LAPORAN RISET PEMILU KPU KOTA CIMAHI CIMAHI 2015

advertisement
LAPORAN RISET PEMILU
KPU KOTA CIMAHI
MANAJEMEN KAPITAL INTELEKTUAL POLITIK
UNTUK PENDIDIKAN POLITIK BERKELANJUTAN
DALAM RANGKA MENINGKATKAN PARTISIPASI PEMILIHAN UMUM
Studi Kasus Di Kota Cimahi
Provinsi Jawa Barat
CIMAHI
2015
i
Abstract
Political Intellectual Capital Management for Sustainable Political Education to
Enhance General Election Participation.
Case Study in Cimahi, West Java.
The numbers of participatories have been always decreasing for each period of
general election in Cimahi. Eventhough the KPU (Komisi Pemilihan Umum)/General
Election Commission conducted political education and socialization to societies, it
was not give positive impact to raise general election participation of societies as
voters. The quest of political education leads general election participation
reconsidered during general election periods only, therefore political education was
not be internalisatition for every single citizen. It is reason political education must
sustain. Sustainable political education is political education holds regularly for
current and future, it is a away to reach political participation to contribute for
development. It can release by Political Intellectual Capital Management, it is new
insight in political affair, it will operate three mains of capitals in organization, they
are: 1). Human capital; 2). Structural capital; 3). Relational capital. Three capitals
of political intellectual capital management will make sutainable political
education because they engage and support each other in knowledge eternally. It
conducted by qualitative method depicted some conditions current of political
education and general election participation in Cimahi, usage qualitative suits report
and evaluation of measuring political intellectual capital trough Intellectual Capital
Statement (Dannish Guideline) by narrative report in order to be understood by
shareholder and stakeholder. This results conclusion that decline of general election
participation in Cimahi because of decrease of citizen’s political education, therefore
political intellectual capital management must hold in KPU and stakeholders to
improve and develop knowledge to realize of political literacy and poitical
participation through sustainable political education.
Key words: political education, general election participation, sustainable political
education, political intellectual capital management,Cimahi.
ii
Abstrak
Manajemen Kapital Inteletual Politik Untuk Pendidikan Politik Berkelanjutan
Dalam Rangka Meningkatkan Partisipasi Pemilahan Umum
Studi Kasus Di Cimahi, Jawa Barat
Penurunan partisipasi selalu terjadi saat pemilihan umum di kota Cimahi. Meskipun
KPU (Komisi Pemilihan Umum) telah menyelenggarakan pendidikan politik dan
sosialisasi kepada masyarakat, hal tersebut tidak memberikan efek yang positif untuk
meningkatkan partsipasi masyarakat sebagai pemilih pada pemilihan umum.
Pendidikan politik saat ini hanya terselenggara saat menjelang pemilihan umum saja,
oleh sebab itu pendidikan politik tidak terinternalisasi pada setiap individu
masyarakat. Hal tersebut menjadi alasan pendidikan politik harus berkelanjutan.
Pendidikan politik berkelanjtan adalah pendidikan politik yang diselenggarakan
secara berkesinambungan pada saat ini dan saat yang akan datang, itu merupakan cara
mencapai partisipasi politik untuk berkontribusi dalam pembangunan. Pendidikan
politik berkelanjutan dapat terealisasi melalui manajemen kapital intelektual politik,
ini merupakan salah satu pendekatan manajemen politik yang baru yang akan
mengoperasikan tiga kapital dalam organisasi, yaitu: 1). Kapital manusia; 2). Kapital
struktur; 3). Kapital relasi. Manajemen tiga kapital intelektual politik akan
menciptaan pendidikan politik berkelanjutan karena tiga kepital tersebut saling
bekerjasama satu sama lain melalui pengetahuan. Penelitian ini menggunakan metode
kualitatif yang menggambarkan kondisi saat ini mengenai pendidikan politik dan
partisipasi pemilihan umum di Cimahi. Penggunaan metode kualitatif sesuai dengan
metode evaluasi pelaporan kapital intelektual politik melalui metode Intellectual
Capital Statement (Dannish Guideline) tujuan pelaporan melalui narasi (statement)
tersebut agar dipahami oleh shareholder dan stakeolder. Kesimpulan dari penelitian
ini adalah penurunan dari partisipasi pemiu di Cimahi karena rendahnya pendidikan
politik masyarakat, oleh karena itu manajemen kapital intelektual politik harus
diaplikasikan oleh KPU untuk meningkatkan dan mengembangkan pengetahuan
untuk merealisasikan melek politik dan partisiasi politik melalui pendidikan politik
berkelanjutan.
Kata Kunci: Pendidikan politik, partsipasi pemilihan umum, pendidikan politik,
berkelanjutan, manajemen kapital intelektual politik, Cimahi.
iii
KATA PEGANTAR
Partisipasi pemilihan umum (pemilu) merupakan bagian dari partisipasi
politik yang cakupannya luas. Indikator partisipasi politik yang umum saat ini adalah
jumlah persentase partisipan pemilu, dengan mudah dapat terlihat berapa orang yang
ikut memberikan suara saat pemilu dan berapa jumlah orang yang tidak ikut
memberikan suara atau termasuk golongan putih (golput). Pada hakikatnya partisipasi
pemilu bukan sekedar melihat jumlah persentase
saja namun ada faktor
yang
menjadi penyebab tingkat partisipasi itu naik dan turun. Faktor tersebut tidak dapat
dikuantifikasikan akan tetapi memerlukan strategi untuk memperbaiki kondisi itu.
Strategi yang dibahas dalam penelitian yang dilakukan di Cimahi ini ialah strategi
manajemen kapital intelektual politik, tiga komponen kapital intelektual politik;
kapita manusia, kapital struktur dan kapital relasi, dioperasikan melalui transfer
knowledge untuk menciptakan inovasi dan menghasilkan nilai kuantitas dan kualitas
yang dapat memperbaiki kondisi politik dan pemilu di Indonesia.
Diharapkan dengan terorganisirnya tiga kapital intelektual politik itu dapat
menciptkan pendidikan politik berkelanjutan karena pendidian politik harus
diinternalisasikan secara tuntas kepada masyarakat agar mereka dapat berpartisipasi
politik dan pemilu secara cerdas dan bertanggungjawab.
Penelitian ini sebagai penelitian awal yang membahas manajemen kapital
intelektual bagi dunia politik, disadari ataupun tidak, selama ini setiap institusi politik
telah melakukan pola kerjasama
dan koordinasai dengan eksternal dan internal
iv
institusinya namun pola operasionalnya belum termenej dengan formulasi yang baik
sehingga tidak menimbulkan efek yang signifikan terhadap partisipasi politik dan
pemilu. Saran progressif sangat diharapkan untuk analisa penelitian yang lebih baik
kembali, semoga penelitian ini bermanfaat dan dapat menjadi bagian jalan yang dapat
ditempuh untuk menata kembali kiprah politik di tingkat daerah dan nasional.
Cimahi, Juni 2015
v
DAFTAR ISI
ABSTRAK .................................................................................................
i-ii
KATA PENGANTAR........................................................................................ iii
DAFTAR ISI ...................................................................................................... v
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... viii
DAFTAR TABEL ............................................................................................. x
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
1.1.................................................................................................... Lat
ar Belakang Masalah ......................................................................... 1
1.2 Penelitian Terdahulu dan State of Art ............................................. 11
1.3 Rumusan Masalah Penelitian ........................................................... 17
1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................................ 18
BAB II TINJAUAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN ..................... 19
2.1 Partisipasi Politik ............................................................................... 19
2.2 Bentuk Partisipasi politik .................................................................. 21
2.2.1 Apatis ......................................................................................... 27
2.2.2 Sinisme ...................................................................................... 29
2.2.3 Alienasi ...................................................................................... 30
2.2.4 Anomi ........................................................................................ 30
2.3 Variabel Pengaruh Partisipasi Politik .............................................. 31
2.3.1 Ketertarikan Politik ................................................................. 31
vi
2.3.2 Pengetahuan Politik ................................................................ 32
2.3.3 Diskursus Politik ...................................................................... 33
2.3.4 Kesadaran Politik ..................................................................... 34
2.4 Sosialisai dan Komunikasi Politik .................................................... 35
2.5 Partisipasi Pemiihan Umum ............................................................. 38
2.6 Pendidikan Politik Berkelanjutan .................................................... 39
2.7 Manajemen Kapital Intelektual ........................................................ 42
2.7.1 Sejarah Manajemen Kapital Intelektual ................................ 42
2.7.2 Kapital Intelektual Dalam Bidang Ekonomi ......................... 48
2.7.3 Manajemen Kapital Intelektual dalam Politik ..................... 51
2.8 Kerangka Pemikiran .......................................................................... 57
BAB III METODOLOGI PENELITIAN .......................................................... 59
3.1 Lokasi, Subyek,Obyek, Rencana dan Waktu Penelitian ................. 59
3.1.1 Lokasi Penelitian ....................................................................... 59
3.1.2 Subyek dan Obyek Penelitian ................................................. 59
3.1.3 Rencana dan Waktu Penelitian ............................................... 60
3.2 Desain Penilitian ................................................................................. 61
3.2.1 Rasionalisasi Metodologi Penelitian ........................................ 61
3.2.2 Operasionalisai Variabel ......................................................... 63
3.2.3 Teknik Pengumpulan Data ...................................................... 64
3.2.4 Tatacara Pengumpulan Data .................................................. 65
3.2.5 Analisis Data ............................................................................. 65
vii
BAB IV PEMBAHASAN ..................................................................................... 69
4.1 Profil Wilayah Cimahi ...................................................................... 69
4.2 Upaya KPU Cimahi dan Stekholder Menyukseskan Pemilu
dan Menangani Penurunan Partisipasi Pemilu di Cimahi ............ 72
4.3 Metode Pendidikan Politik di Kota Cimahi .................................... 81
4.4 Tingkat Melek Politik di Kota Cimahi ............................................. 81
4.5 Partisipasi Politik dan Pemilu di Kota Cimahi ............................... 83
4.6 Pendidikan Politik Berkelanjutan di Kota Cimahi ......................... 85
4.7 Manajemen Kapital Intelektual Politik Kota Cimahi .................... 87
4.7.1 Kapital Manusia ....................................................................... 87
4.7.2 Kapital Struktur ...................................................................... 88
4.7.3 Kapital Relasi ............................................................................ 90
4.8 Proyeksi Pendidikan Politik Berkelanjutan Melalui Manajemen
Kapital Intelektual Politik untuk Partisipasi Politik
dan Pemilu ......................................................................................... 91
4.9 Prospek Manajemen Kapital Intelektual Politik
untuk Pendidikan Politik Berkelanjutan ........................................ 96
BAB V PENUTUP ................................................................................................. 100
5.1 Kesimpulan ......................................................................................... 100
5.2 Rekomendasi dan Saran .................................................................... 101
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 103
viii
LAMPIRAN .......................................................................................................... 110
DAFTAR GAMBAR
1.1 Grafik Tingat Partisipasi Pemilu Indonesia Tahun 1971-2009 ................ 1
1.2 Grafik Perbandingan Golput Pada Pemilukada DKI Jakarta 2007
dan 2009 .......................................................................................................... 6
1.3 Skema State of Art Penelitian ....................................................................... 16
2.1 Bantuk Partsipasi Politik ............................................................................... 23
2.2 Hirarki Partisispasi Politik ............................................................................ 25
2.3 Hubungan Variabel yang Mempengaruhi Partsipasi Politik .................... 35
2.4 Metode Komunikasi ........................................................................................ 36
2.5 Manajemen Kapital Intelektual Mewujudkan Pendidikan Politik
Berkelanjutan ................................................................................................. 41
2.6 Transfer Pengetahuan ................................................................................... 42
2.7 Kapital Intelektual dan Komponennya ........................................................ 45
2.8 Timeline Manajemen Kapital Intelektual .................................................... 46
2.9 Platform Nilai ................................................................................................. 49
2.10 Kerangka Pemikiran Penelitian................................................................... 58
4.1 Hirarki Partsisipasi Politik ............................................................................ 83
4.2 Inovasi dan Brand Image Lembaga Politik ................................................. 84
4.3 Manajemen Kapital Intelektual Mewujudkan Pendidikan Politik
ix
Berkelanjutan ................................................................................................. 86
4.4 Pengetahuan Kapital Manusia KPU ............................................................ 88
4.5 Konversi Pengetahuan Menjadi Nilai dan Inovasi Lembaga Politik ........ 89
4.6 Kapital Relasi sebagai Pengguna Inovasi Lembaga Politik ....................... 90
4.7 Proyeksi Pendidikan Politik Berkelanjutan Melalui MKIP ...................... 95
4.8 Inovasi dan Brand Image Lembaga politik…………………….......................99
x
DAFTAR TABEL
1.1 ............................................................................................................ Partis
ipasi Pemilu Kota Cimahi ............................................................................ 3
1.2 ............................................................................................................ Golp
ut Pada Pemilukada di Indonesia ............................................................... 4
2.1 Timeline Manajemen Kapital Intelektual .................................................. 46
2.2 Perkembangan Kapital dalam Berbagai Perspektif Disiplin Ilmu .......... 51
2.3 Komponen Kapital Intelektual Politik ....................................................... 54
2.4 Format ICS ................................................................................................... 56
3.1 Rencana dan Waktu Penelitian ................................................................... 60
3.2 Operasionalisasi Variabel ............................................................................ 63
3.3 Format ICS ................................................................................................... 65
4.1 Luas Wilayah Kota Cimahi ......................................................................... 69
4.2 Partisipasi Pemilu Kota Cimahi ................................................................. 73
4.3 ICS untuk Pemilih Remaja Pemilih Pemula ............................................. 75
4.4 ICS untuk Pemilih Kalangan Ibu rumah tangga ...................................... 77
4.5 ICS untuk Pemilih Kalangan Pemuda ....................................................... 80
4.6 ICS Untuk Pemilih Kaum Marjinal Dan Buruh……………………...... 82
4.7 ICS Kapital Intelektual Politik Lembaga KPU……………………… 101
xi
5.1 Rekomendasi Penelitian…………………………………………………. 104
xii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Sejak tercetusnya era reformasi, masyarakat dapat leluasa mengekspresikan
sikap politiknya melalui pembentukan partai-partai politik dan jalur politik lain
yang dapat menyalurkan aspirasi kelompok dan masyarakat kepada pemerintah.
Namun ironisnya pada era reformasi, partisipasi politik melalui pemberian suara
saat pemilihan umum (pemilu) mengalami penurunan setiap periode.
Gambar 1.1 Grafik Tingkat Partisipasi Pemilu Indonesia tahun 1971-2009
Sumber: Tulung (2013)
1
Menurut Carpini dan Keeter (1996) peran pendidikan dan pengetahuan politik
memberikan pengaruh besar terhadap partisipasi pemilu, dengan demikian apakah
pendidikan politik saat orde Baru lebih berhasil daripada pendidikan era reformasi
berdasarkan tingat partisipasi pada gambar 1.1 Secara kualitas pendidikan politik
pada masa orde Baru bersifat doktrinisasi dan tekanan (pressure) sehingga rakyat
seperti “robot” yang harus mengikuti arahan politik yang diberikan, meskipun secara
sistematis pendidikan politik dan nasionalisme sangat terstruktur saat orde baru baik
melalui lembaga pendidikan formal dan informal namun hal tersebut tidak
terinternalisasi lama dan utuh dalam kognisi dan jiwa setiap warganegara, hal ini
dapat terlihat refleksinya saat orde reformasi dimana pendidikan politik yang diterima
saat orde baru tidak berjejak.
Selain itu, praktik politik yang menjurus ke arah korupsi kerap terjadi saat ini,
sungguh pendidikan politik pada masa era orde baru mayoritasnya bukanlah upaya
pembentukan karakter warganegara secara konprehensif. Dengan demikian
standrisasi partisipasi politik dengan hanya melihat persentase partispasi pemilu
sangatlah sempit sekali karena partisipasi pemilu merupakan partisipasi “level
terkecil” dalam partisipasi politik (Rush dan Althoff,1997). Oleh sebab tingkat melek
politik di Indonesia akan selalu berada pada posisi di bawah apabila partisipasi
politik pada “level rendah” saja masayarakat tidak mampu melaksanakannya. Untuk
pencapaian melek politik harus ada pendidikan politik yang bersifat holistic dan
mencerdaskan. Bukan pendidikan politik yang hanya bersifat sosialisasi temporal saat
menjelang pemilu saja namun yang dibutuhkan untuk mencapai tingkat melek politik
2
yang maksimal adalah pendidikan politik yang berkelanjutan. Masyarakat perlu
mengetahui politik secara utuh,oleh sebab itu peran pendidikan politik berkelanjutan
sangat diperlukan untuk mewujudkan melek politik dan partisipasi pemilu.
Memberikan pengatahuan politik melalaui pendidikan politik kepada
warganegara harus dimulai dari tingkat regional unit terdekat yakni wilayah domisili
tempat tinggal. Pendidikan politik tingkat mikro ini akan menjadi kekuatan yang
besar apabila masing-masing daerah pun melakukan tindakan serupa sehingga secara
nasional akan terlihat dampak positif yang ditimbulkannya. Salah satu daerah di
Indonesia yang akan dianalisis dalam penelitian ini adalah kota Cimahi, Jawa Barat.
Pendidikan politik di kota Cimahi relatif belum optimal, hal ini diindikasikan dengan
tingkat partisipasi pemilu di kota Cimahi cenderung menurun trend-nya.
Tahun
Pemilu
2004
Presiden (Putaran 1)
Presiden (Putaran 2)
Legislatif
Legislatif
Walikota
Walikota
Gubernur
Gubernur
2004
2009
2007
2012
2008
2013
Partisipasi
(%)
80,30
73,48
64,43
59,27
73,59
70,06
71,37
68,39
Tabel 1.1 Partisipasi pemilu kota Cimahi
Sumber: Diolah dari data KPU kota Cimahi
Dari tabel 1.1 dapat dilihat bahwa terjadi penurunan sebesar 6.87% pada saaat
pemilihan presiden 2004 (putaran 1 dan 2), sedangkan pada pemilu legilatif tahun
3
2004 dan 2009 terjadi penurunan tingkat partisipasi sebesar 5.16%, dan pada
pemilihan walikota tahun 2007 dan 2012 terjadi penurunan partisipasi pemilu sebesar
3.53%. Pemilihan Gubernur padaa tahun 2008 dan tahun 2013 terjadi penurunan
2,98%. Hal tersebut yang menjadi titik perhatian fenomena tingkat partisipasi pemilu
di kota Cimahi bahwa penurunan tingkat partisipasi masyarakat menjadi faktor yang
harus dianalisis, meski pendidikan dan sosialisasi sudah dilakukan, tetapi itu tidak
berdampak pada tingkat partisipasi masyarakat kota Cimahi dalam pemilu.
Penurunan tingkat partisipasi pemilu hampir terjadi di seluruh daerah di
Indonesia, maka tidak heran apabila golongan putih (golput) selalu mengungguli di
setiap pemilu kepala daerah (pemilukada), seharusnya proses suksesnya partisipasi
pemilu harus tercerrmin dalam skala regional terlebih dahulu yakni bagaimana proses
demokrasi dapat terselenggara di tingkat lokal.
No
1
Provinsi
DKI Jakarta
Tahun
2007
Nama Pasangan Calon
Foke – Prijanto
Adang-Dani
Golongan
putih
Golput
2012
Jokowi-Ahok
Foke-Nara
Golput
2
3
Sumatera
Utara
Jawa Barat
2013
2008
2013
Gatot-Tengku
Gus Irawan-soekirman
Effendi-Ali
Golput
Golput
Aher-Deddy
Golput
4
Perolehan Suara
35.20%
25.70%
39.20%
37.40%
29.80%
32.80%
17.90%
11.50%
11.50%
59.20%
9.10%
6.50%
11.80%
4
Jawa Tengah
2008
2013
Golput
Bibit-Sudijono
Ganjar-Heru
Hadi-Don
Golput
5
6
7
Jawa Timur
Riau
Bogor
2008
2013
2013
Khofifah-Herman
Sukarwo-Ssaifulah
Bambang-Said
Egi-Sihat
Golput
Golput
Bima-Usmar
Ru'yat-Aim
Dody-Untung
Syaifu-Muztahidin
Gartono-Firman
8
Makassar
2013
Tabel 1.2 Golput pada Pemilukada di Indonesia
Sumber: Tulung (2013)
Golput
Golput
41.55%
14.90%
23.70%
10.40%
51.00%
22%
28%
8%
1%
41%
40%
20%
19%
10%
6%
4%
41%
50%
Angka “kemenangan” golput pada pemilukada di setiap daerah di Indonesia
mengharuskan adanya evaluasi mengenai pendidikan politik dan kewarganegaraan
demi berlanngsungnya proses demokrasi . Evaluasi pemilu yang dimulai dari tingkat
daerah akan membawa pengaruh positif bagi partisipasi pemilu secara massif.
Evaluasi tersebut harus diakukan dengan membuka secara detail kekurangan yang
selama ini selalau menjadi kendala pemilu setiap periode sehingga akan diketahui
akar permasalahan yang menjadi kendala.
Catatan untuk pemilukada DKI Jakarta, pada tabel 1.2 di atas angka golput
pada pemilukada DKI Jakarta 2007 menjadi “pemenang” dengan jumlah 39.2%
5
suara dibandingkan dengan perolehan suara calon pasagan pemilukada 2007 DKI
Jakarta. Sedangkan pada tahun 2012, golput sejumlah 32.8% berada di posisi kedua
setelah kemenagan pasangan Jokowi-Ahok yang memperoleh suara 37.4%. Namun
apabila dibandingkan dengan tingkat penduduk DPT (Daftar Pemilih Tetap) DKI
Jakarta, maka golput pada tahun 2012 lebih besar daripada jumlah golput pada tahun
2007.
