
Sebagai ilustrasi, pertanyaan pokok yang diajukan oleh teori identitas
misalnya ialah, kenapa seseorang yang mempunyai waktu luang pada
hari Minggu memilih mengajak anak-anak dan keluarganya ke kebun
binatang, sementara orang lain dengan peluang waktu yang sama
mengajak anak-anak dan keluarganya pergi ke suatu rumah ibadat.
Asumsi teori symbolic-interactionism mengatakan bahwa kehidupan
manusia itu bukanlah sekedar kumpulan perbuatan yang merupakan
29
http://konsultasikehidupan.wordpress.com/2009/05/12/teori-identitas-identity-theory/
xlv
reaksi terhadap lingkungannya, melainkan ia adalah aktor aktif dalam
kehidupannya karena adanya pilihan-pilihan di hadapannya. Pada waktu
yang sama, teori identitas juga mengakui adanya keterbatasan pilihan
manusia itu untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu karena adanya
ikatan struktur sosial dan interaksi sosial.
Ada beberapa premis yang biasanya dipegangi oleh teori
identitas. Pertama, bahwa manusia itu adalah aktor dan reaktor sekaligus.
Kedua, bahwa tindakan manusia itu dibentuk oleh penafsiran dirinya
tentang situasi interaksi yang sedang dihadapinya. Dan ketiga, bahwa
penilaian seseorang terhadap dirinya (self-conception) merupakan titik
pertemuan antara tindakannya dan interaksinya dengan sekitarnya.30
F.
Definisi Konsepsional
a. Komunikasi
Proses penyampaian pesan baik verbal maupun non verbal dari
komunikator kepada penerima pesan dapat disebut sebagai proses
komunikasi. Komunikasi penting untuk membangun konsep diri kita,
aktualisasi diri, kelangsungan hidup, memperoleh kebahagiaan, terhindar
dari tekanan dan ketegangan serta hal-hal yang bersifat menghibur dan
menjalin hubungan dengan orang lain.
30
http://persatuan.web.id/?p=428
xlvi
b. Sosialisasi
Sosialisasi merupakan proses di mana seorang individu berinteraksi
dengan orang lain untuk menghasilkan partisipasi sosial dalam
masyarakat
yang
efektif.
Dalam
melakukan
sosialisasi
dengan
masyarakat seorang individu berusaha untuk beradaptasi dengan
lingkungan di mana di berada, baik itu dengan adat istiadatnya, pola
pikir masyarakatnya dan tindakan lain yang semuanya diperlukan untuk
menghasilkan pembauran yang serasi.
c. Kaum Gay
Kaum gay adalah orang-orang yang memiliki hubungan menyangkut
perasaan cinta antara sesame jenis kelamin (pria) yang apabila
kemesraan mereka sudah begitu jauh sehingga mencakup pula
permainan seksual setingkat dengan senggama suami istri. Hubungan
tersebut terjadi karena berbagai faktor penyebab, antara lain: karena
adanya kelainan mental, faktor lingkungan atau pengaruh dari pihak lain.
d. Pengungkapan Diri
Pengungkapan diri merupakan suatu tindakan penting dalam jalani hidup
kita. Ketika individu dihadapkan pada satu masalah maka pilihan dia
adalah menutup diri untuk menyelesaikan masalahnya atau membuka
diri. Membuka diri pada diri sendiri berarti menerima diri apa adanya
dan menyenangi keadaan apa adanya. Sedangkan membuka diri pada
orang lain atau lingkungan merupakan pengungkapan diri tentang hal-hal
xlvii
yang berkaitan dengan diri sendiri kepada orang lain, baik itu
pengungkapan tentang perasaan atau pengalaman individu.
Pengungkapan diri pada orang lain atau lingkungan tidak semudah teori
yang ada. Karakteristik individu yang heterogen biasanya membuat
kaum gay mengalami hambatan dalam mengungkapkan identitasnya
kepada lingkungan. Terlebih mereka adalah kaum minoritas yang
keberadaannya masih sulit diterima di masyarakat.
e. Identitas
Identitas merupakan definisi tentang diri kita sendiri yang berbeda
dengan orang lain. Dengan identitas kita akan dapat mengetahui siapa
sebenarnya diri kita, sehingga kita akan dapat menempatkan diri dalam
sebuah masyarakat. Dan identitas merupakan sebuah simbol dalam diri
kita, semakin banyak kita berperan maka semakin banyak juga identitas
yang kita miliki.
G.
Kerangka Pemikiran
Kaum gay merupakan salah satu kaum minoritas yang hidup di
tengah-tengah masyarakat. Gay termasuk kategori homoseksual selain
lesbian, di mana keduanya sama-sama penyuka sejenis. Lesbian sebutan
untuk wanita yang menyukai wanita, sedangkan gay sebutan untuk lelaki
yang tertarik dengan lelaki. Sebagai manusia, seorang gay membutuhkan
kasih saying dan perhatian. Selain diperoleh dari pasangan mereka sesama
gay, mereka juga membutuhkan perhatian dari keluarga, teman bahkan
xlviii
lingkungan tempat tinggal mereka. Hal tersebut sangatlah sulit bila mereka
tidak memberanikan diri untuk membuka dan menyampaikan kepada
lingkungan bahwa mereka adalah seorang gay. Perilaku keterbukaan diri ini
dilakukan dengan pertimbangan yang cukup lama dan setelah mereka benarbenar yakin akan resiko yang akan muncul di belakang nanti. Biasanya
mereka terbuka kepada orang tua, sesama gay dan masih sedikit yang sudah
berani terbuka secara terang-terangan kepada lingkungannya tentang
perilaku seks yang mereka miliki.
Dalam pengungkapan diri yang mereka lakukan tentunya tidak lepas
dari proses komunikasi. Pengungkapan diri yang dilakukan kaum gay agar
dapat diterima oleh masyarakat ini dibedakan menjadi dua macam cara.
Beberapa kaum gay akan melakukan keterbukaan secara langsung terhadap
keluarga maupun masyarakat. Ini dilakukan oleh beberapa kaum gay yang
terbuka. Mereka akan mengutarakan secara langsung kepada keluarga
bahkan masyarakat mengenai keberadaan mereka yang gay. Tetapi ada juga
dari beberapa kaum gay yang melakukan pengungkapan tentang identitas
mereka secara tidak langsung. Hal ini dilakukan oleh kaum gay yang
termasuk gay tertutup. Gay tertutup akan mengutarakan identitasnya hanya
dengan teman-teman dekat yang mereka percaya, bahkan ada juga yang
hanya bercerita dengan sahabatnya saja. Biasanya keluarga dan masyarakat
tidak mengetahui identitas yang dimiliki oleh gay tertutup ini sebagai
seorang homoseks.
xlix
Dari penjelasan di atas dapat digambarkan sebagai berikut :
Gay
Identitas Diri
- Obyektif
- Subyektif
H.
Komunikasi
Masyarakat
- Langsung
- Tidak Langsung
- Keluarga
- Masyarakat Luas
Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini jenis penelitian yang dipakai termasuk pada
penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian kualitatif merupakan penelitian
dengan data yang dihasilkan merupakan data yang subyektif, tidak
berupa angka-angka.
Prof. Dr. Winarno Surakhmad, M.Sc Ed dalam bukunya yang
berjudul “Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar” berpendapat bahwa
penelitian deskriptif adalah :
“Penelitian yang menuturkan, menganalisa dan mengklarifikasi dengan
menggunakan teknik survey, interview, angket, observasi atau dengan
teknik tes, studi kasus, studi komparatif, studi waktu dan gerak, analisis
kuantitatif, studi kooperatif atau operasional.”31
Tujuan dari penelitian deskriptif adalah membuat deskriptif,
gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai
fakta-fakta , sifat-sifat suatu hubungan antara fenomena yang diselidiki.
31
Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar Metode dan Teknik Edisi VII, Tarsito,
Bandung, 1990, hal. 139
l
2. Metode Penelitian
Penelitian tentang pengungkapan diri kaum gay pada masyarakat
sekitar ini merupakan studi yang menggunakan pendekatan kualitatif.
Dalam tatanan teoritik ada beberapa asumsi yang menjadi landasan
dalam penelitian kualitatif. Asumsi-asumsi tersebut adalah :
a. Penelitian kualitatif lebih memiliki perhatian pada proses daripada
hasil atau produk.
b. Penelitian kualitatif tertarik pada makna yaitu bagaimana orang
berusaha memahami kehidupan, pengalaman dan struktur lingkungan
mereka.
c. Penelitian
kualitatif
merupakan
instrumen
utama
dalam
pengumpulan dan analisis data. Data diperoleh melalui instrumen
manusia daripada melalui inventarisasi (inventories), kuisioner
ataupun melalui mesin.
d. Penelitian kualitatif sangat berkaitan dengan fieldwork. Artinya,
penelitian secara fisik terlibat langsung dengan orang latar, tempat
atau institusi untuk mengamati atau mencatat perilaku dalam latar
alamiahnya.
e. Penelitian kualitatif bersifat deskriptif, dalam arti peneliti tertarik
pada proses, makna dan pemahaman yang diperoleh melalui katakata atau gambar-gambar.
li
f. Proses penelitian kualitatif bersifat induktif dalam arti penelitian
membangun abstraksi, konsep, hipotesis dan teori.32
Berdasarkan asumsi-asumsi di atas, penelitian ini secara praktis
berusaha untuk mengkaji peristiwa kehidupan yang nyata yang dialami
oleh subyek penelitian ini (kaum gay) secara holistik dan bermakna.
Dalam uraian yang lebih luas, penelitian ini berusaha untuk memberikan
deskripsi dan eksplanasi terhadap pengungkapan diri kaum gay pada
masyarakat sekitar.
3. Populasi dan Sampel
Populasi (population/universe) dalam statistika merujuk pada
sekumpulan individu dengan karakteristik khas yang menjadi perhatian
dalam suatu penelitian (pengamatan)33. Dalam penelitian ini yang
menjadi populasi adalah kaum gay yang domisili di wilayah kabupaten
Sragen.
Sementara sampel adalah bagian kecil dari anggota populasi yang
diambil
menurut
prosedur
tertentu
sehingga
dapat
mewakili
populasinya.34
Pertanyaan yang diajukan adalah hal-hal yang berkaitan dengan
latar belakang kehidupan individu dan cara komunikasi dan sosialisasi
mereka dalam pengungkapan diri pada masyarakat di lingkungan
kabupaten Sragen.
32
Creswell John W, Research Design, Qualitative & Quantitative, 1994, hal. 145
http://sambasalim.com/statistika/populasi-dan-sampel-dalam-penelitian-kualitatif.html
34
Ibid
33
lii
4. Teknik Pengambilan Sampel
Penelitian ini menggunakan purposive sampling, berguna untuk
mendapatkan sampel (narasumber) yang tepat, yang menguasai
permasalahan yang menjadi obyek penelitian. Perbedaan teknik
sampling ini dengan teknik lainnya karena purposive sampling dilakukan
dengan cara memilih orang-orang tertentu karena dianggap –
berdasarkan penilaian tertentu – mewakili tingkat signifikansi dan
mewakili obyek penelitian. Dalam teknik pengambilan sampel ini, siapa
yang
akan
diambil
sebagai
anggota
sampel
diserahkan
pada
pengumpulan data yang menurut peneliti sesuai dengan maksud dan
tujuan penelitian. Peneliti berusaha untuk memilih informan yang
dianggap mengetahui segala sesuatu yang berkaitan dengan obyek
penelitian secara mendalam dan dapat dipercaya untuk dijadikan sebagai
sumber informasi data yang valid dan up to date.35 Dalam penelitian ini
penulis mengambil 7 narasumber yang mewakili dari kaum gay di
Kabupaten Sragen.
5. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam fenomena pengungkapan diri kaum gay
(homoseks) pada masyarakat sekitar ini akan menggunakan beberapa
metode yaitu :
35
H.B. Sutopo, Metodologi Penelitian Kualitatif Dasar Teori dan Terapannya dalam Penelitian
(Surakarta: UNS Press, 2002), hal. 56.
liii
a. Observasi
Observasi merupakan teknik pengumpulan data yang bersifat
nonverbal. Sekalipun dasar utama dari teknik ini adalah penggunaan
indera visual, tetapi juga melibatkan indera-indera lain seperti
pendengaran, rabaan dan penciuman.36
Observasi dilakukan oleh peneliti dengan mengamati objek
yang sedang diteliti. Karl Weick mendefinisikan observasi sebagai
pemilihan,
pengubahan,
pencatatanm
pengodean
serangkaian
perilaku dan suasana yang berkenaan dengan organism institusi,
sesuai dengan tujuan-tujuan empiris.37
Teknik observasi digunakan untuk menggali data dari sumber
data yang dapat berupa peristiwa, tempat atau lokasi, dan benda serta
rekaman gambar. Dalam pengamatan ini, peneliti hanya berfungsi
sebagai pengamat tanpa berperan sebagai anggota kelompok
tersebut.
Pengamatan
lapangan
dilakukan
terutama
untuk
pengecekan ulang (cross-check) data sekunder dengan fakta-fakta
yang terjadi.
b. Wawancara
Pengertian interview atau wawancara menurut Cannel dan Kahn
(1968 : 527 – 528) dalam “Metode Penelitian Ilmu Pengetahuan
Sosial” adalah :
36
37
Y. Slamet, Metode Penelitian Sosial (Surakarta: UNS Press, 2006), hal. 85.
Jalaluddin Rakhmat, Op. Cit., hal. 83.
liv
“Percakapan 2 orang yang dimulai oleh pewawancara dengan tujuan
khusus memperoleh keterangan yang sesuai dengan penelitian dan
dipusatkan olehnya pada isi yang dititikberatkan pada tujuan-tujuan
deskripsi, predisksi dan penjelasan sistematik mengenai penelitian
tersebut.”38
Ciri utama dari wawancara adalah kontak langsung dengan tatap
muka antara si pencari informasi dengan sumber informasi.
Wawancara digunakan untuk menghimpun data sosial terutama
untuk mengetahui tanggapan, pendapat, keyakinan, perasaan,
motivasi dan cita-cita seseorang.
Wawancara dalam penelitian ini dilakukan secara mendalam atau indepth interview dengan tujuan untuk mendapatkan data selengkaplengkapnya karena tidak sedikit informasi yang dibutuhkan oleh
peneliti.
