Vol. 9 No. 4 - Desember 2012 ISSN: 0216-1338 DAFTAR ISI Dari Redaksi ............................................................................ Abstrak Artikel: Partai Politik dan Demokrasi Indonesia Menyongsong Pemilihan Umum 2014 Oleh: Munafrizal Manan ............................................................... Pemilihan Umum Tahun 2014: Pemilih Rasional dan Pemilih Irrasional Oleh: Andi Subri ............................................................................ Kewajiban Verifikasi Parpol Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-X/2012 Oleh: Mualimin Abdi ...................................................................... Kampanye Pemilu 2014 Sebagai Bagian dari Pendidikan Politik Masyarakat Oleh: A. A. Oka Mahendra ............................................................. Mencegah Pemilihan Umum Menjadi Alat Penguasa Oleh: Fitra Arsil ............................................................................. Deklinasi Partai Politik dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia Oleh: A. Ahsin Thohari .................................................................. Mendorong Keterwakilan Perempuan di Lembaga Legislatif Oleh: Eka N A M Sihombing dan Nur Fatmah G .............................. Batas Usia Dewasa Seseorang dalam Melakukan Perbuatan Hukum Berdasarkan Peraturan Perundangundangan Oleh: Zaelani .............................................................................. Aspek Hukum Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia Kepada BUMN/BUMD/Badan Hukum Lainnya Oleh: Yanuar Syaripulloh.............................................................. Peranan Aparat Penegak Hukum dalam Pelanggulangan Terorisme di Indonesia Oleh: Wahyu Wiriadinata ........................................................ Biodata Penulis Indek iii 501 - 518 519 - 534 535 - 546 547 - 562 563 - 578 579 - 590 591 - 604 605 - 620 621 - 636 637 - 650 Vol. 9 No. 4 - Desember 2012 D ARI REDAKSI Dari Redaksi Pemilihan Umum (Pemilu) yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, jujur dan adil setiap 5 (lima) tahun sekali merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presidan dan Wakil Presiden, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Pada Tahun 2014 mendatang Indonesia kembali akan menyelenggarakan pesta demokrasi untuk memilih anggota legistative, Presiden dan Wakil Presiden periode 2014-2019. Meskipun penyelenggara Pemilu 2014 masih sekitar enam belas (16) bulan lagi, namum serangkaian tahapan Pemilu 2014 telah dan sedang dilaksanakan. Oleh karena itu Jurnal Legislasi Indonesia Volume 9 Nomor 4 Tahun 2012 memilih tema “Menyongsong Pemilu 2014”. Pada Edisi Jurnal Legislasi Indonesia Volume 9 Nomor 4 Tahun 2012 ini, menyajikan artikel tentang Partai Politik dan Demokrasi Indonesia menyongsong Pemilihan Umum 2014, Pemilihan Umum Tahun 2014: Pemilih rasional dan Pemilih Irrasional, Kewajiban Verifikasi Parpol Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUUX/2012, Kampanye Pemilu 2014 Sebagai Bagian Dari Pendidikan Politik Masyarakat, Mencegah Pemilihan Umum menjadi Alat Penguasa, Deklanasi Partai Politik dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, dan Mendorong Keterwakilan Perempuan di Lembaga Legislatif. Selain itu, dalam setiap penerbitan Jurnal Legislasi Indonesia juga menyajikan artikel nontematik. Pada penerbitan Jurnal Legislasi Indonesia Volume 9 Nomor 4 Tahun 2012 menyajikan artikel nontematik tentang: Batas Usia Dewasa Seseorang dalam melakukan Perbuatan Hukum Berdasarkan Peraturan Perundang-undangan, Aspek Hukum Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia Kepada BUMN/BUMD/ Badan Hukum lainnya, dan Peranan Aparat Penegak Hukum dalam Penanggulangan Terorisme di Indonesia. Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi Jurnal Legislasi Indonesia serta sumbangan pemikiran dalam bentuk tulisan dari pembaca sangat kami harapkan. Salam Redaksi. iii Vol. 9 No. 4 - Desember 2012 Kata kunci bersumber dari artikel. Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa izin dan biaya Manan, Munafrizal Partai Politik dan Demokrasi Indonesia Menyongsong Pemilihan Umum 2012 Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 9 No. 4. Partai politik dan demokrasi memiliki hubungan simbiosis mutualis. Masing-masing saling memerlukan yang lain. Demokrasi perwakilan yang diterapkan pada zaman modern ini membutuhkan partai politik. Peran dan fungsi partai politik dapat termanifestasi dengan baik hanya dalam sistem politik demokratis. Postulat ini juga berlaku di Indonesia. Partai politik Indonesia memiliki pengalaman sejarah cukup panjang. Partai politik mendahului kehadiran negara Republik Indonesia. Partai politik Indonesia mengalami masa pasang dan surut. Sistem kepartaian Indonesia merupakan produk dari sistem politik pada zamannya. Dalam sistem politik yang demokratis, sistem kepartaian Indonesia ikut menjadi demokratis. Begitu sebaliknya. Sejak Era Reformasi partai politik memiliki kebebasan dan otonomi, bahkan partai memiliki peran dominan dalam praktik ketatanegaraan. Namun, partai politik juga menjadi beban bagi demokrasi Indonesia saat ini. Kata Kunci: Kata Kunci: Partai politik, sistem politik, sistem kepartaian, demokrasi, otoritarianisme, Indonesia Manan, Munafrizal Political Party and Indonesian Democracy Toward the 2014 General Election Indonesia Journal of Legislation Vol. 9 No. 4. Political party and democracy have a symbiotic mutualism relationship. Each needs another. Representative democracy applied in the modern times needs political party. The role and function of political party can be manifested in a good manner only in democratic political system. Such a postulate applies in Indonesia. Indonesian political parties have a long historical experience. In Indonesia, political party arose before the state. Political parties in Indonesia have been experiencing the rise and fall. Indonesian party system has been the result of political system each era. In democratic political system, party system has become democratic. And vice versa. Since the Reformation Era begun political parties have freedom and autonomy, even political parties have a dominant role in state affairs. However, political parties are also the problem for Indonesian democracy today. Keywords: Keywords: Political party, political system, party system, democracy, authoritarianism, Indonesian Vol. 9 No. 4 - Desember 2012 Kata kunci bersumber dari artikel. Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa izin dan biaya Subri, Andi Pemilihan Umum Tahun 2014: Pemilih Rasional dan Pemilih Irrasional Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 9 No. 4. Kemenangan Joko Widodo dan Basuki Tjahaya Purnama pada pemilihan Gubernur DKI Jakarta beberapa waktu yang lalu, tak pelak menjadi pembicaraan bahkan sebagaian pengamat politik, cendikiawan menjadikan tolok ukur pelaksanaan demokrasi yang berhasil dan patut dicontoh. “Atribut” kepemimpinan Joko Widodo merupakan daya tarik tersendiri bagi pemilih (penduduk Jakarta) yang mulai tersadar dan mulai kritis atas persoalan-persoalan regional dan nasional dalam rangka perbaikan melalui perubahan Jakarta Baru. Menyongsong pemilihan umum tahun 2014 yang akan memilih wakil-wakil rakyat baik dari partai maupun perseorangan, dan suksesi kepemimpinan nasional merupakan fokus yang pasti menyedot perhatian masyarakat Indonesia, apakah pemilih akan menjadi rasional atau sebaliknya menjadi pemilih irrasional. Kata kunci :Pemilihan Umum, Pemilih Rasional, dan Pemilih Irrasional. Subri, Andi Election Year 2014: Rational and Voters Irrational Indonesia Journal of Legislation Vol. 9 No. 4. Victory Joko Widodo and Tjahaya Basuki Purnama the Jakarta gubernatorial election some time ago, the talk inevitably political observers even in part, scholars make the benchmarks of successful implementation of democracy and exemplary. “Attributes” Joko Widodo leadership is the main attraction for voters (city dwellers) who started woke up and began critically on issues of regional and national levels in order to improve through changes in New Jakarta. To welcome in 2014 elections that will select representatives from both parties and individuals, and national leadership succession is a definite focus the attention of Indonesian society, whether voters would be rational or irrational otherwise be picky. Keywords: Election, Voters Rational and Irrational Voters. Kata kunci bersumber dari artikel. Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa izin dan biaya Abdi, Mualimin Kewajiban Verifikasi Parpol Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUUX/2012 Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 9 No. 4. Dalam demokrasi, pemilihan umum memiliki peran vital, dan seperti kita ketahui bersama pemilihan umum di Indonesia melibatkan partai politik. Oleh sebab itu, partai politik politik juga memiliki peran penting dalam demokrasi. Salah satu pengaturan mengenai partai politik di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012, yang di dalamnya memuat aturan mengenai verifikasi. Namun aturan mengenai verifikasi tersebut dianggap telah merugikan hak konstitusional warga negara sehingga dimohonkan judicial review di Mahkamah Konstitusi dengan perkara Nomor 52/PUU-X/2012 karena tidak seluruh partai politik diverifikasi, dan pada akhirnya permohonan tersebut dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi. Setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut seluruh partai politik wajib melakukan verifikasi di KPU untuk dapat mengikuti pemilihan umum tahun 2014. Hal tersebut mempunyai makna bahwa partai politik baru tidak boleh diperlakukan secara berbeda dengan partai politik lama (yang pernah mengikuti Pemilihan Umum Tahun 2009), sehingga seluruh partai politik harus dikenai syarat yang sama. Kata kunci: verifikasi, partai politik, putusan mahkamah konstitusi. Abdi, Mualimin Compulsory Verification of Political Parties After Decisions Constitutional Court Number 52/PUU-X/2012 Indonesia Journal of Legislation Vol. 9 No. 4. In a democracy, elections have a vital role, and as we know the general elections in Indonesia involving political parties. Therefore, political parties also have an important role in a democracy. A setting of political parties in Indonesia are regulated in Law Number 8 of 2012, which inside contained rules on verification. But the rules on verification is considered to have been detrimental to the constitutional rights of citizens so that petitioned for judicial review in the Constitutional Court case Number 52/PUUX/2012 because not all political parties in the verification, and ultimately the application is granted by the Constitutional Court. Following the decision of the Constitutional Court all political parties shall verify on the Commission to be able to follow the elections in 2014. This has meant that a new political party should not be treated differently from the old political parties (who attended the General Election of 2009), so that all political parties should be subject to the same terms. Keywords: verification, political parties, the constitutional court ruling. Vol. 9 No. 4 - Desember 2012 Kata kunci bersumber dari artikel. Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa izin dan biaya Mahendra, A.A. Oka Kampanye Pemilu 2014 sebagai bagian dari Pendidikan Politik Masyarakat Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 9 No. 4. Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan ritual 5 (lima) tahunan yang dilaksanakan oleh pemerintahan yang menganut prinsip kedaulatan rakyat atau demokrasi. Pemilu dinyatakan sebagai sarana perwujudan kedaulatan rakyat, yang dilaksanakan secara efektif dan efisen berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Melalui Pemilu yang demikian itu, diharapkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan dapat memilih wakil rakyat yang aspiratif, berkualitas, dan bertanggung jawab dalam menjalankan fungsi legislatif secara optimal. Salah satu tahapan penyelenggaraan Pemilu yang penuh warna dan dinamika ialah kampanye Pemilu. Selama masa kampanye, komunikasi politik antara kandidat anggota badan legislatif, partai politik dan pemilih berlangsung secara intens dalam pengawasan Komisi Pemilihan Umum dan Pengawas Pemilu. Undang-Undang Pemilu menyatakan Kampanye Pemilu merupakan bagian dari pendidikan politik masyarakat dan dilaksanakan secara bertanggung jawab. Pendidikan politik merupakan usaha sadar untuk mengubah proses sosialisasi politik masyarakat ke arah perkembangan sikap dan tingkah laku politik yang semakin demokratis. Melalui pendidikan politik yang berkelanjutan, rakyat akan menjadi semakin cerdas, memiliki wawasan yang luas, dan memiliki rasa tanggung jawab sebagai warga negara untuk menggunakan hak politiknya dalam negara yang demokratis. Kata kunci: Kampanye Pemilu yang mencerdaskan rakyat. Mahendra, A.A. Oka Election Campaign 2014 as Part of Politics Education Society Indonesia Journal of Legislation Vol. 9 No. 4. Election is a ritual 5 (five) year conducted by the government adheres to the principle of popular sovereignty or democracy. Elections expressed as means embodiment of popular sovereignty, which are carried out effectively and efisen based on the principles of direct, general, free, secret, honest and fair. Through such elections, it is expected of the people as sovereign can choose representatives who aspirational quality, and responsible in carrying out the legislative function optimally. One of the stages of organizing elections is full of color and dynamics of the election campaign. During the campaign period, political communication between candidates for the legislature, political parties and voters in the intense ongoing supervision Election Commission and the Election Supervisor. Election Law states election campaign is part of the political education of the public and conducted responsibly. Political education is a conscious effort to change the political socialization process towards the development of attitudes and political behavior increasingly democratic. Through ongoing political education, people will become more and more educated, have extensive knowledge, a sense of responsibility as citizens to use their political rights in a democratic country. Keywords: election campaigns to educate people. Kata kunci bersumber dari artikel. Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa izin dan biaya Arsil, Fitra Mencegah Pemilihan Umum Menjadi Alat Penguasa Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 9 No. 4. Pada umumnya, negara-negara di dunia telah memberi tempat bagi demokrasi dalam konstitusinya sebagai sistem yang mengatur hubungan rakyat dan penguasa. Sebagai operasionalisasinya, negara-negara tersebut melaksanakan pemilihan umum dalam pengisian jabatan para pemimpin atau wakil rakyatnya. Namun kenyataannya pemilihan umum yang dianggap sebagai indikator utama demokrasi tersebut telah terbukti dapat dijadikan sebagai alat penguasa atau rezim-rezim berkinerja lemah untuk menambah legitimasinya. Rezim-rezim non-demokratis melakukan berbagai reduksi dalam prosedur-prosedur demokrasi yang terdapat dalam penyelenggaraan pemilihan umum terutama dengan menghambat partisipasi. Kata kunci: Demokrasi, pemilihan umum, prosedur demokrasi, alat penguasa. Arsil, Fitra To Prevent the General Election from Being a Tool of the Authority Indonesia Journal of Legislation Vol. 9 No. 4. In general, many countries in the world have already given enough space for democracy as a system that regulates relation between the people dan their ruler. To operasionalize it, those countries conduct a general election in order to elect the ruler or their representatives. However, what really happens is that the general election becomes the main indicator of democrary has proven to be manipulated by the low performance ruler or the regimes to strengthen their legitimacy. Non-democratic regimes reduces many procedures of democracy for a fair election especially by restricting the participation. Keywords: Democracy, election, procedures of democracy, participation. Vol. 9 No. 4 - Desember 2012 Kata kunci bersumber dari artikel. Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa izin dan biaya Thohari, A. Ahsin Deklinasi Partai Politik dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 9 No. 4. Sebagai agen yang berperan untuk mengawal berlangsungnya “perubahanperubahan yang damai” (peaceful changes) dalam sebuah negara yang salah satunya diwujudkan melalui kontestasi pemilihan umum, partai politik di Indonesia mempunyai tugas yang sangat berat jika masih ingin memiliki masa depan yang cerah dan segera beranjak dari keterpurukan deklinasi seperti terlihat selama ini. Hal ini karena deklinasi partai politik, dalam dalam batas tertentu, dapat mengarah pada inefisiensi pemerintahan dan tergerusnya legitimasi partai politik. Dalam konteks Indonesia, deklinasi itu salah satunya diakibatkan oleh kecenderungan kepengurusan partai politik yang bersifat oligarkis, karena hanya dikendalikan oleh kelompok kecil pemegang kekuasaan internal partai politik. Dalam hal ini, selalu muncul kelompok kecil yang mengendalikan (a minority of directors) dan kelompok besar yang dikendalikan (a majority of directed) dalam partai politik di Indonesia. Kemerosotan tingkat ekspektasi publik atas pemerintahan dan kurangnya kemampuan politisi dalam memenuhi dahaga ekspektasi publik tersebut pada akhirnya tidak bisa dihindarkan. Untuk keluar dari krisis ini tentu saja transparansi dan akuntabilitas internal partai politik menjadi pilihan yang tidak boleh dihindari. Persoalan lain yang juga berujung pada deklinasi adalah praktik korupsi yang tidak saja merusak partai politik yang bersangkutan tetapi juga sekaligus merusak proses-proses demokrasi secara keseluruhan. Partai politik yang diidealkan sebagai penghubung antara masyarakat dan pemerintah justru terjebak pada kepentingan-kepentingan dangkal. Hal ini sebenarnya juga merupakan muara dari munculnya fenomena partai politik yang mengandalkan jaringan berbasis patronase (patronage-based networks). Untuk keluar dari krisis ini tentu saja partai politik harus mempunyai mekanisme internal yang menghukum praktik tersebut, sebelum akhirnya tangan-tangan hukum berkerja sebagaimana mestinya. Kata kunci: Partai Politik, Hukum Tata Negara. Thohari, A. Ahsin The Decline of Political Parties in Constitutional Law of Indonesia Indonesia Journal of Legislation Vol. 9 No. 4. As an agent whose role is to oversee the ongoing “peaceful changes” in a country, one of which is realized through the contestation of general elections, political parties in Indonesia has a very tough task if they want to have a future bright future and soon moved from decline as seen over the years. This is because of political parties decline, in a certain extent, can lead to inefficiencies of government and erosion of political legitimacy. In the Indonesian context, the decline was one of them caused by the tendency of the management of political parties that are oligarchic, because it is controlled by a small group of internal authority of political parties. In this case, there are a minority of directors and a majority of directed in the Indonesian political party. The decline of the level of the public’s expectations of government and politicians lack the ability to meet public expectations thirst is eventually inevitable. To get out of this crisis, of course transparency and accountability of political parties are option that should not be avoided. Another thing that also led to the d is the corrupt practices that undermine the political party but also at the same time undermine the democratic process as a whole. Political parties are idealized as a liaison between the community and the government was stuck on superficial interests. It is actually also the estuary of the emergence of the phenomenon of political parties that rely on patronage-based networks. To get out of this crisis, of course, political parties must have an internal mechanism that punishes the practice, before finally hands the law works as it should. Key word: Political Party, Constitutional Law. Vol. 9 No. 4 - Desember 2012 Kata kunci bersumber dari artikel. Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa izin dan biaya Sihombing, Eka N A M dan Fatmah G, Nur Mendorong Keterwakilan Perempuan di Lembaga Legislatif Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 9 No. 4. Tindakan afirmatif diperlukan agar keterwakilan perempuan di lembaga legislatif segera terwujud. UU Nomor 8 Tahun 2012 belum menunjukkan ketegasan dalam mendorong pemenuhan kuota 30% keterwakilan perempuan dalam daftar calon anggota DPR maupun DPRD, untuk itu perlu diupayakan penataan peraturan perundang-undangan bidang Pemilu Anggota DPR,DPD,dan DPRD melalui pencantuman sanksi yang lebih konkrit dan tegas seperti diskualifikasi terhadap partai politik yang tidak memenuhi kuota 30 persen keterwakilan perempuan dalam daftar calon anggota DPR maupun DPRD. Dengan lebih banyak keterwakilan perempuan di lembaga legislatif, diharapkan akan lahir kebijakan-kebijakan yang lebih responsif gender. Kata kunci: Keterwakilan perempuan,tindakan affirmatif. Sihombing, Eka N A M dan Fatmah G, Nur Encourage Representation in Legislative Institutions Indonesia Journal of Legislation Vol. 9 No. 4. Affirmative action needed to woman representation in legislative institute immediately form. Law Number 8 Year 2012 not yet shown coherence in pushing accomplishment of quota 30% representation of woman in member candidate list of Parliaments (DPR) and also of Regional Parliaments (DPRD), for that require to be strived by settlement of Law And Regulation of General Election Member of DPR, DPD, and DPRD through coalescence of more concrete sanction and coherent like disqualified to political Party which do not fulfill quota 30% representation of woman in member candidate list of DPR and also of DPRD. With interest many representation of woman in legislative institute, expected will born more responsive policys of gender. Keyword: Representation of woman, affirmative action. Kata kunci bersumber dari artikel. Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa izin dan biaya Zaelani Batas Usia Dewasa Seseorang dalam Melakukan Perbuatan Hukum Berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 9 No. 4. Peraturan perundang-undangan dapat mengatur dan memberikan batasan pengertian terhadap suatu istilah, sebagaimana diatur dalam lampiran Pasal 104 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan, pengertian suatu istilah dapat diatur berbeda dan berlaku terbatas pada peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, perbedaan pengertian suatu istilah hendaknya dimaknai bukan merupakan pengertian yang bertentangan melainkan merupakan penyempurnaan dalam rangka menyesuaikan dengan konteks materi muatan peraturan perundang-undangan yang sedang disusun. Penentuan batas usia minimal seseorang dinyatakan cakap berkompentensi dan berwenang melakukan perbuatan hukum, yang diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan dengan pengaturan berbeda-beda, hal ini diatur berbedabeda untuk memberikan perbedaan dan pembatasan kewenangan seseorang dalam melakukan perbuatan hukum. Batasan usia seseorang untuk dapat bertindak perlu persamaan persepsi dan pemahaman bersama, agar perbuatan hukum yang dilakukan menjadi sah berdasarkan peraturan perundang-undangan. Kata kunci: batas usia dewasa seseorang, berbeda satu dengan yang lain di berbagai peraturan. Zaelani Adult Age Limits Someone in Doing an Action Under the Rule of Law Legislation Indonesia Journal of Legislation Vol. 9 No. 4. Legislation to regulate and give meaning to a term limit, as set forth in Annex Article 104 of Law No. 12 of year 2011 on the establishment of legislation, the definition of a term can be set differently and the effect is limited to the legislation in question , the difference in the sense of a term should not be interpreted to the contrary sense but a refinement in order to adapt to the context of the substance of the legislation that is being drafted. Determination of the minimum age a person is declared competent authorities berkompentensi and legal actions, it is stipulated in various laws with different settings, this set different restrictions to make a difference and someone in authority to take legal actions. Age limit a person needs to be able to act with the same perception and understanding, in order to do a legal act illegal under legislation. Keywords: limit one’s adulthood, different from one another in a variety of regulatory. Vol. 9 No. 4 - Desember 2012 Kata kunci bersumber dari artikel. Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa izin dan biaya Syaripulloh, Yanuar Aspek Hukum Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia Kepada BUMN/BUMD/ Badan Hukum Lainnya Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 9 No. 4. Untuk mewujudkan kesejahteraan umum melalui badan usaha, Pemerintah melakukan Penyertaan Modal Negara untuk mendirikan Badan Usaha Milik Negara. Selanjutnya untuk menyelamatkan perekonomian nasional, Pemerintah dapat pula melakukan penyertaan modal Negara ke dalam Perseroan Terbatas yang di dalamnya belum terdapat saham milik Negara. Penyertaan modal Negara seperti ini dilakukan oleh Pemerintah dengan mengeluarkan dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Untuk memperbaiki struktur permodalan dan meningkatkan kapasitas usaha Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas, Pemerintah dapat pula melakukan penambahan penyertaan modal Negara ke dalam Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas tersebut yang dananya dapat berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Kata kunci : Penyertaan modal negara/daerah. Syaripulloh, Yanuar Legal Aspects of Capital Investments of the Republic of Indonesia to BUMN/BUMD/ Other Legal Entities Indonesia Journal of Legislation Vol. 9 No. 4. In order achieve common prosperity through business entities, the Government makes to establish the Investment of the State-Owned Enterprises. Furthermore, to save the national economy, the Government may also undertake equity participation in the State Limited Liability Company in which shares are not owned by the State. State equity participation as is done by the Government to release funds from the State Budget. To improve its capital structure and enhance the business capacity of State Owned Enterprises and Company Limited, Government may also undertake additional equity into the State-Owned Enterprises and Limited Liability Company with funds to come from the State Budget. Keywords: Equity countries/regions. Kata kunci bersumber dari artikel. Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa izin dan biaya Wiriadinata, Wahyu Peranan Aparat Penegak Hukum dalam Pelanggulangan Terorisme di Indonesia Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 9 No. 4. Saat ini, terorisme gerakan di Indonesia semakin meningkat, baik frekuensi maupun percepatan. Sudah ada undang-undang yang megatur pemberantasan kejahatan terorisme, yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003. Hukum ini telah berlaku sejak tahun 2003 dan dilaksanakan oleh penegak hukum Indonesia, khususnya Kepolisian Indonesia. Karena beberapa kendala psikologis dan teknik yuridis, penanganan kejahatan terorisme belum berhasil secara optimal. Secara umum, peran penegak hukum belum efektif dan optimal dalam mencegah terorisme di Indonesia, karena gerakan terorisme tidak hanya gerakan lokal tetapi juga jaringan internasional dengan menggunakan teknologi tinggi, dan gerakan terorisme di Indonesia didasarkan pada ideologi fundamental, yaitu Islam, sehingga tidak bisa didekati oleh paradigma represif dan pendekatan yuridis, melainkan harus dilengkapi dengan pendekatan psikologis dan sosiologis-religius. Kata kunci: Terorisme, Aparat penegak hukum. Wiriadinata, Wahyu The Role of Law Enforcers in Dealing with Terrorism in Indonesia Indonesia Journal of Legislation Vol. 9 No. 4. Currently, terrorism movement in Indonesia is increasing, both in frequency and inacceleration. There is already a legislation that provides for the eradication of terrorism crime, i.e. Law Number 15 of 2003. The Law has been in effect since 2003 and implemented by Indonesia law enforcers, particularly Indonesia Police. Due to some psychological constraints and juridical techniques, the handling of terrorism crimes has not been successful optimally. In general, the role of law enforcers has not been effective and optimal yet in preventing terrorism in Indonesia, because terrorism movements are not only local movements but also international networks by employing high technology, and terrorism movement in Indonesia is based on a fundamental ideology, that is, Islam, so that it couldn’t be approached by a repressive paradigm and juridical approach, but rather it should be supplemented by a psychological and sociological-religious approach. Keywords: Terrorism, Law enforcers. Vol. 9 No. 4 - Desember 2012 PARTAI POLITIK DAN DEMOKRASI INDONESIA MENYONGSONG PEMILIHAN UMUM 2014 (POLITICAL PARTY AND INDONESIAN DEMOCRACY TOWARDS THE 2014 GENERAL ELECTION) Munafrizal Manan* (Naskah diterima 31/10/2012, disetujui 23/11/2012) Abstrak Partai politik dan demokrasi memiliki hubungan simbiosis mutualis. Masingmasing saling memerlukan yang lain. Demokrasi perwakilan yang diterapkan pada zaman modern ini membutuhkan partai politik. Peran dan fungsi partai politik dapat termanifestasi dengan baik hanya dalam sistem politik demokratis. Postulat ini juga berlaku di Indonesia. Partai politik Indonesia memiliki pengalaman sejarah cukup panjang. Partai politik mendahului kehadiran negara Republik Indonesia. Partai politik Indonesia mengalami masa pasang dan surut. Sistem kepartaian Indonesia merupakan produk dari sistem politik pada zamannya. Dalam sistem politik yang demokratis, sistem kepartaian Indonesia ikut menjadi demokratis. Begitu sebaliknya. Sejak Era Reformasi partai politik memiliki kebebasan dan otonomi, bahkan partai memiliki peran dominan dalam praktik ketatanegaraan. Namun, partai politik juga menjadi beban bagi demokrasi Indonesia saat ini. Kata Kunci: Partai politik, sistem politik, sistem kepartaian, demokrasi, otoritarianisme, Indonesia. Abstract Political party and democracy have a symbiotic mutualism relationship. Each needs another. Representative democracy applied in the modern times needs political party. The role and function of political party can be manifested in a good manner only in democratic political system. Such a postulate applies in Indonesia. Indonesian political parties have a long historical experience. In Indonesia, political party arose before the state. Political parties in Indonesia have been experiencing the rise and fall. Indonesian party system has been the result of political system each era. In democratic political system, party system has become democratic. And vice versa. Since the Reformation Era begun political parties have freedom and autonomy, even political parties have a dominant role in state affairs. However, political parties are also the problem for Indonesian democracy today. Keywords: Political party, political system, party system, democracy, authoritarianism, Indonesian * Dosen Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan Universitas Nasional Jakarta. 501 Vol. 9 No. 4 - Desember 2012 A. Pendahuluan Pada tahun 2014 mendatang Indonesia akan kembali menggelar perhelatan ritual demokrasi untuk memilih anggota legislatif dan presiden dan wakil presiden periode 2014-2019. Serangkaian tahapan Pemilu 2014 telah dan sedang dilakukan. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum telah disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) periode 2012-2017 telah dipilih oleh DPR. Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) telah dibentuk dan anggotanya telah dipilih. KPU akan memasuki tahap verifikasi faktual calon partai politik yang akan menjadi peserta dalam Pemilu 2014. KPU telah memutuskan sebanyak 12 dari 46 partai politik calon peserta Pemilu 2014 gagal memasuki tahap verifikasi administrasi awal karena tidak dapat memenuhi seluruh dokumen persyaratan pendaftaran. KPU juga telah memutuskan sebanyak 16 partai politik lolos seleksi administrasi dan 18 partai politik tidak lolos seleksi ini. 1 Berdasarkan hasil akhir verifikasi faktual nanti, KPU akan memutuskan jumlah partai politik peserta Pemilu 2014. Tampaknya jumlah partai peserta Pemilu 2014 akan menjadi lebih sedikit daripada Pemilu sebelumnya. Verifikasi atas partai politik ini merupakan salah satu tahapan krusial, tidak hanya bagi partai politik tetapi juga bagi KPU. Partai politik harus bekerja keras memenuhi semua persyaratan yang sekarang lebih berat untuk dapat lolos menjadi partai politik peserta Pemilu 2014. Apalagi Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Pengujian UndangUndang tentang Partai Politik telah menegaskan bahwa semua partai politik tanpa terkecuali harus melewati verifikasi oleh KPU untuk dapat menjadi peserta Pemilu 2014.2 KPU juga harus bekerja keras melakukan verifikasi secara objektif, independen, dan tepat waktu sesuai dengan tahapan Pemilu 2014 yang telah ditetapkan. Kegagalan KPU memenuhi prinsip kerja ini berpotensi mereduksi kualitas kerja KPU, menyulut kompleksitas persoalan Pemilu, atau bahkan mendelegitimasi hasil Pemilu. Kompas, 11 September 2012; Kompas, 29 Oktober 2012. MK telah membatalkan ketentuan Pasal 8 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum yang memberi keistimewaan bagi partai politik peserta Pemilu 2009 yang memenuhi ambang batas perolehan suara untuk secara otomatis menjadi peserta Pemilu 2014 tanpa melalui verifikasi oleh KPU. Kompas, 30 Agustus 2012. 1 2 502 Partai Politik Dan Demokrasi Indonesia Menyongsong ... Sejak memasuki Era Reformasi pada tahun 1998, Indonesia telah menyelenggarakan secara periodik tiga kali pemilihan umum (Pemilu), yaitu Pemilu 1999, Pemilu 2004, dan Pemilu 2009. Pemilu 2014 akan menjadi Pemilu keempat dalam Era Reformasi di Indonesia. Dalam perspektif demokrasi elektoral, Indonesia telah mampu melewati apa yang dalam studi demokrasi disebut the two-turnover test. Istilah ini merujuk pada kemampuan negara melewati fase transisi demokrasi menuju fase konsolidasi demokrasi berdasarkan keberhasilan menyelenggarakan dua kali Pemilu sejak berakhirnya era kekuasaan otoriter. 3 Pemilu yang keempat nanti merupakan momentum bagi Indonesia memantapkan konsolidasi demokrasi. Keberhasilan menyelenggarakan Pemilu tentu tidak dapat seketika disimpulkan Indonesia telah berhasil mewujudkan demokrasi substantif, meskipun demokrasi elektoral adalah prasyarat dan bagian esensial bagi demokrasi substantif. Demokrasi elektoral (demokrasi minimalis) dan demokrasi substantif (demokrasi maksimalis) mengandung makna dan memiliki ukuran berbeda. Jika realisasi demokrasi elektoral diukur hanya sebatas Pemilu yang bebas, kompetitif, dan demokratis, 4 maka realisasi demokrasi substantif mensyaratkan lebih daripada sekadar penyelenggaraan Pemilu. Demokrasi substantif mencakup aspek yang luas, mulai dari adanya kebebasan sipil dan politik, jaminan hak-hak asasi manusia, hingga terwujudnya tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih. Menurut laporan penilaian praktik demokrasi di dunia yang dirilis oleh Freedom House, lembaga independen terkemuka dari Amerika Serikat yang melakukan riset dan advokasi demokrasi, berjudul Countries at the Crossroads 2012, kualitas demokrasi Indonesia menurun dan masuk dalam kelompok negara di persimpangan jalan. Penilaian ini didasarkan atas beberapa indikator, yaitu perlindungan terhadap kaum minoritas, jaminan keamanan bagi jurnalis melaksanakan tugasnya, dominasi Samuel P. Huntington, 1991. The Third Wave Democratization in the Late Twentieth Century, University of Oklahoma Press, Norman. Hlm. 26-27. 4 Dalam literatur demokrasi, demokrasi elektoral disebut beraliran Schumpeterian karena berakar pada pendapat Joseph A. Schumpeter tentang “metode demokratis” mencapai keputusan politik. Dalam buku klasiknya berjudul Capitalism, Socialism and Democracy, Schumpeter berpendapat bahwa: “The democratic method is that institutional arrangement for arriving at political decisions in which individual acquire the power to decide by means of a competitive struggle for the people’s vote.” Lihat, Joseph A. Schumpeter, 1987. Capitalism, Socialism and Democracy, Unwin Paperbacks, London. Hlm. 269. 3 503 Vol. 9 No. 4 - Desember 2012 kepemilikan media oleh segelintir elite, dan keseriusan pemberantasan korupsi. Indonesia mendapat nilai rendah terkait dengan indikator tersebut. 5 Demokrasi substantif Indonesia akan tampak semakin problematik jika variabel potret kehidupan partai politik Indonesia juga dimasukkan di dalamnya. Artinya, Indonesia memang masih harus serius bekerja keras untuk mencapai demokrasi substantif. Tulisan singkat ini memaparkan dan menganalisis potret kehidupan partai politik dan demokrasi Indonesia. Potret kehidupan partai politik dan demokrasi Indonesia dalam sepanjang sejarahnya merupakan resultante hubungan antara sistem politik dan sistem kepartaian. Sistem kepartaian yang diterapkan merupakan produk dari sistem politik yang dianut. Partai politik Indonesia telah lama merindukan ruang sistem politik demokratis agar eksistensi dan otonomi partai politik terlindungi. Namun, kiprah partai politik pada Era Reformasi yang demokratis justru menjadi beban bagi praktik demokrasi Indonesia. Partai politik belum banyak memberi kontribusi konstruktif untuk mewujudkan demokrasi substantif. Ini merupakan paradoks kehidupan partai politik dan demokrasi Indonesia. B. Partai Politik Barometer Kualitas Demokrasi Praktik demokrasi mendahului kemunculan partai politik. Sebelum dikenal organisasi bernama partai politik, demokrasi bekerja dalam bentuk demokrasi langsung (direct democracy). Negara kota Athena pada masa Yunani Kuno sering dirujuk sebagai praktik awal demokrasi langsung tersebut, meskipun yang memiliki hak suara hanya warga negara tertentu saja.6 Dalam demokrasi langsung, warga negara terlibat secara langsung dan proaktif dalam proses dan mekanisme pembuatan keputusan dan kebijakan publik (direct vote). Menurut David Held, demokrasi langsung adalah “sebuah sistem pembuatan keputusan tentang masalah-masalah publik yang melibatkan warga negara secara langsung”.7 Demokrasi langsung dapat diterapkan pada masa lalu karena populasi warga negara masih relatif sedikit dan luas teritorial pemerintahan relatif kecil. Lihat Kompas, Skor Indonesia Kembali Memburuk. 19 September 2012. Hlm. 1. Dapat juga diakses langsung ke laman resmi Freedom House (www.freedomhouse.org). 6 Anthony H. Birch, 1993. The Concepts and Theories of Modern Democracy, Routledge, London and New York. Hlm. 45. 7 David Held, 1987. Models of Democracy, Stanford University Press, Stanford, California. Hlm. 4. 5 504 Partai Politik Dan Demokrasi Indonesia Menyongsong ... Perkembangan zaman yang antara lain menciptakan pertambahan populasi dan perluasan teritorial telah meminggirkan kelanjutan praktik demokrasi langsung. Ketika peradaban Barat mulai menemukan dan menerapkan prinsip perwakilan (representation) dan pemilihan umum (election) dalam praktik sistem politiknya, praktik demokrasi langsung ala negara-kota Athena pada zaman Yunani Kuno dianggap anakronistik. Praktik demokrasi kemudian beralih menjadi tidak langsung (indirect democracy) berbasiskan pada demokrasi perwakilan. Kemunculan partai politik pada abad ke-19 semakin memantapkan praktik demokrasi perwakilan (representative democracy). Kehadiran dan peran partai politik saat ini menjadi prasyarat penting bagi praktik demokrasi modern. Demokrasi modern adalah demokrasi partai.8 Sejak disadari ketidakmungkinan menerapkan lagi demokrasi langsung ala zaman Yunani Kuno di Athena dahulu, partai politik kemudian menjadi bagian inheren dalam praktik demokrasi perwakilan. Demokrasi modern adalah demokrasi perwakilan. Kini semakin diakui demokrasi perwakilan tidak dapat berjalan baik tanpa kehadiran partai politik yang salah satu fungsinya sebagai intermediator antara elite politik dan konstituen. Literatur studi demokrasi umumnya menyebut adanya partai politik yang bebas, otonom, dan kompetitif merupakan conditio sine quo non bagi praktik demokrasi. 9 Sistem politik demokratis diyakini mampu memfasilitasi kehidupan partai politik yang bebas, otonom, dan kompetitif, maka demokratisasi partai politik mensyaratkan demokratisasi sistem politik terlebih dulu. Tanpa sistem politik demokratis, sulit muncul partai politik yang bebas, otonom, dan kompetitif. Dalam sistem politik non-demokratis, kehidupan partai politik umumnya tidak bebas, tidak otonom, dan tidak kompetitif. Jika pada awalnya partai politik merupakan salah satu prasyarat penting bagi praktik demokrasi perwakilan, kini peran dan fungsi partai politik ikut menentukan kualitas praktik demokrasi perwakilan. Dalam pengertian ini, demokrasi perwakilan tidak hanya mensyaratkan 8 Richard S. Katz, 1980. A Theory of Parties and Electoral Systems, The Johns Hopkins University Press, Baltimore and London. Hlm. 1. 9 Lihat, misalnya, Robert A. Dahl, 1971. Polyarchy: Participation and Opposition, Yale University Press, New Haven and London. hlm. 3-4; Afan Gaffar, 1999. Politik Indonesia Menuju Transisi Menuju Demokrasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Hlm. 8-9. 505 Vol. 9 No. 4 - Desember 2012 kehadiran partai politik, tetapi juga menuntut partai politik memberi kontribusi positif dan konstruktif terwujudnya praktik demokrasi perwakilan berkualitas. Artinya, sepak-terjang partai politik merupakan variabel yang mempengaruhi kualitas demokrasi. Jika partai politik menjalankan peran dan fungsinya dengan baik, kualitas demokrasi akan menjadi baik. Begitu pula sebaliknya. Variabel potret partai politik penting menjadi barometer atas kualitas praktik demokrasi karena kehadiran partai politik an sich bukan merupakan garansi penuh atas kedemokratisan sistem politik. Pada saat ini, partai politik atau organisasi yang berkiprah seperti partai politik terdapat hampir di semua negara di dunia. Partai politik tidak hanya hadir di negara yang menganut sistem politik demokratis, tetapi juga di negara yang menerapkan sistem politik otoriter dan totaliter. Oleh sebab itu, penilaian atas kedemokratisan suatu sistem politik atau kualitas praktik demokrasi tidak cukup hanya berdasarkan pada aspek keberadaan partai politik yang bebas, otonom, dan kompetitif, namun juga berdasarkan pada aspek sepak-terjang partai politik dan kemampuan partai politik menjalankan peran dan fungsinya. Menjelaskan dan menganalisis partai politik di Indonesia pada Era Reformasi yang hendak menyongsong pemilihan umum tahun 2014 mendatang perlu dikaitkan dengan perspektif tersebut. C. Lintas Sejarah Partai Politik Indonesia Kita akan mendapat gambaran utuh memahami partai politik dan demokrasi Indonesia manakala tidak melepaskan konteks sejarah kepartaian Indonesia. Kehidupan partai politik di Indonesia memiliki pengalaman sejarah yang cukup panjang. Embrio eksistensi partai politik bahkan telah muncul pertama kali pada zaman perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia. Sejak Indonesia memasuki zaman kemerdekaan, eksistensi partai politik tidak pernah sirna meskipun perjalanan garis sejarahnya tidak linear. Kehidupan partai politik di Indonesia mengalami apa yang disebut oleh Daniel Dhakidae tigapuluh satu tahun silam sebagai “masa pasang dan masa surut partai politik”.10 Daniel Dhakidae, 1986. Pemilihan Umum di Indonesia: Saksi Pasang Naik dan Surut Partai Politik, dalam Seri Prisma, Demokrasi dan Proses Politik, LP3ES, Jakarta. Tulisan ini awalnya dimuat dalam Prisma, September 1981, kemudian diterbitkan kembali sebagai salah satu kompilasi artikel-artikel Prisma dalam buku tersebut. 