LAPORAN RISET PEMILU KPU KOTA CIMAHI MANAJEMEN KAPITAL INTELEKTUAL POLITIK UNTUK PENDIDIKAN POLITIK BERKELANJUTAN DALAM RANGKA MENINGKATKAN PARTISIPASI PEMILIHAN UMUM Studi Kasus Di Kota Cimahi Provinsi Jawa Barat CIMAHI 2015 i Abstract Political Intellectual Capital Management for Sustainable Political Education to Enhance General Election Participation. Case Study in Cimahi, West Java. The numbers of participatories have been always decreasing for each period of general election in Cimahi. Eventhough the KPU (Komisi Pemilihan Umum)/General Election Commission conducted political education and socialization to societies, it was not give positive impact to raise general election participation of societies as voters. The quest of political education leads general election participation reconsidered during general election periods only, therefore political education was not be internalisatition for every single citizen. It is reason political education must sustain. Sustainable political education is political education holds regularly for current and future, it is a away to reach political participation to contribute for development. It can release by Political Intellectual Capital Management, it is new insight in political affair, it will operate three mains of capitals in organization, they are: 1). Human capital; 2). Structural capital; 3). Relational capital. Three capitals of political intellectual capital management will make sutainable political education because they engage and support each other in knowledge eternally. It conducted by qualitative method depicted some conditions current of political education and general election participation in Cimahi, usage qualitative suits report and evaluation of measuring political intellectual capital trough Intellectual Capital Statement (Dannish Guideline) by narrative report in order to be understood by shareholder and stakeholder. This results conclusion that decline of general election participation in Cimahi because of decrease of citizen’s political education, therefore political intellectual capital management must hold in KPU and stakeholders to improve and develop knowledge to realize of political literacy and poitical participation through sustainable political education. Key words: political education, general election participation, sustainable political education, political intellectual capital management,Cimahi. ii Abstrak Manajemen Kapital Inteletual Politik Untuk Pendidikan Politik Berkelanjutan Dalam Rangka Meningkatkan Partisipasi Pemilahan Umum Studi Kasus Di Cimahi, Jawa Barat Penurunan partisipasi selalu terjadi saat pemilihan umum di kota Cimahi. Meskipun KPU (Komisi Pemilihan Umum) telah menyelenggarakan pendidikan politik dan sosialisasi kepada masyarakat, hal tersebut tidak memberikan efek yang positif untuk meningkatkan partsipasi masyarakat sebagai pemilih pada pemilihan umum. Pendidikan politik saat ini hanya terselenggara saat menjelang pemilihan umum saja, oleh sebab itu pendidikan politik tidak terinternalisasi pada setiap individu masyarakat. Hal tersebut menjadi alasan pendidikan politik harus berkelanjutan. Pendidikan politik berkelanjtan adalah pendidikan politik yang diselenggarakan secara berkesinambungan pada saat ini dan saat yang akan datang, itu merupakan cara mencapai partisipasi politik untuk berkontribusi dalam pembangunan. Pendidikan politik berkelanjutan dapat terealisasi melalui manajemen kapital intelektual politik, ini merupakan salah satu pendekatan manajemen politik yang baru yang akan mengoperasikan tiga kapital dalam organisasi, yaitu: 1). Kapital manusia; 2). Kapital struktur; 3). Kapital relasi. Manajemen tiga kapital intelektual politik akan menciptaan pendidikan politik berkelanjutan karena tiga kepital tersebut saling bekerjasama satu sama lain melalui pengetahuan. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang menggambarkan kondisi saat ini mengenai pendidikan politik dan partisipasi pemilihan umum di Cimahi. Penggunaan metode kualitatif sesuai dengan metode evaluasi pelaporan kapital intelektual politik melalui metode Intellectual Capital Statement (Dannish Guideline) tujuan pelaporan melalui narasi (statement) tersebut agar dipahami oleh shareholder dan stakeolder. Kesimpulan dari penelitian ini adalah penurunan dari partisipasi pemiu di Cimahi karena rendahnya pendidikan politik masyarakat, oleh karena itu manajemen kapital intelektual politik harus diaplikasikan oleh KPU untuk meningkatkan dan mengembangkan pengetahuan untuk merealisasikan melek politik dan partisiasi politik melalui pendidikan politik berkelanjutan. Kata Kunci: Pendidikan politik, partsipasi pemilihan umum, pendidikan politik, berkelanjutan, manajemen kapital intelektual politik, Cimahi. iii KATA PEGANTAR Partisipasi pemilihan umum (pemilu) merupakan bagian dari partisipasi politik yang cakupannya luas. Indikator partisipasi politik yang umum saat ini adalah jumlah persentase partisipan pemilu, dengan mudah dapat terlihat berapa orang yang ikut memberikan suara saat pemilu dan berapa jumlah orang yang tidak ikut memberikan suara atau termasuk golongan putih (golput). Pada hakikatnya partisipasi pemilu bukan sekedar melihat jumlah persentase saja namun ada faktor yang menjadi penyebab tingkat partisipasi itu naik dan turun. Faktor tersebut tidak dapat dikuantifikasikan akan tetapi memerlukan strategi untuk memperbaiki kondisi itu. Strategi yang dibahas dalam penelitian yang dilakukan di Cimahi ini ialah strategi manajemen kapital intelektual politik, tiga komponen kapital intelektual politik; kapita manusia, kapital struktur dan kapital relasi, dioperasikan melalui transfer knowledge untuk menciptakan inovasi dan menghasilkan nilai kuantitas dan kualitas yang dapat memperbaiki kondisi politik dan pemilu di Indonesia. Diharapkan dengan terorganisirnya tiga kapital intelektual politik itu dapat menciptkan pendidikan politik berkelanjutan karena pendidian politik harus diinternalisasikan secara tuntas kepada masyarakat agar mereka dapat berpartisipasi politik dan pemilu secara cerdas dan bertanggungjawab. Penelitian ini sebagai penelitian awal yang membahas manajemen kapital intelektual bagi dunia politik, disadari ataupun tidak, selama ini setiap institusi politik telah melakukan pola kerjasama dan koordinasai dengan eksternal dan internal iv institusinya namun pola operasionalnya belum termenej dengan formulasi yang baik sehingga tidak menimbulkan efek yang signifikan terhadap partisipasi politik dan pemilu. Saran progressif sangat diharapkan untuk analisa penelitian yang lebih baik kembali, semoga penelitian ini bermanfaat dan dapat menjadi bagian jalan yang dapat ditempuh untuk menata kembali kiprah politik di tingkat daerah dan nasional. Cimahi, Juni 2015 v DAFTAR ISI ABSTRAK ................................................................................................. i-ii KATA PENGANTAR........................................................................................ iii DAFTAR ISI ...................................................................................................... v DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... viii DAFTAR TABEL ............................................................................................. x BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 1 1.1.................................................................................................... Lat ar Belakang Masalah ......................................................................... 1 1.2 Penelitian Terdahulu dan State of Art ............................................. 11 1.3 Rumusan Masalah Penelitian ........................................................... 17 1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................................ 18 BAB II TINJAUAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN ..................... 19 2.1 Partisipasi Politik ............................................................................... 19 2.2 Bentuk Partisipasi politik .................................................................. 21 2.2.1 Apatis ......................................................................................... 27 2.2.2 Sinisme ...................................................................................... 29 2.2.3 Alienasi ...................................................................................... 30 2.2.4 Anomi ........................................................................................ 30 2.3 Variabel Pengaruh Partisipasi Politik .............................................. 31 2.3.1 Ketertarikan Politik ................................................................. 31 vi 2.3.2 Pengetahuan Politik ................................................................ 32 2.3.3 Diskursus Politik ...................................................................... 33 2.3.4 Kesadaran Politik ..................................................................... 34 2.4 Sosialisai dan Komunikasi Politik .................................................... 35 2.5 Partisipasi Pemiihan Umum ............................................................. 38 2.6 Pendidikan Politik Berkelanjutan .................................................... 39 2.7 Manajemen Kapital Intelektual ........................................................ 42 2.7.1 Sejarah Manajemen Kapital Intelektual ................................ 42 2.7.2 Kapital Intelektual Dalam Bidang Ekonomi ......................... 48 2.7.3 Manajemen Kapital Intelektual dalam Politik ..................... 51 2.8 Kerangka Pemikiran .......................................................................... 57 BAB III METODOLOGI PENELITIAN .......................................................... 59 3.1 Lokasi, Subyek,Obyek, Rencana dan Waktu Penelitian ................. 59 3.1.1 Lokasi Penelitian ....................................................................... 59 3.1.2 Subyek dan Obyek Penelitian ................................................. 59 3.1.3 Rencana dan Waktu Penelitian ............................................... 60 3.2 Desain Penilitian ................................................................................. 61 3.2.1 Rasionalisasi Metodologi Penelitian ........................................ 61 3.2.2 Operasionalisai Variabel ......................................................... 63 3.2.3 Teknik Pengumpulan Data ...................................................... 64 3.2.4 Tatacara Pengumpulan Data .................................................. 65 3.2.5 Analisis Data ............................................................................. 65 vii BAB IV PEMBAHASAN ..................................................................................... 69 4.1 Profil Wilayah Cimahi ...................................................................... 69 4.2 Upaya KPU Cimahi dan Stekholder Menyukseskan Pemilu dan Menangani Penurunan Partisipasi Pemilu di Cimahi ............ 72 4.3 Metode Pendidikan Politik di Kota Cimahi .................................... 81 4.4 Tingkat Melek Politik di Kota Cimahi ............................................. 81 4.5 Partisipasi Politik dan Pemilu di Kota Cimahi ............................... 83 4.6 Pendidikan Politik Berkelanjutan di Kota Cimahi ......................... 85 4.7 Manajemen Kapital Intelektual Politik Kota Cimahi .................... 87 4.7.1 Kapital Manusia ....................................................................... 87 4.7.2 Kapital Struktur ...................................................................... 88 4.7.3 Kapital Relasi ............................................................................ 90 4.8 Proyeksi Pendidikan Politik Berkelanjutan Melalui Manajemen Kapital Intelektual Politik untuk Partisipasi Politik dan Pemilu ......................................................................................... 91 4.9 Prospek Manajemen Kapital Intelektual Politik untuk Pendidikan Politik Berkelanjutan ........................................ 96 BAB V PENUTUP ................................................................................................. 100 5.1 Kesimpulan ......................................................................................... 100 5.2 Rekomendasi dan Saran .................................................................... 101 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 103 viii LAMPIRAN .......................................................................................................... 110 DAFTAR GAMBAR 1.1 Grafik Tingat Partisipasi Pemilu Indonesia Tahun 1971-2009 ................ 1 1.2 Grafik Perbandingan Golput Pada Pemilukada DKI Jakarta 2007 dan 2009 .......................................................................................................... 6 1.3 Skema State of Art Penelitian ....................................................................... 16 2.1 Bantuk Partsipasi Politik ............................................................................... 23 2.2 Hirarki Partisispasi Politik ............................................................................ 25 2.3 Hubungan Variabel yang Mempengaruhi Partsipasi Politik .................... 35 2.4 Metode Komunikasi ........................................................................................ 36 2.5 Manajemen Kapital Intelektual Mewujudkan Pendidikan Politik Berkelanjutan ................................................................................................. 41 2.6 Transfer Pengetahuan ................................................................................... 42 2.7 Kapital Intelektual dan Komponennya ........................................................ 45 2.8 Timeline Manajemen Kapital Intelektual .................................................... 46 2.9 Platform Nilai ................................................................................................. 49 2.10 Kerangka Pemikiran Penelitian................................................................... 58 4.1 Hirarki Partsisipasi Politik ............................................................................ 83 4.2 Inovasi dan Brand Image Lembaga Politik ................................................. 84 4.3 Manajemen Kapital Intelektual Mewujudkan Pendidikan Politik ix Berkelanjutan ................................................................................................. 86 4.4 Pengetahuan Kapital Manusia KPU ............................................................ 88 4.5 Konversi Pengetahuan Menjadi Nilai dan Inovasi Lembaga Politik ........ 89 4.6 Kapital Relasi sebagai Pengguna Inovasi Lembaga Politik ....................... 90 4.7 Proyeksi Pendidikan Politik Berkelanjutan Melalui MKIP ...................... 95 4.8 Inovasi dan Brand Image Lembaga politik…………………….......................99 x DAFTAR TABEL 1.1 ............................................................................................................ Partis ipasi Pemilu Kota Cimahi ............................................................................ 3 1.2 ............................................................................................................ Golp ut Pada Pemilukada di Indonesia ............................................................... 4 2.1 Timeline Manajemen Kapital Intelektual .................................................. 46 2.2 Perkembangan Kapital dalam Berbagai Perspektif Disiplin Ilmu .......... 51 2.3 Komponen Kapital Intelektual Politik ....................................................... 54 2.4 Format ICS ................................................................................................... 56 3.1 Rencana dan Waktu Penelitian ................................................................... 60 3.2 Operasionalisasi Variabel ............................................................................ 63 3.3 Format ICS ................................................................................................... 65 4.1 Luas Wilayah Kota Cimahi ......................................................................... 69 4.2 Partisipasi Pemilu Kota Cimahi ................................................................. 73 4.3 ICS untuk Pemilih Remaja Pemilih Pemula ............................................. 75 4.4 ICS untuk Pemilih Kalangan Ibu rumah tangga ...................................... 77 4.5 ICS untuk Pemilih Kalangan Pemuda ....................................................... 80 4.6 ICS Untuk Pemilih Kaum Marjinal Dan Buruh……………………...... 82 4.7 ICS Kapital Intelektual Politik Lembaga KPU……………………… 101 xi 5.1 Rekomendasi Penelitian…………………………………………………. 