Gambar 1.2 Grafik perbandingan golput pada pemilukada DKI Jakarta 2007 dan
2009
Sumber: Tulung (2013)
Latar belakang golput memiliki banyak dimensi, Eep Saefulloh Fatah,
mengklasifikasikan golput atas empat golongan. Pertama, golput teknis, yakni mereka
yang karena sebab-sebab teknis tertentu (seperti keluarga meninggal, ketiduran, dan
lain-lain) berhalangan hadir ke tempat pemungutan suara, atau mereka yang keliru
mencoblos sehingga suaranya dinyatakan tidak sah. Kedua, golput teknis-politis,
6
seperti mereka yang tidak terdaftar sebagai pemilih karena kesalahan dirinya atau
pihak lain (lembaga statistik, penyelenggara pemilu). Ketiga, golput politis, yakni
mereka yang merasa tak punya pilihan dari kandidat yang tersedia atau tak percaya
bahwa pileg/pilkada akan membawa perubahan dan perbaikan. Keempat, golput
ideologis, yakni mereka yang tak percaya pada mekanisme demokrasi liberal) dan tak
mau terlibat di dalamnya entah karena alasan fundamentalisme agama atau alasan
politik-ideologi lain (Arianto,2012).
Keempat dimensi tersebut dapat terminimalisir melalui pendidikan politik
kepada masyarakat karena pendidikan dan pengetahuan dapat memberikan dorongan
masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam pemilu (Carpini dan Keeter, 1996).
Seperti yang telah dideskripsikan sebelumnya bahwa permasalahan partisipasi pemilu
erat kaitanya dengan penyelenggaraan pendidikan dan pengetahuan politik (Carpini
dan Keeter, 1996). Pada dasarnya pendidikan akan membuat cakrawala dan
kesadaran (awareness) manusia terhadap lingkugannya sehingga manusia melalui
pengetahuan yang didapatnya dari pendidikan tersebut dapat berkontribusi aktif untuk
kemajuan peradaban karena pendidikan memainkan peranan dalam pengembangan
skill dan kontribusi yang efektif untuk masyarakat (Lynch,2000). Demikian pula
pendidikan politik merupakan usaha sadar untuk mengubah proses sosialisasi politik
masyarakat sehingga mereka memahami dan benar-benar menghayati nilai-nilai yang
terkandung dalam suatu sistem politik yang ideal yang hendak dibangun (Alfian,
1986). Kesadaran politik ini nantinya yang akan menjadikan rakyat melek politik
(political literacy), dengan pengertian lain bahwa rakyat menyadari permasalahan
7
bangsanya, mereka menyadari bahwa perannya dapat mengubah dan mempengaruhi
keadaan bangsa.
Demikian pula tingkat partisipasi pemilu di daerah kota Cimahi yang
memiliki kecendrungan
menurun dari periode ke periode, ini menjadi catatan
tersendiri mengingat kota Cimahi hampir serupa dengan kota satelitnya Bandung
sebagai ibukota Jawabarat, jika dilihat dari demografi wilayah serta akses informasi
dan teknologi sangat mudah untuk memiliki pengetahuan politik melalui media massa
dan internet, kemudian dari aspek demografi wilayah sudah terdapat banyak
pembangunan infrastruktur yang memudahkan masyarakat bermobilisasi sehingga
tidak ada alasan secara teknis untuk tidak berpartisipasi dalam pemilu. Namun seperti
pada tabel 1.1 penurunan angka pemilih dalam partisipasi pemilu di daerah Cimahi
menunjukkan fakta bahwa prosentase golput saat ini tidak akan menutup
kemungkinan akan semakin tinggi pada pemilu selanjutnya.
Untuk mencegah kenaikan angka pemilih yang tidak berpartisipasi dalam
pemilu maka setiap aktor pendidikan politik dimulai dari level keluarga sampai pada
tingkat formal yaitu Komisi Pemilihan Umum (KPU) harus bersinegergi satu sama
lain untuk saling menguatkan landasan pengetahuan politik, maka pendidikan politik
sebaiknya tidak hanya digelar secara formal pada saat menjelang pemilu saja, yang
secara garis besar konten materi pendidikan politik seputar masalah teknis saja,
meski masalah teknis pemilu (cara mencoblos, melipat kertas suara, dsb) hal tersebut
sangat penting namun
landasan kognitif dan pengetahuan politik bagi rakyat
seringkali terabaikan sehingga tidaklah heran dari masa ke masa pemilu hanya
8
sebagai aktivitas “selingan” rakyat di tengah kesibukannya dengan alih-alih
berpartisipasi dalam pemilu dengan meluangkan waktu kurang lebih 5 menit berada
di TPS.
Berdasarkan kondisi partisipasi pemilu dan pendidikan politik di tingkat
nasional dan daerah, dapat dikatakan bahwa pendidikan politik membawa pengaruh
pada tingkat melek politik rakyat dan wajah demokrasi di Indonesia. Namun
pendidikan politik saat ini masih belum efektif untuk membentuk kepribadian
individu masyarakat menjadi seorang warganegara yang memahami dan melek
politik, salah satunya dalam tingkat partisipasi pemilu tingkat nasional atau daerah
tingkat golput masih tinggi. Format pendidikan politik kepada masyarakat khususnya
saat menjelang pemilu masih terbatas pada tataran teknis sosialisasi seperti cara
mencoblos dan melipat suara, selanjutnya terlepas dari momen tersebut, tidak ada
follow up lagi mengenai pendidikan politik kepada masyarakat dan otomatis
hubungan komunikasi dan diskusi masyarakat dengan pemberi pendidikan politik,
dalam hal ini KPU, akan terputus begitu saja dan dimungkinkan akan tersambung
kembali hubungan ini pada saat lima tahun yang akan datang menjelang pemilu akan
digelar kembali.
Padahal pendidikan adalah proses simultan yang berkelanjutan agar nilai-nilai
yang disampaikan dapat terinternalisasikan secara kokoh kepada masing-masing
individu warganegara. Dengan demikian pendidikan politik berkelanjutan merupakan
cara yang dapat menanamkan pemahaman dan pengetahuan politik kepada
warganegara agar mereka dapat berpartisipasi dalam politik secara positif dan
9
bertanggungjawab untuk saat ini dan yang akan datang. Untuk mewujudkan
pendidikan politik berkelanjutan ini harus ada upaya kerjasama dari semua lapisan
warganegara. Pendidikan politik akan tersampaikan melalui proses komunikasi yang
efektif
serta
hubungan
yang
simultan
baik
diantara
kalangan
internal
institusi/lembaga politik maupun untuk kalangan eksternalnya meliputi relasi dengan
masyarakat. Berdasarkan hal tersebut maka tiga komponen yang menjadi rantai yang
saling terikat untuk mewujudkan bangsa yang melek politik, yaitu: 1). Sumberdaya
Manusia; 2). Organisasi; 3). Relasi/hubungan. Ketiga komponen tersebut akan saling
mempengaruhi untuk meningkatkan nilai kualitas dan kuantitas agar sebuah tujuan
tercapai.
Ketiga komponen tersebut merupakan modal yang sangat penting dalam
setiap organisasi profit dan atau non profit. Operasional modal tersebut berfungsi
melalui eksistensi pengetahuan yang dimiliki. Di kalangan perusahaan ekonomi,
pemberdayaan ketiga modal ini terbukti meningkatkan kinerja dan profit bagi
perusahaan mereka, modal tersebut dinamakan kapital intelektual (capital
intellectual). Kapital intelektual merupakan kunci dari berjalannya sebuah
organisasi/perusahaan, strategi-strategi yang disusun untuk mencapai tujuan akan
dirancang oleh kemampuan,keterampilan dan pengetahuan sumberdaya manusia yang
diaktualisasikan
melalui
struktur
organisasi/perusahaan
berupa
menciptakan
inovasi,nilai, produk, dan pelayanan (service) serta memperkokohnya melalui
hubungan dengan pihak-pihak yang dapat meningkatkan pengetahuan dan nilai .
Memperhitungkan tiga komponen kapital intelektual yaitu sumberdaya manusia
10
(kapital manusia), struktur (kapital struktur), dan hubungan/relasi (kapital relasi)
merupakan
pertimbangan
yang
logis
untuk
mewujudkan
visi
dan
misi
organisasi/perusahaan.
Melihat kembali pada realita pendidikan politik di tingkat nasional dan daerah
yang berpengaruh pada tingkat partisipasi pemilu, maka tiga modal intelektual kapital
yang dimiliki oleh institusi/lembaga politik dan masyarakat harus dievaluasi kembali
meliputi: 1). Kapital manusia: bagaimana kondisi pengetahuan yang dimiliki; 2).
Kapital struktural/organisasi: bagaimana sistem kinerja yang berjalan dan apa
pelayanan/produk yang dihasilkan untuk mencapai tujuan masyarakat melek politik,
serta apakah selalu ada inovasi politik yang dihasilkan untuk memperbaiki kinerja
dan hasil; 3). Kapital relasi/hubungan: siapa saja mitra yang digandeng untuk
menciptakan kinerja dan nilai output yang lebih baik. Dengan demikian melalui
manajemen tiga kapital intelektual tersebut maka akan tercipta pendidikan politik
yang berkelanjutan, maka manajemen kapital intelektual politik merupakan cara
untuk menjadikan masyarakat melek/sadar politik dan ikut serta dalam partisipasi
politik (pemilu).
1.2 Penelitian Terdahulu dan State of Art
Penelitian mengenai pendidikan politik dan partisipasi politik serta pemilu
telah banyak dilakukan untuk menganalisa masalah dan fenomena politik di setiap
daerah dan negara, diantaranya:
1. Schipper dan Woo (2015): Political awareness, Micro-targeting of voter,
and Negative electoral Campaigning.
11
Pemetaan perhitungan matematimatis dengan cara memasukkan variabel
pengetahuan dan harapan kandidat politik serta pemilih, sehingga kandidat
dapat memprediksi perolehan suara yang akan dicapai melalui estimasi
stategi micro-targeting. Dalam penelitian pun dipaparkan variabel public
relation yang baik dapat berpengaruh hebat terhadap perolehan suara,
seperti yang terjadi pada pemilihan presiden Amerika Serikat antara
Obama dan McCain.
2. Ahmed (2011): Students ’Exposure to Political Newson the Internet and
Political Awareness : A Comparison between Germany and Egypt.
Penelitian ini membahas perbandingan remaja (mahasiswa) di negara
Jerman dan Mesir dalam partisipasi pemilu melalui akses media internet,
karena remaja saat ini merupakan era remaja”gadget minded”, dan
persentase hasil dari metode kuantitaif yang digunakan menunjukkan
pengaruh yang sangat kuat sekali antara informasi politik di internet dan
media massa terhadap tingkat partisipasi pemilih remaja di Jerman dan
Mesir.
3. Arianto (2011): Analisis Penyebab Masyarakat Tidak Memilih Dalam
Pemilu.
Kesimpulan dari penelitian ini setidaknya ada lima faktor yang membuat
orang tidak memilih mulai dengan faktor internal yaitu faktor teknis dan
pekerjaan, serta faktor ekternal yang terdiri dari administratif, sosialisasi
dan politik. Kelima faktor ini berkontribusi terhadap meningkatnya angka
12
golput. Harus ada upaya
yang maksimal untuk memenimalisir
meningkatnya angka masyarakat yang tidak memilih dalam pemilu.
Karena kualitas pemilu secara tidak langsung juga dilihat dari legitimasi
pemimpin yang terpilih. Semakin kuat dukungan rakyat semakin kuatlah
tingkat kandidat yang terpilih.
4. Udende (2011): Mass Media, Political Awareness and Voting Behaviour
in the Nigeria’s 2011 Presidential Election
Pada penelitian mengenai peran media masa pada pemilu presiden di
Nigeria pada tahun 2011,menunjukkan hasil yang signifikan antara media
massa dengan kesadaran politik masyrakat Nigeria, sehingga masayarakat
Nigeria menunjukkan antusias kesadaran politiknya melalui partisipasi
pemilu presiden.
5. Ahdiyana (2009): Pemilu sebagai wahana pendidikan politik.
Melalui pemilu diharapkan tidak hanya sebagai ajang seremonial
pemilihan saja namun ada jejak pengetahuan yang melekat pada
masyarakat yaitu pendidikan politik, oleh sebab itu seluruh elemen bangsa
ikut terlibat dalam suksesi pendidikan politik di Indonesia.
6. Mondak (2009): Reconsidering the measurement of political knowledge.
Pengukuran pengetahuan politik selama ini hanya melihat indikator
kepada instrument penelitian kuisioner atau pertanyaan yang dijawab
benar oleh responden, namun tidak pernah mempertimbangkan variabel
DK (Don’t Know) dari respondent sebagai variabel yang patut
13
dipertibangkan dan diteliti kembali apa faktor yang menyebabkan kondisi
tersebut ;apakah dari formulasi/sistem pendidikan, ataukah dari pengaruh
lingkungan dan psikologis pribadi.
7. Carr dan Thesee (2008): The Quest For Political (Il)Literacy, Responding
To, And Attempting To Counter, The Neoliberal Agenda.
Jurnal penelitian yang dilakukan di Montreal,Amerika Serikat ini
menghasilkan rekomendasi bagi pemerintah dan pejabat politik untuk
menyelenggarakan pendidikan yang berkeadilan sosial, terutama bagi
kalangan ras kulit hitam, agar mereka dapat memahami pengetahuan dan
tidak buta politik sehingga dapat berkontribusi untuk pemerintahan.
8. Lewis dan Harris (2006): The Influence of Politics on Education and
Religion: How Much Is Too Much?
Penelitian ini difokuskan pada pengaruh dan keseimbangan pendidikan
politik dalam struktur demokrasi dengan pemahaman dan penerapan moral
agama yang membatasi agar politik tidak menjadi senjata untuk
menumpas orang lain. Hal ini ternyata banyak yang belum terealisasi,
sehingga perananan agama dalam politik harus menjadi perhatian besar
pemerintah di Kalifornia.
9. Lawrence (2003): The Role of Political Sophistication in the Decision
Making Processes of Voters.
Pada penelitian ini dipaparkan hubungan level sofistik politik dengan
demokrasi dan pemilu, hasil dari analisa penelitian menunjukkan ada
14
pengaruh besar antara perkembangan demokrasi dengan sofistik dan
pengetahuan politik warganegara.
10. McAllister (2001): Civic educatin and Political Knowledge in Australia.
Dalam peelitian ini ditekankan bahwa pendidikan politik masih
dikendalikan oleh para elite politik sehingga pendidikan politik hanya
sebatas promosi imej kelompok tertentu dengan demikian pendidikan
politik bukan milik public. Rekomendasi dari penelitian ini yaitu agar
pemerintah dengan serius menyikapi fenomena ini.
11. Singleton (1966): Political Awarenes Among Students of Southeastem
State College.
Melalui penelitian ini dapat diketahui bahwa kesadaran politik (political
awareness) sangat berbeda berdsarkan masing-masing jurusan studi yang
ditempuh oleh msyarakat.
Berdasarkan tinjauan penelitian terdahulu secara umum membahas dan
meneliti kondisi masyarakat secara kasuistik daerah atau negara lokasi penelitian
secara
deskriptif
dan
mengkuantifikasikannya
melalui
hubungan
variabel-
variabelnya, namun belum pada tahap konseptual yang dapat dijadikan solusi
terhadap permasalahan yang ada. Oleh sebab itu sebuah konseptual baru dalam
penelitian ini menjadi state of art yang akan dibahas, yaitu konsep manajemen kapital
intelektual politik. Dalam rangka meningkatkan tingkat melek politik bangsa
Indonesia, maka kapital intelektual politik harus dioptimalkan agar tingkat
pemahaman dan partisipasi politik warga Indonesia secara umum, dan masyarakat di
15
daerah pada khususnya dapat maksimal terwujud untuk perkembangan demokrasi dan
pemerintahan.
Sejauh ini, penelitian mengenai kapital intelektual dalam bidang politik belum
tersentuh sehingga diharapkan penelitian ini dapat menjadi solusi secara konseptual
bagi perkembangan politik dan tingkat melek masyarakat terhadap politik dan
berpengaruh pada partisipasi politik dan pemilu.
Hubungan variabel yang saling
berpengaruh terhadap tingkat
melek dan partisipasi politik
Penelitian Terdahulu
tentang tingkat melek,
pendidikan dan
partisisipasi politik
Faktor penghambat dan alasan tidak
berpartisipasi dalam politik
Penelitian saat ini
Kapital manusia
State of art
Manajemen
Kapital
intelektual politik
Gambar 1.3 Skema State of Art Penelitian
16
Kapital organisasi
Kapital relasi
Partisipasi
politik
1.3 Rumusan Masalah Penelitian
Kondisi partisipasi pemilu di kota Cimahi,Jawa Barat yang menurun pada tiap
periode pemilu menunjukkan tingkat melek politik masyarakat kota Cimahi masih
rendah, karena partisipasi politik dan pengetahuan politik akan saling memberikan
pengaruh (Carpini dan Keeter,1996). Oleh sebab itu perlu dianalisis akar
permasalahan yang menghambat perkembangan pendidikan politik di kota Cimahi
sehingga partisipasi pemilu menurun. Selain itu manajemen kapital intelektual politik
di kota Cimahi yang belum optimal sehingga pendidikan politik berkelanjutan belum
tercapai. Untuk menganalisa kondisi partisipasi pemilu di kota Cimahi, maka
dirumuskan beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1. Sejauh mana upaya yang dilakukan oleh KPU dan stakeholder dalam
rangka menyukseskan pemilu di kota Cimahi? Apaka h kendala yang ada
selama pemilu berlangsung?
2. Bagaimana KPU dan stakeholder menangani permasalahan penurunan
partisipasi pemilu di kota Cimahi?
3. Apa metode pendidikan politik yang dimiliki oleh KPU kota Cimahi?
Sejauh mana pengaruhnya terhadap pemilih pemilu di kota Cimahi?
4. Apakah pendidikan politik yang berkelanjutan dapat memberikan
pengetahuan politik kepada pemilih secara efektif?
5. Bagaiamana proyeksi pendidikan politik melalui manajemen kapital
inteletual politik dalam rangka meningkatkan partisipasi pemilu?
17
6. Bagaimana prospek manajemen kapital intelektual
politik untuk
pendidikan politik berkelanjutan bagi pemilu selanjutnya?
1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan dari manajemen kapital intelektual politik pada penelitian ini yaitu
untuk mewujudkan pendidikan politik yang berkelanjutan sehingga masyarakat kota
cimahi memiliki tingkat melek politik yang optimal sehingga mereka dapat
berpartisipasi politik dan pemilu dengan penuh kesadaran dan tanggungjawab.
Secara umum, tujuan dan manfaat penelitian ini semoga dapat menjadi acuan
role model konseptual bagi kalangan praktisi politik, akademis dan masyarakat untuk
mengoptimalisasikan kapital intelektual politik yang terdiri dari aspek kapital
manusia, kapital struktur dan kapital relasi, agar dapat saling bersinergi dalam
mewujudkan melek politik melalui pendidikan politik berkelanjutan.
18
BAB II
TINJAUAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1 Partisipasi Politik
Proses partisipasi politik
merupakan salah satu poros proses demokrasi
khususnya bagi negara-negara berkembang yang sistem demokrasinya sedang
tumbuh. Hubungan partisipasi politik dengan demokrasi adalah sejauh mana sistem
demokrasi itu dapat mempertahankan keberlangsungan hidup yang adil bagi rakyat
(Axford,et.al :2005). Oleh sebab itu setiap warganegara minimal harus mempunyai
informasi politik atau pemahaman situasi politik di negaranya agar dapat
berpartisipasi dalam politik, maka peran pengetahuan politik sangat penting sebagai
landasan bertindak dalam berpartisipasi politi.
Ada hubungan yang kuat antara
partisipasi politik dengan pengetahuan politik, partisipasi politik dan pengetahuan
politik saling berpengaruh satu sama lain (Carpini dan Keeter,1996:186), artinya naik
dan turunnya akan membawa pengaruh naik dan turunnya variabel yang lainnya.
Ada beberapa definisi partisipasi politik diantaranya:
Menurut El-Baz ( Ahmed, 2011): partisipasi politik merujuk pada persamaan
kesempatan . individu atau warganegara untuk berkontribusi dalam struktur dan
formasi pemerintahan, turut andil dalam pengambilan keputusan nasib bangsa,
bahkan partisipasi politik bisa juga diwujudkan dalam peran positif individu dalam
kegiatan politik baik sebagai kandidat atau partisipasi dalam parpol atau mengadakan
diskusi. Sebagian pengamat politik menurut Annaba (Ahmed,2011) berpendapat
bahwa partisipasi politik sebagai kontribusi individu yang dapat berpengaruh pada
19
pengambilan keputusan termasuk dalam opini terhadap isu politik atau fenomena
tertentu, mendaftar sebagai anggota parpol, masuk dalam organisasi masyarakat
(ormas), pemberian suara pada pemilu, atau menjadi anggota legislatif dan eksekutif .
Menurut El-Menoufy (Ahmed,2011), partisipasi politik adalah kemampuan
warganegara untuk menyuarakan keputusannya dalam cara yang secara tidak
langsung akan berpengaruh pada pembuat keputusan (pemerintah).
Sedangkan menurut El-Samaluty (Ahmed,2011), partisipasi politik adalah
pengambilan keputusan berdasarkan pada kepentingan, suara dan kehendak rakyat.
El-Samaluty (Ahmed,2011) menambahkan bahwa partisipasi politik merupakan
proses melalui peran individu yang memberikan makna positif bagi masyarakat,
dimana individu tersebut mempunyai kesempatan untuk berpartsipasi mewujudkan
tujuan dan recana utama serta prosedur mengimplementasikannya. Aljohary dan
Soliman (Ahmed,2011) menyatakan bahwa proses partisipasi politik dicerminkan
dalam pemilihan atau donasi publik untuk membantu lingkungan masyarakat mereka
dalam berpartispasi serta dalam proses pembuatan keputusan, dimualai dari
ketertarikan sosial, pengetahuan politik, pemilu, lembaga politik dan keanggotaan,
sampai pada aksi politik yang terbilang keras.
Sementara itu menurut Rosenstone dan Hansen (1993) partisipasi politik
termasuk dalam mengambil bagian dalam aktifitas politik seperti donasi untuk
kampanye atau ditambahkan oleh Kenski dan Stround (2006:187) partisipasi politik
dapat juga diartikan sebagai usaha mencoba memberi pengarahan kepada masyarakat
20
bagaimana carannya memberikan suara pada saaat pemilu, atau berbincang politik
dengan teman atau keluarga.
Partispasi politik berhubungan dengan kebebasan individu, kesamaan diantara
warganegara, instruksi pemerintah bahwa ada hak untuk warga negara untuk
berpartisipasi dan kesempatan untuk mengejar hak partispasi ini berlangsung tanpa
tekanan dan ancaman. Ada beberapa yang mendefinisikan bahwa partisipasi politik
itu adalah keterlibatan dan interaksi warganegara dalam proses politik dengan
pemerintahan mereka melalui pemilu, opini publik, menjadi kandidat, dan partisipasi
dalam institusi politik (Ahmed,2011).