Dalam tataran praktis, teknik wawancara ini dimanfaatkan untuk
mengetahui “keaslian” pengalaman-pengalaman subyektif dari
individu-individu ketika mereka melakukan pengungkapan diri
terhadap lingkungan sekitarnya.
c. Studi kepustakaan
Dengan mengadakan pencatatan berupa data atau informasi dari
referensi-referensi yang mendukung kelengkapan data dalam
penelitian. Referensi didapatkan melalui dokumentasi, literatur dan
catatan.
38
Bruce A. Chadwick, Howard M. Bahr dan Stan L, Albrecht, Op. Cit., hal. 121
lv
6. Analisis Data
Penelitian deskriptif adalah penelitian yang tidak dimaksudkan
untuk menguji hipotesis berdasarkan teori-teori tertentu. Data yang
diperoleh dan dikumpulkan dari berbagai sumber kemudian ditelaah
dalam upaya meningkatkan pemahaman terhadap objek yang diteliti.
Analisis data dilakukan dalam suatu data yang dikerjakan secara intensif.
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini dalah
analisis data interaktif (Miles & Hubarman dalam Sutopo, 1988:37)39
yang mempunyai tiga komponen yaitu :
a. Reduksi data adalah proses seleksi, pemfokusan, penyederhanaan
dan pengabstraksian data kasar yang muncul dari catatan tertulis dan
mengatur data sedemikian rupa sehingga bisa ditarik kesimpulan,
b. Penyajian
data
adalah
mengumpulkan
informasi
yang
memungkinkan suatu kesimpilan dapat dilakukan,
c. Penarikan kesimpulan bahwa kesimpulan akhir tidak akan terjadi
sebelum proses pengumpulan data berakhir.
Telah dikemukakan di atas tiga hal utama yaitu Reduksi data,
Penyajian data dan Penarikan kesimpulan sehingga suatu yang jalinmenjalin pada saat, sebelum, selama dan sesudah pengumpulan data
dalam bentuk yang sejajar, untuk membangun wawasan umum yang
disebut “analisis”. Dalam pandangan ini tiga jenis kegiatan analisis dan
39
Sunarno, Op, Cit., hal. 35
lvi
kegiatan pengumpulan data itu sendiri merupakan proses siklus dan
interaktif.
Dalam pengertian ini, analisis data kualitatif merupakan upaya
yang berlanjut, berulang dan terus-menerus. Masalah reduksi data,
penyajian
data
dan
penarikan
kesimpulan
menjadi
gambaran
keberhasilan secara berurutan sebagai rangkaian kegiatan analisis yang
saling susul menyusul dan dapat disederhanakan dengan bagan sebagai
berikut
Model Interaktif Miles dan Huberman
Pengumpulan Data
Reduksi Data
Penarikan Kesimpulan
Sajian Data
Sumber : H.B. Sutopo, 1988:37
Setelah pengumpulan data, peneliti bisa melakukan penyajian data,
mereduksi data dan kemudian menarik kesimpulan dan seterusnya
kembali melakukan pengumpulan data. Atau sebaliknya setelah
pengumpulan data, peneliti melakukan reduksi data, menyajikan data
lvii
dan
kemudian
menarik
kesimpulan
dan
seterusnya
kembali
mengumpulkan data yang diperlukan.
7. Validitas Data
Pada penelitian ini menggunakan teknik triangulasi, triangulasi
merupakan teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan
sesuatu yang lain di luar data untuk keperluan pengecekan atau sebagai
pembanding terhadap data tersebut.
Dezin (1978) membedakan empat macam triangulasi sebagai
teknik pemeriksaan yang memanfaatkan penggunaan sumber, metode,
penyidik dan teori. Triangulasi dengan sumber berarti membandingkan
dan mengecek balik derajad kepercayaan suatu informasi yang diperoleh
melalui waktu dan alat yang berbeda dalam metode kualitatif. Patton
(1984) menyatakan ada empat macam triangulation yaitu sebagai
berikut:
a. Data triangulation, di mana peneliti menggunakan beberapa sumber
data untuk mengumpulkan data yang sama. Membandingkan data
hasil pengamatan dengan data hasil wawancara.
b. Investigator triangulation, yaitu pengumpulan data yang semacam
dilakukan oleh beberapa orang peneliti. Membandingkan apa yang
dikatakan orang di depan umum dengan apa yang dikatakannya
secara pribadi.
c. Methodological triangulation, yakni penelitian yang dilakukan
dengan menggunakan metode yang berbeda ataupun dengan
lviii
mengumpulkan data sejenis tetapi dengan menggunakan teknik
pengumpulan data yang berbeda. Pada triangulasi dengan metode,
terdapat dua strategi yaitu:
1) Pengecekan derajat kepercayaan penemuan hasil penelitian
beberapa teknik pengumpulan data.
2) Pengecekan derajat kepercayaan beberapa sumber data dengan
metode yang sama.
d. Theoretical triangulation, yakni melakukan penelitian tentang topik
yang sama dan datanya dianalisis dengan menggunakan beberapa
perspektif teoritis yang berbeda. Triangulasi dengan teori, menurut
Lincoln dan Guba, berdasarkan anggapan bahwa fakta tertentu tidak
dapat diperiksa derajat kepercayannya dengan satu atau lebih teori.
Penelitian ini menggunakan triangulasi dengan sumber. Menurut
Patton, triangulasi dengan sumber berarti membandingkan dan
mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh
melalui waktu dan alat yang berbeda dalam metode kualitatif. Cara ini
mengarahkan peneliti agar di dalam mengumpulkan data menggunakan
beragam sumber data yang tersedia. Hal ini dapat diartikan bahwa data
yang sama atau sejenis akan lebih mantap kebenarannya bila digali dari
beberapa sumber data yang berbeda.40 Hal tersebut dapat dicapai dengan:
a. Membandingkan data hasil pengamatan dengan hasil wawancara.
40
Lexy J. Moleong, Op. Cit., hal. 78.
lix
b. Membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum dengan
apa yang dikatakan secara pribadi.
c. Membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang situasi
penelitian dengan apa yang dikatakannya sepanjang waktu.
d. Membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai
pendapat dan pandangan orang, seperti rakyat biasa, orang yang
berpendidikan
menengah
atau
tinggi,
orang
berada,
orang
pemerintahan dan lain-lain.
e. Membandingkan hasil wawancara dengan isu suatu dokumen yang
berkaitan.
lx
BAB II
KEHIDUPAN KAUM GAY DI SRAGEN
A. Kondisi Geografis Sragen
Kabupaten Sragen, adalah sebuah kabupaten di Propinsi Jawa
Tengah. Ibukotanya terletak di Sragen, sekitar 30 km sebelah timur Kota
Surakarta. Kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten Grobogan di utara,
Kabupaten Ngawi (Jawa Timur) di timur, Kabupaten Karanganyar di selatan,
serta Kabupaten Boyolali di barat.
Wilayah Kabupaten Sragen berada di dataran dengan ketinggian
rata-rata 109 M diatas permukaan laut. Sragen menpunyai iklim tropis dengan
suhu harian yang berkisar antara 19-31 º C. Curah hujan rata-rata di bawah
3000mm per tahun dengan hari hujan di bawah 150 hari per tahun.
Sragen terletak di jalur utama Solo-Surabaya. Kabupaten ini
merupakan gerbang utama sebelah timur Propinsi Jawa Tengah, yang
berbatasan langsung dengan Propinsi Jawa Timur. Sragen dilintasi jalur kereta
api lintas selatan Pulau Jawa (Surabaya-Yogyakarta-Jakarta) dengan stasiun
terbesarnya Sragen, serta lintas Gundih-Solo Balapan dengan stasiun
terbesarnya Gemolong.
Sragen berada di lembah daerah aliran Sungai Bengawan Solo yang
mengalir ke arah timur. Sebelah utara berupa perbukitan, bagian dari sistem
Pegunungan Kendeng. Sedangkan di selatan berupa pegunungan, lereng dari
Gunung Lawu.
lxi
B. Pola Kehidupan
Fakta tentang hadirnya kehidupan malam di seluruh daerah Indonesia
memang tidak akan dapat kita pungkiri. Kehidupan yang penuh dengan liku
dan seluk beluk hubungan manusia yang dilihat dari segi seksualitas
terbentang dengan begitu jelasnya. Tanpa dapat dihilangkan atau dicegah
walaupun sudah banyak cara yang dilakukan oleh pemerintah untuk
mengatasinya. Begitu pulalah yang terjadi di kabupaten Sragen.
Di Sragen dapat kita temukan berbagai sebutan yang ada di
masyarakat yang mengacu kepada istilah-istilah untuk menandai kelompok
orang seperti waria (banci), ciblek (pelacur), gay, lesbi, gigolo dsb. Dan semua
sebutan yang ada itu acap kali muncul di kehidupan malam, meskipun dalam
kesehariannya kita tetap dapat menemukan mereka. Salah satu yang sangat
menarik untuk dipahami lebih lanjut adalah kehidupan sekelompok
masyarakat minoritas, karena jumlahnya yang cenderung masih sedikit yaitu
kehidupan kaum gay.
Kaum gay di Sragen jika dibandingkan dengan daerah-daerah lain di
Indonesia memang masih sedikit sekali diketahui oleh masyarakat luas.
Keberadaan mereka di tengah masyarakat masih sangat tertutup meskipun ada
beberapa yang sudah berani untuk membuka dirinya dan menyatakan bahwa
mereka adalah seorang gay. Jika kita pernah memperhatikan kehidupan kaum
gay di Surabaya, Yogyakarta, Solo, Semarang, Jakarta, Bandung dan daerahdaerah lainnya, akan dapat terlihat perbedaan yang cukup mencolok yang akan
menimbulkan berbagai pertanyaan mengenai perbedaan tersebut. Di daerah-
lxii
daerah tersebut kaum gay benar-benar sudah memiliki tempat tersendiri untuk
mengadakan suatu perkumpulan yang cukup besar yang merupakan wadah
bagi kegiatan-kegiatan yang akan mereka lakukan, tanpa harus tertutup dari
pandangan masyarakat umum. Dapat dilihat di bawah ini tempat-tempat
berkumpulnya kaum gay di berbagai daerah (gay artikel di www.google.com)
yaitu :
Jakarta
: ML Diskotik Jl. Mataram, Blok M Mall Jakarta, Citraland
Mall Senin, Bioskop Senin, Hard Rock Cafe, Mall Taman
Anggrek
Bali
: Pantai Sanur
Surabaya
: Sinta Diskotik (di tengah kota), Pataya (sepanjang sungai
di tengah Kota), Tunjungan Plaza 3 Mall
Yogyakarta
: Alun-alun selatan, Wayang Cafe Parangtritis
Surakarta
: Atria Cafe, Komplek Sriwedari
Akan tetapi lain halnya dengan kehidupan kaum gay di Sragen.
Meskipun jumlah gay mencapai sekitar + 240 orang (berdasarkan data dari
Yayasan Gessang Surakarta : Dampingan dan Jangkauan Gessang Surakarta)
namun mereka belum memiliki kehidupan sebebas kaum gay di daerah
lainnya. Kecenderungan untuk menutup diri masih sangat besar. Berbagai
macam faktor disebut sebagai penyebab hal ini terjadi, antara lain lingkungan
sekitar yang belum mendukung karena masih menganggap kaum gay sebagai
orang yang memiliki kelainan atau “sakit” sehingga jika ketahuan mereka
akan dihina dan dicaci maki, faktor untuk menjaga nama baik keluarga karena
lxiii
memiliki anggota keluarga seorang gay (yang memiliki penyimpangan
orientasi seksual) merupakan suatu aib besar, faktor lingkungan pekerjaan
yang tidak memungkinkan mereka untuk menyatakan ke-gay-an mereka dan
faktor lainnya yang sangat menghambat keterbukaan diri mereka.
Untuk mempermudah gay menemukan teman-teman mereka, sudah
ada beberapa tempat khusus yang mereka tetapkan sebagai tempat “mangkal”
dan “kongkow-kongkow” bagi kaum gay. Dan biasanya kita dapat
menemukan banyak kaum gay di sana pada malam hari setelah jam 22.00
WIB. Tempatnya antara lain kawasan alun-alun Sragen, kawasan stadion
Taruna, depan Adira, tempat fitness “Gold Gym” dan angkringan shopping
center pasar kota Sragen. Selain tempat tersebut, mereka juga memiliki tempat
berkumpul yang hanya di ketahui oleh gay itu sendiri.
Untuk pergaulan mereka sehari-hari sering menggunakan bahasa
yang hanya mereka sendiri yang mengetahui artinya. Bahasa itu sering disebut
dengan bahasa Binan. Dalam bahasa ini istilah-istilah yang muncul terkadang
didengar sangat aneh. Seperti akika (aku), cuco’ (cakep), ember (memang),
hombre (homo), kalengan (tertutup) dan masih banyak lagi lainnya. Istilahistilah ini digunakan salah satunya karena adanya faktor menutup diri yang
tidak menginginkan keberadaan mereka diketahui oleh orang lain.
Secara umum dapat diterangkan bahwa pembentukan istilah bahasa
gay dari bahasa biasa ada 5 jenis (info dari rekan gay [email protected]),
yaitu :
lxiv
1. Yang mengubah vokal suku kata kedua dari akhir menjadi [e] dan vokal
(dan konsonan) suku kata akhir menjadi [ong], [es] atau [i], seperti loco
menjadi lecong, leces atau leci (masturbasi, onani).
2. Yang melibatkan sisipan [in] di antara konsonan dan vokal tiap suku kata,
umumnya dengan pemendekan hasilnya menjadi dua suku kata seperti
banci menjadi binancini atau binan.
3. Yang mengambil sebagian awal kata dan kemudian mengubah selebihnya
sehingga menjadi kata lain atau nama orang yang acapkali berkaitan
makna yang hendak “disembunyikan” seperti semak (<Bld> smaak =
suka) atau semangka (buah yang disuka)
4. Khusus di daerah bahasa Jawa yang menambahkan awalan si dan
menyisakan hanya suku kata pertama (ditambah konsonan kata berikutnya
apabila suku kata itu berakhir dengan vokal) seperti lanang (bahasa Jawa
laki-laki) menjadi silan.
5. Yang memberikan makna beda pada istilah dari bahasa biasa seperti jeruk
yang diberi arti pemeras.
6. Sejumlah kecil istilah khas yang hanya ditemui dalam bahasa gay seperti
cuco’ (cakep)
Banyak terdapat anggapan di tengah masyarakat yang menyatakan
bahwa kaum gay sangat tertutup dan sulit untuk diketahui keberadaannya.