10 506 Partai Politik Dan Demokrasi Indonesia Menyongsong ... Dalam lintasan zaman yang berbeda itu, eksistensi dan peran partai politik tidak dapat dilepaskan dari konteks bingkai sistem politik di mana partai politik itu hidup. Catatan historis kepartaian Indonesia menunjukkan desain sistem kepartaian yang berlaku merupakan refleksi dari sistem politik yang dianut. Merentangi perjalanan sejarah itu, kehidupan partai politik di Indonesia pernah mengalami masa fungsional, disfungsi, dan juga malfungsi. Postulat tentang hubungan sistem politik dan sistem kepartaian ini masih terus terjaga kesahihannya hingga sekarang. Partai politik adalah bagian dari motor perjuangan kemerdekaan Indonesia. Para pejuang kemerdekaan menggunakan partai politik sebagai alat pendidikan politik, mobilisasi massa, dan perlawanan terhadap kolonialisme. Kita mengenal antara lain Partai Syarikat Islam Indonesia, Partai Komunis Indonesia, Partai Nasional Indonesia, dan Partai Indonesia yang mengkreasi partai politik sebagai alat perjuangan. Dari nama-nama partai politik itu tercermin bahwa kehidupan partai politik di Indonesia memiliki spektrum basis aliran atau ideologi yang beragam, yaitu mulai dari religius, nasionalis, hingga komunis.11 Kehadiran partai politik mendahului kehadiran negara Republik Indonesia. Sejak Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, partai politik dapat dikatakan telah siap menyambut berdirinya negara baru bernama Republik Indonesia. Ketika Indonesia secara terbuka telah memproklamasikan kemerdekaannya sebagai negara-bangsa (nation-state), partai politik adalah infrastruktur politik yang langsung tersedia. Dalam bingkai sistem politik demokratis pada masa awal kemerdekaan Republik Indonesia yang sering disebut sebagai Demokrasi Liberal atau Demokrasi Parlementer, partai politik hidup secara bebas dan leluasa. Pada masa itu tidak dikenal pembatasan dan pelarangaan 11 Sejarah kepartaian Indonesia menunjukkan, aliran politik atau ideologi partai politik Indonesia bergerak dinamis mengikuti perubahan sistem politik, sistem kepartaian, dan perkembangan zaman. Namun, pada prinsipnya eksistensi aliran politik atau ideologi itu cenderung tetap hidup kendati eksistensi partai politik telah berganti atau bubar. Lihat, Herbert Feith dan Lance Castle (eds.), 1988. Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965, LP3ES, Jakarta; Daniel Dhakidae, 1999. Partai-Partai Politik Indonesia: Kisah Pergerakan dan Organisasi dalam Patahan-Patahan Sejarah, dalam Kompas, PartaiPartai Politik Indonesia, PT Kompas Media Nusantara, Jakarta; David Bourchier dan Vedi R. Hadiz (eds.), 2006. Pemikiran Sosial dan Politik Indonesia Periode 1965-1999, Pustaka Utama Grafiti dan Freedom Institute, Jakarta. 507 Vol. 9 No. 4 - Desember 2012 terhadap partai politik, baik mengenai jumlah maupun ideologi partai politik. Bahkan, Pemerintah Republik Indonesia melalui Maklumat Pemerintah yang dikeluarkan oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta tanggal 3 November 1945 menyatakan “Pemerintah menyukai timbulnya partai-partai politik karena dengan partai-partai politik itulah dapat dipimpin ke jalan yang teratur segala aliran yang ada dalam masyarakat”. Maklumat ini sangat bersejarah karena tidak ada Pemerintah Indonesia berikutnya yang secara tegas dan terus terang menyatakan menyukai munculnya banyak partai politik. Maklumat ini menjadi justifikasi legal-formal atas sistem kepartaian Indonesia yang bersifat multipartai dan multialiran pada masa itu. Selama periode Demokrasi Liberal atau Demokrasi Parlementer, kehidupan partai politik di Indonesia berlangsung bebas, otonom, dan kompetitif. Ada banyak partai yang muncul berkiprah dan berlaga dalam gelanggang politik masa itu. Pemilihan umum pertama kali dalam sejarah Indonesia yang digelar pada tahun 1955 menjadi arena kontestasi politik perdana menguji dukungan masyarakat terhadap partai-partai politik. Hasil pemilu 1955 menghasilkan hanya empat partai besar memperoleh suara terbanyak, secara berurutan yaitu PNI, Masyumi, NU, dan PKI.12 Dengan demikian, hasil Pemilu 1955 menciptakan penyederhanaan jumlah partai politik secara demokratis. Selama periode itu, partai politik berperan penting dalam kehidupan politik. Inilah periode sejarah Indonesia yang disebut oleh Wilopo sebagai “zaman pemerintahan partaipartai” dan “zaman kabinet silih berganti”.13 Terlepas dari berbagai kelemahan yang menyertai periode Demokrasi Liberal atau Demokrasi Parlementer, kehidupan partai politik yang bebas, otonom, dan kompetitif dapat terwujud pada masa itu karena diterapkannya sistem politik demokratis. Memasuki masa Demokrasi Terpimpin, sistem politik yang dianut mengalami perubahan ke arah cenderung otoriter, dan sebagai akibatnya, politik kepartaian pun ikut mengalami perubahan. Pada masa ini, Pemerintah mulai menunjukkan ketidaksukaan terhadap eksistensi multipartai dan mulai dikenal adanya pembatasan dan 12 Lihat, Herbert Feith, 2005. Pemilihan Umum 1955 di Indonesia, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta. 13 Wilopo, 1976. Jaman Pemerintahan Partai-Partai dan Kelemahan-Kelemahannya, Yayasan Idayu, Jakarta. 508 Partai Politik Dan Demokrasi Indonesia Menyongsong ... bahkan pembubaran dan larangan terhadap partai politik. Seiring dengan kecenderungan Presiden Soekarno menjadi Pemimpin Besar dan memiliki kekuasaan yang besar, mulai muncul upaya melumpuhkan partai-partai politik, terutama partai politik yang tidak sepaham dengan garis politik dan ideologi Soekarno. Presiden Soekarno secara terangterangan menunjukkan ketidaksukaannya terhadap partai politik. Ia secara terbuka ingin mengubur partai-partai politik karena partai politik dianggap menciptakan fragmentasi sosial dan kegaduhan politik. Menurut Daniel S. Lev, Demokrasi Terpimpin memang dari sejak awal terbentuknya bersikap antipartai.14 Upaya mengerdilkan dan melumpuhkan partai politik dilakukan oleh rezim Demokrasi Terpimpin segera setelah Dekrit Presiden Soekarno tanggal 5 Juli 1959 yang menjadi justifikasi mengakhiri periode Demokrasi Liberal atau Demokrasi Parlementer. Pemerintah mengeluarkan Penpres No. 7/1959 yang mengatur tentang penyederhanaan partai politik. Kemudian dikeluarkan Penpres No. 13/ 1960 tentang pengakuan, pengawasan, dan pembubaran partai politik. Pada tahun 1960, Partai Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia dibubarkan karena dituding terlibat dalam pemberontakan PRRI/ Permesta. Pada tahun 1961, Pemerintah hanya mengakui delapan partai politik, yaitu PNI, NU, PKI, Partai Katolik, Partai Indonesia, Partai Murba, PSII, dan IPKI. Kemudian ditambah lagi mengakui dua partai politik, yaitu Parkindo dan Perti. Selama periode Demokrasi Terpimpin, hanya sepuluh partai politik ini yang boleh terus hidup. Untuk melemahkan kedudukan partai politik, pada tahun 1960 Presiden Soekarno membentuk Front Nasional yang anggotanya meliputi wakil dari semua partai politik serta ditambah dengan golongan fungsional dan ABRI.15 Sejarah kepartaian Indonesia selama periode Demokrasi Terpimpin menunjukkan bahwa politik kepartaian terbelenggu dalam sistem politik tidak demokratis. Tampilnya kekuasaan rezim Orde Baru, setelah berhasil mengambil alih kekuasaan Presiden Soekarno, menampilkan wajah baru politik kepartaian Indonesia, tetapi tetap dalam bingkai semangat membenci 14 Daniel S. Lev, 1988. Partai-Partai Politik di Indonesia Pada Masa Demokrasi Parlementer (19501957) dan Demokrasi Terpimpin (1957-1965), dalam Ichlasul Amal (ed.), Teori-Teori Mutakhir Partai Politik, Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta. 15 Miriam Budiardjo, 1994. Demokrasi di Indonesia: Demokrasi Parlementer dan Demokrasi Pancasila, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. hlm. 229. 509 Vol. 9 No. 4 - Desember 2012 partai politik seperti dilakukan oleh Presiden Soekarno. Sistem kepartaian Indonesia yang dibentuk oleh Orde Baru pada prinsipnya merupakan kelanjutan dari format sistem kepartaian yang telah dirintis oleh Demokrasi Terpimpin.16 Menurut R. William Liddle, pemerintahan Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto pada dasarnya antipartai.17 Rezim Orde Baru secara sistematis melakukan serangkaian langkah pembenahan politik kepartaian sesuai dengan misi politiknya. Ini telah mulai dilakukan sebelum kekuasaan Orde Baru terkonsolidasi secara mantap pasca tersingkirnya Soekarno dari pusat kekuasaan. Langkah radikal pertama yang dilakukan yaitu membubarkan PKI, yang dituding bertanggung jawab atas terbunuhnya beberapa Jenderal dari Angkatan Darat. Pada awalnya rezim Orde Baru masih tampak menahan diri untuk tidak tergesa-gesa menggusur partai politik. Pemilihan umum pertama yang digelar oleh Orde Baru pada tahun 1971 masih menyertakan sepuluh partai politik sebagai peserta Pemilu. Namun, saat kekuasaan rezim Orde Baru telah terkonsolidasi cukup kuat, barulah penguasa Orde Baru secara persuasif dan represif melakukan serangkaian penataan politik kepartaian dengan satu tujuan utama yaitu melemahkan dan mengoptasi partai-partai politik. Orde Baru memaksakan fusi partai politik warisan Orde Lama menjadi hanya dua partai politik beraliran religius (PPP) dan nasionalis (PDI). Orde Baru juga mewajibkan partai mencantumkan Pancasila sebagai asas tunggal sembari mengubur aliran ideologis partai politik. Masyarakat pedesaan dijauhkan dari hiruk-pikuk kepartaian melalui kebijakan massa mengambang guna mencegah struktur organisasi partai politik masuk ke desa-desa. Pegawai negeri sipil (PNS) wajib loyal terhadap Golongan Karya sebagai organisasi politik pendukung Pemerintah. Orde Baru mengebiri peran dan fungsi partai politik sehingga dua partai yang ada (PPP dan PDI) tampak sekadar pajangan demokrasi. Lebih jauh, penguasa Orde Baru seringkali mencampuri urusan internal PPP dan PDI, terutama untuk memastikan kedua partai ini dipimpin oleh orang yang patuh dan loyal penuh pada penguasa Orde Baru. Semua ini dilakukan dengan tujuan untuk menciptakan stabilitas politik agar pembangunan yang digalakkan oleh Orde Baru dapat berjalan18 dan sekaligus sebagai upaya Arbi Sanit, 1997. Partai, Pemilu dan Demokrasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Hlm. 47. R. William Liddle, 1992. Partisipasi dan Partai Politik Indonesia Pada Awal Orde Baru, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta. Hlm. 132. 18 M. Rusli Karim, 1983. Perjalanan Partai Politik di Indonesia: Sebuah Potret Pasang-Surut, Rajawali Pers, Jakarta. Hlm. 172. 16 17 510 Partai Politik Dan Demokrasi Indonesia Menyongsong ... untuk melanggengkan kekuasaan rezim Orde Baru. Sejarah kepartaian Indonesia selama periode Orde Baru menunjukkan bahwa politik kepartaian menjadi terkungkung dan tertindas oleh sistem politik otoriter. Berbagai studi tentang sejarah kepartaian Indonesia umumnya menunjuk sistem politik tidak demokratis sebagai sebab terjadinya keterpurukan kepartaian di Indonesia.19 Periode kekuasaan Demokrasi Terpimpin dan kekuasaan Orde Baru secara jelas menunjukkan partai politik sulit berperan dan berfungsi baik dalam bingkai sistem politik otoriter. Ini memunculkan kerinduan akan hadirnya kembali politik kepartaian yang bebas, otonom, dan kompetitif seperti periode Demokrasi Liberal atau Demokrasi Parlementer silam. Kerinduan hanya dapat terjawab manakala hadir sistem politik demokratis terlebih dahulu. Sistem politik demokratis diyakini sebagai panacea atas krisis politik kepartaian yang hampir empat puluh tahun mendera Indonesia. Inilah salah satu alasan menggelindingnya bola salju perjuangan menegakkan demokrasi Indonesia selama periode kekuasaan rezim Orde Baru. Perjuangan ini kemudian mencapai puncaknya pada Gerakan Reformasi Mei 1998 yang berhasil memaksa mundur Presiden Soeharto dari kursi kekuasaaannya yang telah diduduki selama 30 tahun. Ini menandai dimulainya Era Reformasi di Indonesia. Euforia politik pada Era Reformasi membawa angin segar bagi politik kepartaian Indonesia. Liberalisasi politik dan restrukturisasi politik yang berlangsung pada Era Reformasi mengarah pada terbentuknya sistem politik demokratis. Ini membawa konsekuensi bagi terciptanya sistem kepartaian yang bebas, otonom, dan kompetitif. Pengalaman indah politik kepartaian pada masa Demokrasi Liberal atau Demokrasi Parlementer dirasakan kembali pada Era Reformasi, maka sekonyongkonyong bermunculan partai politik secara masif. Bak cendawan di musim hujan. Sejumlah partai politik yang muncul merupakan reinkarnasi partai-partai politik pada periode sebelumnya. Sejumlah partai politik lainnya merupakan partai politik yang baru pertama kali muncul. Pluralisme kepartaian, yang ditandai oleh multipartai, bangkit 19 Lihat, misalnya, Daniel S. Lev, 1988. Partai-Partai Politik di Indonesia Pada Masa Demokrasi Parlementer (1950-1957) dan Demokrasi Terpimpin (1957-1965), dalam Ichlasul Amal (ed.), Teori-Teori Mutakhir Partai Politik, Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta; R. William Liddle, 1992. Partisipasi dan Partai Politik Indonesia Pada Awal Orde Baru, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta; Daniel Dhakidae, 1995, cetakan keempat. Partai Politik dan Sistem Kepartaian di Indonesia, dalam Seri Prisma, Analisa Kekuatan Politik Indonesia, LP3ES, Jakarta. 511 Vol. 9 No. 4 - Desember 2012 kembali. Pemilihan-pemilihan umum yang diselenggarakan pada Era Reformasi selalu diikuti oleh banyak partai politik: Pemilu 1999 (48 partai politik), Pemilu 2004 (24 partai politik), Pemilu 2009 (38 partai politik nasional dan 6 partai politik lokal). Ada dua momentum penting yang menjadi dasar transformasi politik kepartaian pada Era Reformasi, yaitu diberlakukannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik dan berlangsungnya Amandemen Undang-Undang Dasar 1945. Dua momentum ini merupakan milestone bagi perubahan dan pembentukan sistem kepartaian di Indonesia.20 Sejak Era Reformasi, partai politik berperan penting bukan hanya dalam aspek kontestasi elektoral, tetapi juga dalam aspek ketatanegaraan. Dalam aspek elektoral, partai politik merupakan kendaraan politik untuk ikut dalam perebutan jabatan publik eksekutif di pusat dan daerah. Sebelum ada Putusan Mahkamah Konstitusi yang membolehkan calon independen dalam pemilihan kepala daerah, partai politik merupakan satu-satunya mekanisme bagi kandidat untuk dapat maju dalam kontestasi elektoral di tingkat lokal. Khusus untuk pencalonan presiden dan wakil presiden, partai politik masih memonopoli pencalonan tersebut hingga kini. Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memasukkan Pasal 6A Ayat (2) yang mengatur pencalonan presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum. Sementara dalam aspek ketatanegaraan, partai politik yang memiliki kepanjangan tangan di lembaga DPR dapat terlibat dalam pembuatan keputusan yang bukan hanya berhubungan dengan domain utama legislatif (legislasi, pengawasan, dan anggaran), tetapi juga berwenang memilih duta besar, anggota komisi-komisi negara, Panglima TNI, dan Kapolri. Singkatnya, Era Reformasi adalah era surplus kekuasaan partai politik (partytocracy). Semua keistimewaan itu dapat dimiliki oleh partai politik karena di Indonesia saat ini berlaku sistem politik demokratis. Sekali lagi tampak bahwa sistem kepartaian demokratis adalah buah dari sistem politik demokratis. Sampai di sini kita dapat meyakini terdapat hubungan erat antara sistem politik demokratis dan sistem kepartaian demokratis. 20 Sigit Pamungkas, 2011. Partai Politik: Teori dan Praktik di Indonesia, Institute for Democracy and Welfarism, Yogyakarta. Hlm. 155. 512 Partai Politik Dan Demokrasi Indonesia Menyongsong ... D. Potret Partai Politik Era Reformasi Potret kehidupan partai politik di Indonesia pada Era Reformasi menyajikan fakta sistem politik demokratis ternyata bukanlah panacea bagi politik kepartaian. Problematika kepartaian Indonesia saat ini tidak lagi terkait dengan faktor sistem politik karena sistem politik telah relatif demokratis. Era Reformasi yang demokratis kini telah mementahkan pendapat dan keyakinan lama bahwa krisis kepartaian Indonesia disebabkan oleh faktor eksternal partai politik. Problematika kepartaian Indonesia sekarang ternyata lebih terletak pada faktor internal partai politik. Berbagai fenomena yang terjadi pada partai politik pasca-Orde Baru menunjukkan problematika kepartaian dan demokrasi kita kini berhubungan dengan sepak terjang partai politik. Berbagai problema akut tengah menghimpit politik kepartaian Indonesia. Partai politik Era Reformasi yang seharusnya menjadi salah satu pilar bagi tegaknya demokrasi ternyata lebih berkutat pada citacita primitifnya, yaitu sekadar meraih dan mempertahankan kekuasaan. 21 Partai politik mengerahkan segala daya upaya demi mewujudkan pragmatisme politik ini. Dalam praktiknya, pragmatisme politik ini beriringan dengan pragmatisme ekonomi. Politik kepartaian menjadi transaksional dan sibuk memburu rente (rent-seekers). Para elite dan fungsionaris partai politik, terutama partai politik yang memiliki perwakilan di DPR dan DPRD serta menduduki posisi eksekutif nasional dan daerah, berlomba-lomba meraup akumulasi finansial baik 21 Perdefinisi partai politik memang merupakan organisasi yang dibentuk untuk tujuan meraih kekuasaan. Berbagai definisi tentang partai politik umumnya mengaitkan tujuan partai politik dengan aspek kekuasaan. Alan Ware, misalnya, mendefinisikan partai politik sebagai sebuah institusi “that seeks influence in a state, often by attempting to occupy positions in government.” Lihat, Alan Ware, 2001 reprinted. Political Parties and Party Systems, Oxford University Press, Oxford, New York. Hlm. 5. 513 Vol. 9 No. 4 - Desember 2012 untuk keperluan pembiayaan politik yang memang mahal maupun untuk memperkaya diri sendiri. Akibatnya, banyak dari mereka terjerat dan terseret kasus korupsi politik. Studi oleh Kuskridho Ambardi mengungkapkan, setelah pemilu 1999 partai-partai di Indonesia telah membentuk sistem kepartaian yang terkartelisasi. Politik kartel partai-partai politik ini demi tujuan menjaga kelangsungan hidup bersama partai-partai politik tersebut. Caranya yaitu mereka secara kolektif bermufakat menjaga sumber-sumber keuangan partai, terutama yang diperoleh secara ilegal dari keuangan negara melalui perburuan rente (rent-seeking). Ini dapat dilakukan hanya jika partai memiliki akses dalam jabatan pemerintahan (menteri) dan parlemen (tingkat komisi). Dalam sistem kepartaian yang berbasis kartel ini, kompetisi antarpartai politik hanya terjadi saat Pemilu. Partai-partai politik langsung berhenti bersaing begitu pemilu usai. Setelah Pemilu partai-partai politik cenderung menjalin kerja sama antara mereka untuk berburu meraup insentif materiil (uang). Sistem kepartaian kartel ini menyuburkan korupsi politik oleh partai-partai politik. Atas dasar inilah Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) harus berperan sebagai intimidating power agar memutus gurita korupsi politik di tubuh partai politik.22 Partai politik belum begitu berhasil melaksanakan fungsi dasarnya, yaitu fungsi komunikasi politik, sosialisasi politik, pendidikan politik, rekrutmen politik, artikulasi dan agregasi kepentingan publik, partisipasi politik, dan mediator konflik. Partai politik cenderung hanya hadir di tengah masyarakat terutama ketika musim pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah tiba. Namun partai politik absen dalam persoalan keseharian masyarakat ketika musim kontestasi elektoral telah berakhir. Partai politik seringkali mengingkari janji-janji kampanye yang disampaikan pada saat kontestasi elektoral. Partai politik sekadar kuda tunggangan untuk kepentingan kontestasi elektoral meraih kekuasaan. Kalimat Andrew Heywood berikut ini relevan untuk menggambarkan kondisi partai politik di Indonesia saat ini: “… parties are not seen as being ‘of the people’; too often, they appear to be consumed by political infighting and the scramble for power, so becoming divorced from the concerns of ordinary people.” 23 22 Kuskridho Ambardi, 2009. Mengungkap Politik Kartel: Studi tentang Sistem Kepartaian di Indonesia Era Reformasi. Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta. 23 Andrew Heywood, 1997. Politics, Macmillan Press, London. Hlm. 248. 514 Partai Politik Dan Demokrasi Indonesia Menyongsong ... Akibat kinerja dan perilaku buruk partai politik, muncul kekecewaan meluas terhadap partai politik. Reputasi dan citra partai politik melorot drastis dalam pandangan publik. Sinisme dan apatisme terhadap partai politik merebak di mana-mana. Pada Juli 2003 Cesda dan LP3ES pernah melakukan jajak pendapat untuk menilai persepsi masyarakat terhadap partai politik. Hasilnya, sebanyak 49 persen responden tidak percaya pada partai politik. Hanya 29 persen responden yang percaya pada partai politik. Kesimpulan riset Demos pada Januari 2005 juga menemukan meluasnya ketidakpuasan publik terhadap partai politik. Sebanyak 90 persen responden dari kalangan aktivis prodemokrasi menilai kinerja partai politik buruk karena tidak mencerminkan aspirasi dan kepentingan rakyat.24 Merosotnya kepercayaan publik terhadap partai politik tampak masih bertahan hingga saat ini. Partai-partai politik belum melakukan lompatan kuantum kinerja yang mampu membalikkan persepsi negatif publik tersebut. Sejumlah rilis jajak pendapat terkini tentang partai politik tetap memperkuat fakta ini. Jajak Pendapat Kompas pada Maret 2012, misalnya, menyebut sebanyak 80,4 persen responden menilai buruk citra partai politik.25 Potret partai politik seperti ini sesungguhnya merugikan partai politik sendiri. Sebagaimana dicatat oleh Sigit Pamungkas, pengalaman banyak negara menunjukkan bahwa sentimen antipartai berdampak dalam beberapa hal, yaitu terjadi kemerosotan partai politik dalam keanggotaan maupun kemampuan memobilisasi konstituen dalam Pemilu, peningkatan tinggi volatilitas pemilih, dan penurunan identifikasi partai (party identification). 26 Dampak ini membahayakan masa depan partai politik. Atmosfer antipolitik dan antipartai justru terjadi pada era sistem politik demokratis. Politik kepartaian Indonesia dalam sistem politik demokratis ternyata belum menjadi lebih baik daripada dalam sistem politik otoriter. Persoalannya sebetulnya bukan karena pilihan desain sistem politik demokratis. Sistem politik demokratis tetap penting untuk memfasilitasi politik kepartaian yang bebas, otonom, dan kompetitif. 24 25 26 Lihat, Tempo, edisi 23 Januari 2005. Kompas, 19 Maret 2012. Sigit Pamungkas, op.cit., Hlm. 228. 515 Vol. 9 No. 4 - Desember 2012 Persoalannya lebih pada profil dan performa partai politik itu sendiri. Partai politik belum memiliki kapabalitas memadai mendongkrak kualitas demokrasi kita. Sepak terjang negatif partai politik justru menjadi beban bagi demokrasi kita. Atas dasar semua itu, pertanyaan besar kini adalah, apakah agenda Pemilu 2014 mendatang berserta hasilnya akan menjadi titik balik transformasi positif dan konstruktif partai politik Indonesia? Sulit menjawab pertanyaan ini dengan semangat optimistik jika partai politik tidak bersungguh-sungguh segera membenahi diri secara radikal. Kecenderungan saat ini belum secara meyakinkan menunjukkan tandatanda ke arah transformasi partai politik tersebut. Pemilu 2014 tampaknya hanya sebatas ritual periodik demokrasi elektoral belaka. Masyarakat Indonesia akan terus berada dalam himpitan dilematis antara persepsi negatif terhadap perilaku partai politik dan ketiadaan institusi alternatif menggantikan partai politik untuk membuat demokrasi substantif bekerja. Perlu ada “dentuman besar” untuk mendorong partai politik membenahi diri secara radikal. Perubahan internal partai politik sulit diharapkan muncul dari partai politik sendiri. Sebab, ini sama artinya partai politik menggali kuburnya sendiri. E. Kesimpulan Terdapat hubungan erat antara sistem politik dan sistem kepartaian. Pilihan sistem politik mempengaruhi pilihan sistem kepartaian. Sistem politik demokratis cenderung mengarah terbentuk sistem kepartaian demokratis (bebas, otonom, dan kompetitif). Sebaliknya, sistem politik otoriter cenderung mengarah terbentuk sistem kepartaian otoriter (tidak bebas, tidak otonom, tidak kompetitif). Perjalanan sejarah kepartaian Indonesia menunjukkan, sistem kepartaian demokratis dapat hadir hanya ketika sistem politik yang diterapkan adalah demokratis. Inilah yang berlangsung selama periode Demokrasi Liberal atau Demokrasi Parlementer dan pada Era Reformasi saat ini. Ketika sistem politik yang berlaku adalah otoriter, maka sistem kepartaian pun mengarah menjadi otoriter. Ini terjadi pada masa Demokrasi Terpimpin dan masa Orde Baru. Perspektif di atas tetap teruji kesahihannya hingga sekarang. Namun, Era Reformasi menyuguhkan fakta baru, yaitu sistem kepartaian demokratis yang dinikmati oleh partai politik saat ini justru menghasilkan politik kepartaian yang belum memberi kontribusi positif dan konstruktif bagi kualitas praktik demokrasi kita. Sepak terjang 516 Partai Politik Dan Demokrasi Indonesia Menyongsong ... partai politik justru menjadi beban bagi demokrasi. Publik memiliki persepsi negatif terhadap partai politik. Jika partai politik tidak segera membenahi diri, maka partai politik hanya akan menjadi parasit bagi demokrasi. Daftar Pustaka Ambardi, Kuskridho. 2009. Mengungkap Politik Kartel: Studi tentang Sistem Kepartaian di Indonesia Era Reformasi, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta. Birch, Anthony H., 1993. The Concepts and Theories of Modern Democracy, Routledge, London and New York. Bourchier, David dan Vedi R. Hadiz (eds.), 2006. Pemikiran Sosial dan Politik Indonesia Periode 1965-1999, Pustaka Utama Grafiti dan Freedom Institute, Jakarta. Budiardjo, Miriam, 1994. Demokrasi di Indonesia: Demokrasi Parlementer dan Demokrasi Pancasila, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. hlm. 229. Dahl, Robert A., 1971. Polyarchy: Participation and Opposition, Yale University Press, New Haven and London. Dhakidae, Daniel, 1986. Pemilihan Umum di Indonesia: Saksi Pasang Naik dan Surut Partai Politik, dalam Seri Prisma, Demokrasi dan Proses Politik, LP3ES, Jakarta. Dhakidae, Daniel, 1995, cetakan keempat. Partai Politik dan Sistem Kepartaian di Indonesia, dalam Seri Prisma, Analisa Kekuatan Politik Indonesia, LP3ES, Jakarta. Dhakidae, Daniel, 1999. Partai-Partai Politik Indonesia: Kisah Pergerakan dan Organisasi dalam Patahan-Patahan Sejarah, dalam Kompas, Partai-Partai Politik Indonesia, PT Kompas Media Nusantara, Jakarta. Feith, Herbert dan Lance Castle (eds.), 1988. Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965, LP3ES, Jakarta. Feith, Herbert, 2005. Pemilihan Umum 1955 di Indonesia, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta. Gaffar, Afan, 1999. Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Held, David, 1987. Models of Democracy, Stanford University Press, Stanford, California. 517 Vol. 9 No. 4 - Desember 2012 Heywood, Andrew, 1997. Politics, Macmillan Press, London. Huntington, Samuel P., 1991. The Third Wave Democratization in the Late Twentieth Century, University of Oklahoma Press, Norman. Karim, M. Rusli, 1983. Perjalanan Partai Politik di Indonesia: Sebuah Potret Pasang-Surut, Rajawali Pers, Jakarta. Katz, Richard S., 1980. A Theory of Parties and Electoral Systems, The Johns Hopkins University Press, Baltimore and London. Kompas, 19 Maret 2012; 30 Agustus 2012; 11 September 2012; 19 September 2012; 29 Oktober 2012. Liddle, R. William, 1992. Partisipasi dan Partai Politik Indonesia Pada Awal Orde Baru, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta. Lev, Daniel S., 1988. Partai-Partai Politik di Indonesia Pada Masa Demokrasi Parlementer (1950-1957) dan Demokrasi Terpimpin (1957-1965), dalam Ichlasul Amal (ed.), Teori-Teori Mutakhir Partai Politik, Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta. Pamungkas, Sigit, 2011. Partai Politik: Teori dan Praktik di Indonesia, Institute for Democracy and Welfarism, Yogyakarta. Sanit, Arbi, 1997. Partai, Pemilu dan Demokrasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Schumpeter, Joseph A., 1987. Capitalism, Socialism and Democracy, Unwin Paperbacks, London. Tempo, edisi 23 Januari 2005. Ware, Alan, 2001 reprinted. Political Parties and Party Systems, Oxford University Press, Oxford, New York. Wilopo, 1976. Jaman Pemerintahan Partai-Partai dan KelemahanKelemahannya, Yayasan Idayu, Jakarta. www.freedomhouse.org. 518 PEMILIHAN UMUM TAHUN 2014: PEMILIH RASIONAL DAN PEMILIH IRRASIONAL (ELECTION YEAR 2014: RATIONAL AND VOTERS IRRATIONAL) Andi Subri* (Naskah diterima 07/11/2012, disetujui 23/11/2012) Abstrak Kemenangan Joko Widodo dan Basuki Tjahaya Purnama pada pemilihan Gubernur DKI Jakarta beberapa waktu yang lalu, tak pelak menjadi pembicaraan bahkan sebagian pengamat politik, cendikiawan menjadikan tolok ukur pelaksanaan demokrasi yang berhasil dan patut dicontoh. “Atribut” kepemimpinan Joko Widodo merupakan daya tarik tersendiri bagi pemilih (penduduk Jakarta) yang mulai tersadar dan mulai kritis atas persoalanpersoalan regional dan nasional dalam rangka perbaikan melalui perubahan Jakarta Baru. Menyongsong pemilihan umum tahun 2014 yang akan memilih wakil-wakil rakyat baik dari partai maupun perseorangan, dan suksesi kepemimpinan nasional merupakan fokus yang pasti menyedot perhatian masyarakat Indonesia, apakah pemilih akan menjadi rasional atau sebaliknya menjadi pemilih irrasional. Kata kunci : Pemilihan Umum, Pemilih Rasional, dan Pemilih Irrasional Abstract Victory Joko Widodo and Tjahaya Basuki Purnama the Jakarta gubernatorial election some time ago, the talk inevitably political observers even in part, scholars make the benchmarks of successful implementation of democracy and exemplary. “Attributes” Joko Widodo leadership is the main attraction for voters (city dwellers) who started woke up and began critically on issues of regional and national levels in order to improve through changes in New Jakarta. To welcome in 2014 elections that will select representatives from both parties and individuals, and national leadership succession is a definite focus the attention of Indonesian society, whether voters would be rational or irrational otherwise be picky. Keywords: Election, Voters Rational and Irrational Voters A. Pendahuluan Sebagian besar penduduk Indonesia bahkan penduduk di setiap negara di belahan dunia tentu mengikuti proses pemilihan Gubernur Wakil Gubernur DKI Jakarta, baik melalui media masa maupun media sosial lainnya. Pemilihan Gubernur tersebut dimenangkan oleh Joko Widodo dan Basuki Tjahaya Purnama, dua sosok yang bukan berasal * Staf Pengajar FKIP Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka Jakarta. 519 Vol. 9 No. 4 - Desember 2012 dari elit kekuasaan dan jauh dari kekuatan sumber pendanaan. Dua sosok ini, didukung oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI P) dan Partai Gerindra. Para pengamat politik secara umum berpendapat: Pemimpin masa depan hendaknya figur yang benar-benar telah teruji amanah, sederhana, dan dapat menjadi teladan. Figur “model” Joko Widodo Gubernur DKI Jakarta yang terpilih karena humanis, telah teruji keberhasilannya dalam menjalankan roda pemerintahan pada level wali kota. Kepemimpinan yang sederhana tapi tegas berusaha untuk menyelesaikan masalah dan pemimpin yang memperjuangkan kepentingan masyarakat tanpa memandang suku, agama, ras, dan antar golongan. Pemimpin yang amanah dan dapat dipercaya adalah dengan menjaga amanah tersebut untuk tidak diselewengkan. Phenomena figur pemimpin dalam rangka menyongsong Pemilihan Umum Tahun 2014 “tampak” lebih menarik untuk dibicarakan, dibahas, dan didiskusikan, termasuk kaitannya dengan sistem Pemilihan Umum dalam rangka Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Untuk itu, dalam rangka menyongsong Pemilihan Umum Tahun 2014, penulis akan mencoba menyoroti “model” kepemimpinan yang diharapkan sebagian besar masyarakat Indonesia, terlebih dalam rangka memilih pemimpin-pemimpin yang akan duduk di DPR, DPD, dan DPRD sebagai representasi wakil rakyat dan daerah. Lebih dari itu adalah juga untuk menentukan kepemimpinan nasional secara konstitusional dalam artian memilih Presiden dan Wakil Presiden dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negara. B. Acuan Teoritik Studi tentang kepemimpinan sudah lama dipelajari sehingga melahirkan banyak teori-teori kepemimpinan. Ada teori yang beranggapan bahwa pemimpin itu dilahirkan, kemudian berlanjut dengan teori yang mencoba mengidentifikasi kepemimpinan berdasarkan sifat-sifat yang melekat pada pemimpin yang berhasil. Ada teori perilaku yang menganalisis kepemimpinan yang berhasil dari sisi perilaku-perilaku tertentu. Juga teori situasional yang menganalisis bahwa kepemimpinan itu didasarkan pada situasi dan kondisi saat kepemimpinan di jalankan. Secara garis besar teori-teori kepemimpinan memperoleh perhatian para sarjana, ilmuwan, cendekiawan, pemikir dan tak ketinggalan para pengamat politik. Pada tataran teori, diketahui bahwa 520 Pemilihan Umum Tahun 2014: ... tidak ada satu pun teori yang dapat menjelaskan “teori apa yang cocok” untuk situasi kondisi di Indonesia, sekalipun Indonesia memiliki Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa Indonesia. Penulis membatasi pada “atribut” kepemimpinan sebagai suatu model, suatu contoh, suatu teladan yang tentunya tidak untuk diperdebatkan karena membicarakan kepemimpinan sebagai ilmu sosial akan mengundang pro dan kontra, lebih bersifat subjektif terutama bagi pendukung suatu figur pemimpin. Untuk itu, penulis memulai kajian teoritik sebagai berikut: B.1. Pemilihan Umum (PEMILU) Indonesia akan menyelenggarakan Pemilihan Umum pada tahun 2014. Pemilihan umum yang diselenggarakan dimaksudkan untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, anggota DPRD Provinsi dan anggota DPRD Kabupaten/Kota. Ini berarti, secara substansi rakyat akan memilih “pemimpin” yang representatif mewakili rakyat, baik bagi anggota DPR dan DPD maupun DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota, demikian pula dengan kepemimpinan nasional yang akan dipilih oleh rakyat yakni Presiden dan Wakil Presiden. Pada negara demokrasi, pemilihan umum adalah suatu unsur vital sebagai tolok ukur untuk mengetahui apakah suatu negara adalah demokratis atau tidak termasuk bagaimana proses penyelenggaraan pemilihan umum berlangsung dengan baik dan lancar. Dalam hal pemilihan umum berjalan dengan baik, lancar, tanpa menimbulkan konflik yang berpotensi pada perpecahan dan sukses memilih pemimpin dengan mendapat suara mayoritas, maka penyelenggaraan pemilihan umum dapat dikatakan berjalan dengan demokratis. Manakala pemilihan umum tidak berjalan dengan baik atau terjadi kegagalan, misalnya menimbulkan konflik yang berujung pada perpecahan baik antar calon yang berkompetisi maupun antar masyarakat, dapat dikatakan penyelenggaraan pemilihan umum tidak demokratis karena kenyataannya tidak dapat mengakomodir kepentingan semua pihak. Dalam konteks ketatanegaraan, pemilihan umum juga terkait dengan prinsip negara hukum (reechstaat), karena rakyat memilih dan telah mempercayai memberi hak untuk menciptakan produk hukum, melaksanakan dan mengawasinya sebagaimana kehendak rakyat dan dalam hal ini diwakili oleh wakil rakyat (catatan : Presiden dan Wakil Presiden maupun anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota). Keberhasilan pemilihan umum, secara hukum 521 Vol. 9 No. 4 - Desember 2012 membawa perubahan/transisi berupa legitimasi dari pemerintahan (lama) ke pemerintahan (baru). Prinsip legitimasi 1 ini merupakan landasan hukum bagi wakil rakyat untuk melaksanakan segala apa yang telah dipercayakan oleh rakyat karena memenuhi validitas sebagaimana ditentukan oleh tata aturan yang berlaku. Pemilihan umum yang menghasilkan pemerintahan demokratis merupakan jembatan bagi pemerintahan yang baru, karena rakyat telah menentukan pilihan dalam memilih pemimpin dan wakil-wakil rakyat. Kepada pemimpin (Presiden dan Wakil Presiden) dan kepada wakil rakyat (anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten /Kota), rakyat menyerahkan kekuasaan yang legitimate untuk menjadi imam bagi rakyat dalam rangka menuju kesejahteraan dan kemakmuran bangsa. Dengan pemilihan umum, kekuasaan yang berasal dari rakyat berubah menjadi kekuasaan negara, yang menjelma melalui kewenangankewenangan pemerintah baik eksekutif maupun legislatif dalam rangka menata dan menjalankan pemerintahan bagi rakyat. Pemerintah sebagai suprastruktur politik hendaknya dalam menjalankan roda pemerintahan benar-benar memperhatikan rakyat sebagai infrastruktur politik, agar tercipta pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. B.2. Pemimpin Formal Sejarah umat manusia membuktikan bahwa sejak zaman dahulu manusia yang hidup berkelompok telah mengenal adanya pemimpin. Adapun macam pemimpin misalnya: pemimpin formal, pemimpin informal, pemimpin agama, pemimpin adat dan lain-lain. Dalam konteks bahasan sehubungan dengan pemilihan umum tahun 2014 adalah pemimpin dan kepemimpinan formal artinya “terbatas” pada pemilihan pemimpin nasional (Presiden dan Wakil Presiden) sedang pemimpin dan kepemimpinan formal meliputi wakil-wakil rakyat yang dipilih oleh rakyat tidak merupakan objek bahasan. Penulis hanya akan mengulas “atribut” pemimpin dan kepemimpinan formal dalam konteks pemilihan umum tahun 2014. Presiden dan Wakil Presiden adalah pemimpin formal karena ditetapkan secara formal (formaly designated leader). Pemimpin formal Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safaat, Teori Hans Kelsen tentang Hukum, (Jakarta: Konstitusi Pers, 2006), hlm. 100. 1 522 Pemilihan Umum Tahun 2014: ... tersebut diharapkan dapat mencapai sasaran-sasaran yang telah ditetapkan (diinginkan) sebagaimana janji-janji pada waktu kampanye. Sebagai pemimpin yang telah dipilih hendaknya menjalankan amanah untuk mewujudkan janji-janji yang diumbar sewaktu kampanye untuk mencapai sasaran-sasaran yang diinginkan oleh rakyat. Winardi2 menyatakan: Pemimpin formal adalah “seorang (pria atau wanita) yang oleh organisasi tertentu (swasta atau pemerintah), ditunjuk (berdasarkan surat keputusan pengangkatan dari organisasi yang bersangkutan) untuk memangku suatu jabatan dalam struktur organisasi dengan segala hak dan kewajiban yang berkaitan dengannya, untuk mencapai sasaran organisasi tersebut yang ditetapkan sejak semula”. Ini berarti, seorang pemimpin formal harus sadar bahwa ia senantiasa menghadapi problem perubahan-perubahan, baik internal maupun eksternal 3. Perubahan-perubahan yang harus dipahami tersebut, meliputi: a. Perubahan sehubungan terjadi perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi maupun yang berkaitan dengan tehnik-tehnik; b. Perubahan dalam skope kepemimpinan dalam artian pemilihan pembantu-pembantu yang akan menerima pendelegasian untuk meringankan tugas-tugas yang semakin komplek dan spesialis; c. Perubahan dalam lingkungan dalam artian pemimpin formal harus dapat mengikuti perubahan-perubahan dalam lingkungan yang semakin hari semakin banyak guna menghindari konflik-konflik yang tidak perlu terjadi; d. Perubahan dalam isu-isu dan problem yang dihadapi yang biasanya berbeda dengan isu-isu dan problem yang dihadapi saat mulai menjabat; dan e. Perubahan dalam tingkat perubahan dalam artian bahwa tingkat perubahan dalam masyarakat tidak terjadi dengan kecepatan yang sama dan dalam waktu yang sama. J. Winardi, Manajemen Perilaku Organisasi, (Jakarta : Kencana Perdana Media Group, 2007), hlm. 331. Ibid. 2 3 523 Vol. 9 No. 4 - Desember 2012 Pemimpin dapat pula diklasifikasikan dengan macam-macam cara, yang dibedakan sebagai berikut : 4 a. Menurut sifat pribadi pemimpin, terbagi atas: b. 1) Pemimpin patenalistik (kebapaan); 2) Pemimpin otokratik; 3) Pemimpin demoktratik; 4) Pemimpin kharismatik. Ditinjau dari skope jangkauan, terbagi atas: 1) Pemimpin lokal; 2) Pemimpin regional; 3) Pemimpin nasional; dan 4) Pemimpin internasional. B.3. Manajemen Kinerja Pemimpin nasional dalam rangka mencapai sasaran yang telah diprogramkan bersama para pembantu-pembantunya (Menteri/Kepala LPNK), memulai menjalankan program-program yang ditetapkan dengan kinerja-kinerja. Kinerja adalah tentang apa yang dikerjakan dan bagaimana cara mengerjakannya.5 Wibowo6 mengemukakan beberapa prinsip dasar dalam manajemen kinerja antara lain; Pertama, menghargai kejujuran. Termasuk dalam hal ini adalah kejujuran dalam mengekspresikan pendapat, menyampaikan fakta dan memberikan pertimbangan dan perasaan. Kedua, memberikan pelayanan kepada setiap stakeholder. Sebagai proses pembelajaran, pelayanan harus diberikan dalam rangka perbaikan keterampilan, kompetensi dan kemampuan untuk membantu dan melayani orang lain. Ketiga, tanggung jawab. Pemahaman untuk menerima tanggung jawab atas apa yang dikerjakan dan tidak dikerjakan merupakan pengembangan kinerja. 4 5 6 Ibid, hlm. 341. Wibowo, Manajemen Kinerja, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 7. Ibid. 524 Pemilihan Umum Tahun 2014: ... Keempat, bermain dalam artian bekerja dan bermain adalah sama karena akan menimbulkan kepuasaan dan bekerja tidak merupakan suatu beban. Kelima, rasa kasihan, dalam artian memahami dan empati terhadap orang lain, karena rasa kasihan akan mendapatkan kepercayaan diri dan dorongan yang kuat dari dalam diri daripada membiarkan sebagai suatu konsekuensi dari pembelajaran dan dianggap wajar. Keenam, perumusan tujuan, dalam artian individu-individu memberikan kontribusi yang positif bagi keberhasilan kinerja. Ketujuh, konsensus dan kerja sama. Manajemen kinerja lebih mengandalkan kepada konsesnsus dan kerja sama daripada kontrol dan melakukan pemaksaan. Kedelapan, berkelanjutan. Manajemen kinerja merupakan suatu proses yang sifatnya berkelanjutan, terus-menerus, evolusi di mana kinerja secara bertahap diperbaiki agar menjadi semakin baik. Kesembilan, komunikasi dua arah. Manajemen kinerja memerlukan gaya yang bersifat terbuka, jujur dan mendorong terjadinya komunikasi dua arah yang menunjukan adanya sikap terbuka dan saling mengerti. Kesepuluh, umpan balik. Pelaksanaan manajemen kinerja memerlukan umpan balik terus menerus untuk mengetahui pengalaman dan pengetahuan yang diperoleh dari pekerjaan oleh individu-individu guna meninjau kembali perencanaan kinerja. Dalam konteks kinerja, apa yang akan dikerjakan dan bagaimana cara mengerjakan diperlukan orang-orang spesialis, terlatih sebagai inti yang melaksanakan operasi atas kegiatan-kegiatan yang telah terstandarisasi, sehingga didapat efisiensi. Konfigurasi dari kombinasi standarisasi dan desentralisasi karena spesialisasi dan terlatih, atas kegiatan-kegiatan yang terstandarisasi tersebut disebut: birokrasi profesional7, ini berarti, seorang birokrat profesional haruslah orangorang yang memiliki tingkat keahlian yang sangat terspesialisasi. B.4. Kepemimpinan Pemimpin muncul karena diakui oleh pengikutnya, ditunjuk atau diangkat oleh pejabat yang berwenang. Seorang pemimpin harus 7 J. Winardi, Pemikiran Sistemik dalam bidang Organisasi dan Manajemen, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 214. 525 Vol. 9 No. 4 - Desember 2012 mempunyai kelebihan yang setidaknya dapat dibedakan atas tiga hal yaitu: kelebihan moralnya, kelebihan ilmunya, dan kelebihan fisiknya.8 Dalam hal kelebihan moral, seorang pemimpin harus lebih tangguh ketakwaannya kepada Allah Yang Maha Kuasa, harus lebih tangguh kejujurannya dan harus lebih tangguh integritasnya. Dalam hal kelebihan ilmu, seorang pemimpin harus mempunyai ilmu yang lebih dibandingkan pengikut atau bawahannya. Sedang kelebihan fisik, lebih mengisyaratkan bahwa seorang pemimpin harus sehat jasmani dan rohani. Kepemimpinan selalu dimulai dari sistem peranan yang formal dan peran yang diwujudkan dalam hirarki kewenangan. Dari hasil pemilu tahun 2014, kewenangan yang dimiliki oleh Presiden dan Wakil Presiden adalah berupa kekuasaan yang legitimasi. Kekuasaan dimaksud melekat pada jabatan Presiden-Wakil Presiden untuk meyakinkan bahwa indvidu-individu yang berada dalam jabatan di bawahnya telah memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan oleh peraturan yang ada. Presiden dan Wakil Presiden dengan kewenangan yang dimiliki akan mempengaruhi orang-orang yang berada di bawah hirarkinya (Menteri/ Kepala LPNK). Presiden - Wakil presiden sebagai orang yang berada di atas hirarki langsung dari bawahan, menurut teori pendekatan jabatan disebut: Pemimpin. Dari sini, kita dapat melihat dan mengetahui perilaku kepemimpinan, apakah pemimpin hanya terkesan dan “concern” terhadap peraturan yag mengaturnya semata-mata, ataukah pemimpin “concern” terhadap orang-orang di sekitarnya dan atau masyarakat yang memilihnya. Sebagaimana teori kepemimpinan situasional9 aktifitas kepemimpinan dapat dikelompokkan atas dua dimensi perilaku yakni dimensi struktur dan dimensi pertimbangan. Dimensi struktur, lebih menekankan pada tugas sehingga diperlukan komunikasi satu arah. Sedangkan dimensi pertimbangan, lebih menekankan pada pemeliharaan hubungan kemanusiaan sehingga diperlukan hubungan komunikasi dua arah. 8 9 Mittah Thoha, Perpsektif Perilaku Birokrasi, (Jakarta : Rajawali, 1991), hlm. 142. Ibid, hlm. 144. 526 Pemilihan Umum Tahun 2014: ... Perilaku kepemimpinan yang berorientasi pada tugas dapat dikenali dari: - meminta dan kadang-kadang memberi keterangan (informasi); - mengarahkan dan memperjelas peran yang harus dilakukan; - menyimpulkan keterangan dan tugas yang dibebankan; - memacu kearah tercapainya tujuan; dan - mengendalikan kegiatan secara keseluruhan. Perilaku kepemimpinan yang berorientasi pada pemeliharaan tata hubungan kemanusiaan dapat dikenali dari: - mendorong terwujudnya peranserta (participation); - dalam berkomunikasi lebih banyak menunjukan sikap sebagai fasilitator; - lebih menyukai usaha menurunkan tensi tegangan tinggi; - lebih bersikap sebagai pengamat terhadap proses pelaksanaan kerja dari pada pengendali; - lebih menyenangi pemecahan masalah antar pribadi; dan - lebih bersikap mendukung dan memuji atas semua pelaksanaan kerja. Seorang pemimpin merupakan figur orang banyak, walaupun wujudnya kemungkinan seorang diri, akan tetapi dibawah pemimpin terdapat banyak orang yang menjadi tanggungjawabnya. Oleh karena itu, perilaku yang cocok untuk pemimpin adalah mencerminkan sikap sebagai wakil orang banyak (masyarakat) C. Kajian Empirik Atas acuan teoritik yang telah dikemukakan, penulis mencoba mengkaji secara empirik terhadap teori dan atau hal normatif sebagai apa yang diharapkan (das sollen) sebagai berikut: C.1. Pemilihan Umum Fenomena Joko Widodo – Basuki Tjahaya Purnama yang memenangkan pemilihan Gubernur DKI Jakarta periode 2012-2017 oleh banyak orang dijadikan tolok ukur dan model pemilihan Gubernur, Bupati/Wali Kota, tentu dengan “atribut” kepemimpinannya. Bahkan pengamat politik lebih jauh berpandangan, bahwa keberhasilan Joko Widodo – Basuki Tjahaya Purnama merupakan barometer Demokrasi Indonesia. 