104 xii BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sejak tercetusnya era reformasi, masyarakat dapat leluasa mengekspresikan sikap politiknya melalui pembentukan partai-partai politik dan jalur politik lain yang dapat menyalurkan aspirasi kelompok dan masyarakat kepada pemerintah. Namun ironisnya pada era reformasi, partisipasi politik melalui pemberian suara saat pemilihan umum (pemilu) mengalami penurunan setiap periode. Gambar 1.1 Grafik Tingkat Partisipasi Pemilu Indonesia tahun 1971-2009 Sumber: Tulung (2013) 1 Menurut Carpini dan Keeter (1996) peran pendidikan dan pengetahuan politik memberikan pengaruh besar terhadap partisipasi pemilu, dengan demikian apakah pendidikan politik saat orde Baru lebih berhasil daripada pendidikan era reformasi berdasarkan tingat partisipasi pada gambar 1.1 Secara kualitas pendidikan politik pada masa orde Baru bersifat doktrinisasi dan tekanan (pressure) sehingga rakyat seperti “robot” yang harus mengikuti arahan politik yang diberikan, meskipun secara sistematis pendidikan politik dan nasionalisme sangat terstruktur saat orde baru baik melalui lembaga pendidikan formal dan informal namun hal tersebut tidak terinternalisasi lama dan utuh dalam kognisi dan jiwa setiap warganegara, hal ini dapat terlihat refleksinya saat orde reformasi dimana pendidikan politik yang diterima saat orde baru tidak berjejak. Selain itu, praktik politik yang menjurus ke arah korupsi kerap terjadi saat ini, sungguh pendidikan politik pada masa era orde baru mayoritasnya bukanlah upaya pembentukan karakter warganegara secara konprehensif. Dengan demikian standrisasi partisipasi politik dengan hanya melihat persentase partispasi pemilu sangatlah sempit sekali karena partisipasi pemilu merupakan partisipasi “level terkecil” dalam partisipasi politik (Rush dan Althoff,1997). Oleh sebab tingkat melek politik di Indonesia akan selalu berada pada posisi di bawah apabila partisipasi politik pada “level rendah” saja masayarakat tidak mampu melaksanakannya. Untuk pencapaian melek politik harus ada pendidikan politik yang bersifat holistic dan mencerdaskan. Bukan pendidikan politik yang hanya bersifat sosialisasi temporal saat menjelang pemilu saja namun yang dibutuhkan untuk mencapai tingkat melek politik 2 yang maksimal adalah pendidikan politik yang berkelanjutan. Masyarakat perlu mengetahui politik secara utuh,oleh sebab itu peran pendidikan politik berkelanjutan sangat diperlukan untuk mewujudkan melek politik dan partisipasi pemilu. Memberikan pengatahuan politik melalaui pendidikan politik kepada warganegara harus dimulai dari tingkat regional unit terdekat yakni wilayah domisili tempat tinggal. Pendidikan politik tingkat mikro ini akan menjadi kekuatan yang besar apabila masing-masing daerah pun melakukan tindakan serupa sehingga secara nasional akan terlihat dampak positif yang ditimbulkannya. Salah satu daerah di Indonesia yang akan dianalisis dalam penelitian ini adalah kota Cimahi, Jawa Barat. Pendidikan politik di kota Cimahi relatif belum optimal, hal ini diindikasikan dengan tingkat partisipasi pemilu di kota Cimahi cenderung menurun trend-nya. Tahun Pemilu 2004 Presiden (Putaran 1) Presiden (Putaran 2) Legislatif Legislatif Walikota Walikota Gubernur Gubernur 2004 2009 2007 2012 2008 2013 Partisipasi (%) 80,30 73,48 64,43 59,27 73,59 70,06 71,37 68,39 Tabel 1.1 Partisipasi pemilu kota Cimahi Sumber: Diolah dari data KPU kota Cimahi Dari tabel 1.1 dapat dilihat bahwa terjadi penurunan sebesar 6.87% pada saaat pemilihan presiden 2004 (putaran 1 dan 2), sedangkan pada pemilu legilatif tahun 3 2004 dan 2009 terjadi penurunan tingkat partisipasi sebesar 5.16%, dan pada pemilihan walikota tahun 2007 dan 2012 terjadi penurunan partisipasi pemilu sebesar 3.53%. Pemilihan Gubernur padaa tahun 2008 dan tahun 2013 terjadi penurunan 2,98%. Hal tersebut yang menjadi titik perhatian fenomena tingkat partisipasi pemilu di kota Cimahi bahwa penurunan tingkat partisipasi masyarakat menjadi faktor yang harus dianalisis, meski pendidikan dan sosialisasi sudah dilakukan, tetapi itu tidak berdampak pada tingkat partisipasi masyarakat kota Cimahi dalam pemilu. Penurunan tingkat partisipasi pemilu hampir terjadi di seluruh daerah di Indonesia, maka tidak heran apabila golongan putih (golput) selalu mengungguli di setiap pemilu kepala daerah (pemilukada), seharusnya proses suksesnya partisipasi pemilu harus tercerrmin dalam skala regional terlebih dahulu yakni bagaimana proses demokrasi dapat terselenggara di tingkat lokal. No 1 Provinsi DKI Jakarta Tahun 2007 Nama Pasangan Calon Foke – Prijanto Adang-Dani Golongan putih Golput 2012 Jokowi-Ahok Foke-Nara Golput 2 3 Sumatera Utara Jawa Barat 2013 2008 2013 Gatot-Tengku Gus Irawan-soekirman Effendi-Ali Golput Golput Aher-Deddy Golput 4 Perolehan Suara 35.20% 25.70% 39.20% 37.40% 29.80% 32.80% 17.90% 11.50% 11.50% 59.20% 9.10% 6.50% 11.80% 4 Jawa Tengah 2008 2013 Golput Bibit-Sudijono Ganjar-Heru Hadi-Don Golput 5 6 7 Jawa Timur Riau Bogor 2008 2013 2013 Khofifah-Herman Sukarwo-Ssaifulah Bambang-Said Egi-Sihat Golput Golput Bima-Usmar Ru'yat-Aim Dody-Untung Syaifu-Muztahidin Gartono-Firman 8 Makassar 2013 Tabel 1.2 Golput pada Pemilukada di Indonesia Sumber: Tulung (2013) Golput Golput 41.55% 14.90% 23.70% 10.40% 51.00% 22% 28% 8% 1% 41% 40% 20% 19% 10% 6% 4% 41% 50% Angka “kemenangan” golput pada pemilukada di setiap daerah di Indonesia mengharuskan adanya evaluasi mengenai pendidikan politik dan kewarganegaraan demi berlanngsungnya proses demokrasi . Evaluasi pemilu yang dimulai dari tingkat daerah akan membawa pengaruh positif bagi partisipasi pemilu secara massif. Evaluasi tersebut harus diakukan dengan membuka secara detail kekurangan yang selama ini selalau menjadi kendala pemilu setiap periode sehingga akan diketahui akar permasalahan yang menjadi kendala. Catatan untuk pemilukada DKI Jakarta, pada tabel 1.2 di atas angka golput pada pemilukada DKI Jakarta 2007 menjadi “pemenang” dengan jumlah 39.2% 5 suara dibandingkan dengan perolehan suara calon pasagan pemilukada 2007 DKI Jakarta. Sedangkan pada tahun 2012, golput sejumlah 32.8% berada di posisi kedua setelah kemenagan pasangan Jokowi-Ahok yang memperoleh suara 37.4%. Namun apabila dibandingkan dengan tingkat penduduk DPT (Daftar Pemilih Tetap) DKI Jakarta, maka golput pada tahun 2012 lebih besar daripada jumlah golput pada tahun 2007. Gambar 1.2 Grafik perbandingan golput pada pemilukada DKI Jakarta 2007 dan 2009 Sumber: Tulung (2013) Latar belakang golput memiliki banyak dimensi, Eep Saefulloh Fatah, mengklasifikasikan golput atas empat golongan. Pertama, golput teknis, yakni mereka yang karena sebab-sebab teknis tertentu (seperti keluarga meninggal, ketiduran, dan lain-lain) berhalangan hadir ke tempat pemungutan suara, atau mereka yang keliru mencoblos sehingga suaranya dinyatakan tidak sah. Kedua, golput teknis-politis, 6 seperti mereka yang tidak terdaftar sebagai pemilih karena kesalahan dirinya atau pihak lain (lembaga statistik, penyelenggara pemilu). Ketiga, golput politis, yakni mereka yang merasa tak punya pilihan dari kandidat yang tersedia atau tak percaya bahwa pileg/pilkada akan membawa perubahan dan perbaikan. Keempat, golput ideologis, yakni mereka yang tak percaya pada mekanisme demokrasi liberal) dan tak mau terlibat di dalamnya entah karena alasan fundamentalisme agama atau alasan politik-ideologi lain (Arianto,2012). Keempat dimensi tersebut dapat terminimalisir melalui pendidikan politik kepada masyarakat karena pendidikan dan pengetahuan dapat memberikan dorongan masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam pemilu (Carpini dan Keeter, 1996). Seperti yang telah dideskripsikan sebelumnya bahwa permasalahan partisipasi pemilu erat kaitanya dengan penyelenggaraan pendidikan dan pengetahuan politik (Carpini dan Keeter, 1996). Pada dasarnya pendidikan akan membuat cakrawala dan kesadaran (awareness) manusia terhadap lingkugannya sehingga manusia melalui pengetahuan yang didapatnya dari pendidikan tersebut dapat berkontribusi aktif untuk kemajuan peradaban karena pendidikan memainkan peranan dalam pengembangan skill dan kontribusi yang efektif untuk masyarakat (Lynch,2000). Demikian pula pendidikan politik merupakan usaha sadar untuk mengubah proses sosialisasi politik masyarakat sehingga mereka memahami dan benar-benar menghayati nilai-nilai yang terkandung dalam suatu sistem politik yang ideal yang hendak dibangun (Alfian, 1986). Kesadaran politik ini nantinya yang akan menjadikan rakyat melek politik (political literacy), dengan pengertian lain bahwa rakyat menyadari permasalahan 7 bangsanya, mereka menyadari bahwa perannya dapat mengubah dan mempengaruhi keadaan bangsa. Demikian pula tingkat partisipasi pemilu di daerah kota Cimahi yang memiliki kecendrungan menurun dari periode ke periode, ini menjadi catatan tersendiri mengingat kota Cimahi hampir serupa dengan kota satelitnya Bandung sebagai ibukota Jawabarat, jika dilihat dari demografi wilayah serta akses informasi dan teknologi sangat mudah untuk memiliki pengetahuan politik melalui media massa dan internet, kemudian dari aspek demografi wilayah sudah terdapat banyak pembangunan infrastruktur yang memudahkan masyarakat bermobilisasi sehingga tidak ada alasan secara teknis untuk tidak berpartisipasi dalam pemilu. Namun seperti pada tabel 1.1 penurunan angka pemilih dalam partisipasi pemilu di daerah Cimahi menunjukkan fakta bahwa prosentase golput saat ini tidak akan menutup kemungkinan akan semakin tinggi pada pemilu selanjutnya. Untuk mencegah kenaikan angka pemilih yang tidak berpartisipasi dalam pemilu maka setiap aktor pendidikan politik dimulai dari level keluarga sampai pada tingkat formal yaitu Komisi Pemilihan Umum (KPU) harus bersinegergi satu sama lain untuk saling menguatkan landasan pengetahuan politik, maka pendidikan politik sebaiknya tidak hanya digelar secara formal pada saat menjelang pemilu saja, yang secara garis besar konten materi pendidikan politik seputar masalah teknis saja, meski masalah teknis pemilu (cara mencoblos, melipat kertas suara, dsb) hal tersebut sangat penting namun landasan kognitif dan pengetahuan politik bagi rakyat seringkali terabaikan sehingga tidaklah heran dari masa ke masa pemilu hanya 8 sebagai aktivitas “selingan” rakyat di tengah kesibukannya dengan alih-alih berpartisipasi dalam pemilu dengan meluangkan waktu kurang lebih 5 menit berada di TPS. Berdasarkan kondisi partisipasi pemilu dan pendidikan politik di tingkat nasional dan daerah, dapat dikatakan bahwa pendidikan politik membawa pengaruh pada tingkat melek politik rakyat dan wajah demokrasi di Indonesia. Namun pendidikan politik saat ini masih belum efektif untuk membentuk kepribadian individu masyarakat menjadi seorang warganegara yang memahami dan melek politik, salah satunya dalam tingkat partisipasi pemilu tingkat nasional atau daerah tingkat golput masih tinggi. Format pendidikan politik kepada masyarakat khususnya saat menjelang pemilu masih terbatas pada tataran teknis sosialisasi seperti cara mencoblos dan melipat suara, selanjutnya terlepas dari momen tersebut, tidak ada follow up lagi mengenai pendidikan politik kepada masyarakat dan otomatis hubungan komunikasi dan diskusi masyarakat dengan pemberi pendidikan politik, dalam hal ini KPU, akan terputus begitu saja dan dimungkinkan akan tersambung kembali hubungan ini pada saat lima tahun yang akan datang menjelang pemilu akan digelar kembali. Padahal pendidikan adalah proses simultan yang berkelanjutan agar nilai-nilai yang disampaikan dapat terinternalisasikan secara kokoh kepada masing-masing individu warganegara. Dengan demikian pendidikan politik berkelanjutan merupakan cara yang dapat menanamkan pemahaman dan pengetahuan politik kepada warganegara agar mereka dapat berpartisipasi dalam politik secara positif dan 9 bertanggungjawab untuk saat ini dan yang akan datang. Untuk mewujudkan pendidikan politik berkelanjutan ini harus ada upaya kerjasama dari semua lapisan warganegara. Pendidikan politik akan tersampaikan melalui proses komunikasi yang efektif serta hubungan yang simultan baik diantara kalangan internal institusi/lembaga politik maupun untuk kalangan eksternalnya meliputi relasi dengan masyarakat. Berdasarkan hal tersebut maka tiga komponen yang menjadi rantai yang saling terikat untuk mewujudkan bangsa yang melek politik, yaitu: 1). Sumberdaya Manusia; 2). Organisasi; 3). Relasi/hubungan. Ketiga komponen tersebut akan saling mempengaruhi untuk meningkatkan nilai kualitas dan kuantitas agar sebuah tujuan tercapai. Ketiga komponen tersebut merupakan modal yang sangat penting dalam setiap organisasi profit dan atau non profit. Operasional modal tersebut berfungsi melalui eksistensi pengetahuan yang dimiliki. Di kalangan perusahaan ekonomi, pemberdayaan ketiga modal ini terbukti meningkatkan kinerja dan profit bagi perusahaan mereka, modal tersebut dinamakan kapital intelektual (capital intellectual). Kapital intelektual merupakan kunci dari berjalannya sebuah organisasi/perusahaan, strategi-strategi yang disusun untuk mencapai tujuan akan dirancang oleh kemampuan,keterampilan dan pengetahuan sumberdaya manusia yang diaktualisasikan melalui struktur organisasi/perusahaan berupa menciptakan inovasi,nilai, produk, dan pelayanan (service) serta memperkokohnya melalui hubungan dengan pihak-pihak yang dapat meningkatkan pengetahuan dan nilai . Memperhitungkan tiga komponen kapital intelektual yaitu sumberdaya manusia 10 (kapital manusia), struktur (kapital struktur), dan hubungan/relasi (kapital relasi) merupakan pertimbangan yang logis untuk mewujudkan visi dan misi organisasi/perusahaan. Melihat kembali pada realita pendidikan politik di tingkat nasional dan daerah yang berpengaruh pada tingkat partisipasi pemilu, maka tiga modal intelektual kapital yang dimiliki oleh institusi/lembaga politik dan masyarakat harus dievaluasi kembali meliputi: 1). Kapital manusia: bagaimana kondisi pengetahuan yang dimiliki; 2). Kapital struktural/organisasi: bagaimana sistem kinerja yang berjalan dan apa pelayanan/produk yang dihasilkan untuk mencapai tujuan masyarakat melek politik, serta apakah selalu ada inovasi politik yang dihasilkan untuk memperbaiki kinerja dan hasil; 3). Kapital relasi/hubungan: siapa saja mitra yang digandeng untuk menciptakan kinerja dan nilai output yang lebih baik. Dengan demikian melalui manajemen tiga kapital intelektual tersebut maka akan tercipta pendidikan politik yang berkelanjutan, maka manajemen kapital intelektual politik merupakan cara untuk menjadikan masyarakat melek/sadar politik dan ikut serta dalam partisipasi politik (pemilu). 1.2 Penelitian Terdahulu dan State of Art Penelitian mengenai pendidikan politik dan partisipasi politik serta pemilu telah banyak dilakukan untuk menganalisa masalah dan fenomena politik di setiap daerah dan negara, diantaranya: 1. Schipper dan Woo (2015): Political awareness, Micro-targeting of voter, and Negative electoral Campaigning. 11 Pemetaan perhitungan matematimatis dengan cara memasukkan variabel pengetahuan dan harapan kandidat politik serta pemilih, sehingga kandidat dapat memprediksi perolehan suara yang akan dicapai melalui estimasi stategi micro-targeting. Dalam penelitian pun dipaparkan variabel public relation yang baik dapat berpengaruh hebat terhadap perolehan suara, seperti yang terjadi pada pemilihan presiden Amerika Serikat antara Obama dan McCain. 2. Ahmed (2011): Students ’Exposure to Political Newson the Internet and Political Awareness : A Comparison between Germany and Egypt. Penelitian ini membahas perbandingan remaja (mahasiswa) di negara Jerman dan Mesir dalam partisipasi pemilu melalui akses media internet, karena remaja saat ini merupakan era remaja”gadget minded”, dan persentase hasil dari metode kuantitaif yang digunakan menunjukkan pengaruh yang sangat kuat sekali antara informasi politik di internet dan media massa terhadap tingkat partisipasi pemilih remaja di Jerman dan Mesir. 3. Arianto (2011): Analisis Penyebab Masyarakat Tidak Memilih Dalam Pemilu. Kesimpulan dari penelitian ini setidaknya ada lima faktor yang membuat orang tidak memilih mulai dengan faktor internal yaitu faktor teknis dan pekerjaan, serta faktor ekternal yang terdiri dari administratif, sosialisasi dan politik. Kelima faktor ini berkontribusi terhadap meningkatnya angka 12 golput. Harus ada upaya yang maksimal untuk memenimalisir meningkatnya angka masyarakat yang tidak memilih dalam pemilu. Karena kualitas pemilu secara tidak langsung juga dilihat dari legitimasi pemimpin yang terpilih. Semakin kuat dukungan rakyat semakin kuatlah tingkat kandidat yang terpilih. 4. Udende (2011): Mass Media, Political Awareness and Voting Behaviour in the Nigeria’s 2011 Presidential Election Pada penelitian mengenai peran media masa pada pemilu presiden di Nigeria pada tahun 2011,menunjukkan hasil yang signifikan antara media massa dengan kesadaran politik masyrakat Nigeria, sehingga masayarakat Nigeria menunjukkan antusias kesadaran politiknya melalui partisipasi pemilu presiden. 5. Ahdiyana (2009): Pemilu sebagai wahana pendidikan politik. Melalui pemilu diharapkan tidak hanya sebagai ajang seremonial pemilihan saja namun ada jejak pengetahuan yang melekat pada masyarakat yaitu pendidikan politik, oleh sebab itu seluruh elemen bangsa ikut terlibat dalam suksesi pendidikan politik di Indonesia. 6. Mondak (2009): Reconsidering the measurement of political knowledge. Pengukuran pengetahuan politik selama ini hanya melihat indikator kepada instrument penelitian kuisioner atau pertanyaan yang dijawab benar oleh responden, namun tidak pernah mempertimbangkan variabel DK (Don’t Know) dari respondent sebagai variabel yang patut 13 dipertibangkan dan diteliti kembali apa faktor yang menyebabkan kondisi tersebut ;apakah dari formulasi/sistem pendidikan, ataukah dari pengaruh lingkungan dan psikologis pribadi. 7. Carr dan Thesee (2008): The Quest For Political (Il)Literacy, Responding To, And Attempting To Counter, The Neoliberal Agenda. Jurnal penelitian yang dilakukan di Montreal,Amerika Serikat ini menghasilkan rekomendasi bagi pemerintah dan pejabat politik untuk menyelenggarakan pendidikan yang berkeadilan sosial, terutama bagi kalangan ras kulit hitam, agar mereka dapat memahami pengetahuan dan tidak buta politik sehingga dapat berkontribusi untuk pemerintahan. 8. Lewis dan Harris (2006): The Influence of Politics on Education and Religion: How Much Is Too Much? Penelitian ini difokuskan pada pengaruh dan keseimbangan pendidikan politik dalam struktur demokrasi dengan pemahaman dan penerapan moral agama yang membatasi agar politik tidak menjadi senjata untuk menumpas orang lain. Hal ini ternyata banyak yang belum terealisasi, sehingga perananan agama dalam politik harus menjadi perhatian besar pemerintah di Kalifornia. 9. Lawrence (2003): The Role of Political Sophistication in the Decision Making Processes of Voters. Pada penelitian ini dipaparkan hubungan level sofistik politik dengan demokrasi dan pemilu, hasil dari analisa penelitian menunjukkan ada 14 pengaruh besar antara perkembangan demokrasi dengan sofistik dan pengetahuan politik warganegara. 10. McAllister (2001): Civic educatin and Political Knowledge in Australia. Dalam peelitian ini ditekankan bahwa pendidikan politik masih dikendalikan oleh para elite politik sehingga pendidikan politik hanya sebatas promosi imej kelompok tertentu dengan demikian pendidikan politik bukan milik public. Rekomendasi dari penelitian ini yaitu agar pemerintah dengan serius menyikapi fenomena ini. 11. Singleton (1966): Political Awarenes Among Students of Southeastem State College. Melalui penelitian ini dapat diketahui bahwa kesadaran politik (political awareness) sangat berbeda berdsarkan masing-masing jurusan studi yang ditempuh oleh msyarakat. Berdasarkan tinjauan penelitian terdahulu secara umum membahas dan meneliti kondisi masyarakat secara kasuistik daerah atau negara lokasi penelitian secara deskriptif dan mengkuantifikasikannya melalui hubungan variabel- variabelnya, namun belum pada tahap konseptual yang dapat dijadikan solusi terhadap permasalahan yang ada. Oleh sebab itu sebuah konseptual baru dalam penelitian ini menjadi state of art yang akan dibahas, yaitu konsep manajemen kapital intelektual politik. Dalam rangka meningkatkan tingkat melek politik bangsa Indonesia, maka kapital intelektual politik harus dioptimalkan agar tingkat pemahaman dan partisipasi politik warga Indonesia secara umum, dan masyarakat di 15 daerah pada khususnya dapat maksimal terwujud untuk perkembangan demokrasi dan pemerintahan. Sejauh ini, penelitian mengenai kapital intelektual dalam bidang politik belum tersentuh sehingga diharapkan penelitian ini dapat menjadi solusi secara konseptual bagi perkembangan politik dan tingkat melek masyarakat terhadap politik dan berpengaruh pada partisipasi politik dan pemilu. Hubungan variabel yang saling berpengaruh terhadap tingkat melek dan partisipasi politik Penelitian Terdahulu tentang tingkat melek, pendidikan dan partisisipasi politik Faktor penghambat dan alasan tidak berpartisipasi dalam politik Penelitian saat ini Kapital manusia State of art Manajemen Kapital intelektual politik Gambar 1.3 Skema State of Art Penelitian 16 Kapital organisasi Kapital relasi Partisipasi politik 1.3 Rumusan Masalah Penelitian Kondisi partisipasi pemilu di kota Cimahi,Jawa Barat yang menurun pada tiap periode pemilu menunjukkan tingkat melek politik masyarakat kota Cimahi masih rendah, karena partisipasi politik dan pengetahuan politik akan saling memberikan pengaruh (Carpini dan Keeter,1996). Oleh sebab itu perlu dianalisis akar permasalahan yang menghambat perkembangan pendidikan politik di kota Cimahi sehingga partisipasi pemilu menurun. Selain itu manajemen kapital intelektual politik di kota Cimahi yang belum optimal sehingga pendidikan politik berkelanjutan belum tercapai. Untuk menganalisa kondisi partisipasi pemilu di kota Cimahi, maka dirumuskan beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Sejauh mana upaya yang dilakukan oleh KPU dan stakeholder dalam rangka menyukseskan pemilu di kota Cimahi? Apaka h kendala yang ada selama pemilu berlangsung? 2. Bagaimana KPU dan stakeholder menangani permasalahan penurunan partisipasi pemilu di kota Cimahi? 3. Apa metode pendidikan politik yang dimiliki oleh KPU kota Cimahi? Sejauh mana pengaruhnya terhadap pemilih pemilu di kota Cimahi? 4. Apakah pendidikan politik yang berkelanjutan dapat memberikan pengetahuan politik kepada pemilih secara efektif? 5. Bagaiamana proyeksi pendidikan politik melalui manajemen kapital inteletual politik dalam rangka meningkatkan partisipasi pemilu? 17 6. Bagaimana prospek manajemen kapital intelektual politik untuk pendidikan politik berkelanjutan bagi pemilu selanjutnya? 