Masyarakat umum sering pula beranggapan bahwa mereka adalah kelompok
orang “eksklusif” yang tidak akan mau bergaul dengan orang lain di luar
lxv
kaumnya41, terutama bila mereka sedang mengadakan acara atau di
perkumpulan gay. Selain itu jika mendengar kata “gay” atau “homoseksual”,
masyarakat cenderung untuk merasa jijik, takut, geli dan berusaha
menghindari hubungan dengan mereka.42 Tuduhan sebagai kaum penyebar
virus HIV/AIDS pun tidak dapat terelakkan oleh kaum gay, karena adanya
cerita yang beredar di masyarakat bahwa mereka adalah orang-orang yang
menganut paham free sex dan sering bergonta-ganti pasangan43.
Anggapan-anggapan di atas memang ada benar dan tidaknya.
Mengapa dikatakan demikian? Marilah kita lihat satu per satu anggapananggapan tersebut.
Pertama adanya cerita yang menyatakan bahwa kaum gay tertutup
dan sulit diketahui keberadaannya, mungkin ada benarnya. Hal ini dapat
dilihat dari individu gay itu sendiri. Mereka, terutama di Sragen masih sangat
sedikit sekali coming out di tengah masyarakat. Sering kali kebanyakan kaum
gay masih menggunakan topeng heteroseks untuk menutupi ke-gay-annya
supaya mereka dapat merasa aman, terlindung dari cemoohan dan ejekan,
supaya tidak dikucilkan oleh keluarga, agar tidak dijauhi teman-teman
dekatnya atau karena takut kehilangan pekerjaannya. Dan menurut Dede
Oetomo dalam buku Memberi Suara Pada Yang Bisu44, kata “topeng” adalah
kata yang tepat sekali, karena kebanyakan kaum gay terasa sekali dorongan
dan keharusan untuk mengenakan topeng. Mereka harus menampilkan dari
41
Majalah Gaya Nusantara, edisi 84 Agustus 2001
Persell Caroline Hodges, Understanding Society, 1990, hal. 560
43
Ibid, hal. 561
44
Dede Oetomo, Memberi Suara pada yang Bisu, Pustaka Marwa, Yogyakarta, 2003, hal. 221
42
lxvi
sebagai laki-laki heteroseks yang mampu menyayangi wanita. Sehingga
kemungkinan sulit menemui mereka memang sangat besar, terutama bagi
orang-orang yang tidak mengetahui ciri-ciri atau tanda-tanda dari seorang gay.
Kedua, adalah anggapan yang menyatakan kaum gay merupakan
kelompok eksklusif yang tidak mau bergaul dengan orang lain di luar
kelompok mereka. Pernyataan itu dapat dikatakan benar adanya karena
terdapat dua jenis kaum gay yang ada di masyarakat. Pertama apa yang
disebut dengan gay yang tertutup (atau istilah yang sering muncul di tengah
kaum gay sendiri menyebutnya “kalegan”). Mereka sangat menjaga sekali
“privacy” yang mereka miliki. Mereka tidak ingin jika nantinya ada yang
mengetahui bahwa mereka adalah seorang gay lalu cerita itu menyebar ke luar
sedangkan mereka sendiri belum siap untuk menghadapi resiko yang akan
muncul di luar sana. Jadi muncullah kesan eksklusifitas, yang mengakibatkan
seolah-olah mereka tidak mau bergaul dengan orang lain di luar kelompok
mereka. Tapi di lain pihak ada juga yang disebut gay yang bebas (terbuka)
yang sudah melakukan coming out (menyatakan diri gay) kepada
lingkungannya. Mereka ini tidak lagi menutup-nutupi dirinya sehingga orang
dapat mengetahui bahwa mereka memiliki orientasi seksual sebagai seorang
homoseksual yang menyukai sesama jenis. Mereka ini bisa dikatakan tidak
mengeksklusifkan diri dalam suatu kelompok tetapi justru sangat berbaur
dalam masyarakat. Karena mereka sendiri sudah bisa menerima konsekuensi
yang akan muncul apabila lingkungannya mengetahui bahwa mereka adalah
gay.
lxvii
Ketiga, adanya perasaan jijik, takut, geli dan sikap menghindar dari
masyarakat luas jika mendengar kata gay. Hal ini muncul karena masyarakat
belum mengetahui sejauh mana kehidupan kaum gay itu. Yang ada di benak
masyarakat awam hanyalah perasaan geli dan jijik melihat seseorang laki-laki
menyenangi laki-laki lainnya sampai melakukan hubungan badan sesama
mereka45. Perasaan ini muncul, karena masyarakat melihatnya sebagai suatu
penyimpangan, bukan sebagai hak azasi pribadi untuk memiliki orientasi yang
berbeda dengan orang lain pada umumnya. Sedangkan perasaan takut yang
muncul di tengah masyarakat untuk bergaul dengan kaum gay hanyalah
karena pandangan masyarakat yang beranggapan bahwa orientasi seksual
sebagai homoseks dapat menular kepada orang lain. Padahal dalam
kenyataannya homoseks itu tidak dapat ditularkan karena hal itu bukanlah
penyakit yang harus disembuhkan.
Untuk mengetahui apakah homoseks itu penyakit atau bukan, maka
pada tahun 1983 para psikiater memutuskan ada dua macam homoseksual,
yaitu homoseksual ego-sintronik (sinkron dengan egonya) dan homoseksual
ego-distonik (tidak sinkron dengan egonya) menurut Dede Oetomo46. Seorang
homoseks ego-sintonik adalah seorang homoseks yang tidak merasa terganggu
orientasi seksualnya, tidak ada konflik bawah sadar yang ditimbulkan. Serta
tidak ada desakan, dorongan atau keinginan untuk mengubah orientasi
seksualnya. Hasil penelitian beberapa ahli menunjukkan, orang-orang
homoseksual ego-sintonik mampu mencapai status pendidikan, pekerjaan dan
45
46
Op.,Cit.,hal. 560
Op,.Cit,.hal. 77
lxviii
ekonomi sama tingginya dengan orang-orang heteroseks. Bahkan kadangkadang lebih tinggi. Kelompok ini juga tidak memiliki kecemasan dan
kesulitan psikologis lebih banyak daripada para heteroseks. Hal ini karena
mereka menerima dan tidak terganggu secara psikis dengan orientasi seksual
mereka.
Sebaliknya, seorang homoseks ego-distonik adalah homoseks yang
mengeluh dan merasa terganggu akibat konflik psikis. Ia senantiasa tidak atau
sedikit sekali terangsang oleh lawan jenis dan hal itu menghambatnya untuk
memulai dan mempertahankan hubungan heteroseksual yang sebetulnya
didambakannya. Secara terus terang ia menyatakan dorongan homoseksualnya
menyebabkan dia merasa tidak disukai, cemas dan sedih. Konflik psikis
tersebut menyebabkan perasaan bersalah, kesepian, malu, cemas dan depresi.
Karenanya, homoseksual seperti ini dianggap sebagai gangguan psikoseksual.
Dan jenis ini yang perlu disembuhkan. Tetapi bukan berarti dapat menular
kepada orang lain, melainkan penyembuhan yang dilakukan adalah dengan
mengarahkannya menjadi pribadi yang dapat menerima diri apa adanya.
Kemudian adanya pandangan masyarakat bahwa kaum gay adalah
penyebar virus HIV/AIDS, karena mereka menganut paham free sex dan
senang berganti-ganti pasangan. Jika dilihat pernyataan ini, penyebaran virus
yang mematikan ini tidak hanya dikarenakan oleh kaum gay. Tetapi masih
banyak faktor penyebab lainnya, seperti prostitusi heteroseks, penggunaan
jarum suntik yang berkali-kali dan lain-lain. Penyebaran ini sebenarnya
tergantung kepada individu masing-masing. Jika dilihat dalam berhubungan
lxix
sebagian kaum gay sudah sangat perhatian dengan pemakaian alat pengaman
seksual seperti kondom. Di samping itu banyak juga kaum gay yang sudah
memiliki pasangan tetap dan hanya melakukan hubungan dengan pasangannya
untuk mencegah penularan penyakit-penyakit yang tidak diharapkan47.
Bahkan akhir-akhir ini banyak aktivis yang bergerak di bidang HIV/AIDS
adalah seorang gay. Mereka sangat menyadari bahaya dari penyakit tersebut
dan tidak menginginkan semakin banyaknya orang yang terinfeksi virus ini.
C. Komunitas Gay
Pertama kali, kaum gay di Sragen belum memiliki wadah khusus
untuk menyatukan mereka. Mereka masih terpencar-pencar secara individu
dan hanya dapat bertemu dengan orang-orang yang sudah mereka kenal dan
tahu tentang keadaannya. Karena kaum gay di Sragen bersifat tertutup maka
kebanyakan kaum gay Sragen bergabung dengan kaum gay di Surakarta.
Kemudian mereka bergabung dalam kelompok yang membentuk perkumpulan
arisan khusus para gay. Di sini diharapkan agar para gay dapat lebih banyak
tahu tentang gay di kawasan Surakarta yang mencakup kaum gay dari
beberapa kota di sekitar Surakarta, antara lain kota Surakarta sendiri, Sragen,
Karang Anyar, Boyolali dan Sukoharjo. Arisan yang diadakan ini ternyata
tidak bertahan lama. Lama kelamaan semangatnya memudar dan menghilang
karena faktor kesibukan masing-masing individu yang ikut di dalamnya.
Kemudian tahun 1992, muncul suatu pemikiran baru dari kalangan gay untuk
membentuk suatu organisasi yang lebih solid yang dapat dijadikan wadah bagi
47
Majalah Gaya Nusantara, edisi 84, Agustus 2001
lxx
mereka untuk berkumpul, bertukar pikiran dan menambah teman sesama gay.
Lalu didirikanlah organisasi Gaya Surakarta. Organisasi ini cukup
mendapatkan sambutan yang hangat dari kalangan gay di lingkungan
Surakarta. Karena mereka merasa mendapatkan suatu naungan yang dapat
mendukung perbedaan yang ada dalam diri mereka. Kegiatan organisasi ini
pertama kalinya benar-benar merintis dari awal. Dari mulai berusaha
mengumpulkan teman-teman sesama gay dan memberitahukan mereka bahwa
telah berdiri organisasi gay di Surakarta.
Kemudian pada tahun 1994 barulah organisasi ini mengadakan
kegiatan mereka pertama kali. Kegiatan ini berupa kegiatan keakraban sesama
gay yang diadakan di Bandungan Semarang. Di sini, cukup banyak gay yang
ikut serta yaitu ±150 orang. Dan acara yang diadakan berupa kegiatan
silaturahmi yang didukung dengan kegiatan seni. Banyak juga masyarakat
awam yang menyaksikan acaranya. Dan sangat terlihat sekali antusiasme
masyarakat untuk menonton acara ini. Tahun 1995 kaum gay menjadi tergilagila mengadakan pesta. Setiap dua bulan sekali mereka mengadakan
pertemuan dengan teman-teman sesama gay dan mengadakan pesta-pesta yang
meriah. Memang muncul kesan seolah-olah berfoya-foya dalam kegiatan ini.
Kegiatan ini diadakan dengan maksud merayakan ulang tahun teman-teman
sesama gay yang digabungkan setiap dua bulan sekali. Hal ini berlangsung
sampai satu setengah tahun.
Acara di Bandungan kembali di adakan tahun 1996 dengan judul
“Black Night”. Di sini kaum gay yang hadir diharuskan menggunakan
lxxi
pakaian-pakaian hitam, dengan agenda acara masih berupa keakraban sesama
gay. Peserta yang hadir ±200 oramg. Pada tahun 1997 diadakan kembali acara
silaturahmi gay di Bandungan dengan tema “One Night in Paris” yang
dihadiri ±150 orang. Di sini gay harus menggunakan pakaian ala model-model
Paris yang berkesan “wah”. Tetapi setelah itu, kegiatan gay Surakarta vakum
selama lebih kurang dari tiga tahun, ternyata banyak masyarakat terutama di
daerah Bandungan yang mempertanyakan kevakuman tersebut. Hal ini terjadi
karena sudah merasa bagian dari acara-acara yang diadakan kaum gay setiap
tahunnya. Acara temu akrab gay kembali diadakan pada tahun 2000 dengan
tema “Simpang Siur”. Acara ini juga diadakan kembali di Bandungan, banyak
gay dari luar komunitas Surakarta juga hadir dalam acara ini. Peserta yang
hadir dalam acara ini ±400 orang, mereka berkeinginan untuk memperluas
pergaulan dan menambah wawasan tentang dunia gay. Dan yang terakhir
diadakan bulan Pebruari 2002. Di sini yang hadir cukup banyak yaitu ±200
orang, baik dari Surakarta maupun dari daerah lainnya, seperti Jakarta,
Bandung, Surabaya, Yogyakarta dan Kudus.
Dilihat dari beberapa tema kegiatan yang diangkat dalam acara temu
akrab kaum gay, sangatlah mencerminkan gaya berbusana yang mereka
gunakan. Hal ini memang suatu ciri yang dapat kita lihat dalam kehidupan
kaum gay sehari-hari. Kecenderungan seorang gay adalah selalu ingin tampil
dengan modis. Dengan kata lain mereka cenderung tampil lain dari yang lain
untuk menarik perhatian. Sebagaimana layaknya masyarakat pada umumnya
seorang gay mempunyai penampilan khas sendiri, misalnya bergaya maskulin,
lxxii
feminism atau sportif. Busana press body atau ketat lebih disukai oleh kaum
gay. Selain praktis, lekuk tubuh dari si pemakai juga nampak jelas. Selain
press body, busana dengan warna mencolok menjadi salah satu alternatif
pilihan mereka. Di samping itu ada sebagian gay yang menggunakan antinganting sebelah kanan saja atau menempatkan sapu tangan yang sedikit keluar
di kantong celana sebelah kiri atau ada juga dengan membuka kancing baju
mereka beberapa buah untuk menandakan bahwa mereka adalah seorang gay.
Tapi tanda-tanda fisik ini sekarang sudah tidak begitu jelas, karena sudah
banyak orang yang meniru cara berpakaian mereka.