527 Vol. 9 No. 4 - Desember 2012 Apa yang dapat dicatat dari semua itu? Banyak Pihak mengasumsikan dengan hitungan “pengaruh” kelas menengah dan kelas bawah dalam perolehan suara. Isu kekuatan modal dan isu yang berbau sara justru membuat solid Joko Widodo – Basuki Tjahaya Purnama. Rakyat pemilih kelas menengah-bawah mulai “sadar” mana pemimpin yang merakyat dan pemimpin yang bersih. Rakyat pemilih tidak mau lagi diarahkan seperti waktu-waktu yang lalu. C.2. Pandangan Terhadap Pemimpin Formal Goenawan Mohammad, dalam salah satu tulisannya pada Catatan Pinggir 27 Februari 1982 mengilustrasikan pegawai negeri tak matimati, dengan mengangkat lagu Iwan Fals, Oemar Bakri, Oemar Bakri Pegawai Negeri. Goenawan Mohammad menyalahkan imajinasi Iwan Fals yang membayangkan bahwa pegawai negeri ibarat sebuah inventaris lama dari sebuah kantor yang bernama “Republik Indonesia”, dan benda yang disebut “pegawai negeri” itu adalah sebuah kursi kusam. Padahal tidaklah demikian, setidaknya menurut Goenawan Mohammad, pegawai negeri adalah orang yang berpakaian safari yang gagah, tidak merana, tidak harus miskin (setidaknya berkecukupan), karena negara telah menyediakan anggaran belanja pegawai negeri. Jika berperan dalam proyek pembangunan, akan diperoleh pula honorarium, fasilitas tambahan, hingga perhatian tambahan, bahkan orang akan dengan senang hati memberikan tambahan-tambahan. Pegawai negeri bukan orang yang dapat dianggap sebelah mata dan pegawai negeri bukan orang yang lemah karena mereka dapat menentukan segalanya dalam urusan administrasi. Jika gambaran di atas tidak memuaskan atau menyinggung perasaan, maka mereka yang suka meremehkan pegawai negeri adalah orang yang kurang menyadari diri, begitu kata Goenawan Mohammad. Tulisan Goenawan Mohammad 30 tahun yang lalu bagi penulis suatu rangkaian pengalaman dan mengandung kebenaran. Pegawai negeri dalam artian birokrasi adalah suatu keniscayaan. Tidak ada satu pun kekuatan apalagi seorang warga negara dapat menyingkirkannya. Pemimpin formal (Presiden dan Wakil Presiden) dipilih oleh rakyat. Menteri dari partai politik diangkat menjadi pembantu Presiden sebagai pemimpin formal. Fakta, birokrasi adalah orang-orang yang previlise, yang terpisah dari rakyat dan berdiri diatas rakyat. Antara birokrasi dan partai politik “mudah-mudah sukar” untuk dibedakan. Sebagaimana sinyalemen beberapa waktu yang lalu bahwa pemimpin formal dari partai 528 Pemilihan Umum Tahun 2014: ... politik tidak bekerja fulltime untuk membantu Presiden, tetapi lebih condong untuk membesarkan partai. Kini berpulang juga kepada masyarakat pemilih dalam menentukan wakil-wakilnya dari partai politik, sehingga slogan partai “memperjuangkan rakyat” hanya lipservices saat kampanye dan saat sudah terpilih menjadi lupa karena privilese, sehingga jauh dari rakyat dan bahkan berdiri di atas rakyat. C.3. Pandangan Terhadap Manajemen Kinerja Fakta pejabat formal (dari partai politik) yang diperiksa oleh Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) secara umum banyak menyatakan “tidak tahu”, bahkan diperoleh kesan “pembiaran” untuk menyelamatkan diri masing-masing. Kesan atas pandangan diatas, membuktikan bahwa sinyalemen kinerja buruk tidak dapat dielakan. C.4. Pandangan Terhadap Kepemimpinan Sebagaimana telah dikemukakan, kepemimpinan dalam perspektif manajemen, dapat dielaborasi. Untuk itu, penulis akan manambah perihal kepemimpinan tersebut dengan kepemimpinan Pancasila, mengingat Pancasila akhir-akhir ini setelah gerakan reformasi tahun 1998 lebih banyak dilupakan orang, padahal Pancasila adalah falsafah negara, falsafah bangsa, dasar negara, pokok-pokok kaidah negara yang fundamental (staatfundamental norm)10 Kepemimpinan Pancasila pada dasarnya merupakan perpaduan pola pikir modern dan pola pikir yang bersumber dari Pancasila sebagai falsafah bangsa dengan bertumpu pada asas-asas: C.4.a. Asas Kebersamaan Ini berarti, pemimpin dan yang dipimpin merupakan satu kesatuan, pemimpin tidak terpisah dengan yang dipimpin. Pemimpin dan yang dipimpin saling pengaruh mempengaruhi (dalam artian positif), sehingga tidak saling bertentangan, apalagi terjadi dualisme. Masing-masing (baik pemimpin dan atau yang dipimpin) saling bahu-membahu sesuai dengan bidang kegiatan masing-masing dan tidak merasa menganggap seseorang sebagai pusat, karena tanpa ada yang dipimpin tidak mungkin ada pemimpin. 10 Sri Sumantri dan Giat Wahyudi, Pancasila sebagai Dasar Negara, (Jakarta : Sekretariat Jenderal MPR RI), hlm. 2. 529 Vol. 9 No. 4 - Desember 2012 C.4.b. Asas Kekeluargaan dan Gotong Royong Ciri-ciri kekeluargaan dan kepemimpinan Pancasila adalah timbulnya kerja sama yang akrab sehingga akan tercipta kesejahteraan dan kebahagiaan yang bertumpu pada landasan kasih sayang dan pengorbanan. C.4.c. Asas Persatuan dan Kesatuan dalam Kebhinekaan Kebhinekaan bangsa Indonesia dapat diketahui dari beragam suku bangsa, beragam adat istiadat, beragam agama dan aliran, dan keanekaragaman diakui keberadaannya sendiri-sendiri sebagai ciri kepribadian dalam persatuan dan kesatuan. C.4.d. Asas Selaras, Serasi dan Seimbang Asas-asas sebagaimana tersebut di atas, hendaklah harus dijiwai dan disemangati oleh asas keselarasan, keserasian dan keseimbangan. Suatu asas yang tidak untuk menang sendiri, apalagi menunjukan kekuatan sehingga berpotensi menimbulkan kontradiksi, pertentangan dan konflik. Justru dengan perbedaan keanekaragaman adalah cermin kodrat alam yang masing-masing memiliki tempat, kedudukan dan kewajiban serta fungsi sendiri-sendiri, sehingga akan menumbuhkan ketentraman batin. Setiap warga negara diharapkan bersikat dan bertingkah laku sesuai dengan nilai-nilai dan norma yang terkandung dalam Pancasila. Pemimpin harus memberikan contoh teladan, bersikap dan bertingkah laku sesuai dengan norma-norma Pancasila. Fakta ini yang jarang ditemukan di tengah kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara. Pemimpin tidak menunjukan teladan, pemimpin terkesan “membiarkan”. Pada dasarnya Tentara Nasional Indonesia (TNI) telah merumuskan sebelas asas kepemimpinan yang digali dari nilai-nilai kepemimpinan di bumi Indonesia. Dari sebelas asas kepemimpinan tersebut, tiga asas pertama dari Ki Hajar Dewantoro dijadikan prinsip utama kepemimpinan Pancasila. Sebelas asas kepemimpinan Pancasila tersebut adalah: a. Ing ngarso sing tulodo (di depan memberikan teladan) Artinya, pemimpin yang baik adalah orang yang berani berjalan didepan untuk menjadi ujung tombak menghadapi rintangan dan bahaya. Dan dengan keberanian, ia harus sanggup bekerja paling berat sambil menegakan disiplin bagi diri sendiri maupun orang yang dipimpin. Pemimpin yang baik harus menjadi 530 Pemilihan Umum Tahun 2014: ... teladan dan dapat diteladani, ia mengabdikan diri untuk kepentingan umum dan tidak hanya pandai memberi perintah saja, tetapi juga bijaksana dalam memberikan petunjuk, nasihat, perlindungan dan pertimbangan. b. Ing madyo mangun karso (ditengah membangun motivasi dan kemauan) Artinya, pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mau terjun ditengah-tengah anak buahnya, dan merasa senasib sepenang-gungan, sanggup membangkitkan semangat juang dan motivasi dan etik kerja yang tinggi. Oleh karena itu, ia berada ditengah-tengah anak buahnya, ia tanggap, dan mampu berpikir untuk bertindak dengan cepat dan tepat sesuai situasi dan kondisi. Pemimpin tersebut menghayati kesulitan-kesulitan anak buahnya dan ikut merasakan peristiwa-peristiwa gawat, sedih bersama pengikutnya. c. Tut wuri handayani (mendorong untuk berprakarsa) Artinya pada saat yang tepat seorang pemimpin harus sanggup berdiri dibelakang anak buah dalam artian bukan bersembunyi dibelakang pengikutnya atau mengekor dibalik kekuatan anak buahnya. Akan tetapi harus diartikan pemimpin tersebut mau memberi dorongan agar anak buahnya mau berprakarsa, berani berinisiatif, memiliki kepercayaan diri untuk berpartisipasi dan berkarya, serta tidak selalu bergantung kepada atasan. d. Takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa Artinya, seorang pemimpin dituntut tidak saja memiliki keyakinan beragama, tapi juga memiliki iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Ini berarti, adanya kesadaran bahwa setiap insan adalah sama kedudukannya dimata Tuhan, dan hal ini akan menyadarkan pemimpin bahwa ia bukanlah orang yang super, ia akan memiliki kasih sayang, belas kasih terhadap sesama dan semangat persaudaraan yang tinggi. Dan dengan keimanan serta ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa akan membawanya menjadi orang yang adil, jujur, benar, tekun dan sabar serta rendah hati (tidak sombong) e. Waspada purba wisesa (waspada dan berkuasa) Artinya, seorang pemimpin dituntut untuk waspada (dari kata awas) yang berarti dapat melihat. Ini berarti dapat melihat gejala dengan jalan menguak tabir selubung, sehingga setiap peristiwa 531 Vol. 9 No. 4 - Desember 2012 dapat ditelaah, dikaji dan dimaknai, dan menjadikan ia tidak raguragu, tidak takut dalam mengambil suatu keputusan. Awas, juga mengandung pengertian waspada dan bijaksana. Waspada karena tajam penglihatannya, sehingga tahu sebelum terjadi sesuatu. Bijaksana, mengandung arti pandai, cakap, mahir, ahli, berpengalaman, cerdik sehingga ia merupakan pribadi yang memiliki kewibawaan untuk memimpin. Wasesa berarti keunggulan, kelebihan, atau kewibawaan disertai kekuasaan. Purba berarti mampu mengendalikan. Jadi purba wasesa berarti mengendalikan semua keunggulan dan kekuasaan. f. Ambeg paramarta Artinya, seorang pemimpin harus mempunyai sikap yang adil dan mampu membedakan hal-hal penting dan tidak penting, sehingga seseorang pemimpin harus mampu memilih mana yang harus didahulukan dan mana yang harus disusulkan kemudian, serta selalu bersikap adil. g. Ambeg prasaja (bersifat sederhana) Artinya, seorang pemimpin harus bersifat sederhana, terbuka, terus terang, tulus, lulus, ikhlas, benar dan penuh toleransi. Seorang pemimpin bersikap bersahaja artinya hidupnya tidak berlebih-lebihan dan tidak rakus h. Ambeg satya (setia) Artinya seorang pemimpin harus bersifat setia, tepat janji antara kata dan perbuatan, ia harus dapat dipercaya karena jujur, lurus, tulus, setia dan bisa membuat senang orang. i. Gemi nastiti (hemat, teliti dan cermat) Artinya seorang pemimpin itu harus bersifat hemat, cermat, berhati-hati dan tidak boros, ia harus mampu melaksanakan semua pekerjaan dengan efektif dan efisien. Dan tidak hanya itu, ia juga harus meneliti dengan sangat hati-hati atas segala karya, perbuatan dan atau peristiwa. Berhati-hati juga berarti menggunakan nalar, cermat dan teliti, ia harus pandai mendugaduga apa yang paling baik dan menghindari terhadap hal-hal yang dapat menimbulkan kesusahan. j. Belaka (terbuka, jujur) Artinya, pemimpin yang baik harus bersikap terbuka, dan selalu membuka komunikasi untuk menerima pandangan, pendapat, saran dan koreksi positif dan tidak merasa malu hati 532 Pemilihan Umum Tahun 2014: ... belajar dari lingkungan dan bawahan. k. Legowo (ikhlas) Artinya, pemimpina yang baik itu harus bersikap rela dan tulus ikhlas serta setiap saat bersedia berkorban. D. Penutup Penulis sengaja tidak mendalami kajian empirik menghindari halhal yang tidak di inginkan, tetapi setidaknya khalayak pembaca dapat mengenali, mengelaborasi, mana hal-hal yang senyatanya (das sein) dan mana yang diharapkan semua pihak (das sollen). Penulis mengetengahkan permasalahan menyongsong pemilihan umum tahun 2014, karena berkeyakinan bahwa pemilih dapat membedakan mana pejabat nasional dan mana pejabat lokal, mana yang dapat dipercaya dan mana yang kurang dapat dipercaya. Semua bergantung kepada pemilih, apakah akan menjadi pemilih rasional sesuai hati nurani ataukah menjadi pemilih irrasional. 533 Vol. 9 No. 4 - Desember 2012 Daftar Pustaka A. Buku Asshiddiqie, Jimly dan M. Ali Safaat, Teori Hans Kelsen tentang Hukum, Jakarta: Konstitusi Pers, 2006 Wibowo, Manajemen Kinerja, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2007 Winardi, J., Manajemen Perilaku Organisasi, Jakarta : Kencana Perdana Media Group, 2007 __________Pemikiran Sistemik dalam bidang Organisasi dan Manajemen, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2007 Sumantri, Sri dan Giat Wahyudi, Pancasila sebagai Dasar Negara, Jakarta : Sekretariat Jenderal MPR RI Thoha, Mittah, Perpsektif Perilaku Birokrasi, Jakarta : Rajawali, 1991 B. Sumber lain http://www.scribd.com/15891534 ____________wikipedia.com 534 KEWAJIBAN VERIFIKASI PARPOL PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 52/PUU-X/2012 (COMPULSORY VERIFICATION OF POLITICAL PARTIES AFTER DECISIONS CONSTITUTIONAL COURT NUMBER 52/PUU-X/2012) Mualimin Abdi* (Naskah diterima 13/11/2012, disetujui 23/11/2012) Abstrak Dalam demokrasi, pemilihan umum memiliki peran vital, dan seperti kita ketahui bersama pemilihan umum di Indonesia melibatkan partai politik. Oleh sebab itu, partai politik juga memiliki peran penting dalam demokrasi. Salah satu pengaturan mengenai partai politik di Indonesia diatur dalam UndangUndang Nomor 8 Tahun 2012, yang di dalamnya memuat aturan mengenai verifikasi. Namun aturan mengenai verifikasi tersebut dianggap telah merugikan hak konstitusional warga negara sehingga dimohonkan judicial review di Mahkamah Konstitusi dengan perkara Nomor 52/PUU-X/2012 karena tidak seluruh partai politik diverifikasi, dan pada akhirnya permohonan tersebut dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi. Setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut seluruh partai politik wajib melakukan verifikasi di KPU untuk dapat mengikuti pemilihan umum tahun 2014. Hal tersebut mempunyai makna bahwa partai politik baru tidak boleh diperlakukan secara berbeda dengan partai politik lama (yang pernah mengikuti Pemilihan Umum Tahun 2009), sehingga seluruh partai politik harus dikenai syarat yang sama. Kata kunci: verifikasi, partai politik, putusan mahkamah konstitusi. Abstract In a democracy, elections have a vital role, and as we know the general elections in Indonesia involving political parties. Therefore, political parties also have an important role in a democracy. A setting of political parties in Indonesia are regulated in Law Number 8 of 2012, which inside contained rules on verification. But the rules on verification is considered to have been detrimental to the constitutional rights of citizens so that petitioned for judicial review in the Constitutional Court case Number 52/PUU-X/2012 because not all political parties in the verification, and ultimately the application is granted by the Constitutional Court. Following the decision of the Constitutional Court all political parties shall verify on the Commission to be able to follow the elections in 2014. This has meant that a new political party should not be treated differently from the old political parties (who attended the General Election of 2009), so that all political parties should be subject to the same terms. Keywords: verification, political parties, the constitutional court ruling. * Direktur Litigasi Peraturan Perundang-undangan Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM RI. 535 Vol. 9 No. 4 - Desember 2012 A. Pendahuluan Salah satu syarat dari enam syarat dasar bagi negara demokrasi perwakilan di bawah rule of law adalah diselenggarakannya pemilihan umum yang bebas. Demikian dirumuskan oleh International Comission of Jurist dalam konferensinya di Bangkok pada tahun 1965. Selanjutnya dirumuskan pula definisi tentang suatu pemerintahan demokrasi berdasarkan perwakilan, yaitu suatu bentuk pemerintahan di mana warga negara melaksanakan hak yang sama tetapi melalui wakil-wakil yang dipilih mereka dan bertanggungjawab kepada mereka melalui pemilihan-pemilihan yang bebas.1 Demokrasi mempercayai bahwa pemilu memainkan peranan vital untuk menentukan masa depan bangsa. Sebagaimana transisi demokrasi, pemilihan umum dalam proses konsolidasi demokrasi membutuhkan prakondisi yang spesifik.2 Tujuan penyelenggaraan pemilihan umum ada 4 (empat), yaitu:3 1. untuk memungkinkan terjadinya peralihan kepemimpinan pemerintahan secara tertib dan damai; 2. untuk memungkinkan terjadinya pergantian pejabat yang akan mewakili kepentingan rakyat di lembaga perwakilan; 3. untuk melaksanakan prinsip kedaulatan rakyat; dan 4. untuk melaksanakan prinsip hak-hak asasi warga negara. Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan bahwa sistem pemilu yang dilaksanakan di negara Indonesia adalah sistem pemilu yang bersifat kepartaian, seperti dapat kita lihat dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum, selain itu Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 juga menyatakan bahwa Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik.4 Abdul Bari Azed, Sistem-Sistem Pemilihan Umum Suatu Himpunan Pemikiran, Depok: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2000, hlm. 1. 2 Joko J. Prihatmoko, Pemilu 2004 dan Konsolidasi Demokrasi, Semarang: LP2I, 2003 hlm. 18-19. 3 Jimly Asshiddiqqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006, hlm. 175 4 Lihat Pasal Pasal 6A ayat (2) dan Pasal 22E ayat (3) UUD 1945. 1 536 Kewajiban Verifikasi Parpol Pasca Putusan ... Partai politik memiliki posisi yang dominan dalam proses rekrutmen untuk pengisian jabatan-jabatan politik. Sejak masa perjuangan merebut kemerdekaan, masa proklamasi dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia, hingga saat ini, sejarah perjuangan bangsa Indonesia tidak dapat dilepaskan dari keberadaan organisasi dan/atau partai politik. Terlepas dari pilihan ideologis dan sikap moral partai politik maupun individu yang terlibat di dalamnya, keberadaan partai politik pada setiap era kehidupan bangsa-negara Indonesia menunjukkan posisi strategis dan peran penting partai politik bagi kemajuan bangsa dan negara. Keberadaan partai politik tertentu yang tidak sejalan dengan cita-cita bangsa dan negara dalam lintasan panjang sejarah bangsa Indonesia, tidak lantas berarti partai politik sebagai entitas organisasi politik menjadi tidak penting dan tidak perlu.5 Partai politik mempunyai posisi (status) dan peranan (role) yang sangat penting dalam setiap sistem demokrasi. Partai memainkan peran penghubung yang sangat strategis antara proses-proses pemerintahan dengan warga negara. Bahkan banyak yang berpendapat bahwa partai politik lah yang sebetulnya menentukan demokrasi, seperti dikatakan oleh Schattscheider (1942), political parties created demoracy.6 Oleh karena itu, partai politik merupakan pilar yang sangat penting untuk diperkuat derajat pelembagaannya (the degree of institutionalization) dalam setiap sistem politik yang demokratis. Bahkan, oleh Schattscheider dikatakan pula, “Modern democracy is unthinkable save in terms of the parties”.7 Pada umumnya, para ilmuwan politik menggambarkan adanya 4 (empat) fungsi partai politik. Keempat fungsi partai politik itu menurut Miriam Budiardjo, meliputi sarana:8 1. Komunikasi politik, 2. Sosialisasi politik (political socialization), 3. Rekruitmen politik (political recruitment), dan 4. Pengatur konflik (conflict management). Ibid. Jimly Asshiddiqie, Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai Politik dan Mahkamah Konstitusi, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI, 2006, hlm, 52. 7 Jimly Asshiddiqqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006, hlm, 153. 8 Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia, 1993, cet ke-13, hlm, 159. 5 6 537 Vol. 9 No. 4 - Desember 2012 Keempat fungsi tersebut, jika dimanfaatkan secara ideal, akan dapat bersinergi sebagai satu alur dengan pemilihan umum dalam mengisi jabatan-jabatan politik, yang tentunya akan menghasilkan pilihan-pilihan serta kebijakan politik yang sesuai dengan aspirasi/ kehendak rakyat. Untuk menjalankan keempat fungsi partai politik secara maksimal/ideal diperlukan suatu kondisi yang memberikan ruang bagi kebebasan untuk mendirikan ataupun membubarkan partai politik. Semua partai politik yang didirikan di Indonesia tentu ingin mengikuti pemilihan umum dan menempatkan wakil-wakilnya di DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Fakta terbatasnya jumlah kursi di lembaga perwakilan akan membatasi pula partai politik yang dapat menempatkan wakil-wakilnya. Untuk itulah dalam undang-undang diatur mengenai beberapa persyaratan tertentu seperti misalnya status badan hukum, pengurus dengan jumlah tertentu, keterwakilan perempuan, ataupun pemenuhan ambang batas perolehan suara (parliamentary threshold atau PT). Untuk menilai kemampuan sebuah parpol memenuhi syarat sebagai peserta Pemilu tersebut diperlukan kegiatan verifikasi baik yang bersifat administratif maupun faktual. B. Ketentuan Verifikasi Partai Politik Sebelum Putusan Mahkamah Konstitusi Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa kegiatan verifikasi adalah kegiatan untuk menilai persyaratan tertentu. Berkaitan dengan pemilihan umum, dalam peraturan perundangundangan di Indonesia terdapat 2 (dua) tahapan bagi partai politik untuk dapat mengikuti pemilihan umum, yaitu tahapan pendirian partai politik dan tahapan keikutsertaan partai politik dalam pemilihan umum. Tahap pendirian atau pembentukan partai politik diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Tahap pendaftaran sebagai peserta pemilihan umum diatur dalam UndangUndang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Verifikasi yang berkaitan dengan pendirian partai politik dilakukan oleh Kementerian Hukum dan HAM untuk memeriksa terpenuhi atau tidaknya persyaratan badan hukum. Dengan 538 Kewajiban Verifikasi Parpol Pasca Putusan ... terpenuhinya syarat yang ada, parpol tersebut sah berbadan hukum. Adapun verifikasi sebagai peserta pemilu merupakan proses pemeriksaan yang terkait dengan keterpenuhan syarat sebuah parpol untuk mengikuti pemilihan umum. Verifikasi tersebut ditujukan sebagai upaya membuktikan kebenaran dan keterpenuhan berbagai syarat dalam kepesertaan pada pemilu. Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah diatur beberapa ketentuan mengenai verifikasi partai politik, antara lain: Pasal 8 kewajiban verifikasi partai politik yang akan mengikuti pemilihan umum, Pasal 16 verifikasi oleh KPU, Pasal 17 ayat (2) penetapan partai politik sebagai Peserta Pemilu, dan Pasal 18 pengawasan oleh Bawaslu atas pelaksanaan verifikasi. Berdasarkan Pasal 8 tidak semua parpol memiliki keharusan untuk diverifikasi sebagai peserta pemilu. Dalam ketentuan tersebut terdapat dua kelompok yang diperlakukan secara berbeda untuk menjadi peserta pemilu: a. Kelompok pertama yaitu parpol yang secara otomatis menjadi peserta pemilu karena pada Pemilu 2009 berhasil memenuhi ambang batas suara parlemen. Untuk kategori pertama itu, parpol tidak perlu diverifikasi KPU. b. Kelompok kedua yaitu parpol yang hanya dapat menjadi peserta pemilu setelah memenuhi sembilan persyaratan yang diatur Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun. Parpol yang masuk kategori tersebut ialah parpol yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara parlemen pada Pemilu 2009 dan parpol baru. Terhadap dua kelompok parpol itu, kelengkapan persyaratan mereka sebagai peserta pemilu harus diverifikasi. Pengaturan tersebut mendorong pihak-pihak yang merasa hak konstitusionalnya dirugikan, mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 ke Mahkamah Konstitusi. C. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-X/2012 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012. Permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di Mahkamah Konstitusi dilakukan oleh 17 Parpol, yaitu: 539 Vol. 9 No. 4 - Desember 2012 1. Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU). 2. Partai Bulan Bintang (PBB). 3. Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI). 4. Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB). 5. Partai Persatuan Nasional (PPN). 6. Partai Merdeka. 7. Partai Nasional Benteng Kerakyatan Indonesia (PNBK Indonesia). 8. Partai Demokrasi Kebangsaan (PDK). 9. Partai Sarikat Indonesia (PSI). 10. Partai Kedaulatan. 11. Partai Indonesia Sejahtera (PIS). 12. Partai Kesatuan Demokrasi Indonesia (PKDI). 13. Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia (PPPI). 14. Partai Damai Sejahtera (PDS). 15. Partai Demokrasi Pembaruan (PDP). 16. Partai Republika Nusantara. 17. Partai Pemuda Indonesia (PPI). Para Pemohon mengajukan uji konstitusionalitas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 terhadap antara lain:9 a. Pasal 8 ayat (1) sepanjang frasa “yang memenuhi ambang batas perolehan suara dari jumlah suara sah secara nasional” pada kalimat “Partai Politik Peserta Pemilu pada Pemilu terakhir yang memenuhi ambang batas perolehan suara dari jumlah suara sah secara nasional” ditetapkan sebagai Partai Politik Peserta Pemilu pada Pemilu berikutnya. b. Pasal 8 ayat (2) sepanjang frasa “Partai politik yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara pada Pemilu sebelumnya atau” pada kalimat “Partai politik yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara pada Pemilu sebelumnya atau partai politik baru dapat menjadi Peserta Pemilu setelah memenuhi persyaratan…”. c. Pasal 208 sepanjang frasa: ..”DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/ kota” pada kalimat “Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara sekurang-kurangnya 3,5% (tiga Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-X/2012 tentang Pengujian Undang-undang Nomor 8 Tahun 2012. 9 540 Kewajiban Verifikasi Parpol Pasca Putusan ... koma lima persen) dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota”. Amar Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Putusan tersebut menyatakan antara lain:10 1. Pasal 8 ayat (1) dan Penjelasan Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012. 2. Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 sepanjang frasa “yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara pada Pemilu sebelumnya atau partai politik baru” dan Penjelasan Pasal 8 ayat (2) sepanjang frasa “yang dimaksud dengan “partai politik baru” adalah partai politik yang belum pernah mengikuti Pemilu” bertentangan dengan UUD 1945. 3. Pasal 17 ayat (1) dan Penjelasan Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pasal 208 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 sepanjang frasa “DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota” bertentangan dengan UUD 1945. 5. Pasal 209 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 sepanjang frasa “DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota” bertentangan dengan UUD 1945. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, hakim Mahkamah memiliki beberapa Pertimbangan Hukum terkait putusan tersebut, yaitu di antaranya:11 a. Bahwa tindakan pembentuk undang-undang yang membatasi jumlah partai politik peserta pemilihan umum dengan tanpa menyebut jumlah partai peserta Pemilu adalah pilihan kebijakan yang tepat dan tidak bertentangan dengan UUD 1945 karena pembatasan tersebut tidak ditentukan oleh pembentuk undangundang melainkan ditentukan sendiri oleh rakyat yang memiliki kebebasan untuk menentukan pilihannya secara alamiah. b. Bahwa Pasal 8 ayat (1) UU 8/2012, tidak memenuhi asas keadilan bagi partai politik lama karena pada saat verifikasi untuk menjadi peserta Pemilihan Umum Tahun 2009, semua persyaratan 10 11 Ibid. Ibid. 541 Vol. 9 No. 4 - Desember 2012 administrasi sudah dipenuhi oleh semua partai politik peserta Pemilihan Umum Tahun 2009, sehingga tidak tepat jika partai politik yang pada Pemilihan Umum Tahun 2009 telah dinyatakan memenuhi persyaratan, namun pada pemilihan umum berikutnya diwajibkan memenuhi syarat ambang batas perolehan suara, atau jika partai politik bersangkutan tidak memenuhi ambang batas, diwajibkan memenuhi persyaratan yang berbeda dengan partai politik peserta Pemilihan Umum Tahun 2009. c. Bahwa Mahkamah dapat memahami maksud pembentuk UndangUndang untuk melakukan penyederhanaan jumlah partai politik, namun penyederhanaan tidak dapat dilakukan dengan memberlakukan syarat-syarat yang berlainan kepada masingmasing partai politik. Penyederhanaan partai politik dapat dilakukan dengan menentukan syarat-syarat administratif tertentu untuk mengikuti pemilihan umum, namun syarat-syarat tersebut harus diberlakukan sama untuk semua partai politik yang akan menjadi peserta pemilihan umum tanpa pengecualian. Memberlakukan syarat yang berbeda kepada peserta suatu kontestasi (pemilihan umum) yang sama merupakan perlakuan yang tidak sama atau perlakuan secara berbeda (unequal treatment) yang bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) serta Pasal 28D ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945. d. Bahwa untuk mencapai perlakuan yang sama dan adil tersebut maka bagi seluruh partai politik peserta Pemilu Tahun 2014 harus mengikuti verifikasi. Selain itu syarat menjadi peserta Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) UU a quo hanya diberlakukan kepada semua parpol yang akan mengikuti Pemilu Tahun 2014. e. Bahwa sekiranya PT 3,5% diberlakukan secara bertingkat, masingmasing 3,5% untuk DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/ kota, dapat menimbulkan kemungkinan tidak ada satu pun partai politik peserta Pemilu di suatu daerah (provinsi atau kabupaten/ kota) yang memenuhi PT 3,5% sehingga tidak ada satupun anggota partai politik yang dapat menduduki kursi DPRD. Hal ini mungkin terjadi jika diasumsikan partai politik peserta Pemilu berjumlah 30 partai politik dan suara terbagi rata sehingga maksimal tiaptiap partai politik peserta Pemilu hanya memperoleh maksimal 3,3% suara. Selain itu, terdapat pula kemungkinan di suatu daerah hanya ada satu partai politik yang memenuhi PT 3,5% sehingga 542 Kewajiban Verifikasi Parpol Pasca Putusan ... hanya ada satu partai politik yang menduduki seluruh kursi di DPRD atau sekurang-kurangnya banyak kursi yang tidak terisi. Hal itu justru bertentangan dengan ketentuan konstitusi yang menghendaki Pemilu untuk memilih anggota DPR dan DPRD, yang ternyata tidak tercapai karena kursi tidak terbagi habis, atau akan terjadi hanya satu partai politik yang duduk di DPRD yang dengan demikian tidak sejalan dengan konstitusi. Namun demikian, terhadap Putusan tersebut terdapat satu hakim yang mempunyai pendapat berbeda (dissenting opinion), yaitu: M. Akil Mochtar, dengan pertimbangan antara lain: “bahwa penerapan model parliamentary threshold dalam sistem Pemilu Indonesia tidak sejalan dengan tujuan penyederhanaan sistem kepartaian dalam rangka efektifitas sistem presidensiil melalui penguatan kelembagaan parlemen. Selain itu, penerapan model parliamentary threshold mengakibatkan terhambatnya saluran aspirasi dari kelompok minoritas dalam sistem bangunan kenegaraan Indonesia yang demokratis dan dijamin oleh UUD 1945.” D. Kewajiban Verifikasi Parpol Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-X/2012 Pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa dipenuhinya ambang batas perolehan suara pada Pemilihan Umum Tahun 2009 tidak dapat dijadikan sebagai satu-satunya ketentuan mengenai syarat atau kriteria dalam keikutsertaan partai politik lama sebagai peserta Pemilihan Umum Tahun 2014, karena ketentuan mengenai syarat atau kriteria dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 berbeda dengan ketentuan mengenai syarat atau kriteria dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 yang menjadi dasar penyelenggaraan Pemilihan Umum Tahun 2014. Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi menganggap bahwa permohonan Pemohon yang hanya meminta dihapuskannya frasa “yang memenuhi ambang batas perolehan suara dari jumlah suara sah secara nasional” dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tidaklah cukup, karena menurut Mahkamah Konstitusi ketidakadilan tersebut justru terdapat dalam keseluruhan Pasal 8 ayat (1) dan Penjelasan Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012. Untuk menindaklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, KPU telah melakukan perubahan terhadap Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pendaftaran, Verifikasi, dan 543 Vol. 9 No. 4 - Desember 2012 Penetapan Partai Politik Peserta Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, yang diubah menjadi Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 12 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pendaftaran, Verifikasi, dan Penetapan Partai Politik Peserta Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota yang ditetapkan pada tanggal 5 September 2012. Berdasarkan Pasal 14 Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 8 Tahun 2012 verifikasi persyaratan Partai Politik calon peserta pemilu dilakukan secara administratif dan faktual.12 Verifikasi administratif memiliki pengertian penelitian terhadap kelengkapan dan kebenaran bukti-bukti tertulis untuk memenuhi syarat partai politik menjadi peserta pemilihan umum, dan verifikasi faktual memiliki pengertian penelitian dan pencocokan bukti-bukti tertulis dengan objek di lapangan, berkenaan dengan pemenuhan syarat partai politik menjadi peserta pemilihan umum.13 Atas dasar ketentuan tentang verifikasi tersebut diatas, seluruh partai politik yang ingin mengikuti pemilihan umum tahun 2014 wajib mengikuti verifikasi, meskipun pada pemilihan umum sebelumnya (pemilihan umum tahun 2009) partai politik tersebut telah lolos sebagai peserta pemilihan umum. Berdasarkan data yang ada, hingga saat ini (30/10/2012) KPU telah mengumumkan partai politik yang lolos verifikasi administrasi tahap II sebanyak 16 (enam belas) partai politik, antara lain Partai Nasdem, PDIP, PKB, Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Hanura, PAN, Partai Golkar, PKS, Partai Gerindra, Partai Demokrasi Pembaruan (PDP), Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI), Partai Demokrat, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Kedaulatan Bangsa Indonesia Baru (PKBIB), Partai Peduli Rakyat Nasional (PPRN) dan Partai Persatuan Nasional (PPN). Selain itu terdapat 18 (delapan belas) partai politik yang tidak Lihat Pasal 14 Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pendaftaran, Verifikasi, dan Penetapan Partai Politik Peserta Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota. 13 Lihat Pasal 1 Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pendaftaran, Verifikasi, dan Penetapan Partai Politik Peserta Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota. 12 544 Kewajiban Verifikasi Parpol Pasca Putusan ... lolos yakni Partai Demokrasi Kebangsaan (PDK), Partai Kesatuan Demokrasi Indonesia (PKDI), Partai Kongres, Partai Serikat Rakyat Independen (SRI), Partai Karya Republik (Pakar), Partai Nasional Republik (Nasrep), Partai Buruh, Partai Damai Sejahtera (PDS), Partai Republika Nusantara (Republikan), Partai Nasional Indonesia (PNI) Marhaenisme, Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB), Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia (PPPI), Partai Penegak Demokrasi Indonesia (PPDI), Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU), Partai Republik, Partai Kedaulatan, Partai Bhinneka Indonesia (PBI) dan Partai Nasional Benteng Kerakyatan Indonesia (PNBKI). Terhadap seluruh partai politik yang lolos verifikasi administrasi, KPU akan melakukan verifikasi faktual terhadap parpol yang lolos verifikasi administrasi tersebut.14 E. Penutup Berdasarkan uraian di atas terkait dengan verifikasi partai politik pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-X/2012, diambil beberapa beberapa kesimpulan, yaitu: 1. Partai politik di Indonesia memiliki peran penting yaitu sebagai salah satu faktor dalam demokrasi, karena peran dari partai politik itu sendiri dalam pemilihan umum. Dimana pemilihan umum peranan vital dalam demokrasi untuk menentukan masa depan bangsa. 2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, mengatur syarat terkait verifikasi partai politik (Pasal 8) yang harus dipenuhi oleh partai politik untuk dapat mengikuti pemilihan umum tahun 2014. Ada ketidakadilan dalam Pasal 8 tersebut, karena partai politik yang telah lolos menjadi peserta pemilihan umum pada tahun 2009 tidak perlu diverifikasi lagi untuk dapat mengikuti pemilihan umum pada tahun 2014, sementara partai politik yang tidak memenuhi PT harus mengikuti verifikasi dan dengan syarat yang lebih berat. 3. Melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-X/2012 verifikasi partai politik wajib dilakukan terhadap seluruh partai politik yang ingin ikut serta dalam pemilihan umum tahun 2014. 14 16 Parpol Lolos Verifikasi Administrasi, website: http://www.kpu.go.id/ index.php?option=com_content&task=view&id=7232&Itemid=68, Tanggal 28 Oktober 2012. 545 Vol. 9 No. 4 - Desember 2012 Daftar Pustaka Asshiddiqie, Jimly, 2006, Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai Politik dan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI. Asshiddiqqie, Jimly, 2006, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, Jakarta, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI. Azed, Abdul Bari, 2000, Sistem-Sistem Pemilihan Umum Suatu Himpunan Pemikiran, Depok, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Budiarjo, Miriam, 1993, Dasar-Dasar Ilmu Politik , Jakarta, Gramedia. Prihatmoko, Joko J., 2003, Pemilu 2004 dan Konsolidasi Demokrasi, Semarang, LP2I. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, 2005, Jakarta, Balai Pustaka. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-X/2012 tentang Pengujian Undang-undang Nomor 8 Tahun 2012. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pendaftaran, Verifikasi, dan Penetapan Partai Politik Peserta Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota. Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 12 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pendaftaran, Verifikasi, dan Penetapan Partai Politik Peserta Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota. Internet: 16 Parpol Lolos Verifikasi Administrasi, w e b s i t e : h t t p : / / w w w . k p u . g o . i d index.php?option=com_content&task=view&id=7232&Itemid=68, Tanggal 28 Oktober 2012. 546 KAMPANYE PEMILU 2014 SEBAGAI BAGIAN DARI PENDIDIKAN POLITIK MASYARAKAT (ELECTION CAMPAIGN 2014 AS PART OF POLITICS EDUCATION SOCIETY) A. A. Oka Mahendra* (Naskah diterima 01/11/2012, disetujui 23/11/2012) Abstrak Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan ritual 5 (lima) tahunan yang dilaksanakan oleh pemerintahan yang menganut prinsip kedaulatan rakyat atau demokrasi. Pemilu dinyatakan sebagai sarana perwujudan kedaulatan rakyat, yang dilaksanakan secara efektif dan efisien berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Melalui Pemilu yang demikian itu, diharapkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan dapat memilih wakil rakyat yang aspiratif, berkualitas, dan bertanggung jawab dalam menjalankan fungsi legislatif secara optimal. Salah satu tahapan penyelenggaraan Pemilu yang penuh warna dan dinamika ialah kampanye Pemilu. Selama masa kampanye, komunikasi politik antara kandidat anggota badan legislatif, partai politik dan pemilih berlangsung secara intens dalam pengawasan Komisi Pemilihan Umum dan Pengawas Pemilu. Undang-Undang Pemilu menyatakan Kampanye Pemilu merupakan bagian dari pendidikan politik masyarakat dan dilaksanakan secara bertanggung jawab. Pendidikan politik merupakan usaha sadar untuk mengubah proses sosialisasi politik masyarakat ke arah perkembangan sikap dan tingkah laku politik yang semakin demokratis. Melalui pendidikan politik yang berkelanjutan, rakyat akan menjadi semakin cerdas, memiliki wawasan yang luas, dan memiliki rasa tanggung jawab sebagai warga negara untuk menggunakan hak politiknya dalam negara yang demokratis. Kata kunci: Kampanye Pemilu yang mencerdaskan rakyat. Abstract Election is a ritual 5 (five) year conducted by the government adheres to the principle of popular sovereignty or democracy. Elections expressed as means embodiment of popular sovereignty, which are carried out effectively and efisen based on the principles of direct, general, free, secret, honest and fair. Through such elections, it is expected of the people as sovereign can choose representatives who aspirational quality, and responsible in carrying out the legislative function optimally. One of the stages of organizing elections is full of color and dynamics of the election campaign. During the campaign period, political communication between candidates for the legislature, political parties and voters in the intense ongoing supervision Election Commission and the Election Supervisor. Election Law states election campaign is part of the political education of the public and conducted responsibly. Political * Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM RI Tahun 20052006. 547 Vol. 9 No. 4 - Desember 2012 education is a conscious effort to change the political socialization process towards the development of attitudes and political behavior increasingly democratic. Through ongoing political education, people will become more and more educated, have extensive knowledge, a sense of responsibility as citizens to use their political rights in a democratic country. Keywords: election campaigns to educate people. A. Pendahuluan Tahun 2014 nanti bangsa Indonesia akan menyelenggarakan Pemilu yang ke 11 sejak Indonesia merdeka atau Pemilu yang ke 4 sejak reformasi. Pemilu 2014 diharapkan lebih berkualitas baik penyelenggaraannya maupun hasilnya. Artinya, penyelenggaraan Pemilu 2014 dimaksudkan untuk menciptakan derajat kompetisi yang lebih sehat, partisipatif, dan mempunyai derajat keterwakilan yang lebih tinggi, serta memiliki mekanisme pertanggungjawaban yang jelas. Selain itu, Pemilu 2014 diharapkan menghasilkan wakil rakyat yang berkualitas, aspiratif, dapat dipercaya dan dapat melaksanakan fungsi legislatif secara optimal. Pemilu 2014, hendaknya lebih baik dari Pemilu sebelumnya. Jangan sampai Pemilu 2014 sekedar merupakan ritual demokrasi 5 (lima) tahunan yang bersifat elitis untuk membangun pencitraan sebagai negara demokratis. Alvin Toffler dengan tajam melancarkan kritik terhadap pelaksanaan Pemilu di beberapa negara pada periode gelombang kedua yang dianggapnya sebagai upacara membangkitkan kepercayaan. Toffler menyatakan: “Pemungutan suara merupakan suatu upacara membangkitkan kembali kepercayaan massa, menyampaikan kepada rakyat suatu rasa bahwa pemilihan telah dilaksanakan secara sistimatis dan berjalan serba teratur seperti mesin, dan karena itu bersifat rasional. Pemilihan umum, secara simbolis, memberikan suatu keyakinan kepada warga negara bahwa mereka tetap mempunyai kekuasaan, dan berhak-paling tidak dalam teori-untuk tidak memilih atau memilih para pemimpin mereka sendiri”1. Politik hukum yang tertuang dalam Undang-Undang Pemilu menghedaki perbaikan penyelenggaraan Pemilu. Dikemukakan bahwa Pemilu merupakan bagian dari proses “penguatan dan pendalaman 1 Alvin Toffler, Gelombang Ketiga, PT Panca Simpati, Jakarta 1988, hlm. 109-110 548 Kampanye Pemilu 2013 Sebagai Bagian Dari ... demokrasi (deepening democracy) serta upaya untuk mewujudkan tata pemerintahan presidensiil yang efektif”2. Perbaikan penyelenggaraan Pemilu mencakup seluruh tahapan penyelenggaraan Pemilu, termasuk tahapan kampanye pemilu yang semarak dan gegap gempita. Pembentuk Undang-Undang Pemilu memandang ikhwal Kampanye Pemilu cukup penting, oleh karena itu, mengenai kampanye Pemilu diatur dalam Bab tersendiri, yaitu Bab VIII, yang terdiri dari 64 Pasal yaitu, Pasal 77 sampai dengan Pasal 140, atau sama dengan 19,78% dari 328 Pasal dalam Undang-Undang Pemilu. Bab VIII dibagi dalam 10 bagian yang terdiri dari Bagian Kesatu mengatur mengenai Kampanye Pemilu, Bagian Kedua mengenai Materi Kampanye, Bagian Ketiga mengenai Metode Kampanye, Bagian Keempat mengenai Larangan dalam Kampanye, Bagian Kelima mengenai Sanksi Atas Pelanggaran Larangan, Bagian Keenam mengenai Pemberitaan, Penyiaran, dan Iklan Kampanye, Bagian Ketujuh mengenai Pemasangan Alat peraga Kampanye, Bagian Kedelapan Mengenai Peranan Pemerintah,TNI dan Polri dalam kampanye, Bagian Kesembilan mengenai Pengawasan Atas Pelaksanaan Kampanye Pemilu, dan Bagian Kesepuluh mengenai Dana Kampane Pemilu. B. Pokok Permasalahan Ada tiga pokok permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ini yaitu: 1. Bagimanakah Pelaksana Kampanye seharusnya memaknai Kampanye Pemilu sebagai bagian dari pendidikan politik masyarakat? 2. Bagaimana korelasi antara Kampanye Pemilu dengan kampanye politik? 