1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan dari manajemen kapital intelektual politik pada penelitian ini yaitu untuk mewujudkan pendidikan politik yang berkelanjutan sehingga masyarakat kota cimahi memiliki tingkat melek politik yang optimal sehingga mereka dapat berpartisipasi politik dan pemilu dengan penuh kesadaran dan tanggungjawab. Secara umum, tujuan dan manfaat penelitian ini semoga dapat menjadi acuan role model konseptual bagi kalangan praktisi politik, akademis dan masyarakat untuk mengoptimalisasikan kapital intelektual politik yang terdiri dari aspek kapital manusia, kapital struktur dan kapital relasi, agar dapat saling bersinergi dalam mewujudkan melek politik melalui pendidikan politik berkelanjutan. 18 BAB II TINJAUAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Partisipasi Politik Proses partisipasi politik merupakan salah satu poros proses demokrasi khususnya bagi negara-negara berkembang yang sistem demokrasinya sedang tumbuh. Hubungan partisipasi politik dengan demokrasi adalah sejauh mana sistem demokrasi itu dapat mempertahankan keberlangsungan hidup yang adil bagi rakyat (Axford,et.al :2005). Oleh sebab itu setiap warganegara minimal harus mempunyai informasi politik atau pemahaman situasi politik di negaranya agar dapat berpartisipasi dalam politik, maka peran pengetahuan politik sangat penting sebagai landasan bertindak dalam berpartisipasi politi. Ada hubungan yang kuat antara partisipasi politik dengan pengetahuan politik, partisipasi politik dan pengetahuan politik saling berpengaruh satu sama lain (Carpini dan Keeter,1996:186), artinya naik dan turunnya akan membawa pengaruh naik dan turunnya variabel yang lainnya. Ada beberapa definisi partisipasi politik diantaranya: Menurut El-Baz ( Ahmed, 2011): partisipasi politik merujuk pada persamaan kesempatan . individu atau warganegara untuk berkontribusi dalam struktur dan formasi pemerintahan, turut andil dalam pengambilan keputusan nasib bangsa, bahkan partisipasi politik bisa juga diwujudkan dalam peran positif individu dalam kegiatan politik baik sebagai kandidat atau partisipasi dalam parpol atau mengadakan diskusi. Sebagian pengamat politik menurut Annaba (Ahmed,2011) berpendapat bahwa partisipasi politik sebagai kontribusi individu yang dapat berpengaruh pada 19 pengambilan keputusan termasuk dalam opini terhadap isu politik atau fenomena tertentu, mendaftar sebagai anggota parpol, masuk dalam organisasi masyarakat (ormas), pemberian suara pada pemilu, atau menjadi anggota legislatif dan eksekutif . Menurut El-Menoufy (Ahmed,2011), partisipasi politik adalah kemampuan warganegara untuk menyuarakan keputusannya dalam cara yang secara tidak langsung akan berpengaruh pada pembuat keputusan (pemerintah). Sedangkan menurut El-Samaluty (Ahmed,2011), partisipasi politik adalah pengambilan keputusan berdasarkan pada kepentingan, suara dan kehendak rakyat. El-Samaluty (Ahmed,2011) menambahkan bahwa partisipasi politik merupakan proses melalui peran individu yang memberikan makna positif bagi masyarakat, dimana individu tersebut mempunyai kesempatan untuk berpartsipasi mewujudkan tujuan dan recana utama serta prosedur mengimplementasikannya. Aljohary dan Soliman (Ahmed,2011) menyatakan bahwa proses partisipasi politik dicerminkan dalam pemilihan atau donasi publik untuk membantu lingkungan masyarakat mereka dalam berpartispasi serta dalam proses pembuatan keputusan, dimualai dari ketertarikan sosial, pengetahuan politik, pemilu, lembaga politik dan keanggotaan, sampai pada aksi politik yang terbilang keras. Sementara itu menurut Rosenstone dan Hansen (1993) partisipasi politik termasuk dalam mengambil bagian dalam aktifitas politik seperti donasi untuk kampanye atau ditambahkan oleh Kenski dan Stround (2006:187) partisipasi politik dapat juga diartikan sebagai usaha mencoba memberi pengarahan kepada masyarakat 20 bagaimana carannya memberikan suara pada saaat pemilu, atau berbincang politik dengan teman atau keluarga. Partispasi politik berhubungan dengan kebebasan individu, kesamaan diantara warganegara, instruksi pemerintah bahwa ada hak untuk warga negara untuk berpartisipasi dan kesempatan untuk mengejar hak partispasi ini berlangsung tanpa tekanan dan ancaman. Ada beberapa yang mendefinisikan bahwa partisipasi politik itu adalah keterlibatan dan interaksi warganegara dalam proses politik dengan pemerintahan mereka melalui pemilu, opini publik, menjadi kandidat, dan partisipasi dalam institusi politik (Ahmed,2011). Menurut Cathy, et al (Ahmed,2011) ecara umum, pemilih pemula (remaja) sekarang sangat kurang dalam partisipasi politik dan aktivitas masyarakat, pola fikir yang ada dalam benak manusia meliputi 5 poin; 1). Tinggal di rumah; 2). Menyelesaikan sekolah; 3). Melamar kerja; 4). Menikah; 5). Punya anak; kelima poin tersebut yang saat ini dijalani oleh mayoritas manusia, sebagai hasilnya tidak heran lagi anak muda sekarang tidak begitu antusias dalam memberikan partisiasi politiknya. 2.2 Bentuk Partisipasi Politik Bentuk partisipasi politik tidak selalu menunjukkan hal progressif namun ada beberapa kategori yan memasukkan aksi-aksi keras dan akan menimbulkan kerusakan fisik dan non fisik merupakan aktivitas partisipasi politik juga. Oleh sebab itu Huntington dan Nelson (1994) secara filosofis bertanya apakah aksi-aksi anarkis seperti kerusuhan, demonstrasi yang berujung ricuh merupakan bentuk partisipasi 21 politik juga? Namun apabila merujuk pada beberapa literatur definisi mengenai partisipasi politik khususnya pendapat dari El-Baz dan El-Menoufy (Ahmed,2011) yang menekankan makna partisipasi politik adaah kebebasan individu untuk menyuarakan hak mereka dan memberikan pengaruh kepada pusat kebijakan pemerintah. Ditarik dari pernyataan di atas, maka aksi-aksi yang keras bisa saja terjadi demi menyuarakan hak dan aspirasi rakyat kepada pemerintah jika jalan “damai” telah ditempuh namun tidak ada perubahan. Secara garis besar ada dua bentuk partisipasi politik (Ahmed,2011): 1. Tradisional; seperti, pemilu, anggota kelompok politik, mendukung kandidat melaui finansial. 2. Non traditional; contohnya, revolusi, demontrasi, dan protes. Kesimpulannya ada bentuk partisipasi politik tradisional yaitu memberikan suara pada pemilu, hadir dalam pertemuan konferensi dan workshop politik, bergabung dalam parpol,menjadi kandidat, mendukung kandidat, atau menjadi anggota profesional dalam lembaga politik, dan tipe ini merupakan partisipasi politik yang umum dalam kebebasan demokrasi. Sedangkan partisipasi politik nontradisioanl merupakan alternatif dari partisipasi politik tradisional,contohnya demonstrasi, protes, kerusuhan, revolusi, tipe ini biasanya ada dalam rezim pemeritahan yang diktator yang menutup akses individu untuk berpartisipasi politik. Sedangkan menurut Birch (1993), tipe partisipasi politik terdiri dari: 1. Memberikan suara pada pemilu 2. Kampanye pada saaat pemilihan 22 3. Menjadi anggota aktif parpol 4. Menjadi anggota aktif kelompok masyarakat 5. Mengambil bagian dari demonstrasi politik 6. Menjadi anggota penasihat pemerintah 7. Terlibat dalam program implementasi kebijakan sosial Sementara itu, Ahmed (2011) memaparkan bentuk-bentuk aktivitas yang termasuk partisipasi politik termasuk di dalamnya adalah bentuk protes dan demonstrasi: pemboikotan Aktif di kegiatan umum Menjadi aktivis garis terdepan Memberikan suara pemilu Donsai finansial untuk parpor atau kandidat Partisipasi politik Menjalin komunikasi kandidat teroilih menandatangani perjanjian Diskusi politik Hadir pada pertemuan,konferensi Protes dan demonstrasi dan workshop artai Gambar 2.1 Bentuk Partisipasi Politik. Sumber: Ahmed (2011) 23 Partisipasi politik bisa diwujudkan dalam bentuk diskusi (Ahmed, 2011) namun diskusi ini ada yang bersifat berkelanjutan dan ada juga yang bersifat temporal, menurut pendapat Rush dan Althoff (1997) suatu bentuk partisipasi politik yang sebentar-sebentar (temporal) adalah bentuk diskusi politik informal oleh individu-individu dalam keluarga mereka masing-masing, di tempat bekerja atau diantara sahabat-sahabat. Jelas bahwa peristiwa diskusi semacam itu bervariasi baik diantara individu maupun dalam relasinya dengan peristiwa diskusi tadi. Mungkin terdapat lebih banyak diskusi selama masa kampanye pemilihan, atau pada waktuwaktu krisis politik. Akan tetapi ada beberapa orang yang mungkin tidak mau berdiskusi politik dengan siapapun, namun demikian mungkin dia mempunyai sedikit minat dalam soal-soal politik, dan menyalurkan minat tersebut lewat media massa. Mereka akan mampu mendapatkan informasi untuk diri sendiri tentang apa yang sedang terjadi, dan memberikan pendapat tentang peritiwa yang terjadi, akan tetapi mereka cenderung akan membatasi partisipasi mereka terhadap diskusi, dan mungkin juga membatasi terhadap pemberian suara pada pemilu. Namun meski secara hirarkis pemberian suara saat pemilu merupakan partisipasi politik hirarkis terkecil (Rush dan Althoff, 1997), namun memberikan suara pemilu tetap menjadi hal yang paling dasar dan paling argumentatif untuk aktivitas demokrasi dan menjadi pertimbangan stabilitas demokrasi (International Institute for Democracy and Electoral Assistance, 1999). 24 Menduduki jabatan politik atau administratif Mencari jabatan politik atau administratif Keanggotaan aktif suatu organisasi politik Keanggotaan pasif suatu organisasi politik Keanggotaan aktif suatu organisasi semu politik (quasi political) Keanggotaan pasif suatu organisassi semu politik (quasi political) Partisipasi dalam rapat umum, demonstrasi, dan sebagianya Partisipasi dalam diskusi politik informal, minat umum dalam politik Voting (pemberian suara) Apatis total Voting (pemberian suara) Gambar 2.2 Hirarki Partisipasi Politik Sumber: Rush dan Althoff (1997) Dalam mempertimbangkan partisipasi politik, bagaimanapun juga terbatasnya peristiwa tersebut, harus ada perhatian terhadap mereka yang tidak berpartisipasi sama sekali dalam proses politik. Apakah hal ini disebabkan oleh pilihan atau karena faktor diluar kontrol individu, akan tetapi bagaimapun juga individu sedemikian itu dapat dinyatakan sebagai orang-oarang apatis secara total. Dalam gambar hirarki tersebut dihilangkan kekerasan dan keasingan. Hal ini disebabkan karena kedua-duanya tidak dapat dipertimbangkan di dalam pengertian hirarkis. Kelak akan dipersoalkan betapa alienasi akan mengakibatkan partisipasi atau non partisipasi seseorang yang bersikap bermusuhan terhadap masyarakat pada umumnya, atau sisitem politik pada khususnya, memungkinkan menarik diri dari semua macam partisipasi, dan mengikuti kelompok mereka yang apatis total., atau 25 mungkin ia akan menjadi aktif pada berbagai tingkatan partisipasi. Partisipasi tidak perlu menyangkut akseptansi (penerimaan) terhadap sistem politik, dan alienasi dapat dinyatakan baik dalm bentuk aktivitas politik, namun ketidakaktifan politik. Demikian juga kekerasan dapat memanisfestaikan diri dalam berbagai tingkatan pada satu hirarki, tidak hanya dalam bentuk demonstrasi atau kerusuhan saja, akan tetapi juga melalui beragam organisass politik dan semu-politik beberapa diantaranya bahkan mungkin menganggap kekerasan sebagai suatu sarana efektif untuk mencapai tujuan. Tidak semua sistem politik mempunyai bentuk pemilihan; beberapa sistem sangat membatasai dan melarang rapat-rapat umum serta demontrsai. Selanjutnya, apatis,alienasi, dan penggunaan kekerasan jelas berbeda menyolok dari sistem yang satu ke sistem yang lain, akan tetetapi tetap merupakan faktor yang penting dalam penyelidikan partisipasi politik. Hal ini jelas diperlihatkan oleh suatu peneyelidikan singkat mengenai voting dalam sistem-sistem politik yang berbeda. Tujuan voting mungkin untuk memilih (secara langsung ataupun tidak langsung), suatu pemerintahan, atau berbagai pejabat, atau anggota badan legisatif, ataupun untuk menyetejuai atau tidaknya mengenai asal usul tertentu dengan jalan suatu referendum. Arti voting juga berbeda, sesuai dengan tujuan pemilihan: pemilihan nasional biasanya dianggap lebih penting daripada pemilihan lokal; sedangkan pemilihan seorang kepala eksekutif biasanya lebih penting daripada pemilihan seorang anggota legislatif. Faktor-faktor lain seperti luasnya hak suara juga dapat mempengaruhi pentingnya arti voting. Dalam beberapa sistem politik voting dapat memainkan 26 peranan yang sangat besar, seperti menentukan partai mana atau orang-orang mana yang akan memegang kekuasaan politik untuk suatu masa tertentu; akan tetapi sistem lain, voting merupakan peristiwa yang sedikit lebih besar dari suatu upacara ritual, dimana orang-orang yang berkuasa berusaha mendapatkan legitimasi bagi peerintahannya. Tetapi dalam peneyelidaikan sebab dan alasan berpartisipasi, mengapa ada orang yang menghindari semua bentuk partisipasi, atau hanya berptisipasi pada tingkatan paling rendah saja. Semua ini menjadi semakin pentig lagi sehubungan dengan fakta, bahwa mereka yang benar-benar berpartisipasi dalam bentuk yang paling banyak dalam aktivitas politik merupakan minoritas dari anggota masyarakat. Ada istilah diterapakan pada mereka yang tidak turut serta yakni apatis, sinis, alienasi (terasing), anomi (terpisah). Jelas sekali bahwa istilah ini sama sekali tidaklah sinonim walaupun kata-kata ini dapat dihubungkan satu saama lain, dan barangkali memiliki beberapa cirri karakteristik yang sama. 2.2.1 Apatis Apatis (masa bodoh/tidak peduli) yaitu tidak punya minat atau tidak punya perhatian terhadap orang lain, situasi, atau gejala-gejala secara umum/khusus. Seperti pola tingkah laku, dsb. Berhubungan dengan partisipasi politik, sifat paling penting dari seorang yang apatis adalah kepasifannya atau tidak adanya kegiatan politik . Namun demikian, apakah apatis harus dibatasi sampai mereka menjauhakan diri dari semua tipe partisispasi politik termasuk voting/pemungutan suara. Atau apakah istilah 27 tersebut harus diterapakan secara lebih luas kepada mereka yang menjauhakan diri dari partisispasi yang aktif, terutama meraka yang menghindari kegiatan lewat organisasi politik atau semua politik. Gambar hirarki di atas hanya menunjuk pada apatis total, yaitu mereka yag menjuhakan dari semua tipe partisipasi politik. Menurut Rosenberg (Rush dan Althoff,1997 ), ada 3 alasan seseorang memilih menjadi apatis: 1. Konsekwensi yang ditanggung dari aktivitas politik. Hal ini dapat diambil beberapa sudut pandang: individu dapat merasa bahwa aktifitas politik merupakan ancaman terhadap berbagai asapek hidupnya. Aktivitas politik dapat menjauhkan dari teman,tetangga, keluarga. Posisi sosialnya bisa terganggu. 2. Alasan sia-sia saja. Sebagai individu tunggal, dia mungkin merasa bahwa dia sama sekali tidak mamapu mempengaruhi jalannya peristiwa, dan bahwa kekuatan politik yang bersifat bagaimanapun juga ada di luar kontrol individu. Bahwa hasil politik merupakan hasil kesimpulan yang telah lampau, dan merasa bahwa dengan mengggabungkan diri dengan orang lain untuk mendapatkan suatu tujuan politik adalah tdak berguna. Pada akhirnya dia merasa adanya suatu jurang pemisah anatara idealidealnya dengan relita politik, suatu jurang pemisah sedemikian besarnya sehingga tidak ada sejumlah aktivitas politik yang kiranya bisa menjembataninya. 28 3. Merasa politik tidak menarik, tidak menimbulkan kepuasan, partisipasi politik tidak layak bagi pemenuhan kebutuhan pribadi dan kebutuhan materiil individu. 2.2.2 Sinisme Sinisme adalah sikap yang dapat diterapkan pada tindakan aktif maupun ketidakaktifan. Agger,et.al dan Litt (Rush dan Althoff,1997) mendefinisikan sinisme adalah kecurigaan yang buruk dari sifat manusia, menghubungkan sisnisme dengan variabel lainnya, sinisme politik cenderung berkurang dengan adanya pendidikan yang lebih tinggi, dan sampai pada tolak ukur ekonomi yaitu tingkat pendapat sehingga partisispasi politik menjadi turun karena hadirnya sinisme. Maka sisnisme merupakan perasaaan yang menghayati tindakan dan motif orang lain dengan rasa kecurigaan. Secara politis sisnisme menampilkan diri dalam berbagai cara: seperti ungkapan dan pikiran bahwa “politik adalah suatu urusan yang kotor”, “politisi tidak dapat dipercaya”, “individu hanya menjadi bulan-bulanan dari kelompok yang memanipulasi”,dsb. Seorang yang sinis luar biasa mungkin saja merasa bahwa partisipasi politik dalam bentuk apapun juga adalah sia-sia dan tidak berguna, dan dengan demikian dia mengikuti barisan orang-orang apatis secara total; sisnisme hanya membatasi partisipasi atau dianggap hanya sebagai satu-satunya cara realistis untuk melihat persoalan karena itu sisnisme tidak dapat menghindari partisipasi pada semua tingkatan hirarki, walaupun sisnisme itu mungkin memberikan suatu penjelasan menenai non partisipasi oleh orang-orang tertentu pada tingkattingkat khusus. 29 2.2.3 Alienasi Alienasi cenderunng pada permusuhan. Lane (Rush dan Althoff,1997) mendefinisikan alienasi adalah perassaan keterasingan seseorang dari politik dan pemerintahan dan masyarakat masayarakat serta kecenderungan berfikir mengenai pemerintahan dan politik bangsa yang dilakukan oleh orang untuk orang lain, hanya mengikuti sekumpulan aturan yang tidak adil. Sifat ini melampaui sinsime. 2.2.4 Anomi Anomi, istilah ini dirancang oleh Durkheim dan Lane (Rush dan Althoff,1997) endefinisikan anomi adalah perasaan kehilangan nilai dan ketiadaan arah dimana individu mengalami mengalami perasaan ketidakefektifan dan bahwa para penguasa bersikap “tidak peduli” yang mengakibatkan devaluasi dari tujuantujuan dan hilangnya urgensi untuk bertindak. Secara sederhana penting untuk mebedakan dengan jelas antara apatis, sisnisme, alienasi dan anomi. Didefinisikan secara sederhana, apatis adalah tidak ada atau kurangnya minat; sisnisme adalah suatu sikap tidak senang dan kecewa, sedangkan alienasi dan anomi keduanya menyangkut perasaan kerenggangan atau keterpisahan dari masyarakat; sedangkan alienasi mempunyai ciri permusuhan, maka anomi dicirikan dengan kebingungan fakta mengemukakan, bahwa mereka yang apatis secara total paling tidak adalah sinis dan lebih sering terasing atau bersifat anomis. Akan tetapi apatia, sinis, alienasi dan anomi semuanya adalah masalah taraf dan karena itu mungkin tidak hanya mempengaruhi mereka yang menghindarkan semua bentuk partisipasi saja tetapi juga mempengaruhi mereka yang terlibat daam 30 kegiatan politik. Taraf relatif dari apatis, sinisme, alienasi dan anomi dapat diperhitungkan non-partisipan pada tingkatan partisipasi politik yang lebih tinggi, namun tidak menutup kegiatan pada tingkat hirarki yang lebih rendah 2.3 Variabel Pengaruh Partipasi Politik 2.3.1 Ketertarikan Politik Istilah political interest menunjukkan keinginan warganegara untuk memperhatikan fenomena politik yang lebih enarik daripada topic lain. Saat kita mengatakan bahwa seseorang tertarik dengan politik, artinya kita akan melihat dia akan menghabisan waktu untuk fokus pada politik, dan begitu pula sebaliknya apabila kita melihat orang yang tidak tertarik dengan politik (Lupia & Philopt, 2005: 1122). Warganegara yang tertari politik yaitu orang yang mengikuti politik, yang peduli tentang apa yang terjadi, dan dia akan konsentrasi emperhatikan siapa yang menang dan kalah dalam kancah politik (Verba dan Henry,1995: 345). Delli Ketertarian politik merupakan predikator terdekat dari tipe pengetahuan politik ( Carpini & Keeter, 1995: 175). Secara politis, orang-oran yang tertarik politi adalah orang yang memiliki pengetahuan mengenai politik, dan akan berefek pada aksi memberikan suara saat pemilu dan ikut berpartisipasi dalam politik (Carpini & Keeter 1996; Ahmed,2011). Oleh sebab itu, memahami peran political interest dan hubungan pengaruhnya dengan variabel politik lainnya akan menjadi sesuatu yang penting bagi perkembangan partisipasi dan kesadaran politik. 