Kompatibilitas Bacillus spp. dan aktinomiset sebagi

advertisement
5
TINJAUAN PUSTAKA
Pengendalian Hayati
Pengendalian hayati adalah proses pengurangan kepadatan inokulum atau
aktivitas patogen dalam menimbulkan penyakit yang berada dalam keadaan aktif
maupun dorman oleh satu atau lebih oragisme baik secara aktif maupun
manipulasi lingkungan dan inang, dengan menggunakan agens antagonis, atau
dengan mengintroduksi secara massal satu atau lebih organisme antagonis (Baker
dan Cook 1974).
Pada dasarnya manusia telah melakukan pengendalian hayati sejak
manusia mengenal budidaya pertanian dan munculnya OPT yang merugikan.
Suwahyono (2010) mengemukakan bahwa pengendalian hayati yang dilakukan
saat itu hanya bersifat percobaan berdasarkan pengalaman, dengan pendekatan
ilmiah yang minim.
Saat muncul Revolusi Hijau, kegiatan pengendalian hayati sempat jarang
dilakukan karena penggunaan bahan kimia sintetik dinilai lebih efektif dan efisien
dalam mengendalikan OPT. Namun beberapa dekade belakangan ini, seiring
dengan perkembangan dunia pertanian dan merebaknya isu lingkungan,
penggunaan bahan kimia sintetik mulai dikurangi secara bertahap. Pengendalian
hayati pun mulai gencar dilakukan kembali karena dinilai lebih ramah lingkungan.
Penggunaan organisme hidup sebagai agens antagonis dalam mengendalikan OPT
mulai dilakukan dengan pendekatan ilmiah yang lebih jauh dan perkembangannya
tampak semakin pesat. Agens antagonis dapat berupa mikroorganisme yang dapat
mempengaruhhi kemampuan bertahan atau berpengaruh negatif terhadap aktivitas
patogen dalam menimbulkan penyakit (Agrios 1997).
Bacillus spp.
Bacillus spp. ialah kelompok bakteri yang umum ditemukan di berbagai
lingkungan ekologi, baik di tanah, air, maupun udara. Bakteri ini merupakan
bakteri Gram positif yang dapat membentuk endospora yang berbentuk oval di
bagian sentral sel. Spora berfungsi untuk bertahan hidup antara lain pada suhu dan
kondisi lingkungan yang ekstrim. Sel Bacillus spp. berbentuk batang, berukuran
6
0,3-2,2 x 1,2-7,0 µm dan mempunyai flagel peritrikus. Bakteri ini dapat tumbuh
pada suhu 45° C, pH 5-7, NaCl 7%, menghidrolisis pati, serta membentuk asam
sitrat dari karbohidrat glukosa, arabinosa, manitol, dan silosa (Sonenshein et al.
2002).
Pada umumnya Bacillus spp. dapat digunakan sebagai agens biokontrol
terhadap patogen tanaman walaupun diketahui terdapat strain yang dapat
membusukkan biji kedelai. Biji kedelai yang diinokulasikan B. subtilis strain
virulen (isolat VS) pada suhu 30-35° C dan kelembaban udara relatif 98% akan
menunjukkan busuk berlendir 5 hari setelah inokulasi. (Sinclair dan Backman
1989, dalam Desmawati 2006).
Bakteri Bacillus spp. yang bersifat antagonis mampu menekan
pertumbuhan mikroorganisme lain karena memproduksi antibiotik berupa
lipopeptida yang disebut basitrasin dengan mekanisme merusak membran sel
bakteri (Leary dan Chan 1988, dalam Desmawati 2006). Jenis metabolit sekunder
lain yang diproduksi Bacillus spp. adalah bio-surfaktan yang disebut surfaktin
atau subtilisin. Surfaktin merupakan lipopeptida siklik yang berfungsi
menurunkan tegangan permukaan air dan juga bersifat antibiotik (Hommel dan
Ratledge 1933, Desai dan Desai 1933, dalam Dirmawati 2004).
Sebagian besar anggota Bacillus spp. tidak dianggap sebagai bakteri
patogen terhadap manusia, walaupun dapat mengkontaminasi makanan, namun
jarang menimbulkan keracunan (Sonenshein,et al. 2002). Schaad et al. (2000)
menyatakan bahwa hanya terdapat tiga kelompok Bacillus yang diketahui sebagai
patogen tanaman, yaitu B. circulans, B. megaterium pv. cerealis, dan B. polymyxa.
Bacillus spp. memiliki aktivitas antifungal yang tinggi (Jing dan Qian
2007) dan berperan dalam menekan beberapa fungi yang bersifat patogen, seperti
Rhizoctonia, Fusarium (Zhang et al. 2009) dan Aspergilus (Muis 2006). Selain
memiliki kemampuan dalam menekan perkembangan fitopatogen, Bacillus spp.
pun diketahui dalam mendukung pertumbuhan tanaman. McQuilken et al. (1998)
mengemukakan bahwa aplikasi Bacillus spp. pada benih kedelai mampu
mengurangi kerusakan bibit karena kerusakan saat imbibisi. Selain itu, perlakuan
benih dengan Bacillus spp. untuk merangsang pertumbuhan tanaman dan
7
membantu mengurangi patogen terbawa benih telah menjadi bahan penelitian
yang menarik selama lebih dari 20 tahun terakhir.
