daftar isi - DJPP Kemenkumham

advertisement
Vol. 9 No. 4 - Desember 2012
ISSN: 0216-1338
DAFTAR ISI
Dari Redaksi ............................................................................
Abstrak
Artikel:
Partai Politik dan Demokrasi Indonesia Menyongsong
Pemilihan Umum 2014
Oleh: Munafrizal Manan ...............................................................
Pemilihan Umum Tahun 2014: Pemilih Rasional dan
Pemilih Irrasional
Oleh: Andi Subri ............................................................................
Kewajiban Verifikasi Parpol Pasca Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 52/PUU-X/2012
Oleh: Mualimin Abdi ......................................................................
Kampanye Pemilu 2014 Sebagai Bagian dari Pendidikan
Politik Masyarakat
Oleh: A. A. Oka Mahendra .............................................................
Mencegah Pemilihan Umum Menjadi Alat Penguasa
Oleh: Fitra Arsil .............................................................................
Deklinasi Partai Politik dalam Sistem Ketatanegaraan
Indonesia
Oleh: A. Ahsin Thohari ..................................................................
Mendorong Keterwakilan Perempuan di Lembaga
Legislatif
Oleh: Eka N A M Sihombing dan Nur Fatmah G ..............................
Batas Usia Dewasa Seseorang dalam Melakukan
Perbuatan Hukum Berdasarkan Peraturan Perundangundangan
Oleh: Zaelani ..............................................................................
Aspek Hukum Penyertaan Modal Negara Republik
Indonesia Kepada BUMN/BUMD/Badan Hukum Lainnya
Oleh: Yanuar Syaripulloh..............................................................
Peranan Aparat Penegak Hukum dalam Pelanggulangan
Terorisme di Indonesia
Oleh: Wahyu Wiriadinata ........................................................
Biodata Penulis
Indek
iii
501 - 518
519 - 534
535 - 546
547 - 562
563 - 578
579 - 590
591 - 604
605 - 620
621 - 636
637 - 650
Vol. 9 No. 4 - Desember 2012
D ARI REDAKSI
Dari Redaksi
Pemilihan Umum (Pemilu) yang dilaksanakan secara langsung,
umum, bebas, jujur dan adil setiap 5 (lima) tahun sekali merupakan
sarana perwujudan kedaulatan rakyat untuk memilih anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presidan dan
Wakil Presiden, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Pada
Tahun 2014 mendatang Indonesia kembali akan menyelenggarakan
pesta demokrasi untuk memilih anggota legistative, Presiden dan
Wakil Presiden periode 2014-2019. Meskipun penyelenggara Pemilu 2014
masih sekitar enam belas (16) bulan lagi, namum serangkaian
tahapan Pemilu 2014 telah dan sedang dilaksanakan. Oleh karena itu
Jurnal Legislasi Indonesia Volume 9 Nomor 4 Tahun 2012 memilih tema
“Menyongsong Pemilu 2014”.
Pada Edisi Jurnal Legislasi Indonesia Volume 9 Nomor 4 Tahun
2012 ini, menyajikan artikel tentang Partai Politik dan Demokrasi
Indonesia menyongsong Pemilihan Umum 2014, Pemilihan Umum
Tahun 2014: Pemilih rasional dan Pemilih Irrasional, Kewajiban
Verifikasi Parpol Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUUX/2012, Kampanye Pemilu 2014 Sebagai Bagian Dari Pendidikan Politik
Masyarakat, Mencegah Pemilihan Umum menjadi Alat Penguasa,
Deklanasi Partai Politik dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, dan
Mendorong Keterwakilan Perempuan di Lembaga Legislatif.
Selain itu, dalam setiap penerbitan Jurnal Legislasi Indonesia juga
menyajikan artikel nontematik. Pada penerbitan Jurnal Legislasi
Indonesia Volume 9 Nomor 4 Tahun 2012 menyajikan artikel nontematik
tentang: Batas Usia Dewasa Seseorang dalam melakukan Perbuatan
Hukum Berdasarkan Peraturan Perundang-undangan, Aspek Hukum
Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia Kepada BUMN/BUMD/
Badan Hukum lainnya, dan Peranan Aparat Penegak Hukum dalam
Penanggulangan Terorisme di Indonesia.
Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi
Jurnal Legislasi Indonesia serta sumbangan pemikiran dalam bentuk
tulisan dari pembaca sangat kami harapkan.
Salam Redaksi.
iii
Vol. 9 No. 4 - Desember 2012
Kata kunci bersumber dari artikel.
Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa izin dan biaya
Manan, Munafrizal
Partai Politik dan Demokrasi Indonesia Menyongsong Pemilihan Umum 2012
Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 9 No. 4.
Partai politik dan demokrasi memiliki hubungan simbiosis mutualis. Masing-masing
saling memerlukan yang lain. Demokrasi perwakilan yang diterapkan pada zaman
modern ini membutuhkan partai politik. Peran dan fungsi partai politik dapat
termanifestasi dengan baik hanya dalam sistem politik demokratis. Postulat ini
juga berlaku di Indonesia. Partai politik Indonesia memiliki pengalaman sejarah
cukup panjang. Partai politik mendahului kehadiran negara Republik Indonesia.
Partai politik Indonesia mengalami masa pasang dan surut. Sistem kepartaian
Indonesia merupakan produk dari sistem politik pada zamannya. Dalam sistem
politik yang demokratis, sistem kepartaian Indonesia ikut menjadi demokratis.
Begitu sebaliknya. Sejak Era Reformasi partai politik memiliki kebebasan dan
otonomi, bahkan partai memiliki peran dominan dalam praktik ketatanegaraan.
Namun, partai politik juga menjadi beban bagi demokrasi Indonesia saat ini.
Kata Kunci: Kata Kunci: Partai politik, sistem politik, sistem kepartaian, demokrasi,
otoritarianisme, Indonesia
Manan, Munafrizal
Political Party and Indonesian Democracy Toward the 2014 General Election
Indonesia Journal of Legislation Vol. 9 No. 4.
Political party and democracy have a symbiotic mutualism relationship. Each needs
another. Representative democracy applied in the modern times needs political party.
The role and function of political party can be manifested in a good manner only in
democratic political system. Such a postulate applies in Indonesia. Indonesian political
parties have a long historical experience. In Indonesia, political party arose before the
state. Political parties in Indonesia have been experiencing the rise and fall. Indonesian
party system has been the result of political system each era. In democratic political
system, party system has become democratic. And vice versa. Since the Reformation Era
begun political parties have freedom and autonomy, even political parties have a
dominant role in state affairs. However, political parties are also the problem for
Indonesian democracy today.
Keywords: Keywords: Political party, political system, party system, democracy,
authoritarianism, Indonesian
Vol. 9 No. 4 - Desember 2012
Kata kunci bersumber dari artikel.
Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa izin dan biaya
Subri, Andi
Pemilihan Umum Tahun 2014: Pemilih Rasional dan Pemilih Irrasional
Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 9 No. 4.
Kemenangan Joko Widodo dan Basuki Tjahaya Purnama pada pemilihan Gubernur
DKI Jakarta beberapa waktu yang lalu, tak pelak menjadi pembicaraan bahkan
sebagaian pengamat politik, cendikiawan menjadikan tolok ukur pelaksanaan
demokrasi yang berhasil dan patut dicontoh. “Atribut” kepemimpinan Joko Widodo
merupakan daya tarik tersendiri bagi pemilih (penduduk Jakarta) yang mulai
tersadar dan mulai kritis atas persoalan-persoalan regional dan nasional dalam
rangka perbaikan melalui perubahan Jakarta Baru. Menyongsong pemilihan umum
tahun 2014 yang akan memilih wakil-wakil rakyat baik dari partai maupun
perseorangan, dan suksesi kepemimpinan nasional merupakan fokus yang pasti
menyedot perhatian masyarakat Indonesia, apakah pemilih akan menjadi rasional
atau sebaliknya menjadi pemilih irrasional.
Kata kunci :Pemilihan Umum, Pemilih Rasional, dan Pemilih
Irrasional.
Subri, Andi
Election Year 2014: Rational and Voters Irrational
Indonesia Journal of Legislation Vol. 9 No. 4.
Victory Joko Widodo and Tjahaya Basuki Purnama the Jakarta gubernatorial election
some time ago, the talk inevitably political observers even in part, scholars make the
benchmarks of successful implementation of democracy and exemplary. “Attributes”
Joko Widodo leadership is the main attraction for voters (city dwellers) who started woke
up and began critically on issues of regional and national levels in order to improve
through changes in New Jakarta. To welcome in 2014 elections that will select
representatives from both parties and individuals, and national leadership succession
is a definite focus the attention of Indonesian society, whether voters would be rational
or irrational otherwise be picky.
Keywords: Election, Voters Rational and Irrational Voters.
Kata kunci bersumber dari artikel.
Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa izin dan biaya
Abdi, Mualimin
Kewajiban Verifikasi Parpol Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUUX/2012
Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 9 No. 4.
Dalam demokrasi, pemilihan umum memiliki peran vital, dan seperti kita ketahui
bersama pemilihan umum di Indonesia melibatkan partai politik. Oleh sebab itu,
partai politik politik juga memiliki peran penting dalam demokrasi. Salah satu
pengaturan mengenai partai politik di Indonesia diatur dalam Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2012, yang di dalamnya memuat aturan mengenai verifikasi.
Namun aturan mengenai verifikasi tersebut dianggap telah merugikan hak
konstitusional warga negara sehingga dimohonkan judicial review di Mahkamah
Konstitusi dengan perkara Nomor 52/PUU-X/2012 karena tidak seluruh partai
politik diverifikasi, dan pada akhirnya permohonan tersebut dikabulkan oleh
Mahkamah Konstitusi. Setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut
seluruh partai politik wajib melakukan verifikasi di KPU untuk dapat mengikuti
pemilihan umum tahun 2014. Hal tersebut mempunyai makna bahwa partai politik
baru tidak boleh diperlakukan secara berbeda dengan partai politik lama (yang
pernah mengikuti Pemilihan Umum Tahun 2009), sehingga seluruh partai politik
harus dikenai syarat yang sama.
Kata kunci: verifikasi, partai politik, putusan mahkamah konstitusi.
Abdi, Mualimin
Compulsory Verification of Political Parties After Decisions Constitutional Court Number
52/PUU-X/2012
Indonesia Journal of Legislation Vol. 9 No. 4.
In a democracy, elections have a vital role, and as we know the general elections in
Indonesia involving political parties. Therefore, political parties also have an important
role in a democracy. A setting of political parties in Indonesia are regulated in Law
Number 8 of 2012, which inside contained rules on verification. But the rules on
verification is considered to have been detrimental to the constitutional rights of citizens
so that petitioned for judicial review in the Constitutional Court case Number 52/PUUX/2012 because not all political parties in the verification, and ultimately the application
is granted by the Constitutional Court. Following the decision of the Constitutional
Court all political parties shall verify on the Commission to be able to follow the elections
in 2014. This has meant that a new political party should not be treated differently from
the old political parties (who attended the General Election of 2009), so that all political
parties should be subject to the same terms.
Keywords: verification, political parties, the constitutional court ruling.
Vol. 9 No. 4 - Desember 2012
Kata kunci bersumber dari artikel.
Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa izin dan biaya
Mahendra, A.A. Oka
Kampanye Pemilu 2014 sebagai bagian dari Pendidikan Politik Masyarakat
Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 9 No. 4.
Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan ritual 5 (lima) tahunan yang dilaksanakan
oleh pemerintahan yang menganut prinsip kedaulatan rakyat atau demokrasi.
Pemilu dinyatakan sebagai sarana perwujudan kedaulatan rakyat, yang
dilaksanakan secara efektif dan efisen berdasarkan asas langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur dan adil. Melalui Pemilu yang demikian itu, diharapkan rakyat
sebagai pemegang kedaulatan dapat memilih wakil rakyat yang aspiratif,
berkualitas, dan bertanggung jawab dalam menjalankan fungsi legislatif secara
optimal. Salah satu tahapan penyelenggaraan Pemilu yang penuh warna dan
dinamika ialah kampanye Pemilu. Selama masa kampanye, komunikasi politik
antara kandidat anggota badan legislatif, partai politik dan pemilih berlangsung
secara intens dalam pengawasan Komisi Pemilihan Umum dan Pengawas Pemilu.
Undang-Undang Pemilu menyatakan Kampanye Pemilu merupakan bagian dari
pendidikan politik masyarakat dan dilaksanakan secara bertanggung jawab.
Pendidikan politik merupakan usaha sadar untuk mengubah proses sosialisasi
politik masyarakat ke arah perkembangan sikap dan tingkah laku politik yang
semakin demokratis. Melalui pendidikan politik yang berkelanjutan, rakyat akan
menjadi semakin cerdas, memiliki wawasan yang luas, dan memiliki rasa tanggung
jawab sebagai warga negara untuk menggunakan hak politiknya dalam negara
yang demokratis.
Kata kunci: Kampanye Pemilu yang mencerdaskan rakyat.
Mahendra, A.A. Oka
Election Campaign 2014 as Part of Politics Education Society
Indonesia Journal of Legislation Vol. 9 No. 4.
Election is a ritual 5 (five) year conducted by the government adheres to the principle of
popular sovereignty or democracy. Elections expressed as means embodiment of
popular sovereignty, which are carried out effectively and efisen based on the principles
of direct, general, free, secret, honest and fair. Through such elections, it is expected of
the people as sovereign can choose representatives who aspirational quality, and
responsible in carrying out the legislative function optimally. One of the stages of
organizing elections is full of color and dynamics of the election campaign. During the
campaign period, political communication between candidates for the legislature,
political parties and voters in the intense ongoing supervision Election Commission and
the Election Supervisor. Election Law states election campaign is part of the political
education of the public and conducted responsibly. Political education is a conscious
effort to change the political socialization process towards the development of attitudes
and political behavior increasingly democratic. Through ongoing political education, people
will become more and more educated, have extensive knowledge, a sense of
responsibility as citizens to use their political rights in a democratic country.
Keywords: election campaigns to educate people.
Kata kunci bersumber dari artikel.
Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa izin dan biaya
Arsil, Fitra
Mencegah Pemilihan Umum Menjadi Alat Penguasa
Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 9 No. 4.
Pada umumnya, negara-negara di dunia telah memberi tempat bagi demokrasi
dalam konstitusinya sebagai sistem yang mengatur hubungan rakyat dan penguasa.
Sebagai operasionalisasinya, negara-negara tersebut melaksanakan pemilihan
umum dalam pengisian jabatan para pemimpin atau wakil rakyatnya. Namun
kenyataannya pemilihan umum yang dianggap sebagai indikator utama demokrasi
tersebut telah terbukti dapat dijadikan sebagai alat penguasa atau rezim-rezim
berkinerja lemah untuk menambah legitimasinya. Rezim-rezim non-demokratis
melakukan berbagai reduksi dalam prosedur-prosedur demokrasi yang terdapat
dalam penyelenggaraan pemilihan umum terutama dengan menghambat partisipasi.
Kata kunci: Demokrasi, pemilihan umum, prosedur demokrasi, alat penguasa.
Arsil, Fitra
To Prevent the General Election from Being a Tool of the Authority
Indonesia Journal of Legislation Vol. 9 No. 4.
In general, many countries in the world have already given enough space for democracy
as a system that regulates relation between the people dan their ruler. To operasionalize
it, those countries conduct a general election in order to elect the ruler or their
representatives. However, what really happens is that the general election becomes the
main indicator of democrary has proven to be manipulated by the low performance ruler
or the regimes to strengthen their legitimacy. Non-democratic regimes reduces many
procedures of democracy for a fair election especially by restricting the participation.
Keywords: Democracy, election, procedures of democracy, participation.
Vol. 9 No. 4 - Desember 2012
Kata kunci bersumber dari artikel.
Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa izin dan biaya
Thohari, A. Ahsin
Deklinasi Partai Politik dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia
Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 9 No. 4.
Sebagai agen yang berperan untuk mengawal berlangsungnya “perubahanperubahan yang damai” (peaceful changes) dalam sebuah negara yang salah satunya
diwujudkan melalui kontestasi pemilihan umum, partai politik di Indonesia
mempunyai tugas yang sangat berat jika masih ingin memiliki masa depan yang
cerah dan segera beranjak dari keterpurukan deklinasi seperti terlihat selama
ini. Hal ini karena deklinasi partai politik, dalam dalam batas tertentu, dapat
mengarah pada inefisiensi pemerintahan dan tergerusnya legitimasi partai politik.
Dalam konteks Indonesia, deklinasi itu salah satunya diakibatkan oleh
kecenderungan kepengurusan partai politik yang bersifat oligarkis, karena hanya
dikendalikan oleh kelompok kecil pemegang kekuasaan internal partai politik.
Dalam hal ini, selalu muncul kelompok kecil yang mengendalikan (a minority of
directors) dan kelompok besar yang dikendalikan (a majority of directed) dalam
partai politik di Indonesia. Kemerosotan tingkat ekspektasi publik atas
pemerintahan dan kurangnya kemampuan politisi dalam memenuhi dahaga
ekspektasi publik tersebut pada akhirnya tidak bisa dihindarkan. Untuk keluar
dari krisis ini tentu saja transparansi dan akuntabilitas internal partai politik
menjadi pilihan yang tidak boleh dihindari. Persoalan lain yang juga berujung
pada deklinasi adalah praktik korupsi yang tidak saja merusak partai politik yang
bersangkutan tetapi juga sekaligus merusak proses-proses demokrasi secara
keseluruhan. Partai politik yang diidealkan sebagai penghubung antara masyarakat
dan pemerintah justru terjebak pada kepentingan-kepentingan dangkal. Hal ini
sebenarnya juga merupakan muara dari munculnya fenomena partai politik yang
mengandalkan jaringan berbasis patronase (patronage-based networks). Untuk
keluar dari krisis ini tentu saja partai politik harus mempunyai mekanisme
internal yang menghukum praktik tersebut, sebelum akhirnya tangan-tangan hukum
berkerja sebagaimana mestinya.
Kata kunci: Partai Politik, Hukum Tata Negara.
Thohari, A. Ahsin
The Decline of Political Parties in Constitutional Law of Indonesia
Indonesia Journal of Legislation Vol. 9 No. 4.
As an agent whose role is to oversee the ongoing “peaceful changes” in a country, one of
which is realized through the contestation of general elections, political parties in
Indonesia has a very tough task if they want to have a future bright future and soon
moved from decline as seen over the years. This is because of political parties decline, in
a certain extent, can lead to inefficiencies of government and erosion of political
legitimacy. In the Indonesian context, the decline was one of them caused by the
tendency of the management of political parties that are oligarchic, because it is
controlled by a small group of internal authority of political parties. In this case, there are
a minority of directors and a majority of directed in the Indonesian political party. The
decline of the level of the public’s expectations of government and politicians lack the
ability to meet public expectations thirst is eventually inevitable. To get out of this crisis,
of course transparency and accountability of political parties are option that should not
be avoided. Another thing that also led to the d is the corrupt practices that undermine
the political party but also at the same time undermine the democratic process as a
whole. Political parties are idealized as a liaison between the community and the
government was stuck on superficial interests. It is actually also the estuary of the
emergence of the phenomenon of political parties that rely on patronage-based
networks. To get out of this crisis, of course, political parties must have an internal
mechanism that punishes the practice, before finally hands the law works as it should.
Key word: Political Party, Constitutional Law.
Vol. 9 No. 4 - Desember 2012
Kata kunci bersumber dari artikel.
Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa izin dan biaya
Sihombing, Eka N A M dan Fatmah G, Nur
Mendorong Keterwakilan Perempuan di Lembaga Legislatif
Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 9 No. 4.
Tindakan afirmatif diperlukan agar keterwakilan perempuan di lembaga legislatif
segera terwujud. UU Nomor 8 Tahun 2012 belum menunjukkan ketegasan dalam
mendorong pemenuhan kuota 30% keterwakilan perempuan dalam daftar calon
anggota DPR maupun DPRD, untuk itu perlu diupayakan penataan peraturan
perundang-undangan bidang Pemilu Anggota DPR,DPD,dan DPRD melalui
pencantuman sanksi yang lebih konkrit dan tegas seperti diskualifikasi terhadap
partai politik yang tidak memenuhi kuota 30 persen keterwakilan perempuan
dalam daftar calon anggota DPR maupun DPRD. Dengan lebih banyak keterwakilan
perempuan di lembaga legislatif, diharapkan akan lahir kebijakan-kebijakan yang
lebih responsif gender.
Kata kunci: Keterwakilan perempuan,tindakan affirmatif.
Sihombing, Eka N A M dan Fatmah G, Nur
Encourage Representation in Legislative Institutions
Indonesia Journal of Legislation Vol. 9 No. 4.
Affirmative action needed to woman representation in legislative institute immediately
form. Law Number 8 Year 2012 not yet shown coherence in pushing accomplishment of
quota 30% representation of woman in member candidate list of Parliaments (DPR) and
also of Regional Parliaments (DPRD), for that require to be strived by settlement of Law
And Regulation of General Election Member of DPR, DPD, and DPRD through
coalescence of more concrete sanction and coherent like disqualified to political Party
which do not fulfill quota 30% representation of woman in member candidate list of DPR
and also of DPRD. With interest many representation of woman in legislative institute,
expected will born more responsive policys of gender.
Keyword: Representation of woman, affirmative action.
Kata kunci bersumber dari artikel.
Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa izin dan biaya
Zaelani
Batas Usia Dewasa Seseorang dalam Melakukan Perbuatan Hukum Berdasarkan
Peraturan Perundang-Undangan
Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 9 No. 4.
Peraturan perundang-undangan dapat mengatur dan memberikan batasan
pengertian terhadap suatu istilah, sebagaimana diatur dalam lampiran Pasal 104
Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan, pengertian suatu istilah dapat diatur berbeda dan berlaku terbatas
pada peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, perbedaan pengertian
suatu istilah hendaknya dimaknai bukan merupakan pengertian yang bertentangan
melainkan merupakan penyempurnaan dalam rangka menyesuaikan dengan
konteks materi muatan peraturan perundang-undangan yang sedang disusun.
Penentuan batas usia minimal seseorang dinyatakan cakap berkompentensi dan
berwenang melakukan perbuatan hukum, yang diatur dalam berbagai peraturan
perundang-undangan dengan pengaturan berbeda-beda, hal ini diatur berbedabeda untuk memberikan perbedaan dan pembatasan kewenangan seseorang dalam
melakukan perbuatan hukum. Batasan usia seseorang untuk dapat bertindak perlu
persamaan persepsi dan pemahaman bersama, agar perbuatan hukum yang
dilakukan menjadi sah berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Kata kunci: batas usia dewasa seseorang, berbeda satu dengan yang lain di berbagai
peraturan.
Zaelani
Adult Age Limits Someone in Doing an Action Under the Rule of Law Legislation
Indonesia Journal of Legislation Vol. 9 No. 4.
Legislation to regulate and give meaning to a term limit, as set forth in Annex Article 104
of Law No. 12 of year 2011 on the establishment of legislation, the definition of a term
can be set differently and the effect is limited to the legislation in question , the
difference in the sense of a term should not be interpreted to the contrary sense but a
refinement in order to adapt to the context of the substance of the legislation that is
being drafted. Determination of the minimum age a person is declared competent
authorities berkompentensi and legal actions, it is stipulated in various laws with
different settings, this set different restrictions to make a difference and someone in
authority to take legal actions. Age limit a person needs to be able to act with the same
perception and understanding, in order to do a legal act illegal under legislation.
Keywords: limit one’s adulthood, different from one another in a variety of regulatory.
Vol. 9 No. 4 - Desember 2012
Kata kunci bersumber dari artikel.
Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa izin dan biaya
Syaripulloh, Yanuar
Aspek Hukum Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia Kepada BUMN/BUMD/
Badan Hukum Lainnya
Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 9 No. 4.
Untuk mewujudkan kesejahteraan umum melalui badan usaha, Pemerintah
melakukan Penyertaan Modal Negara untuk mendirikan Badan Usaha Milik Negara.
Selanjutnya untuk menyelamatkan perekonomian nasional, Pemerintah dapat pula
melakukan penyertaan modal Negara ke dalam Perseroan Terbatas yang di dalamnya
belum terdapat saham milik Negara. Penyertaan modal Negara seperti ini dilakukan
oleh Pemerintah dengan mengeluarkan dana dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara. Untuk memperbaiki struktur permodalan dan meningkatkan
kapasitas usaha Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas, Pemerintah
dapat pula melakukan penambahan penyertaan modal Negara ke dalam Badan
Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas tersebut yang dananya dapat berasal
dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Kata kunci : Penyertaan modal negara/daerah.
Syaripulloh, Yanuar
Legal Aspects of Capital Investments of the Republic of Indonesia to BUMN/BUMD/
Other Legal Entities
Indonesia Journal of Legislation Vol. 9 No. 4.
In order achieve common prosperity through business entities, the Government makes
to establish the Investment of the State-Owned Enterprises. Furthermore, to save the
national economy, the Government may also undertake equity participation in the State
Limited Liability Company in which shares are not owned by the State. State equity
participation as is done by the Government to release funds from the State Budget. To
improve its capital structure and enhance the business capacity of State Owned
Enterprises and Company Limited, Government may also undertake additional equity
into the State-Owned Enterprises and Limited Liability Company with funds to come
from the State Budget.
Keywords: Equity countries/regions.
Kata kunci bersumber dari artikel.
Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa izin dan biaya
Wiriadinata, Wahyu
Peranan Aparat Penegak Hukum dalam Pelanggulangan Terorisme di Indonesia
Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 9 No. 4.
Saat ini, terorisme gerakan di Indonesia semakin meningkat, baik frekuensi
maupun percepatan. Sudah ada undang-undang yang megatur pemberantasan
kejahatan terorisme, yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003. Hukum ini
telah berlaku sejak tahun 2003 dan dilaksanakan oleh penegak hukum
Indonesia, khususnya Kepolisian Indonesia. Karena beberapa kendala psikologis
dan teknik yuridis, penanganan kejahatan terorisme belum berhasil secara
optimal. Secara umum, peran penegak hukum belum efektif dan optimal dalam
mencegah terorisme di Indonesia, karena gerakan terorisme tidak hanya gerakan
lokal tetapi juga jaringan internasional dengan menggunakan teknologi tinggi,
dan gerakan terorisme di Indonesia didasarkan pada ideologi fundamental, yaitu
Islam, sehingga tidak bisa didekati oleh paradigma represif dan pendekatan yuridis,
melainkan harus dilengkapi dengan pendekatan psikologis dan sosiologis-religius.
Kata kunci: Terorisme, Aparat penegak hukum.
Wiriadinata, Wahyu
The Role of Law Enforcers in Dealing with Terrorism in Indonesia
Indonesia Journal of Legislation Vol. 9 No. 4.
Currently, terrorism movement in Indonesia is increasing, both in frequency and
inacceleration. There is already a legislation that provides for the eradication of terrorism
crime, i.e. Law Number 15 of 2003. The Law has been in effect since 2003 and
implemented by Indonesia law enforcers, particularly Indonesia Police. Due to some
psychological constraints and juridical techniques, the handling of terrorism crimes has
not been successful optimally. In general, the role of law enforcers has not been effective
and optimal yet in preventing terrorism in Indonesia, because terrorism movements are
not only local movements but also international networks by employing high technology,
and terrorism movement in Indonesia is based on a fundamental ideology, that is, Islam,
so that it couldn’t be approached by a repressive paradigm and juridical approach, but
rather it should be supplemented by a psychological and sociological-religious approach.
Keywords: Terrorism, Law enforcers.
Vol. 9 No. 4 - Desember 2012
PARTAI POLITIK DAN DEMOKRASI INDONESIA MENYONGSONG
PEMILIHAN UMUM 2014
(POLITICAL PARTY AND INDONESIAN DEMOCRACY TOWARDS
THE 2014 GENERAL ELECTION)
Munafrizal Manan*
(Naskah diterima 31/10/2012, disetujui 23/11/2012)
Abstrak
Partai politik dan demokrasi memiliki hubungan simbiosis mutualis. Masingmasing saling memerlukan yang lain. Demokrasi perwakilan yang diterapkan
pada zaman modern ini membutuhkan partai politik. Peran dan fungsi partai
politik dapat termanifestasi dengan baik hanya dalam sistem politik demokratis.
Postulat ini juga berlaku di Indonesia. Partai politik Indonesia memiliki
pengalaman sejarah cukup panjang. Partai politik mendahului kehadiran negara
Republik Indonesia. Partai politik Indonesia mengalami masa pasang dan surut.
Sistem kepartaian Indonesia merupakan produk dari sistem politik pada
zamannya. Dalam sistem politik yang demokratis, sistem kepartaian
Indonesia ikut menjadi demokratis. Begitu sebaliknya. Sejak Era Reformasi
partai politik memiliki kebebasan dan otonomi, bahkan partai memiliki peran
dominan dalam praktik ketatanegaraan. Namun, partai politik juga menjadi
beban bagi demokrasi Indonesia saat ini.
Kata Kunci: Partai politik, sistem politik, sistem kepartaian, demokrasi,
otoritarianisme, Indonesia.
Abstract
Political party and democracy have a symbiotic mutualism relationship. Each needs
another. Representative democracy applied in the modern times needs political party.
The role and function of political party can be manifested in a good manner only in
democratic political system. Such a postulate applies in Indonesia. Indonesian political
parties have a long historical experience. In Indonesia, political party arose before the
state. Political parties in Indonesia have been experiencing the rise and fall.
Indonesian party system has been the result of political system each era. In
democratic political system, party system has become democratic. And vice versa.
Since the Reformation Era begun political parties have freedom and autonomy, even
political parties have a dominant role in state affairs. However, political parties are
also the problem for Indonesian democracy today.
Keywords: Political party, political system, party system, democracy,
authoritarianism, Indonesian
*
Dosen Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan Universitas Nasional Jakarta.
501
Vol. 9 No. 4 - Desember 2012
A.
Pendahuluan
Pada tahun 2014 mendatang Indonesia akan kembali menggelar
perhelatan ritual demokrasi untuk memilih anggota legislatif dan
presiden dan wakil presiden periode 2014-2019. Serangkaian tahapan
Pemilu 2014 telah dan sedang dilakukan. Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2012 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Partai Politik dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang
Pemilihan Umum telah disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) periode 2012-2017 telah dipilih
oleh DPR. Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) telah
dibentuk dan anggotanya telah dipilih.
KPU akan memasuki tahap verifikasi faktual calon partai politik
yang akan menjadi peserta dalam Pemilu 2014. KPU telah memutuskan
sebanyak 12 dari 46 partai politik calon peserta Pemilu 2014 gagal
memasuki tahap verifikasi administrasi awal karena tidak dapat
memenuhi seluruh dokumen persyaratan pendaftaran. KPU juga telah
memutuskan sebanyak 16 partai politik lolos seleksi administrasi dan
18 partai politik tidak lolos seleksi ini. 1 Berdasarkan hasil akhir
verifikasi faktual nanti, KPU akan memutuskan jumlah partai politik
peserta Pemilu 2014. Tampaknya jumlah partai peserta Pemilu 2014
akan menjadi lebih sedikit daripada Pemilu sebelumnya.
Verifikasi atas partai politik ini merupakan salah satu tahapan
krusial, tidak hanya bagi partai politik tetapi juga bagi KPU. Partai politik
harus bekerja keras memenuhi semua persyaratan yang sekarang lebih
berat untuk dapat lolos menjadi partai politik peserta Pemilu 2014.
Apalagi Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Pengujian UndangUndang tentang Partai Politik telah menegaskan bahwa semua partai
politik tanpa terkecuali harus melewati verifikasi oleh KPU untuk dapat
menjadi peserta Pemilu 2014.2 KPU juga harus bekerja keras melakukan
verifikasi secara objektif, independen, dan tepat waktu sesuai dengan
tahapan Pemilu 2014 yang telah ditetapkan. Kegagalan KPU memenuhi
prinsip kerja ini berpotensi mereduksi kualitas kerja KPU, menyulut
kompleksitas persoalan Pemilu, atau bahkan mendelegitimasi hasil
Pemilu.
Kompas, 11 September 2012; Kompas, 29 Oktober 2012.
MK telah membatalkan ketentuan Pasal 8 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang
Pemilihan Umum yang memberi keistimewaan bagi partai politik peserta Pemilu 2009 yang memenuhi
ambang batas perolehan suara untuk secara otomatis menjadi peserta Pemilu 2014 tanpa melalui
verifikasi oleh KPU. Kompas, 30 Agustus 2012.
1
2
502
Partai Politik Dan Demokrasi Indonesia Menyongsong ...
Sejak memasuki Era Reformasi pada tahun 1998, Indonesia telah
menyelenggarakan secara periodik tiga kali pemilihan umum (Pemilu),
yaitu Pemilu 1999, Pemilu 2004, dan Pemilu 2009. Pemilu 2014 akan
menjadi Pemilu keempat dalam Era Reformasi di Indonesia. Dalam
perspektif demokrasi elektoral, Indonesia telah mampu melewati apa
yang dalam studi demokrasi disebut the two-turnover test. Istilah ini
merujuk pada kemampuan negara melewati fase transisi demokrasi
menuju fase konsolidasi demokrasi berdasarkan keberhasilan
menyelenggarakan dua kali Pemilu sejak berakhirnya era kekuasaan
otoriter. 3 Pemilu yang keempat nanti merupakan momentum bagi
Indonesia memantapkan konsolidasi demokrasi.
Keberhasilan menyelenggarakan Pemilu tentu tidak dapat seketika
disimpulkan Indonesia telah berhasil mewujudkan demokrasi
substantif, meskipun demokrasi elektoral adalah prasyarat dan bagian
esensial bagi demokrasi substantif. Demokrasi elektoral (demokrasi
minimalis) dan demokrasi substantif (demokrasi maksimalis)
mengandung makna dan memiliki ukuran berbeda. Jika realisasi
demokrasi elektoral diukur hanya sebatas Pemilu yang bebas,
kompetitif, dan demokratis, 4 maka realisasi demokrasi substantif
mensyaratkan lebih daripada sekadar penyelenggaraan Pemilu.
Demokrasi substantif mencakup aspek yang luas, mulai dari adanya
kebebasan sipil dan politik, jaminan hak-hak asasi manusia, hingga
terwujudnya tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih. Menurut
laporan penilaian praktik demokrasi di dunia yang dirilis oleh Freedom
House, lembaga independen terkemuka dari Amerika Serikat yang
melakukan riset dan advokasi demokrasi, berjudul Countries at the
Crossroads 2012, kualitas demokrasi Indonesia menurun dan masuk
dalam kelompok negara di persimpangan jalan. Penilaian ini didasarkan
atas beberapa indikator, yaitu perlindungan terhadap kaum minoritas,
jaminan keamanan bagi jurnalis melaksanakan tugasnya, dominasi
Samuel P. Huntington, 1991. The Third Wave Democratization in the Late Twentieth Century, University of Oklahoma Press, Norman. Hlm. 26-27.
4
Dalam literatur demokrasi, demokrasi elektoral disebut beraliran Schumpeterian karena berakar
pada pendapat Joseph A. Schumpeter tentang “metode demokratis” mencapai keputusan politik. Dalam
buku klasiknya berjudul Capitalism, Socialism and Democracy, Schumpeter berpendapat bahwa: “The
democratic method is that institutional arrangement for arriving at political decisions in which individual
acquire the power to decide by means of a competitive struggle for the people’s vote.” Lihat, Joseph A.
Schumpeter, 1987. Capitalism, Socialism and Democracy, Unwin Paperbacks, London. Hlm. 269.
3
503
Vol. 9 No. 4 - Desember 2012
kepemilikan media oleh segelintir elite, dan keseriusan pemberantasan
korupsi. Indonesia mendapat nilai rendah terkait dengan indikator
tersebut. 5 Demokrasi substantif Indonesia akan tampak semakin
problematik jika variabel potret kehidupan partai politik Indonesia juga
dimasukkan di dalamnya. Artinya, Indonesia memang masih harus
serius bekerja keras untuk mencapai demokrasi substantif.
Tulisan singkat ini memaparkan dan menganalisis potret
kehidupan partai politik dan demokrasi Indonesia. Potret kehidupan
partai politik dan demokrasi Indonesia dalam sepanjang sejarahnya
merupakan resultante hubungan antara sistem politik dan sistem
kepartaian. Sistem kepartaian yang diterapkan merupakan produk dari
sistem politik yang dianut. Partai politik Indonesia telah lama
merindukan ruang sistem politik demokratis agar eksistensi dan
otonomi partai politik terlindungi. Namun, kiprah partai politik pada Era
Reformasi yang demokratis justru menjadi beban bagi praktik demokrasi
Indonesia. Partai politik belum banyak memberi kontribusi konstruktif
untuk mewujudkan demokrasi substantif. Ini merupakan paradoks
kehidupan partai politik dan demokrasi Indonesia.
B.
Partai Politik Barometer Kualitas Demokrasi
Praktik demokrasi mendahului kemunculan partai politik.
Sebelum dikenal organisasi bernama partai politik, demokrasi bekerja
dalam bentuk demokrasi langsung (direct democracy). Negara kota Athena
pada masa Yunani Kuno sering dirujuk sebagai praktik awal demokrasi
langsung tersebut, meskipun yang memiliki hak suara hanya warga
negara tertentu saja.6 Dalam demokrasi langsung, warga negara terlibat
secara langsung dan proaktif dalam proses dan mekanisme pembuatan
keputusan dan kebijakan publik (direct vote). Menurut David Held,
demokrasi langsung adalah “sebuah sistem pembuatan keputusan
tentang masalah-masalah publik yang melibatkan warga negara secara
langsung”.7 Demokrasi langsung dapat diterapkan pada masa lalu karena
populasi warga negara masih relatif sedikit dan luas teritorial
pemerintahan relatif kecil.
Lihat Kompas, Skor Indonesia Kembali Memburuk. 19 September 2012. Hlm. 1. Dapat juga diakses
langsung ke laman resmi Freedom House (www.freedomhouse.org).
6
Anthony H. Birch, 1993. The Concepts and Theories of Modern Democracy, Routledge, London and
New York. Hlm. 45.
7
David Held, 1987. Models of Democracy, Stanford University Press, Stanford, California. Hlm. 4.
5
504
Partai Politik Dan Demokrasi Indonesia Menyongsong ...
Perkembangan zaman yang antara lain menciptakan pertambahan
populasi dan perluasan teritorial telah meminggirkan kelanjutan praktik
demokrasi langsung. Ketika peradaban Barat mulai menemukan dan
menerapkan prinsip perwakilan (representation) dan pemilihan umum
(election) dalam praktik sistem politiknya, praktik demokrasi langsung
ala negara-kota Athena pada zaman Yunani Kuno dianggap anakronistik.
Praktik demokrasi kemudian beralih menjadi tidak langsung (indirect
democracy) berbasiskan pada demokrasi perwakilan. Kemunculan partai
politik pada abad ke-19 semakin memantapkan praktik demokrasi
perwakilan (representative democracy).
Kehadiran dan peran partai politik saat ini menjadi prasyarat
penting bagi praktik demokrasi modern. Demokrasi modern adalah
demokrasi partai.8 Sejak disadari ketidakmungkinan menerapkan lagi
demokrasi langsung ala zaman Yunani Kuno di Athena dahulu, partai
politik kemudian menjadi bagian inheren dalam praktik demokrasi
perwakilan. Demokrasi modern adalah demokrasi perwakilan. Kini
semakin diakui demokrasi perwakilan tidak dapat berjalan baik tanpa
kehadiran partai politik yang salah satu fungsinya sebagai
intermediator antara elite politik dan konstituen.
Literatur studi demokrasi umumnya menyebut adanya partai politik
yang bebas, otonom, dan kompetitif merupakan conditio sine quo non bagi
praktik demokrasi. 9 Sistem politik demokratis diyakini mampu
memfasilitasi kehidupan partai politik yang bebas, otonom, dan
kompetitif, maka demokratisasi partai politik mensyaratkan
demokratisasi sistem politik terlebih dulu. Tanpa sistem politik
demokratis, sulit muncul partai politik yang bebas, otonom, dan
kompetitif. Dalam sistem politik non-demokratis, kehidupan partai
politik umumnya tidak bebas, tidak otonom, dan tidak kompetitif.
Jika pada awalnya partai politik merupakan salah satu prasyarat
penting bagi praktik demokrasi perwakilan, kini peran dan fungsi partai
politik ikut menentukan kualitas praktik demokrasi perwakilan. Dalam
pengertian ini, demokrasi perwakilan tidak hanya mensyaratkan
8
Richard S. Katz, 1980. A Theory of Parties and Electoral Systems, The Johns Hopkins University
Press, Baltimore and London. Hlm. 1.
9
Lihat, misalnya, Robert A. Dahl, 1971. Polyarchy: Participation and Opposition, Yale University Press,
New Haven and London. hlm. 3-4; Afan Gaffar, 1999. Politik Indonesia Menuju Transisi Menuju Demokrasi,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Hlm. 8-9.
505
Vol. 9 No. 4 - Desember 2012
kehadiran partai politik, tetapi juga menuntut partai politik memberi
kontribusi positif dan konstruktif terwujudnya praktik demokrasi
perwakilan berkualitas. Artinya, sepak-terjang partai politik merupakan
variabel yang mempengaruhi kualitas demokrasi. Jika partai politik
menjalankan peran dan fungsinya dengan baik, kualitas demokrasi akan
menjadi baik. Begitu pula sebaliknya.
Variabel potret partai politik penting menjadi barometer atas
kualitas praktik demokrasi karena kehadiran partai politik an sich bukan
merupakan garansi penuh atas kedemokratisan sistem politik. Pada
saat ini, partai politik atau organisasi yang berkiprah seperti partai politik
terdapat hampir di semua negara di dunia. Partai politik tidak hanya
hadir di negara yang menganut sistem politik demokratis, tetapi juga di
negara yang menerapkan sistem politik otoriter dan totaliter. Oleh sebab
itu, penilaian atas kedemokratisan suatu sistem politik atau kualitas
praktik demokrasi tidak cukup hanya berdasarkan pada aspek
keberadaan partai politik yang bebas, otonom, dan kompetitif, namun
juga berdasarkan pada aspek sepak-terjang partai politik dan
kemampuan partai politik menjalankan peran dan fungsinya.
Menjelaskan dan menganalisis partai politik di Indonesia pada Era
Reformasi yang hendak menyongsong pemilihan umum tahun 2014
mendatang perlu dikaitkan dengan perspektif tersebut.
C.
Lintas Sejarah Partai Politik Indonesia
Kita akan mendapat gambaran utuh memahami partai politik dan
demokrasi Indonesia manakala tidak melepaskan konteks sejarah
kepartaian Indonesia. Kehidupan partai politik di Indonesia memiliki
pengalaman sejarah yang cukup panjang. Embrio eksistensi partai politik
bahkan telah muncul pertama kali pada zaman perjuangan
kemerdekaan Republik Indonesia. Sejak Indonesia memasuki zaman
kemerdekaan, eksistensi partai politik tidak pernah sirna meskipun
perjalanan garis sejarahnya tidak linear. Kehidupan partai politik di
Indonesia mengalami apa yang disebut oleh Daniel Dhakidae tigapuluh
satu tahun silam sebagai “masa pasang dan masa surut partai politik”.10
Daniel Dhakidae, 1986. Pemilihan Umum di Indonesia: Saksi Pasang Naik dan Surut Partai Politik,
dalam Seri Prisma, Demokrasi dan Proses Politik, LP3ES, Jakarta. Tulisan ini awalnya dimuat dalam
Prisma, September 1981, kemudian diterbitkan kembali sebagai salah satu kompilasi artikel-artikel
Prisma dalam buku tersebut.
10
506
Partai Politik Dan Demokrasi Indonesia Menyongsong ...
Dalam lintasan zaman yang berbeda itu, eksistensi dan peran partai
politik tidak dapat dilepaskan dari konteks bingkai sistem politik di mana
partai politik itu hidup. Catatan historis kepartaian Indonesia
menunjukkan desain sistem kepartaian yang berlaku merupakan
refleksi dari sistem politik yang dianut. Merentangi perjalanan sejarah
itu, kehidupan partai politik di Indonesia pernah mengalami masa
fungsional, disfungsi, dan juga malfungsi. Postulat tentang hubungan
sistem politik dan sistem kepartaian ini masih terus terjaga
kesahihannya hingga sekarang.
Partai politik adalah bagian dari motor perjuangan kemerdekaan
Indonesia. Para pejuang kemerdekaan menggunakan partai politik
sebagai alat pendidikan politik, mobilisasi massa, dan perlawanan
terhadap kolonialisme. Kita mengenal antara lain Partai Syarikat
Islam Indonesia, Partai Komunis Indonesia, Partai Nasional Indonesia,
dan Partai Indonesia yang mengkreasi partai politik sebagai alat
perjuangan. Dari nama-nama partai politik itu tercermin bahwa
kehidupan partai politik di Indonesia memiliki spektrum basis aliran
atau ideologi yang beragam, yaitu mulai dari religius, nasionalis, hingga
komunis.11
Kehadiran partai politik mendahului kehadiran negara Republik
Indonesia. Sejak Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, partai
politik dapat dikatakan telah siap menyambut berdirinya negara baru
bernama Republik Indonesia. Ketika Indonesia secara terbuka telah
memproklamasikan kemerdekaannya sebagai negara-bangsa
(nation-state), partai politik adalah infrastruktur politik yang langsung
tersedia. Dalam bingkai sistem politik demokratis pada masa awal
kemerdekaan Republik Indonesia yang sering disebut sebagai Demokrasi
Liberal atau Demokrasi Parlementer, partai politik hidup secara bebas
dan leluasa. Pada masa itu tidak dikenal pembatasan dan pelarangaan
11
Sejarah kepartaian Indonesia menunjukkan, aliran politik atau ideologi partai politik Indonesia
bergerak dinamis mengikuti perubahan sistem politik, sistem kepartaian, dan perkembangan zaman.
Namun, pada prinsipnya eksistensi aliran politik atau ideologi itu cenderung tetap hidup kendati
eksistensi partai politik telah berganti atau bubar. Lihat, Herbert Feith dan Lance Castle (eds.), 1988.
Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965, LP3ES, Jakarta; Daniel Dhakidae, 1999. Partai-Partai Politik
Indonesia: Kisah Pergerakan dan Organisasi dalam Patahan-Patahan Sejarah, dalam Kompas, PartaiPartai Politik Indonesia, PT Kompas Media Nusantara, Jakarta; David Bourchier dan Vedi R. Hadiz (eds.),
2006. Pemikiran Sosial dan Politik Indonesia Periode 1965-1999, Pustaka Utama Grafiti dan Freedom
Institute, Jakarta.
507
Vol. 9 No. 4 - Desember 2012
terhadap partai politik, baik mengenai jumlah maupun ideologi partai
politik. Bahkan, Pemerintah Republik Indonesia melalui Maklumat
Pemerintah yang dikeluarkan oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta
tanggal 3 November 1945 menyatakan “Pemerintah menyukai timbulnya
partai-partai politik karena dengan partai-partai politik itulah dapat
dipimpin ke jalan yang teratur segala aliran yang ada dalam masyarakat”.
Maklumat ini sangat bersejarah karena tidak ada Pemerintah
Indonesia berikutnya yang secara tegas dan terus terang menyatakan
menyukai munculnya banyak partai politik. Maklumat ini menjadi
justifikasi legal-formal atas sistem kepartaian Indonesia yang bersifat
multipartai dan multialiran pada masa itu.
Selama periode Demokrasi Liberal atau Demokrasi Parlementer,
kehidupan partai politik di Indonesia berlangsung bebas, otonom, dan
kompetitif. Ada banyak partai yang muncul berkiprah dan berlaga dalam
gelanggang politik masa itu. Pemilihan umum pertama kali dalam sejarah
Indonesia yang digelar pada tahun 1955 menjadi arena kontestasi politik
perdana menguji dukungan masyarakat terhadap partai-partai politik.
Hasil pemilu 1955 menghasilkan hanya empat partai besar memperoleh
suara terbanyak, secara berurutan yaitu PNI, Masyumi, NU, dan PKI.12
Dengan demikian, hasil Pemilu 1955 menciptakan penyederhanaan
jumlah partai politik secara demokratis. Selama periode itu, partai politik
berperan penting dalam kehidupan politik. Inilah periode sejarah
Indonesia yang disebut oleh Wilopo sebagai “zaman pemerintahan partaipartai” dan “zaman kabinet silih berganti”.13 Terlepas dari berbagai
kelemahan yang menyertai periode Demokrasi Liberal atau Demokrasi
Parlementer, kehidupan partai politik yang bebas, otonom, dan
kompetitif dapat terwujud pada masa itu karena diterapkannya sistem
politik demokratis.
Memasuki masa Demokrasi Terpimpin, sistem politik yang dianut
mengalami perubahan ke arah cenderung otoriter, dan sebagai
akibatnya, politik kepartaian pun ikut mengalami perubahan. Pada masa
ini, Pemerintah mulai menunjukkan ketidaksukaan terhadap
eksistensi multipartai dan mulai dikenal adanya pembatasan dan
12
Lihat, Herbert Feith, 2005. Pemilihan Umum 1955 di Indonesia, Kepustakaan Populer Gramedia,
Jakarta.
13
Wilopo, 1976. Jaman Pemerintahan Partai-Partai dan Kelemahan-Kelemahannya, Yayasan Idayu,
Jakarta.