31 2.3.2 Pengetahuan Politik Pengetahujan politik hampir dekat definisinya dengan sofistik politik (diskursus politik) karena obye kajian sofistik adalah pengetahuajn di bidang politik. Pengetahujan politik adalah serangkaian informasi faktual tentang politik yang berada di dalam memori yang panjang atau diskusi interpersonal tentang politik (Carpini & Keeter,1996). Pengetahuan politik diperoleh melalui pendidikan formal, interpersonal diskusi tentang politik, dan media baru dan traditional seperti Koran dan buku bacaan level akademis (pendidikan formal) dsb. Peneliti membagi pengetahuan politik ke dalam dua komponen: 1) perbedaan (differentiation); sejumlah fakta politik atau onsep yang dimiliki individu; 2). Penyatuan (integration); kemampuan untuk menghubungkan dan menyambungkan fakta-fakta atau konsep-konsep. Dari pembagian dua komponen tersebut didapatkan dua istilah yaitu pengetahuan faktual dan pengetahuan struktural (Carpini dan Keeter, 1996): 1. Pengetahuan politik faktual, yaitu kemampuan untuk mengingat dan mengenali sejumlah informasi yang dibedakan melalui observasi menjadi benar dan salah (Carpini dan Keeter, 1996; Evelan et al, 2008). Pengetahuan politik faktual dapat diinvestigasi melalaui beberapa pertnyaan, misalnya, nama orang yang atif di dunia politik, posisinya apa dalam sistem politik, pengetahuan seputar kandidat yang mencalonkan dalam pemilu dan isu-isu politik yang sedang berkembang. 2. Pengetahuan politik structural, yaitu menunjukan pada cara informasi faktual diorganisir oleh seorang individu, sebagai contoh, ideolog politik adaah sikap 32 politik yang sudah distrukturkan. Demikian pula kinerja dalam partai akan mengikuti pengetahuan yang sudah terstruktur termasu skema dan ideologi. Penggunaan media dan teknologi dalam mengembangkan pengetahuan politik telah luas dipakai oleh masayrakat, diantaranya media internet yang telah digunakan sebagai media kampanye politik, diskusi politik dan ruang menumpahkan suara yang pro dan kontra dengan sistem politik yag sedang berjalan (Ahmed,2011). 2.3.3 Diskursus Politik Diskursus politik pada umumnya difokuskan pada komunikasi oleh institusi politik atau oleh para aktor politik dan semua bentuk komunikasi yang berhubungan dengan politik. Maka hubungan public politik baik internal dan eksternal, bertia, komentar, films, talk shows, keseharian masyarakat memperbincangkan politik semua sisi diisi dengan diskursus politik (Wessler, 2008). Diskursus politi merujuk pada ketertarikan individu dalam setiap kesempatan berkomunikasi atau berbincang dengan yang lain (keluarga,teman, saudara,dsb) topiknya seputar masalah poitik (Ahmed, 2011). Frekwensi diskusi politik secara konsisten akan menghasilkan efek positif pada partisipasi dan kesadaran politik (Ahmed,2011; Verba dan Henry,1995). Peran penting komunikasi interpersonal sangat penting dalam rangka mengajak masyarakat berpartisipasi (Verba dan Henry, 1995), dan dapat dikatakan juga bahwa pengaruh partisipasi politik atau variabel lain termasuk penggunaan media secara tidak 33 langsung dipengaruhi oleh pengetahua politik dan penggunaan media (McLeod et al., 1999). 2.3.4 Kesadaran Politik Kesadaran politik sebagai kesatuan semua visi individu atau kognisi dan ide individu termasuk ketertarikan dan pengetahuan politik yang memfasilitasi kemampuan dan pemahaman individu terhadap masalah masyarakat. Proses ini menstimulu tenggungjawab individu terhadap partisipasi untuk merubah masa depan masayarakat dan proses politik melalui partispasi dalam aspek sosial dan politik (Ahmed,2011). Dengan demikan ada 3 elemen dari definisi tersebut: 1. Pengetahuan dan kognisi politik 2. Ketertarikan politik individu 3. Kapasitas partisipasi politik dan kemampuan mengubah sistem politik. 34 Ketertarikan Diskursus politik politik Partisipasi politik Pengetahuan politik Kesadaran politik Gambar 2.3 Hubungan variabel yang mempengaruhi partisipasi politik Sumber: Ahmed (2011) 2.4 Sosialisasi dan Komunikasi Politik Sosialisasi politik ditentukan oleh lingkungan sosial, ekonomi dan kebudayaan di mana individu berada; selain itu juga ditentukan oleh interaksi pengalaman-pengalaman serta kepribadiannya. oleh karena itu sosialisasi politik dalam beberapa hal merupakan konsep sosiologi politik; pertama,ketiga konsep lain mengenai partisipasi, pengrekrutan, dan komunikasi erat berkaitan dengan sosialisasi politik—partisipasi dan pengrekrutan meruakan variabel-variabel dependen yang parsial dari sosialisasi dan komunikasi,karena keduanya menyajikan elemen dinilai 35 dalam sosialisasi. Kedua, sosialisasi politik memprlihatkan interaksi dan interdependensi perilaku sosial dan perilaku politik. Sosialisasi erat kaitanya dengan komunikasi politik, pesan-pesan politik akan tersampaikan melalui komunikasi/ Komunikasi politik-transmisi informasi yang relevan secra politis dari satu bagian sistem politik kepada sistem politik yang lain, dan antara sistem sosial dan sistem politik-merupakan unsur dinamis dari suatu sistem politik (Deutsch,1963); dan proses sosialisasi, partisipasi, dan pengrekrutan tergantung pada komunikasi. Komunikasi dari pengetahuan, nilai dan sikap adalah fundamental bagi ketiga hal tadi, karena semuanya menentukan bentuk aktivitas politik individu yang bersangkutan. Sumber saluran pesan Audiens/pendengar Umpan balik Gambar 2.4 Model komunikasi Sumber: Rush dan Althoff (1997) Dalam suatu sistem komunikasi politik, sumber yang tipikal yang mungkin adalah seorang calon untuk pemilihan bagi suatu jabatan politik pesannya akan merupakan serangkaian usul politik, salurannya berupa siaran televisi, pendengarnya adalah anggota kelompok pemilih, umpan baliknya dalah persetujuan atau tidak setuju terhadap usul-usulnya. 36 Bebagai unsur suatu sistem komunikasi politi tidak perlu merupakan bagian struktural dari sistem politik, juga perananan mereka dalam proses tidak usah berkesinambungan, dan dapat berubah dar satu situasi ke situasi yang lain. Mungkin. Terlepas daari media maa dan organisaai yang bersifat formula, daa saluran komunikasi penting ketiga yaitu kontak individu/kelompok.kontak informal atau relasi tatap mua merupakan sarana komunikasi yang paling umum dan paling sering dilakuan dalm setiap masyarakat, walaupun peranannya dalam komunikasi politik mungkin lebih banyak dikaitan dengan pembentukan pendapat umumdaripada hanya dengan penyampaian informasi politik semata; teori arus komunikasi komunikasi dua langkah (two-step flow of communication) dikembangkan oleh lazarsfeld (Rush dan Althoff,1997) berpendapat bahwa pengaruh media massa ditengahi melalui “opinion leaders”. Opinion leaders ini amat irip satu sama lain, dan secara tipikal terglong pada kelompo-kelompok primer yang daari keluarga, sahabat. Menurut Katz (Rush dan Althoff,1997) relasi antar pribadi dari tipe ini penting dalam 3 hal: 1). Sebagai saluran informasi yang aktual; 2). Sebagai sumber tekanan soaisl sosial atas individu untuk mentaati berbagai orma sikap dan norm tingah-laku; 3). Sebagai sumber duungan untuk norma-norma tadi, dan karena itu berguna bagi kepaduan kelompok. Pola komunikasikhusus yang dikembangkan oleh suatu sisitem politik, tidak boleh tidak bergantung pada berbagai faktor dalam masyarakat. Yang penting adalah faktor fisik dan teknologis, ekonomis, sosiokultural dan politis. Pada kahirnya komunikasi bergantung pada faktor-faktor fisik dan 37 teknologis, hal ini berarati melihat dari titk pandang temporal. Perembangan hstoris dari jaringan komunikasi erat berhubungan dengan fator fisik dan faktor teknologis. 2.5 Partisipasi Pemilahan Umum Berpartisipasi dalam pemilihan umum (pemilu) merupakan bagian dari partisipasi politik (Rush dan Althoff,1997; Ahmed,2011), Berdasarkan paparan teoritis sebelumnya bahwa partisipasi politik dipengaruhi oleh banyak variabel, salah satu yang paling krusial adalah variabel pengetahuan politik (Carpini dan Keeter,1996), maka hal ini berlaku pada partisipasi pemilu yang harus didukkung pula oleh pengetahuan politik. Pegetahuan politik bisa didapatkan melalui pendidikan formal dan informal (Carpini dan Keeter,1996) dengan bekal pengetahuan politik masyarakat akan mengetahui mengenai teknis, informasi pemilu meliputi informasi dan profil kandidat dan partai politik yang menjadi peserta pemilu. Peran media dan jaringan internet telah banyak membantu pendidikan dan sosialisasi politik kepada masyaraat sehingga akan memberikan pengetahuan kepada mayarakat agar ikut berpartisipasi dala pemilu (Ahmed,2011; Verba dan Henry, 1995). Partisipasi pemilihan umum merupakan bentuk kesadaran untuk terlibat secara langsung dalam menentuan nasib bangsa, namun sayangya masih banyak masyarakat yang tidak menghirauan momen ini dan memilih menjadi bagian golongan putih. Eep Saefulloh Fatah, mengklasifikasikan golput atas empat golongan. Pertama, golput teknis, yakni mereka yang karena sebab-sebab teknis tertentu (seperti keluarga meninggal, ketiduran, dan lain-lain) berhalangan hadir ke tempat pemungutan suara, atau mereka yang keliru mencoblos sehingga suaranya dinyatakan 38 tidak sah. Kedua, golput teknis-politis, seperti mereka yang tidak terdaftar sebagai pemilih karena kesalahan dirinya atau pihak lain (lembaga statistik, penyelenggara pemilu). Ketiga, golput politis, yakni mereka yang merasa tak punya pilihan dari kandidat yang tersedia atau tak percaya bahwa pileg/pilkada akan membawa perubahan dan perbaikan. Keempat, golput ideologis, yakni mereka yang tak percaya pada mekanisme demokrasi liberal) dan tak mau terlibat di dalamnya entah karena alasan fundamentalisme agama atau alasan politik-ideologi lain (Arianto,2011). 2.6 Pendidikan Politik Berkelanjutan Pedidikan merupakan proses pembentukan pengetahuan dan kepribadian kepada manusia, proses tersebut harus dijalankan secara berkelanjutan agar internalisasi nilai dapat semakin terserap oleh individu sehingga menjadi karakter yang kuat. Peneliti mendefinisikan pendidikan politik berkelanjutan adalah pendidikan politik yang diselenggaraan secara berkesinambungan untuk saat ini dan masa yang akan datang. Urgenitas pendidikan politik berkelanjutan dilatarbelakangi oleh fenomena tingkat melek politik masyarakat Indonesia yang tercermin pada tingkat partisipasi pemilu yang mempunyai kecendrungan menurun disebabkan pendidikan politik hanya bersifat parsial dan temporal, pendidikan politik diadakan ketika ada masa pemilu, diluar masa itu, pendidikan politik tidak ada. Aspek partisipasi politik yang tidak progressif secara umum seperti sifat apatis, sinisme, alienasi dan anomi dapat ditangkal oleh peran pendidikan (Rush dan 39 Althoff,1997). Oleh sebab itu pendidikan politik berkelanjutan akan sangat membantu mewujudkan masyarakat melek politik. Mengembangkan pendidikan berkelanjutan harus diwujudkan oleh kerjasama elemen bangsa, meliputi instistusi resmi negara, lembaga pemerintah dan swasta dan masyarakat luas. Aspek kemampuan sumberdaya manusia yang mempunyai pengetahuan politik dan aspek bagaimana pengetahuan politik tersebut dapat berpengaruh pada partisipasi politik dan perkembangan demokrasi bangsa memerlukann sebuah cara tersendiri untuk mengelolanya. Sebagai adaptasi dari sistem manajemen kapital intangible di bidang ekonomi, maka peneliti menganalisa bahwa lembaga politik pun mempunyai kapital intangible yang dapat dikembangkan untuk menciptakan pendidikan berkelanjutan dan melek politik bangsa sehingga dengan mudah masyrakat dengan kesadarannya akan berpartisipasi politik dan pemilu. Kapital intangible disebut pula kapital intelektual (Kelly,2004) terdiri dari; 1).Kapital manusia; 2). Kapital struktur; 3). Kapital relasi. Ketiga kapital ini akan saling bersinergi menciptakan nilai positif bagi perkembangan politik. 40 Kapital manusia Kapital struktur Pendidikan politik berkelanjutan Kapital relasi Keterangan: Melek politik Partisipasi politik (pemilu) Transfer dan menghasilkan pengetahuan Gambar 2.5 Kapital Intelektual Mewujudkan Pendidikan Politik Berkelanjutan Berdasarkan gambar 2.5 Kapital manusia, kapital struktur dan kapital relasi akan saling berinteraksi dengan pengetahuan, mereka akan saling memberi dan menerima pengetahuan melalui metode transfer pengetahuan yaitu: 1. Tacit-tacit ; transfer pengetahuan yang belum terkodefikasi, seperti pengalaman,skill, disampaikan kepada individu dengan cara pengajaran dan praktik 2. Tacit-Explicit; transfer pengetahuan yang belum terkodefikasi ke dalam bentuk pendokumentasian seperti penulisan, rekaman, pemofotoan,dsb. 3. Explicit-Tacit; transfer pengetahuan dari bentuk yang sudah terdokumentasikan disampaikan kepada individu untuk diinternalisasian ke dalam diri sebagai bentuk pemahaman dan pengalaman. 41 4. Tidak ada metode transfer explicit-explecit karena dokumentasi pengetahuan tidak dapat ditransferkkan ke dalam bentuk dokumen lagi tanpa ada perantara pengalaman dan keahlian manusia ï€ ï€ ï€ ï€ ï€ ï€ ï€ ï€ ï€ ï€ Gambar 2.6 Transfer pengetahuan Sumber: Kelly (2004) Dengan demikian rantai untuk saling memberikan edukasi dan evaluasi tidak akan terputus karena interaksi tersebut akan menjadi kebutuhan satu sama lain baik di kalangan internal lembaga maupun dengan eksternal lembaga (stakeholder). 2.7. Manajemen Kapital Intelektual 2.7.1 Sejarah Manajemen Kapital Intelektual Pendapat Sullivan (2000) bahwa manajemen kapital intelektual mulai dilakukan pada tahun 1980-an ketika para manajer, akademis dan para konsultan ekonomi mulai menyadari bahwa aset intangible (aset yang tidak berwujud/tidak 42 dapat disentuh), yaitu kapital intelektual, merupakan faktor yang mempengaruhi keuntungan perusahaan. Sebagai contoh di Jepang, sekitar tahun 1980, Hiroyuki Itarni mencatat beberapa perbedaan kinerja diantara beberapa perusahaan Jepang dan setelah dianalisis ternyata hal itu didasarkan pada intangible asset. Ia mempublikaikan hasil analisanya yang menyimpulkan bahwa aset itangible tidak dapat dicapai hanya oleh uang, memiliki multi kemampuan, penggunaan yang simultan, dan keuntungan yang berlipat ganda secara terus-menerus. Sedangkan di Swedia, Karl-Eric Sveiby, seorang manajer perusahaan penerbitan, menerbitkan sebuah buku pada tahun 1986 berjudul “The Know-How Company” yaitu bagaimana mengelola aset intangible. Pada tahun 1986 Professor David Teece dari University of Berkley menulis “ Profitting fro technologyal innovation (keuntungan dari ivovasi teknologi)” sebuah artikel yang mengidentifikasi langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk mengekstrasi nilai dari inovasi. Implikasinya langkah ini akan memberikan pengaruh besar terhadap keanekaragaman inovasi perusahaan. Artinya bahwa pada tahap awal manajer dapat belajar dan selanjutnya dapat mengarahkan kepada pekerjanya, bagaimana memaksimalkan nilai inovasi perusahaan. Pada tahun 1991 dan 1994, Tom Stewart, seorang staff majalah Fortune, menulis artikel berjudul “brain power” yang idenya tentang kapital intelektua (KI)l. Pada tahun 1991, Skandia AFS untuk pertamakalinya mengorganisir sebuah korporasi kapital intelektual dan diangkat Leif Edvinsson sebagai vice-president untuk KI. Pada tahun 1993, The Dow Chemical Company, tertarik dalam pembangunan profit baru dari KI nya. Dimulai dengan mencoba mengidentifikasi ide 43 atau inovasi yang memiliki kemungkinan besar dapat mengembangkan ide ini dengan potensi keuntungan yag luar biasa. Dow mengangkat Grdon Petrash sebagai direktur untuk aset intelektual. Pertengahan tahun 1990-an mulai jelas bahwa ada dua hal yang terpisah tapi saling berkaitan pemikiran KI; 1). Jalan pengetahuan dan kekuatan otak, fokus pada kreasi dan melebarkan pengetahuan perusahaan (seperti yang dilakukan Stewart, Edvinsson, Sveiby); 2). sumberdaya yang didasarkan pada persptektif, konsentrasinya pada bagaimana membuat profit dari sebuah perusahaan unik kombinasi kapital intelektual dan tangible (seperti yang dilakukan Itarni, Sullivan, Teece). KI menjadi kendaraan yang digunakan oleh banyak perusahaan untuk mempelajari lebih lanjut mengenai itelektual yang mereka punya. Menjalang tahun 1994, lebih kuranng ada 12 perusahaan di dunia yang berkomitmen untuk menggunakan KI guna mengektraksi keuntungan. Kemuadian untuk mendinaklanjuti semuanya, KI untuk berbagai macam perspektif, metode dalam mengekstraksi nilai; Patrick Sullivan, Gordon Petrash dan Leif Edvinsson menyetujui untuk berbicara tentang ini lebih lanjut, siapa yang paling aktif dalam mengektrasi nilai dari KI mereka. Apa itu KI, bagaiamna mengelolanya. Delapan dari 12 perusahaan di dunia yang diketahui aktif dalam KI dan pada januari 1995, mereka berbagi pengalaman mereka. Setelah pertemuan pertama yang akhirnya dinaman ICM (Intellectual Capital Management) Gathereing, partisipan perlu mendefinisikan KI berdasrkan pemahaman elemen mayoritas yang ada. Seorang anggota mendefinisikan KI dengan konsistesi dan 44 tanggungjawab kolektif kepada perusahaan. Lalu ada yang bertanya tentang bagaimana ekstraksinya. Kemuadian ICM Gathering mendifinisikan KI yaitu pengetahuan yang dapat dikonversikan kedalam profit. Jika sebuah perusahaan memiliki kapital manusia yang memiliki pengetahuan (tacit knowledge), pengetahuan tersebut menjadi “aset intelektual (AI) sesorang yang Kemudian mempunya tacit knowegde tersebut mentransformasikannya dalam berbagai bentuk dan kodefikasi yang dipatenkan oleh perusahaan, maka AI akan berubah menjadi aset intelektual perusahaan atau disebut Intelektual property. Menciptakan nilai ekstraksi nilai Kapital manusia Aset intelektual Intelektual properti Gambar 2.7 Intelektual dan komponen pokoknya Sumber: Harrison dan Sullivan (2000) Secara perjalanan waktu perkembangan manajemen KI dapat terlihat dalam gambar 2.8 dan tabel 2.1: 45 Gambar 2.8 Timeline manajemen kapital intelektual Sumber: Harrison dan Sullivan (2000) No 1 Tahun 1980 Nama Itarni 2 1981 Hall 3 1986 Sveiby 4 April 1986 Teece 5 1988 Sveiby 6 1989 Sveiby 7 Summer 1989 Fall 1990 Sullivan 8 Publikasi Penelitian: Mobilizing invisible Asets Mendirikan Perusahaan untuk Riset pada nilai SDM Penelitian: “the know –how Company” Paper “extracting value from innovation Penelitian: The annual report “the invisible sheet” “commercializing innovation “knowledge Managemaent Sveiby 46 Keterangan Jepang on managing IA introducing “knowlegee capital 9 Fall 1990 Term IC 10 11 Jan. 1991 Sept.1991 Stewart Skandia 12 13 Spring.1992 1993 Stewart St. Onge 14 Juli,1994 MVG 15 Oct. 1994 Stewart 16 Nov.1994 Sullivan,petrash,Edvinon , MVG “Brainpower Perintis pertama perusahaan yang memfungsikan IC, dianamakan Edvinsn VP Brainpower Embangun konsep costumer capital Pertemuan pertaa Mill Valley Groupp Menulis headline IC dalam cover majalah fortune Peolopor Gathering ICM 2nd meeting May 1995 Skandia symposium on measuring intellectual/intangi ble assets "Licensing Strategies", published 17 Coined in Strewart’s presence Cle in Fortune Article 2 Jan. 1995 18 19 April 1996 SEC 202 Sept. 1996 Sullivan and Parr book, 21 Oct. 1996 Lev founds Intangibles Research 22 Mar. 1997 " Sveiby 23 Mar. 1997, Edvinsson and Malone book 24 April 1997, Stewart book publishes"The New Organizational Wealth "Intellectual Capital", published "Intellectual Capital", published 47 First Skandia npublic report on IC at New York University 25 June 1997 Hoover Intitutin Cfe conference on measuring intellectual capital rence on meas 26 March 1998 Sullivan book, "Profiting from Intellectual Capital", published Tabel 2.1 Timeline Manajemen Kapital Intelektual Sumber: Harrison dan Sullivan (2000) 2.7.2 Kapital Intelektual Dalam Bidang Ekonomi Sejak kemunculannya, KI lahir di dalam dunia bisnis, diawali oleh perhatian inovasi terhadap profit perusahaan yang dapat ditingkatkan oleh asset intangible (Harrison dan Sullivan,2000) maka ide mengenai manajemen pengetahuan di bidang binis dan ekonomi pun muncul, pengetahuan di perusahaan akan dijalankan oleh kapital intelektual. Tiga aspek KI yaitu: Kapital manusia (KM), kapital struktur (KS) dan kapital relasi (KR) (Kelly,2004; Mar,2005; Akpinar dan Akdemir,2011; ) akan saling meningkatkan niai dan profit untuk perusahaan melalui pengelolaan pengetahuan. 