E S T H E R K U N TJ A R A ( U K P E T R A ) DI SEMINAR GN S U R A B AYA . 2 5 A P R I L 2 011 Awal mula studi Bahasa & Jender • 1922 : Otto Jespersen Language: Its nature and development (Bab XIII: Bahasa Perempuan) Perempuan: - penggunaan bahasa eufemistik. - bersifat parataksis Laki-laki: - penggunaan bahasa yang vulgar. - bersifat hypotaksis Gelombang I Linguistik Feminis • 1975 : Robin Lakoff Language and Woman’s Place - Sangat memperhatikan sopan-santun dalam berbahasa. - Sering menggunakan bahasa yang standar. - Menghindari pemakaian kata-kata yang kasar. - Banyak menggunakan tag questions. - Sering menggunakan intonasi yang meninggi. - Banyak menggunakan filler. - Banyak menggunakan kata sifat yang tanpa makna. - Senang menggunakan istilah warna yang jarang dipakai. Gelombang II • 1990 : Deborah Tannen You just don’t Understand: Women and men in Conversation - Laki-laki dan perempuan memiliki cara bicaranya sendiri-sendiri. - Masing-masing perlu menghargai pihak lain dengan memahami serta menerimanya. Gelombang III • 1998 : Mary M. Talbot Language and Gender - Maskulin atau feminin harus dilihat sebagai sikap dalam suatu relasi dan situasi tertentu, bukan sebagai atribut individu (bersifat doing daripada being.) - Identitas seseorang dilihat dari performativity dan citationality-nya. 4 - Ds • Deficit • Dominance • Difference • Dynamic Queer Language Dibagi dalam 4 fase (Cameron & Kulick, 2003) • Fase ke-1: 1920an-1940an Homoseksual dikategorikan sebagai suatu penyakit yang harus disembuhkan. Penelitian bahasa terbatas pada beberapa pemakaian kosa kata dan pergantian nama untuk menandakan mereka berbeda dari jender yang lain (laki dan perempuan). • Fase ke-2 : 1950an – 1960an Muncul gerakan pembebasan kaum gay yang ingin memajukan kaum gay. Homoseksual yang dulu sifatnya patologis menjadi suatu identitas sosial dengan pandangan yang lebih bersifat progresif. • Fase ke-3 : 1970an – pertengahan 1990an Adanya keyakinan bahwa cara pandang yang lama tentang homoseksual tidak bisa diterima lagi. Kelompok homoseksual adalah kelompok yang tertekan (c.f. kaum perempuan dan kelompok etnik minoritas. ≈ Rich (1980): Compulsary heterosexuality) Muncul gayspeak, the Lavender lexicon. • Fase ke-4 : 1990an – 2000an Muncul kritik terhadap bahasa queer. Bahasa dipakai untuk menyatakan identitas , bukan sebagai kekhasan bahasa gay. Identitas adalah dampak dari praktek bahasa dan semiotik pelakunya yang dipresentasikan lewat relasi kekuasaan (Foucault). Kurangnya Studi tentang Bahasa Queer • Kaum homoseksual masih sering terdiskrimasi secara struktural di dunia akademis. • Publikasi yang ada tidak beredar secara luas. • Teori yang sudah ada tidak cocok untuk diterapkan dalam bahasa queer. • Sulit menyebut bahasa yang digunakan oleh kaum homoseksual sebagai bahasa gay atau bahasa lesbian. David Weiss (2005)mengenai: Queer Eye for the Straight Guy Cara mengidentifikasi diri sebagai gay: Secara langsung “Gay guys can really throw a ball. No problem. See?” Secara tidak langsung “He’s like, every possible ‘I wanna sleep with a gay man’ job.” Mengatakan suatu benda sebagai gay “This is the gay goose.” Membedakan dirinya dengan orang lain secara tidak langsung. “What do you people use this for? My people would use it to decorate shoes or perhaps a festive tiara.” Memberi label orang lain sebagai straight, yang berarti dia sendiri adalah gay “Yup, this is a straight man’s fridge: beer and grapes.” Gay’s Language of Desire • Perujukan pada diri sendiri. “This is a bar. You wanna keep the ladies, you know, socially lubricated with alcohol at all times. That’s what I do with the guys.” • Perujukan pada objek-objek sesama jenis. “So what has Tina got that I haven’t got – besides a working vagina?” Beberapa Kesimpulan • Konsep adanya bahasa gay (bahasa binan / queer language) masih diragukan. • Bahasa digunakan oleh kaum homoseks untuk menampilkan identitasnya. • Rancunya konsep gender dan seksualitas. • Teori performativity dan citationality lebih tepat digunakan untuk memahami bahasa homoseksual.