508
Partai Politik Dan Demokrasi Indonesia Menyongsong ...
bahkan pembubaran dan larangan terhadap partai politik. Seiring dengan
kecenderungan Presiden Soekarno menjadi Pemimpin Besar dan
memiliki kekuasaan yang besar, mulai muncul upaya melumpuhkan
partai-partai politik, terutama partai politik yang tidak sepaham dengan
garis politik dan ideologi Soekarno. Presiden Soekarno secara terangterangan menunjukkan ketidaksukaannya terhadap partai politik. Ia
secara terbuka ingin mengubur partai-partai politik karena partai politik
dianggap menciptakan fragmentasi sosial dan kegaduhan politik.
Menurut Daniel S. Lev, Demokrasi Terpimpin memang dari sejak awal
terbentuknya bersikap antipartai.14
Upaya mengerdilkan dan melumpuhkan partai politik dilakukan
oleh rezim Demokrasi Terpimpin segera setelah Dekrit Presiden
Soekarno tanggal 5 Juli 1959 yang menjadi justifikasi mengakhiri periode
Demokrasi Liberal atau Demokrasi Parlementer. Pemerintah
mengeluarkan Penpres No. 7/1959 yang mengatur tentang
penyederhanaan partai politik. Kemudian dikeluarkan Penpres No. 13/
1960 tentang pengakuan, pengawasan, dan pembubaran partai politik.
Pada tahun 1960, Partai Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia
dibubarkan karena dituding terlibat dalam pemberontakan PRRI/
Permesta. Pada tahun 1961, Pemerintah hanya mengakui delapan partai
politik, yaitu PNI, NU, PKI, Partai Katolik, Partai Indonesia, Partai Murba,
PSII, dan IPKI. Kemudian ditambah lagi mengakui dua partai politik,
yaitu Parkindo dan Perti. Selama periode Demokrasi Terpimpin, hanya
sepuluh partai politik ini yang boleh terus hidup. Untuk melemahkan
kedudukan partai politik, pada tahun 1960 Presiden Soekarno
membentuk Front Nasional yang anggotanya meliputi wakil dari semua
partai politik serta ditambah dengan golongan fungsional dan ABRI.15
Sejarah kepartaian Indonesia selama periode Demokrasi Terpimpin
menunjukkan bahwa politik kepartaian terbelenggu dalam sistem politik
tidak demokratis.
Tampilnya kekuasaan rezim Orde Baru, setelah berhasil mengambil
alih kekuasaan Presiden Soekarno, menampilkan wajah baru politik
kepartaian Indonesia, tetapi tetap dalam bingkai semangat membenci
14
Daniel S. Lev, 1988. Partai-Partai Politik di Indonesia Pada Masa Demokrasi Parlementer (19501957) dan Demokrasi Terpimpin (1957-1965), dalam Ichlasul Amal (ed.), Teori-Teori Mutakhir Partai
Politik, Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta.
15
Miriam Budiardjo, 1994. Demokrasi di Indonesia: Demokrasi Parlementer dan Demokrasi Pancasila,
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. hlm. 229.
509
Vol. 9 No. 4 - Desember 2012
partai politik seperti dilakukan oleh Presiden Soekarno. Sistem
kepartaian Indonesia yang dibentuk oleh Orde Baru pada prinsipnya
merupakan kelanjutan dari format sistem kepartaian yang telah dirintis
oleh Demokrasi Terpimpin.16 Menurut R. William Liddle, pemerintahan
Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto pada dasarnya antipartai.17
Rezim Orde Baru secara sistematis melakukan serangkaian
langkah pembenahan politik kepartaian sesuai dengan misi politiknya.
Ini telah mulai dilakukan sebelum kekuasaan Orde Baru terkonsolidasi
secara mantap pasca tersingkirnya Soekarno dari pusat kekuasaan.
Langkah radikal pertama yang dilakukan yaitu membubarkan PKI, yang
dituding bertanggung jawab atas terbunuhnya beberapa Jenderal dari
Angkatan Darat. Pada awalnya rezim Orde Baru masih tampak menahan
diri untuk tidak tergesa-gesa menggusur partai politik. Pemilihan umum
pertama yang digelar oleh Orde Baru pada tahun 1971 masih
menyertakan sepuluh partai politik sebagai peserta Pemilu. Namun,
saat kekuasaan rezim Orde Baru telah terkonsolidasi cukup kuat,
barulah penguasa Orde Baru secara persuasif dan represif melakukan
serangkaian penataan politik kepartaian dengan satu tujuan utama yaitu
melemahkan dan mengoptasi partai-partai politik. Orde Baru
memaksakan fusi partai politik warisan Orde Lama menjadi hanya dua
partai politik beraliran religius (PPP) dan nasionalis (PDI). Orde Baru
juga mewajibkan partai mencantumkan Pancasila sebagai asas tunggal
sembari mengubur aliran ideologis partai politik. Masyarakat pedesaan
dijauhkan dari hiruk-pikuk kepartaian melalui kebijakan massa
mengambang guna mencegah struktur organisasi partai politik masuk
ke desa-desa. Pegawai negeri sipil (PNS) wajib loyal terhadap Golongan
Karya sebagai organisasi politik pendukung Pemerintah. Orde Baru
mengebiri peran dan fungsi partai politik sehingga dua partai yang ada
(PPP dan PDI) tampak sekadar pajangan demokrasi. Lebih jauh, penguasa
Orde Baru seringkali mencampuri urusan internal PPP dan PDI, terutama
untuk memastikan kedua partai ini dipimpin oleh orang yang patuh
dan loyal penuh pada penguasa Orde Baru. Semua ini dilakukan dengan
tujuan untuk menciptakan stabilitas politik agar pembangunan yang
digalakkan oleh Orde Baru dapat berjalan18 dan sekaligus sebagai upaya
Arbi Sanit, 1997. Partai, Pemilu dan Demokrasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Hlm. 47.
R. William Liddle, 1992. Partisipasi dan Partai Politik Indonesia Pada Awal Orde Baru, Pustaka Utama
Grafiti, Jakarta. Hlm. 132.
18
M. Rusli Karim, 1983. Perjalanan Partai Politik di Indonesia: Sebuah Potret Pasang-Surut, Rajawali
Pers, Jakarta. Hlm. 172.
16
17
510
Partai Politik Dan Demokrasi Indonesia Menyongsong ...
untuk melanggengkan kekuasaan rezim Orde Baru. Sejarah kepartaian
Indonesia selama periode Orde Baru menunjukkan bahwa politik
kepartaian menjadi terkungkung dan tertindas oleh sistem politik
otoriter.
Berbagai studi tentang sejarah kepartaian Indonesia umumnya
menunjuk sistem politik tidak demokratis sebagai sebab terjadinya
keterpurukan kepartaian di Indonesia.19 Periode kekuasaan Demokrasi
Terpimpin dan kekuasaan Orde Baru secara jelas menunjukkan partai
politik sulit berperan dan berfungsi baik dalam bingkai sistem politik
otoriter. Ini memunculkan kerinduan akan hadirnya kembali politik
kepartaian yang bebas, otonom, dan kompetitif seperti periode Demokrasi
Liberal atau Demokrasi Parlementer silam. Kerinduan hanya dapat
terjawab manakala hadir sistem politik demokratis terlebih dahulu.
Sistem politik demokratis diyakini sebagai panacea atas krisis politik
kepartaian yang hampir empat puluh tahun mendera Indonesia. Inilah
salah satu alasan menggelindingnya bola salju perjuangan menegakkan
demokrasi Indonesia selama periode kekuasaan rezim Orde Baru.
Perjuangan ini kemudian mencapai puncaknya pada Gerakan Reformasi
Mei 1998 yang berhasil memaksa mundur Presiden Soeharto dari kursi
kekuasaaannya yang telah diduduki selama 30 tahun. Ini menandai
dimulainya Era Reformasi di Indonesia.
Euforia politik pada Era Reformasi membawa angin segar bagi politik
kepartaian Indonesia. Liberalisasi politik dan restrukturisasi politik
yang berlangsung pada Era Reformasi mengarah pada terbentuknya
sistem politik demokratis. Ini membawa konsekuensi bagi terciptanya
sistem kepartaian yang bebas, otonom, dan kompetitif. Pengalaman
indah politik kepartaian pada masa Demokrasi Liberal atau Demokrasi
Parlementer dirasakan kembali pada Era Reformasi, maka sekonyongkonyong bermunculan partai politik secara masif. Bak cendawan di
musim hujan. Sejumlah partai politik yang muncul merupakan
reinkarnasi partai-partai politik pada periode sebelumnya. Sejumlah
partai politik lainnya merupakan partai politik yang baru pertama kali
muncul. Pluralisme kepartaian, yang ditandai oleh multipartai, bangkit
19
Lihat, misalnya, Daniel S. Lev, 1988. Partai-Partai Politik di Indonesia Pada Masa Demokrasi
Parlementer (1950-1957) dan Demokrasi Terpimpin (1957-1965), dalam Ichlasul Amal (ed.), Teori-Teori
Mutakhir Partai Politik, Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta; R. William Liddle, 1992. Partisipasi dan Partai
Politik Indonesia Pada Awal Orde Baru, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta; Daniel Dhakidae, 1995, cetakan
keempat. Partai Politik dan Sistem Kepartaian di Indonesia, dalam Seri Prisma, Analisa Kekuatan Politik
Indonesia, LP3ES, Jakarta.
511
Vol. 9 No. 4 - Desember 2012
kembali. Pemilihan-pemilihan umum yang diselenggarakan pada Era
Reformasi selalu diikuti oleh banyak partai politik: Pemilu 1999 (48 partai
politik), Pemilu 2004 (24 partai politik), Pemilu 2009 (38 partai politik
nasional dan 6 partai politik lokal).
Ada dua momentum penting yang menjadi dasar transformasi politik
kepartaian pada Era Reformasi, yaitu diberlakukannya Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik dan berlangsungnya
Amandemen Undang-Undang Dasar 1945. Dua momentum ini
merupakan milestone bagi perubahan dan pembentukan sistem
kepartaian di Indonesia.20 Sejak Era Reformasi, partai politik berperan
penting bukan hanya dalam aspek kontestasi elektoral, tetapi juga dalam
aspek ketatanegaraan. Dalam aspek elektoral, partai politik merupakan
kendaraan politik untuk ikut dalam perebutan jabatan publik eksekutif
di pusat dan daerah. Sebelum ada Putusan Mahkamah Konstitusi yang
membolehkan calon independen dalam pemilihan kepala daerah, partai
politik merupakan satu-satunya mekanisme bagi kandidat untuk dapat
maju dalam kontestasi elektoral di tingkat lokal. Khusus untuk
pencalonan presiden dan wakil presiden, partai politik masih memonopoli
pencalonan tersebut hingga kini. Perubahan Ketiga Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memasukkan Pasal 6A
Ayat (2) yang mengatur pencalonan presiden dan wakil presiden
diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta
pemilihan umum. Sementara dalam aspek ketatanegaraan, partai politik
yang memiliki kepanjangan tangan di lembaga DPR dapat terlibat dalam
pembuatan keputusan yang bukan hanya berhubungan dengan domain
utama legislatif (legislasi, pengawasan, dan anggaran), tetapi juga
berwenang memilih duta besar, anggota komisi-komisi negara, Panglima
TNI, dan Kapolri. Singkatnya, Era Reformasi adalah era surplus
kekuasaan partai politik (partytocracy).
Semua keistimewaan itu dapat dimiliki oleh partai politik karena
di Indonesia saat ini berlaku sistem politik demokratis. Sekali lagi
tampak bahwa sistem kepartaian demokratis adalah buah dari sistem
politik demokratis. Sampai di sini kita dapat meyakini terdapat
hubungan erat antara sistem politik demokratis dan sistem kepartaian
demokratis.
20
Sigit Pamungkas, 2011. Partai Politik: Teori dan Praktik di Indonesia, Institute for Democracy and
Welfarism, Yogyakarta. Hlm. 155.
512
Partai Politik Dan Demokrasi Indonesia Menyongsong ...
D.
Potret Partai Politik Era Reformasi
Potret kehidupan partai politik di Indonesia pada Era Reformasi
menyajikan fakta sistem politik demokratis ternyata bukanlah
panacea bagi politik kepartaian. Problematika kepartaian Indonesia saat
ini tidak lagi terkait dengan faktor sistem politik karena sistem politik
telah relatif demokratis. Era Reformasi yang demokratis kini telah
mementahkan pendapat dan keyakinan lama bahwa krisis kepartaian
Indonesia disebabkan oleh faktor eksternal partai politik. Problematika
kepartaian Indonesia sekarang ternyata lebih terletak pada faktor
internal partai politik. Berbagai fenomena yang terjadi pada partai politik
pasca-Orde Baru menunjukkan problematika kepartaian dan demokrasi
kita kini berhubungan dengan sepak terjang partai politik.
Berbagai problema akut tengah menghimpit politik kepartaian
Indonesia. Partai politik Era Reformasi yang seharusnya menjadi salah
satu pilar bagi tegaknya demokrasi ternyata lebih berkutat pada citacita primitifnya, yaitu sekadar meraih dan mempertahankan
kekuasaan. 21 Partai politik mengerahkan segala daya upaya demi
mewujudkan pragmatisme politik ini. Dalam praktiknya, pragmatisme
politik ini beriringan dengan pragmatisme ekonomi. Politik kepartaian
menjadi transaksional dan sibuk memburu rente (rent-seekers). Para
elite dan fungsionaris partai politik, terutama partai politik yang
memiliki perwakilan di DPR dan DPRD serta menduduki posisi eksekutif
nasional dan daerah, berlomba-lomba meraup akumulasi finansial baik
21
Perdefinisi partai politik memang merupakan organisasi yang dibentuk untuk tujuan meraih
kekuasaan. Berbagai definisi tentang partai politik umumnya mengaitkan tujuan partai politik dengan
aspek kekuasaan. Alan Ware, misalnya, mendefinisikan partai politik sebagai sebuah institusi “that
seeks influence in a state, often by attempting to occupy positions in government.” Lihat, Alan Ware,
2001 reprinted. Political Parties and Party Systems, Oxford University Press, Oxford, New York. Hlm. 5.
513
Vol. 9 No. 4 - Desember 2012
untuk keperluan pembiayaan politik yang memang mahal maupun
untuk memperkaya diri sendiri. Akibatnya, banyak dari mereka terjerat
dan terseret kasus korupsi politik.
Studi oleh Kuskridho Ambardi mengungkapkan, setelah pemilu 1999
partai-partai di Indonesia telah membentuk sistem kepartaian yang
terkartelisasi. Politik kartel partai-partai politik ini demi tujuan menjaga
kelangsungan hidup bersama partai-partai politik tersebut. Caranya yaitu
mereka secara kolektif bermufakat menjaga sumber-sumber keuangan
partai, terutama yang diperoleh secara ilegal dari keuangan negara
melalui perburuan rente (rent-seeking). Ini dapat dilakukan hanya jika
partai memiliki akses dalam jabatan pemerintahan (menteri) dan
parlemen (tingkat komisi). Dalam sistem kepartaian yang berbasis kartel
ini, kompetisi antarpartai politik hanya terjadi saat Pemilu. Partai-partai
politik langsung berhenti bersaing begitu pemilu usai. Setelah Pemilu
partai-partai politik cenderung menjalin kerja sama antara mereka
untuk berburu meraup insentif materiil (uang). Sistem kepartaian kartel
ini menyuburkan korupsi politik oleh partai-partai politik. Atas dasar
inilah Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) harus berperan sebagai intimidating power agar memutus gurita korupsi politik di tubuh partai politik.22
Partai politik belum begitu berhasil melaksanakan fungsi dasarnya,
yaitu fungsi komunikasi politik, sosialisasi politik, pendidikan politik,
rekrutmen politik, artikulasi dan agregasi kepentingan publik,
partisipasi politik, dan mediator konflik. Partai politik cenderung hanya
hadir di tengah masyarakat terutama ketika musim pemilihan umum
dan pemilihan kepala daerah tiba. Namun partai politik absen dalam
persoalan keseharian masyarakat ketika musim kontestasi elektoral
telah berakhir. Partai politik seringkali mengingkari janji-janji
kampanye yang disampaikan pada saat kontestasi elektoral. Partai
politik sekadar kuda tunggangan untuk kepentingan kontestasi
elektoral meraih kekuasaan. Kalimat Andrew Heywood berikut ini
relevan untuk menggambarkan kondisi partai politik di Indonesia saat
ini: “… parties are not seen as being ‘of the people’; too often, they appear to
be consumed by political infighting and the scramble for power, so becoming
divorced from the concerns of ordinary people.” 23
22
Kuskridho Ambardi, 2009. Mengungkap Politik Kartel: Studi tentang Sistem Kepartaian di Indonesia
Era Reformasi. Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta.
23
Andrew Heywood, 1997. Politics, Macmillan Press, London. Hlm. 248.
514
Partai Politik Dan Demokrasi Indonesia Menyongsong ...
Akibat kinerja dan perilaku buruk partai politik, muncul
kekecewaan meluas terhadap partai politik. Reputasi dan citra partai
politik melorot drastis dalam pandangan publik. Sinisme dan apatisme
terhadap partai politik merebak di mana-mana. Pada Juli 2003 Cesda
dan LP3ES pernah melakukan jajak pendapat untuk menilai persepsi
masyarakat terhadap partai politik. Hasilnya, sebanyak 49 persen
responden tidak percaya pada partai politik. Hanya 29 persen responden
yang percaya pada partai politik. Kesimpulan riset Demos pada Januari
2005 juga menemukan meluasnya ketidakpuasan publik terhadap partai
politik. Sebanyak 90 persen responden dari kalangan aktivis
prodemokrasi menilai kinerja partai politik buruk karena tidak
mencerminkan aspirasi dan kepentingan rakyat.24
Merosotnya kepercayaan publik terhadap partai politik tampak
masih bertahan hingga saat ini. Partai-partai politik belum melakukan
lompatan kuantum kinerja yang mampu membalikkan persepsi negatif
publik tersebut. Sejumlah rilis jajak pendapat terkini tentang partai
politik tetap memperkuat fakta ini. Jajak Pendapat Kompas pada Maret
2012, misalnya, menyebut sebanyak 80,4 persen responden menilai
buruk citra partai politik.25 Potret partai politik seperti ini sesungguhnya
merugikan partai politik sendiri. Sebagaimana dicatat oleh Sigit
Pamungkas, pengalaman banyak negara menunjukkan bahwa sentimen
antipartai berdampak dalam beberapa hal, yaitu terjadi kemerosotan
partai politik dalam keanggotaan maupun kemampuan memobilisasi
konstituen dalam Pemilu, peningkatan tinggi volatilitas pemilih, dan
penurunan identifikasi partai (party identification). 26 Dampak ini
membahayakan masa depan partai politik.
Atmosfer antipolitik dan antipartai justru terjadi pada era sistem
politik demokratis. Politik kepartaian Indonesia dalam sistem politik
demokratis ternyata belum menjadi lebih baik daripada dalam sistem
politik otoriter. Persoalannya sebetulnya bukan karena pilihan desain
sistem politik demokratis. Sistem politik demokratis tetap penting untuk
memfasilitasi politik kepartaian yang bebas, otonom, dan kompetitif.
24
25
26
Lihat, Tempo, edisi 23 Januari 2005.
Kompas, 19 Maret 2012.
Sigit Pamungkas, op.cit., Hlm. 228.
515
Vol. 9 No. 4 - Desember 2012
Persoalannya lebih pada profil dan performa partai politik itu sendiri.
Partai politik belum memiliki kapabalitas memadai mendongkrak
kualitas demokrasi kita. Sepak terjang negatif partai politik justru
menjadi beban bagi demokrasi kita.
Atas dasar semua itu, pertanyaan besar kini adalah, apakah agenda
Pemilu 2014 mendatang berserta hasilnya akan menjadi titik balik
transformasi positif dan konstruktif partai politik Indonesia? Sulit
menjawab pertanyaan ini dengan semangat optimistik jika partai politik
tidak bersungguh-sungguh segera membenahi diri secara radikal.
Kecenderungan saat ini belum secara meyakinkan menunjukkan tandatanda ke arah transformasi partai politik tersebut. Pemilu 2014
tampaknya hanya sebatas ritual periodik demokrasi elektoral belaka.
Masyarakat Indonesia akan terus berada dalam himpitan dilematis
antara persepsi negatif terhadap perilaku partai politik dan ketiadaan
institusi alternatif menggantikan partai politik untuk membuat
demokrasi substantif bekerja. Perlu ada “dentuman besar” untuk
mendorong partai politik membenahi diri secara radikal. Perubahan
internal partai politik sulit diharapkan muncul dari partai politik sendiri.
Sebab, ini sama artinya partai politik menggali kuburnya sendiri.
E.
Kesimpulan
Terdapat hubungan erat antara sistem politik dan sistem
kepartaian. Pilihan sistem politik mempengaruhi pilihan sistem
kepartaian. Sistem politik demokratis cenderung mengarah terbentuk
sistem kepartaian demokratis (bebas, otonom, dan kompetitif).
Sebaliknya, sistem politik otoriter cenderung mengarah terbentuk
sistem kepartaian otoriter (tidak bebas, tidak otonom, tidak kompetitif).
Perjalanan sejarah kepartaian Indonesia menunjukkan, sistem
kepartaian demokratis dapat hadir hanya ketika sistem politik yang
diterapkan adalah demokratis. Inilah yang berlangsung selama periode
Demokrasi Liberal atau Demokrasi Parlementer dan pada Era Reformasi
saat ini. Ketika sistem politik yang berlaku adalah otoriter, maka sistem
kepartaian pun mengarah menjadi otoriter. Ini terjadi pada masa
Demokrasi Terpimpin dan masa Orde Baru.
Perspektif di atas tetap teruji kesahihannya hingga sekarang.
Namun, Era Reformasi menyuguhkan fakta baru, yaitu sistem
kepartaian demokratis yang dinikmati oleh partai politik saat ini justru
menghasilkan politik kepartaian yang belum memberi kontribusi positif
dan konstruktif bagi kualitas praktik demokrasi kita. Sepak terjang
516
Partai Politik Dan Demokrasi Indonesia Menyongsong ...
partai politik justru menjadi beban bagi demokrasi. Publik memiliki
persepsi negatif terhadap partai politik. Jika partai politik tidak segera
membenahi diri, maka partai politik hanya akan menjadi parasit bagi
demokrasi.
Daftar Pustaka
Ambardi, Kuskridho. 2009. Mengungkap Politik Kartel: Studi tentang Sistem
Kepartaian di Indonesia Era Reformasi, Kepustakaan Populer
Gramedia, Jakarta.
Birch, Anthony H., 1993. The Concepts and Theories of Modern Democracy,
Routledge, London and New York.
Bourchier, David dan Vedi R. Hadiz (eds.), 2006. Pemikiran Sosial dan Politik
Indonesia Periode 1965-1999, Pustaka Utama Grafiti dan Freedom Institute, Jakarta.
Budiardjo, Miriam, 1994. Demokrasi di Indonesia: Demokrasi Parlementer
dan Demokrasi Pancasila, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. hlm.
229.
Dahl, Robert A., 1971. Polyarchy: Participation and Opposition, Yale University Press, New Haven and London.
Dhakidae, Daniel, 1986. Pemilihan Umum di Indonesia: Saksi Pasang
Naik dan Surut Partai Politik, dalam Seri Prisma, Demokrasi dan
Proses Politik, LP3ES, Jakarta.
Dhakidae, Daniel, 1995, cetakan keempat. Partai Politik dan Sistem
Kepartaian di Indonesia, dalam Seri Prisma, Analisa Kekuatan
Politik Indonesia, LP3ES, Jakarta.
Dhakidae, Daniel, 1999. Partai-Partai Politik Indonesia: Kisah
Pergerakan dan Organisasi dalam Patahan-Patahan Sejarah,
dalam Kompas, Partai-Partai Politik Indonesia, PT Kompas Media
Nusantara, Jakarta.
Feith, Herbert dan Lance Castle (eds.), 1988. Pemikiran Politik Indonesia
1945-1965, LP3ES, Jakarta.
Feith, Herbert, 2005. Pemilihan Umum 1955 di Indonesia, Kepustakaan
Populer Gramedia, Jakarta.
Gaffar, Afan, 1999. Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta.
Held, David, 1987. Models of Democracy, Stanford University Press,
Stanford, California.
517
Vol. 9 No. 4 - Desember 2012
Heywood, Andrew, 1997. Politics, Macmillan Press, London.
Huntington, Samuel P., 1991. The Third Wave Democratization in the Late
Twentieth Century, University of Oklahoma Press, Norman.
Karim, M. Rusli, 1983. Perjalanan Partai Politik di Indonesia: Sebuah Potret
Pasang-Surut, Rajawali Pers, Jakarta.
Katz, Richard S., 1980. A Theory of Parties and Electoral Systems, The Johns
Hopkins University Press, Baltimore and London.
Kompas, 19 Maret 2012; 30 Agustus 2012; 11 September 2012; 19 September 2012; 29 Oktober 2012.
Liddle, R. William, 1992. Partisipasi dan Partai Politik Indonesia Pada Awal
Orde Baru, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta.
Lev, Daniel S., 1988. Partai-Partai Politik di Indonesia Pada Masa
Demokrasi Parlementer (1950-1957) dan Demokrasi Terpimpin
(1957-1965), dalam Ichlasul Amal (ed.), Teori-Teori Mutakhir Partai
Politik, Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta.
Pamungkas, Sigit, 2011. Partai Politik: Teori dan Praktik di Indonesia, Institute for Democracy and Welfarism, Yogyakarta.
Sanit, Arbi, 1997. Partai, Pemilu dan Demokrasi, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta.
Schumpeter, Joseph A., 1987. Capitalism, Socialism and Democracy, Unwin
Paperbacks, London.
Tempo, edisi 23 Januari 2005.
Ware, Alan, 2001 reprinted. Political Parties and Party Systems, Oxford
University Press, Oxford, New York.
Wilopo, 1976. Jaman Pemerintahan Partai-Partai dan KelemahanKelemahannya, Yayasan Idayu, Jakarta.
www.freedomhouse.org.
518
PEMILIHAN UMUM TAHUN 2014:
PEMILIH RASIONAL DAN PEMILIH IRRASIONAL
(ELECTION YEAR 2014:
RATIONAL AND VOTERS IRRATIONAL)
Andi Subri*
(Naskah diterima 07/11/2012, disetujui 23/11/2012)
Abstrak
Kemenangan Joko Widodo dan Basuki Tjahaya Purnama pada pemilihan
Gubernur DKI Jakarta beberapa waktu yang lalu, tak pelak menjadi pembicaraan
bahkan sebagian pengamat politik, cendikiawan menjadikan tolok ukur
pelaksanaan demokrasi yang berhasil dan patut dicontoh. “Atribut”
kepemimpinan Joko Widodo merupakan daya tarik tersendiri bagi pemilih
(penduduk Jakarta) yang mulai tersadar dan mulai kritis atas persoalanpersoalan regional dan nasional dalam rangka perbaikan melalui perubahan
Jakarta Baru. Menyongsong pemilihan umum tahun 2014 yang akan memilih
wakil-wakil rakyat baik dari partai maupun perseorangan, dan suksesi
kepemimpinan nasional merupakan fokus yang pasti menyedot perhatian
masyarakat Indonesia, apakah pemilih akan menjadi rasional atau sebaliknya
menjadi pemilih irrasional.
Kata kunci : Pemilihan Umum, Pemilih Rasional, dan Pemilih Irrasional
Abstract
Victory Joko Widodo and Tjahaya Basuki Purnama the Jakarta gubernatorial election
some time ago, the talk inevitably political observers even in part, scholars make the
benchmarks of successful implementation of democracy and exemplary. “Attributes”
Joko Widodo leadership is the main attraction for voters (city dwellers) who started
woke up and began critically on issues of regional and national levels in order to
improve through changes in New Jakarta. To welcome in 2014 elections that will
select representatives from both parties and individuals, and national leadership
succession is a definite focus the attention of Indonesian society, whether voters
would be rational or irrational otherwise be picky.
Keywords: Election, Voters Rational and Irrational Voters
A.
Pendahuluan
Sebagian besar penduduk Indonesia bahkan penduduk di setiap
negara di belahan dunia tentu mengikuti proses pemilihan Gubernur Wakil Gubernur DKI Jakarta, baik melalui media masa maupun media
sosial lainnya. Pemilihan Gubernur tersebut dimenangkan oleh Joko
Widodo dan Basuki Tjahaya Purnama, dua sosok yang bukan berasal
*
Staf Pengajar FKIP Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka Jakarta.
519
Vol. 9 No. 4 - Desember 2012
dari elit kekuasaan dan jauh dari kekuatan sumber pendanaan. Dua
sosok ini, didukung oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
(PDI P) dan Partai Gerindra.
Para pengamat politik secara umum berpendapat: Pemimpin masa
depan hendaknya figur yang benar-benar telah teruji amanah,
sederhana, dan dapat menjadi teladan. Figur “model” Joko Widodo Gubernur DKI Jakarta yang terpilih karena humanis, telah teruji
keberhasilannya dalam menjalankan roda pemerintahan pada level wali
kota. Kepemimpinan yang sederhana tapi tegas berusaha untuk
menyelesaikan masalah dan pemimpin yang memperjuangkan
kepentingan masyarakat tanpa memandang suku, agama, ras, dan antar
golongan. Pemimpin yang amanah dan dapat dipercaya adalah dengan
menjaga amanah tersebut untuk tidak diselewengkan.
Phenomena figur pemimpin dalam rangka menyongsong Pemilihan
Umum Tahun 2014 “tampak” lebih menarik untuk dibicarakan, dibahas,
dan didiskusikan, termasuk kaitannya dengan sistem Pemilihan Umum
dalam rangka Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
Untuk itu, dalam rangka menyongsong Pemilihan Umum Tahun
2014, penulis akan mencoba menyoroti “model” kepemimpinan yang
diharapkan sebagian besar masyarakat Indonesia, terlebih dalam rangka
memilih pemimpin-pemimpin yang akan duduk di DPR, DPD, dan DPRD
sebagai representasi wakil rakyat dan daerah. Lebih dari itu adalah
juga untuk menentukan kepemimpinan nasional secara konstitusional
dalam artian memilih Presiden dan Wakil Presiden dalam rangka
penyelenggaraan pemerintahan negara.
B.
Acuan Teoritik
Studi tentang kepemimpinan sudah lama dipelajari sehingga
melahirkan banyak teori-teori kepemimpinan. Ada teori yang
beranggapan bahwa pemimpin itu dilahirkan, kemudian berlanjut
dengan teori yang mencoba mengidentifikasi kepemimpinan
berdasarkan sifat-sifat yang melekat pada pemimpin yang berhasil. Ada
teori perilaku yang menganalisis kepemimpinan yang berhasil dari sisi
perilaku-perilaku tertentu. Juga teori situasional yang menganalisis
bahwa kepemimpinan itu didasarkan pada situasi dan kondisi saat
kepemimpinan di jalankan.
Secara garis besar teori-teori kepemimpinan memperoleh
perhatian para sarjana, ilmuwan, cendekiawan, pemikir dan tak
ketinggalan para pengamat politik. Pada tataran teori, diketahui bahwa
520
Pemilihan Umum Tahun 2014: ...
tidak ada satu pun teori yang dapat menjelaskan “teori apa yang cocok”
untuk situasi kondisi di Indonesia, sekalipun Indonesia memiliki
Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa Indonesia.
Penulis membatasi pada “atribut” kepemimpinan sebagai suatu
model, suatu contoh, suatu teladan yang tentunya tidak untuk
diperdebatkan karena membicarakan kepemimpinan sebagai ilmu sosial
akan mengundang pro dan kontra, lebih bersifat subjektif terutama
bagi pendukung suatu figur pemimpin. Untuk itu, penulis memulai
kajian teoritik sebagai berikut:
B.1. Pemilihan Umum (PEMILU)
Indonesia akan menyelenggarakan Pemilihan Umum pada tahun
2014. Pemilihan umum yang diselenggarakan dimaksudkan untuk
memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, anggota DPRD
Provinsi dan anggota DPRD Kabupaten/Kota. Ini berarti, secara substansi
rakyat akan memilih “pemimpin” yang representatif mewakili rakyat,
baik bagi anggota DPR dan DPD maupun DPRD Provinsi dan DPRD
Kabupaten/Kota, demikian pula dengan kepemimpinan nasional yang
akan dipilih oleh rakyat yakni Presiden dan Wakil Presiden.
Pada negara demokrasi, pemilihan umum adalah suatu unsur vital
sebagai tolok ukur untuk mengetahui apakah suatu negara adalah
demokratis atau tidak termasuk bagaimana proses penyelenggaraan
pemilihan umum berlangsung dengan baik dan lancar. Dalam hal
pemilihan umum berjalan dengan baik, lancar, tanpa menimbulkan
konflik yang berpotensi pada perpecahan dan sukses memilih pemimpin
dengan mendapat suara mayoritas, maka penyelenggaraan pemilihan
umum dapat dikatakan berjalan dengan demokratis. Manakala
pemilihan umum tidak berjalan dengan baik atau terjadi kegagalan,
misalnya menimbulkan konflik yang berujung pada perpecahan baik
antar calon yang berkompetisi maupun antar masyarakat, dapat
dikatakan penyelenggaraan pemilihan umum tidak demokratis karena
kenyataannya tidak dapat mengakomodir kepentingan semua pihak.
Dalam konteks ketatanegaraan, pemilihan umum juga terkait
dengan prinsip negara hukum (reechstaat), karena rakyat memilih dan
telah mempercayai memberi hak untuk menciptakan produk hukum,
melaksanakan dan mengawasinya sebagaimana kehendak rakyat dan
dalam hal ini diwakili oleh wakil rakyat (catatan : Presiden dan Wakil
Presiden maupun anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD
Kabupaten/Kota). Keberhasilan pemilihan umum, secara hukum
521
Vol. 9 No. 4 - Desember 2012
membawa perubahan/transisi berupa legitimasi dari pemerintahan
(lama) ke pemerintahan (baru). Prinsip legitimasi 1 ini merupakan
landasan hukum bagi wakil rakyat untuk melaksanakan segala apa
yang telah dipercayakan oleh rakyat karena memenuhi validitas
sebagaimana ditentukan oleh tata aturan yang berlaku.
Pemilihan umum yang menghasilkan pemerintahan demokratis
merupakan jembatan bagi pemerintahan yang baru, karena rakyat telah
menentukan pilihan dalam memilih pemimpin dan wakil-wakil rakyat.
Kepada pemimpin (Presiden dan Wakil Presiden) dan kepada wakil rakyat
(anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten /Kota), rakyat
menyerahkan kekuasaan yang legitimate untuk menjadi imam bagi
rakyat dalam rangka menuju kesejahteraan dan kemakmuran bangsa.
Dengan pemilihan umum, kekuasaan yang berasal dari rakyat berubah
menjadi kekuasaan negara, yang menjelma melalui kewenangankewenangan pemerintah baik eksekutif maupun legislatif dalam rangka
menata dan menjalankan pemerintahan bagi rakyat. Pemerintah
sebagai suprastruktur politik hendaknya dalam menjalankan roda
pemerintahan benar-benar memperhatikan rakyat sebagai infrastruktur
politik, agar tercipta pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk
rakyat.
B.2. Pemimpin Formal
Sejarah umat manusia membuktikan bahwa sejak zaman dahulu
manusia yang hidup berkelompok telah mengenal adanya pemimpin.
Adapun macam pemimpin misalnya: pemimpin formal, pemimpin
informal, pemimpin agama, pemimpin adat dan lain-lain. Dalam konteks
bahasan sehubungan dengan pemilihan umum tahun 2014 adalah
pemimpin dan kepemimpinan formal artinya “terbatas” pada pemilihan
pemimpin nasional (Presiden dan Wakil Presiden) sedang pemimpin dan
kepemimpinan formal meliputi wakil-wakil rakyat yang dipilih oleh
rakyat tidak merupakan objek bahasan. Penulis hanya akan mengulas
“atribut” pemimpin dan kepemimpinan formal dalam konteks pemilihan
umum tahun 2014.
Presiden dan Wakil Presiden adalah pemimpin formal karena
ditetapkan secara formal (formaly designated leader). Pemimpin formal
Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safaat, Teori Hans Kelsen tentang Hukum, (Jakarta: Konstitusi Pers,
2006), hlm. 100.
1
522
Pemilihan Umum Tahun 2014: ...
tersebut diharapkan dapat mencapai sasaran-sasaran yang telah
ditetapkan (diinginkan) sebagaimana janji-janji pada waktu kampanye.
Sebagai pemimpin yang telah dipilih hendaknya menjalankan amanah
untuk mewujudkan janji-janji yang diumbar sewaktu kampanye untuk
mencapai sasaran-sasaran yang diinginkan oleh rakyat.
Winardi2 menyatakan: Pemimpin formal adalah “seorang (pria atau
wanita) yang oleh organisasi tertentu (swasta atau pemerintah), ditunjuk
(berdasarkan surat keputusan pengangkatan dari organisasi yang
bersangkutan) untuk memangku suatu jabatan dalam struktur
organisasi dengan segala hak dan kewajiban yang berkaitan dengannya,
untuk mencapai sasaran organisasi tersebut yang ditetapkan sejak
semula”. Ini berarti, seorang pemimpin formal harus sadar bahwa ia
senantiasa menghadapi problem perubahan-perubahan, baik internal
maupun eksternal 3.
Perubahan-perubahan yang harus dipahami tersebut, meliputi:
a.
Perubahan sehubungan terjadi perkembangan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi informasi maupun yang berkaitan
dengan tehnik-tehnik;
b.
Perubahan dalam skope kepemimpinan dalam artian pemilihan
pembantu-pembantu yang akan menerima pendelegasian untuk
meringankan tugas-tugas yang semakin komplek dan spesialis;
c.
Perubahan dalam lingkungan dalam artian pemimpin formal harus
dapat mengikuti perubahan-perubahan dalam lingkungan yang
semakin hari semakin banyak guna menghindari konflik-konflik
yang tidak perlu terjadi;
d.
Perubahan dalam isu-isu dan problem yang dihadapi yang biasanya
berbeda dengan isu-isu dan problem yang dihadapi saat mulai
menjabat; dan
e.
Perubahan dalam tingkat perubahan dalam artian bahwa tingkat
perubahan dalam masyarakat tidak terjadi dengan kecepatan yang
sama dan dalam waktu yang sama.
J. Winardi, Manajemen Perilaku Organisasi, (Jakarta : Kencana Perdana Media Group, 2007), hlm.
331.
Ibid.
2
3
523
Vol. 9 No. 4 - Desember 2012
Pemimpin dapat pula diklasifikasikan dengan macam-macam cara,
yang dibedakan sebagai berikut : 4
a.
Menurut sifat pribadi pemimpin, terbagi atas:
b.
1)
Pemimpin patenalistik (kebapaan);
2)
Pemimpin otokratik;
3)
Pemimpin demoktratik;
4)
Pemimpin kharismatik.
Ditinjau dari skope jangkauan, terbagi atas:
1)
Pemimpin lokal;
2)
Pemimpin regional;
3)
Pemimpin nasional; dan
4)
Pemimpin internasional.
B.3. Manajemen Kinerja
Pemimpin nasional dalam rangka mencapai sasaran yang telah
diprogramkan bersama para pembantu-pembantunya (Menteri/Kepala
LPNK), memulai menjalankan program-program yang ditetapkan dengan
kinerja-kinerja. Kinerja adalah tentang apa yang dikerjakan dan
bagaimana cara mengerjakannya.5
Wibowo6 mengemukakan beberapa prinsip dasar dalam manajemen
kinerja antara lain;
Pertama, menghargai kejujuran. Termasuk dalam hal ini adalah
kejujuran dalam mengekspresikan pendapat, menyampaikan fakta dan
memberikan pertimbangan dan perasaan.
Kedua, memberikan pelayanan kepada setiap stakeholder. Sebagai
proses pembelajaran, pelayanan harus diberikan dalam rangka
perbaikan keterampilan, kompetensi dan kemampuan untuk membantu
dan melayani orang lain.
Ketiga, tanggung jawab. Pemahaman untuk menerima tanggung
jawab atas apa yang dikerjakan dan tidak dikerjakan merupakan
pengembangan kinerja.
4
5
6
Ibid, hlm. 341.
Wibowo, Manajemen Kinerja, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 7.
Ibid.
524
Pemilihan Umum Tahun 2014: ...
Keempat, bermain dalam artian bekerja dan bermain adalah sama
karena akan menimbulkan kepuasaan dan bekerja tidak merupakan
suatu beban.
Kelima, rasa kasihan, dalam artian memahami dan empati terhadap
orang lain, karena rasa kasihan akan mendapatkan kepercayaan diri
dan dorongan yang kuat dari dalam diri daripada membiarkan sebagai
suatu konsekuensi dari pembelajaran dan dianggap wajar.
Keenam, perumusan tujuan, dalam artian individu-individu
memberikan kontribusi yang positif bagi keberhasilan kinerja.
Ketujuh, konsensus dan kerja sama. Manajemen kinerja lebih
mengandalkan kepada konsesnsus dan kerja sama daripada kontrol dan
melakukan pemaksaan.
Kedelapan, berkelanjutan. Manajemen kinerja merupakan suatu
proses yang sifatnya berkelanjutan, terus-menerus, evolusi di mana
kinerja secara bertahap diperbaiki agar menjadi semakin baik.
Kesembilan, komunikasi dua arah. Manajemen kinerja
memerlukan gaya yang bersifat terbuka, jujur dan mendorong terjadinya
komunikasi dua arah yang menunjukan adanya sikap terbuka dan saling
mengerti.
Kesepuluh, umpan balik. Pelaksanaan manajemen kinerja
memerlukan umpan balik terus menerus untuk mengetahui
pengalaman dan pengetahuan yang diperoleh dari pekerjaan oleh
individu-individu guna meninjau kembali perencanaan kinerja.
Dalam konteks kinerja, apa yang akan dikerjakan dan bagaimana
cara mengerjakan diperlukan orang-orang spesialis, terlatih sebagai inti
yang melaksanakan operasi atas kegiatan-kegiatan yang telah
terstandarisasi, sehingga didapat efisiensi. Konfigurasi dari kombinasi
standarisasi dan desentralisasi karena spesialisasi dan terlatih, atas
kegiatan-kegiatan yang terstandarisasi tersebut disebut: birokrasi
profesional7, ini berarti, seorang birokrat profesional haruslah orangorang yang memiliki tingkat keahlian yang sangat terspesialisasi.
B.4. Kepemimpinan
Pemimpin muncul karena diakui oleh pengikutnya, ditunjuk atau
diangkat oleh pejabat yang berwenang. Seorang pemimpin harus
7
J. Winardi, Pemikiran Sistemik dalam bidang Organisasi dan Manajemen, (Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada, 2007), hlm. 214.
525
Vol. 9 No. 4 - Desember 2012
mempunyai kelebihan yang setidaknya dapat dibedakan atas tiga hal
yaitu: kelebihan moralnya, kelebihan ilmunya, dan kelebihan fisiknya.8
Dalam hal kelebihan moral, seorang pemimpin harus lebih tangguh
ketakwaannya kepada Allah Yang Maha Kuasa, harus lebih tangguh
kejujurannya dan harus lebih tangguh integritasnya. Dalam hal
kelebihan ilmu, seorang pemimpin harus mempunyai ilmu yang lebih
dibandingkan pengikut atau bawahannya. Sedang kelebihan fisik, lebih
mengisyaratkan bahwa seorang pemimpin harus sehat jasmani dan
rohani.
Kepemimpinan selalu dimulai dari sistem peranan yang formal dan
peran yang diwujudkan dalam hirarki kewenangan. Dari hasil pemilu
tahun 2014, kewenangan yang dimiliki oleh Presiden dan Wakil Presiden
adalah berupa kekuasaan yang legitimasi. Kekuasaan dimaksud melekat
pada jabatan Presiden-Wakil Presiden untuk meyakinkan bahwa
indvidu-individu yang berada dalam jabatan di bawahnya telah memenuhi
persyaratan yang telah ditetapkan oleh peraturan yang ada. Presiden
dan Wakil Presiden dengan kewenangan yang dimiliki akan
mempengaruhi orang-orang yang berada di bawah hirarkinya (Menteri/
Kepala LPNK). Presiden - Wakil presiden sebagai orang yang berada di
atas hirarki langsung dari bawahan, menurut teori pendekatan jabatan
disebut: Pemimpin.
Dari sini, kita dapat melihat dan mengetahui perilaku
kepemimpinan, apakah pemimpin hanya terkesan dan “concern” terhadap
peraturan yag mengaturnya semata-mata, ataukah pemimpin “concern”
terhadap orang-orang di sekitarnya dan atau masyarakat yang
memilihnya. Sebagaimana teori kepemimpinan situasional9 aktifitas
kepemimpinan dapat dikelompokkan atas dua dimensi perilaku yakni
dimensi struktur dan dimensi pertimbangan. Dimensi struktur, lebih
menekankan pada tugas sehingga diperlukan komunikasi satu arah.
Sedangkan dimensi pertimbangan, lebih menekankan pada
pemeliharaan hubungan kemanusiaan sehingga diperlukan hubungan
komunikasi dua arah.
8
9
Mittah Thoha, Perpsektif Perilaku Birokrasi, (Jakarta : Rajawali, 1991), hlm. 142.
Ibid, hlm. 144.
526
Pemilihan Umum Tahun 2014: ...
Perilaku kepemimpinan yang berorientasi pada tugas dapat dikenali
dari:
-
meminta dan kadang-kadang memberi keterangan (informasi);
-
mengarahkan dan memperjelas peran yang harus dilakukan;
-
menyimpulkan keterangan dan tugas yang dibebankan;
-
memacu kearah tercapainya tujuan; dan
-
mengendalikan kegiatan secara keseluruhan.
Perilaku kepemimpinan yang berorientasi pada pemeliharaan tata
hubungan kemanusiaan dapat dikenali dari:
-
mendorong terwujudnya peranserta (participation);
-
dalam berkomunikasi lebih banyak menunjukan sikap sebagai
fasilitator;
-
lebih menyukai usaha menurunkan tensi tegangan tinggi;
-
lebih bersikap sebagai pengamat terhadap proses pelaksanaan
kerja dari pada pengendali;
-
lebih menyenangi pemecahan masalah antar pribadi; dan
-
lebih bersikap mendukung dan memuji atas semua pelaksanaan
kerja.
Seorang pemimpin merupakan figur orang banyak, walaupun
wujudnya kemungkinan seorang diri, akan tetapi dibawah pemimpin
terdapat banyak orang yang menjadi tanggungjawabnya. Oleh karena
itu, perilaku yang cocok untuk pemimpin adalah mencerminkan sikap
sebagai wakil orang banyak (masyarakat)
C.
Kajian Empirik
Atas acuan teoritik yang telah dikemukakan, penulis mencoba
mengkaji secara empirik terhadap teori dan atau hal normatif sebagai
apa yang diharapkan (das sollen) sebagai berikut:
C.1. Pemilihan Umum
Fenomena Joko Widodo – Basuki Tjahaya Purnama yang
memenangkan pemilihan Gubernur DKI Jakarta periode 2012-2017 oleh
banyak orang dijadikan tolok ukur dan model pemilihan Gubernur,
Bupati/Wali Kota, tentu dengan “atribut” kepemimpinannya. Bahkan
pengamat politik lebih jauh berpandangan, bahwa keberhasilan Joko
Widodo – Basuki Tjahaya Purnama merupakan barometer Demokrasi
Indonesia.
527
Vol. 9 No. 4 - Desember 2012
Apa yang dapat dicatat dari semua itu? Banyak Pihak
mengasumsikan dengan hitungan “pengaruh” kelas menengah dan kelas
bawah dalam perolehan suara. Isu kekuatan modal dan isu yang berbau
sara justru membuat solid Joko Widodo – Basuki Tjahaya Purnama.
Rakyat pemilih kelas menengah-bawah mulai “sadar” mana pemimpin
yang merakyat dan pemimpin yang bersih. Rakyat pemilih tidak mau
lagi diarahkan seperti waktu-waktu yang lalu.
C.2. Pandangan Terhadap Pemimpin Formal
Goenawan Mohammad, dalam salah satu tulisannya pada Catatan
Pinggir 27 Februari 1982 mengilustrasikan pegawai negeri tak matimati, dengan mengangkat lagu Iwan Fals, Oemar Bakri, Oemar Bakri
Pegawai Negeri. Goenawan Mohammad menyalahkan imajinasi Iwan
Fals yang membayangkan bahwa pegawai negeri ibarat sebuah inventaris
lama dari sebuah kantor yang bernama “Republik Indonesia”, dan benda
yang disebut “pegawai negeri” itu adalah sebuah kursi kusam.
Padahal tidaklah demikian, setidaknya menurut Goenawan
Mohammad, pegawai negeri adalah orang yang berpakaian safari yang
gagah, tidak merana, tidak harus miskin (setidaknya berkecukupan),
karena negara telah menyediakan anggaran belanja pegawai negeri.
Jika berperan dalam proyek pembangunan, akan diperoleh pula
honorarium, fasilitas tambahan, hingga perhatian tambahan, bahkan
orang akan dengan senang hati memberikan tambahan-tambahan.
Pegawai negeri bukan orang yang dapat dianggap sebelah mata dan
pegawai negeri bukan orang yang lemah karena mereka dapat
menentukan segalanya dalam urusan administrasi. Jika gambaran di
atas tidak memuaskan atau menyinggung perasaan, maka mereka yang
suka meremehkan pegawai negeri adalah orang yang kurang menyadari
diri, begitu kata Goenawan Mohammad.