48 Gambar 2.9 Platform Nilai Sumber: Petrash,1996 Dari ketiga komponene tersebut , KM merupakan kapital yang akan membangun blok untuk mengkontruksi KS perusahaan dan modal keduanya juga kemudian dapat berinterkasi menciptakan KR (Wall, et.al,2004). Sebagai pusat dari interaksi tiga sapek ini adalah nilai (value), nilai bisa berbentuk kualitas dan kuantitas, bentuk produk atau pun servis/jasa. Semakin sering mereka berinteraksi melalaui pengetahua, maka semakin besar pula nilai yag akan didapatkan. Dzinkowski (2000) menyatakan bahwa KI sebuah organisasi yang: 1. dapat menjadi hak paten tertentu, atau flexible dalam kapabilitas manusia 2. dapat menjadi keduanya input dan output dalam menciptaan nilai proses, artinya bahwa KI adalah pengetahuan yang dikonversikan kedalam nilai, atau akhir dari produk sebuah tranformasi pengetahuan. KI ini merupakan pola paradigm baru dalam ekonomi (New Economy) (Wall, et.al, 2004; Reenae, 2001) bahwa: New economy dikarakteristikkan oleh pentingnya 49 informasi dan komunikasi. Termasuk komputer hardware, software, komunikasi dan yang berkaiatan dengannya misalnya internet. Saat banyak perusahaan lebih mengutamakan lulusan akademis yang tinggi menandakan bahwa posisi pendidikan dan pengetahuan mendapatkan prioritas dalam dunia kerja, karena era sekarang bekerja dengan menggunakan otak lebih banyak daripada orang yang bekerja mengandalkan fisik sebab pada dasarnya kemajuan bidang ekonomi dikendalikan oleh pengetahuan dan informasi(Akpinar dan Akdemir, 2011). Pihak yang menguasai ekonomi, merekalah yang menguasai persaingan, dengan demikian informasi dan pengetahuan sangat penting peranannya untuk sebuah perusahaan dan organisasi. Menurut The Economics Institute of Washington, D.C., bahwa nilai ekonomi diproduksi oleh keterampilan dan pengetahuan pegawainya, oleh sebab itu pada era millennium saat ini kapital intelektual merupakan sumberdaya primer untuk perkembangan perusahaan (Paul dan Edward, 1999). Sementara itu, sistem ekonomi pada masa dahulu menekankan pada aspek penggunaan lahan, sumberdaya alam, peralatan dan modal tangible yang dapat menciptkan nilai, namun saat ini informasi ekonomi tergantung pada aplikasi pengetahuan, dan kapital intelektual dapat menjadi subtitusi yang menggantikan sistem tersebut sehingga perusahaan menjadi lebih posisi kompetitif (Jurczak, 2008; Akpinar dan Akdemir, 2011; Lin, et.al, 2011). Pengetahuan merupakan sumberdaya yang sangat penting bagi manusia, perusahaan dan negara. Mengelola pegetahuan dan kapital intelektual sehingga menciptakann sumberdaya baru yang bermanfaat dan kompetitif. Keuntungan dan nilai perusahaan 50 dapat naik dan turun tergantung pada bagaimana pegawai dapat mengembangkan pengetahuan yang dimiliki. 2.7.3 Manajemen Kapital Intelektual Dalam Politik Setiap disiplin ilmu secara strukturalnya memerlukan pertumbuhan melalui pengetahuan dan inovasi. Oleh sebab itu manajemen kapital intelektual sangat diperlukan dalam setiap srtruktur organisai dan disiplin ilmu. Selain disiplin ekonomi, KI sudah diadopsi oleh berbagai macam disiplin ilmu: Tahun 2005 Disiplin Ilmu Teknologi Informasi Penulis Giovanni Schiuma (University of Basilicata) Antonio Lerro (University of Basilicata) Daniela Carlucci (University of Basilicata) Judul An Interfirm Perspective on Intellectual Capital Keterangan Mar (2005) 2005 Kebijakan Publik Ahmed Bounfour (University of Marne La Vallee) Leif Edvinsson (Lund University and UNIC) A Public Policy Perspective on Intellectual Capital Marr (2005) 2005 Sains J.-C. Spender (Open University Business A Knowledge based Perspective on Intellectual Marr (2005) 51 School) Bernard Marr (Cranfield School of Management) Capital 2005 Filsafat Göran Roos (Cranfield School of Management) An Epistemology Perspective on Intellectual Capital Marr (2005) 2004 Pendidikan Anthony Kelly (University of Southampton, United Kingdom) The Intellectual Capital of Schools Measuring and Managing Knowledge, Responsibility and Reward: Lessons from the Commercial Sector Kelly (2004) Tabel 2.2 Perkembangan Kapital Intelektual Dalam Berbagai Perspektif Disiplin Imu Kontruski kapital intelektual telah digunakan dalam bidang manajemen selama beberapa tahun. Perbeedaan terminologi yang digunakan dalam berbagai disiplin dan perbedaan taxonomi dalam konstruksi yang sama menyebabkan kesalahpamahan dan membatasi untuk melakukan generalisasi dan perbandingan aplikasi dan peneliatian dalam area ini, oleh karena itu, tidak ada kesepakatan yang umum dalam terminologi dan definisi untuk mengkontruksi kapital intelektual. Bagiamanpun. Setiap disiplin mempunyai asumsi yang berbeda, dan setiap definisi (baik yang tersirat ataupun tidak) saling berkaitan dalam peran kapital intelektual 52 yang terhubung dengan asumsi disiplin yang bersangkutan. Hal yang perlu diketahui adalah tidak ada definisi intelketual kapital yang benar atau salah, yang terpenting adalah apakah definisi tersebut memadai atau tidak untuk disiplin ilmu yang bersangkutan (Marr, 2005:241). Dengan demikan peneliti mengkontruksikan definisi manajemen KI politik dengan memasukkan unsur-unsur kebutuhan pokok bidang politik yang dapat membatasi dan mengindentifikasi ciri khusus kapital intelektual bidang politik. Peneliti mendefinisikan manajemen KI politik adalah proses organisir tiga komponen kapital intelektual (KM,KS,KR) lembaga politik yang saling berhubungan untuk mentransfer dan mentransformasi pengetahuan ke dalam nilai yang lebih baik bagi pembangunan politik negara. Penjelasan frase dalam definisi tersebut yaitu: Saling berhubungan: saling bersinergi dalam hal pengembangan dan internalisasi pengetahuan antara internal lembaga, dan lembaga dengan relasi di luar. Mentransfer dan mentransfomasi pengetahuan: saling member dan menerima pengetahuan dan mewujudkan pengetahuan pada tingkat aplikatif inovasi dan nilai. Nilai yang lebih baik: output lembaga politik yang lebih berkualitas dan lebih baik, baik dari segi pelayanan/kontribusi yang diberikan oleh lembaga politik kepada relasi (pemerintah, bangsa dan negara). Pembangunan politik: yaitu partisipasi politik yang dilakukan secara positif dan bertanggungjawab. 53 Peneliti membagi manajemen kapital intelektual politik (KIP) ke dalam dua pendekatan yaitu: 1. Pendekatan perbaikan dan pengembangan pengetahuan (improvement and development); pendekatan ini menekankan pada proses transfer, menciptakan dan menghasilkan pengetahuan bagi individu dan lembaga. Pendekatan ini disebut pula dengan internal manajemen KIP. 2. Pendekatan efektivitas; adalah pendekatan evaluasi (pengukuran dan perhitungan) dan laporan (report), yaitu lembaga politik membuat laporan perkembangan KIP kepada shareholder dan stakeholder politik. Pendekatan ini temasuk bagian eksternal manajemen KIP. Komponen dari KM terdiri dari; kapital pengetahuan, kapital kompetensi, sikap dan kecerdasan. Komponen KS meliputi; intelektual properti, kapital organisasi, kapital pengembangan. Komponen KR terdiri dari; strategi partner, distribusi atau sosialisasi produk dan pelayanan. Dalam bidang politik, KIP terdiri dari: Kapital Manusia Anggota politik, politik, Kapital Struktur Kapital Relasi KPU/lembaga Pelayanan Stakeholder; pengetahuan pendidikan/sosialisasi sikap kemampuan politik. dan politik,produk yang kalangan agama, tokoh daerah/adat, inovatif lembaga pendidikan, mendukung prusahaan swasta. Sistem 54 sosialisasi, brand image penyampaian lembaga politik. informasi/pendidikan politik. Tabel 2.3 Komponen Kapital Intelektual Politik Laporan KIP sangat penting baik bagi kalangan internal maupun external untuk mengimprovisasi dan memahami perkembangan kompetensi dan kompetesi lembaga politik. Pada dasarnya laporan KI digunakan untuk evaluasi internal dan sebagai komunikasi memperbaiki kinerja internal (Marr, 2005), namun laporan KI pun tidak kalah pentingnya untuk dipublikasikan kepada kalangan external yaitu stakeholder yang menjadi mitra lembaga agar mereka dapat menilai perkembangan kemitraaan mereka selama berlangsungnya kerjasama. Perhitungan dan laporan manajemen KI banyak sekali, diantaranya economic value added (EVA), human resource costing and accounting (HRCA), Calculated intangible value, knowledge capital earning, value added intelectual coeficient (VAIC), accounting for the future (AFTF), Tobin’s q, investor assigned value market (IAVM), Scandia Navigator, intangible asset monitor, balanced score card, dsb. Semua metode perhitungan dan laporan KI tersebut mempunyai tujuan dan obyek fokus spesifik perhitungannya tersendiri. Sedangkan dalam penelitian ini metode laporan KI menggunakan metode laporan perspektif Eropa yang terdiri dari tiga metode yaitu the E* Know Net and Meritum, the PRISM, dan the Danish guidelines, untuk spesifik laporan KI, peneliti 55 memilih metode laporan Danish guidelines yang telah diuji lebih dari 100 perusahaan pada saat awal kemunculannya pada tahun 2000 (Mouritsen, et.al, 2003). Danish guidelines fokus pada hubungan antara berbagai macam sumberdaya secara narasi yang terdiri dari empat komponen yaitu (Mouritsen et al, 2003): 1. Narasi pengetahuan 2. Manajemen tantangan 3. Inisiatif 4. Indikator Metode Danish guidelines secara operasional disebut sebagai metode laporan Intellectual Capital Statement (ICS). Statement (pernyataan narasi) sering menjadi penjelas dalam laporan untuk menunjukkan keberadaan perkembangan perusahaan atau lembaga, hal inilah menjadi sisi pentingnya pernyataan dalam bentuk kalimat narasi yaitu untuk menjelaskan hubungan dan strategi lembaga dalam mengembangkan KI dan mencapai sasaran visi dan misi lembaga yang dihubungkan dengan pengetahuan. Pengetahuan dapat berupa informasi, wawasan, pemikiran, dsb. Pengetahuan ini yang akan mengembangkan lembaga melalui inovasi, pelayanan, sosialisasi, dsb. Melalui ICS akan ditranslasikan peran pengetahuan pada lembaga. Narasi Pengetahuan Manajemen Tantangan Tabel 2.4 Format Intellectual Capital Statement Sumber: Mouritsen,et.al,2003 56 Inisiatif Indikator Penjelasan komponen tabel: 1. Narasi pengetahuan menggambarkan ambisi lembaga untuk meningkatkan nilai dari produk atau pelayanan lembaga terhadap pengguna. Ambisi ini disajikan dalam bentuk narasi karena menunjukkan pengetahuan pengguna dan lembaga. Narasi pengetahuan diidentifisikan dengan kata-kata “karena”, “oleh sebab itu”, dan “ supaya”. 2. Manajemen tantangan meliputi deskripsi pengetahuan yang dimiliki dan pengetahuan yang dibutuhkan untuk memenuhi ambisi lembaga. 3. Inisiatif yaitu strategi untuk mengembangkan dan menciptakan inovasi atas tantangan lembaga yang dihadapi. 4. Indikator yaitu komponen tolak ukur yang digunakan dalam inisiatif, yang dapat diukur dengan melihat aspek efektif dan efisiensinya. 2.8 Kerangka Pemikiran Penururnan partisipasi pemilu di Cimahi mencerminkan tingkat pendidikan politik masyarakat yang rendah. Untuk menanggulangi hal tersebuut, maka diperlukan manajemen kapital intelektual politik lembaga politik (KPU) agar dapat terwujud pendidikan politik berkelanjutan sehingga akan melahirkan partisipasi politik dan pemilu yang bertanggung jawab. 57 Disebabkan oleh tingkat pengetahuan (pendidikan) politik yang rendah sehingga berpengaruh pada taraf melek politik masyarakat Penurunan partisipasi Pemilu di Cimahi Solusi Manajemen KIP KM N I KS L Pendidikan politik berkelanjutan A KR Partisipasi politik dan pemilu I Manajemen Kapital Intelektual Politik Untuk Pendidikan Politik Berkelanjutan Dalam Rangka Meningkatkan Partisipasi Pemilahan Umum Di Kota Cimahi Gambar 2.10 Kerangka Pemikiran 58 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3. 1 Lokasi, Subyek, Obyek dan Rencana Waktu Penelitian 3.1.1 Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di tiga Kecamatan kota Cimahi,Jawa Barat; yaitu Kecamatan Cimahi Utara, Cimahi Selatan dan Cimahi Tengah. Pemilihan lokasi penelitian tersebut didasarkan pada fenomena pemilu di kota Cimahi sebagai kota terdekat dengan Ibu Kota Jawa Barat, Bandung, namun tingkat partisipasi pemilu di kota Cimahi menurun, hal tersebut berbanding terbalik dengan kondisi yang mendukung partisipasi pemilu seharusnya tidak mengalami penurunan, mengingat banyak akses dan sumberdaya yang dapat meminimalisir penurunan partisipasi pemilu. 3.1.2 Subyek dan Obyek Penelitian Subyek penelitian meliputi pihak Komisi Pemilihan Umum (KPU) kota Cimahi, Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Masyarakat dan stakeholder yang terkait dengan pelaksanaan pemilu di kota Cimahi. Obyek dalam penelitian ini adalah manajemen kapital intelektual politik dan pendidikan politik di kota Cimahi. 59 3.1.3 Rencana dan Waktu Penelitian Penilitian ini dimulai dengan tinjauan awal ke tiga Kecamatan di Kota Cimahi dengan tujuan mengetahui secara garis besar manajemen kapital intelektual politik dan perkembangan pendidikan politik di Kecamatan Cimahi Utara, Cimahi Selatan dan Cimahi Tengah. Adapun rencana waktu penelitian sebagai berikut: Minggu I II III IV April Mei Juni Tabel 3.1 Rencana Waktu Penelitian Keterangan: Peninjauan awal ke lokasi penelitian Penelitian; observasi, wawancara dan pengambilan data Penulisan Riset Revisi, seminar dan Publikasi 60 Juli 3.2 Desain Penelitian 3.2.1 Rasionalisasi metodologi penelitian Metodologi penelitian merefleksikan mayoritas keputusan yang diciptakan oleh peneliti untuk menentukan pendekatan terbaik dalam menjawab pertanyaan penelitian. Berdasarkan dunia sains di Barat bahwa terdapat dua pendekatan metodologi secara filosofis, yaitu pertama, metodologi penelitian untuk bidang sosial sains disebut dengan positivist atau sering disebut pula saintifik, dan kedua yaitu interpretivist juga disebut dengan anti-positivist (Gallier, 1991). Positivist merupakan teori pengetahuan yang mengasumsikan bahwa observasi sebuah fenomena secara obyektif dan detail akan meningkatkan obyektifitas sebuah fakta (Galliers, 1991), positivist biasa menguji sebuah obyek melalui pengujian hipotesa dengan formulasi tertentu dan mengeneralisasi hasilnya, selain itu peneliti tidak memiliki interpretasi lain atas fakta yang terjadi di lapangan kecuali melakukan observasi dengan formulasi yang tentu (Popper, 1959, Orlikowski dan Baroudi, 1991). Sebaliknya pendekatan interpretist menekankan pada interpretasi dan pemahaman manusia sebagai bagian dari validitas pengetahuan (Galliers, 1991). Hal tersebut ditambahkan oleh Orlikowsky dan Baroudi (1991) dan Chreswell (2003) bahwa peneliti yang menggunakan pendekatan interpretive akan mencari pemahaman secara mendalam dari sebuah fenomena. Kritikal riset fokus pada konflik, oposisi dan kontradiksi yang terjadi di masyarakat serta mencari solusi untuk menyeleaikan masalah tersebut, hal tersebut 61 terkadang menjadi hal yang sulit untuk dialkukan karena validitas dan realibilitas eksternal tidak diikutseratakan (Denzin, 1998). Berdasarkan kontruksi filossofis penelitian di atas, tipikal kasus dalam permasalahan ini adalah untuk menganalisa pemahaman manusia mengenai realitas politik dan pemilihan umum di kota Cimahi, untuk dapat mengungkap fenomena tersebut maka penelitian ini menggunakan metode kualitatif sebagai sistematika analisis dan validitas data penelitian. Sehingga degan menggunakan metode kualitatif akan didapatkan hasil yang mendalam dan konfrehensif mengenai permasalahan yang sedang diteliti (Orlikowsky dan Baroudi, 1991; Chreswell, 2003) Penelitian ini termasuk dalam penelitian kualitatif kategori studi kasus, karena meneliti secara mendalam program dan peristiwa yang terjadi di asayarakat kemudian peneliti mengumpulkan data dan informasi melalui data-data lapangan secara berkala setiap waktunya (Stake, 1995). 62 3.2.2 Operasionalisasi variabel Dimensi Parameter Indikator Teknik Pengambilan Data Sumber Data Pendidikan Politik Melek politik Partisipasi politik Menguasai wawasan politik secara global, nasional dan lokal Ikut dalam organisasi politik Engikuti pertemuan atau rapat organisasi politik Terlibat sebagai panitia dalam persiapan pemilu Mengetahui teknis pemilihan umum Hadir dan memilih kandidat pada saat pemilihan umum Penyelenggaraan pendidikan politik dilakuakan secara berkala Mengadakan kelompok diskusi atau forum group discussion (FGD)di tingkat kecamatan Peningkatan pengetahuan politik peningkatan skill dalam komunikasi politik peningkatan etika politik Metode pendidikan politik yang dikembangkan Metode sosialisasi politik dan Pemilu kepada masayarakat Metode komunikasi politik Pelayanan informasi politik inovasi pendidikan politik Intensitas komunikasi dengan stakeholder dan masayrakat Kerjasama dengan tokoh agama dan adat Kerjsama dengan perusahaan Kerjasama dengan lembaga pendidikan Wawancara dan observasi KPU, stakeholder masyarakat dan Wawancara KPU, stakeholder masyarakat dan Wawancara KPU, stakeholder masyarakat dan Partisipasi Pemilu Pendidikan politik berkelanjutan Program pendidikan politik Kapital intelektual Politik Kapital manusia Kapital struktur/organisasi Kapital Relasi Tabel 3.2 Operasionalisasi Variabel 63 Keterangan * KPU: Komisi Pemilihan Umum Kota Cimahi *Stakeholder terdiri dari: 1. Petugas Panitia Pemilihan Umum Kota Cimahi Tingkat Kecamatan 2. Ketua RT/RW 3. Kelompok Pemuda 4.Organisasi/Partai Pemilu 5.Tokoh Agama dan Adat * Masyarakat merupaan warga yang sudah termasuk dalam daftar pemilih tetap (DPT) Pemilu di kota Cimahi (Kecamatan Cimahi Utara, Cimahi Selatan dan Cimahi Tengah) 3.2.3 Teknik Pengumpulan Data Pada Penelitian ini terdapat dua sumber data, yaitu data primer dan sekunder. Data primer dalam penelitian ini dikumpuln melaui wawancara dan observasi. Sedangkan data sekunder merupakan data penunjang dan pelengkap berupa data-data yang diperoleh dari buku-buku pustaka, media cetak, jurnal, data statistik dan referensi lain yang berkaitan dnengan penelitian. 1. Observasi, dilakukan untuk mengetahui dan menginventarisasi data primer tentang partisipasi pemilu dan perkembangan program pendidikan politik di Kota Cimahi. 2. Wawancara, dilakukan untuk memperolah data primer dalam penelitian, yaitu mengumpulkan data dan informai dengan cara megajukan sejumlah pertanyaan secara liisan dengan bebas dan terarah menggunakan pedoman wawancara (semi tertruktur) yang ditujukan kepada informan kunci yaitu pihak KPU, Stakeholder dan masyrakat. 3. Data Sekunder, dilakukan melalui penelaahan dan analisis referensi pustaka meliputi, buku, media Koran, majalah, internet, data-data terkait pemilu yang ada di KPU kota Cimahi. Adapun teknik pegambilan informasi dari informan dengan menggunakan teknik purposive sampling dimana informan dipilih dan ditentukan berdasrkan pengetahuan dan informasi yang dimilki mengenai masalah dan pertanyaan peelitian (Creswell, 2002:185). 64 3.2.4 Tatacara Pengumpulan Data Untuk mengetahui data manajemen kapital intelektual politik di kota cimahi, digunakan formulasi intellectual capital statement (Mouritsen,et.al,2003): Narasi Pengetahuan Manajemen Tantangan Inisiatif Indikator Tabel 3.3 Format Intellectual Capital Statement Sumber: Mouritsen et. al, (2003) Penjelasan komponen tabel: 1. Narasi pengetahuan menggambarkan ambisi lembaga untuk meningkatkan nilai dari produk atau pelayanan lembaga terhadap pengguna. Ambisi ini disajikan dalam bentuk narasi karena menunjukkan pengetahuan pengguna dan lembaga. Narasi pengetahuan diidentifisikan dengan kata-kata “karena”, “oleh sebab itu”, dan “ supaya”. 2. Manajemen tantangan meliputi deskripsi pengetahuan yang dimiliki dan pengetahuan yang dibutuhkan untuk memenuhi ambisi lembaga. 3. Inisiatif yaitu strategi untuk mengembangkan dan menciptakan inovasi atas tantangan lembaga yang dihadapi. 