Menurut Cathy, et al (Ahmed,2011) ecara umum, pemilih pemula (remaja)
sekarang sangat kurang dalam partisipasi politik dan aktivitas masyarakat, pola fikir
yang ada dalam benak manusia
meliputi
5 poin; 1). Tinggal di rumah;
2).
Menyelesaikan sekolah; 3). Melamar kerja; 4). Menikah; 5). Punya anak; kelima
poin tersebut yang saat ini dijalani oleh mayoritas manusia, sebagai hasilnya tidak
heran lagi anak muda sekarang tidak begitu antusias dalam memberikan partisiasi
politiknya.
2.2 Bentuk Partisipasi Politik
Bentuk partisipasi politik tidak selalu menunjukkan hal progressif namun ada
beberapa kategori yan memasukkan aksi-aksi keras dan akan menimbulkan kerusakan
fisik dan non fisik merupakan aktivitas partisipasi politik juga. Oleh sebab itu
Huntington dan Nelson (1994) secara filosofis bertanya apakah aksi-aksi anarkis
seperti kerusuhan, demonstrasi yang berujung ricuh merupakan bentuk partisipasi
21
politik juga? Namun apabila merujuk pada beberapa literatur definisi mengenai
partisipasi politik khususnya pendapat dari El-Baz dan El-Menoufy (Ahmed,2011)
yang menekankan makna partisipasi politik adaah kebebasan individu untuk
menyuarakan hak mereka dan memberikan pengaruh kepada pusat kebijakan
pemerintah. Ditarik dari pernyataan di atas, maka aksi-aksi yang keras bisa saja
terjadi demi menyuarakan hak dan aspirasi rakyat kepada pemerintah jika jalan
“damai” telah ditempuh namun tidak ada perubahan. Secara garis besar ada dua
bentuk partisipasi politik (Ahmed,2011):
1. Tradisional; seperti, pemilu, anggota kelompok politik, mendukung kandidat
melaui finansial.
2. Non traditional; contohnya, revolusi, demontrasi, dan protes.
Kesimpulannya ada bentuk partisipasi politik tradisional yaitu memberikan
suara pada pemilu, hadir dalam pertemuan konferensi dan workshop politik,
bergabung dalam parpol,menjadi kandidat, mendukung kandidat, atau menjadi
anggota profesional dalam lembaga politik, dan tipe ini merupakan partisipasi politik
yang umum dalam kebebasan demokrasi. Sedangkan partisipasi politik nontradisioanl merupakan alternatif dari partisipasi politik tradisional,contohnya
demonstrasi, protes, kerusuhan, revolusi, tipe ini biasanya ada dalam rezim
pemeritahan yang diktator yang menutup akses individu untuk berpartisipasi politik.
Sedangkan menurut Birch (1993), tipe partisipasi politik terdiri dari:
1. Memberikan suara pada pemilu
2. Kampanye pada saaat pemilihan
22
3. Menjadi anggota aktif parpol
4. Menjadi anggota aktif kelompok masyarakat
5. Mengambil bagian dari demonstrasi politik
6. Menjadi anggota penasihat pemerintah
7. Terlibat dalam program implementasi kebijakan sosial
Sementara itu, Ahmed (2011) memaparkan bentuk-bentuk aktivitas yang
termasuk partisipasi politik termasuk di dalamnya adalah bentuk protes dan
demonstrasi:
pemboikotan
Aktif di kegiatan
umum
Menjadi aktivis
garis terdepan
Memberikan
suara pemilu
Donsai finansial
untuk parpor
atau kandidat
Partisipasi
politik
Menjalin
komunikasi
kandidat teroilih
menandatangani
perjanjian
Diskusi politik
Hadir pada
pertemuan,konferensi
Protes dan
demonstrasi
dan workshop artai
Gambar 2.1 Bentuk Partisipasi Politik. Sumber: Ahmed (2011)
23
Partisipasi politik bisa diwujudkan dalam bentuk diskusi (Ahmed, 2011)
namun diskusi ini ada yang bersifat berkelanjutan dan ada juga yang bersifat
temporal, menurut pendapat Rush dan Althoff (1997) suatu bentuk partisipasi politik
yang sebentar-sebentar (temporal) adalah bentuk diskusi politik informal oleh
individu-individu dalam keluarga mereka masing-masing, di tempat bekerja atau
diantara sahabat-sahabat. Jelas bahwa peristiwa diskusi semacam itu bervariasi baik
diantara individu maupun dalam relasinya dengan peristiwa diskusi tadi. Mungkin
terdapat lebih banyak diskusi selama masa kampanye pemilihan, atau pada waktuwaktu krisis politik.
Akan tetapi ada beberapa orang yang mungkin tidak mau berdiskusi politik
dengan siapapun, namun demikian mungkin dia mempunyai sedikit minat dalam
soal-soal politik, dan menyalurkan minat tersebut lewat media massa. Mereka akan
mampu mendapatkan informasi untuk diri sendiri tentang apa yang sedang terjadi,
dan memberikan pendapat tentang peritiwa yang terjadi, akan tetapi mereka
cenderung akan membatasi partisipasi mereka terhadap diskusi, dan mungkin juga
membatasi terhadap pemberian suara pada pemilu. Namun meski secara hirarkis
pemberian suara saat pemilu merupakan partisipasi politik hirarkis terkecil (Rush dan
Althoff, 1997), namun memberikan suara pemilu tetap menjadi hal yang paling dasar
dan paling argumentatif untuk aktivitas demokrasi dan menjadi pertimbangan
stabilitas demokrasi (International Institute for Democracy and Electoral Assistance,
1999).
24
Menduduki jabatan politik atau administratif
Mencari jabatan politik atau administratif
Keanggotaan aktif suatu organisasi politik
Keanggotaan pasif suatu organisasi politik
Keanggotaan aktif suatu organisasi semu politik (quasi political)
Keanggotaan pasif suatu organisassi semu politik (quasi political)
Partisipasi dalam rapat umum, demonstrasi, dan sebagianya
Partisipasi dalam diskusi politik informal, minat umum dalam politik
Voting (pemberian suara)
Apatis total
Voting (pemberian suara)
Gambar 2.2 Hirarki Partisipasi Politik
Sumber: Rush dan Althoff (1997)
Dalam mempertimbangkan partisipasi politik, bagaimanapun juga terbatasnya
peristiwa tersebut, harus ada perhatian terhadap mereka yang tidak berpartisipasi
sama sekali dalam proses politik. Apakah hal ini disebabkan oleh pilihan atau karena
faktor diluar kontrol individu, akan tetapi bagaimapun juga individu sedemikian itu
dapat dinyatakan sebagai orang-oarang apatis secara total.
Dalam gambar hirarki tersebut dihilangkan kekerasan dan keasingan. Hal ini
disebabkan karena kedua-duanya tidak dapat dipertimbangkan di dalam pengertian
hirarkis. Kelak akan dipersoalkan betapa alienasi akan mengakibatkan partisipasi atau
non partisipasi seseorang yang bersikap bermusuhan terhadap masyarakat pada
umumnya, atau sisitem politik pada khususnya, memungkinkan menarik diri dari
semua macam partisipasi, dan mengikuti kelompok mereka yang apatis total., atau
25
mungkin ia akan menjadi aktif pada berbagai tingkatan partisipasi. Partisipasi tidak
perlu menyangkut akseptansi (penerimaan) terhadap sistem politik, dan alienasi dapat
dinyatakan baik dalm bentuk aktivitas politik, namun ketidakaktifan politik.
Demikian juga kekerasan dapat memanisfestaikan diri dalam berbagai
tingkatan pada satu hirarki, tidak hanya dalam bentuk demonstrasi atau kerusuhan
saja, akan tetapi juga melalui beragam organisass politik dan semu-politik beberapa
diantaranya bahkan mungkin menganggap kekerasan sebagai suatu sarana efektif
untuk mencapai tujuan. Tidak semua sistem politik mempunyai bentuk pemilihan;
beberapa sistem sangat membatasai dan melarang rapat-rapat umum serta demontrsai.
Selanjutnya, apatis,alienasi, dan penggunaan kekerasan jelas berbeda menyolok dari
sistem yang satu ke sistem yang lain, akan tetetapi tetap merupakan faktor yang
penting dalam penyelidikan partisipasi politik. Hal ini jelas diperlihatkan oleh suatu
peneyelidikan singkat mengenai voting dalam sistem-sistem politik yang berbeda.
Tujuan voting mungkin untuk memilih (secara langsung ataupun tidak
langsung), suatu pemerintahan, atau berbagai pejabat, atau anggota badan legisatif,
ataupun untuk menyetejuai atau tidaknya mengenai asal usul tertentu dengan jalan
suatu referendum.
Arti voting juga berbeda, sesuai dengan tujuan pemilihan: pemilihan nasional
biasanya dianggap lebih penting daripada pemilihan lokal; sedangkan pemilihan
seorang kepala eksekutif biasanya lebih penting daripada pemilihan seorang anggota
legislatif. Faktor-faktor lain seperti luasnya hak suara juga dapat mempengaruhi
pentingnya arti voting. Dalam beberapa sistem politik voting dapat memainkan
26
peranan yang sangat besar, seperti menentukan partai mana atau orang-orang mana
yang akan memegang kekuasaan politik untuk suatu masa tertentu; akan tetapi sistem
lain, voting merupakan peristiwa yang sedikit lebih besar dari suatu upacara ritual,
dimana orang-orang yang berkuasa berusaha mendapatkan legitimasi bagi
peerintahannya.
Tetapi dalam peneyelidaikan sebab dan alasan berpartisipasi, mengapa ada
orang yang menghindari semua bentuk partisipasi, atau hanya berptisipasi pada
tingkatan paling rendah saja. Semua ini menjadi semakin pentig lagi sehubungan
dengan fakta, bahwa mereka yang benar-benar berpartisipasi dalam bentuk yang
paling banyak dalam aktivitas politik merupakan minoritas dari anggota masyarakat.
Ada istilah diterapakan pada mereka yang tidak turut serta yakni apatis, sinis, alienasi
(terasing), anomi (terpisah).
Jelas sekali bahwa istilah ini sama sekali tidaklah sinonim walaupun kata-kata
ini dapat dihubungkan satu saama lain, dan barangkali memiliki beberapa cirri
karakteristik yang sama.
2.2.1 Apatis
Apatis (masa bodoh/tidak peduli) yaitu tidak punya minat atau tidak punya
perhatian terhadap orang lain, situasi, atau gejala-gejala secara umum/khusus. Seperti
pola tingkah laku, dsb. Berhubungan dengan partisipasi politik, sifat paling penting
dari seorang yang apatis adalah kepasifannya atau tidak adanya kegiatan politik .
Namun demikian, apakah apatis harus dibatasi sampai mereka menjauhakan diri dari
semua tipe partisispasi politik termasuk voting/pemungutan suara. Atau apakah istilah
27
tersebut harus diterapakan secara lebih luas kepada mereka yang menjauhakan diri
dari partisispasi yang aktif, terutama meraka yang menghindari kegiatan lewat
organisasi politik atau semua politik. Gambar hirarki di atas hanya menunjuk pada
apatis total, yaitu mereka yag menjuhakan dari semua tipe partisipasi politik.
Menurut Rosenberg (Rush dan Althoff,1997 ), ada 3 alasan seseorang
memilih menjadi apatis:
1. Konsekwensi yang ditanggung dari aktivitas politik. Hal ini dapat diambil
beberapa sudut pandang: individu dapat merasa bahwa aktifitas politik
merupakan ancaman terhadap berbagai asapek hidupnya. Aktivitas politik
dapat menjauhkan dari teman,tetangga, keluarga. Posisi sosialnya bisa
terganggu.
2. Alasan sia-sia saja. Sebagai individu tunggal, dia mungkin merasa bahwa
dia sama sekali tidak mamapu mempengaruhi jalannya peristiwa, dan
bahwa kekuatan politik yang bersifat bagaimanapun juga ada di luar
kontrol individu. Bahwa hasil politik merupakan hasil kesimpulan yang
telah lampau, dan merasa bahwa dengan mengggabungkan diri dengan
orang lain untuk mendapatkan suatu tujuan politik adalah tdak berguna.
Pada akhirnya dia merasa adanya suatu jurang pemisah anatara idealidealnya dengan relita politik, suatu jurang pemisah sedemikian besarnya
sehingga tidak ada sejumlah aktivitas politik yang kiranya bisa
menjembataninya.
28
3. Merasa politik tidak menarik, tidak menimbulkan kepuasan, partisipasi
politik tidak layak bagi pemenuhan kebutuhan pribadi dan kebutuhan
materiil individu.
2.2.2 Sinisme
Sinisme adalah sikap yang dapat diterapkan pada tindakan aktif maupun
ketidakaktifan. Agger,et.al dan Litt (Rush dan Althoff,1997) mendefinisikan sinisme
adalah kecurigaan yang buruk dari sifat manusia, menghubungkan sisnisme dengan
variabel lainnya, sinisme politik cenderung berkurang dengan adanya pendidikan
yang lebih tinggi, dan sampai pada tolak ukur ekonomi yaitu tingkat pendapat
sehingga partisispasi politik menjadi turun karena hadirnya sinisme.
Maka sisnisme merupakan perasaaan yang menghayati tindakan dan motif
orang lain dengan rasa kecurigaan. Secara politis sisnisme menampilkan diri dalam
berbagai cara: seperti ungkapan dan pikiran bahwa “politik adalah suatu urusan yang
kotor”, “politisi tidak dapat dipercaya”, “individu hanya menjadi bulan-bulanan
dari kelompok yang memanipulasi”,dsb. Seorang yang sinis luar biasa mungkin saja
merasa bahwa partisipasi politik dalam bentuk apapun juga adalah sia-sia dan tidak
berguna, dan dengan demikian dia mengikuti barisan orang-orang apatis secara total;
sisnisme hanya membatasi partisipasi atau dianggap hanya sebagai satu-satunya cara
realistis untuk melihat persoalan karena itu sisnisme tidak dapat menghindari
partisipasi pada semua tingkatan hirarki, walaupun sisnisme itu mungkin memberikan
suatu penjelasan menenai non partisipasi oleh orang-orang tertentu pada tingkattingkat khusus.
29
2.2.3 Alienasi
Alienasi cenderunng pada permusuhan. Lane (Rush dan Althoff,1997)
mendefinisikan alienasi adalah perassaan keterasingan seseorang dari politik dan
pemerintahan dan masyarakat masayarakat serta kecenderungan berfikir mengenai
pemerintahan dan politik bangsa yang dilakukan oleh orang untuk orang lain, hanya
mengikuti sekumpulan aturan yang tidak adil. Sifat ini melampaui sinsime.
2.2.4 Anomi
Anomi, istilah ini dirancang oleh Durkheim dan Lane (Rush dan
Althoff,1997) endefinisikan anomi adalah perasaan kehilangan nilai dan ketiadaan
arah dimana individu mengalami mengalami perasaan ketidakefektifan dan bahwa
para penguasa bersikap “tidak peduli” yang mengakibatkan devaluasi dari tujuantujuan dan hilangnya urgensi untuk bertindak.
Secara sederhana penting untuk mebedakan dengan jelas antara apatis,
sisnisme, alienasi dan anomi. Didefinisikan secara sederhana, apatis adalah tidak ada
atau kurangnya minat; sisnisme adalah suatu sikap tidak senang dan kecewa,
sedangkan alienasi dan anomi keduanya menyangkut perasaan kerenggangan atau
keterpisahan dari masyarakat; sedangkan alienasi mempunyai ciri permusuhan, maka
anomi dicirikan dengan kebingungan fakta mengemukakan, bahwa mereka yang
apatis secara total paling tidak adalah sinis dan lebih sering terasing atau bersifat
anomis. Akan tetapi apatia, sinis, alienasi dan anomi semuanya adalah masalah taraf
dan
karena itu mungkin tidak hanya mempengaruhi mereka yang menghindarkan
semua bentuk partisipasi saja tetapi juga mempengaruhi mereka yang terlibat daam
30
kegiatan politik. Taraf relatif dari apatis, sinisme, alienasi dan anomi dapat
diperhitungkan non-partisipan pada tingkatan partisipasi politik yang lebih tinggi,
namun tidak menutup kegiatan pada tingkat hirarki yang lebih rendah
2.3 Variabel Pengaruh Partipasi Politik
2.3.1 Ketertarikan Politik
Istilah political
interest
menunjukkan keinginan warganegara untuk
memperhatikan fenomena politik yang lebih enarik daripada topic lain. Saat kita
mengatakan bahwa seseorang tertarik dengan politik, artinya kita akan melihat dia
akan menghabisan waktu untuk fokus pada politik, dan begitu pula sebaliknya apabila
kita melihat orang yang tidak tertarik dengan politik (Lupia & Philopt, 2005: 1122).
Warganegara yang tertari politik yaitu orang yang mengikuti politik, yang peduli
tentang apa yang terjadi, dan dia akan konsentrasi emperhatikan siapa yang menang
dan kalah dalam kancah politik (Verba dan Henry,1995: 345). Delli Ketertarian
politik merupakan predikator terdekat dari tipe pengetahuan politik
( Carpini & Keeter, 1995: 175).
Secara politis, orang-oran yang tertarik politi adalah orang yang memiliki
pengetahuan mengenai politik, dan akan berefek pada aksi memberikan suara saat
pemilu dan ikut berpartisipasi dalam politik (Carpini & Keeter 1996; Ahmed,2011).
Oleh sebab itu, memahami peran political interest dan hubungan pengaruhnya dengan
variabel politik lainnya akan menjadi sesuatu yang penting bagi perkembangan
partisipasi dan kesadaran politik.
31
2.3.2 Pengetahuan Politik
Pengetahujan politik hampir dekat definisinya dengan sofistik politik
(diskursus politik) karena obye kajian sofistik adalah pengetahuajn di bidang politik.
Pengetahujan politik adalah serangkaian informasi faktual tentang politik yang berada
di dalam memori yang panjang atau diskusi interpersonal tentang politik (Carpini &
Keeter,1996). Pengetahuan politik diperoleh melalui pendidikan formal, interpersonal
diskusi tentang politik, dan media baru dan traditional seperti Koran dan buku bacaan
level akademis (pendidikan formal) dsb. Peneliti membagi pengetahuan politik ke
dalam dua komponen: 1) perbedaan (differentiation); sejumlah fakta politik atau
onsep yang dimiliki individu; 2). Penyatuan (integration); kemampuan untuk
menghubungkan dan menyambungkan fakta-fakta atau konsep-konsep. Dari
pembagian dua komponen tersebut didapatkan dua istilah yaitu pengetahuan faktual
dan pengetahuan struktural (Carpini dan Keeter, 1996):
1. Pengetahuan politik faktual, yaitu kemampuan untuk mengingat dan
mengenali sejumlah informasi yang dibedakan melalui observasi menjadi
benar dan salah (Carpini dan Keeter, 1996; Evelan et al, 2008). Pengetahuan
politik faktual dapat diinvestigasi melalaui beberapa pertnyaan, misalnya,
nama orang yang atif di dunia politik, posisinya apa dalam sistem politik,
pengetahuan seputar kandidat yang mencalonkan dalam pemilu dan isu-isu
politik yang sedang berkembang.
2. Pengetahuan politik structural, yaitu menunjukan pada cara informasi faktual
diorganisir oleh seorang individu, sebagai contoh, ideolog politik adaah sikap
32
politik yang sudah distrukturkan. Demikian pula kinerja dalam partai akan
mengikuti pengetahuan yang sudah terstruktur termasu skema dan ideologi.
Penggunaan media dan teknologi dalam mengembangkan pengetahuan politik
telah luas dipakai oleh masayrakat, diantaranya media internet yang telah
digunakan sebagai media kampanye politik, diskusi politik dan ruang
menumpahkan suara yang pro dan kontra dengan sistem politik yag sedang
berjalan (Ahmed,2011).
2.3.3
Diskursus Politik
Diskursus politik pada umumnya difokuskan pada komunikasi oleh institusi
politik atau oleh para aktor politik dan semua bentuk komunikasi yang berhubungan
dengan politik. Maka hubungan public politik baik internal dan eksternal, bertia,
komentar, films, talk shows, keseharian masyarakat memperbincangkan politik semua
sisi diisi dengan diskursus politik (Wessler, 2008). Diskursus politi merujuk pada
ketertarikan individu dalam setiap kesempatan berkomunikasi atau berbincang
dengan yang lain (keluarga,teman, saudara,dsb) topiknya seputar masalah poitik
(Ahmed, 2011).
Frekwensi diskusi politik secara konsisten akan menghasilkan efek positif
pada partisipasi dan kesadaran politik (Ahmed,2011; Verba dan Henry,1995). Peran
penting komunikasi interpersonal sangat penting dalam rangka mengajak masyarakat
berpartisipasi (Verba dan Henry, 1995), dan dapat dikatakan juga bahwa pengaruh
partisipasi politik atau variabel lain termasuk penggunaan media secara tidak
33
langsung dipengaruhi oleh pengetahua politik dan penggunaan media (McLeod et al.,
1999).
2.3.4 Kesadaran Politik
Kesadaran politik sebagai kesatuan semua visi individu atau kognisi dan ide
individu termasuk ketertarikan dan pengetahuan politik yang memfasilitasi
kemampuan dan pemahaman individu terhadap masalah masyarakat. Proses ini
menstimulu tenggungjawab individu terhadap partisipasi untuk merubah masa depan
masayarakat dan proses politik melalui partispasi dalam aspek sosial dan politik
(Ahmed,2011). Dengan demikan ada 3 elemen dari definisi tersebut:
1. Pengetahuan dan kognisi politik
2. Ketertarikan politik individu
3. Kapasitas partisipasi politik dan kemampuan mengubah sistem politik.
34
Ketertarikan
Diskursus
politik
politik
Partisipasi politik
Pengetahuan
politik
Kesadaran
politik
Gambar 2.3 Hubungan variabel yang mempengaruhi partisipasi politik
Sumber: Ahmed (2011)
2.4 Sosialisasi dan Komunikasi Politik
Sosialisasi politik ditentukan oleh lingkungan sosial, ekonomi dan
kebudayaan di mana individu berada; selain itu juga ditentukan oleh interaksi
pengalaman-pengalaman serta kepribadiannya. oleh karena itu sosialisasi politik
dalam beberapa hal merupakan konsep sosiologi politik; pertama,ketiga konsep lain
mengenai partisipasi, pengrekrutan, dan komunikasi erat berkaitan dengan sosialisasi
politik—partisipasi dan pengrekrutan meruakan variabel-variabel dependen yang
parsial dari sosialisasi dan komunikasi,karena keduanya menyajikan elemen dinilai
35
dalam
sosialisasi.