Sementara pertimbangan pemilihan tempat kegiatan komunitas gay
Surakarta lebih banyak dilakukan di daerah Bandungan karena ternyata di
daerah ini masyarakatnya sudah dapat menerima kegiatan-kegiatan yang
diadakan. Terbukti dengan adanya antusiasme masyarakat dalam menunggu
kegiatan kaum gay ini dari tahun ke tahun. Di samping itu, kegiatan yang
dilakukan bukanlah merupakan pesta seks yang selama ini muncul di pikiran
masyarakat umum bila sekelompok gay berkumpul, tetapi lebih cenderung ke
kegiatan silaturahmi dan hiburan.
lxxiii
BAB III
KOMUNIKASI DAN SOSIALISASI KAUM GAY DI SRAGEN
A. Data Informan dan Latar Belakang Keluarga
1. Fafa
Seorang gay berasal dari Sragen dan berdomisili di Masaran. Fafa berusia
32 tahun dan membuka usaha sebuah salon. Pria tamatan SMA ini
merupakan anak pertama dari empat bersaudara. Dia merupakan laki-laki
satu-satunya dalam keluarga. Ketiga adiknya semua perempuan. Fafa
merasa dekat dengan ibunya karena ayahnya sudah meninggal. Fafa juga
memberanikan diri untuk menceritakan keadaannya kepada ibunya. Saat
pertama Fafa mengungkapkan dirinya sebagai gay, ibunya merasa kaget,
namun pada akhirnya ibu dan saudara-saudaranya bisa menerima
keadaannya. Fafa menganut agama Islam dan sejak kecil dia telah
diberikan pendidikan agama yang cukup. Meskipun dia tahu bahwa di
agama yang dianutnya melarang menyukai sesama jenis. Namun Fafa
menyatakan bahwa menyukai seseorang dan mencintainya adalah masalah
yang suci. Jadi bukanlah suatu dosa asal kita bisa menempatkan cinta
tersebut di tempat yang benar. Keluarga Fafa mementingkan pendidikan
formal karena bagi keluarganya yang bisa dibawa dan diwariskan oleh
orang tuanya hanyalah pendidikan tersebut. Meskipun demikian Fafa
tidak dapat sekolah tinggi karena dia harus menanggung biaya adikadiknya. Mengenai kasih sayang yang diberikan oleh Fafa selama ini
lxxiv
dianggap sudah baik. Bahkan ibunya selalu mendukung kegiatan yang
dilakukan Fafa.
2. Kunkun
Kunkun merupakan anak pertama dari empat bersaudara. Kunkun kini
berusia 35 tahun dan bekerja sebagai karyawan PNS. Dia tidak jauh
berbeda dengan Fafa. Kunkun anak tertua dan merupakan anak laki-laki
satu-satunya. Dalam keluarga Kunkun berperan sebagai kakak yang
dijadikan contoh dan penuntun bagi adik-adiknya. Meskipun orang tua
Kunkun tidak tinggal di Sragen, namun Kunkun mengaku bahwa dia
dekat dengan ibunya, Kunkun lebih sering mengobrol dengan ibunya.
Namun Kunkun tidak pernah menceritakan bahwa dirinya seorang gay,
dia hanya bercerita sewajarnya saja. Pria yang telah memiliki gelar
sarjana ini memeluk agama Islam. Sejak kecil kedua orang tuanya telah
menerapkan pendidikan baik agama maupun pendidikan lainnya secara
tegas. Bahkan orang tua Kunkun juga memperkenalkan pendidikan seks
kepada anak-anaknya. Ayah Kunkun seorang yang tegas, jadi keluarganya
telah terbiasa hidup dengan aturan-aturan yang ketat. Meskipun demikian
Kunkun tidak pernah merasa tertekan. Dia justru bangga mempunyai
sosok ayah yang bisa dijadikan panutan baginya. Kedua orang tua
Kunkun tetap memberikan perhatian dan kasih sayangnya yang cukup
besar untuk anak-anak mereka.
lxxv
3. Nono
Nono pria berusia 40 tahun lulusan SMA ini memiliki empat orang adik
perempuan. Nono merupakan anak pertama dan satu-satunya pria dalam
keluarganya. Nono bekerja sebagai wiraswasta dengan membuka warung
makan yang tak jauh dari rumahnya. Meskipun Nono tinggal dengan
keluarganya namun Nono merasa tidak terlalu dekat dengan salah satu
anggota keluarganya. Ayah Nono sudah meninggal sehingga Nono hanya
memiliki ibu saja. Nono tidak pernah menceritakan masalah pribadi
kepada ibu ataupun adik-adiknya termasuk tentang ke-gay-annya. Nono
memang tidak pernah membicarakan secara langsung identitas dirinya
kepada ibu dan adik-adiknya namun mereka sepertinya mengetahui
kelainan yang dimiliki Nono dengan melihat tingkah laku Nono seharihari. Keluarga Nono termasuk keluarga terpandang di desanya karena
orang tua Nono adalah haji. Pendidikan agama yang diberikan orang
tuanya sangatlah cukup. Berkaitan masalah gay dan agama yang
dianutnya, Nono berpendapat bahwa tidak mungkin Tuhan menciptakan
umatnya tanpa terlebih dahulu melihat baik buruknya. Menurut Nono
mencintai dan menyukai orang bukanlah sebuah dosa karena cinta itu
suci. Kalaupun ada yang salah berarti semuanya harus dikembalikan lagi
kepada Tuhan Yang Maha Esa.
4. Tian
Pria yang memiliki nama panggilan Tian ini berusia 30 tahun. Dia bekerja
sebagai karyawan di Dinas Pariwisata kabupaten Sragen. Pria lulusan
lxxvi
sarjana Sastra Inggris ini merupakan anak bungsu dari lima bersaudara.
Jarak Tian dengan saudara-saudaranya lumayan jauh namun mereka tetap
akrab. Tian memiliki tiga orang kakak perempuan dan satu kakak lakilaki. Keluarga Tian tinggal di Wonogiri sedangkan di Sragen Tian hidup
sebagai anak kost, sehingga Tian jarang bertemu dengan keluarganya.
Tian tidak tega mengutarakan identitas dirinya sebagai gay kepada ibu
dan saudara-saudaranya karena dia takut ibunya kecewa. Namun
sepertinya lama kelamaan keluarga Tian mulai curiga melihat tingkah
laku Tian yang tidak pernah memikirkan perkawinan.
5. Awan
Awan yang bekerja sebagai Customer Service di sebuah Fitness Center ini
merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Awan yang sekarang
berumur 25 tahun dan lulusan D3 ini mengaku sangat dekat dengan adik
laki-lakinya namun Awan tidak pernah menceritakan penyimpangan
seksual yang dimilikinya kepada adiknya. Awan hanya menceritakan kegay-annya kepada teman-teman sesama gay. Untuk masalah agama Awan
mendapatkan pendidikan agama yang cukup. Awan juga diajarkan
berbagai hal tentang agama oleh orang tuanya. Awan menyadari bahwa
hubungan sesama pria adalah dosa namun Awan tidak bisa berbuat
banyak karena keadaan dirinya sudah seperti itu.
6. Erik
Erik merupakan anak tunggal dalam keluarganya sehingga dia selalu
dekat dengan kedua orang tuanya. Meskipun dekat, Erik tidak pernah
lxxvii
menceritakan kepada orang tuanya bahwa dia seorang gay. Erik tidak
ingin mengecewakan kedua orang tuanya karena Erik adalah anak satusatunya yang mereka miliki dalam keluarga. Pria yang berusia 27 tahun
ini bekerja sebagai desainer dan lulusan sarjana. Tuntutan pekerjaannya
membuat pergaulan Erik dengan kaum gay semakin luas. Pendidikan
agama dan pendidikan informal lainnya telah diberikan sejak Erik masih
kecil. Meskipun Erik sadar bahwa dalam agamanya itu dilarang, namun
Erik tidak bisa menghentikan kelainannya tersebut karena dia merasa itu
sudah takdirnya.
7. Budi
Anak kedua dari tiga bersaudara ini termasuk orang yang sangat periang.
Saat ini Budi sudah berusia 26 tahun dan dia lulusan D3. Budi memiliki
satu kakak perempuan dan satu adik laki-laki. Budi yang bekerja di
sebuah stasiun radio ini mengaku sangat dekat dengan keluarganya,
termasuk kedua orang tua dan saudara-saudaranya. Hampir setiap harinya
Budi menghabiskan waktu bersama keluarga. Meskipun Budi dekat
dengan keluarga, tidak semua masalah yang dia alami diceritakan kepada
keluarganya. apalagi masalah ke-gay-annya. Dia sangat menjaga untuk
tidak diketahui oleh keluarganya. Agama Islam yang diajarkan oleh kedua
orang tuanya dalam keluarga Budi sangat disiplin. Budi sempat merasa
takut ketika ditanya masalah agama dan juga penyimpangan seksual yang
dia miliki. Tetapi Budi menganggap penyimpangan itu termasuk cobaan
lxxviii
dari Tuhan yang harus dijalaninya dan yang pasti tidak akan terlampau
jauh ke dalam.
Dari data-data informan di atas dapat kita lihat bahwa kaum gay
memiliki tempat untuk menceritakan setiap masalah yang berbeda-beda. Ada
beberapa gay yang menceritakan semua masalah kepada ibunya karena
mereka merasa dekat dengan ibu. Mereka bahkan menceritakan masalah kegay-annya kepada ibunya. Tetapi ada juga gay yang meskipun dekat dengan
ibu tetapi mereka tidak pernah menceritakan kalau dirinya seorang gay.
Mereka lebih memilih teman sebagai tempat bercerita keadaannya. Ada
beberapa gay yang setiap masalah diceritakan hanya dengan temantemannya. Bahkan ada juga yang hanya bercerita dengan teman yang benarbenar dia percaya.
B. Komunikasi dan Sosialisasi Kaum Gay di Sragen
Dalam pergaulan sehari-hari, kaum gay memiliki lingkungan
pergaulan sendiri, meskipun mereka berada di lingkungan heteroseks. Mereka
tidak bisa terlepas dari tempat di mana mereka berada. Semua responden
menyatakan bahwa dalam berkomunikasi dan bersosialisasi mereka tidak
berbeda dengan orang lain yang normal (heteroseks). Akan tetapi ada perilaku
dan tindakan yang tetap dijaga. Hal ini dilakukan agar masyarakat tetap
menghargai mereka.
Dalam melakukan komunikasi dan sosialisasi dengan lingkungan
masyarakat, terkadang kaum gay mengalami hambatan terutama saat
masyarakat baru pertama kali mengetahui dirinya gay. Kadang ada sebagian
lxxix
masyarakat yang mengucilkan dan menganggap aneh sebagian responden
yang menyandang sebagai kaum gay, namun kadang ada masyarakat yang
dengan senang hati menerima dan dapat berkomunikasi dengan baik. Berikut
adalah hasil wawancara dengan responden mengenai masalah komunikasi dan
sosialisasi dengan masyarakat.
1. Fafa
Ketika ditanya tentang komunikasi dan sosialisasi terhadap masyarakat,
Fafa menyatakan bahwa semua dilakukannya dengan normal-normal saja.
“Nggak perlu dibikin-bikin, ntar jadi aneh. Mungkin di lingkungan
tempat tinggal aku dan bekerja sudah banyak yang tahu kalau aku
gay, tapi aku berusaha sebisa mungkin supaya aku nggak melanggar
norma-norma masyarakat dan berbuat macam-macam. Malah aku
sering ikutan acara kumpul-kumpul sama warga sekitar, biar
mereka juga kenal aku dan aku kenal ama mereka. Jadi kalau sudah
saling kenal khan bisa saling menghormati. Aku mempunyai prinsip,
orang itu cuma ingin disegani dan dihormati serta diakui
keberadaanya, kalau udah begitu mereka juga akan bersikap
sebaliknya sama kita.”
Dalam bersosialisasi dan berkomunikasi, Fafa melakukan hal-hal yang
biasa saja. Meskipun di lingkungan tempat kerja dan bekerja sudah
banyak yang mengetahui kalau Fafa gay, dia berusaha sebisa mungkin
untuk tidak melanggar norma-norma masyarakat dan tidak berbuat
macam-macam. Dia tetap menjaga hal-hal dan norma-norma yang
berlaku di masyarakat. Fafa tidak pernah membawa pulang pasangannya
ke rumah. Meskipun orang rumah sudah mengetahui Fafa sebagai gay,
namun Fafa tetap menjaga perasaan mereka dan menjaga keluarganya
dari pandangan negatif para tetangga. Meskipun terkadang Fafa
lxxx
mengalami hambatan dalam berkomunikasi, Fafa tetap tenang dan sabar.
Fafa tidak pernah mencari masalah. Fafa menganggap itu sudah menjadi
resiko dalam hidupnya.
“Aku tidak pernah membayangkan konsekuensi terburuk saat
sebagian besar masyarakat mulai mengetahui kalau aku adalah gay,
tapi kalaupun suatu saat mereka mengetahui aku gay, aku rasa tidak
akan ada perubahan yang drastis dalam pergaulanku dengan
lingkungan. Paling-paling ada beberapa orang yang ngomong aku
di belakang, itu wajar aja sih. Aku nggak akan ambil pusing, yang
terpenting aku baik ke mereka dan nggak nyakitin mereka. Udah
selesai.”
Dalam hidupnya Fafa tidak pernah membayangkan konsekuensi terburuk
kalau masyarakat nanti mulai mengetahui dirinya adalah gay, tetapi
kalaupun mereka mengetahuinya, Fafa tidak akan mengalami perubahan
yang drastis dalam hidupnya. Dia tidak terlalu memikirkan hal itu, yang
penting dia baik dan tidak menyakiti atau mengganggu mereka.
2. Kunkun
Lain halnya dengan Fafa, Kunkun seorang gay yang tertutup. Dia
berusaha dan berharap supaya lingkungan sekitarnya tidak mengetahui
bahwa dia seorang gay. Kunkun memang tidak pernah menceritakan kegay-annya kepada sembarang orang termasuk pada keluarganya. Hanya
kepada orang atau teman terdekatnya saja Kunkun memliki keberanian
untuk menceritakan identitas dirinya.
Dalam bergaul dengan lingkungan dan masyarakat Kunkun mengaku
tidak pernah ada masalah, karena Kunkun bersikap seperti layaknya orang
normal. Kunkun memang jarang berkomunikasi dan bersosialisasi dengan
lxxxi
lingkungan atau masyarakat. Dia lebih sering bergaul dengan temantemannya sesama gay atau teman-teman dekat yang dipercaya.
“Bukannya saya mau membatasi pergaulan, tapi saya berusaha
banget supaya masyarakat jangan sampai ada yang tahu kalau saya
gay. Memang kesannya munafik tapi mau dibilang apa lagi. Saya
tidak bisa membayangkan kalau tiba-tiba banyak orang yang
mengetahui bahwa saya gay, aduh…mudah-mudahan itu tidak
terjadi deh, saya masih takut menerima kenyataan ini lho mas...”
