BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja merupakan masa dimana individu dituntut untuk memiliki kemampuan penyesuaian baru yang bertujuan untuk menghadapi kehidupan di masa depan. Remaja yang memiliki kelemahan atau menderita penyakit kronis akan menghadapi beberapa masalah spesifik yang akan muncul daripada yang dapat diatasi oleh remaja yang sehat. Kelainan darah merupakan salah satu masalah kesehatan pada remaja yang dapat menyebabkan beberapa kosekuensi, seperti anemia pada anak-anak dan remaja (WHO, 2003 dalam Pramita, 2008). Menurut Papalia (dalam Pramita, 2008), remaja sangat mempertimbangkan keadaan fisiknya. Remaja yang sehat dan berkembang memiliki kesempatan yang lebih baik untuk menjadi orang dewasa yang sehat, bertanggung jawab, dan produktif. Sebaliknya, remaja yang memiliki kekurangan akan menghadapi berbagai permasalahan yang berdampak terhadap kemampuan mereka menghadapi kehidupan di masa depan. Seperti halnya dengan penyakit thalassemia mayor, dijelaskan bahwa remaja yang menderita thalassemia mayor memiliki berbagai permasalahan yang meliputi keterlambatan dalam pertumbuhan dan perkembangan, prestasi dalam pelajaran, efek psikologis dan perilaku (kurang perhatian dan mudah lelah), dan penurunan aktivitas fisik (Faith Foundation, 2005). 1 Thalassemia mayor adalah salah satu penyakit kelainan darah yang diturunkan dan merupakan penyakit kronis yang mengharuskan pasien menjalani transfusi darah seumur hidup sehingga dapat menimbulkan masalah bagi penderitanya (Soelaeman, 2010). Hingga saat ini tercatat 3.653 pasien di Indonesia, sedangkan di Pusat Thalassemia Departemen Ilmu Kesehatan Anak (IKA) Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) sampai dengan akhir tahun 2008 terdaftar 1.455 pasien penderita thalassemia (Yayasan Pusat Thalassemia Indonesia, 2010). Peningkatan jumlah penderita Thalassemia ini tentunya sangat memprihatinkan. Apalagi ditambah dengan kualitas hidup penderita Thalassemia yang rendah dibandingkan dengan individu normal lainnya karena penyakit Thalassemia itu sendiri memberikan efek negatif baik itu terhadap fungsi fisis yang menggambarkan aspek kesehatan maupun fungsi psikologis yang menggambarkan kondisi respon sosial serta emosional (Pediatri, 2009). Penelitian yang dilakukan oleh Moorjani & Isaac (dalam Pramita, 2008) menunjukkan bahwa thalassemia mayor merupakan salah satu kelainan hemoglobin secara genetik dan merupakan salah satu bentuk penyakit kronis di dunia. Gambaran thalassemia mayor secara klinis menunjukkan beberapa masalah yang cukup besar. Untuk bertahan hidup, anak harus melakukan transfusi darah setidaknya 2-4 minggu secara teratur seumur hidupnya agar fungsi tubuh tidak terganggu. Selain itu biasanya anak akan kehilangan beberapa hari dalam sebulan untuk sekolah karena harus melakukan transfusi secara teratur, dan orangtua mereka akan kehilangan 2 waktu bekerja (Catlin, 2003 dalam Pramita, 2008). Oleh sebab itu, penderita thalassemia mayor tidak hanya mengalami permasalahan dalam kondisi fisik tetapi juga masalah psikologis. Permasalahan psikologis yang dialami oleh penderita thalassemia mayor berupa permasalahan yang berkaitan dengan perasaan tidak berdaya dan putus asa, terisolasi, penolakan terhadap diri sendiri, perilaku ketidakpatuhan, dan berbagai masalah mengenai harapan masa depan (Northern California Compherehensive Thalassemia Center, 2005 dalam Pramita, 2008). Dalam penelitian yang dilakukan oleh Nia, Kusnandi, & Dany(2012), pasien rentan mengalami gangguan psikologis yang diakibatkan oleh adanya gejala yang menetap, pengobatan yang terlalu lama dan keterbatasan aktifitas. Penelitian Savari et al(2007) melaporkan masalah psikologis seperti depresi dan