Tulisan Goenawan Mohammad 30 tahun yang lalu bagi penulis
suatu rangkaian pengalaman dan mengandung kebenaran. Pegawai
negeri dalam artian birokrasi adalah suatu keniscayaan. Tidak ada satu
pun kekuatan apalagi seorang warga negara dapat menyingkirkannya.
Pemimpin formal (Presiden dan Wakil Presiden) dipilih oleh rakyat.
Menteri dari partai politik diangkat menjadi pembantu Presiden sebagai
pemimpin formal. Fakta, birokrasi adalah orang-orang yang previlise,
yang terpisah dari rakyat dan berdiri diatas rakyat. Antara birokrasi
dan partai politik “mudah-mudah sukar” untuk dibedakan. Sebagaimana
sinyalemen beberapa waktu yang lalu bahwa pemimpin formal dari partai
528
Pemilihan Umum Tahun 2014: ...
politik tidak bekerja fulltime untuk membantu Presiden, tetapi lebih
condong untuk membesarkan partai.
Kini berpulang juga kepada masyarakat pemilih dalam
menentukan wakil-wakilnya dari partai politik, sehingga slogan partai
“memperjuangkan rakyat” hanya lipservices saat kampanye dan saat
sudah terpilih menjadi lupa karena privilese, sehingga jauh dari rakyat
dan bahkan berdiri di atas rakyat.
C.3. Pandangan Terhadap Manajemen Kinerja
Fakta pejabat formal (dari partai politik) yang diperiksa oleh Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) secara umum banyak
menyatakan “tidak tahu”, bahkan diperoleh kesan “pembiaran” untuk
menyelamatkan diri masing-masing. Kesan atas pandangan diatas,
membuktikan bahwa sinyalemen kinerja buruk tidak dapat dielakan.
C.4. Pandangan Terhadap Kepemimpinan
Sebagaimana telah dikemukakan, kepemimpinan dalam perspektif
manajemen, dapat dielaborasi. Untuk itu, penulis akan manambah
perihal kepemimpinan tersebut dengan kepemimpinan Pancasila,
mengingat Pancasila akhir-akhir ini setelah gerakan reformasi tahun
1998 lebih banyak dilupakan orang, padahal Pancasila adalah falsafah
negara, falsafah bangsa, dasar negara, pokok-pokok kaidah negara yang
fundamental (staatfundamental norm)10
Kepemimpinan Pancasila pada dasarnya merupakan perpaduan
pola pikir modern dan pola pikir yang bersumber dari Pancasila sebagai
falsafah bangsa dengan bertumpu pada asas-asas:
C.4.a. Asas Kebersamaan
Ini berarti, pemimpin dan yang dipimpin merupakan satu kesatuan,
pemimpin tidak terpisah dengan yang dipimpin. Pemimpin dan yang
dipimpin saling pengaruh mempengaruhi (dalam artian positif), sehingga
tidak saling bertentangan, apalagi terjadi dualisme. Masing-masing (baik
pemimpin dan atau yang dipimpin) saling bahu-membahu sesuai dengan
bidang kegiatan masing-masing dan tidak merasa menganggap
seseorang sebagai pusat, karena tanpa ada yang dipimpin tidak mungkin
ada pemimpin.
10
Sri Sumantri dan Giat Wahyudi, Pancasila sebagai Dasar Negara, (Jakarta : Sekretariat Jenderal MPR
RI), hlm. 2.
529
Vol. 9 No. 4 - Desember 2012
C.4.b. Asas Kekeluargaan dan Gotong Royong
Ciri-ciri kekeluargaan dan kepemimpinan Pancasila adalah
timbulnya kerja sama yang akrab sehingga akan tercipta kesejahteraan
dan kebahagiaan yang bertumpu pada landasan kasih sayang dan
pengorbanan.
C.4.c. Asas Persatuan dan Kesatuan dalam Kebhinekaan
Kebhinekaan bangsa Indonesia dapat diketahui dari beragam suku
bangsa, beragam adat istiadat, beragam agama dan aliran, dan
keanekaragaman diakui keberadaannya sendiri-sendiri sebagai ciri
kepribadian dalam persatuan dan kesatuan.
C.4.d. Asas Selaras, Serasi dan Seimbang
Asas-asas sebagaimana tersebut di atas, hendaklah harus dijiwai
dan disemangati oleh asas keselarasan, keserasian dan keseimbangan.
Suatu asas yang tidak untuk menang sendiri, apalagi menunjukan
kekuatan sehingga berpotensi menimbulkan kontradiksi, pertentangan
dan konflik. Justru dengan perbedaan keanekaragaman adalah cermin
kodrat alam yang masing-masing memiliki tempat, kedudukan dan
kewajiban serta fungsi sendiri-sendiri, sehingga akan menumbuhkan
ketentraman batin.
Setiap warga negara diharapkan bersikat dan bertingkah laku
sesuai dengan nilai-nilai dan norma yang terkandung dalam Pancasila.
Pemimpin harus memberikan contoh teladan, bersikap dan bertingkah
laku sesuai dengan norma-norma Pancasila. Fakta ini yang jarang
ditemukan di tengah kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara.
Pemimpin tidak menunjukan teladan, pemimpin terkesan
“membiarkan”.
Pada dasarnya Tentara Nasional Indonesia (TNI) telah merumuskan
sebelas asas kepemimpinan yang digali dari nilai-nilai kepemimpinan
di bumi Indonesia. Dari sebelas asas kepemimpinan tersebut, tiga asas
pertama dari Ki Hajar Dewantoro dijadikan prinsip utama kepemimpinan
Pancasila.
Sebelas asas kepemimpinan Pancasila tersebut adalah:
a.
Ing ngarso sing tulodo (di depan memberikan teladan)
Artinya, pemimpin yang baik adalah orang yang berani
berjalan didepan untuk menjadi ujung tombak menghadapi
rintangan dan bahaya. Dan dengan keberanian, ia harus sanggup
bekerja paling berat sambil menegakan disiplin bagi diri sendiri
maupun orang yang dipimpin. Pemimpin yang baik harus menjadi
530
Pemilihan Umum Tahun 2014: ...
teladan dan dapat diteladani, ia mengabdikan diri untuk
kepentingan umum dan tidak hanya pandai memberi perintah saja,
tetapi juga bijaksana dalam memberikan petunjuk, nasihat,
perlindungan dan pertimbangan.
b.
Ing madyo mangun karso (ditengah membangun motivasi dan
kemauan)
Artinya, pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mau
terjun ditengah-tengah anak buahnya, dan merasa senasib
sepenang-gungan, sanggup membangkitkan semangat juang dan
motivasi dan etik kerja yang tinggi. Oleh karena itu, ia berada
ditengah-tengah anak buahnya, ia tanggap, dan mampu berpikir
untuk bertindak dengan cepat dan tepat sesuai situasi dan kondisi.
Pemimpin tersebut menghayati kesulitan-kesulitan anak buahnya
dan ikut merasakan peristiwa-peristiwa gawat, sedih bersama
pengikutnya.
c.
Tut wuri handayani (mendorong untuk berprakarsa)
Artinya pada saat yang tepat seorang pemimpin harus sanggup
berdiri dibelakang anak buah dalam artian bukan bersembunyi
dibelakang pengikutnya atau mengekor dibalik kekuatan anak
buahnya. Akan tetapi harus diartikan pemimpin tersebut mau
memberi dorongan agar anak buahnya mau berprakarsa, berani
berinisiatif, memiliki kepercayaan diri untuk berpartisipasi dan
berkarya, serta tidak selalu bergantung kepada atasan.
d.
Takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
Artinya, seorang pemimpin dituntut tidak saja memiliki
keyakinan beragama, tapi juga memiliki iman dan takwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa. Ini berarti, adanya kesadaran bahwa setiap
insan adalah sama kedudukannya dimata Tuhan, dan hal ini akan
menyadarkan pemimpin bahwa ia bukanlah orang yang super, ia
akan memiliki kasih sayang, belas kasih terhadap sesama dan
semangat persaudaraan yang tinggi. Dan dengan keimanan serta
ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa akan membawanya
menjadi orang yang adil, jujur, benar, tekun dan sabar serta rendah
hati (tidak sombong)
e.
Waspada purba wisesa (waspada dan berkuasa)
Artinya, seorang pemimpin dituntut untuk waspada (dari kata
awas) yang berarti dapat melihat. Ini berarti dapat melihat gejala
dengan jalan menguak tabir selubung, sehingga setiap peristiwa
531
Vol. 9 No. 4 - Desember 2012
dapat ditelaah, dikaji dan dimaknai, dan menjadikan ia tidak raguragu, tidak takut dalam mengambil suatu keputusan. Awas, juga
mengandung pengertian waspada dan bijaksana. Waspada karena
tajam penglihatannya, sehingga tahu sebelum terjadi sesuatu.
Bijaksana, mengandung arti pandai, cakap, mahir, ahli,
berpengalaman, cerdik sehingga ia merupakan pribadi yang
memiliki kewibawaan untuk memimpin. Wasesa berarti
keunggulan, kelebihan, atau kewibawaan disertai kekuasaan.
Purba berarti mampu mengendalikan. Jadi purba wasesa berarti
mengendalikan semua keunggulan dan kekuasaan.
f.
Ambeg paramarta
Artinya, seorang pemimpin harus mempunyai sikap yang adil
dan mampu membedakan hal-hal penting dan tidak penting,
sehingga seseorang pemimpin harus mampu memilih mana yang
harus didahulukan dan mana yang harus disusulkan kemudian,
serta selalu bersikap adil.
g.
Ambeg prasaja (bersifat sederhana)
Artinya, seorang pemimpin harus bersifat sederhana, terbuka,
terus terang, tulus, lulus, ikhlas, benar dan penuh toleransi.
Seorang pemimpin bersikap bersahaja artinya hidupnya tidak
berlebih-lebihan dan tidak rakus
h.
Ambeg satya (setia)
Artinya seorang pemimpin harus bersifat setia, tepat janji
antara kata dan perbuatan, ia harus dapat dipercaya karena jujur,
lurus, tulus, setia dan bisa membuat senang orang.
i.
Gemi nastiti (hemat, teliti dan cermat)
Artinya seorang pemimpin itu harus bersifat hemat, cermat,
berhati-hati dan tidak boros, ia harus mampu melaksanakan
semua pekerjaan dengan efektif dan efisien. Dan tidak hanya itu,
ia juga harus meneliti dengan sangat hati-hati atas segala karya,
perbuatan dan atau peristiwa. Berhati-hati juga berarti
menggunakan nalar, cermat dan teliti, ia harus pandai mendugaduga apa yang paling baik dan menghindari terhadap hal-hal yang
dapat menimbulkan kesusahan.
j.
Belaka (terbuka, jujur)
Artinya, pemimpin yang baik harus bersikap terbuka, dan
selalu membuka komunikasi untuk menerima pandangan,
pendapat, saran dan koreksi positif dan tidak merasa malu hati
532
Pemilihan Umum Tahun 2014: ...
belajar dari lingkungan dan bawahan.
k.
Legowo (ikhlas)
Artinya, pemimpina yang baik itu harus bersikap rela dan
tulus ikhlas serta setiap saat bersedia berkorban.
D.
Penutup
Penulis sengaja tidak mendalami kajian empirik menghindari halhal yang tidak di inginkan, tetapi setidaknya khalayak pembaca dapat
mengenali, mengelaborasi, mana hal-hal yang senyatanya (das sein) dan
mana yang diharapkan semua pihak (das sollen).
Penulis mengetengahkan permasalahan menyongsong pemilihan
umum tahun 2014, karena berkeyakinan bahwa pemilih dapat
membedakan mana pejabat nasional dan mana pejabat lokal, mana yang
dapat dipercaya dan mana yang kurang dapat dipercaya. Semua
bergantung kepada pemilih, apakah akan menjadi pemilih rasional
sesuai hati nurani ataukah menjadi pemilih irrasional.
533
Vol. 9 No. 4 - Desember 2012
Daftar Pustaka
A.
Buku
Asshiddiqie, Jimly dan M. Ali Safaat, Teori Hans Kelsen tentang Hukum,
Jakarta: Konstitusi Pers, 2006
Wibowo, Manajemen Kinerja, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2007
Winardi, J., Manajemen Perilaku Organisasi, Jakarta : Kencana Perdana
Media Group, 2007
__________Pemikiran Sistemik dalam bidang Organisasi dan Manajemen,
Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2007
Sumantri, Sri dan Giat Wahyudi, Pancasila sebagai Dasar Negara, Jakarta
: Sekretariat Jenderal MPR RI
Thoha, Mittah, Perpsektif Perilaku Birokrasi, Jakarta : Rajawali, 1991
B.
Sumber lain
http://www.scribd.com/15891534
____________wikipedia.com
534
KEWAJIBAN VERIFIKASI PARPOL PASCA PUTUSAN MAHKAMAH
KONSTITUSI NOMOR 52/PUU-X/2012
(COMPULSORY VERIFICATION OF POLITICAL PARTIES AFTER
DECISIONS CONSTITUTIONAL COURT NUMBER 52/PUU-X/2012)
Mualimin Abdi*
(Naskah diterima 13/11/2012, disetujui 23/11/2012)
Abstrak
Dalam demokrasi, pemilihan umum memiliki peran vital, dan seperti kita
ketahui bersama pemilihan umum di Indonesia melibatkan partai politik. Oleh
sebab itu, partai politik juga memiliki peran penting dalam demokrasi. Salah
satu pengaturan mengenai partai politik di Indonesia diatur dalam UndangUndang Nomor 8 Tahun 2012, yang di dalamnya memuat aturan mengenai
verifikasi. Namun aturan mengenai verifikasi tersebut dianggap telah merugikan
hak konstitusional warga negara sehingga dimohonkan judicial review di
Mahkamah Konstitusi dengan perkara Nomor 52/PUU-X/2012 karena tidak
seluruh partai politik diverifikasi, dan pada akhirnya permohonan tersebut
dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi. Setelah adanya Putusan Mahkamah
Konstitusi tersebut seluruh partai politik wajib melakukan verifikasi di KPU
untuk dapat mengikuti pemilihan umum tahun 2014. Hal tersebut mempunyai
makna bahwa partai politik baru tidak boleh diperlakukan secara berbeda dengan
partai politik lama (yang pernah mengikuti Pemilihan Umum Tahun 2009),
sehingga seluruh partai politik harus dikenai syarat yang sama.
Kata kunci: verifikasi, partai politik, putusan mahkamah konstitusi.
Abstract
In a democracy, elections have a vital role, and as we know the general elections in
Indonesia involving political parties. Therefore, political parties also have an
important role in a democracy. A setting of political parties in Indonesia are regulated
in Law Number 8 of 2012, which inside contained rules on verification. But the rules
on verification is considered to have been detrimental to the constitutional rights of
citizens so that petitioned for judicial review in the Constitutional Court case Number
52/PUU-X/2012 because not all political parties in the verification, and ultimately
the application is granted by the Constitutional Court. Following the decision of the
Constitutional Court all political parties shall verify on the Commission to be able to
follow the elections in 2014. This has meant that a new political party should not be
treated differently from the old political parties (who attended the General Election of
2009), so that all political parties should be subject to the same terms.
Keywords: verification, political parties, the constitutional court ruling.
*
Direktur Litigasi Peraturan Perundang-undangan Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan
Kementerian Hukum dan HAM RI.
535
Vol. 9 No. 4 - Desember 2012
A.
Pendahuluan
Salah satu syarat dari enam syarat dasar bagi negara demokrasi
perwakilan di bawah rule of law adalah diselenggarakannya pemilihan
umum yang bebas. Demikian dirumuskan oleh International Comission
of Jurist dalam konferensinya di Bangkok pada tahun 1965. Selanjutnya
dirumuskan pula definisi tentang suatu pemerintahan demokrasi
berdasarkan perwakilan, yaitu suatu bentuk pemerintahan di mana
warga negara melaksanakan hak yang sama tetapi melalui wakil-wakil
yang dipilih mereka dan bertanggungjawab kepada mereka melalui
pemilihan-pemilihan yang bebas.1
Demokrasi mempercayai bahwa pemilu memainkan peranan vital
untuk menentukan masa depan bangsa. Sebagaimana transisi
demokrasi, pemilihan umum dalam proses konsolidasi demokrasi
membutuhkan prakondisi yang spesifik.2
Tujuan penyelenggaraan pemilihan umum ada 4 (empat), yaitu:3
1.
untuk memungkinkan terjadinya peralihan kepemimpinan
pemerintahan secara tertib dan damai;
2.
untuk memungkinkan terjadinya pergantian pejabat yang akan
mewakili kepentingan rakyat di lembaga perwakilan;
3.
untuk melaksanakan prinsip kedaulatan rakyat; dan
4.
untuk melaksanakan prinsip hak-hak asasi warga negara.
Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan bahwa sistem pemilu yang
dilaksanakan di negara Indonesia adalah sistem pemilu yang bersifat
kepartaian, seperti dapat kita lihat dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945
yang menyatakan bahwa Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden
diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta
pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum, selain itu
Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 juga menyatakan bahwa Peserta pemilihan
umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik.4
Abdul Bari Azed, Sistem-Sistem Pemilihan Umum Suatu Himpunan Pemikiran, Depok: Badan Penerbit
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2000, hlm. 1.
2
Joko J. Prihatmoko, Pemilu 2004 dan Konsolidasi Demokrasi, Semarang: LP2I, 2003 hlm. 18-19.
3
Jimly Asshiddiqqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006, hlm. 175
4
Lihat Pasal Pasal 6A ayat (2) dan Pasal 22E ayat (3) UUD 1945.
1
536
Kewajiban Verifikasi Parpol Pasca Putusan ...
Partai politik memiliki posisi yang dominan dalam proses
rekrutmen untuk pengisian jabatan-jabatan politik. Sejak masa
perjuangan merebut kemerdekaan, masa proklamasi dan
mempertahankan kemerdekaan Indonesia, hingga saat ini, sejarah
perjuangan bangsa Indonesia tidak dapat dilepaskan dari keberadaan
organisasi dan/atau partai politik. Terlepas dari pilihan ideologis dan
sikap moral partai politik maupun individu yang terlibat di dalamnya,
keberadaan partai politik pada setiap era kehidupan bangsa-negara
Indonesia menunjukkan posisi strategis dan peran penting partai politik
bagi kemajuan bangsa dan negara. Keberadaan partai politik tertentu
yang tidak sejalan dengan cita-cita bangsa dan negara dalam lintasan
panjang sejarah bangsa Indonesia, tidak lantas berarti partai politik
sebagai entitas organisasi politik menjadi tidak penting dan tidak perlu.5
Partai politik mempunyai posisi (status) dan peranan (role) yang
sangat penting dalam setiap sistem demokrasi. Partai memainkan peran
penghubung yang sangat strategis antara proses-proses pemerintahan
dengan warga negara. Bahkan banyak yang berpendapat bahwa partai
politik lah yang sebetulnya menentukan demokrasi, seperti dikatakan
oleh Schattscheider (1942), political parties created demoracy.6 Oleh karena
itu, partai politik merupakan pilar yang sangat penting untuk diperkuat
derajat pelembagaannya (the degree of institutionalization) dalam setiap
sistem politik yang demokratis. Bahkan, oleh Schattscheider dikatakan
pula, “Modern democracy is unthinkable save in terms of the parties”.7
Pada umumnya, para ilmuwan politik menggambarkan adanya 4
(empat) fungsi partai politik. Keempat fungsi partai politik itu menurut
Miriam Budiardjo, meliputi sarana:8
1.
Komunikasi politik,
2.
Sosialisasi politik (political socialization),
3.
Rekruitmen politik (political recruitment), dan
4.
Pengatur konflik (conflict management).
Ibid.
Jimly Asshiddiqie, Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai Politik dan Mahkamah Konstitusi,
Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI, 2006, hlm, 52.
7
Jimly Asshiddiqqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006, hlm, 153.
8
Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia, 1993, cet ke-13, hlm, 159.
5
6
537
Vol. 9 No. 4 - Desember 2012
Keempat fungsi tersebut, jika dimanfaatkan secara ideal, akan
dapat bersinergi sebagai satu alur dengan pemilihan umum dalam
mengisi jabatan-jabatan politik, yang tentunya akan menghasilkan
pilihan-pilihan serta kebijakan politik yang sesuai dengan aspirasi/
kehendak rakyat. Untuk menjalankan keempat fungsi partai politik
secara maksimal/ideal diperlukan suatu kondisi yang memberikan
ruang bagi kebebasan untuk mendirikan ataupun membubarkan partai
politik.
Semua partai politik yang didirikan di Indonesia tentu ingin
mengikuti pemilihan umum dan menempatkan wakil-wakilnya di DPR,
DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Fakta terbatasnya jumlah
kursi di lembaga perwakilan akan membatasi pula partai politik yang
dapat menempatkan wakil-wakilnya. Untuk itulah dalam undang-undang
diatur mengenai beberapa persyaratan tertentu seperti misalnya
status badan hukum, pengurus dengan jumlah tertentu, keterwakilan
perempuan, ataupun pemenuhan ambang batas perolehan suara
(parliamentary threshold atau PT). Untuk menilai kemampuan sebuah
parpol memenuhi syarat sebagai peserta Pemilu tersebut diperlukan
kegiatan verifikasi baik yang bersifat administratif maupun faktual.
B.
Ketentuan Verifikasi Partai Politik Sebelum Putusan Mahkamah
Konstitusi
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa kegiatan
verifikasi adalah kegiatan untuk menilai persyaratan tertentu.
Berkaitan dengan pemilihan umum, dalam peraturan perundangundangan di Indonesia terdapat 2 (dua) tahapan bagi partai politik untuk
dapat mengikuti pemilihan umum, yaitu tahapan pendirian partai politik
dan tahapan keikutsertaan partai politik dalam pemilihan umum. Tahap
pendirian atau pembentukan partai politik diatur dalam Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Tahap
pendaftaran sebagai peserta pemilihan umum diatur dalam UndangUndang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah.
Verifikasi yang berkaitan dengan pendirian partai politik
dilakukan oleh Kementerian Hukum dan HAM untuk memeriksa
terpenuhi atau tidaknya persyaratan badan hukum. Dengan
538
Kewajiban Verifikasi Parpol Pasca Putusan ...
terpenuhinya syarat yang ada, parpol tersebut sah berbadan hukum.
Adapun verifikasi sebagai peserta pemilu merupakan proses
pemeriksaan yang terkait dengan keterpenuhan syarat sebuah parpol
untuk mengikuti pemilihan umum. Verifikasi tersebut ditujukan
sebagai upaya membuktikan kebenaran dan keterpenuhan berbagai
syarat dalam kepesertaan pada pemilu.
Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan
Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah diatur beberapa ketentuan
mengenai verifikasi partai politik, antara lain: Pasal 8 kewajiban
verifikasi partai politik yang akan mengikuti pemilihan umum, Pasal
16 verifikasi oleh KPU, Pasal 17 ayat (2) penetapan partai politik sebagai
Peserta Pemilu, dan Pasal 18 pengawasan oleh Bawaslu atas pelaksanaan
verifikasi.
Berdasarkan Pasal 8 tidak semua parpol memiliki keharusan
untuk diverifikasi sebagai peserta pemilu. Dalam ketentuan tersebut
terdapat dua kelompok yang diperlakukan secara berbeda untuk menjadi
peserta pemilu:
a.
Kelompok pertama yaitu parpol yang secara otomatis menjadi
peserta pemilu karena pada Pemilu 2009 berhasil memenuhi
ambang batas suara parlemen. Untuk kategori pertama itu, parpol
tidak perlu diverifikasi KPU.
b.
Kelompok kedua yaitu parpol yang hanya dapat menjadi peserta
pemilu setelah memenuhi sembilan persyaratan yang diatur Pasal
8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun. Parpol yang masuk
kategori tersebut ialah parpol yang tidak memenuhi ambang batas
perolehan suara parlemen pada Pemilu 2009 dan parpol baru.
Terhadap dua kelompok parpol itu, kelengkapan persyaratan
mereka sebagai peserta pemilu harus diverifikasi.
Pengaturan tersebut mendorong pihak-pihak yang merasa hak
konstitusionalnya dirugikan, mengajukan permohonan pengujian
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 ke Mahkamah Konstitusi.
C.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-X/2012 tentang
Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012.
Permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012
tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di Mahkamah
Konstitusi dilakukan oleh 17 Parpol, yaitu:
539
Vol. 9 No. 4 - Desember 2012
1.
Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU).
2.
Partai Bulan Bintang (PBB).
3.
Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI).
4.
Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB).
5.
Partai Persatuan Nasional (PPN).
6.
Partai Merdeka.
7.
Partai Nasional Benteng Kerakyatan Indonesia (PNBK Indonesia).
8.
Partai Demokrasi Kebangsaan (PDK).
9.
Partai Sarikat Indonesia (PSI).
10.
Partai Kedaulatan.
11.
Partai Indonesia Sejahtera (PIS).
12.
Partai Kesatuan Demokrasi Indonesia (PKDI).
13.
Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia (PPPI).
14.
Partai Damai Sejahtera (PDS).
15.
Partai Demokrasi Pembaruan (PDP).
16.
Partai Republika Nusantara.
17.
Partai Pemuda Indonesia (PPI).
Para Pemohon mengajukan uji konstitusionalitas Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2012 terhadap antara lain:9
a.
Pasal 8 ayat (1) sepanjang frasa “yang memenuhi ambang batas
perolehan suara dari jumlah suara sah secara nasional” pada kalimat
“Partai Politik Peserta Pemilu pada Pemilu terakhir yang
memenuhi ambang batas perolehan suara dari jumlah suara
sah secara nasional” ditetapkan sebagai Partai Politik Peserta
Pemilu pada Pemilu berikutnya.
b.
Pasal 8 ayat (2) sepanjang frasa “Partai politik yang tidak memenuhi
ambang batas perolehan suara pada Pemilu sebelumnya atau” pada
kalimat “Partai politik yang tidak memenuhi ambang batas
perolehan suara pada Pemilu sebelumnya atau partai politik baru
dapat menjadi Peserta Pemilu setelah memenuhi persyaratan…”.
c.
Pasal 208 sepanjang frasa: ..”DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/
kota” pada kalimat “Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi
ambang batas perolehan suara sekurang-kurangnya 3,5% (tiga
Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-X/2012 tentang Pengujian Undang-undang
Nomor 8 Tahun 2012.
9
540
Kewajiban Verifikasi Parpol Pasca Putusan ...
koma lima persen) dari jumlah suara sah secara nasional untuk
diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR, DPRD
provinsi, dan DPRD kabupaten/kota”.
Amar Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Putusan tersebut
menyatakan antara lain:10
1.
Pasal 8 ayat (1) dan Penjelasan Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2012.
2.
Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 sepanjang
frasa “yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara pada
Pemilu sebelumnya atau partai politik baru” dan Penjelasan Pasal 8
ayat (2) sepanjang frasa “yang dimaksud dengan “partai politik baru”
adalah partai politik yang belum pernah mengikuti Pemilu”
bertentangan dengan UUD 1945.
3.
Pasal 17 ayat (1) dan Penjelasan Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2012 bertentangan dengan UUD 1945.
4.
Pasal 208 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 sepanjang frasa
“DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota” bertentangan dengan
UUD 1945.
5.
Pasal 209 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012
sepanjang frasa “DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota”
bertentangan dengan UUD 1945.
Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, hakim Mahkamah
memiliki beberapa Pertimbangan Hukum terkait putusan tersebut, yaitu
di antaranya:11
a.
Bahwa tindakan pembentuk undang-undang yang membatasi
jumlah partai politik peserta pemilihan umum dengan tanpa
menyebut jumlah partai peserta Pemilu adalah pilihan kebijakan
yang tepat dan tidak bertentangan dengan UUD 1945 karena
pembatasan tersebut tidak ditentukan oleh pembentuk undangundang melainkan ditentukan sendiri oleh rakyat yang memiliki
kebebasan untuk menentukan pilihannya secara alamiah.
b.
Bahwa Pasal 8 ayat (1) UU 8/2012, tidak memenuhi asas keadilan
bagi partai politik lama karena pada saat verifikasi untuk menjadi
peserta Pemilihan Umum Tahun 2009, semua persyaratan
10
11
Ibid.
Ibid.
541
Vol. 9 No. 4 - Desember 2012
administrasi sudah dipenuhi oleh semua partai politik peserta
Pemilihan Umum Tahun 2009, sehingga tidak tepat jika partai
politik yang pada Pemilihan Umum Tahun 2009 telah dinyatakan
memenuhi persyaratan, namun pada pemilihan umum berikutnya
diwajibkan memenuhi syarat ambang batas perolehan suara, atau
jika partai politik bersangkutan tidak memenuhi ambang batas,
diwajibkan memenuhi persyaratan yang berbeda dengan partai
politik peserta Pemilihan Umum Tahun 2009.
c.
Bahwa Mahkamah dapat memahami maksud pembentuk UndangUndang untuk melakukan penyederhanaan jumlah partai politik,
namun penyederhanaan tidak dapat dilakukan dengan
memberlakukan syarat-syarat yang berlainan kepada masingmasing partai politik. Penyederhanaan partai politik dapat
dilakukan dengan menentukan syarat-syarat administratif
tertentu untuk mengikuti pemilihan umum, namun syarat-syarat
tersebut harus diberlakukan sama untuk semua partai politik yang
akan menjadi peserta pemilihan umum tanpa pengecualian.
Memberlakukan syarat yang berbeda kepada peserta suatu
kontestasi (pemilihan umum) yang sama merupakan perlakuan
yang tidak sama atau perlakuan secara berbeda (unequal treatment)
yang bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) serta Pasal 28D ayat
(2) dan ayat (3) UUD 1945.
d.
Bahwa untuk mencapai perlakuan yang sama dan adil tersebut
maka bagi seluruh partai politik peserta Pemilu Tahun 2014 harus
mengikuti verifikasi. Selain itu syarat menjadi peserta Pemilu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) UU a quo hanya
diberlakukan kepada semua parpol yang akan mengikuti Pemilu
Tahun 2014.
e.
Bahwa sekiranya PT 3,5% diberlakukan secara bertingkat, masingmasing 3,5% untuk DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/
kota, dapat menimbulkan kemungkinan tidak ada satu pun partai
politik peserta Pemilu di suatu daerah (provinsi atau kabupaten/
kota) yang memenuhi PT 3,5% sehingga tidak ada satupun anggota
partai politik yang dapat menduduki kursi DPRD. Hal ini mungkin
terjadi jika diasumsikan partai politik peserta Pemilu berjumlah
30 partai politik dan suara terbagi rata sehingga maksimal tiaptiap partai politik peserta Pemilu hanya memperoleh maksimal
3,3% suara. Selain itu, terdapat pula kemungkinan di suatu daerah
hanya ada satu partai politik yang memenuhi PT 3,5% sehingga
542
Kewajiban Verifikasi Parpol Pasca Putusan ...
hanya ada satu partai politik yang menduduki seluruh kursi di
DPRD atau sekurang-kurangnya banyak kursi yang tidak terisi.
Hal itu justru bertentangan dengan ketentuan konstitusi yang
menghendaki Pemilu untuk memilih anggota DPR dan DPRD, yang
ternyata tidak tercapai karena kursi tidak terbagi habis, atau akan
terjadi hanya satu partai politik yang duduk di DPRD yang dengan
demikian tidak sejalan dengan konstitusi.
Namun demikian, terhadap Putusan tersebut terdapat satu hakim
yang mempunyai pendapat berbeda (dissenting opinion), yaitu: M. Akil
Mochtar, dengan pertimbangan antara lain:
“bahwa penerapan model parliamentary threshold dalam sistem
Pemilu Indonesia tidak sejalan dengan tujuan penyederhanaan sistem
kepartaian dalam rangka efektifitas sistem presidensiil melalui
penguatan kelembagaan parlemen. Selain itu, penerapan model
parliamentary threshold mengakibatkan terhambatnya saluran aspirasi
dari kelompok minoritas dalam sistem bangunan kenegaraan
Indonesia yang demokratis dan dijamin oleh UUD 1945.”
D.
Kewajiban Verifikasi Parpol Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 52/PUU-X/2012
Pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi menyatakan
bahwa dipenuhinya ambang batas perolehan suara pada Pemilihan
Umum Tahun 2009 tidak dapat dijadikan sebagai satu-satunya
ketentuan mengenai syarat atau kriteria dalam keikutsertaan partai
politik lama sebagai peserta Pemilihan Umum Tahun 2014, karena
ketentuan mengenai syarat atau kriteria dalam Undang-Undang Nomor
10 Tahun 2008 berbeda dengan ketentuan mengenai syarat atau kriteria
dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 yang menjadi dasar
penyelenggaraan Pemilihan Umum Tahun 2014. Oleh karena itu,
Mahkamah Konstitusi menganggap bahwa permohonan Pemohon yang
hanya meminta dihapuskannya frasa “yang memenuhi ambang batas
perolehan suara dari jumlah suara sah secara nasional” dalam Pasal 8 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tidaklah cukup, karena
menurut Mahkamah Konstitusi ketidakadilan tersebut justru terdapat
dalam keseluruhan Pasal 8 ayat (1) dan Penjelasan Pasal 8 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012.
Untuk menindaklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut,
KPU telah melakukan perubahan terhadap Peraturan Komisi Pemilihan
Umum Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pendaftaran, Verifikasi, dan
543
Vol. 9 No. 4 - Desember 2012
Penetapan Partai Politik Peserta Pemilu Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, yang diubah menjadi
Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 12 Tahun 2012 tentang
Perubahan Atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 8 Tahun
2012 tentang Pendaftaran, Verifikasi, dan Penetapan Partai Politik
Peserta Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten/Kota yang ditetapkan pada tanggal 5 September 2012.
Berdasarkan Pasal 14 Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor
8 Tahun 2012 verifikasi persyaratan Partai Politik calon peserta pemilu
dilakukan secara administratif dan faktual.12 Verifikasi administratif
memiliki pengertian penelitian terhadap kelengkapan dan kebenaran
bukti-bukti tertulis untuk memenuhi syarat partai politik menjadi
peserta pemilihan umum, dan verifikasi faktual memiliki pengertian
penelitian dan pencocokan bukti-bukti tertulis dengan objek di lapangan,
berkenaan dengan pemenuhan syarat partai politik menjadi peserta
pemilihan umum.13
Atas dasar ketentuan tentang verifikasi tersebut diatas, seluruh
partai politik yang ingin mengikuti pemilihan umum tahun 2014 wajib
mengikuti verifikasi, meskipun pada pemilihan umum sebelumnya
(pemilihan umum tahun 2009) partai politik tersebut telah lolos sebagai
peserta pemilihan umum.
Berdasarkan data yang ada, hingga saat ini (30/10/2012) KPU telah
mengumumkan partai politik yang lolos verifikasi administrasi tahap II
sebanyak 16 (enam belas) partai politik, antara lain Partai Nasdem, PDIP,
PKB, Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Hanura, PAN, Partai Golkar, PKS,
Partai Gerindra, Partai Demokrasi Pembaruan (PDP), Partai Keadilan
dan Persatuan Indonesia (PKPI), Partai Demokrat, Partai Persatuan
Pembangunan (PPP), Partai Kedaulatan Bangsa Indonesia Baru (PKBIB),
Partai Peduli Rakyat Nasional (PPRN) dan Partai Persatuan Nasional
(PPN). Selain itu terdapat 18 (delapan belas) partai politik yang tidak
Lihat Pasal 14 Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pendaftaran,
Verifikasi, dan Penetapan Partai Politik Peserta Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota.
13
Lihat Pasal 1 Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pendaftaran, Verifikasi,
dan Penetapan Partai Politik Peserta Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota.
12
544
Kewajiban Verifikasi Parpol Pasca Putusan ...
lolos yakni Partai Demokrasi Kebangsaan (PDK), Partai Kesatuan
Demokrasi Indonesia (PKDI), Partai Kongres, Partai Serikat Rakyat
Independen (SRI), Partai Karya Republik (Pakar), Partai Nasional Republik
(Nasrep), Partai Buruh, Partai Damai Sejahtera (PDS), Partai Republika
Nusantara (Republikan), Partai Nasional Indonesia (PNI) Marhaenisme,
Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB), Partai Pengusaha dan Pekerja
Indonesia (PPPI), Partai Penegak Demokrasi Indonesia (PPDI), Partai
Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU), Partai Republik, Partai Kedaulatan,
Partai Bhinneka Indonesia (PBI) dan Partai Nasional Benteng Kerakyatan
Indonesia (PNBKI). Terhadap seluruh partai politik yang lolos verifikasi
administrasi, KPU akan melakukan verifikasi faktual terhadap parpol
yang lolos verifikasi administrasi tersebut.14
E.
Penutup
Berdasarkan uraian di atas terkait dengan verifikasi partai politik
pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-X/2012, diambil
beberapa beberapa kesimpulan, yaitu:
1.
Partai politik di Indonesia memiliki peran penting yaitu sebagai
salah satu faktor dalam demokrasi, karena peran dari partai politik
itu sendiri dalam pemilihan umum. Dimana pemilihan umum
peranan vital dalam demokrasi untuk menentukan masa depan
bangsa.
2.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, mengatur syarat terkait
verifikasi partai politik (Pasal 8) yang harus dipenuhi oleh partai
politik untuk dapat mengikuti pemilihan umum tahun 2014. Ada
ketidakadilan dalam Pasal 8 tersebut, karena partai politik yang
telah lolos menjadi peserta pemilihan umum pada tahun 2009 tidak
perlu diverifikasi lagi untuk dapat mengikuti pemilihan umum pada
tahun 2014, sementara partai politik yang tidak memenuhi PT
harus mengikuti verifikasi dan dengan syarat yang lebih berat.
3.
Melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-X/2012
verifikasi partai politik wajib dilakukan terhadap seluruh partai
politik yang ingin ikut serta dalam pemilihan umum tahun 2014.
14
16
Parpol
Lolos
Verifikasi
Administrasi,
website:
http://www.kpu.go.id/
index.php?option=com_content&task=view&id=7232&Itemid=68, Tanggal 28 Oktober 2012.
545
Vol. 9 No. 4 - Desember 2012
Daftar Pustaka
Asshiddiqie, Jimly, 2006, Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai
Politik dan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Sekretariat Jenderal
dan Kepaniteraan MKRI.
Asshiddiqqie, Jimly, 2006, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II,
Jakarta, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi RI.
Azed, Abdul Bari, 2000, Sistem-Sistem Pemilihan Umum Suatu Himpunan
Pemikiran, Depok, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas
Indonesia.
Budiarjo, Miriam, 1993, Dasar-Dasar Ilmu Politik , Jakarta, Gramedia.
Prihatmoko, Joko J., 2003, Pemilu 2004 dan Konsolidasi Demokrasi,
Semarang, LP2I.
Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, 2005, Jakarta, Balai
Pustaka.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-X/2012 tentang
Pengujian Undang-undang Nomor 8 Tahun 2012.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 8 Tahun 2012 tentang
Pendaftaran, Verifikasi, dan Penetapan Partai Politik Peserta
Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten/Kota.
Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 12 Tahun 2012 tentang
Perubahan Atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 8
Tahun 2012 tentang Pendaftaran, Verifikasi, dan Penetapan
Partai Politik Peserta Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota.
Internet:
16 Parpol Lolos Verifikasi Administrasi,
w e b s i t e : h t t p : / / w w w . k p u . g o . i d
index.php?option=com_content&task=view&id=7232&Itemid=68,
Tanggal 28 Oktober 2012.
546
KAMPANYE PEMILU 2014 SEBAGAI BAGIAN DARI PENDIDIKAN
POLITIK MASYARAKAT
(ELECTION CAMPAIGN 2014 AS PART OF POLITICS EDUCATION
SOCIETY)
A. A. Oka Mahendra*
(Naskah diterima 01/11/2012, disetujui 23/11/2012)
Abstrak
Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan ritual 5 (lima) tahunan yang dilaksanakan
oleh pemerintahan yang menganut prinsip kedaulatan rakyat atau demokrasi.
Pemilu dinyatakan sebagai sarana perwujudan kedaulatan rakyat, yang
dilaksanakan secara efektif dan efisien berdasarkan asas langsung, umum,
bebas, rahasia, jujur dan adil. Melalui Pemilu yang demikian itu, diharapkan
rakyat sebagai pemegang kedaulatan dapat memilih wakil rakyat yang aspiratif,
berkualitas, dan bertanggung jawab dalam menjalankan fungsi legislatif secara
optimal. Salah satu tahapan penyelenggaraan Pemilu yang penuh warna dan
dinamika ialah kampanye Pemilu. Selama masa kampanye, komunikasi politik
antara kandidat anggota badan legislatif, partai politik dan pemilih berlangsung
secara intens dalam pengawasan Komisi Pemilihan Umum dan Pengawas
Pemilu. Undang-Undang Pemilu menyatakan Kampanye Pemilu merupakan
bagian dari pendidikan politik masyarakat dan dilaksanakan secara bertanggung
jawab. Pendidikan politik merupakan usaha sadar untuk mengubah proses
sosialisasi politik masyarakat ke arah perkembangan sikap dan tingkah laku
politik yang semakin demokratis. Melalui pendidikan politik yang berkelanjutan,
rakyat akan menjadi semakin cerdas, memiliki wawasan yang luas, dan memiliki
rasa tanggung jawab sebagai warga negara untuk menggunakan hak politiknya
dalam negara yang demokratis.
Kata kunci: Kampanye Pemilu yang mencerdaskan rakyat.
Abstract
Election is a ritual 5 (five) year conducted by the government adheres to the principle
of popular sovereignty or democracy. Elections expressed as means embodiment of
popular sovereignty, which are carried out effectively and efisen based on the
principles of direct, general, free, secret, honest and fair. Through such elections, it
is expected of the people as sovereign can choose representatives who aspirational
quality, and responsible in carrying out the legislative function optimally. One of the
stages of organizing elections is full of color and dynamics of the election campaign.
During the campaign period, political communication between candidates for the
legislature, political parties and voters in the intense ongoing supervision Election
Commission and the Election Supervisor. Election Law states election campaign is
part of the political education of the public and conducted responsibly. Political
*
Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM RI Tahun 20052006.
547
Vol. 9 No. 4 - Desember 2012
education is a conscious effort to change the political socialization process towards
the development of attitudes and political behavior increasingly democratic. Through
ongoing political education, people will become more and more educated, have
extensive knowledge, a sense of responsibility as citizens to use their political rights
in a democratic country.
Keywords: election campaigns to educate people.
A.
Pendahuluan
Tahun 2014 nanti bangsa Indonesia akan menyelenggarakan
Pemilu yang ke 11 sejak Indonesia merdeka atau Pemilu yang ke 4
sejak reformasi. Pemilu 2014 diharapkan lebih berkualitas baik
penyelenggaraannya maupun hasilnya. Artinya, penyelenggaraan Pemilu
2014 dimaksudkan untuk menciptakan derajat kompetisi yang lebih
sehat, partisipatif, dan mempunyai derajat keterwakilan yang lebih
tinggi, serta memiliki mekanisme pertanggungjawaban yang jelas.
Selain itu, Pemilu 2014 diharapkan menghasilkan wakil rakyat yang
berkualitas, aspiratif, dapat dipercaya dan dapat melaksanakan fungsi
legislatif secara optimal.
Pemilu 2014, hendaknya lebih baik dari Pemilu sebelumnya.
Jangan sampai Pemilu 2014 sekedar merupakan ritual demokrasi 5
(lima) tahunan yang bersifat elitis untuk membangun pencitraan sebagai
negara demokratis.
Alvin Toffler dengan tajam melancarkan kritik terhadap
pelaksanaan Pemilu di beberapa negara pada periode gelombang kedua
yang dianggapnya sebagai upacara membangkitkan kepercayaan. Toffler
menyatakan: “Pemungutan suara merupakan suatu upacara
membangkitkan kembali kepercayaan massa, menyampaikan kepada
rakyat suatu rasa bahwa pemilihan telah dilaksanakan secara sistimatis
dan berjalan serba teratur seperti mesin, dan karena itu bersifat rasional.
Pemilihan umum, secara simbolis, memberikan suatu keyakinan
kepada warga negara bahwa mereka tetap mempunyai kekuasaan, dan
berhak-paling tidak dalam teori-untuk tidak memilih atau memilih para
pemimpin mereka sendiri”1.
Politik hukum yang tertuang dalam Undang-Undang Pemilu
menghedaki perbaikan penyelenggaraan Pemilu. Dikemukakan bahwa
Pemilu merupakan bagian dari proses “penguatan dan pendalaman
1
Alvin Toffler, Gelombang Ketiga, PT Panca Simpati, Jakarta 1988, hlm. 109-110
548
Kampanye Pemilu 2013 Sebagai Bagian Dari ...
demokrasi (deepening democracy) serta upaya untuk mewujudkan tata
pemerintahan presidensiil yang efektif”2.
Perbaikan penyelenggaraan Pemilu mencakup seluruh tahapan
penyelenggaraan Pemilu, termasuk tahapan kampanye pemilu yang
semarak dan gegap gempita. Pembentuk Undang-Undang Pemilu
memandang ikhwal Kampanye Pemilu cukup penting, oleh karena itu,
mengenai kampanye Pemilu diatur dalam Bab tersendiri, yaitu Bab VIII,
yang terdiri dari 64 Pasal yaitu, Pasal 77 sampai dengan Pasal 140, atau
sama dengan 19,78% dari 328 Pasal dalam Undang-Undang Pemilu. Bab
VIII dibagi dalam 10 bagian yang terdiri dari Bagian Kesatu mengatur
mengenai Kampanye Pemilu, Bagian Kedua mengenai Materi Kampanye,
Bagian Ketiga mengenai Metode Kampanye, Bagian Keempat mengenai
Larangan dalam Kampanye, Bagian Kelima mengenai Sanksi Atas
Pelanggaran Larangan, Bagian Keenam mengenai Pemberitaan,
Penyiaran, dan Iklan Kampanye, Bagian Ketujuh mengenai Pemasangan
Alat peraga Kampanye, Bagian Kedelapan Mengenai Peranan
Pemerintah,TNI dan Polri dalam kampanye, Bagian Kesembilan
mengenai Pengawasan Atas Pelaksanaan Kampanye Pemilu, dan Bagian
Kesepuluh mengenai Dana Kampane Pemilu.
B.
Pokok Permasalahan
Ada tiga pokok permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ini
yaitu:
1.
Bagimanakah Pelaksana Kampanye seharusnya memaknai
Kampanye Pemilu sebagai bagian dari pendidikan politik
masyarakat?
2.
Bagaimana korelasi antara Kampanye Pemilu dengan kampanye
politik?
3.
Apakah yang harus dilakukan oleh Pelaksana Kampanye Pemilu
menghadapi publik yang semakin cerdas.
Melalui pembahasan ketiga pokok permasalahan tersebut
diharapkan diperoleh jawaban untuk menjadikan Kampanye Pemilu 2014
sebagai bagian pendidikan politik yang mencerdaskan masyarakat dalam
rangka memantapkan sistem pemerintahan yang demokratis, sehat dan
2
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD,
Penjelasan Umum, alinea ke 7
549
Vol. 9 No. 4 - Desember 2012
dinamis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
C.
Pengertian Beberapa Istilah
Sebelum membahas pokok permasalahan terlebih dahulu perlu
dikemukakan pengertian beberapa istilah agar terdapat persamaan
persepsi mengenai arti istilah tersebut.
Ada 4 (empat) istilah yang perlu diberikan definisi atau pengertian
sebagai berikut:
1.
Peserta Pemilu adalah Partai Politik untuk Pemilu anggota DPR,
DPRD Provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dan perseorangan untuk
Pemilu anggota DPD3.
2.
Kampanye Pemilu adalah kegiatan Peserta Pemilu untuk
meyakinkan para Pemilih dengan menawarkan visi, misi, dan
program Peserta Pemilu4.
3.
Kampanye politik adalah kegiatan jangka panjang Peserta Pemilu
yang dilaksanakan secara konsisten dan berkelanjutan untuk
menyampaikan pesan politik dalam rangka membangun citra
politik yang positif untuk memperoleh dukungan politik dari
masyarakat5.
4.
Pendidikan politik adalah usaha yang sadar untuk mengubah proses
sosialisasi politik masyarakat sehingga mereka memahami dan
menghayati betul nilai-nilai yang terkandung dalam suatu sistem
politik yang ideal yang hendak dibangun6.
UU Nomor 8 Tahun 2012, op cit, Pasal 1 angka 26.
Ibid, Pasal 1 angka 29.
Firmanzah, Marketing Politik, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta 2007, hlm. 273 mengemukakan
“Sementara kampanye politik bersifat jangka panjang dan dilakukan secara terus menerus untuk
membangun image politik.”
6
Alfian, Masalah dan Prospek Pembangunan Politik Indonesia (Kumpulan Karangan), PT Gramedia
Jakarta, 1986, hlm. 245. Bandingkan juga dengan Kartini Kartono, Pendidikan Politik, CV Mandar Maju,
Bandung 1996, hm. 69 yang mengemukakan “Maka dalam konteks uraian di atas, pendidikan politik di
Indonesia dapat dinyatakan sebagai rangkaian upaya edukatif yang sistimatis dan intensional untuk
memantapkan kesadaran politik dan kesadaran bernegara, dalam menunjang kelestarian Pancasila dan
UUD 1945 sebagai falsafah hidup serta landasan konstitusional; melakukan upaya pembeharuan
kehidupan politik bangsa Indonesia, dalam rangka tegaknya satu sistem politik yang demokratis, sehat
dan dinamis.”