4. Indikator yaitu komponen tolak ukur yang digunakan dalam inisiatif, yang dapat diukur dengan melihat aspek efektif dan efisiensinya. 65 3.2.5 Analisa Data Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian kualitatif mencakup transkip hasil wawancara, reduksi data, analisis, interpretasi data dan triangulasi. Dari hasil analisis data yang kemudian dapat ditarik kesimpulan. berikut ini adalah teknik analisis data yang digunakan oleh peneliti: 1. Reduksi Data Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstraksian, dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Kegiatan reduksi data berlangsung terus-menerus, terutama selama proyek yang berorientasi kualitatif berlangsung atau selama pengumpulan data. Selama pengumpulan data berlangsung, terjadi tahapan reduksi, yaitu membuat ringkasan, mengkode, menelusuri tema, membuat gugus-gugus, membuat partisi, dan menulis memo. Reduksi data merupakan suatu bentuk analisis yang menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan mengorganisasi data sedemikian rupa sehingga kesimpulan-kesimpulan akhirnya dapat ditarik dan diverivikasi. Reduksi data atau proses transformasi ini berlanjut terus sesudah penelitian lapangan, sampai laporan akhir lengkap tersusun. Jadi dalam penelitian kualitatif dapat disederhanakan dan ditransformasikan dalam aneka macam cara: melalui seleksi ketat, melalui 66 ringkasan atau uraian sigkat, menggolongkan dalam suatu pola yang lebih luas, dan sebagainya. 2. Teknik Triangulasi Teknik triangulasi sebagai teknik untuk mengecek keabsahan data, dimana dalam pengertiannya triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain dalam membandingkan hasil wawancara terhadap objek penelitian (Moloeng, 2004:330) Triangulasi dapat dilakukan dengan menggunakan teknik yang berbeda (Nasution, 2003:115) yaitu wawancara, observasi dan dokumen. Triangulasi ini selain digunakan untuk mengecek kebenaran data juga dilakukan untuk memperkaya data. Menurut Nasution (2003), selain itu triangulasi juga dapat berguna untuk menyelidiki validitas tafsiran peneliti terhadap data, karena itu triangulasi bersifat reflektif. Denzin (Moloeng, 2004), membedakan empat macam triangulasi diantaranya dengan memanfaatkan penggunaan sumber, metode, penyidik dan teori. Pada penelitian ini, dari keempat macam triangulasi tersebut, peneliti hanya menggunakan teknik pemeriksaan dengan membandingkan dan mengecek balik derajat validitas suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam penelitian kualitatif (Patton, 1987:331). Adapun untuk mencapai validitas itu, maka ditempuh langkah sebagai berikut : 1. Membandingkan data hasil observasi dengan data hasil wawancara. 67 2. Membandingkan apa yang dikatakan individu di depan umum dengan apa yang dikatakan secara pribadi. 3. Membandingkan apa yang dikatakan masyarakat tentang situasi penelitian dengan apa yang dikatakannya sepanjang waktu. 4. Membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai pendapat dan pandangan masyarakat dari berbagai kelas. 5. Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen/data sekunder yang berkaitan. 3. Menarik Kesimpulan Kegiatan analisis ketiga adalah menarik kesimpulan dan verivikasi. Ketika kegiatan pengumpullan data dilakukan, seorang penganalisis kualitatif mulai mencari arti benda-benda, mencatat keteraturan, pola-pola, penjelasan, konfigurasi- konfigurasi yang mungkin, alur sebab akibat, dan proposisi. Kesimpulan yang mulamulanya belum jelas akan meningkat menjadi lebih terperinci. Kesimpulankesimpulan “final” akan muncul bergantung pada besarnya kumpulan-kumpulan catatan lapangan, pengkodeannya, penyimpanan, dan metode pencarian ulang yang digunakan. 68 BAB IV PEMBAHASAN 4.1 Profil Wilayah Cimahi Cimahi menyandang peran sebagai daerah penyangga bagi Kota Bandung yang berjarak sekitar 12 km di sebelah barat. Terutama menjadi tempat bermukimnya para pekerja yang mencari nafkah di Kota Bandung. Kota Cimahi juga merupakan markas dari 31 kesatuan tentara dan polisi. Pusat-pusat pendidikan militer bisa dijumpai di kota ini, mulai dari brigade infanteri, artileri medan, sampai pasukan kavaleri. NO 1 2 3 Kecamatan Cimahi Utara Cimahi Tengah Cimahi Selatan TOTAL Luas (Km) 13,36 10,87 16,02 40,25 Tabel 4.1 Luas Wilayah Kota Cimahi Sumber : BPS Kota Cimahi, 2002 Kota Cimahi terdiri dari 15 kelurahan dan 3 kecamatan yaitu Kecamatan Cimahi Utara, Cimahi Tengah, dan Cimahi Selatan, total luas kota Cimahi 40,25 km dengan jumlah penduduk keseluruhan sejumlah 452.390 jiwa. Kecamatan dengan luas wilayah terbesar yaitu Kecamatan Cimahi Selatan (16,02 km) sedangkan kecamatan dengan luas terkecil yaitu Kecamatan Cimahi Tengah yaitu 10,87 km. 69 Secara geografis, wilayah ini merupakan lembah cekungan yang melandai ke arah selatan, dengan ketinggian di bagian utara ±1.040 meter dpl (Kelurahan Ciparegan, Kecamatan Cimahi Utara) yang merupakan lereng Gunung Burangrang dan Gunung Tangkuban Perahu serta ketinggian di bagian selatan sekitar ±685 dpl (di Kelurahan Melong Kecamatan Cimahi Selatan) yang mengarah ke Sungai Citarum. Sungai yang melalui Kota Cimahi adalah Sungai Cimahi dengan debit air rata-rata 3,830 l/dt, dengan anak sungainya ada lima yaitu Kali Cibodas, Ciputri, Cimindi, Cibeureum (masing-masing di bawah 200 l/dt) dan Kali Cisangkan (496 l/dt), sementara itu mata air yang terdapat di Kota Cimahi adalah mata air Cikuda dengan debit air 4 l/dt dan mata air Cisintok (93 l/dt). Potensi wilayah yang terdapat di kota ini dari sektor pertanian, yaitu tanaman padi sawah dan jagung yang lebih dominan di Kecamatan Cimahi Utara, sedangkan komoditi lainnya seperti ubi kayu, ubi jalar berada di Cimahi Tengah. Rata-rata produksi untuk beberapa komoditi di Cimahi Tengah kecuali jagung berada di Cimahi Selatan. Secara geografis wilayah Kota Cimahi berada antara 107º 30’ 30” BT - 107º 34’ 30” BT dan 6º 50” 00” - 6º 56” 00” Lintang Selatan dengan luas wilayah 40,25 km dengan batas-batas sebagai berikut : - Batas Utara : Kabupaten Bandung - Batas Selatan : Kabupaten Bandung - Batas Timur : Kota Bandung - Batas Barat : Kabupaten Bandung 70 Kecamatan dengan tingkat kepadatan tertinggi yaitu Cimahi Tengah (14.555 jiwa/km), sedangkan kecamatan dengan tingkat kepadatan terendah yaitu Cimahi Utara (8.390 jiwa/ km). Cimahi sendiri merupakan daerah industri. Kota ini minim sumber daya alam. Terdapat 407 unit industri kecil dengan nilai investasi Rp 7,5 miliar. Jumlah industry berskala menengah dan besar tak kurang dari 300 unit. Dari jumlah industri yang tergolong banyak tadi, tenaga kerja yang menggerakkannya sebanyak 71.850 orang. Ini di luar tenaga kerja asing yang tercatat 101 orang. Kebanyakan tenaga asing ini berasal dari negara-negara Asia seperti Cina, Taiwan, Jepang, dan Korea. Kehadiran 101 orang tenaga kerja asing yang tercatat bekerja di sektor industri Kota Cimahi turut menambah PAD. Dari target retribusi izin tenaga kerja asing sebesar Rp 805 juta, sampai dengan Oktober 2003 telah terealisasi Rp 1 miliar (124%). Kegiatan industri di Cimahi didominasi oleh tekstil, sandang, dan kulit sebanyak 113 unit atau 28% dari jumlah industri kecil yang ada. Adapun yang berskala menengah dan besar berjumlah 92 unit industri. Lapangan usaha industri di kota yang masih tergolong muda ini, memang merupakan penyangga utama perekonomian. Dari total perekonomian senilai Rp 4,6 triliun pada tahun 2002, sektor industri menyumbang 68,11% atau senilai Rp 3,1 triliun. Jumlah fasilitas pendidikan yang terdapat di Kota Cimahi ini tersebar merata di setiap kecamatan. Namun demikian beberapa di antaranya sebagian besar banyak terdapat di Kecamatan Cimahi Tengah. 71 4.2.Upaya KPU Cimahi dan Stakeholder menyukseskan Pemilu Dan Menangani Penurunan Partisipasi Pemilu Kota Cimahi Dalam setiap gelaran pemilu, KPU kota cimahi dibantu oleh stakeholder dan masyarakat kota Cimahi bekerjasama untuk menciptakan pemilu yang Luber Jurdil. Kerjasama yang dilakukan berdasarkan wawancara dengan Bapak Septiyana salah seorang anggota KPU Cimahi pada tanggal 4 Juni 2015, menyatakan bahwa dalam rangka menyukseskan Pemilu di Kota Cimahi, KPU selalu mengadakan sosialisasi pemilu kepada masyarakat kota Cimahi diantaranya dengan mengadakan diskusi dengan pemuda dan masayrakat, atau pendekatan melalui tokoh masayarakat dan agama melalui MUI kota cimahi dan beberapa kelompok pegajian yang berada di setiap kecamatan. Sosialisasi yang dilakuakan oleh KPU meliputi ceramah teknis pemilu, pembagian stiker, pin dan aksesoris yang berisi ajakan partisipasi pemilu. Namun upaya tersebut masih menyisakan kendala yaitu faktor kurangnya partisipasi masyarakat yang datang ke TPS saat pemilu 72 Tahun Pemilu 2004 Presiden (Putaran 1) Presiden (Putaran 2) Legislatif Legislatif Walikota Walikota Gubernur Gubernur 2004 2009 2007 2012 2008 2013 Partisipasi (%) 80,30 73,48 64,43 59,27 73,59 70,06 71,37 68,39 Tabel 4.2 Partisipasi pemilu kota Cimahi Sumber: Diolah dari data KPU kota Cimahi Dari tabel 4.2 dapat dilihat bahwa terjadi penurunan sebesar 6.87% pada saaat pemilihan presiden 2004 (putaran 1 dan 2), sedangkan pada pemilu legilatif tahun 2004 dan 2009 terjadi penurunan tingkat partisipasi sebesar 5.16%, dan pada pemilihan walikota tahun 2007 dan 2012 terjadi penurunan partisipasi pemilu sebesar 3.53%. Pemilihan Gubernur padaa tahun 2008 dan tahun 2013 terjadi penurunan 2,98%. Hal tersebut yang menjadi titik perhatian fenomena tingkat partisipasi pemilu di kota Cimahi bahwa penurunan tingkat partisipasi masyarakat menjadi faktor yang harus dianalisis, meski pendidikan dan sosialisasi sudah dilakukan, tetapi itu tidak berdampak pada tingkat partisipasi masyarakat kota Cimahi dalam pemilu. Meski tidak tergolong tinggi tingkat golongan putih (golput) di kota Cimahi, namun latar belakang golput memiliki banyak dimensi, Eep Saefulloh Fatah, mengklasifikasikan golput atas empat golongan. Pertama, golput teknis, yakni mereka yang karena sebabsebab teknis tertentu (seperti keluarga meninggal, ketiduran, dan lain-lain) 73 berhalangan hadir ke tempat pemungutan suara, atau mereka yang keliru mencoblos sehingga suaranya dinyatakan tidak sah. Kedua, golput teknis-politis, seperti mereka yang tidak terdaftar sebagai pemilih karena kesalahan dirinya atau pihak lain (lembaga statistik, penyelenggara pemilu). Ketiga, golput politis, yakni mereka yang merasa tak punya pilihan dari kandidat yang tersedia atau tak percaya bahwa pileg/pilkada akan membawa perubahan dan perbaikan. Keempat, golput ideologis, yakni mereka yang tak percaya pada mekanisme demokrasi liberal) dan tak mau terlibat di dalamnya entah karena alasan fundamentalisme agama atau alasan politikideologi lain (Arianto,2011). Berdasarkan hasil wawancara dengan anggota KPU Cimahi bahwa pihak KPU dan stakeholder telah melakuaan upaya menanggulangi penurunan partisipasi pemilu ini melalui sosialisi, namun fakta di lapangan pemahaman politik masyarakat kota Cimahi masih rendah disebabkan oleh tingkat pendidikan, maka untuk tataran teknis pun masih banyak yang kurang memahami bagaimana cara memberikan suara melalui teknis mencoblos dan melipat kertas suara, salah seorang warga Cimahi Selatan berusia 17 tahun beranama Indrianjani warga Kampung Ranca Cangkuang RT 4 RW 1, mengatakan bahwa sebagai pemilih pemula dirinya kurang mengetahui teknis pencoblosan surat suara pemilu, meski secara tidak langsung ia mengetahui teknis pencoblosan dari sekilas informasi dari teman-temannya namun hal tersebut tidak secara formal didapatkannya sehingga dirinya mengaku sangat gugup untuk pertama kalinya masuk bilik suara dan membuka surat suara. Hal ini merupakan salah 74 satu kasus teknis yang hadir dalam pemilu namun tidak tahu cara mencoblos surat suara. Meski KPU (berdasarkan hasil wawancara) telah melakukan sosialisasi teknis, namun menjadi catatan tersendiri untuk kalangan pemilih pemula atau para remaja bahwa faktor psikologis dan kebiasaan para remaja seharusnya menjadi bahan evaluasi dalam sosialisasi pemilu oleh KPU. Berdasarkan manajemen KIP, kapital manusia KPU harus memiliki pengetahuan luas mengenai sosialisasi pemilu pada tingkat remaja, kemudian pengetahuan kapital manusia KPU direfleksiskan menjadi pengetahuan struktural (kapital struktur), dimana hal tersebut nantinya akan menjadi brand image KPU dalam sosialisasi dan pendidikan politik kepada kalangan pemilih pemula. Para pemilih pemula sangat dekat dengan dunia digital (Ahmed,2011), sehingga KPU dapat melakukan ekspansi metode pendidikan dan sosialisi pemilu melalui internet dengan design menarik dan edukatif. Narasi Pengetahuan Pemilih pemula di Cimahi secara mayoritas masih belum menguasai teknis pemilu dan sebagai pemula, mereka secara psikologis masih merasa ragu khawatir salah ketika masuk ke bilik suara. Terlebih mereka belum mempunyai pengetahuan politik yang luas. Oleh Manajemen Tantangan Saat ini metode sosialisasi dan pendidikan politik kepada remaja belum digarap secara khusus, maka untuk mewujudkan partisipasi pemilu dari para remaja diperlukan metode sosialisi dan pendidikan politik melalui akses internet yang sudah menjadi bagian dari Inisiatif Indikator Bekerjsama dengan pihak IT dan media yang dapat menciptakan dan mendesign pendidikan dan sosialisai politik di dunia digital Melakukan training,seminar, diskusi yang diselenggarakan antara pihak IT dan media agar kapital manusia KPU memiliki pengetahuan mengenai sosialisai dan pendidikan politik kepada remaja melalui media dan internet. 75 sebab itu diperlukan inovasi pendidikan politik dan sosialissasi pemilu kepada pemilih remaja berupa aplikasi atau website atau yang berhubungan dengan digital dan internet yang mudah di akses dan bersifat interaktif supaya remaja dapat tertarik dengan politik dan pemilu dan secara teknis pemilu dan psikologis mereka dapat menguasainya tanpa ragu dan khawatir kembali. aktifitas remaja sehari-hari Tabel 4.3 ICS Untuk Pemilih Kalangan Remaja Pemilih Pemula Kemudian, warga Cimahi Tengah bernama Sri Sukwatinigsih berusia 48 tahun beralamat di jalan Gatot Subroto No G.56 mengaku dirinya datang ke TPS hanya memenuhi undangan dari TPS tempatnya memberikan suara, dan pengalamannya selama beberapa kali memberikan suara saat pemilu, banyak yang ia tidak kenal dari caleg yang ada di kertas suara, sehingga ia lanjutnya, hanya mencoblos secara random siapa saja. Pada kasus Sri Sukwatiningsih (48 tahun) ini mayoritas ibu rumah tangga jarang ada yang peduli terhadap politik dan pemilu, sehinggga mereka hanya sebatas memenuhi undangan dan mengikuti jadwal pemilu saja tanpa ada rasa tanggungjawab dan berdasarkan pengetahuan/informasi politik menyangkut kandidat/caleg partai 76 politik yang ada pada kertas suara. Menanggapi hal ini. KPU (berdasrkan hasil wawancara) bahwa untuk tingkat sosialisasi kepada masyarakat umum khususnya kepada ibu rumah tangga, KPU bekerjasama dengan kelompok pengajian di setiap kelurahan. Namun melihat fakta bahwa kalangan ibu rumah tangga tidak begitu memperdulikan mengenai pemilu dan kandidat caleg parpol yang dicalonkan, maka KPU seharusnya dapat mengevaluasi faktor tersebut diantaranya dengan mengundang tokoh agama yang sangat dekat dengan kalangan ibu rumah tangga. Tanpa bermaksud mempolitisasi tokoh agama, namun mereka sebagai kapasitas pengajak kepada kebaikan dapat memberikan sosialisai dan pendidikan politik secara obyektif kepada kalangan ibu rumah tangga dengan metode dan bahasa yang mudah dipahami oleh pendengar. Dengan bekal obyektifitas tokoh agama tersebut diharapkan para ibu rumah tangga dapat tercerdasakn dan tertarik dengan pemilu lebih jauh lagi ibu rumah tangga tersebut dapat menyampaikan kembali pengetahuan yang didapatkan kepada anaknya yang termasuk golongan pemilih pemula atau anggota keluarganya yang lain. Narasi Pengetahuan Banyaknya Ibu Rumah Tangga yang memberikan suara pada pemilu tetapi tidak dilandasi dengan pengetahuan dan tanggungjawab karena kurangnya Manajemen Tantangan Metode sosiasasi pemilu di kelompok pengajian saat ini melibatkan tokoh agama yang biasa memberikan ceramah kepada ibu-ibu di pengajian, sehingga ketika ikut 77 Inisiatif Indikator KPU mempunyai jaringan komunikasi dan hubungan dengan tokoh agama kondang untuk turut serta dalam pendidikan dan sosialisasi pemilu Diskusi dan pertemuan antar KPU dan tokoh agama mengenai metode dan konten sosialisasi pemilu kepada kalangan ibu rumah tangga. informasi dan pengetahuan mengenai pemilu, oleh sebab itu KPU harus menghadirkkan pembiacara dari kalangan tokoh agama kondang yang secara obyektif dapat memberikan pengarahan tenatang bagaimana memberikan suara dan mencoblos caleg dengan tanggungjawab supaya ibu rumah tangga ketika mencoblos tidak dengan landasan random saja, tapi juga memiliki informasi mengenai masing-masing kandidat disertai visi dan misinya. mensosialisaikan pemilu, hal tersebut tidak menjadi perhatian khusus karena tidak ada hal yang baru dari hal tersebut, maka untuk membantu ibu-ibu rumah tangga tertarik dan memiliki pengetahuan/informasi mengenai pemilu, KPU harus melibatkan tokoh agama yang kondang untuk mensosialisasikan pemilu di kalangan ibu rumah tangga. Tabel 4.4 ICS untuk pemilih kalangan Ibu Rumah Tangga Berbeda lagi dengan warga Cimahi Utara berusia 32 tahun bernama Nurzaman beralamat di Jalan Pesantren RT 007 dan RW 007, mengatakan bahwa dirinya tidak mencoblos pada saat pemilu karena ia tidak percaya lagi dengan sistem pemerintahan sekarang, dirinya mengatakan bahwa rakyat selama ini hanya dijadikan alat untu mencapai kekuasaan saja oleh para kandidat politik. Hal ini serupa dengan konsep sinisme dalam politik yang menaruh kecurigaan pada politik dan pemerintahan, mereka yang sinis mempunyai ungkapan dan pikiran bahwa “politik 78 adalah suatu urusan yang kotor”, “politisi tidak dapat dipercaya”, “individu hanya menjadi bulan-bulanan dari kelompok yang memanipulasi”,dsb (Rush dan Althoff,1997). Pengalaman dan pemahaman politik yang dimiliki Nurzaman (32 tahun) dapat terminimalisir melalui pendidikan politik kepada masyarakat karena pendidikan dan pengetahuan dapat memberikan dorongan masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam pemilu (Carpini dan Keeter, 1996). Banyak pemikiran pragmatis yang muncul saat pemilu berlangsung, ada yang beranggapan bahwa tujuan dari partisipasi pemilu adalah untuk mendukung partai politik atau kandidat tertentu, padahal pada hakikatnya partisipasi pemilu dilakukan untuk mendukung ide yang diusung oleh golongan tertentu untuk kemajuan bangsa dan negara. Namun ketika golongan terebut terpilih dan ternyata berputar haluan dari idenya, maka rakyat yang memilihnya wajib untuk memberikan teguran dan pertanggungjawaban atas amanah yang telah diberikan. Proses yang demikian nampaknya akan sukar untuk direalisasikan karena elite politik yang sudah memimpin mayoritas akan luntur idealismenya oleh lingkungan yang mengitarinya. Narasi Pengetahuan Sebagian kalangan pemuda di Cimahi memiliki pemahaman ideologis yang berbeda dengan sistem politik dan pemilu di Indonesia sehingga mereka Manajemen Tantangan Metode pendidikan dan sosialisai pemilu pada pemuda masih sebatas pada tataran teknis pemilu (mencoblos dan melipat), untuk menguarangi angka golput ideologis Inisiatif Indikator KPU menjalin kerjasama dengan para tokoh pemuda dan kalangan akademisi sebagai pemberi penerangan kepada masyarakat dan pemuda Mengadakan diskusi dan semiar/dialog interaktif antara kalangan pemuda,organisasi kepemudaan/karang taruna, akademisi dan KPU. 79 memilih menjadi golongan putih karena sangat minimnya pendidikan politik yang mereka miliki, oleh sebab itu KPU perlu melaksanakan pendidikan politik secara konprehensif dan berkelanjutan untuk membentuk karaketer jiwa politik dan nasionalisame supaya ideologi mereka tidak lagi bertentangan dengan sistem politik di Indoensia maka KPU harus menerapakan metode pendidikan politik yang utuh dan berkelanjutan sebagai bentuk internalisasi pendidikan politik dalam ideologi para pemuda Tabel 4.5 ICS untuk pemilih kalangan Pemuda Untuk kalangan buruh dan kaum marjinal di kota Cimahi mayoritas mereka memiliki pandangan pragmatis terhadap pemilu, seperti yang dituturkan oleh warga Cigugur,Cimahi tengah bernama Eti Atikah (37 tahun) beralamat di Hegarmanah Gg Karya Bakti 6 A No 5,Rt 001 Rw 001 dan Deden Mulya (37 tahun ) beralamat di Hegarmanah Gg. Karya Bhakti,VII, Rt 001 Rw 001. Eti (37 tahun) mengatakan dirinya akan memilih kandidat dan parpol yang pernah memberikan bantuan dan berkunjung ke tempatnya dalam rangka bakti sosial, terutama bagi Eti (37 tahun) adalah kandidat dan parpol yang memberikan bantuan sembako dan sejumlah dana finansial untuk membantu kebutuhan rumah tangganya. Sedangkan menurut Deden (37 tahun) dirinya sebagai buruh pabrik biasanya akan memilih saat pemilu apabila ada kandidat dan parpol yang memberikan “amplop” untuk dirinya dan rekan- 80 rekannya sebagai buruh karena menurut Deden (37 tahun) bahwa kandidat yang demikian selalu menjanjikan akan mengutamakan kepentingan buruh dan akan mengusahakan kenaikan upah buruh jika kandidat tersebut terpilih. Berdasarkan hasil wawancara dan observasi kepada warga tersebut di atas, dapat diketahui bahwa partisipasi pemilu pada kalangan buruh dan kaum marjinal hanyalah “ikatan kontrak uang”, dengan kata lain bahwa mereka akan memilih jika kandidat dan parpol memberikan keuntungan finansial bagi mereka, biasanya zona masyarakat buruh dan kaum marjinal selalu menjadi zona nyaman bagi kandidat dan parpol yang ingin meraup suara yang tinggi; mereka hanya tinggal “membeli” hati dan simpati masyarakat dengan uang. Money politic sudah bukan hal aneh lagi di dunia politik dan pemilu, dan masyarakat buruh dan kaum marjinal selalu menjadi obyek sasaran rencana para kandidat dan parpol dalam pemilu, hal ini disebabkan tipikal masyarakat seperti itu memiliki tingkatan pendidikan formal dan pendidikan politik yang rendah karena seluruh perhatiannya terfokus pada masalah kebutuhan ekonomi sehari-hari. Melihat masalah tersebut, KPU seharusnya memberikan pendidikan politik yang dapat mengikis pemikiran pragmatis kaum marjinal dan buruh dalam partisipasi pemilu, bisa jadi mereka tidak termasuk golput karena mereka datang ke TPS dan mencoblos kandidat dan parpol, namun alasan yang melatar belakanginya sangat pragmatis yaitu partisipasi transaksional sehingga wajah pemerintahan ke depan akan semakin mundur karena pola pikir pemilih demikian dalam partisipasi pemilu. 