kecemasan pada anak thalassemia mencapai 80%, sedangkan penelitian Shaligram et al(2007) menunjukkan sekitar 44% pasien thalassemia mayor mengalami masalah psikologis dan 74% diantaranya memiliki kualitas hidup yang rendah (dalam Nia, Kusnandi& Dany, 2012). Hal ini juga didukung dengan hasil wawancara dengan beberapa penderita thalassemia mayor yang juga menunjukkan hal yang sama yaitu pasien mengalami keterpurukan psikologis akibat penyakit yang dideritanya, seperti yang terlihat dalam petikan wawancara berikut ini subjek X, perempuan 21 tahun : X: “aku kena thalassemiaumur 10bulan, tapi mulai transfusinya umur 2thn. Dulu mah 1bulan sekali, nah pas aku sekolah capek, trus limpa aku membesarnya cepet banget. Nah transfusinya jadi 3 minggu sekali, terus jadi maju 2 minggu sampe 1minggu sekali karena limpa aku udah 3 besar. Tapi aku sekarang udah gak punyalimpa, jadi bisa 2bulansekali atau 1bulan setengah. kalo transfusi mah aku nurut mamaaja,tapi kalo pasang desferal (obat untuk membuang zat besi yang berlebih) sesuka aku kalo lagi cape sama males aku gak pasang. Aku sih tau semua orang pasti punya masalah sendiri-sendiri. Tapi aku sempet kepikiran kalo aku lagi ada masalahkok pengennya mengakhiri hidup apalagi kalo ada masalah sama pacar aku. (wawancara pribadi, 10 Januari 2014) Berdasarkan hasil wawancara terhadap X, bahwa subjek memiliki perilaku ketidakpatuhan yaitu tidak memasang desferal secara rutin dan juga pernah mengalami perasaan depresi hingga muncul pikiran untuk bunuh diri, merasa terpuruk dan hampir menyerah atas kondisinya. Sementara Y, laki-laki, 21 tahun mengatakan : Y: Saya umur 6tahun sudah mulai transfusi.Jadwal transfusinya tergantung, kadang 1bulan atau 5mingguan, tergantung fisiknya apa udah lemah, lesu, letih, lunglai, lemas. karena 5L itu mungkin kesehariannya di forsir terus jadi cepet lemes atau bisa jadi perkembangan limpanya dah rusak jadi gak bisa kuat sampai 1bulan. Kalo sekarang ya masih kuat untuk 1bulan lebih. Pernah sih kepikiran capek, bahkan kontrol jadi sering telat hb drop sampai 6 akhirnya diceramahin sama dokternyasuruh jaga kondisi. semuanya pernah ngalamin pasti yakalo pas lagi merenung dan pasti juga merasa putus asa sama kondisi yang dirasain. (wawancara pribadi, 10 januari 2014) Berdasarkan hasil wawancara terhadap Y bahwa subjek juga pernah merasakan perasaan putus asa terhadap penyakit yang dideritanya. Pengobatan rutin yang harus dijalani nya pun membuatnya lelah sehingga berakibat pada keadaan tubuhnya yang menurun. Namun terdapat kondisi lain yang menunjukkan bahwa tidak semua penderita thalassemia mayor mengalami keterpurukan psikologis seperti yang dijelaskan sebelumnya. Beberapa dari mereka bisa menerima kondisi nya dengan ikhlas, tabah, 4 dan optimis dalam menyusun rencana-rencana dalam hidup mereka. Seperti yang dikemukakan oleh subjek Z, laki-laki, 20 tahun berikut ini : Z: Masih banyak diluar sana orang-orang yang tidak beruntung dibandingkan saya, saya malu kalo inget itu. Dibuang jauh-jauh pikiran-pikiran yang malah bikin kesehatanjadi ngedrop ntar jadwal transfusinya malah jadi maju. Kunci nya sih positif thinkingselagi bisa ngeraih apa yang kita pengen dapetin yaa tunjukkin kalo kita mampu. Cukup buktiin sama diri sendiri dulu aja sih… gak usah dengerin apa kata orang yang kadangkadang malah bikin kita minder. Ada orangtua sama sahabat yang dukungmaka nya saya gak pernah ngerasa sendiri. Selalu inget juga kalo Allah selalubersama orang-orang yang bertawakal kepada-Nya bikin kita ikhlas ngejalaninnya.Serahin semua nya sama Allah (wawancara pribadi, 10 Februari 2015). Dari ketiga wawancara tersebut dapat disimpulkan bahwa subjek X mengalami perasaan depresi hingga muncul pikiran untuk