3
4
5
550
Kampanye Pemilu 2013 Sebagai Bagian Dari ...
D.
Kampanye Pemilu bukan Basa-Basi Politik
Stereotip Kampanye Pemilu dapat digambarkan sebagai aktivitas
pengumpulan massa pendukung Partai Politik atau Peserta Pemilu,
pawai atau arak-arakan kendaraan bermotor yang hingar bingar,
pemasangan atribut Partai Politik, spanduk, baliho bagi-bagi kaos atau
sembako, pidato juru kampanye, yell-yell Partai Politik yang membakar
semangat, dan pementasan lawak atau penyanyi dangdut sebagai
pengikat massa untuk tetap bertahan mengikuti kegiatan Kampanye
Pemilu .
Pidato kampanye yang disampaikan oleh juru kampanye yang
biasanya terdiri dari tokoh Partai Politik atau kandidat calon anggota
legislatif (caleg), pada intinya berisi retorika politik yang menggambarkan
kedekatan partai poltik dan caleg yang bersangkutan dengan rakyat dan
ajakan kepada masyarakat untuk memilih Partai Politik atau caleg
tertentu. Tentunya tidak lupa, disertai janji-janji politik untuk
memberantas korupsi, memperluas pendidikan dan pelayanan
kesehatan gratis, penciptaan lapangan kerja, pembangunan ekonomi
kerakyatan yang tak jelas konsepnya dan berbagai program pro poor
lainnya. Kampanye Pemilu dimanfaatkan oleh Partai Politik dan caleg
untuk melakukan manuver politik.
Mereka dengan ramah menyapa rakyat dan mengidentifikasikan
diri sebagai pembela rakyat nomor wahid dan paling memahami aspirasi
rakyat, memahami persoalan yang dihadapi rakyat, dan menjanjikan
resep mujarab untuk mengatasinya jika mereka memenangkan Pemilu.
Mereka menjadi murah hati, pintu kantor Partai Politik dan rumah caleg
dibuka untuk siapa saja pada masa Kampanye Pemilu. Kaca mobilnyapun
dibuat tembus pandang sehingga masyarakat dapat menyaksikan siapa
yang ada di dalam mobil. Petinggi Partai Politik serta caleg pada saat
Kampanye Pemilu tidak segan-segan berbaur dengan rakyat untuk
mengesankan kedekatan mereka dengan pemegang hak suara.
Tim Sukses Partai Politik dan caleg tak mengenal lelah bergerak
dari kampung ke kampung, dan dari pintu ke pintu demi meraih
sebanyak mungkin dukungan pemilih untuk ‘bosnya’. Berbagai cara
digunakan, dari yang halus sampai yang kasar, dari mengumbar janji,
memberi “gizi” sampai melakukan intimidasi. Janji-janji Pemilu hanya
penghias bibir waktu Kampanye Pemilu, namun setelah itu dilupakan.
Seorang ahli politik dengan jenaka mengejek politisi dengan
mengatakan “Politicians are the same all over. They promise to build bridges,
even where there are no rivers.” Nasib rakyat tak berubah, meski Partai
551
Vol. 9 No. 4 - Desember 2012
Politik dan caleg yang mereka dukung menikmati kekuasaan dengan
berbagai atribut dan fasilitasnya. Rakyat dilupakan untuk disapa lagi
pada Kampanye Pemilu berikutnya.
Firmanzah mengatakan “Kampanye kerapkali sekadar basa-basi
politik. Rakyat secara umum bersikap apatis atau sumonggo kerso yang
penting aman. Kampanye yang merupakan bagian dari marketing politik
pun dirasa perlu oleh partai-partai politik menjelang Pemilu. Setelah
Pemilu selesai dan kekuasaan diperoleh mereka melupakan segala
janji”7.
D.1. Rakyat Belajar dari Pengalaman
Seiring dengan perkembangan zaman, rakyat semakin memahami
suaranya diperlukan. Suara rakyat berharga,karena dapat
mengantarkan Partai Politik dan caleg meraih jabatan politik yang
prestisius. Mereka mulai membandingkan janji-janji kampanye dengan
perilaku politik Partai Politik dan caleg yang mereka dukung serta dengan
realitas sosial yang mereka hadapi yang jauh panggang dari api. Semua
itu direkam dalam memori kolektif masyarakat. Inilah kemudian
membentuk persepsi politik mayarakat terhadap Partai Politik dan caleg.
Semakin bertolak belakang janji kampanye dengan perilaku politik
Partai Politik dan caleg serta realitas sosial, semakin rendah
kepercayaan masyarakat terhadap Partai Politik dan caleg.
Sebaliknya jika tingkat kesesuaian antara janji dengan perilaku
politik dan realitas sosial semakin tinggi, maka kepercayaan
masyarakat terhadap Partai Politik dan caleg akan semakin tinggi pula.
Oleh karena itu, Kampanye Pemilu tidak boleh dijadikan sebagai suatu
basa-basi politik, yang mengesankan seolah-olah Partai Politik dan caleg
merakyat, memahami persoalan riil yang dihadapi rakyat dan dapat
memberikan solusinya.
Kampanye Pemilu sebagai proses interaksi politik yang sangat
intens antara Partai Politik dan caleg dengan rakyat dalam kurun waktu
tertentu menjelang Pemilu bukan basa-basi politik yang memberi ilusi
seakan-akan rakyat diperlakukan sebagai subjek. Namun demikian,
dalam kenyataannya rakyat masih dipandang sebagai objek. Suaranya
diperebutkan untuk memenangkan Pemilu dan sesudah itu nama rakyat
selalu dicatut untuk menyelimuti kebijakan politik yang diambil oleh
elit berkuasa.
7
Firmanzah, op cit, hlm. 265.
552
Kampanye Pemilu 2013 Sebagai Bagian Dari ...
Bukan zamannya lagi menjadikan ajang Kampanye Pemilu sebagai
sekedar upaya memobilisasi rakyar untuk datang ke tempat pemungutan
suara (TPS) dan memilih Partai Politik atau caleg tertentu. Rakyat harus
diposisikan sebagai pemegang kedaulatan yang patut dihormati hakhak politiknya. Kampanye Pemilu hendaknya dibangun sebagai
komunikasi politik untuk menciptakan kesamaan persepsi antara Partai
Politik dan caleg dengan rakyat mengenai prinsip-prinsip
penyelengaraan negara berdasarkan Pancasila dan UUDNRI Tahun 1945.
Oleh karena itu, edukasi politik yang diberikan kepada rakyat haruslah
komprehensif dan solutif, tidak bersifat parsial, oportunistis dan
insidental.
Janji-janji politik yang disampaikan pada waktu Kampanye Pemilu
merupakan komitmen politik yang harus dipenuhi oleh Partai Politik
dan caleg setelah duduk di kursi kekuasaan. Hanya dengan demikian
partisipasi politik rakyat dalam Pemilu dapat dijaga, dipupuk dan terus
dikembangkan.
D.2. Kampanye Pemilu sebagai bagian dari Pendidikan Politik
Undang-Undang Pemilu menentukan “Kampanye Pemilu
merupakan bagian dari pendidikan politik masyarakat dan dilaksanakan
secara bertanggung jawab”8. Tidak ada penjelasan mengenai hal ini.
Pembentuk undang-undang menganggap hal tersebut sudah cukup jelas.
Undang-Undang Partai Politik menentukan salah satu fungsi Partai
Politik adalah “sebagai sarana pendidikan politik bagi anggota dan
masyarakat luas agar menjadi warga negara Indonesia yang sadar akan
hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara”9.
D.3. Partai Politik sebagai Sarana Pendidikan Politik Internal dan
Eksternal
Pendidikan politik internal ditujukan kepada calon anggota, anggota
dan kader-kader Partai Politik agar memiliki pemahaman yang baik,
memiliki persamaan persepsi mengenai haluan dan kebijakan politik
partainya serta siap berperanaktif dalam melaksanakan berbagai
aktivitas partainya.
UU Nomor 8 Tahun 2012, op cit, Pasal 77.
UU Nomo 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik sebagaimana diubah dengan UU Nomor 2 tahun 2011,
Pasal 11 ayat (1) huruf a.
8
9
553
Vol. 9 No. 4 - Desember 2012
Pendidikan politik eksternal ditujukan kepada masyarakat luas
untuk memperkenalkan siapa dan bagaimana visi, misi dan program
perjuangan Partai Politik yang bersangkutan dengan maksud untuk
menarik simpati atau memperoleh dukungan dari masyarakat luas.
Pendidikan politik kepada masyarakat luas ini selain dilakukan oleh
Partai Politik juga dilakukan oleh kader-kader Partai Politik atau oleh
politisi secara perorangan.
Masa Kampanye Pemilu yang berlangsung relatif singkat, selama
21 (dua puluh satu) hari, diharapkan menjadi momentum proses
pendidikan politik secara lebih intens. UU Pemilu menentukan,
“Pelaksana Kampanye Pemilu anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota terdiri atas pengurus partai politik, calon anggota DPR,
DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, juru Kampanye Pemilu, orang
seorang, dan organisasi yang ditunjuk oleh Peserta Pemilu anggota DPR,
DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota”.10
Para Pelaksana Kampanye Pemilu tersebut diharapkan mampu
menjadi komunikator yang tangguh untuk menyampaikan materi
kampanye berupa: visi, misi, dan program Partai Politik. Sedangkan
Pelaksana Kampanye Pemilu anggota DPD terdiri atas calon anggota DPD,
orang seorang, dan organisasi yang ditunjuk oleh Peserta Pemilu anggota
DPD”.11 Pelaksana Kampanye Pemilu anggota DPD diharapkan mampu
menjadi komunikator yang tangguh untuk menyampaikan materi
kampanye berupa: visi, misi, dan program yang bersangkutan.
Visi adalah gambaran umum mengenai cita-cita yang hendak diraih
bersama oleh Partai Politik atau calon anggota DPD dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Misi adalah gambaran umum
mengenai upaya strategis yang akan dilakukan untuk mewujudkan
visi. Program adalah instrumen kebijakan yang berisi kegiatan yang
akan dilaksanakan untuk memecahkan berbagai isu kemasyarakatan
utama yang dihadapi oleh masyarakat dalam rangka mewujudkan citacita bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Visi, misi dan program
merupakan pesan yang harus disampaikan oleh Pelaksana Kampanye
kepada masyarakat sebagai Peserta Kampanye pada masa Kampanye
Pemilu.
10
11
UU Nomor 8 Tahun 2008, op cit, Pasal 79 ayat (1).
Ibid, Pasal 79 ayat(2).
554
Kampanye Pemilu 2013 Sebagai Bagian Dari ...
Agar Kampanye Pemilu menjadi bagian dari pendidikan politik
masyarakat, ada 4 (empat) faktor berpengaruh yang perlu diperhatikan
yaitu:
1.
Isi pesan harus jelas, aspiratif, menyentuh hati masyarakat,
edukatif, solutif dan menambah wawasan. Pesan yang hendak
disampaikan harus diseleksi secara cermat, konsisten, meski
perlu disesuaikan dengan siapa peserta kampanye yang dihadapi,
media yang akan digunakan untuk menyampaikan pesan, waktu
dan tempat pesan disampaikan.
2.
Komunikator dalam hal ini pelaksana Kampanye harus mengenal
kapasitas dirinya sendiri, memahami secara mendalam pesan
yang akan disampaikan, mengenal peserta kampanye, dan
memiliki kemampuan berkomunikasi secara efektif. Sun Tzu
mengatakan: “yang mengenali dirinya, mengenali lawannya, dan
mengenali medan tempurnya, akan memenangkan setiap
pertempuran.”12 Pemilu ibaratnya medan tempur sosialisai politik
melalui komunikasi politik.
3.
Pemahaman terhadap Peserta Kampanye sangat penting untuk
menetukan isi pesan yang patut disampaikan, dan menentukan
cara penyampaian yang cocok.
4.
Memilih metode dan media yang tepat untuk menyampaikan pesan
disesuaikan dengan isi pesan dan peserta kampanye yang dituju.
Cara penyampaian pesan dalam rapat umum tentu tidak dapat
disamakan dengan pertemuan tatap muka. Dalam rapat umum, lebih
cocok cara penyampaian berupa retorika yang penuh semangat. Sedang
dalam petemuan tatap muka lebih cocok mengunakan cara persuasi
agar pesan tertanam dalam hati peserta kampanye. Undang-Undang
Pemilu menentukan metode kampanye yang dapat dilakukan melalui:13
a.
pertemuan terbatas;
b.
pertemuan tatap muka;
c.
penyebaran bahan kampanye Pemilu kepada umum;
d.
pemasangan alat peraga di depan umum;
e.
iklan media massa cetak dan media massa elektronik;
f.
rapat umum;dan
12
Arya Paningrum, Tip Trik Presentasi Memikat, Araska, Yogjakarta, 2012, hlm. 13.
555
Vol. 9 No. 4 - Desember 2012
g.
kegiatan lain yang tidak melanggar larangan Kampanye Pemilu
dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Menempatkan Kampanye pemilu sebagai bagian dari pendidikan
politik masyarakat mengandung makna bahwa Kampanye Pemilu tidak
terpisahkan dari upaya sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran politik. Tujuannya agar
masyarakat secara aktif mengembangkan kesadarannya untuk
memenuhi hak dan kewajibannya sebagai warga negara dalam negara
yang berkedaulatan rakyat berdasarkan Pancasila dan UUD Negara RI
Tahun 1945.
Ramlan Surbakti mengemukakan: “Pendidikan politik dipandang
sebagai proses dialog antara pendidik, seperti sekolah, pemerintah, partai
politik dan peserta didik dalam rangka pemahaman, penghayatan, dan
pengamalan nilai, norma, dan simbol politik yang dianggap ideal dan
baik” 14. Pelaksana Kampanye sebagai pendidik tentunya dituntut
memiliki kapasitas untuk menanamkan nilai, norma dan simbol politik
yang dianggap ideal dan baik kepada masyarakat. Selain itu, Pelaksana
Kampanye harus dapat memberikan suri teladan kepada masyarakat
dalam mengamalkan nilai, norma dan simbol politik yang dianggap ideal
dan baik itu.
Menyongsong Kampanye Pemilu 2014 mendatang Pelaksana
Kampanye perlu mempertegas karakteristik mereka sehingga dengan
mudah dapat dibedakan dengan yang lainnya. Masyarakat dengan
demikian dapat menentukan pilihannya secara lebih cermat dengan
membandingkan karakter masing-masing Pelaksana Kampanye,
menilai kelebihan dan kekurangan masing-masing, sebelum mereka
menentukan pilihan yang dianggap paling mewakili aspirasi mereka.
Pelaksana Kampanye dituntut untuk lebih peka dan peduli terhadap
berbagai permasalahan nyata yang dihadapi oleh rakyat, jika mereka
ingin berhasil meraih dukungan masyarakat. Dalam iklim persaingan
yang semakin ketat antar pelaksana Kampanye mau tidak mau perlu
lebih mengedepankan pendekatan outward looking dari pada pendekatan
inward looking. Pendekatan inward looking memiliki keterbatasan karena
lebih mengedepankan kepentingan dan tujuan Partai Politik atau diri
UU Nomor 8 tahun 2012, op cit, Pasal 82.
Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, PT Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta 1992, hlm.
117.
13
14
556
Kampanye Pemilu 2013 Sebagai Bagian Dari ...
sendiri yang dikemas dalam program yang akan ditawarkan kepada
masyarakat. Sedangkan pendekatan outward looking mengedepankan
apa yang menjadi pusat perhatian masyarakat sebagai basis untuk
menentukan program politik yang akan ditawarkan kepada masyarakat.
Pendekatan outward looking sangat cocok untuk merebut simpati
masyarakat karena dapat menjawab permasalahan yang hidup di tengahtengah masyarakat.
Pelaksana Kampanye yang menawarkan agenda politik yang
mencerminkan realitas sosial yang aspiratif, kreatif, dan inovatif akan
mampu meraih dukungan masyarakat yang lebih luas. Pelaksana
Kampanye yang cerdas akan memperluas agenda politiknya ke berbagai
bidang yang berhubungan dengan hajat hidup orang banyak, untuk
memperoleh dukungan masyarakat yang lebih luas pula. Firmanzah
mengemukakan ada dua hal yang paling pokok untuk menentukan
apakah suatu agenda benar-benar mencerminkan permasalahan di
masyarakat, antara lain, Pertama, agenda yang memiliki kekuatan
dalam argumentasi dan rasionalitas. Kedua, agenda harus
dikomunikasikan agar masyarakat mengerti bahwa memang benarbenar terdapat permasalahan yang harus dipecahkan dalam kehidupoan
mereka 15.
Kampanye Pemilu dapat dianggap bagian dari pendidikan politik
masyarakat, jika proses komunikasi politik yang intens selama masa
Kampanye Pemilu berhasil menanamkan nilai, norma dan simbol politik
yang didasarkan pada prinsip demokrasi. Wujudnya yang paling nyata
adalah tingkat partisipasi masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya
dan memberi dukungan kepada Partai Politik atau caleg yang dianggap
paling mewakili aspirasi mereka.
E.
Hubungan antara Kampanye Pemilu dan Kampanye Politik
Meskipun terdapat perbedaan antara Kampanye Pemilu dan
Kampanye Politik, namun di antara keduanya terdapat hubungan yang
sangat erat. Kampanye Pemilu merupakan bagian dari Kampanye Politik
yang dilaksanakan dalam jangka panjang.
Berbagai aktivitas politik yang dilakukan oleh Partai Politik dan
caleg sebelum masa kampanye dalam bentuk pernyataan politik,
keterangan pers, talk show, menghadiri seminar, diskusi politik,
15
Firmanzah, op cit, hlm. 280.
557
Vol. 9 No. 4 - Desember 2012
menggelar demo, bakti sosial dan lain-lain aktivitas politik merupakan
bentuk-bentuk kampanye politik yang dilakukan secara
berkesinambungan. Tujuannya adalah membangun image politik yang
positif. Hal tersebut pada umumnya diperkuat dan diingatkan kembali
secara impresif pada Kampanye Pemilu.
Perbedaan antara keduanya digambarkan oleh Firmanzah dalam
tabel berikut.16
Undang-Undang Pemilu secara jelas menyatakan bahwa Kampanye
Pemilu merupakan bagian dari pendidikan politik. Artinya Kampanye
Pemilu tidak bisa dipisahkan dari pendidikan politik yang merupakan
fungsi dari Partai Politik dan fungsi supra stuktur politik. Pendidikan
politik dilakukan secara terus menerus oleh Partai Politik maupun oleh
supra struktur politik dalam rangka meningkatkan kesadaran politik
warga negara. Kampanye politik dapat dikatakan sebagai salah satu
bentuk dari pendidikan politik dengan tujuan untuk penyerapan nilainilai politik oleh masyarakat.
16
Ibid, hlm, 273.
558
Kampanye Pemilu 2013 Sebagai Bagian Dari ...
Firmanzah berpendapat: “kampanye politik saling melengkapi
dengan kampanye pemilu dan bukannya harus memilih salah satu.
Kampanye pemilu memiliki keterbatasan seperti yang telah
diungkapakan di atas. Di sisi lain, kampanye pemilu sangat dibutuhkan
untuk menyegarkan dan mengingatkan kembali reputasi dan image
politik yang telah dibangun. Kampanye politik bersifat jangka panjang
membutuhkan penegasan dan penguatan ulang melalui kampanye
pemilu”. 17 Kampanye politik dan Kampanye Pemilu keduanya
memerlukan integritas, kejujuran dan rasa tanggung jawab kepada
rakyat sebagai pemegang kedaulatan dalam negara. Dengan demikian
kepercayaan rakyat terhadap Partai Politik dan caleg dapat dibangun
dan dipelihara.
Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam kampanye politik dan
Kampanye Pemilu peran media masa sebagai pemberi informasi yang
netral dan objektif sangat penting. Karena itu, dalam Undang-Undang
Pemilu ditentukan: “Lembaga penyiaran publik TVRI dan lembaga
penyiaran publik RRI, lembaga penyiaran publik lokal, lembaga penyiaran
swasta, dan lembaga penyiaran berlangganan, memberikan alokasi
waktu yang sama dan memperlakukan secara berimbang Peserta Pemilu
untuk menyampaikan materi Kampanye Pemilu” 18 . Selanjutnya
ditentukan: “Media massa cetak dan lembaga penyiaran yang
menyediakan rubrik khusus untuk Pemberitaan Kampanye Pemilu
harus berlaku adil dan berimbang kepada semua Peserta Pemilu”19.
Dengan ketentuan tersebut diharapkan media massa cetak dan
lembaga penyiaran dapat melaksanakan fungsinya menyampaikan
informasi yang bersifat edukatif secara adil dan berimbang. Informasi
yang diterima masyarakat melalui talk show, konferensi pers atau debat
publik sangat berguna bagi proses pembelajaran politik dan juga dalam
menentukan pilihan politik secara lebih rasional. Tentunya dengan
catatan bahwa informasi yang disampaikan akurat, berkualitas,
menambah wawasan dan mencerdaskan masyarakat.
17
18
19
Ibid, hlm, 274.
UU Nomor 8 Tahun 2012, op cit, Pasal 92 ayat(1).
Ibid, Pasal 93 ayat(3).
559
Vol. 9 No. 4 - Desember 2012
F.
Penutup
Dari uraian di atas dapat dikemukakan kesimpulan sebagai
berikut:
1.
Kampanye Pemilu sebagai proses interaksi politik yang sangat
intens antara Partai Politik dan caleg dengan rakyat dalam waktu
singkat menjelang Pemilu bukan basa basi politik yang memberi
ilusi seakan-akan rakyat diperlakukan sebagai subjek.
2.
Masyarakat merekam dalam memori kolektif mereka segala
perilaku Partai Politik dan caleg selama Kampanye Pemilu,
kemudian membentuk persepsi politik masyarakat terhadap Partai
Politik dan caleg, yang pada gilirannya dipergunakan sebagai tolok
ukur untuk menimbang tingkat kepercayaan masyarakat terhadap
Partai Politik dan caleg.
3.
Kampanye Pemilu pada dasarnya merupakan komunikasi politik
untuk menciptakan kesamaan persepsi antara Partai Politik dan
caleg dengan rakyat mengenai prinsip-prinsip penyelengagraan
negara berdasarkan Pancasila dan UUDNRI Tahun 1945.
4.
Agar Kampanye Pemilu menjadi bagian dari pendidikan politik
masyarakat, ada 4 (empat) faktor yang berpengaruh yaitu:
5.
560
(a)
Isi pesan, harus jelas, aspiratif, menyentuh hati masyarakat,
edukatif, solutif dan menambah wawasan.
(b)
Komunikator dalam hal ini Pelaksana Kampanye harus
mengenal kapasitas dirinya sendiri, memahami secara
mendalam pesan yang akan disampaikan, mengenal peserta
kampanye,dan memiliki kemampuan berkomunikasi secara
efektif.
(c)
Pemahaman terhadap Peserta Kampanye sangat penting
untuk menetukan isi pesan yang patut disampaikan dan
menentukan cara penyampaian yang cocok.
(d)
Memilih metode dan media yang tepat untuk menyampaikan
pesan disesuaikan dengan isi pesan dan peserta kampanye
yang dituju.
Menyongsongi Kampanye Pemilu 2014 mendatang Pelaksana
Kampanye agar mempertegas karakteristik mereka, agar mudah
dapat dibedakan dengan yang lainnya, sehingga masyarakat dapat
menentukan pilihannya terhadap Partai Politik atau caleg yang
dianggap paling cocok dengan aspirasinya.
Kampanye Pemilu 2013 Sebagai Bagian Dari ...
6.
Pelaksana Kampanye agar lebih peka dan peduli terhadap berbagai
permasalahan nyata yang dihadapi oleh rakyat dan lebih
mengedepankan pendekatan outward looking dari pada pendekatan
inward looking.
7.
Kampanye Pemilu dapat dianggap bagian dari pendidikan politik
masyarakat, jika proses komunikasi politik yang intens selama
masa Kampanye Pemilu, berhasil menamkan nilai, norma dan
simbol politik yang didasarkan pada prinsip demokrasi.
8.
Undang-Undang Pemilu secara jelas menyatakan Kampanye Pemilu
merupakan bagian dari pendidikan politik, artinya Kampanye
Pemilu tidak bisa dipisahkan dari pendidikan politik yang
merupakan fungsi dari Partai Politik dan fungsi supra stuktur
politik.
9.
Kampanye politik dan Kampanye Pemilu keduanya memerlukan
integritas, kejujuran dan rasa tanggung jawab kepada rakyat
sebagai pemegang kedaulatan dalam negara, untuk membangun
dan memperkokoh kepercayaan rakyat terhadap system politik
demokratis.
10.
Peran media masa sebagai pemberi informasi yang netral dan
objektif sangat penting dalam kampanye politik dan Kampanye
Pemilu. Media massa cetak dan lembaga penyiaran diharapkan
dapat melaksanakan fungsinya menyampaikan informasi yang
bersifat edukatif untuk meningkatkan kesadaran politik rakyat.
561
Vol. 9 No. 4 - Desember 2012
Daftar Pustaka
A.
Buku
Alfian, Masalah dan Prospek Pembangunan Politik Indonesia (Kumpulan
Karangan), PT Gramedia, Jakarta 1986.
Alvin Toffler, Gelombang Ketiga, PT Panca Simpati, Jakarta 1988.
Arya Paningrum, Tips Trik Persentasi Memikat, Araska Yogjakarta, 2012.
Firmanzah, Marketing Politik, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta 2007.
Kartini Kartono, Pendidikan Politik, CV Mandar Maju, Bandung 1996.
Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, PT Gramedia Widiasarana,
Jakarta 1992.
B.
Peraturan Perundang-Undangan.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Paratai Politik sebgaimana
diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota
DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.
562
MENCEGAH PEMILIHAN UMUM MENJADI ALAT PENGUASA
(TO PREVENT THE GENERAL ELECTION FROM BEING A TOOL OF
THE AUTHORITY)
Fitra Arsil*
(Naskah diterima 12/11/2012, disetujui 23/11/2012)
Abstrak
Pada umumnya, negara-negara di dunia telah memberi tempat bagi demokrasi
dalam konstitusinya sebagai sistem yang mengatur hubungan rakyat dan
penguasa. Sebagai operasionalisasinya, negara-negara tersebut melaksanakan
pemilihan umum dalam pengisian jabatan para pemimpin atau wakil rakyatnya.
Namun kenyataannya pemilihan umum yang dianggap sebagai indikator utama
demokrasi tersebut telah terbukti dapat dijadikan sebagai alat penguasa atau
rezim-rezim berkinerja lemah untuk menambah legitimasinya. Rezim-rezim
non-demokratis melakukan berbagai reduksi dalam prosedur-prosedur
demokrasi yang terdapat dalam penyelenggaraan pemilihan umum terutama
dengan menghambat partisipasi.
Kata kunci: Demokrasi, pemilihan umum, prosedur demokrasi, alat penguasa
Abstract
In general, many countries in the world have already given enough space for
democracy as a system that regulates relation between the people dan their ruler. To
operasionalize it, those countries conduct a general election in order to elect the ruler
or their representatives. However, what really happens is that the general election
becomes the main indicator of democrary has proven to be manipulated by the low
performance ruler or the regimes to strengthen their legitimacy. Non-democratic
regimes reduces many procedures of democracy for a fair election especially by
restricting the participation.
Keywords: Democracy, election, procedures of democracy, participation.
A.
Pendahuluan
Demokrasi telah menjadi arus besar yang melanda dunia sehingga
kini dianggap sebagai sistem yang paling populer1 dan dianggap terbaik
dalam mengatur hubungan antara rakyat dengan penguasa.2 Secara
massif konstitusi bangsa-bangsa di dunia telah memberi tempat bagi
demokrasi sebagai sistem utamanya.
Dosen dan Direktur Riset Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI
Penelitian yang diselenggarakan oleh UNESCO pada tahun 1949 menggambarkan demokrasi dengan
menyebut bahwa “probably for the first time in history democracy is claimed as the proper ideal description of all systems of political and social organizations advocated by influential proponents.” .” Lihat
Miriam Budiardjo, Dasar-DasarIlmuPolitik, cet. 19. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1998), hlm. 51.
2
HendraNurtjahyo, Filsafat Demokrasi, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 2005), hlm. 1.
*
1
563
Vol. 9 No. 4 - Desember 2012
Namun pada prakteknya, negara-negara yang mengaku menganut
sistem demokrasi seringkali hanya nilai nominalnya saja yang
demokrasi. Dalam banyak kasus, demokrasi tampil hanya sebagai
formalitas atau hanya sebagai dokumen pendirian negara dan cita-cita
pendiri bangsa. Pada negara-negara seperti ini, kenyataannya, rakyat
ditempatkan hanya sebagai alat penguat legitimasi. Menurut penelitian
Huntington, negara-negara yang menyatakan demokratis telah berubah
dari waktu ke waktu antara lain dengan mencampurkan nilai-nilai
demokrasi dengan nilai-nilai lain seperti totaliterisme dan otoriterisme
yang boleh jadi menghapus sedikit demi sedikit nilai-nilai
demokrasinya. 3 Pada kasus rezim yang mengalami kemerosotan
demokrasi yang lebih lunak, negara-negara demokrasi tersebut
melakukan pembatasan-pembatasan secara ketat prosedur-prosedur
demokrasi yang terdapat di negara tersebut.4
Pemilihan pemimpin dan wakil rakyat yang dianggap sebagai salah
satu prosedur demokrasi yang penting, bahkan dianggap paling penting5,
ternyata merupakan sasaran utama bagi para rezim non-demokratis
untuk melakukan perekayasaan guna melanjutkan kekuasaannya.
Pemilihan umum untuk mendapatkan pemimpin utama dan wakil
rakyat sebagai esensi demokrasi justru menjadi salah satu titik utama
kemorosotan demokrasi yang sering terjadi. Pemilihan umum tetap
berlangsung karena hal itu merupakan simbol utama demokrasi di
negara tersebut namun prosedur-prosedur demokrasi di dalamnya
dibatasi sehingga pemilihan tidak lagi adil, bebas dan terbuka.6
B.
Pemilihan Umum Sebagai Indikator Demokrasi
Menurut penelitian Amos J Peaslee tahun 1950, 90 persen negara
di dunia dengan tegas mencantumkan dalam konstitusinya masingmasing bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan kekuasaan
pemerintah bersumber dari kehendak rakyat. Prinsip tersebut
Huntington menyebut pasang surut demokrasi di negara-negara di dunia mengesankan terdapat pola
“a two-step forward, one-step-backward”. Di samping terdapat berbagai kemajuan negara-negara dalam
menerapkan demokrasi namun terdapat pula kemunduran-kemunduran yang cukup berarti. Samuel P
Huntington, The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century, (University of Oklahoma
Press, 1991), hlm. 25-26.
4
Korea dan Turki pada akhir dasawarsa 1950, dan Philipina pada tahun 1972. Ibid., hlm. 7.
5
Pakar yang memahami demokrasi secara prosedural selalu menyebut pemilihan umum sebagai salah
satu prosedur penting. Samuel Huntington malah menyebutnya sebagai prosedur utama; lihat Samuel
Huntington, Ibid, hlm. 5. Robert A, Dahl juga memasukkan pemilihan umum sebagai salah satu prosedur
demokrasi di antara prosedur-prosedur demokrasi yang seharusnya terdapat dalam suatu negara
demokrasi. Lihat Robert A. Dahl, Demokrasi dan Para Pengkritiknya. (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
1992), hlm. 17.
6
Huntington, Op. Cit., hlm. 8.
3
564
Mencegah Pemilihan Umum Menjadi Alat Penguasa
merupakan ciri utama dalam konsep demokrasi, 7 artinya secara
konstitusional negara-negara di dunia telah memilih demokrasi sebagai
sistem utamanya.
Salah satu alasan penting untuk menjelaskan popularitas
demokrasi adalah karena demokrasi telah menjadikan rakyat sebagai
pusat dalam proses pemerintahan. Demokrasi meletakkan rakyat bukan
sebagai subyek yang didikte oleh sesuatu di luar dirinya, melainkan
bersama-sama dengan penguasa turut ke dalam proses pemerintahan
tersebut. Hal itu tergambar dalam defenisi Abraham Lincoln tentang
demokrasi yaitu “....that government of the people, by the people and for the
people...”8
Para ahli yang memandang demokrasi dari sudut prosedur, secara
konkret menjelaskan implementasi pelibatan rakyat dalam demokrasi
dilakukan melalui cara pengelolaan suara rakyat dalam pengambilan
putusan publik. Joseph Schumpeter, seorang perintis konsep demokrasi
prosedural, secara khusus memberikan penekanan bahwa demokrasi
seharusnya memang sebuah prosedur kelembagaan untuk mencapai
keputusan politik yang di dalamnya individu memperoleh kekuasaan
untuk membuat perjuangan kompetitif dalam rangka memperoleh suara
rakyat.9
Dalam negara yang menganut demokrasi, berdasar konsep
demokrasi prosedural, rakyat menentukan pemerintahan dan para
pejabat utama pemerintahan dipilih melalui pemilihan yang kompetitif
yang dapat diikuti oleh penduduk.10 Samuel Huntington menjelaskan
operasionalisasi dari konsep demokrasi prosedural dengan menyebut
pemilihan umum sebagai bentuk prosedur demokrasi. Menurutnya
pemilihan umum yang adil, jujur dan berkala merupakan indikator utama
7
Amos J. Peaslee meneliti 83 konstitusi di dunia dan 74 di antaranya (90%) menganut ajaran kedaulatan
rakyat. Lihat Amos J Peaslee, Constitutions of Nations, vol. I, (New Heaven: The Rumford Press, 1950),
hlm. 8 sebagaimana dikutip oleh Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan
Pelaksanaannya di Indonesia: Pergeseran Keseimbangan antara Individualisme dan Kolektivisme dalam
Kebijakan Demokrasi Politik dan Demokrasi Ekonomi selama Tiga Masa Demokrasi 1945-1980-an ,
(Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), hlm. 11-12.
8
Kalimat ini disampaikan oleh Abraham Lincoln pada 1863 ketika peresmian makam nasional
Gettysburg, di tengah kecamuk perang saudara besar-besaran demi mempertahankan keutuhan Amerika
Serikat sebagai sebuah negara. Dikutip dari tulisan Melvin I. Urofsky, Prinsip-Prinsip Dasar Demokrasi,
dalam Jurnal Demokrasi, Office of International Information Programs, US Department of State, tanpa
tahun.
9
Joseph A. Schumpeter, Capitalism, Socialism and Democracy, (London dan New York: Routledge,
2003), hlm. 269.
10
Huntington, Op.Cit., hlm. 109
565
Vol. 9 No. 4 - Desember 2012
demokrasi dalam sebuah rezim.11 Ahli lain, Robert Dahl, juga menyebut
pemilihan umum yang bebas dan adil sebagai syarat berjalannya
demokrasi.12 Pemilihan pemimpin dan wakil rakyat memang dianggap
sebagai bentuk partisipasi yang terukur13 dan dinilai paling tua serta
terus dianggap tetap tidak boleh dihilangkan. 14 Bahkan pemilihan
pemimpin dengan melibatkan rakyat ini dianggap bukan saja sebagai
instrumen demokrasi, keberadaan pemilu telah membuat para pembuat
kebijakan menaruh perhatian serius terhadap warga negara.15 Melalui
keterlibatan rakyat dalam memilih pemimpin, dapat dianggap rakyat
terlibat dalam pembentukan kebijakan karena rakyat menentukan siapa
yang yang berhak membuat kebijakan.16
Begitu pentingnya pemilihan umum dalam suatu negara yang
menganut demokrasi, telah menyebabkan pemilihan umum dijadikan
dasar untuk menentukan keberadaan demokrasi di suatu negara.
Negara yang memilih pemimpin dan para wakilnya lewat pemilihan
umum menunjukkan negara tersebut demokratis dan sebaliknya, jika
tidak ada pemilihan umum maka negara tersebut tidak demokratis.
C.
Kemerosotan Demokrasi Lewat Pemilihan Umum
Betapapun pemilihan umum dianggap sebagai prosedur utama bagi
operasionalisasi demokrasi, namun kenyataannya pemilu tidak selalu
menjadi alat pendorong keberlangsungan demokrasi di suatu negara.
Pemilihan umum ternyata juga dipakai sebagai alat untuk kepentingan
non demokrasi.
Tidak seperti rezim-rezim non demokratis di masa lalu yang
berkuasa tanpa melalui legitimasi suara rakyat, rezim non-demokratis
Ibid.
Robert Dahl, Polyarchy: Participation and Opposition (New Heaven: Yale University Press, 1971), hlm,
2 sebagaimana dikutip oleh Philips Jusario Vermonte, “Konsolidasi Demokrasi dan Perdebatan
Presidensialisme versus Parlementarisme” dalam Yudi Latif et al., Gerak Politik yang Tertawan: Menggagas
Ulang Prinsip-prinsip Lembaga Kepresidenan (Jakarta: Center for Presidential and Parliamentary Studies,
2002), hlm. 31.
13
Huntington, Op. Cit.
14
Menilai partisipasi hanya semata-mata sebagai seleksi pemimpin dan wakil-wakilnya memang dinilai
tidak akurat saat ini, namun hal tersebut disepakati sebagai bentuk partisipasi yang selalu ada dalam
setiap definisi yang disampaikan. Lihat Miriam Budiardjo dalam “Partisipasi dan Partai Politik”, Arbi
Sanit dalam “Mewadahi Partispasi Politik dan Perwakilan Politik di Indonesia”, Samuel P. Huntington dan
Joan M. Nelson dalam “No Easy Choice: Political Participation in Developing Countries”, Herbert Mc Closky
dalam “International Encyclopedia of the Social Sciences”, Norman H. Nie dan Sidney Verba dalam
“Handbook of Political Science”.
15
Lihat G. Bingham Powell Jr, Elections as Instruments of Democracy (Majoritarian and Proportional
Visions), (New Haven: Yale University Press, 2000), hlm 4.
16
Powell Jr, Ibid, hlm. 3-4.
11
12
566
Mencegah Pemilihan Umum Menjadi Alat Penguasa
sekarang ini justru telah memakai proses pemberian legitimasi suara
rakyat sebagai alat yang membantu kekuasaan non demokratis mereka.
Di beberapa rezim yang berkinerja rendah, belakangan ini pemilihan
umum telah dijadikan alat untuk memperkuat legitimasi mereka.
Rezim-rezim tersebut justru menghendaki dilaksanakannya pemilihan
umum bukan malah menolaknya sebagaimana yang dilakukan rezimrezim otoriter di masa lalu. Para penguasa rezim gagal ini melaksanakan
pemilihan umum karena mereka percaya bahwa pemilihan umum dapat
memperpanjang masa hidup rezim mereka dengan legitimasi yang
baru.17 Bagi rezim seperti ini pemilu justru menyegarkan legitimasi
mereka dan menjadi sandaran untuk melanjutkan kekuasaan yang
dijalankan jauh dari nilai-nilai demokrasi. Dengan demikian, pemilihan
umum sebagai sebuah prosedur dari demokrasi tidak selalu
menghasilkan pemerintahan yang demokratis dan efektif untuk
menjalankan program kesejahteraan rakyat.
Pemilihan umum yang dilaksanakan dalam rezim non-demokratis
dilakukan dengan berbagai rekayasa, yaitu dengan berbagai manipulasi
prosedur-prosedur pemilihan umum atau dengan kata lain mereka
melakukan reduksi terhadap prosedur demokrasi demi mendapatkan
legitimasi. 18 Reduksi terhadap prosedur demokrasi dalam suatu
pemilihan umum bukan saja menghasilkan rezim yang buruk dan tidak
efektif dalam menjalankan program kesejahteraan rakyat tetapi juga
menghasilkan rezim kuat yang sulit menerima perubahan.
Negara-negara non-demokrasi yang melaksanakan pemilihan
umum justru menjadi sangat berbahaya dalam perspektif perubahan.
Negara seperti ini tampil dengan jubah republik dan demokrasi sehingga
dianggap memiliki legitimasi cukup untuk memerintah, padahal rakyat
tidak mendapatkan kesempatan yang memadai untuk menyampaikan
kehendaknya. Che Guevara menyebut revolusi yang ditujukan terhadap
suatu pemerintah yang “telah memperoleh kekuasaannya melalui suatu
bentuk pemilihan umum berdasarkan suara rakyat, curang atau tidak
curang dan setidak-tidaknya tetap tampak sah secara konstitusional,”
tidak akan berhasil.19
Huntington Op.Cit., 174-175.
Ibid., 182
19
Che Guevara, Guerilla Warfare (New York: Vintage Books, 1961), hlm. 3 “Where a government has
come into power through some form of popular vote, fraudulent or not, and maintains at least an
appearance of constitutional legality, the guerrilla outbreak cannot be promoted, since the possibilities of
peaceful struggle have not yet been exhausted.”
17
18
567
Vol. 9 No. 4 - Desember 2012
D.
Rekayasa Hukum Pemilu di Indonesia
Pengalaman demokrasi Indonesia menunjukkan fakta-fakta di
mana prosedur demokrasi dalam pengisian jabatan termasuk pemilihan
umum di dalamnya20 telah menjadi sasaran rekayasa pemerintahan
non-demokratis. Negara yang dibangun Orde Baru, misalnya, telah
melakukan rekayasa untuk memperkuat dan melanggengkan
kekuasaan dengan melakukan pembatasan-pembatasan terhadap
prosedur-prosedur demokrasi dalam pengisian jabatan presiden dan para
wakil rakyat.21 Melalui peraturan perundang-undangan,22 negara Orde
Baru melakukan rekayasa sistem politik dan ketatanegaraan
Indonesia, khususnya mengenai pengisian jabatan pemimpin dan para
wakil rakyat.23
Penelitian Moh. Mahfud MD memperkuat fakta tersebut dengan
menyebutkan bahwa hukum pemilu yang dilaksanakan oleh negara Orde
Baru memang diadakan sesuai konstitusi, tetapi direkayasa melalui
berbagai peraturan perundang-undangan agar kekuataan pemerintah
saat itu harus tampil sebagai pemenang.24 Berbagai proses pengisian
jabatan dilakukan dengan proses yang tidak demokratis seperti
penggabungan partai politik yang dipaksakan, sistem pengangkatan
secara tetap, pemberlakukan penelitian khusus terhadap para calon
anggota DPR/MPR, organisasi penyelenggara pemilu yang tidak netral,
tahapan-tahapan pemilu yang penuh rekayasa hingga proses pemilihan
presiden dalam sidang paripurna MPR yang tidak adil dan
menghilangkan hak-hak politik rakyat.
MPR yang melakukan Perubahan UUD 1945 menyatakan salah satu dasar pemikiran yang
melatarbelakangi Perubahan UUD 1945 adalah karena pengaturan mengenai pemilihan umum yang asli
tidak tegas sehingga memungkinkan diselenggarakannya pemilu hanya untuk memenuhi persyaratan
demokrasi formal karena seluruh proses dan tahapan pelaksanaannya dikuasai oleh pemerintah. Lihat
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Sesuai dengan Urutan Bab, Pasal, dan Ayat, (Jakarta: Sekretariat
Jenderal MPR RI, 2005), hlm. 8.
21
Ramly Hutabarat, Politik Hukum Pemerintahan Soeharto tentang Demokrasi Politik di indonesia,
(Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004), hlm. 51-52.
22
Menurut Yusril Ihza Mahendra, kekuasaan dalam pemerintahan Orde Baru telah bertindak sebagai
pencipta hukum yang bertujuan untuk mempertahankan kepentingan diri, entah kepentingan statusquo maupun kepentingan legitimasi kekuasaan. Lihat Yusril Ihza Mahendra, Dinamika Tatanegara
Indonesia: Kompilasi Aktual Masalah Konstitusi, Dewan Perwakilan dan Sistem Kepartaian (Jakarta
Gema Insani Press, 1996), hlm. 91.
23
Lihat analisis Ramly Hutabarat mengenai produk hukum yang dibentuk oleh negara orde baru dalam
paket undang-undang politik yang intinya melakukan rekayasa pengisian jabatan dan mekanisme
pengambilan putusan politik di indonesia, Ramly Hutabarat Op.Cit., hlm. 69—127
24
Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 1998), hlm. 376377.
20
568
Mencegah Pemilihan Umum Menjadi Alat Penguasa
Khusus pengisian jabatan presiden, rekayasa sudah dilakukan
mulai dari rekrutmen anggota MPR yang menjadi tempat dilakukannya
pemilihan Presiden. Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 naskah asli,
keanggotaan MPR terdiri dari anggota-anggota DPR, utusan daerah dan
utusan golongan,25 Orde Baru menerjemahkan ketentuan konstitusi ini
dengan mengisi lebih dari separuh anggota MPR berdasar pengangkatan
oleh Presiden.26 Presiden mengangkat anggota-anggota yang berasal dari
utusan daerah, utusan golongan dan anggota DPR yang berasal dari
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Sebagian anggota DPR yang
dipilih juga dilakukan dengan pemilihan umum yang penuh rekayasa27
sehingga Golkar sebagai partai pemerintah selalu dominan dengan
perolehan selalu di atas 60% suara.28
Dengan demikian, sangat wajar persidangan-persidangan MPR
berjalan di bawah kendali Presiden berkuasa ketika itu. Pemilihan
Presiden selalu berlangsung tanpa alternatif calon atau hanya memiliki
calon tunggal, bahkan wakil presiden pun nyaris juga selalu terdiri dari
calon tunggal. Ketidakwajaran dalam pencalonan ini, seperti disebut
Saldi Isra dilakukan berdasar peraturan perundang-undangan, yaitu
diatur dalam Ketetapan MPR Nomor II/MPR/ 197329 yang mensyaratkan
pencalonan presiden dilakukan oleh fraksi secara tertulis dengan
persetujuan dari calon yang bersangkutan.30 Ketentuan ini dianggap
Saldi telah menyebabkan terjadinya “tradisi calon tunggal”31 dalam
Republik Indonesia, Oendang-Oendang Dasar, BRI Tahun II No. 7 Tahun 1946, Pasal 2 ayat (1).
Jumlah anggota MPR hasil Pemilihan Umum 1971, 1977, dan 1982 ialah dua kali jumlah anggota
DPR, yaitu 920 orang. Dari 460 orang anggota DPR terdapat ABRI yang diangkat oleh Presiden sejumlah
75 orang. Adapun MPR hasil Pemilu 1987, 1992, 1997 mengalami perubahan jumlah menjadi 1.000
orang, seperti diatur dalam UU No.2 tahun 1985.Anggota DPR terdiri dari 500 orang yang di dalamnya
terdapat 100 anggota ABRI yang diangkat. Lihat B.N. Marbun, DPR-RI : Pertumbuhan dan Cara Kerjanya
(Jakarta: Gramedia, 1992), hlm. 41-43.
27
Kemenangan Golkar dalam Pemilu 1971 hingga 1997 diakui dilakukan dengan berbagai rekayasa
politik, termasuk dengan cara-cara pemaksaan dan represi aparat negara. Namun demikian mekanisme
tersebut secara berangsur dianggap berkurang dari Pemilu ke Pemilu. Lihat Akbar Tandjung, The
Golkar Way: Survival Partai Golkar di Tengah Turbulensi Politik Era Transisi (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2008), hlm. 42-43.
28
Pada Pemilu tahun 1971 Golkar mendapatkan 62,82 %, Pemilu 1977 mendapatkan 62,80%, Pemilu
1982 mendapatkan 64,34 %, Pemilu 1987 mendapatkan 73,16 %, Pemilu 1992 mendapatkan 68,10
%, dan Pemilu 1997 mendapatkan 74, 51 %. Data bersumber dari website resmi Komisi Pemilihan
Umum, lihat http://kpu.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=43&Itemid=66 (diakses
tanggal 21 Maret 2012 Pukul 11.16 WIB).
29
Republik Indonesia, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tentang TataCara Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Ketetapan MPR Nomor II/MPR/ 1973.
30
Dalam Pasal 9 Ketetapan MPR Nomor II/MPR/ 1973 disebutkan: “Calon Presiden diusulkan oleh
Fraksi secara tertulis dan disampaikan kepada Pimpinan Majelis melalui Pimpinan-pimpinan Fraksi
yang mencalonkan dengan persetujuan dari calon yang bersangkutan.” Ibid.
31
Harun Alrasid menyatakan sejak Sidang Umum (SU) MPR 1973 telah terjadi “tradisi calon tunggal”
dalam pemilihan Presiden. Lihat Harun Al-Rasyid, Pemilihan Presiden dan Pergantian Presiden Dalam
Hukum Positif Indonesia, (Jakarta: YLBHI, 1997), hlm. 36-37 sebagaimana dikutip Saldi Isra, op. Cit.