Kedua,
sosialisasi
politik
memprlihatkan
interaksi
dan
interdependensi perilaku sosial dan perilaku politik.
Sosialisasi erat kaitanya dengan komunikasi politik, pesan-pesan politik akan
tersampaikan melalui komunikasi/ Komunikasi politik-transmisi informasi yang
relevan secra politis dari satu bagian sistem politik kepada sistem politik yang lain,
dan antara sistem sosial dan sistem politik-merupakan unsur dinamis dari suatu
sistem politik (Deutsch,1963); dan proses sosialisasi, partisipasi, dan pengrekrutan
tergantung pada komunikasi. Komunikasi dari pengetahuan, nilai dan sikap adalah
fundamental bagi ketiga hal tadi, karena semuanya menentukan bentuk aktivitas
politik individu yang bersangkutan.
Sumber saluran
pesan
Audiens/pendengar
Umpan balik
Gambar 2.4 Model komunikasi
Sumber: Rush dan Althoff (1997)
Dalam suatu sistem komunikasi politik, sumber yang tipikal yang mungkin
adalah seorang calon untuk pemilihan bagi suatu jabatan politik pesannya akan
merupakan serangkaian usul politik, salurannya berupa siaran televisi, pendengarnya
adalah anggota kelompok pemilih, umpan baliknya dalah persetujuan atau tidak
setuju terhadap usul-usulnya.
36
Bebagai unsur suatu sistem komunikasi politi tidak perlu merupakan bagian struktural
dari
sistem
politik,
juga
perananan
mereka
dalam
proses
tidak
usah
berkesinambungan, dan dapat berubah dar satu situasi ke situasi yang lain. Mungkin.
Terlepas daari media maa dan organisaai yang bersifat formula, daa saluran
komunikasi penting ketiga yaitu kontak individu/kelompok.kontak informal atau
relasi tatap mua merupakan sarana komunikasi yang paling umum dan paling sering
dilakuan dalm setiap masyarakat, walaupun peranannya dalam komunikasi politik
mungkin lebih banyak dikaitan dengan pembentukan pendapat umumdaripada hanya
dengan penyampaian informasi politik semata; teori arus komunikasi komunikasi dua
langkah (two-step flow of communication) dikembangkan oleh lazarsfeld (Rush dan
Althoff,1997) berpendapat bahwa pengaruh media massa ditengahi melalui “opinion
leaders”. Opinion leaders ini amat irip satu sama lain, dan secara tipikal terglong pada
kelompo-kelompok primer yang daari keluarga, sahabat.
Menurut Katz (Rush dan Althoff,1997) relasi antar pribadi dari tipe ini
penting dalam 3 hal: 1). Sebagai saluran informasi yang aktual; 2). Sebagai sumber
tekanan soaisl sosial atas individu untuk mentaati berbagai orma sikap dan norm
tingah-laku; 3). Sebagai sumber duungan untuk norma-norma tadi, dan karena itu
berguna bagi kepaduan kelompok. Pola komunikasikhusus yang dikembangkan oleh
suatu sisitem politik, tidak boleh tidak bergantung pada berbagai faktor dalam
masyarakat. Yang penting adalah faktor fisik dan teknologis, ekonomis, sosiokultural
dan politis. Pada kahirnya komunikasi bergantung pada faktor-faktor fisik dan
37
teknologis, hal ini berarati melihat dari titk pandang temporal. Perembangan hstoris
dari jaringan komunikasi erat berhubungan dengan fator fisik dan faktor teknologis.
2.5 Partisipasi Pemilahan Umum
Berpartisipasi dalam pemilihan umum (pemilu) merupakan bagian dari
partisipasi politik (Rush dan Althoff,1997; Ahmed,2011), Berdasarkan paparan
teoritis sebelumnya bahwa partisipasi politik dipengaruhi oleh banyak variabel, salah
satu yang paling krusial adalah variabel pengetahuan politik (Carpini dan
Keeter,1996), maka hal ini berlaku pada partisipasi pemilu yang harus didukkung
pula oleh pengetahuan politik. Pegetahuan politik bisa didapatkan melalui pendidikan
formal dan informal (Carpini dan Keeter,1996) dengan bekal pengetahuan politik
masyarakat akan mengetahui mengenai teknis, informasi pemilu meliputi informasi
dan profil kandidat dan partai politik yang menjadi peserta pemilu. Peran media dan
jaringan internet telah banyak membantu pendidikan dan sosialisasi politik kepada
masyaraat sehingga akan memberikan pengetahuan kepada mayarakat agar ikut
berpartisipasi dala pemilu (Ahmed,2011; Verba dan Henry, 1995).
Partisipasi pemilihan umum merupakan bentuk kesadaran untuk terlibat
secara langsung dalam menentuan nasib bangsa, namun sayangya masih banyak
masyarakat yang tidak menghirauan momen ini dan memilih menjadi bagian
golongan putih. Eep Saefulloh Fatah, mengklasifikasikan golput atas empat golongan.
Pertama, golput teknis, yakni mereka yang karena sebab-sebab teknis tertentu (seperti
keluarga meninggal, ketiduran, dan lain-lain) berhalangan hadir ke tempat
pemungutan suara, atau mereka yang keliru mencoblos sehingga suaranya dinyatakan
38
tidak sah. Kedua, golput teknis-politis, seperti mereka yang tidak terdaftar sebagai
pemilih karena kesalahan dirinya atau pihak lain (lembaga statistik, penyelenggara
pemilu). Ketiga, golput politis, yakni mereka yang merasa tak punya pilihan dari
kandidat yang tersedia atau tak percaya bahwa pileg/pilkada akan membawa
perubahan dan perbaikan. Keempat, golput ideologis, yakni mereka yang tak percaya
pada mekanisme demokrasi liberal) dan tak mau terlibat di dalamnya entah karena
alasan fundamentalisme agama atau alasan politik-ideologi lain (Arianto,2011).
2.6 Pendidikan Politik Berkelanjutan
Pedidikan merupakan proses pembentukan pengetahuan dan kepribadian
kepada manusia, proses tersebut harus dijalankan secara berkelanjutan agar
internalisasi nilai dapat semakin terserap oleh individu sehingga menjadi karakter
yang kuat. Peneliti mendefinisikan pendidikan politik berkelanjutan adalah
pendidikan politik yang diselenggaraan secara berkesinambungan untuk saat ini dan
masa yang akan datang.
Urgenitas pendidikan politik berkelanjutan dilatarbelakangi oleh fenomena
tingkat melek politik masyarakat Indonesia yang tercermin pada tingkat partisipasi
pemilu yang mempunyai kecendrungan menurun disebabkan pendidikan politik
hanya bersifat parsial dan temporal, pendidikan politik diadakan ketika ada masa
pemilu, diluar masa itu, pendidikan politik tidak ada.
Aspek partisipasi politik yang tidak progressif secara umum seperti sifat
apatis, sinisme, alienasi dan anomi dapat ditangkal oleh peran pendidikan (Rush dan
39
Althoff,1997). Oleh sebab itu pendidikan politik berkelanjutan akan sangat
membantu mewujudkan masyarakat melek politik. Mengembangkan pendidikan
berkelanjutan harus diwujudkan oleh kerjasama elemen bangsa, meliputi instistusi
resmi negara, lembaga pemerintah dan swasta dan masyarakat luas. Aspek
kemampuan sumberdaya manusia yang mempunyai pengetahuan politik dan aspek
bagaimana pengetahuan politik tersebut dapat berpengaruh pada partisipasi politik
dan perkembangan demokrasi bangsa memerlukann sebuah cara tersendiri untuk
mengelolanya. Sebagai adaptasi dari sistem manajemen kapital intangible di bidang
ekonomi, maka peneliti menganalisa bahwa lembaga politik pun mempunyai kapital
intangible yang dapat dikembangkan untuk menciptakan pendidikan berkelanjutan
dan melek politik bangsa sehingga dengan mudah masyrakat dengan kesadarannya
akan berpartisipasi politik dan pemilu.
Kapital intangible disebut pula kapital intelektual (Kelly,2004) terdiri dari;
1).Kapital manusia; 2). Kapital struktur; 3). Kapital relasi. Ketiga kapital ini akan
saling bersinergi menciptakan nilai positif bagi perkembangan politik.
40
Kapital
manusia
Kapital
struktur
Pendidikan politik
berkelanjutan
Kapital
relasi
Keterangan:
Melek
politik
Partisipasi
politik
(pemilu)
Transfer dan menghasilkan pengetahuan
Gambar 2.5 Kapital Intelektual Mewujudkan Pendidikan Politik Berkelanjutan
Berdasarkan gambar 2.5 Kapital manusia, kapital struktur dan kapital relasi akan
saling berinteraksi dengan pengetahuan, mereka akan saling memberi dan menerima
pengetahuan melalui metode transfer pengetahuan yaitu:
1.
Tacit-tacit ; transfer pengetahuan yang belum terkodefikasi, seperti
pengalaman,skill, disampaikan kepada individu dengan cara pengajaran dan
praktik
2.
Tacit-Explicit; transfer pengetahuan yang belum terkodefikasi ke dalam
bentuk pendokumentasian seperti penulisan, rekaman, pemofotoan,dsb.
3.
Explicit-Tacit;
transfer
pengetahuan
dari
bentuk
yang
sudah
terdokumentasikan disampaikan kepada individu untuk diinternalisasian ke
dalam diri sebagai bentuk pemahaman dan pengalaman.
41
4.
Tidak ada metode transfer explicit-explecit karena dokumentasi pengetahuan
tidak dapat ditransferkkan ke dalam bentuk dokumen lagi tanpa ada perantara
pengalaman dan keahlian manusia










Gambar 2.6 Transfer pengetahuan
Sumber: Kelly (2004)
Dengan demikian rantai untuk saling memberikan edukasi dan evaluasi tidak
akan terputus karena interaksi tersebut akan menjadi kebutuhan satu sama lain baik di
kalangan internal lembaga maupun dengan eksternal lembaga (stakeholder).
2.7. Manajemen Kapital Intelektual
2.7.1 Sejarah Manajemen Kapital Intelektual
Pendapat Sullivan (2000) bahwa manajemen kapital intelektual mulai
dilakukan pada tahun 1980-an ketika para manajer, akademis dan para konsultan
ekonomi mulai menyadari bahwa aset intangible (aset yang tidak berwujud/tidak
42
dapat disentuh), yaitu kapital intelektual, merupakan faktor yang mempengaruhi
keuntungan perusahaan. Sebagai contoh di Jepang, sekitar tahun 1980, Hiroyuki
Itarni mencatat beberapa perbedaan kinerja diantara beberapa perusahaan Jepang dan
setelah dianalisis ternyata hal itu didasarkan pada intangible asset. Ia mempublikaikan
hasil analisanya yang menyimpulkan bahwa aset itangible tidak dapat dicapai hanya
oleh uang, memiliki multi kemampuan, penggunaan yang simultan, dan keuntungan
yang berlipat ganda secara terus-menerus. Sedangkan di Swedia, Karl-Eric Sveiby,
seorang manajer perusahaan penerbitan, menerbitkan sebuah buku pada tahun 1986
berjudul “The Know-How Company” yaitu bagaimana mengelola aset intangible.
Pada tahun 1986 Professor David Teece dari University of Berkley menulis “
Profitting fro technologyal innovation (keuntungan dari ivovasi teknologi)” sebuah
artikel yang mengidentifikasi langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk
mengekstrasi nilai dari inovasi. Implikasinya langkah ini akan memberikan pengaruh
besar terhadap keanekaragaman inovasi perusahaan. Artinya bahwa pada tahap awal
manajer dapat belajar dan selanjutnya dapat mengarahkan kepada pekerjanya,
bagaimana memaksimalkan nilai inovasi perusahaan.
Pada tahun 1991 dan 1994, Tom Stewart, seorang staff majalah Fortune,
menulis artikel berjudul “brain power” yang idenya tentang kapital intelektua (KI)l.
Pada tahun 1991, Skandia AFS untuk pertamakalinya mengorganisir sebuah
korporasi kapital intelektual dan diangkat Leif Edvinsson sebagai vice-president
untuk KI. Pada tahun 1993, The Dow Chemical Company, tertarik dalam
pembangunan profit baru dari KI nya. Dimulai dengan mencoba mengidentifikasi ide
43
atau inovasi yang memiliki kemungkinan besar dapat mengembangkan ide ini dengan
potensi keuntungan yag luar biasa. Dow mengangkat Grdon Petrash sebagai direktur
untuk aset intelektual.
Pertengahan tahun 1990-an mulai jelas bahwa ada dua hal yang terpisah tapi
saling berkaitan pemikiran KI; 1). Jalan pengetahuan dan kekuatan otak, fokus pada
kreasi dan melebarkan pengetahuan perusahaan (seperti yang dilakukan Stewart,
Edvinsson, Sveiby); 2). sumberdaya yang didasarkan pada persptektif, konsentrasinya
pada bagaimana membuat profit dari sebuah perusahaan unik kombinasi kapital
intelektual dan tangible (seperti yang dilakukan Itarni, Sullivan, Teece).
KI menjadi kendaraan yang digunakan oleh banyak perusahaan untuk
mempelajari lebih lanjut mengenai itelektual yang mereka punya. Menjalang tahun
1994, lebih kuranng ada 12 perusahaan di dunia yang berkomitmen untuk
menggunakan KI guna mengektraksi keuntungan.
Kemuadian untuk mendinaklanjuti semuanya, KI untuk berbagai macam
perspektif, metode dalam mengekstraksi nilai; Patrick Sullivan, Gordon Petrash dan
Leif Edvinsson menyetujui untuk berbicara tentang ini lebih lanjut, siapa yang paling
aktif dalam mengektrasi nilai dari KI mereka. Apa itu KI, bagaiamna mengelolanya.
Delapan dari 12 perusahaan di dunia yang diketahui aktif dalam KI dan pada januari
1995, mereka berbagi pengalaman mereka.
Setelah pertemuan pertama yang akhirnya dinaman ICM (Intellectual Capital
Management) Gathereing, partisipan perlu mendefinisikan KI berdasrkan pemahaman
elemen mayoritas yang ada. Seorang anggota mendefinisikan KI dengan konsistesi dan
44
tanggungjawab kolektif kepada perusahaan. Lalu ada yang bertanya tentang bagaimana
ekstraksinya. Kemuadian ICM Gathering mendifinisikan KI yaitu pengetahuan yang
dapat dikonversikan kedalam profit.
Jika sebuah perusahaan memiliki kapital manusia yang memiliki pengetahuan
(tacit knowledge), pengetahuan tersebut menjadi “aset intelektual (AI)
sesorang yang
Kemudian
mempunya tacit knowegde tersebut mentransformasikannya dalam
berbagai bentuk dan kodefikasi yang dipatenkan oleh perusahaan, maka AI akan
berubah menjadi aset intelektual perusahaan atau disebut Intelektual property.
Menciptakan nilai
ekstraksi nilai
Kapital manusia
Aset intelektual
Intelektual
properti
Gambar 2.7 Intelektual dan komponen pokoknya
Sumber: Harrison dan Sullivan (2000)
Secara perjalanan waktu perkembangan manajemen KI dapat
terlihat dalam gambar 2.8 dan tabel 2.1:
45
Gambar 2.8 Timeline manajemen kapital intelektual
Sumber: Harrison dan Sullivan (2000)
No
1
Tahun
1980
Nama
Itarni
2
1981
Hall
3
1986
Sveiby
4
April 1986
Teece
5
1988
Sveiby
6
1989
Sveiby
7
Summer
1989
Fall 1990
Sullivan
8
Publikasi
Penelitian:
Mobilizing
invisible Asets
Mendirikan
Perusahaan untuk
Riset pada nilai
SDM
Penelitian: “the
know –how
Company”
Paper “extracting
value from
innovation
Penelitian: The
annual report
“the invisible
sheet”
“commercializing
innovation
“knowledge
Managemaent
Sveiby
46
Keterangan
Jepang
on managing IA
introducing
“knowlegee capital
9
Fall 1990
Term
IC
10
11
Jan. 1991
Sept.1991
Stewart
Skandia
12
13
Spring.1992
1993
Stewart
St. Onge
14
Juli,1994
MVG
15
Oct. 1994
Stewart
16
Nov.1994
Sullivan,petrash,Edvinon
,
MVG
“Brainpower
Perintis pertama
perusahaan yang
memfungsikan IC,
dianamakan
Edvinsn VP
Brainpower
Embangun konsep
costumer capital
Pertemuan pertaa
Mill Valley
Groupp
Menulis headline
IC dalam cover
majalah fortune
Peolopor
Gathering ICM
2nd meeting
May 1995
Skandia
symposium on
measuring
intellectual/intangi
ble assets
"Licensing
Strategies",
published
17
Coined in Strewart’s
presence
Cle in Fortune
Article 2
Jan. 1995
18
19
April 1996
SEC
202
Sept. 1996
Sullivan and Parr book,
21
Oct. 1996
Lev
founds Intangibles
Research
22
Mar. 1997 "
Sveiby
23
Mar. 1997,
Edvinsson and Malone
book
24
April 1997,
Stewart book
publishes"The
New
Organizational
Wealth
"Intellectual
Capital",
published
"Intellectual
Capital",
published
47
First Skandia npublic
report on IC
at New York
University
25
June 1997
Hoover Intitutin
Cfe conference on
measuring
intellectual capital
rence on meas
26
March 1998
Sullivan
book, "Profiting
from Intellectual
Capital",
published
Tabel 2.1 Timeline Manajemen Kapital Intelektual
Sumber: Harrison dan Sullivan (2000)
2.7.2 Kapital Intelektual Dalam Bidang Ekonomi
Sejak kemunculannya, KI lahir di dalam dunia bisnis, diawali oleh perhatian
inovasi terhadap profit perusahaan yang dapat ditingkatkan oleh asset intangible
(Harrison dan Sullivan,2000) maka ide mengenai manajemen pengetahuan di bidang
binis dan ekonomi pun muncul, pengetahuan di perusahaan akan dijalankan oleh
kapital intelektual. Tiga aspek KI yaitu: Kapital manusia (KM), kapital struktur (KS)
dan kapital relasi (KR) (Kelly,2004; Mar,2005; Akpinar dan Akdemir,2011; ) akan
saling meningkatkan niai dan profit untuk perusahaan melalui pengelolaan
pengetahuan.
48
Gambar 2.9 Platform Nilai
Sumber: Petrash,1996
Dari ketiga komponene tersebut , KM merupakan kapital yang akan
membangun blok untuk mengkontruksi KS perusahaan dan modal keduanya juga
kemudian dapat berinterkasi menciptakan KR (Wall, et.al,2004). Sebagai pusat dari
interaksi tiga sapek ini adalah nilai (value), nilai bisa berbentuk kualitas dan
kuantitas, bentuk produk atau pun servis/jasa. Semakin sering mereka berinteraksi
melalaui pengetahua, maka semakin besar pula nilai yag akan didapatkan.
Dzinkowski (2000) menyatakan bahwa KI sebuah organisasi yang:
1. dapat menjadi hak paten tertentu, atau flexible dalam kapabilitas manusia
2. dapat menjadi keduanya input dan output dalam menciptaan nilai proses,
artinya bahwa KI adalah pengetahuan yang dikonversikan kedalam nilai, atau
akhir dari produk sebuah tranformasi pengetahuan.
KI ini merupakan pola paradigm baru dalam ekonomi (New Economy) (Wall,
et.al, 2004; Reenae, 2001) bahwa: New economy dikarakteristikkan oleh pentingnya
49
informasi dan komunikasi. Termasuk komputer hardware, software, komunikasi dan
yang berkaiatan dengannya misalnya internet.
Saat banyak perusahaan lebih mengutamakan lulusan akademis yang tinggi
menandakan bahwa posisi pendidikan dan pengetahuan mendapatkan prioritas dalam
dunia kerja, karena era sekarang bekerja dengan menggunakan otak lebih banyak
daripada orang yang bekerja mengandalkan fisik sebab pada dasarnya kemajuan
bidang
ekonomi dikendalikan oleh pengetahuan dan informasi(Akpinar dan
Akdemir, 2011). Pihak yang menguasai ekonomi, merekalah yang menguasai
persaingan, dengan demikian informasi dan pengetahuan sangat penting peranannya
untuk sebuah perusahaan dan organisasi.
Menurut The Economics Institute of Washington, D.C., bahwa nilai ekonomi
diproduksi oleh keterampilan dan pengetahuan pegawainya, oleh sebab itu pada era
millennium saat ini kapital intelektual merupakan sumberdaya primer untuk
perkembangan perusahaan (Paul dan Edward, 1999). Sementara itu, sistem ekonomi
pada masa dahulu menekankan pada aspek penggunaan lahan, sumberdaya alam,
peralatan dan modal tangible yang dapat menciptkan nilai, namun saat ini informasi
ekonomi tergantung pada aplikasi pengetahuan, dan kapital intelektual dapat menjadi
subtitusi yang menggantikan sistem tersebut sehingga perusahaan menjadi lebih
posisi kompetitif (Jurczak, 2008; Akpinar dan Akdemir, 2011; Lin, et.al, 2011).
Pengetahuan merupakan sumberdaya yang sangat penting bagi manusia, perusahaan
dan negara. Mengelola pegetahuan dan kapital intelektual sehingga menciptakann
sumberdaya baru yang bermanfaat dan kompetitif. Keuntungan dan nilai perusahaan
50
dapat naik dan turun tergantung pada bagaimana pegawai dapat mengembangkan
pengetahuan yang dimiliki.