bunuh diri, merasa terpuruk dan hampir menyerah atas kondisinya. Hal serupa juga dirasakan oleh subjek Y bahwa ia juga pernah merasakan perasaan putus asa terhadap penyakit yang dideritanya dan merasa lelah terhadap pengobatan rutin yang dijalaninya. Dengan kata lain kondisi yang dirasakan dari kedua subjek X dan Y adalah kondisi-kondisi yang mengarah kepada perasaan negatif dan ketidakberdayaan subjek menjalani kehidupannya sehingga hal tersebut mengarah kepada subjective well-being yang rendah.Lain halnya dengan subjek Z yang mampu menerima kondisinya dengan ikhlas, tabah dan tetap optimis untuk meraih cita-cita dan impiannya. Dengan kata lain subjek Z memiliki subjective well-being tinggi karena masih bisa merasakan makna dalam perjalanan kehidupannya. Hal ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Budiartini (2014) tentang kehidupan penderita thalassemia mayor yang menyatakan bahwa dengan 5 segala keterbatasan fisik yang dimilikinya, penderita thalassemia mayor mampu menerima kondisinya dengan ikhlas, sabar dan tanpa penyesalan, memiliki hubungan baik dengan orang lain, mampu hidup mandiri secara finansial, mampu mengatur waktu antara transfusi darah dan pekerjaan, serta memiliki tujuan hidup dan potensi. Sikap positif seperti ketabahan dan penerimaan diri, serta hubungan yang positif dengan orang lain yang ditunjukkan oleh penderita thalassemia mayor tersebut mengarah kepada terwujudnya kesejahteraan subjektif (subjective wellbeing) dalam diri individu. Yaitu suatu bentuk evaluasi mengenai kehidupan individu yang bersangkutan yang mengandung prinsip kesenangan yaitu sejauh mana seseorang merasa hidupnya menyenangkan, bebas stres, bebas dari rasa cemas, dan tidak depresi yang pada intinya individu mengalami perasaan-perasaan menyenangkan dan bebas dari perasaan tidak menyenangkan (Diener, 2002 dalam Nisfiannor, 2004). Individu yang merasa hidupnya baik adalah mereka yang memiliki level subjective well-being yang tinggi (Diener, 2000 dalam Nisfiannor, 2004). Individu ini akan lebih mampu mengontrol emosinya dan menghadapi berbagai peristiwa dalam hidup dengan lebih baik. Subjective well-being ini dipengaruhi oleh banyak faktor salah satunya adalah agama atau tingkat religiusitas (Seligman, 2005 dalam Nisfiannor). Seperti yang dikemukakan oleh Myers (2000, dalam Nisfiannor), berdasarkan survey yang diambil dari berbagai bangsa, orang yang aktif secara religius mengakui memiliki tingkat kebahagiaan yang tinggi. Artinya, kebahagiaan seseorang sangat bergantung pada keyakinan terhadap Tuhan. 6 Sebuah penelitian yang berjudul “Kualitas hidup pada penderita kanker serviks yang menjalani pengobatan radioterapi” menyatakan bahwa seseorang yang sedang sakit kanker atau menderita penyakit kronis masih bisa merasakan kebahagiaan dan tidak terpuruk, Hal inibisa terjadi karena adanya dukungan dari orang terdekat dan peran religiusitas yang besar (Fitriana dan Ambarini, 2012).Hasil penelitian lain oleh Widiana (2013) yang berjudul “hubungan antara religiusitas dengan kesehatan mental” menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara religiusitas dengan kesehatan mental, artinya religiusitas sangat dibutuhkan saat individu dalam keadaan terpuruk.Karena dengan adanya religiusitas individu mampu berpasrah diri terhadap ketentuan yang telah diberikan oleh Allah SWT, sehingga individu menampilkan prilaku yang tergolong sehat mental yang diantaranya adalah tidak depresif dan tidak terpuruk. Berdasarkan beberapa hasil penelitian tersebut bahwa mereka yang menderita penyakit kronis masih bisa menjalani kehidupannya dengan ikhlas dan memiliki harapan tentang masa depan. Dan hal tersebut tidak terlepas dari peran religiusitas yang dimiliki