Dalam pergaulan sehari-hari, Kunkun tidak membatasi pergaulannya,
tapi dia berusaha supaya masyarakat agar jangan sampai ada yang
mengetahui kalau dia merupakan seorang gay. Dia tidak ingin dan tidak
dapat membayangkan apa yang akan dilakukan kalau suatu saat nanti
banyak orang yang mengetahui tentang ke-gay-annya.
Kunkun seorang yang pendiam, dia tidak tahu apa yang dilakukannya
jika suatu saat masyarakat mengetahui identitasnya. Dia merasa takut
dikucilkan oleh teman-teman dan lingkungannya. Kunkun juga takut jika
keluarganya mengetahui dirinya gay, dia berharap agar teman-teman
yang mengetahui dia gay tidak pernah menceritakan keadaan Kunkun
kepada keluarganya.
3. Nono
Pemilik warung makan ini tidak pernah mempermasalahkan ke-gay-annya
dalam berkomunikasi dan bersosialisasi dengan lingkungan. Nono tidak
pernah menutupi dirinya gay tapi tak pernah juga terlalu membuka diri
dan memberitahukan kepada semua orang bahwa dirinya gay.
“Saya bergaul dan bersosialisasi dengan masyarakat yang biasa
saja. Yang penting saya bisa menempatkan diri pada tempatnya.
lxxxii
Kalau saya berada di lingkungan masyarakat biasa ya saya
berperan sebagai Nono yang anggota masyarakat, saya berusaha
mengikuti semua tata cara yang ada di masyarakat. Soalnya
menurut saya nggak ada dispensasi yang diciptakan terhadap
seseoarang karena mereka lain dari yang lain. Justru orang yang
berbeda itu yang harus menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
Tapi kalau saya sudah bersama dengan teman gay, ya saya bisa
menjadi diri saya lagi. Dalam hal ini barulah waktu yang tepat bagi
saya untuk bersama pasangan, mungkin bergaul dengan cara-cara
gay, bermesraan atau hal lain yang biasanya hanya kaum gay yang
mengerti.”
Nono melakukan komunikasi dan sosialisasi dalam masyarakat yang
biasa saja. Yang terpenting dia bisa menempatkan diri. Ketika Nono
berada di lingkungan masyarakat dia harus menjadi Nono yang sebagai
anggota masyarakat, kemudian ketika dia sudah berada di kalangan gay,
Nono akan menjadi diri pribadinya, di mana dia akan bergaul dengan
pasangan gay dan melakukan hal-hal yang biasanya mereka lakukan.
Karena menurutnya di masyarakat tidak ada dispensasi yang diberikan
untuk seseorang yang lain dari yang lain.
Lingkungan tempat Nono tinggal sudah banyak yang mengetahui
identitas dirinya yang gay, termasuk teman-teman Nono yang bekerja di
warung makannya. Nono termasuk gay yang terbuka. Dia melakukan
komunikasi dan sosialisasi di lingkungan masyarakat dan di antara
teman-teman seperti biasa saja. Nono kadang mengalami sedikit
gangguan ketika ada seseorang yang baru pertama kali mengetahui
dirinya gay. Kadang mereka memandang aneh pada dirinya bahkan
beberapa hari tidak berkomunikasi. Namun biasanya itu tidak
berlangsung lama. Setelah beberapa saat mereka akan mengerti keadaan
lxxxiii
Nono sebagai gay dan menerima Nono dalam pergaulan. Komunikasi
dan sosialisasi yang baik dengan teman-teman dan lingkungan
masyarakat maka keberadaan kaum gay secara perlahan akan diterima
kehadirannya dan akan lebih dihargai.
4. Tian
Komunikasi dan sosialisasi yang dilakukan Tian dalam bergaul dengan
masyarakat seperti layaknya orang-orang normal lainnya saja. Tidak ada
yang dibuat-buat. Tian yang status di Sragen tinggal sebagai anak kost
menutupi identitas ke-gay-annya kepada keluarganya. Teman-teman di
kost sudah banyak yang mengetahui dirinya gay, namun teman-temannya
bersikap seperti biasa saja, tidak ada hambatan atau masalah yang serius
antara Tian dan teman-teman kostnya dalam melakukan komunikasi.
Begitu juga dengan teman-teman kantor Tian tetap bisa berkomunikasi
dan bersosialisasi secara baik. Teman-teman kantor Tian tidak pernah
ambil pusing tentang keadaan Tian yang berbeda dengan keadaan mereka.
“Teman-teman kost dan kantorku tetap menganggap aku sama
seperti orang normal lainnya. Mereka benar-benar menghargai dan
menghormati keadaanku. Aku sadar kalau aku merasa berbeda
dengan mereka, namun itu tidak menjadi hambatan bagi kami untuk
bergaul, ngobrol atau bermain bersama. Mereka juga baik hati dan
mau ngertiin aku lho. Aku khan di sini kost dan keluargaku tidak
tahu kalau aku gay, teman-temanku tuh nggak pernah ngomong
macam-macam ke keluargaku tentang tingkah lakuku di sini. Sebisa
mungkin aku merahasiakan kepada keluargaku tentang ke-gay-anku.
Aku cuma nggak mau keluargaku teruatama ibu kecewa mendengar
anaknya seorang yang menyimpang, khan kasihan ibu mas….”
lxxxiv
Selama Tian hidup sebagai anak kost, Tian tidak pernah membawa
sembarang teman-teman prianya ke tempat kostnya. Supaya orang yang
belum mengetahui keadaan dirinya tidak merasa resah.
5. Awan
Sama halnya dengan Kunkun, Awan adalah seorang gay yang tertutup.
Lingkungan tempat dia tinggal tidak mengetahui bahwa dia gay, termasuk
keluarganya. Dia hanya terbuka pada orang-orang tertentu saja. Karena
lingkungan Awan menganggap bahwa Awan adalah normal dan sama
seperti yang lainnya, maka Awan melakukan komunikasi dan sosialisasi
sewajarnya seperti orang-orang lainnya. Namun apabila suatu saat ada
yang mengetahui dirinya gay, itu tidak menjadi masalah baginya.
Awan mengaku dia harus bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan
sekitar agar orang-orang di lingkungannya tidak mengetahui Awan
seorang gay. Dia juga berusaha untuk menghindari hal-hal yang
bersinggungan dengan gay. Dan Awan juga tetap berusaha menjadi orang
yang normal di masyarakat.
“Saya harus bisa menyesuaikan diri dengan keadaan sekitar, nggak
boleh dong saya terus mengeksklusifkan diri. Saya tetap berusaha
menjaga perasaan orang-orang di lingkungan saya yang tidak tahu
kalau saya gay, sebisa mungkin hal-hal yang bersinggungan dengan
dunia gay di masyarakat saya hindari, saya harus tetap menjadi
orang yang normal di suatu masyarakat.”
Awan tidak bisa membayangkan jika pada suatu saat banyak orang
mengetahui ke-gay-annya. Awan takut kehilangan teman-teman dan
orang-orang yang disayangnya sehingga dia sebisa mungkin bertingkah
lxxxv
laku seperti orang normal. Bahkan pernah terlintas dalam pikiran Awan
jika suatu saat lingkungannya mulai banyak yang mengetahui
identitasnya, Awan memilih untuk pindah rumah atau mencari tempat
lain.
6. Erik
Erik termasuk gay yang tertutup. Dia tidak mau kedua orang tuanya tahu
bahwa dia gay. Dalam bersosialisasi dengan masyarakat Erik bergaul
seperti biasanya. Dia mengaku semuanya tidak ada yang dibuat-buat.
Sebagai seorang desainer Erik banyak bertemu dan berkomunikasi dengan
orang-orang terutama pelanggannya. Mereka tidak banyak yang tahu
kalau Erik adalah gay, kalaupun ada sebagian yang mengetahui, Erik
bersikap biasa saja.
Erik memiliki perasaan takut dikucilkan oleh orang lain dan
lingkungannya. Erik juga merasa takut kehilangan teman-temannya.
Untuk itu sebisa mungkin dia bertingkah laku kayaknya orang normal.
“Untuk menghilangkan jejak bahwa saya gay, saya kadang
membawa teman-teman wanita ke rumah, ya sekedar untuk main
dan ngobrol aja. Itupun nggak cuma satu orang, saya kadang
membawa dua atau tiga orang wanita ke rumah. Supaya orang tua
saya tidak curiga kalau saya gay. Saya kasihan sama orang tua saya
kalau sampai mereka tahu bahwa anak satu-satunya adalah seorang
gay. Apa yang akan terjadi coba mas, saya benar-benar tidak bisa
membayangkannya.”
Dalam keseharian Erik sering mengajak teman-teman wanitanya untuk
main ke rumahnya. Hal ini agar orang tua Erik tidak curiga kalau dia gay.
Biasanya mereka sekedar main dan ngobrol-ngobrol. Erik merasa kasihan
lxxxvi
pada orang tuanya kalau sampai mereka mengetahui bahwa anak satusatunya adalah seorang gay.
7. Budi
Budi termasuk gay yang begitu tertutup. Dalam kesehariannya Budi
berusaha untuk menjadi seorang yang normal. Karena dia tidak ingin
diketahui ke-gay-annya, termasuk keluarganya. Dilihat dari aktivitas dan
tingkah laku Budi sehari-hari, dia tidak nampak kalau dia seorang gay.
Dalam melakukan komunikasi dan sosialisasi dalam masyarakat Budi
melakukannya dengan biasa saja. Budi juga aktif dalam kegiatan
masyarakat.
"Saya sangat tertutup mas, sampai saat ini keluargaku belum ada
yang tahu, dan aku berharap agar mereka tidak sampai
mengetahuinya. Aku juga nggak mau kehilangan teman-teman mas.
teman saya sudah ada yang mengetahui kalau aku gay, dan dia itu
normal, sebab hanya dia yang aku percaya untuk menjaga aibku.
Teman-teman gay juga hanya beberapa yang aku kenal, karena aku
benar-benar takut kalau dengan banyaknya orang yang tahu, bisabisa masalahku ini sampai ke keluargaku, aku nggak mau mas."
Keluarga dan teman-teman sangat memiliki arti yang penting dalam
kehidupan Budi. Dia tidak ingin kehilangan mereka. Oleh karena itu Budi
sangat menjaga ke-gay-annya agar tidak diketahui oleh mereka. Ke-gay-an
Budi hanya diketahui oleh teman dekat dan beberapa teman gay saja,
karena Budi takut untuk berkenalan dengan banyak orang gay.
Dari beberapa data di atas bisa dikatakan bahwa hampir semua gay
di Sragen mempunyai komunikasi dan sosialisasi yang sama dalam
pergaulan di masyarakat. Mereka harus dapat menyesuaikan diri dan
lxxxvii
menempatkan diri dengan baik di lingkungan mereka. Mereka juga harus
menjalankan norma-norma yang berlaku dan tidak melanggar aturan-aturan
yang ada di masyarakat.
C. Pengungkapan Diri Kaum Gay di Sragen
Pengungkapan diri memang merupakan hal yang sulit. Terlebih lagi
menyangkut masalah yang sangat pribadi. Berbagai hal perlu banyak
dipertimbangkan sebelum kaum heteroseks melakukan pengungkapan diri.
Latar belakang kehidupan mereka yang berbeda dengan orang-orang lainnya
membuat sebagian responden enggan untuk melakukan pengungkapan
identitiasnya. Reaksi-reaksi yang timbul setelah seseorang mengungkapkan
diri memang tidak dapat dihindari, bisa jadi akan terjadi reaksi yang negatif
yang tidak dapat menerima keterbukaan diri yang dilakukan oleh seseorang.
Keterbukaan dan ketertutupan diri merupakan dampak dari
kesadaran akan perbedaan yang dimiliki oleh setiap responden. Gay yang
terbuka akan melakukan pengungkapan diri secara langsung kepada orangorang yang dikenal dan dipercaya (keluarga, sahabat dan bahkan lingkungan).
Sementara gay yang tertutup akan melakukan pengungkapan diri hanya
dengan orang-orang yang mereka percaya seperti sahabat dekat dan juga
pacarnya (laki-laki), dalam jumlah yang besar. Tetapi lain halnya dengan gay
yang sangat tertutup. Gay yang sangat tertutup hanya akan melakukan
pengungkapan diri dengan orang yang benar-benar dipercaya (biasanya hanya
seorang sahabat), karena gay yang sangat tertutup ini tidak mau orang lain
mengetahui sifat ke-gay-annya dalam jumlah yang banyak, jadi gay yang
lxxxviii
sangat tertutup sangat menjaga privasi. Hal-hal seperti itu dialami pula oleh
responden sebagai berikut :
1. Fafa
Dalam hal pengungkapan diri yang dilakukan oleh Fafa,
pertama-tama Fafa menyatakan ke-gay-annya kepada keluarganya dengan
cara bicara langsung dengan mereka. Fafa menganggap bahwa keluarga
adalah orang yang paling dekat dengannya. Pada awalnya ibu dan adikadiknya merasa kaget. Bahkan ibunya sempat sakit satu bulan dan dia
didiamkan oleh adik-adiknya. Fafa berusaha memberikan pengertian
kepada keluarganya bahwa dia memang tidak menyukai wanita. Fafa
membuktikan dirinya bukanlah orang yang harus dikucilkan. Fafa mulai
rajin bekerja dan terus bekerja untuk memenuhi kebutuhan ibu dan adikadiknya.
Fafa merasa lega setelah melakukan pengungkapan diri kepada
keluarganya bahwa dia adalah gay. Fafa merasa keluarganya mulai bisa
mengerti dan memahaminya, bahkan bisa membantu memberikan
semangat kepada Fafa berkaitan dengan keadaannya. Fafa kini juga
memiliki tempat untuk pulang dan mengadu semua masalah yang
dihadapinya.
Pada awalnya Fafa merasa takut untuk mengungkapkan ke-gayannya kepada keluarga. Ia takut nanti kehadirannya tidak diharapkan lagi
dalam keluarga. Yang mendasari pemikiran Fafa untuk melakukan
lxxxix
pengungkapan diri adalah perasaan tidak tenang jika nanti suatu saat
orang tuanya akan mendesak dia untuk menikah. Karena daripada mereka
nanti bingung dengan sikapku kenapa aku tidak memikirkan untuk
menikah, Fafa lebih memilih untuk memberitahu keadaannya yang
sebenarnya. Fafa juga sudah merasa cukup mapan untuk ngomong ke
keluarga. Kalaupun setelah aku mengungkapkan yang sebenarnya mereka
tidak lagi mau mengenalku karena malu, dia sudah bisa berdiri sendiri.