2.7.3 Manajemen Kapital Intelektual Dalam Politik
Setiap disiplin ilmu secara strukturalnya memerlukan pertumbuhan melalui
pengetahuan dan inovasi. Oleh sebab itu manajemen kapital intelektual sangat
diperlukan dalam setiap srtruktur organisai dan disiplin ilmu. Selain disiplin ekonomi,
KI sudah diadopsi oleh berbagai macam disiplin ilmu:
Tahun
2005
Disiplin Ilmu
Teknologi
Informasi
Penulis
Giovanni
Schiuma
(University of
Basilicata)
Antonio Lerro
(University of
Basilicata)
Daniela
Carlucci
(University of
Basilicata)
Judul
An Interfirm
Perspective on
Intellectual
Capital
Keterangan
Mar (2005)
2005
Kebijakan
Publik
Ahmed
Bounfour
(University of
Marne La
Vallee)
Leif Edvinsson
(Lund
University and
UNIC)
A Public Policy
Perspective on
Intellectual
Capital
Marr (2005)
2005
Sains
J.-C. Spender
(Open
University
Business
A Knowledge
based
Perspective
on Intellectual
Marr (2005)
51
School)
Bernard Marr
(Cranfield
School of
Management)
Capital
2005
Filsafat
Göran Roos
(Cranfield
School of
Management)
An
Epistemology
Perspective on
Intellectual
Capital
Marr (2005)
2004
Pendidikan
Anthony Kelly
(University of
Southampton,
United
Kingdom)
The Intellectual
Capital of
Schools
Measuring and
Managing
Knowledge,
Responsibility
and Reward:
Lessons from
the Commercial
Sector
Kelly (2004)
Tabel 2.2 Perkembangan Kapital Intelektual Dalam Berbagai Perspektif Disiplin Imu
Kontruski kapital intelektual telah digunakan dalam bidang manajemen
selama beberapa tahun. Perbeedaan terminologi yang digunakan dalam berbagai
disiplin dan perbedaan taxonomi dalam konstruksi yang sama menyebabkan
kesalahpamahan dan membatasi untuk melakukan generalisasi dan perbandingan
aplikasi dan peneliatian dalam area ini, oleh karena itu, tidak ada kesepakatan yang
umum dalam terminologi dan definisi untuk mengkontruksi kapital intelektual.
Bagiamanpun. Setiap disiplin mempunyai asumsi yang berbeda, dan setiap definisi
(baik yang tersirat ataupun tidak) saling berkaitan dalam peran kapital intelektual
52
yang terhubung dengan asumsi disiplin yang bersangkutan. Hal yang perlu diketahui
adalah tidak ada definisi intelketual kapital yang benar atau salah, yang terpenting
adalah apakah definisi tersebut memadai atau tidak untuk disiplin ilmu yang
bersangkutan (Marr, 2005:241).
Dengan demikan peneliti mengkontruksikan definisi manajemen KI politik
dengan memasukkan unsur-unsur kebutuhan pokok bidang politik yang dapat
membatasi dan mengindentifikasi ciri khusus kapital intelektual bidang politik.
Peneliti mendefinisikan manajemen KI politik adalah proses organisir tiga komponen
kapital intelektual (KM,KS,KR) lembaga politik yang saling berhubungan untuk
mentransfer dan mentransformasi pengetahuan ke dalam nilai yang lebih baik bagi
pembangunan politik negara.
Penjelasan frase dalam definisi tersebut yaitu:
Saling berhubungan: saling bersinergi dalam hal pengembangan dan
internalisasi pengetahuan antara internal lembaga, dan lembaga dengan relasi di luar.
Mentransfer dan mentransfomasi pengetahuan: saling member dan menerima
pengetahuan dan mewujudkan pengetahuan pada tingkat aplikatif inovasi dan nilai.
Nilai yang lebih baik: output lembaga politik yang lebih berkualitas dan lebih
baik, baik dari segi pelayanan/kontribusi yang diberikan oleh lembaga politik kepada
relasi (pemerintah, bangsa dan negara).
Pembangunan politik: yaitu partisipasi politik yang dilakukan secara positif
dan bertanggungjawab.
53
Peneliti membagi manajemen kapital intelektual politik (KIP) ke dalam dua
pendekatan yaitu:
1. Pendekatan perbaikan dan pengembangan pengetahuan (improvement and
development); pendekatan ini menekankan pada proses transfer, menciptakan
dan menghasilkan pengetahuan bagi individu dan lembaga. Pendekatan ini
disebut pula dengan internal manajemen KIP.
2. Pendekatan efektivitas; adalah pendekatan evaluasi (pengukuran dan
perhitungan) dan laporan (report), yaitu lembaga politik membuat laporan
perkembangan KIP kepada shareholder dan stakeholder politik. Pendekatan
ini temasuk bagian eksternal manajemen KIP.
Komponen dari KM terdiri dari; kapital pengetahuan, kapital kompetensi,
sikap dan kecerdasan. Komponen KS meliputi; intelektual properti, kapital
organisasi, kapital pengembangan. Komponen KR terdiri dari; strategi partner,
distribusi atau sosialisasi produk dan pelayanan. Dalam bidang politik, KIP terdiri
dari:
Kapital Manusia
Anggota
politik,
politik,
Kapital Struktur
Kapital Relasi
KPU/lembaga Pelayanan
Stakeholder;
pengetahuan pendidikan/sosialisasi
sikap
kemampuan politik.
dan politik,produk
yang
kalangan
agama, tokoh daerah/adat,
inovatif lembaga
pendidikan,
mendukung prusahaan swasta. Sistem
54
sosialisasi, brand image penyampaian
lembaga politik.
informasi/pendidikan
politik.
Tabel 2.3 Komponen Kapital Intelektual Politik
Laporan KIP sangat penting baik bagi kalangan internal maupun external
untuk mengimprovisasi dan memahami perkembangan kompetensi dan kompetesi
lembaga politik. Pada dasarnya laporan KI digunakan untuk evaluasi internal dan
sebagai komunikasi memperbaiki kinerja internal (Marr, 2005), namun laporan KI
pun tidak kalah pentingnya untuk dipublikasikan kepada kalangan external yaitu
stakeholder yang menjadi mitra lembaga agar mereka dapat menilai perkembangan
kemitraaan mereka selama berlangsungnya kerjasama.
Perhitungan dan laporan manajemen KI banyak sekali, diantaranya economic
value added (EVA), human resource costing and accounting (HRCA), Calculated
intangible value, knowledge capital earning, value added intelectual coeficient
(VAIC), accounting for the future (AFTF), Tobin’s q, investor assigned value market
(IAVM), Scandia Navigator, intangible asset monitor, balanced score card, dsb.
Semua metode perhitungan dan laporan KI tersebut mempunyai tujuan dan obyek
fokus spesifik perhitungannya tersendiri.
Sedangkan dalam penelitian ini metode laporan KI menggunakan metode
laporan perspektif Eropa yang terdiri dari tiga metode yaitu the E* Know Net and
Meritum, the PRISM, dan the Danish guidelines, untuk spesifik laporan KI, peneliti
55
memilih metode laporan Danish guidelines yang telah diuji lebih dari 100 perusahaan
pada saat awal kemunculannya pada tahun 2000 (Mouritsen, et.al, 2003). Danish
guidelines fokus pada hubungan antara berbagai macam sumberdaya secara narasi
yang terdiri dari empat komponen yaitu (Mouritsen et al, 2003):
1. Narasi pengetahuan
2. Manajemen tantangan
3. Inisiatif
4. Indikator
Metode Danish guidelines secara operasional disebut sebagai metode laporan
Intellectual Capital Statement (ICS). Statement (pernyataan narasi) sering menjadi
penjelas dalam laporan untuk menunjukkan keberadaan perkembangan perusahaan
atau lembaga, hal inilah menjadi sisi pentingnya pernyataan dalam bentuk kalimat
narasi
yaitu
untuk
menjelaskan
hubungan
dan
strategi
lembaga
dalam
mengembangkan KI dan mencapai sasaran visi dan misi lembaga yang dihubungkan
dengan pengetahuan. Pengetahuan dapat berupa informasi, wawasan, pemikiran, dsb.
Pengetahuan ini yang akan mengembangkan lembaga melalui inovasi, pelayanan,
sosialisasi, dsb. Melalui ICS akan ditranslasikan peran pengetahuan pada lembaga.
Narasi Pengetahuan
Manajemen Tantangan
Tabel 2.4 Format Intellectual Capital Statement
Sumber: Mouritsen,et.al,2003
56
Inisiatif
Indikator
Penjelasan komponen tabel:
1. Narasi pengetahuan menggambarkan ambisi lembaga untuk meningkatkan
nilai dari produk atau pelayanan lembaga terhadap pengguna. Ambisi ini
disajikan dalam bentuk narasi karena menunjukkan pengetahuan pengguna
dan lembaga. Narasi pengetahuan diidentifisikan dengan kata-kata “karena”,
“oleh sebab itu”, dan “ supaya”.
2. Manajemen tantangan meliputi deskripsi pengetahuan yang dimiliki dan
pengetahuan yang dibutuhkan untuk memenuhi ambisi lembaga.
3. Inisiatif yaitu strategi untuk mengembangkan dan menciptakan inovasi atas
tantangan lembaga yang dihadapi.
4. Indikator yaitu komponen tolak ukur yang digunakan dalam inisiatif, yang
dapat diukur dengan melihat aspek efektif dan efisiensinya.
2.8 Kerangka Pemikiran
Penururnan partisipasi pemilu di Cimahi mencerminkan tingkat pendidikan
politik masyarakat yang rendah. Untuk menanggulangi hal tersebuut, maka
diperlukan manajemen kapital intelektual politik lembaga politik (KPU) agar dapat
terwujud pendidikan politik berkelanjutan sehingga akan melahirkan partisipasi
politik dan pemilu yang bertanggung jawab.
57
Disebabkan oleh tingkat
pengetahuan (pendidikan)
politik yang rendah
sehingga berpengaruh pada
taraf melek politik
masyarakat
Penurunan partisipasi
Pemilu di Cimahi
Solusi
Manajemen KIP
KM
N
I
KS
L
Pendidikan
politik
berkelanjutan
A
KR
Partisipasi
politik dan
pemilu
I
Manajemen Kapital Intelektual Politik Untuk Pendidikan Politik Berkelanjutan
Dalam Rangka Meningkatkan Partisipasi Pemilahan Umum Di Kota Cimahi
Gambar 2.10 Kerangka Pemikiran
58
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3. 1 Lokasi, Subyek, Obyek dan Rencana Waktu Penelitian
3.1.1 Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di tiga Kecamatan kota Cimahi,Jawa Barat; yaitu
Kecamatan Cimahi Utara, Cimahi Selatan dan Cimahi Tengah.
Pemilihan lokasi
penelitian tersebut didasarkan pada fenomena pemilu di kota Cimahi sebagai kota
terdekat dengan Ibu Kota Jawa Barat, Bandung, namun tingkat partisipasi pemilu di
kota Cimahi menurun, hal tersebut berbanding terbalik dengan kondisi yang
mendukung partisipasi pemilu seharusnya tidak mengalami penurunan, mengingat
banyak akses dan sumberdaya yang dapat meminimalisir penurunan partisipasi
pemilu.
3.1.2 Subyek dan Obyek Penelitian
Subyek penelitian meliputi pihak Komisi Pemilihan Umum (KPU) kota
Cimahi, Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Masyarakat dan stakeholder yang
terkait dengan pelaksanaan pemilu di kota Cimahi. Obyek dalam penelitian ini adalah
manajemen kapital intelektual politik dan pendidikan politik di kota Cimahi.
59
3.1.3 Rencana dan Waktu Penelitian
Penilitian ini dimulai dengan tinjauan awal ke tiga Kecamatan di Kota Cimahi
dengan tujuan mengetahui secara garis besar manajemen kapital intelektual politik
dan perkembangan pendidikan politik di Kecamatan Cimahi Utara, Cimahi Selatan
dan Cimahi Tengah. Adapun rencana waktu penelitian sebagai berikut:
Minggu
I
II
III
IV
April
Mei
Juni
Tabel 3.1 Rencana Waktu Penelitian
Keterangan:
Peninjauan awal ke lokasi
penelitian
Penelitian; observasi,
wawancara dan pengambilan
data
Penulisan Riset
Revisi, seminar dan Publikasi
60
Juli
3.2 Desain Penelitian
3.2.1 Rasionalisasi metodologi penelitian
Metodologi penelitian merefleksikan mayoritas keputusan yang diciptakan
oleh peneliti untuk menentukan pendekatan terbaik dalam menjawab pertanyaan
penelitian. Berdasarkan dunia sains di Barat bahwa terdapat dua pendekatan
metodologi secara filosofis, yaitu pertama, metodologi penelitian untuk bidang sosial
sains disebut dengan positivist atau sering disebut pula saintifik, dan kedua yaitu
interpretivist juga disebut dengan anti-positivist (Gallier, 1991).
Positivist merupakan teori pengetahuan yang mengasumsikan bahwa
observasi sebuah fenomena secara obyektif dan detail akan meningkatkan
obyektifitas sebuah fakta (Galliers, 1991), positivist biasa menguji sebuah obyek
melalui pengujian hipotesa dengan formulasi tertentu dan mengeneralisasi hasilnya,
selain itu peneliti tidak memiliki interpretasi lain atas fakta yang terjadi di lapangan
kecuali melakukan observasi dengan formulasi yang tentu
(Popper,
1959,
Orlikowski dan Baroudi, 1991). Sebaliknya pendekatan interpretist menekankan pada
interpretasi dan pemahaman manusia sebagai bagian dari validitas pengetahuan
(Galliers, 1991).
Hal tersebut ditambahkan oleh Orlikowsky dan Baroudi (1991) dan Chreswell
(2003) bahwa peneliti yang menggunakan pendekatan interpretive akan mencari
pemahaman secara mendalam dari sebuah fenomena.
Kritikal riset fokus pada konflik, oposisi dan kontradiksi yang terjadi di
masyarakat serta mencari solusi untuk menyeleaikan masalah tersebut, hal tersebut
61
terkadang menjadi hal yang sulit untuk dialkukan karena validitas dan realibilitas
eksternal tidak diikutseratakan (Denzin, 1998).
Berdasarkan kontruksi filossofis penelitian di atas, tipikal kasus dalam
permasalahan ini adalah untuk menganalisa pemahaman manusia mengenai realitas
politik dan pemilihan umum di kota Cimahi, untuk dapat mengungkap fenomena
tersebut maka penelitian ini menggunakan metode kualitatif sebagai sistematika
analisis dan validitas data penelitian. Sehingga degan menggunakan metode kualitatif
akan didapatkan hasil yang mendalam dan konfrehensif mengenai permasalahan yang
sedang diteliti (Orlikowsky dan Baroudi, 1991; Chreswell, 2003)
Penelitian ini termasuk dalam penelitian kualitatif kategori studi kasus, karena
meneliti secara mendalam program dan peristiwa yang terjadi di asayarakat kemudian
peneliti mengumpulkan data dan informasi melalui data-data lapangan secara berkala
setiap waktunya (Stake, 1995).
62
3.2.2 Operasionalisasi variabel
Dimensi
Parameter
Indikator
Teknik Pengambilan Data
Sumber Data
Pendidikan
Politik
Melek politik
Partisipasi politik
Menguasai wawasan politik secara global,
nasional dan lokal
Ikut dalam organisasi politik
Engikuti pertemuan atau rapat organisasi
politik
Terlibat sebagai panitia dalam persiapan
pemilu
Mengetahui teknis pemilihan umum
Hadir dan memilih kandidat pada saat
pemilihan umum
Penyelenggaraan
pendidikan
politik
dilakuakan secara berkala
Mengadakan kelompok diskusi atau forum
group discussion (FGD)di tingkat kecamatan
Peningkatan pengetahuan politik
peningkatan skill dalam komunikasi politik
peningkatan etika politik
Metode
pendidikan
politik
yang
dikembangkan
Metode sosialisasi politik dan Pemilu kepada
masayarakat
Metode komunikasi politik
Pelayanan informasi politik
inovasi pendidikan politik
Intensitas komunikasi dengan stakeholder
dan masayrakat
Kerjasama dengan tokoh agama dan adat
Kerjsama dengan perusahaan
Kerjasama dengan lembaga pendidikan
Wawancara dan observasi
KPU, stakeholder
masyarakat
dan
Wawancara
KPU, stakeholder
masyarakat
dan
Wawancara
KPU, stakeholder
masyarakat
dan
Partisipasi Pemilu
Pendidikan
politik
berkelanjutan
Program pendidikan
politik
Kapital
intelektual
Politik
Kapital manusia
Kapital
struktur/organisasi
Kapital Relasi
Tabel 3.2 Operasionalisasi Variabel
63
Keterangan
* KPU: Komisi Pemilihan
Umum Kota Cimahi
*Stakeholder terdiri dari:
1.
Petugas
Panitia
Pemilihan Umum Kota
Cimahi
Tingkat
Kecamatan
2. Ketua RT/RW
3. Kelompok Pemuda
4.Organisasi/Partai
Pemilu
5.Tokoh Agama dan Adat
* Masyarakat merupaan
warga
yang
sudah
termasuk dalam daftar
pemilih
tetap
(DPT)
Pemilu
di
kota
Cimahi
(Kecamatan
Cimahi
Utara, Cimahi Selatan
dan Cimahi Tengah)
3.2.3 Teknik Pengumpulan Data
Pada Penelitian ini terdapat dua sumber data, yaitu data primer dan sekunder.
Data primer dalam penelitian ini dikumpuln melaui wawancara dan observasi.
Sedangkan data sekunder merupakan data penunjang dan pelengkap berupa data-data
yang diperoleh dari buku-buku pustaka, media cetak, jurnal, data statistik dan
referensi lain yang berkaitan dnengan penelitian.
1. Observasi, dilakukan untuk mengetahui dan menginventarisasi data primer
tentang partisipasi pemilu dan perkembangan program pendidikan politik di
Kota Cimahi.
2. Wawancara, dilakukan untuk memperolah data primer dalam penelitian, yaitu
mengumpulkan data dan informai dengan cara megajukan sejumlah
pertanyaan secara liisan dengan bebas dan terarah menggunakan pedoman
wawancara (semi tertruktur) yang ditujukan kepada informan kunci yaitu
pihak KPU, Stakeholder dan masyrakat.
3. Data Sekunder, dilakukan melalui penelaahan dan analisis referensi pustaka
meliputi, buku, media Koran, majalah, internet, data-data terkait pemilu yang
ada di KPU kota Cimahi.
Adapun
teknik
pegambilan
informasi
dari
informan
dengan
menggunakan teknik purposive sampling dimana informan dipilih dan
ditentukan berdasrkan pengetahuan dan informasi yang dimilki mengenai
masalah dan pertanyaan peelitian (Creswell, 2002:185).
64
3.2.4 Tatacara Pengumpulan Data
Untuk mengetahui data manajemen kapital intelektual politik di kota cimahi,
digunakan formulasi intellectual capital statement (Mouritsen,et.al,2003):
Narasi Pengetahuan
Manajemen Tantangan
Inisiatif
Indikator
Tabel 3.3 Format Intellectual Capital Statement
Sumber: Mouritsen et. al, (2003)
Penjelasan komponen tabel:
1. Narasi pengetahuan menggambarkan ambisi lembaga untuk meningkatkan
nilai dari produk atau pelayanan lembaga terhadap pengguna. Ambisi ini
disajikan dalam bentuk narasi karena menunjukkan pengetahuan pengguna
dan lembaga. Narasi pengetahuan diidentifisikan dengan kata-kata “karena”,
“oleh sebab itu”, dan “ supaya”.
2. Manajemen tantangan meliputi deskripsi pengetahuan yang dimiliki dan
pengetahuan yang dibutuhkan untuk memenuhi ambisi lembaga.
3. Inisiatif yaitu strategi untuk mengembangkan dan menciptakan inovasi atas
tantangan lembaga yang dihadapi.
4. Indikator yaitu komponen tolak ukur yang digunakan dalam inisiatif, yang
dapat diukur dengan melihat aspek efektif dan efisiensinya.
65
3.2.5 Analisa Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian kualitatif mencakup
transkip hasil wawancara,
reduksi data, analisis, interpretasi data dan triangulasi.
Dari hasil analisis data yang kemudian dapat ditarik kesimpulan. berikut ini adalah
teknik analisis data yang digunakan oleh peneliti:
1. Reduksi Data
Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada
penyederhanaan, pengabstraksian, dan transformasi data kasar yang muncul
dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Kegiatan reduksi data berlangsung
terus-menerus,
terutama
selama
proyek
yang
berorientasi
kualitatif
berlangsung atau selama pengumpulan data. Selama pengumpulan data
berlangsung, terjadi tahapan reduksi, yaitu membuat ringkasan, mengkode,
menelusuri tema, membuat gugus-gugus, membuat partisi, dan menulis
memo. Reduksi data merupakan suatu bentuk analisis yang menajamkan,
menggolongkan,
mengarahkan,
membuang
yang
tidak
perlu,
dan
mengorganisasi data sedemikian rupa sehingga kesimpulan-kesimpulan
akhirnya dapat ditarik dan diverivikasi. Reduksi data atau proses transformasi
ini berlanjut terus sesudah penelitian lapangan, sampai laporan akhir lengkap
tersusun. Jadi dalam penelitian kualitatif dapat disederhanakan dan
ditransformasikan dalam aneka macam cara: melalui seleksi ketat, melalui
66
ringkasan atau uraian sigkat, menggolongkan dalam suatu pola yang lebih
luas, dan sebagainya.
2. Teknik Triangulasi
Teknik triangulasi sebagai teknik untuk mengecek keabsahan data, dimana
dalam pengertiannya triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang
memanfaatkan sesuatu yang lain dalam membandingkan hasil wawancara
terhadap objek penelitian (Moloeng, 2004:330) Triangulasi dapat dilakukan
dengan menggunakan teknik yang berbeda (Nasution, 2003:115) yaitu
wawancara, observasi dan dokumen. Triangulasi ini selain digunakan untuk
mengecek kebenaran data juga dilakukan untuk memperkaya data. Menurut
Nasution (2003), selain itu triangulasi juga dapat berguna untuk menyelidiki
validitas tafsiran peneliti terhadap data, karena itu triangulasi bersifat reflektif.
Denzin (Moloeng, 2004), membedakan empat macam triangulasi diantaranya
dengan memanfaatkan penggunaan sumber, metode, penyidik dan teori. Pada
penelitian ini, dari keempat macam triangulasi tersebut, peneliti hanya
menggunakan teknik pemeriksaan dengan membandingkan dan mengecek balik
derajat validitas suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang
berbeda dalam penelitian kualitatif (Patton, 1987:331). Adapun untuk mencapai
validitas itu, maka ditempuh langkah sebagai berikut :
1. Membandingkan data hasil observasi dengan data hasil wawancara.
67
2. Membandingkan apa yang dikatakan individu di depan umum dengan apa
yang dikatakan secara pribadi.