oleh individu. Hal ini juga sejalan dengan yang telah dikemukakan oleh subjek Z bahwaberserah diri atas apa yang sudah Tuhan berikan mampu membuat perasaannya tenang dan selalu berfikir positif. Dengan kata lain, penderita thalassemia mayor yang merasa dekat dengan Tuhan dan pasrah terhadap takdir Tuhan akan mampu menerima kondisi diri nya dalam keadaan apapun dan selalu bersyukur atas apa yang terjadi didalam hidupnya. Maka diduga bahwa religiusitas 7 menjadi salah satu faktor yang dapat membantu individu mempertahankan kesehatan mental pada masa-masa sulit. Berdasarkan uraian yang telah dijabarkan diatas, membuat peneliti ingin meneliti tentang religiusitas dengan subjective well-being remaja akhir (studi pada penderita thalassemia mayor di UDD PMI DKI Jakarta). B. Identifikasi Masalah Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dijabarkan bahwa thalassemiaadalah penyakit yang sulit disembuhkan. Mereka yang menderita thalassemiaharus menjalani transfusi darah seumur hidup sehinggabeberapa dari mereka tidak mampu menerima dirinya, Selain fisik yang terganggu yaitu lemah, letih, lesu, lunglai dan lemas, kondisi psikologis mereka pun ikut mengalami penurunan. Selain itu jugaadanya reaksi psikologisyang ditimbulkan seperti antara lain perasaan rendah diri terhadap masa depannya sehingga menyebabkan kualitas hidup penderita thalassemiamenjadi rendah. Pada awalnya penderita thalassemiamerasakan keterpurukan psikologis yaitu diantaranya perasaan lelah, putus asa, depresi hingga memiliki keinginan untuk bunuh diri.Namun ada juga beberapa dari mereka yang tegar dan bangkit atas penyakit yang diderita. Mereka mampu menerima dengan ikhlas, selalu berdoa kepada Tuhan meminta kekuatan agar diberikan kepasrahan, dan bisa memaknai atas semua yang diberikan kepadanya. Artinya mereka yang memiliki religiusitas seperti adanya perasaan yang selalu ingat kepada Tuhan dan percaya terhadap takdir Tuhan cenderung dapat 8 merasakan penerimaan diri bahwa Tuhan memberikan penyakit karena sebagai bukti kasih sayang terhadap hamba Nya. Selain itu juga diusia yang sedang memasuki masa transisi dari anak-anak menuju dewasa, mereka berjuang untuk bisa tetap beraktifitas dan bersosialisasi seperti remaja pada umumnya. Mereka yang mampu bangkit itu adalah mereka yang memiliki religiusitas, yaitu rasa keyakinan dan keterikatan individu terhadap tuhan. Namun, tidak semua penderita thalassemiamampu untuk menerima dirinya dan percaya bahwa Tuhan membantu dirinya, maka dari itu peneliti tertarik untuk melihat hubungan religiusitas dansubjective well-beingpada remaja akhir penderita thalassemia mayor(studi pada penderita thalassemiamayor di UDD PMI DKI Jakarta). C. Tujuan penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Mengetahui hubungan Religiusitas dengan Subjective well-beingremaja akhir penderita thalassemiamayor 2. Mengetahui tinggi rendahnya tingkat Religiusitas danSubjective wellbeingremaja akhir penderita thalassemiamayor 3. Mengetahui hubungan antaraSubjective well-beingremaja akhir penderita thalassemiamayor dengan data penunjang 9 D. Manfaat penelitian 1. Manfaat teoritis: a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam ilmu psikologi khususnya psikologi perkembangan dan psikologi kesehatan mental yang berkaitan dengan pentingnya prilaku religiusitas dan subjective well-being pada penderita thalassemia mayor. b. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat melengkapi literatur mengenai permasalahan yang dihadapi oleh para penderita thalassemiamayor yang berkaitan dengan subjective well-beingdan faktor-faktor yang mempengaruhi subjective wellbeing pada penderita Thalassemia mayor selain religiusitas. 