3. Apakah yang harus dilakukan oleh Pelaksana Kampanye Pemilu menghadapi publik yang semakin cerdas. Melalui pembahasan ketiga pokok permasalahan tersebut diharapkan diperoleh jawaban untuk menjadikan Kampanye Pemilu 2014 sebagai bagian pendidikan politik yang mencerdaskan masyarakat dalam rangka memantapkan sistem pemerintahan yang demokratis, sehat dan 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, Penjelasan Umum, alinea ke 7 549 Vol. 9 No. 4 - Desember 2012 dinamis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. C. Pengertian Beberapa Istilah Sebelum membahas pokok permasalahan terlebih dahulu perlu dikemukakan pengertian beberapa istilah agar terdapat persamaan persepsi mengenai arti istilah tersebut. Ada 4 (empat) istilah yang perlu diberikan definisi atau pengertian sebagai berikut: 1. Peserta Pemilu adalah Partai Politik untuk Pemilu anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dan perseorangan untuk Pemilu anggota DPD3. 2. Kampanye Pemilu adalah kegiatan Peserta Pemilu untuk meyakinkan para Pemilih dengan menawarkan visi, misi, dan program Peserta Pemilu4. 3. Kampanye politik adalah kegiatan jangka panjang Peserta Pemilu yang dilaksanakan secara konsisten dan berkelanjutan untuk menyampaikan pesan politik dalam rangka membangun citra politik yang positif untuk memperoleh dukungan politik dari masyarakat5. 4. Pendidikan politik adalah usaha yang sadar untuk mengubah proses sosialisasi politik masyarakat sehingga mereka memahami dan menghayati betul nilai-nilai yang terkandung dalam suatu sistem politik yang ideal yang hendak dibangun6. UU Nomor 8 Tahun 2012, op cit, Pasal 1 angka 26. Ibid, Pasal 1 angka 29. Firmanzah, Marketing Politik, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta 2007, hlm. 273 mengemukakan “Sementara kampanye politik bersifat jangka panjang dan dilakukan secara terus menerus untuk membangun image politik.” 6 Alfian, Masalah dan Prospek Pembangunan Politik Indonesia (Kumpulan Karangan), PT Gramedia Jakarta, 1986, hlm. 245. Bandingkan juga dengan Kartini Kartono, Pendidikan Politik, CV Mandar Maju, Bandung 1996, hm. 69 yang mengemukakan “Maka dalam konteks uraian di atas, pendidikan politik di Indonesia dapat dinyatakan sebagai rangkaian upaya edukatif yang sistimatis dan intensional untuk memantapkan kesadaran politik dan kesadaran bernegara, dalam menunjang kelestarian Pancasila dan UUD 1945 sebagai falsafah hidup serta landasan konstitusional; melakukan upaya pembeharuan kehidupan politik bangsa Indonesia, dalam rangka tegaknya satu sistem politik yang demokratis, sehat dan dinamis.” 3 4 5 550 Kampanye Pemilu 2013 Sebagai Bagian Dari ... D. Kampanye Pemilu bukan Basa-Basi Politik Stereotip Kampanye Pemilu dapat digambarkan sebagai aktivitas pengumpulan massa pendukung Partai Politik atau Peserta Pemilu, pawai atau arak-arakan kendaraan bermotor yang hingar bingar, pemasangan atribut Partai Politik, spanduk, baliho bagi-bagi kaos atau sembako, pidato juru kampanye, yell-yell Partai Politik yang membakar semangat, dan pementasan lawak atau penyanyi dangdut sebagai pengikat massa untuk tetap bertahan mengikuti kegiatan Kampanye Pemilu . Pidato kampanye yang disampaikan oleh juru kampanye yang biasanya terdiri dari tokoh Partai Politik atau kandidat calon anggota legislatif (caleg), pada intinya berisi retorika politik yang menggambarkan kedekatan partai poltik dan caleg yang bersangkutan dengan rakyat dan ajakan kepada masyarakat untuk memilih Partai Politik atau caleg tertentu. Tentunya tidak lupa, disertai janji-janji politik untuk memberantas korupsi, memperluas pendidikan dan pelayanan kesehatan gratis, penciptaan lapangan kerja, pembangunan ekonomi kerakyatan yang tak jelas konsepnya dan berbagai program pro poor lainnya. Kampanye Pemilu dimanfaatkan oleh Partai Politik dan caleg untuk melakukan manuver politik. Mereka dengan ramah menyapa rakyat dan mengidentifikasikan diri sebagai pembela rakyat nomor wahid dan paling memahami aspirasi rakyat, memahami persoalan yang dihadapi rakyat, dan menjanjikan resep mujarab untuk mengatasinya jika mereka memenangkan Pemilu. Mereka menjadi murah hati, pintu kantor Partai Politik dan rumah caleg dibuka untuk siapa saja pada masa Kampanye Pemilu. Kaca mobilnyapun dibuat tembus pandang sehingga masyarakat dapat menyaksikan siapa yang ada di dalam mobil. Petinggi Partai Politik serta caleg pada saat Kampanye Pemilu tidak segan-segan berbaur dengan rakyat untuk mengesankan kedekatan mereka dengan pemegang hak suara. Tim Sukses Partai Politik dan caleg tak mengenal lelah bergerak dari kampung ke kampung, dan dari pintu ke pintu demi meraih sebanyak mungkin dukungan pemilih untuk ‘bosnya’. Berbagai cara digunakan, dari yang halus sampai yang kasar, dari mengumbar janji, memberi “gizi” sampai melakukan intimidasi. Janji-janji Pemilu hanya penghias bibir waktu Kampanye Pemilu, namun setelah itu dilupakan. Seorang ahli politik dengan jenaka mengejek politisi dengan mengatakan “Politicians are the same all over. They promise to build bridges, even where there are no rivers.” Nasib rakyat tak berubah, meski Partai 551 Vol. 9 No. 4 - Desember 2012 Politik dan caleg yang mereka dukung menikmati kekuasaan dengan berbagai atribut dan fasilitasnya. Rakyat dilupakan untuk disapa lagi pada Kampanye Pemilu berikutnya. Firmanzah mengatakan “Kampanye kerapkali sekadar basa-basi politik. Rakyat secara umum bersikap apatis atau sumonggo kerso yang penting aman. Kampanye yang merupakan bagian dari marketing politik pun dirasa perlu oleh partai-partai politik menjelang Pemilu. Setelah Pemilu selesai dan kekuasaan diperoleh mereka melupakan segala janji”7. D.1. Rakyat Belajar dari Pengalaman Seiring dengan perkembangan zaman, rakyat semakin memahami suaranya diperlukan. Suara rakyat berharga,karena dapat mengantarkan Partai Politik dan caleg meraih jabatan politik yang prestisius. Mereka mulai membandingkan janji-janji kampanye dengan perilaku politik Partai Politik dan caleg yang mereka dukung serta dengan realitas sosial yang mereka hadapi yang jauh panggang dari api. Semua itu direkam dalam memori kolektif masyarakat. Inilah kemudian membentuk persepsi politik mayarakat terhadap Partai Politik dan caleg. Semakin bertolak belakang janji kampanye dengan perilaku politik Partai Politik dan caleg serta realitas sosial, semakin rendah kepercayaan masyarakat terhadap Partai Politik dan caleg. Sebaliknya jika tingkat kesesuaian antara janji dengan perilaku politik dan realitas sosial semakin tinggi, maka kepercayaan masyarakat terhadap Partai Politik dan caleg akan semakin tinggi pula. Oleh karena itu, Kampanye Pemilu tidak boleh dijadikan sebagai suatu basa-basi politik, yang mengesankan seolah-olah Partai Politik dan caleg merakyat, memahami persoalan riil yang dihadapi rakyat dan dapat memberikan solusinya. Kampanye Pemilu sebagai proses interaksi politik yang sangat intens antara Partai Politik dan caleg dengan rakyat dalam kurun waktu tertentu menjelang Pemilu bukan basa-basi politik yang memberi ilusi seakan-akan rakyat diperlakukan sebagai subjek. Namun demikian, dalam kenyataannya rakyat masih dipandang sebagai objek. Suaranya diperebutkan untuk memenangkan Pemilu dan sesudah itu nama rakyat selalu dicatut untuk menyelimuti kebijakan politik yang diambil oleh elit berkuasa. 7 Firmanzah, op cit, hlm. 265. 552 Kampanye Pemilu 2013 Sebagai Bagian Dari ... Bukan zamannya lagi menjadikan ajang Kampanye Pemilu sebagai sekedar upaya memobilisasi rakyar untuk datang ke tempat pemungutan suara (TPS) dan memilih Partai Politik atau caleg tertentu. Rakyat harus diposisikan sebagai pemegang kedaulatan yang patut dihormati hakhak politiknya. Kampanye Pemilu hendaknya dibangun sebagai komunikasi politik untuk menciptakan kesamaan persepsi antara Partai Politik dan caleg dengan rakyat mengenai prinsip-prinsip penyelengaraan negara berdasarkan Pancasila dan UUDNRI Tahun 1945. Oleh karena itu, edukasi politik yang diberikan kepada rakyat haruslah komprehensif dan solutif, tidak bersifat parsial, oportunistis dan insidental. Janji-janji politik yang disampaikan pada waktu Kampanye Pemilu merupakan komitmen politik yang harus dipenuhi oleh Partai Politik dan caleg setelah duduk di kursi kekuasaan. Hanya dengan demikian partisipasi politik rakyat dalam Pemilu dapat dijaga, dipupuk dan terus dikembangkan. D.2. Kampanye Pemilu sebagai bagian dari Pendidikan Politik Undang-Undang Pemilu menentukan “Kampanye Pemilu merupakan bagian dari pendidikan politik masyarakat dan dilaksanakan secara bertanggung jawab”8. Tidak ada penjelasan mengenai hal ini. Pembentuk undang-undang menganggap hal tersebut sudah cukup jelas. Undang-Undang Partai Politik menentukan salah satu fungsi Partai Politik adalah “sebagai sarana pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat luas agar menjadi warga negara Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara”9. D.3. Partai Politik sebagai Sarana Pendidikan Politik Internal dan Eksternal Pendidikan politik internal ditujukan kepada calon anggota, anggota dan kader-kader Partai Politik agar memiliki pemahaman yang baik, memiliki persamaan persepsi mengenai haluan dan kebijakan politik partainya serta siap berperanaktif dalam melaksanakan berbagai aktivitas partainya. UU Nomor 8 Tahun 2012, op cit, Pasal 77. UU Nomo 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik sebagaimana diubah dengan UU Nomor 2 tahun 2011, Pasal 11 ayat (1) huruf a. 8 9 553 Vol. 9 No. 4 - Desember 2012 Pendidikan politik eksternal ditujukan kepada masyarakat luas untuk memperkenalkan siapa dan bagaimana visi, misi dan program perjuangan Partai Politik yang bersangkutan dengan maksud untuk menarik simpati atau memperoleh dukungan dari masyarakat luas. Pendidikan politik kepada masyarakat luas ini selain dilakukan oleh Partai Politik juga dilakukan oleh kader-kader Partai Politik atau oleh politisi secara perorangan. Masa Kampanye Pemilu yang berlangsung relatif singkat, selama 21 (dua puluh satu) hari, diharapkan menjadi momentum proses pendidikan politik secara lebih intens. UU Pemilu menentukan, “Pelaksana Kampanye Pemilu anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota terdiri atas pengurus partai politik, calon anggota DPR, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, juru Kampanye Pemilu, orang seorang, dan organisasi yang ditunjuk oleh Peserta Pemilu anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota”.10 Para Pelaksana Kampanye Pemilu tersebut diharapkan mampu menjadi komunikator yang tangguh untuk menyampaikan materi kampanye berupa: visi, misi, dan program Partai Politik. Sedangkan Pelaksana Kampanye Pemilu anggota DPD terdiri atas calon anggota DPD, orang seorang, dan organisasi yang ditunjuk oleh Peserta Pemilu anggota DPD”.11 Pelaksana Kampanye Pemilu anggota DPD diharapkan mampu menjadi komunikator yang tangguh untuk menyampaikan materi kampanye berupa: visi, misi, dan program yang bersangkutan. Visi adalah gambaran umum mengenai cita-cita yang hendak diraih bersama oleh Partai Politik atau calon anggota DPD dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Misi adalah gambaran umum mengenai upaya strategis yang akan dilakukan untuk mewujudkan visi. Program adalah instrumen kebijakan yang berisi kegiatan yang akan dilaksanakan untuk memecahkan berbagai isu kemasyarakatan utama yang dihadapi oleh masyarakat dalam rangka mewujudkan citacita bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Visi, misi dan program merupakan pesan yang harus disampaikan oleh Pelaksana Kampanye kepada masyarakat sebagai Peserta Kampanye pada masa Kampanye Pemilu. 10 11 UU Nomor 8 Tahun 2008, op cit, Pasal 79 ayat (1). Ibid, Pasal 79 ayat(2). 554 Kampanye Pemilu 2013 Sebagai Bagian Dari ... Agar Kampanye Pemilu menjadi bagian dari pendidikan politik masyarakat, ada 4 (empat) faktor berpengaruh yang perlu diperhatikan yaitu: 1. Isi pesan harus jelas, aspiratif, menyentuh hati masyarakat, edukatif, solutif dan menambah wawasan. Pesan yang hendak disampaikan harus diseleksi secara cermat, konsisten, meski perlu disesuaikan dengan siapa peserta kampanye yang dihadapi, media yang akan digunakan untuk menyampaikan pesan, waktu dan tempat pesan disampaikan. 2. Komunikator dalam hal ini pelaksana Kampanye harus mengenal kapasitas dirinya sendiri, memahami secara mendalam pesan yang akan disampaikan, mengenal peserta kampanye, dan memiliki kemampuan berkomunikasi secara efektif. Sun Tzu mengatakan: “yang mengenali dirinya, mengenali lawannya, dan mengenali medan tempurnya, akan memenangkan setiap pertempuran.”12 Pemilu ibaratnya medan tempur sosialisai politik melalui komunikasi politik. 3. Pemahaman terhadap Peserta Kampanye sangat penting untuk menetukan isi pesan yang patut disampaikan, dan menentukan cara penyampaian yang cocok. 4. Memilih metode dan media yang tepat untuk menyampaikan pesan disesuaikan dengan isi pesan dan peserta kampanye yang dituju. Cara penyampaian pesan dalam rapat umum tentu tidak dapat disamakan dengan pertemuan tatap muka. Dalam rapat umum, lebih cocok cara penyampaian berupa retorika yang penuh semangat. Sedang dalam petemuan tatap muka lebih cocok mengunakan cara persuasi agar pesan tertanam dalam hati peserta kampanye. Undang-Undang Pemilu menentukan metode kampanye yang dapat dilakukan melalui:13 a. pertemuan terbatas; b. pertemuan tatap muka; c. penyebaran bahan kampanye Pemilu kepada umum; d. pemasangan alat peraga di depan umum; e. iklan media massa cetak dan media massa elektronik; f. rapat umum;dan 12 Arya Paningrum, Tip Trik Presentasi Memikat, Araska, Yogjakarta, 2012, hlm. 13. 555 Vol. 9 No. 4 - Desember 2012 g. kegiatan lain yang tidak melanggar larangan Kampanye Pemilu dan ketentuan peraturan perundang-undangan. Menempatkan Kampanye pemilu sebagai bagian dari pendidikan politik masyarakat mengandung makna bahwa Kampanye Pemilu tidak terpisahkan dari upaya sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran politik. Tujuannya agar masyarakat secara aktif mengembangkan kesadarannya untuk memenuhi hak dan kewajibannya sebagai warga negara dalam negara yang berkedaulatan rakyat berdasarkan Pancasila dan UUD Negara RI Tahun 1945. Ramlan Surbakti mengemukakan: “Pendidikan politik dipandang sebagai proses dialog antara pendidik, seperti sekolah, pemerintah, partai politik dan peserta didik dalam rangka pemahaman, penghayatan, dan pengamalan nilai, norma, dan simbol politik yang dianggap ideal dan baik” 14. Pelaksana Kampanye sebagai pendidik tentunya dituntut memiliki kapasitas untuk menanamkan nilai, norma dan simbol politik yang dianggap ideal dan baik kepada masyarakat. Selain itu, Pelaksana Kampanye harus dapat memberikan suri teladan kepada masyarakat dalam mengamalkan nilai, norma dan simbol politik yang dianggap ideal dan baik itu. Menyongsong Kampanye Pemilu 2014 mendatang Pelaksana Kampanye perlu mempertegas karakteristik mereka sehingga dengan mudah dapat dibedakan dengan yang lainnya. Masyarakat dengan demikian dapat menentukan pilihannya secara lebih cermat dengan membandingkan karakter masing-masing Pelaksana Kampanye, menilai kelebihan dan kekurangan masing-masing, sebelum mereka menentukan pilihan yang dianggap paling mewakili aspirasi mereka. Pelaksana Kampanye dituntut untuk lebih peka dan peduli terhadap berbagai permasalahan nyata yang dihadapi oleh rakyat, jika mereka ingin berhasil meraih dukungan masyarakat. Dalam iklim persaingan yang semakin ketat antar pelaksana Kampanye mau tidak mau perlu lebih mengedepankan pendekatan outward looking dari pada pendekatan inward looking. Pendekatan inward looking memiliki keterbatasan karena lebih mengedepankan kepentingan dan tujuan Partai Politik atau diri UU Nomor 8 tahun 2012, op cit, Pasal 82. Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, PT Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta 1992, hlm. 117. 13 14 556 Kampanye Pemilu 2013 Sebagai Bagian Dari ... sendiri yang dikemas dalam program yang akan ditawarkan kepada masyarakat. Sedangkan pendekatan outward looking mengedepankan apa yang menjadi pusat perhatian masyarakat sebagai basis untuk menentukan program politik yang akan ditawarkan kepada masyarakat. Pendekatan outward looking sangat cocok untuk merebut simpati masyarakat karena dapat menjawab permasalahan yang hidup di tengahtengah masyarakat. Pelaksana Kampanye yang menawarkan agenda politik yang mencerminkan realitas sosial yang aspiratif, kreatif, dan inovatif akan mampu meraih dukungan masyarakat yang lebih luas. Pelaksana Kampanye yang cerdas akan memperluas agenda politiknya ke berbagai bidang yang berhubungan dengan hajat hidup orang banyak, untuk memperoleh dukungan masyarakat yang lebih luas pula. Firmanzah mengemukakan ada dua hal yang paling pokok untuk menentukan apakah suatu agenda benar-benar mencerminkan permasalahan di masyarakat, antara lain, Pertama, agenda yang memiliki kekuatan dalam argumentasi dan rasionalitas. Kedua, agenda harus dikomunikasikan agar masyarakat mengerti bahwa memang benarbenar terdapat permasalahan yang harus dipecahkan dalam kehidupoan mereka 15. Kampanye Pemilu dapat dianggap bagian dari pendidikan politik masyarakat, jika proses komunikasi politik yang intens selama masa Kampanye Pemilu berhasil menanamkan nilai, norma dan simbol politik yang didasarkan pada prinsip demokrasi. Wujudnya yang paling nyata adalah tingkat partisipasi masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya dan memberi dukungan kepada Partai Politik atau caleg yang dianggap paling mewakili aspirasi mereka. E. Hubungan antara Kampanye Pemilu dan Kampanye Politik Meskipun terdapat perbedaan antara Kampanye Pemilu dan Kampanye Politik, namun di antara keduanya terdapat hubungan yang sangat erat. Kampanye Pemilu merupakan bagian dari Kampanye Politik yang dilaksanakan dalam jangka panjang. Berbagai aktivitas politik yang dilakukan oleh Partai Politik dan caleg sebelum masa kampanye dalam bentuk pernyataan politik, keterangan pers, talk show, menghadiri seminar, diskusi politik, 15 Firmanzah, op cit, hlm. 280. 557 Vol. 9 No. 4 - Desember 2012 menggelar demo, bakti sosial dan lain-lain aktivitas politik merupakan bentuk-bentuk kampanye politik yang dilakukan secara berkesinambungan. Tujuannya adalah membangun image politik yang positif. Hal tersebut pada umumnya diperkuat dan diingatkan kembali secara impresif pada Kampanye Pemilu. Perbedaan antara keduanya digambarkan oleh Firmanzah dalam tabel berikut.16 Undang-Undang Pemilu secara jelas menyatakan bahwa Kampanye Pemilu merupakan bagian dari pendidikan politik. Artinya Kampanye Pemilu tidak bisa dipisahkan dari pendidikan politik yang merupakan fungsi dari Partai Politik dan fungsi supra stuktur politik. Pendidikan politik dilakukan secara terus menerus oleh Partai Politik maupun oleh supra struktur politik dalam rangka meningkatkan kesadaran politik warga negara. Kampanye politik dapat dikatakan sebagai salah satu bentuk dari pendidikan politik dengan tujuan untuk penyerapan nilainilai politik oleh masyarakat. 16 Ibid, hlm, 273. 558 Kampanye Pemilu 2013 Sebagai Bagian Dari ... Firmanzah berpendapat: “kampanye politik saling melengkapi dengan kampanye pemilu dan bukannya harus memilih salah satu. Kampanye pemilu memiliki keterbatasan seperti yang telah diungkapakan di atas. Di sisi lain, kampanye pemilu sangat dibutuhkan untuk menyegarkan dan mengingatkan kembali reputasi dan image politik yang telah dibangun. Kampanye politik bersifat jangka panjang membutuhkan penegasan dan penguatan ulang melalui kampanye pemilu”. 17 Kampanye politik dan Kampanye Pemilu keduanya memerlukan integritas, kejujuran dan rasa tanggung jawab kepada rakyat sebagai pemegang kedaulatan dalam negara. Dengan demikian kepercayaan rakyat terhadap Partai Politik dan caleg dapat dibangun dan dipelihara. Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam kampanye politik dan Kampanye Pemilu peran media masa sebagai pemberi informasi yang netral dan objektif sangat penting. Karena itu, dalam Undang-Undang Pemilu ditentukan: “Lembaga penyiaran publik TVRI dan lembaga penyiaran publik RRI, lembaga penyiaran publik lokal, lembaga penyiaran swasta, dan lembaga penyiaran berlangganan, memberikan alokasi waktu yang sama dan memperlakukan secara berimbang Peserta Pemilu untuk menyampaikan materi Kampanye Pemilu” 18 . Selanjutnya ditentukan: “Media massa cetak dan lembaga penyiaran yang menyediakan rubrik khusus untuk Pemberitaan Kampanye Pemilu harus berlaku adil dan berimbang kepada semua Peserta Pemilu”19. Dengan ketentuan tersebut diharapkan media massa cetak dan lembaga penyiaran dapat melaksanakan fungsinya menyampaikan informasi yang bersifat edukatif secara adil dan berimbang. Informasi yang diterima masyarakat melalui talk show, konferensi pers atau debat publik sangat berguna bagi proses pembelajaran politik dan juga dalam menentukan pilihan politik secara lebih rasional. Tentunya dengan catatan bahwa informasi yang disampaikan akurat, berkualitas, menambah wawasan dan mencerdaskan masyarakat. 17 18 19 Ibid, hlm, 274. UU Nomor 8 Tahun 2012, op cit, Pasal 92 ayat(1). Ibid, Pasal 93 ayat(3). 559 Vol. 9 No. 4 - Desember 2012 F. Penutup Dari uraian di atas dapat dikemukakan kesimpulan sebagai berikut: 1. Kampanye Pemilu sebagai proses interaksi politik yang sangat intens antara Partai Politik dan caleg dengan rakyat dalam waktu singkat menjelang Pemilu bukan basa basi politik yang memberi ilusi seakan-akan rakyat diperlakukan sebagai subjek. 2. Masyarakat merekam dalam memori kolektif mereka segala perilaku Partai Politik dan caleg selama Kampanye Pemilu, kemudian membentuk persepsi politik masyarakat terhadap Partai Politik dan caleg, yang pada gilirannya dipergunakan sebagai tolok ukur untuk menimbang tingkat kepercayaan masyarakat terhadap Partai Politik dan caleg. 3. Kampanye Pemilu pada dasarnya merupakan komunikasi politik untuk menciptakan kesamaan persepsi antara Partai Politik dan caleg dengan rakyat mengenai prinsip-prinsip penyelengagraan negara berdasarkan Pancasila dan UUDNRI Tahun 1945. 4. Agar Kampanye Pemilu menjadi bagian dari pendidikan politik masyarakat, ada 4 (empat) faktor yang berpengaruh yaitu: 5. 560 (a) Isi pesan, harus jelas, aspiratif, menyentuh hati masyarakat, edukatif, solutif dan menambah wawasan. (b) Komunikator dalam hal ini Pelaksana Kampanye harus mengenal kapasitas dirinya sendiri, memahami secara mendalam pesan yang akan disampaikan, mengenal peserta kampanye,dan memiliki kemampuan berkomunikasi secara efektif. (c) Pemahaman terhadap Peserta Kampanye sangat penting untuk menetukan isi pesan yang patut disampaikan dan menentukan cara penyampaian yang cocok. (d) Memilih metode dan media yang tepat untuk menyampaikan pesan disesuaikan dengan isi pesan dan peserta kampanye yang dituju. Menyongsongi Kampanye Pemilu 2014 mendatang Pelaksana Kampanye agar mempertegas karakteristik mereka, agar mudah dapat dibedakan dengan yang lainnya, sehingga masyarakat dapat menentukan pilihannya terhadap Partai Politik atau caleg yang dianggap paling cocok dengan aspirasinya. Kampanye Pemilu 2013 Sebagai Bagian Dari ... 6. Pelaksana Kampanye agar lebih peka dan peduli terhadap berbagai permasalahan nyata yang dihadapi oleh rakyat dan lebih mengedepankan pendekatan outward looking dari pada pendekatan inward looking. 7. Kampanye Pemilu dapat dianggap bagian dari pendidikan politik masyarakat, jika proses komunikasi politik yang intens selama masa Kampanye Pemilu, berhasil menamkan nilai, norma dan simbol politik yang didasarkan pada prinsip demokrasi. 8. Undang-Undang Pemilu secara jelas menyatakan Kampanye Pemilu merupakan bagian dari pendidikan politik, artinya Kampanye Pemilu tidak bisa dipisahkan dari pendidikan politik yang merupakan fungsi dari Partai Politik dan fungsi supra stuktur politik. 9. Kampanye politik dan Kampanye Pemilu keduanya memerlukan integritas, kejujuran dan rasa tanggung jawab kepada rakyat sebagai pemegang kedaulatan dalam negara, untuk membangun dan memperkokoh kepercayaan rakyat terhadap system politik demokratis. 10. Peran media masa sebagai pemberi informasi yang netral dan objektif sangat penting dalam kampanye politik dan Kampanye Pemilu. Media massa cetak dan lembaga penyiaran diharapkan dapat melaksanakan fungsinya menyampaikan informasi yang bersifat edukatif untuk meningkatkan kesadaran politik rakyat. 561 Vol. 9 No. 4 - Desember 2012 Daftar Pustaka A. Buku Alfian, Masalah dan Prospek Pembangunan Politik Indonesia (Kumpulan Karangan), PT Gramedia, Jakarta 1986. Alvin Toffler, Gelombang Ketiga, PT Panca Simpati, Jakarta 1988. Arya Paningrum, Tips Trik Persentasi Memikat, Araska Yogjakarta, 2012. Firmanzah, Marketing Politik, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta 2007. Kartini Kartono, Pendidikan Politik, CV Mandar Maju, Bandung 1996. Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, PT Gramedia Widiasarana, Jakarta 1992. B. Peraturan Perundang-Undangan. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Paratai Politik sebgaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. 562 MENCEGAH PEMILIHAN UMUM MENJADI ALAT PENGUASA (TO PREVENT THE GENERAL ELECTION FROM BEING A TOOL OF THE AUTHORITY) Fitra Arsil* (Naskah diterima 12/11/2012, disetujui 23/11/2012) Abstrak Pada umumnya, negara-negara di dunia telah memberi tempat bagi demokrasi dalam konstitusinya sebagai sistem yang mengatur hubungan rakyat dan penguasa. Sebagai operasionalisasinya, negara-negara tersebut melaksanakan pemilihan umum dalam pengisian jabatan para pemimpin atau wakil rakyatnya. Namun kenyataannya pemilihan umum yang dianggap sebagai indikator utama demokrasi tersebut telah terbukti dapat dijadikan sebagai alat penguasa atau rezim-rezim berkinerja lemah untuk menambah legitimasinya. Rezim-rezim non-demokratis melakukan berbagai reduksi dalam prosedur-prosedur demokrasi yang terdapat dalam penyelenggaraan pemilihan umum terutama dengan menghambat partisipasi. Kata kunci: Demokrasi, pemilihan umum, prosedur demokrasi, alat penguasa Abstract In general, many countries in the world have already given enough space for democracy as a system that regulates relation between the people dan their ruler. To operasionalize it, those countries conduct a general election in order to elect the ruler or their representatives. However, what really happens is that the general election becomes the main indicator of democrary has proven to be manipulated by the low performance ruler or the regimes to strengthen their legitimacy. Non-democratic regimes reduces many procedures of democracy for a fair election especially by restricting the participation. Keywords: Democracy, election, procedures of democracy, participation. A. Pendahuluan Demokrasi telah menjadi arus besar yang melanda dunia sehingga kini dianggap sebagai sistem yang paling populer1 dan dianggap terbaik dalam mengatur hubungan antara rakyat dengan penguasa.2 Secara massif konstitusi bangsa-bangsa di dunia telah memberi tempat bagi demokrasi sebagai sistem utamanya. Dosen dan Direktur Riset Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI Penelitian yang diselenggarakan oleh UNESCO pada tahun 1949 menggambarkan demokrasi dengan menyebut bahwa “probably for the first time in history democracy is claimed as the proper ideal description of all systems of political and social organizations advocated by influential proponents.” .” Lihat Miriam Budiardjo, Dasar-DasarIlmuPolitik, cet. 19. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1998), hlm. 51. 2 HendraNurtjahyo, Filsafat Demokrasi, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hlm. 1. * 1 563 Vol. 9 No. 4 - Desember 2012 Namun pada prakteknya, negara-negara yang mengaku menganut sistem demokrasi seringkali hanya nilai nominalnya saja yang demokrasi. Dalam banyak kasus, demokrasi tampil hanya sebagai formalitas atau hanya sebagai dokumen pendirian negara dan cita-cita pendiri bangsa. Pada negara-negara seperti ini, kenyataannya, rakyat ditempatkan hanya sebagai alat penguat legitimasi. Menurut penelitian Huntington, negara-negara yang menyatakan demokratis telah berubah dari waktu ke waktu antara lain dengan mencampurkan nilai-nilai demokrasi dengan nilai-nilai lain seperti totaliterisme dan otoriterisme yang boleh jadi menghapus sedikit demi sedikit nilai-nilai demokrasinya. 3 Pada kasus rezim yang mengalami kemerosotan demokrasi yang lebih lunak, negara-negara demokrasi tersebut melakukan pembatasan-pembatasan secara ketat prosedur-prosedur demokrasi yang terdapat di negara tersebut.4 Pemilihan pemimpin dan wakil rakyat yang dianggap sebagai salah satu prosedur demokrasi yang penting, bahkan dianggap paling penting5, ternyata merupakan sasaran utama bagi para rezim non-demokratis untuk melakukan perekayasaan guna melanjutkan kekuasaannya. Pemilihan umum untuk mendapatkan pemimpin utama dan wakil rakyat sebagai esensi demokrasi justru menjadi salah satu titik utama kemorosotan demokrasi yang sering terjadi. Pemilihan umum tetap berlangsung karena hal itu merupakan simbol utama demokrasi di negara tersebut namun prosedur-prosedur demokrasi di dalamnya dibatasi sehingga pemilihan tidak lagi adil, bebas dan terbuka.6 B. Pemilihan Umum Sebagai Indikator Demokrasi Menurut penelitian Amos J Peaslee tahun 1950, 90 persen negara di dunia dengan tegas mencantumkan dalam konstitusinya masingmasing bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan kekuasaan pemerintah bersumber dari kehendak rakyat. Prinsip tersebut Huntington menyebut pasang surut demokrasi di negara-negara di dunia mengesankan terdapat pola “a two-step forward, one-step-backward”. Di samping terdapat berbagai kemajuan negara-negara dalam menerapkan demokrasi namun terdapat pula kemunduran-kemunduran yang cukup berarti. Samuel P Huntington, The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century, (University of Oklahoma Press, 1991), hlm. 25-26. 4 Korea dan Turki pada akhir dasawarsa 1950, dan Philipina pada tahun 1972. Ibid., hlm. 7. 5 Pakar yang memahami demokrasi secara prosedural selalu menyebut pemilihan umum sebagai salah satu prosedur penting. Samuel Huntington malah menyebutnya sebagai prosedur utama; lihat Samuel Huntington, Ibid, hlm. 5. Robert A, Dahl juga memasukkan pemilihan umum sebagai salah satu prosedur demokrasi di antara prosedur-prosedur demokrasi yang seharusnya terdapat dalam suatu negara demokrasi. Lihat Robert A. Dahl, Demokrasi dan Para Pengkritiknya. (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1992), hlm. 17. 6 Huntington, Op. Cit., hlm. 8. 3 564 Mencegah Pemilihan Umum Menjadi Alat Penguasa merupakan ciri utama dalam konsep demokrasi, 7 artinya secara konstitusional negara-negara di dunia telah memilih demokrasi sebagai sistem utamanya. Salah satu alasan penting untuk menjelaskan popularitas demokrasi adalah karena demokrasi telah menjadikan rakyat sebagai pusat dalam proses pemerintahan. Demokrasi meletakkan rakyat bukan sebagai subyek yang didikte oleh sesuatu di luar dirinya, melainkan bersama-sama dengan penguasa turut ke dalam proses pemerintahan tersebut. Hal itu tergambar dalam defenisi Abraham Lincoln tentang demokrasi yaitu “....that government of the people, by the people and for the people...”8 Para ahli yang memandang demokrasi dari sudut prosedur, secara konkret menjelaskan implementasi pelibatan rakyat dalam demokrasi dilakukan melalui cara pengelolaan suara rakyat dalam pengambilan putusan publik. Joseph Schumpeter, seorang perintis konsep demokrasi prosedural, secara khusus memberikan penekanan bahwa demokrasi seharusnya memang sebuah prosedur kelembagaan untuk mencapai keputusan politik yang di dalamnya individu memperoleh kekuasaan untuk membuat perjuangan kompetitif dalam rangka memperoleh suara rakyat.9 Dalam negara yang menganut demokrasi, berdasar konsep demokrasi prosedural, rakyat menentukan pemerintahan dan para pejabat utama pemerintahan dipilih melalui pemilihan yang kompetitif yang dapat diikuti oleh penduduk.10 Samuel Huntington menjelaskan operasionalisasi dari konsep demokrasi prosedural dengan menyebut pemilihan umum sebagai bentuk prosedur demokrasi. Menurutnya pemilihan umum yang adil, jujur dan berkala merupakan indikator utama 7 Amos J. Peaslee meneliti 83 konstitusi di dunia dan 74 di antaranya (90%) menganut ajaran kedaulatan rakyat. Lihat Amos J Peaslee, Constitutions of Nations, vol. I, (New Heaven: The Rumford Press, 1950), hlm. 8 sebagaimana dikutip oleh Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia: Pergeseran Keseimbangan antara Individualisme dan Kolektivisme dalam Kebijakan Demokrasi Politik dan Demokrasi Ekonomi selama Tiga Masa Demokrasi 1945-1980-an , (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), hlm. 11-12. 8 Kalimat ini disampaikan oleh Abraham Lincoln pada 1863 ketika peresmian makam nasional Gettysburg, di tengah kecamuk perang saudara besar-besaran demi mempertahankan keutuhan Amerika Serikat sebagai sebuah negara. Dikutip dari tulisan Melvin I. Urofsky, Prinsip-Prinsip Dasar Demokrasi, dalam Jurnal Demokrasi, Office of International Information Programs, US Department of State, tanpa tahun. 9 Joseph A. Schumpeter, Capitalism, Socialism and Democracy, (London dan New York: Routledge, 2003), hlm. 269. 10 Huntington, Op.Cit., hlm. 109 565 Vol. 9 No. 4 - Desember 2012 demokrasi dalam sebuah rezim.11 Ahli lain, Robert Dahl, juga menyebut pemilihan umum yang bebas dan adil sebagai syarat berjalannya demokrasi.12 Pemilihan pemimpin dan wakil rakyat memang dianggap sebagai bentuk partisipasi yang terukur13 dan dinilai paling tua serta terus dianggap tetap tidak boleh dihilangkan. 14 Bahkan pemilihan pemimpin dengan melibatkan rakyat ini dianggap bukan saja sebagai instrumen demokrasi, keberadaan pemilu telah membuat para pembuat kebijakan menaruh perhatian serius terhadap warga negara.15 Melalui keterlibatan rakyat dalam memilih pemimpin, dapat dianggap rakyat terlibat dalam pembentukan kebijakan karena rakyat menentukan siapa yang yang berhak membuat kebijakan.16 Begitu pentingnya pemilihan umum dalam suatu negara yang menganut demokrasi, telah menyebabkan pemilihan umum dijadikan dasar untuk menentukan keberadaan demokrasi di suatu negara. Negara yang memilih pemimpin dan para wakilnya lewat pemilihan umum menunjukkan negara tersebut demokratis dan sebaliknya, jika tidak ada pemilihan umum maka negara tersebut tidak demokratis. C. Kemerosotan Demokrasi Lewat Pemilihan Umum Betapapun pemilihan umum dianggap sebagai prosedur utama bagi operasionalisasi demokrasi, namun kenyataannya pemilu tidak selalu menjadi alat pendorong keberlangsungan demokrasi di suatu negara. Pemilihan umum ternyata juga dipakai sebagai alat untuk kepentingan non demokrasi. Tidak seperti rezim-rezim non demokratis di masa lalu yang berkuasa tanpa melalui legitimasi suara rakyat, rezim non-demokratis Ibid. Robert Dahl, Polyarchy: Participation and Opposition (New Heaven: Yale University Press, 1971), hlm, 2 sebagaimana dikutip oleh Philips Jusario Vermonte, “Konsolidasi Demokrasi dan Perdebatan Presidensialisme versus Parlementarisme” dalam Yudi Latif et al., Gerak Politik yang Tertawan: Menggagas Ulang Prinsip-prinsip Lembaga Kepresidenan (Jakarta: Center for Presidential and Parliamentary Studies, 2002), hlm. 31. 13 Huntington, Op. Cit. 14 Menilai partisipasi hanya semata-mata sebagai seleksi pemimpin dan wakil-wakilnya memang dinilai tidak akurat saat ini, namun hal tersebut disepakati sebagai bentuk partisipasi yang selalu ada dalam setiap definisi yang disampaikan. Lihat Miriam Budiardjo dalam “Partisipasi dan Partai Politik”, Arbi Sanit dalam “Mewadahi Partispasi Politik dan Perwakilan Politik di Indonesia”, Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson dalam “No Easy Choice: Political Participation in Developing Countries”, Herbert Mc Closky dalam “International Encyclopedia of the Social Sciences”, Norman H. Nie dan Sidney Verba dalam “Handbook of Political Science”. 15 Lihat G. Bingham Powell Jr, Elections as Instruments of Democracy (Majoritarian and Proportional Visions), (New Haven: Yale University Press, 2000), hlm 4. 16 Powell Jr, Ibid, hlm. 3-4. 11 12 566 Mencegah Pemilihan Umum Menjadi Alat Penguasa sekarang ini justru telah memakai proses pemberian legitimasi suara rakyat sebagai alat yang membantu kekuasaan non demokratis mereka. Di beberapa rezim yang berkinerja rendah, belakangan ini pemilihan umum telah dijadikan alat untuk memperkuat legitimasi mereka. Rezim-rezim tersebut justru menghendaki dilaksanakannya pemilihan umum bukan malah menolaknya sebagaimana yang dilakukan rezimrezim otoriter di masa lalu. Para penguasa rezim gagal ini melaksanakan pemilihan umum karena mereka percaya bahwa pemilihan umum dapat memperpanjang masa hidup rezim mereka dengan legitimasi yang baru.17 Bagi rezim seperti ini pemilu justru menyegarkan legitimasi mereka dan menjadi sandaran untuk melanjutkan kekuasaan yang dijalankan jauh dari nilai-nilai demokrasi. Dengan demikian, pemilihan umum sebagai sebuah prosedur dari demokrasi tidak selalu menghasilkan pemerintahan yang demokratis dan efektif untuk menjalankan program kesejahteraan rakyat. Pemilihan umum yang dilaksanakan dalam rezim non-demokratis dilakukan dengan berbagai rekayasa, yaitu dengan berbagai manipulasi prosedur-prosedur pemilihan umum atau dengan kata lain mereka melakukan reduksi terhadap prosedur demokrasi demi mendapatkan legitimasi. 18 Reduksi terhadap prosedur demokrasi dalam suatu pemilihan umum bukan saja menghasilkan rezim yang buruk dan tidak efektif dalam menjalankan program kesejahteraan rakyat tetapi juga menghasilkan rezim kuat yang sulit menerima perubahan. Negara-negara non-demokrasi yang melaksanakan pemilihan umum justru menjadi sangat berbahaya dalam perspektif perubahan. Negara seperti ini tampil dengan jubah republik dan demokrasi sehingga dianggap memiliki legitimasi cukup untuk memerintah, padahal rakyat tidak mendapatkan kesempatan yang memadai untuk menyampaikan kehendaknya. Che Guevara menyebut revolusi yang ditujukan terhadap suatu pemerintah yang “telah memperoleh kekuasaannya melalui suatu bentuk pemilihan umum berdasarkan suara rakyat, curang atau tidak curang dan setidak-tidaknya tetap tampak sah secara konstitusional,” tidak akan berhasil.19 Huntington Op.Cit., 174-175. Ibid., 182 19 Che Guevara, Guerilla Warfare (New York: Vintage Books, 1961), hlm. 3 “Where a government has come into power through some form of popular vote, fraudulent or not, and maintains at least an appearance of constitutional legality, the guerrilla outbreak cannot be promoted, since the possibilities of peaceful struggle have not yet been exhausted.” 17 18 567 Vol. 9 No. 4 - Desember 2012 D. Rekayasa Hukum Pemilu di Indonesia Pengalaman demokrasi Indonesia menunjukkan fakta-fakta di mana prosedur demokrasi dalam pengisian jabatan termasuk pemilihan umum di dalamnya20 telah menjadi sasaran rekayasa pemerintahan non-demokratis. Negara yang dibangun Orde Baru, misalnya, telah melakukan rekayasa untuk memperkuat dan melanggengkan kekuasaan dengan melakukan pembatasan-pembatasan terhadap prosedur-prosedur demokrasi dalam pengisian jabatan presiden dan para wakil rakyat.21 Melalui peraturan perundang-undangan,22 negara Orde Baru melakukan rekayasa sistem politik dan ketatanegaraan Indonesia, khususnya mengenai pengisian jabatan pemimpin dan para wakil rakyat.23 Penelitian Moh. Mahfud MD memperkuat fakta tersebut dengan menyebutkan bahwa hukum pemilu yang dilaksanakan oleh negara Orde Baru memang diadakan sesuai konstitusi, tetapi direkayasa melalui berbagai peraturan perundang-undangan agar kekuataan pemerintah saat itu harus tampil sebagai pemenang.24 Berbagai proses pengisian jabatan dilakukan dengan proses yang tidak demokratis seperti penggabungan partai politik yang dipaksakan, sistem pengangkatan secara tetap, pemberlakukan penelitian khusus terhadap para calon anggota DPR/MPR, organisasi penyelenggara pemilu yang tidak netral, tahapan-tahapan pemilu yang penuh rekayasa hingga proses pemilihan presiden dalam sidang paripurna MPR yang tidak adil dan menghilangkan hak-hak politik rakyat. MPR yang melakukan Perubahan UUD 1945 menyatakan salah satu dasar pemikiran yang melatarbelakangi Perubahan UUD 1945 adalah karena pengaturan mengenai pemilihan umum yang asli tidak tegas sehingga memungkinkan diselenggarakannya pemilu hanya untuk memenuhi persyaratan demokrasi formal karena seluruh proses dan tahapan pelaksanaannya dikuasai oleh pemerintah. Lihat Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Sesuai dengan Urutan Bab, Pasal, dan Ayat, (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2005), hlm. 8. 21 Ramly Hutabarat, Politik Hukum Pemerintahan Soeharto tentang Demokrasi Politik di indonesia, (Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004), hlm. 51-52. 22 Menurut Yusril Ihza Mahendra, kekuasaan dalam pemerintahan Orde Baru telah bertindak sebagai pencipta hukum yang bertujuan untuk mempertahankan kepentingan diri, entah kepentingan statusquo maupun kepentingan legitimasi kekuasaan. Lihat Yusril Ihza Mahendra, Dinamika Tatanegara Indonesia: Kompilasi Aktual Masalah Konstitusi, Dewan Perwakilan dan Sistem Kepartaian (Jakarta Gema Insani Press, 1996), hlm. 91. 23 Lihat analisis Ramly Hutabarat mengenai produk hukum yang dibentuk oleh negara orde baru dalam paket undang-undang politik yang intinya melakukan rekayasa pengisian jabatan dan mekanisme pengambilan putusan politik di indonesia, Ramly Hutabarat Op.Cit., hlm. 69—127 24 Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 1998), hlm. 376377. 20 568 Mencegah Pemilihan Umum Menjadi Alat Penguasa Khusus pengisian jabatan presiden, rekayasa sudah dilakukan mulai dari rekrutmen anggota MPR yang menjadi tempat dilakukannya pemilihan Presiden. Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 naskah asli, keanggotaan MPR terdiri dari anggota-anggota DPR, utusan daerah dan utusan golongan,25 Orde Baru menerjemahkan ketentuan konstitusi ini dengan mengisi lebih dari separuh anggota MPR berdasar pengangkatan oleh Presiden.26 Presiden mengangkat anggota-anggota yang berasal dari utusan daerah, utusan golongan dan anggota DPR yang berasal dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Sebagian anggota DPR yang dipilih juga dilakukan dengan pemilihan umum yang penuh rekayasa27 sehingga Golkar sebagai partai pemerintah selalu dominan dengan perolehan selalu di atas 60% suara.28 Dengan demikian, sangat wajar persidangan-persidangan MPR berjalan di bawah kendali Presiden berkuasa ketika itu. Pemilihan Presiden selalu berlangsung tanpa alternatif calon atau hanya memiliki calon tunggal, bahkan wakil presiden pun nyaris juga selalu terdiri dari calon tunggal. Ketidakwajaran dalam pencalonan ini, seperti disebut Saldi Isra dilakukan berdasar peraturan perundang-undangan, yaitu diatur dalam Ketetapan MPR Nomor II/MPR/ 197329 yang mensyaratkan pencalonan presiden dilakukan oleh fraksi secara tertulis dengan persetujuan dari calon yang bersangkutan.30 Ketentuan ini dianggap Saldi telah menyebabkan terjadinya “tradisi calon tunggal”31 dalam Republik Indonesia, Oendang-Oendang Dasar, BRI Tahun II No. 7 Tahun 1946, Pasal 2 ayat (1). Jumlah anggota MPR hasil Pemilihan Umum 1971, 1977, dan 1982 ialah dua kali jumlah anggota DPR, yaitu 920 orang. Dari 460 orang anggota DPR terdapat ABRI yang diangkat oleh Presiden sejumlah 75 orang. Adapun MPR hasil Pemilu 1987, 1992, 1997 mengalami perubahan jumlah menjadi 1.000 orang, seperti diatur dalam UU No.2 tahun 1985.Anggota DPR terdiri dari 500 orang yang di dalamnya terdapat 100 anggota ABRI yang diangkat. Lihat B.N. Marbun, DPR-RI : Pertumbuhan dan Cara Kerjanya (Jakarta: Gramedia, 1992), hlm. 41-43. 27 Kemenangan Golkar dalam Pemilu 1971 hingga 1997 diakui dilakukan dengan berbagai rekayasa politik, termasuk dengan cara-cara pemaksaan dan represi aparat negara. Namun demikian mekanisme tersebut secara berangsur dianggap berkurang dari Pemilu ke Pemilu. Lihat Akbar Tandjung, The Golkar Way: Survival Partai Golkar di Tengah Turbulensi Politik Era Transisi (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), hlm. 42-43. 28 Pada Pemilu tahun 1971 Golkar mendapatkan 62,82 %, Pemilu 1977 mendapatkan 62,80%, Pemilu 1982 mendapatkan 64,34 %, Pemilu 1987 mendapatkan 73,16 %, Pemilu 1992 mendapatkan 68,10 %, dan Pemilu 1997 mendapatkan 74, 51 %. Data bersumber dari website resmi Komisi Pemilihan Umum, lihat http://kpu.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=43&Itemid=66 (diakses tanggal 21 Maret 2012 Pukul 11.16 WIB). 29 Republik Indonesia, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tentang TataCara Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Ketetapan MPR Nomor II/MPR/ 1973. 