Aktinomiset
Aktinomiset adalah kelompok besar dari bakteri berfilamen, umumnya
bersifat Gram positif, dan membentuk filament yang bercabang. Pertumbuhan
aktinomiset yang sukses mampu mengahasilkan jaringan berfilamen yang
memiliki cabang-cabang yang rumit, disebut juga dengan miselium. Ada juga
yang menyebutnya miselia aerial karena miselia dapat tumbuh pada lapisan udara.
Ukuran miselium umumnya memiliki diameter 0,5-1,0 µm, dengan panjang yang
tidak tentu, dan tidak memiliki sekat pada fase vegetatif (Madigan et al. 1993).
Sebagian besar aktinomiset mampu menghasilkan spora dari ujung-ujung
miselium yang terbentuk. Spora aktinomiset dikenal dengan eksospora, karena
terbentuk tidak dari dalam sel serta memiliki dinding yang tidak terlalu tebal
(Janse 2005).
Aktinomiset dapat ditemukan di berbagai lingkungan ekologi, seperti air
laut (Patil et al. 2001, air sungai (Rifaat 2003), dan tanah gua (Nakaew et al.
2009). Bahkan, Khan et al. (2008) berhasil mengisolasi aktinomiset dari floppy
dan compact disc. Beberapa aktinomiset juga diketahui merupakan organisme
endofit dan dapat diisolasi dari tanaman (Kunoh 2002).
Salah satu anggota Aktinomiset yang memiliki kemampuan sebagai agens
hayati adalah
Streptomyces sp. Bakteri ini merupakan mikroorganisme yang
banyak menghasilkan substansi antibiotik, salah satunya aktif menghambat
pertumbuhan cendawan patogen pada tumbuhan. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa Streptomyces sp. berpengaruh terhadap penghambatan pertumbuhan
cendawan, salah satunya adalah Fusarium sp. (Murdiyah 2008).
Pada tahun 1944 Selman Waksman menemukan streptomisin yang
merupakan salah satu antibiotik yang dihasilkan oleh Streptomyces sp.
Perkembangan
ini
merangsang
penelitian
lebih
lanjut
terhadap
genus
Streptomyces dalam usaha mencari mikroorganisme penghasil antibiotik. Sejak
saat itu penelitian aktinomiset, terutama Streptomyces sp., menjadi gudang utama
untuk memperoleh antibiotik baru. Di berbagai lembaga penelitian dilakukan
8
pencarian antibiotik dari berbagai tipe mikroorganisme terutama dari kelas
aktinomiset dan telah berhasil menemukan antibiotik baru seperti khlortetrasiklin,
neomisin, oksitetrasiklin, dan eritromisin (Suwandi 1993).
Dalam bidang fitopatologi, khususnya dalam hal pengendalian patogen
pada tanaman, aktinomiset diketahui dapat mengendalikan beberapa patogen
penting, seperti Rhizoctonia solani (Sabaratnam dan Traquair, 2001) dan Phytium
ultimum (Crawford et al., 1993). Bahkan dari hasil penelitian Nakaew et al.
(2009) melaporkan bahwa salah satu aktinomiset yang diisolasi dari gua di
Thailand,
Spirillospora
antimoikrobial
terhadap
albida,
Bacillus
diketahui
cereus,
dapat
menujukkan
Staphylococcus
aktivitas
aureus,
dan
Paenibacillus larvae. Hasil penelitian Charoensopharat et al. (2007) menyatakan
bahwa Streptomyces sp. menunjukkan aktivitas antibakteri yang signifikan
terhadap perkembangan bakteri Gram negatif, seperti Xanthomonas sp..
Aktinomiset dapat menjadi objek penelitian yang sangat potensial untuk
masa yang akan datang (Sabaratnam dan Traquair, 2001). Streptomyces sp. telah
menunjukkan adanya produksi senyawa toksik antifungal, rhizostreptin, dalam
kapasitas yang tinggi, baik pada media biakan maupun pada perakaran tomat.
Bakteri ini pula menunjukkan produksi eksoenzim pendegradasi dinding sel
cendawan seperti kitinase. Kajian mengenai kemampuan produksi aktinomiset
akan senyawa metabolit lainnya, kemampuan metabolit tersebut menekan
pertumbuhan patogen, hingga efikasi dan persistensinya di perakaran akan sangat
penting untuk menghasilkan senyawa yang dapat diaplikasikan sebagai
antimikroba untuk berbagai agroekosistem.
Download