2. Manfaat praktis: a. Bagi penderita thalassemia, diakhir penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan religiusitas agar mempunyai subjective well-being yang baik. b. Bagi keluarga penderita thalassemia, dapat memberikan informasi tentang dampak psikologis yang mungkin terjadi pada penderita thalassemiaini terutama yang berhubungan dengan religiusitas dan subjective well-being. c. Bagi praktisi bidang kesehatan dalam hal ini dokter dan perawat yang menangani penderita thalassemia, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai sumbangan pengetahuan sehingga diharapkan mereka dapat memberikan dukungan moral terhadap kehidupan penderita thalassemia. 10 d. Bagi masyarakat dapat menambah pemahaman mengenai thalassemiadan ikut berperan dalam memberikan dukungan moral dan pencegahan terhadap penyakit genetik ini. E. Kerangka berfikir Thalassemiamayor adalah penyakit yang ditandai dengan adanya anemia berat karena gangguan pembentukan hemoglobin dan gangguan pembentukan sel darah merah sehingga thalassemiamerupakan penyakit yang sulit disembuhkan. Oleh karena itu, mereka yang menderita thalassemiamayor harus menjalani transfusi darah seumur hidupnya. Remaja yang menderita thalassemia mayor akan mengalami keterpurukan, karena pada usia ini remaja sedang mencari jati diri, mulai tertarik dengan lawan jenis, memiliki tuntutan perkembangan peran sosial, dimana pada usia ini remaja belum bisa sepenuhnya untuk bersikap seperti orang dewasa sehingga akan memberikan pengaruh pada seluruh aspek kehidupannya baik fisik, psikologis maupun sosial. Dari segi fisik, remaja penderita thalassemia mayor akan mudah merasa lelah, mudah sakit, dan mengalami hambatan dalam perkembangan fisik seperti ukuran tubuh pendek, perut buncit, kulit berwarna hitam. Selain itu, kondisi psikologis yang juga terganggu sehingga menyebabkan timbulnya pikiran-pikiran negatif dan membuat perasaan menjadi putus asa, depresi hingga keinginan untuk bunuh diri. Di sisi yang lain, adanya dampak sosial yang dialami oleh remaja 11 thalassemiamayor seperti menjadi tertutup saat bersama orang lain dan timbul perasaan penolakan untuk bergaul. Keterpurukan yang dialami remaja thalassemiamayor merupakan beban berat yang harus dihadapi. Namun, beberapa dari mereka mampu untuk melewatinya. Mereka adalah yang memiliki hubungan yang baik dengan keTuhanannya yaitu bisa berpasrah diri, yakin bahwa usaha dan doa-doa nya dikabulkan oleh Tuhan. Remaja thalassemiayang religius cenderung akan memiliki keyakinan dan kepasrahan terhadap takdir Tuhan atas penyakit yang dideritanya. Mereka bisa mendapatkan makna dibalik penyakitnya, mampu bangkit dan tabah atas penyakit yang dideritanya. Dengan demikian remaja thalassemiayang religius akan mampu berfikir positif dan optimis. Artinya mereka bisa merasakan Subjective well-being. yaitu ketika mereka bisa menerima apa yang sudah Tuhan berikan dan memiliki emosiemosi positif atas perjalanan kehidupannya yang diantaranya adalah bebas dari keterpurukan psikologi. Maka mereka akan mampu untuk mengontrol emosi dan menghadapi berbagai peristiwa dalam hidup dengan lebih baik.Berdasarkan penjelasan tersebut didapatkan bagan kerangka berfikir seperti yang tercantum dibawah ini: 12 Permasalahan Remaja thalassemia mayor - Permasalahan Fisik Permasalahan Psikologis Permasalahan Sosial Religiusitas : - Keyakinan - Ritual - Pengalaman - Pengetahuan - Konsekuensial Subjective Well being - Penerimaan diri - Relasi positif dengan orang lain - Otonomi - Penguasaan lingkungan - Tujuan hidup - Pengembangan diri Gambar 1.1Kerangka Berpikir F. Hipotesa penelitian Ha : Terdapat hubungan positifantara Religiusitas dan Subjective well- beingremaja akhir pada thalassemiamayor di UDD PMI DKI Jakarta. 13