30 Dalam Pasal 9 Ketetapan MPR Nomor II/MPR/ 1973 disebutkan: “Calon Presiden diusulkan oleh Fraksi secara tertulis dan disampaikan kepada Pimpinan Majelis melalui Pimpinan-pimpinan Fraksi yang mencalonkan dengan persetujuan dari calon yang bersangkutan.” Ibid. 31 Harun Alrasid menyatakan sejak Sidang Umum (SU) MPR 1973 telah terjadi “tradisi calon tunggal” dalam pemilihan Presiden. Lihat Harun Al-Rasyid, Pemilihan Presiden dan Pergantian Presiden Dalam Hukum Positif Indonesia, (Jakarta: YLBHI, 1997), hlm. 36-37 sebagaimana dikutip Saldi Isra, op. Cit. 25 26 569 Vol. 9 No. 4 - Desember 2012 pemilihan presiden di Indonesia pada masa orde baru. Ketentuan ini seolah-olah mengeliminasi semangat yang terdapat dalam Pasal 6 ayat (2) naskah asli UUD 1945 yang mengisyaratkan calon presiden hendaknya lebih dari satu.32 Dalam masa Orde Lama, Soekarno pernah melakukan rekayasa model ini dengan lebih buruk lagi. Soekarno pernah mengangkat seluruh anggota MPRS 33 dan menentukan sendiri komposisi susunan keanggotaannya melalui produk hukum yang dibuat oleh presiden.34 Maka wajar MPRS bentukan Soekarno tersebut mengeluarkan Ketetapan yang mengangkat Soekarno sebagai presiden seumur hidup.35 Ketentuan mengenai pencalonan dan mekanisme pemilihan, termasuk di dalamnya mengenai formasi pihak yang melakukan pemilihan, memang telah menjadi sasaran rekayasa dalam pengisian jabatan presiden di Indonesia. Menurut Saldi Isra, jika melirik sejarahnya, dalam dua kali periode berlakunya Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 periode 17 Agustus 1945 - 29 Desember 1949 dan periode 5 Juli 1959 – 19 Oktober 1999, belum pernah dilakukan pengisian jabatan Presiden (dan Wakil Presiden) secara “wajar” yakni melalui proses pemilihan sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 6 ayat (2) UUD 1945.36 E. Memastikan Partisipasi sebagai Prosedur Demokrasi Dalam kasus-kasus rekayasa hukum pemilihan umum yang pernah terjadi di Indonesia seperti disebut di atas, nampak secara jelas pembatasan partisipasi menjadi inti upaya reduksi prosedur demokrasi. Menurut Saldi, ketentuan Dalam Pasal 6 ayat (2) UUD 1945 Naskah Asli bahwa presiden harus dipilih mengisyaratkan bahwa calon presiden harus lebih dari satu. Secara lengkap bunyi ketentuan tersebut sebagai berikut: “Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan suara terbanyak.” 33 Soekarno membubarkan DPR hasil Pemilihan Umum Tahun 1955 melalui Penetapan Presiden Nomor 3 Tahun 1960 dan menggantinya dengan DPRGR melalui Penetapan Presiden Nomor 4 Tahun 1960. DPRGR merupakan salah satu unsur dari MPRS, selain Utusan Golongan dan Utusan Daerah yang semuanya juga diangkat oleh Soekarno. Lihat Harmaily Ibrahim, Majelis Permusyawaratan Rakyat, (Jakarta: Penerbit Sinar Bakti, 1979), hlm. 45-47. 34 Soekarno membentuk MPRS dengan susunan yang ditentukannya sendiri melalui Keputusan Presiden Nomor 199 Tahun 1960. Lihat Harmaily Ibrahim, Ibid, hlm. 48-49. 35 Republik Indonesia, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tentang Pengangkatan Pemimpin Besar Revolusi Indonesia Bung Karno sebagai Presiden Seumur Hidup. Ketetapan MPRS No. III/MPRS/1963. 36 Saldi Isra, “Perkembangan Pengisian Jabatan Presiden di Bawah Undang-Undang Dasar 1945” http://www.saldiisra.web.id/index.php?option=com_content&view=article&id=97:perkembangan-pengisian-jabatan-presiden-di-bawah-undang-undang-dasar-1945&catid=18:jurnalnasional&Itemid=5 diakses 10 Desember 2011 pukul 10.12 WIB. 32 570 Mencegah Pemilihan Umum Menjadi Alat Penguasa Padahal partisipasi adalah inti dari demokrasi yang hendak dijalankan melalui pemilihan umum itu sendiri. Artinya, menyelenggarakan pemilihan umum dengan melakukan pembatasan-pembatasan partisipasi dapat dikatakan sebagai menghilangkan demokrasi dalam pemilihan umum. Sejak awal demokrasi mulai dipraktekkan, partisipasi selalu menjadi inti dalam pelaksanaannya. Di Athena kuno, seseorang dianggap sebagai warga negara jika ia berpartisipasi dalam memberikan putusan dan memiliki jabatan. Kewarganegaraan bagi para laki-laki dewasa mengandung arti keterlibatannya dalam urusan-urusan publik.37 Partisipasi aktif warga negara dalam kehidupan kenegaraan memang merupakan pesan demokrasi klasik yang saat ini kembali menjadi diskusi menarik, apalagi sejak tahun 1960-an38 berkembang konsep demokrasi partisipatoris39 yang beranggapan bahwa hak yang sama pada kebebasan dan pengembangan diri hanya dapat diperoleh dalam sebuah masyarakat yang partisipatif.40 Jika melihat para ahli yang memaparkan prosedur–prosedur yang tidak boleh hilang dalam negara demokrasi terlihat penguatan partisipasi semacam itu menjadi kesepakatan bersama. Ketika Robert Dahl merinci prosedur-prosedur demokrasi sebagai indikator suatu negara yang dibangun atas dasar demokrasi, dapat dikatakan semuanya berhubungan dengan penguatan partisipasi rakyat, yaitu:41 1) Para pejabat yang dipilih. Secara konstitusional pengawasan terhadap keputusan pemerintah mengenai kebijakan berada di tangan para pejabat yang dipilih. 2) Pemilihan umum yang bebas dan adil. Para pejabat yang dipilih ditentukan dalam pemilihan umum yang seringkali diadakan dan dilaksanakan dengan adil, tanpa tindakan pemaksaan. 3) Hak suara yang inklusif. Semua orang dewasa berhak memberikan suara dalam pemilihan para pejabat. David Held, Models of Democracy, second edition, (Cambridge: Polity Press, 1997), hlm. 36. Lihat Ibid, hlm. 263-264. Dalam perkembangannya, gagasan ini menjadi wacana alternatif demokratisasi yang berpengaruh di seluruh dunia. Dalam bidang hukum, gagasan ini mendorong lahirnya gerakan Critical Legal Studies. Lihat Anis Ibrahim, “Legislasi Dalam Perspektif Demokrasi: Analisis Interaksi Politik dan Hukum Dalam Proses Pembentukan Peraturan Daerah Di Jawa Timur” Disertasi Pada Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang 2008. 40 David Held, Op. Cit. 41 Robert A. Dahl, Demokrasi dan Para Pengkritiknya. (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1992), hlm.. 17. Dapat pula dilihat dalam Robert A. Dahl, Dilema Demokrasi Pluralis: Antara Otonomi dan Kontrol (Jakarta: Rajawali, 1985), hlm. 18. 37 38 39 571 Vol. 9 No. 4 - Desember 2012 4) Hak untuk mencalonkan diri dalam pemilihan. Semua orang dewasa berhak mencalonkan diri untuk mengisi jabatan yang diisi berdasarkan pemilihan umum, meskipun batasan umur mungkin ditetapkan lebih tinggi untuk calon daripada untuk pemilih. 5) Kebebasan menyatakan pendapat. Warga negara berhak menyatakan pendapat mengenai masalah-masalah politik yang didefinisikan secara luas, termasuk kritik terhadap pejabat, pemerintah, rezim, tatanan sosial ekonomi dan ideologi yang ada. 6) Informasi alternatif. Warga negara berhak mencari sumber informasi alternatif, dan sumber informasi alternatif itu tersedia. 7) Otonomi asosiasi. Warga negara berhak membentuk perkumpulan atau organisasi yang relatif bebas, termasuk partai politik dan kelompok kepentingan yang bebas. Dahl menyebutkan bahwa ketujuh indikator di atas dapat dijadikan ukuran bagi suatu negara, untuk menilai sejauh mana pranata-pranata politiknya mendekati kriteria tersebut. Semakin dekat dengan kriteria tersebut, semakin demokratis suatu negara.42 Lyman Tower Sargent juga memaparkan kriteria-kriteria penting dalam sebuah demokrasi secara prosedural yang memiliki kesamaankesamaan dengan Dahl dalam menempatkan pentingnya posisi partisipasi yaitu:43 1. Citizen involvement in decision making 2. A system of representation 3. The rule of law 4. An electoral system—majority rule 5. Some degree of equality among citizens 6. Some degree of liberty or freedom granted to or retained by citizens 7. Education, particularly but not solely citizenship education Banyak kesamaan pandangan antara Sargent dan Dahl dalam menjelaskan soal partisipasi dalam prosedur-prosedur demokrasi yang harus ada dalam suatu negara demokratis yang kenyataannya telah menjadi objek rekayasa. Persamaan tersebut antara lain; Pertama, ketika Sargent menjelaskan tentang Some degree of equality among citizens, Ibid., hlm. 15. Lyman Tower Sargent, Contemporary Political Ideologies: A Compative Analysis, (Wadsworth: Cengage Learning, 2009), hlm. 62 . 42 43 572 Mencegah Pemilihan Umum Menjadi Alat Penguasa dengan menempatkan political equality menjadi poin pertama sebelum equality before the law, economic quality dan lain-lain. 44 Dalam penjelasannya disebutkan bahwa political equality antara lain bermakna kesamaan kesempatan bagi setiap warga negara baik dalam memilih maupun dipilih. Kesamaan kesempatan dalam memilih dapat berupa kemudahan akses menuju pemilihan, kebebasan untuk menentukan pilihannya dan kesamaan nilai suara yang diberikan oleh warga negara ketika dihitung.45 Sedangkan kesamaan kesempatan untuk ikut-serta sebagai kandidat disebutkan bahwa setiap warga negara yang memiliki hak memilih seharusnya juga mendapatkan kesempatan untuk ikutserta sebagai kandidat. Faktor-faktor ras, agama ataupun strata sosial tidak dapat dijadikan halangan bagi warga negara untuk berpartisipasi sebagai kandidat dalam suatu pemilihan di negara demokrasi.46 Dalam analisis tentang rekayasa hukum pemilu yang pernah terjadi di Indonesia, pandangan Dahl dan Sargent ini jelas menempatkan peristiwa yang terjadi pada masa Orde Lama dan Orde Baru, seperti telah disebut di atas, sebagai tindakan anti demokrasi. Orde Lama dan Orde Baru telah membuat system yang memberi ruang terlalu sempit bagi para kandidat (right to be candidate) untuk berpartisipasi dan kepada para pemilih (right to vote) untuk tampil sebagai penentu dalam suatu pemilihan. Kedua, Sargent dan Dahl juga memiliki pendapat yang senada mengenai hak partisipasi individu dalam demokrasi. Sargent menjelaskan ketika membahas electoral system yang merupakan suatu prosedur demokrasi yang memiliki tahapan dan dimulai dari penentuan kandidat. Negara demokrasi seharusnya membuat prosedur keterlibatan rakyat sudah dapat dilakukan mulai dari tahapan penentuan tersebut, tidak hanya semata dilakukan oleh partai politik.47 Secara lebih umum, Robert Dahl juga membahas fenomena seperti itu dalam pelaksanaan demokrasi saat ini. Dahl mengangkat terjadinya salah satu dilema dalam demokrasi modern, mengenai seringnya dilakukan pengorbanan terhadap hak-hak individu warga negara dalam mekanisme demokrasi karena hak-hak individu tersebut sudah 44 45 46 47 Ibid., hlm. 74. Ibid. Ibid., hlm. 76. Ibid., hlm. 71. 573 Vol. 9 No. 4 - Desember 2012 dianggap terwakili secara organisasional.48 Berkembangnya populasi dan semakin meluasnya wilayah sering menjadi alasan bahwa secara pragmatis prosedur demokrasi cukup dilakukan dengan memberi tempat bagi hak-hak masyarakat secara berkelompok atau organisasi.49 Menurut Dahl, tidak ada alasan yang absah untuk melakukan pengorbanan hak-hak individu dan menganggapnya terwakili melalui hak-hak organisasi dalam pelaksanaan prosedur demokrasi.50 Dahl berpendapat, tidak mudah membuat penilaian kebajikan bersama di masyarakat yang semakin heterogen. Semakin besar suatu kolektivitas, semakin mungkinlah ia berisikan keanekaragaman kepentingan secara subjektif dan objektif.51 Selain itu, semakin meningkatnya populasi, pengambilan kesimpulan tentang kebaikan umum akan semakin sulit karena pengetahuan orang terhadap posisi banyak orang hanya teoretis, bukan praktis. Dengan demikian yang dianggap sebagai kepentingan bersama atau kebaikan umum sebenarnya tidak akurat,52 bahkan dapat dikatakan tidak pernah dapat dicapai secara efektif dan memang tidak mungkin.53Oleh karena itu, prosedur demokrasi yang diciptakan tidak boleh menghilangkan hak-hak dan kemampuan partisipasi individu. Reduksi terhadap prosedur demokrasi jenis ini juga sering dilakukan dengan cara yang lebih tidak terlihat perekayasaannya. Misalnya dengan menganggap yang menjadi aspirasi rakyat hanyalah suara yang disampaikan oleh partai politik atau bahkan oleh partai politik dengan suara besar. Dalam demokrasi perwakilan, lembaga-lembaga dalam sistem politik memang diminta bekerja menjalankan fungsinya dari pengelolaan aspirasi politik rakyat dan lembaga-lembaga tersebut melakukan berbagai aktivitas yang secara terus menerus mempengaruhi pendapat masyarakat.54 Peran lembaga-lembaga tersebut Lihat Robert A. Dahl, Dilema.., Op. Cit, hlm. 152-155. Ibid. Ibid, 153-154. 51 Ibid, hlm 219. 52 Ibid, hlm 220-221. 53 Ibid, hlm. 230. 54 Gabriel Almond menggambarkan struktur dalam suatu sistem politik bekerja mengelola aspirasi rakyat. Banyak lembaga politik yang terlibat seperti partai politik, kelompok kepentingan, birokrasi dan lain-lain. Lihat Gabriel Almond “Studi Perbandingan Sistem Politik”, terjemahan dari “The Study of Comparative Politics” dalam Comparative Politics Today (Boston: Little, Brown & Company, 1974) dalam Mohtar Mas’oed dan Colin MacAndrews, Perbandingan Sistem Politik, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2001), hlm. 27-29. 48 49 50 574 Mencegah Pemilihan Umum Menjadi Alat Penguasa dalam pemerintahan perwakilan memang dibutuhkan sebagai mekanisme dan institusi bagi ekspresi kehendak rakyat yang diwakili.55 Partai politik, misalnya, bertugas menjadi penghubung yang sangat strategis antara proses-proses pemerintahan dengan warga negara.56 Hans Kelsen menyebut partai politik merupakan kendaraan essensial dalam pembentukan kehendak publik.57 Namun demikian, partai politik hanya merupakan salah satu saja dari bentuk pelembagaan sebagai wujud ekspresi ide-ide, pikiranpikiran, pandangan dan keyakinan bebas dalam masyarakat demokratis.58 Dalam konteks infastruktur politik,59 partai politik bekerja di wilayah itu bersama lembaga lain seperti kelompok kepentingan, kelompok penekan, media massa dan tokoh politik.60 Di Amerika Serikat, betapapun dianggap sebagai negara yang menganut sistem dua partai (two party system) dalam kepartaiannya, namun di sana juga diakui konsep pemilu yang mempersilahkan calon selain dari kedua partai yang ada untuk berkompetisi (Nonpartisan Elections). 61 Konsep ini (The nonpartisan concept) menghilangkan kewenangan tunggal pada partai politik dalam penentuan calon yang berhak ikut pemilihan umum dan memberikan kesempatan kepada semua pemilih untuk ambil bagian dalam pemilihan. 62 Konsep ini juga menjanjikan berkurangnya politik partisan dan menganggap semua pejabat yang terpilih konstituennya adalah seluruh pemilih bukan saja 55 Muchamad Ali Safa’at, Pembubaran Partai Politik: Pengaturan dan Praktik Pembubaran Partai Politik dalam Pergulatan Republik, (Jakarta: Rajawali Press, 2011), hlm. 43. 56 Jimly Asshiddiqie, Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai Politik dan Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), hlm. 52. 57 Hans Kelsen, General Theory of Law and State, (New York: Russel & Russel, 1961), hlm. 294. 58 Assiddiqie, Ibid, hlm. 53. 59 Sri Sumantri membagi sistem politik suatu negara dalam dua suasana, yaitu (1) The governmental political sphere yang merupakan hal-hal yang bersangkut paut dengan kehidupan lembaga-lembaga negara yang ada serta perhubungan kekuasaannya antara satu dengan lainnya. dan (2) The socio-political sphere atau disebut juga infra struktur politik yang terdapat di dalam masyarakat yang memberikan pengaruhnya terhadap tugas-tugas daripada lembaga-lembaga negara dalam suasana pemerintahan. Lihat Sri Soemantri, Tentang Lembaga-lembaga Negara menurut UUD 1945, (Bandung: Penerbit Alumni, 1983), hlm. 11. 60 Ibid., hlm. 12. 61 Robert M. La Follette, Sr dianggap sebagai pelopor ide nonpartisan elections, ketika ia mendirikan partai yang diberi nama The Progressive Party sebagai partai politik baru yang semata-mata bekerja untuk pencalonannya sebagai presiden dalam Pemilihan Presiden 1924 di Amerika Serikat. Lihat Robert J. Huckshorn, Political Parties in America, second edition, (California, Brooks/Cole Publishing Company, 1984), hlm. 54. Mengenai Robert M. La Follette, Sr dan The Progressive Party dapat dilihat di artikel berjudul “La Follette and His Legacy” di http://www.lafollette. wisc. edu/publications/otherpublications/ LaFollette/ LaFLegacy.html diakses 7 Maret 2012, pukul 12.30 WIB 62 Robert J. Huckshorn, Ibid, hlm. 54-55 575 Vol. 9 No. 4 - Desember 2012 terbatas pada konstituen partai tertentu seperti yang terdapat dalam politik partisan.63 Dalam permasalahan yang lebih kompleks, gejala hambatan terhadap prosedur demokrasi jenis ini dilakukan oleh partai-partai besar yang dominan dalam setiap proses legislasi. Proses legislasi undangundang yang terkait proses politik seperti undang-undang partai politik, pemilihan umum, pemilihan presiden dan parlemen selalu menjadi objek perhatian besar di parlemen bahkan lebih besar porsi perhatiannya dibanding undang-undang yang terkait kesejahteraan rakyat. Undangundang paket politik seperti disebut di atas merupakan undang-undang yang selalu secara rutin mengalami perubahan di parlemen. Sistem pemilihan umum termasuk pemilihan presiden di Indonesia sejak dimulainya era reformasi hampir selalu mengalami perubahan hingga kini. Penjelasannya memang bisa dilakukan dengan mengatakan bahwa kita memang sedang mencari sistem yang tepat sehingga dalam era transisi dari otoritarianisme menuju demokrasi hal seperti ini wajar terjadi. Namun jika proses pencarian sistem terlalu panjang dan jenis perubahan yang terjadi bukanlah bersifat essensial serta hanya menguntungkan kelompok tertentu terutama yang sedang berkuasa, maka wajar jika mencurigai terdapat dominasi kekuatan politik besar di parlemen.64 F. Penutup Negara-negara demokrasi di dunia melaksanakan pemilihan umum sebagai operasionalisasi dari demokrasi. Namun, pemilihan umum ternyata juga digunakan untuk kepentingan non-demokratis. Rezim-rezim non-demokratis, terutama yang berkinerja lemah justru menginginkan pelaksanaaan pemilihan umum guna memperbaharui legitimasinya sehingga dapat terus menjalankan kekuasaannya. Demi kepentingan legitimasi tersebut, pemilihan umum inisiatif rezim non-demokratis dan berkinerja lemah dilaksanakan dengan melakukan reduksi terhadap prosedur-prosedur demokrasinya. Ibid. Kasus Legislasi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dapat dijadikan contoh. Terutama mengenai syarat verifikasi partai politik yang dianggap diskrimantif karena hanya diberlakukan bagi partai politik yang perolehannya tidak mencapai ambang batas dalam pemilihan umum sebelumnya atau partai politik baru. Ketentuan ini dinyatakan tidak konstitusional oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusannya terhadap perkara nomor Nomor 52/PUU-X/2012. 63 64 576 Mencegah Pemilihan Umum Menjadi Alat Penguasa Partisipasi luas yang disepakati sebagai prosedur penting dalam demokrasi merupakan sasaran dari rekayasa hukum pemilu. Dengan berbagai cara, pemaknaan dan ruang lingkup partisipasi diberi arti sendiri oleh rezim-rezim berkuasa yang pada gilirannya membuat partisipasi rakyat menjadi terhambat. Regulasi bagi partisipasi memang harus dilakukan untuk efektivitas aspirasi, bukan untuk memberi hambatan bagi aspirasi. Daftar Pustaka A. Buku Asshiddiqie, Jimly. Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia: Pergeseran Keseimbangan antara Individualisme dan Kolektivisme dalam Kebijakan Demokrasi Politik dan Demokrasi Ekonomi selama Tiga Masa Demokrasi 1945-1980an , (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994). ___________, Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai Politik dan Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Konstitusi Press, 2005) Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik, cet. 19. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1998). Dahl, Robert A. Demokrasi dan Para Pengkritiknya. (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1992). ___________, Dilema Demokrasi Pluralis: Antara Otonomi dan Kontrol (Jakarta: Rajawali, 1985). Held, David. Models of Democracy, second edition, (Cambridge: Polity Press, 1997). Huckshorn, Robert J. Political Parties in America, second edition, (California, Brooks/Cole Publishing Company, 1984). Huntington, Samuel P. The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century, (University of Oklahoma Press, 1991). Hutabarat, Ramly. Politik Hukum Pemerintahan Soeharto tentang Demokrasi Politik di indonesia, (Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004). Ibrahim, Harmaily. Majelis Permusyawaratan Rakyat, (Jakarta: Penerbit Sinar Bakti, 1979). Kelsen, Hans. General Theory of Law and State, (New York: Russel & Russel, 1961) 577 Vol. 9 No. 4 - Desember 2012 Mahendra, Yusril Ihza. Dinamika Tatanegara Indonesia: Kompilasi Aktual Masalah Konstitusi, Dewan Perwakilan dan Sistem Kepartaian (Jakarta Gema Insani Press, 1996). Mahfud MD, Moh. Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 1998). Montesquieu, Charles Louis de Secondat Baron de. The Spirit of Laws, Complete Works, Vol 1, (Indiana: The Online Library of Liberty, Liberty Fund, Inc.,2009) Nurtjahyo, Hendra. Filsafat Demokrasi, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005). Powell Jr, G. Bingham. Elections as Instruments of Democracy (Majoritarian and Proportional Visions), (New Haven: Yale University Press, 2000). Sargent, Lyman Tower. Contemporary Political Ideologies: A Compative Analysis, (Wadsworth: Cengage Learning, 2009). Schumpeter, Joseph A. Capitalism, Socialism and Democracy, (London dan New York: Routledge, 2003). Soemantri, Sri. Tentang Lembaga-lembaga Negara menurut UUD 1945, (Bandung: Penerbit Alumni, 1983). Tandjung, Akbar. The Golkar Way: Survival Partai Golkar di Tengah Turbulensi Politik Era Transisi (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008). B. Internet Isra, Saldi. “Perkembangan Pengisian Jabatan Presiden di Bawah Undang-Undang Dasar 1945” http://www.saldiisra.web.id/ index.php?option=com_content&view=article&id=97:perkembanganpengisian-jabatan-presiden-di-bawah-undang-undang-dasar1945&catid=18:jurnalnasional&Itemid=5 diakses 10 Desember 2011 pukul 10.12 WIB http://www.lafollette.wisc.edu/publications/otherpublications/ LaFollette/ LaFLegacy.html diakses 7 Maret 2012, pukul 12.30 WIB. h 578 t t p : / / k p u . g o . i d / index.php?option=com_content&task=view&id=43&Itemid=66 (diakses tanggal 21 Maret 2012 Pukul 11.16 WIB). DEKLINASI PARTAI POLITIK DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA (THE DECLINE OF POLITICAL PARTIES IN CONSTITUTIONAL LAW OF INDONESIA) A. Ahsin Thohari* (Naskah diterima 16/11/2012, disetujui 23/11/2012) Abstrak Sebagai agen yang berperan untuk mengawal berlangsungnya “perubahan-perubahan yang damai” (peaceful changes) dalam sebuah negara yang salah satunya diwujudkan melalui kontestasi pemilihan umum, partai politik di Indonesia mempunyai tugas yang sangat berat jika masih ingin memiliki masa depan yang cerah dan segera beranjak dari keterpurukan deklinasi seperti terlihat selama ini. Hal ini karena deklinasi partai politik, dalam batas tertentu, dapat mengarah pada inefisiensi pemerintahan dan tergerusnya legitimasi partai politik. Dalam konteks Indonesia, deklinasi itu salah satunya diakibatkan oleh kecenderungan kepengurusan partai politik yang bersifat oligarkis, karena hanya dikendalikan oleh kelompok kecil pemegang kekuasaan internal partai politik. Dalam hal ini, selalu muncul kelompok kecil yang mengendalikan (a minority of directors) dan kelompok besar yang dikendalikan (a majority of directed) dalam partai politik di Indonesia. Kemerosotan tingkat ekspektasi publik atas pemerintahan dan kurangnya kemampuan politisi dalam memenuhi dahaga ekspektasi publik tersebut pada akhirnya tidak bisa dihindarkan. Untuk keluar dari krisis ini tentu saja transparansi dan akuntabilitas internal partai politik menjadi pilihan yang tidak boleh dihindari. Persoalan lain yang juga berujung pada deklinasi adalah praktik korupsi yang tidak saja merusak partai politik yang bersangkutan tetapi juga sekaligus merusak proses-proses demokrasi secara keseluruhan. Partai politik yang diidealkan sebagai penghubung antara masyarakat dan pemerintah justru terjebak pada kepentingan-kepentingan dangkal. Hal ini sebenarnya juga merupakan muara dari munculnya fenomena partai politik yang mengandalkan jaringan berbasis patronase (patronage-based networks). Untuk keluar dari krisis ini tentu saja partai politik harus mempunyai mekanisme internal yang menghukum praktik tersebut, sebelum akhirnya tangan-tangan hukum berkerja sebagaimana mestinya. Kata kunci: Partai Politik, Hukum Tata Negara Abstract As an agent whose role is to oversee the ongoing “peaceful changes” in a country, one of which is realized through the contestation of general elections, political parties in Indonesia has a very tough task if they want to have a future bright future and soon moved from decline as seen over the years. This is because of political parties decline, in a certain extent, can lead to inefficiencies of government and erosion of political legitimacy. In the Indonesian context, the decline was one of them caused by * Pegawai pada Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta. 579 Vol. 9 No. 4 - Desember 2012 the tendency of the management of political parties that are oligarchic, because it is controlled by a small group of internal authority of political parties. In this case, there are a minority of directors and a majority of directed in the Indonesian political party. The decline of the level of the public’s expectations of government and politicians lack the ability to meet public expectations thirst is eventually inevitable. To get out of this crisis, of course transparency and accountability of political parties are option that should not be avoided. Another thing that also led to the d is the corrupt practices that undermine the political party but also at the same time undermine the democratic process as a whole. Political parties are idealized as a liaison between the community and the government was stuck on superficial interests. It is actually also the estuary of the emergence of the phenomenon of political parties that rely on patronage-based networks. To get out of this crisis, of course, political parties must have an internal mechanism that punishes the practice, before finally hands the law works as it should. Key word: Political Party, Constitutional Law A. Pendahuluan Demokrasi selalu membutuhkan partisipasi dari partai politik yang dapat berperan secara efektif. Demokrasi juga membutuhkan partai politik yang kuat dan daya tahan memadai dalam mewakili kepentingan masyarakat dan menawarkan pilihan-pilihan kebijakan untuk menunjukkan kemampuannya dalam menuju kebaikan umum (bonum publicum). Begitu pentingnya kehadiran partai politik, ia sering diibaratkan sebagai pilar demokrasi, karena tanggung jawabnya dalam menjamin dasar-dasar sistem politik yang kuat dalam sebuah negara. Mengawal berlangsungnya “perubahan-perubahan yang damai” (peaceful changes) dalam sebuah negara yang salah satunya diwujudkan melalui kontestasi pemilihan umum adalah salah satu hal yang inheren dalam diri suatu partai politik. Tidak hanya itu, arti penting kehadiran partai politik juga dikaitkan dengan stabilitas dan dinamika demokrasi. Dalam iklim demokratis, partai politik diekspektasikan mampu memerankan dirinya sebagai negosiator dalam proses deliberasi mengenai pilihan-pilihan kebijakan. Partai politik dibutuhkan untuk membangun konsensus antar aneka kepentingan agar sebuah pemerintahan dapat terbentuk. Konsep-konsep ideal yang meletakkan partai politik dalam aras positifnya seperti tergambar di atas tentu bukan sesuatu yang bersifat aksiomatis. Realitas politik di berbagai negara sering kali bertutur sebaliknya: partai politik acapkali dihegemoni, didominasi, bahkan dibajak oleh elitenya untuk menebar besaran kendali atasnya. Ujung dari semua ini adalah keterjebakan partai politik pada sedapat mungkin merebut dan mempertahankan kekuasaan dalam pemilihan umum. 580 Deklinasi Partai Politik dalam Sistem ... Dalam kondisi semacam ini, partai politik tidak akan mampu berkontribusi nyata dalam rangka melakukan agregasi kepentingankepentingan masyarakat luas. Pada akhirnya partai politik hanya mengejar tugas-tugas yang berdimensi ritus demokrasi elektoral sambil pada saat bersamaan mengabaikan tugas-tugas menegakkan demokrasi deliberatif (deliberative democracy). Dalam pandangan Joshua Cohen, demokrasi deliberatif mengharuskan tersedianya lembaga-lembaga independen (termasuk partai politik–penulis) dengan seperangkat keanggotaan yang dapat diandalkan untuk meraih masa depan yang tidak terbatas. Terciptanya ruang kebebasan bagi anggota-anggota tersebut yang bersifat adil juga dilihat oleh Cohen sebagai hal yang penting dalam membangun demokrasi deliberatif. Hal lain yang juga tidak boleh diabaikan adalah lembaga-lembaga tersebut harus bersifat pluralistik.1 Apabila tawaran Cohen dipinjam untuk membedah eksistensi partai politik di Indonesia, tidak sulit berkesimpulan bahwa partai politik di Indonesia belum menampakkan diri sebagai “agen penyemai” demokrasi deliberatif dalam konteks hukum tata negara Indonesia secara makro. Sebagai pilar utama pendukung sistem demokrasi Indonesia, alih-alih menjadi solusi keberadaan partai politik justru menjadi problem itu sendiri. Salah satu fenomena yang banyak disorot oleh peneliti adalah partai politik di Indonesia teralienasi dari masyarakat, baik konstituennya ataupun bukan konstituennya. Sesungguhnya apa yang ideal bagi hubungan partai politik dengan masyarakatnya adalah adanya ikatan emosional dan rasional dan karena itu kehadiran partai politik harus dirasakan penting dan dibutuhkan oleh masyarakat. Dalam pandangan Firmanzah, ikatan emosional itu hanya akan terjadi jika partai politik dekat dengan masyarakat dan kehadirannya dirasakan secara riil oleh masyarakat. Tanpa hal ini, akan timbul jarak dan kesenjangan antara partai politik dengan masyarakat. Jarak inilah yang membuat masyarakat mulai berpikir bahwa ia dapat hidup tanpa partai politik.2 Selain itu, penyalahgunaan kekuasaan otoritas di internal partai politik yang dapat berujung pada tindakan-tindakan koruptif juga sering 1 Firmanzah, Mengelola Partai Politik, Komunikasi dan Positioning Ideologi Politik di Era Demokrasi, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007), hlm. 39. 2 Joshua Cohen, “Deliberation and Democratic Legitimacy” dalam Essays on Reason and Politics: Deliberative Democracy, Ed. James Bohman and William Rehg, (The MIT Press: Cambridge, 1997), hlm. 72-73. 581 Vol. 9 No. 4 - Desember 2012 kali menjadi catatan kelam eksistensi partai politik dalam sistem ketatanegaraan modern –suatu hal yang sering kali dianggap sebagai cacat bawaan partai politik modern. Tulisan ini akan membedah sisisisi kelam partai politik tersebut sambil pada saat bersamaan mencoba menawarkan gagasan untuk membangun partai politik yang ideal dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. B. Hukum Besi Oligarki Partai Politik Tidak ada yang membantah bahwa peranan partai politik dalam bangunan demokrasi adalah penting. Oleh karena itu, selalu diyakini bahwa democracy is unthinkable without political parties.3 Secara teoretis, partai politik yang kuat adalah sesuatu yang mendasar bagi kehidupan demokrasi yang lebih terbuka dan kompetitif, khususnya bagi negaranegara yang sedang menapaki sistem yang lebih demokrastis (emerging democracies). Partai politik membutuhkan dana untuk dapat survive, bersaing, dan menjalankan fungsi-fungsi demokrasinya. Meskipun demikian, dalam diri partai politik juga terpendam bibit-bibit problematis yang dapat mengancam demokrasi itu sendiri.4 Salah satu hal yang menjadi fenomena umum adalah pemimpin utama partai politik yang sangat berkuasa dengan segenap monopoli atas dana dan akses politik dan ekonomi menjadi semacam “calo politik” (political middlemen) antara kepentingan pihak-pihak tertentu dengan pembuat kebijakan publik.5 Hal inilah yang dikhawatirkan oleh Jimly Asshiddiqie bahwa partai politik cenderung bersifat oligarkis. Organisasi dan termasuk juga organisasi partai politik kadang-kadang bertindak dengan lantang untuk dan atas nama kepentingan rakyat, tetapi dalam kenyataannya di lapangan justru berjuang untuk kepentingan pengurusnya sendiri.6 Dalam hubungan antara partai politik dengan sifat oligarkis ini, Robert Michels menyatakan bahwa: Organization implies the tendency to oligarchy. In every organization, whether it be a political party, a professional union, or any other association Khabele Matlosa dan Victor Shale, Political Parties Programme Handbook, (Johannesburg: EISA, 2006), hlm. 3. 4 Michael Johnston, Political Parties and Democracy in Theoretical and Practical Perspectives: Political Finance Policy, Parties, and Democratic Development, (Washington, DC: The National Democratic Institute for International Affairs, 2005), hlm. 3. 5 Disarikan dari Michael Johnston, Syndromes of Corruption: Wealth, Power, and Democracy, (Cambridge and New York: Cambridge University Press, 2005), hlm. 4. 6 Jimly Asshiddiqie, “Dinamika Partai Politik dan Demokrasi, <jimly.com/makalah/namafile /22/ DINAMIKA_PARTAI_POLITIK.doc.>, diakses pada 13 November 2012. 3 582 Deklinasi Partai Politik dalam Sistem ... of the kind, the aristocratic tendency manifests itself very clearly. The mechanism of the organization, while conferring a solidity of structure, induces serious changes in the organized mass, completely inverting the respective position of the leaders and the led. As a result of organization, every party or professional union becomes divided into a minority of directors and a majority of directed. 7 Dengan demikian, pada prinsipnya setiap organisasi (termasuk partai politik –penulis) selalu memiliki kecenderungan untuk bersifat oligarkis yang hanya dikendalikan oleh kelompok kecil pemegang kekuasaan internal partai politik. Selain itu, dalam setiap organisasi, juga selalu muncul aristokrasi dalam setiap perjalanan sejarahnya, sehingga dalam setiap organisasi selalu saja muncul kelompok kecil yang mengendalikan (a minority of directors) dan kelompok besar yang dikendalikan (a majority of directed). Hal inilah yang oleh Robert Michels disebut sebagai “hukum besi oligarki” (the iron law of oligarchy), karena tidak bisa terhindar dari cengkeraman elite dalam sebuah organisasi. Pada titik ini partai politik telah mengalami kemunduran atau deklinasi peranannya. Hal ini tentu saja sangat bertentangan dengan konsep ideal partai politik di Indonesia yang terdapat dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik yang menyatakan bahwa dinamika dan perkembangan masyarakat yang majemuk menuntut peningkatan peran, fungsi, dan tanggung jawab partai politik dalam kehidupan demokrasi secara konstitusional sebagai sarana partisipasi politik masyarakat dalam upaya mewujudkan citacita nasional bangsa Indonesia, menjaga dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.8 Deklinasi pada umumnya diartikan sebagai a change over time from previously efficient to inefficient organizational functioning, from previously rational to non-rational organizational and individual decision-making, from previously law-abiding to law violating organizational and individual 7 Oscar Grusky and George A. Miller, The Sociology of Organizations: Basic Studies, (New York: Free Press, 1970), hlm. 33. 8 Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Partai Politik, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008, LN Nomor 2, TLN Nomor 4801. 583 Vol. 9 No. 4 - Desember 2012 behavior, from previously virtuous to iniquitous individual moral behavior.9 Proses deklinasi partai politik sebagaimana tergambar di atas bukan monopoli Indonesia. Hampir sebagian besar negara-negara Eropa yang dikenal demokratis mengalami hal serupa dan ini tentunya sangat membahayakan masa depan demokrasi. Setidaknya hal itu tergambar dari sebuah penelitian yang dilakukan oleh Paul Whiteley dari Department of Government University of Essex yang menulis sebuah makalah berjudul provokatif: Is the Party Over? The Decline of Party Activism and Membership across the Democratic World. Penelitian Whiteley tersebut mengonfirmasi bahwa: … political parties continue to play a central role in the governance of modern democracies, and so a decline in their voluntary base has important implications for the future of democracy. Arguably, such a decline is likely to weaken civil society by undermining key relationships between citizens and the state, many of which are sustained by political parties.10 Deklinasi partai politik, dalam dalam batas tertentu, dapat mengarah pada inefisiensi pemerintahan dan tergerusnya legitimasi partai politik. Ada sejumlah hal yang digunakan untuk mengukur deklinasi sebuah partai politik, yaitu kebijakan keanggotaan, identifikasi partai politik, keorganisasian dan kontrol atas nominasi kandidat yang akan menduduki jabatan publik, kohesivitas ideologi, peran partai politik dalam pemerintahan, dan pola pemilihan umum.11 Penyebab dari semua itu adalah adanya kemerosotan tingkat ekspektasi publik atas pemerintahan dan kurangnya kemampuan politisi dalam memenuhi dahaga ekspektasi publik tersebut. Oleh karena itu, Asshiddiqie berpendapat bahwa untuk mengatasi oligarki dalam partai politik diperlukan beberapa mekanisme penunjang seperti adanya mekanisme internal yang menjamin demokratisasi melalui partisipasi anggota partai politik itu sendiri dalam proses pengambilan keputusan. Pengaturan mengenai hal ini sangat penting dirumuskan secara tertulis dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga partai politik bersangkutan yang ditradisikan dalam rangka rule of law. Sesuai tuntutan perkembangan, di samping anggaran dasar dan Lihat misalnya <http://en.wikipedia.org/wiki/Decline>, diakses pada 18 November 2012. Paul Whiteley, “Is the Party Over? The Decline of Party Activism and Membership across the Democratic World”, paper Presented at the Panel on Party Membership and Activism in Comparative Perspective, Political Studies Association Meeting, University of Manchester, April 2009. 11 Lihat misalnya <http://www.blackwellpublishing.com/mckay/pdfs/chapter5.pdf >, diakses pada 18 November 2012. 9 10 584 Deklinasi Partai Politik dalam Sistem ... anggaran rumah tangga perlu diperkenalkan pula sistem kode etika positif yang dituangkan sebagai code of ethics yang dijamin tegaknya melalui dewan kehormatan yang efektif. Dengan begitu, di dalam dinamika internal organisasi partai, berlaku tiga dokumen sekaligus, yaitu code of law yang tertuang dalam anggaran dasar (constitution of the political party), code of conduct (code of organizational good conducts) yang tertuang dalam anggaran rumah tangga, dan code of ethics dalam dokumen tersendiri. Dengan demikian, norma hukum, norma moral, dan norma etika diharapkan dapat berfungsi efektif membangun kultur internal setiap partai politik. Aturan-aturan yang dituangkan di atas kertas, juga ditegakkan secara nyata dalam praktek, sehingga prinsip rule of law dan rule of ethics dapat sungguh-sungguh diwujudkan, mulai dari kalangan internal partai-partai politik sebagai sumber kader kepemimpinan negara.12 Selain itu, yang juga menjadi keharusan adalah tersedianya mekanisme keterbukaan partai di mana warga masyarakat di luar partai dapat ikut serta berpartisipasi dalam penentuan kebijakan yang hendak diperjuangkan melalui dan oleh partai politik. Partai politik harus dijadikan dan menjadi sarana perjuangan rakyat dalam turut menentukan bekerjanya sistem kenegaraan sesuai aspirasi mereka. Oleh karena itu, pengurus hendaklah berfungsi sebagai pelayan aspirasi dan kepentingan bagi konstituennya. Untuk itu, diperlukan perubahan paradigma dalam cara memahami partai dan kegiatan berpartai. Menjadi pengurus bukanlah segala-galanya. Yang lebih penting adalah menjadi wakil rakyat. Akan tetapi, jika status sebagai pengurus menjadi faktor penentu terpilih tidaknya seseorang menjadi wakil rakyat, maka setiap orang tentu akan berlomba-lomba menjadi pengurus dan bahkan pimpinan puncak partai politik. 13 Salah satu cara lain untuk menyehatkan partai politik adalah dengan membangun demokrasi di tubuh partai itu sendiri atau yang biasa disebut dengan istilah intra-party democracy yang diartikan sebagai terbangunnya deliberasi dan proses pengambilan keputusan dalam internal partai politik dengan menggunakan prosedur-prosedur yang demokratis, sehingga mampu memilih pemimpin partai politik untuk menghasilkan kebijakan-kebijakan yang responsif. Dengan proses intra-party democracy ini diharapkan kultur demokrasi akan tertanam 12 13 Asshiddiqie, loc. cit. Ibid. 585 Vol. 9 No. 4 - Desember 2012 secara kuat dalam diri kader partai politik sebelum kemudian dipercaya untuk memegang jabatan-jabatan publik yang lain.14 Demokratisasi di Indonesia semenjak gerakan reformasi memang masih terasa rentan oleh pelbagai aneka kekurangmatangan atau dalam istilah Geoffrey Pridham dan Paul Lewis disebut sebagai demokrasi yang rapuh (fragile democracies).15 Merapuhnya demokrasi itu salah satunya bisa dilihat dari Indeks Demokrasi Indonesia di tahun 2011 yang diterbitkan oleh Economist Intelligence Unit, sebuah lembaga swasta di bawah The Economist Group, di mana Indonesia menempati urutan ke60 di antara 167 negara yang diteliti. Skor yang dicapai Indonesia adalah 6-7 dengan kategori “demokrasi yang bercacat” (flawed democracy). Kategori tertinggi dalam penelitian tersebut adalah “demokrasi penuh” (full democracy) dengan skor 8-10 yang ditempati oleh Norwegia, Islandia, Denmark, Swedia, dan negara-negara lainnya. Kriteria penilaian berdasarkan pada proses pemilihan umum dan pluralisme, kebebasan sipil, peran-peran pemerintahan, partisipasi politik, dan budaya politik. Hukum besi oligarki partai politik dan kenyataan bahwa demokrasi Indonesia masih bercacat adalah dua kombinasi yang rentan terhadap pembangunan partai politik yang ideal sebagaimana diamatkan oleh peraturan perundang-undangan. C. Partai Politik dan Antikorupsi Beberapa waktu lalu, Sekretaris Kabinet Dipo Alam menyampaikan data tentang keterlibatan elite partai dalam kasus korupsi berdasarkan surat ijin dari Presiden. Menurut keterangannya, SBY telah mengeluarkan 176 izin pemeriksaan pejabat negara dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang terlibat kasus hukum selama masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Dari jumlah itu, 79 persen merupakan kasus korupsi dan sisanya pidana lain terdiri dari 64 orang (36,36 persen) kader Partai Golkar, 32 orang (18,18 persen) dari Partai Terkait intra-party democracy ini, Susan Scarrow menyatakan bahwa intra-party democracy” is a very broad term describing a wide range of methods for including party members in intra-party deliberation and decision making. Some advocates for intra-party democracy argue, on a pragmatic level, that parties using internally democratic procedures are likely to select more capable and appealing leaders, to have more responsive policies, and, as a result, to enjoy greater electoral success. Some, moreover, converge on the premise that parties that “practice what they preach,” in the sense of using internally democratic procedures for their deliberation and decisions, strengthen democratic culture generally. Susan Scarrow, Political Parties and Democracy in Theoretical and Practical Perspectives: Implementing Intra-Party Democracy, (Washington, DC: The National Democratic Institute for International Affairs, 2005), hlm. 3. 15 Geoffrey Pridham and Paul G. Lewis, eds., Stabilising Fragile Democracies: Comparing New Party Systems in Southern and Eastern Europe, (London: Routledge, 1996), hlm. 1. 14 586 Deklinasi Partai Politik dalam Sistem ... Demokrasi Indonesia-Perjuangan, dan 20 orang (11,36 persen) dari Partai Demokrat, 17 orang (9,65 persen) dari Partai Persatuan Pembangunan, 9 orang (5,11 persen) dari Partai Kebangkitan Bangsa, 7 orang (3,97 persen) dari Partai Amanat Nasional, 4 orang (2,27 persen) dari Partai Keadilan Sejahtera, dan sejumlah partai lain masing-masing 1 orang. Dengan asumsi bahwa apa yang disampaikan oleh Dipo Alam benar, hal tersebut semakin mengonfirmasi kebenaran berbagai penelitian bahwa partai politik dewasa ini telah menjadi bagian dari masalah korupsi dalam sebuah negara. Modus yang jamak dipakai adalah penyalahgunaan kekuasaan untuk memeras agar disuap atau untuk memasok kader-kader partai politik agar menduduki jabatan-jabatan tertentu. Faktanya, persoalan-persoalan korupsi oleh partai politik ini banyak terjadi di negara-negara yang iklim demokrasinya belum sepenuhnya mapan yang ditandai dengan lembaga-lembaga politik dan ekonominya yang belum stabil dan rentan oleh berbagai macam intervensi. 16 Praktik korupsi yang dilakukan oleh partai politik tidak saja merusak partai politik yang bersangkutan tetapi juga sekaligus merusak proses-proses demokrasi. Partai politik yang sejatinya merupakan penghubung antara masyarakat dan pemerintah justru terjebak dan berasyik-masyuk dengan kepentingan-kepentingan dangkal tanpa makna bagi rakyat banyak. Partai politik yang dalam suatu perhelatan pemilihan umum melakukan mobilisasi massa atas nama pencapaian atas tujuan-tujuan tertentu dengan bentuk merumuskan kebijakan-kebijakan publik, setelah pemilihan umum justru menjelma menjadi predator bagi publik itu sendiri. Salah satu hal yang menjadi pengarah pada perilaku koruptif partai politik adalah munculnya fenomena partai politik yang mengandalkan jaringan berbasis patronase (patronage-based networks). Partai politik model ini pada ujung yang paling berbahaya dapat menyulitkan pembentukan pemerintahan yang stabil, karena rongrongannya yang sangat dominan dalam mengatur kebijakan pemerintahan.17 Verena Blechinger dengan mengikuti kerangka konseptual USAID’s Handbook for Fighting Corruption menyatakan bahwa untuk menangani praktik-praktik korupsi oleh partai politik diperlukan empat kebijakan, 16 Verena Blechinger, “Corruption and Political Parties”, paper presented in Sectoral Perspectives on Corruption, held by USAID and MSI, November 2002. 