25
26
569
Vol. 9 No. 4 - Desember 2012
pemilihan presiden di Indonesia pada masa orde baru. Ketentuan ini
seolah-olah mengeliminasi semangat yang terdapat dalam Pasal 6 ayat
(2) naskah asli UUD 1945 yang mengisyaratkan calon presiden
hendaknya lebih dari satu.32
Dalam masa Orde Lama, Soekarno pernah melakukan rekayasa
model ini dengan lebih buruk lagi. Soekarno pernah mengangkat seluruh
anggota MPRS 33 dan menentukan sendiri komposisi susunan
keanggotaannya melalui produk hukum yang dibuat oleh presiden.34
Maka wajar MPRS bentukan Soekarno tersebut mengeluarkan Ketetapan
yang mengangkat Soekarno sebagai presiden seumur hidup.35
Ketentuan mengenai pencalonan dan mekanisme pemilihan,
termasuk di dalamnya mengenai formasi pihak yang melakukan
pemilihan, memang telah menjadi sasaran rekayasa dalam pengisian
jabatan presiden di Indonesia. Menurut Saldi Isra, jika melirik
sejarahnya, dalam dua kali periode berlakunya Undang-Undang Dasar
(UUD) 1945 periode 17 Agustus 1945 - 29 Desember 1949 dan periode 5
Juli 1959 – 19 Oktober 1999, belum pernah dilakukan pengisian jabatan
Presiden (dan Wakil Presiden) secara “wajar” yakni melalui proses
pemilihan sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 6 ayat (2) UUD
1945.36
E.
Memastikan Partisipasi sebagai Prosedur Demokrasi
Dalam kasus-kasus rekayasa hukum pemilihan umum yang
pernah terjadi di Indonesia seperti disebut di atas, nampak secara jelas
pembatasan partisipasi menjadi inti upaya reduksi prosedur demokrasi.
Menurut Saldi, ketentuan Dalam Pasal 6 ayat (2) UUD 1945 Naskah Asli bahwa presiden harus
dipilih mengisyaratkan bahwa calon presiden harus lebih dari satu. Secara lengkap bunyi ketentuan
tersebut sebagai berikut: “Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat
dengan suara terbanyak.”
33
Soekarno membubarkan DPR hasil Pemilihan Umum Tahun 1955 melalui Penetapan Presiden Nomor
3 Tahun 1960 dan menggantinya dengan DPRGR melalui Penetapan Presiden Nomor 4 Tahun 1960.
DPRGR merupakan salah satu unsur dari MPRS, selain Utusan Golongan dan Utusan Daerah yang
semuanya juga diangkat oleh Soekarno. Lihat Harmaily Ibrahim, Majelis Permusyawaratan Rakyat,
(Jakarta: Penerbit Sinar Bakti, 1979), hlm. 45-47.
34
Soekarno membentuk MPRS dengan susunan yang ditentukannya sendiri melalui Keputusan Presiden
Nomor 199 Tahun 1960. Lihat Harmaily Ibrahim, Ibid, hlm. 48-49.
35
Republik Indonesia, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tentang
Pengangkatan Pemimpin Besar Revolusi Indonesia Bung Karno sebagai Presiden Seumur Hidup. Ketetapan
MPRS No. III/MPRS/1963.
36
Saldi Isra, “Perkembangan Pengisian Jabatan Presiden di Bawah Undang-Undang Dasar 1945”
http://www.saldiisra.web.id/index.php?option=com_content&view=article&id=97:perkembangan-pengisian-jabatan-presiden-di-bawah-undang-undang-dasar-1945&catid=18:jurnalnasional&Itemid=5 diakses 10 Desember 2011 pukul 10.12 WIB.
32
570
Mencegah Pemilihan Umum Menjadi Alat Penguasa
Padahal partisipasi adalah inti dari demokrasi yang hendak dijalankan
melalui pemilihan umum itu sendiri. Artinya, menyelenggarakan
pemilihan umum dengan melakukan pembatasan-pembatasan
partisipasi dapat dikatakan sebagai menghilangkan demokrasi dalam
pemilihan umum.
Sejak awal demokrasi mulai dipraktekkan, partisipasi selalu
menjadi inti dalam pelaksanaannya. Di Athena kuno, seseorang
dianggap sebagai warga negara jika ia berpartisipasi dalam memberikan
putusan dan memiliki jabatan. Kewarganegaraan bagi para laki-laki
dewasa mengandung arti keterlibatannya dalam urusan-urusan publik.37
Partisipasi aktif warga negara dalam kehidupan kenegaraan memang
merupakan pesan demokrasi klasik yang saat ini kembali menjadi
diskusi menarik, apalagi sejak tahun 1960-an38 berkembang konsep
demokrasi partisipatoris39 yang beranggapan bahwa hak yang sama pada
kebebasan dan pengembangan diri hanya dapat diperoleh dalam sebuah
masyarakat yang partisipatif.40
Jika melihat para ahli yang memaparkan prosedur–prosedur yang
tidak boleh hilang dalam negara demokrasi terlihat penguatan partisipasi
semacam itu menjadi kesepakatan bersama. Ketika Robert Dahl merinci
prosedur-prosedur demokrasi sebagai indikator suatu negara yang
dibangun atas dasar demokrasi, dapat dikatakan semuanya berhubungan
dengan penguatan partisipasi rakyat, yaitu:41
1)
Para pejabat yang dipilih. Secara konstitusional pengawasan
terhadap keputusan pemerintah mengenai kebijakan berada di
tangan para pejabat yang dipilih.
2)
Pemilihan umum yang bebas dan adil. Para pejabat yang dipilih
ditentukan dalam pemilihan umum yang seringkali diadakan dan
dilaksanakan dengan adil, tanpa tindakan pemaksaan.
3)
Hak suara yang inklusif. Semua orang dewasa berhak memberikan
suara dalam pemilihan para pejabat.
David Held, Models of Democracy, second edition, (Cambridge: Polity Press, 1997), hlm. 36.
Lihat Ibid, hlm. 263-264.
Dalam perkembangannya, gagasan ini menjadi wacana alternatif demokratisasi yang berpengaruh di
seluruh dunia. Dalam bidang hukum, gagasan ini mendorong lahirnya gerakan Critical Legal Studies.
Lihat Anis Ibrahim, “Legislasi Dalam Perspektif Demokrasi: Analisis Interaksi Politik dan Hukum Dalam
Proses Pembentukan Peraturan Daerah Di Jawa Timur” Disertasi Pada Program Doktor Ilmu Hukum
Universitas Diponegoro Semarang 2008.
40
David Held, Op. Cit.
41
Robert A. Dahl, Demokrasi dan Para Pengkritiknya. (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1992), hlm..
17. Dapat pula dilihat dalam Robert A. Dahl, Dilema Demokrasi Pluralis: Antara Otonomi dan Kontrol
(Jakarta: Rajawali, 1985), hlm. 18.
37
38
39
571
Vol. 9 No. 4 - Desember 2012
4)
Hak untuk mencalonkan diri dalam pemilihan. Semua orang dewasa
berhak mencalonkan diri untuk mengisi jabatan yang diisi
berdasarkan pemilihan umum, meskipun batasan umur mungkin
ditetapkan lebih tinggi untuk calon daripada untuk pemilih.
5)
Kebebasan menyatakan pendapat. Warga negara berhak
menyatakan pendapat mengenai masalah-masalah politik yang
didefinisikan secara luas, termasuk kritik terhadap pejabat,
pemerintah, rezim, tatanan sosial ekonomi dan ideologi yang ada.
6)
Informasi alternatif. Warga negara berhak mencari sumber informasi
alternatif, dan sumber informasi alternatif itu tersedia.
7)
Otonomi asosiasi. Warga negara berhak membentuk perkumpulan
atau organisasi yang relatif bebas, termasuk partai politik dan
kelompok kepentingan yang bebas.
Dahl menyebutkan bahwa ketujuh indikator di atas dapat dijadikan
ukuran bagi suatu negara, untuk menilai sejauh mana pranata-pranata
politiknya mendekati kriteria tersebut. Semakin dekat dengan kriteria
tersebut, semakin demokratis suatu negara.42
Lyman Tower Sargent juga memaparkan kriteria-kriteria penting
dalam sebuah demokrasi secara prosedural yang memiliki kesamaankesamaan dengan Dahl dalam menempatkan pentingnya posisi
partisipasi yaitu:43
1.
Citizen involvement in decision making
2.
A system of representation
3.
The rule of law
4.
An electoral system—majority rule
5.
Some degree of equality among citizens
6.
Some degree of liberty or freedom granted to or retained by citizens
7.
Education, particularly but not solely citizenship education
Banyak kesamaan pandangan antara Sargent dan Dahl dalam
menjelaskan soal partisipasi dalam prosedur-prosedur demokrasi yang
harus ada dalam suatu negara demokratis yang kenyataannya telah
menjadi objek rekayasa. Persamaan tersebut antara lain; Pertama, ketika
Sargent menjelaskan tentang Some degree of equality among citizens,
Ibid., hlm. 15.
Lyman Tower Sargent, Contemporary Political Ideologies: A Compative Analysis, (Wadsworth: Cengage
Learning, 2009), hlm. 62 .
42
43
572
Mencegah Pemilihan Umum Menjadi Alat Penguasa
dengan menempatkan political equality menjadi poin pertama sebelum
equality before the law, economic quality dan lain-lain. 44 Dalam
penjelasannya disebutkan bahwa political equality antara lain bermakna
kesamaan kesempatan bagi setiap warga negara baik dalam memilih
maupun dipilih. Kesamaan kesempatan dalam memilih dapat berupa
kemudahan akses menuju pemilihan, kebebasan untuk menentukan
pilihannya dan kesamaan nilai suara yang diberikan oleh warga negara
ketika dihitung.45 Sedangkan kesamaan kesempatan untuk ikut-serta
sebagai kandidat disebutkan bahwa setiap warga negara yang memiliki
hak memilih seharusnya juga mendapatkan kesempatan untuk ikutserta sebagai kandidat. Faktor-faktor ras, agama ataupun strata sosial
tidak dapat dijadikan halangan bagi warga negara untuk berpartisipasi
sebagai kandidat dalam suatu pemilihan di negara demokrasi.46
Dalam analisis tentang rekayasa hukum pemilu yang pernah
terjadi di Indonesia, pandangan Dahl dan Sargent ini jelas menempatkan
peristiwa yang terjadi pada masa Orde Lama dan Orde Baru, seperti telah
disebut di atas, sebagai tindakan anti demokrasi. Orde Lama dan Orde
Baru telah membuat system yang memberi ruang terlalu sempit bagi
para kandidat (right to be candidate) untuk berpartisipasi dan kepada
para pemilih (right to vote) untuk tampil sebagai penentu dalam suatu
pemilihan.
Kedua, Sargent dan Dahl juga memiliki pendapat yang senada
mengenai hak partisipasi individu dalam demokrasi. Sargent
menjelaskan ketika membahas electoral system yang merupakan suatu
prosedur demokrasi yang memiliki tahapan dan dimulai dari penentuan
kandidat. Negara demokrasi seharusnya membuat prosedur keterlibatan
rakyat sudah dapat dilakukan mulai dari tahapan penentuan tersebut,
tidak hanya semata dilakukan oleh partai politik.47
Secara lebih umum, Robert Dahl juga membahas fenomena seperti
itu dalam pelaksanaan demokrasi saat ini. Dahl mengangkat terjadinya
salah satu dilema dalam demokrasi modern, mengenai seringnya
dilakukan pengorbanan terhadap hak-hak individu warga negara dalam
mekanisme demokrasi karena hak-hak individu tersebut sudah
44
45
46
47
Ibid., hlm. 74.
Ibid.
Ibid., hlm. 76.
Ibid., hlm. 71.
573
Vol. 9 No. 4 - Desember 2012
dianggap terwakili secara organisasional.48 Berkembangnya populasi
dan semakin meluasnya wilayah sering menjadi alasan bahwa secara
pragmatis prosedur demokrasi cukup dilakukan dengan memberi tempat
bagi hak-hak masyarakat secara berkelompok atau organisasi.49
Menurut Dahl, tidak ada alasan yang absah untuk melakukan
pengorbanan hak-hak individu dan menganggapnya terwakili melalui
hak-hak organisasi dalam pelaksanaan prosedur demokrasi.50 Dahl
berpendapat, tidak mudah membuat penilaian kebajikan bersama di
masyarakat yang semakin heterogen. Semakin besar suatu kolektivitas,
semakin mungkinlah ia berisikan keanekaragaman kepentingan secara
subjektif dan objektif.51 Selain itu, semakin meningkatnya populasi,
pengambilan kesimpulan tentang kebaikan umum akan semakin sulit
karena pengetahuan orang terhadap posisi banyak orang hanya teoretis,
bukan praktis. Dengan demikian yang dianggap sebagai kepentingan
bersama atau kebaikan umum sebenarnya tidak akurat,52 bahkan dapat
dikatakan tidak pernah dapat dicapai secara efektif dan memang tidak
mungkin.53Oleh karena itu, prosedur demokrasi yang diciptakan tidak
boleh menghilangkan hak-hak dan kemampuan partisipasi individu.
Reduksi terhadap prosedur demokrasi jenis ini juga sering
dilakukan dengan cara yang lebih tidak terlihat perekayasaannya.
Misalnya dengan menganggap yang menjadi aspirasi rakyat hanyalah
suara yang disampaikan oleh partai politik atau bahkan oleh partai
politik dengan suara besar.
Dalam demokrasi perwakilan, lembaga-lembaga dalam sistem
politik memang diminta bekerja menjalankan fungsinya dari
pengelolaan aspirasi politik rakyat dan lembaga-lembaga tersebut
melakukan berbagai aktivitas yang secara terus menerus
mempengaruhi pendapat masyarakat.54 Peran lembaga-lembaga tersebut
Lihat Robert A. Dahl, Dilema.., Op. Cit, hlm. 152-155.
Ibid.
Ibid, 153-154.
51
Ibid, hlm 219.
52
Ibid, hlm 220-221.
53
Ibid, hlm. 230.
54
Gabriel Almond menggambarkan struktur dalam suatu sistem politik bekerja mengelola aspirasi
rakyat. Banyak lembaga politik yang terlibat seperti partai politik, kelompok kepentingan, birokrasi dan
lain-lain. Lihat Gabriel Almond “Studi Perbandingan Sistem Politik”, terjemahan dari “The Study of
Comparative Politics” dalam Comparative Politics Today (Boston: Little, Brown & Company, 1974) dalam
Mohtar Mas’oed dan Colin MacAndrews, Perbandingan Sistem Politik, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2001), hlm. 27-29.
48
49
50
574
Mencegah Pemilihan Umum Menjadi Alat Penguasa
dalam pemerintahan perwakilan memang dibutuhkan sebagai
mekanisme dan institusi bagi ekspresi kehendak rakyat yang diwakili.55
Partai politik, misalnya, bertugas menjadi penghubung yang sangat
strategis antara proses-proses pemerintahan dengan warga negara.56
Hans Kelsen menyebut partai politik merupakan kendaraan essensial
dalam pembentukan kehendak publik.57
Namun demikian, partai politik hanya merupakan salah satu saja
dari bentuk pelembagaan sebagai wujud ekspresi ide-ide, pikiranpikiran, pandangan dan keyakinan bebas dalam masyarakat
demokratis.58 Dalam konteks infastruktur politik,59 partai politik bekerja
di wilayah itu bersama lembaga lain seperti kelompok kepentingan,
kelompok penekan, media massa dan tokoh politik.60
Di Amerika Serikat, betapapun dianggap sebagai negara yang
menganut sistem dua partai (two party system) dalam kepartaiannya,
namun di sana juga diakui konsep pemilu yang mempersilahkan calon
selain dari kedua partai yang ada untuk berkompetisi (Nonpartisan
Elections). 61 Konsep ini (The nonpartisan concept) menghilangkan
kewenangan tunggal pada partai politik dalam penentuan calon yang
berhak ikut pemilihan umum dan memberikan kesempatan kepada
semua pemilih untuk ambil bagian dalam pemilihan. 62 Konsep ini juga
menjanjikan berkurangnya politik partisan dan menganggap semua
pejabat yang terpilih konstituennya adalah seluruh pemilih bukan saja
55
Muchamad Ali Safa’at, Pembubaran Partai Politik: Pengaturan dan Praktik Pembubaran Partai Politik
dalam Pergulatan Republik, (Jakarta: Rajawali Press, 2011), hlm. 43.
56
Jimly Asshiddiqie, Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai Politik dan Mahkamah Konstitusi,
(Jakarta: Konstitusi Press, 2005), hlm. 52.
57
Hans Kelsen, General Theory of Law and State, (New York: Russel & Russel, 1961), hlm. 294.
58
Assiddiqie, Ibid, hlm. 53.
59
Sri Sumantri membagi sistem politik suatu negara dalam dua suasana, yaitu (1) The governmental
political sphere yang merupakan hal-hal yang bersangkut paut dengan kehidupan lembaga-lembaga
negara yang ada serta perhubungan kekuasaannya antara satu dengan lainnya. dan (2) The socio-political
sphere atau disebut juga infra struktur politik yang terdapat di dalam masyarakat yang memberikan
pengaruhnya terhadap tugas-tugas daripada lembaga-lembaga negara dalam suasana pemerintahan.
Lihat Sri Soemantri, Tentang Lembaga-lembaga Negara menurut UUD 1945, (Bandung: Penerbit Alumni,
1983), hlm. 11.
60
Ibid., hlm. 12.
61
Robert M. La Follette, Sr dianggap sebagai pelopor ide nonpartisan elections, ketika ia mendirikan
partai yang diberi nama The Progressive Party sebagai partai politik baru yang semata-mata bekerja
untuk pencalonannya sebagai presiden dalam Pemilihan Presiden 1924 di Amerika Serikat. Lihat Robert
J. Huckshorn, Political Parties in America, second edition, (California, Brooks/Cole Publishing Company,
1984), hlm. 54. Mengenai Robert M. La Follette, Sr dan The Progressive Party dapat dilihat di artikel
berjudul “La Follette and His Legacy” di http://www.lafollette. wisc. edu/publications/otherpublications/
LaFollette/ LaFLegacy.html diakses 7 Maret 2012, pukul 12.30 WIB
62
Robert J. Huckshorn, Ibid, hlm. 54-55
575
Vol. 9 No. 4 - Desember 2012
terbatas pada konstituen partai tertentu seperti yang terdapat dalam
politik partisan.63
Dalam permasalahan yang lebih kompleks, gejala hambatan
terhadap prosedur demokrasi jenis ini dilakukan oleh partai-partai besar
yang dominan dalam setiap proses legislasi. Proses legislasi undangundang yang terkait proses politik seperti undang-undang partai politik,
pemilihan umum, pemilihan presiden dan parlemen selalu menjadi objek
perhatian besar di parlemen bahkan lebih besar porsi perhatiannya
dibanding undang-undang yang terkait kesejahteraan rakyat. Undangundang paket politik seperti disebut di atas merupakan undang-undang
yang selalu secara rutin mengalami perubahan di parlemen. Sistem
pemilihan umum termasuk pemilihan presiden di Indonesia sejak
dimulainya era reformasi hampir selalu mengalami perubahan hingga
kini. Penjelasannya memang bisa dilakukan dengan mengatakan bahwa
kita memang sedang mencari sistem yang tepat sehingga dalam era
transisi dari otoritarianisme menuju demokrasi hal seperti ini wajar
terjadi. Namun jika proses pencarian sistem terlalu panjang dan jenis
perubahan yang terjadi bukanlah bersifat essensial serta hanya
menguntungkan kelompok tertentu terutama yang sedang berkuasa,
maka wajar jika mencurigai terdapat dominasi kekuatan politik besar
di parlemen.64
F.
Penutup
Negara-negara demokrasi di dunia melaksanakan pemilihan
umum sebagai operasionalisasi dari demokrasi. Namun, pemilihan
umum ternyata juga digunakan untuk kepentingan non-demokratis.
Rezim-rezim non-demokratis, terutama yang berkinerja lemah justru
menginginkan pelaksanaaan pemilihan umum guna memperbaharui
legitimasinya sehingga dapat terus menjalankan kekuasaannya.
Demi kepentingan legitimasi tersebut, pemilihan umum inisiatif
rezim non-demokratis dan berkinerja lemah dilaksanakan dengan
melakukan reduksi terhadap prosedur-prosedur demokrasinya.
Ibid.
Kasus Legislasi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dapat dijadikan
contoh. Terutama mengenai syarat verifikasi partai politik yang dianggap diskrimantif karena hanya
diberlakukan bagi partai politik yang perolehannya tidak mencapai ambang batas dalam pemilihan
umum sebelumnya atau partai politik baru. Ketentuan ini dinyatakan tidak konstitusional oleh Mahkamah
Konstitusi melalui putusannya terhadap perkara nomor Nomor 52/PUU-X/2012.
63
64
576
Mencegah Pemilihan Umum Menjadi Alat Penguasa
Partisipasi luas yang disepakati sebagai prosedur penting dalam
demokrasi merupakan sasaran dari rekayasa hukum pemilu. Dengan
berbagai cara, pemaknaan dan ruang lingkup partisipasi diberi arti
sendiri oleh rezim-rezim berkuasa yang pada gilirannya membuat
partisipasi rakyat menjadi terhambat. Regulasi bagi partisipasi memang
harus dilakukan untuk efektivitas aspirasi, bukan untuk memberi
hambatan bagi aspirasi.
Daftar Pustaka
A.
Buku
Asshiddiqie, Jimly. Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan
Pelaksanaannya di Indonesia: Pergeseran Keseimbangan antara
Individualisme dan Kolektivisme dalam Kebijakan Demokrasi Politik
dan Demokrasi Ekonomi selama Tiga Masa Demokrasi 1945-1980an , (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994).
___________, Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai Politik dan
Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Konstitusi Press, 2005)
Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik, cet. 19. (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 1998).
Dahl, Robert A. Demokrasi dan Para Pengkritiknya. (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 1992).
___________, Dilema Demokrasi Pluralis: Antara Otonomi dan Kontrol
(Jakarta: Rajawali, 1985).
Held, David. Models of Democracy, second edition, (Cambridge: Polity Press,
1997).
Huckshorn, Robert J. Political Parties in America, second edition,
(California, Brooks/Cole Publishing Company, 1984).
Huntington, Samuel P. The Third Wave: Democratization in the Late
Twentieth Century, (University of Oklahoma Press, 1991).
Hutabarat, Ramly. Politik Hukum Pemerintahan Soeharto tentang Demokrasi
Politik di indonesia, (Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, 2004).
Ibrahim, Harmaily. Majelis Permusyawaratan Rakyat, (Jakarta: Penerbit
Sinar Bakti, 1979).
Kelsen, Hans. General Theory of Law and State, (New York: Russel &
Russel, 1961)
577
Vol. 9 No. 4 - Desember 2012
Mahendra, Yusril Ihza. Dinamika Tatanegara Indonesia: Kompilasi Aktual
Masalah Konstitusi, Dewan Perwakilan dan Sistem Kepartaian
(Jakarta Gema Insani Press, 1996).
Mahfud MD, Moh. Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: Pustaka LP3ES
Indonesia, 1998).
Montesquieu, Charles Louis de Secondat Baron de. The Spirit of Laws,
Complete Works, Vol 1, (Indiana: The Online Library of Liberty,
Liberty Fund, Inc.,2009)
Nurtjahyo, Hendra. Filsafat Demokrasi, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata
Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005).
Powell Jr, G. Bingham. Elections as Instruments of Democracy (Majoritarian
and Proportional Visions), (New Haven: Yale University Press,
2000).
Sargent, Lyman Tower. Contemporary Political Ideologies: A Compative
Analysis, (Wadsworth: Cengage Learning, 2009).
Schumpeter, Joseph A. Capitalism, Socialism and Democracy, (London dan
New York: Routledge, 2003).
Soemantri, Sri. Tentang Lembaga-lembaga Negara menurut UUD 1945,
(Bandung: Penerbit Alumni, 1983).
Tandjung, Akbar. The Golkar Way: Survival Partai Golkar di Tengah
Turbulensi Politik Era Transisi (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2008).
B.
Internet
Isra, Saldi. “Perkembangan Pengisian Jabatan Presiden di Bawah
Undang-Undang Dasar 1945” http://www.saldiisra.web.id/
index.php?option=com_content&view=article&id=97:perkembanganpengisian-jabatan-presiden-di-bawah-undang-undang-dasar1945&catid=18:jurnalnasional&Itemid=5 diakses 10 Desember
2011 pukul 10.12 WIB
http://www.lafollette.wisc.edu/publications/otherpublications/
LaFollette/ LaFLegacy.html diakses 7 Maret 2012, pukul 12.30
WIB.
h
578
t
t
p
:
/
/
k
p
u
.
g
o
.
i
d
/
index.php?option=com_content&task=view&id=43&Itemid=66
(diakses tanggal 21 Maret 2012 Pukul 11.16 WIB).
DEKLINASI PARTAI POLITIK DALAM
SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA
(THE DECLINE OF POLITICAL PARTIES IN CONSTITUTIONAL LAW
OF INDONESIA)
A. Ahsin Thohari*
(Naskah diterima 16/11/2012, disetujui 23/11/2012)
Abstrak
Sebagai agen yang berperan untuk mengawal berlangsungnya “perubahan-perubahan
yang damai” (peaceful changes) dalam sebuah negara yang salah satunya diwujudkan
melalui kontestasi pemilihan umum, partai politik di Indonesia mempunyai tugas yang
sangat berat jika masih ingin memiliki masa depan yang cerah dan segera beranjak
dari keterpurukan deklinasi seperti terlihat selama ini. Hal ini karena deklinasi partai
politik, dalam batas tertentu, dapat mengarah pada inefisiensi pemerintahan dan
tergerusnya legitimasi partai politik. Dalam konteks Indonesia, deklinasi itu salah
satunya diakibatkan oleh kecenderungan kepengurusan partai politik yang bersifat
oligarkis, karena hanya dikendalikan oleh kelompok kecil pemegang kekuasaan
internal partai politik. Dalam hal ini, selalu muncul kelompok kecil yang mengendalikan
(a minority of directors) dan kelompok besar yang dikendalikan (a majority of
directed) dalam partai politik di Indonesia. Kemerosotan tingkat ekspektasi publik
atas pemerintahan dan kurangnya kemampuan politisi dalam memenuhi dahaga
ekspektasi publik tersebut pada akhirnya tidak bisa dihindarkan. Untuk keluar dari
krisis ini tentu saja transparansi dan akuntabilitas internal partai politik menjadi
pilihan yang tidak boleh dihindari. Persoalan lain yang juga berujung pada deklinasi
adalah praktik korupsi yang tidak saja merusak partai politik yang bersangkutan
tetapi juga sekaligus merusak proses-proses demokrasi secara keseluruhan. Partai
politik yang diidealkan sebagai penghubung antara masyarakat dan pemerintah justru
terjebak pada kepentingan-kepentingan dangkal. Hal ini sebenarnya juga merupakan
muara dari munculnya fenomena partai politik yang mengandalkan jaringan berbasis
patronase (patronage-based networks). Untuk keluar dari krisis ini tentu saja partai
politik harus mempunyai mekanisme internal yang menghukum praktik tersebut,
sebelum akhirnya tangan-tangan hukum berkerja sebagaimana mestinya.
Kata kunci: Partai Politik, Hukum Tata Negara
Abstract
As an agent whose role is to oversee the ongoing “peaceful changes” in a country,
one of which is realized through the contestation of general elections, political parties
in Indonesia has a very tough task if they want to have a future bright future and
soon moved from decline as seen over the years. This is because of political parties
decline, in a certain extent, can lead to inefficiencies of government and erosion of
political legitimacy. In the Indonesian context, the decline was one of them caused by
*
Pegawai pada Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia Republik Indonesia dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta.
579
Vol. 9 No. 4 - Desember 2012
the tendency of the management of political parties that are oligarchic, because it is
controlled by a small group of internal authority of political parties. In this case,
there are a minority of directors and a majority of directed in the Indonesian political
party. The decline of the level of the public’s expectations of government and
politicians lack the ability to meet public expectations thirst is eventually inevitable.
To get out of this crisis, of course transparency and accountability of political parties
are option that should not be avoided. Another thing that also led to the d is the
corrupt practices that undermine the political party but also at the same time undermine the democratic process as a whole. Political parties are idealized as a liaison
between the community and the government was stuck on superficial interests. It is
actually also the estuary of the emergence of the phenomenon of political parties that
rely on patronage-based networks. To get out of this crisis, of course, political parties
must have an internal mechanism that punishes the practice, before finally hands the
law works as it should.
Key word: Political Party, Constitutional Law
A.
Pendahuluan
Demokrasi selalu membutuhkan partisipasi dari partai politik yang
dapat berperan secara efektif. Demokrasi juga membutuhkan partai
politik yang kuat dan daya tahan memadai dalam mewakili kepentingan
masyarakat dan menawarkan pilihan-pilihan kebijakan untuk
menunjukkan kemampuannya dalam menuju kebaikan umum (bonum
publicum).
Begitu pentingnya kehadiran partai politik, ia sering diibaratkan
sebagai pilar demokrasi, karena tanggung jawabnya dalam menjamin
dasar-dasar sistem politik yang kuat dalam sebuah negara. Mengawal
berlangsungnya “perubahan-perubahan yang damai” (peaceful changes)
dalam sebuah negara yang salah satunya diwujudkan melalui kontestasi
pemilihan umum adalah salah satu hal yang inheren dalam diri suatu
partai politik. Tidak hanya itu, arti penting kehadiran partai politik juga
dikaitkan dengan stabilitas dan dinamika demokrasi. Dalam iklim
demokratis, partai politik diekspektasikan mampu memerankan dirinya
sebagai negosiator dalam proses deliberasi mengenai pilihan-pilihan
kebijakan. Partai politik dibutuhkan untuk membangun konsensus
antar aneka kepentingan agar sebuah pemerintahan dapat terbentuk.
Konsep-konsep ideal yang meletakkan partai politik dalam aras
positifnya seperti tergambar di atas tentu bukan sesuatu yang bersifat
aksiomatis. Realitas politik di berbagai negara sering kali bertutur
sebaliknya: partai politik acapkali dihegemoni, didominasi, bahkan
dibajak oleh elitenya untuk menebar besaran kendali atasnya. Ujung
dari semua ini adalah keterjebakan partai politik pada sedapat mungkin
merebut dan mempertahankan kekuasaan dalam pemilihan umum.
580
Deklinasi Partai Politik dalam Sistem ...
Dalam kondisi semacam ini, partai politik tidak akan mampu
berkontribusi nyata dalam rangka melakukan agregasi kepentingankepentingan masyarakat luas. Pada akhirnya partai politik hanya
mengejar tugas-tugas yang berdimensi ritus demokrasi elektoral sambil
pada saat bersamaan mengabaikan tugas-tugas menegakkan demokrasi
deliberatif (deliberative democracy). Dalam pandangan Joshua Cohen,
demokrasi deliberatif mengharuskan tersedianya lembaga-lembaga
independen (termasuk partai politik–penulis) dengan seperangkat
keanggotaan yang dapat diandalkan untuk meraih masa depan yang
tidak terbatas. Terciptanya ruang kebebasan bagi anggota-anggota
tersebut yang bersifat adil juga dilihat oleh Cohen sebagai hal yang
penting dalam membangun demokrasi deliberatif. Hal lain yang juga
tidak boleh diabaikan adalah lembaga-lembaga tersebut harus bersifat
pluralistik.1
Apabila tawaran Cohen dipinjam untuk membedah eksistensi
partai politik di Indonesia, tidak sulit berkesimpulan bahwa partai politik
di Indonesia belum menampakkan diri sebagai “agen penyemai”
demokrasi deliberatif dalam konteks hukum tata negara Indonesia
secara makro. Sebagai pilar utama pendukung sistem demokrasi
Indonesia, alih-alih menjadi solusi keberadaan partai politik justru
menjadi problem itu sendiri.
Salah satu fenomena yang banyak disorot oleh peneliti adalah partai
politik di Indonesia teralienasi dari masyarakat, baik konstituennya
ataupun bukan konstituennya. Sesungguhnya apa yang ideal bagi
hubungan partai politik dengan masyarakatnya adalah adanya ikatan
emosional dan rasional dan karena itu kehadiran partai politik harus
dirasakan penting dan dibutuhkan oleh masyarakat. Dalam pandangan
Firmanzah, ikatan emosional itu hanya akan terjadi jika partai politik
dekat dengan masyarakat dan kehadirannya dirasakan secara riil oleh
masyarakat. Tanpa hal ini, akan timbul jarak dan kesenjangan antara
partai politik dengan masyarakat. Jarak inilah yang membuat
masyarakat mulai berpikir bahwa ia dapat hidup tanpa partai politik.2
Selain itu, penyalahgunaan kekuasaan otoritas di internal partai
politik yang dapat berujung pada tindakan-tindakan koruptif juga sering
1
Firmanzah, Mengelola Partai Politik, Komunikasi dan Positioning Ideologi Politik di Era Demokrasi,
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007), hlm. 39.
2
Joshua Cohen, “Deliberation and Democratic Legitimacy” dalam Essays on Reason and Politics:
Deliberative Democracy, Ed. James Bohman and William Rehg, (The MIT Press: Cambridge, 1997), hlm.
72-73.
581
Vol. 9 No. 4 - Desember 2012
kali menjadi catatan kelam eksistensi partai politik dalam sistem
ketatanegaraan modern –suatu hal yang sering kali dianggap sebagai
cacat bawaan partai politik modern. Tulisan ini akan membedah sisisisi kelam partai politik tersebut sambil pada saat bersamaan mencoba
menawarkan gagasan untuk membangun partai politik yang ideal dalam
sistem ketatanegaraan Indonesia.
B.
Hukum Besi Oligarki Partai Politik
Tidak ada yang membantah bahwa peranan partai politik dalam
bangunan demokrasi adalah penting. Oleh karena itu, selalu diyakini
bahwa democracy is unthinkable without political parties.3 Secara teoretis,
partai politik yang kuat adalah sesuatu yang mendasar bagi kehidupan
demokrasi yang lebih terbuka dan kompetitif, khususnya bagi negaranegara yang sedang menapaki sistem yang lebih demokrastis (emerging
democracies). Partai politik membutuhkan dana untuk dapat survive,
bersaing, dan menjalankan fungsi-fungsi demokrasinya. Meskipun
demikian, dalam diri partai politik juga terpendam bibit-bibit problematis
yang dapat mengancam demokrasi itu sendiri.4
Salah satu hal yang menjadi fenomena umum adalah pemimpin
utama partai politik yang sangat berkuasa dengan segenap monopoli
atas dana dan akses politik dan ekonomi menjadi semacam “calo politik”
(political middlemen) antara kepentingan pihak-pihak tertentu dengan
pembuat kebijakan publik.5 Hal inilah yang dikhawatirkan oleh Jimly
Asshiddiqie bahwa partai politik cenderung bersifat oligarkis. Organisasi
dan termasuk juga organisasi partai politik kadang-kadang bertindak
dengan lantang untuk dan atas nama kepentingan rakyat, tetapi dalam
kenyataannya di lapangan justru berjuang untuk kepentingan
pengurusnya sendiri.6
Dalam hubungan antara partai politik dengan sifat oligarkis ini,
Robert Michels menyatakan bahwa:
Organization implies the tendency to oligarchy. In every organization,
whether it be a political party, a professional union, or any other association
Khabele Matlosa dan Victor Shale, Political Parties Programme Handbook, (Johannesburg: EISA, 2006),
hlm. 3.
4
Michael Johnston, Political Parties and Democracy in Theoretical and Practical Perspectives: Political
Finance Policy, Parties, and Democratic Development, (Washington, DC: The National Democratic Institute for International Affairs, 2005), hlm. 3.
5
Disarikan dari Michael Johnston, Syndromes of Corruption: Wealth, Power, and Democracy, (Cambridge and New York: Cambridge University Press, 2005), hlm. 4.
6
Jimly Asshiddiqie, “Dinamika Partai Politik dan Demokrasi, <jimly.com/makalah/namafile /22/
DINAMIKA_PARTAI_POLITIK.doc.>, diakses pada 13 November 2012.
3
582
Deklinasi Partai Politik dalam Sistem ...
of the kind, the aristocratic tendency manifests itself very clearly. The
mechanism of the organization, while conferring a solidity of structure,
induces serious changes in the organized mass, completely inverting the
respective position of the leaders and the led. As a result of organization,
every party or professional union becomes divided into a minority of directors
and a majority of directed. 7
Dengan demikian, pada prinsipnya setiap organisasi (termasuk
partai politik –penulis) selalu memiliki kecenderungan untuk bersifat
oligarkis yang hanya dikendalikan oleh kelompok kecil pemegang
kekuasaan internal partai politik. Selain itu, dalam setiap organisasi,
juga selalu muncul aristokrasi dalam setiap perjalanan sejarahnya,
sehingga dalam setiap organisasi selalu saja muncul kelompok kecil
yang mengendalikan (a minority of directors) dan kelompok besar yang
dikendalikan (a majority of directed). Hal inilah yang oleh Robert Michels
disebut sebagai “hukum besi oligarki” (the iron law of oligarchy), karena
tidak bisa terhindar dari cengkeraman elite dalam sebuah organisasi.
Pada titik ini partai politik telah mengalami kemunduran atau
deklinasi peranannya. Hal ini tentu saja sangat bertentangan dengan
konsep ideal partai politik di Indonesia yang terdapat dalam Penjelasan
Umum Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik yang
menyatakan bahwa dinamika dan perkembangan masyarakat yang
majemuk menuntut peningkatan peran, fungsi, dan tanggung jawab
partai politik dalam kehidupan demokrasi secara konstitusional sebagai
sarana partisipasi politik masyarakat dalam upaya mewujudkan citacita nasional bangsa Indonesia, menjaga dan memelihara keutuhan
Negara Kesatuan Republik Indonesia, mengembangkan kehidupan
demokrasi berdasarkan Pancasila sebagaimana termaktub dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 dengan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia, dan mewujudkan kesejahteraan bagi
seluruh rakyat Indonesia.8
Deklinasi pada umumnya diartikan sebagai a change over time from
previously efficient to inefficient organizational functioning, from previously
rational to non-rational organizational and individual decision-making, from
previously law-abiding to law violating organizational and individual
7
Oscar Grusky and George A. Miller, The Sociology of Organizations: Basic Studies, (New York: Free
Press, 1970), hlm. 33.
8
Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Partai Politik, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008, LN
Nomor 2, TLN Nomor 4801.
583
Vol. 9 No. 4 - Desember 2012
behavior, from previously virtuous to iniquitous individual moral behavior.9
Proses deklinasi partai politik sebagaimana tergambar di atas bukan
monopoli Indonesia. Hampir sebagian besar negara-negara Eropa yang
dikenal demokratis mengalami hal serupa dan ini tentunya sangat
membahayakan masa depan demokrasi.
Setidaknya hal itu tergambar dari sebuah penelitian yang
dilakukan oleh Paul Whiteley dari Department of Government
University of Essex yang menulis sebuah makalah berjudul provokatif:
Is the Party Over? The Decline of Party Activism and Membership across the
Democratic World. Penelitian Whiteley tersebut mengonfirmasi bahwa:
… political parties continue to play a central role in the governance of
modern democracies, and so a decline in their voluntary base has important
implications for the future of democracy. Arguably, such a decline is likely to
weaken civil society by undermining key relationships between citizens and
the state, many of which are sustained by political parties.10
Deklinasi partai politik, dalam dalam batas tertentu, dapat
mengarah pada inefisiensi pemerintahan dan tergerusnya legitimasi
partai politik. Ada sejumlah hal yang digunakan untuk mengukur
deklinasi sebuah partai politik, yaitu kebijakan keanggotaan, identifikasi
partai politik, keorganisasian dan kontrol atas nominasi kandidat yang
akan menduduki jabatan publik, kohesivitas ideologi, peran partai politik
dalam pemerintahan, dan pola pemilihan umum.11 Penyebab dari semua
itu adalah adanya kemerosotan tingkat ekspektasi publik atas
pemerintahan dan kurangnya kemampuan politisi dalam memenuhi
dahaga ekspektasi publik tersebut.
Oleh karena itu, Asshiddiqie berpendapat bahwa untuk mengatasi
oligarki dalam partai politik diperlukan beberapa mekanisme penunjang
seperti adanya mekanisme internal yang menjamin demokratisasi
melalui partisipasi anggota partai politik itu sendiri dalam proses
pengambilan keputusan. Pengaturan mengenai hal ini sangat penting
dirumuskan secara tertulis dalam anggaran dasar dan anggaran rumah
tangga partai politik bersangkutan yang ditradisikan dalam rangka rule
of law. Sesuai tuntutan perkembangan, di samping anggaran dasar dan
Lihat misalnya <http://en.wikipedia.org/wiki/Decline>, diakses pada 18 November 2012.
Paul Whiteley, “Is the Party Over? The Decline of Party Activism and Membership across the Democratic World”, paper Presented at the Panel on Party Membership and Activism in Comparative Perspective, Political Studies Association Meeting, University of Manchester, April 2009.
11
Lihat misalnya <http://www.blackwellpublishing.com/mckay/pdfs/chapter5.pdf >, diakses pada 18
November 2012.
9
10
584
Deklinasi Partai Politik dalam Sistem ...
anggaran rumah tangga perlu diperkenalkan pula sistem kode etika
positif yang dituangkan sebagai code of ethics yang dijamin tegaknya
melalui dewan kehormatan yang efektif. Dengan begitu, di dalam
dinamika internal organisasi partai, berlaku tiga dokumen sekaligus,
yaitu code of law yang tertuang dalam anggaran dasar (constitution of the
political party), code of conduct (code of organizational good conducts) yang
tertuang dalam anggaran rumah tangga, dan code of ethics dalam
dokumen tersendiri. Dengan demikian, norma hukum, norma moral,
dan norma etika diharapkan dapat berfungsi efektif membangun kultur
internal setiap partai politik. Aturan-aturan yang dituangkan di atas
kertas, juga ditegakkan secara nyata dalam praktek, sehingga prinsip
rule of law dan rule of ethics dapat sungguh-sungguh diwujudkan, mulai
dari kalangan internal partai-partai politik sebagai sumber kader
kepemimpinan negara.12
Selain itu, yang juga menjadi keharusan adalah tersedianya
mekanisme keterbukaan partai di mana warga masyarakat di luar partai
dapat ikut serta berpartisipasi dalam penentuan kebijakan yang hendak
diperjuangkan melalui dan oleh partai politik. Partai politik harus
dijadikan dan menjadi sarana perjuangan rakyat dalam turut
menentukan bekerjanya sistem kenegaraan sesuai aspirasi mereka.
Oleh karena itu, pengurus hendaklah berfungsi sebagai pelayan aspirasi
dan kepentingan bagi konstituennya. Untuk itu, diperlukan perubahan
paradigma dalam cara memahami partai dan kegiatan berpartai. Menjadi
pengurus bukanlah segala-galanya. Yang lebih penting adalah menjadi
wakil rakyat. Akan tetapi, jika status sebagai pengurus menjadi faktor
penentu terpilih tidaknya seseorang menjadi wakil rakyat, maka setiap
orang tentu akan berlomba-lomba menjadi pengurus dan bahkan
pimpinan puncak partai politik. 13
Salah satu cara lain untuk menyehatkan partai politik adalah
dengan membangun demokrasi di tubuh partai itu sendiri atau yang
biasa disebut dengan istilah intra-party democracy yang diartikan sebagai
terbangunnya deliberasi dan proses pengambilan keputusan dalam
internal partai politik dengan menggunakan prosedur-prosedur yang
demokratis, sehingga mampu memilih pemimpin partai politik untuk
menghasilkan kebijakan-kebijakan yang responsif. Dengan proses
intra-party democracy ini diharapkan kultur demokrasi akan tertanam
12
13
Asshiddiqie, loc. cit.
Ibid.
585
Vol. 9 No. 4 - Desember 2012
secara kuat dalam diri kader partai politik sebelum kemudian dipercaya
untuk memegang jabatan-jabatan publik yang lain.14
Demokratisasi di Indonesia semenjak gerakan reformasi memang
masih terasa rentan oleh pelbagai aneka kekurangmatangan atau dalam
istilah Geoffrey Pridham dan Paul Lewis disebut sebagai demokrasi yang
rapuh (fragile democracies).15 Merapuhnya demokrasi itu salah satunya
bisa dilihat dari Indeks Demokrasi Indonesia di tahun 2011 yang
diterbitkan oleh Economist Intelligence Unit, sebuah lembaga swasta di
bawah The Economist Group, di mana Indonesia menempati urutan ke60 di antara 167 negara yang diteliti. Skor yang dicapai Indonesia adalah
6-7 dengan kategori “demokrasi yang bercacat” (flawed democracy).
Kategori tertinggi dalam penelitian tersebut adalah “demokrasi penuh”
(full democracy) dengan skor 8-10 yang ditempati oleh Norwegia, Islandia,
Denmark, Swedia, dan negara-negara lainnya. Kriteria penilaian
berdasarkan pada proses pemilihan umum dan pluralisme, kebebasan
sipil, peran-peran pemerintahan, partisipasi politik, dan budaya politik.
Hukum besi oligarki partai politik dan kenyataan bahwa demokrasi
Indonesia masih bercacat adalah dua kombinasi yang rentan terhadap
pembangunan partai politik yang ideal sebagaimana diamatkan oleh
peraturan perundang-undangan.
C.
Partai Politik dan Antikorupsi
Beberapa waktu lalu, Sekretaris Kabinet Dipo Alam menyampaikan
data tentang keterlibatan elite partai dalam kasus korupsi berdasarkan
surat ijin dari Presiden. Menurut keterangannya, SBY telah
mengeluarkan 176 izin pemeriksaan pejabat negara dan anggota Dewan
Perwakilan Rakyat yang terlibat kasus hukum selama masa
pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Dari jumlah itu, 79 persen
merupakan kasus korupsi dan sisanya pidana lain terdiri dari 64 orang
(36,36 persen) kader Partai Golkar, 32 orang (18,18 persen) dari Partai
Terkait intra-party democracy ini, Susan Scarrow menyatakan bahwa intra-party democracy” is a
very broad term describing a wide range of methods for including party members in intra-party deliberation and decision making. Some advocates for intra-party democracy argue, on a pragmatic level, that
parties using internally democratic procedures are likely to select more capable and appealing leaders, to
have more responsive policies, and, as a result, to enjoy greater electoral success. Some, moreover,
converge on the premise that parties that “practice what they preach,” in the sense of using internally
democratic procedures for their deliberation and decisions, strengthen democratic culture generally.
Susan Scarrow, Political Parties and Democracy in Theoretical and Practical Perspectives: Implementing
Intra-Party Democracy, (Washington, DC: The National Democratic Institute for International Affairs,
2005), hlm. 3.
15
Geoffrey Pridham and Paul G. Lewis, eds., Stabilising Fragile Democracies: Comparing New Party
Systems in Southern and Eastern Europe, (London: Routledge, 1996), hlm. 1.
14
586
Deklinasi Partai Politik dalam Sistem ...
Demokrasi Indonesia-Perjuangan, dan 20 orang (11,36 persen) dari Partai
Demokrat, 17 orang (9,65 persen) dari Partai Persatuan Pembangunan,
9 orang (5,11 persen) dari Partai Kebangkitan Bangsa, 7 orang (3,97
persen) dari Partai Amanat Nasional, 4 orang (2,27 persen) dari Partai
Keadilan Sejahtera, dan sejumlah partai lain masing-masing 1 orang.
Dengan asumsi bahwa apa yang disampaikan oleh Dipo Alam benar,
hal tersebut semakin mengonfirmasi kebenaran berbagai penelitian
bahwa partai politik dewasa ini telah menjadi bagian dari masalah
korupsi dalam sebuah negara. Modus yang jamak dipakai adalah
penyalahgunaan kekuasaan untuk memeras agar disuap atau untuk
memasok kader-kader partai politik agar menduduki jabatan-jabatan
tertentu. Faktanya, persoalan-persoalan korupsi oleh partai politik ini
banyak terjadi di negara-negara yang iklim demokrasinya belum
sepenuhnya mapan yang ditandai dengan lembaga-lembaga politik dan
ekonominya yang belum stabil dan rentan oleh berbagai macam
intervensi. 16
Praktik korupsi yang dilakukan oleh partai politik tidak saja
merusak partai politik yang bersangkutan tetapi juga sekaligus
merusak proses-proses demokrasi. Partai politik yang sejatinya
merupakan penghubung antara masyarakat dan pemerintah justru
terjebak dan berasyik-masyuk dengan kepentingan-kepentingan dangkal
tanpa makna bagi rakyat banyak. Partai politik yang dalam suatu
perhelatan pemilihan umum melakukan mobilisasi massa atas nama
pencapaian atas tujuan-tujuan tertentu dengan bentuk merumuskan
kebijakan-kebijakan publik, setelah pemilihan umum justru menjelma
menjadi predator bagi publik itu sendiri.
Salah satu hal yang menjadi pengarah pada perilaku koruptif partai
politik adalah munculnya fenomena partai politik yang mengandalkan
jaringan berbasis patronase (patronage-based networks). Partai politik
model ini pada ujung yang paling berbahaya dapat menyulitkan
pembentukan pemerintahan yang stabil, karena rongrongannya yang
sangat dominan dalam mengatur kebijakan pemerintahan.17
Verena Blechinger dengan mengikuti kerangka konseptual USAID’s
Handbook for Fighting Corruption menyatakan bahwa untuk menangani
praktik-praktik korupsi oleh partai politik diperlukan empat kebijakan,
16
Verena Blechinger, “Corruption and Political Parties”, paper presented in Sectoral Perspectives on
Corruption, held by USAID and MSI, November 2002.
17
Benjamin Reilly, “Political Parties and Political Engineering in the Asia Pacific Region”, Asia Pacific
Issues, Analysis from the East-West Center No. 71 December 2003.