81 Narasi Manajemen Inisiatif Pengetahuan Tantangan Kaum marjinal dan Pendidikan politik KPU menjalin buruh di kota menjelang pemilu kerjasama dengan Cimahi masih kepada para pengusaha berfikir pragmatis masayarakat kreatif dan berorientasi marjinal dan buruh ekonomi dalam terbatas pada partisipasi pemilu masalah teknis karena mereka pemilu saja memiliki tingkatan sehingga pendidikan formal masyarakat berlaku dan pendidikan pragmatis dalam politik rendah oleh partisipasi pemilu, sebab itu KPU untuk mengikis harus mengikis sikap demikian pemikiran KPU memerlukan pragmatis tersebut metode dan dengan pendidikan manajemen politik yang dapat pendidikan politik mengedukasi sekaligus mereka sekaligus pendidikan menumbuhkan jiwa enterprenership wirausaha mereka kepada masyarakat supaya mereka kaum marjinal dan dapat mandiri buruh dalam ekonomi dan tidak bersikap pragmatis dalam pemilu disebabkan oleh uang dan bantuan yang diberikan oleh para kandidat dan parpol saat pemilu Tabel 4.6 ICS Untuk Pemilih Kaum Marjinal Dan Buruh 82 Indikator Mengadakan pelatihan ekonomi kreatif bagi masyarakat sekaligus pendidikan politik melalui metode yang dapat dipahami oleh masyarakat marjinal dan buruh. 4.3Metode Pendidikan Politik di Kota Cimahi Menurut penuturan Bapak Septiyana (anggota KPU Cimahi) berdasarkan wawancara bahwa saat ini metode pendidikan yang diselenggarakan oleh KPU Cimahi meliputi metode sosialisasi teknis pemilu kepada masyarakat melalui kerjasama dengan pihak sekolah, Dinas Pendidikan Cimahi, pengajian di setiap kecamatan,MUI kota Cimahi,JPPR dan Karang Taruna. Namun belum ada metode khusus untuk bidang pendidikan politik kota di kota cimahi. Pendidikan politik belum maksimal terselenggara di kota Cimahi, pelayanan pendidikan politik di kota Cimahi masih seputar politik tingkat partisipasi pemilu, belum ada edukasi politik untuk tingkat partisipasi yang lebih luas lagi. 4.4Tingkat Melek Politik di Kota Cimahi Berdasarkan wawancara dengan key informant masyarakat di Kecamatan Cimahi tegah, Cimahi Utara dan Cimahi Selatan, masyarakat ada yang ikut berpartisipasi pemilu karena hanya menunaikan undangan dari TPS tanpa berfikir mendalam hakikat dari pemilu, ada yang hadir ke TPS tapi tidak tahu cara mencoblos dan melipat kertas suara, tidak hadir ke TPS dan tidak mencoblos karena masalah pekerjaan dan ideologi. Hal ini memberikan data dan fakta bahwa tingkat melek politik di kota Cimahi masih rendah, tingkat melek politik meliputi tingkat pengetahuan politik dan diskursus politik (Ahmed,2011) Diskursus politik pada umumnya difokuskan pada komunikasi oleh institusi politik atau oleh para aktor 83 politik dan semua bentuk komunikasi yang berhubungan dengan politik. Maka hubungan politik publik baik internal dan eksternal, bertia, komentar, films, talk shows, keseharian masyarakat memperbincangkan politik, semua sisi diisi dengan diskursus politik (Wessler, 2008). Diskursus politik merujuk pada ketertarikan individu dalam setiap kesempatan berkomunikasi atau berbincang dengan yang lain (keluarga,teman, saudara,dsb) topiknya seputar masalah politik (Ahmed, 2011). Dari diskursus ini akan terjadi saling berbagi dan menghasilan pengetahuan dan pemahaman politik, karena pendidikan politik bisa didapatkan melaui pendidikan formal juga seperti diskursus di kalangan teman dan keluarga (Carpini dan Keeter,1996).Sehigga individu masyarakat akan memiliki pengetahuan dan pengalaman politik pribadi sebagai bekal untuk berintegrasi dengan individu lain dalam mebentuk kepribadian komunal yang melek politik (Carpini dan Keeter,1996) Oleh sebab itu akativita diskursus politik antara KPU dan masyarakat terjalin secara berkalan karena frekwensi diskusi politik secara konsisten akan menghasilkan efek positif pada partisipasi dan kesadaran politik (Verba dan Henry, 1995). Peran penting komunikasi interpersonal sangat penting dalam rangka mengajak masyarakat berpartisipasi (Verba dan Henry, 1995), dan dapat dikatakan juga bahwa pengaruh partisipasi politik atau variabel lain termasuk penggunaan media secara tidak langsung dipengaruhi oleh pengetahua politik dan penggunaan media (McLeod et al., 1999). 84 4.5 Partisipasi Politik dan Pemilu Kota Cimahi Masyarakat kota Cimahi belum terlibat secara aktif dalam organisasi politik, seperti ikut dalam organisasi politik, mengikuti pertemuan atau rapat organisasi politik dan terlibat sebagai panitia dala persiapan pemilu. Apabila KPU kota Cimahi masih fokus memberikan pendidikan politik pada tataran sosialisasi pemilu saja, maka menurut Rush dan Althoff (1997) hal tersebut masih tergolong memberikan sugesti dan pendidikan politik pada tingkat yang rendah, karena parisipasi pemilu merupakan bagian kecil dari partisipasi politik yang luas. Namun demikian memberikan suara pada pemilu merupakan partisipasi politik yang paling argumentatif untuk aktivitas demokrasi dan menjadi pertimbangan stabilitas demokrasi (International Institute for Democracy and Electoral Assistance, 1999). Menduduki jabatan politik atau administratif Mencari jabatan politik atau administratif Keanggotaan aktif suatu organisasi politik Keanggotaan pasif suatu organisasi politik Keanggotaan aktif suatu organisasi semu politik (quasi political) Keanggotaan pasif suatu organisassi semu politik (quasi political) Partisipasi dalam rapat umum, demonstrasi, dan sebagianya Partisipasi dalam diskusi politik informal, minat umum dalam politik Voting (pemberian suara) Apatis total Gambar 4.1 Hirarki partisipasi politik ; Sumber: Rush dan Althoff (1997) Untuk mewujudakan tingkat partisipasi pemilu yang tinggi maka KPU Voting (pemberian suara) sebagai kapital struktur harus mempunyai inovasi dan terobosan baru dalam 85 mengahdairkan brand image dalam bidang pelayanan dan penyampaian pendidikan dan sosialisai politik dan pemilu kepada masayarakat, apabila metode pendidikan dan sosialisai pemilu yang dilakuakan oleh KPU cimahi tidak ada inovasi yang baru maka dapat dipastikan tingkat partisipasi pemilu di kota Cimahi akan semakin menurun pada periode pemilu berikutnya. KM KS KR Pengembangan pengetahuan dan skill mengenai politik Inovasi dan brand image lembaga politi dalampendidikan dan sosialisi politik/pemilu DILAKUKAN? Penyampaian dan aplikasi invovasi pendidikan dan sosialisasi politik/pemilu kepada masyarakat YA TIDAK Masyarakat tertarik dan teredukasi dengan baik Kenaikan partsipasi politik/pemilu Masyarakat tidak tertarik dan tidak teredukasi dengan baik Penurunan partisipasi politik/pemilu Gambar 4.2 Inovasi dan Brand Image Lembaga politik 86 4.6. Pendidikan Politik Berkelanjutan di Kota Cimahi Melihat fenomena tingkat melek politik dan partisipasi pemilu di kota Cimahi yang masih rendah, maka di kota Cimahi perlu diselenggarakan pendidikan politik dilakukan secara berkala, mengadakan kelompok diskusi atau FGD di tingkat kecamatan atau kegiatan edukasi politik yang tidak bersifat temporal. Urgensi dari makna berkelanjutan adalah konsekwensi dari demokrasi bahwa rakyat harus mempunyai rasa memiliki bangsa dan negara yang besar sehingga bangsa dan negara harus dikelola dengan serius, dan keseriusan menyelenggarakan pendidikan politik berkelanjutan. itu ditunjukan dengan Peneliti mendefinisikan pendidikan politik berkelanjutan adalah pendidikan politik yang diselenggaraan secara berkesinambungan untuk saat ini dan masa yang akan datang. Urgenitas pendidikan politik berkelanjutan dilatarbelakangi oleh fenomena tingkat melek politi masyarakat Indonesia dan daerah termsuk di Cimahi yang tercermin pada tingkat partisipasi pemilu yang mempunyai kecendrungan menurun disebabkan pendidikan politik hanya bersifat parsial dan temporal, pendidikan politik diadakan ketika ada masa pemilu, diluar masa itu, pendidikan politik tidak ada. Kapital intangible yang dapat dikembangkan untuk menciptakan pendidikan berkelanjutan sehingga melek politik bangsaakan tercipta maka dengan mudah masyrakat dengan kesadarannya akan berpartisipasi politik dan pemilu. Kapital intangible disebut pula kapital intelektual (Kelly,2004) terdiri dari; 1).Kapital manusia; 2). Kapital struktur; 3). Kapital relasi. Ketiga kapital ini akan saling bersinergi menciptakan nilai positif bagi perkembangan politik. 87 Kapital manusia Kapital struktur Kapital relasi Pendidikan politik berkelanjutan Keterangan: Melek politik Partisipasi politik (pemilu) Transfer dan menghasilkan pengetahuan Gambar 4.3 kapital intelektual mewujudkan pendidikan politik berkelanjutan Berdasarkan gambar 4.3 Kapital manusia, kapital struktur dan kapital relasi akan saling berinteraksi dengan pengetahuan, mereka akan saling memberi dan menerima pengetahuan melalui metode transfer pengetahuan yaitu: 1. Tacit-tacit ; transfer pengetahuan yang belum terkodefikasi, seperti pengalaman,skill, disampaikan kepada individu dengan cara pengajaran dan praktik 2. Tacit-Explicit; transfer pengetahuan yang belum terkodefikasi ke dalam bentuk pendokumentasian seperti penulisan, rekaman, pemofotoan,dsb. 88 3. Explicit-Tacit; transfer pengetahuan dari bentuk yang sudah terdokumentasikan disampaikan kepada individu untuk diinternalisasian ke dalam diri sebagai bentuk pemahaman dan pengalaman. 4. Tidak ada metode transfer explicit-explecit karena dokumentasi pengetahuan tidak dapat ditransferkkan ke dalam bentuk dokumen lagi tanpa ada perantara pengalaman dan keahlian manusia. Dalam aplikasinya, Kapital manusia lembaga KPU saling memebrikan transfer pengetahuan baik berbentuk tacit-tacit, tacit-eksplisit ataupun eksplicit-tacit kepada internal anggota KPU atau melibatkan kapital relasi lain sebagai feed back hearing atas kinerja yang telah dilakukan oleh KPU selama ini dalam rangka sosialisasi dan pendidikan politik kepda masyarakat. 4.7. Manajemen Kapital Intelektual Politik Kota Cimahi 4.7.1 Kapital Manusia Kapital manusia pada lembaga Komisi Pemilihan Umum (KPU) cimahi adalah; ketua KPU dan staff KPU, lembaga inilah yang memberikan pelayanan berupa pendidikan politik kepada masyarakat kota Cimahi. Dalam aspek internal lembaga KPU harus ada upaya untuk meningkatkan pengetahuan politik yang bisa didapatkan melalui training atau pendidikan dengan mengadakkan studi banding atau mendapatkan pendidikan formal di universitas karena pendidikan politik bisa didapatkan melalui pendidikan formal dan informal (Carpini dan Keeter,1996). Lembaga KPU Cimahi sebagai corong pendidikan politik harus memiliki pengetahuan dan inovasi dalam memberikan pelayanan jasa kepada masyarakat kota 89 Cimahi. Selain itu untuk internalisasi internal lembaga KPU dalam mengembangkan dan menghasilkan nilai dan pengetahuan maka harus ada metode transfer pengetahuan dapat diterapkan di kalangan internal yaitu: Metode transfer pengetahuan: Tacit-Tacit; tacitexpicit;explicittacit Diskusi,seminar,diskursus,sekolah, studi banding,riset,dsb Internal KM KPU Pengetahuan,skill, sikap dan etika Gambar 4.4 Pengetahuan Kapital Manusia KPU 4.7.2Kapital Struktur Manajemen kapital intelektual politik dilasanakan untuk mencipatakan nilai yang lebih baik lagi dari lembaga KPU Cimahi. Setelah internal KPU memiliki kapital manusia yang mempunyai pengetahuan dan skill politik yang optimal, maka hal tersebut tinggal diejawantahkan dalam bentuk terstruktur dalam format Metode pendidikan politik yang dikembangkan, metode sosialisasi politik dan pemilu, metode komunikasi,pelayanan informasi politik dan inovasi pendidikan politik. Melihat angka partisipasi politik dan pemilu yang lesu di kota cimahi, maka lembaga KPU cimahi harus melakukan inovasi dalam pelayanan politik berupa 90 pendidikan kepada masyarakat. Dengan demikian akan tercipta pengetahuan politik struktural yang dihasilkan dari gabungan pegetahuan politik faktual yang dimiliki oleh invidu kapital manusia (Carpini dan Keetr,1996). Apabila hal tersebut sudah terwujud aka lembaga KPU cimahi akan memiliki hak paten tersendiri dalam proses menciptakan nilai/produk/pelayanan politik sehingga kompetensi dan kompetisi lembaga KPU cimahi akan teruji melalui manajemen kapital intelektualnya. Pengetahun KM secara individual Transformasi Pengetahuan komunal lembaga politik (KS) konversi Nilai dan inovasi/brand image lembaga politik dalam metode pendidikan dan komunikasi politik Gambar 4.5 Konversi pengetahuan menjadi nilai dan inovasi lembaga politik 4.7.3 Kapital Relasi Kapital relasi dalam hal ini terdapat dua bagian, pertama relasi sebagai penerima dan pengguna inovasi pendidikan politik dari KPU yaitu masyarakat luas, dan kedua,relasi yang erupakan pengguna tapi sekaligus pula sebagai aktor yang 91 membantu menyebarlusakan inovasi lembaga KPU, seperti kalangan pengusaha dan media masa. Inovasi Lembaga politik Evaluasi KR: media, perusahaan, stakeholder KR: masyarakat Pengembangan pengetahuan KM Partisipasi politik/pemilu Transformasi menjadi pengetahuan KS Gambar 4.6 Kapital relasi sebagai pengguna inovasi lembaga politik Kapital relasi politik berdasrkan gambar 4.6 dapat memberikan feed back (pengetahuan dari KR) kepada lembaga atas inovasi dan nilai yang diberikan, hal ini akan menjadi evalusai bagi lembaga untuk menciptakan nilai yang lebih baik lagi melalui perbaikan dan pengembangan pengetahuan. Dalam tataran praktinya, masayarakat dan stakeholder dapat meberikan masukan kepada lemabaga KPU atas kinerjanya, maka KPU harus menyediakan ruang publik dan transparansi akses untukdapat memberikan masukan progressif dari kalangan eksternal KPU. Namun demikian, dengan melakukan manajemen kapital intelektual politik dengan baik maka pengetahuan yang terekstraksi dalam bentuk inovasi pendidikan politik dari lembaga KPU Cimahi maka stakeholder dari semua kalangan akan tertarik dengan hasil produk dan pelayanan pendidikan politik yang dihasilkan oleh lembaga KPU cimahi. Melalui report (pelaporan) kapital intelektual politik yang 92 dipublikasikan kepada kalangan eksternal lembaga, maka hal tersebut akan bahan pertimbangan stakeholder untuk mendukung dan menjalin kerjasama dengan lembaga KPU cimahi dalam mewujudkan melek dan partisipasi politik melalui pendidikan politik berkelanjutan. 4.8. Proyeksi Pendidikan Politik Berkelanjutan Melalui Manajemen Kapital Intelektual Politik Untuk Meningkatkan Parisipasi politik dan Pemillu Proyeksi pendidikan politi berkelanjutan melalui manajemen kapital intelektual politik ini merupakan kerja panjang dan berkesinambungan untuk menciptakan karakter politik yang utuh bagi bangsa Indonesia. Pendidikan politik berkelanjutan sangat dipentingkan karena mengingat proses menuju kesadaran politik bukanlah hanya pengamatan numerik berdasarkan jumlah partisipasi dan golput, namun pengamatan mendalam mengenai fakta dan data yang muncul ke permukaan, oleh sebab itu. Sosialisasi pemilu yang merupakan bagian dari mekasnisme pendidikan politik yang bersifat temporal telah menunjukkan hal ini tidak dapat menaikkan partisipasi masyarakat dalam pemilu dan politik karena pada dasarnya masyarakat sebagai partisipan bukanlah sebagai obyek pemilih yang kosong informasi (zero information) tetapi mereka memiliki banyak sekali informasi mengenai politik sehingga mempengaruhi sudut pandang mereka dalam menentukan sikap politisnya termasuk tidak berpartisipasi dalam pemilu, sehingga sosialisai teknis dan ajakan untuk mencoblos saat pemilu tidak akan mendapatkan perhatian dari masayarakat yang terlebih dahulu sudah punya informasi politik dan pemilu. 93 Maka pendidikan politik berkelanjutan berupaya untuk memberikan sudut pandang baru dan wawasan, informasi, dan pengetahuan politik kepada msayarakat agar menghasilkan kecerdasan dan kesadaran politik yang bertanggungjawab. Aspek kognitif politik yang dimiliki oleh masayrakat merupakan sudut pandang dan persepsi yang akan dipengaruhi oleh informasi yang diterima, dengan demikian apabila ada informasi baru tentang politik yang dapat memberikan perspektif positif kepada masyarakat maka kognitif dan persepsi politik mereka akan berubah sehingga mereka akan ikut berpartisipasi dalam politik dan pemilu. Selama ini ruang kualifikasi politik masyarakat jarang tersentuh dan menjadi ruang gelap selamanya yang tidak pernah diterangi, orang-orang golput pada umumnya dijadikan “musuh” dan bahkan disebut sebagai “pembangkang” nasionalisme, namun melalui manajemen KIP lembaga politik termasuk KPU akan menghasilkan pendidikan politik berkelanjutan yang dilandasi oleh kesadaran dan kecerdasan tanpa tekanan dan ancaman, agar makna berkelanjutan ini benar-benar berlanjut sampai pada tingakatan masa dan waktu yang akan datang. Pola pendidikan politik berkelanjutan dapat diaplikasikan dalam jalur pendidikan formal atau informal. Pendidikan politik berkkelanjutan di sekolah atau universitas dapat dikemas dengan pengantar yang mudah dipahami oleh siswa, kemuadian pendidikan politik berelanjutan jalur informal bisa diseleggarakan di tiap daerah berupa kegiatan diskusi iteraktif atau kegiatan yang bersifat “tidak membosankan” namun tetap dapat mendidik. Untuk mewujudkan pola pendidikan politik berkelanjutan tidak mungkin jika tidak ada manajemen dan koordinsai antara 94 semua kalangan warga negara, maka jalinan kerjasama antar lembaga (KR) harus dapat diorganisir dengan baik. Melalui manajemen KIP, pendidikan politik berelanjutan akan dilakukan dengan mempertimbangkan aspek obyek penerima pendidikan politik yaitu aspek kapital relasi, karena setiap tempat dan daerah mempunyai karakteritik KR yang berbeda, dengan demikian pendidikan politik berkelanjutan tidak sebatas pengetahuan yang tersimpan dalam kognisi saja namun bersifat applicable dalam partisipasi politik dan pemilu. Hal terpenting dalam mewujudkan pendidikan politik berelanjutan ini adalah inovasi. Inovasi dihasilkan dari pengetahuan dan pengalaman, maka untuk menciptakan rantai inovasi ini adalah manajemen KIP agar pendidikan politik berkelanjutan bukan malah menjadi pendidikan politik yang menjenuhkan karena tidak adanya inovasi dalam metode komunikasi dan konten pendidikan. Tujuan dari pendidikan politik berkelanjutan ini adalah untuk menciptakan masyarakat melek politik, karena melek politik bukanlah proses yang instan dan tidak dapat tercipta secara utuh hanya melalui sosialisasi temporal yang bersifat teknis, serta angka persentase partisipasi pemilu merupakan bagian terkecil dari indikator melek politik. Sehingga untuk mewujudkan tngkat melek politik masyrakat diperlukan pendidikan politik berelanjutan yang secara holistik memberikan pengetahuan politik kepada seluruh elemen warganegara. 