17 Benjamin Reilly, “Political Parties and Political Engineering in the Asia Pacific Region”, Asia Pacific Issues, Analysis from the East-West Center No. 71 December 2003. 587 Vol. 9 No. 4 - Desember 2012 yaitu merestrukturisasi otoritas partai politik, memperbaiki akuntabilitas, insentif yang setimpal, dan mengubah perilaku. Desain kelembagaan partai politik yang baik menjadi sangat penting, karena korupsi oleh partai politik sering kali terjadi dalam sistem politik di mana proses untuk menguatkan akuntabilitas pemerintahan biasanya masih lemah atau hanya tersedia mekanisme hukuman yang lemah terhadap perilaku koruptif.18 Struktur internal partai politik harus dibangun dengan semangat transparansi dan akuntabilitas yang tinggi agar menjadi pendorong bagi terbangunnya kultur positif, khususnya di negara-negara yang kategori demokrasinya bukan “demokrasi penuh” (full democracy) dengan skor indeks demokrasinya 8-10 seperti dilansir Economist Intelligence Unit. Taiwan menjadi contoh yang baik ketika partai politiknya dapat memimpin transisi menuju demokrasi dengan menghindari praktikpraktik koruptif. Praktik-praktik koruptif partai politik adalah pihak yang berandil besar dalam menggagalkan perbaikan menuju demokrasi dan pembangunan ekonomi.19 Oleh karena itu, pemberantasan korupsi di dalam partai politik biasanya menjadi agenda yang paling penting ketika deklinasi partai politik tidak terelakkan karena kebijakan keanggotaan, identifikasi partai politik, keorganisasian dan kontrol atas nominasi kandidat yang akan menduduki jabatan publik, kohesivitas ideologi, peran partai politik dalam pemerintahan, dan pola pemilihan umum sebagaimana telah disinggung di atas. Dalam konteks Indonesia, Saiful Mujani dan R. William Liddle secara tepat menyatakan bahwa Fighting corruption may turn out to be a greater challenge or a less attractive goal when a large majority of the political parties represented in parliament are also in government.20 D. Catatan Akhir Berkaca pada uraian di atas, sebagai agen yang berperan untuk mengawal berlangsungnya “perubahan-perubahan yang damai” (peaceful changes) dalam sebuah negara yang salah satunya diwujudkan melalui kontestasi pemilihan umum, partai politik di Indonesia mempunyai tugas Blechinger, loc. cit. Ibid. 20 Saiful Mujani dan R. William Liddle, “Indonesia: Personalities, Parties, and Voters”, Journal of Democracy, National Endowment for Democracy and The Johns Hopkins University Press, Volume 21, Number 2 April 2010. 18 19 588 Deklinasi Partai Politik dalam Sistem ... yang sangat berat jika masih ingin memiliki masa depan yang cerah dan segera beranjak dari keterpurukan deklinasi seperti terlihat selama ini. Hal ini karena deklinasi partai politik, dalam dalam batas tertentu, dapat mengarah pada inefisiensi pemerintahan dan tergerusnya legitimasi partai politik. Dalam konteks Indonesia, deklinasi itu salah satunya diakibatkan oleh kecenderungan kepengurusan partai politik yang bersifat oligarkis, karena hanya dikendalikan oleh kelompok kecil pemegang kekuasaan internal partai politik. Dalam hal ini, selalu muncul kelompok kecil yang mengendalikan (a minority of directors) dan kelompok besar yang dikendalikan (a majority of directed) dalam partai politik di Indonesia. Kemerosotan tingkat ekspektasi publik atas pemerintahan dan kurangnya kemampuan politisi dalam memenuhi dahaga ekspektasi publik tersebut pada akhirnya tidak bisa dihindarkan. Untuk keluar dari krisis ini tentu saja transparansi dan akuntabilitas internal partai politik menjadi pilihan yang tidak boleh dihindari. Persoalan lain yang juga berujung pada deklinasi adalah praktik korupsi yang tidak saja merusak partai politik yang bersangkutan tetapi juga sekaligus merusak proses-proses demokrasi secara keseluruhan. Partai politik yang diidealkan sebagai penghubung antara masyarakat dan pemerintah justru terjebak pada kepentingan-kepentingan dangkal. Hal ini sebenarnya juga merupakan muara dari munculnya fenomena partai politik yang mengandalkan jaringan berbasis patronase (patronage-based networks). Untuk keluar dari krisis ini partai politik harus mempunyai mekanisme internal yang menghukum praktik tersebut, sebelum akhirnya tangan-tangan hukum berkerja sebagaimana mestinya. Daftar Pustaka Asshiddiqie, Jimly. “Dinamika Partai Politik dan Demokrasi, <jimly.com/ makalah/namafile /22/DINAMIKA_PARTAI_POLITIK.doc.>. Diakses pada 13 November 2012. Blechinger, Verena. “Corruption and Political Parties”. Paper presented in Sectoral Perspectives on Corruption, held by USAID and MSI, November 2002. Cohen, Joshua. “Deliberation and Democratic Legitimacy” dalam Essays 589 Vol. 9 No. 4 - Desember 2012 on Reason and Politics: Deliberative Democracy, Ed. James Bohman and William Rehg, The MIT Press: Cambridge, 1997. Firmanzah. Mengelola Partai Politik, Komunikasi dan Positioning Ideologi Politik di Era Demokrasi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007. Grusky, Oscar, and George A. Miller. The Sociology of Organizations: Basic Studies. New York: Free Press, 1970. Johnston, Michael. Political Parties and Democracy in Theoretical and Practical Perspectives: Political Finance Policy, Parties, and Democratic Development. Washington, DC: The National Democratic Institute for International Affairs, 2005. Johnston, Michael. Syndromes of Corruption: Wealth, Power, and Democracy. Cambridge and New York: Cambridge University Press, 2005. Matlosa, Khabele, dan Victor Shale. Political Parties Programme Handbook. Johannesburg: EISA, 2006. Mujani, Saiful, dan R. William Liddle. “Indonesia: Personalities, Parties, and Voters”, Journal of Democracy. National Endowment for Democracy and The Johns Hopkins University Press, Volume 21, Number 2 April 2010. Pridham, Geoffrey, and Paul G. Lewis, eds.. Stabilising Fragile Democracies: Comparing New Party Systems in Southern and Eastern Europe. London: Routledge, 1996. Republik Indonesia. Undang-Undang tentang Partai Politik. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008, LN Nomor 2, TLN Nomor 4801. Reilly, Benjamin. “Political Parties and Political Engineering in the Asia Pacific Region”, Asia Pacific Issues, Analysis from the East-West Center No. 71 December 2003. Scarrow, Susan. Political Parties and Democracy in Theoretical and Practical Perspectives: Implementing Intra-Party Democracy. Washington, DC: The National Democratic Institute for International Affairs, 2005. Whiteley, Paul. “Is the Party Over? The Decline of Party Activism and Membership across the Democratic World”. Paper Presented at the Panel on Party Membership and Activism in Comparative Perspective, Political Studies Association Meeting, University of Manchester, April 2009. 590 MENDORONG KETERWAKILAN PEREMPUAN DI LEMBAGA LEGISLATIF (ENCOURAGE REPRESENTATION IN LEGISLATIVE INSTITUTIONS) Eka N A M Sihombing* dan Nur Fatmah G** (Naskah diterima 31/10/2012, disetujui 23/11/2012) Abstrak Tindakan afirmatif diperlukan agar keterwakilan perempuan di lembaga legislatif segera terwujud. UU Nomor 8 Tahun 2012 belum menunjukkan ketegasan dalam mendorong pemenuhan kuota 30% keterwakilan perempuan dalam daftar calon anggota DPR maupun DPRD, untuk itu perlu diupayakan penataan peraturan perundang-undangan bidang Pemilu Anggota DPR,DPD,dan DPRD melalui pencantuman sanksi yang lebih konkrit dan tegas seperti diskualifikasi terhadap partai politik yang tidak memenuhi kuota 30 persen keterwakilan perempuan dalam daftar calon anggota DPR maupun DPRD. Dengan lebih banyak keterwakilan perempuan di lembaga legislatif, diharapkan akan lahir kebijakankebijakan yang lebih responsif gender. Kata kunci: Keterwakilan perempuan,tindakan affirmatif Abstract Affirmative action needed to woman representation in legislative institute immediately form. Law Number 8 Year 2012 not yet shown coherence in pushing accomplishment of quota 30% representation of woman in member candidate list of Parliaments (DPR) and also of Regional Parliaments (DPRD), for that require to be strived by settlement of Law And Regulation of General Election Member of DPR, DPD, and DPRD through coalescence of more concrete sanction and coherent like disqualified to political Party which do not fulfill quota 30% representation of woman in member candidate list of DPR and also of DPRD. With interest many representation of woman in legislative institute, expected will born more responsive policys of gender. Keyword: Representation of woman, affirmative action A. Pendahuluan Eksistensi dan kiprah kaum perempuan dalam dunia politik di Indonesia mulai mengalami peningkatan. Indikasinya dapat dilihat dari hasil Pemilu 1999 anggota Legislatif perempuan hanya berkisar 9%, pada Pemilu 2004 meningkat menjadi 12% dan pada Pemilu 2009 kembali meningkat menjadi 18%. Peningkatan wakil perempuan di legislatif ini * Fungsional Perancang Peraturan Perundang-undangan Muda Pada Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Sumatera Utara, Alumni S1 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan Alumni S2 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. ** Fungsional Perancang Peraturan Perundang-undangan Pertama Pada Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Sumatera Utara, Alumni S1 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan Alumni S2 Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 591 Vol. 9 No. 4 - Desember 2012 tentunya membawa angin segar bagi kaum perempuan, walaupun hasil Pemilu tersebut belum mencerminkan keseimbangan representasi antara wakil perempuan yang duduk di legislatif dengan jumlah perempuan di Indonesia, karena sebagaimana diketahui sebagian besar penduduk di Indonesia adalah kaum perempuan. Namun, paling tidak diharapkan dengan semakin meningkatnya jumlah wakil perempuan semakin berpengaruh terhadap penentuan kebijakan-kebijakan politik yang lebih responsif gender. Berdasarkan hasil sensus Badan Pusat Statistik pada 2010 dari 237,55 juta jiwa penduduk Indonesia, sebanyak 70 persen di antaranya adalah perempuan dan anak-anak.1 Dengan demikian sudah sepatutnya secara formal, perlu diperhatikan upaya meningkatkan keterwakilan di legislatif melalui pembentukan peraturan perundang-undangan Pemilu. Perhatian terhadap kepentingan politik perempuan secara konkrit baru dimulai pada tahun 2003 yang ditandai dengan dicantumkannya norma-norma mengenai kuota 30% keterwakilan perempuan dalam daftar bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD. Kemudian Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 digantikan dengan UndangUndang Nomor 10 Tahun 2008 Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD yang juga memberikan mandat kepada Partai Politik untuk memenuhi kuota 30% bagi perempuan dalam daftar bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota dengan zipper system 1 perempuan di antara 3 calon. Pada tanggal 11 Mei 2012 Undang-Undang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD yang baru telah diundangkan yakni Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu DPR, DPD dan DPRD. Undang-undang ini mengganti keberadaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008. Ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 juga diatur mengenai kuota 30% bagi perempuan dalam daftar bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota dengan zipper system dalam setiap 3 (tiga) bakal calon, bakal calon perempuan dapat ditempatkan pada urutan 1, atau 2, atau 3 dan demikian seterusnya, tidak hanya pada nomor urut 3, 6, dan seterusnya.2 h t t p : / / w w w . k a b a r i n d o n e s i a . c o m / berita.php?pil=20&jd=Sumut+Contoh+Kesetaraan+Gender&dn=20120416-160321 diakses tanggal 12 Oktober 2012. 2 Penjelasan Pasal 56 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menyebutkan : “Dalam setiap 3 (tiga) bakal calon, bakal calon perempuan dapat ditempatkan pada urutan 1, atau 2, atau 3 dan demikian seterusnya, tidak hanya pada nomor urut 3, 6, dan seterusnya.” 1 592 Mendorong Keterwakilan Perempuan Di ... Walaupun secara kuantitas keterwakilan perempuan dari Pemilu ke Pemilu menunjukkan peningkatan, dan secara formal telah dicantumkan norma-norma mengenai kuota 30% keterwakilan perempuan dalam daftar bakal calon, namun secara riil ketentuan tersebut sampai saat ini belum menjamin terpenuhinya kuota 30% perempuan yang mendapatkan kursi di legislatif sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pemilu. B. Pengarusutamaan Gender Dalam struktur masyarakat Indonesia pada umumnya terdapat ketidaksetaraan atau kesenjangan antara peran laki-laki dengan perempuan, hal ini lebih dikarenakan oleh sistem patriarki dimana kaum laki-laki lebih dominan dari kaum perempuan. Dominasi kaum laki-laki ini telah berlangsung lama dalam masyarakat Indonesia, bahkan telah tumbuh dan berkembang melalui ajaran dan norma yang ditentukan pemimpin adat kebiasaan yang ternyata banyak yang diskriminatif terhadap perempuan sehingga membudaya serta terinternalisasi dalam kehidupan sehari-hari baik oleh kaum perempuan maupun laki-laki. Setelah lebih dari dua dasawarsa diperdebatkan pada tingkat Perserikatan Bangsa-Bangsa, maka pada umumnya gender dapat diartikan atau dipahami sebagai suatu pengertian yang mengacu pada atribut sosial dan kesempatan yang bertalian dengan keberadaan seseorang sebagai perempuan atau laki-laki dan perempuan, anak-anak perempuan dan anak-anak laki-laki.3 Gender menetapkan apa yang diharapkan, diperbolehkan dan dihargai dari seseorang perempuan atau laki-laki dalam konteks tempat dan waktu. 4 Di sebagian besar masyarakat, terdapat perbedaan dan ketidaksamaan antara laki-laki dan perempuan dalam hal tanggung jawab yang diberikan, kegiatankegiatan yang dilaksanakan, akses dan penguasaan sumber-sumber maupun kesempatan dalam pengambilan keputusan.5 Secara umum konsep gender prinsipnya mengacu pada peran dan tanggung jawab sebagai perempuan dan sebagai laki-laki yang diciptakan dan terinternalisasi dalam kebiasaan dan kehidupan keluarga, dalam budaya-masyarakat tempat kita hidup; termasuk harapan-harapan yang 3 L.M. Gandhi Lapian, Disiplin Hukum yang Mewujudkan Kesetaraan dan Keadilan Gender, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta 2012, hlm. 22. 4 Ibid. 5 Ibid. 593 Vol. 9 No. 4 - Desember 2012 diinginkan bagaimana harusnya menjadi perempuan dan bagaimana menjadi seorang laki-laki, baik harapan atas sifat-sifatnya, sikap maupun perilakunya.6 Pengarusutamaan gender merupakan strategi yang dilakukan secara rasional dan sistematis untuk mencapai dan mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam sejumlah aspek kehidupan manusia (rumah tangga, masyarakat dan negara) melalui kebijakan dan program yang memperhatikan pengalaman, aspirasi, kebutuhan dan permasalahan perempuan dan laki-laki ke dalam perencanaan pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi dari seluruh kebijakan dan program di berbagai bidang kehidupan dan pembangunan.7 Sesuai dengan makna dari penga-rusutamaan gender tersebut, sudah sepatutnya dalam penentuan kebijakan pada masa kini dan mendatang, khususnya di bidang politik mem-perhatikan isu gender sehingga dalam melahirkan sebuah ke-bijakan tidak bias gender atau terjadi kesenjangan gender. C. Hak Asasi Manusia dan Hak Asasi Perempuan C.1. Hak Asasi Manusia Hak asasi manusia adalah hak-hak yang dimiliki manusia sematamata karena ia manusia. Umat manusia memilikinya bukan karena diberikan kepadanya oleh masyarakat atau berdasarkan hukum positif, melainkan semata-mata berdasarkan martabatnya sebagai manusia.8 Dalam arti ini, meskipun setiap orang terlahir dengan warna kulit, jenis kelamin, bahasa, budaya dan kewarganegaraan yang berbeda-beda, ia tetap mempunyai hak-hak tersebut. Inilah sifat universal dari hakhak tersebut. Selain bersifat universal, hak-hak tersebut itu juga tidak dapat dicabut (inalienable). Artinya, seburuk apapun perlakuan yang telah dialami oleh seseorang atau betapapun bengisnya perlakuan seseorang, ia tidak akan berhenti menjadi manusia dan karena itu tetap memiliki hak-hak tersebut. Dengan kata lain, hak-hak itu melekat pada dirinya sebagai makhluk insani. Asal-usul gagasan mengenai hak asasi manusia seperti dipaparkan di atas bersumber dari teori hak kodrati (natural rights theory). Teori Kementerian Hukum dan HAM RI, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak dan Kementerian Dalam Negeri, Parameter Kesetaraan Gender dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Jakarta-2011, hlm. 21. 7 http://id.m.wikipedia.org/wiki/pengarusutamaan_gender diakses tanggal 20 Oktober 2012. 8 Jack Donnely, Universal Human Rights in Theory and Practice, Cornell University Press, Ithaca and London, 2003, hlm. 7-21. 6 594 Mendorong Keterwakilan Perempuan Di ... kodrati mengenai hak itu bermula dari teori hukum kodrati (natural law theory), yang terakhir ini dapat dirunut kembali sampai jauh ke belakang hingga ke zaman kuno dengan filsafat Stoika hingga ke zaman modern melalui tulisan-tulisan hukum kodrati Santo Thomas Aquinas. Dalam teori hukum kodratinya, Thomas Aquinas berpijak pada pandangan thomistik yang mempotulasi hukum kodrati sebagai bagian dari hukum Tuhan yang sempurna dan dapat diketahui melalui penggunaan nalar manusia Hugo de Groot, seorang ahli hukum Belanda yang dinobatkan sebagai “bapak hukum internasional”, atau yang lebih dikenal dengan nama Latinnya, Grotius, mengembangkan lebih lanjut teori hukum kodrati Aquinas dengan memutus asal-usulnya yang teistik dan membuatnya menjadi produk pemikiran sekuler yang rasional. Dengan landasan inilah kemudian, pada perkembangan selanjutnya, salah seorang kaum terpelajar pasca-Renaisans, John Locke, mengajukan pemikiran mengenai teori hak-hak kodrati. Gagasan Locke mengenai hak-hak kodrati inilah yang melandasi munculnya revolusi hak dalam revolusi yang meletup di Inggris, Amerika Serikat dan Perancis pada abad ke-17 dan ke-18. Dalam bukunya yang telah menjadi klasik, “The Second Treatise of Civil Government and a Letter Concerning Toleration” Locke mengajukan sebuah postulasi pemikiran bahwa semua individu dikaruniai oleh alam hak yang melekat atas hidup, kebebasan dan kepemilikan, yang merupakan milik mereka sendiri dan tidak dapat dicabut atau dipreteli oleh negara. Melalui suatu ‘kontrak sosial’ (social contract), perlindungan atas hak yang tidak dapat dicabut ini diserahkan kepada negara. Tetapi, menurut Locke, apabila penguasa negara mengabaikan kontrak sosial itu dengan melanggar hak-hak kodrati individu, maka rakyat di negara itu bebas menurunkan sang penguasa dan menggantikannya dengan suatu pemerintah yang bersedia menghormati hak-hak tersebut. Melalui teori hak-hak kodrati ini, maka eksistensi hak-hak individu yang prapositif mendapat pengakuan kuat. Gagasan hak asasi manusia yang berbasis pada pandangan hukum kodrati itu mendapat tantangan serius pada abad 19. Edmund Burke, orang Irlandia yang resah dengan Revolusi Perancis, adalah salah satu di antara penentang teori hak-hak kodrati. Burke menuduh para penyusun “Declaration of the Rights of Man and of the Citizen” mempropagandakan “rekaan yang menakutkan mengenai persamaan manusia”. 595 Vol. 9 No. 4 - Desember 2012 Deklarasi yang dihasilkan dari Revolusi Perancis itu baginya merupakan “ide-ide yang tidak benar dan harapan-harapan yang siasia pada manusia yang sudah ditakdirkan menjalani hidup yang tidak jelas dengan susah payah.”9 Tetapi penentang teori hak kodrati yang paling terkenal adalah Jeremy Bentham, seorang filsuf utilitarian dari Inggris. Kritik Bentham yang mendasar terhadap teori tersebut adalah bahwa teori hak-hak kodrati itu tidak bisa dikonfirmasi dan diverifikasi kebenarannya. Bagaimana mungkin mengetahui dari mana asal hakhak kodrati itu, apa sajakah hak itu dan apa isinya? Bentham dengan sinis menertawakan teori hak-hak kodrati itu dengan mengatakan: “Bagi saya, hak sebagai kata benda (berlawanan dengan kata sifat), adalah anak kandung hukum: dari hukum riil lahir pula hak-hak riil; namun dari hukum imajiner; hukum kodrati lahirlah hak-hak rekaan. Hak-hak kodrati adalah omong kosong yang dungu: hak yang kodrati dan tidak bisa dicabut adalah omong kosong yang retorik, atau puncak dari omong kosong yang berbahaya!”. 10 Lebih lanjut, dalam sebuah risalahnya yang lain, Bentham mengulang kembali cercaan sinisnya pada teori hak-hak kodrati. Ia menulis, “Bagi saya hak dan hukum merupakan hal yang sama, karena saya tidak mengenal hak yang lain. Hak bagi saya adalah anak kandung hukum: dari berbagai fungsi hukum lahirlah beragam jenis hak. Hak kodrati adalah seorang anak yang tidak pernah punya seorang ayah”11. Serangan dan penolakan kalangan utilitarian itu kemudian diperkuat oleh mazhab positivisme, yang dikembangkan belakangan dengan lebih sistematis oleh John Austin. Kaum positivis berpendapat bahwa eksistensi dan isi hak hanya dapat diturunkan dari hukum negara. Satusatunya hukum yang sahih adalah perintah dari yang berdaulat, ia tidak datang dari “alam” atau “moral”. Namun demikian, kecaman dan penolakan dari kalangan utilitarian dan positivis tersebut tidak membuat teori hak-hak kodrati dilupakan orang. Jauh dari anggapan Bentham, hak-hak kodrati tidak kehilangan pamornya, ia malah tampil kembali pada masa akhir Perang Dunia II. Gerakan untuk menghidupkan kembali teori hak kodrati inilah yang mengilhami kemunculan gagasan hak asasi manusia di panggung Edmund Burke, Reflection on the Revolution in France, ed. Conor Cruise O’Brien, London, 1968. H.L.A. Hart, Essays on Bentham, Oxford University Press, London, 1982, hlm. 82. Jeremy Bentham, Supply Without Burden or Escheat Vice Taxation, dikutip dari Hart, Essays on Bentham, Oxford University Press, London, 1982. 9 10 11 596 Mendorong Keterwakilan Perempuan Di ... internasional. Pengalaman buruk dunia internasional dengan peristiwa Holocaust Nazi, membuat dunia berpaling kembali kepada gagasan John Locke tentang hak-hak kodrati. Hal ini dimungkinkan dengan terbentuknya Perserikatan BangsaBangsa (PBB) pada 1945, segera setelah berakhirnya perang yang mengorbankan banyak jiwa umat manusia itu. Dengan mendirikan PBB, masyarakat internasional tidak ingin mengulang terjadinya kembali Holocaust di masa depan, dan karena itu “menegaskan kembali kepercayaan terhadap hak asasi manusia, terhadap martabat dan kemuliaan manusia, terhadap kesetaraan hak-hak laki-laki dan perempuan, dan kesetaraan negara besar dan kecil”. (Preambule Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa) Dari sinilah dimulai internasionalisasi gagasan hak asasi manusia. Sejak saat itulah masyarakat internasional bersepakat menjadikan hak asasi manusia sebagai “suatu tolok ukur pencapaian bersama bagi semua rakyat dan semua bangsa” (a commond standard of achievement for all peoples and all nations). Hal ini ditandai dengan diterimanya oleh masyarakat internasional suatu rezim hukum hak asasi manusia internasional yang disiapkan oleh PBB atau apa yang kemudian lebih dikenal dengan “International Bill of Human Rights”. Secara yuridis defenisi HAM terdapat dalam Pasal 1 butir (1) UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM yang berbunyi : “Hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum dan pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”. Sementara itu semenjak perubahan kedua UUD 1945 materi rumusan mengenai HAM mendapatkan tempat yang berarti dan memiliki landasan konstitusional yang kuat dalam konstitusi, walaupun sebenarnya materi rumusan HAM yang tercantum dalam UUDNRI Tahun 1945 hasil perubahan merupakan hasil adopsi dari ketentuan UU Nomor 39 Tahun 1999. Hak konstitusional warga negara yang meliputi hak asasi manusia dan hak warga negara yang dijamin dalam UUD 1945 berlaku bagi setiap warga negara Indonesia.12 Hal itu dapat dilihat dari Jimly Asshiddiqie, Hak Konstitusional Perempuan dan Tantangan Penegakannya, Makalah disampaikan pada acara Dialog Publik dan Konsultasi Nasional Komnas Perempuan “Perempuan dan Konstitusi di Era Otonomi Daerah: Tantangan dan Penyikapan Bersama”. Jakarta, 27 Nopember 2007. 12 597 Vol. 9 No. 4 - Desember 2012 perumusannya yang menggunakan frasa “setiap orang”, “segala warga negara”, “tiap-tiap warga negara”, atau ‘setiap warga negara”, yang menunjukkan bahwa hak konstitusional dimiliki oleh setiap individu warga negara tanpa pembedaan, baik berdasarkan suku, agama, keyakinan politik, ataupun jenis kelamin.13 Dengan demikian, negara memberikan pengakuan dan jaminan atas hak-haknya baik bagi warga negara yang berjenis kelamin laki-laki maupun perempuan. C.2. Hak Asasi Perempuan Konsep Hak Asasi Perempuan (HAP) sedikitnya memiliki dua makna yang terkandung di dalamnya.14 Yang pertama, Hak Asasi Perempuan hanya dimaknai sekadar berdasarkan akal sehat. Logika yang dipakai adalah pengakuan bahwa perempuan adalah manusia, dan karenanya sudah sewajarnya mereka juga memiliki hak asasi. Masalahnya dalam realitasnya memperlihatkan tidak serta merta pengakuan bahwa perempuan adalah manusia juga berdampak terhadap perlindungan hak-hak dasar mereka sebagai manusia. Makna yang kedua, di balik istilah Hak Asasi Perempuan terkandung visi dan maksud transformasi relasi sosial melalui perubahan relasi kekuasaan yang berbasis gender.15 Makna Hak Asasi Perempuan yang kedua ini lebih revolusioner karena adanya pengintegrasian Hak Asasi Perempuan ke dalam standar Hak Asasi Manusia.16 Dalam berbagai instrumen hukum nasional maupun internasional sebenarnya telah memberikan perlindungan yuridis kepada perempuan (tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan), hal ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 27 ayat (1) UUDNRI Tahun 1945 yang menyatakan secara tegas bahwa “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” Selain itu Indonesia juga telah meratifikasi dua perjanjian internasional yaitu Convention on the Political Rights of Women (Konvensi Hak Politik Perempuan), dan convention on the Political Elimination of All Forms of Discrimination against Women/CEDAW (Konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadap Ibid. Mansour Fakih, Hak Asasi Perempuan, Jurnal Wacana, Edisi Khusus, VIII/2001, hal 167-181 dalam Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT.Gramedia PustakaUtama, Jakarta, 2008, hlm. 256-257. 15 Ibid. 16 Ibid. 13 14 598 Mendorong Keterwakilan Perempuan Di ... Perempuan), namun dalam praktiknya, ketentuan tersebut tidak serta merta dapat terlaksana dengan baik.17 D. Kebijakan Affirmatif (affirmative action) dan Keterwakilan Perempuan dalam Lembaga Legislatif Dalam memberikan perlindungan dan pemenuhan hak konstitusional18 setiap warga negara tentunya harus dilakukan tanpa diskriminasi atau perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Agar setiap warga negara memiliki kemampuan yang sama dalam memperoleh perlindungan dan pemenuhan hak konstitusional yang sama pula, diperlukan perlakuan khusus terhadap kelompok tertentu. Hanya dengan perlakuan khusus tersebut, dapat dicapai persamaan perlakuan dalam perlindungan dan pemenuhan hak konstitusional setiap warga negara. Oleh karena itu, UUDNRI Tahun 1945 menjamin perlakuan khusus tersebut sebagai hak untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama.19 Pasal 28H Ayat (2) menyatakan “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”. Salah satu kelompok warga negara yang karena kondisinya membutuhkan perlakuan khusus adalah perempuan. Tanpa adanya perlakuan khusus, perempuan tidak akan dapat mengakses perlindungan dan pemenuhan hak konstitusionalnya karena perbedaan dan pembedaan yang dihasilkan dan dilanggengkan oleh struktur masyarakat patriarkis. Perlindungan dan pemenuhan hak konstitusional tanpa adanya perlakuan khusus, justru akan cenderung 17 Bahwa walaupun sudah ada jaminan hukum melalui peraturan perundang-undangan, diskriminasi terhadap perempuan masih tetap terjadi, karena hak sosial dan ekonomi tidak terjangkau oleh perempuan. Oleh karena itu, konvensi CEDAW mengamanatkan kebijakan pembangunan untuk menjamin hak perempuan dalam semua tingkatan dan bidang sipil, politik, sosial dan ekonomi serta semua lingkungan keluarga, komunitas, pasar dan negara. Lihat juga L.M. Gandhi Lapian, Disiplin Hukum yang Mewujudkan Kesetaraan dan Keadilan Gender, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta 2012, hlm. 36-37. 18 Hak konstitusional warga negara yang meliputi hak asasi manusia dan hak warga negara yang dijamin dalam UUD 1945 berlaku bagi setiap warga negara Indonesia. Hal itu dapat dilihat dari perumusannya yang menggunakan frasa “setiap orang”, “segala warga negara”, “tiap-tiap warga negara”, atau ‘setiap warga negara”, yang menunjukkan bahwa hak konstitusional dimiliki oleh setiap individu warga negara tanpa pembedaan, baik berdasarkan suku, agama, keyakinan politik, ataupun jenis kelamin. Hak-hak tersebut diakui dan dijamin untuk setiap warga negara bagi laki-laki maupun perempuan. Lihat Jimly Asshiddiqie, Hak Konstitusional Perempuan dan Tantangan Penegakannya, Makalah disampaikan pada acara Dialog Publik dan Konsultasi Nasional Komnas Perempuan “Perempuan dan Konstitusi di Era Otonomi Daerah: Tantangan dan Penyikapan Bersama”. Jakarta, 27 Nopember 2007. 19 Ibid. 599 Vol. 9 No. 4 - Desember 2012 mempertahankan diskriminasi terhadap perempuan dan tidak mampu mencapai keadilan. 20 Tindakan perlakuan khusus tersebut lazim diistilahkan affirmative action. Affirmative action (tindakan afirmatif) merupakan kebijakan yang diambil yang bertujuan agar kelompok/ golongan tertentu memperoleh peluang yang setara dengan kelompok/ golongan lain dalam bidang yang sama. Bisa juga diartikan sebagai kebijakan yang memberi keistimewaan pada kelompok tertentu. Lebih lanjut ketentuan Pasal 4 Konvensi CEDAW menyebutkan bahwa untuk mengatasi kesenjangan antara perempuan dan laki-laki dilakukan melalui tindakan khusus sementara (affirmative action) untuk mengejar ketertinggalan agar tercapai kesetaraan. Dalam konteks politik, tindakan afirmatif dilakukan untuk mendorong agar jumlah keterwakilan perempuan di legislatif semakin representatif. Untuk meningkatkan keterwakilan perempuan dibutuhkan perangkat peraturan perundang-undangan yang dapat menjamin proses politik yang dapat memastikan keterwakilan perempuan di legislatif dalam semua tingkatan. Kebijakan afirmasi (affirmative action) terhadap perempuan dalam bidang politik telah dimulai sejak disahkannya UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD. Peningkatan keterwakilan perempuan berusaha dilakukan dengan cara mencantumkan rumusan agar partai politik peserta Pemilu memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% di dalam mengajukan calon anggota DPR, dan DPRD. Pasal 65 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD menyatakan: „ Setiap Partai Politik Peserta Pemilu dapat mengajukan calon Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap Daerah Pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%.” Walaupun kebijakan affirmasi telah diakomodir dalam ketentuan UU Nomor 12 Tahun 2003, namun ketentuan tersebut belum dapat menjamin partai politik memenuhi kuota 30% dalam mengajukan calon anggota DPR maupun DPRD, karena Pasal 65 ayat (1) tidak secara tegas mengharuskan pemenuhan kuota tersebut. Hal ini terbukti berdampak langsung pada keterwakilan perempuan di DPR yang hanya berjumlah + 12%. Jelang Pemilu selanjutnya, kebijakan affirmatif ini semakin disempurnakan, yakni dengan mencabut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 yang diganti dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 20 Ibid. 600 Mendorong Keterwakilan Perempuan Di ... tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD. Pasal 53 UU Pemilu Nomor 10 Tahun 2008 menyatakan: Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud pada Pasal 52 memuat paling sedikit 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan . Ketentuan pada Pasal 52 mengatur mengenai daftar bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota yang ditetapkan oleh partai politik peserta Pemilu. Dengan demikian, affirmative action keterwakilan perempuan dalam daftar bakal calon dilakukan tidak hanya untuk DPR, tetapi berlaku juga untuk DPRD Provinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota. Lebih lanjut ketentuan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 juga mengatur dalam affirmative action terdapat penerapan setiap 3 (tiga) bakal calon terdapt sekurang-kurangnya 1 (satu) orang perempuan (zipper system). Pasal 55 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 menyatakan: Di dalam daftar bakal calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap 3 (tiga) orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1 (satu) orang perempuan bakal calon . Pada ayat (1) mengatur bahwa nama-nama calon dalam daftar bakal calon disusun berdasarkan nomor urut. Namun ketentuan zipper system tersebut menjadi tak bermakna ketika Mahkamah Konstitusi (MK) memutus bahwa Pasal 214 huruf a sampai e dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 mengenai penetapan caleg dengan sistem nomor urut dinyatakan bertentangan dengan UUDNRI Tahun 1945 dan karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Akibatnya, Pemilu 2009 harus menggunakan sistem suara terbanyak tidak berdasarkan nomor urut. Sebagai salah satu bentuk jaminan agar partai politik melaksanakan affirmative action terhadap bakal calon anggota DPR dan DPRD tersebut pada Pasal 66 ayat 2 UU No. 10 Tahun 2008 dinyatakan: “KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota mengumumkan persentase keterwakilan perempuan dalam daftar calon tetap partai politik masingmasing pada media massa cetak harian nasional dan media massa elektronik nasional”. Ketentuan ini juga tidak secara tegas mengharuskan Partai Politik untuk memenuhi kuota 30% daftar calon anggota DPR maupun DPRD, sehingga rumusan demikian menjadi salah satu penghambat dalam memenuhi keterwakilan perempuan di DPR maupun DPRD. Pada tanggal 11 Mei 2012 telah diundangkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum anggota DPR, DPD dan DPRD sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008, namun di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 rumusan mengenai kebijakan affirmatif dalam penetapan daftar calon anggota DPR dan DPRD 601 Vol. 9 No. 4 - Desember 2012 tidak mengalami perubahan. Pasal 55 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 menyebutkan: “Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 memuat paling sedikit 30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan”. Ketentuan pada Pasal 53 mengatur mengenai daftar bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota yang ditetapkan oleh partai politik peserta Pemilu. Selanjutnya ketentuan Pasal 56 ayat (2) dinyatakan: “Di dalam daftar bakal calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap 3 (tiga) orang bakal calon terdapat sekurangkurangnya 1 (satu) orang perempuan bakal calon.” Pada ayat (1) mengatur bahwa nama-nama calon dalam daftar bakal calon disusun berdasarkan nomor urut. Dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 2012 ini juga diatur kewenangan KPU, KPU Provinsi maupun KPU Kabupaten Kota untuk mengumumkan persentase kuota 30% keterwakilan perempuan dalam daftar calon anggota DPR maupun DPRD. Pasal 68 ayat (2) menyebutkan: KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota mengumumkan persentase keterwakilan perempuan dalam daftar calon tetap partai politik masingmasing pada media massa cetak harian nasional dan media massa elektronik nasional. Rumusan kebijakan affirmatif yang terdapat dalam UU Nomor 8 Tahun 2012 dapat dikatakan sebagai rumusan yang tidak tegas, karena masih tetap bersifat tidak mengharuskan partai politik melaksanakan ketentuan tersebut. Sanksi yang diberikan hanya berupa sanksi moral yaitu dengan memberikan kewenangan kepada KPU, KPU Provinsi maupun KPU Kabupaten/Kota untuk mengumumkan persentase keterwakilan 30% perempuan dalam daftar calon anggota legislatif, sehingga peraturan ini berpotensi diabaikan oleh partai-partai politik yang didominasi oleh laki-laki, hal ini berdampak pada keterwakilan perempuan di lembaga legislatif tetap tidak akan mengalami kemajuan yang berarti dan pada akhirnya akan sulit melahirkan kebijakankebijakan yang berperspektif gender. E. Penutup Tindakan afirmatif diperlukan agar keterwakilan perempuan di lembaga legislatif segera terwujud. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 belum menunjukkan ketegasan dalam mendorong pemenuhan kuota 30% keterwakilan Perempuan dalam daftar calon anggota DPR maupun DPRD, untuk itu perlu diupayakan penataan Peraturan PerundangUndangan Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD melalui pencantuman sanksi yang lebih konkrit dan tegas seperti diskualifikasi terhadap Partai politik yang tidak memenuhi kuota 30 persen keterwakilan perempuan 602 Mendorong Keterwakilan Perempuan Di ... dalam daftar calon anggota DPR maupun DPRD. Dengan lebih banyak keterwakilan perempuan di lembaga legislatif, diharapkan akan lahir kebijakan-kebijakan yang lebih responsif gender. 603 Vol. 9 No. 4 - Desember 2012 Daftar Pustaka Edmund Burke, Reflection on the Revolution in France, ed. Conor Cruise O’Brien, London, 1968 H.L.A. Hart, Essays on Bentham, Oxford University Press, London, 1982Jack Donnely, Universal Human Rights in Theory and Practice, Cornell University Press, Ithaca and London, 2003 Jeremy Bentham, Supply Without Burden or Escheat Vice Taxation, dikutip dari Hart, Essays on Bentham, Oxford University Press, London, 1982. Jimly Asshiddiqie, Hak Konstitusional Perempuan dan Tantangan Penegakannya, Makalah disampaikan pada acara Dialog Publik dan Konsultasi Nasional Komnas Perempuan “Perempuan dan Konstitusi di Era Otonomi Daerah: Tantangan dan Penyikapan Bersama”. Jakarta, 27 Nopember 2007 Kementerian Hukum dan HAM RI, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak dan Kementerian Dalam Negeri, Parameter Kesetaraan Gender dalam Pembentukan Peraturan Perundangundangan, Jakarta-2011 L.M. Gandhi Lapian, Disiplin Hukum yang Mewujudkan Kesetaraan dan Keadilan Gender, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta 2012 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT.Gramedia PustakaUtama, Jakarta, 2008 h t t p : / / w w w . k a b a r i n d o n e s i a . c o m / berita.php?pil=20&jd=Sumut+Contoh+Kesetaraan+Gender&dn=20120416160321 http://id.m.wikipedia.org/wiki/pengarusutamaan_gender 604 BATAS USIA DEWASA SESEORANG DALAM MELAKUKAN PERBUATAN HUKUM BERDASARKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN (ADULT AGE LIMITS SOMEONE IN DOING AN ACTION UNDER THE RULE OF LAW LEGISLATION) Zaelani * (Naskah diterima 16/11/2012, disetujui 23/11/2012) Abstrak Peraturan perundang-undangan dapat mengatur dan memberikan batasan pengertian terhadap suatu istilah, sebagaimana diatur dalam lampiran Pasal 104 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, pengertian suatu istilah dapat diatur berbeda dan berlaku terbatas pada peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, perbedaan pengertian suatu istilah hendaknya dimaknai bukan merupakan pengertian yang bertentangan melainkan merupakan penyempurnaan dalam rangka menyesuaikan dengan konteks materi muatan peraturan perundang-undangan yang sedang disusun. Penentuan batas usia minimal seseorang dinyatakan cakap berkompentensi dan berwenang melakukan perbuatan hukum, yang diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan dengan pengaturan berbedabeda, hal ini diatur berbeda-beda untuk memberikan perbedaan dan pembatasan kewenangan seseorang dalam melakukan perbuatan hukum. Batasan usia seseorang untuk dapat bertindak perlu persamaan persepsi dan pemahaman bersama, agar perbuatan hukum yang dilakukan menjadi sah berdasarkan peraturan perundang-undangan. Kata kunci: batas usia dewasa seseorang, berbeda satu dengan yang lain di berbagai peraturan Abstract Legislation to regulate and give meaning to a term limit, as set forth in Annex Article 104 of Law No. 12 of year 2011 on the establishment of legislation, the definition of a term can be set differently and the effect is limited to the legislation in question , the difference in the sense of a term should not be interpreted to the contrary sense but a refinement in order to adapt to the context of the substance of the legislation that is being drafted. Determination of the minimum age a person is declared competent authorities berkompentensi and legal actions, it is stipulated in various laws * Perancang Pertama Peraturan Perundang-undangan rangkap Kepala Seksi Penerbitan, Subdit. Publikasi, Dit. Pengundangan, Publikasi dan Kerja Sama Peraturan Perundang-undangan. 605 Vol. 9 No. 4 - Desember 2012 with different settings, this set different restrictions to make a difference and someone in authority to take legal actions. Age limit a person needs to be able to act with the same perception and understanding, in order to do a legal act illegal under legislation. Keywords: limit one’s adulthood, different from one another in a variety of regulatory A. Pendahuluan Peraturan perundang-undangan merupakan perangkat hukum yang mempunyai posisi strategis dalam pemerintahan dan negara. Dalam suatu negara berdaulat peraturan perundang-undangan mempunyai peran penting dalam merekayasa masyarakat. Indonesia sebagai negara hukum segala aspek kehidupan dilaksanakan berdasarkan pada hukum. Hukum merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan bermasyarakat, bernegara dan berbangsa. Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU 12/2011) di dalamnya ditentukan bahwa: Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan. UU 12/2011 yang telah disahkan pada tanggal 12 Agustus 2011 sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 yang dalam perkembangannya terdapat beberapa kelemahan, antara lain banyak menimbulkan kerancuan atau multitafsir sehingga tidak memberikan suatu kepastian hukum, teknik penulisan yang tidak konsisten. UU 12/2011 memberikan penuntun (guider) dalam pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Peraturan Perundang-undangan di Indonesia sering mencantumkan bermacam-macam mengenai penggunaan istilah, penggunaan suatu istilah dengan pembatasan pengertian berlaku hanya dalam suatu Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan, hal ini membuat banyak pembentuk Peraturan Perundang-undangan membuat istilah-istilah yang berbeda namun mempunyai makna yang sama, dan ada pula pengistilahan yang sama namun pengertiannya berbeda. UU 12/2011 memberikan kebebasan kepada pembentuk peraturan perundang-undangan menggunakan pembatasan pengertian dari suatu istilah, hal ini sebagaimana dimaksud dalam lampiran II UU 12/2011 Nomor 104, yang menyatakan sebagai berikut: 606 Batas Usia Dewasa Seseorang dalam Melakukan ... 104. Rumusan batasan pengertian dari suatu Peraturan Perundangundangan dapat berbeda dengan rumusan Peraturan Perundangundangan yang lain karena disesuaikan dengan kebutuhan terkait dengan materi muatan yang akan diatur.1 Dengan demikian, pembentukan peraturan perundang-undangan bebas dalam menentukan makna/batasan pengertian suatu kata atau istilah berdasarkan peraturan perundang-undangan, seperti makna/ batasan pengertian suatu kata atau istilah berdasarkan peraturan yang akan mengaturnya seperti batas usia dewasa seseorang dalam peraturan perundang-undangan yang pengaturannya berbeda-beda. Hal ini perlu persamaan persepsi mengenai penentuan batas usia seseorang, terutama menentukan kecakapan dan kompetensi seseorang yang boleh atau tidak boleh bertindak melakukan perbuatan hukum. B. Pembahasan B.1. Batasan Pengertian Peraturan perundang-undangan mencantumkan mengenai definisi atau batasan pengertian yang di masukan dalam bab Ketentuan Umum (Bab I). Ketentuan umum merupakan bagian yang mempunyai kedudukan penting dari setiap peraturan perundang-undangan, sekaligus wadah untuk membuat batasan pengertian, definisi, istilah, akronim dan singkatan yang dipergunakan oleh peraturan perundang-undangan yang bersangkutan dalam pasal-pasalnya yang pemakaiannya lebih dari satu kali penggunaan. Banyak peraturan perundang-undangan memberikan batasan pengertian terhadap suatu istilah yang berlaku terbatas dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Ketentuan Umum dalam suatu peraturan perundang-undangan dapat memuat lebih dari satu Pasal pengaturan, sebagaimana dinyatakan dalam Bagian Lampiran II Nomor 97, yaitu sebagai berikut: 97. Ketentuan Umum dapat memuat lebih dari satu pasal.2 Meskipun undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 memberikan kesempatan untuk membuat ketentuan umum dapat lebih dari satu 1 Lampiran II Nomor 104 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan, Jakarta, 2011. 2 Ibid Nomor 97. 