587
Vol. 9 No. 4 - Desember 2012
yaitu merestrukturisasi otoritas partai politik, memperbaiki
akuntabilitas, insentif yang setimpal, dan mengubah perilaku. Desain
kelembagaan partai politik yang baik menjadi sangat penting, karena
korupsi oleh partai politik sering kali terjadi dalam sistem politik di
mana proses untuk menguatkan akuntabilitas pemerintahan biasanya
masih lemah atau hanya tersedia mekanisme hukuman yang lemah
terhadap perilaku koruptif.18 Struktur internal partai politik harus
dibangun dengan semangat transparansi dan akuntabilitas yang tinggi
agar menjadi pendorong bagi terbangunnya kultur positif, khususnya di
negara-negara yang kategori demokrasinya bukan “demokrasi penuh”
(full democracy) dengan skor indeks demokrasinya 8-10 seperti dilansir
Economist Intelligence Unit.
Taiwan menjadi contoh yang baik ketika partai politiknya dapat
memimpin transisi menuju demokrasi dengan menghindari praktikpraktik koruptif. Praktik-praktik koruptif partai politik adalah pihak yang
berandil besar dalam menggagalkan perbaikan menuju demokrasi dan
pembangunan ekonomi.19 Oleh karena itu, pemberantasan korupsi di
dalam partai politik biasanya menjadi agenda yang paling penting ketika
deklinasi partai politik tidak terelakkan karena kebijakan keanggotaan,
identifikasi partai politik, keorganisasian dan kontrol atas nominasi
kandidat yang akan menduduki jabatan publik, kohesivitas ideologi,
peran partai politik dalam pemerintahan, dan pola pemilihan umum
sebagaimana telah disinggung di atas.
Dalam konteks Indonesia, Saiful Mujani dan R. William Liddle
secara tepat menyatakan bahwa Fighting corruption may turn out to be a
greater challenge or a less attractive goal when a large majority of the political parties represented in parliament are also in government.20
D.
Catatan Akhir
Berkaca pada uraian di atas, sebagai agen yang berperan untuk
mengawal berlangsungnya “perubahan-perubahan yang damai” (peaceful changes) dalam sebuah negara yang salah satunya diwujudkan melalui
kontestasi pemilihan umum, partai politik di Indonesia mempunyai tugas
Blechinger, loc. cit.
Ibid.
20
Saiful Mujani dan R. William Liddle, “Indonesia: Personalities, Parties, and Voters”, Journal of
Democracy, National Endowment for Democracy and The Johns Hopkins University Press, Volume 21,
Number 2 April 2010.
18
19
588
Deklinasi Partai Politik dalam Sistem ...
yang sangat berat jika masih ingin memiliki masa depan yang cerah
dan segera beranjak dari keterpurukan deklinasi seperti terlihat selama
ini. Hal ini karena deklinasi partai politik, dalam dalam batas tertentu,
dapat mengarah pada inefisiensi pemerintahan dan tergerusnya
legitimasi partai politik.
Dalam konteks Indonesia, deklinasi itu salah satunya diakibatkan
oleh kecenderungan kepengurusan partai politik yang bersifat oligarkis,
karena hanya dikendalikan oleh kelompok kecil pemegang kekuasaan
internal partai politik. Dalam hal ini, selalu muncul kelompok kecil yang
mengendalikan (a minority of directors) dan kelompok besar yang
dikendalikan (a majority of directed) dalam partai politik di Indonesia.
Kemerosotan tingkat ekspektasi publik atas pemerintahan dan
kurangnya kemampuan politisi dalam memenuhi dahaga ekspektasi
publik tersebut pada akhirnya tidak bisa dihindarkan. Untuk keluar dari
krisis ini tentu saja transparansi dan akuntabilitas internal partai politik
menjadi pilihan yang tidak boleh dihindari.
Persoalan lain yang juga berujung pada deklinasi adalah praktik
korupsi yang tidak saja merusak partai politik yang bersangkutan tetapi
juga sekaligus merusak proses-proses demokrasi secara keseluruhan.
Partai politik yang diidealkan sebagai penghubung antara masyarakat
dan pemerintah justru terjebak pada kepentingan-kepentingan dangkal.
Hal ini sebenarnya juga merupakan muara dari munculnya fenomena
partai politik yang mengandalkan jaringan berbasis patronase (patronage-based networks). Untuk keluar dari krisis ini partai politik harus
mempunyai mekanisme internal yang menghukum praktik tersebut,
sebelum akhirnya tangan-tangan hukum berkerja sebagaimana
mestinya.
Daftar Pustaka
Asshiddiqie, Jimly. “Dinamika Partai Politik dan Demokrasi, <jimly.com/
makalah/namafile /22/DINAMIKA_PARTAI_POLITIK.doc.>.
Diakses pada 13 November 2012.
Blechinger, Verena. “Corruption and Political Parties”. Paper presented
in Sectoral Perspectives on Corruption, held by USAID and MSI,
November 2002.
Cohen, Joshua. “Deliberation and Democratic Legitimacy” dalam Essays
589
Vol. 9 No. 4 - Desember 2012
on Reason and Politics: Deliberative Democracy, Ed. James Bohman
and William Rehg, The MIT Press: Cambridge, 1997.
Firmanzah. Mengelola Partai Politik, Komunikasi dan Positioning Ideologi
Politik di Era Demokrasi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007.
Grusky, Oscar, and George A. Miller. The Sociology of Organizations: Basic
Studies. New York: Free Press, 1970.
Johnston, Michael. Political Parties and Democracy in Theoretical and Practical Perspectives: Political Finance Policy, Parties, and Democratic
Development. Washington, DC: The National Democratic Institute
for International Affairs, 2005.
Johnston, Michael. Syndromes of Corruption: Wealth, Power, and Democracy. Cambridge and New York: Cambridge University Press, 2005.
Matlosa, Khabele, dan Victor Shale. Political Parties Programme Handbook.
Johannesburg: EISA, 2006.
Mujani, Saiful, dan R. William Liddle. “Indonesia: Personalities, Parties,
and Voters”, Journal of Democracy. National Endowment for Democracy and The Johns Hopkins University Press, Volume 21,
Number 2 April 2010.
Pridham, Geoffrey, and Paul G. Lewis, eds.. Stabilising Fragile Democracies: Comparing New Party Systems in Southern and Eastern Europe.
London: Routledge, 1996.
Republik Indonesia. Undang-Undang tentang Partai Politik. Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2008, LN Nomor 2, TLN Nomor 4801.
Reilly, Benjamin. “Political Parties and Political Engineering in the Asia
Pacific Region”, Asia Pacific Issues, Analysis from the East-West
Center No. 71 December 2003.
Scarrow, Susan. Political Parties and Democracy in Theoretical and Practical Perspectives: Implementing Intra-Party Democracy. Washington,
DC: The National Democratic Institute for International Affairs,
2005.
Whiteley, Paul. “Is the Party Over? The Decline of Party Activism and
Membership across the Democratic World”. Paper Presented at
the Panel on Party Membership and Activism in Comparative
Perspective, Political Studies Association Meeting, University of
Manchester, April 2009.
590
MENDORONG KETERWAKILAN PEREMPUAN DI LEMBAGA
LEGISLATIF
(ENCOURAGE REPRESENTATION IN LEGISLATIVE INSTITUTIONS)
Eka N A M Sihombing* dan Nur Fatmah G**
(Naskah diterima 31/10/2012, disetujui 23/11/2012)
Abstrak
Tindakan afirmatif diperlukan agar keterwakilan perempuan di lembaga legislatif
segera terwujud. UU Nomor 8 Tahun 2012 belum menunjukkan ketegasan dalam
mendorong pemenuhan kuota 30% keterwakilan perempuan dalam daftar calon
anggota DPR maupun DPRD, untuk itu perlu diupayakan penataan peraturan
perundang-undangan bidang Pemilu Anggota DPR,DPD,dan DPRD melalui
pencantuman sanksi yang lebih konkrit dan tegas seperti diskualifikasi terhadap
partai politik yang tidak memenuhi kuota 30 persen keterwakilan perempuan
dalam daftar calon anggota DPR maupun DPRD. Dengan lebih banyak
keterwakilan perempuan di lembaga legislatif, diharapkan akan lahir kebijakankebijakan yang lebih responsif gender.
Kata kunci: Keterwakilan perempuan,tindakan affirmatif
Abstract
Affirmative action needed to woman representation in legislative institute immediately
form. Law Number 8 Year 2012 not yet shown coherence in pushing accomplishment
of quota 30% representation of woman in member candidate list of Parliaments (DPR)
and also of Regional Parliaments (DPRD), for that require to be strived by settlement
of Law And Regulation of General Election Member of DPR, DPD, and DPRD through
coalescence of more concrete sanction and coherent like disqualified to political Party
which do not fulfill quota 30% representation of woman in member candidate list of
DPR and also of DPRD. With interest many representation of woman in legislative
institute, expected will born more responsive policys of gender.
Keyword: Representation of woman, affirmative action
A.
Pendahuluan
Eksistensi dan kiprah kaum perempuan dalam dunia politik di Indonesia mulai mengalami peningkatan. Indikasinya dapat dilihat dari
hasil Pemilu 1999 anggota Legislatif perempuan hanya berkisar 9%, pada
Pemilu 2004 meningkat menjadi 12% dan pada Pemilu 2009 kembali
meningkat menjadi 18%. Peningkatan wakil perempuan di legislatif ini
*
Fungsional Perancang Peraturan Perundang-undangan Muda Pada Kantor Wilayah Kementerian Hukum
dan HAM Sumatera Utara, Alumni S1 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan Alumni S2
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
**
Fungsional Perancang Peraturan Perundang-undangan Pertama Pada Kantor Wilayah Kementerian
Hukum dan HAM Sumatera Utara, Alumni S1 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan Alumni
S2 Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
591
Vol. 9 No. 4 - Desember 2012
tentunya membawa angin segar bagi kaum perempuan, walaupun hasil
Pemilu tersebut belum mencerminkan keseimbangan representasi
antara wakil perempuan yang duduk di legislatif dengan jumlah
perempuan di Indonesia, karena sebagaimana diketahui sebagian besar
penduduk di Indonesia adalah kaum perempuan. Namun, paling tidak
diharapkan dengan semakin meningkatnya jumlah wakil perempuan
semakin berpengaruh terhadap penentuan kebijakan-kebijakan politik
yang lebih responsif gender.
Berdasarkan hasil sensus Badan Pusat Statistik pada 2010 dari
237,55 juta jiwa penduduk Indonesia, sebanyak 70 persen di antaranya
adalah perempuan dan anak-anak.1 Dengan demikian sudah sepatutnya
secara formal, perlu diperhatikan upaya meningkatkan keterwakilan
di legislatif melalui pembentukan peraturan perundang-undangan
Pemilu. Perhatian terhadap kepentingan politik perempuan secara
konkrit baru dimulai pada tahun 2003 yang ditandai dengan
dicantumkannya norma-norma mengenai kuota 30% keterwakilan
perempuan dalam daftar bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi dan
DPRD Kabupaten/Kota pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003
tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD. Kemudian
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 digantikan dengan UndangUndang Nomor 10 Tahun 2008 Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan
DPRD yang juga memberikan mandat kepada Partai Politik untuk
memenuhi kuota 30% bagi perempuan dalam daftar bakal calon anggota
DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota dengan zipper system 1
perempuan di antara 3 calon. Pada tanggal 11 Mei 2012 Undang-Undang
Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD yang baru telah diundangkan yakni
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu DPR, DPD dan
DPRD. Undang-undang ini mengganti keberadaan Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2008. Ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 juga
diatur mengenai kuota 30% bagi perempuan dalam daftar bakal calon
anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota dengan zipper
system dalam setiap 3 (tiga) bakal calon, bakal calon perempuan dapat
ditempatkan pada urutan 1, atau 2, atau 3 dan demikian seterusnya,
tidak hanya pada nomor urut 3, 6, dan seterusnya.2
h t t p : / / w w w . k a b a r i n d o n e s i a . c o m /
berita.php?pil=20&jd=Sumut+Contoh+Kesetaraan+Gender&dn=20120416-160321 diakses tanggal 12
Oktober 2012.
2
Penjelasan Pasal 56 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menyebutkan
: “Dalam setiap 3 (tiga) bakal calon, bakal calon perempuan dapat ditempatkan pada urutan 1, atau 2,
atau 3 dan demikian seterusnya, tidak hanya pada nomor urut 3, 6, dan seterusnya.”
1
592
Mendorong Keterwakilan Perempuan Di ...
Walaupun secara kuantitas keterwakilan perempuan dari Pemilu
ke Pemilu menunjukkan peningkatan, dan secara formal telah
dicantumkan norma-norma mengenai kuota 30% keterwakilan
perempuan dalam daftar bakal calon, namun secara riil ketentuan
tersebut sampai saat ini belum menjamin terpenuhinya kuota 30%
perempuan yang mendapatkan kursi di legislatif sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang Pemilu.
B.
Pengarusutamaan Gender
Dalam struktur masyarakat Indonesia pada umumnya terdapat
ketidaksetaraan atau kesenjangan antara peran laki-laki dengan
perempuan, hal ini lebih dikarenakan oleh sistem patriarki dimana
kaum laki-laki lebih dominan dari kaum perempuan. Dominasi kaum
laki-laki ini telah berlangsung lama dalam masyarakat Indonesia,
bahkan telah tumbuh dan berkembang melalui ajaran dan norma yang
ditentukan pemimpin adat kebiasaan yang ternyata banyak yang
diskriminatif terhadap perempuan sehingga membudaya serta
terinternalisasi dalam kehidupan sehari-hari baik oleh kaum
perempuan maupun laki-laki.
Setelah lebih dari dua dasawarsa diperdebatkan pada tingkat
Perserikatan Bangsa-Bangsa, maka pada umumnya gender dapat
diartikan atau dipahami sebagai suatu pengertian yang mengacu pada
atribut sosial dan kesempatan yang bertalian dengan keberadaan
seseorang sebagai perempuan atau laki-laki dan perempuan, anak-anak
perempuan dan anak-anak laki-laki.3 Gender menetapkan apa yang
diharapkan, diperbolehkan dan dihargai dari seseorang perempuan atau
laki-laki dalam konteks tempat dan waktu. 4 Di sebagian besar
masyarakat, terdapat perbedaan dan ketidaksamaan antara laki-laki
dan perempuan dalam hal tanggung jawab yang diberikan, kegiatankegiatan yang dilaksanakan, akses dan penguasaan sumber-sumber
maupun kesempatan dalam pengambilan keputusan.5
Secara umum konsep gender prinsipnya mengacu pada peran dan
tanggung jawab sebagai perempuan dan sebagai laki-laki yang diciptakan
dan terinternalisasi dalam kebiasaan dan kehidupan keluarga, dalam
budaya-masyarakat tempat kita hidup; termasuk harapan-harapan yang
3
L.M. Gandhi Lapian, Disiplin Hukum yang Mewujudkan Kesetaraan dan Keadilan Gender, Yayasan
Pustaka Obor Indonesia, Jakarta 2012, hlm. 22.
4
Ibid.
5
Ibid.
593
Vol. 9 No. 4 - Desember 2012
diinginkan bagaimana harusnya menjadi perempuan dan bagaimana
menjadi seorang laki-laki, baik harapan atas sifat-sifatnya, sikap
maupun perilakunya.6 Pengarusutamaan gender merupakan strategi
yang dilakukan secara rasional dan sistematis untuk mencapai dan
mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam sejumlah aspek
kehidupan manusia (rumah tangga, masyarakat dan negara) melalui
kebijakan dan program yang memperhatikan pengalaman, aspirasi,
kebutuhan dan permasalahan perempuan dan laki-laki ke dalam
perencanaan pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi dari seluruh
kebijakan dan program di berbagai bidang kehidupan dan pembangunan.7
Sesuai dengan makna dari penga-rusutamaan gender tersebut, sudah
sepatutnya dalam penentuan kebijakan pada masa kini dan mendatang,
khususnya di bidang politik mem-perhatikan isu gender sehingga dalam
melahirkan sebuah ke-bijakan tidak bias gender atau terjadi
kesenjangan gender.
C.
Hak Asasi Manusia dan Hak Asasi Perempuan
C.1. Hak Asasi Manusia
Hak asasi manusia adalah hak-hak yang dimiliki manusia sematamata karena ia manusia. Umat manusia memilikinya bukan karena
diberikan kepadanya oleh masyarakat atau berdasarkan hukum positif,
melainkan semata-mata berdasarkan martabatnya sebagai manusia.8
Dalam arti ini, meskipun setiap orang terlahir dengan warna kulit,
jenis kelamin, bahasa, budaya dan kewarganegaraan yang berbeda-beda,
ia tetap mempunyai hak-hak tersebut. Inilah sifat universal dari hakhak tersebut. Selain bersifat universal, hak-hak tersebut itu juga tidak
dapat dicabut (inalienable). Artinya, seburuk apapun perlakuan yang telah
dialami oleh seseorang atau betapapun bengisnya perlakuan seseorang,
ia tidak akan berhenti menjadi manusia dan karena itu tetap memiliki
hak-hak tersebut. Dengan kata lain, hak-hak itu melekat pada dirinya
sebagai makhluk insani.
Asal-usul gagasan mengenai hak asasi manusia seperti dipaparkan
di atas bersumber dari teori hak kodrati (natural rights theory). Teori
Kementerian Hukum dan HAM RI, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak dan Kementerian
Dalam Negeri, Parameter Kesetaraan Gender dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,
Jakarta-2011, hlm. 21.
7
http://id.m.wikipedia.org/wiki/pengarusutamaan_gender diakses tanggal 20 Oktober 2012.
8
Jack Donnely, Universal Human Rights in Theory and Practice, Cornell University Press, Ithaca and
London, 2003, hlm. 7-21.
6
594
Mendorong Keterwakilan Perempuan Di ...
kodrati mengenai hak itu bermula dari teori hukum kodrati (natural
law theory), yang terakhir ini dapat dirunut kembali sampai jauh ke
belakang hingga ke zaman kuno dengan filsafat Stoika hingga ke zaman
modern melalui tulisan-tulisan hukum kodrati Santo Thomas Aquinas.
Dalam teori hukum kodratinya, Thomas Aquinas berpijak pada
pandangan thomistik yang mempotulasi hukum kodrati sebagai bagian
dari hukum Tuhan yang sempurna dan dapat diketahui melalui
penggunaan nalar manusia
Hugo de Groot, seorang ahli hukum Belanda yang dinobatkan
sebagai “bapak hukum internasional”, atau yang lebih dikenal dengan
nama Latinnya, Grotius, mengembangkan lebih lanjut teori hukum
kodrati Aquinas dengan memutus asal-usulnya yang teistik dan
membuatnya menjadi produk pemikiran sekuler yang rasional. Dengan
landasan inilah kemudian, pada perkembangan selanjutnya, salah
seorang kaum terpelajar pasca-Renaisans, John Locke, mengajukan
pemikiran mengenai teori hak-hak kodrati. Gagasan Locke mengenai
hak-hak kodrati inilah yang melandasi munculnya revolusi hak dalam
revolusi yang meletup di Inggris, Amerika Serikat dan Perancis pada
abad ke-17 dan ke-18.
Dalam bukunya yang telah menjadi klasik, “The Second Treatise of
Civil Government and a Letter Concerning Toleration” Locke mengajukan
sebuah postulasi pemikiran bahwa semua individu dikaruniai oleh alam
hak yang melekat atas hidup, kebebasan dan kepemilikan, yang
merupakan milik mereka sendiri dan tidak dapat dicabut atau dipreteli
oleh negara. Melalui suatu ‘kontrak sosial’ (social contract), perlindungan
atas hak yang tidak dapat dicabut ini diserahkan kepada negara. Tetapi,
menurut Locke, apabila penguasa negara mengabaikan kontrak sosial
itu dengan melanggar hak-hak kodrati individu, maka rakyat di negara
itu bebas menurunkan sang penguasa dan menggantikannya dengan
suatu pemerintah yang bersedia menghormati hak-hak tersebut. Melalui
teori hak-hak kodrati ini, maka eksistensi hak-hak individu yang prapositif mendapat pengakuan kuat.
Gagasan hak asasi manusia yang berbasis pada pandangan hukum
kodrati itu mendapat tantangan serius pada abad 19. Edmund Burke,
orang Irlandia yang resah dengan Revolusi Perancis, adalah salah satu
di antara penentang teori hak-hak kodrati. Burke menuduh para
penyusun “Declaration of the Rights of Man and of the Citizen”
mempropagandakan “rekaan yang menakutkan mengenai persamaan
manusia”.
595
Vol. 9 No. 4 - Desember 2012
Deklarasi yang dihasilkan dari Revolusi Perancis itu baginya
merupakan “ide-ide yang tidak benar dan harapan-harapan yang siasia pada manusia yang sudah ditakdirkan menjalani hidup yang tidak
jelas dengan susah payah.”9 Tetapi penentang teori hak kodrati yang
paling terkenal adalah Jeremy Bentham, seorang filsuf utilitarian dari
Inggris. Kritik Bentham yang mendasar terhadap teori tersebut adalah
bahwa teori hak-hak kodrati itu tidak bisa dikonfirmasi dan diverifikasi
kebenarannya. Bagaimana mungkin mengetahui dari mana asal hakhak kodrati itu, apa sajakah hak itu dan apa isinya?
Bentham dengan sinis menertawakan teori hak-hak kodrati itu
dengan mengatakan: “Bagi saya, hak sebagai kata benda (berlawanan
dengan kata sifat), adalah anak kandung hukum: dari hukum riil lahir
pula hak-hak riil; namun dari hukum imajiner; hukum kodrati lahirlah
hak-hak rekaan. Hak-hak kodrati adalah omong kosong yang dungu: hak
yang kodrati dan tidak bisa dicabut adalah omong kosong yang retorik,
atau puncak dari omong kosong yang berbahaya!”. 10
Lebih lanjut, dalam sebuah risalahnya yang lain, Bentham
mengulang kembali cercaan sinisnya pada teori hak-hak kodrati. Ia
menulis, “Bagi saya hak dan hukum merupakan hal yang sama, karena
saya tidak mengenal hak yang lain. Hak bagi saya adalah anak kandung
hukum: dari berbagai fungsi hukum lahirlah beragam jenis hak. Hak
kodrati adalah seorang anak yang tidak pernah punya seorang ayah”11.
Serangan dan penolakan kalangan utilitarian itu kemudian diperkuat
oleh mazhab positivisme, yang dikembangkan belakangan dengan lebih
sistematis oleh John Austin. Kaum positivis berpendapat bahwa
eksistensi dan isi hak hanya dapat diturunkan dari hukum negara. Satusatunya hukum yang sahih adalah perintah dari yang berdaulat, ia tidak
datang dari “alam” atau “moral”.
Namun demikian, kecaman dan penolakan dari kalangan utilitarian dan positivis tersebut tidak membuat teori hak-hak kodrati dilupakan
orang. Jauh dari anggapan Bentham, hak-hak kodrati tidak kehilangan
pamornya, ia malah tampil kembali pada masa akhir Perang Dunia II.
Gerakan untuk menghidupkan kembali teori hak kodrati inilah yang
mengilhami kemunculan gagasan hak asasi manusia di panggung
Edmund Burke, Reflection on the Revolution in France, ed. Conor Cruise O’Brien, London, 1968.
H.L.A. Hart, Essays on Bentham, Oxford University Press, London, 1982, hlm. 82.
Jeremy Bentham, Supply Without Burden or Escheat Vice Taxation, dikutip dari Hart, Essays on
Bentham, Oxford University Press, London, 1982.
9
10
11
596
Mendorong Keterwakilan Perempuan Di ...
internasional. Pengalaman buruk dunia internasional dengan peristiwa
Holocaust Nazi, membuat dunia berpaling kembali kepada gagasan John
Locke tentang hak-hak kodrati.
Hal ini dimungkinkan dengan terbentuknya Perserikatan BangsaBangsa (PBB) pada 1945, segera setelah berakhirnya perang yang
mengorbankan banyak jiwa umat manusia itu. Dengan mendirikan PBB,
masyarakat internasional tidak ingin mengulang terjadinya kembali
Holocaust di masa depan, dan karena itu “menegaskan kembali
kepercayaan terhadap hak asasi manusia, terhadap martabat dan
kemuliaan manusia, terhadap kesetaraan hak-hak laki-laki dan
perempuan, dan kesetaraan negara besar dan kecil”. (Preambule Piagam
Perserikatan Bangsa-Bangsa)
Dari sinilah dimulai internasionalisasi gagasan hak asasi
manusia. Sejak saat itulah masyarakat internasional bersepakat
menjadikan hak asasi manusia sebagai “suatu tolok ukur pencapaian
bersama bagi semua rakyat dan semua bangsa” (a commond standard of
achievement for all peoples and all nations). Hal ini ditandai dengan
diterimanya oleh masyarakat internasional suatu rezim hukum hak
asasi manusia internasional yang disiapkan oleh PBB atau apa yang
kemudian lebih dikenal dengan “International Bill of Human Rights”.
Secara yuridis defenisi HAM terdapat dalam Pasal 1 butir (1) UU
No.39 Tahun 1999 tentang HAM yang berbunyi : “Hak asasi manusia
adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan
manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan
anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh
negara, hukum dan pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta
perlindungan harkat dan martabat manusia”.
Sementara itu semenjak perubahan kedua UUD 1945 materi
rumusan mengenai HAM mendapatkan tempat yang berarti dan
memiliki landasan konstitusional yang kuat dalam konstitusi, walaupun
sebenarnya materi rumusan HAM yang tercantum dalam UUDNRI Tahun
1945 hasil perubahan merupakan hasil adopsi dari ketentuan UU Nomor
39 Tahun 1999. Hak konstitusional warga negara yang meliputi hak
asasi manusia dan hak warga negara yang dijamin dalam UUD 1945
berlaku bagi setiap warga negara Indonesia.12 Hal itu dapat dilihat dari
Jimly Asshiddiqie, Hak Konstitusional Perempuan dan Tantangan Penegakannya, Makalah
disampaikan pada acara Dialog Publik dan Konsultasi Nasional Komnas Perempuan “Perempuan dan
Konstitusi di Era Otonomi Daerah: Tantangan dan Penyikapan Bersama”. Jakarta, 27 Nopember 2007.
12
597
Vol. 9 No. 4 - Desember 2012
perumusannya yang menggunakan frasa “setiap orang”, “segala warga
negara”, “tiap-tiap warga negara”, atau ‘setiap warga negara”, yang
menunjukkan bahwa hak konstitusional dimiliki oleh setiap individu
warga negara tanpa pembedaan, baik berdasarkan suku, agama,
keyakinan politik, ataupun jenis kelamin.13 Dengan demikian, negara
memberikan pengakuan dan jaminan atas hak-haknya baik bagi warga
negara yang berjenis kelamin laki-laki maupun perempuan.
C.2. Hak Asasi Perempuan
Konsep Hak Asasi Perempuan (HAP) sedikitnya memiliki dua
makna yang terkandung di dalamnya.14 Yang pertama, Hak Asasi
Perempuan hanya dimaknai sekadar berdasarkan akal sehat. Logika
yang dipakai adalah pengakuan bahwa perempuan adalah manusia, dan
karenanya sudah sewajarnya mereka juga memiliki hak asasi.
Masalahnya dalam realitasnya memperlihatkan tidak serta merta
pengakuan bahwa perempuan adalah manusia juga berdampak terhadap
perlindungan hak-hak dasar mereka sebagai manusia. Makna yang
kedua, di balik istilah Hak Asasi Perempuan terkandung visi dan maksud
transformasi relasi sosial melalui perubahan relasi kekuasaan yang
berbasis gender.15 Makna Hak Asasi Perempuan yang kedua ini lebih
revolusioner karena adanya pengintegrasian Hak Asasi Perempuan ke
dalam standar Hak Asasi Manusia.16
Dalam berbagai instrumen hukum nasional maupun internasional
sebenarnya telah memberikan perlindungan yuridis kepada perempuan
(tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan), hal ini dapat
dilihat dalam ketentuan Pasal 27 ayat (1) UUDNRI Tahun 1945 yang
menyatakan secara tegas bahwa “Segala warga negara bersamaan
kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung
hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” Selain itu Indonesia juga telah meratifikasi dua perjanjian internasional yaitu Convention on the Political Rights of Women (Konvensi Hak Politik Perempuan),
dan convention on the Political Elimination of All Forms of Discrimination
against Women/CEDAW (Konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadap
Ibid.
Mansour Fakih, Hak Asasi Perempuan, Jurnal Wacana, Edisi Khusus, VIII/2001, hal 167-181 dalam
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT.Gramedia PustakaUtama, Jakarta, 2008, hlm. 256-257.
15
Ibid.
16
Ibid.
13
14
598
Mendorong Keterwakilan Perempuan Di ...
Perempuan), namun dalam praktiknya, ketentuan tersebut tidak serta
merta dapat terlaksana dengan baik.17
D.
Kebijakan Affirmatif (affirmative action) dan Keterwakilan
Perempuan dalam Lembaga Legislatif
Dalam memberikan perlindungan dan pemenuhan hak
konstitusional18 setiap warga negara tentunya harus dilakukan tanpa
diskriminasi atau perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Agar
setiap warga negara memiliki kemampuan yang sama dalam
memperoleh perlindungan dan pemenuhan hak konstitusional yang
sama pula, diperlukan perlakuan khusus terhadap kelompok tertentu.
Hanya dengan perlakuan khusus tersebut, dapat dicapai persamaan
perlakuan dalam perlindungan dan pemenuhan hak konstitusional
setiap warga negara. Oleh karena itu, UUDNRI Tahun 1945 menjamin
perlakuan khusus tersebut sebagai hak untuk memperoleh kesempatan
dan manfaat yang sama.19 Pasal 28H Ayat (2) menyatakan “Setiap orang
berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh
kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan
keadilan”. Salah satu kelompok warga negara yang karena kondisinya
membutuhkan perlakuan khusus adalah perempuan. Tanpa adanya
perlakuan khusus, perempuan tidak akan dapat mengakses
perlindungan dan pemenuhan hak konstitusionalnya karena perbedaan
dan pembedaan yang dihasilkan dan dilanggengkan oleh struktur
masyarakat patriarkis. Perlindungan dan pemenuhan hak konstitusional
tanpa adanya perlakuan khusus, justru akan cenderung
17
Bahwa walaupun sudah ada jaminan hukum melalui peraturan perundang-undangan, diskriminasi
terhadap perempuan masih tetap terjadi, karena hak sosial dan ekonomi tidak terjangkau oleh perempuan.
Oleh karena itu, konvensi CEDAW mengamanatkan kebijakan pembangunan untuk menjamin hak
perempuan dalam semua tingkatan dan bidang sipil, politik, sosial dan ekonomi serta semua lingkungan
keluarga, komunitas, pasar dan negara. Lihat juga L.M. Gandhi Lapian, Disiplin Hukum yang Mewujudkan
Kesetaraan dan Keadilan Gender, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta 2012, hlm. 36-37.
18
Hak konstitusional warga negara yang meliputi hak asasi manusia dan hak warga negara yang
dijamin dalam UUD 1945 berlaku bagi setiap warga negara Indonesia. Hal itu dapat dilihat dari
perumusannya yang menggunakan frasa “setiap orang”, “segala warga negara”, “tiap-tiap warga negara”,
atau ‘setiap warga negara”, yang menunjukkan bahwa hak konstitusional dimiliki oleh setiap individu
warga negara tanpa pembedaan, baik berdasarkan suku, agama, keyakinan politik, ataupun jenis
kelamin. Hak-hak tersebut diakui dan dijamin untuk setiap warga negara bagi laki-laki maupun
perempuan. Lihat Jimly Asshiddiqie, Hak Konstitusional Perempuan dan Tantangan Penegakannya,
Makalah disampaikan pada acara Dialog Publik dan Konsultasi Nasional Komnas Perempuan “Perempuan
dan Konstitusi di Era Otonomi Daerah: Tantangan dan Penyikapan Bersama”. Jakarta, 27 Nopember
2007.
19
Ibid.
599
Vol. 9 No. 4 - Desember 2012
mempertahankan diskriminasi terhadap perempuan dan tidak mampu
mencapai keadilan. 20 Tindakan perlakuan khusus tersebut lazim
diistilahkan affirmative action. Affirmative action (tindakan afirmatif)
merupakan kebijakan yang diambil yang bertujuan agar kelompok/
golongan tertentu memperoleh peluang yang setara dengan kelompok/
golongan lain dalam bidang yang sama. Bisa juga diartikan sebagai
kebijakan yang memberi keistimewaan pada kelompok tertentu. Lebih
lanjut ketentuan Pasal 4 Konvensi CEDAW menyebutkan bahwa untuk
mengatasi kesenjangan antara perempuan dan laki-laki dilakukan
melalui tindakan khusus sementara (affirmative action) untuk mengejar
ketertinggalan agar tercapai kesetaraan.
Dalam konteks politik, tindakan afirmatif dilakukan untuk
mendorong agar jumlah keterwakilan perempuan di legislatif semakin
representatif. Untuk meningkatkan keterwakilan perempuan
dibutuhkan perangkat peraturan perundang-undangan yang dapat
menjamin proses politik yang dapat memastikan keterwakilan
perempuan di legislatif dalam semua tingkatan. Kebijakan afirmasi (affirmative action) terhadap perempuan dalam bidang politik telah dimulai
sejak disahkannya UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu DPR, DPD,
dan DPRD. Peningkatan keterwakilan perempuan berusaha dilakukan
dengan cara mencantumkan rumusan agar partai politik peserta Pemilu
memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% di
dalam mengajukan calon anggota DPR, dan DPRD. Pasal 65 ayat (1) UU
Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD menyatakan:
„ Setiap Partai Politik Peserta Pemilu dapat mengajukan calon Anggota DPR,
DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap Daerah Pemilihan
dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%.”
Walaupun kebijakan affirmasi telah diakomodir dalam ketentuan UU
Nomor 12 Tahun 2003, namun ketentuan tersebut belum dapat
menjamin partai politik memenuhi kuota 30% dalam mengajukan calon
anggota DPR maupun DPRD, karena Pasal 65 ayat (1) tidak secara tegas
mengharuskan pemenuhan kuota tersebut. Hal ini terbukti berdampak
langsung pada keterwakilan perempuan di DPR yang hanya berjumlah
+ 12%.
Jelang Pemilu selanjutnya, kebijakan affirmatif ini semakin
disempurnakan, yakni dengan mencabut Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2003 yang diganti dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008
20
Ibid.
600
Mendorong Keterwakilan Perempuan Di ...
tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD. Pasal 53 UU
Pemilu Nomor 10 Tahun 2008 menyatakan: Daftar bakal calon
sebagaimana dimaksud pada Pasal 52 memuat paling sedikit 30% (tiga puluh
perseratus) keterwakilan perempuan . Ketentuan pada Pasal 52 mengatur
mengenai daftar bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD
Kabupaten/Kota yang ditetapkan oleh partai politik peserta Pemilu.
Dengan demikian, affirmative action keterwakilan perempuan dalam
daftar bakal calon dilakukan tidak hanya untuk DPR, tetapi berlaku juga
untuk DPRD Provinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota.
Lebih lanjut ketentuan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 juga
mengatur dalam affirmative action terdapat penerapan setiap 3 (tiga) bakal
calon terdapt sekurang-kurangnya 1 (satu) orang perempuan (zipper system). Pasal 55 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 menyatakan:
Di dalam daftar bakal calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap 3
(tiga) orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1 (satu) orang
perempuan bakal calon . Pada ayat (1) mengatur bahwa nama-nama calon
dalam daftar bakal calon disusun berdasarkan nomor urut. Namun
ketentuan zipper system tersebut menjadi tak bermakna ketika
Mahkamah Konstitusi (MK) memutus bahwa Pasal 214 huruf a sampai
e dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 mengenai penetapan
caleg dengan sistem nomor urut dinyatakan bertentangan dengan
UUDNRI Tahun 1945 dan karenanya tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat. Akibatnya, Pemilu 2009 harus menggunakan sistem
suara terbanyak tidak berdasarkan nomor urut.
Sebagai salah satu bentuk jaminan agar partai politik
melaksanakan affirmative action terhadap bakal calon anggota DPR dan
DPRD tersebut pada Pasal 66 ayat 2 UU No. 10 Tahun 2008 dinyatakan:
“KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota mengumumkan persentase
keterwakilan perempuan dalam daftar calon tetap partai politik masingmasing pada media massa cetak harian nasional dan media massa elektronik
nasional”. Ketentuan ini juga tidak secara tegas mengharuskan Partai
Politik untuk memenuhi kuota 30% daftar calon anggota DPR maupun
DPRD, sehingga rumusan demikian menjadi salah satu penghambat
dalam memenuhi keterwakilan perempuan di DPR maupun DPRD.
Pada tanggal 11 Mei 2012 telah diundangkan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum anggota DPR, DPD dan
DPRD sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008, namun
di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 rumusan mengenai
kebijakan affirmatif dalam penetapan daftar calon anggota DPR dan DPRD
601
Vol. 9 No. 4 - Desember 2012
tidak mengalami perubahan. Pasal 55 Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2012 menyebutkan: “Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 53 memuat paling sedikit 30% (tiga puluh persen) keterwakilan
perempuan”. Ketentuan pada Pasal 53 mengatur mengenai daftar bakal
calon anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota yang
ditetapkan oleh partai politik peserta Pemilu. Selanjutnya ketentuan
Pasal 56 ayat (2) dinyatakan: “Di dalam daftar bakal calon sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), setiap 3 (tiga) orang bakal calon terdapat sekurangkurangnya 1 (satu) orang perempuan bakal calon.” Pada ayat (1) mengatur
bahwa nama-nama calon dalam daftar bakal calon disusun berdasarkan
nomor urut. Dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 2012 ini juga diatur
kewenangan KPU, KPU Provinsi maupun KPU Kabupaten Kota untuk
mengumumkan persentase kuota 30% keterwakilan perempuan dalam
daftar calon anggota DPR maupun DPRD. Pasal 68 ayat (2) menyebutkan:
KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota mengumumkan persentase
keterwakilan perempuan dalam daftar calon tetap partai politik masingmasing pada media massa cetak harian nasional dan media massa elektronik
nasional.
Rumusan kebijakan affirmatif yang terdapat dalam UU Nomor 8
Tahun 2012 dapat dikatakan sebagai rumusan yang tidak tegas, karena
masih tetap bersifat tidak mengharuskan partai politik melaksanakan
ketentuan tersebut. Sanksi yang diberikan hanya berupa sanksi moral
yaitu dengan memberikan kewenangan kepada KPU, KPU Provinsi
maupun KPU Kabupaten/Kota untuk mengumumkan persentase
keterwakilan 30% perempuan dalam daftar calon anggota legislatif,
sehingga peraturan ini berpotensi diabaikan oleh partai-partai politik
yang didominasi oleh laki-laki, hal ini berdampak pada keterwakilan
perempuan di lembaga legislatif tetap tidak akan mengalami kemajuan
yang berarti dan pada akhirnya akan sulit melahirkan kebijakankebijakan yang berperspektif gender.
E.
Penutup
Tindakan afirmatif diperlukan agar keterwakilan perempuan di
lembaga legislatif segera terwujud. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012
belum menunjukkan ketegasan dalam mendorong pemenuhan kuota
30% keterwakilan Perempuan dalam daftar calon anggota DPR maupun
DPRD, untuk itu perlu diupayakan penataan Peraturan PerundangUndangan Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD melalui pencantuman
sanksi yang lebih konkrit dan tegas seperti diskualifikasi terhadap Partai
politik yang tidak memenuhi kuota 30 persen keterwakilan perempuan
602
Mendorong Keterwakilan Perempuan Di ...
dalam daftar calon anggota DPR maupun DPRD. Dengan lebih banyak
keterwakilan perempuan di lembaga legislatif, diharapkan akan lahir
kebijakan-kebijakan yang lebih responsif gender.
603
Vol. 9 No. 4 - Desember 2012
Daftar Pustaka
Edmund Burke, Reflection on the Revolution in France, ed. Conor Cruise
O’Brien, London, 1968
H.L.A. Hart, Essays on Bentham, Oxford University Press, London,
1982Jack Donnely, Universal Human Rights in Theory and Practice,
Cornell University Press, Ithaca and London, 2003
Jeremy Bentham, Supply Without Burden or Escheat Vice Taxation, dikutip
dari Hart, Essays on Bentham, Oxford University Press, London,
1982.
Jimly Asshiddiqie, Hak Konstitusional Perempuan dan Tantangan
Penegakannya, Makalah disampaikan pada acara Dialog Publik
dan Konsultasi Nasional Komnas Perempuan “Perempuan dan
Konstitusi di Era Otonomi Daerah: Tantangan dan Penyikapan
Bersama”. Jakarta, 27 Nopember 2007
Kementerian Hukum dan HAM RI, Kementerian Pemberdayaan
Perempuan dan Anak dan Kementerian Dalam Negeri, Parameter Kesetaraan Gender dalam Pembentukan Peraturan Perundangundangan, Jakarta-2011
L.M. Gandhi Lapian, Disiplin Hukum yang Mewujudkan Kesetaraan dan
Keadilan Gender, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta 2012
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT.Gramedia PustakaUtama,
Jakarta, 2008
h t t p : / / w w w . k a b a r i n d o n e s i a . c o m /
berita.php?pil=20&jd=Sumut+Contoh+Kesetaraan+Gender&dn=20120416160321
http://id.m.wikipedia.org/wiki/pengarusutamaan_gender
604
BATAS USIA DEWASA SESEORANG DALAM MELAKUKAN
PERBUATAN HUKUM BERDASARKAN PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN
(ADULT AGE LIMITS SOMEONE IN DOING AN ACTION UNDER
THE RULE OF LAW LEGISLATION)
Zaelani *
(Naskah diterima 16/11/2012, disetujui 23/11/2012)
Abstrak
Peraturan perundang-undangan dapat mengatur dan memberikan batasan
pengertian terhadap suatu istilah, sebagaimana diatur dalam lampiran Pasal
104 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, pengertian suatu istilah dapat diatur berbeda dan berlaku
terbatas pada peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, perbedaan
pengertian suatu istilah hendaknya dimaknai bukan merupakan pengertian
yang bertentangan melainkan merupakan penyempurnaan dalam rangka
menyesuaikan dengan konteks materi muatan peraturan perundang-undangan
yang sedang disusun. Penentuan batas usia minimal seseorang dinyatakan
cakap berkompentensi dan berwenang melakukan perbuatan hukum, yang diatur
dalam berbagai peraturan perundang-undangan dengan pengaturan berbedabeda, hal ini diatur berbeda-beda untuk memberikan perbedaan dan pembatasan
kewenangan seseorang dalam melakukan perbuatan hukum. Batasan usia
seseorang untuk dapat bertindak perlu persamaan persepsi dan pemahaman
bersama, agar perbuatan hukum yang dilakukan menjadi sah berdasarkan
peraturan perundang-undangan.
Kata kunci: batas usia dewasa seseorang, berbeda satu dengan yang lain di
berbagai peraturan
Abstract
Legislation to regulate and give meaning to a term limit, as set forth in Annex Article
104 of Law No. 12 of year 2011 on the establishment of legislation, the definition of
a term can be set differently and the effect is limited to the legislation in question ,
the difference in the sense of a term should not be interpreted to the contrary sense
but a refinement in order to adapt to the context of the substance of the legislation
that is being drafted. Determination of the minimum age a person is declared competent authorities berkompentensi and legal actions, it is stipulated in various laws
*
Perancang Pertama Peraturan Perundang-undangan rangkap Kepala Seksi Penerbitan, Subdit.
Publikasi, Dit. Pengundangan, Publikasi dan Kerja Sama Peraturan Perundang-undangan.
605
Vol. 9 No. 4 - Desember 2012
with different settings, this set different restrictions to make a difference and someone in authority to take legal actions. Age limit a person needs to be able to act with
the same perception and understanding, in order to do a legal act illegal under
legislation.
Keywords: limit one’s adulthood, different from one another in a variety of regulatory
A.
Pendahuluan
Peraturan perundang-undangan merupakan perangkat hukum yang
mempunyai posisi strategis dalam pemerintahan dan negara. Dalam
suatu negara berdaulat peraturan perundang-undangan mempunyai
peran penting dalam merekayasa masyarakat. Indonesia sebagai negara
hukum segala aspek kehidupan dilaksanakan berdasarkan pada hukum.
Hukum merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam
kehidupan bermasyarakat, bernegara dan berbangsa. Sesuai dengan
ketentuan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan (UU 12/2011) di dalamnya ditentukan
bahwa: Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang
memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau
ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui
prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan.
UU 12/2011 yang telah disahkan pada tanggal 12 Agustus 2011
sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 yang dalam
perkembangannya terdapat beberapa kelemahan, antara lain banyak
menimbulkan kerancuan atau multitafsir sehingga tidak memberikan
suatu kepastian hukum, teknik penulisan yang tidak konsisten. UU
12/2011 memberikan penuntun (guider) dalam pembentukan Peraturan
Perundang-undangan.
Peraturan Perundang-undangan di Indonesia sering
mencantumkan bermacam-macam mengenai penggunaan istilah,
penggunaan suatu istilah dengan pembatasan pengertian berlaku hanya
dalam suatu Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan, hal
ini membuat banyak pembentuk Peraturan Perundang-undangan
membuat istilah-istilah yang berbeda namun mempunyai makna yang
sama, dan ada pula pengistilahan yang sama namun pengertiannya
berbeda.
UU 12/2011 memberikan kebebasan kepada pembentuk peraturan
perundang-undangan menggunakan pembatasan pengertian dari suatu
istilah, hal ini sebagaimana dimaksud dalam lampiran II UU 12/2011
Nomor 104, yang menyatakan sebagai berikut:
606
Batas Usia Dewasa Seseorang dalam Melakukan ...
104. Rumusan batasan pengertian dari suatu Peraturan Perundangundangan dapat berbeda dengan rumusan Peraturan Perundangundangan yang lain karena disesuaikan dengan kebutuhan terkait
dengan materi muatan yang akan diatur.1
Dengan demikian, pembentukan peraturan perundang-undangan
bebas dalam menentukan makna/batasan pengertian suatu kata atau
istilah berdasarkan peraturan perundang-undangan, seperti makna/
batasan pengertian suatu kata atau istilah berdasarkan peraturan yang
akan mengaturnya seperti batas usia dewasa seseorang dalam peraturan
perundang-undangan yang pengaturannya berbeda-beda. Hal ini perlu
persamaan persepsi mengenai penentuan batas usia seseorang,
terutama menentukan kecakapan dan kompetensi seseorang yang boleh
atau tidak boleh bertindak melakukan perbuatan hukum.
B.
Pembahasan
B.1. Batasan Pengertian
Peraturan perundang-undangan mencantumkan mengenai definisi
atau batasan pengertian yang di masukan dalam bab Ketentuan Umum
(Bab I). Ketentuan umum merupakan bagian yang mempunyai kedudukan
penting dari setiap peraturan perundang-undangan, sekaligus wadah
untuk membuat batasan pengertian, definisi, istilah, akronim dan
singkatan yang dipergunakan oleh peraturan perundang-undangan yang
bersangkutan dalam pasal-pasalnya yang pemakaiannya lebih dari satu
kali penggunaan. Banyak peraturan perundang-undangan memberikan
batasan pengertian terhadap suatu istilah yang berlaku terbatas dalam
peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.
Ketentuan Umum dalam suatu peraturan perundang-undangan
dapat memuat lebih dari satu Pasal pengaturan, sebagaimana dinyatakan
dalam Bagian Lampiran II Nomor 97, yaitu sebagai berikut:
97.
Ketentuan Umum dapat memuat lebih dari satu pasal.2
Meskipun undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 memberikan
kesempatan untuk membuat ketentuan umum dapat lebih dari satu
1
Lampiran II Nomor 104 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan, Jakarta, 2011.
2
Ibid Nomor 97.
607
Vol. 9 No. 4 - Desember 2012
pasal, namun pada kenyataannya peraturan perundang-undangan
mengatur mengenai ketentuan umum hanya dalam satu pasal.
Pembatasan pengertian, istilah, akronim dan singkatan,
sebagaimana dimuat dalam Ketentuan Umum, dapat dimaknai dan
berlaku terbatas yang berlaku dan berkaitan dengan pengaturan dalam
Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan. Selain itu
pembatasan pengertian tersebut dibenarkan oleh Undang-Undang, hal
ini dapat berbeda dengan Peraturan Perundang-undangan lain. Hal ini
sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Bagian
Lampiran II UU 12/2011, membenarkan adanya perbedaan tersebut,
pembatasan pengertian disesuaikan dengan kebutuhan dan terkait
dengan materi muatan yang akan diatur.
Penggunaan istilah yang berbeda-beda dalam suatu peraturan
perundang-undangan, pada dasarnya disesuaikan dengan konteks atau
materi muatan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang
berangkutan. Namun pembentuk peraturan perundang-undangan juga
harus melakukan harmonisasi dengan peraturan perundang-undangan
lain, terutama terkait dengan batasan pengertian. Selain itu Indonesia
belum memiliki peraturan perundang-undangan yang mengatur
mengenai pembakuan istilah dalam pembentukan peraturan perundangundangan dan belum memiliki grossery (kamus istilah), karena dalam
grossery berisi himpunan istilah-istilah yang akan dipergunakan dalam
peraturan perundang-undangan sebagai pedoman dalam penggunaan
istilah-istilah. Grossery ini penting karena dalam setiap peraturan
perundang-undangan yang akan dibuat harus mengacu kepada kamus
istilah tersebut, karena sudah dianggap baku sehingga istilah yang
dipergunakan dalam semua peraturan perundang-undangan mempunyai
pengertian yang sama antara satu peraturan perundang-undangan
dengan peraturan perundang-undangan lainnya.