95 Pemerintah, lembaga politik, lembaga pendidikan, perusahaan,stakeholder dan NGO Rendahnya tingkat melek politik dan rendahntya partisipasi politik dan pemilu Perannya masih parsial dalam melakukan pendidikan dan sosialisasi politik Evaluasi Generalisasi persentase partisipasi pemilu Fokus evaluasi pada sosialisasi teknis pemilu Partisipasi politik dan pemilu Kesadaran dan kecerdasasan politik Melek politik Ruang gelap; tidak pernah dievaluasi dan disentuh Pendidikan politik berkelanjutan . proyeksi Pemerintah, lembaga politik, lembaga pendidikan, perusahaan,stak eholder dan NGO Manajemen Kapital Intelektual Politik Pengguna inovasi;KR Transformasi menjadi inovsi KS Pengetahuan KM Evaluasi Gambar 4.7 Proyeksi Pendidikan Politik Berkelanjutan Melalui MKIP 96 4.9. Prospek Manajemen Kapital Intelektual Politik Untuk Pendidikan Politik Berkelanjutan Melihat proyeksi pendidikan berkelanjutan melalui MKIP dalam sub bab 4.8 di atas, maka prospek manajemen kapital intelektual (KI) dalam bidang politik sangat progressif karena mengingat kondisi “kemunduran” paradigma berpolitik di Indonesia yang terjadi saat ini ditandai dengan maraknya sikap apatis, sisnisme, alienasi dan anomi yang terjadi di kalangan masyarakat Indonesia tidak terkecuali di tengah-tengah masyarakat kota Cimahi. Oleh karena itu sangat penting dan urgent untuk diimplementasikan manajemen KI politik ini bagi pendidikan politik berkelanjutan dalam rangka mewujudkan partisipasi politik masyarakat. Sebagai langah awal dalam melihat prosepek tersebut, peneliti mengkontruksikan definisi manajemen KI politik dengan memasukkan unsur-unsur kebutuhan pokok bidang politik yang dapat membatasi dan mengindentifikasi ciri khusus kapital intelektual bidang politik. Peneliti mendefinisikan manajemen KI politik adalah proses organisir tiga komponen kapital intelektual (Kapital Manusia,Kapital Struktur dan Kapital Relasi) lembaga politik yang saling berhubungan untuk mentransfer dan mentransformasi pengetahuan ke dalam nilai yang lebih baik bagi pembangunan politik negara. Penjelasan frase dalam definisi tersebut yaitu: Saling berhubungan: saling bersinergi dalam hal pengembangan dan internalisasi pengetahuan antara internal lembaga, dan lembaga dengan relasi di luar. 97 Mentransfer dan mentransfomasi pengetahuan: saling memberi dan menerima pengetahuan dan mewujudkan pengetahuan pada tingkat aplikatif inovasi dan nilai. Nilai yang lebih baik: output lembaga politik yang lebih berkualitas dan lebih baik, baik dari segi pelayanan/kontribusi yang diberikan oleh lembaga politik kepada relasi (pemerintah, bangsa dan negara). Pembangunan politik: yaitu partisipasi politik yang dilakukan secara positif dan bertanggungjawab. Peneliti membagi manajemen kapital intelektual politik (KIP) ke dalam dua pendekatan yaitu: 1. Pendekatan perbaikan dan pengembangan pengetahuan (improvement and development); pendekatan ini menekankan pada proses transfer, menciptakan dan menghasilkan pengetahuan bagi individu dan lembaga. Pendekatan ini disebut pula dengan internal manajemen KIP. 2. Pendekatan efektivitas; adalah pendekatan evaluasi (pengukuran dan perhitungan) dan laporan (report), yaitu lembaga politik membuat laporan perkembangan KIP kepada shareholder dan stakeholder politi. Pendekatan ini temasuk bagian eksternal manajemen KIP. Dengan mengaplikasikan manajemen KI politik melaui dua pendekatan tersebut yaitu pendekatan perbaikan dan pengembangan pengetahuan politik, secara internal KM lembaga politik akann dengan serius melakuaan internalisasi pengetahuan ke 98 dalam individu anggota/staff lembaga politik kemudian pengetahuan yang dimiliki individu tersebut dapat dikembangkan dan diekspansi lagi melalui transfer pengetahuan antara indidua atau melalui penciptaan nilai dan inovasi KS yang disebut sebagai pengetahuan struktur atau brand image lembaga politik yang pada akhirnya hasil invasi tersebut di pulikasikan atau disapaikan kepada KR sebagai penguna sekaligus mitra lembaga politik, dengan maka tidak menutup kemungkinan prosepek politik di kota Cimahi dan Indonesia akan ada perubahan baik. KM KS KR Pengembangan pengetahuan dan skill mengenai politik Inovasi dan brand image lembaga politi dalampendidikan dan sosialisi politik/pemilu DILAKUKAN? Penyampaian dan aplikasi invovasi pendidikan dan sosialisasi politik/pemilu kepada masyarakat YA TIDAK Masyarakat tertarik dan teredukasi dengan baik Kenaikan partsipasi politik/pemilu Masyarakat tidak tertarik dan tidak teredukasi dengan baik Penurunan partisipasi politik/pemilu Gambar 4.8 Inovasi dan Brand Image Lembaga politik 99 Kemudian melalui pendekatan efektifitas pelaporan KI kepada shareholder dan stakeholder akan memmbantu lebaga politik dalam mengembangkan pengetahuan dan inovasi dalam pendidikan politik berkelanjutan. Report KI dalam penelitian ini menggunakan metode perspektif Eropa yaitu the Danish guidelines. Metode Danish guidelines secara operasional disebut sebagai metode laporan Intellectual Capital Statement (ICS). Statement (pernyataan narasi) sering menjadi penjelas dalam laporan untuk menunjukkan keberadaan perkembangan perusahaan atau lembaga, hal inilah yang menjadi sisi pentingnya pernyataan dalam bentuk kalimat narasi yaitu untuk menjelaskan hubungan dan strategi lembaga dalam mengembangkan KI dan mencapai sasaran visi dan misi lembaga yang dihubungkan dengan pengetahuan. Pengetahuan dapat berupa informasi, wawasan, pemikiran, dsb. Pengetahuan ini yang akan mengembangkan lembaga melalui inovasi, pelayanan, sosialisasi, dsb. Melalui ICS akan ditranslasikan peran pengetahuan pada lembaga. Narasi pengetahuan Manajemen Inisiatif Indikator Kerjasama dengan media, mengadakan studi banding, taman bacaan politik untu masyarakat, perpustakaan dan laboratorium riset di lembaga KPU, aplikasi/software Diskusi yang terjadwal dan berkesinambungan, talkshow politik yan dikemas menarik untuk pemilih pemula, tingkat kerjasama yang solid, pendidikan Tantangan Kondisi partisipasi pemilu di kota Cimahi cenderung menurun dari setiap periode karena tingkat melek politik masyarakat kota cimahi masih rendah,oleh sebab Pengetahuan yang dimiliki saat ini masih pada skill sosialisasi teknis pemilu. Untuk mencapai target menyelengagarakan pendidikan berkelanjutan 100 itu perlu diadakan sebuah upaya untuk menyelenggarakan pendidikan politik berkelanjutan supaya masyarakat dapat berpartisipasi politik dan pemilu berdasarkan kesadaranpolitik yang hadir dari melek politik masyarakat. diperlukan pengetahuan dan skill politik dalam berkomunkasi dan pendekatan sosialogis kepada masyarakat secara komprehensif termasuk pengetahuan dan skill mengenai public relation dalam bermitra dengan stakeholder politik di internet. Tabel 4.7 ICS Kapital intelektual politik lembaga KPU 101 untuk kalangan internal lembaga KPU. BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Penelitian mengenai pendidikan politik di kota Cimahi dapat disimpulkan dari hasil wawwancara dengan anggota KPU Cimahi bahwa tingkat pendidikan politik di daerah Cimahi masih rendah, meski upaya KPU stakeholder dan masyarakat sudah dilakukan untuk menyukseskan pemilu di Cimahi namun presentase partisipasi pemilu tidak menunjukkan kenaikan signifikan. Kesimpulan dari penelitian yang dilakukan di kota Cimahi mengenai tingkat partisipasi pemilu menunjukkan ada penurunan partisipasi pemilu di tiga kecamatan yaitu di daerah Cimahi Utara, Cimahi Tengah dan Cimahi Selatan. Data partisipasi pemilu menunjukkan terjadi penurunan sebesar 6.87% pada saaat pemilihan presiden 2004 (putaran 1 dan 2), sedangkan pada pemilu legilatif tahun 2004 dan 2009 terjadi penurunan tingkat partisipasi sebesar 5.16%, dan pada pemilihan walikota tahun 2007 dan 2012 terjadi penurunan partisipasi pemilu sebesar 3.53%, dan pemilihan Gubernur pada tahun 2008 dan tahun 2013 terjadi penurunan 2,98%. Kemudian dari segi pendidikan politik dapat disimpulkan bahwa sistem pendidikan politik di kota Cimahi masih bersifat temporal yakni berlangsung hanya ketika ada pemilahan umum saja. Pendidikan politik yang diberikan kepada masyarakat menjelang pemilu berupa sosialisasi informasi, ajakan dan teknis pemilu. 102 Oleh sebab itu dapat dianalisis dan disimpulkan bahwa faktor kurang efektifnya pendidikan politik di kota Cimahi karena faktor manajemen kapital intelektual politik belum dioperasikan dengan baik. Kapital Intelektual politik yang terdiri dari kapital manusia, kapital struktur dan kapital relasi dari lembaga KPU belum terorganisir sehingga belum ada inovasi dalam pendidikan dan sosialisai politik kepada masyaraat sehingga akan mewujudkan partisipasi politik dan pemilu yang cerdas dan bertanggungjawab. Hal ini dapat dilihat dalam proyeksi pendidikan politik melalui MKIP yang dapat meningkatkan taraf melek politik dan tingkat partisipasi politik dan pemilu. Sedangkan prrospek aplikasi manajemen kapital intelektual dalam bidang politik sangat progressif sekali melalui dua pendekatan yaitu pendekatan pengembangan pengetahuan dan pendekatan efektifitas yaitu proses pelaporan perkembangan KIP kepada shareholder dan stakeholder melalui metode Danish guidline report dengan menggunakan pelaporan berbentuk narasi sehingga akan mudah dipahami untuk dikomunikasikan secara mendalam. 5.2. Rekomendasi dan Saran Penelitian ini direkomendasikan bagi Pemerintah Pusat dan Daerah, KPU, Partai Politik, kalangan akademis, NGO, stakeholder dari kalangan perusahaan BUMN dan Swasta, dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Semua kalangan yang direkomendasikan dalam penelitian ini memiliki peranan vital masing-masing yang 103 harus disinergikan sehingga dapat mewujudkan pendidikan politik berkelanjutan melalui MKIP. Elemen Pemerintah Pusat dan daerah KPU Partai Politik Akademis NGO Perusahaan Swasta Masyarakat BUMN Tugas dan Fungsi dalam MKIP dan PPB Sebagai penyokong KM yang berkualitas bagi KPU; Penyedia sarana peningkatan pengetahuan KM KPU melalui beasisiwa pendidikan, fasilitas studi banding politik, pelindung dan payung kebijakan dalam upaya meningkatkan dan mengembangakan pengetahuan KM dan mendukung secara luas nilai yang dihasilkan KS KPU Sebagai KM yaitu meningkatkan dan mengembangkan pengetahuan politik, sebagai KS dapat menciptakan pendidikan politik berkelanjutan yang inovatif Sebagai KM yaitu meningkatkan dan mengembangkan pengetahuan politik, sebagai KS dapat menciptakan pendidikan politik berkelanjutan yang inovatif Memberikan pandangan konseptual dan solusi aplikatif serta aktif ikut serta mengembangkan pengetahuan politik bagi stakeholder politik yang lain Ikut terlibat dalam distribusi dan penyampaian inovasi KS kepada KR dan Ikut terlibat dalam distribusi dan penyampaian inovasi KS kepada KR serta membantu sosialisasi melalui sumberdaya yang dimiliki perusahaan secara sadar, obyektif dan tanggungjawab Kooperatif dengan stakeholder politik yang lain dalam merespon dan menggunakan hasil inovasi KS, dan masyarakat sebagai KR dapat memberikan evaluasi terhadap 104 inovasi yang dihasilkan KS Tabel 5.1 Rekomendasi Penelitian Manajemen KIP belum menjadi perhatian dunia politik Indonesia dan beberapa negara lain, oleh sebab itu disarankan aplikasi manajemen KIP dapat diterapkan oleh semua elemen yang direkomendasikan dalam penelitaian ini untuk dapat menciptakan nilai dan inovasi pendidikan politik yang mencerdaskan bangsa Indonesia sehingga selanjutnya partsipasi politik masyarakat akan melampaui dari sekedar partisipasi pemilu namun lebih luas dari itu yaitu partisipasi untuk kepentingan dan kemaslahatan bangsa negara. Sebagai penelitaian awal di bidang manajemen KIP, diharapkan para pembaca dari semua kalangan dapat menganalisis manajemen KIP lebih lanjut dan dapat memberikan cakrawala pengetahuan dari sudut pandang yang berbeda untuk mewujudkan pendidikan politik berkelanjutan dan melek politik serta partisipasi politik dan pemilu. 105 DAFTAR PUSTAKA Ahdiyana, Marita.2009. Pidato Ilmiah Pemilu Sebagai Wahana Pendidikan Politik. Yogyakarta: STIA- AAN Ahmed,K.A.M. 2011. Students Exposure to Political News on the Internet and Political Awareness: A Comparison Between Germany and Egypyt. Germany: Tecnishen Universität Dresden Akpinar, T.A, dan Akdemir, A. 2011. Intellectual Capital. Turkey: Kocaeli University Arianto,Bismar. 2011.Analisis Penyebab Masyarakat tidak memilih Dalam Pemilu. Jurnal Ilmu Politik dan Ilmu Pemerintahan, Vol. 1, No. 1, 2011 51 Axford,Barrie,et.al.2005. Politics An Introduction. Taylor & Francis e-Library Birch, A.H.1993. The Concepts and Theories of Modern Democracy, London:Routledge . Carpini, D. M. X, dan Keeter, S. 1996. What Americans know about politics and why it matters? New Haven, CT: Yale University Press Carr R Paul, dan Thesee, Gina.2008. The Quest For Political (Il)Literacy Responding To, And Attempting To Counter, The Neoliberal Agenda. B. Porfilio And C. Malott (Eds.), The Destructive Path Of Neoliberalism: An International Examination Of Education, 173-194.Sense Publishers. 106 Creswell, W John. 2003. Research Design Qualitative, Quantitative. And Mixed Methods Approaches Second Edition. California,London and New Delhi: Sage Publications Denzin, N. K. (1998). Introduction: Entering the Field of Research." Strategies of Qualitative Inquiry: Handbook of Qualitative Qualitative ResearchPaperback Edition. London, Sage. 2: 1-34. Deutsch,W K. 1963. The Nerves Of Government; Models Of Political Communication And Control. New York Dzinkowski, R. 2000. The Measurement and Management of Intellectual Capital. An Introduction, Management Accounting. Magazine for Chartered Management Accountants, 78, pp. 32-36. Eveland, W. P. Jr. & Hively, M. H. (2008). Political knowledge. In W. Donsbach (Ed.) The international encyclopedia of communication. Malden, MA: Blackwell. Gallier, Jean. 1993. Constructive logics. Part I: A tutorial on proof systems and typed λ-calculi. Theoretical Computer Science, 110 (2): 249–339, March 1993. Harrison, Suzanne, dan Sullivan,H Patrick. 2000. Profiting From Intellectual Capital;Learning From Leading Companies. Journal of Intellectual Caipital,Vol .1, No.1, 2000, PP 33-46. CB University Press 1469-1930. Hungtinton,P S, dan Nelson, M J. 1994. Partisipasi Politik Di Negara Berkembang. Jakarta: Rineka Cipta 107 International Institute for Democracy and Electoral Assistantance. 1999. Youth Voter Participation: Involving Today‘s Young in Tomorrow‘s Democracy. Stockholm. Kelly, Anthony. 2004. The Intellectual Capital Of Schools Measuring And Managing Knowledge, Responsibility And Reward: Lessons From The Commercial Sector. New York, Boston, Dordrecht, London, Moscow: Kluwer Academic Publishers Kenski, K., & Stroud, N. 2006. Connections Between Internet Use And Political Efficacy, Knowledge And Participation. Journal of Broadcasting & Electronic Media, 50, 173–192. Lawrence, N C. 2003. The Role of Political Sophistication in the Decision-Making Processes of Voters. US: University of Mississippi Lupia,Arthur,,* dan Philpot, S T. 2005. Views from Inside the Net: How Websites Affect Young Adults’ Political Interest. Journal of Politics Volume 67, Issue 4, pages 1122–1142, November 2005 Lynch, K. 2000. Education for Citizenship: The Need for a Major Intervention in Social and Political Education in Ireland. CSPE Conference, Bunratty Co. Marr, B. & Roos, G. (2005). Strategy Perspective on Intellectual Capital, in Marr, B. (Ed.), Perspectives on Intellectual Capital – Multidisciplinary Insights into Management, Measurement and Reporting, ButterworthHeinemann, Oxford. McAllister,Ian. 2001Civic Education and Political knowledge in Australia. This paper was presented as a lecture in the Department of the Senate Occasional Lecture Series at Parliament House on 23 March 2001. 108 McLeod, J. M., Scheufele, D. A., & Moy, P. 1999. Community, communication, and participation: The role of mass media and interpersonal discussion in local political participation. Political.Communication, 16, 315–336. Moleong Lexy J. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Mondak, J J. 2009. Reconsidering the Measurement of Political Knowledge. Florida State University Mouritsen, Jan, et al. 2000. Intellectual Capital Statement;The New Guideline. Copenhagen, Denmark: Danish Ministry of Science. Nasution. 2003. Metode Research: Penelitian Ilmiah. Jakarta: PT. Bumi Aksara Orlikowski, W. J., & Baroudi, J. J. 1991. Studying Information Technology In Organizations: Research Approaches And Assumptions. Information Systems Research, 2(1), 1–28. Patton, Michael Quinn. 1987 Qualitative Education Methods. Beverly Hills: Sage Publication Paul J Di Stefano., dan Edward, G Kalbaugh. 1999. Intellectual Capital, Rough Notes, 142 (7), Jul. 1999 Petrash, G. 1996. Dow’s Journey to a Knowledge Value Management Culture. European Management Journal, 14 (4), pp. 65-373. 109 Popper, K. R. 1959. The Logic of Scientific Discovery. London: Hutchinson, Rosenstone,J S, dan Hansen, M J. 2003. Mobilization, Participation, And Democracy In America. Longman Rush.Michael, dan Althoff. Phillip. 1997. Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Schipper. C.B dan Woo. Yeul.H Woo. 2015. Political Awareness, Microtargeting Of Voters, And Negative Electoral Campaigning. JEL-Classi cations: C72, D71, P16. Singleton, A J.1966. Political Awareness Among Students of Southeastem State College. Durant Southeastern State College Stake, E R. 1995.The Art Of Case Study Research Paperback. SAGE PUBLICATION Sullivan,H Patrick. 2000. A Brief History Of The Icm Movement; Value-Driven Intellectual Capital; How To Convert Intangible Corporate Assets Into Market Value.. http://www.sveiby.com/Portals/0/articles/icmmovement.htm Tsai-Yuan Lin, Yuan-Tsai, et al. 2011.Application Of FAHP In The Measurement Model Of Intellectual Capital In Service Industry. Investment Management and Financial Innovations, Volume 8, Issue 3, 2011 110 Tulung, H.Freddy. 2013. Peran humas Pemerintah dalam Masyaraat Demkrasi. Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementrian Komunikasi dan Informatika Udende,Patrick.2011. Mass Media, Political Awareness and Voting Behaviour in the Nigeria’s 2011 Presidential Election Nigeria: University. of Ilorin Verba, S., Kay, S., & Henry, B. 1995. Voice and Equality: Civic Voluntarism in American Politic. Cambridge, MA: Harvard University Press. Wall, A, et al. 2004 Intellectual Capital. Measuring the Immeasurable? Oxford: CIMA Publishing Wessler, H. 2008.Political Discourse. In The International Encyclopedia of Communication. Wolfgang, D (Ed). Blackwell Publishing, www.kpu.go.id 111 LAMPIRAN-LAMPIRAN 112