3. Membandingkan apa yang dikatakan masyarakat tentang situasi penelitian
dengan apa yang dikatakannya sepanjang waktu.
4. Membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai pendapat
dan pandangan masyarakat dari berbagai kelas.
5. Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen/data sekunder
yang berkaitan.
3. Menarik Kesimpulan
Kegiatan analisis ketiga adalah menarik kesimpulan dan verivikasi. Ketika
kegiatan pengumpullan data dilakukan, seorang penganalisis kualitatif mulai mencari
arti
benda-benda,
mencatat
keteraturan,
pola-pola,
penjelasan,
konfigurasi-
konfigurasi yang mungkin, alur sebab akibat, dan proposisi. Kesimpulan yang mulamulanya belum jelas akan meningkat menjadi lebih terperinci. Kesimpulankesimpulan “final” akan muncul bergantung pada besarnya kumpulan-kumpulan
catatan lapangan, pengkodeannya, penyimpanan, dan metode pencarian ulang yang
digunakan.
68
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Profil Wilayah Cimahi
Cimahi menyandang peran sebagai daerah penyangga bagi Kota Bandung
yang berjarak sekitar 12 km di sebelah barat. Terutama menjadi tempat bermukimnya
para pekerja yang mencari nafkah di Kota Bandung. Kota Cimahi juga merupakan
markas dari 31 kesatuan tentara dan polisi. Pusat-pusat pendidikan militer bisa
dijumpai di kota ini, mulai dari brigade infanteri, artileri medan, sampai pasukan
kavaleri.
NO
1
2
3
Kecamatan
Cimahi Utara
Cimahi Tengah
Cimahi Selatan
TOTAL
Luas (Km)
13,36
10,87
16,02
40,25
Tabel 4.1 Luas Wilayah Kota Cimahi
Sumber : BPS Kota Cimahi, 2002
Kota Cimahi terdiri dari 15 kelurahan dan 3 kecamatan yaitu Kecamatan
Cimahi Utara, Cimahi Tengah, dan Cimahi Selatan, total luas kota Cimahi 40,25 km
dengan jumlah penduduk keseluruhan sejumlah 452.390 jiwa. Kecamatan dengan
luas wilayah terbesar yaitu Kecamatan Cimahi Selatan (16,02 km) sedangkan
kecamatan dengan luas terkecil yaitu Kecamatan Cimahi Tengah yaitu 10,87 km.
69
Secara geografis, wilayah ini merupakan lembah cekungan yang melandai ke
arah selatan, dengan ketinggian di bagian utara ±1.040 meter dpl (Kelurahan
Ciparegan, Kecamatan Cimahi Utara) yang merupakan lereng Gunung Burangrang
dan Gunung Tangkuban Perahu serta ketinggian di bagian selatan sekitar ±685 dpl (di
Kelurahan Melong Kecamatan Cimahi Selatan) yang mengarah ke Sungai Citarum.
Sungai yang melalui Kota Cimahi adalah Sungai Cimahi dengan debit air rata-rata
3,830 l/dt, dengan anak sungainya ada lima yaitu Kali Cibodas, Ciputri, Cimindi,
Cibeureum (masing-masing di bawah 200 l/dt) dan Kali Cisangkan (496 l/dt),
sementara itu mata air yang terdapat di Kota Cimahi adalah mata air Cikuda dengan
debit air 4 l/dt dan mata air Cisintok (93 l/dt). Potensi wilayah yang terdapat di kota
ini dari sektor pertanian, yaitu tanaman padi sawah dan jagung yang lebih dominan di
Kecamatan Cimahi Utara, sedangkan komoditi lainnya seperti ubi kayu, ubi jalar
berada di Cimahi Tengah. Rata-rata produksi untuk beberapa komoditi di Cimahi
Tengah kecuali jagung berada di Cimahi Selatan.
Secara geografis wilayah Kota Cimahi berada antara 107º 30’ 30” BT - 107º
34’ 30” BT dan 6º 50” 00” - 6º 56” 00” Lintang Selatan dengan luas wilayah 40,25
km dengan batas-batas sebagai berikut :
-
Batas Utara : Kabupaten Bandung
-
Batas Selatan : Kabupaten Bandung
-
Batas Timur : Kota Bandung
-
Batas Barat : Kabupaten Bandung
70
Kecamatan dengan tingkat kepadatan tertinggi yaitu Cimahi Tengah (14.555
jiwa/km), sedangkan kecamatan dengan tingkat kepadatan terendah yaitu Cimahi
Utara (8.390 jiwa/ km). Cimahi sendiri merupakan daerah industri. Kota ini minim
sumber daya alam. Terdapat 407 unit industri kecil dengan nilai investasi Rp 7,5
miliar. Jumlah industry berskala menengah dan besar tak kurang dari 300 unit. Dari
jumlah industri yang tergolong banyak tadi, tenaga kerja yang menggerakkannya
sebanyak 71.850 orang. Ini di luar tenaga kerja asing yang tercatat 101 orang.
Kebanyakan tenaga asing ini berasal dari negara-negara Asia seperti Cina, Taiwan,
Jepang, dan Korea. Kehadiran 101 orang tenaga kerja asing yang tercatat bekerja di
sektor industri Kota Cimahi turut menambah PAD. Dari target retribusi izin tenaga
kerja asing sebesar Rp 805 juta, sampai dengan Oktober 2003 telah terealisasi Rp 1
miliar (124%).
Kegiatan industri di Cimahi didominasi oleh tekstil, sandang, dan kulit
sebanyak 113 unit atau 28% dari jumlah industri kecil yang ada. Adapun yang
berskala menengah dan besar berjumlah 92 unit industri. Lapangan usaha industri di
kota yang masih tergolong muda ini, memang merupakan penyangga utama
perekonomian. Dari total perekonomian senilai Rp 4,6 triliun pada tahun 2002, sektor
industri menyumbang 68,11% atau senilai Rp 3,1 triliun. Jumlah fasilitas pendidikan
yang terdapat di Kota Cimahi ini tersebar merata di setiap kecamatan. Namun
demikian beberapa di antaranya sebagian besar banyak terdapat di Kecamatan Cimahi
Tengah.
71
4.2.Upaya KPU Cimahi dan Stakeholder menyukseskan Pemilu Dan Menangani
Penurunan Partisipasi Pemilu Kota Cimahi
Dalam setiap gelaran pemilu, KPU kota cimahi dibantu oleh stakeholder dan
masyarakat kota Cimahi bekerjasama untuk menciptakan pemilu yang Luber Jurdil.
Kerjasama yang dilakukan berdasarkan wawancara dengan Bapak Septiyana salah
seorang anggota KPU Cimahi pada tanggal 4 Juni 2015, menyatakan bahwa dalam
rangka menyukseskan Pemilu di Kota Cimahi, KPU selalu mengadakan sosialisasi
pemilu kepada masyarakat kota Cimahi diantaranya dengan mengadakan diskusi
dengan pemuda dan masayrakat, atau pendekatan melalui tokoh masayarakat dan
agama melalui MUI kota cimahi dan beberapa kelompok pegajian yang berada di
setiap kecamatan.
Sosialisasi yang dilakuakan oleh KPU meliputi ceramah teknis pemilu,
pembagian stiker, pin dan aksesoris yang berisi ajakan partisipasi pemilu. Namun
upaya tersebut masih menyisakan kendala yaitu faktor kurangnya partisipasi
masyarakat yang datang ke TPS saat pemilu
72
Tahun
Pemilu
2004
Presiden (Putaran 1)
Presiden (Putaran 2)
Legislatif
Legislatif
Walikota
Walikota
Gubernur
Gubernur
2004
2009
2007
2012
2008
2013
Partisipasi
(%)
80,30
73,48
64,43
59,27
73,59
70,06
71,37
68,39
Tabel 4.2 Partisipasi pemilu kota Cimahi
Sumber: Diolah dari data KPU kota Cimahi
Dari tabel 4.2 dapat dilihat bahwa terjadi penurunan sebesar 6.87% pada saaat
pemilihan presiden 2004 (putaran 1 dan 2), sedangkan pada pemilu legilatif tahun
2004 dan 2009 terjadi penurunan tingkat partisipasi sebesar 5.16%, dan pada
pemilihan walikota tahun 2007 dan 2012 terjadi penurunan partisipasi pemilu sebesar
3.53%. Pemilihan Gubernur padaa tahun 2008 dan tahun 2013 terjadi penurunan
2,98%.
Hal tersebut yang menjadi titik perhatian fenomena tingkat partisipasi pemilu
di kota Cimahi bahwa penurunan tingkat partisipasi masyarakat menjadi faktor yang
harus dianalisis, meski pendidikan dan sosialisasi sudah dilakukan, tetapi itu tidak
berdampak pada tingkat partisipasi masyarakat kota Cimahi dalam pemilu. Meski
tidak tergolong tinggi tingkat golongan putih (golput) di kota Cimahi, namun latar
belakang golput memiliki banyak dimensi, Eep Saefulloh Fatah, mengklasifikasikan
golput atas empat golongan. Pertama, golput teknis, yakni mereka yang karena sebabsebab teknis tertentu (seperti keluarga meninggal, ketiduran, dan lain-lain)
73
berhalangan hadir ke tempat pemungutan suara, atau mereka yang keliru mencoblos
sehingga suaranya dinyatakan tidak sah. Kedua, golput teknis-politis, seperti mereka
yang tidak terdaftar sebagai pemilih karena kesalahan dirinya atau pihak lain
(lembaga statistik, penyelenggara pemilu). Ketiga, golput politis, yakni mereka yang
merasa tak punya pilihan dari kandidat yang tersedia atau tak percaya bahwa
pileg/pilkada akan membawa perubahan dan perbaikan. Keempat, golput ideologis,
yakni mereka yang tak percaya pada mekanisme demokrasi liberal) dan tak mau
terlibat di dalamnya entah karena alasan fundamentalisme agama atau alasan politikideologi lain (Arianto,2011).
Berdasarkan hasil wawancara dengan anggota KPU Cimahi bahwa pihak
KPU dan stakeholder telah melakuaan upaya menanggulangi penurunan partisipasi
pemilu ini melalui sosialisi, namun fakta di lapangan pemahaman politik masyarakat
kota Cimahi masih rendah disebabkan oleh tingkat pendidikan, maka untuk tataran
teknis pun masih banyak yang kurang memahami bagaimana cara memberikan suara
melalui teknis mencoblos dan melipat kertas suara, salah seorang warga Cimahi
Selatan berusia 17 tahun beranama Indrianjani warga Kampung Ranca Cangkuang
RT 4 RW 1, mengatakan bahwa sebagai pemilih pemula dirinya kurang mengetahui
teknis pencoblosan surat suara pemilu, meski secara tidak langsung ia mengetahui
teknis pencoblosan dari sekilas informasi dari teman-temannya namun hal tersebut
tidak secara formal didapatkannya sehingga dirinya mengaku sangat gugup untuk
pertama kalinya masuk bilik suara dan membuka surat suara. Hal ini merupakan salah
74
satu kasus teknis yang hadir dalam pemilu namun tidak tahu cara mencoblos surat
suara.
Meski KPU (berdasarkan hasil wawancara) telah melakukan sosialisasi teknis,
namun menjadi catatan tersendiri untuk kalangan pemilih pemula atau para remaja
bahwa faktor psikologis dan kebiasaan para remaja seharusnya menjadi bahan
evaluasi dalam sosialisasi pemilu oleh KPU. Berdasarkan manajemen KIP, kapital
manusia KPU harus memiliki pengetahuan luas mengenai sosialisasi pemilu pada
tingkat remaja, kemudian pengetahuan kapital manusia KPU direfleksiskan menjadi
pengetahuan struktural (kapital struktur), dimana hal tersebut nantinya akan menjadi
brand image KPU dalam sosialisasi dan pendidikan politik kepada kalangan pemilih
pemula. Para pemilih pemula sangat dekat dengan dunia digital (Ahmed,2011),
sehingga KPU dapat melakukan ekspansi metode pendidikan dan sosialisi pemilu
melalui internet dengan design menarik dan edukatif.
Narasi Pengetahuan
Pemilih pemula di
Cimahi secara
mayoritas masih
belum menguasai
teknis pemilu dan
sebagai pemula,
mereka secara
psikologis masih
merasa ragu
khawatir salah ketika
masuk ke bilik suara.
Terlebih mereka
belum mempunyai
pengetahuan politik
yang luas. Oleh
Manajemen
Tantangan
Saat ini metode
sosialisasi dan
pendidikan politik
kepada remaja
belum digarap
secara khusus, maka
untuk mewujudkan
partisipasi pemilu
dari para remaja
diperlukan metode
sosialisi dan
pendidikan politik
melalui akses
internet yang sudah
menjadi bagian dari
Inisiatif
Indikator
Bekerjsama
dengan pihak IT
dan media yang
dapat menciptakan
dan mendesign
pendidikan dan
sosialisai politik di
dunia digital
Melakukan
training,seminar,
diskusi yang
diselenggarakan
antara pihak IT dan
media agar kapital
manusia KPU
memiliki
pengetahuan
mengenai sosialisai
dan pendidikan
politik kepada
remaja melalui
media dan internet.
75
sebab itu diperlukan
inovasi pendidikan
politik dan
sosialissasi pemilu
kepada pemilih
remaja berupa
aplikasi atau website
atau yang
berhubungan
dengan digital dan
internet yang mudah
di akses dan bersifat
interaktif supaya
remaja dapat
tertarik dengan
politik dan pemilu
dan secara teknis
pemilu dan
psikologis mereka
dapat menguasainya
tanpa ragu dan
khawatir kembali.
aktifitas remaja
sehari-hari
Tabel 4.3 ICS Untuk Pemilih Kalangan Remaja Pemilih Pemula
Kemudian, warga Cimahi Tengah bernama Sri Sukwatinigsih berusia 48
tahun beralamat di jalan Gatot Subroto No G.56 mengaku dirinya datang ke TPS
hanya memenuhi undangan dari TPS tempatnya memberikan suara, dan
pengalamannya selama beberapa kali memberikan suara saat pemilu, banyak yang ia
tidak kenal dari caleg yang ada di kertas suara, sehingga ia lanjutnya, hanya
mencoblos secara random siapa saja.
Pada kasus Sri Sukwatiningsih (48 tahun) ini mayoritas ibu rumah tangga
jarang ada yang peduli terhadap politik dan pemilu, sehinggga mereka hanya sebatas
memenuhi undangan dan mengikuti jadwal pemilu saja tanpa ada rasa tanggungjawab
dan berdasarkan pengetahuan/informasi politik menyangkut kandidat/caleg partai
76
politik yang ada pada kertas suara. Menanggapi hal ini. KPU (berdasrkan hasil
wawancara) bahwa untuk tingkat sosialisasi kepada masyarakat umum khususnya
kepada ibu rumah tangga, KPU bekerjasama dengan kelompok pengajian di setiap
kelurahan. Namun melihat fakta bahwa kalangan ibu rumah tangga tidak begitu
memperdulikan mengenai pemilu dan kandidat caleg parpol yang dicalonkan, maka
KPU seharusnya dapat mengevaluasi faktor tersebut diantaranya dengan mengundang
tokoh agama yang sangat dekat dengan kalangan ibu rumah tangga.
Tanpa bermaksud mempolitisasi tokoh agama, namun mereka sebagai
kapasitas pengajak kepada kebaikan dapat memberikan sosialisai dan pendidikan
politik secara obyektif kepada kalangan ibu rumah tangga dengan metode dan bahasa
yang mudah dipahami oleh pendengar. Dengan bekal obyektifitas tokoh agama
tersebut diharapkan para ibu rumah tangga dapat tercerdasakn dan tertarik dengan
pemilu lebih jauh lagi ibu rumah tangga tersebut dapat menyampaikan kembali
pengetahuan yang didapatkan kepada anaknya yang termasuk golongan pemilih
pemula atau anggota keluarganya yang lain.
Narasi
Pengetahuan
Banyaknya Ibu
Rumah Tangga yang
memberikan suara
pada pemilu tetapi
tidak dilandasi
dengan
pengetahuan dan
tanggungjawab
karena kurangnya
Manajemen
Tantangan
Metode sosiasasi
pemilu di kelompok
pengajian saat ini
melibatkan tokoh
agama yang biasa
memberikan ceramah
kepada ibu-ibu di
pengajian, sehingga
ketika ikut
77
Inisiatif
Indikator
KPU mempunyai
jaringan komunikasi
dan hubungan
dengan tokoh
agama kondang
untuk turut serta
dalam pendidikan
dan sosialisasi
pemilu
Diskusi dan
pertemuan antar
KPU dan tokoh
agama mengenai
metode dan konten
sosialisasi pemilu
kepada kalangan
ibu rumah tangga.
informasi dan
pengetahuan
mengenai pemilu,
oleh sebab itu KPU
harus
menghadirkkan
pembiacara dari
kalangan tokoh
agama kondang
yang secara obyektif
dapat memberikan
pengarahan
tenatang bagaimana
memberikan suara
dan mencoblos
caleg dengan
tanggungjawab
supaya ibu rumah
tangga ketika
mencoblos tidak
dengan landasan
random saja, tapi
juga memiliki
informasi mengenai
masing-masing
kandidat disertai visi
dan misinya.
mensosialisaikan
pemilu, hal tersebut
tidak menjadi
perhatian khusus
karena tidak ada hal
yang baru dari hal
tersebut, maka untuk
membantu ibu-ibu
rumah tangga tertarik
dan memiliki
pengetahuan/informasi
mengenai pemilu, KPU
harus melibatkan
tokoh agama yang
kondang untuk
mensosialisasikan
pemilu di kalangan ibu
rumah tangga.
Tabel 4.4 ICS untuk pemilih kalangan Ibu Rumah Tangga
Berbeda lagi dengan warga Cimahi Utara berusia 32 tahun bernama
Nurzaman beralamat di Jalan Pesantren RT 007 dan RW 007, mengatakan bahwa
dirinya tidak mencoblos pada saat pemilu karena ia tidak percaya lagi dengan sistem
pemerintahan sekarang, dirinya mengatakan bahwa rakyat selama ini hanya dijadikan
alat untu mencapai kekuasaan saja oleh para kandidat politik. Hal ini serupa dengan
konsep sinisme dalam politik yang menaruh kecurigaan pada politik dan
pemerintahan, mereka yang sinis mempunyai ungkapan dan pikiran bahwa “politik
78
adalah suatu urusan yang kotor”, “politisi tidak dapat dipercaya”, “individu hanya
menjadi bulan-bulanan dari kelompok yang memanipulasi”,dsb (Rush dan
Althoff,1997).
Pengalaman dan pemahaman politik yang dimiliki Nurzaman (32 tahun) dapat
terminimalisir melalui pendidikan politik kepada masyarakat karena pendidikan dan
pengetahuan dapat memberikan dorongan masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam
pemilu (Carpini dan Keeter, 1996). Banyak pemikiran pragmatis yang muncul saat
pemilu berlangsung, ada yang beranggapan bahwa tujuan dari partisipasi pemilu
adalah untuk mendukung partai politik atau kandidat tertentu, padahal pada
hakikatnya partisipasi pemilu dilakukan untuk mendukung ide yang diusung oleh
golongan tertentu untuk kemajuan bangsa dan negara. Namun ketika golongan terebut
terpilih dan ternyata berputar haluan dari idenya, maka rakyat yang memilihnya wajib
untuk memberikan teguran dan pertanggungjawaban atas amanah yang telah
diberikan. Proses yang demikian nampaknya akan sukar untuk direalisasikan karena
elite politik yang sudah memimpin mayoritas akan luntur idealismenya oleh
lingkungan yang mengitarinya.
Narasi Pengetahuan
Sebagian kalangan
pemuda di Cimahi
memiliki
pemahaman
ideologis yang
berbeda dengan
sistem politik dan
pemilu di Indonesia
sehingga mereka
Manajemen
Tantangan
Metode pendidikan
dan sosialisai pemilu
pada pemuda masih
sebatas pada tataran
teknis pemilu
(mencoblos dan
melipat), untuk
menguarangi angka
golput ideologis
Inisiatif
Indikator
KPU menjalin
kerjasama dengan
para tokoh pemuda
dan kalangan
akademisi sebagai
pemberi penerangan
kepada masyarakat
dan pemuda
Mengadakan diskusi
dan semiar/dialog
interaktif antara
kalangan
pemuda,organisasi
kepemudaan/karang
taruna, akademisi
dan KPU.
79
memilih menjadi
golongan putih
karena sangat
minimnya
pendidikan politik
yang mereka miliki,
oleh sebab itu KPU
perlu melaksanakan
pendidikan politik
secara konprehensif
dan berkelanjutan
untuk membentuk
karaketer jiwa politik
dan nasionalisame
supaya ideologi
mereka tidak lagi
bertentangan
dengan sistem politik
di Indoensia
maka KPU harus
menerapakan
metode pendidikan
politik yang utuh dan
berkelanjutan
sebagai bentuk
internalisasi
pendidikan politik
dalam ideologi para
pemuda
Tabel 4.5 ICS untuk pemilih kalangan Pemuda
Untuk kalangan buruh dan kaum marjinal di kota Cimahi mayoritas mereka
memiliki pandangan pragmatis terhadap pemilu, seperti yang dituturkan oleh warga
Cigugur,Cimahi tengah bernama Eti Atikah (37 tahun) beralamat di Hegarmanah Gg
Karya Bakti 6 A No 5,Rt 001 Rw 001 dan Deden Mulya (37 tahun ) beralamat di
Hegarmanah Gg. Karya Bhakti,VII, Rt 001 Rw 001. Eti (37 tahun) mengatakan
dirinya akan memilih kandidat dan parpol yang pernah memberikan bantuan dan
berkunjung ke tempatnya dalam rangka bakti sosial, terutama bagi Eti (37 tahun)
adalah kandidat dan parpol yang memberikan bantuan sembako dan sejumlah dana
finansial untuk membantu kebutuhan rumah tangganya. Sedangkan menurut Deden
(37 tahun) dirinya sebagai buruh pabrik biasanya akan memilih saat pemilu apabila
ada kandidat dan parpol yang memberikan “amplop” untuk dirinya dan rekan-
80
rekannya sebagai buruh karena menurut Deden (37 tahun) bahwa kandidat yang
demikian selalu menjanjikan akan mengutamakan kepentingan buruh dan akan
mengusahakan kenaikan upah buruh jika kandidat tersebut terpilih.