Tetapi kenyataan berbeda, mereka bisa menerima keadaan Fafa yang
sebenarnya.
“Suatu saat nanti orang tuaku akan mendesak aku untuk menikah
dan berkeluarga seperti layaknya heteroseks yang lainnya.
Daripada nanti mereka bingung kenapa aku nggak menikahmenikah juga, mending aku omongin saja langsung keadaanku yang
sebenarnya. Di samping itu aku sudah cukup mapan untuk ngomong
ke keluargaku, kalaupun nantinya setelah aku ngomong mereka
nggak mau lagi kenal aku, mungkin karena malu, aku sudah bisa
berdiri sendiri. Tapi ternyata mereka bisa menerima aku apa
adanya, ya syukurlah mas.”
2. Kunkun
Pertama kali Kunkun mengungkapkan dirinya gay adalah
kepada kedua orang teman kantornya. Kunkun bicara langsung kepada
kedua temannya itu yang sudah dianggapnya seperti kakak sendiri. Saat
pertama kali Kunkun mengungkapkan dirinya gay kedua teman kantornya
itu merasa terkejut, mereka tidak menyangka kalau Kunkun ternyata
seorang gay. Secara fisik Kunkun memang tidak terlihat seperti gay, dia
benar-benar laki-laki sekali.
xc
Setelah pengungkapan yang Kunkun lakukan, kedua temannya
itu tidak berubah. Mereka bahkan lebih perhatian dan makin dekat dengan
Kunkun. Selain itu Kunkun merasa lebih terbuka kepada kedua temannya
tersebut.
“Saya merasa lebih terbuka dan menceritakan apa aja ke mereka
tanpa khawatir mereka akan menjauhi saya. Saya merasa ada orang
yang bisa menerima saya apa adanya. Tapi dulu sebelum saya
ngomong sama siapa-siapa, saya sedikit agak tertekan, soalnya
nggak ada yang bisa diajak tukar pikiran, terutama bila saya ada
masalah dengan “pacar” saya.”
Hingga saat ini Kunkun hanya mengungkapkan ke-gay-annya
tersebut kepada kedua temannya. Dia tidak ingin keluarganya tahu dan
menjadi malu karenanya. Karena Kunkun tidak mau berterus terang pada
keluarganya, maka Kunkun ditunangkan dengan anak teman ayahnya,
konsekuensi yang harus Kunkun hadapi adalah menikah. Dia menyatakan
bahwa dengan menikahi tunangannya berarti dia telah berbakti kepada
orang tuanya. Kunkun bahkan berjanji akan membahagiakan istrinya.
Kehidupan gay yang dialami Kunkun memang unik, Kunkun adalah
seorang gay yang menyukai sesama jenis pria, namun ia memutuskan
untuk menikah dengan seorang wanita demi membahagiakan orang
tuanya. Kunkun mengakui mengalami pertentangan batin, namun Kunkun
mempunyai keyakinan kuat bahwa dirinya bisa melewati ini semua.
3. Nono
Nono tidak pernah sembarangan mengungkapkan dirinya gay
kepada orang-orang yang belum tentu terlalu dikenalnya. Nono lebih
xci
memilih biar orang-orang yang mengetahui dengan sendirinya tentang
keadaannya. Pertama kali Nono mengungkapkan dirinya gay adalah
kepada temannya sesama gay, dia lebih percaya kepada teman-teman gaynya.
Setelah Nono melakukan pengungkapan diri, Nono baru benarbenar merasa yakin kalau dia seorang gay, dia juga merasa lega karena
ternyata Nono masih punya banyak teman yang nasibnya sama seperti dia.
Nono justru mendapat teman-teman baru sesama gay. Nono juga
mendapat banyak masukan dari gay-gay seniornya. Nono tidak lagi
merasa beban tentang ke-gay-annya.
”Aku lega mas setelah aku mengaku kalau aku adalah gay. Dan
yang lebih membuat aku lega karena banyak orang-orang yang
nasibnya sama dengan aku. Malah sekarang aku mempunyai banyak
teman dan dari teman-teman gay yang sudah lama (senior) mereka
sering memberiku masukan-masukan agar aku bisa lebih percaya
diri lagi.”
Kini Nono lebih bebas dan merasa enak dalam bergaul. Nono
hanya
ingin
memperoleh
kebebasan
dalam
menjalankan
segala
aktifitasnya termasuk saat dia melakukan banyak kegiatan yang berkaitan
dengan komunitas gay-nya.
4. Tian
Tian tidak jauh beda dengan Nono, dia tidak sembarangan
memberitahukan tentang identitasnya ke semua orang. Tian benar-benar
mencari orang yang sudah dipercayanya, sebagian orang yang mengetahui
dirinya gay adalah karena melihat tingkah laku Tian dalam kesehariannya.
Tian memang cenderung feminim, gaya dan tingkah lakunya begitu
xcii
lembut sehingga orang mempunyai kesimpulan masing-masing tentang
identitas Tian.
”Aku sudah merasa kalau banyak orang yang tahu aku gay, karena
aku orangnya feminim. Tetapi aku masih merasa takut untuk
mengungkapkan diri kepada teman-teman gay. Meskipun banyak
teman-teman yang sudah mengetahui kalau aku gay, aku masih
kepikiran kalau aku mengaku nantinya. Dan setelah aku mengaku
ternyata teman-teman malah merasa senang karena aku sudah
berani untuk melakukan itu.”
Pertama kali Tian mengungkapkan identitasnya adalah kepada
sahabatnya yang juga seorang gay. Temannya itu sudah tidak kaget ketika
mendengar pengakuan Tian, karena teman Tian itu sudah mengetahui
sebelumnya gelagat Tian dalam keseharian. Tian merasa lega setelah
menceritakan keberadaannya kepada teman gaynya, baginya itu telah
membantu
meringankan
beban
yang
ditanggung
olehnya
untuk
melakukan pengungkapan diri tentang ke-gay-annya yang dimiliki Tian
memang tidak mudah. Tian memerlukan pemikiran keras sebelum
melakukannya.
5. Awan
Sebelumnya Awan tidak pernah melakukan mengungkapkan diri
pada heteroseks atau masyarakat tentang ke-gay-annya. Pertama kali
wawan melakukan pengungkapan diri kepada sahabatnya. Awalnya
sahabat Awan sangat terkejut dengan pengakuan Awan, tetapi akhirnya
sahabat Awan mau menerima keadaannya bahkan dia juga memberi
semangat kepada Awan.
xciii
Setelah pengungkapan diri yang dilakukan, Awan merasa lebih
lega karena beban yang selama ini bisa diterima oleh sahabatnya. Awan
merupakan gay yang tergolong tertutup sehingga ketika nanti ke-gayannya sampai ketahuan oleh masyarakat luas, Awan takut dikucilkan yang
akhirnya Awan akan kehilangan teman-teman dan orang yang
disayanginya.
”Awalnya saya takut mas untuk ngaku kalau aku seorang gay,
apalagi aku orangnya tertutup. Tetapi setelah aku ngaku sama
sahabatku, dia akhirnya memberi semangat meskipun dia sempet
kaget. Dan setelah pengungkapan itu aku lebih bebas untuk
melakukan hal-hal yang aku suka karena aku sudah tidak takut lagi
sama sahabatku. Tetapi aku masih takut kalau nanti masyarakat
mengetahui ke-gay-anku, aku takut dikucilkan mas.”
6. Erik
Tak lain dengan Awan, Erik termasuk gay yang tertutup. Tidak
banyak yang mengetahui Erik adalah seorang gay. Ketika Erik mengaku
kalau dia gay, Erik mengungkapkan hal itu kepada teman yang samasama desainer. Erik tidak akan memberitahu keluarga, karena selain anak
tunggal Erik tidak ingin membuat orang tuanya kecewa.
Pekerjaan Erik yang menjadi desainer membuat Erik memiliki
banyak teman gay. Dalam beberapa kali kenalan dengan teman gay, Erik
bisa mendapatkan “pacar”. Pacar Erik merasa senang dan mau menerima
Erik dengan senang hati. Erik juga merasa senang setelah melakukan
pengungkapan diri dan mempunyai “pacar” karena dia merasa ada tempat
dan ruang yang mau menerima dirinya apa adanya dan merasa memiliki
teman baru yang bisa memahaminya.
xciv
Erik
belum
pernah
membayangkan
akan
melakukan
pengungkapan diri kepada keluarga dan masyarakat.
“Jujur saja aku belum pernah memikirkan kearah sana. Umurku
saja masih sangat muda. Tapi kalau suatu saat nanti akan terjadi
hal seperti itu, aku akan berusaha mencari jalan keluarnya. Untuk
saat ini biar saja mengalir apa adanya”.
7. Budi
Pengungkapan diri yang dilakukan oleh Budi bisa dikatakan harus
memiliki keberanian yang tinggi. Budi yang orangnya tertutup
mengungkapkan dirinya seorang gay hanya kepada satu teman dekatnya.
Dia membutuhkan waktu yang lama untuk melakukan hal itu. Ketika Budi
akan mengungkapkan kepada sahabatnya, dia sangat takut akan resiko
yang akan diterimanya. Keinginan Budi untuk mengungkapkan dirinya
sudah sejak 4 tahun yang lalu, tetapi dia masih belum berani untuk terus
terang pada sahabatnya. Dan baru beberapa bulan kemarin Budi
mengungkapkan diri kepada sahabatnya. Pada awalnya sahabat Budi
begitu kaget, tetapi setelah beberapa saat akhirnya Budi bisa diterima oleh
sahabatnya. Dan Budi tidak akan melakukan pengungkapan diri lagi
termasuk keluarga.
"Aku sebenere udah pingin jujur sama sahabatku dari 4 tahun yg
lalu mas, tapi aku sangat takut. dan baru bulan-bulan kemarin aku
jujur. Dia sangat kaget mas waktu aku terus terang. Saat itu juga
aku takut, pikiranku uda macem-macem. takut nanti dia menjauh,
takut nanti dia bilang sama teman-teman yang lain, pokoknya bener2
bingung mas waktu itu. Tapi pikiran2ku itu akhirnya hilang ketika
sahabatku sudah mau nrima keadaanku. Hanya dia mas yang tahu
kalau aku gay, dan aku nggak mau keluargaku nanti tahu hal itu."
xcv
xcvi
BAB IV
ANALISIS TERHADAP KAUM GAY DI SRAGEN
A.
Identitas Diri kaum Gay
Tidak ada satu orangpun yang menginginkan hidup yang tidak
normal. Namun kejadian yang dialami oleh kaum gay merupakan suatu hal
yang bagaimanapun harus diterima oleh individu seorang gay. Pada awalnya
seorang gay tidak pernah menyadari kalau dirinya akan menjadi seorang
gay. Faktor lingkungan dan pembawaan sejak lahir juga melatarbelakangi
munculnya penyimpangan perilaku ini. Pergaulan yang mereka alami sejak
kecil yaitu terbiasa bergaul dan bermain dengan wanita, membentuk pribadi
mereka menjadi seorang yang terbiasa hidup dengan keadaan yang biasa
mereka kenal. Kebiasaan ini akhirnya terbawa dalam kehidupan sehari-hari
sampai beranjak dewasa. Saat masa pubertas yaitu saat seorang individu
mulai mencari jati dirinya, mereka akan memutuskan identitas dirinya sesuai
dengan perasaan dan hati nurani yang dirasakan.
Kebanyakan dari pria yang sejak kecil terbiasa hidup dengan latar
balakang pergaulan bersama wanita akan memutuskan identitas dirinya
sebagai seorang gay yang tidak menyukai wanita. Mereka justru lebih
tertarik menjadi seorang wanita yang menyukai pria tanpa menghiraukan
bahwa dirinya adalah seorang pria yang seharusnya dapat berperilaku
selayaknya pria normal pada umumnya. Hal ini pada awalnya tidak mereka
xcvii
sadari karena telah terdapat bibit-bibit homoseksualitas dalam dirinya yang
terlihat jauh sebelum masa remaja.
·
Identitas Subyektif dan Identitas Obyektif
Dalam identitas ada dua sifat yang membedakan kaum gay dalam
melakukan pengungkapan diri tentang ke-gay-an yang dimilikinya. Sifat
identitas tersebut adalah sifat identitas yang subyektif dan sifat identitas
obyektif.
ü
Identitas Subyektif
Identitas diri yang subyektif merupakan identitas diri yang
pengungkapan dirinya secara langsung oleh individu. Hal ini seperti
diungkapkan oleh salah satu responden dalam penelitian ini yang
termasuk identitas
subyektif,
Fafa ketika
ditanya masalah
bagaimana pengungkapan diri yang menyatakan bahwa dia adalah
gay, Fafa mengatakan “Bicara langsung dengan keluarga”. Hal ini
dilakukan oleh Fafa dengan alasan apabila suatu saat nanti disuruh
untuk menikah.
“…Suatu saat nanti orang tuaku akan mendesak aku untuk
menikah dan berkeluarga seperti layaknya heteroseks yang
lainnya. Daripada nanti mereka bingung kenapa aku nggak
menikah-menikah juga, mending aku omongin saja langsung
keadaanku yang sebenarnya. Di samping itu aku sudah cukup
mapan untuk ngomong ke keluargaku, kalaupun nantinya aku
ngomong mereka nggak mau lagi kenal aku, mungkin karena
malu, aku sudah bisa berdiri sendiri. Tapi ternyata mereka bisa
menerima aku apa adanya, ya syukurlah mas…”
xcviii
ü
Identitas Obyektif
Sedangkan identitas diri yang obyektif merupakan identitas
yang diterima oleh seseorang dari pandangan orang lain
(masyarakat). Identitas obyektif biasanya dirasakan oleh kaum gay
yang tertutup karena mereka tidak ingin dikucilkan apabila mereka
sudah melakukan keterbukaan tentang keadaan yang mereka alami.
Hal ini dialami oleh responden Tian.
“…..Aku sudah merasa kalau banyak orang yang tahu aku gay,
karena aku orangnya feminim. Tetapi aku masih merasa takut
untuk mengungkapkan diri kepada teman-teman gay. Meskipun
banyak teman-teman yang sudah mengetahui kalau aku gay,
aku masih kepikiran kalau aku mengaku nantinya. Dan setelah
aku mengaku ternyata teman-teman malah merasa senang
karena aku sudah berani untuk melakukan itu….”
B.