607 Vol. 9 No. 4 - Desember 2012 pasal, namun pada kenyataannya peraturan perundang-undangan mengatur mengenai ketentuan umum hanya dalam satu pasal. Pembatasan pengertian, istilah, akronim dan singkatan, sebagaimana dimuat dalam Ketentuan Umum, dapat dimaknai dan berlaku terbatas yang berlaku dan berkaitan dengan pengaturan dalam Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan. Selain itu pembatasan pengertian tersebut dibenarkan oleh Undang-Undang, hal ini dapat berbeda dengan Peraturan Perundang-undangan lain. Hal ini sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Bagian Lampiran II UU 12/2011, membenarkan adanya perbedaan tersebut, pembatasan pengertian disesuaikan dengan kebutuhan dan terkait dengan materi muatan yang akan diatur. Penggunaan istilah yang berbeda-beda dalam suatu peraturan perundang-undangan, pada dasarnya disesuaikan dengan konteks atau materi muatan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berangkutan. Namun pembentuk peraturan perundang-undangan juga harus melakukan harmonisasi dengan peraturan perundang-undangan lain, terutama terkait dengan batasan pengertian. Selain itu Indonesia belum memiliki peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pembakuan istilah dalam pembentukan peraturan perundangundangan dan belum memiliki grossery (kamus istilah), karena dalam grossery berisi himpunan istilah-istilah yang akan dipergunakan dalam peraturan perundang-undangan sebagai pedoman dalam penggunaan istilah-istilah. Grossery ini penting karena dalam setiap peraturan perundang-undangan yang akan dibuat harus mengacu kepada kamus istilah tersebut, karena sudah dianggap baku sehingga istilah yang dipergunakan dalam semua peraturan perundang-undangan mempunyai pengertian yang sama antara satu peraturan perundang-undangan dengan peraturan perundang-undangan lainnya. Salah satu negara yang telah memiliki kamus istilah (grosser), yaitu Australia yang disebut interpresent act yaitu peraturan perundangundangan yang berisi istilah-istilah yang akan dipergunakan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, sehingga para pembentuk peraturan perundang-undangan ketika akan menggunakan istilah mereka dapat melihat pada interpresent act, yang akan menjadi panduan (gaider) bagi para pembentuk peraturan perundang-undangan. 608 Batas Usia Dewasa Seseorang dalam Melakukan ... B.2. Pengaturan Batas Usia Dewasa Seseorang yang Beragam Di Indonesia, para pembentuk peraturan perundang-undangan dapat dengan leluasa mengatur dalam norma/materi muatan peraturan perundang-undangan, khususnya dalam pemakaian suatu istilah, baik dalam memberikan pengertian suatu istilah seperti antara lain pengertian “hari”, pengertian “orang”. Namun dalam tulisan ini hanya dibahas perbedaan perumusan mengenai pengertian penentuan batas usia dewasa seseorang dalam melakukan perbuatan hukum berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Penentuan batas usia seseorang dinyatakan dewasa dalam melakukan perbuatan hukum, dibatasi pada tinjauan hukum peraturan perundang-undangan, Keputusan Kasasi Mahkamah Agung yang dijadikan Yurisprudensi dan Keputusan Pengadilan Negeri. Sebagian masyarakat Indonesia terhadap anaknya yang akan memasuki usia dewasa merupakan suatu prestasi yang kerapkali dirayakan karena merupakan momen penting bagi remaja, yang umumnya kreteria dewasa dinyatakan pada perayaan ulang tahun ke 17 (tujuh belas) tahun, karena pada usia tersebut anak yang bersangkutan dianggap telah dewasa dan dapat bertanggung jawab terhadap diri sendiri dan perbuatannya. Pada usia 17 tahun seseorang anak telah menjadi remaja dan yang bersangkutan sudah memenuhi syarat berhak untuk memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) sebagai indentitas diri, dengan memiliki KTP remaja yang bersangkutan dapat bertindak sendiri melakukan perbuatan hukum, antara lain membuka rekening tabungan dan melakukan perbuatan hukum lain di bank. Selain itu, yang bersangkutan dapat memohon pembuatan surat izin mengemudi (SIM) sehingga dapat mengendarai kendaraan bermotor. Seseorang yang telah memiliki KTP dapat bertindak untuk diri sendiri atau dapat sebagai kuasa dari orang lain untuk mewakili kepentingan orang lain melakukan perbuatan hukum atas nama pemberi kuasa. Selain itu, seseorang yang telah memiliki KTP dapat bertindak untuk diri sendiri dengan menghadap Notaris atau Pejabat lain melakukan perbuatan hukum. Penentuan batas usia dewasa seseorang merupakan hal yang penting karena akan menentukan sah tidaknya seseorang bertindak melakukan perbuatan hukum dan kecakapan seseorang melakukan perbuatan hukum. Hal tersebut ditentukan oleh undang-undang, jika perjanjian dilaksanakan oleh orang yang tidak memenuhi syarat, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum 609 Vol. 9 No. 4 - Desember 2012 Perdata, yaitu sebagai berikut: Syarat-syarat Terjadinya Suatu Persetujuan yang Sah Pasal 1320 Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat; 1. kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya; 2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3. suatu pokok persoalan tertentu; 4. suatu sebab yang tidak terlarang.3 Perjanjian yang dilakukan oleh orang atau pihak-pihak yang tidak memenuhi persyaratan dari sisi batas usia para pihak atau salah satu pihak yang akan membuat perjanjian, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan, oleh karena itu batas usia seseorang untuk dapat melakukan perjanjian menjadi penting, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata telah mengatur batas usia dewasa seseorang, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 330, yaitu sebagai berikut: Pasal 330 Seseorang dianggap sudah dewasa jika sudah berusia 21 tahun atau sudah(pernah) menikah.4 Perbuatan hukum yang berkaitan dengan perjanjian hanya dapat dilakukan oleh pihak-pihak yang melakukan perjanjian harus memenuhi persyaratan batas usia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut di atas. Banyak perbuatan hukum yang berkaitan dengan perjanjian, dan seharusnya tunduk kepada asas hukum perjanjian, seperti antara lain: - Mendirikan perseroan terbatas; - Melaksanakan Jual beli harta tetap ( tanah); - Menjaminkan bidang tanah kepada bank. - Melakukan pembukaan rekening tabungan, atau rekening koran; - mendepositokan uang di bank; 3 4 Kitab undang-Undang Hukum Perdata, Wibesite Hukumonline, Jakarta, 2012. Ibid Pasal 330 Undang-Undang Hukum Perdata, wibesite hukum online. Jakarta, Tahun 2012. 610 Batas Usia Dewasa Seseorang dalam Melakukan ... - Melakukan perjanjian kredit di bank; - Melakukan gadai barang; - Melakukan perikatan pernikahan. Perbuatan hukum tersebut di atas, mempunyai batas usia orang yang dapat melakukannya harus tunduk pada usia dewasa yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dan jika seseorang belum memenuhi batas usia minimum yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan, maka yang bersangkutan dalam melakukan perbuatan hukum tersebut dibantu oleh walinya atau dibantu oleh orang tuanya. Dalam praktik ternyata tidak semua perbuatan hukum yang berkaitan dengan perjanjian dilaksanakan tunduk pada batas usia minimum seseorang dapat melakukan perbuatan hukum tersebut, seperti perbuatan hukum perjanjian, antara lain pembukaan rekining tabungan, rekening koran, dan pembuatan deposito, persyaratannya hanya yang bersangkutan sudah memiliki KTP maka orang tersebut dianggap sudah dewasa, sehingga dapat menjadi subjek hukum, sehingga dapat dimaknai bahwa untuk perbuatan hukum tersebut, seseorang dianggap dewasa pada usia 17 (tujuh belas) tahun. B.3. Kesepahaman Pelayanan Berdasarkan Undang-Undang Pemerintah Kementerian dan Lembaga Nonkemeterian hendaknya mempunyai pemahaman yang sama dalam melayani dan mempunyai persamaan persepsi mengenai batas usia cakap seseorang dengan melaksanakan ketentuan Pasal 330 Undang-Undang Hukum Perdata, ketika permohonan pengesahan perseroan terbatas yang diajukan oleh para pendiri persoroan terbatas namun para pendiri belum berusia 21 (dua puluh) tahun namun telah menikah atau pernah menikah dapat dinyatakan telah dewasa, karena sesuai dengan bunyi ketentuan Pasal 330 ditegaskan bahwa usia batas dewasa seseorang adalah jika telah berumur 21 (dua puluh satu) tahun namun ada pengecualian yaitu jika seseorang orang yang bersangkutan sudah melangsungkan perkawinan, namun dalam praktik pengecualian tersebut diabaikan, dan hanya berpedoman kepada usia belaka. B.4. Batas Usia Dewasa Berdasarkan Undang-Undang. a. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang telah diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1. Dalam Bab II Syarat-syarat Perkawinan, 611 Vol. 9 No. 4 - Desember 2012 dalam Pasal 6 aya (2) menyatakan: Pasal 6 (2) untuk melangsungkan Perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin dari kedua orang tua.5 Lebih lanjut dalam Undang-Undang tersebut diatur mengenai kebolehan untuk melakukan perkawinan, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2), yang menyatakan sebagai berikut: Pasal 7 (1) Perkawinan diizinkan bila pihak pria mencapai umur 19 (Sembilan belas) tahun dan pihak wanita telah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. (2) Dalam hal penyimpangan dalam ayat (1) dalam pasal ini, dapat minta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang diminta oleh kedua orang tua pihak pria atau pihak wanita.6 Undang-Undang tersebut mengatur ketentuan batas usia minimal seseorang dapat melangsungkan perkawinan, karena bunyi ketentuan Pasal 6 ayat (2) tersebut tidak tegas sehingga tidak memberikan kepastian hukum mengenai ketentuan atas usia seseorang dapat melaksanakan perkawinan, ketentuan tersebut dapat ditafsirkan halhal sebagai berikut: 1. Seseorang yang akan melaksanakan perkawinan jika yang bersangkutan telah berusia 21(dua puluh satu) tahun, dapat melaksanakan perkawinan tanpa harus telebih dahulu memperoleh izin dari kedua orang tua; 2. Perkawinan dapat dilaksanakan oleh seseoang, dengan ketentuan bahwa yang bersangkutan telah berumur, bagi seorang laki-laki telah mencapai umur paling sedikit 19 (Sembilan belas) tahun dan seorang perempuan telah mencapai umur minimal 16 (enam belas) tahun. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Website Yayasan Peduli Anak Negeri, Tahun 2012. Ibid. 5 6 612 Batas Usia Dewasa Seseorang dalam Melakukan ... b. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, berlaku sejak tanggal 22 Oktober 2002, telah mengatur mengenai definisi pengertian dari anak, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 1, yaitu sebagai berikut: Pasal 1 1. c. anak adalah seseorang yang belum berusia 18(delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.7 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, mengatur mengenai batas usia seseorang dinyatakan dewasa, dapat melakukan pembuatan akta notarial dan bertindak sendiri tanpa harus diwakili oleh orang tua atau walinya, hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 39 ayat 1 yang menyatakan bahwa: Pasal 39 1. Penghadap harus memenuhi syarat sebagai berikut: a. Paling sedikit berusia 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah; dan b. Cakap melakukan perbuatan hukum8 Berkaitan dengan batas usia seseorang yang berkopemtensi melakukan perbuatan hukum bertindak untuk diri sendiri atau sebagai penerima kuasa dari orang yang memberikan kuasa, dengan menghadap seorang pejabat publik, Notaris. d. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, diundangkan dalam Lembaran Negara republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756. Undang-Undang ini menyatakan pada bagian Ketentuan Umum, dalam Pasal 1 nomor 1, yaitu sebagai berikut: Pasal 1 1. Perseroan Terbatas, yang selanjutnya disebut Perseroan, adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, 7 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, website Ditjen Peraturan Perundang-undangan, Jakarta, Tahun 2012 8 Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Ditjen Peraturan Perundangundangan, Jakarta tahun 2012. 613 Vol. 9 No. 4 - Desember 2012 didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam UndangUndang ini serta peraturan pelaksanaannya.9 Ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 maupun dalam ketentuan pelaksanaannya tidak mengatur secara tegas mengenai batas usia seseorang dinyatakan cakap untuk dapat melakukan perbuatan hukum mendirikan perseroan terbatas. Ketentuan mengenai batas usia seseorang dinyatakan berkopetensi mendirikan perseroan terbatas hanya tersirat yaitu dapat terlihat dalam Bagian Ketentuan Umum, sebagaimana tersebut di atas, yang menyatakan bahwa perseroan terbatas didirikan berdasarkan perjanjian. Berdasarkan definisi/pengertian perseroan terbatas sebagaimana tersebut dalam Pasal 1 menyatakan bahwa perseroan terbatas didirikan berdasarkan asas perjanjian, dan dalam penjelasan mengenai ketentuan Pasal 1 ayat (1) disebutkan cukup jelas. Maka berdasarkan asas tersebut, maka batas usia seseorang dapat menghadap notaris mendirikan perseroan terbatas sebagai pemegang saham perseroan dan untuk diangkat menjadi pengurus baik Direktur maupun Komisaris perseroan terbatas, harus tunduk kepada ketentuan hukum dan asas-asas perjanjian. Ketentuan asas-asas syarat sahnya persetujuan atau perjanjian mengacu kepada ketentuan Undang-Undang Hukum Perdata Bagian 2 sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 mengenai syarat-syarat terjadinya suatu Persetujuan yang sah, yaitu sebagai berikut: Pasal 1320 Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat; 1. kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya; 2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3. suatu pokok persoalan tertentu; 4. suatu sebab yang tidak terlarang.10 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Ditjen Peraturan Perundangundangan, Jakarta, tahun 2010 Undang-Undang Hukum Perdata, hasil unduh dari Hukumonline.com, Jakarta, tahun 2012 9 10 614 Batas Usia Dewasa Seseorang dalam Melakukan ... Dalam Pasal 1320 angka 2 menyebutkan tentang seseorang yang dapat membuat persetujuan yaitu Undang-Undang Perdata tersebut. Dalam substansi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tidak mengatur secara jelas dan rinci mengenai hal tersebut mengenai seseorang untuk dapat mendirikan perseroan terbatas. Mengenai perbuatan hukum seseorang dianggap dewasa ternyata terdapat perbedaan, antara satu undang-undang dengan undang-undang, hal ini perlu penjelasan mengenai batas usia seseorang dianggap cakap untuk melakukan perbuatan hukum. B.5. Pengaturan Batas Usia Dewasa Seseorang Selain Undang-Undang Pengaturan mengenai batas usia dewasa seseorang tidak hanya diatur dalam peraturan perundang-undangan, melainkan diatur pula dalam Keputusan Mahkamah Agung Republik Indonesia, yang dijadikan Yurisprudensi, yaitu: a. Dalam kasasi di Mahkamah Agung Republik Indonesia dengan Keputusan Nomor 477/K/ Sip./1976 tanggal 2 November 1976, majelis hakim Mahkamah Agung membatalkan Keputusan Pengadilan Tinggi dan mengadili sendiri, dalam amarnya majelis hakim memutuskan bahwa ayah berkewajiban untuk memberian nafkah kepada anak hasil perkawinan yang putus tersebut sampai anaknya berumur 18 tahun. Majelis hakim berpendapat bahwa batasan umur anak yang berada di bawah kekuasaan orang tua atau perwalian ialah 18 tahun, bukan 21 Tahun. Dengan demikian, dalam umur 18 tahun, seseorang telah dianggap mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya, dan karenanya menjadi cakap untuk berbuat dalam hukum. Keputusan ini tepat, mengingat Pasal 47 dan 50 UU No. 1 Tahun 1974 mengatur bahwa seseorang yang berada di bawah kekuasaan orang tua atau perwalian adalah yang belum berumur 18 tahun. b. Putusan Pengadilan Negeri Palembang No. 96/1973/PN.Plg tanggal 24 Juli 1974 jis. Putusan Pengadilan Tinggi Sumatera Selatan di Palembang No. 41/1975/PT.PERDATA tanggal 14 Agustus 1975 (hal. 143), dalam amarnya majelis hakim memutuskan bahwa ayah berkewajiban untuk memberikan nafkah kepada anak hasil perkawinan yang putus tersebut sampai anaknya berumur 21 tahun. Dalam hal ini, majelis hakim berpendapat bahwa seseorang yang belum berumur 21 tahun dianggap masih di bawah umur atau belum dewasa sehingga ayahnya berkewajiban untuk 615 Vol. 9 No. 4 - Desember 2012 menafkahinya sampai anak tersebut berumur 21 tahun, suatu kondisi di mana anak tersebut telah dewasa, dan karenanya telah mampu bertanggung jawab penuh dan menjadi cakap untuk berbuat dalam hukum. c. Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Timur No. 1 15/Pdt.P/2009/ PN. Jaktim Tanggal 17 Maret 2009 (hal. 145). Hakim menggunakan pertimbangan bahwa batasan umur dewasa seseorang untuk cakap bertindak secara hukum mengacu pada Pasal 47 ayat (1) dan (2) UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Dengan mendasarkan pada Pasal 47 ayat (1) dan (2) UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan menunjukkan bahwa hakim berpendapat batasan umur yang digunakan sebagai parameter untuk menentukan kecakapan untuk berbuat dalam hukum adalah telah berumur 18 tahun.11 Berkaitan dengan batas usia seseorang yang berkopemtensi melakukan perbuatan hukum bertindak untuk diri sendiri atau sebagai penerima kuasa dari orang yang memberikan kuasa, dengan menghadap seorang pejabat publik, Notaris. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, yang berlaku sejak tanggal 6 Oktober 2004, telah mengatur mengenai batas usia dan orang yang dapat menghadap seorang Notaris, sebagaimana dimuat dalam Pasal 39 ayat (1), yaitu sebagai berikut : Pasal 39 Penghadap harus memenuhi syarat sebagai berikut: a. Paling sedikit berusia 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah; dan b. Cakap melakukan perbuatan hukum.12 B.6. Tabel Daftar Peraturan Perundang-undangan Pengaturan Batas Usia Dalam rangka memberikan gambaran mengenai pengaturan batas usia seseorang dinyatakan cakap melakukan perbuatan hukum, berikut ini dapat dilihat dalam tabel mengenai pengaturan batas usia seseorang Diana Kusumasari, website Hukumonline, Jakarta, Tahun 2012. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Ditjen Peraturan Perundangundangan, Jakarta, tahun 2010. 11 12 616 Batas Usia Dewasa Seseorang dalam Melakukan ... berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, yaitu sebagai berikut : 617 Vol. 9 No. 4 - Desember 2012 C. Penutup 1. Kesimpulan: Berdasarkan hasil uraian tersebut di atas mengenai pengaturan batas usia seseorang seseorang dinyatakan telah dewasa dan cakap melakukan perbuatan hukum berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, kiranya dapat disimpulkan sebagai berikut: a. Ternyata pengaturan mengenai batas usia seseorang dapat melakukan perbuatan hukum banyak peraturan perundangundangan pengaturan berbeda-beda, hal ini dapat ditemukan dalam Undang-Undang, Keputusan Mahkamah Agung dan Keputusan Pengadilan Negeri; b. Banyak para insan hukum memaknai berbeda-beda mengenai batas usia dewasa seseorang, berdasarkan asas lex apriori derogat lex posteori yaitu peraturan perundang-undangan yang dibentuk kemudian mengenyampingkan peraturan perundang-undangan yang sebelumnya; c. Pengaturan berbeda-beda dalam berbagai peraturan perundangundangan mengenai batas usia seseorang dapat melakukan perbuatan hukum, harus dimaknai sebagai kecakapan seseorang untuk melakukan perbuatan hukum tertentu. d. Perbedaan pengertian dari suatu istilah yang dimaksud oleh UU No. 12 Tahun 2011 adalah bukan perbedaan yang bertentangan, melainkan perbedaan yang menyempurnakan disesuaikan dengan substansi/materi muatan perundang-undangan yang bersangkutan. 618 Batas Usia Dewasa Seseorang dalam Melakukan ... 2. Saran: a. Hendaknya ditingkatkan harmonisasi pengaturan khususnya mengenai batas usia dewasa seseorang dapat melakukan perbuatan hukum berdasarkan peraturan perundang-undangan; b. Perlu pembentukan kamus istilah hukum peraturan perundangundangan, agar para penyusun peraturan perundang-undangan memiliki panduan; c. Perlu sosialisasi guna menyamakan persepsi dan kesepahaman para pemangku kepentingan, praktisi hukum, dan masyarakat, dalam memaknai peraturan perundang-undangan. Pemerintah dan Lembaga Nondepartemen lebih memahami terhadap peraturan perundang-undangan dalam memberikan pelayanan hukum kepada masyarakat; d. Kiranya sudah saatnya dilakukan penyelarasan konsepsi dan penyamaan pandangan terhadap pembentukan peraturan perundang-undangan, rancangan peraturan perundang-undangan inisiatif Pemerintah dan Rancangan Undang-Undang insiatif Dewan Perwakilan Rakyat. 619 Vol. 9 No. 4 - Desember 2012 Daftar Pustaka Diana Kusumasari, website Hukumonline, Jakarta, tahun 2012. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek, Staatsblad 1847 No. 23); Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan; Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan; Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak; Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak; Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan; Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia; Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang; Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas; Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi; Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan; Kompilasi Hukum Islam (Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991); SK Mendagri Dirjen Agraria Direktorat Pendaftaran Tanah (Kadaster) No. Dpt.7/539/7-77, tertanggal 13-7-1977. 620 ASPEK HUKUM PENYERTAAN MODAL NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEPADA BUMN/BUMD/BADAN HUKUM LAINNYA (LEGAL ASPECTS OF CAPITAL INVESTMENTS OF THE REPUBLIC OF INDONESIA TO BUMN /BUMD / OTHER LEGAL ENTITIES) Yanuar Syaripulloh* (Naskah diterima 16/11/2012, disetujui 23/11/2012) Abstrak Untuk mewujudkan kesejahteraan umum melalui badan usaha, Pemerintah melakukan Penyertaan Modal Negara untuk mendirikan Badan Usaha Milik Negara. Selanjutnya untuk menyelamatkan perekonomian nasional, Pemerintah dapat pula melakukan penyertaan modal Negara ke dalam Perseroan Terbatas yang di dalamnya belum terdapat saham milik Negara. Penyertaan modal Negara seperti ini dilakukan oleh Pemerintah dengan mengeluarkan dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Untuk memperbaiki struktur permodalan dan meningkatkan kapasitas usaha Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas, Pemerintah dapat pula melakukan penambahan penyertaan modal Negara ke dalam Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas tersebut yang dananya dapat berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Kata kunci : Penyertaan modal negara/daerah Abstract In order achieve common prosperity through business entities, the Government makes to establish the Investment of the State-Owned Enterprises. Furthermore, to save the national economy, the Government may also undertake equity participation in the State Limited Liability Company in which shares are not owned by the State. State equity participation as is done by the Government to release funds from the State Budget. To improve its capital structure and enhance the business capacity of State Owned Enterprises and Company Limited, Government may also undertake additional equity into the State-Owned Enterprises and Limited Liability Company with funds to come from the State Budget. Keywords: Equity countries / regions * Tenaga Fungsional Perancang Peraturan Perundang-undangan Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia. 621 Vol. 9 No. 4 - Desember 2012 A. Pendahuluan Peraturan Perundang-undangan sebagai peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan, 1 dimaksudkan untuk menjamin kepastian dan keadilan hukum serta untuk mewujudkan kesejahteraan sosial. Pendiri Negara Republik Indonesia secara jelas menginginkan Negara Republik Indonesia yang akan dibangun adalah “Negara Kesejahteraan”. Dengan aktualisasi Negara Kesejahteraan diharapkan Negara dapat mengelola kekayaan bersama untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, mencegah penguasaan kekayaan bersama oleh modal perseorangan (baik kapitalis asing maupun lokal) yang melemahkan sendi ketahanan ekonomi kolektif, mengembangkan semangat “tolong menolong” koperasi dalam setiap bentuk badan usaha serta memperkuat badan usaha koperasi bagi emansipasi golongan ekonomi kecil dan menengah. Negara kesejahteraan juga diharapkan dapat memberikan kesempatan bagi semua warga Negara untuk mengembangkan dirinya melalui akses pendidikan bagi semua, perluasan kesempatan serta jaminan sosial sebagai jaring pengaman sosial. Dalam sebuah Negara Kesejahteraan, negara bertanggung jawab dan berperan aktif dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Secara konstitusional Pasal 33 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan. Cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara. Perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.2 Tujuan akhir kegiatan usaha itu adalah untuk mencapai kemakmuran bersama dalam rangka meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakat, yang dapat dilihat dari beberapa aspek Lihat Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Peundang-undangan. lihat Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 1 2 622 Aspek Hukum Penyertaan Modal Negara ... yaitu sumber daya ekonomi sebagai pokok-pokok kemakmuran rakyat, pelaku ekonomi sebagai subjek usaha kemakmuran bersama, bentukbentuk usaha sebagai wadah pengembangan sumber kemakmuran, tujuan produksi dan pengelolaan sumber-sumber kemakmuran, dan tujuan produksi dan pengelolaan sumber kemakmuran.3 Salah satu cabang produksi dimaksud merupakan suatu bentuk dari BUMN di mana negara dapat mendirikan suatu BUMN atau melakukan pernyertaan modal negara pada perseroan yang didalamnya belum terdapat saham milik negara. Norma hukum tersebut secara jelas dituangkan dalam konstitusi, dan pengaturan mengenai penyertaan modal negara telah diatur dalam peraturan perundang-undangan, akan tetapi peraturan pelaksanaan Undang-Undang belum mampu memberikan jawaban operasional dan teknis untuk melaksanakan Undang-Undang sebagaimana mestinya. B. Resktrukturisasi Badan Usaha Milik Negara Restrukturisasi adalah upaya yang dilakukan dalam rangka penyehatan BUMN yang merupakan salah satu langkah strategis untuk memperbaiki kondisi internal perusahaan guna memperbaiki kinerja dan meningkatkan nilai perusahaan, yang bertujuan untuk:4 a. meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan; b. memberikan manfaat berupa dividen dan pajak kepada negara; c. menghasilkan produk dan layanan dengan harga yang kompetitif kepada konsumen; dan d. memudahkan pelaksanaan privatisasi. Restrukturisasi meliputi:5 a. restrukturisasi sektoral yang pelaksanaannya disesuaikan dengan kebijakan sektor dan/atau ketentuan peraturan perundangundangan; 3 Kilier haryanto, Politik Hukum Dalam Pembaruan Undang-Undang Perseroan Terbatas, (Jakarta: Indonesia Future Institute, 2007), hlm. 54. 4 Pasal 72 ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara. 5 Ibid, Pasal 73. 623 Vol. 9 No. 4 - Desember 2012 b. restrukturisasi perusahaan/korporasi yang meliputi: 1) peningkatan intensitas persaingan usaha, terutama di sektorsektor yang terdapat monopoli, baik yang diregulasi maupun monopoli alamiah; 2) penataan hubungan fungsional antara pemerintah selaku regulator dan BUMN selaku badan usaha, termasuk di dalamnya penerapan prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik dan menetapkan arah dalam rangka pelaksanaan kewajiban pelayanan publik. 3) restrukturisasi internal yang mencakup keuangan, organisasi/ manajemen, operasional, sistem, dan prosedur. Restrukturisasi sektoral terutama ditujukan kepada sektor-sektor yang mendapat proteksi di masa lalu atau terdapat monopoli alamiah. Restrukturisasi sektoral dimaksudkan untuk menciptakan iklim usaha yang sehat, sehingga terjadi kompetisi yang sehat, efisiensi, dan pelayanan yang optimal. Restrukturisasi industri tersebut berkaitan dengan pengaturan usaha (regulasi). Pembenahan dan penataan regulasi dilaksanakan bersama-sama dengan kementerian terkait. Restrukturisasi sektor dapat dilaksanakan melalui cara-cara berikut: memisahkan segmen-segmen dalam sektor untuk mengurangi integrasi vertikal sektor, peningkatan kompetisi, introduksi persaingan dari industri substitusi, pemasok lain dalam sektor yang sama, dan peningkatan persaingan pasar, serta demonopolisasi melalui regulasi.6 Untuk perusahaan-perusahaan yang memiliki kewajiban pelayanan publik, perusahaan-perusahaan ini masih dalam proses restrukturisasi. Dengan tidak mengabaikan kepentingan publik, perusahaan akan menerapkan prinsip-prinsip usaha untuk lebih meningkatkan efisiensi dan produktivitas perusahaan. Upaya ini untuk memperjelas berapa tingkat subsidi pemerintah terhadap biaya pelayanan masyarakat tersebut. Penyertaan modal Negara adalah pemisahan kekayaan Negara dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara, penetapan cadangan perusahaan, atau sumber lain untuk dijadikan sebagai modal badan usaha milik negara dan/atau Perseroan Terbatas lainnya, dan dikelola secara 6 Ibid, Penjelasan Pasal 73. 624 Aspek Hukum Penyertaan Modal Negara ... korporasi, dalam hal pemberian penyertaan modal negara/daerah terdapat beberapa kondisi yang melatarbelakanginya, di antaranya antara lain: 1. 2. 3. BUMN Sakit a. penyelamatan BUMN yang memerlukan tambahan dana tunai; b. perbaikan struktur permodalan melalui perbaikan neraca, tidak selalu pemberian dana tunai dapat dengan konversi piutang negara; BUMN Sehat a. meningkatkan kapasitas usaha; dan b. ekspansi. Rightsizing a. pengurangan jumlah BUMN untuk digrouping dengan usaha sejenis dalam rangka meningkatkan permodalan (leverage); b. BUMN yang kondisinya membutuhkan modal banyak, namun bidang usahanya dapat dilakukan oleh privat dapat dilakukan melalui mekanisme merger/akuisisi. Adapun penyertaan modal Negara ke dalam BUMN dan Perseroan Terbatas bersumber dari:7 1. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara; a. dana segar, yaitu dana yang secara langsung ditetapkan dalam APBN; b. proyek-proyek yang dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, yaitu proyek yang dikelola oleh BUMN maupun instansi Pemerintah. Penetapan proyek tersebut menjadi Penyertaan Modal Negara harus dilakukan dengan memperhatikan kebutuhan BUMN dan hasil kajian, yang nilainya ditetapkan oleh Menteri Keuangan berdasarkan hasil perhitungan yang dilakukan oleh Menteri Keuangan, Menteri dan Menteri Teknis yang bersangkutan. Dalam rangka perhitungan atas nilai aset eks proyek tersebut, Menteri 7 Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 44 tahun 2005 Tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas. 625 Vol. 9 No. 4 - Desember 2012 Keuangan dapat menunjuk penilai independen untuk melakukan penilaian dimaksud yang biayanya dibebankan kepada BUMN yang bersangkutan tanpa mengurangi nilai aset; c. piutang negara pada BUMN atau Perseroan Terbatas; dan/atau d. aset-aset negara lainnya8 yaitu apabila aset negara lainnya yang akan dijadikan Penyertaan Modal Negara belum direncanakan dalam APBN, maka pelaksanaannya harus mengikuti mekanisme APBN. Yang dimaksud dengan mekanisme APBN dalam hal ini adalah pencatatan nilai aset dimaksud dalam APBN sebagai penerimaan dan sekaligus dikeluarkan sebagai Penyertaan Modal Negara. 2. Kapitalisasi Cadangan; dan/atau 3. Sumber Lainnya yaitu keuntungan revaluasi aset (selisih revaluasi aset yang berakibat naiknya nilai aset) dan agio Saham (selisih lebih dari penjualan saham dengan nilai Nominalnya)9 Penyertaan modal Pemerintah Pusat/Daerah atas barang milik negara/ daerah dapat berupa:10 a. tanah dan/atau bangunan yang telah diserahkan kepada pengelola barang untuk barang milik negara dan gubernur/bupati/walikota untuk barang milik daerah; b. tanah dan/atau bangunan yang dari awal pengadaaannya direncanakan untuk disertakan sebagai modal pemerintah pusat/ daerah sesuai yang tercantum dalam dokumen penganggaran; c. barang milik negara/daerah selain tanah dan/atau bangunan, meliputi: 1. barang milik negara/daerah selain tanah dan/atau bangunan yang dari awal pengadaannya untuk disertakan sebagai modal pemerintah; 2. barang milik negara/daerah selain tanah dan/atau bangunan yang lebih optimal untuk disertakan sebagai modal pemerintah. Pasal 2 ayat (2) ibid. Penjelasan Pasal 2 ayat (3) ibid. Pasal 63 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/ Daerah. 8 9 10 626 Aspek Hukum Penyertaan Modal Negara ... Dalam pelaksanaan penyertaan modal negara/daerah masih terdapat permasalahan yang dihadapi yaitu mengenai batasan atau kriteria bagi BUMN/BUMD/Badan Hukum lainnya yang dapat diberikan penyertaan modal negara, apakah semua BUMN/BUMD/Badan Hukum lainnya dapat diberikan penyertaan modal negara/daerah? Begitu juga dengan barang milik negara yang akan dijadikan sebagai penyertaan modal negara yang nilainya lebih dari Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah), apakah hanya cukup dengan persetujuan DPR dan dituangkan dalam APBN? C. Pengertian Penyertaan Modal Negara Secara umum penyertaan modal adalah suatu usaha untuk memiliki perusahaan yang baru atau yang sudah berjalan dengan melakukan setoran modal ke perusahaan tersebut. Penyertaan modal negara adalah pemisahan kekayaan negara dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara, penetapan cadangan perusahaan, atau sumber lain untuk dijadikan sebagai modal badan usaha milik negara dan/atau Perseroan Terbatas lainnya, dan dikelola secara korporasi.11 Penyertaan modal Pemerintah Pusat/Daerah adalah pengalihan kepemilikan Barang Milik Negara/Daerah yang semula merupakan kekayaan yang tidak dipisahkan menjadi kekayaan yang dipisahkan untuk diperhitungkan sebagai modal/saham negara atau Daerah pada badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan hukum lainnya yang dimiliki negara.12 Penyertaan Modal adalah bentuk Investasi Pemerintah pada Badan Usaha dengan mendapat hak kepemilikan, termasuk pendirian Perseroan Terbatas dan/atau pengambilalihan Perseroan Terbatas.13 11 Pasal 1 angka 7 Peraturan Pemerintah Nomor 44 tahun 2005 Tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas. 12 Pasal 1 angka 19 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah. 13 Pasal 1 angka 4 Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Investasi Pemerintah. 627 Vol. 9 No. 4 - Desember 2012 Bank Indonesia hanya dapat melakukan penyertaan modal pada badan hukum atau badan lainnya yang sangat diperlukan dalam pelaksanaan tugas Bank Indonesia dan dengan persetujuan DPR. Penyertaan di luar badan hukum atau badan lain yang sangat diperlukan tersebut hanya dapat dilakukan apabila telah memperoleh persetujuan DPR. Dana untuk penyertaan modal tersebut hanya dapat diambil dari dana cadangan tujuan.14 Undang-Undang mengenai Badan Usaha Milik Negara menyatakan bahwa Kekayaan Negara yang dipisahkan adalah kekayaan negara yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara untuk dijadikan penyertaan modal negara pada Persero dan/atau Perum serta perseroan terbatas lainnya.15 Secara substansi penyertaan modal negara sama dengan penyertaan modal pemerintah. Istilah penyertaan modal negara yang terdapat pada Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2005 tentang Tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas, sedangkan istilah penyertaan modal pemerintah/daerah terdapat pada Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Barang Milik Negara/Daerah. Dalam undang-undang tidak ada pengertian khusus mengenai Penyertaan Modal Negara dan hanya terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2005 tentang Tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas dan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Barang Milik Negara/Daerah, dalam UndangUndang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, Kekayaan Negara Dipisahkan diterjemahkan sebagai kekayaan negara yang berasal dari APBN untuk dijadikan penyertaan modal negara pada Persero dan/atau perum serta Perseroan Terbatas lainnya. D. Pengertian BUMN dan BUMD Badan Usaha Milik Negara yang selanjutnya disebut BUMN, adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan 14 15 Pasal 64 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia. Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara. 628 Aspek Hukum Penyertaan Modal Negara ... negara yang dipisahkan, 16 yang terdiri dari perusahaan perseroan (Persero) dan perusahaan umum (Perum). Persero adalah BUMN yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51% (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh negara yang tujuan utamanya mengejar keuntungan17, dan Perum adalah BUMN yang seluruh modalnya dimiliki negara dan tidak terbagi atas saham, yang bertujuan untuk kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan sekaligus mengejar keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan.18 Perusahaan Daerah adalah semua perusahaan yang didirikan berdasarkan Undang-undang yang modal seluruhnya atau sebagiannya merupakan kekayaan daerah yang dipisahkan, kecuali jika ditentukan lain dengan atau berdasarkan Undang-Undang.19 Dengan demikian Badan Usaha Milik Daerah adalah perusahaan yang didirikan dan dimiliki oleh pemerintah daerah yang modalnya sebagian besar atau seluruhnya merupakan kekayaan daerah yang dipisahkan. E. Tujuan Penyertaan Modal Tujuan penyertaan modal negara/daerah kepada BUMN/BUMD adalah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang adil dan berkesinambungan dalam rangka mewujudkan kesejahteraan umum. Sehubungan dengan itu, penyertaan modal Negara diberikan kepada BUMN/BUMD yang dalam jangka panjang dapat:20 1. memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional pada umumnya dan penerimaan negara/daerah pada khususnya; 2. menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak; Pasal 1 angka 1 ibid. Pasal 1 angka 2 ibid. 18 Pasal 1 angka 4 ibid. 19 Pasal 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 Tentang Perusahaan Deerah. 20 AA Oka mahendra, Penyertaan Modal Negara/Daerah, (ringkasan makalah yang disampaikan dalam pendalaman materi Direktorat Harmonisai Peraturan Perundang-undangan), ditulis 30 Juli 2012. 16 17 629 Vol. 9 No. 4 - Desember 2012 3. menjadi perintis kegiatan-kegiatan usaha yang belum dapat dilaksanakan oleh sektor swasta dan koperasi; 4. turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha golongan ekonomi lemah, koperasi, dan masyarakat. Adapun dalam pelaksanaan penyertaan modal, negara/daerah dapat melakukan penyertaan modal untuk: 21 1. Pendirian BUMN/Perseroan Terbatas; 2. Penyertaan Modal Negara pada Perseroan Terbatas yang di dalamnya belum terdapat saham milik negara, yang dilakukan dalam keadaan tertentu untuk menyelamatkan perekonomian nasional; dan 3. Penyertaan Modal Negara pada BUMN atau Perseroan Terbatas yang di dalamnya telah terdapat saham milik negara, dalam rangka: a. memperbaiki struktur permodalan BUMN/Perseroan Terbatas; b. meningkatkan kapasitas usaha BUMN/ Perseroan Terbatas.22 Penyertaan modal negara tersebut dilakukan memperhatikan kemampuan keuangan Negara.23 F. dengan Prosedur Penyertaan Modal Penyertaan Modal Negara untuk pendirian BUMN atau Perseroan Terbatas dan pada Perseroan Terbatas yang di dalamnya belum terdapat saham milik negara diusulkan oleh Menteri Keuangan kepada Presiden disertai dengan dasar pertimbangan setelah dikaji bersama dengan Menteri dan Menteri Teknis yang dikoordinasikan oleh Menteri Keuangan.24 Rencana Penyertaan Modal Negara tersebut dapat dilakukan atas inisiatif Menteri Keuangan, Menteri, atau Menteri Teknis.25 Pengkajian Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 44 tahun 2005 Tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas. 22 Pasal 7 ibid. 23 Pasal 8 ibid. 24 Pasal 10 ayat (1) PP 44/2005 Tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas. 25 Pasal 10 ayat (2) ibid. 21 630 Aspek Hukum Penyertaan Modal Negara ... dapat pula mengikutsertakan menteri lain dan/atau pimpinan instansi lain yang dianggap perlu atau menggunakan konsultan independen. Keterlibatan menteri lain dan/atau pimpinan instansi lain tergantung pada kompleksitas aset yang akan dijadikan sebagai penyertaan dan penambahan penyertaan modal Negara serta keterkaitannya dengan kebijakan sektoral yang menjadi kewenangan menteri lain dan/atau pimpinan instansi lain tersebut. Apabila hasil pengkajian menyatakan rencana penyertaan modal negara tersebut layak dilakukan, maka Menteri Keuangan menyampaikan usul penyertaan modal negara dimaksud kepada Presiden untuk mendapatkan persetujuan.26 Usul Penyertaan Modal Negara dalam rangka pendirian BUMN dan Penyertaan pada Perseroan Terbatas yang di dalamnya belum terdapat saham milik negara, disampaikan oleh Menteri Keuangan kepada Presiden disertai dengan dasar pertimbangan, hasil kajian dan rancangan peraturan pemerintah tentang penyertaan modal negara. Penyertaan modal negera ke dalam modal saham Perseroan Terbatas ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah yang memuat maksud penyertaan dan besarnya kekayaan negara yang dipisahkan untuk penyertaan modal tersebut. Perubahan penyertaan modal negara, baik berupa penambahan maupun pengurangan, termasuk perubahan struktur kepemilikan negara atas saham Persero atau perseroan terbatas, ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.27 Setiap penyertaan modal negara ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah secara tersendiri. Barang milik negara/daerah yang diperlukan bagi penyelenggaraan tugas pemerintahan negara/daerah tidak dapat dipindahtangankan.28 Pemindahtanganan barang milik negara/daerah dengan cara dijual, dipertukarkan, dihibahkan, atau disertakan sebagai modal pemerintah setelah mendapat persetujuan DPR/DPRD.29 Persetujuan DPR/DPRD dilakukan untuk:30 26 27 28 29 30 Pasal 11 ibid. Pasal 4 ayat (4) ibid. Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara. Pasal 45 ayat (2) ibid. Pasal 46 ibid. 631 Vol. 9 No. 4 - Desember 2012 a. pemindahtanganan tanah dan/atau bangunan. b. tanah dan/atau bangunan tidak termasuk tanah dan/atau bangunan yang: c. 1) sudah tidak sesuai dengan tata ruang wilayah atau penataan kota; 2) harus dihapuskan karena anggaran untuk bangunan pengganti sudah disediakan dalam dokumen pelaksanaan anggaran; 3) diperuntukkan bagi pegawai negeri; 4) diperuntukkan bagi kepentingan umum; 5) dikuasai negara berdasarkan keputusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap dan/atau berdasarkan ketentuan perundang-undangan, yang tidak layak secara ekonomis jika status kepemilikannya dipertahankan. pemindahtanganan barang milik negara bukan tanah dan/atau bangunan yang bernilai lebih dari Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah), dan untuk BUMD, pemindahtanganan barang milik negara bukan tanah dan/atau bangunan yang bernilai lebih dari Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Pemindahtanganan barang milik negara bukan tanah dan/atau bangunan yang bernilai lebih dari Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) sampai dengan Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah) dilakukan setelah mendapat persetujuan Presiden. Untuk BUMD, pemindahtanganan barang milik negara bukan tanah dan/atau bangunan yang bernilai sampai dengan Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dilakukan setelah mendapat persetujuan Gubernur/Bupati/ Walikota. Pemindahtanganan barang milik negara selain tanah dan/ atau bangunan yang bernilai sampai dengan Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dilakukan setelah mendapat persetujuan Menteri Keuangan.31 31 Ibid Pasal 46. 632 Aspek Hukum Penyertaan Modal Negara ... G. Kriteria Barang Milik Negara yang dapat dijadikan Penyertaan Modal Penyertaan modal pemerintah pusat/daerah atas barang milik negara/daerah dilakukan dalam rangka pendirian, pengembangan, dan peningkatan kinerja badan usaha milik negara/daerah atau badan hukum lainnya yang dimiliki negara/daerah, dilakukan dengan pertimbangan sebagai berikut:32 a. barang milik negara/daerah yang dari awal pengadaaannya sesuai dokumen penganggaran diperuntukkan bagi badan usaha milik negara/daerah atau badan hukum lainnya yang dimiliki negara/ daerah dalam rangka penugasan pemerintah; dan b. barang milik negara/daerah yang lebih optimal apabila dikelola oleh badan usaha milik negara/daerah atau badan hukum lainnya yang dimiliki negara/daerah baik yang sudah ada maupun yang akan dibentuk. Pokok-pokok pengaturan penyertaan modal Negara dalam UndangUndang mengenai Keungan Negara antara lain: 33 a. Pemerintah dapat memberikan penyertaan modal kepada kepada perusahaan negara/daerah. b. Penyertaan modal dimaksud terlebih dahulu ditetapkan dalam APBN/APBD. c. Dalam keadaan tertentu, untuk penyelamatan perekonomian nasional, Pemerintah Pusat dapat melakukan penyertaan modal kepada perusahaan swasta setelah mendat persetujuan DPR. H. Penutup Penyertaan modal negara/daerah kepada BUMN/BUMD/Badan Hukum lainnya secara umum dipandang sebagai peran aktif negara dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat sesuai dengan prinsip Negara 32 Pasal 62 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/ Daerah. 33 Pasal 24 ayat (1), ayat (2) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. 