Salah satu negara yang telah memiliki kamus istilah (grosser), yaitu
Australia yang disebut interpresent act yaitu peraturan perundangundangan yang berisi istilah-istilah yang akan dipergunakan dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan, sehingga para
pembentuk peraturan perundang-undangan ketika akan menggunakan
istilah mereka dapat melihat pada interpresent act, yang akan menjadi
panduan (gaider) bagi para pembentuk peraturan perundang-undangan.
608
Batas Usia Dewasa Seseorang dalam Melakukan ...
B.2. Pengaturan Batas Usia Dewasa Seseorang yang Beragam
Di Indonesia, para pembentuk peraturan perundang-undangan dapat
dengan leluasa mengatur dalam norma/materi muatan peraturan
perundang-undangan, khususnya dalam pemakaian suatu istilah, baik
dalam memberikan pengertian suatu istilah seperti antara lain
pengertian “hari”, pengertian “orang”. Namun dalam tulisan ini hanya
dibahas perbedaan perumusan mengenai pengertian penentuan batas
usia dewasa seseorang dalam melakukan perbuatan hukum
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Penentuan batas usia seseorang dinyatakan dewasa dalam
melakukan perbuatan hukum, dibatasi pada tinjauan hukum peraturan
perundang-undangan, Keputusan Kasasi Mahkamah Agung yang
dijadikan Yurisprudensi dan Keputusan Pengadilan Negeri. Sebagian
masyarakat Indonesia terhadap anaknya yang akan memasuki usia
dewasa merupakan suatu prestasi yang kerapkali dirayakan karena
merupakan momen penting bagi remaja, yang umumnya kreteria dewasa
dinyatakan pada perayaan ulang tahun ke 17 (tujuh belas) tahun, karena
pada usia tersebut anak yang bersangkutan dianggap telah dewasa dan
dapat bertanggung jawab terhadap diri sendiri dan perbuatannya. Pada
usia 17 tahun seseorang anak telah menjadi remaja dan yang
bersangkutan sudah memenuhi syarat berhak untuk memiliki Kartu
Tanda Penduduk (KTP) sebagai indentitas diri, dengan memiliki KTP
remaja yang bersangkutan dapat bertindak sendiri melakukan perbuatan
hukum, antara lain membuka rekening tabungan dan melakukan
perbuatan hukum lain di bank. Selain itu, yang bersangkutan dapat
memohon pembuatan surat izin mengemudi (SIM) sehingga dapat
mengendarai kendaraan bermotor.
Seseorang yang telah memiliki KTP dapat bertindak untuk diri
sendiri atau dapat sebagai kuasa dari orang lain untuk mewakili
kepentingan orang lain melakukan perbuatan hukum atas nama
pemberi kuasa. Selain itu, seseorang yang telah memiliki KTP dapat
bertindak untuk diri sendiri dengan menghadap Notaris atau Pejabat
lain melakukan perbuatan hukum.
Penentuan batas usia dewasa seseorang merupakan hal yang
penting karena akan menentukan sah tidaknya seseorang bertindak
melakukan perbuatan hukum dan kecakapan seseorang melakukan
perbuatan hukum. Hal tersebut ditentukan oleh undang-undang, jika
perjanjian dilaksanakan oleh orang yang tidak memenuhi syarat, maka
sesuai dengan ketentuan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum
609
Vol. 9 No. 4 - Desember 2012
Perdata, yaitu sebagai berikut:
Syarat-syarat Terjadinya Suatu Persetujuan yang Sah
Pasal 1320
Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat;
1.
kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
2.
kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3.
suatu pokok persoalan tertentu;
4.
suatu sebab yang tidak terlarang.3
Perjanjian yang dilakukan oleh orang atau pihak-pihak yang tidak
memenuhi persyaratan dari sisi batas usia para pihak atau salah satu
pihak yang akan membuat perjanjian, maka perjanjian tersebut dapat
dibatalkan, oleh karena itu batas usia seseorang untuk dapat melakukan
perjanjian menjadi penting, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata telah
mengatur batas usia dewasa seseorang, sebagaimana dinyatakan dalam
Pasal 330, yaitu sebagai berikut:
Pasal 330
Seseorang dianggap sudah dewasa jika sudah berusia 21 tahun atau
sudah(pernah) menikah.4
Perbuatan hukum yang berkaitan dengan perjanjian hanya dapat
dilakukan oleh pihak-pihak yang melakukan perjanjian harus
memenuhi persyaratan batas usia sebagaimana dimaksud dalam Pasal
330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut di atas.
Banyak perbuatan hukum yang berkaitan dengan perjanjian, dan
seharusnya tunduk kepada asas hukum perjanjian, seperti antara lain:
-
Mendirikan perseroan terbatas;
-
Melaksanakan Jual beli harta tetap ( tanah);
-
Menjaminkan bidang tanah kepada bank.
-
Melakukan pembukaan rekening tabungan, atau rekening koran;
-
mendepositokan uang di bank;
3
4
Kitab undang-Undang Hukum Perdata, Wibesite Hukumonline, Jakarta, 2012.
Ibid Pasal 330 Undang-Undang Hukum Perdata, wibesite hukum online. Jakarta, Tahun 2012.
610
Batas Usia Dewasa Seseorang dalam Melakukan ...
-
Melakukan perjanjian kredit di bank;
-
Melakukan gadai barang;
-
Melakukan perikatan pernikahan.
Perbuatan hukum tersebut di atas, mempunyai batas usia orang
yang dapat melakukannya harus tunduk pada usia dewasa yang diatur
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dan jika seseorang belum
memenuhi batas usia minimum yang ditentukan oleh peraturan
perundang-undangan, maka yang bersangkutan dalam melakukan
perbuatan hukum tersebut dibantu oleh walinya atau dibantu oleh
orang tuanya.
Dalam praktik ternyata tidak semua perbuatan hukum yang
berkaitan dengan perjanjian dilaksanakan tunduk pada batas usia minimum seseorang dapat melakukan perbuatan hukum tersebut, seperti
perbuatan hukum perjanjian, antara lain pembukaan rekining tabungan,
rekening koran, dan pembuatan deposito, persyaratannya hanya yang
bersangkutan sudah memiliki KTP maka orang tersebut dianggap sudah
dewasa, sehingga dapat menjadi subjek hukum, sehingga dapat
dimaknai bahwa untuk perbuatan hukum tersebut, seseorang dianggap
dewasa pada usia 17 (tujuh belas) tahun.
B.3. Kesepahaman Pelayanan Berdasarkan Undang-Undang
Pemerintah Kementerian dan Lembaga Nonkemeterian hendaknya
mempunyai pemahaman yang sama dalam melayani dan mempunyai
persamaan persepsi mengenai batas usia cakap seseorang dengan
melaksanakan ketentuan Pasal 330 Undang-Undang Hukum Perdata,
ketika permohonan pengesahan perseroan terbatas yang diajukan oleh
para pendiri persoroan terbatas namun para pendiri belum berusia 21
(dua puluh) tahun namun telah menikah atau pernah menikah dapat
dinyatakan telah dewasa, karena sesuai dengan bunyi ketentuan Pasal
330 ditegaskan bahwa usia batas dewasa seseorang adalah jika telah
berumur 21 (dua puluh satu) tahun namun ada pengecualian yaitu jika
seseorang orang yang bersangkutan sudah melangsungkan perkawinan,
namun dalam praktik pengecualian tersebut diabaikan, dan hanya
berpedoman kepada usia belaka.
B.4. Batas Usia Dewasa Berdasarkan Undang-Undang.
a.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang
telah diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1974 Nomor 1. Dalam Bab II Syarat-syarat Perkawinan,
611
Vol. 9 No. 4 - Desember 2012
dalam Pasal 6 aya (2) menyatakan:
Pasal 6
(2)
untuk melangsungkan Perkawinan seorang yang belum
mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat
izin dari kedua orang tua.5
Lebih lanjut dalam Undang-Undang tersebut diatur mengenai
kebolehan untuk melakukan perkawinan, sebagaimana ditentukan
dalam Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2), yang menyatakan sebagai berikut:
Pasal 7
(1)
Perkawinan diizinkan bila pihak pria mencapai umur 19
(Sembilan belas) tahun dan pihak wanita telah mencapai
umur 16 (enam belas) tahun.
(2)
Dalam hal penyimpangan dalam ayat (1) dalam pasal ini, dapat
minta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang
diminta oleh kedua orang tua pihak pria atau pihak wanita.6
Undang-Undang tersebut mengatur ketentuan batas usia minimal
seseorang dapat melangsungkan perkawinan, karena bunyi ketentuan
Pasal 6 ayat (2) tersebut tidak tegas sehingga tidak memberikan
kepastian hukum mengenai ketentuan atas usia seseorang dapat
melaksanakan perkawinan, ketentuan tersebut dapat ditafsirkan halhal sebagai berikut:
1.
Seseorang yang akan melaksanakan perkawinan jika yang
bersangkutan telah berusia 21(dua puluh satu) tahun, dapat
melaksanakan perkawinan tanpa harus telebih dahulu
memperoleh izin dari kedua orang tua;
2.
Perkawinan dapat dilaksanakan oleh seseoang, dengan
ketentuan bahwa yang bersangkutan telah berumur, bagi
seorang laki-laki telah mencapai umur paling sedikit 19
(Sembilan belas) tahun dan seorang perempuan telah
mencapai umur minimal 16 (enam belas) tahun.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Website Yayasan Peduli Anak Negeri,
Tahun 2012.
Ibid.
5
6
612
Batas Usia Dewasa Seseorang dalam Melakukan ...
b.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,
berlaku sejak tanggal 22 Oktober 2002, telah mengatur mengenai
definisi pengertian dari anak, sebagaimana disebutkan dalam Pasal
1 angka 1, yaitu sebagai berikut:
Pasal 1
1.
c.
anak adalah seseorang yang belum berusia 18(delapan belas)
tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.7
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris,
mengatur mengenai batas usia seseorang dinyatakan dewasa, dapat
melakukan pembuatan akta notarial dan bertindak sendiri tanpa
harus diwakili oleh orang tua atau walinya, hal ini sebagaimana
diatur dalam Pasal 39 ayat 1 yang menyatakan bahwa:
Pasal 39
1.
Penghadap harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a.
Paling sedikit berusia 18 (delapan belas) tahun atau telah
menikah; dan
b.
Cakap melakukan perbuatan hukum8
Berkaitan dengan batas usia seseorang yang berkopemtensi
melakukan perbuatan hukum bertindak untuk diri sendiri atau sebagai
penerima kuasa dari orang yang memberikan kuasa, dengan menghadap
seorang pejabat publik, Notaris.
d.
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas,
diundangkan dalam Lembaran Negara republik Indonesia Tahun
2007 Nomor 106 dan Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4756.
Undang-Undang ini menyatakan pada bagian Ketentuan Umum,
dalam Pasal 1 nomor 1, yaitu sebagai berikut:
Pasal 1
1.
Perseroan Terbatas, yang selanjutnya disebut Perseroan,
adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal,
7
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, website Ditjen Peraturan
Perundang-undangan, Jakarta, Tahun 2012
8
Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Ditjen Peraturan Perundangundangan, Jakarta tahun 2012.
613
Vol. 9 No. 4 - Desember 2012
didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha
dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham
dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam UndangUndang ini serta peraturan pelaksanaannya.9
Ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 maupun
dalam ketentuan pelaksanaannya tidak mengatur secara tegas
mengenai batas usia seseorang dinyatakan cakap untuk dapat
melakukan perbuatan hukum mendirikan perseroan terbatas.
Ketentuan mengenai batas usia seseorang dinyatakan berkopetensi
mendirikan perseroan terbatas hanya tersirat yaitu dapat terlihat dalam
Bagian Ketentuan Umum, sebagaimana tersebut di atas, yang
menyatakan bahwa perseroan terbatas didirikan berdasarkan perjanjian.
Berdasarkan definisi/pengertian perseroan terbatas sebagaimana
tersebut dalam Pasal 1 menyatakan bahwa perseroan terbatas didirikan
berdasarkan asas perjanjian, dan dalam penjelasan mengenai ketentuan
Pasal 1 ayat (1) disebutkan cukup jelas. Maka berdasarkan asas tersebut,
maka batas usia seseorang dapat menghadap notaris mendirikan
perseroan terbatas sebagai pemegang saham perseroan dan untuk
diangkat menjadi pengurus baik Direktur maupun Komisaris perseroan
terbatas, harus tunduk kepada ketentuan hukum dan asas-asas
perjanjian.
Ketentuan asas-asas syarat sahnya persetujuan atau perjanjian
mengacu kepada ketentuan Undang-Undang Hukum Perdata Bagian 2
sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 mengenai syarat-syarat terjadinya
suatu Persetujuan yang sah, yaitu sebagai berikut:
Pasal 1320
Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat;
1.
kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
2.
kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3.
suatu pokok persoalan tertentu;
4.
suatu sebab yang tidak terlarang.10
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Ditjen Peraturan Perundangundangan, Jakarta, tahun 2010
Undang-Undang Hukum Perdata, hasil unduh dari Hukumonline.com, Jakarta, tahun 2012
9
10
614
Batas Usia Dewasa Seseorang dalam Melakukan ...
Dalam Pasal 1320 angka 2 menyebutkan tentang seseorang yang
dapat membuat persetujuan yaitu Undang-Undang Perdata tersebut.
Dalam substansi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tidak mengatur
secara jelas dan rinci mengenai hal tersebut mengenai seseorang untuk
dapat mendirikan perseroan terbatas. Mengenai perbuatan hukum
seseorang dianggap dewasa ternyata terdapat perbedaan, antara satu
undang-undang dengan undang-undang, hal ini perlu penjelasan
mengenai batas usia seseorang dianggap cakap untuk melakukan
perbuatan hukum.
B.5. Pengaturan Batas Usia Dewasa Seseorang Selain Undang-Undang
Pengaturan mengenai batas usia dewasa seseorang tidak hanya
diatur dalam peraturan perundang-undangan, melainkan diatur pula
dalam Keputusan Mahkamah Agung Republik Indonesia, yang dijadikan
Yurisprudensi, yaitu:
a.
Dalam kasasi di Mahkamah Agung Republik Indonesia dengan
Keputusan Nomor 477/K/ Sip./1976 tanggal 2 November 1976,
majelis hakim Mahkamah Agung membatalkan Keputusan
Pengadilan Tinggi dan mengadili sendiri, dalam amarnya majelis
hakim memutuskan bahwa ayah berkewajiban untuk memberian
nafkah kepada anak hasil perkawinan yang putus tersebut sampai
anaknya berumur 18 tahun. Majelis hakim berpendapat bahwa
batasan umur anak yang berada di bawah kekuasaan orang tua
atau perwalian ialah 18 tahun, bukan 21 Tahun. Dengan demikian,
dalam umur 18 tahun, seseorang telah dianggap mampu
mempertanggungjawabkan perbuatannya, dan karenanya menjadi
cakap untuk berbuat dalam hukum. Keputusan ini tepat, mengingat
Pasal 47 dan 50 UU No. 1 Tahun 1974 mengatur bahwa seseorang
yang berada di bawah kekuasaan orang tua atau perwalian adalah
yang belum berumur 18 tahun.
b.
Putusan Pengadilan Negeri Palembang No. 96/1973/PN.Plg tanggal
24 Juli 1974 jis. Putusan Pengadilan Tinggi Sumatera Selatan di
Palembang No. 41/1975/PT.PERDATA tanggal 14 Agustus 1975 (hal.
143), dalam amarnya majelis hakim memutuskan bahwa ayah
berkewajiban untuk memberikan nafkah kepada anak hasil
perkawinan yang putus tersebut sampai anaknya berumur 21
tahun. Dalam hal ini, majelis hakim berpendapat bahwa seseorang
yang belum berumur 21 tahun dianggap masih di bawah umur atau
belum dewasa sehingga ayahnya berkewajiban untuk
615
Vol. 9 No. 4 - Desember 2012
menafkahinya sampai anak tersebut berumur 21 tahun, suatu
kondisi di mana anak tersebut telah dewasa, dan karenanya telah
mampu bertanggung jawab penuh dan menjadi cakap untuk berbuat
dalam hukum.
c.
Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Timur No. 1 15/Pdt.P/2009/
PN. Jaktim Tanggal 17 Maret 2009 (hal. 145). Hakim menggunakan
pertimbangan bahwa batasan umur dewasa seseorang untuk cakap
bertindak secara hukum mengacu pada Pasal 47 ayat (1) dan (2)
UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Dengan mendasarkan
pada Pasal 47 ayat (1) dan (2) UU No. 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan menunjukkan bahwa hakim berpendapat batasan
umur yang digunakan sebagai parameter untuk menentukan
kecakapan untuk berbuat dalam hukum adalah telah berumur 18
tahun.11
Berkaitan dengan batas usia seseorang yang berkopemtensi
melakukan perbuatan hukum bertindak untuk diri sendiri atau sebagai
penerima kuasa dari orang yang memberikan kuasa, dengan menghadap
seorang pejabat publik, Notaris. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, yang berlaku sejak tanggal 6
Oktober 2004, telah mengatur mengenai batas usia dan orang yang dapat
menghadap seorang Notaris, sebagaimana dimuat dalam Pasal 39 ayat
(1), yaitu sebagai berikut :
Pasal 39
Penghadap harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a.
Paling sedikit berusia 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah;
dan
b.
Cakap melakukan perbuatan hukum.12
B.6. Tabel Daftar Peraturan Perundang-undangan Pengaturan Batas
Usia
Dalam rangka memberikan gambaran mengenai pengaturan batas
usia seseorang dinyatakan cakap melakukan perbuatan hukum, berikut
ini dapat dilihat dalam tabel mengenai pengaturan batas usia seseorang
Diana Kusumasari, website Hukumonline, Jakarta, Tahun 2012.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Ditjen Peraturan Perundangundangan, Jakarta, tahun 2010.
11
12
616
Batas Usia Dewasa Seseorang dalam Melakukan ...
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, yaitu sebagai
berikut :
617
Vol. 9 No. 4 - Desember 2012
C.
Penutup
1.
Kesimpulan:
Berdasarkan hasil uraian tersebut di atas mengenai pengaturan
batas usia seseorang seseorang dinyatakan telah dewasa dan cakap
melakukan perbuatan hukum berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan, kiranya dapat disimpulkan sebagai berikut:
a.
Ternyata pengaturan mengenai batas usia seseorang dapat
melakukan perbuatan hukum banyak peraturan perundangundangan pengaturan berbeda-beda, hal ini dapat ditemukan dalam
Undang-Undang, Keputusan Mahkamah Agung dan Keputusan
Pengadilan Negeri;
b.
Banyak para insan hukum memaknai berbeda-beda mengenai
batas usia dewasa seseorang, berdasarkan asas lex apriori derogat
lex posteori yaitu peraturan perundang-undangan yang dibentuk
kemudian mengenyampingkan peraturan perundang-undangan
yang sebelumnya;
c.
Pengaturan berbeda-beda dalam berbagai peraturan perundangundangan mengenai batas usia seseorang dapat melakukan
perbuatan hukum, harus dimaknai sebagai kecakapan seseorang
untuk melakukan perbuatan hukum tertentu.
d.
Perbedaan pengertian dari suatu istilah yang dimaksud oleh
UU No. 12 Tahun 2011 adalah bukan perbedaan yang bertentangan,
melainkan perbedaan yang menyempurnakan disesuaikan
dengan substansi/materi muatan perundang-undangan yang
bersangkutan.
618
Batas Usia Dewasa Seseorang dalam Melakukan ...
2.
Saran:
a.
Hendaknya ditingkatkan harmonisasi pengaturan khususnya
mengenai batas usia dewasa seseorang dapat melakukan
perbuatan hukum berdasarkan peraturan perundang-undangan;
b.
Perlu pembentukan kamus istilah hukum peraturan perundangundangan, agar para penyusun peraturan perundang-undangan
memiliki panduan;
c.
Perlu sosialisasi guna menyamakan persepsi dan kesepahaman
para pemangku kepentingan, praktisi hukum, dan masyarakat,
dalam memaknai peraturan perundang-undangan. Pemerintah dan
Lembaga Nondepartemen lebih memahami terhadap peraturan
perundang-undangan dalam memberikan pelayanan hukum kepada
masyarakat;
d.
Kiranya sudah saatnya dilakukan penyelarasan konsepsi dan
penyamaan pandangan terhadap pembentukan peraturan
perundang-undangan, rancangan peraturan perundang-undangan
inisiatif Pemerintah dan Rancangan Undang-Undang insiatif Dewan
Perwakilan Rakyat.
619
Vol. 9 No. 4 - Desember 2012
Daftar Pustaka
Diana Kusumasari, website Hukumonline, Jakarta, tahun 2012.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek, Staatsblad
1847 No. 23);
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan;
Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak;
Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;
Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik
Indonesia;
Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Perdagangan Orang;
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas;
Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi;
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan;
Kompilasi Hukum Islam (Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991);
SK Mendagri Dirjen Agraria Direktorat Pendaftaran Tanah (Kadaster)
No. Dpt.7/539/7-77, tertanggal 13-7-1977.
620
ASPEK HUKUM PENYERTAAN MODAL NEGARA REPUBLIK
INDONESIA KEPADA BUMN/BUMD/BADAN HUKUM LAINNYA
(LEGAL ASPECTS OF CAPITAL INVESTMENTS OF THE REPUBLIC OF
INDONESIA TO BUMN /BUMD / OTHER LEGAL ENTITIES)
Yanuar Syaripulloh*
(Naskah diterima 16/11/2012, disetujui 23/11/2012)
Abstrak
Untuk mewujudkan kesejahteraan umum melalui badan usaha, Pemerintah
melakukan Penyertaan Modal Negara untuk mendirikan Badan Usaha Milik
Negara. Selanjutnya untuk menyelamatkan perekonomian nasional,
Pemerintah dapat pula melakukan penyertaan modal Negara ke dalam Perseroan
Terbatas yang di dalamnya belum terdapat saham milik Negara. Penyertaan
modal Negara seperti ini dilakukan oleh Pemerintah dengan mengeluarkan
dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Untuk memperbaiki
struktur permodalan dan meningkatkan kapasitas usaha Badan Usaha Milik
Negara dan Perseroan Terbatas, Pemerintah dapat pula melakukan penambahan
penyertaan modal Negara ke dalam Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan
Terbatas tersebut yang dananya dapat berasal dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara.
Kata kunci : Penyertaan modal negara/daerah
Abstract
In order achieve common prosperity through business entities, the Government makes
to establish the Investment of the State-Owned Enterprises. Furthermore, to save the
national economy, the Government may also undertake equity participation in the State
Limited Liability Company in which shares are not owned by the State. State equity
participation as is done by the Government to release funds from the State Budget.
To improve its capital structure and enhance the business capacity of State Owned
Enterprises and Company Limited, Government may also undertake additional equity
into the State-Owned Enterprises and Limited Liability Company with funds to come
from the State Budget.
Keywords: Equity countries / regions
*
Tenaga Fungsional Perancang Peraturan Perundang-undangan Direktorat Jenderal Peraturan
Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia.
621
Vol. 9 No. 4 - Desember 2012
A.
Pendahuluan
Peraturan Perundang-undangan sebagai peraturan tertulis yang
memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau
ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui
prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan, 1
dimaksudkan untuk menjamin kepastian dan keadilan hukum serta
untuk mewujudkan kesejahteraan sosial.
Pendiri Negara Republik Indonesia secara jelas menginginkan
Negara Republik Indonesia yang akan dibangun adalah “Negara
Kesejahteraan”. Dengan aktualisasi Negara Kesejahteraan diharapkan
Negara dapat mengelola kekayaan bersama untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat, mencegah penguasaan kekayaan bersama oleh
modal perseorangan (baik kapitalis asing maupun lokal) yang
melemahkan sendi ketahanan ekonomi kolektif, mengembangkan
semangat “tolong menolong” koperasi dalam setiap bentuk badan usaha
serta memperkuat badan usaha koperasi bagi emansipasi golongan
ekonomi kecil dan menengah. Negara kesejahteraan juga diharapkan
dapat memberikan kesempatan bagi semua warga Negara untuk
mengembangkan dirinya melalui akses pendidikan bagi semua,
perluasan kesempatan serta jaminan sosial sebagai jaring pengaman
sosial. Dalam sebuah Negara Kesejahteraan, negara bertanggung jawab
dan berperan aktif dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Secara konstitusional Pasal 33 UUD Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 menentukan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha
bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan. Cabang produksi yang
penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak
dikuasai oleh Negara. Perekonomian nasional diselenggarakan
berdasarkan atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan,
efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan,
kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan
kesatuan ekonomi nasional.2 Tujuan akhir kegiatan usaha itu adalah
untuk mencapai kemakmuran bersama dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan sosial masyarakat, yang dapat dilihat dari beberapa aspek
Lihat Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Peundang-undangan.
lihat Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
1
2
622
Aspek Hukum Penyertaan Modal Negara ...
yaitu sumber daya ekonomi sebagai pokok-pokok kemakmuran rakyat,
pelaku ekonomi sebagai subjek usaha kemakmuran bersama, bentukbentuk usaha sebagai wadah pengembangan sumber kemakmuran,
tujuan produksi dan pengelolaan sumber-sumber kemakmuran, dan
tujuan produksi dan pengelolaan sumber kemakmuran.3
Salah satu cabang produksi dimaksud merupakan suatu bentuk
dari BUMN di mana negara dapat mendirikan suatu BUMN atau
melakukan pernyertaan modal negara pada perseroan yang didalamnya
belum terdapat saham milik negara. Norma hukum tersebut secara jelas
dituangkan dalam konstitusi, dan pengaturan mengenai penyertaan
modal negara telah diatur dalam peraturan perundang-undangan, akan
tetapi peraturan pelaksanaan Undang-Undang belum mampu
memberikan jawaban operasional dan teknis untuk melaksanakan
Undang-Undang sebagaimana mestinya.
B.
Resktrukturisasi Badan Usaha Milik Negara
Restrukturisasi adalah upaya yang dilakukan dalam rangka
penyehatan BUMN yang merupakan salah satu langkah strategis untuk
memperbaiki kondisi internal perusahaan guna memperbaiki kinerja
dan meningkatkan nilai perusahaan, yang bertujuan untuk:4
a.
meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan;
b.
memberikan manfaat berupa dividen dan pajak kepada negara;
c.
menghasilkan produk dan layanan dengan harga yang kompetitif
kepada konsumen; dan
d.
memudahkan pelaksanaan privatisasi.
Restrukturisasi meliputi:5
a.
restrukturisasi sektoral yang pelaksanaannya disesuaikan dengan
kebijakan sektor dan/atau ketentuan peraturan perundangundangan;
3
Kilier haryanto, Politik Hukum Dalam Pembaruan Undang-Undang Perseroan Terbatas, (Jakarta:
Indonesia Future Institute, 2007), hlm. 54.
4
Pasal 72 ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara.
5
Ibid, Pasal 73.
623
Vol. 9 No. 4 - Desember 2012
b.
restrukturisasi perusahaan/korporasi yang meliputi:
1)
peningkatan intensitas persaingan usaha, terutama di sektorsektor yang terdapat monopoli, baik yang diregulasi maupun
monopoli alamiah;
2)
penataan hubungan fungsional antara pemerintah selaku
regulator dan BUMN selaku badan usaha, termasuk di
dalamnya penerapan prinsip-prinsip tata kelola perusahaan
yang baik dan menetapkan arah dalam rangka pelaksanaan
kewajiban pelayanan publik.
3)
restrukturisasi internal yang mencakup keuangan,
organisasi/ manajemen, operasional, sistem, dan prosedur.
Restrukturisasi sektoral terutama ditujukan kepada sektor-sektor
yang mendapat proteksi di masa lalu atau terdapat monopoli alamiah.
Restrukturisasi sektoral dimaksudkan untuk menciptakan iklim usaha
yang sehat, sehingga terjadi kompetisi yang sehat, efisiensi, dan
pelayanan yang optimal. Restrukturisasi industri tersebut berkaitan
dengan pengaturan usaha (regulasi). Pembenahan dan penataan regulasi
dilaksanakan bersama-sama dengan kementerian terkait.
Restrukturisasi sektor dapat dilaksanakan melalui cara-cara
berikut: memisahkan segmen-segmen dalam sektor untuk mengurangi
integrasi vertikal sektor, peningkatan kompetisi, introduksi persaingan
dari industri substitusi, pemasok lain dalam sektor yang sama, dan
peningkatan persaingan pasar, serta demonopolisasi melalui regulasi.6
Untuk perusahaan-perusahaan yang memiliki kewajiban
pelayanan publik, perusahaan-perusahaan ini masih dalam proses
restrukturisasi. Dengan tidak mengabaikan kepentingan publik,
perusahaan akan menerapkan prinsip-prinsip usaha untuk lebih
meningkatkan efisiensi dan produktivitas perusahaan. Upaya ini untuk
memperjelas berapa tingkat subsidi pemerintah terhadap biaya
pelayanan masyarakat tersebut.
Penyertaan modal Negara adalah pemisahan kekayaan Negara dari
Anggaran Pendapatan Belanja Negara, penetapan cadangan perusahaan,
atau sumber lain untuk dijadikan sebagai modal badan usaha milik
negara dan/atau Perseroan Terbatas lainnya, dan dikelola secara
6
Ibid, Penjelasan Pasal 73.
624
Aspek Hukum Penyertaan Modal Negara ...
korporasi, dalam hal pemberian penyertaan modal negara/daerah
terdapat beberapa kondisi yang melatarbelakanginya, di antaranya
antara lain:
1.
2.
3.
BUMN Sakit
a.
penyelamatan BUMN yang memerlukan tambahan dana
tunai;
b.
perbaikan struktur permodalan melalui perbaikan neraca,
tidak selalu pemberian dana tunai dapat dengan konversi
piutang negara;
BUMN Sehat
a.
meningkatkan kapasitas usaha; dan
b.
ekspansi.
Rightsizing
a.
pengurangan jumlah BUMN untuk digrouping dengan usaha
sejenis dalam rangka meningkatkan permodalan (leverage);
b.
BUMN yang kondisinya membutuhkan modal banyak, namun
bidang usahanya dapat dilakukan oleh privat dapat dilakukan
melalui mekanisme merger/akuisisi.
Adapun penyertaan modal Negara ke dalam BUMN dan Perseroan Terbatas
bersumber dari:7
1.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
a.
dana segar, yaitu dana yang secara langsung ditetapkan dalam
APBN;
b.
proyek-proyek yang dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara, yaitu proyek yang dikelola oleh BUMN maupun
instansi Pemerintah. Penetapan proyek tersebut menjadi
Penyertaan Modal Negara harus dilakukan dengan
memperhatikan kebutuhan BUMN dan hasil kajian, yang
nilainya ditetapkan oleh Menteri Keuangan berdasarkan hasil
perhitungan yang dilakukan oleh Menteri Keuangan, Menteri
dan Menteri Teknis yang bersangkutan. Dalam rangka
perhitungan atas nilai aset eks proyek tersebut, Menteri
7
Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 44 tahun 2005 Tentang Tata Cara Penyertaan dan
Penatausahaan Modal Negara pada Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas.
625
Vol. 9 No. 4 - Desember 2012
Keuangan dapat menunjuk penilai independen untuk
melakukan penilaian dimaksud yang biayanya dibebankan
kepada BUMN yang bersangkutan tanpa mengurangi nilai
aset;
c.
piutang negara pada BUMN atau Perseroan Terbatas; dan/atau
d.
aset-aset negara lainnya8 yaitu apabila aset negara lainnya
yang akan dijadikan Penyertaan Modal Negara belum
direncanakan dalam APBN, maka pelaksanaannya harus
mengikuti mekanisme APBN. Yang dimaksud dengan
mekanisme APBN dalam hal ini adalah pencatatan nilai aset
dimaksud dalam APBN sebagai penerimaan dan sekaligus
dikeluarkan sebagai Penyertaan Modal Negara.
2.
Kapitalisasi Cadangan; dan/atau
3.
Sumber Lainnya yaitu keuntungan revaluasi aset (selisih
revaluasi aset yang berakibat naiknya nilai aset) dan agio Saham
(selisih lebih dari penjualan saham dengan nilai Nominalnya)9
Penyertaan modal Pemerintah Pusat/Daerah atas barang milik negara/
daerah dapat berupa:10
a.
tanah dan/atau bangunan yang telah diserahkan kepada pengelola
barang untuk barang milik negara dan gubernur/bupati/walikota
untuk barang milik daerah;
b.
tanah dan/atau bangunan yang dari awal pengadaaannya
direncanakan untuk disertakan sebagai modal pemerintah pusat/
daerah sesuai yang tercantum dalam dokumen penganggaran;
c.
barang milik negara/daerah selain tanah dan/atau bangunan,
meliputi:
1.
barang milik negara/daerah selain tanah dan/atau bangunan
yang dari awal pengadaannya untuk disertakan sebagai modal
pemerintah;
2.
barang milik negara/daerah selain tanah dan/atau bangunan
yang lebih optimal untuk disertakan sebagai modal
pemerintah.
Pasal 2 ayat (2) ibid.
Penjelasan Pasal 2 ayat (3) ibid.
Pasal 63 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/
Daerah.
8
9
10
626
Aspek Hukum Penyertaan Modal Negara ...
Dalam pelaksanaan penyertaan modal negara/daerah masih
terdapat permasalahan yang dihadapi yaitu mengenai batasan atau
kriteria bagi BUMN/BUMD/Badan Hukum lainnya yang dapat diberikan
penyertaan modal negara, apakah semua BUMN/BUMD/Badan Hukum
lainnya dapat diberikan penyertaan modal negara/daerah? Begitu juga
dengan barang milik negara yang akan dijadikan sebagai penyertaan
modal negara yang nilainya lebih dari Rp100.000.000.000,00 (seratus
miliar rupiah), apakah hanya cukup dengan persetujuan DPR dan
dituangkan dalam APBN?
C.
Pengertian Penyertaan Modal Negara
Secara umum penyertaan modal adalah suatu usaha untuk
memiliki perusahaan yang baru atau yang sudah berjalan dengan
melakukan setoran modal ke perusahaan tersebut.
Penyertaan modal negara adalah pemisahan kekayaan negara dari
Anggaran Pendapatan Belanja Negara, penetapan cadangan perusahaan,
atau sumber lain untuk dijadikan sebagai modal badan usaha milik
negara dan/atau Perseroan Terbatas lainnya, dan dikelola secara
korporasi.11
Penyertaan modal Pemerintah Pusat/Daerah adalah pengalihan
kepemilikan Barang Milik Negara/Daerah yang semula merupakan
kekayaan yang tidak dipisahkan menjadi kekayaan yang dipisahkan
untuk diperhitungkan sebagai modal/saham negara atau Daerah pada
badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan
hukum lainnya yang dimiliki negara.12
Penyertaan Modal adalah bentuk Investasi Pemerintah pada Badan
Usaha dengan mendapat hak kepemilikan, termasuk pendirian
Perseroan Terbatas dan/atau pengambilalihan Perseroan Terbatas.13
11
Pasal 1 angka 7 Peraturan Pemerintah Nomor 44 tahun 2005 Tentang Tata Cara Penyertaan dan
Penatausahaan Modal Negara pada Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas.
12
Pasal 1 angka 19 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Barang Milik
Negara/Daerah.
13
Pasal 1 angka 4 Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Investasi Pemerintah.
627
Vol. 9 No. 4 - Desember 2012
Bank Indonesia hanya dapat melakukan penyertaan modal pada
badan hukum atau badan lainnya yang sangat diperlukan dalam
pelaksanaan tugas Bank Indonesia dan dengan persetujuan DPR.
Penyertaan di luar badan hukum atau badan lain yang sangat diperlukan
tersebut hanya dapat dilakukan apabila telah memperoleh persetujuan
DPR. Dana untuk penyertaan modal tersebut hanya dapat diambil dari
dana cadangan tujuan.14
Undang-Undang mengenai Badan Usaha Milik Negara menyatakan
bahwa Kekayaan Negara yang dipisahkan adalah kekayaan negara yang
berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara untuk dijadikan
penyertaan modal negara pada Persero dan/atau Perum serta perseroan
terbatas lainnya.15
Secara substansi penyertaan modal negara sama dengan
penyertaan modal pemerintah. Istilah penyertaan modal negara yang
terdapat pada Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2005 tentang
Tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada
Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas, sedangkan istilah
penyertaan modal pemerintah/daerah terdapat pada Peraturan
Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Barang Milik Negara/Daerah.
Dalam undang-undang tidak ada pengertian khusus mengenai
Penyertaan Modal Negara dan hanya terdapat dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 44 Tahun 2005 tentang Tentang Tata Cara
Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada Badan Usaha Milik
Negara dan Perseroan Terbatas dan Peraturan Pemerintah Nomor 6
Tahun 2006 tentang Barang Milik Negara/Daerah, dalam UndangUndang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara,
Kekayaan Negara Dipisahkan diterjemahkan sebagai kekayaan negara
yang berasal dari APBN untuk dijadikan penyertaan modal negara pada
Persero dan/atau perum serta Perseroan Terbatas lainnya.
D.
Pengertian BUMN dan BUMD
Badan Usaha Milik Negara yang selanjutnya disebut BUMN, adalah
badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh
negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan
14
15
Pasal 64 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia.
Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara.
628
Aspek Hukum Penyertaan Modal Negara ...
negara yang dipisahkan, 16 yang terdiri dari perusahaan perseroan
(Persero) dan perusahaan umum (Perum). Persero adalah BUMN yang
berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang
seluruh atau paling sedikit 51% (lima puluh satu persen) sahamnya
dimiliki oleh negara yang tujuan utamanya mengejar keuntungan17,
dan Perum adalah BUMN yang seluruh modalnya dimiliki negara dan
tidak terbagi atas saham, yang bertujuan untuk kemanfaatan umum
berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan
sekaligus mengejar keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan
perusahaan.18
Perusahaan Daerah adalah semua perusahaan yang didirikan
berdasarkan Undang-undang yang modal seluruhnya atau sebagiannya
merupakan kekayaan daerah yang dipisahkan, kecuali jika ditentukan
lain dengan atau berdasarkan Undang-Undang.19 Dengan demikian
Badan Usaha Milik Daerah adalah perusahaan yang didirikan dan
dimiliki oleh pemerintah daerah yang modalnya sebagian besar atau
seluruhnya merupakan kekayaan daerah yang dipisahkan.
E.
Tujuan Penyertaan Modal
Tujuan penyertaan modal negara/daerah kepada BUMN/BUMD
adalah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang adil dan
berkesinambungan dalam rangka mewujudkan kesejahteraan umum.
Sehubungan dengan itu, penyertaan modal Negara diberikan kepada
BUMN/BUMD yang dalam jangka panjang dapat:20
1.
memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian
nasional pada umumnya dan penerimaan negara/daerah pada
khususnya;
2.
menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang
dan/atau jasa yang bermutu tinggi bagi pemenuhan hajat hidup
orang banyak;
Pasal 1 angka 1 ibid.
Pasal 1 angka 2 ibid.
18
Pasal 1 angka 4 ibid.
19
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 Tentang Perusahaan Deerah.
20
AA Oka mahendra, Penyertaan Modal Negara/Daerah, (ringkasan makalah yang disampaikan dalam
pendalaman materi Direktorat Harmonisai Peraturan Perundang-undangan), ditulis 30 Juli 2012.
16
17
629
Vol. 9 No. 4 - Desember 2012
3.
menjadi perintis kegiatan-kegiatan usaha yang belum dapat
dilaksanakan oleh sektor swasta dan koperasi;
4.
turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha
golongan ekonomi lemah, koperasi, dan masyarakat.
Adapun dalam pelaksanaan penyertaan modal, negara/daerah dapat
melakukan penyertaan modal untuk: 21
1.
Pendirian BUMN/Perseroan Terbatas;
2.
Penyertaan Modal Negara pada Perseroan Terbatas yang di dalamnya
belum terdapat saham milik negara, yang dilakukan dalam keadaan
tertentu untuk menyelamatkan perekonomian nasional; dan
3.
Penyertaan Modal Negara pada BUMN atau Perseroan Terbatas yang
di dalamnya telah terdapat saham milik negara, dalam rangka:
a.
memperbaiki struktur permodalan BUMN/Perseroan
Terbatas;
b.
meningkatkan kapasitas usaha BUMN/ Perseroan Terbatas.22
Penyertaan modal negara tersebut dilakukan
memperhatikan kemampuan keuangan Negara.23
F.
dengan
Prosedur Penyertaan Modal
Penyertaan Modal Negara untuk pendirian BUMN atau Perseroan
Terbatas dan pada Perseroan Terbatas yang di dalamnya belum terdapat
saham milik negara diusulkan oleh Menteri Keuangan kepada Presiden
disertai dengan dasar pertimbangan setelah dikaji bersama dengan
Menteri dan Menteri Teknis yang dikoordinasikan oleh Menteri
Keuangan.24
Rencana Penyertaan Modal Negara tersebut dapat dilakukan atas
inisiatif Menteri Keuangan, Menteri, atau Menteri Teknis.25 Pengkajian
Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 44 tahun 2005 Tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan
Modal Negara pada Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas.
22
Pasal 7 ibid.
23
Pasal 8 ibid.
24
Pasal 10 ayat (1) PP 44/2005 Tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada
Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas.
25
Pasal 10 ayat (2) ibid.
21
630
Aspek Hukum Penyertaan Modal Negara ...
dapat pula mengikutsertakan menteri lain dan/atau pimpinan instansi
lain yang dianggap perlu atau menggunakan konsultan independen.
Keterlibatan menteri lain dan/atau pimpinan instansi lain tergantung
pada kompleksitas aset yang akan dijadikan sebagai penyertaan dan
penambahan penyertaan modal Negara serta keterkaitannya dengan
kebijakan sektoral yang menjadi kewenangan menteri lain dan/atau
pimpinan instansi lain tersebut.
Apabila hasil pengkajian menyatakan rencana penyertaan modal
negara tersebut layak dilakukan, maka Menteri Keuangan
menyampaikan usul penyertaan modal negara dimaksud kepada
Presiden untuk mendapatkan persetujuan.26 Usul Penyertaan Modal
Negara dalam rangka pendirian BUMN dan Penyertaan pada Perseroan
Terbatas yang di dalamnya belum terdapat saham milik negara,
disampaikan oleh Menteri Keuangan kepada Presiden disertai dengan
dasar pertimbangan, hasil kajian dan rancangan peraturan pemerintah
tentang penyertaan modal negara.
Penyertaan modal negera ke dalam modal saham Perseroan
Terbatas ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah yang memuat
maksud penyertaan dan besarnya kekayaan negara yang dipisahkan
untuk penyertaan modal tersebut. Perubahan penyertaan modal negara,
baik berupa penambahan maupun pengurangan, termasuk perubahan
struktur kepemilikan negara atas saham Persero atau perseroan
terbatas, ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.27 Setiap penyertaan
modal negara ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah secara
tersendiri.
Barang milik negara/daerah yang diperlukan bagi penyelenggaraan
tugas pemerintahan negara/daerah tidak dapat dipindahtangankan.28
Pemindahtanganan barang milik negara/daerah dengan cara dijual,
dipertukarkan, dihibahkan, atau disertakan sebagai modal pemerintah
setelah mendapat persetujuan DPR/DPRD.29 Persetujuan DPR/DPRD
dilakukan untuk:30
26
27
28
29
30
Pasal 11 ibid.
Pasal 4 ayat (4) ibid.
Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara.
Pasal 45 ayat (2) ibid.
Pasal 46 ibid.
631
Vol. 9 No. 4 - Desember 2012
a.
pemindahtanganan tanah dan/atau bangunan.
b.
tanah dan/atau bangunan tidak termasuk tanah dan/atau
bangunan yang:
c.
1)
sudah tidak sesuai dengan tata ruang wilayah atau penataan
kota;
2)
harus dihapuskan karena anggaran untuk bangunan
pengganti sudah disediakan dalam dokumen pelaksanaan
anggaran;
3)
diperuntukkan bagi pegawai negeri;
4)
diperuntukkan bagi kepentingan umum;
5)
dikuasai negara berdasarkan keputusan pengadilan yang telah
memiliki kekuatan hukum tetap dan/atau berdasarkan
ketentuan perundang-undangan, yang tidak layak secara
ekonomis jika status kepemilikannya dipertahankan.
pemindahtanganan barang milik negara bukan tanah dan/atau
bangunan yang bernilai lebih dari Rp100.000.000.000,00 (seratus
miliar rupiah), dan untuk BUMD, pemindahtanganan barang milik
negara bukan tanah dan/atau bangunan yang bernilai lebih dari
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Pemindahtanganan barang milik negara bukan tanah dan/atau
bangunan yang bernilai lebih dari Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar
rupiah) sampai dengan Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah)
dilakukan setelah mendapat persetujuan Presiden. Untuk BUMD,
pemindahtanganan barang milik negara bukan tanah dan/atau
bangunan yang bernilai sampai dengan Rp5.000.000.000,00 (lima miliar
rupiah) dilakukan setelah mendapat persetujuan Gubernur/Bupati/
Walikota. Pemindahtanganan barang milik negara selain tanah dan/
atau bangunan yang bernilai sampai dengan Rp10.000.000.000,00
(sepuluh miliar rupiah) dilakukan setelah mendapat persetujuan Menteri
Keuangan.31
31
Ibid Pasal 46.
632
Aspek Hukum Penyertaan Modal Negara ...
G.
Kriteria Barang Milik Negara yang dapat dijadikan Penyertaan
Modal
Penyertaan modal pemerintah pusat/daerah atas barang milik
negara/daerah dilakukan dalam rangka pendirian, pengembangan, dan
peningkatan kinerja badan usaha milik negara/daerah atau badan
hukum lainnya yang dimiliki negara/daerah, dilakukan dengan
pertimbangan sebagai berikut:32
a.
barang milik negara/daerah yang dari awal pengadaaannya sesuai
dokumen penganggaran diperuntukkan bagi badan usaha milik
negara/daerah atau badan hukum lainnya yang dimiliki negara/
daerah dalam rangka penugasan pemerintah; dan
b.
barang milik negara/daerah yang lebih optimal apabila dikelola
oleh badan usaha milik negara/daerah atau badan hukum lainnya
yang dimiliki negara/daerah baik yang sudah ada maupun yang
akan dibentuk.
Pokok-pokok pengaturan penyertaan modal Negara dalam UndangUndang mengenai Keungan Negara antara lain: 33
a.
Pemerintah dapat memberikan penyertaan modal kepada kepada
perusahaan negara/daerah.
b.
Penyertaan modal dimaksud terlebih dahulu ditetapkan dalam
APBN/APBD.
c.
Dalam keadaan tertentu, untuk penyelamatan perekonomian
nasional, Pemerintah Pusat dapat melakukan penyertaan modal
kepada perusahaan swasta setelah mendat persetujuan DPR.
H.
Penutup
Penyertaan modal negara/daerah kepada BUMN/BUMD/Badan
Hukum lainnya secara umum dipandang sebagai peran aktif negara
dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat sesuai dengan prinsip Negara
32
Pasal 62 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/
Daerah.
33
Pasal 24 ayat (1), ayat (2) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara.
633
Vol. 9 No. 4 - Desember 2012
Kesejahteraan. Penyertaan modal diarahkan untuk menguasai cabang
produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang
banyak, serta mengelola bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung
di dalamnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Berdasarkan
uraian di atas dapat disimpulkan beberapa hal yang menjadi inti sari
dari pembahasan pokok masalah, yaitu:
1.
Batasan atau kriteria suatu BUMN dapat diberikan penyertaan
modal Negara dilihat dari aspek manajemen dan prospek ekonomi
yang lazim berlaku pada penyertaan modal. Pada umumnya batasan
tersebut menyangkut laporan keuangan yang baik, kinerja yang
baik, pelaksanakan good corporate governance yang intinya
berorientasi pada pelayanan kepada stake holder, bukan sekedar
kepada pemegang saham dan pemenuhan kebutuhan jangka
panjang di bidang sosial dan ekonomi, maksimal penciptaan nilai
perusahaan sebagai entitas ekonomi dan entitas sosial dan prospek
usaha yang cukup baik atau diperlukan karena penting bagi negara
dan/atau memenuhi hajat hidup orang banyak. Penyertaan modal
negara/daerah harus dilakukan dengan perencanaan dan
pengkajian yang mendalam agar kekayaan Negara/daerah yang
dipisahkan tersebut memberikan manfaat sosial dan ekonomi
untuk mewujudkan kesejahteran umum.
2.
Barang milik Negara yang dijadikan penyertaan modal negara yang
nilainya lebih dari Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah)
harus melalui persetujuan DPR yang kemudian dituangkan dalam
APBN dan selain itu terdapat kriteria ekonomi yang dijadikan
pertimbangan. Namun demikian mengingat yang akan dijadikan
penyertaan modal tersebut menyangkut kekayaan negara yang
akan dipisahkan, maka sesuai dengan prinsip demokrasi ekonomi,
maka persetujuan DPR menjadi salah satu syarat yang harus
dipenuhi. Dalam memberikan persetujuan atau tidak DPR tentunya
terlebih dahulu melakukan penilaian yuridis dan politis serta
melakukan verifikasi tentang pemenuhan persyaratan formal dan
material untuk penyertaan barang milik negara yang bernilai di
atas Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah) kepada BUMN.