Cara Mengkomunikasikan Identitas Diri pada Masyarakat
Seorang gay dalam bersosialisasi dengan lingkungannya akan
dihadapkan dengan berbagai dilema yang menempatkan mereka dalam
keadaan yang serba salah. Hal ini terutama sekali dirasakan oleh kaum gay
yang masih menutup dirinya terhadap lingkungan. Di satu pihak mereka
harus tetap bertopeng sebagai seorang hetero, di lain pihak mereka juga
memiliki kebutuhan untuk pemenuhan akan orientasi seksual mereka
sebagai gay.
Akan tetapi bagi gay yang sudah mengungkapkan diri pada
lingkungan, untuk melakukan pergaulan bukanlah suatu hal yang berat dan
membebani. Yang dibutuhkan hanyalah kemampuan untuk menempatkan
diri pada tempatnya. Jika berada di tengah masyarakat biasa, mereka akan
xcix
bertindak normal, karena bagaimanapun tidak ada dispensasi yang
diciptakan terhadap seseorang karena mereka lain dari yang lain. Justru
orang yang memiliki perbedaan itulah yang harus bisa menyesuaikan diri
dengan lingkungannya.
Berkomunikasi dan bersosialisasi dengan masyarakat adalah syarat
yang harus dilakukan oleh seseorang jika dia tidak ingin dikucilkan dari
lingkungannya. Kaum gay yang merupakan kaum minoritas, sangatlah
dituntut kecakapannya dalam bergaul di masyarakat. Mereka harus pandaipandai menempatkan diri di tengah lingkungan masyarakat normal. Dari
data responden yang telah disajikan dapat dikatakan bahwa masing-masing
responden tidak mengalami masalah dalam melakukan komunikasi dan
sosialisasi dengan lingkungan. Cara berkomunikasi dan bersosialisasi yang
dilakukan ada yang secara langsung dan ada yang secara tidak langsung
terhadap keluarga maupun masyarakat luas.
1. Langsung
a. Keluarga
Cara mengungkapkan diri secara langsung kepada keluarga
yang dilakukan oleh responden dalam penelitian ini terlihat hanya
beberapa orang saja. Karena pengakuan terhadap keluarga
membutuhkan keberanian yang lebih dan dia juga harus bersedia
untuk menerima respon dari keluarga tersebut. Hal ini seperti
diungkapkan
oleh
responden
c
Fafa
ketika
ditanya
tentang
pengungkapan diri yang dilakukan. Fafa bercerita langsung kepada
ibunya tentang identitas yang dimilikinya tanpa basa-basi.
“....Dekat dengan ibu, dan semua masalah selalu diceritakan
dengan ibu termasuk masalah kalau aku gay....”
b. Masyarakat
Dari hasil wawancara yang sudah disajikan di atas dapat kita
lihat bahwa hampir semua responden tidak ada yang berani
melakukan pengungkapan diri terhadap masyarakat luas secara
langsung. Hal ini tidak dilakukan karena mereka takut akan
dikucilkan atau diusir oleh masyarakat luas tempat mereka tinggal.
2. Tidak Langsung
a. Keluarga
Berbeda dengan gay yang melakukan pengakuan secara
langsung dengan keluarga. Untuk gay yang memiliki sifat tertutup
biasanya tidak akan melakukan pengungkapan diri secara langsung
baik kepada keluarga maupun masyarakat. Tetapi malah keluarga
atau masyarakat yang menilai individu tersebut melalui tingkah laku
sehari-hari. Untuk responden yang tidak mengatakan langsung
tentang ke-gay-an yang dimiliki bisa dilihat dari penuturan
responden Nono.
“....Belum tahu mas, tetapi mereka sepertinya mengetahui
kelainan yang aku miliki karena tingkah laku saya sehari-hari
mas....”
ci
b. Masyarakat
Selain dari keluarga yang menilai tentang identitas yang
dimiliki oleh seorang gay, masyarakat juga akan melakukan hal
demikian juga. Mereka akan menganggap seseorang individu
termasuk gay hanya dengan melihat tingkah laku sehari-hari tanpa
adanya pengungkapan yang dilakukan individu tersebut. Hal ini
seperti yang dialami oleh Tian, yang merupakan responden yang
memiliki sifat feminim, sehingga banyak masyarakat luas yang
menyimpulkan tentang identitas Tian.
”....Aku sudah merasa kalau banyak orang yang tahu aku gay,
karena aku orangnya feminim. Tetapi aku masih merasa takut
untuk mengungkapkan diri kepada teman-teman gay. Meskipun
banyak teman-teman yang sudah mengetahui kalau aku gay,
aku masih kepikiran kalau aku mengaku nantinya. Dan setelah
aku mengaku ternyata teman-teman malah merasa senang
karena aku sudah berani untuk melakukan itu....”
Hambatan-hambatan kecil dalam berkomunikasi wajar terjadi,
terlebih status gay yang mereka anut. Tidak semua masyarakat heterogen
dapat menerima kehadiran seorang gay di lingkungannya. Ada sebagian
yang masih menganggap bahwa kaum gay adalah kelompok orang yang
membawa virus bagi lingkungannya, terutama virus HIV. Sebagian
masyarakat menganggap bahwa hubungan yang tidak normal dan terlarang
selalu berdampak tidak baik bagi individu yang menjalankannya, sehingga
ada sebagian masyarakat yang tidak mau bergaul dengan kaum gay.
Tekanan secara batin yang dialami kaum gay sudah menjadi resiko yang
harus mereka tanggung. Bergaul secara wajar dan normal serta bertopeng
cii
layaknya seperti kaum heteroseks adalah satu-satunya cara yang dapat
dilakukan agar mereka bisa berkomunikasi dan bergaul secara aman dan
normal di lingkungan.
Kehadiran kaum gay di Sragen memang masih jarang dijumpai. Lain
halnya dengan kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya. Kehadiran
kaum gay di kota besar bukanlah hal yang aneh, sehingga masyarakatnya
cenderung menganggap hal yang biasa saja. Sragen merupakan lingkungan
yang adat istiadat masyarakatnya masih menjunjung tinggi budaya timur,
sehingga hal-hal asing yang masuk sebagai budaya baru masih dianggap
aneh. Kehadiran kaum gay merupakan hal baru yang mereka terima.
Masyarakat Sragen menganggap bahwa hubungan sesama jenis merupakan
budaya yang bertentangan dengan budaya yang dianut oleh sebagian besar
masyarakat Sragen, sehingga tidak heran sebagian masyarakat Sragen tidak
mau menerima kehadiran kaum gay di lingkungannya.
Suatu tindakan penting dalam kehidupan seseorang adalah membuka
diri. Manusia hidup dalam satu lingkungan yang terdiri dari individuindividu yang memiliki sifat dan latar belakang kehidupan yang bervariasi.
Manusia sebagai makhluk sosial perlu melakukan pembauran atau sosialisasi
dengan sesama di lingkungan setempat. Agar dapat melakukan komunikasi
dan sosialisasi diperlukan pembauran termasuk melakukan pengungkapan
diri. Namun terkadang tidak semua orang bisa melakukan pengungkapan diri
secara transparan kepada orang lain, setiap manusia memiliki suatu rahasia
dan kepentingan masing-masing yang tidak semuanya harus diketahui orang
ciii
lain. Pengungkapan diri yang dilakukan hanya sekedar pengungkapan
identitas kepada orang lain supaya tumbuh rasa saling menghargai dan
dihargai orang lain.
Melakukan pengungkapan diri kepada orang lain memang bukan
perbuatan atau hal yang mudah, terutama bagi kaum minoritas seperti kaum
gay. Kehadiran kaum gay memang masih belum dapat diterima 100% oleh
masyarakat terutama untuk wiayah Sragen. Sragen hanya bagian kota kecil
yang komunitas gay-nya masih sangat sedikit dibandingkan dengan kotakota besar seperti Jakarta dan Surabaya.
Menurut Stephen W. Littlejohn dalam buku “Theories of Human
Communication” terdapat empat tahapan dalam melakukan pengungkapan
diri yang harus dilakukan seseorang dalam hal keterbukaan terhadap
masyarakat, yaitu: 48
Tahap pertama, orang akan melakukan orientasi terlebih dahulu.
Orientasi terdiri dari komunikasi interpersonal, di mana satu orang
mengungkapkan hanya informasi yang sangat publik sifatnya dari dirinya.
Hal ini terjadi pada saat perkenalan pertama kali dengan individu lain, atau
pada saat hubungan baru dimulai. Begitu pula halnya dengan kaum gay,
pada tahap ini mereka belum akan memberitahukan dan menyatakan ke-gayannya kepada orang lain. Tahap ini merupakan tahap perkenalan bagi
mereka dan mempelajari karakteristik lawan bicaranya. Jika tahap ini
48
http://www.google.com/books?hl=id&YR6ZENi7NecC&oi=fnd&pg=PA1&dg=theories+of+hu
man+communication&ots=5erb_4WezR&sig=x0ssCUF-WAyffaNLe7WyZ7F8EI#v=twopage&q=&f=false
civ
menguntungkan bagi para partisipan, mereka akan bergerak untuk memasuki
tahap berikutnya.
Tahap kedua, pertukaran afektif eksploratif, di mana ekspansi awal
dari informasi dan perpindahan ke tingkat pengungkapan yang lebih dalam
terjadi. Biasanya kaum gay dalam tahap ini sudah mulai tertarik dengan
lawan bicaranya. Mereka mulai berani memberikan sinyal-sinyal kepada
lawan bicaranya bahwa mereka adalah seorang gay yang menyukai sesama
jenis. Biasanya kaum gay lebih leluasa memberikan sinyal-sinyal (berupa
gaya bicara, tindak tanduk) justru kepada lawan jenisnya. Hal ini disebabkan
karena mereka merasa lebih aman melakukan hal tersebut kepada lawan
jenis, akan tetapi sebaliknya jika melakukan kepada sesama jenis mereka
akan sangat berhati-hati. Karena adanya kekhawatiran akan dijauhi setelah
diketahui keadaan mereka yang sebenarnya. Biasanya masih bersifat
implisit.
Tahap ketiga, pertukaran afektif di mana dalam tahap ini
memusatkan pada perasaan-perasaan evaluatif dan krisis pada tingkat yang
lebih dalam. Tahap ini tidak akan dimasuki kecuali pandangan tersebut
melihat keuntungan yang substansial relatif terhadap kerugian pada tahaptahap awal. Biasanya kaum gay dalam tahap ini tidak akan memberikan
sinyal-sinyal saja, akan tetapi sudah berani secara eksplisit menyatakan
bahwa dirinya adalah seorang gay. Hal ini sering dilakukan jika lawan bicara
sudah mereka percayai, dan bila mereka menyukai lawan bicaranya serta
mengharapkan hubungan yang lebih mendalam.
cv
Tahap terakhir adalah tahap pertukaran yang stabil, sifatnya sudah
sangat intim dan memungkinkan pasangan tersebut untuk memprediksikan
tindakan-tindakan dan respon-respon mereka dengan baik. Tahap ini
dilaksanakan bila sudah tdak ada lagi batas di antara mereka. Hampir tidak
ada informasi yang ditutup-tutupi oleh kaum gay terhadap lawan bicaranya.
Dan biasanya ini dilakukan kepada pasangan (kekasih), keluarga dan sahabat
yang sudah sangat dekat.
Dari hasil wawancara dengan beberapa kaum gay yang berdomisili
di Sragen, dapat dikatakan bahwa tidak semua kaum gay memiliki sifat
keterbukaan yang sama dalam melakukan pengungkapan diri, sebagian dari
mereka justru termasuk pada gay tertutup, karena mereka tidak
mengungkapkan identitas secara langsung kepada kaum heteroseksual.
Mereka justru mengungkapkan diri pada komunitas gay atau lingkungan
mereka sendiri. Gay tertutup cenderung memiliki anggapan, biarlah kaum
heteroseks yang memberi penilaian dan tanggapannya secara langsung
tentang kaum gay. Sifat tertutup ini mereka lakukan untuk menjaga nama
baik keluarga dan mempertimbangkan kedudukan mereka di tengah
masyarakat
dengan
adanya
kekhawatiran
akan
dikucilkan
dari
lingkungannya. Untuk itu mereka lebih memilih untuk mengungkapkan
identitas sebenarnya kepada sesama kaum gay dan mereka akan bersikap
layaknya heteroseks dalam kehidupan sehari-hari.
Resiko dari menutup diri yang dilakukan oleh kaum gay sangatlah
besar. Hal ini dikarenakan keluarga dan lingkungan sekitar belum
cvi
mengetahui orientasi seksual yang mereka miliki, maka yang ditakutan
adalah akan muncul beberapa resiko yang harus diterima oleh kaum gay,
salah satunya tuntutan harus menikah seperti heteroseks dan memiliki
keluarga. Di mana hal ini dapat menyebabkan suatu tekanan di dalam diri
seorang gay, karena harus mengingkari ke-gay-annya.
·
Sifat Dasar Informan
Setiap manusia memiliki sifat yang berbeda-beda. Begitu juga
kaum gay yang memiliki sifat berbeda antara gay yang satu dengan
yang lain. Maksud sifat di sini adalah sifat yang terbuka dan tertutup
terhadap keluarga maupun masyarakat luas.
-
Sifat Terbuka
Pada kenyataannya tidak semua kaum gay memiliki sifat
tertutup. Sebagian kecil dari mereka ada yang juga memiliki sifat
terbuka. Seperti yang dimiliki atau dialami oleh responden Fafa dan
Nono. Mereka memilih untuk membuka diri dan mengungkapkan
identitas dirinya kepada orang sekitar mereka yang berasal dari kaum
heteroseksual. Seperti yang dikatakan oleh Kunkun.
”....Saya merasa lebih terbuka dan menceritakan apa aja ke
mereka tanpa khawatir mereka akan menjauhi saya. Saya
merasa ada orang yang bisa menerima saya apa adanya. Tapi
dulu sebelum saya ngomong sama siapa-siapa, saya sedikit
agak tertekan, soalnya nggak ada yang bisa diajak tukar
pikiran, terutama bila saya ada masalah dengan “pacar”
saya....”
cvii
-
Sifat Tertutup
Kaum gay yang memiliki sifat tertutup biasanya sangat
berhati-hati dalam menjaga identitas yang dimiliki sebenarnya.
Karena kaum gay yang tertutup tidak ingin identitas mereka
diketahui oleh banyak orang. Kaum gay akan merasa takut
dikucilkan ketika setelah mereka diketahui identitasnya. Hal ini
seperti yang dirasakan oleh Budi salah satu responden yang termasuk
gay tertutup.