Berdasarkan hasil wawancara dan observasi kepada warga tersebut di atas,
dapat diketahui bahwa partisipasi pemilu pada kalangan buruh dan kaum marjinal
hanyalah “ikatan kontrak uang”, dengan kata lain bahwa mereka akan memilih jika
kandidat dan parpol memberikan keuntungan finansial bagi mereka, biasanya zona
masyarakat buruh dan kaum marjinal selalu menjadi zona nyaman bagi kandidat dan
parpol yang ingin meraup suara yang tinggi; mereka hanya tinggal “membeli” hati
dan simpati masyarakat dengan uang.
Money politic sudah bukan hal aneh lagi di dunia politik dan pemilu, dan
masyarakat buruh dan kaum marjinal selalu menjadi obyek sasaran rencana para
kandidat dan parpol dalam pemilu, hal ini disebabkan tipikal masyarakat seperti itu
memiliki tingkatan pendidikan formal dan pendidikan politik yang rendah karena
seluruh perhatiannya terfokus pada masalah kebutuhan ekonomi sehari-hari.
Melihat masalah tersebut, KPU seharusnya memberikan pendidikan politik
yang dapat mengikis pemikiran pragmatis kaum marjinal dan buruh dalam partisipasi
pemilu, bisa jadi mereka tidak termasuk golput karena mereka datang ke TPS dan
mencoblos kandidat dan parpol, namun alasan yang melatar belakanginya sangat
pragmatis yaitu partisipasi transaksional sehingga wajah pemerintahan ke depan akan
semakin mundur karena pola pikir pemilih demikian dalam partisipasi pemilu.
81
Narasi
Manajemen
Inisiatif
Pengetahuan
Tantangan
Kaum marjinal dan Pendidikan politik KPU
menjalin
buruh
di
kota menjelang pemilu kerjasama dengan
Cimahi
masih kepada
para
pengusaha
berfikir pragmatis masayarakat
kreatif
dan
berorientasi marjinal dan buruh
ekonomi
dalam terbatas
pada
partisipasi pemilu masalah
teknis
karena
mereka pemilu
saja
memiliki tingkatan sehingga
pendidikan formal masyarakat berlaku
dan
pendidikan pragmatis
dalam
politik rendah oleh partisipasi pemilu,
sebab itu KPU untuk
mengikis
harus
mengikis sikap
demikian
pemikiran
KPU memerlukan
pragmatis tersebut metode
dan
dengan pendidikan manajemen
politik yang dapat pendidikan politik
mengedukasi
sekaligus
mereka sekaligus pendidikan
menumbuhkan jiwa enterprenership
wirausaha mereka kepada masyarakat
supaya
mereka kaum marjinal dan
dapat
mandiri buruh
dalam ekonomi dan
tidak
bersikap
pragmatis
dalam
pemilu disebabkan
oleh uang dan
bantuan
yang
diberikan oleh para
kandidat
dan
parpol saat pemilu
Tabel 4.6 ICS Untuk Pemilih Kaum Marjinal Dan Buruh
82
Indikator
Mengadakan
pelatihan ekonomi
kreatif
bagi
masyarakat
sekaligus
pendidikan politik
melalui
metode
yang
dapat
dipahami
oleh
masyarakat
marjinal dan buruh.
4.3Metode Pendidikan Politik di Kota Cimahi
Menurut penuturan Bapak Septiyana (anggota KPU Cimahi) berdasarkan
wawancara
bahwa saat ini metode pendidikan yang diselenggarakan oleh KPU
Cimahi meliputi metode sosialisasi teknis pemilu kepada masyarakat melalui
kerjasama dengan pihak sekolah, Dinas Pendidikan Cimahi, pengajian di setiap
kecamatan,MUI kota Cimahi,JPPR dan Karang Taruna. Namun belum ada metode
khusus untuk bidang pendidikan politik kota di kota cimahi. Pendidikan politik belum
maksimal terselenggara di kota Cimahi, pelayanan pendidikan politik di kota Cimahi
masih seputar politik tingkat partisipasi pemilu, belum ada edukasi politik untuk
tingkat partisipasi yang lebih luas lagi.
4.4Tingkat Melek Politik di Kota Cimahi
Berdasarkan wawancara dengan key informant masyarakat di Kecamatan
Cimahi tegah, Cimahi Utara dan Cimahi Selatan, masyarakat ada yang ikut
berpartisipasi pemilu karena hanya menunaikan undangan dari TPS tanpa berfikir
mendalam hakikat dari pemilu, ada yang hadir ke TPS tapi tidak tahu cara mencoblos
dan melipat kertas suara, tidak hadir ke TPS dan tidak mencoblos karena masalah
pekerjaan dan ideologi. Hal ini memberikan data dan fakta bahwa tingkat melek
politik di kota Cimahi masih rendah, tingkat melek politik meliputi tingkat
pengetahuan politik dan diskursus politik (Ahmed,2011) Diskursus politik pada
umumnya difokuskan pada komunikasi oleh institusi politik atau oleh para aktor
83
politik dan semua bentuk komunikasi yang berhubungan dengan politik.
Maka
hubungan politik publik baik internal dan eksternal, bertia, komentar, films, talk
shows, keseharian masyarakat memperbincangkan politik, semua sisi diisi dengan
diskursus politik (Wessler, 2008).
Diskursus politik merujuk pada ketertarikan individu dalam setiap kesempatan
berkomunikasi atau berbincang dengan yang lain (keluarga,teman, saudara,dsb)
topiknya seputar masalah politik (Ahmed, 2011). Dari diskursus ini akan terjadi
saling berbagi dan menghasilan pengetahuan dan pemahaman politik, karena
pendidikan politik bisa didapatkan melaui pendidikan formal juga seperti diskursus di
kalangan teman dan keluarga (Carpini dan Keeter,1996).Sehigga individu masyarakat
akan memiliki pengetahuan dan pengalaman politik pribadi sebagai bekal untuk
berintegrasi dengan individu lain dalam mebentuk kepribadian komunal yang melek
politik (Carpini dan Keeter,1996)
Oleh sebab itu akativita diskursus politik antara KPU dan masyarakat terjalin
secara berkalan karena frekwensi diskusi politik secara konsisten akan menghasilkan
efek positif pada partisipasi dan kesadaran politik (Verba dan Henry, 1995). Peran
penting komunikasi interpersonal sangat penting dalam rangka mengajak masyarakat
berpartisipasi (Verba dan Henry, 1995), dan dapat dikatakan juga bahwa pengaruh
partisipasi politik atau variabel lain termasuk penggunaan media secara tidak
langsung dipengaruhi oleh pengetahua politik dan penggunaan media (McLeod et al.,
1999).
84
4.5 Partisipasi Politik dan Pemilu Kota Cimahi
Masyarakat kota Cimahi belum terlibat secara aktif dalam organisasi politik,
seperti ikut dalam organisasi politik, mengikuti pertemuan atau rapat organisasi
politik dan terlibat sebagai panitia dala persiapan pemilu. Apabila KPU kota Cimahi
masih fokus memberikan pendidikan politik pada tataran sosialisasi pemilu saja,
maka menurut Rush dan Althoff (1997) hal tersebut masih tergolong memberikan
sugesti dan pendidikan politik pada tingkat yang rendah, karena parisipasi pemilu
merupakan bagian kecil dari partisipasi politik yang luas. Namun demikian
memberikan suara pada pemilu merupakan partisipasi politik yang
paling
argumentatif untuk aktivitas demokrasi dan menjadi pertimbangan stabilitas
demokrasi (International Institute for Democracy and Electoral Assistance, 1999).
Menduduki jabatan politik atau administratif
Mencari jabatan politik atau administratif
Keanggotaan aktif suatu organisasi politik
Keanggotaan pasif suatu organisasi politik
Keanggotaan aktif suatu organisasi semu politik (quasi political)
Keanggotaan pasif suatu organisassi semu politik (quasi political)
Partisipasi dalam rapat umum, demonstrasi, dan sebagianya
Partisipasi dalam diskusi politik informal, minat umum dalam politik
Voting (pemberian suara)
Apatis total
Gambar 4.1 Hirarki partisipasi politik ; Sumber: Rush dan Althoff (1997)
Untuk mewujudakan tingkat partisipasi pemilu yang tinggi maka KPU
Voting (pemberian suara)
sebagai kapital struktur
harus mempunyai inovasi dan terobosan baru dalam
85
mengahdairkan brand image dalam bidang pelayanan dan penyampaian pendidikan dan
sosialisai politik dan pemilu kepada masayarakat, apabila metode pendidikan dan
sosialisai pemilu yang dilakuakan oleh KPU cimahi tidak ada inovasi yang baru maka
dapat dipastikan tingkat partisipasi pemilu di kota Cimahi akan semakin menurun pada
periode pemilu berikutnya.
KM
KS
KR
Pengembangan
pengetahuan dan skill
mengenai politik
Inovasi dan brand
image lembaga politi
dalampendidikan dan
sosialisi politik/pemilu
DILAKUKAN?
Penyampaian dan
aplikasi invovasi
pendidikan dan
sosialisasi
politik/pemilu kepada
masyarakat
YA
TIDAK
Masyarakat tertarik dan
teredukasi dengan baik
Kenaikan partsipasi
politik/pemilu
Masyarakat tidak tertarik dan
tidak teredukasi dengan baik
Penurunan partisipasi
politik/pemilu
Gambar 4.2 Inovasi dan Brand Image Lembaga politik
86
4.6. Pendidikan Politik Berkelanjutan di Kota Cimahi
Melihat fenomena tingkat melek politik dan partisipasi pemilu di kota
Cimahi yang masih rendah, maka di kota Cimahi perlu diselenggarakan pendidikan
politik dilakukan secara berkala, mengadakan kelompok diskusi atau FGD di tingkat
kecamatan atau kegiatan edukasi politik yang tidak bersifat temporal. Urgensi dari
makna berkelanjutan adalah konsekwensi dari demokrasi bahwa rakyat harus
mempunyai rasa memiliki bangsa dan negara yang besar sehingga bangsa dan negara
harus
dikelola
dengan
serius,
dan
keseriusan
menyelenggarakan pendidikan politik berkelanjutan.
itu
ditunjukan
dengan
Peneliti mendefinisikan
pendidikan politik berkelanjutan adalah pendidikan politik yang diselenggaraan
secara berkesinambungan untuk saat ini dan masa yang akan datang.
Urgenitas pendidikan politik berkelanjutan dilatarbelakangi oleh fenomena
tingkat melek politi masyarakat Indonesia dan daerah termsuk di Cimahi yang
tercermin pada tingkat partisipasi pemilu yang mempunyai kecendrungan menurun
disebabkan pendidikan politik hanya bersifat parsial dan temporal, pendidikan politik
diadakan ketika ada masa pemilu, diluar masa itu, pendidikan politik tidak ada.
Kapital intangible yang dapat dikembangkan untuk menciptakan pendidikan
berkelanjutan sehingga melek politik bangsaakan tercipta maka dengan mudah
masyrakat dengan kesadarannya akan berpartisipasi politik dan pemilu. Kapital
intangible disebut pula kapital intelektual (Kelly,2004) terdiri dari; 1).Kapital
manusia; 2). Kapital struktur; 3). Kapital relasi. Ketiga kapital ini akan saling
bersinergi menciptakan nilai positif bagi perkembangan politik.
87
Kapital
manusia
Kapital
struktur
Kapital
relasi
Pendidikan politik
berkelanjutan
Keterangan:
Melek
politik
Partisipasi
politik
(pemilu)
Transfer dan menghasilkan pengetahuan
Gambar 4.3 kapital intelektual mewujudkan pendidikan politik berkelanjutan
Berdasarkan gambar 4.3 Kapital manusia, kapital struktur dan kapital relasi
akan saling berinteraksi dengan pengetahuan, mereka akan saling memberi dan
menerima pengetahuan melalui metode transfer pengetahuan yaitu:
1.
Tacit-tacit ; transfer pengetahuan yang belum terkodefikasi, seperti
pengalaman,skill, disampaikan kepada individu dengan cara pengajaran dan
praktik
2.
Tacit-Explicit; transfer pengetahuan yang belum terkodefikasi ke dalam
bentuk pendokumentasian seperti penulisan, rekaman, pemofotoan,dsb.
88
3.
Explicit-Tacit;
transfer
pengetahuan
dari
bentuk
yang
sudah
terdokumentasikan disampaikan kepada individu untuk diinternalisasian ke
dalam diri sebagai bentuk pemahaman dan pengalaman.
4.
Tidak ada metode transfer explicit-explecit karena dokumentasi pengetahuan
tidak dapat ditransferkkan ke dalam bentuk dokumen lagi tanpa ada perantara
pengalaman dan keahlian manusia.
Dalam aplikasinya, Kapital manusia lembaga KPU saling memebrikan
transfer pengetahuan baik berbentuk tacit-tacit, tacit-eksplisit ataupun eksplicit-tacit
kepada internal anggota KPU atau melibatkan kapital relasi lain sebagai feed back
hearing atas kinerja yang telah dilakukan oleh KPU selama ini dalam rangka
sosialisasi dan pendidikan politik kepda masyarakat.
4.7. Manajemen Kapital Intelektual Politik Kota Cimahi
4.7.1 Kapital Manusia
Kapital manusia pada lembaga Komisi Pemilihan Umum (KPU) cimahi
adalah; ketua KPU dan staff KPU, lembaga inilah yang memberikan pelayanan
berupa pendidikan politik kepada masyarakat kota Cimahi. Dalam aspek internal
lembaga KPU harus ada upaya untuk meningkatkan pengetahuan politik yang bisa
didapatkan melalui training atau pendidikan dengan mengadakkan studi banding atau
mendapatkan pendidikan formal di universitas karena pendidikan politik bisa
didapatkan melalui pendidikan formal dan informal (Carpini dan Keeter,1996).
Lembaga KPU Cimahi sebagai corong pendidikan politik harus memiliki
pengetahuan dan inovasi dalam memberikan pelayanan jasa kepada masyarakat kota
89
Cimahi. Selain itu untuk internalisasi internal lembaga KPU dalam mengembangkan
dan menghasilkan nilai dan pengetahuan maka harus ada metode transfer
pengetahuan dapat diterapkan di kalangan internal yaitu:
Metode transfer
pengetahuan:
Tacit-Tacit; tacitexpicit;explicittacit
Diskusi,seminar,diskursus,sekolah,
studi banding,riset,dsb
Internal
KM KPU
Pengetahuan,skill, sikap dan etika
Gambar 4.4 Pengetahuan Kapital Manusia KPU
4.7.2Kapital Struktur
Manajemen kapital intelektual politik dilasanakan untuk mencipatakan nilai
yang lebih baik lagi dari lembaga KPU Cimahi. Setelah internal KPU memiliki
kapital manusia yang mempunyai pengetahuan dan skill politik yang optimal, maka
hal tersebut tinggal diejawantahkan dalam bentuk terstruktur dalam format Metode
pendidikan politik yang dikembangkan, metode sosialisasi politik dan pemilu, metode
komunikasi,pelayanan informasi politik dan inovasi pendidikan politik.
Melihat angka partisipasi politik dan pemilu yang lesu di kota cimahi, maka
lembaga KPU cimahi harus melakukan inovasi dalam pelayanan politik berupa
90
pendidikan kepada masyarakat. Dengan demikian akan tercipta pengetahuan politik
struktural yang dihasilkan dari gabungan pegetahuan politik faktual yang dimiliki
oleh invidu kapital manusia (Carpini dan Keetr,1996). Apabila hal tersebut sudah
terwujud aka lembaga KPU cimahi akan memiliki hak paten tersendiri dalam proses
menciptakan nilai/produk/pelayanan politik sehingga kompetensi dan kompetisi
lembaga KPU cimahi akan teruji melalui manajemen kapital intelektualnya.
Pengetahun KM
secara
individual
Transformasi
Pengetahuan komunal lembaga
politik (KS)
konversi
Nilai dan inovasi/brand
image lembaga politik
dalam metode pendidikan
dan komunikasi politik
Gambar 4.5 Konversi pengetahuan menjadi nilai dan inovasi lembaga politik
4.7.3 Kapital Relasi
Kapital relasi dalam hal ini terdapat dua bagian, pertama relasi sebagai
penerima dan pengguna inovasi pendidikan politik dari KPU yaitu masyarakat luas,
dan kedua,relasi yang erupakan pengguna tapi sekaligus pula sebagai aktor yang
91
membantu menyebarlusakan inovasi lembaga KPU, seperti kalangan pengusaha dan
media masa.
Inovasi
Lembaga politik
Evaluasi
KR: media,
perusahaan,
stakeholder
KR:
masyarakat
Pengembangan
pengetahuan
KM
Partisipasi
politik/pemilu
Transformasi menjadi
pengetahuan KS
Gambar 4.6 Kapital relasi sebagai pengguna inovasi lembaga politik
Kapital relasi politik berdasrkan gambar 4.6 dapat memberikan feed back
(pengetahuan dari KR) kepada lembaga atas inovasi dan nilai yang diberikan, hal ini
akan menjadi evalusai bagi lembaga untuk menciptakan nilai yang lebih baik lagi
melalui perbaikan dan pengembangan pengetahuan. Dalam tataran praktinya,
masayarakat dan stakeholder dapat meberikan masukan kepada lemabaga KPU atas
kinerjanya, maka KPU harus menyediakan ruang publik dan transparansi akses
untukdapat memberikan masukan progressif dari kalangan eksternal KPU.
Namun demikian, dengan melakukan manajemen kapital intelektual politik
dengan baik maka pengetahuan yang terekstraksi dalam bentuk inovasi pendidikan
politik dari lembaga KPU Cimahi maka stakeholder dari semua kalangan akan
tertarik dengan hasil produk dan pelayanan pendidikan politik yang dihasilkan oleh
lembaga KPU cimahi. Melalui report (pelaporan) kapital intelektual politik yang
92
dipublikasikan kepada kalangan eksternal lembaga, maka hal tersebut akan bahan
pertimbangan stakeholder untuk mendukung dan menjalin kerjasama dengan lembaga
KPU cimahi dalam mewujudkan melek dan partisipasi politik melalui pendidikan
politik berkelanjutan.
4.8. Proyeksi Pendidikan Politik Berkelanjutan Melalui Manajemen Kapital
Intelektual Politik Untuk Meningkatkan Parisipasi politik dan Pemillu
Proyeksi pendidikan politi berkelanjutan melalui manajemen kapital
intelektual politik
ini merupakan kerja panjang dan berkesinambungan untuk
menciptakan karakter politik yang utuh bagi bangsa Indonesia. Pendidikan politik
berkelanjutan sangat dipentingkan karena mengingat proses menuju kesadaran politik
bukanlah hanya pengamatan numerik berdasarkan jumlah partisipasi dan golput,
namun pengamatan mendalam mengenai fakta dan data yang muncul ke permukaan,
oleh sebab itu. Sosialisasi pemilu yang merupakan bagian dari mekasnisme
pendidikan politik yang bersifat temporal telah menunjukkan hal ini tidak dapat
menaikkan partisipasi masyarakat dalam pemilu dan politik karena pada dasarnya
masyarakat sebagai partisipan bukanlah sebagai obyek pemilih yang kosong
informasi (zero information) tetapi mereka memiliki banyak sekali informasi
mengenai politik sehingga mempengaruhi sudut pandang mereka dalam menentukan
sikap politisnya termasuk tidak berpartisipasi dalam pemilu, sehingga sosialisai teknis
dan ajakan untuk mencoblos saat pemilu tidak akan mendapatkan perhatian dari
masayarakat yang terlebih dahulu sudah punya informasi politik dan pemilu.
93
Maka pendidikan politik berkelanjutan berupaya untuk memberikan sudut
pandang baru dan wawasan, informasi, dan pengetahuan politik kepada msayarakat
agar menghasilkan kecerdasan dan kesadaran politik yang bertanggungjawab. Aspek
kognitif politik yang dimiliki oleh masayrakat merupakan sudut pandang dan persepsi
yang akan dipengaruhi oleh informasi yang diterima, dengan demikian apabila ada
informasi baru tentang politik yang dapat memberikan perspektif positif kepada
masyarakat maka kognitif dan persepsi politik mereka akan berubah sehingga mereka
akan ikut berpartisipasi dalam politik dan pemilu. Selama ini ruang kualifikasi politik
masyarakat jarang tersentuh dan menjadi ruang gelap selamanya yang tidak pernah
diterangi, orang-orang golput pada umumnya dijadikan “musuh” dan bahkan disebut
sebagai “pembangkang” nasionalisme, namun melalui manajemen KIP lembaga
politik termasuk KPU akan menghasilkan pendidikan politik berkelanjutan yang
dilandasi oleh kesadaran dan kecerdasan tanpa tekanan dan ancaman, agar makna
berkelanjutan ini benar-benar berlanjut sampai pada tingakatan masa dan waktu yang
akan datang.
Pola pendidikan politik berkelanjutan dapat diaplikasikan dalam jalur
pendidikan formal atau informal. Pendidikan politik berkkelanjutan di sekolah atau
universitas dapat dikemas dengan pengantar yang mudah dipahami oleh siswa,
kemuadian pendidikan politik berelanjutan jalur informal bisa diseleggarakan di tiap
daerah berupa kegiatan diskusi iteraktif atau kegiatan yang bersifat “tidak
membosankan” namun tetap dapat mendidik. Untuk mewujudkan pola pendidikan
politik berkelanjutan tidak mungkin jika tidak ada manajemen dan koordinsai antara
94
semua kalangan warga negara, maka jalinan kerjasama antar lembaga (KR) harus
dapat diorganisir dengan baik.
Melalui manajemen KIP, pendidikan politik berelanjutan akan dilakukan
dengan mempertimbangkan aspek obyek penerima pendidikan politik yaitu aspek
kapital relasi, karena setiap tempat dan daerah mempunyai karakteritik KR yang
berbeda, dengan demikian pendidikan politik berkelanjutan tidak sebatas pengetahuan
yang tersimpan dalam kognisi saja namun bersifat applicable dalam partisipasi politik
dan pemilu. Hal terpenting dalam mewujudkan pendidikan politik berelanjutan ini
adalah inovasi. Inovasi dihasilkan dari pengetahuan dan pengalaman, maka untuk
menciptakan rantai inovasi ini adalah manajemen KIP agar pendidikan politik
berkelanjutan bukan malah menjadi pendidikan politik yang menjenuhkan karena
tidak adanya inovasi dalam metode komunikasi dan konten pendidikan.