Dokumen persetujuan dari DPR merupakan syarat penting sebagai
bukti bahwa rakyat melalui wakilnya di DPR telah memberikan
persetujuan dan telah melakukan fungsi kontrolnya terhadap
penggunaan kekayaan Negara untuk kemakmuran rakyat. Pasal
24 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 menentukan
634
Aspek Hukum Penyertaan Modal Negara ...
Penyertaan Modal Negara kepada BUMN terlebih dahulu ditetapkan
dalam APBN. Penetapan dalam APBN ini berkenaan dengan fungsi
Anggaran sebagai instrument kebijakan ekonomi yaitu untuk
mewujudkan pertumbuhan dan stabilitas perekonomian serta
pemerataan pendapatan dalam rangka mencapai tujuan bernegara.
635
Vol. 9 No. 4 - Desember 2012
Daftar Pustaka
Haryanto, Kilier, Politik Hukum Dalam Pembaruan Undang-Undang
Perseroan Terbatas, Jakarta: Indonesia Future Institute, 2007.
Mahendra, Oka, AA, Penyertaan Modal Negara/Daerah, (ringkasan
makalah yang disampaikan dalam pendalam materi direktorat
harmonisai peraturan perundang-undangan), ditulis 30 Juli 2012.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara.
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Badan Usaha Milik
Negara.
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas.
Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2005 tentang Tata Cara
Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada Badan Usaha
Milik Negara dan Perseroan Terbatas.
Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang
Milik Negara/Daerah.
Peraturan Perintah Nomor 1 tahun 2008 tentang Investasi Pemerintah.
636
PERANAN APARAT PENEGAK HUKUM DALAM PELANGGULANGAN
TERORISME DI INDONESIA
(THE ROLE OF LAW ENFORCERS IN DEALING WITH TERRORISM
IN INDONESIA)
Wahyu Wiriadinata*
(Naskah diterima 16/11/2012, disetujui 23/11/2012)
Abstrak
Saat ini, terorisme gerakan di Indonesia semakin meningkat, baik frekuensi
maupun percepatan. Sudah ada undang-undang yang megatur pemberantasan
kejahatan terorisme, yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003. Hukum ini
telah berlaku sejak tahun 2003 dan dilaksanakan oleh penegak hukum Indonesia, khususnya Kepolisian Indonesia. Karena beberapa kendala psikologis
dan teknik yuridis, penanganan kejahatan terorisme belum berhasil secara
optimal. Secara umum, peran penegak hukum belum efektif dan optimal dalam
mencegah terorisme di Indonesia, karena gerakan terorisme tidak hanya gerakan
lokal tetapi juga jaringan internasional dengan menggunakan teknologi tinggi,
dan gerakan terorisme di Indonesia didasarkan pada ideologi fundamental,
yaitu Islam, sehingga tidak bisa didekati oleh paradigma represif dan
pendekatan yuridis, melainkan harus dilengkapi dengan pendekatan psikologis
dan sosiologis-religius.
Kata kunci: Terorisme, Aparat penegak hukum
Abstract
Currently, terrorism movement in Indonesia is increasing, both in frequency and in
acceleration. There is already a legislation that provides for the eradication of terrorism crime, i.e. Law Number 15 of 2003. The Law has been in effect since 2003 and
implemented by Indonesia law enforcers, particularly Indonesia Police. Due to some
psychological constraints and juridical techniques, the handling of terrorism crimes
has not been successful optimally. In general, the role of law enforcers has not been
effective and optimal yet in preventing terrorism in Indonesia, because terrorism movements are not only local movements but also international networks by employing
high technology, and terrorism movement in Indonesia is based on a fundamental
ideology, that is, Islam, so that it couldn’t be approached by a repressive paradigm
and juridical approach, but rather it should be supplemented by a psychological and
sociological-religious approach.
Keywords: Terrorism, Law enforcers
*
Jaksa pada Kejaksaan Agung Republik Indonesia dan Dosen Pascasarjana Universitas padjajaran.
637
Vol. 9 No. 4 - Desember 2012
A.
Pendahuluan
Eksistensi teror dan terorisme di Indonesia diawali oleh suatu
nuansa yang terbangun ketika penjajah Belanda yang membonceng
tentara sekutu mendarat di Indonesia pada Perang Dunia II menyebut
para pejuang kemerdekaan Indonesia dengan sebutan teroris atau
extrimis.3 Sejak itu istilah teroris diberikan kepada sekelompok orang
atau suatu komunitas yang melakukan perlawanan dan perjuangan
dengan cara kekerasan phisik, khususnya dengan senjata.
Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan sebagai
negara merdeka yang berdaulat, istilah teroris tetap digunakan bagi
kelompok atau komunitas bersenjata yang melakukan perlawanan
bersenjata.
Setiap gerakan bersenjata yang menimbulkan korban jiwa, oleh
pemerintah Indonesia disebut sebagai teroris. Ketika terjadi peristiwa
APRA (Angkatan Perang Ratu Adil) di Bandung pada 23 Januari 1950)
yang dipimpin oleh Kapten Raymond Westerling, pemerintah Indonesia
menyebut peristiwa itu sebagai teror yang dilakukan oleh Belanda.
Sebelumnyapun, pada Desember 1946, Kapten Raymond Westerling
memimpin pembantaian 40.000 rakyat Sulawesi Selatan, dan peristiwa
ini dinamakan teror di Sulawesi Selatan. Tindakan teroris dilakukan
juga di provinsi Maluku oleh Republik Maluku Selatan (RMS) tahun 1960an, juga gerakan teror oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM) di wilayah
Irian yang dimulai sejak tahun 1960, gerakan PGRS/Paraku (Pasukan
Gerilya Revolusioner Serawak/Pasukan Rakyat Kalimantan Utara) yang
melakukan penyerangan pada pangkalan udara Singkawang pada 16
Juli 1957. Begitu juga tahun 1981 di Lampung Kasus Teror Warman
(KTW) yang merupakan sempalan dari D.I./T.I.I dan yang paling mutakhir
adalah teroris Jamaah Islamiyah dengan tokohnya Dr. Azhari dan Nurdin
M. Top (Warga Negara Malaysia) serta Dulmatin dan Umar Patek, serta
Amrozi, Muklas dan Imam Samudra yang merupakan para aktor
intelektual kasus Bom Bali tahun 2001.
Ketentuan mengenai tindak pidana terorisme di Indonesia diatur
dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003. Falsafah yang terkandung
dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme adalah
bahwa terorisme merupakan musuh umat manusia dan kejahatan
terhadap peradaban. Tujuan Undang-Undang Pemberantasan Tindak
Di Indonesia Ekstrimis mengandung pengertian suatu tindakan atau sikap yang keras/radikal
bertentangan dan berlawanan derngan kebijakan politik pemerintah.
3
638
Peranan Aparat Penegak Hukum dalam ...
Pidana Terorisme adalah perlindungan masyarakat, dan mengandung
paradigma tritunggal, yaitu melindungi wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia, Hak Asasi Manusia, dan Perlindungan Hak Asasi
Tersangka.
Dalam Pasal 6 dan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003
dirumuskan mengenai definisi dari tindak pidana terorisme.
Pasal 6 :
“Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau
ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut
terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang
bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau
hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan
kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital strategis
atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas
internasional, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur
hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan
paling lama 20 (dua puluh) tahun.”
Pasal 7 :
“Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau
ancaman kekerasan bermaksud untuk menimbulkan suasana
teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau
menimbulkan korban yang bersifat massal dengan cara merampas
kemerdekaan atau hilangnya nyawa atau harta benda orang lain,
atau untuk menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap
objek-objek vital yang strategis, atau lingkungan hidup, atau
fasilitas publik, atau fasilitas internasional, dipidana dengan
pidana penjara paling lama seumur hidup.”
Pasal 6 merupakan delik materil sehingga harus dibuktikan akibat
dari perbuatan berupa munculnya suasana teror atau rasa takut yang
meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, sedangkan
Pasal 7 merupakan delik formil sehingga yang harus dibuktikan adalah
adanya maksud untuk menimbulkan suasana teror atau rasa takut yang
meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, walaupun
ancaman kekerasan atau kekerasannya belum dilakukan.
Bila dilihat dari akibatnya rumusan Pasal 6 dan Pasal 7, meliputi
dua macam tindak pidana yaitu:
1.
Menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang
menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara
639
Vol. 9 No. 4 - Desember 2012
meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan
cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta
benda orang lain.
Rumusan tindak pidana ini menitikberatkan pada munculnya
akibat, yaitu suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara
meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal dan cara
yang digunakan yaitu : merampas kemerdekaan atau hilangnya
nyawa dan harta benda orang lain (dalam Pasal 7 harus dibuktikan
maksud untuk mencapai akibat tersebut). Yang perlu diperjelas
dari rumusan ini adalah apa yang dimaksud dengan suasana teror
? Kalau yang dimaksud adalah ketakutan atau korban secara masal,
seharusnya “suasana teror” tidak dimasukkan lagi karena bisa
ditafsirkan secara sepihak.
2.
Menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang
mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek
vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau
fasilitas internasional.
Rumusan ini dapat ditafsirkan menjadi tindakan sendiri karena
sama-sama merupakan akibat yang ditimbulkan seperti ketakutan
dan korban massal sehingga kedudukannya sejajar dalam struktur
kalimat, dan tidak bisa disejajarkan dengan unsur “dengan cara”.
Hal ini sangat berbahaya karena mengandung ketidakjelasan
tentang perbuatan kekerasan apa sebagai caranya, serta apa yang
dimaksud dengan objek vital strategis, lingkungan hidup, fasilitas
publik, dan fasilitas internasional.
Akan tetapi setelah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2003, kasus-kasus terorisme masih terus berjalan dengan
intensitas yang makin tinggi. Kejadian terorisme dimulai dengan
peristiwa pemboman Hotel Marriot Jakarta tahun 2003, kemudian
pemboman kedutaan Australia. Pada dekade terakhir intensitas kegiatan
teroris makin meninggi (Cirebon, Majalengka, Bekasi dan Poso) maupun
di pusat pemerintahan Jakarta.
Kegiatan terorisme di Indonesia mempunyai berbagai segi yang
menarik untuk dikaji. Segi politik, agama, sosial budaya dan hukum.
Dalam tulisan ini akan dikaji masalah terorisme dipandang dari sudut
hukum serta cara penanggulangannya.
B.
Pengertian dan Ciri-ciri Terorisme
Kata “teroris” (pelaku) dan terorisme (aksi) berasal dari kata latin
640
Peranan Aparat Penegak Hukum dalam ...
“terrere” yang artinya kurang lebih berarti membuat gemetar atau
menggetarkan.4 Kata “Teror” juga bisa menimbulkan kengerian, dalam
arti kengerian di hati dan pikiran korbannya. Akan tetapi, hingga kini
tidak ada definisi terorisme yang bisa diterima secara universal. Pada
dasarnya, istilah “terorisme” merupakan sebuah konsep yang memiliki
konotasi yang sangat sensitif karena terorisme menyebabkan kematian
dan kesengsaraan terhadap orang-orang yang tidak berdosa.
Pengertian terorisme masih menjadi perdebatan meskipun sudah
ada rumusan dari para ahli, dan rumusan dalam peraturan perundangundangan. Ketidak seragaman pengertian hukum internasional
mengenai terorisme tidak berarti meniadakan sifat jahat perbuatan itu
dan dengan demikian lantas bisa diartikan bahwa pelaku terorisme bebas
dari tuntutan hukum.
Pengertian dan batasan terorisme secara yuridis menurut hukum
Indonesia adalah sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 6 dan 7 Undangundang Nomor 15 Tahun 2003 yang telah disebut di atas.
Ciri terorisme dapat ditinjau dari:
Pertama, karakteristik organisasi yang meliputi: organisasi,
rekrutmen, pendanaan dan hubungan internasional dan karakteristik
operasi yang meliputi: perencanaan, waktu, taktik dan kolusi.
Kedua, karakteristik perilaku yang meliputi: motivasi, dedikasi,
disiplin, keinginan membunuh dan keinginan menyerah hidup-hidup,
dan karakteristik di bidang teknologi, persenjataan, perlengkapan dan
transportasi.
Teroris sebagai organisasi dalam konteks pandangan barat adalah
misalnya organisasi seperti PLO (People Liberty Organization), HAMAS,
Gerakan Intifada (di Timur Tengah khususnya Palestina), IRA (Irlandia
Republic Army)- atau Komando Jihad dan KNN KW 9 di Indonesia.
Sedangkan teroris dalam arti individual dan merupakan kegiatan
kriminal murni adalah merupakan terorisme bukan dalam bentuk
organisasi.
C.
Bentuk-bentuk Terorisme
Ada beberapa bentuk terorisme yang dikenal yaitu antara lain teror
kriminal, dan teror politik. Teror kriminal biasanya dilakukan hanya
Abdul Wahid, dan kawan-kawan, Kejahatan Terorisme, Refika Aditama, Malang, Oktober 2003,
hlm. 22.
4
641
Vol. 9 No. 4 - Desember 2012
untuk kepentingan pribadi atau memperkaya diri sendiri. Teroris
kriminal bisa menggunakan cara pemerasan dan intimidasi. Di lain
pihak, teror politik tidak memilih-milih korban. Teroris politik selalu
siap melakukan pembunuhan terhadap orang-orang sipil. Terorisme
politis memiliki karakteristik: merupakan intimidasi koersif, memakai
pembunuhan dan destruksi secara sistematis sebagai sarana untuk
tujuan tertentu; korban bukan tujuan, melainkan sarana untuk
menciptakan perang urat syaraf, yakni “bunuh satu orang untuk
menakuti seribu orang”; target aksi teror dipilih, bekerja secara rahasia,
namun tujuannya adalah publisitas; pesan aksi itu cukup jelas, meski
pelaku tidak selalu menyatakan diri secara personal; para pelaku
kebanyakan dimotivasi oleh idealisme yang cukup keras, misalnya
“berjuang demi agama dan kemanusiaan”.
Dengan demikian, teror adalah suatu kesatuan aksi tak langsung
dan terarah untuk mencapai hasil politik tertentu melalui dampak yang
ditimbulkannya. Dari kacamata strategi politik, teror merupakan aksi
sekunder dan bukan yang utama. Artinya, teror jarang sekali merupakan
aksi atau tujuan utamanya atau aksi yang berdiri sendiri.5
Kalau dilihat dari sejarahnya, tipologi terorisme terdiri dari
beberapa bentuk yaitu : Bentuk pertama, pembunuhan politik terhadap
pejabat pemerintah (sebelum Perang Dunia II). Bentuk yang Kedua,
terorisme dimulai di Al-jazair di tahun lima puluhan, yang
mempopulerkan “serangan yang bersifat acak” terhadap masyarakat sipil
yang tidak berdosa. Hal ini untuk melawan apa yang mereka sebut
sebagai “terorisme negara”. Menurut mereka pembunuhan dengan
tujuan untuk mendapatkan keadilan bukanlah soal yang harus
dirisaukan, bahkan sasaran mereka adalah yang tidak berdosa.
Bentuk ketiga terorisme muncul pada tahun enam puluhan dan
terkenal dengan istilah “terorisme media”, berupa serangan acak atau
random terhadap siapa saja dengan tujuan publisitas.
D.
Terorisme Menurut Pandangan Agama Islam
Azyumardi Azra, Rektor Universitas Islam Negeri Jakarta
mengatakan bahwa terorisme sebagai kekerasan politik sepenuhnya
bertentangan dengan etos kemanusiaan agama Islam. Islam
mengajarkan etos kemanusiaan yang sangat menekankan
5
Forum Keadilan, 3 November 200, hlm. 18.
642
Peranan Aparat Penegak Hukum dalam ...
kemanusiaan universal. “Islam menganjurkan umatnya untuk berjuang
mewujudkan perdamaian, keadilan, dan kehormatan, akan tetapi,
perjuangan itu haruslah tidak dilakukan dengan cara-cara kekerasan
atau terorisme. Setiap perjuangan untuk keadilan harus dimulai dengan
premis bahwa keadilan adalah konsep universal yang harus
diperjuangkan dan dibela setiap manusia. Islam memang menganjurkan
dan memberi justifikasi kepada muslim untuk berjuang, berperang (harb),
dan menggunakan kekerasan (qital) terhadap para penindas, musuhmusuh Islam, dan pihak luar yang menunjukkan sikap bermusuhan
atau tidak mau hidup berdampingan secara damai dengan Islam dan
kaum muslimin.6
Islam sebagai agama yang Rahmatan lil alamin, jelas menolak dan
melarang penggunaan kekerasan demi untuk mencapai tujuan-tujuan
(al-ghoyat), termasuk tujuan yang baik sekalipun. Sebuah kaidah Ushul
dalam Islam menegaskan al-ghayah la tubarrir al wasilah (tujuan tidak
bisa menghalalkan segala cara). Islam menegaskan bahwa pembasmian
suatu jenis kemungkinan tidak boleh dilakukan dengan kemungkinan
pula. Tidak ada alasan etik dan moral yang bisa membenarkan suatu
tindakan kekerasan. Dengan demikian kalau ada tindakan-tindakan
teror yang dilakukan oleh kelompok Islam tertentu, maka alasannya
pasti bukan karena ajaran etik moral Islam, melainkan agenda lain
yang tersembunyi di balik tempurung tindakan tersebut.7
E.
Perundang-undangan Terorisme Indonesia
Jauh sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003,
Indonesia telah mempunyai perangkat perundang-undangan sebagai alat
pencegahnya dan penindakannya. Sejak tahun 1963 berlaku undangundang no. 11/PNPS/1964 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi.
Menurut undang-undang ini, perbuatan teror bisa dijerat dengan
undang-undang Subversi. Adapun rumusan yang dapat menjerat dari
tindakan terorisme tersebut diatur dalam: pasal 1 (1):
-
6
7
Barang siapa melakukan perbuatan, dengan maksud atau nyatanyata dengan maksud atau yang diktehauinya atau patut
diketahuinya dapat : menggulingkan, merusak atau merongrong
kekuasaan negara atau kewibawaan pemerintah yang sah atau
Kompas, 2 November 2001, hlm. 10.
Duta Masyarakat, 22 September 2002, hlm. 6.
643
Vol. 9 No. 4 - Desember 2012
mengacaukan bagi industri, produksi distribusi, perdagangan,
koperasi atau pengangkutan.
-
Pasal XIX ayat (1) 5 : Barang siapa melakukan sabotase.
Undang-undang ini pada masa orde lama dan orde baru selalu
digunakan untuk menjerat terorisme yang dapat dikategorikan sebagai
kegiatan subversi, yang nota bene pelaku-pelakunya mayoritas adalah
orang-orang dari organisasi Islam, baik dalam skala perorangan maupun
kelompok-oraganisasi jamaah. Sejak awal diundangkannya, undangundang subversi sudah mendapat penolakan yang luas khususnya dari
organisasi-organisasi islam, juga para aktivis Hak Asasi Manusia serta
para pengacara/advokat, karena rumusan pasal-pasal pidananya bersifat
karet-elastis. Rumusan pasal-pasal pidananya dapat menjerat perbuatan
apa saja dan siapa saja, sehingga sepanjang masa berlakunya undangundang subversi, baik di era orde lama dan orde baru dituntut untuk
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Barulah pada era reformasi, di
jaman presiden Megawati Soekarnoputri, undang-undang tentang
subversi ini dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi.8
Sejak itu terhadap tindakan terorisme tidak ada payung hukum,
tidak ada hukum yang khusus yang mengaturnya, walaupun terorisme
secara terbatas bisa dijerat dengan pasal-pasal dalam Kitab Undangundang Hukum Pidana (KUHP). Akan tetapi di dalam KUHP sanksi
pidananya begitu rendah dan tidak mempunyai daya tangkal yang kuat.
Pada tahun 2003 dikeluarkan undang-undang yang mengatur
tentang terorisme, yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003. Dalam
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 dinyatakan bahwa terorisme
merupakan kejahatan lintas negara, terorganisasi, dan mempunyai
jaringan luas sehingga mengancam perdamaian dan keamanan nasional
maupun internasional. Terorisme merupakan kejahatan terhadap
kemanausiaan dan peradaban serta merupakan salah satu ancaman
serius terhadap kedaulatan setiap negara karena terorisme sudah
merupakan kejahatan yang bersifat internasional yang menimbulkan
bahaya terhadap keamanan, perdamaian dunia serta merugikan
kesejahateraan masyarakat sehingga perlu dilakukan pemberantasan
secara berencana dan berkesinambungan.
Komitmen masyarakat internasional dalam mencegah dan
memberantas terorisme sudah diwujudkan dalam berbagai konvensi
Mien Rukmini, “Perlindungan Ham, Melalui Asas Praduga Tak Bersalah Dan Asas Persamaan
Kedudukan Dalam Hukum Pada Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Alumni, Bandung, 2003, hlm. 32.
8
644
Peranan Aparat Penegak Hukum dalam ...
internasional yang menegaskan bahwa terorisme merupakan kejahatan
yang mengancam perdamaian dan keamanan umat manusia sehingga
seluruh anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa, termasuk Indonesia, wajib
mendukung dan melaksanakan resolusi Dewan Keamanan Perserikatan
Bangsa-Bangsa yang mengutuk dan menyerukan seluruh anggota
Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk mencegah dan memberantas
terorisme melalui pembentukan peraturan perundang-undangan
nasional negaranya.
Pemberantasan tindak pidana terorisme di Indonesia merupakan
kebijakan dan langkah antisipatif yang bersifat proaktif yang dilandaskan
kepada kehati-hatian dan bersifat jangka panjang karena:
Pertama, masyarakat Indonesia adalah masyarakat multi-etnik
dengan beragam dan mendiami ratusan ribu pulau-pulau yang tersebar
di seluruh wilayah nusantara serta ada yang letaknya berbatasan dengan
Negara lain.
Kedua, dengan karakteristik masyarakat Indonesia tersebut
seluruh komponen bangsa Indonesia berkewajiban memelihara dan
meningkatkan kewaspadaan menghadapi segala bentuk kegiatan yang
merupakan tidak pidana terorisme yang bersifat internasional.
Ketiga, konflik-konflik yang terjadi sangat merugikan kehidupan
berbangsa dan bernegara serta merupakan kemunduran peradaban dan
dapat dijadikan tempat yang subur berkembangnya tindak pidana
terorisme yang bersifat internasional baik yang dilakukan oleh warga
Negara Indonesia maupun yang dilakukan oleh orang asing.
Terorisme yang bersifat internasional merupakan kejahatan yang
terorganisasi, sehingga pemerintah dan bangsa Indonesia wajib
meningkatkan kewaspadaan dan bekerja sama memelihara keutuhan
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pemberantasan tindak pidana terorisme di Indonesia tidak sematamata merupakan masalah hukum dan penegakan hukum melainkan
juga merupakan masalah sosial, budaya, ekonomi yang berkaitan erat
dengan masalah ketahanan bangsa sehingga kebijakan dan langkah
pencegahan dan pemberantasannya pun ditujukan untuk memelihara
keseimbanan dalam kewajiban melindugi kedaulantan Negara, hak
asasi korban dan saksi, serta hak asasi tersangka/terdakwa.
Pemberantasan tidak pidana terorisme dengan ketiga tujuan di
atas menunjukkan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang
menjunjung tinggi peradaban umat manusia dan memiliki cita
645
Vol. 9 No. 4 - Desember 2012
perdamaian dan mendambakan kesejahteraan serta memiliki
komitmen yang kuat untuk tetap menjaga keutuhan wilayah Negara
Kesatuan Repubik Indonesia yang berdaulat di tengah-tengah gelombang
pasang surut perdamaian dan keamanan dunia.
Untuk menciptakan suasana tertib dan aman, maka dengan
mengacu pada konvensi internasional dan peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan terorisme, serta untuk memberikan
landasan hukum yang kuat dan kepastian hukum dalam mengatasi
masalah yang mendesak dalam pemberantasan tindak pidana
terosirisme, Presiden Republik Indonesia telah menetapkan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yang ditetapkan menjadi
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003.
F.
Penanggulangan Terorisme di Indonesia
Di atas diuraikan bagaimana usaha-usaha pemerintah Indonesia
melalui jalur hukum dalam usaha memberantas tindak pidana
terorisme. Sejak tahun 1960 hal ini telah dilaksanakan mulai dari
diundangkannya Undang-Undang No. 11/PNPS/1963 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Subversi, kemudian undang-undang
subversi dicabut pasca reformasi karena dinilai terlalu bersifat elastis
serta dinilai melanggar Hak Asasi Manusia. Tahun 2003 diundangkan
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme.
Berdasarkan undang-undang subversi telah banyak kaum
subversif/teroris ditindak oleh pemerintah orde baru Indonesia.
Beberapa contoh yang menonjol antara lain:
-
Kasus komando Jihad tahun 1974-1978 yang merupakan
kelanjutan dari DI/TII pimpinan S.M. Kartosuwiryo yang bertujuan
mendirikan daulah islamiah yang berbasis di Indonesia.
-
Kasus subversi yang melibatkan Imron dan Salman Hafidz pada
tahun 1980 yang melakukan pembajakan pesawat Garuda Airways
di Lapangan Terbang Don Muang, Thailand.
-
Peristiwa Tanjung Priok tahun 1984 yang melibatkan Mayjend H.R.
Darsono, Sekjen Asean, mantan Pangdam Siliwangi.
Sedangkan berdasarkan undang-undang no. 15 tahun 2003
pemerintah orde reformasi telah melakukan refresif terhadap kegiatan
terorisme. Adapun kasus yang menonjol antara lain sebagaimana
disinggung pada awal tulisan ini, yaitu teroris Jamaah Islamiyah dengan
646
Peranan Aparat Penegak Hukum dalam ...
tokohnya Dr. Azhari dan Nurdin M. Top serta Dulmatin dan Umar Patek,
serta Amrozi, Muklas dan Imam Samudra yang merupakan para aktor
intelektual dari kasus Bom Bali tahun 2001. Kasus teroris inipun telah
ditumpas oleh pemerintah RI. Dimana semua tokoh intelektualnya telah
terbunuh baik melalui operasi militer maupun melalui jalur peradilan.
Walaupun kegiatan subversi dan terorisme telah ditindak namun
demikian kenyataannya kegiatan terorisme masih saja terjadi hingga
saat ini di Indonesia.
Adapun peran aparat penegak hukum di dalam pencegahan dan
penindakan terhadap kegiatan terorisme menurut hukum positif di Indonesia, secara regulasi diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1981
tentang Kitab Undang-undang Acara Hukum Pidana (aturan umum), serta
Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme (aturan khusus).
Menurut KUHAP yang mengatur tentang tata cara penanganan
perkara pidana atau yang disebut sebagai proses peradilan dimulai dari
penyelidikan sampai eksekusi. Yang melakukan penyelidikan dan
penyidikan adalah pihak Kepolisian, sedangkan yang melakukan
penuntutan dan eksekusi adalah Jaksa Penuntut Umum. Adapun Hakim
bersama-sama dengan Jaksa Penuntut Umum serta Advokat/Penasehat
Hukum adalah pihak yang melaksanakan proses persidangan di
pengadilan, baik Pengadilan Tingkat I, Pengadilan Banding, Pengadilan
Kasasi maupun Pengadilan Peninjauan Kembali.
Pihak Polisilah selaku penyidik yang mempunyai kewenangan
penyidikan tindak pidana terorisme. Dalam melakukan penyidikannya
Polisi bisa melakukan upaya paksa berupa pemanggilan orang (untuk
dimintakan keterangan), penangkapan, penahanan, penggeledahan,
pensitaan dan pemeriksaan identitas.
Sedangkan Jaksa Penuntut Umum melakukan penuntutan di
samping melakukan eksekusi serta bersama-sama dengan Hakim dan
Advokat bersidang di Pengadilan.
Perangkat hukum yang telah berlaku sejak tahun 2003 untuk
mengatasi dan memberantas terorisme tersebut dalam implementasinya
terutama yang diterapkan oleh aparat penegak hukum khususnya pihak
Kepolisian belum optimal dalam menanggulangi tindak pidana terorisme,
yang dibuktikan dengan makin meningkatnya frekuensi dan akselerasi
kegiatan terorisme di Indonesia.
Ketidakoptimalan penegak hukum di dalam menanggulangi dan
memberantas terorisme disebabkan oleh beberapa hal yaitu antara lain
647
Vol. 9 No. 4 - Desember 2012
faktor psikologis yang melatarbelakangi gerakan teroris di Indonesia
yang mempunyai ideologi Islam, faktor teknis di mana gerakan terorisme
bukan hanya gerakan lokal tapi sudah menjadi gerakan internasional
yang mengglobal dengan cara-cara aksi-aksi terorisme yang canggih
dengan menggunakan teknologi modern yang dilakukan dengan jaringan
internasional yang rapih, hal ini tidak tercover oleh aparat keamanan
dan penegak hukum di Indonesia.
G.
Kesimpulan
Gerakan dan aksi terorisme bukan hanya aktivitas lokal di Indonesia saja, tapi merupakan aktivitas yang mencakup regional bahkan
bersifat jaringan internasional. Gerakan dan aktivitas terorisme di Indonesia, baik perorangan maupun organisasi banyak dilatarbelakangi
oleh suatu ideologi yaitu ideologi Islam, sehingga dalam
penyelesaiannyapun tidak cukup dengan pendekatan yuridis tetapi harus
menyertakan pendekatan sosiologis religius.
Kegiatan dan gerakan terorisme di Indonesia, baik terorisme yang
dilakukan secara perorangan maupun dilakukan dengan terorganisir
dalam bentuk organisasi telah ada peraturan perundang-undangan yang
mengaturnya yang bersifat pencegahan dan penindakan, yaitu UndangUndang Nomor 15 Tahun 2003.
Peraturan perundang-undangan belum mampu menanggulangi
gerakan terorisme di Indonesia secara tuntas, sehingga perlu
reaktualisasi dari paradigma pemberantasan terorisme di Indonesia
yaitu dengan lebih mengedepankan aspek psikologis dibandingkan
dengan mengedepankan pendekatan keamanan dan yuridis.
Terorisme seperti telah diuraikan di atas bukan hanya persoalan
hukum saja tetapi sudah menyangkut persoalan politis, persoalan agama,
persoalan keyakinan dan persoalan aqidah/ideologi. Soal aqidah/
keyakinan untuk melaksanakan agama merupakan hak yang mendasar
bagi semua umat manusia, di Indonesia hal ini dijamin oleh Undangundang Dasar 1945.9 Terhadap persoalan ini karena menyangkut banyak
orang, termasuk di Indonesia jumlah umat Islam merupakan umat Islam terbesar di dunia, maka pendekatannya bukan hanya bersifat
represif yuridis akan tetapi juga pendekatan psikologis religious.
Subhi Mahmassani, Arkan Huquq’l—Insan (Konsep Dasar Hak Asasi Manusia-Studi Perbandingan
dalam Syariat Islam dan Perundang-undangan Modern), Alih Bahasa: Hasanudin, Tintamas Indonesia,
Jakarta, 1993, hlm. 48.
9
648
Peranan Aparat Penegak Hukum dalam ...
Terorisme bukan suatu kegiatan yang sifatnya pribadi orang perorangan
juga bukan bersifat lokal, tetapi sudah merupakan kegiatan lintas negara
atau sudah merupakan gerakan internasional. Oleh sebab itu disarankan
cara penanganannya pun tidak hanya oleh Pemerintah Indonesia saja,
tapi harus dilakukan bersama-sama dengan negara lain yang bersifat
lintas negara, baik dengan negara tetangga maupun negara lain/antar
negara.
Daftar Pustaka
Abdul Qadir Djaelani, Memerangi Terorisme Sama Dengan Menerangi Umat
Islam? Yayasan Pengkajian Islam Madinah Al-Munawarah,
Jakarta, 2002.
Abdul Wahid, dan kawan-kawan, Kejahatan Terorisme, Refika Aditama,
Malang, Oktober 2003.
Abdul Wahid, Sunardi, Muhammad Imam Sidik, Kejahatan Terorisme,
Perspektif Agama, HAM, dan Hukum, PT. Refika Aditama, Bandung,
2004.
Adjie S., Terorisme, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2005.
Combs, Cindy C., Terorisme in the Twenty-First Century, Second Edition,
New Jersey, Prentice Hall, Upper Saddle, River 07458, 1999.
Clive Walker, Blackstone’s Guide to the Anti Terrorism Legislation, Oxford
University Press, 2002.
Cronin, Audrey Kurth, Behind the Curve: Globalization and International
Terrorism, International Security, Vol 27/3, Winter 2002.
Davidson Scott, “Hak Hak Azasi Manusia, Sejarah, Teori dan Praktek dalam
Pergaulan Internasional “, PT. Pustaka Utama Grafiti, Jakarta,
1994.
Davidson Scott, “Hak Hak Azasi Manusia, Terjemahan A. Hadyana
Pudjaatmika, PT. Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1994.
Mahmassani, Subhi, Arkan Huquq’l—Insan (Konsep Dasar Hak Asasi
Manusia-Studi Perbandingan dalam Syariat Islam dan Perundangundangan Modern), Alih Bahasa: Hasanudin, Tintamas Indonesia, Jakarta, 1993, Moch Faisal Salam, Motivasi Tindakan
Terorisme, CV. Mandar Maju, Bandung, 2005.
649
Vol. 9 No. 4 - Desember 2012
Fauzan Al-Anshari, Saya Teroris : Sebuah “Pledoi”, Republika, Jakarta,
2002.
Folk, Richard, The Great Terror War, Arris Books, An Imprint of Arris Publishing Ltd., Gloucestershire, 2003.
Gupta, K.R., International Terrorism. Conventions, Resolutions, Legislation,
Terrorist Organization and Terrorist, Volume I, Atlantic Publishers
and Distributors, Delhi, 2002.
———————, International Terrorism. Conventions, Resolutions, Legislation, Terrorist Organization and Terrorist, Volume II, Atlantic Publishers and Distributors, Delhi, 2002.
Juergensweyer, Mark, Terorisme Karena Membela Agama, Terror in The
Hand of God, Tarawang Press, 2003.
Laqueur, Walter, The Law Terrorism Fanaticism and Arms of Mass Destruction, A Phoenix Press Paperback, 2001.
O.C. Kaligis & Associates, Terorisme : Tragedi Umat Manusia, O.C. Kaligis
& Associates, Jakarta, April 2003.
Romli Atmasasmita, Masalah Pengaturan Terorisme dan Perspektif Indonesia, Departemen Kehakiman dan HAM RI, Badan Pembinaan
Hukum Nasional, 2002.
Rukmini, Mien, “Perlindungan Ham, Melalui Asas Praduga Tak Bersalah
Dan Asas Persamaan Kedudukan Dalam Hukum Pada Sistem
Peradilan Pidana Indonesia, Alumni, Bandung, 2003.
Rusdi Marpaung & Al-Araf, Terorisme, Definisi, Aksi dan Regulasi,
Imparsial, Jakarta, 2003.
Wahid, Abdul et. al. Kejahatan Terorisme Perspektif Agama, HAM dan
Hukum, PT. Refika Aditamna, Bandung, 2004.
Walkinson, Paul, Terrorism and The Liberal State, The Macmillan Press
Ltd., London, 1977.
650
BIO DATA PENULIS
Munafrizal Manan, Pendidikan: S-1 Fakultas Hukum Universitas
Borobudur dan fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Bandar
lampung, S-2 Universitas Gadjah Mada dan University of Melbourne
Australia. Pekerjaan: Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
Universitas Al Azhar Jakarta.
Andi Subri, Tempat/Tanggal Lahir di Baturaja 16 Nopember 1952.
Menamatkan SD Xaverius Baturaja tahun 1965, SMP Xaverius Baturaja
tahun 1968, SMA Negeri 5 Yogyakarta tahun 1971 dan menamatkan
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta tahun 1979,
Program Magister Manajemen STIE Jakarta tahun 2000, dan saat ini
Kandidat Doktor Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Jakarta. Bekerja
di Kementerian Pendidikan Nasional, Kopertis Wilayah III Jakarta
sebagai Staf Pengajar dpk FKIP Universitas Muhammadiyah Prof. Dr.
Hamka Jakarta dan Fakultas Hukum Universitas Satyagama Jakarta.
Pernah bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil di Departemen Dalam
Negeri, Badan Pertanahan Nasional dan Dewan Perwakilan Daerah RI.
Mualimin Abdi, Tempat/Tanggal Lahir di Bumiayu, 21 Nopember 1962.
Pendidikan: S-1 Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta,
S-2 Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta, dan S-3
Universitas Padjajaran Bandung. Pekerjaan: Direktur Litigasi Peraturan
Perundang-undangan Direktorat Jenderal Peraturan Perundangundangan Kementerian Hukum dan HAM RI.
A.A. Oka Mahendra, Tempat/Tanggal Lahir Bangli 12 Juni 1946. Gelar
sarjana hukum diraihnya di Universitas Gajah Mada, Yogyakarta (1969).
Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum
dan HAM RI (2005-2006), Jabatan terakhir di Departemen Hukum dan
HAM sebagai staf ahli menteri. Menjadi anggota DPR RI sejak Oktober
1971 - 1997, dar Fraksi Golkar. Pernah menjabat anggota Dewan Pembina
Serikat Pekerja Seluruh Indonesia, Ketua Harian Dewan Pimpinan Pusat
Himpunan Pengrajin Indonesia, Ketua Komite Hak Asasi, Hukum, dan
Konstitusi, Dewan Pimpinan Nasional SOKSI.
Fitra Arsil, Tempat/Tanggal Lahir: Jakarta, 28 Desember 1974.
Pendidikan: S-1 Fakultas Hukum Universitas Indonesia, S-2 Program
Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Riwayat
Vol. 9 No. 4 - Desember 2012
Pekerjaan: Staf pengajar Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum
Universitas Indonesia (2000-sekarang); Staf pengajar Fakultas Hukum
Universitas Indonusa Esa Unggul (2000- 2003); Staf Pengajar Fakultas
Hukum dan Fakultas Ekonomi Universitas Al Azhar Indonesia (UAI)
(2001 – 2006); Staf Pengajar Sekolah Tinggi Agama Islam Al Hikmah
(2004 – sekarang).
A. Ahsin Thohari, Tempat/Tanggal Lahir: Grobogan, 4 Agustus 1973.
Bekerja di Direktorat Tata Negara Direktorat Jenderal Administrasi
Hukum Umum Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik
Indonesia dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta.
Mata kuliah yang diasuhnya adalah Hukum Konstitusi dan Sistem
Pemerintahan Indonesia. Pendidikan sarjana hukum diselesaikan di
Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, pada 1999,
dan magister hukum diselesaikan di Program Pascasarjana Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, pada 2004. Pernah menjadi
peneliti tamu di beberapa program penelitian yang diselenggarakan oleh
berbagai lembaga negara seperti Pusat Penelitian dan Pengkajian
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Komisi Hukum Nasional
Republik Indonesia, dan Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen
Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. Selain aktif menulis
di berbagai media massa dan jurnal ilmiah, karya-karyanya yang telah
diterbitkan menjadi buku adalah Komisi Yudisial & Reformasi Peradilan
(Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat/ELSAM, 2004) dan
Dasar-dasar Politik Hukum (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004).
Dalam kurun waktu tahun 2007-2011, ia melakukan penelitian
mengenai pemenuhan hak-hak dan perlindungan hukum buruh migran
asal Indonesia di beberapa negara seperti Arab Saudi (Jeddah, Mekkah,
dan Medinah), China (Hongkong dan Shenzhen), Malaysia (Kuala Lumpur,
Johor Bahru, dan Sabah), dan Singapura.
Eka N A M Sihombing, Fungsional Perancang Peraturan Perundangundangan Muda Pada Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM
Sumatera Utara, Alumni S1 Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara dan Alumni S2 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Nur Fatmah G, Fungsional Perancang Peraturan Perundang-undangan
Muda Pada Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Sumatera
Utara, Alumni S1 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan
Alumni S2 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Zaelani, Tempat/Tanggal Lahir: Jakarta, 10 Juli 1958. Pendidikan:
S-1 Fakultas Hukum Universitas Muhamadiyah Jakarta dan S-2 Fakultas
Hukum Universitas Diponegoro Semarang. Jabatan: Perancang Pertama
merangkap Kepala Seksi Penerbitan Direktorat pengundangan, Publikasi
dan Kerja Sama Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan
Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia.
Yanuar Syaripulloh, Tempat/Tanggal Lahir: Garut, 18 Nopember 1984.
Pendidikan: S-1 Fakultas Hukum Universitas Islam Attahiriyah Jakarta.
Pekerjaan: Fungsional Perancang Peraturan Perundang-undangan
Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan.
Wahyu Wiriadinata, Tempat/Tanggal Lahir: Bandung, 21 Oktober 1950.
Pekerjaan: Jaksa pada Kejaksaan Agung Republik Indonesia dan Dosen
Fakultas Hukum Universitas Pasundan.
Vol. 9 No. 4 - Desember 2012
INDEKS SUBJEK
(SUBJECT INDEX)
A
Administrative agencies; 335
Affirmative action; 78, 79, 83, 101
Ageing population; 181
B
Baurecht; 282
Berufsgenossenschaft; 290
Beveridge system; 276
Blue-collsr workers; 288
C
Commercial banking system; 418
Conditio sine qua non; 485
Convention on the Elimination of
All Froms of Discrimination Againts
Women; 8, 9, 15, 16, 17, 19, 21, 30,
33, 37, 80, 92, 99, 107, 113
Conviction intime; 323
Cultural transfer; 311
Inferior; 1
Inferioritas ; 1
Inkrach van gewijsde; 486, 497
Integrated approach; 381, 433
Institutional approach; 381
J
K
Kekerasan terhadap Perempuan; 22
L
Legal justice; 108
Lender of last resort; 377
Linguistic transfer; 311
M
Machtstaat; 168
Macroprudential; 354, 355, 356,
425, 442, 443
Macroprudential supervision; 377
44
D
Macro-structure analysis; 304
Datenschutz; 282
Microprudential; 354, 356, 425, 442,
E
443
Ermessen; 130
Micro-structure analysis; 304
Equality before the law; 104, 137
Millenium Development Goals; 8, 13
Extra ordinary crime; 477, 479, Moral hazard; 345, 363,3, 381, 396
485, 486, 492, 497
Moral justice; 108
F
N
Financial Supervisory Authority; Nachwachterstaat; 168
418, 433
Non-financial audit; 262
Functional approach; 381
O
G
Obligation to fulfill; 101
Gender differences; 75
Obligation to protect; 101
Gender equality; 2
Obligation to respect; 101
Good corporate governance; 214
P
H
Political posturing; 349
I
Illegal logging; 156
Independent regulatory body; 365
Q
R
655
Vol. 9 No. 4 - Desember 2012
Rechtsstaat; 168, 278
Recht positivisme; 316
Reichsversicherungsordnung; 278
Welfare state; 168, 170, 277, 365
Welvaart staat; 168
White-collar employees; 278
White-collar workers (Angestellte;
288)
Women’s right is human rights; 16
Women’s right to vote; 3
S
Schuld; 479, 480, 486, 497
Social justice; 108
Social security planning; 269
State auxiliary agencies; 365
X
Statutory accident insurance; 278,
Y
281
Statutory health insurance; 278,
Z
281
Statutory long-term care insurance; 278, 281, 292
Statutory social insurance; 278,
279, 280
Steuer; 282
Strassenverkehrsrecht; 282
Sunshine regulation; 359
Super-regulatory body; 382
System of accident and illness
insurance for workers; 278
Systemically important bank; 419,
444, 445, 456
T
Transfer of meaning; 311
Temporary Special Measures; 78,
101
Twin peaks approach; 381
U
Universal banking; 344
Universal banking system; 418, 420
Universal coverage; 207, 208, 209,
210, 211
Universal health coverage; 209, 212
Universal social security; 208; 214
V
Verzorgingsstaat; 168
Voluntary social insurance; 279,
280
Vulnerability; 192
W
656
PANDUAN PENULISAN NASKAH
1.
Naskah yang dikirim berbentuk karya tulis ilmiah, seperti hasil
penelitian lapangan, survey, hipotesis, kajian teori, studi
kepustakaan, review buku, dan gagasan kritis konseptual yang
bersifat objektif, sistematis, analisis, dan deskriptif.
2.
Naskah yang dikirim karya tulis asli yang belum pernah dimuat
atau dipublikasikan di media lain.
3.
Naskah diketik rangkap 2 (dua) spasi di atas kertas ukuran A4
dengan font Bodoni ukuran 12, panjang naskah antara 15-20
halaman.
4.
Penulisan menggunakan bahasa Indonesia yang disempurnakan,
lugas, sederhana, dan mudah dipahami, serta tidak mengandung
makna ganda.
5.
Pokok pembahasan atau judul penulisan berupa kalimat yang
singkat dan jelas, dengan kata atau frasa kunci yang
mencerminkan isi tulisan.
6.
Sistematika penulisan disesuaikan dengan aturan penulisan
ilmiah, yaitu:
a.
Sistematika naskah hasil penelitian harus mencakup: judul,
nama penulis, nama instansi, alamat email penulis, abstrak
(bahasa Indonesia ditulis dalam 1 paragraf, dengan 1 spasi,
ukuran 10, panjangnya antara 100 – 200 kata), kata kunci,
abstract (bahasa Inggris ditulis dalam 1 paragraf, dengan 1
spasi, ukuran 10, panjangnya antara 100 – 200 kata), keywords, pendahuluan (latar belakang permasalahan, tujuan
ruang lingkup dan metodelogi), hasil penelitian dan
pembahasan (tinjauan pustaka, data dan analisis), penutup
(kesimpulan dan saran), dan daftar pustaka.
b.
Sistematika naskah hasil kajian teori/konseptual harus
mencakup: judul, nama penulis, nama instansi, alamat email
penulis, abstrak (bahasa Indonesia ditulis dalam 1 paragraf,
dengan 1 spasi, ukuran 10, panjangnya antara 100 – 200 kata),
kata kunci, abstract (bahasa Inggris ditulis dalam 1 paragraf,
dengan 1 spasi, ukuran 10, panjangnya antara 100 – 200 kata),
keywords, pendahuluan, pembahasan (diperinci menjadi subsub judul sesuai dengan permasalahan yang dibahas), penutup
(kesimpulan dan saran), dan daftar pustaka.
Vol. 9 No. 4 - Desember 2012
7.
Penulisan kutipan menggunakan model catatan kaki (footnote).
8.
Isi, materi, dan substansi tulisan merupakan tanggung jawab
penulis. Redaksi berhak mengedit teknis penulisan (redaksional)
tanpa mengubah arti.
9.
Daftar pustaka, disusun menurut sistem Chicago Style, yaitu:
pengarang dan tahun terbit, judul, penerbit, kota/negara, hal.
Contoh:
1.
Buku
-
Luar negeri
Kelsen, Hans, 1961. General Theory of Law and State, Russel &
Russel, New York. hlm. 45.
-
Dalam negeri
Budiardjo, Miriam, 1992. Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta. hlm. 21.
2.
Makalah dalam jurnal
-
Luar negeri
Suzuki, S.,M. Sugiyama, Y. Mihara, K. Hashiguchi and K.
Yokezeki. 2002. Novel enzymatic method for the production by oxydans. Japan Biochem.
-
Dalam negeri
Kurniawan, Y. dan S. Yuliatun. 2006. Perspektif gasohol
sebagai energi hijau bagi transportasi. Majalah
Penelitian Gula.
3.
Makalah dalam buku
-
Luar negeri
Zyzak, D.V., k.J. Wells-Knecht, M.X. Fu, S.R. Thorpe, M.S.
Feather and J.W. Baynes. 1994. Pathways of the maillard
reaction in vitro and in vivo. Proc. of the 5th International Symposium of the Maillard Reaction, University of
Minnesota.
-
Dalam negeri
Sukarso, G., S. Sastrowijono, Mirzawan PDN.,S. Lamadji,
Soeprijanto,E.Sugiyarta dan H. Budhisantoso. 1990.
Varietas tebu unggul lokal untuk tegalan dengan pola
keprasan. Pros.Seminar Pengembangan Agroindustri
Berbasis Tebu dan Sumber Pemanis lain. P3GI, Pasuruan.
4.
Pustaka dari Internet
-
Jurnal
Almeida, A.C.S., L.C. Araujo, A.M. Costa, C.A.M. Abreu, M.A.G.A.
Lima and M.L.A.P.F. Palha. 2005. Sucrose hydrolysis catalyzed by auto-immobilized invertase into intact cells of
cladosporium cladosporoides. Electrical Journal of Biotechnology
8(1):
15-18
(online)
http://
www.ejbiotechnology.info/content/vol8/issue1/full/11.
pdf (diakses tanggal 8 Juni 2006).
-
Informasi lain
Fadli. 2002. Pabrik sirup gula tebu pertama di Malang (online),
http://kompas.com/kompas-cetak/034/15/ilpeng/
256044.htm (diakses tanggal 2 Mei 2006).
10.
Pengiriman naskah berupa hard copy dan soft copy serta
melampirkan curriculum vitae ditujukan kepada :
Redaksi Jurnal Legislasi Indonesia, Direktorat Jenderal Peraturan
Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM RI Jl. HR.
Rasuna Said Kav. 6-7 Kuningan - Jakarta Selatan Telepon (021)
5264517/Fax (021) 52921242, e-mail : [email protected].
Vol. 9 No. 4 - Desember 2012
Download