“….saya sangat tertutup mas, sampai saat ini keluargaku
belum ada yang tahu dan aku berharap agar mereka tidak
sampai mengetahuinya. Aku juga nggak mau kehilangan
teman-teman mas. Teman saya sudah ada yang mengetahui
kalau aku gay dan dia itu normal, sebab hanya dia yang aku
percaya untuk menjaga aibku. Teman-teman gay juga hanya
beberapa yang aku kenal, karena aku benar-benar takut kalau
dengan banyaknya orang yang tahu, bisa-bisa masalahku ini
sampai ke keluargaku, aku nggak mau mas….”
Pada awalnya mereka merasa takut akan resiko yang harus
ditanggung yaitu dikucilkan dari lingkungannya. Namun pada akhirnya
mereka memiliki keberanian untuk mengungkapkan identitas mereka
sebagai seorang gay. Fafa dan Kunkun beranggapan bahwa selama seorang
gay dapat menjaga sikap dan tingkah laku mereka di hadapan masyarakat
heteroseks, maka masyarakat heteroseks juga akan berusaha memahami
keadaan kaum gay, bahkan mereka bisa jadi menerima kehadiran kaum gay
di lingkungannya. Seperti penuturan Fafa ketika ditanya masalah
komunikasi dan sosialisasi dalam penelitian ini.
“…..Nggak perlu dibikin-bikin, ntar jadi aneh. Mungkin di lingkungan
tempat tinggal aku dan bekerja sudah banyak yang tahu kalau aku
cviii
gay, tapi aku berusaha sebisa mungkin supaya aku nggak melanggar
norma-norma masyarakat dan berbuat macam-macam. Malah aku
sering ikutan acara kumpul-kumpul sama warga sekitar, biar mereka
juga kenal aku dan aku kenal ama mereka. Jadi kalau sudah saling
kenal khan bisa saling menghormati. Aku mempunyai prinsip, orang
itu cuma ingin disegani dan dihormati serta diakui keberadaanya,
kalau udah begitu mereka juga akan bersikap sebaliknya sama kita…”
Penerimaan dan penolakan merupakan reaksi yang harus diterima
kaum gay setelah menyatakan diri sebagai seorang homoseks. Karena tidak
dapat dipungkiri bahwa perbedaan pandangan yang ada di masyarakat dapat
membentuk opini yang berbeda terhadap hadirnya homoseksualitas di
sekitar mereka.
C.
Masyarakat
Dalam kehidupan manusia tidak akan terlepas dengan interaksi yang
dilakukan dalam sehari-hari. Manusia akan berinteraksi dengan anggota
keluarga dan akan berinteraksi luas dengan masyarakat. Hal ini sudah
terlihat ketika manusia lahir dan berkembang. Manusia lahir pada awalnya
akan berinteraksi dan bersosialisasi dengan anggota keluarga, kemudian
akan melakukan sosialisasi dengan masyarakat luar.
Begitu juga yang dialami oleh kaum gay yang hidup di tengahtengah masyarakat heteroseks. Kaum gay akan merasa tertekan apabila
mereka tidak melakukan pengungkapan diri, baik itu pada keluarga maupun
masyarakat. Keluarga dan masyarakat yang sudah mengetahui identitas
seseorang yang ternyata gay, mereka akan memberikan respon berbedabeda.
cix
Ø
Keterbukaan terhadap Keluarga
Kaum gay yang sudah terbuka dengan keluarga misalnya,
mereka pada awalnya akan menerima respon yang kurang nyaman.
Keluarga akan merasa kecewa dan akan mengucilkannya. Tetapi lama
kelamaan keluarga tersebut akan menerima keadaan yang dialami oleh
gay tersebut. Hal ini seperti yang dialami oleh Fafa salah satu
responden dalam penelitian ini. Fafa menganggap bahwa keluarga
adalah orang yang paling dekat dengannya. Pada awalnya keluarga
Fafa merasa kecewa tetapi Fafa berusaha memberikan pengertian
kepada keluarganya bahwa dia memang tidak menyukai wanita. Fafa
membuktikan dirinya bukanlah orang yang harus dikucilkan. Fafa
mulai rajin bekerja dan terus bekerja untuk memenuhi kebutuhan
keluarga.
“....Pada awalnya ibu dan adik-adik saya kaget, sempat ibu saya
sakit satu bulan. Adik-adik saya juga mendiamkan saya....”
Ø
Keterbukaan terhadap Masyarakat
Sedangkan yang dialami oleh Nono, dia tidak melakukan
keterbukaan kepada keluarganya. Tetapi anggota keluarga sudah
mengetahuinya dengan melihat tingkah laku sehari-hari Nono. Bahkan
masyarakat luas sudah ada yang mengetahui kalau Nono adalah
seorang gay. Ketika masyarakat luas sudah mengetahui identitasnya
sebagai gay, tetapi Nono bisa menempatkan dirinya. Di saat berkumpul
dengan masyarakat dia harus bisa menjadi anggota heteroseks. Dan
cx
ketika dia berkumpul dengan sesama gay, dia akan menjadi dirinya
yang gay.
“....Belum tahu mas, tetapi mereka sepertinya mengetahui
kelainan yang aku miliki karena tingkah laku saya sehari-hari
mas....” “....Lingkungan tempat tinggal saya sudah banyak yang
mengetahui identitas diri saya yang gay, termasuk teman-teman
yang bekerja di warung makan saya...”
Dari hasil wawancara yang sudah disajikan di bab sebelumnya,
banyak dari kaum gay yang masih belum berani melakukan keterbukaan
terhadap keluarganya bahkan masyarakat luas. Mereka hanya akan
melakukan keterbukaan cukup dengan sahabat dekatnya dan teman-teman
gay-nya. Karena bagaimanapun juga kaum gay juga bagian dari masyarakat
yang harus bisa menghormati norma-norma yang berlaku di masyarakat
tersebut. Mereka tidak akan mendapat perlakuan yang khusus dari
masyarakat tetapi kaum gay yang hidup di masyarakat harus bisa
menempatkan dirinya sebagai seorang heteroseks.
cxi
BAB V
PENUTUP
Terdapat pemahaman bahwa manusia memiliki orientasi seksual yang
dibagi dalam beberapa kategori. Salah satunya yang dikenal dengan homoseksual.
Homoseksualitas adalah istilah yang diberikan kepada hubungan seksual yang
terjadi antara sesama jenis dan merupakan suatu fenomena tersendiri yang muncul
di tengah masyarakat. Hanya saja yang menjadi sebuah persoalan adalah belum
semua kaum gay yang ada di tengah masyarakat dapat mengungkapkan dirinya
dan menyatakan keadaan mereka yang sebenarnya kepada masyarakat luas.
A.
Kesimpulan
Dalam penelitian ini dapat diungkapkan tentang hal-hal yang
mendukung pengungkapan diri kaum gay pada lingkungan sekitar.
Berdasarkan penuturan yang diperoleh dari pengalaman responden sebagai
subyek yang langsung terlibat dalam pengungkapan diri yang dilakukan,
maka dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut :
1. Identitas yang dimiliki kaum gay bisa bersifat subyektif dan obyektif.
Identitas subyektif merupakan identitas yang pengungkapan dirinya
dilakukan secara langsung oleh individu yang bersangkutan kepada
masyarakat (keluarga dan masyarakat luas). Sedangkan identitas
obyektif merupakan identitas yang diterima oleh seseorang dari
pandangan orang lain (masyarakat). Identittas obyektif biasanya dimiliki
oleh kaum gay yang memiliki sifat tertutup dan gay yang terbuka akan
cxii
memiliki identitas subyektif. Hal tersebut dilakukan oleh kaum gay
berdasarkan pemikiran yang matang dan akan resiko yang akan terjadi
ketika pengungkapan diri dilakukan. Karena tidak semua masyarakat
bisa menerima keadaan atau identitas seorang gay.
2. Dalam mengkomunikasikan diri kepada masyarakat termasuk keluarga
dan masyarakat luas, kaum gay memiliki cara yang berbeda-beda. Ada
yang secara langsung mengungkapkan dirinya dan ada yang secara tidak
langsung dalam pengungkapan diri yang dilakukan baik kepada keluarga
maupun kepada masyarakat luas tempat mereka tinggal. Kaum gay yang
secara langsung mengkomunikasikan diri baik kepada keluarga maupun
masyarakat luas, mereka akan langsung berterus terang tanpa ada
keraguan lagi. Dan biasanya mereka sudah memikirkan akan resiko yang
diterima.
Kaum gay yang secara tidak langsung mengkomunikasikan dirinya tidak
akan
melakukan
pengungkapan
diri
kepada
keluarga
maupun
masyarakat. Bahkan keluarga atau masyarakat yang akan menilai
individu tersebut melalui tingkah laku sehari-hari.
B.
Saran
Orientasi seksual yang dimiliki seseorang bukanlah merupakan hal
yang harus dibeda-bedakan. Karena keadaan diri yang berbeda dengan orang
lain bukanlah hal yang diharapkan terjadi oleh siapapun. Begitu pula halnya
dengan keadaan diri sebagai seorang yang memiliki orientasi seks sebagai
cxiii
gay. Akan tetapi untuk dapat menjalani kehidupan dengan lebih tenang dan
tanpa beban, seorang gay akan lebih baik jika terlebih dahulu mampu
menerima keadaan dirinya apa adanya. Setelah hal itu dapat dilakukan
dengan baik maka barulah suatu pengungkapan diri dapat dilakukan kepada
lingkungannya. Akan tetapi pengungkapan diri ini juga perlu didukung oleh
orang-orang yang berada di sekitarnya, terutama dari keluarga.
Pemahaman dan penerimaan yang diberikan oleh masyarakat tidak
dapat dilepaskan dari peran aktif berbagai pihak dalam membantu kaum gay
untuk menyatakan eksistensinya. Termasuk dalam hal ini peran media cetak
dan media elektronik yang ada. Pengangkatan tema-tema yang berhubungan
dengan kehidupan homoseks, akan membantu memberikan jalan bagi kaum
minoritas ini untuk lebih dikenal masyarakat. Sehingga pelan tapi pasti,
masyarakat dapat menyadari dan mengetahui bahwa di sekitarnya terdapat
orang-orang yang memiliki perbedaan dalam hal orientasi seks yang tidak
perlu dikucilkan, karena mereka tetap memiliki potensi diri dan
kemampuan-kemampuan yang dapat diandalkan.
Akan tetapi kaum gay sendiri perlu lebih memperhatikan dan
manjaga tingkah laku dan tindak-tanduk mereka di masyarakat. Adanya
tindakan yang tidak bertanggung jawab dari segelintir orang, dapat
menyebabkan citra buruk tentang kaum gay sebagai kaum gay dari
masyarakat luas menjadi semakin bertambah kepada keseluruhan kaum gay
yang ada. Seperti adanya beberapa oknum yang tidak bertanggung jawab
seperti sering bergonta-ganti pasangan, melakukan hubungan seks secara
cxiv
bebas dan bertingkah laku kurang wajar di depan umum. Sehingga akan
mempersulit membaurnya kaum gay dengan masyarakat normal lainnya.
Untuk menghindari terjadinya hubungan yang tidak harmonis, maka
perlunya sikap toleransi antara kaum gay dan masyarakat. Kaum gay
hendaknya tidak melakukan perbuatan yang menyimpang dan melanggar
norma-norma yang ada di masyarakat. Begitu pula sebaliknya masyarakat
hendaknya tidak mengucilkan dan memandang negatif tentang kehadiran
kaum gay. Adanya rasa saling menghargai dan menghormati satu sama lain
akan menciptakan suasana keakraban di antara keduanya.
cxv
DAFTAR PUSTAKA
Caroline, Persell Hodges. 1990. Understanding Society.
Effendi, Onong U. 1994. Ilmu Komunikasi : Teori dan Praktek. Bandung :
Remaja Rosdakarya.
Goodman, Ryan dan Derek Jinks. 2004. How to Influence States: Socialization
and International Human Right Law
Diakses tanggal 6 Januari 2010 dari: http://ssrn.com/abstract=519565
Hardiwardirjo. 1991. Moral dan Masyarakat.
John, Creswell W. 1994. Research Design : Qualitative & Quantitative.
King, Alex. 2008. Homoseksual, Gay, Lesbian.
Diakses tanggal 15 Oktober 2009 dari :
http://indonesiasaram.wordpress.com/2008/05/23/homoseksual-gaylesbian/
Lang, Kurt dan Gladys Engel Lang. 2009. Mass Society, Mass Culture, and Mass
Communication : The Meaning of Mass, International Journal of
Communication.
Diakses tanggal 6 Januari 2010 dari :
http://www.ijoc.org/ojs/index.php/ijoc/article/view/597/380
Mc Quail, Dennis. 1994. Teori Komunikasi Massa : Suatu Pengantar. Jakarta :
Erlangga.
Muhidin, Sambas. 2009. Populasi dan Sampel Dalam Penelitian Kualitatif.
Diakses tanggal 15 Oktober 2009 dari :
http://sambasalim.com/statistika/populasi-dan-sampel-dalam-penelitiankualitatif.html
Mulyana, Deddy. 2000. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung : Remaja
Rosdakarya.
Oetomo, Dede. 2003. Memberi Suara pada yang Bisu. Yogyakarta : Pustaka
Marwa.
Paul, Landis H. 1959. Social Problem in National and Worlds.
PDE, Team. 2008. Geografi.
Diakses tanggal 27 Oktober 2009 dari:
http://www.sragen.go.id/home.php?menu=2
Phil dan Astrid S. 1988. Komunikasi Dalam Teori dan Praktek. Bandung : Bina
Cipta.
Ricard, Bootzin R. 1986. Psychology Today Introduction.
Robert, Fieldman S. 1990. Understanding Psychology.
cxvi
Saletan, William. 2008. Gay Ditinjau dari Science.
Diakses tanggal 15 Oktober 2009 dari:
http://daretobegay.blogspot.com/2008/06/whats-science-say-aboutgay.html
Sigmund, Freud. 1979. Memperkenalkan Psikoanalisa.
Stephen, Littlejohn W. 1983. Theories of Human Communication.
Surakhmad, Winarno. 1990. Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar Metode dan
Teknik Edisi VII. Bandung : Tarsito.
Sutopo, HB. 2002. Metode Penelitian Kualitatif Dasar Teori dan Terapannya
dalam Penelitian. Surakarta : UNS Press.
---------------. 2007. Metode Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta : LKis
Widjaya, A W. 2000. Ilmu Komunikasi. Jakarta : Rineka Cipta.
Sumber Lain :
Majalah Gaya Nusantara edisi 56 Juli 2000 hal. 14 dan edisi 84 Agustus 2001 hal.
20
cxvii
Download