Tujuan dari pendidikan politik berkelanjutan ini adalah untuk menciptakan
masyarakat melek politik, karena melek politik bukanlah proses yang instan dan tidak
dapat tercipta secara utuh hanya melalui sosialisasi temporal yang bersifat teknis,
serta angka persentase partisipasi pemilu merupakan bagian terkecil dari indikator
melek politik.
Sehingga untuk mewujudkan tngkat melek politik masyrakat
diperlukan pendidikan politik berelanjutan yang secara holistik memberikan
pengetahuan politik kepada seluruh elemen warganegara.
95
Pemerintah, lembaga
politik, lembaga
pendidikan,
perusahaan,stakeholder
dan NGO
Rendahnya tingkat melek
politik dan rendahntya
partisipasi politik dan
pemilu
Perannya masih parsial
dalam melakukan
pendidikan dan
sosialisasi politik
Evaluasi
Generalisasi persentase
partisipasi pemilu
Fokus evaluasi pada sosialisasi teknis
pemilu
Partisipasi politik
dan pemilu
Kesadaran dan
kecerdasasan politik
Melek politik
Ruang gelap; tidak
pernah dievaluasi
dan disentuh
Pendidikan
politik
berkelanjutan
.
proyeksi
Pemerintah,
lembaga politik,
lembaga
pendidikan,
perusahaan,stak
eholder dan
NGO
Manajemen
Kapital
Intelektual
Politik
Pengguna
inovasi;KR
Transformasi
menjadi inovsi KS
Pengetahuan
KM
Evaluasi
Gambar 4.7 Proyeksi Pendidikan Politik Berkelanjutan Melalui MKIP
96
4.9. Prospek Manajemen Kapital Intelektual Politik Untuk Pendidikan Politik
Berkelanjutan
Melihat proyeksi pendidikan berkelanjutan melalui MKIP dalam sub bab 4.8
di atas, maka prospek manajemen kapital intelektual (KI) dalam bidang politik
sangat progressif karena mengingat kondisi “kemunduran” paradigma berpolitik di
Indonesia yang terjadi saat ini ditandai dengan maraknya sikap apatis, sisnisme,
alienasi dan anomi yang terjadi di kalangan masyarakat Indonesia tidak terkecuali di
tengah-tengah masyarakat kota Cimahi. Oleh karena itu sangat penting dan urgent
untuk diimplementasikan manajemen KI politik ini bagi pendidikan politik
berkelanjutan dalam rangka mewujudkan partisipasi politik masyarakat.
Sebagai
langah
awal
dalam
melihat
prosepek
tersebut,
peneliti
mengkontruksikan definisi manajemen KI politik dengan memasukkan unsur-unsur
kebutuhan pokok bidang politik yang dapat membatasi dan mengindentifikasi ciri
khusus kapital intelektual bidang politik. Peneliti mendefinisikan manajemen KI
politik adalah proses organisir tiga komponen kapital intelektual (Kapital
Manusia,Kapital Struktur dan Kapital Relasi) lembaga politik yang saling
berhubungan untuk mentransfer dan mentransformasi pengetahuan ke dalam nilai
yang lebih baik bagi pembangunan politik negara.
Penjelasan frase dalam definisi tersebut yaitu:
Saling berhubungan: saling bersinergi dalam hal pengembangan dan
internalisasi pengetahuan antara internal lembaga, dan lembaga dengan relasi di luar.
97
Mentransfer dan mentransfomasi pengetahuan: saling memberi dan menerima
pengetahuan dan mewujudkan pengetahuan pada tingkat aplikatif inovasi dan nilai.
Nilai yang lebih baik: output lembaga politik yang lebih berkualitas dan lebih
baik, baik dari segi pelayanan/kontribusi yang diberikan oleh lembaga politik kepada
relasi (pemerintah, bangsa dan negara).
Pembangunan politik: yaitu partisipasi politik yang dilakukan secara
positif dan bertanggungjawab.
Peneliti membagi manajemen kapital intelektual politik (KIP) ke dalam dua
pendekatan yaitu:
1. Pendekatan perbaikan dan pengembangan pengetahuan (improvement and
development); pendekatan ini menekankan pada proses transfer, menciptakan
dan menghasilkan pengetahuan bagi individu dan lembaga. Pendekatan ini
disebut pula dengan internal manajemen KIP.
2. Pendekatan efektivitas; adalah pendekatan evaluasi (pengukuran dan
perhitungan) dan laporan (report), yaitu lembaga politik membuat laporan
perkembangan KIP kepada shareholder dan stakeholder politi. Pendekatan ini
temasuk bagian eksternal manajemen KIP.
Dengan mengaplikasikan manajemen KI politik melaui dua pendekatan tersebut
yaitu pendekatan perbaikan dan pengembangan pengetahuan politik, secara internal
KM lembaga politik akann dengan serius melakuaan internalisasi pengetahuan ke
98
dalam individu anggota/staff lembaga politik kemudian pengetahuan yang dimiliki
individu tersebut dapat dikembangkan dan diekspansi lagi melalui transfer
pengetahuan antara indidua atau melalui penciptaan nilai dan inovasi KS yang disebut
sebagai pengetahuan struktur atau brand image lembaga politik yang pada akhirnya
hasil invasi tersebut di pulikasikan atau disapaikan kepada KR sebagai penguna
sekaligus mitra lembaga politik, dengan maka tidak menutup kemungkinan prosepek
politik di kota Cimahi dan Indonesia akan ada perubahan baik.
KM
KS
KR
Pengembangan
pengetahuan dan skill
mengenai politik
Inovasi dan brand
image lembaga politi
dalampendidikan dan
sosialisi politik/pemilu
DILAKUKAN?
Penyampaian dan
aplikasi invovasi
pendidikan dan
sosialisasi
politik/pemilu kepada
masyarakat
YA
TIDAK
Masyarakat tertarik dan
teredukasi dengan baik
Kenaikan partsipasi
politik/pemilu
Masyarakat tidak tertarik dan
tidak teredukasi dengan baik
Penurunan partisipasi
politik/pemilu
Gambar 4.8 Inovasi dan Brand Image Lembaga politik
99
Kemudian melalui pendekatan efektifitas pelaporan KI kepada shareholder
dan stakeholder
akan memmbantu lebaga politik dalam mengembangkan
pengetahuan dan inovasi dalam pendidikan politik berkelanjutan. Report KI dalam
penelitian ini menggunakan metode perspektif Eropa yaitu the Danish guidelines.
Metode Danish guidelines secara operasional disebut sebagai metode laporan
Intellectual Capital Statement (ICS). Statement (pernyataan narasi) sering menjadi
penjelas dalam laporan untuk menunjukkan keberadaan perkembangan perusahaan
atau lembaga, hal inilah yang menjadi sisi pentingnya pernyataan dalam bentuk
kalimat narasi yaitu untuk menjelaskan hubungan dan strategi lembaga dalam
mengembangkan KI dan mencapai sasaran visi dan misi lembaga yang dihubungkan
dengan pengetahuan. Pengetahuan dapat berupa informasi, wawasan, pemikiran, dsb.
Pengetahuan ini yang akan mengembangkan lembaga melalui inovasi, pelayanan,
sosialisasi, dsb. Melalui ICS akan ditranslasikan peran pengetahuan pada lembaga.
Narasi pengetahuan Manajemen
Inisiatif
Indikator
Kerjasama dengan
media, mengadakan
studi banding, taman
bacaan politik untu
masyarakat,
perpustakaan dan
laboratorium riset di
lembaga KPU,
aplikasi/software
Diskusi yang
terjadwal dan
berkesinambungan,
talkshow politik yan
dikemas menarik
untuk pemilih
pemula, tingkat
kerjasama yang
solid, pendidikan
Tantangan
Kondisi partisipasi
pemilu di kota
Cimahi cenderung
menurun dari setiap
periode karena
tingkat melek politik
masyarakat kota
cimahi masih
rendah,oleh sebab
Pengetahuan yang
dimiliki saat ini
masih pada skill
sosialisasi teknis
pemilu.
Untuk mencapai
target
menyelengagarakan
pendidikan
berkelanjutan
100
itu perlu diadakan
sebuah upaya untuk
menyelenggarakan
pendidikan politik
berkelanjutan
supaya masyarakat
dapat berpartisipasi
politik dan pemilu
berdasarkan
kesadaranpolitik
yang hadir dari
melek politik
masyarakat.
diperlukan
pengetahuan dan
skill politik dalam
berkomunkasi dan
pendekatan
sosialogis kepada
masyarakat secara
komprehensif
termasuk
pengetahuan dan
skill mengenai public
relation dalam
bermitra dengan
stakeholder
politik di internet.
Tabel 4.7 ICS Kapital intelektual politik lembaga KPU
101
untuk kalangan
internal lembaga
KPU.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Penelitian mengenai pendidikan politik di kota Cimahi dapat disimpulkan dari
hasil wawwancara dengan anggota KPU Cimahi bahwa tingkat pendidikan politik di
daerah Cimahi masih rendah, meski upaya KPU stakeholder dan masyarakat sudah
dilakukan untuk menyukseskan pemilu di Cimahi namun presentase partisipasi
pemilu tidak menunjukkan kenaikan signifikan. Kesimpulan dari penelitian yang
dilakukan di kota Cimahi mengenai tingkat partisipasi pemilu menunjukkan ada
penurunan partisipasi pemilu di tiga kecamatan yaitu di daerah Cimahi Utara, Cimahi
Tengah dan Cimahi Selatan. Data partisipasi pemilu menunjukkan terjadi penurunan
sebesar 6.87% pada saaat pemilihan presiden 2004 (putaran 1 dan 2), sedangkan
pada pemilu legilatif tahun 2004 dan 2009 terjadi penurunan tingkat partisipasi
sebesar 5.16%, dan pada pemilihan walikota tahun 2007 dan 2012 terjadi penurunan
partisipasi pemilu sebesar 3.53%, dan pemilihan Gubernur pada tahun 2008 dan
tahun 2013 terjadi penurunan 2,98%.
Kemudian dari segi pendidikan politik dapat disimpulkan bahwa sistem
pendidikan politik di kota Cimahi masih bersifat temporal yakni berlangsung hanya
ketika ada pemilahan umum saja. Pendidikan politik yang diberikan kepada
masyarakat menjelang pemilu berupa sosialisasi informasi, ajakan dan teknis pemilu.
102
Oleh sebab itu dapat dianalisis dan disimpulkan bahwa faktor kurang
efektifnya pendidikan politik di kota Cimahi karena faktor manajemen kapital
intelektual politik belum dioperasikan dengan baik. Kapital Intelektual politik yang
terdiri dari kapital manusia, kapital struktur dan kapital relasi dari lembaga KPU
belum terorganisir sehingga belum ada inovasi dalam pendidikan dan sosialisai
politik kepada masyaraat sehingga akan mewujudkan partisipasi politik dan pemilu
yang cerdas dan bertanggungjawab. Hal ini dapat dilihat dalam proyeksi pendidikan
politik melalui MKIP yang dapat meningkatkan taraf melek politik dan tingkat
partisipasi politik dan pemilu. Sedangkan prrospek aplikasi manajemen kapital
intelektual dalam bidang politik sangat progressif sekali melalui dua pendekatan yaitu
pendekatan pengembangan pengetahuan dan pendekatan efektifitas yaitu proses
pelaporan perkembangan KIP kepada shareholder dan stakeholder melalui metode
Danish guidline report dengan menggunakan pelaporan berbentuk narasi sehingga
akan mudah dipahami untuk dikomunikasikan secara mendalam.
5.2. Rekomendasi dan Saran
Penelitian ini direkomendasikan bagi Pemerintah Pusat dan Daerah, KPU,
Partai Politik, kalangan akademis, NGO, stakeholder dari kalangan perusahaan
BUMN dan Swasta, dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Semua kalangan yang
direkomendasikan dalam penelitian ini memiliki peranan vital masing-masing yang
103
harus disinergikan sehingga dapat mewujudkan pendidikan politik berkelanjutan
melalui MKIP.
Elemen
Pemerintah Pusat dan daerah
KPU
Partai Politik
Akademis
NGO
Perusahaan
Swasta
Masyarakat
BUMN
Tugas dan Fungsi dalam MKIP dan PPB
Sebagai penyokong KM yang berkualitas
bagi KPU; Penyedia sarana peningkatan
pengetahuan KM KPU melalui beasisiwa
pendidikan, fasilitas studi banding politik,
pelindung dan payung kebijakan dalam
upaya
meningkatkan
dan
mengembangakan pengetahuan KM dan
mendukung secara luas nilai yang
dihasilkan KS KPU
Sebagai KM yaitu meningkatkan dan
mengembangkan pengetahuan politik,
sebagai KS dapat menciptakan pendidikan
politik berkelanjutan yang inovatif
Sebagai KM yaitu meningkatkan dan
mengembangkan pengetahuan politik,
sebagai KS dapat menciptakan pendidikan
politik berkelanjutan yang inovatif
Memberikan pandangan konseptual dan
solusi aplikatif serta aktif ikut serta
mengembangkan pengetahuan politik bagi
stakeholder politik yang lain
Ikut terlibat dalam distribusi dan
penyampaian inovasi KS kepada KR
dan Ikut terlibat dalam distribusi dan
penyampaian inovasi KS kepada KR serta
membantu sosialisasi melalui sumberdaya
yang dimiliki perusahaan secara sadar,
obyektif dan tanggungjawab
Kooperatif dengan stakeholder politik yang
lain dalam merespon dan menggunakan
hasil inovasi KS, dan masyarakat sebagai
KR dapat memberikan evaluasi terhadap
104
inovasi yang dihasilkan KS
Tabel 5.1 Rekomendasi Penelitian
Manajemen KIP belum menjadi perhatian dunia politik Indonesia dan
beberapa negara lain, oleh sebab itu disarankan aplikasi manajemen KIP dapat
diterapkan oleh semua elemen yang direkomendasikan dalam penelitaian ini untuk
dapat menciptakan nilai dan inovasi pendidikan politik yang mencerdaskan bangsa
Indonesia sehingga selanjutnya partsipasi politik masyarakat akan melampaui dari
sekedar partisipasi pemilu namun lebih luas dari itu yaitu partisipasi untuk
kepentingan dan kemaslahatan bangsa negara. Sebagai penelitaian awal di bidang
manajemen KIP, diharapkan para pembaca dari semua kalangan dapat menganalisis
manajemen KIP lebih lanjut dan dapat memberikan cakrawala pengetahuan dari sudut
pandang yang berbeda untuk mewujudkan pendidikan politik berkelanjutan dan
melek politik serta partisipasi politik dan pemilu.
105
DAFTAR PUSTAKA
Ahdiyana, Marita.2009. Pidato Ilmiah Pemilu Sebagai Wahana Pendidikan Politik.
Yogyakarta: STIA- AAN
Ahmed,K.A.M. 2011. Students Exposure to Political News on the Internet and
Political Awareness: A Comparison Between Germany and Egypyt. Germany:
Tecnishen Universität Dresden
Akpinar, T.A, dan Akdemir, A. 2011. Intellectual Capital. Turkey: Kocaeli
University
Arianto,Bismar. 2011.Analisis Penyebab Masyarakat tidak memilih Dalam Pemilu.
Jurnal Ilmu Politik dan Ilmu Pemerintahan, Vol. 1, No. 1, 2011 51
Axford,Barrie,et.al.2005. Politics An Introduction. Taylor & Francis e-Library
Birch,
A.H.1993.
The
Concepts
and
Theories
of
Modern
Democracy,
London:Routledge
.
Carpini, D. M. X, dan Keeter, S. 1996. What Americans know about politics and why
it matters? New Haven, CT: Yale University Press
Carr R Paul, dan Thesee, Gina.2008. The Quest For Political (Il)Literacy Responding
To, And Attempting To Counter, The Neoliberal Agenda. B. Porfilio And C. Malott
(Eds.), The Destructive Path Of Neoliberalism: An International Examination Of
Education, 173-194.Sense Publishers.
106
Creswell, W John. 2003. Research Design Qualitative, Quantitative. And Mixed
Methods Approaches Second Edition. California,London and New Delhi:
Sage
Publications
Denzin, N. K.
(1998). Introduction: Entering the Field of
Research." Strategies
of
Qualitative
Inquiry:
Handbook
of
Qualitative
Qualitative
ResearchPaperback Edition. London, Sage. 2: 1-34.
Deutsch,W K. 1963. The Nerves Of Government; Models Of Political
Communication And Control. New York
Dzinkowski, R. 2000. The Measurement and Management of Intellectual Capital. An
Introduction, Management Accounting. Magazine for Chartered Management
Accountants, 78, pp. 32-36.
Eveland, W. P. Jr. & Hively, M. H. (2008). Political knowledge. In W. Donsbach
(Ed.) The international encyclopedia of communication. Malden, MA: Blackwell.
Gallier, Jean. 1993. Constructive logics. Part I: A tutorial on proof systems and
typed λ-calculi. Theoretical Computer Science, 110 (2): 249–339, March 1993.
Harrison, Suzanne, dan Sullivan,H Patrick. 2000. Profiting From Intellectual
Capital;Learning From Leading Companies. Journal of Intellectual Caipital,Vol .1,
No.1, 2000, PP 33-46. CB University Press 1469-1930.
Hungtinton,P S, dan Nelson, M J. 1994. Partisipasi Politik Di Negara Berkembang.
Jakarta: Rineka Cipta
107
International Institute for Democracy and Electoral Assistantance. 1999. Youth Voter
Participation: Involving Today‘s Young in Tomorrow‘s Democracy. Stockholm.
Kelly, Anthony. 2004. The Intellectual Capital Of Schools Measuring And Managing
Knowledge, Responsibility And Reward: Lessons From The Commercial Sector. New
York, Boston, Dordrecht, London, Moscow: Kluwer Academic Publishers
Kenski, K., & Stroud, N. 2006. Connections Between Internet Use And Political
Efficacy, Knowledge And Participation. Journal of Broadcasting & Electronic Media,
50, 173–192.
Lawrence, N C. 2003. The Role of Political Sophistication in the Decision-Making
Processes of Voters. US: University of Mississippi
Lupia,Arthur,,* dan
Philpot, S T. 2005. Views from Inside the Net: How
Websites Affect Young Adults’ Political Interest. Journal of Politics
Volume 67, Issue 4, pages 1122–1142, November 2005
Lynch, K. 2000. Education for Citizenship: The Need for a Major Intervention in
Social and Political Education in Ireland. CSPE Conference, Bunratty Co.
Marr, B. & Roos, G. (2005). Strategy Perspective on Intellectual Capital, in Marr, B.
(Ed.), Perspectives on Intellectual Capital – Multidisciplinary Insights into
Management, Measurement and Reporting, ButterworthHeinemann, Oxford.
McAllister,Ian. 2001Civic Education and Political knowledge in Australia. This
paper was presented as a lecture in the Department of the Senate Occasional Lecture
Series at Parliament House on 23 March 2001.
108
McLeod, J. M., Scheufele, D. A., & Moy, P. 1999. Community, communication, and
participation: The role of mass media and interpersonal discussion in local political
participation. Political.Communication, 16, 315–336.
Moleong Lexy J. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Mondak, J J. 2009. Reconsidering the Measurement of Political Knowledge. Florida
State University
Mouritsen, Jan, et al. 2000. Intellectual Capital Statement;The New Guideline.
Copenhagen, Denmark: Danish Ministry of Science.
Nasution. 2003. Metode Research: Penelitian Ilmiah. Jakarta: PT. Bumi Aksara
Orlikowski, W. J., & Baroudi, J. J. 1991. Studying Information Technology In
Organizations: Research Approaches And Assumptions. Information Systems
Research, 2(1), 1–28.
Patton, Michael Quinn. 1987 Qualitative Education Methods. Beverly Hills: Sage
Publication
Paul J Di Stefano., dan Edward, G Kalbaugh. 1999. Intellectual Capital, Rough
Notes, 142 (7), Jul. 1999
Petrash, G. 1996. Dow’s Journey to a Knowledge Value Management Culture.
European Management Journal, 14 (4), pp. 65-373.
109
Popper, K. R. 1959. The Logic of Scientific Discovery. London: Hutchinson,
Rosenstone,J S, dan
Hansen, M J. 2003. Mobilization, Participation, And
Democracy In America. Longman
Rush.Michael, dan Althoff. Phillip. 1997. Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
Schipper. C.B dan Woo. Yeul.H Woo. 2015. Political Awareness, Microtargeting Of
Voters, And Negative Electoral Campaigning. JEL-Classi cations: C72, D71, P16.
Singleton, A J.1966. Political Awareness Among Students of Southeastem State
College. Durant Southeastern State College
Stake,
E
R.
1995.The
Art
Of
Case Study
Research Paperback.
SAGE
PUBLICATION
Sullivan,H Patrick. 2000. A Brief History Of The Icm Movement; Value-Driven
Intellectual Capital; How To Convert Intangible Corporate Assets Into Market
Value.. http://www.sveiby.com/Portals/0/articles/icmmovement.htm
Tsai-Yuan Lin, Yuan-Tsai, et al. 2011.Application Of FAHP In The Measurement
Model Of Intellectual Capital In Service Industry. Investment Management and
Financial Innovations, Volume 8, Issue 3, 2011
110
Tulung, H.Freddy. 2013. Peran humas Pemerintah dalam Masyaraat Demkrasi.
Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementrian Komunikasi dan
Informatika
Udende,Patrick.2011. Mass Media, Political Awareness and Voting Behaviour in the
Nigeria’s 2011 Presidential Election Nigeria: University. of Ilorin
Verba, S., Kay, S., & Henry, B. 1995. Voice and Equality: Civic Voluntarism in
American Politic. Cambridge, MA: Harvard University Press.
Wall, A, et al. 2004 Intellectual Capital. Measuring the Immeasurable? Oxford:
CIMA Publishing
Wessler, H. 2008.Political Discourse. In The International Encyclopedia of
Communication. Wolfgang, D (Ed). Blackwell Publishing,
www.kpu.go.id
111
LAMPIRAN-LAMPIRAN
112
Download