633 Vol. 9 No. 4 - Desember 2012 Kesejahteraan. Penyertaan modal diarahkan untuk menguasai cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, serta mengelola bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan beberapa hal yang menjadi inti sari dari pembahasan pokok masalah, yaitu: 1. Batasan atau kriteria suatu BUMN dapat diberikan penyertaan modal Negara dilihat dari aspek manajemen dan prospek ekonomi yang lazim berlaku pada penyertaan modal. Pada umumnya batasan tersebut menyangkut laporan keuangan yang baik, kinerja yang baik, pelaksanakan good corporate governance yang intinya berorientasi pada pelayanan kepada stake holder, bukan sekedar kepada pemegang saham dan pemenuhan kebutuhan jangka panjang di bidang sosial dan ekonomi, maksimal penciptaan nilai perusahaan sebagai entitas ekonomi dan entitas sosial dan prospek usaha yang cukup baik atau diperlukan karena penting bagi negara dan/atau memenuhi hajat hidup orang banyak. Penyertaan modal negara/daerah harus dilakukan dengan perencanaan dan pengkajian yang mendalam agar kekayaan Negara/daerah yang dipisahkan tersebut memberikan manfaat sosial dan ekonomi untuk mewujudkan kesejahteran umum. 2. Barang milik Negara yang dijadikan penyertaan modal negara yang nilainya lebih dari Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah) harus melalui persetujuan DPR yang kemudian dituangkan dalam APBN dan selain itu terdapat kriteria ekonomi yang dijadikan pertimbangan. Namun demikian mengingat yang akan dijadikan penyertaan modal tersebut menyangkut kekayaan negara yang akan dipisahkan, maka sesuai dengan prinsip demokrasi ekonomi, maka persetujuan DPR menjadi salah satu syarat yang harus dipenuhi. Dalam memberikan persetujuan atau tidak DPR tentunya terlebih dahulu melakukan penilaian yuridis dan politis serta melakukan verifikasi tentang pemenuhan persyaratan formal dan material untuk penyertaan barang milik negara yang bernilai di atas Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah) kepada BUMN. Dokumen persetujuan dari DPR merupakan syarat penting sebagai bukti bahwa rakyat melalui wakilnya di DPR telah memberikan persetujuan dan telah melakukan fungsi kontrolnya terhadap penggunaan kekayaan Negara untuk kemakmuran rakyat. Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 menentukan 634 Aspek Hukum Penyertaan Modal Negara ... Penyertaan Modal Negara kepada BUMN terlebih dahulu ditetapkan dalam APBN. Penetapan dalam APBN ini berkenaan dengan fungsi Anggaran sebagai instrument kebijakan ekonomi yaitu untuk mewujudkan pertumbuhan dan stabilitas perekonomian serta pemerataan pendapatan dalam rangka mencapai tujuan bernegara. 635 Vol. 9 No. 4 - Desember 2012 Daftar Pustaka Haryanto, Kilier, Politik Hukum Dalam Pembaruan Undang-Undang Perseroan Terbatas, Jakarta: Indonesia Future Institute, 2007. Mahendra, Oka, AA, Penyertaan Modal Negara/Daerah, (ringkasan makalah yang disampaikan dalam pendalam materi direktorat harmonisai peraturan perundang-undangan), ditulis 30 Juli 2012. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Badan Usaha Milik Negara. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas. Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah. Peraturan Perintah Nomor 1 tahun 2008 tentang Investasi Pemerintah. 636 PERANAN APARAT PENEGAK HUKUM DALAM PELANGGULANGAN TERORISME DI INDONESIA (THE ROLE OF LAW ENFORCERS IN DEALING WITH TERRORISM IN INDONESIA) Wahyu Wiriadinata* (Naskah diterima 16/11/2012, disetujui 23/11/2012) Abstrak Saat ini, terorisme gerakan di Indonesia semakin meningkat, baik frekuensi maupun percepatan. Sudah ada undang-undang yang megatur pemberantasan kejahatan terorisme, yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003. Hukum ini telah berlaku sejak tahun 2003 dan dilaksanakan oleh penegak hukum Indonesia, khususnya Kepolisian Indonesia. Karena beberapa kendala psikologis dan teknik yuridis, penanganan kejahatan terorisme belum berhasil secara optimal. Secara umum, peran penegak hukum belum efektif dan optimal dalam mencegah terorisme di Indonesia, karena gerakan terorisme tidak hanya gerakan lokal tetapi juga jaringan internasional dengan menggunakan teknologi tinggi, dan gerakan terorisme di Indonesia didasarkan pada ideologi fundamental, yaitu Islam, sehingga tidak bisa didekati oleh paradigma represif dan pendekatan yuridis, melainkan harus dilengkapi dengan pendekatan psikologis dan sosiologis-religius. Kata kunci: Terorisme, Aparat penegak hukum Abstract Currently, terrorism movement in Indonesia is increasing, both in frequency and in acceleration. There is already a legislation that provides for the eradication of terrorism crime, i.e. Law Number 15 of 2003. The Law has been in effect since 2003 and implemented by Indonesia law enforcers, particularly Indonesia Police. Due to some psychological constraints and juridical techniques, the handling of terrorism crimes has not been successful optimally. In general, the role of law enforcers has not been effective and optimal yet in preventing terrorism in Indonesia, because terrorism movements are not only local movements but also international networks by employing high technology, and terrorism movement in Indonesia is based on a fundamental ideology, that is, Islam, so that it couldn’t be approached by a repressive paradigm and juridical approach, but rather it should be supplemented by a psychological and sociological-religious approach. Keywords: Terrorism, Law enforcers * Jaksa pada Kejaksaan Agung Republik Indonesia dan Dosen Pascasarjana Universitas padjajaran. 637 Vol. 9 No. 4 - Desember 2012 A. Pendahuluan Eksistensi teror dan terorisme di Indonesia diawali oleh suatu nuansa yang terbangun ketika penjajah Belanda yang membonceng tentara sekutu mendarat di Indonesia pada Perang Dunia II menyebut para pejuang kemerdekaan Indonesia dengan sebutan teroris atau extrimis.3 Sejak itu istilah teroris diberikan kepada sekelompok orang atau suatu komunitas yang melakukan perlawanan dan perjuangan dengan cara kekerasan phisik, khususnya dengan senjata. Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan sebagai negara merdeka yang berdaulat, istilah teroris tetap digunakan bagi kelompok atau komunitas bersenjata yang melakukan perlawanan bersenjata. Setiap gerakan bersenjata yang menimbulkan korban jiwa, oleh pemerintah Indonesia disebut sebagai teroris. Ketika terjadi peristiwa APRA (Angkatan Perang Ratu Adil) di Bandung pada 23 Januari 1950) yang dipimpin oleh Kapten Raymond Westerling, pemerintah Indonesia menyebut peristiwa itu sebagai teror yang dilakukan oleh Belanda. Sebelumnyapun, pada Desember 1946, Kapten Raymond Westerling memimpin pembantaian 40.000 rakyat Sulawesi Selatan, dan peristiwa ini dinamakan teror di Sulawesi Selatan. Tindakan teroris dilakukan juga di provinsi Maluku oleh Republik Maluku Selatan (RMS) tahun 1960an, juga gerakan teror oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM) di wilayah Irian yang dimulai sejak tahun 1960, gerakan PGRS/Paraku (Pasukan Gerilya Revolusioner Serawak/Pasukan Rakyat Kalimantan Utara) yang melakukan penyerangan pada pangkalan udara Singkawang pada 16 Juli 1957. Begitu juga tahun 1981 di Lampung Kasus Teror Warman (KTW) yang merupakan sempalan dari D.I./T.I.I dan yang paling mutakhir adalah teroris Jamaah Islamiyah dengan tokohnya Dr. Azhari dan Nurdin M. Top (Warga Negara Malaysia) serta Dulmatin dan Umar Patek, serta Amrozi, Muklas dan Imam Samudra yang merupakan para aktor intelektual kasus Bom Bali tahun 2001. Ketentuan mengenai tindak pidana terorisme di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003. Falsafah yang terkandung dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme adalah bahwa terorisme merupakan musuh umat manusia dan kejahatan terhadap peradaban. Tujuan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Di Indonesia Ekstrimis mengandung pengertian suatu tindakan atau sikap yang keras/radikal bertentangan dan berlawanan derngan kebijakan politik pemerintah. 3 638 Peranan Aparat Penegak Hukum dalam ... Pidana Terorisme adalah perlindungan masyarakat, dan mengandung paradigma tritunggal, yaitu melindungi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, Hak Asasi Manusia, dan Perlindungan Hak Asasi Tersangka. Dalam Pasal 6 dan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 dirumuskan mengenai definisi dari tindak pidana terorisme. Pasal 6 : “Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.” Pasal 7 : “Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan bermaksud untuk menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa atau harta benda orang lain, atau untuk menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis, atau lingkungan hidup, atau fasilitas publik, atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana penjara paling lama seumur hidup.” Pasal 6 merupakan delik materil sehingga harus dibuktikan akibat dari perbuatan berupa munculnya suasana teror atau rasa takut yang meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, sedangkan Pasal 7 merupakan delik formil sehingga yang harus dibuktikan adalah adanya maksud untuk menimbulkan suasana teror atau rasa takut yang meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, walaupun ancaman kekerasan atau kekerasannya belum dilakukan. Bila dilihat dari akibatnya rumusan Pasal 6 dan Pasal 7, meliputi dua macam tindak pidana yaitu: 1. Menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara 639 Vol. 9 No. 4 - Desember 2012 meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain. Rumusan tindak pidana ini menitikberatkan pada munculnya akibat, yaitu suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal dan cara yang digunakan yaitu : merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain (dalam Pasal 7 harus dibuktikan maksud untuk mencapai akibat tersebut). Yang perlu diperjelas dari rumusan ini adalah apa yang dimaksud dengan suasana teror ? Kalau yang dimaksud adalah ketakutan atau korban secara masal, seharusnya “suasana teror” tidak dimasukkan lagi karena bisa ditafsirkan secara sepihak. 2. Menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional. Rumusan ini dapat ditafsirkan menjadi tindakan sendiri karena sama-sama merupakan akibat yang ditimbulkan seperti ketakutan dan korban massal sehingga kedudukannya sejajar dalam struktur kalimat, dan tidak bisa disejajarkan dengan unsur “dengan cara”. Hal ini sangat berbahaya karena mengandung ketidakjelasan tentang perbuatan kekerasan apa sebagai caranya, serta apa yang dimaksud dengan objek vital strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, dan fasilitas internasional. Akan tetapi setelah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003, kasus-kasus terorisme masih terus berjalan dengan intensitas yang makin tinggi. Kejadian terorisme dimulai dengan peristiwa pemboman Hotel Marriot Jakarta tahun 2003, kemudian pemboman kedutaan Australia. Pada dekade terakhir intensitas kegiatan teroris makin meninggi (Cirebon, Majalengka, Bekasi dan Poso) maupun di pusat pemerintahan Jakarta. Kegiatan terorisme di Indonesia mempunyai berbagai segi yang menarik untuk dikaji. Segi politik, agama, sosial budaya dan hukum. Dalam tulisan ini akan dikaji masalah terorisme dipandang dari sudut hukum serta cara penanggulangannya. B. Pengertian dan Ciri-ciri Terorisme Kata “teroris” (pelaku) dan terorisme (aksi) berasal dari kata latin 640 Peranan Aparat Penegak Hukum dalam ... “terrere” yang artinya kurang lebih berarti membuat gemetar atau menggetarkan.4 Kata “Teror” juga bisa menimbulkan kengerian, dalam arti kengerian di hati dan pikiran korbannya. Akan tetapi, hingga kini tidak ada definisi terorisme yang bisa diterima secara universal. Pada dasarnya, istilah “terorisme” merupakan sebuah konsep yang memiliki konotasi yang sangat sensitif karena terorisme menyebabkan kematian dan kesengsaraan terhadap orang-orang yang tidak berdosa. Pengertian terorisme masih menjadi perdebatan meskipun sudah ada rumusan dari para ahli, dan rumusan dalam peraturan perundangundangan. Ketidak seragaman pengertian hukum internasional mengenai terorisme tidak berarti meniadakan sifat jahat perbuatan itu dan dengan demikian lantas bisa diartikan bahwa pelaku terorisme bebas dari tuntutan hukum. Pengertian dan batasan terorisme secara yuridis menurut hukum Indonesia adalah sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 6 dan 7 Undangundang Nomor 15 Tahun 2003 yang telah disebut di atas. Ciri terorisme dapat ditinjau dari: Pertama, karakteristik organisasi yang meliputi: organisasi, rekrutmen, pendanaan dan hubungan internasional dan karakteristik operasi yang meliputi: perencanaan, waktu, taktik dan kolusi. Kedua, karakteristik perilaku yang meliputi: motivasi, dedikasi, disiplin, keinginan membunuh dan keinginan menyerah hidup-hidup, dan karakteristik di bidang teknologi, persenjataan, perlengkapan dan transportasi. Teroris sebagai organisasi dalam konteks pandangan barat adalah misalnya organisasi seperti PLO (People Liberty Organization), HAMAS, Gerakan Intifada (di Timur Tengah khususnya Palestina), IRA (Irlandia Republic Army)- atau Komando Jihad dan KNN KW 9 di Indonesia. Sedangkan teroris dalam arti individual dan merupakan kegiatan kriminal murni adalah merupakan terorisme bukan dalam bentuk organisasi. C. Bentuk-bentuk Terorisme Ada beberapa bentuk terorisme yang dikenal yaitu antara lain teror kriminal, dan teror politik. Teror kriminal biasanya dilakukan hanya Abdul Wahid, dan kawan-kawan, Kejahatan Terorisme, Refika Aditama, Malang, Oktober 2003, hlm. 22. 4 641 Vol. 9 No. 4 - Desember 2012 untuk kepentingan pribadi atau memperkaya diri sendiri. Teroris kriminal bisa menggunakan cara pemerasan dan intimidasi. Di lain pihak, teror politik tidak memilih-milih korban. Teroris politik selalu siap melakukan pembunuhan terhadap orang-orang sipil. Terorisme politis memiliki karakteristik: merupakan intimidasi koersif, memakai pembunuhan dan destruksi secara sistematis sebagai sarana untuk tujuan tertentu; korban bukan tujuan, melainkan sarana untuk menciptakan perang urat syaraf, yakni “bunuh satu orang untuk menakuti seribu orang”; target aksi teror dipilih, bekerja secara rahasia, namun tujuannya adalah publisitas; pesan aksi itu cukup jelas, meski pelaku tidak selalu menyatakan diri secara personal; para pelaku kebanyakan dimotivasi oleh idealisme yang cukup keras, misalnya “berjuang demi agama dan kemanusiaan”. Dengan demikian, teror adalah suatu kesatuan aksi tak langsung dan terarah untuk mencapai hasil politik tertentu melalui dampak yang ditimbulkannya. Dari kacamata strategi politik, teror merupakan aksi sekunder dan bukan yang utama. Artinya, teror jarang sekali merupakan aksi atau tujuan utamanya atau aksi yang berdiri sendiri.5 Kalau dilihat dari sejarahnya, tipologi terorisme terdiri dari beberapa bentuk yaitu : Bentuk pertama, pembunuhan politik terhadap pejabat pemerintah (sebelum Perang Dunia II). Bentuk yang Kedua, terorisme dimulai di Al-jazair di tahun lima puluhan, yang mempopulerkan “serangan yang bersifat acak” terhadap masyarakat sipil yang tidak berdosa. Hal ini untuk melawan apa yang mereka sebut sebagai “terorisme negara”. Menurut mereka pembunuhan dengan tujuan untuk mendapatkan keadilan bukanlah soal yang harus dirisaukan, bahkan sasaran mereka adalah yang tidak berdosa. Bentuk ketiga terorisme muncul pada tahun enam puluhan dan terkenal dengan istilah “terorisme media”, berupa serangan acak atau random terhadap siapa saja dengan tujuan publisitas. D. Terorisme Menurut Pandangan Agama Islam Azyumardi Azra, Rektor Universitas Islam Negeri Jakarta mengatakan bahwa terorisme sebagai kekerasan politik sepenuhnya bertentangan dengan etos kemanusiaan agama Islam. Islam mengajarkan etos kemanusiaan yang sangat menekankan 5 Forum Keadilan, 3 November 200, hlm. 18. 642 Peranan Aparat Penegak Hukum dalam ... kemanusiaan universal. “Islam menganjurkan umatnya untuk berjuang mewujudkan perdamaian, keadilan, dan kehormatan, akan tetapi, perjuangan itu haruslah tidak dilakukan dengan cara-cara kekerasan atau terorisme. Setiap perjuangan untuk keadilan harus dimulai dengan premis bahwa keadilan adalah konsep universal yang harus diperjuangkan dan dibela setiap manusia. Islam memang menganjurkan dan memberi justifikasi kepada muslim untuk berjuang, berperang (harb), dan menggunakan kekerasan (qital) terhadap para penindas, musuhmusuh Islam, dan pihak luar yang menunjukkan sikap bermusuhan atau tidak mau hidup berdampingan secara damai dengan Islam dan kaum muslimin.6 Islam sebagai agama yang Rahmatan lil alamin, jelas menolak dan melarang penggunaan kekerasan demi untuk mencapai tujuan-tujuan (al-ghoyat), termasuk tujuan yang baik sekalipun. Sebuah kaidah Ushul dalam Islam menegaskan al-ghayah la tubarrir al wasilah (tujuan tidak bisa menghalalkan segala cara). Islam menegaskan bahwa pembasmian suatu jenis kemungkinan tidak boleh dilakukan dengan kemungkinan pula. Tidak ada alasan etik dan moral yang bisa membenarkan suatu tindakan kekerasan. Dengan demikian kalau ada tindakan-tindakan teror yang dilakukan oleh kelompok Islam tertentu, maka alasannya pasti bukan karena ajaran etik moral Islam, melainkan agenda lain yang tersembunyi di balik tempurung tindakan tersebut.7 E. Perundang-undangan Terorisme Indonesia Jauh sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003, Indonesia telah mempunyai perangkat perundang-undangan sebagai alat pencegahnya dan penindakannya. Sejak tahun 1963 berlaku undangundang no. 11/PNPS/1964 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi. Menurut undang-undang ini, perbuatan teror bisa dijerat dengan undang-undang Subversi. Adapun rumusan yang dapat menjerat dari tindakan terorisme tersebut diatur dalam: pasal 1 (1): - 6 7 Barang siapa melakukan perbuatan, dengan maksud atau nyatanyata dengan maksud atau yang diktehauinya atau patut diketahuinya dapat : menggulingkan, merusak atau merongrong kekuasaan negara atau kewibawaan pemerintah yang sah atau Kompas, 2 November 2001, hlm. 10. Duta Masyarakat, 22 September 2002, hlm. 6. 643 Vol. 9 No. 4 - Desember 2012 mengacaukan bagi industri, produksi distribusi, perdagangan, koperasi atau pengangkutan. - Pasal XIX ayat (1) 5 : Barang siapa melakukan sabotase. Undang-undang ini pada masa orde lama dan orde baru selalu digunakan untuk menjerat terorisme yang dapat dikategorikan sebagai kegiatan subversi, yang nota bene pelaku-pelakunya mayoritas adalah orang-orang dari organisasi Islam, baik dalam skala perorangan maupun kelompok-oraganisasi jamaah. Sejak awal diundangkannya, undangundang subversi sudah mendapat penolakan yang luas khususnya dari organisasi-organisasi islam, juga para aktivis Hak Asasi Manusia serta para pengacara/advokat, karena rumusan pasal-pasal pidananya bersifat karet-elastis. Rumusan pasal-pasal pidananya dapat menjerat perbuatan apa saja dan siapa saja, sehingga sepanjang masa berlakunya undangundang subversi, baik di era orde lama dan orde baru dituntut untuk dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Barulah pada era reformasi, di jaman presiden Megawati Soekarnoputri, undang-undang tentang subversi ini dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi.8 Sejak itu terhadap tindakan terorisme tidak ada payung hukum, tidak ada hukum yang khusus yang mengaturnya, walaupun terorisme secara terbatas bisa dijerat dengan pasal-pasal dalam Kitab Undangundang Hukum Pidana (KUHP). Akan tetapi di dalam KUHP sanksi pidananya begitu rendah dan tidak mempunyai daya tangkal yang kuat. Pada tahun 2003 dikeluarkan undang-undang yang mengatur tentang terorisme, yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003. Dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 dinyatakan bahwa terorisme merupakan kejahatan lintas negara, terorganisasi, dan mempunyai jaringan luas sehingga mengancam perdamaian dan keamanan nasional maupun internasional. Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanausiaan dan peradaban serta merupakan salah satu ancaman serius terhadap kedaulatan setiap negara karena terorisme sudah merupakan kejahatan yang bersifat internasional yang menimbulkan bahaya terhadap keamanan, perdamaian dunia serta merugikan kesejahateraan masyarakat sehingga perlu dilakukan pemberantasan secara berencana dan berkesinambungan. Komitmen masyarakat internasional dalam mencegah dan memberantas terorisme sudah diwujudkan dalam berbagai konvensi Mien Rukmini, “Perlindungan Ham, Melalui Asas Praduga Tak Bersalah Dan Asas Persamaan Kedudukan Dalam Hukum Pada Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Alumni, Bandung, 2003, hlm. 32. 8 644 Peranan Aparat Penegak Hukum dalam ... internasional yang menegaskan bahwa terorisme merupakan kejahatan yang mengancam perdamaian dan keamanan umat manusia sehingga seluruh anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa, termasuk Indonesia, wajib mendukung dan melaksanakan resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mengutuk dan menyerukan seluruh anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk mencegah dan memberantas terorisme melalui pembentukan peraturan perundang-undangan nasional negaranya. Pemberantasan tindak pidana terorisme di Indonesia merupakan kebijakan dan langkah antisipatif yang bersifat proaktif yang dilandaskan kepada kehati-hatian dan bersifat jangka panjang karena: Pertama, masyarakat Indonesia adalah masyarakat multi-etnik dengan beragam dan mendiami ratusan ribu pulau-pulau yang tersebar di seluruh wilayah nusantara serta ada yang letaknya berbatasan dengan Negara lain. Kedua, dengan karakteristik masyarakat Indonesia tersebut seluruh komponen bangsa Indonesia berkewajiban memelihara dan meningkatkan kewaspadaan menghadapi segala bentuk kegiatan yang merupakan tidak pidana terorisme yang bersifat internasional. Ketiga, konflik-konflik yang terjadi sangat merugikan kehidupan berbangsa dan bernegara serta merupakan kemunduran peradaban dan dapat dijadikan tempat yang subur berkembangnya tindak pidana terorisme yang bersifat internasional baik yang dilakukan oleh warga Negara Indonesia maupun yang dilakukan oleh orang asing. Terorisme yang bersifat internasional merupakan kejahatan yang terorganisasi, sehingga pemerintah dan bangsa Indonesia wajib meningkatkan kewaspadaan dan bekerja sama memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemberantasan tindak pidana terorisme di Indonesia tidak sematamata merupakan masalah hukum dan penegakan hukum melainkan juga merupakan masalah sosial, budaya, ekonomi yang berkaitan erat dengan masalah ketahanan bangsa sehingga kebijakan dan langkah pencegahan dan pemberantasannya pun ditujukan untuk memelihara keseimbanan dalam kewajiban melindugi kedaulantan Negara, hak asasi korban dan saksi, serta hak asasi tersangka/terdakwa. Pemberantasan tidak pidana terorisme dengan ketiga tujuan di atas menunjukkan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang menjunjung tinggi peradaban umat manusia dan memiliki cita 645 Vol. 9 No. 4 - Desember 2012 perdamaian dan mendambakan kesejahteraan serta memiliki komitmen yang kuat untuk tetap menjaga keutuhan wilayah Negara Kesatuan Repubik Indonesia yang berdaulat di tengah-tengah gelombang pasang surut perdamaian dan keamanan dunia. Untuk menciptakan suasana tertib dan aman, maka dengan mengacu pada konvensi internasional dan peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan terorisme, serta untuk memberikan landasan hukum yang kuat dan kepastian hukum dalam mengatasi masalah yang mendesak dalam pemberantasan tindak pidana terosirisme, Presiden Republik Indonesia telah menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yang ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003. F. Penanggulangan Terorisme di Indonesia Di atas diuraikan bagaimana usaha-usaha pemerintah Indonesia melalui jalur hukum dalam usaha memberantas tindak pidana terorisme. Sejak tahun 1960 hal ini telah dilaksanakan mulai dari diundangkannya Undang-Undang No. 11/PNPS/1963 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Subversi, kemudian undang-undang subversi dicabut pasca reformasi karena dinilai terlalu bersifat elastis serta dinilai melanggar Hak Asasi Manusia. Tahun 2003 diundangkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Berdasarkan undang-undang subversi telah banyak kaum subversif/teroris ditindak oleh pemerintah orde baru Indonesia. Beberapa contoh yang menonjol antara lain: - Kasus komando Jihad tahun 1974-1978 yang merupakan kelanjutan dari DI/TII pimpinan S.M. Kartosuwiryo yang bertujuan mendirikan daulah islamiah yang berbasis di Indonesia. - Kasus subversi yang melibatkan Imron dan Salman Hafidz pada tahun 1980 yang melakukan pembajakan pesawat Garuda Airways di Lapangan Terbang Don Muang, Thailand. - Peristiwa Tanjung Priok tahun 1984 yang melibatkan Mayjend H.R. Darsono, Sekjen Asean, mantan Pangdam Siliwangi. Sedangkan berdasarkan undang-undang no. 15 tahun 2003 pemerintah orde reformasi telah melakukan refresif terhadap kegiatan terorisme. Adapun kasus yang menonjol antara lain sebagaimana disinggung pada awal tulisan ini, yaitu teroris Jamaah Islamiyah dengan 646 Peranan Aparat Penegak Hukum dalam ... tokohnya Dr. Azhari dan Nurdin M. Top serta Dulmatin dan Umar Patek, serta Amrozi, Muklas dan Imam Samudra yang merupakan para aktor intelektual dari kasus Bom Bali tahun 2001. Kasus teroris inipun telah ditumpas oleh pemerintah RI. Dimana semua tokoh intelektualnya telah terbunuh baik melalui operasi militer maupun melalui jalur peradilan. Walaupun kegiatan subversi dan terorisme telah ditindak namun demikian kenyataannya kegiatan terorisme masih saja terjadi hingga saat ini di Indonesia. Adapun peran aparat penegak hukum di dalam pencegahan dan penindakan terhadap kegiatan terorisme menurut hukum positif di Indonesia, secara regulasi diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Acara Hukum Pidana (aturan umum), serta Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (aturan khusus). Menurut KUHAP yang mengatur tentang tata cara penanganan perkara pidana atau yang disebut sebagai proses peradilan dimulai dari penyelidikan sampai eksekusi. Yang melakukan penyelidikan dan penyidikan adalah pihak Kepolisian, sedangkan yang melakukan penuntutan dan eksekusi adalah Jaksa Penuntut Umum. Adapun Hakim bersama-sama dengan Jaksa Penuntut Umum serta Advokat/Penasehat Hukum adalah pihak yang melaksanakan proses persidangan di pengadilan, baik Pengadilan Tingkat I, Pengadilan Banding, Pengadilan Kasasi maupun Pengadilan Peninjauan Kembali. Pihak Polisilah selaku penyidik yang mempunyai kewenangan penyidikan tindak pidana terorisme. Dalam melakukan penyidikannya Polisi bisa melakukan upaya paksa berupa pemanggilan orang (untuk dimintakan keterangan), penangkapan, penahanan, penggeledahan, pensitaan dan pemeriksaan identitas. Sedangkan Jaksa Penuntut Umum melakukan penuntutan di samping melakukan eksekusi serta bersama-sama dengan Hakim dan Advokat bersidang di Pengadilan. Perangkat hukum yang telah berlaku sejak tahun 2003 untuk mengatasi dan memberantas terorisme tersebut dalam implementasinya terutama yang diterapkan oleh aparat penegak hukum khususnya pihak Kepolisian belum optimal dalam menanggulangi tindak pidana terorisme, yang dibuktikan dengan makin meningkatnya frekuensi dan akselerasi kegiatan terorisme di Indonesia. Ketidakoptimalan penegak hukum di dalam menanggulangi dan memberantas terorisme disebabkan oleh beberapa hal yaitu antara lain 647 Vol. 9 No. 4 - Desember 2012 faktor psikologis yang melatarbelakangi gerakan teroris di Indonesia yang mempunyai ideologi Islam, faktor teknis di mana gerakan terorisme bukan hanya gerakan lokal tapi sudah menjadi gerakan internasional yang mengglobal dengan cara-cara aksi-aksi terorisme yang canggih dengan menggunakan teknologi modern yang dilakukan dengan jaringan internasional yang rapih, hal ini tidak tercover oleh aparat keamanan dan penegak hukum di Indonesia. G. Kesimpulan Gerakan dan aksi terorisme bukan hanya aktivitas lokal di Indonesia saja, tapi merupakan aktivitas yang mencakup regional bahkan bersifat jaringan internasional. Gerakan dan aktivitas terorisme di Indonesia, baik perorangan maupun organisasi banyak dilatarbelakangi oleh suatu ideologi yaitu ideologi Islam, sehingga dalam penyelesaiannyapun tidak cukup dengan pendekatan yuridis tetapi harus menyertakan pendekatan sosiologis religius. Kegiatan dan gerakan terorisme di Indonesia, baik terorisme yang dilakukan secara perorangan maupun dilakukan dengan terorganisir dalam bentuk organisasi telah ada peraturan perundang-undangan yang mengaturnya yang bersifat pencegahan dan penindakan, yaitu UndangUndang Nomor 15 Tahun 2003. Peraturan perundang-undangan belum mampu menanggulangi gerakan terorisme di Indonesia secara tuntas, sehingga perlu reaktualisasi dari paradigma pemberantasan terorisme di Indonesia yaitu dengan lebih mengedepankan aspek psikologis dibandingkan dengan mengedepankan pendekatan keamanan dan yuridis. Terorisme seperti telah diuraikan di atas bukan hanya persoalan hukum saja tetapi sudah menyangkut persoalan politis, persoalan agama, persoalan keyakinan dan persoalan aqidah/ideologi. Soal aqidah/ keyakinan untuk melaksanakan agama merupakan hak yang mendasar bagi semua umat manusia, di Indonesia hal ini dijamin oleh Undangundang Dasar 1945.9 Terhadap persoalan ini karena menyangkut banyak orang, termasuk di Indonesia jumlah umat Islam merupakan umat Islam terbesar di dunia, maka pendekatannya bukan hanya bersifat represif yuridis akan tetapi juga pendekatan psikologis religious. Subhi Mahmassani, Arkan Huquq’l—Insan (Konsep Dasar Hak Asasi Manusia-Studi Perbandingan dalam Syariat Islam dan Perundang-undangan Modern), Alih Bahasa: Hasanudin, Tintamas Indonesia, Jakarta, 1993, hlm. 48. 9 648 Peranan Aparat Penegak Hukum dalam ... Terorisme bukan suatu kegiatan yang sifatnya pribadi orang perorangan juga bukan bersifat lokal, tetapi sudah merupakan kegiatan lintas negara atau sudah merupakan gerakan internasional. Oleh sebab itu disarankan cara penanganannya pun tidak hanya oleh Pemerintah Indonesia saja, tapi harus dilakukan bersama-sama dengan negara lain yang bersifat lintas negara, baik dengan negara tetangga maupun negara lain/antar negara. Daftar Pustaka Abdul Qadir Djaelani, Memerangi Terorisme Sama Dengan Menerangi Umat Islam? Yayasan Pengkajian Islam Madinah Al-Munawarah, Jakarta, 2002. Abdul Wahid, dan kawan-kawan, Kejahatan Terorisme, Refika Aditama, Malang, Oktober 2003. Abdul Wahid, Sunardi, Muhammad Imam Sidik, Kejahatan Terorisme, Perspektif Agama, HAM, dan Hukum, PT. Refika Aditama, Bandung, 2004. Adjie S., Terorisme, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2005. Combs, Cindy C., Terorisme in the Twenty-First Century, Second Edition, New Jersey, Prentice Hall, Upper Saddle, River 07458, 1999. Clive Walker, Blackstone’s Guide to the Anti Terrorism Legislation, Oxford University Press, 2002. Cronin, Audrey Kurth, Behind the Curve: Globalization and International Terrorism, International Security, Vol 27/3, Winter 2002. Davidson Scott, “Hak Hak Azasi Manusia, Sejarah, Teori dan Praktek dalam Pergaulan Internasional “, PT. Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1994. Davidson Scott, “Hak Hak Azasi Manusia, Terjemahan A. Hadyana Pudjaatmika, PT. Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1994. Mahmassani, Subhi, Arkan Huquq’l—Insan (Konsep Dasar Hak Asasi Manusia-Studi Perbandingan dalam Syariat Islam dan Perundangundangan Modern), Alih Bahasa: Hasanudin, Tintamas Indonesia, Jakarta, 1993, Moch Faisal Salam, Motivasi Tindakan Terorisme, CV. Mandar Maju, Bandung, 2005. 649 Vol. 9 No. 4 - Desember 2012 Fauzan Al-Anshari, Saya Teroris : Sebuah “Pledoi”, Republika, Jakarta, 2002. Folk, Richard, The Great Terror War, Arris Books, An Imprint of Arris Publishing Ltd., Gloucestershire, 2003. Gupta, K.R., International Terrorism. Conventions, Resolutions, Legislation, Terrorist Organization and Terrorist, Volume I, Atlantic Publishers and Distributors, Delhi, 2002. ———————, International Terrorism. Conventions, Resolutions, Legislation, Terrorist Organization and Terrorist, Volume II, Atlantic Publishers and Distributors, Delhi, 2002. Juergensweyer, Mark, Terorisme Karena Membela Agama, Terror in The Hand of God, Tarawang Press, 2003. Laqueur, Walter, The Law Terrorism Fanaticism and Arms of Mass Destruction, A Phoenix Press Paperback, 2001. O.C. Kaligis & Associates, Terorisme : Tragedi Umat Manusia, O.C. Kaligis & Associates, Jakarta, April 2003. Romli Atmasasmita, Masalah Pengaturan Terorisme dan Perspektif Indonesia, Departemen Kehakiman dan HAM RI, Badan Pembinaan Hukum Nasional, 2002. Rukmini, Mien, “Perlindungan Ham, Melalui Asas Praduga Tak Bersalah Dan Asas Persamaan Kedudukan Dalam Hukum Pada Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Alumni, Bandung, 2003. Rusdi Marpaung & Al-Araf, Terorisme, Definisi, Aksi dan Regulasi, Imparsial, Jakarta, 2003. Wahid, Abdul et. al. Kejahatan Terorisme Perspektif Agama, HAM dan Hukum, PT. Refika Aditamna, Bandung, 2004. Walkinson, Paul, Terrorism and The Liberal State, The Macmillan Press Ltd., London, 1977. 650 BIO DATA PENULIS Munafrizal Manan, Pendidikan: S-1 Fakultas Hukum Universitas Borobudur dan fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Bandar lampung, S-2 Universitas Gadjah Mada dan University of Melbourne Australia. Pekerjaan: Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Al Azhar Jakarta. Andi Subri, Tempat/Tanggal Lahir di Baturaja 16 Nopember 1952. Menamatkan SD Xaverius Baturaja tahun 1965, SMP Xaverius Baturaja tahun 1968, SMA Negeri 5 Yogyakarta tahun 1971 dan menamatkan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta tahun 1979, Program Magister Manajemen STIE Jakarta tahun 2000, dan saat ini Kandidat Doktor Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Jakarta. Bekerja di Kementerian Pendidikan Nasional, Kopertis Wilayah III Jakarta sebagai Staf Pengajar dpk FKIP Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka Jakarta dan Fakultas Hukum Universitas Satyagama Jakarta. Pernah bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil di Departemen Dalam Negeri, Badan Pertanahan Nasional dan Dewan Perwakilan Daerah RI. Mualimin Abdi, Tempat/Tanggal Lahir di Bumiayu, 21 Nopember 1962. Pendidikan: S-1 Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta, S-2 Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta, dan S-3 Universitas Padjajaran Bandung. Pekerjaan: Direktur Litigasi Peraturan Perundang-undangan Direktorat Jenderal Peraturan Perundangundangan Kementerian Hukum dan HAM RI. A.A. Oka Mahendra, Tempat/Tanggal Lahir Bangli 12 Juni 1946. Gelar sarjana hukum diraihnya di Universitas Gajah Mada, Yogyakarta (1969). Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum dan HAM RI (2005-2006), Jabatan terakhir di Departemen Hukum dan HAM sebagai staf ahli menteri. Menjadi anggota DPR RI sejak Oktober 1971 - 1997, dar Fraksi Golkar. Pernah menjabat anggota Dewan Pembina Serikat Pekerja Seluruh Indonesia, Ketua Harian Dewan Pimpinan Pusat Himpunan Pengrajin Indonesia, Ketua Komite Hak Asasi, Hukum, dan Konstitusi, Dewan Pimpinan Nasional SOKSI. Fitra Arsil, Tempat/Tanggal Lahir: Jakarta, 28 Desember 1974. Pendidikan: S-1 Fakultas Hukum Universitas Indonesia, S-2 Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Riwayat Vol. 9 No. 4 - Desember 2012 Pekerjaan: Staf pengajar Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia (2000-sekarang); Staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonusa Esa Unggul (2000- 2003); Staf Pengajar Fakultas Hukum dan Fakultas Ekonomi Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) (2001 – 2006); Staf Pengajar Sekolah Tinggi Agama Islam Al Hikmah (2004 – sekarang). A. Ahsin Thohari, Tempat/Tanggal Lahir: Grobogan, 4 Agustus 1973. Bekerja di Direktorat Tata Negara Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta. Mata kuliah yang diasuhnya adalah Hukum Konstitusi dan Sistem Pemerintahan Indonesia. Pendidikan sarjana hukum diselesaikan di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, pada 1999, dan magister hukum diselesaikan di Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, pada 2004. Pernah menjadi peneliti tamu di beberapa program penelitian yang diselenggarakan oleh berbagai lembaga negara seperti Pusat Penelitian dan Pengkajian Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, dan Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. Selain aktif menulis di berbagai media massa dan jurnal ilmiah, karya-karyanya yang telah diterbitkan menjadi buku adalah Komisi Yudisial & Reformasi Peradilan (Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat/ELSAM, 2004) dan Dasar-dasar Politik Hukum (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004). Dalam kurun waktu tahun 2007-2011, ia melakukan penelitian mengenai pemenuhan hak-hak dan perlindungan hukum buruh migran asal Indonesia di beberapa negara seperti Arab Saudi (Jeddah, Mekkah, dan Medinah), China (Hongkong dan Shenzhen), Malaysia (Kuala Lumpur, Johor Bahru, dan Sabah), dan Singapura. Eka N A M Sihombing, Fungsional Perancang Peraturan Perundangundangan Muda Pada Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Sumatera Utara, Alumni S1 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan Alumni S2 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Nur Fatmah G, Fungsional Perancang Peraturan Perundang-undangan Muda Pada Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Sumatera Utara, Alumni S1 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan Alumni S2 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Zaelani, Tempat/Tanggal Lahir: Jakarta, 10 Juli 1958. Pendidikan: S-1 Fakultas Hukum Universitas Muhamadiyah Jakarta dan S-2 Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang. Jabatan: Perancang Pertama merangkap Kepala Seksi Penerbitan Direktorat pengundangan, Publikasi dan Kerja Sama Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia. Yanuar Syaripulloh, Tempat/Tanggal Lahir: Garut, 18 Nopember 1984. Pendidikan: S-1 Fakultas Hukum Universitas Islam Attahiriyah Jakarta. Pekerjaan: Fungsional Perancang Peraturan Perundang-undangan Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan. Wahyu Wiriadinata, Tempat/Tanggal Lahir: Bandung, 21 Oktober 1950. Pekerjaan: Jaksa pada Kejaksaan Agung Republik Indonesia dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan. Vol. 9 No. 4 - Desember 2012 INDEKS SUBJEK (SUBJECT INDEX) A Administrative agencies; 335 Affirmative action; 78, 79, 83, 101 Ageing population; 181 B Baurecht; 282 Berufsgenossenschaft; 290 Beveridge system; 276 Blue-collsr workers; 288 C Commercial banking system; 418 Conditio sine qua non; 485 Convention on the Elimination of All Froms of Discrimination Againts Women; 8, 9, 15, 16, 17, 19, 21, 30, 33, 37, 80, 92, 99, 107, 113 Conviction intime; 323 Cultural transfer; 311 Inferior; 1 Inferioritas ; 1 Inkrach van gewijsde; 486, 497 Integrated approach; 381, 433 Institutional approach; 381 J K Kekerasan terhadap Perempuan; 22 L Legal justice; 108 Lender of last resort; 377 Linguistic transfer; 311 M Machtstaat; 168 Macroprudential; 354, 355, 356, 425, 442, 443 Macroprudential supervision; 377 44 D Macro-structure analysis; 304 Datenschutz; 282 Microprudential; 354, 356, 425, 442, E 443 Ermessen; 130 Micro-structure analysis; 304 Equality before the law; 104, 137 Millenium Development Goals; 8, 13 Extra ordinary crime; 477, 479, Moral hazard; 345, 363,3, 381, 396 485, 486, 492, 497 Moral justice; 108 F N Financial Supervisory Authority; Nachwachterstaat; 168 418, 433 Non-financial audit; 262 Functional approach; 381 O G Obligation to fulfill; 101 Gender differences; 75 Obligation to protect; 101 Gender equality; 2 Obligation to respect; 101 Good corporate governance; 214 P H Political posturing; 349 I Illegal logging; 156 Independent regulatory body; 365 Q R 655 Vol. 9 No. 4 - Desember 2012 Rechtsstaat; 168, 278 Recht positivisme; 316 Reichsversicherungsordnung; 278 Welfare state; 168, 170, 277, 365 Welvaart staat; 168 White-collar employees; 278 White-collar workers (Angestellte; 288) Women’s right is human rights; 16 Women’s right to vote; 3 S Schuld; 479, 480, 486, 497 Social justice; 108 Social security planning; 269 State auxiliary agencies; 365 X Statutory accident insurance; 278, Y 281 Statutory health insurance; 278, Z 281 Statutory long-term care insurance; 278, 281, 292 Statutory social insurance; 278, 279, 280 Steuer; 282 Strassenverkehrsrecht; 282 Sunshine regulation; 359 Super-regulatory body; 382 System of accident and illness insurance for workers; 278 Systemically important bank; 419, 444, 445, 456 T Transfer of meaning; 311 Temporary Special Measures; 78, 101 Twin peaks approach; 381 U Universal banking; 344 Universal banking system; 418, 420 Universal coverage; 207, 208, 209, 210, 211 Universal health coverage; 209, 212 Universal social security; 208; 214 V Verzorgingsstaat; 168 Voluntary social insurance; 279, 280 Vulnerability; 192 W 656 PANDUAN PENULISAN NASKAH 1. Naskah yang dikirim berbentuk karya tulis ilmiah, seperti hasil penelitian lapangan, survey, hipotesis, kajian teori, studi kepustakaan, review buku, dan gagasan kritis konseptual yang bersifat objektif, sistematis, analisis, dan deskriptif. 2. Naskah yang dikirim karya tulis asli yang belum pernah dimuat atau dipublikasikan di media lain. 3. Naskah diketik rangkap 2 (dua) spasi di atas kertas ukuran A4 dengan font Bodoni ukuran 12, panjang naskah antara 15-20 halaman. 4. Penulisan menggunakan bahasa Indonesia yang disempurnakan, lugas, sederhana, dan mudah dipahami, serta tidak mengandung makna ganda. 5. Pokok pembahasan atau judul penulisan berupa kalimat yang singkat dan jelas, dengan kata atau frasa kunci yang mencerminkan isi tulisan. 6. Sistematika penulisan disesuaikan dengan aturan penulisan ilmiah, yaitu: a. Sistematika naskah hasil penelitian harus mencakup: judul, nama penulis, nama instansi, alamat email penulis, abstrak (bahasa Indonesia ditulis dalam 1 paragraf, dengan 1 spasi, ukuran 10, panjangnya antara 100 – 200 kata), kata kunci, abstract (bahasa Inggris ditulis dalam 1 paragraf, dengan 1 spasi, ukuran 10, panjangnya antara 100 – 200 kata), keywords, pendahuluan (latar belakang permasalahan, tujuan ruang lingkup dan metodelogi), hasil penelitian dan pembahasan (tinjauan pustaka, data dan analisis), penutup (kesimpulan dan saran), dan daftar pustaka. b. Sistematika naskah hasil kajian teori/konseptual harus mencakup: judul, nama penulis, nama instansi, alamat email penulis, abstrak (bahasa Indonesia ditulis dalam 1 paragraf, dengan 1 spasi, ukuran 10, panjangnya antara 100 – 200 kata), kata kunci, abstract (bahasa Inggris ditulis dalam 1 paragraf, dengan 1 spasi, ukuran 10, panjangnya antara 100 – 200 kata), keywords, pendahuluan, pembahasan (diperinci menjadi subsub judul sesuai dengan permasalahan yang dibahas), penutup (kesimpulan dan saran), dan daftar pustaka. Vol. 9 No. 4 - Desember 2012 7. Penulisan kutipan menggunakan model catatan kaki (footnote). 8. Isi, materi, dan substansi tulisan merupakan tanggung jawab penulis. Redaksi berhak mengedit teknis penulisan (redaksional) tanpa mengubah arti. 9. Daftar pustaka, disusun menurut sistem Chicago Style, yaitu: pengarang dan tahun terbit, judul, penerbit, kota/negara, hal. Contoh: 1. Buku - Luar negeri Kelsen, Hans, 1961. General Theory of Law and State, Russel & Russel, New York. hlm. 45. - Dalam negeri Budiardjo, Miriam, 1992. Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. hlm. 21. 2. Makalah dalam jurnal - Luar negeri Suzuki, S.,M. Sugiyama, Y. Mihara, K. Hashiguchi and K. Yokezeki. 2002. Novel enzymatic method for the production by oxydans. Japan Biochem. - Dalam negeri Kurniawan, Y. dan S. Yuliatun. 2006. Perspektif gasohol sebagai energi hijau bagi transportasi. Majalah Penelitian Gula. 3. Makalah dalam buku - Luar negeri Zyzak, D.V., k.J. Wells-Knecht, M.X. Fu, S.R. Thorpe, M.S. Feather and J.W. Baynes. 1994. Pathways of the maillard reaction in vitro and in vivo. Proc. of the 5th International Symposium of the Maillard Reaction, University of Minnesota. - Dalam negeri Sukarso, G., S. Sastrowijono, Mirzawan PDN.,S. Lamadji, Soeprijanto,E.Sugiyarta dan H. Budhisantoso. 1990. Varietas tebu unggul lokal untuk tegalan dengan pola keprasan. Pros.Seminar Pengembangan Agroindustri Berbasis Tebu dan Sumber Pemanis lain. P3GI, Pasuruan. 4. Pustaka dari Internet - Jurnal Almeida, A.C.S., L.C. Araujo, A.M. Costa, C.A.M. Abreu, M.A.G.A. Lima and M.L.A.P.F. Palha. 2005. Sucrose hydrolysis catalyzed by auto-immobilized invertase into intact cells of cladosporium cladosporoides. Electrical Journal of Biotechnology 8(1): 15-18 (online) http:// www.ejbiotechnology.info/content/vol8/issue1/full/11. pdf (diakses tanggal 8 Juni 2006). - Informasi lain Fadli. 2002. Pabrik sirup gula tebu pertama di Malang (online), http://kompas.com/kompas-cetak/034/15/ilpeng/ 256044.htm (diakses tanggal 2 Mei 2006). 10. Pengiriman naskah berupa hard copy dan soft copy serta melampirkan curriculum vitae ditujukan kepada : Redaksi Jurnal Legislasi Indonesia, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM RI Jl. HR. Rasuna Said Kav. 6-7 Kuningan - Jakarta Selatan Telepon (021) 5264517/Fax (021) 52921242, e-mail : [email protected]. Vol. 9 No. 4 - Desember 2012